Pedang Sinar Emas Jilid 39

Jilid XXXIX

YANG aneh adalah kakek itu. Ia tidak ikut bertempur, melompat ke sana ke mari sambil memperhatikan gerak gerik Bi Hui. Melihat ini, dengan kaget Bi Hui tahu bahwa kakek itu sedang mempelajari ilmu silatnya dan agaknya mencatat dalam otak semua gerak serangan serangannya. Ia menjadi marah sekali dan cepat menggerakkan pedangnya dengan cara membengkok. Ia menyerang seorang pemuda di depannya, akan tetapi ketika sebelas yang lain menyerbu dari belakang, ia melompat cepat ke kiri dan dalam keadaan tak terduga kakinya berhasil menendang roboh seorang pemuda lain yang tak sempat mengelak. Pemuda itu roboh

tak dapat bangun kembali. Robohnya seorang di antara mereka agaknya membikin jerih yang lain lain, buktinya gerakan mereka menjadi lambat dan agaknya kini hanya hendak mempertahankan diri saja tidak bernafsu lagi dalam usaha mereka menangkapnya.

Tiba tiba kakek itu bersuit aneh dan melemparkan sesuatu di

dekat Bi Hui. Gadis ini menyabet benda itu dengan pedangnya, dan   asap hijau kehitaman bergulung naik. Bi Hui mengerahkan lweekangnya mengayun tangan ke arah uap itu yang menjadi buyar, lalu mengerahkan khikang meniup ke arah uap itu yang seperti terkena angin besar lalu membalik. Akan tetapi pada saat itu, sebelas orang muda itu telah mengurungnya lagi dan dalam rombongan itu melayang tubuh kakek tadi. Dari kedua tangan kakek itu kini menyambar asap hitam ke arah Bi Hui. Gadis ini terkejut sekali, dengan gerakan tubuh nya ia dapat mengelak, dan terpaksa ia menahan napas agar hidungnya jangan kemasukan asap hitam. Namun perhatiannya yang terpecah pecah ini membuat ia tak dapat menghindarkan lagi ketika kakek itu menotok punggungnya dengan ilmu totok yang baik, dilakukan dengan dua jari. Bi Hui terhuyung huyung, mencoba mengerahkan lweekang untuk menolak pengaruh totokan. Akan tetapi sebelas orang itu sudah menubruknya, banyak tangan memegang dan menekannya dan di lain saat tubuh Bi Hui sudah diikat erat erat sehelai tali sutera yang amat kuat. Bi Hui marah bukan main, marah dan gemas sekali, apalagi karena lima orang pemuda tampan itu ikut memeganginya tadi. Ia merasa malu sekali dan terhina.

Kakek itu tertawa bergelak ketika melihat Bi Hui sudah tak berdaya lagi.

“Ha, ha, ha, ha, kali ini perjalanan kita berhasil baik sekali. Tidak saja siocia akan memberi hadiah besar kepada kita, juga twa kongcu pasti akan memberi hadiah besar. Ha, ha, ha! Hayo kita berjalan terus, rawat dan bawa siulam yang terluka.”

Rombongan itu mulai bergerak lagi. Kini tidak begitu cepat mereka lari karena mereka merasa lelah setelah mengeroyok Bi Hui yang kosen tadi. Bi Hui dipangul sendiri oleh kakek yang buruk itu yang memanggulnya di pundak seperti orang memanggul kayu. Bi Hui merasa lega ketika kakek itu yang memanggulnya, bukan seorang diantara pemuda pemuda itu ia merasa ngeri melihat pemuda pemuda tampan itu rata rata berwatak cabul dan genit seperti juga pemudi pemudi itu. Dan diam diam ia merasa heran sekali karena dalam pertempuran tadi, ia melihat beberapa gerakan mereka menyerupai gerak tipu dari ilmu Silat Thai lek kim kong jiu, ilmu silat warisan keluarganya!

“Nasib,” pikirnya, “baru saja meninggalkan dua orang guruku, sebelum dapat menangkap pembunuh ayah ibu, aku telah terjatuh ke dalam tangan mereka ini...” Ia tidak tahu nasib apa selanjutnya yang akan menimpa dirinya, akan tetapi sudah pasti bukan nasib baik, melihat sifat Thian hwa kauw yang keji dan jahat itu.

“Aduuhh….” mendadak seorang pemuda Thian hwa kauw yang memondong seorang gadis tawanan menjerit dan roboh, gadis tawanan itu ikut terguling.

Semua orang dalam rombongan itu terhenti dan ketika mereka memandang, ternyata pemuda itu roboh dalam keadaan kaku seperti terkena totokan yang lihai. Hek tok kwi cepat menghampiri pemuda itu dan menotok punggungnya untuk memulihkan jalan darahnya. Akan tetapi tidak berhasil, ia menepuk nepuk pundak dan mengurut urut iga, tetap tidak ada hasilnya Bukan main kagetnya. Hek tok kwi adalah seorang ahli dalam ilmu menotok dan senjata rahasia, sekarang ia menghadapi totokan yang tak mampu ia punahkan! Selagi ia kebingungan, tiba tiba menyambar dua butir batu kecil. Sebutir menyambar ke arah pundaknya dan sebutir lagi yang beberapa detik lebih lambat menyambar ke arah mukanya. Keduanya dengan kecepatan kilat akan tetapi datangnya aneh sekali. Yang kedua datang lebih dulu, padahal ketika menyambar jelas berada di belakang batu pertama.

Hek tok kwi kaget bukan kepalang. Tentu saja ia dapat mengelak dari batu kedua yang lebih dahulu menyambar mukanya itu, akan tetapi batu yang menyambar pundaknya tak dapat di elakkan lagi. Terpaksa ia melepaskan tubuh Bi Hui. dan menggunakan tangan baju untuk menyampoti batu itu.

“Brett...” Hek tok kwi berseru kaget karena ujung tangan bajunya sobek.

Sementara itu, Bi Hui yang terlempar ke atas tanah, tiba tiba merasa pundaknya tertotok sesuatu dan ia merasa tubuhnya bebas dari pengaruh totokan Hek tok kwi. Cepat gadis ini mengerahkan tenaganya untuk memutuskan semua tali yang mengikatnya. Namun terlambat, Hek tok kwi sudah melangkah maju dan sekali mengulur tangan, Bi Hui tak dapat mengelak lagi. Kembang biru didekatkan pada hidungnya dan seketika itu juga Bi Hui mencium bau harum yang luar biasa sekali, dan ia pingsan.

Sebelum Hek tok kwi sempat menyambar tubuh Bi Hui yang sudah pingsan, tiba tiba kembali menyambar batu batu kecil ke arahnya, kini tiga butir sekaligus. Betapapun lihainya Hek tok kwi hanya dua butir batu yang dapat ia tangkis. Yang ke tiga tepat mengenai lehernya. Ia berteriak kesakitan akan tetapi tidak roboh karena secepat kilat ia tadi telah mengerahkan tenaga lweekang menutup jalan darahnya sehingga batu kecil itu hanya melukai kulit dan dagingnya saja. Akan tetapi kembali dua orang roboh, kini dua orang gadis anggauta Thian hwa kauw. Tentu saja Hek tok kwi menjadi marah sekali. Sambil melompat lompat membebaskan totokan batu yaug merobohkan dua orang gadis itu, ia berteriak teraik. “Bangsat curang pengecut dari mana berani main gila terhadap Thian hwa kauw?” Teriakannya dilakukan dengan pengerahan tenaga khikang sehingga dapat terdengar dari jarak jauh.

Tiba tiba dari selatan terdengar suara jawaban, “Siluman siluman Thian hwa kauw jangan sombong. Aku Song Siauw Yang tidak takut kepada kalian ”

Lenyapnya suara itu membawa munculnya dua orang penunggang kuda dari selatan. Mereka ini adalah seorang nyonya yang gagah bersama seorang laki laki setengah tua yang bersikap dan berpakaian seperti sasterawan. Inilah Song Siauw Yang dan suaminya, Liem Pun Hui.

Sungguh aneh. Hek tok kwi yang terkenal galak dan keji itu, tiba tiba nampak gugup.

“Hayo kita pergi, cepat cepat !” serunya kepada semua

orang muda anggauta rombongannya. Para muda itu kini menjadi gentar juga menghadapi sambitan sambitan batu yang amat lihai, cepat mengangkat bawaan masing masing sumbangan dari rumah Bhok Coan dan enam orang tawanan, lalu melarikan diri cepat cepat. Hek tok kwi sendiri lalu membungkuk untuk menyambar tubuh Bi Hui. Akan tetapi ia dihujani batu kerikil. Dua kali ia terkena sambitan, pada pangkal lengan dan paha. Yang mengenai pangkal lengannya tepat dan hebat sekali, membuat lengan kirinya menjadi setengah lumpuh. Menghadapi ini, Hek tok kwi menjadi bingung. Apalagi dua orang penunggang kuda itu sudah datang dekat. Sambil mengeluarkan seruan kecewa si bongkok ini lalu melompat pergi meninggalkan Bi Hui

“Siluman siluman keji kalian hendak pergi ke mana?” bentak Song Siauw Yang dan bersama suaminya ia mengejar larinya rombongan itu. Mereka tidak 

memperdulikan tubuh yang ditinggalkan, karena lebih penting mengejar anggauta perkumpulan yang terkenal jahat itu.

Setelah rombongan itu lenyap dikejar oleh dua orang penunggang kuda, dari balik batu karang muncullah tubuh seorang pemuda yang amat ringan dan cekatan gerak geriknya. Dia ini bukan lain adalah Beng Han. Pemuda ini menghampiri tubuh Bi Hui yang masih mengeletak pingsan, memeriksa sebentar lalu mengangkat tubuh itu, dipondongnya dan dibawa pergi.

Tak lama kemudian, dua orang penunggang kuda yang tadi mengejar rombongan Hek tok kwi telah datang kembali ke tempat itu. Mereka Song Siauw Yang dan Liem Pun Hui, saling pandang dan Siauw Yang mengerutkan kening ketika melihat gadis yang tadi ditinggal oleh rombongan orang orang Thian hwa kauw itu.

“Eh, ke mana perginya?” kata Siauw Yang. Nyonya ini masih cantik dan gagah seperti dulu biarpun usianya sudah limapuluh tahun, hanya kerut pada keningnya menandakan bahwa selama ini ia banyak menderita batin. Sebaliknya, suaminya nampak sudah tua dengan rambut yang sudah putih semua, padahal usianya juga baru limapuluh tahun lebih.

“Mungkin dia telah dapat melarikan diri,” jawab Liem Pun Hui, suaranya lebih tenang dan sabar daripada dahulu.

