Jilid XXIX
“BUKTINYA?” Sian Hwa melepaskan pelukannya, memegang kedua pundak gadis itu dan menatap wajahnya dengan airmata masih berlinangan di atas kedua pipinya. “Buktinya tanda merah pada betis kakimu, dan persamaan wajahmu dengan Puteri Luilee, dan pedang ini karena
pedang inipun dicuri oleh Lam hai Lo mo pada saat ia
menculikmu.” Sian Hwa berhenti sebentar untuk mengambil napas, karena ia bicara cepat cepat untuk segera memberi penjelasan kepada gadis itu. “Dan pula orang tuamu meninggalkan surat pesanan kepada kami.”
“Mana surat itu?”
“Dibawa oleh suamiku yang kini sedang menuju ke Pulau Sam liong to, memenuhi tantangan gurumu yang jahat itu.” Kata kata terakhir dari Sian Hwa ini mengandung kekhawatiran.
“Di mana adanya pangeran dan puteri yang kauanggap sebagai orang tuaku itu? Aku hendak mencari mereka dan membuktikan sendiri.”
“Mereka telah tewas terbunuh ”
“Terbunuh ?! Siapa yang membunuh mereka?”
“Siapa lagi yang membunuh kalau bukan Lam hai Lo mo si jahat itu, Gwat Eng, Lam hai Lo mo membunuh kedua orang tuamu dan kemudian menculikmu sambil mencuri pedang. Ayahmu masih sempat menulis surat peninggalan untuk kami.”
Wajah Siang Cu menjadi pucat dan kedua tangannya menggigil. Gurunya yang memelihara dan mendidiknya semenjak kecil, yang kelihatan begitu penuh kasih sayang terhadapnya, benar benarkah gurunya telah melakukan perbuatan yang demikian kejinya terhadap orang tuanya? Akan tetapi keraguan ini dilenyapkan oleh ingatan betapa gurunya memang amat kejam dalam menghadapi orang orang Go bi pai dan ketika menyerbu rumah Thian te Kiam ong di Tit le. Namun, ia masih sangsi.... dan berkatalah ia tanpa disadari,
“Mungkinkah suhu melakukan hal itu ?”
“Kau tanyalah saja kepada si jahat Lam hai Lo mo, pasti dia lebih tahu akan hal itu,” kata Sian Hwa yang kembali teringat akan keadaan suaminya. “Siauw Yang, mari kita segera menyusul ayahmu, siapa tahu kalau kalau Lam hai Lo mo yang jahat itu telah mengatur perangkap. Aku cukup kenal kecurangannya.”
“Baik, ibu, memang tadinya akupun hendak ikut!” “Gwat Eng, marilah kau pergi bersama kami, di Pulau
Sam liong to kau akan dapat mencari bukti dari Lam hai Lo mo sendiri tentang penuturanku tadi.” Siang Cu memungut pedangnya dan mengangguk ia hanya dapat mengeluarkan kata kata perlahan yang diulang ulangnya kembali, “Kalau benar benar dia membunuh kedua orang tuaku….”
Biarpun kata kata yang diulang ulang ini tidak dilanjutkan, namun Siauw Yang dan Sian Hwa dapat menangkap ancaman maut yang terbayang pada mata gadis baju merah yang gagah itu dan diam diam mereka menaruh hati kasihan kepada gadis yang bernasib malang itu.
Siauw Yang tadi telah melihat betapa Pun Hui ditolong oleh Leng Li dan dibawa lari oleh pengantin itu, maka dapat dibayangkan bahwa ia amat gelisah memikirkan pemuda itu,
“Ibu, apakah ibu melihat di mana adanya Liem suheng?” Ia pura pura bertanya kepada ibunya.
Semenjak tadi, Sian Hwa juga memperhatikan Pun Hui karena ia tahu bahwa pemuda itu tidak pandai silat.
“Tadi kulihat dia dibawa pergi oleh pengantin wanita yang agaknya menolongnya dari serangan orang orang Pangeran Ciong. Entah ke mana dibawanya dan akupun tidak tahu mengapa pengantin wanita itu bahkan membantu kita.”
“Dia adalah seorang sahabat, ibu. Dia puteri dari Sin tung Lo kai Thio Houw.”
“Hm, tadi aku melihat pemuda itu dibawa lari dan dibela mati matian oleh calon isteri Ciong Pak Sui. Tentu ia akan selamat, tak perlu dikhawatirkan,” kata Siang Cu yang juga melihat peristiwa itu.
Merah wajah Siauw Yang. Memang dia juga dapat menduga bahwa Leng Li tentu akan menolong Pun Hui dan tidak bermaksud buruk. Dia sendiri tak mengerti mengapa tiba tiba Leng Li memberontak dan agaknya tidak suka menjadi isteri Pangeran Ciong, dan ia cukup tahu akan kegagahan nona ketua pengemis itu. Akan tetapi kalau ia teringat betapa dahulu Leng Li oleh ayahnya hendak dijodohkan dengan Pun Hui dan oleh karena ditolak oleh Pun Hui lalu menjadi malu dan melarikan diri, hatinya tidak enak sekali. Tentu akan terjadi sesuatu antara mereka. Akan tetapi apakah dayanya? Ia harus pergi membantu ayahnya dan tentang Pun Hui, biarpun ia tak dapat melenyapkan kekhawatiran, untuk sementara waktu harus ia lupakan dulu.