“Mungkin juga.... kalau begitu, tentu dia seorang yang memiliki kepandaian ” kata Siauw Yang. Kedua orang ini

sama sekali tidak mengira bahwa gadis yang tadi mereka lihat ditinggalkan oleh orang orang Thian hwa kauw itu bukan lain adalah Song Bi Hui. Kalau saja mereka tahu akan hal ini, sudah tentu mereka takkan mengejar rombongan itu melainkan segera menolong Bi Hui. Seperti diketahui, suami isteri ini semenjak mendengar dari Bi sin tung Thio Leng Li tentang pembunuhan atas diri Kwa Li Hwa, lalu merasa cemas dan khawatir. Dengan terus terang Leng Li menceritakan tentang terlihatnya Liem Kong Hwat di kota Leng ting pada saat peristiwa itu terjadi. Hal ini amat menggelisahkan hati Siauw Yang, maka bersama suaminya ia lalu merantau mencari puteranya itu. Akan tetapi sampai bertahun tahun mereka tidak mendengar apa apa tentang Kong Hwat yang seakan akan lenyap ditelan bumi tanpa meninggalkan bekas. Sepasang suami isteri ini menjadi berduka sekali. Setahun sekali mereka kembali ke Liok can untuk melihat kalau kalau Kong Hwat sudah pulang ke rumah yang ditinggalkan dalam rawatan seorang pelayan tua. Namun sampai sepuluh tahun lamanya tidak ada berita dari pemuda itu.

Akhir akhir ini Siauw Yang mendengar desas desus tentang berdirinya perkumpulan Agama Thian hwa kauw yang amat aneh dan kabarnya jahat sekali. Suami isteri ini mendengar betapa perkumpulan ini suka menculik orang orang muda dan mendengar pula betapa secara aneh anak murid partai partai besar yang berkepandaian tinggi dan berwajah cantik atau tampan, banyak yang meninggalkan perguruan dan masuk menjadi anggauta perkumpulan agama sesat itu, menjadi makin curiga.

“Kong Hwat masih hijau dalam dunia kang ouw, dia masih muda dan aku tahu hatinya agak lemah, jangan jangan dia terkena bujukan pula oleh perkumpulan itu seperti pemuda pemuda lainnya,” kata Siauw Yang kepada suaminya.

“Kalau begitn lebih baik kita menyelidiki ke sana. Akan tetapi, tahukah kau di mana pusat perkumpulan itu?” kata Liem Pun Hui. “Kabarnya di utara, akan tetapi entah di mana. Hal itu tidak sukar, kita bisa mencari keterangan di jalan. Kiranya banyak orang gagah yang sudah mengetahui di mana sarangnya.”

Demikianlah, untuk kesekian kalinya sepasang suami isteri ini berangkat. Berbeda dengan biasanya mereka selain mencari jejak outera mereka, kini mereka mencari jejak perkumpulan Thian hwa kauw. Akhirnya mereka mendengar berita tentang usaha para tokoh partai besar untuk mengadakan pertemuan di rumah Sin siang to Bhok Coan di Kwan leng si sekalian menghadiri pasta she jit orang she Bhok ini. Kabarnya para tokoh besar itu hendak merundingkan tentang perkumpulan Thian hwa kauw yang selain melakukan banyak kejahatan, juga mencemarkan nama baik partai partai besar dengan membujuk anak anak murid muda menjadi anggauta.

Mendengar berita ini, Siauw Yang dan Pun Hui lalu berangkat menuju Kwan leng si yang amat jauh. Akan tetapi sebelum tiba di kota itu, mereka menghadapi peristiwa yang membuat mereka untuk pertama kali berkenalan dengan orang orang Thian hwa kauw.

Ketika itu mereka tiba di kota Leng ok. Siauw Yang ingat bahwa di kota ini tinggal seorang guru silat she Can yang pernah mengunjungi ayahnya dahulu untuk menyatakan penghormatan dan kekaguman. Karena sudah kenal, Siauw Yang menyatakan kepada suaminya untuk mengunjungi rumah sahabat ini dan menanyakan keterangan tentang Thian hwa kauw.

Akan tetapi, ketika Siauw Yang dan suami nya tiba di depan rumah Can kauwsu (guru silat) ini, pintu rumah tertutup rapat dan keadaan di situ sunyi saja. Padahal tentu penghuninya berada di dalam karena dari rumah bagian belakang mengebul asap, tanda bahwa di dalamnya ada orang masak.

Siauw Yang mengetuk pintu dengan keras, kemudian mengerahkan khikang dan berseru nyaring, “Apa Can kauwsu ada di rumah? Aku anggauta keluarga Song dari Tit le datang berkunjung!”

Sengaja Siauw Yang menyebut nyebut keluarga Song dari Tit le agar guru silat itu ingat akan mendiang ayahnya, Thian te Kiam ong Song Bun Sam. Setelah mengeluarkan teriakan itu, ia dan suaminya menanti. Sunyi senyap untuk beberapa lama, akan tetapi pendengaran Siauw Yang amat tajam sehingga ia dapat mendengar suara kaki bergeser di balik pintu.

“Kreetttt.... !” Sebuah lubang sebesar kepala orang terbuka di tengah tengah daun pintu dan dari dalam menjenguk sebuah muka yang hampir saja Siauw Yang tidak kenal lagi kalau saja ia tidak melihat sebuah tahi lalat merah di ujung hidung orang itu. Inilah Can kauw su tak salah lagi. Jarang di dunia ini ada orang dengan tahi lalat merah di ujung hidung. Akan tetapi mengapa muka ini begitu berubah? Nampak tua sekali dan kerut merut pada muka itu membayangkan ketakutan hebat. Sepasang mata yang kemerahan, agaknya kurang tidur, menatap mereka dan nanpak kecewa, lalu terdengar suaranya bertanya parau,

“Kalian siapa dan ada keperluan apa?”

Siauw Yang terkejut. Dari gerak pundak orang itu yang kelihatan sedikit, ia dapat menduga bahwa tangan orang itu memegang senjata tajam siap untuk bertempur. Ia lalu tersenyum ramah dan berkata, 

“Can kauwsu, apakah kau baik baik saja? Aku Song Siauw Yang puteri Thian te Kiam ong, dan ini suamiku, Liem Pun Hui. Apakah kau lupa kepadaku?”

Akan tetapi keramahan Siauw Yang ini tidak mendapat sambutan yang layak. Muka itu bahkan makin masam nampaknya dan bertanya kaku,

“Hemmm, ada keperluan apakah mencari aku seorang she Can yang bodoh?”

“Can   kauwsu,    mengapa    kau    berkata   demikian?

Kami.….”

“Katakanlah ada urusan apa, aku tidak punya banyak waktu. Aku akan membantu sebisaku.” Setelah berkata demikian, muka itu memandang jelalatan ke kanan kiri, sama sekali tidak memperdulikan sepasang suami isteri itu.

Siauw Yang membanting banting kaki kirinya dan ini dikenal baik oleh Pun Hui. Kalau isterinya sudah membanting banting kaki kiri, ini berarti Siauw Yang mulai panas perutnya dan akan marah. Maka ia mendahului isterinya itu menjura kepada “muka” di tengah daun pintu itu sambil berkata,

“Can kauwsu, harap maafkan kalau kedatangan kami ini mengganggu. Sebetulnya kami hanya ingin bertanya sedikit kepada kauwsu tentang Thian hwa kauw dan ”

“Ayaaaaa.... !” Muka di pintu itu berseru dan lubang itu tertutup cepat cepat, kemudian dari balik daun pintu itu terdengar suara Can kauwsu, “Aku tidak kenal Thian hwa kauw. Aku tidak tahu menahu tentang Thian hwa kauw.....

Pergilah kalian dari sini!” Setelah itu terdengar suara kaki berlari pergi menjauhi pintu.

Siauw Yang sudah mencabut pedangnya dan hendak menggempur pintu. Wataknya yang dulu timbul lagi menghadapi sikap orang yang keterlaluan ini. Akan tetapi suaminya segera memegang tangannya.

“Sabar, niocu. Orang tidak mau menerima tamu, mengapa kita harus memaksa tuan rumah? Lebih baik kita mencari keterangan di lain tempat.” Ia menarik narik lengan isterinya yang masih marah itu.

Malamnya, di dalam kamar hotel setelah kepalanya menjadi dingin biarpun hatinya masih panas Siauw Yang berkata kepada suaminya,

“Aku benar benar merasa curiga sekali. Sikap Can kauwsu tadi seperti bukan sewajarnya Dia semenjak kita datang sudah kelihatan ketakutan. Buktinya pintu ditutup rapat rapat dan mukanya kelihatan sedang menghadapi kesulitan yang hebat. Apalagi setelah kita menyebut Thian hwa kauw, ia kelihatan terkejut dan makin ketakutan. Suamiku, aku merasa penasaran sekali. Siapa tahu kalau kalau orang she Can ini ada hubungannya dengan Thian hwa kauw, siapa tahu kalau kalau dia menjadi anggautanya. Malam ini aku harus pergi menyelidik ke sana.”

Liem Pun Hui cukup mengenal watak isterinya yang pantang mundur dalam menghadapi urusan apa saja. Dia sendiripun tadi menaruh curiga dan melihat sikap ketakutan dari Can kauwsu, maka ia tadi melarang isterinya marah marah. Dia sendiri biarpun sudah mendapat banyak kemajuan dalam ilmu silat karena petunjuk petunjuk isterinya, namun masih kurang leluasa kalau harus menyelidiki rumah orang di waktu malam, apalagi di rumah seorang guru silat. Maka ia tidak dapat mencegah kehendak isterinya itu dan hanya dapat memesan,

“Kau berhati hatilah, niocu. Jangan mencari perkara. Kau menyelidik saja untuk mengetahui mengapa ia bersikap ketakutan. Jangan kau terlalu membikin aku gelisah menanti di sini!”

Siauw Yang mengangguk, kemudian setelah berpakaian serba ringkas dan membawa pedangnya, nyonya yang gagah ini melompat keluar melalui jendela, terus naik ke atas genteng dan menuju ke rumah Can kauwsu melalui genteng rumah rumah orang. Gerakannya masih lincah dan ringan seperti di waktu mudanya dan di dalam malam yang remang remang diterangi sinar bulan itu, bayangannya masih memperlihatkan bentuk tubuh yang singset dan ramping.

Ketika tubuhnya melayang di atas genteng rumah dekat rumah Can kanwsu, ia melihat berkelebatnya tujuh bayangan orang yang gesit gesit tanda bahwa mereka itu memiliki lweekang dan ginkang yang tinggi. Melihat tujuh orang itu masing masing memegang setangkai bunga, hatinya berdebar, inilah orang Thian hwa kauw, pikirnya. Memang ia sudah sering kali mendengar bahwa orang orang Thian hwa kauw itu selalu membawa setangkai bunga yang dapat dipergunakan sebagai senjata. Dengan hati hati sekali Siauw Yang mendekam di atas genteng bersembunyi, kemudian ia melompat dan mengikuti gerak gerik tujuh orang itu. Mereka bertujuh berlompatan bagikan kucing memasuki pekarangan rumah Can kauwsu. Tak lama kemudian terdengar jerit ketakutan.

Siauw Yang cepat melompat ke atas genteng ruangan tengah dari mana suara jeritan itu keluar, membuka genteng dan dengan gerakan Lee hi Ta teng, ia melompat ringan dan ketika tubuhnya melayang turun, kakinya mengait tiang melintang dan demikianlah, dengan tubuh berjungkir kepala di bawah kaki mengait tiang, nyonya yang gagah ini mengintai apa yang sedang terjadi di bawah. Ia melihat tujuh bayangan tadi telah berdiri di bawah, merupakan barisan dua dua, anehnya barisan itu ternyata merupakan tiga pasang muda mudi yang tampan dan cantik, sedangkan orang ke tujuh yang berdiri di depan adalah seorang kakek tua bongkok yang buruk sekali rupanya. Tiga orang pemuda dan tiga orang dara yang tampan tampan itu berdiri tegak seperti patung, sedangkan kakek itu nampak marah marah. Di depan mereka bertujuh ini berdiri Can kauwsu dengan golok di tangan. Guru silat ini nampak ketakutan, akan tetapi sepasang matanya menyinarkan kenekatan seperti orang gila. Di sebelah kirinya berdiri seorang gadis cantik berusia paling banyak enambelas tahun, juga gadis ini nampak pucat, akan tetapi ia berdiri di samping ayahnya sambil memegang sebatang pedang. Dia adalah puteri Can kauwsu yang tentu saja sebagai anak guru silat telah belajar ilmu silat pula yang tidak rendah. Adapun di belakang mereka ini, nampak beberapa orang wanita yang saling peluk dan berlutut dengan tubuh menggigil. Mereka ini adalah isteri Can kauwsu dan beberapa orang pelayan. Suara jeritan tadi keluar dari mulut mereka inilah yang sudah setengah mati karena ketakutan.

“Can kauwsu, apakah kau sudah tahu akan dosamu yang amat besar terhadap Thian hwa kauw?” Terdengar kakek itu bertanya dengan suara penuh ancaman. Mendengar penanyaan ini nampak Can kauwsu gementar, namun dengan suara tegas ia menjawab,

“Aku tidak ada hubungan dengan Thian hwa kauw, aku tidak tahu apa apa tentang Thian hwa kauw, jangan mengganggu kami serumah tangga yang tak berdosa !” Mendengar suara ini, Siauw Yang teringat akan sikap guru silat itu siang tadi. Ia menjadi tertarik sekali dan memandang dengan penuh perhatian.

Kakek itu mengeluarkan suara ketawa mengejek. “Heh heh heh heh, Can kaowsu masih berani membohong? Kau telah membunuh mati seorang siulam (pemuda tampan) anggauta Thian hwa kauw, dan kau masih hendak menyangkal?”

“Tidak! Aku tidak membunuh anggauta Thian hwa kauw! Kapankah aku berhubungan dengan Thian hwa kauw sehingga dapat nembunuh angautanya?” jawab Can kauwsu tegas.

“Heh heh heh heh, Thian hwa kauw takkan bertindak tanpa bukti. Sam wi kongcu (tiga orang tuan muda) harap ambil buktinya dan bawa ke sini!” kata kakek itu dan tiga orang pemuda tampan dari rombongannya melompat cepat menuju ke pekarangan atau kebun di belakang rumah Can kauwsu.

Melihat ini, nona cilik di samping Can kauwsu nampak gemetar tubuhnya dan tangan kanannya memegang lengan ayahnya dengan memindahkan pedang di tangan kiri. Kemudian ia memindahkan pula pedang itu ke tangan kanan sedangkan tangan kiri menyusuti peluh di leher dan keningnya. Biarpun malam itu cukup dingin, agaknya nona ini merasa gerah dan gelisah sekali. Juga Can kauwsu yang bertubuh tinggi besar dan kelihatan gagah itu nampak cemas dan takut ia mencoba menenangkan hatinya sambil melangkah maju dan berkata kepada kakek itu,

“Locianpwe, sesungguhnya aku orang she Can selama hidup tak pernah mengganggu orang, apalagi mengganggu Thian hwa kauw yang belum kukenal. Mengapa locianpwe sekalian mencampuri urusan rumah tanggaku?”

“He he he, orang she Can, tak perlu banyak cakap. Tunggu sampai buktinya di depan mata baru boleh bicara!” jawab kakek itu galak. Tak lama kemudian tiga orang pemuda tampan tadi nampak muncul dari belakang. Mereka bertiga menyeret sesuatu dan Siauw Yang terpaksa menutupi hidungnya dengan ujung lengan bajunya. Bau yang amat tidak enak menyerang hidungnya, bau bangkai! Ketika tiga orang itu

telah datang dekat, mereka melempar benda yang mereka bawa itu dan ternyata itu adalah sebuah.... mayat manusia yang sudah mulai membusuk! Can kauwsu melangkah mundur dengan muka pucat, puterinya mengeluarkan jerit tertahan sedangkan para wanita yang tadi berlutut kini menjadi makin ketakutan. Nyonya Can yang berjantung lemah sudah hampir pingsan, saking ngeri dan takut.

“Heh heh heh, orang she Can, bukti sudah di depan mata. Jenazah orang siulam dari Thian hauw kauw sudah berada di sini, baru saja digali dari kebunmu. Apakah kau masih hendak berpura pura dan berani bilang tidak tahu menahu tentang jenazah terkubur di kebunmu?”

“Dia.... dia adalah jenazah Coa Lok, pemuda hidung belang ”

“Tak perduli siapa namanya, dia adalah anggauta Thian hwa kauw dan kau sudah berani membunuhnya!” kakek bongkok yang bukan lain adalah Hek tok kwi itu berkata marah.

“Aku.... aku tidak tahu bahwa dia adalah anggauta Thian hwa kauw..... dia.... dia datang untuk mengganggu puteriku ini, tentu saja kami melawan dan dia.... dia roboh dan tewas. Kami menguburnya di dalam kebun.”

“Heh heh heh kau memutar balikkan urusan. Siulam kami yang telah kau bunuh ini hendak mendatangkan kebahagiaan kepada puterimu, hendak menjadikan puterimu seorang siuli di dalam perkumpulan kami. Maksudnya yang amat mulia itu, mengangkat puterimu 

dari dara biasa menjadi seorang siuli yang kedukannya sama dengan Thian hwa (Bunga Surga), mengapa kau menuduhnya yang bukan bukan dan membunuhnya?”

“Tidak! Tidak demikian. Dia datang pada tengah malam, menggunakan asap beracun dan memasuki kamar anakku dengan maksud keji. Baiknya kami sudah siap sedia dan ”

“Heh heh heh, maksud keji, katamu? Dia akan menyempurnakan keadaan puterimu agar dapat diterima menjadi siuli oleh kauwcu kami, kau bilang bermaksud keji? Eh, Can kauwsu, kau dengarlah baik baik. Kauwcu sudah mendengar tentang urusan ini, maka hukumannya sekarang, kau harus mampus dan puterimu akan dibawa kesana, bukan untuk mernjadi siuli melainkan menjadi pelayan yang paling rendah kedudukannya. Kalau ketak dia pandai membawa diri, baru ada harapan dia naik kedudukannya.”

Can kauwsu melintangkan goloknya. “Siluman siluman Thian hwa kauw, kami selalu mengalah dan kalian masih mendesak terus. Biarpun aku harus mampus, apa kau kira aku sudi memberikan anakku menjadi anggauta perkumpulan siluman?”

“Terjang....!!” Hek tok kwi memberi aba aba dan ia pasang muda mudi itu menyerbu. Hek tok kwi sendiri melompat ke depan dan di lain saat ia telah berhasil menyambar pundak gadis cilik anak Can kauwsu itu dan sekali kempit gadis cilik itu tak berdaya lagi. Can kauwsu tidak sempat menolong puterinya dan pada saat itu, Hek tok kwi juga telah menggerakkan tangannya ke arah kepala nyonya Can untuk membunuhnya.

“Siluman keji, jangan kurang ajar!” Tiba tiba terdengar bentakan nyaring dan dari atas tiang menyambar turun tubuh orang yang gesit gerakannya. Setelah orang itu menyambar dengan pedang digerakkan, hampir saja tangan Hek tok kwi terbabat putus kalau saja kakek itu tidak cepat cepat menarik kembali tangannya yang hendak membunuh nyonya Can tadi! Akan tetapi di lain saat bayangan itu, bukan lain Song Siauw Yang, sudah berhasi merobohkan seorang Siulam dan seorang Siuli dengan tendangan dan pukulan tangan kirinya yang menggunakan hawa pukulan Soan hong pek lek jiu yang dahsyat.

Melihat cara nyonya kosen ini menyerang dengan pedang dan pukulan tangan kirinya, Hek tok kwi berseru,

“Tahan dulu Toanio yang baru datang ini siapakah dan mengapa memusuhi Thian hwa kauw?”

Siauw Yang mengeluarkan ejekan di dalam hidungnya. “Hah, sekalian siluman keji tak tahu malu! Aku belum

pernah meninggalkan she menyembunyikan nama.

Aku Song Siauw Yang dan hari ini kebetulan sekali aku mendapat kesempatan untuk membasmi kalian siluman siluman jahat!”

Mendengar ini, Hek tok kwi lalu melompat mundur dan berkata,

“Melihat muka Song toanio kami melupakan

dosa dosamu, keparat Can! Biarlah kali ini kami mengampuni jiwamu!” Setelah berkata demikian, ia memberi aba aba, “Pergi!” Dan tubuhnya berkelebat cepat sekali ke atas genteng sambil memanggul tubuh nona Can yang masih belum di lepaskannya. Empat orang muda mudi yang belum roboh segera menyambar tubuh dua orang yang terluka, bahkan yang dua orang lagi menyambar jenazah yang bau itu, kemudian cepat melompat ke atas menyusul Hek tok kwi.

“Kau lepaskan nona itu!” Siauw Yang membentak sambil mengayun kaki mengejar Hek tok kwi. Ginkang dari nyonya ini memang hebat sehingga di lain saat ia berada di atas genteng.