Maka berangkatlah tiga orang wanita gagah itu mendayung sebuah perahu yang mereka sewa dari seorang nelayan, menuju ke Pulau Sam liong to. Siang Cu mengetahui jurusan mana yang paling mudah dan dekat untuk pergi ke Pulau Sam liong to itu, jalan yang jauh lebih dekat dibandingkan dengan jalan yang biasa diambil oleh Siauw Yang dahulu.
“Ha, ha, ha, Song Bun Sam. Kali ini kau tentu akan mampus bersama anakmu. Ha, ha, ha! Dan tak lama lagi isteri dan puterimu juga akan mampus!” Lam hai Lo mo berkali kali tertawa sambil menyindir nyindir ketika keadaan Bun Sam makin terdesak hebat.
Namun Bun Sam tidak patah semangat dan sedikitpun tidak pernah merasa gentar, ia pikir bahwa kalau ia selalu menangkis dan mengelak, maka ia kekurangan kesempatan untuk merobohkan lawannya yang sembilan orang banyaknya dan rata rata memiliki kepandaian tinggi itu. Aku harus merobohkan mereka seorang demi seorang, pikirnya. Dan untuk mencapai maksud ini, tiada lain jalan kecuali memberi umpan dan membiarkan dirinya terpukul! Ketika ia melihat tongkat merah dari Ang tung hud menyambar ke arah perutnya, ia miringkan tubuh ke kanan sambil merendahkan badan, akibatnya tongkat itu menghantam pangkal lengan kanannya yang memegang pedang karena serangan Ang tung hud itu datangnya dari belakang. Sambil mengerahkan lweekang ke arah pangkal lengan yang menerima pukulan tongkat, Bun Sam mengayun tangan kiri dengan pukulan Thai lek Kiam kong jiu dipukulkan ke arah dada Ang tung hud yang sudah kegirangan melihat serangan tongkatnya akan mengenai sasaran.
“Buk!” tubuh Bun Sam terpental sampai tiga kaki jauhnya ketika tongkat itu menghantam pangkal lengannya, akan tetapi ia dapat mempertahankan kedudukan kakinya sehingga dapat memutar pedang menangkis datangnya serangan susulan bertubi tubi dari pengeroyok lain. Akan tetapi akibat pukulannya Thai lek Kim kong jiu tadi bukan main hebatnya. Ang tung hud yang terserang pukulan ini dengan tepat sekali di dadanya, merasa terdorong oleh tenaga yang hebat dan tubuhnya terjengkang. Darah merah tersembur keluar dan mulutnya dan kakek hwesio dari Tibet ini pingsan dengan wajah pucat sekali. Ia roboh pingsan untuk selamanya karena tak lama kemudian nyawanya melayang meninggalkan raga yang telah terluka hebat di bagian dalam itu. Jantungnya pecah dan tulang tulang iganya patah patah. Demikianlah hebatnya ilmu Pukulan Thai lek Kim kong jiu peninggalan Kim Kong Taisu yang sudah dilatih dengan amat hebatnya oleh Bun Sam sehingga telah mencapai tingkat sempurna.
Lam hai Lo mo dan kawan kawannya menjadi marah sekali. Mereka mengurung makin rapat dan Lam hai Lo mo berteriak teriak mendesak kawan kawannya untuk segera merobohkan pendekar pedang itu. Melihat hasil daripada akalnya yang bukan tidak berbahaya bagi keselamatan diri sendiri, Bun Sam berbesar hati. Pukulan tongkat tadi dapat ditolak kembali oleh tenaga lweekangnya dan ia hanya merasa agak panas pada pangkal lengannya. Akan tetapi hal ini tidak mengurangi ketangguhan ilmu pedangnya. Untuk kedua kalinya ia memancing dan ketika ia melihat datangnya pukulan tangan kosong dan Sin kun sian orang ketiga dan See san Ngo sian, pukulan yang melayang menuju ke arah dadanya, ia tidak mengelak mundur, bahkan melangkah maju dan menerima pukulan itu dengan dadanya! Akan tetapi berbareng dengan itu, pedangnya melakukan gerakan menusuk ke depan.