“Tak berani membantah perintah Song toanio!” kakek itu tertawa dan tiba tiba Siauw Yang mengulurkan tangan kiri karena tubuh nona cilik itu telah dilontarkan ke arahnya. Lontaran ini keras sekali. Terpaksa Siauw Yang mengerahkan lwekangnya dan berlaku hati hati agar nona yang lemas tubuhnya itu tidak terbanting jauh. Kemudian ia melompat turun dan melepaskan tubuh nona Can di depan ayahnya. Setelah itu, cepat ia melompat lagi ke atas untuk mengejar dan memberi hajaran kepada orang orang Thian hwa kauw namun mereka sudah lenyap ditelan kegelapan malam.

Ketika Siauw Yang kembali ke ruangan tengah rumah Can kauwsu, ia disambut oleh Can kauwsu seanak isteri sambil berlutut dan bercucuran air mata.

“Song lihiap, mohon sudi mengampunkan boanpwe yang tak tahu diri, terutama sekali atas sikap boanpwe siang tadi yang amat kasar. Siapa kira sekarang Song lihiap yang menyelamatkan nyawa kami sekeluarga. Sungguh boanpwe layak di pukul mati!” Setelah berkata demikian, Can kauwsu memukuli kepala sendiri, tanda bahwa ia merasa menyesal sekali atas sikapnya siang tadi,

“Sudahlah,” Siauw Yang mengangkat tangan memberi tanda mencegah kelakuan guru silat itu. “Aku tahu bahwa kau berada dalam ketakutan. Karena sikapmu yang tidak sewajarnya itulah aku malam malam datang dan kebetulan melihat sepak terjang orang orang Thian hwa kauw yang tidak patut. Sebetulnya, siapakah pemuda yang kau bunuh itu dan bagaimana duduknya perkara?”

Dengan singkat Can kauwsu bercerita. Pemuda itu bernama Coa Lok, seorang pemuda yang memiliki bakat baik dalam ilmu silat, juga biasanya berwatak sopan dan baik. Pemuda ini menarik hati Can kauwsu sehingga pernah Coa Lok diberi pelajaran ilmu silat. Bahkan diam diam guru silat ini mempunyai rencana untuk menjodohkan puteri tunggalnya dengan pemuda yang berasal dari Hok kian ini. Coa Lok adalah seorang pemuda perantau dan sekarang bekerja di Leng ok sebagai pembantu seorang pedagang hasil bumi. Beberapa pekan akhir akhir ini sikap Coa Lok berubah, matanya liar dan beberapa kali ia mengucapkan kata kata tidak sopan di depan Can Goat Li puteri Can kauwsu itu. Kemudian pemuda ini sering kali menjumpai Goat Li secara sembunyi sembunyi dan membujuk bujuk gadis itu supaya suka pergi bersama dia meninggalkan rumah dan menjadi anggauta Thian hwa kauw! Tentu saja Goat Li tidak sudi melakukan perbuatan rendah ini, yaitu minggat bersama seorang pemuda meninggalkan rumah. Bahkan dia menegur Coa Lok dan menyatakan bahwa kalau pemuda itu orang baik baik dan suka kepadanya, mengapa tidak mengajukan pinangan saja kepada orang tuanya sebagaimana orang lajimnya. Namun Coa Lok tidak mau, hanya mendongengkan tentang kesenangan menjadi anggauta Thian hwa kauw, di sana mereka akan hidup seperti pangeran dan puteri istana, kerjanya setiap hari bersenang senang!

Goat Li lalu melaporkan hal ini kepada ayahnya. Can kauwsu marah bukan main. Coan Lok dipanggil dan di beri hadiah maki dan caci bahkan diusir dan dilarang menginjak lantai rumah itu lagi. Coa Lok pergi sambil tersenyum senyum.

Malamnya menjelang tengah malam, Coa Lok datang dan mempergunakan hio yang asapnya memabokkan, mencoba untuk masuk ke kamar Goat Li dengan maksud keji, dan mungkin sekali hendak menculik gadis itu. Akan tetapi, Can kauwsu sudah curiga melihat senyum di bibir pemuda itu siang tadi maka sebagai seorang kang ouw yang sudah banyak pengalaman, ia sengaja berjaga. Dengan marah sekali ia lalu menyerang Coa Lok dan dalam kemarahannya ia membunuh pemuda itu. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat bahwa pemuda itu menyimpan setangkai bunga teratai di dalam saku bajunya, tanda bahwa dia memang betul anggauta Thian hwa kauw. Hal ini benar benar tak pernah diduga oleh Can kauwsu. Maka ia cepat mengubur jenazah Coa Lok di dalam kebun dan semenjak hari itu ia menutup pintu dan tidak pernah keluar. Ia menyimpan rahasia pembunuhan itu secara rapat, dan setiap malam ia ketakutan. Demikianlah mengapa ia bersikap kaku kepada Siauw Yang dan suaminya, apalagi ketika mendengar Siauw Yang bertanya tentang Thian hwa kauw.

Dan ternyata, seminggu kemudian setelah pembunuhan itu terjadi, rombongan Thian hwa kauw datang membikin pembalasan seperti telah dituturkan di bagian depan.

Siauw Yang menggeleng geleng kepalanya. “Benar benar jahat dan keji, akan tetapi juga aneh sepak terjang Thian hwa kauw Can kauwsu, apakah kau tahu di mana sarang mereka? Aku merasa penasaran sekali dan hendak melihat siapakah adanya kauwcu mereka itu dan sampai di mana pengaruh perkumpulan ini. Aku mendengar bahwa sudah banyak sekali jago jago muda dari pelbagai partai besar terbujuk dan masuk menjadi anggauta Thian hwa kauw.” “Memang sudah boanpwe dengar tentang hal itu, sayang sekali hamba sendri tidak tahu di mana gerangan pusat perkumpulan itu. Akan tetapi tak jauh dan sini, di Kwan leng si akan diadakan pesta hari she jit Si siang to Bhok Coan. Dia adalah seorang bekas perampok ulung dan tentu dalam pestanya itu akan datang tokoh tokoh terkemuka baik dari golongan kang ouw, liok lim maupua hek to. Wah, kalau lihiap mencari keterangan di sana kiranya akan tercapai maksud lihiap.”

Memang Siauw Yang sudah mempunyai niat menuju Kwan leng si, maka ia lalu berpamit dan menolak segala ucapan terima kasih guru silat itu sekeluarga. Sesamparnya di hotel, suaminya sudah gelisah tidak karuan.

“Mengapa begitu lama? Ada terjadi apakah?” Tegur suami ini, lega melihat istrinya pulang dalam keadaan selamat.

“Terjadi hal hebat. Aku bertemu dengan orang orang Thian hwa kauw di sana!”

“Jadi betul betul Can kauwsu menjadi anggauta Thian hwa kauw?” tanya Liem Pun Hui.

“Hush, bukan demikian. Sebaliknya, dia sekeluarga hampir saja menjadi korban Thian hwa kauw.” Setelah berganti pakaian dan menyimpan pedangnya, sambil duduk di atas ranjang menghadapi suaminya, Siauw Yang menceritakan semua pengalamannya tadi.

Mendengar penuturan isterinya, Liem Pun Hui bergidik dan kemudian menarik napas panjang.

“Mudah mudahan saja anak kita jangan terjerumus ke dalam perkumpulan semacam itu !”

Demikianlah, suami isteri ini pada keesokan harinya melanjutkan perjalanan menuju ke Kwan leng si. Karena mereka belum kenal jalan, pula memang tidak tergesa gesa, mereka datang terlambat dan di tengah jalan mereka bertemu dengan rombongan lain dari Thian hwa kauw yang sedang lari membawa barang barang dan orang orang muda culikan. Melihat kakek bongkok berada pula di antara rombongan itu, mudah saja bagi Siauw Yang untuk mengenal bahwa mereka itu adalah orang orang Thian hwa kauw, maka sambil berseru keras ia mengejar. Akan tetapi ia tidak berhasil karena ketika ia dan suaminya mengejar dengan menunggang kuda, orang orang Thian hwa kauw itu melemparkan obat obat peldak yang mengeluarkan suara keras dan membikin kaget dan takut kuda tunggangan Siauw Yang dan suaminya sehingga tidak dapat dipaksa melanjutkan pengejaran. Siauw Yang hanya mengira bahwa orang orang Thian hwa kauw itu sudah mengenal kelihaiannya dan hilang semangat melihat dia muncul. Sama sekali ia tidak tahu bahwa di balik ini tersembunyi hal lain, karena sebetulnya agak mustahil kalau orang orang Thian hwa kauw yang lihai itu takut kepada nyonya kosen ini. Terhadap Song Bi Hui, gadis yang kini memiliki kepandaian jauh di atas tingkat kepandaian Song Siauw Yang, mereka masih tidak takut bahkan berhasl menawannya, masa mereka takut kepada Siauw Yang? Akan tetapi kalau melihat sikap kakek bongkok Hek tok kwi. memang begitulah agaknya, dia seperti takut sekali terhadap Song Siauw Yang.

Siauw Yang dan suaminya karena tidak melihat gadis yang tadi ditinggalkan oleh rombongan Thian hwa kauw, mengira gadis itu telah lari pergi. Sama sekali mereka tidak tahu bahwa gadis itu adalah Bi Hui dan bahwa gadis itu dalam keadaan pingsan telah dibawa pergi oleh Beng Han. Kini mereka melanjutkan perjalanan ke Kwan leng si. Kedatangan mereka disambut hangat oleh Sin sian to Bhok Coan. Apalagi Thio Leng Li, melihat siapa yang datang, nyonya ini lalu menyambut dengan pelukan, dan tanpa malu malu lagi Leng Li menangis di pundak Siauw Yang mendengar akan nasib Leng Li yang kiranya malah jauh lebih sengsara daripada nasibnya sendiri. Seperti diketahui, Thio Leng Li kematian ayahnya yang dibunuh orang tanpa di ketahui siapa pembunuhnya. Juga anak perempuannya diculik orang. Puteranya, Kwan Sian Hong, lima tahun yang lalu pergi hendak mencari pembunuh kong kongnya dan mencari jejak adiknya, akan tetapi hingga kini juga belum ada kabar beritanya. Lebih celaka lagi, suaminya, Kwan Lee yang agaknya amat berduka karena lenyapnya Kwan Li Hwa puteri kesayangannya, telah jatuh sakit berat sampai datang kematiannya.

“Kasihan sekali kau, adik Leng Li. Biarlah, mari kita sama sama berusaha mendapatkan kembali anak anak kita yang hilang dan percayalah, aku akan membantumu mencari sampai dapat pembunuh ayahmu,” kata Siauw Yang menghibur.