“Blekk!” Dada Bun Sam terpukul oleh kepalan tangan Sin kun sian. Namanya saja sudah Sin kun sian (Dewa Kepalan Sakti), maka dapat dibayangkan kehebatan pukulan orang ke tiga dan See san Ngo sian ini yang memukul sambil mengerahkan tenaga Houw mo kang (Tenaga Siluman Harimau). Bun Sam terjengkang dan harus mempergunakan ilmu Lompat Sin hong noan sin (Burung Hong Sakti Membalikkan Tubuh) dengan berpoksai (membuat salto) ke belakang sampai tiga kali memutar pedang menangkis semua serangan, sehingga ia tidak sampai jatuh. Akan tetapi, yang hebat adalah keadaan Sin kun Sian, karena ketika Bun Sam menerima pukulannya, pendekar pedang ini menusuk ke depan dan tanpa dapat dielakkan lagi, dada Sin kun sian tertembus oleh Oei giok kiam sehingga ia roboh dengan dada mengucurkan darah dan tewas tak lama kemudian!
Bun Sam makin besar hati sungguhpun pukulan dari Sin kun sian tadi biarpun dapat ditolak oleh tenaga khikangnya dan tidak mendatangkan luka berat di dalam dada, namun cukup membuat bajunya di bagian dada hancur dan kulit dadanya menjadi matang biru!
Pada saat itu, Lam hai Lo mo yang menjadi marah sekali lalu melakukan serangan hebat dengan tongkatnya, menotok jalan darah maut di ulu hati Bun Sam, Raja pedang ini cepat menangkis dengan pedangnya dan begitu pedang itu terbentur dengan tongkat bambu, pedang itu cepat meluncur ke kanan dengan gerakan yang amat tak terduga duga dan tahu tahu telah tertancap di perut Sin to sian orang ke lima dari See san Ngo sian. Orang ini menjerit dan roboh mandi darah, dan pada saat itu Bun Sam juga mengeluh dan terhuyung huyung ke belakang. Ternyata bahwa ketika tadi tongkat bambunya kena ditangkis dan selagi Bun Sam menyerang Sin to sian, dengan gemas Lam hai Lo mo melakukan pukulan Sam hiat ci hoat ke arah jidat Bun Sam dengan tangan kirinya! Mendengar suara hawa pukulan maut yang amat berbahaya ini dan mencium bau jari tangan yang sudah direndam dengan racun, Bun Sam cepat miringkan kepalanya Akan tetapi oleh karena pedangnya masih menancap di perut Sin to sian sehingga gerakannya terhalang dan kedudukan tubuhnya tidak sentausa. Biarpun Bun Sam capai menghindarkan mukanya dan pada pukulan maut itu, namun ia tidak dapat mencegah pundaknya terkena pukulan tiga jari berdarah dan Lam hai Lo mo!
Tubuh Bun Sam terputar putar ketika ia terhuyung huyung ke belakang. Baiknya ia tadi telah mengerahkan lweekangnya ke arah pundak yang terpukul sehingga biarpun ia menderita luka berat, namun ia masih sadar dan di dalam keadaan terputar putar itu ia masih sempat pula memutar pedangnya melindungi tubuhnya!
Matinya Ang tung hud, Sin kun sian, dan Sin to sian secara berturut turut ini membuat Lam hai Lo mo dan yang lain lain marah sekali. Diam diam Lam hai Lo mo harus mengakui bahwa Bun Sam kini benar benar telah hebat sekali ilmu pedangnya. Akan tetapi ia juga girang melihat pukulannya Sam hiat ci hoat berhasil melukai pundak lawan yang tangguh itu. Ia percaya bahwa biarpun pukulannya itu tidak menewaskan Thian te Kiam ong, namun tentu akan banyak mengurangi kelihaian gerakan pedangnya.
Dugaannya memang tepat sekali. Bun Sam merasa betapa pundak dan pangkal lengannya sakit bukan main sehingga gerakan tubuhnya tidak lincah lagi. Ia terdesak hebat dan agaknya sebentar lagi ia takkan dapat mempertahankan diri.
“Hayo robohkan dia! Balas sakit bati kawan kawan kita yang tewas!” Seru Lam hai Lo mo berkali kali untuk memanaskan hati kawannya. Para pengeroyok tinggal enam orang lagi, namun keadaan mereka masih amat kuat.
Tiba tiba Eng Kiat yang tidak ikut bertempur dan berdiri menonton di pinggir, berseru,
“Celaka, Siauw Yang dan Siang Cu datang bersama nyonya Song!”
Mendengar ini, Bun Sam makin bersemangat, akan tetapi Lam hai Lo mo menjadi pucat sekali. Juga ia merasa heran bagaimana muridnya dapat berperahu dengan musuh musuhnya.
“Tung hai Sian jin, kau dan puteramu halangilah mereka mendarat. Gulingkan perahu!” seru Lam hai Lo mo.
Memang di antara semua orang yang berada di situ, agaknya yang dapat melakukan tugas ini hanyalah Tung hai Sian jin dan puteranya. Mereka berdua memiliki kepandaian di dalam air yang luar biasa. Tung hai Sian jin memang telah merasa penasaran menghadapi Bun Sam yang belum juga dapat dirobohkan, kini melihat datangnya Siauw Yang dan ibunya serta murid Lam hai Lo mo, timbul kekhawatiran besar. Ia lalu melompat mundur dan mengajak puteranya, “Hayo, Eng Kiat, kita gulingkan perahu mereka dan kita main main di air!”
Keduanya lalu berlari cepat ke dalam air, berenang ke arah perahu kecil yang didayung ke pantai. Bagaikan dua ekor ikan hiu saja Tung hai Sian jin dan puteranya berenang ke tengah menyongsong datangnya perahu.
Mereka yang duduk di dalam perahu yang didayung cepat itu tentu saja melihat apa yang terjadi di pantai. Sian Hwa dan Siauw Yang berdebar gelisah melihat Bun Sam dikeroyok oleh enam orang yang amat lihai gerakannya. Kemudian, mereka melihat dua orang melompat ke dalam air dan menyongsong kedatangan perahu mereka.
“Ibu, mereka itu adalah Tung hai Sian jin dan Bong Eng Kiat, dua orang yang ahli benar bermain dalam air. Tentu mereka berniat menggulungkan perahu kita!”
“Kurang ajar! tiba tiba Siang Cu yang semenjak tadi tidak berkata sesuatu dan wajahya muram dan keruh, memaki dua orang yang berenang itu, kemudian ia mencengkeram gagang dayung yang menjadi patah patah dan pecah pacah, dengan pecahan pecahan kayu dayung ini, ia lalu menyambit ke arah dua orang yang sedang berenang di permukaan air laut.
Biarpun benda yang dijadikan senjata penyambit oleh Siang Cu ini hanya pecahan kayu, namun karena di sambitkan dengan tenaga luar biasa, dapat merupakan senjata yang amat berbahaya. Hal ini diketahui oleh Tung hai Sian jin dan Eng Kiat dengan baiknya, maka begitu ada benda benda kecil meluncur cepat ke arah mereka, kedua ayah dan anak ini cepat menyelam di bawah permukaan air.
Melihat hal ini, Siang Cu dan Siauw Yang menjadi bingung dan mereka diam diam merasa khawatir sekali. Kalau sampai dua orang itu dengan menyelam dapat sampai di bawah perahu mereka dan menggulingkan perahu di tempat yang masih dalam itu, celakalah mereka. Akan tetapi, Sian Hwa yang sudah lebih banyak pengalamannya dan lebih masak jalan pikirannya, lalu berkata kepada mereka,
“Anak anak, kalian jagalah pinggiran dan bawah perahu dengan dayung, pukul apabila melihat bayangan di dalam air, biar aku sendiri yang mendayung perahu ke pinggir.” Mendengar ini Siauw Yang dan Siang Cu menjadi girang dan memuji kecerdikan nyonya itu. Siang Cu dari kiri dan Siauw Yang dari kanan perahu lalu menjenguk ke pinggir dan menjaga dengan dayung di tangan, siap untuk menusuk atau memukul apabila dua orang ayah dan anak itu muncul. Tiba tiba di bawah perahu kelihatan bayang bayang dua sosok tubuh manusia yang bergerak seperti ikan di bawah perahu Siauw Yang menusukkan dayungnya dan Siang Cu mengemplang bayangan kedua.
Alangkah kagetnya Tung hai Sian jin dan Bong Eng Kiat ketika dua batang dayung menyerang mereka dengan hebat dari atas permukaan air. Mereka tidak mengira bahwa orang orang yang berada di atas perahu telah menjaga dan telah menanti kedatangan mereka. Dengan cepat mereka menyelam lagi lebih dalam sehingga pukulan pukulan dayung itu tidak mengenai tubuh mereka. Akan tetapi perahu meluncur cepat karena terus didayung oleh Sian Hwa yang mengerahkan seluruh tenaganya. Nyonya ini tidak memperdulikan luka lukanya setelah kini ia melihat keadaan suaminya, ia ingin cepat cepat mendarat agar dapat segera menolong dan membantu suaminya itu.
Ketika Tung hai Sian jin dan Bong Eng Kiat melihat bahwa usaha mereka menggulingkan perahu tidak berhasil dan melihat perahu itu meluncur ke pulau, mereka menjadi bingung dan kecewa. Apalagi Eng Kiat karena tadinya sudah ia bayangkan betapa ia akan dapat memeluk Siauw Yang dan Siang Cu sekaligus. Di dalam air, ia tidak usah takut kepada dua orang dara manis yang selalu terbayang di depan matanya itu. Akan tetapi, ternyata harapannya meleset. Tidak saja ia dan ayahnya tidak berhasil menggulingkan perahu, bahkan tiga orang wanita gagah itu kini sudah melompat ke darat dan kalau mereka kembali ke pulau mungkin sekali mereka juga takkan dapat menghadapi Thian te Kiam ong yang kini kedatangan pembantu pembantu yang amat lihai itu. Tung hai Sian jin yang cerdik lalu memberi tanda kepada puteranya dan keduanya tidak kembali lagi ke pulau Sam liong to, melainkan terus berenang ke arah perahu mereka dan kabur.