Kemudian para tokoh kang ouw yang berada di situ mengadakan perundingan kembali, hati mereka besar karena kini di situ bertambah seorang berilmu tinggi yaitu Song Siauw Yang. Hampir semua orang kenal siapa adanya nyonya ini karena siapakah yang tidak kenal ayah nyonya ini, Thian te Kiam ong Song Bun Sim Si Raja Pedang?

“Sebelum diadakan perundangan untuk menghadapi Thian hwa kauw, adakah di antara cu wi sekalian yang hadir ini tahu apakah sebetulnya perkumpulan itu? Bagaimana sifat sifatnya dan mengapa pula banyak orang orang muda sampai terbujuk dan banyak yang suka masuk menjadi anggotanya?” Oran orang di situ saling pandang, karena memang sebagian besar atau hampir semua di antara mereka tidak tahu. Akhirnya setelah ragu ragu sejenak, seorang tosu menarik napas dan berkata,

“Kiranya pinto dapat menjawab pertanyaan toanio ini.” Semua orang memandang dan ternyata yang bicara adalah Tiauw Beng Cinjin, ketua Kim lian pai. Melihat semua mata memandang penuh gairah untuk segera mendengarkan penuturannya, kakek Kim lian pai itu menyambung kata katanya, “Bukan rahasia lagi bahwa banyak orang orang muda yang tadinya menjadi murid partai partai besar dan hidup sebagai pendekar muda yang gagah perkasa, secara tak terduga telah terjerumus masuk menjadi anggauta perkumpulan sesat itu. Demikian pula seorang diantara anak murid Kim lian pai terseret masuk. Pinto sendiri turun gunung untuk mencari anak murid itu. Tiga bulan kemudian, secara kebetulan sekali ketika pinto berada di sebuah dusun, serombongan orang Thian hwa kauw mendatangi rumah hartawan di situ, merampok emas dan menculik anak gadisnya. Pinto turun tangan dan ternyata anak murid Kim lian pai itu berada di antara mereka!” Kakek itu menarik napas panjang sambil menunda ceritanya.

“Selanjutnya bagaimana, totiang?” Siauw Yang bertanya mendesak, tertarik oleh penuturan itu.

“Mereka terdiri dari enam orang, tiga pemuda dan tiga orang gadis. Agaknya untuk melakukan pekerjaan yang dianggap ringan itu rombongan ini tidak disertai gembongnya yang berkepandaian tinggi. Pinto dikeroyok, akan tetapi kepandaian sitat mereka itu sebetulnya tidak berapa hebat. Yang membikin pinto marah dan mendongkol sekali adalah anak murid Kim lian pai itu yang ikut pula mengeroyok pinto! Hayaaa, sakit hati sekali melihat anak murid sendiri membantu musuh. Dengan marah pinto memukul murid itu sehingga roboh dan menangkapnya merobohkan pula seorang pengeroyok lain. Akan tetapi empat orang Thian hwa kauw itu melepaskan obat obat peledak mereka, dan ketika pinto melompat pergi membawa tubuh anak murid itu, mereka melarikan diri membawa seorang kawan mereka yang terluka.” Kembali kakek itu berhenti, agaknya merasa menyesal bukan main atas kejadian itu.

“Tentu totiang mendengar cerita tentang Thian hwa kauw dari anak murd itu, bukan?” kata pula Siauw Yang.

“Betul. Dalam kemarahan, pinto telah mengirim pukulan maut kepadanya. Nyawanya tak tertolong lagi, akan tatapi sebelum ia mati, bocah itu telah mengakui kesalahannya dan menceritakan kedaan Thian hwa kauw kepada pinto.” Kembali ia berhenti dulu menarik napas panjang, kemudian dilanjutkannya.

“Menurut penuturannya yang terputus putus dan kurang jelas, Thian hwa kauw mempunyai anggauta kurang lebih empatpuluh orang banyaknya, yaitu anggauta anggauta yang disebut siulam dan siuli, terdiri dari pemuda pemuda tampan dan gadis cantik. Di samping itu masih ada tujuh orang kakek dan nenek yang buruk rupa dan lihai sekali ilmu silatnya. Mereka ini menjadi kepala rumah tangga, mengepalai semua pelayan di situ, bahkan juga mereka itu berkuasa atas diri para siulam dan siuli. Yang menjadi kauwcu adalah seorang wanita cantik sekali. Adapun praktek praktek yang dijalankan oleh perkumpulan agama sesat itu amat mengerikan, cabul dan hina. Para siulam dan siuli itu memang selain bertugas melakukan perintah kauwcu seperti merampok, menculik anggauta baru dan lain lain, hidup mereka seperti pangeran dan puteri istana saja. Di antara para siulam dan para siuli tidak terdapat batas dan larangan, mereka hidup bebas berpasangan seperti binatang binatang di hutan, di pelopori dan diberi contoh oleh kauwcu sendiri yang mempunyai banyak kekasih. Benar benar menjemukan sekali dan patut dibasmi!”

“Aneh....” sela Pak Kong Hosiang tokoh Siauw lim pai, “kalau mereka itu melakukan hal hal cabul dan rendah semacam itu, mengapa orang muda muda gagah perkasa sampai dapat terbujuk? Mengapa mereka sudi melakukan hal hal seperti itu?”

Tiauw Beng Cinjin menghela napas. “Sudah kutanyakan dan kutegur kepada anak murid Kim lian pai itu tentang hal ini. Murid pinto yang dalam menghadapi kematiannya agaknya tetapi sadar dari keadaan tidak sewajarnya itu, menyatakan bahwa mula mula mereka tertarik karena melihat banyaknya pemuda tampan dan gadis cantik yang menjadi anggauta. Akan tetapi sekali datang di tempat itu, mereka merasa tidak kuasa mengatur jalan pikiran sendiri. Sangat boleh jadi mereka itu diberi minum semacam racun yang merampas semangat dan yang dapat membius mereka sehingga mereka tidak dapat menguasai pikiran sendiri. Pendeknya, Thian hwa kauw merupakan semacam harem seperti di istana kaisar, dan para siulam itu sengaja dikumpulkan untuk menyenangkan hati kauwcu dari Thian hwa kauw, sebaliknya para siuli itu dikumpulkan untuk menghibur kekasih kauwcu yang mereka sebut twa kongcu. Selanjutnya pinto tidak mendengar penjelasan apa apa lagi karena anak murid itu keburu menghembuskan napas terakhir. Menyesal sekali dia tidak sempat memberi tahu di mana adanya pusat perkumpulan terkutuk itu.”

Tiba tiba Sin siang to Bhok Coan berkata,

“Aku tahu tempatnya. Lihat, ketika mereka tadi membawa pergi siang to (sepasang golok) yang tergantung di pinggangku tanpa kuketahui, mereka meninggalkan ini di ikat pinggang sebagai gantinya.” Ia memperlihatkan sehelai kain berwarna dadu yang ada tulisannya,

“Kalau mau ambil kembali sepasang golok, Datanglah di hutan Harimau Siluman!”

Di bawahnya terdanat gambar kembang teratai yang kelopaknya berwarna macam macam.

“Hutan Harimau Siluman adalah hutan Koai houw lim yang letaknya di kaki gunung Siu sau tak jauh dari sini,” kata Bhok Coan. “Dan si bongkok tadi mengharapkan kedatanganku di sana dalam waktu sepuluh hari. Bagaimanapun juga, kalau tidak ada cu wi yang membantu, mana aku berani mengantar nyawa ke sana? Lebih baik aku kehilangan golok, barang sumbangan, dan muka daripada kehlangan nyawa.” Kata kata Sin siang to Bhok Coan ini benar benar tak dapat dihargai oleh para orang gagah di situ, akan tetapi mereka maklum betapa takut dan jerihnya orang she Bhok ini terhadap Thian hwa kauw. Dan melihat sepak terjang Thian hwa kauw, ketakutan Bhok Coan dapat di mengerti.

“Bhok enghiong tak usah khawatir,” kata Thian Cin Cu tosu Kun lun pai dengan suara mengejek, “memang kami sudah bersepakat hendak sama sama membasmi perkumpulan itu. Sudah tentu kami semua berada di belakangmu.”

“Betul,” kata Pak Kong Hosiang, “memang sebaiknya kalau Bhok sicu memenuhi undangan mereka itu dan kami beramai menjadi pengantar Bhok sicu agar kita dapat masuk dengan mudah. Setelah sampai di sana, baru kita semua bergerak.”

Demikianlah perundingan dilanjutkan dan diatur masak masak untuk bersama menggempur Thian hwa kauw yang selain merupakan gangguan bagi rakyat jelata, juga amat merugikan nama baik partai partai besar karena memikat anak anak murid partai persilatan yang ternama.

-oo0dw0oo-

Song Bi Hui mengeluh perlahan, kedua matanya masih dipejamkan. Ia merasa kepalanya pening sekali dan biarpun matanya dipejamkan, kepalanya merasa seakan akan segala apa di sekelilingnya berputar putar.

“Kepalaku...   berdenyut    denyut    pusing    sekali   ”

keluhnya tanpa disadarinya.

Tiba tiba ia merasa ada tangan mengelus elus kening dan memijat mijat kepalanya dengan halus sekali, dan terdengar suara orang berkata perlahan.

“Kasihan kau, enci Bi Hui   ”

Pijatan pada kepalanya itu sekaligus mengusir rasa peningnya, akan tetapi Bi Hui tidak memperhatikan ini. Ia terlalu kaget mendengar suara laki laki, cepat dibukanya matanya. Melihat seorang pemuda tampan berpakaian sederhana sedang memijat mijat kepalanya, Bi Hui menjerit, melompat berdiri dan tangan kanannya menampar.

“Plak plak....” pipi pemuda itu telah di tampar keras keras akan tetapi tiba tiba kepalanya pening sekali dan ia terhuyung huyung sambi memejamkan mata.

“Hati hati, enci Bi Hui, kau belum sembuh betul ”

Dua lengan yang kuat menyambar pinggangnya dan dengan halus ia dituntun untuk duduk kembali ke bawah pohon.

“Duduk dan mengasolah, jangan terburu nafsu, kau masih lemah !” Setelah peningnya mereda, Bi Hui membuka matanya dan memandang pemuda itu. Kembali ia cepat cepat meramkan matanya, mukanya terasa panas saking jengahnya, bibirnya digigit sendiri untuk menekan debaran jantung yang terasa cemas. Sejak bilakah dia bersama pemuda ini? Hatinya tidak enak sekali.

“Kau.... kau siapakah....?” tanyanya, suaranya gemetar, penuh bayangan yang bukan bukan.