Begitu mendarat dan melompat ke pantai, Sian Hwa dan Siauw Yang lalu menyerbu para pengeroyok. Bun Sam girang sekali melihat isteri dan anaknya selamat, sebaliknya Siauw Yang bukan main marahnya. pedangnya berkelebat cepat dan dalam beberapa gebrakan saja ia telah berhasil membabat putus pinggang Pat Jiu Sian, orang pertama dan See san Ngo sian.
Akan tetapi sebaliknya, begitu tiba di pantai, Siang Cu melihat tek hong yang masih menggeletak di atas pasir. Ia kaget bukan main dan melupakan segalanya, menubruk pemuda itu dan berseru,
“Tek hong !” Siauw Yang, Sian Hwa dan Bun Sam menjadi terheran heran melihat sikap gadis baju merah ini, akan tetapi mereka tiada banyak kesempatan untuk memperhatikan Siang Cu karena mereka masih menghadapi keroyokan lima orang musuh lihai.
Adapun Siang Cu setelah meraba tubuh Tek Hong yang masih hangat, tahu bahwa pemuda yang dikasihinya itu belum tewas, maka hatinya sedikit lega. Ia melihat tiga tapak jari merah di muka pemuda itu, maka tahulah ia bahwa yang melakukan hal ini adalah suhunya. Biarpun ia sendiri belun pernah mempelajari ilmu pukulan yang jahat ini namun ia pernah melihat suhunya melatih diri dengan ilmu ini dan tahu pula bahwa pukulan ini mengandung racun yang berbahaya sekali.
Teringatlah ia akan penuturan Sian Hwa dan kini Siang Cu mulai bangkit perlahan sedangkan kedua matanya melirik ke arah suhunya bagaikan sepasang mata burung hong yang sedang marah.
Adapun Lam hai Lo mo ketika melihat muridnya, segera berseru,
“Siang Cu, muridku yang baik, lekas kau bantu gurumu membasmi musuh musuh besar yang sudah membikin sengsara gurumu, Siang Cu!” Lam hai Lo mo tahu bahwa kepandaian muridnya sudah cukup tinggi dan boleh diandalkan, maka kalau muridnya mau membantu, keadaannya tidak amat terdesak.
Benar saja Siang Cu menghunus pedangnya dan melompat mendekati gurunya. Akan tetapi dara ini tidak menggerakkan pedangnya untuk membantu suhunya, melainkan dengan mata berapi, ia bertanya,
“Suhu, tahukah suhu siapa adanya Pangeran Kian Tiong dan Puteri Luilee?” Mendengar pertanyaan ini, pucatlah muka Lam hai Lo mo. Akan tetapi bukan saja ia tidak dapat menjawab, bahkan tidak sempat karena pada saat itu, Siauw Yang telah mendesak dengan hebat, apa lagi kini Sian Hwa ikut mengamuk dan juga Bun Sam setelah melihat anak isterinya selamat, ilmu pedangnya menjadi makin kuat saja, sungguhpun pendekar ini telah terluka hebat. Sedangkan di fihak Lam hai Lo mo kini tinggal lima orang lagi, yakni Lam hai Lo mo sendiri dibantu oleh Sam thouw hud, Toat beng sian dan Koai kiam sian. Akan tetapi, ternyata Tung hai Sian jin tidak muncul muncul lagi, maka makin gelisahlah hati Lam hai Lo mo. Ia mengira bahwa Tung hai Sian jin dan puteranya telah tewas ketika menyongsong kedatangan perahu tadi sehingga kini di fihaknya hanya ada empat orang!
Keadaan Lam hai Lo mo dan tiga orang kawannya terdesak hebat. Lam hai Lo mo memang curang dan licik. Melihat keadaan fihaknya amat terancam dan muridnya tidak mau membantu bahkan mengajukan pertanyaan yang amat mengagetkan hatinya, ia lalu memutar tongkatnya sedemikian rupa sehingga Siauw Yang terpaksa mundur. Kesempatan ini dipergunakan olehnya untuk melompat jauh dan melarikan diri sambil memaki Siang Cu.
“Siang Cu, kau murid durhaka, tidak mau membantu gurumu. Percuma saja kudidik kau sampai bertahun tahun!”
“Suhu, terangkan dulu siapa adanya Pangeran Kian Tiong dan Puteri Luilee!” Siang Cu berteriak sambil mengejar kakek buntung itu.
“Lam hai Lo mo, kau hendak lari ke mana?” bentak Siauw Yang sambil mengejar juga. Dua orang gadis itu seakan akan berlumba mengejar Lam hai Lo mo. Akan tetapi harus diakui bahwa kakek ini sungguhpun kakinya
hanya tinggal sebelah, larinya bukan main cepatnya, dibantu oleh tongkat bambunya yang seperti menggantikan kedudukan kakinya yang sudah buntung.
Lam hai Lo mo mempunyai banyak tempat sembunyi di dalam gua guanya dan karena ia maklum bahwa muridnya sudah mengetahui semua persembunyian itu, ia lalu lari ke sebuah gua yang semenjak dahulu ia rahasiakan dari muridnya. Gua ini dari luar merupakan gua biasa saja, akan tetapi begitu ia masuk ke dalamnya, sebuah pintu rahasia dan batu besar menutup lubang masuk dari dalam secara otomatis.
Dalam waktu yang sama Siauw Yang dan Siang Cu tiba di depan gua. Dua orang gadis ini tanpa banyak cakap dan tanpa berunding lebih dulu, segera menggunakan tenaga mendorong batu besar yang menutup pintu gua. Dengan pengerahan tenaga bersama, dua orang dara perkasa itu berhasil mendorong batu besar itu menggelinding ke samping. Akan tetapi berbareng dengan menggelindingnya batu penutup lubang itu, terdengar suara keras dan dari gunung di atas gua itu berhamburan jatuh batu batu yang menggelinding dari atas!
Baiknya Siauw Yang dan Siang Cu amat gesit. Melihat ancaman hebat ini mereka cepat melompat ke dalam gua sehingga terhindarlah mereka dari timpaan batu yang banyak itu. Akan tetapi, ternyata bahwa gua itu mempunyai empat lorong atau terowongan yang amat gelap. Tanpa banyak cakap lagi Siauw Yang mengejar melalui terowongan sebelah kiri sedangkan Siang Cu yang belum pernah memasuki gua persembunyian gurunya ini lalu mengejar ke kanan.
Sementara itu, dengan bantuan isterinya, Bun Sam dengan mudah membereskan tiga orang lawan nya, yakni San thouw hud, Toat Beng sian, dan Koai kiam san. Tiga orang kakek ini setelah ditinggalkan secara pengecut sekali oleh Lam hai Lo mo, menjadi hilang semangat mereka. Gerakan mereka menjadi lambat sekali dan pedang di tangan Bun Sam bagaikan sinar kilat menyambar nyambar. Terdengar pekik susul menyusul ketika tiga orang kakek itu seorang demi seorang roboh terkena serangan pedang Oei giok kiam yang dimainkan oleh Bun Sam secara istimewa sekali. Nyawa mereka menyusul empat orang kawan yang sudah pergi terlebih dulu. Dengan tewasnya tiga orang ini maka seluruh pengurus Sam hiat ci pai yang sembilan orang banyaknya itu hanya tinggal dua orang lagi, yakni Lam hai Lo mo dan Tung hai Sian jin, sedangkan yang tujuh orang telah tewas.
Akan tetapi, setelah berhasil merobohkan tiga orang pengeroyoknya itu, Bun Sam mulai lemas dan pengaruh luka luka di tubuhnya membuat matanya berkunang kunang dan kepalanya pening.
“Syukur kau selamat katanya kepada Sian Hwa sambil
tersenyum, “akan tetapi, anak kita.... Tek Hgng ” dengan
tindakan limbung Raja Pedang ini menghampiri tubuh Tek Hong yang masih menggeletak di atas pasir. Akan tetapi ia telah lelah sekali dan tergulinglah Bun Sam di sebelah puteranya dalam keadaan pingsan.
Sian Hwa menjadi bingung sekali. Apalagi ketika ia melihat keadaan Tek Hong yang seperti sudah tak bernyawa lagi.
“Siauw Yang.... !” teriaknya keras keras memanggil puterinya yang tadi mengejar Lam hai Lo mo. Akan tetapi yang datang bukan Siauw Yang, melainkan Siang Cu. Kalau Siauw Yang masih penasaran dan mencari cari jejak Lam hai Lo mo di dalam terowongan yang panjang itu adalah Siang Cu yang lebih mengenal keadaan di situ, telah dapat menduga bahwa suhunya itu telah berhasil melarikan diri keluar dari gua di balik bukit dan tentu suhunya itu telah melarikan diri dengan perahu tanpa terlihat oleh mereka. Maka Siang Cu keluar lebih dulu dari pada Siauw Yang.
Melihat Siang Cu berlari mendatangi, Sian Hwa berkata dengan suara bingung.
“Gwat Eng anakku yang baik, di mana adanya Siauw Yang?”
“Aku tidak tahu ke mana perginya, akan tetapi suhu sudah pergi jauh dari pulau ini. Dan harap jangan panggil aku dengan lain nama karena namaku adalah Ong Siang Cu,”
Mendengar jawaban yang ketus ini Sian Hwa mengerutkan kening.
“Kau agaknya masih belum percaya kepadaku? Belum percaya akan penuturanku bahwa kau adalah puteri dan Pangeran Kian Tiong dan Puteri Luilee? Tunggulah aku mengambil surat peninggalan ayah mu....” Sian Hwa tergopoh gopoh mengambil surat itu yang berada di saku baju suaminya, ia perlu meyakinkan gadis ini karena kalau sampai gadis ini ragu ragu dan kemudian membela suhunya yang jahat sedangkan suaminya masih pingsan, benar benar merupakan hal yang hebat.
Siang Cu menerima surat itu dan ketika ia membaca surat peninggalan Pangeran Kian Tiong yang ditujukan kepada Song Bun Sam, hatinya berdebar. Akan tetapi ia segera memasukkan surat itu ke dalam saku bajunya sambil berkata,
“Sebelum aku bicara dengan suhu, hatiku belum yakin benar?”