“Enci Bi Hui, kau masih pusing. Nanti kalau kau sudah sadar betul, kau tentu akan mengenal aku…” jawab pemuda itu, suaranya halus dan ramah. Siapakah dia ini? Dia kutampar dua kali, akan tetapi dia tidak marah, bahkan menolongku tidak sampai jatuh. Bi Hui mengingat ingat, kemudian ia membuka mata kembali. Pemuda itu duduk tak jauh dari situ, memandangnya dengan bibir tersenyum dan sinar mata mengandung iba hati. Ketika memandang ke sekeliling, Bi Hui mendapat kenyataan bahwa mereka di dalam sebuah hutan yang sunyi. Hatinya agak lega. Tadi ia mengira bahwa ia sudah terjatuh ke dalam tangan Thian hwa kauw. Akan tetapi, hatinya tercekat kembali, siapa tahu kalau kalau pemuda ini anggauta Thian hwa kauw...?

“Siapa kau….?” Ia menatap tajam penuh selidik. Serasa ia kenal akan wajah ini, akan tetapi lupa lagi di mana pernah bertemu.

Pemuda itu tersenyum. “Sukur, kau sudah sembuh, enci Bi Hui. Aku sudah merasa gelisah sekali. Tiga hari tiga malam kau pingsan dan baru sekarang siuman kembali.”

“Tiga hari tiga malam? Dan selama itu aku di sini ?”

Pemuda itu mengangguk.

“Di tempat ini dengan dengan engkau…?” Kembali pemuda itu mengangguk tenang dan mukanya bersih seperti muka orang yang tidak berdosa.

“Dan kau.... kau ini siapakah, mengapa menjaga aku di sini dan kita berada di mana?” Bi Hui bangkit hendak berdiri akan tetapi kembali ia terduduk karena kepalanya masih pening kalau ia berdiri.

“Enci Bi Hui, aku kebetulan lewat dan mendapatkan kau rebah pingsan di tengah jalan. Aku lalu membawamu ke tempat ini agar kau dapat tidur di bawah pohon, tak kusangka kau pingsan sampai tiga hari tiga malam. Hutan ini tidak begitu jauh dari tempat kau pingsan.”

“Hem, aku ingat sekarang. Siluman itu menyerangku dengan kembang.... baunya harum bukan main.... Lalu aku lupa segala.... eh, kau ini siapakah?” kembali ia menatap wajah yang ramah dan tampan itu. Pemuda itu paling banyak berusia sembilan belas tahun, kulit mukanya putih dan alisnya hitam tebal. Muka yang tampan sekali, akan tetapi yang paling menarik adalah sepasang matanya yang tajam menyambar nyambar seperti kilat. Mata yang amat berpengaruh dan mengandung kelembutan.

“Enci Bi Hui, betul betulkah kau tidak kenal lagi kepadaku? Belum juga begitu lama, baru sepuluh tahun. Bagiku kau masih sama seperti dulu, enci, belum berubah. Apakah kau lupa padaku?”

Bi Hui teringat dan ia tertegun sejenak. Kemudian ia berkata perlahan.

“Kau.... kau Beng Han....?” Ia ragu ragu, benarkah pemuda tampan in Beng Han? Memang ada persamaan pada wajah itu, akan tetapi mungkinkah bocah itu sekarang menjadi seorang pemuda begini .... begini ganteng? 

Ketika pemuda ini mengangguk membenarkan ia segera menyambung untuk menutupi perasaan kagumnya dengan teguran penuh curiga.

“Kau mengapa berada di sini? Kau mau apa dan apa hubunganmu dengan Thian hwa kauw?”

Beng Han tersenyum pahit melihat sikap gadis itu.

“Enci Bi Hui, agaknya masih belum lenyap keraguanmu terhadap diriku. Telah kuceritakan tadi bahwa tanpa disengaja aku mendapatkan kau pingsan di tengah jalan, maka kau kubawa ke sini. Adapun aku berada di sini karena enci Bi Hui, lupakah kau akan sumpahku dahulu?

Aku akan mencari pembunuh pembunuh suheng berdua dan akan menyeret mereka di depan kakimu?”

Mendengar ini, Bi Hui tertusuk hatinya, merasa diingatkan bahwa sakit hatinya atas kematian ayah bundanya belum juga terbalas sampai saat itu. Tak terasa lagi dua titik air mata meloncat keluar dan menetes turun ke atas pipinya, ia cepat menundukkan mukanya. Teringatlah ia akan peristiwa dahulu ketika ayah bundanya terbunuh, mereka mendapatkan Beng Han di dalam kamar dengan pedang di tangan. Kemudian teringat pula ia betapa mereka, dia dan para pelayan, menyiksa Beng Han untuk memaksa bocah itu mengakui perbuatannya, yaitu membunuh ayah bundanya. Akhir akhir ini baru Bi Hui insyaf bahwa sungguh hal yang amat tidak mungkin kalau bocah berusia delapan sembilan tahun itu mampu membunuh ayah bundanya yang berilmu tinggi! Ahli ahli sitat yang kepandaiannya sudah tinggi sekalipun belum tentu akan dapat membunuh ayah bundanya. Apalagi Beng Han. Sungguh fitnahan keji ketika itu dilontarkan ke atas kepala Beng Han. Kalau ia teringat ia menjadi malu sendiri dan diam diam ia merasa bersyukur bahwa pada saat ia hendak membunuh Beng Han, muncul Sin tung Lo kai yang mencegahnya. Dan sekarang ia bertemu dengan Beng Han yang sudah menjadi pemuda dewasa yang tampan dan pemuda ini masih melanjutkan sumpahnya dulu, hendak membalas sakit hati ayah bundanya.

“Beng Han, apakah kau tidak.... tidak sakit hati kepadaku....?” tanyanya perlahan, malu untuk mengangkat muka.

“Enci Bi Hui, mengapa kau bertanya demikian? Kita adalah orang sendiri, kalau ada rasa sakit hati, perasaan itu sepenuhnya kutujukan kepada pembunuh pembunuh ayah bundamu!”

“Aku dulu...... pernah.... pernah menyiksamu.” suara Bi Hui makin perlahan, belum berani ia mengangkat mukanya.....

“Ah, betulkah? Aku malah sudah lupa lagi, enci Bi Hu. Kalaupun demikian, tentu karena kau menjadi kalap berhubung dengan kematian ayah bundamu itu. Aku tidak menyalahkan engkau, enci.”

“Akan tetapi.... aku telah.... hampir saja kau kubunuh pada waktu itu.... kalau saja tidak dicegah oleh Sin tung Lo kai....” suara Bi Hui makin lirih, kepalanya makin menunduk.

“Aaah, orang tua yang gagah perkasa. Sin tung Lo kai...... itu. Sayang.... diapun menemui kematiannya dalam keadaan penasaran, seperti ayah bundamu, enci Bi Hui.”

Kini Bi Hui berani mengangkat muka menatap wajah pemuda itu setelah mengutarakan hal yang mengganjal di hatinya.

“Kau sudah tahu   ?” Beng Han mengangguk. “Di samping sumpahku dulu, kini kutambah lagl janji untuk mencari pembunuh Sin tung Lo kai dan kubalaskan sakit hatinya.” Kata kata ini diucapkan oleh Beng Han dengan semangat bernyala nyala. Melihat itu diam diam Bi Hui memuji kesetiakawanan pemuda ini, akan tetapi juga geli hatinya. Pemuda ini bisa apakah? Dia sendiri yang memiliki kepandaian tinggi, bahkan sudah digembleng lagi oleh dua arang guru yang sakti, masih belum berhasil mencari musuh besarnya. Dan orang jahat di dunia ini begini banyak dan lihai. Pemuda ini bisa apa? Akan terapi tentu saja dia tidak mau menyatakan perasaan hatinya itu.

“Beng Han, benar benar kau mau memaafkan semua perbuatanku yang menyakiti hatimu dulu?”

“Tidak ada yang harus dimaafkan enci Bi Hui, karena selamanya aku tak pernah sakit hati kepadamu.”

“Kau harus memaafkan, Beng Han. Kalau tidak, selamanya aku akan merasa berdosa kepadamu dan tak enak berhadapan denganmu.”

Beng Han menghela napas panjang. “Baiklah. Kalau sekiranya ada kesalahan di antara kita tentu saja aku suka memaafkanmu lahir batin, enci Bi Hui. Aku sudah hutang budi banyak sekali kepada ayah bundamu, terutama sekali aku berhutang budi yang takkan mampu kubalas kepada suhu, kong kongmu. Mengapa engkau begitu sungkan sungkan antara orang sendiri?”

Diam diam Bi Hui kagum juga. Benar benar Beng Han sekarang bukan Beng Han bocah yang dulu itu. Akan tetapi, tetap saja ia menyangsikan apakah pemuda ini akan mampu membalas sakit hati yang sampai sekarang belum terlaksana itu. “Terima kasih Beng Han. Sekarang aku berani memandangmu dan kalau kau benar hendak membalaskan sakit hati keluargaku, mari kita bekerja sama. Terus terang saja sampai sekarang aku belum menemukan jejak pembunuh pembunuh itu. Kau bagaimana?”

“Agaknya tak lama lagi kita akan dapat berhadapan muka dengan mereka, enci.”

“Kaumaksudkan ??”

Beng Han menyambut tatapan sinar mata Bi Hui dengan berani. Kemudian ia mengangguk. “Tak salah, seperti juga pengakuanku dahulu, pembunuh ayah bundamu bukan lain adalah Liem Kong Hwat dan seorang wanita siluman.”

“Cia Kui Lian ??”

”Mungkin demikian namanya.”

“Dan kau sudah ketahui tempat tinggal mereka?” “Sedang kuselidiki, enci. Sekarang lebih baik kita

mencari sarang Thian hwa kauw lebh dulu. Perkumpulan ini terlalu jahat ”

“Kau tahu aku dijatuhkan oleh Thian hwa kauw….?” Bi Hui memotong cepat. Gadis ini memang cerdik dan ia ingin memancing, karena ada dua kemungkinan ia terjatuh kedalam tangan Beng Han. Yaitu ditolong pemuda ini dari tangan orang Thian hwa kauw atau memang kebetulan saja ia ditinggalkan oleh mereka. Kalau ditinggalkan, agak tak mungkin.

“Aku hanya tahu kau ditinggalkan di pinggir jalan dalam keadaan pingsan dan aku melihat beberapa orang pemuda dan gadis yang membawa kembang teratai. Sudah lama aku mendengar tentang mereka, itu adalah orang orang Thian hwa kauw. Enci Bi Hui, agaknya menang perjalanan ini menuju ke satu jurusan dan niat kita cocok benar. Tidak saja kita sama sama hendak mencari musuh musuh besar kita, juga kebetulan sekali kau hendak membasmi Thian hwa kauw, padahal akupun sedang mencari mereka untuk.... kalau mungkin dan kalau tenagaku mencukupi, menyerbu sarang mereka.”