Sian Hwa tercengang. Kekasaran sikap gadis ini melukai perasaannya. “Kau benar benar tidak percaya kepada kami keluarga Song?”
Siang Cu telah menghampiri Tek Hong dan berlutut di dekat tubuh pemuda itu. Ia memeriksa keadaan Tek Hong dengan penuh perhatian. Hanya dengan memandang ke arah jidat dan wajah pemuda itu, tahulah dia bahwa pemuda ini terkena racun ular merah yang amat berbahaya. Akan tetapi mendengar seruan nyonya itu, ia memandang dan berkata ketus,
“Bagaimana aku bisa percaya kepada keluarga yang sudah begitu kejam menyiksa seorang tua sehingga suhuku menjadi seorang yang bercacad seumur hidupnya?”
“Gwat Eng....! Kau salah duga....” kata Sian Hwa, akan tetapi gadis baju merah itu telah memondong tubuh Tek Hong dan membawanya melompat jauh.
“Tunggu, kau hendak membawa ke mana anakku itu?” pertanyaan ini diajukan terdorong oleh rasa heran yang jauh lebih besar daripada perasaan khawatir.
“Dia terluka parah, kalau tidak lekas mendapat obat penawar racun, takkan tertolong jiwanya.”
“Jangan bawa dia pergi. Aku tidak percaya melihat sikapmu yang kasar!” Sian Hwa melompat mengejar. Akan tetapi gerakan Siang Cu lebih cepat dan dalam beberapa kau lompatan saja ia telah pergi jauh.
“Percaya atau tidak bukan urusanku. Pendeknya aku tidak bisa melihat Tek Hong tewas begitu saja. Aku harus menolongnya.”
Sian Hwa hendak mengejar terus, akan tetapi teringat akan suaminya, ia menjadi bingung dan tidak tega meninggalkan suaminya seorang diri.
“Nona, tunggu dulu!” teriaknya. “Mengapa kau lakukan hal itu? Mengapa kau berkeras hendak menolong Tek Hong?”
Dari jauh Siang Cu menjawab, “Aku cinta padanya!”
Jawaban yang keras dan terus terang ini benar benar membuat Sian Hwa terpukul hatinya dan ia berdiri bengong memandang ke arah gadis baju merah yang berlari cepat sekali sambil memondong tubuh Tek Hong, ia merasa tidak ada gunanya mengejar Siang Cu yang demikian cepat larinya. Setelah tertegun sampai lama, nyonya ini lalu berseru memanggil puterinya berkali kali.
“Siauw Yang ! Kau lekas kemarilah!”
Akan tetapi ketika Siauw Yang muncul keluar dari gua setelah dengan sia sia mencari Lam hai Lo mo, Siang Cu telah pergi jauh dengan Tek Hong mempergunakan sebuah perahu.
“Siauw Yang, Tek Hong telah dibawa pergi oleh Gwat Eng, dan ayahmu....” kata Sian Hwa dengan wajah pucat, kelihatannya bingung sekali.
Siauw Yang terheran mendengar bahwa kakaknya dibawa pergi oleh Siang Cu atau Gwat Eng, akan tetapi lebih dulu ia berlutut mendekati ayahnya dan bersama ibunya ia memeriksa keadaan ayahnya. Keduanya menjadi lega ketika melihat bahwa Bun Sam pingsan terutama karena lelah dan mengeluarkan banyak darah, sedangkan luka lukanya, biarpun yang terjadi karena pukulan Sam hiat ci hoat, tidak berbahaya. Semua ini berkat dari latihan yang mendalam dari Raja Pedang itu sehingga tubuhnya amat kuat dan tenaga lweekangnya telah sangat tinggi. Setelah mendapat kenyataan bahwa keadaan ayahnya tidak mengkhawatirkan, baru Siauw Yang bertanya kepada ibunya, akan tetapi lebih dulu ia memasukkan sebutir pel pembersih darah dalam mulut ayahnya.
“Ibu, mengapa dia membawa pergi Hong ko ?”
“Entah.... dia bilang bahwa nyawa Hong ji amat terancam oleh racun pukulan, dan takkan tertolong kalau tidak lekas lekas diobati. Ia memaksa membawanya pergi untuk mengobatinya.” Sian Hwa merasa tidak enak untuk menceritakan tentang pengakuan cinta gadis baju merah itu terhadap Tek Hong.
Mendengar penuturan ibunya, Siauw Yang menarik napas panjang dan berkata, “Orang itu benar benar aneh sekali. Ia ganas dan jahat, pantas menjadi murid Lam hai Lo mo, akan tetapi ada sesuatu yang aneh padanya.”
“Dia ganas dan sikapnya kasar karena semenjak kecil dididik oleh Lam hai Lo mo, akan tetapi gerak geriknya gagah seperti ayah bundanya.”
“Apakah ibu yakin benar bahwa dia itu benar benar anak Pangeran Kian Tiong yang diculik orang?”
“Tak salah lagi, tentu dia puteri Pangeran Kian Tiong. Kasihan sekali nasib gadis itu....” kata Sian Hwa dan kembali air matanya berlinang karena nyonya ini teringat akan Pangeran Kian Tiong dan Puteri Luilee yang baik hati dan yang terbunuh oleh kakek buntung. Sekarang ia tidak ragu ragu lagi bahwa pembunuh mereka itu bukan lain tentulah Lam hai Lo mo.
“Yang mengherankan hatiku, bagaimana dia bisa mengenal Hong ko dan mengapa pula dia begitu bersusah payah hendak mengobati Hong ko....” kata Siauw Yang sambil berpikir keras, kemudian katanya seperti kepada diri sendiri, “tak dapat diragukan lagi bahwa dahulu mereka tentu pernah bertemu dan agaknya ada terjadi sesuatu di antara mereka ”
Diam diam Sian Hwa memperhatikan puterinya, Hm, kalau gadis puterinya ini sudah dapat menarik kesimpulan sedemikian jauhnya, itu hanya berarti bahwa puterinya inipun sudah pernah mengalami sesuatu yang mengesankan hatinya, dan agaknya takkan jauh meleset dugaannya bahwa puterinya inipun tentu “ada apa apanya” dengan Liem Pun Hui.
Percakapan mereka terhenti ketika Bun Sam terdengar mengeluh dan pendekar ini siuman dari pingsannya. Begitu siuman, ia perlahan lahan bangkit, duduk dan bertanya,
“Bagaimana Lam hai Lo mo?”
“Dia dapat melarikan diri, ayah,” kata Siauw Yang. “Dan di mana Tek Hong?” Bun Sam menengok ke
tempat di mana tadi ia meletakkan puteranya.
“Dia dibawa pergi oleh Siang Cu untuk diobati karena lukanya amat berbahaya,” jawab Siauw Yang lagi.
“Siang Cu? Siapa dia?”
Siauw Yang lalu menuturkan pertemuannya dengan murid Lam hai Lo mo itu dan menuturkan semua pengalamannya di rumah Pangeran Ciong. Bun Sam mendengarkan dengan penuh perhatian dan akhirnya ia berkata,
“Sudah kuduga bahwa Pangeran Ciong itu tentu bukan orang baik baik. Sudah semestinya ia binasa. Akan tetapi tentang gadis itu.... benar benarkah dia Kian Gwat Eng puteri Pangeran Kian Tiong dan Luilee?”
“Tidak salah lagi, aku Sudah yakin benar akan hal itu.” Sian Hwa lalu menuturkan dengan jelas tentang Siang Cu. Akan tetapi ia segera menunda penuturannya ketika melihat wajah suaminya berkerut dan pucat.
“Kau pucat sekali ”
Bun Sam menarik napas panjang. “Lam hai Lo mo lihai dan jahat sekali. Bekas pukulan jari tangannya amat berbahaya dan aku amat khawatir akan keadaan putera kita. Aku sendiri yang terkena pukulan itu, kiraku sedikitnya tiga hari aku harus beristirahat, mengatur napas dan membersihkan darah di pulau ini. Aku tidak bisa mencari Tek Hong ” Bun Sam nampak lelah sekali.
“Sudahlah, jangan kau banyak bicara dan banyak berpikir. Tek Hong sudah dibawa oleh Gwat Eng dan aku percaya bahwa gadis itu tentu mewarisi kemuliaan hati orang tuanya. Kau beristirahatlah, biar kita tinggal tiga hari di tempat ini!” Isteri yang setia dan mencintai ini lalu membantu Bun Sam berdiri dan digandengnya suami yang terluka ini menuju ke gua bekas tempat tinggal Lam hai Lo mo di mana Bun Sam akan merawat dirinya.
Sian Hwa keluar kembali menemui puterinya. Ia melihat Siauw Yang duduk termenung dengan sepasang alis bersambung.
Ibu yang bijaksana ini dapat menduga mengapa puterinya bermenung dengan wajah muram.
“Siauw Yang, ayahmu hendak beristirahat dan memulihkan kesehatannya di Pulau Sam liong to ini. Biar aku yang menjaganya di sini, kau boleh pergi untuk menyelidiki keadaan Pun Hui. Kalau dia selamat, syukurlah. Dan setelah kau berhasil, tak usah kau kembali ke sini, terus saja kau kembali lebih dulu ke Tit le. Kamipun akan segera kembali ke sana karena rumah sudah terlalu lama kita tinggalkan.”
Seketika itu juga, wajah cantik yang tadinya muram itu menjadi terang berseri, seakan akan bayang bayang gelap tertimpa sinar matahari.
“Baik, ibu. Aku akan mengerjakan perintahmu,” jawabnya dengan nada suara seorang anak penurut. Diam diam Sian Hwa menjadi geli melihat sikap Siauw Yang ini. Biasanya, semenjak kecil, kalau disuruh apa apa, gadis ini mengomel dan malas malasan, akan tetapi