Bi Hui tersenyum lemah, ia dapat menduga bahwa tentu Beng Han sudah mempelajari beberapa jurus ilmu silat, mungkin agak lihai, akan tetapi pemuda ini tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan Thian hwa kauw. Betapapun juga, baik juga mempunyai kawan yang sehaluan.

“Thian hwa kauw sudah terlalu tersohor, siapakah yang takkan memusuhinya? Para tokoh terkemuka sekarang juga sedang bersiap siap menyerbu ke sana?” Tiba tiba Bi Hui mengerutkan keningnya.

“Kau lapar, enci Bi Hui? Kebetulan aku membawa roti kering.” Beng Han menurunkan buntalan dari punggungnya dan dikeluarkan tiga potong roti kering dan seguci arak ringan.

“Bagaimana kau tahu aku lapar?” Bi Hui bertanya, mukanya merah karena memang baru saja tadi perutnya berbunyi dan terasa perih sekali. Biarpun ia sudah menekan perut dengan hawa lweekangnya, tetap saja berkeruyuk sedikit. Mungkinkah Beng Han dapat mendengar suara itu?

Beng Han tersenyum. “Bagaimana tidak tahu, enci? Tiga hari tiga malam bukanlah waktu pendek untuk berpuasa dan selama itu kau tidak dapat makan apa apa, hanya sedikit air atau arak yang kuteteskan ke dalam mulutmu.” Kata kata Beng Han demikian wajar, sederhana dan jujur sehingga Bi Hui tidak menderita terlalu malu. Diam diam ia berterima kasih sekali dan terlintas bayangan dalam otaknya betapa selama itu siang malam ia dijaga dan bahkan dirawat oleh pemuda ini. Mukanya menjadi merah sekali, akan tetapi tanpa bicara apa apa lagi lalu ia menerima roti kering dan memakannya. Melihat nona itu makan dengan sungkan sungkan dan nampak malu malu, Beng Han lalu ikut makan.

“Beng Han, kau baik sekali. Terima kasih,” kata Bi Hui setelah menghabiskan dua potong roti dan minum dua cawan arak ringan.

“Aah, enci Bi Hui, baik apanya sih? Biasa saja antara kita, mana perlu sungkan sungkan? Lagi pula, rotinya keras dan araknya kurang manis.”

“Bukan itu, Beng Han. Aku berterima kasih bukan untuk roti dan arak, melainkan untuk pertolonganmu, kalau kau tidak menolongku, menjagaku siang malam sampai tiga hari tiga malam, entah bagaimana jadinya dengan aku, pingsan selama itu di tengah jalan.”

“Tak usah berterima kasih, enci. Sudah kewajibanku untuk membantumu. Aku sejak dulu merasa amat kasihan kalau teringat kepadamu, enci. Kau benar benar seorang yang selalu dirundung kemalangan. Benar benar amat buruk nasibmu dan aku doakan semoga selanjutnya nasibmu akan berubah. Apakah.... apakah aku belum mempunyai ci hu (kakak ipar ), enci?”

Bi Hui tiba tiba menundukkan mukanya, menggeleng geleng kepalanya dan.... menangis terisak isak. Kata kata Beng Han itu benar benar membuat ia bersedih sekali dan tak tertahankan lagi ia menangis.

“Maaf, enci Bi Hui   aku tidak bermaksud menyinggung

hatimu....” kata Beng Han penuh sesal. Akhirnya Bi Hui dapat mengangkat mukanya yang menjadi kemerahan dan ia menyusut air mata terakhir. Kemudian rona ini tersenyum!

“Tidak, Beng Han. Aku hanya lupa diri dan teringat kepada ayah bundaku. Aku.... aku masih seperti dulu, aku belum menikah, selama ini aku melanjutkan pelajaran ilmu silatku dari dua orang guru baru yaitu suhu Bu eng Lo kai dan suthai Soat Li Suthai. Baru beberapa pekan saja aku berpisah dengan mereka.”

“Aduh, kalau begitu kau tentu lihai sekali, enci! Biarpun belum begitu luas pengalamanku, namun nama dua orang locianpwe yang sakti itu sudah pernah kudengar. Kali ini musuh musuh besar kita tentu akan mampus kalau berhadapan dengan kau.”

Kegembiraan Beng Han menggembirakan pula hati Bi Hui, namun ia segera merendah. “Kepandaianku masih belum seberapa. Dan kau sendiri bagaimanakah? Siapa gurumu dan selama ini kau belajar di mana saja?”

“Enci Bi Hui, aku satu kali menjadi murid suhu Thian te Kiam ong Song Bun Sam, mana bisa menjadi murid orang lain? Selama ini aku hanya belajar sendiri memperdalam pelajaran yang kuterima dari suhu,” kata Beng Han, setengah menyembunyikan kepandaiannya, akan tetapi sama sekali tidak membohong, karena bukankah memang selama ini ia mempelajari ilmu silat warisan dan Thian te Kiam ong gurunya?

Diam diam Bi Hui menganggap bahwa kepandaian Beng Han takkan dapat melebihi tingkatnya dulu sebelum ia belajar pada dua orang gurunya yang baru. Kemudian matanya yang tajam melihat gagang pedang menonjol di balik baju Beng Han yang longgar, maka tanyanya setengah bergurau,

“Ah, pedangmu tentu bagus, ya?” Tiba tiba sikap Beng Han berubah dan wajahnya nampak sungguh sungguh ketika ia berkata,

“Enci Bi Hui, apakah kau sekarang sudah betul betul percaya kepadaku, tidak ragu ragu dan tidak curiga lagi?”

Bi Hui menggelengkan kepalanya. “Tidak, dulu aku kurang pikir dan bodoh, Beng Han. Mengapa kau mengulangi hal ini?”

“Karena aku akan memperlihatkan sesuatu yang mungkin akan mengejutkan dan mengherankan hati itu, enci Bi Hui. Lihatlah apa kau mengenal ini?” Cepat ia mengambil pedang Kim kong kiam dari balik bajunya dan memperlihatkan pedang itu kepada Bi Hui.

“Kim kong kiam...” Bi Hui memandang ke arah pedang itu dengan mata terbelalak lebar, tangannya diulur hendak merampasnya.

Beng Han menghela napas panjang, memberikan pedang itu ke tangan Bi Hui hingga gadis ini tak perlu merampasnya.

“Beng Han, dari mana kau mendapatkan ini? Dulu pedang ini dipalsu orang, yang aselinya hilang dan kini....

tahu tahu berada di tanganmu.”

Beng Han lagi lagi tersenyum pahit. “Enci Bi Hui, ingatlah, kau tadi menyatakan sudah percaya penuh kepadaku. Dan pula ketika peristiwa itu terjadi, usiaku baru delapan tahun.”

Wajah Bi Hui menjadi kemerahan, ketegangan di mukanya mengendur dan ia berkata, suaranya lemah perlahan, “Tidak, Beng Han, aku akan mengusir sekuat tenaga segala perasaan curiga terhadapmu, aku tahu kau tak berdosa, hanya aku bernasib malang. Akan tetapi sungguh sungguh aku ingin sekali tahu bagaimana pedang yang disangka hilang itu berada di tanganmu?”

“Enci, kau baik sekali. Kukira tadinya kau akan marah marah dan menuduhku mencuri pedang. Terima kasih atas kepercayaanmu. Ketahuilah bahwa Kim kong kiam palsu itu adalah buatan mendiang suhu sendiri.”

Terbelalak mata Bi Hui yang jeli itu, terbelalak kaget dan heran.

“Apa kau bilang....? Kong kong sendiri yang memalsukan Kim kong kiam? Mengapa   dan bagaimana ?”

“Enci, kau tentu masih ingat ketika kong kongku Koai Thian Cu datang berkunjung membawa aku dan menyerahkan aku kepada suhu untuk diajar ilmu silat?”

“Aku masih ingat, bukankah kong kongmu tukang gwamia itu?”

“Itulah asal mulanya. Kong kong telah meramalkan bahwa Kim kong kiam akan mendatangkan malapetaka pada keluarga Song. Setelah kong kong pergi, suhu selalu merasa gelisah karena agaknya suhu percaya betul akan kepandaian kong kong meramal. Maka diam diam suhu lalu membuat Kim kong kiam palsu untuk diwariskan kepada anak cucunya. Tentu saja hal ini beliau lakukan sebagai cara menolak ramalan itu atau sebagai tumbal. Adapun pedang aselinya yang dikhawatirkan akan mendatangkan malapetaka itu, oleh suhu disembunyikan di Kim hud tah, semua ini suhu ceritakan kepadaku, dengan pesan agar supaya kelak aku mengambil Kim kong kiam dan sedapat mungkin berusaha jangan sampai pedang itu menimbulkan malapetaka. Demikianlah, enci, setelah aku meninggalkan Tit le, aku pergi mencari pedang itu di Kim hud tah dan dengan pedang itu aku berlatih ilmu silat yang pernah kupelajari dari suhu.”

Bi Hui mengangguk angguk. “Kong kong agaknya percaya penuh kepadamu daripada anak cucunya sendiri.”

Merah muka Beng Han Memang agaknya demikianlah, akan tetapi ia cerdik dan dapat mencari alasan yang kiranya masuk di akal. “Agaknya itu adalah pengaruh dan ramalan kong kong Koai Thian Cu, enci. Karena kong kong meramalkan bahwa pedang Kim kong kiam akan mendatangkan malapetaka pada keluarga Song, tentu saja suhu tidak berani meninggalkan pedang itu kepada anak cucunya, sebaliknya menyerahkan kepadaku. Akan tetapi seperti kita semua tahu malapetaka itu kiranya datang juga menimpa keluargamu, enci Bi Hui. Oleh karena itu, tak perlu menyingkirkan lagi pedang ini dan boleh kau ambil kembali, karena pedang ini memang milikmu.”

“Ah, tidak! Kau yang menerima dari kong kong, kau simpan sajalah,” kata Bi Hui cepat cepat sambil menyerahkan kembali pedang itu.

“Akan tetapi itu hakmu, enci.”

Bi Hui tetap menggelengkan kepala dan memaksa Beng Han menerima pedang itu. “Apa kaukira aku tadi menyatakan kepercayaanku kepadamu hanya pura pura belaka? Kau lebih patut menerima warisan pedang ini, pula.... dengan adanya Kim kong kiam, kau dapat menjaga diri lebih baik.” Di dalam hatinya Bi Hui berkata bahwa dia sendiri memiliki kepandaian tinggi maka tak perlu mengandalkan pedang pusaka, sebaliknya orang dengan kepandaian belum tinggi seperti Beng Han memang perlu bantuan pedang tajam dan ampuh seperti Kim kong kiam

Beng Han tidak membantah dan menyimpan kembali Kim kong kiam, namun wajahnya memperlihatkan 

kegembiraan luar biasa. Ini tidak aneh karena ia sekarang yakin bahwa gadis ini betul betul sudah percaya kepadanya dan tidak mempunyai pikiran ragu ragu atau curiga lagi.

“Enci, marilah kita menyelidiki sarang Thian hwa kauw, siapa tahu dan tempat itu kita akan dibawa kepada musuh musuh besar kita.”

“Baiklah, aku sudah hampir putus harapan mencari jejak musuh musuh besarku, sekarang bertemu dengan kau, timbul kembali harapanku.” Sambil berkata demikian, sepasang mata gadis itu menatap wajah Beng Hau dengan penuh kepercayaan dan harapan sehingga muka pemuda itu menjadi merah.

Berangkat dua orang muda itu untuk mencari musuh besar mereka, yaitu pembunuh pembunuh Song Tek Hong dan Ong Siang Cu ayah bunda Bi Hui. Di sepanjang jalan Bi Hui merasa bingung dengan penjelasan dan kepastian Beng Han bahwa pembunuh ayah bundanya adalah Liem Kong Hwat dan Cia Kui Lian. Rasa rasanya tidak mungkin Liem Kong Hwat melakukan hal itu karena bukankah pemuda itu keponakan ayah bundanya? Akan tetapi kalau ia teringat kepada Kui Lian, wanita yang aneh dan berhawa siluman itu, kalau ia teringat akan apa yang terjadi di taman bunga rumah bibinya, di mana Liem Kong Hwat mengadakan pertemuan hina dengan Cia Kui Lian, keraguannya lenyap dan ia mulai percaya kepada Beng Han. Kemarahannya meluap dan ia ingin lekas lekas bertemu muka dengan Cia Kui Lian dan Liem Kong Hwat, bekas kekasihnya yang kini menjadi musuh besarnya itu. Kalau ternyata betul Liem Kong Hwat dan Cia Kui Lian pembunuh ayah bundanya, dia akan memenggal kepalanya dan membelah dada mereka itu dengan tangannya sendiri.

0odwo0 Siauw Yang dan Pun Hui tinggal dalam hotel terbaik di kota Kwan leng si. Menurut rencana perundingan para orang gagah, tiga hari lagi baru mereka berangkat mengantar Sin siang to Bhok Coan menuju ke sarang Thian hwa kauw. Masih ada tiga hari lagi dan terpaksa suami isteri ini menanti di dalam hotel. Juga Thio Leng Li tinggal di botel itu, lain kamar. Setiap hari kedua orang nyonya itu bercakap cakap dan Siauw Yang merasa amat kasihan kepada Leng Li yang tidak saja kematian ayahnya, akan tetapi juga kematian suaminya dan dua orang anaknya entah ke mana perginya! Heran, di dunia ini banyak sekali orang menderita, dan melihat orang lain yang lebih hebat penderitaannya, merupakan obat penawar baik sekali untuk hati sendiri yang menderita. Oleh karena itu, Siauw Yang yang biasanya suka termenung dan bersedih memikirkan putera tunggalnya, kini malah menjadi tukang menghibur yang setiap hari berusaha menggembirakan hati Leng Li agar nyonya ini tidak terlalu tertekan hatinya.

Pada malam hari ke dua, menjelang tengah hari, ketika Siauw Yang dan suaminya sudah hampir pulas, tiba tiba mereka mendengar suara gerakan kaki yang ringan di atas genteng kamar mereka. Siauw Yang menyentuh lengan suaminya memberi isyarat dan cepat ia menyambar pedangnya. Akan tetapi pada saat itu, dari atas genteng terdengar suara penahan, “Ayah, ibu, Kong Hwat di sini !”

Siauw Yang dan Pun Hui menjadi bengong dan untuk sesaat tidak dapat percaya akan pendengaran sendiri.

“Apakah kau mendengar apa yang kudengar?” tanya Siauw Yang berbisik. Suaminya mengangguk.

“Ayah, ibu, anakmu menanti di sini. Harap keluar.” Kini tak salah lagi itulah suara Kong Hwat! Tangan Siauw Yang yang memegang lengan suaminya menggigil. Akan tetapi segera ia menarik suaminya dan keduanya cepat memakai sepatu dan tidak lupa menggabungkan pedang di pinggang. Setelah itu keduanya melompat keluar jendela, Siauw Yang di depan karena kepandaian isteri ini lebih tinggi daripada suaminya. Betapapun juga, yang di dengar tadi hanya suara Kong Hwat, belum keliatan orangnya dan sebagai orang orang yang sudah banyak pengalaman mereka tidak berani main sembrono. Siapa tahu kalau kalau suara itu hanya pancingan musuh yang berniat buruk.

Ketika mereka sudah keluar hotel dan melompat ke atas genteng, di sana di atas genteng dan di bawah cahaya bulan, berdiri seorang pemuda tinggi kurus. Siauw Yang dan Pun Hui memandang dengan hati berdebar sambil melompat maju menghampiri.

“Kong Hwat....!” seru Pun Hui, suaranya keren mengandung teguran.

“Hwat ji...!” seru Siauw Yang, suaranya tercampur isak tertahan dari keharuan hati.

“Ayah, ibu, mari kita turun agar jangan membikin kaget tamu tamu lain di hotel ini.” Setelah berkata demikan, tanpa menanti jawaban ayah bundanya, Kong Hwat melompat dan berlari menjauhi tempat itu.

Sikap ini saja sudah terasa oleh Siauw Yang dan suaminya bahwa putera mereka itu agaknya sudah biasa memberi perintah yang tak harus di bantahnya. Kemudian mereka mendapat kenyataan lain, yaitu bahwa ilmu ginkang dan lari cepat darii pemuda putera tunggal mereka itu telah mendapat kemajuan yang hebat. Dengan girang Siauw Yang lalu mengejar. Hati ibu ini menduga baik, 

disangkanya bahwa selama ini puteranya tentu telah belajar ilmu silat lagi kepada orang pandai. Juga Pun Hui melompat dan mengejar.

Setelah Siauw Yang dan Pun Hai melompat turun dan berada di tempat sunyi, Kong Hwat lalu menjatuhkan diri berlutut di depan mereka.

“Ayah.... Ibu....” kata pemuda itu, suaranya agak gemetar.

“Kong Hwat, selama ini kau minggat ke mana saja? Anak tidak berbakti, kau sudah membikin susah bukan main kepada orang tuamu!” kata Pun Hui dengan nada suara marah.

“Hwat ji, kenapa begini kurus? Apakah kau banyak menderita?” tanya Siauw Yang. “Apa saja yang kau alami selama ini?”

“Tentu panjang untuk diceritakan di sini, ayah dan ibu. Marilah, anak persilahkan ayah dan ibu ikut ke tempat tinggalku, di sana nanti kita bercakap cakap.” Setelah berkata demikian, kembali tanpa menanti jawaban atau putusan ayah bundanya, Kong Hwat bangun berdiri dan lari cepat ke arah utara.

Siauw Yang bertukar pandang dengan suami nya akan tetapi mereka tidak mempunyai banyak waktu untuk berheran, lalu cepat mengikuti Kong Hwat. Agaknya pemuda ini masih ingat bahwa kepandaian ayahnya tidak begitu tinggi maka ia tidak mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat. Kalau ibunya tentu saja tidak akan kalah dalam hal ilmu berlari cepat olehnya, karena ibunya mewarisi ilmu ginkang yang hebat dari nenek nya, yaitu Can Sian Hwa isteri Thian te Kim ong. Mereka bertiga berlari cepat tanpa bercakap cakap. Kong Hwat di depan disamping ibunya. Pun Hui di belakang. Berkali kali Siauw Yang menengok dan mengamat amati wajah puteranya dan memancing mancing bicara. Akan tetapi Kong Hwat seperti gagu, mukanya yang kurus memandang lurus ke depan dan seakan akan seluruh perhatiannya dicurahkan kepada kedua kakinya yang berlari cepat.

Ternyata kemudian bahwa mereka berlari cepat sampai setengah malam lamanya. Setelah pagi dan sinar bulan lenyap dikalahkan oleh cahaya matahari yang kemerahan, mereka telah tiba di kaki sebuah gunung yang tidak begitu besar namun penuh dengan hutan. Tanpa berkata kata Kong Hwat lari terus membawa dua orang tuanya ke dalam sebuah hutan yang penuh dengan pohon pohon besar sekali, tiba tiba dari dalam pohon itu terdengar suara harimau mengaum saling sahut, seakan akan hutan ini penuh dengan harimau harimau yang ganas.

Berdiri bulu tengkuk Siauw Yang ketika ia mendengar suara harimau harimau ini. Teringat ia akan penuturan Sin siang to Bhok Coan tentang sebuah hutan yang bernama Koai houw lim (Hutan Macan Siluman) yang berada di kaki Gunung Siu lan. Menurut Sin siang to Bhok Coan, tempat itulah sarang perkumpulan Thian hwa kauw, ke mana Bhok Coan diperintahkan menghadap kauwcu dari perkumpulan itu! Jangan  jangan Kong Hwat  puteranya itu  telah ??

Siauw Yang merasa ngeri dan tiba tiba ia memegang lengan puteranya itu, memaksanya berhenti untuk ditanya.

Akan tetapi, berbareng dengan berhentinya Kong Hwat, dari tempat tempat yang tidak diketahui jelas karena mereka itu seperti tiba tiba saja muncul, tahu tahu di kanan kiri jalan telah berdiri puluhan orang pemuda pemudi yang berpakaian rapih dan indah, semua cantik cantik dan tampan tampan, berdiri berbaris di kanan kiri jalan. Pakaian mereka dari sutera putih bersih amat tipis sehingga bentuk tubuh mereka membayang nyata, bentuk bentuk tubuh orang orang muda yang indah. Di tangan mereka nampak bunga bunga teratai beraneka warna dan begitu mereka muncul, tercium bau harum semerbak yang aneh, sedap dan wangi, namun merangsang sehingga Siauw Yang hampir hampir berbangakis. Kemudian mereka itu menggerakkan tangan kanan dan berhamburanlah daun daun bunga beraneka warna yang harum, menghujani Kong Hwat dan dua orang tuanya. Tangan kiri mereka tetap memegang kembang kembang teratai.

-ooo0dw0ooo-

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar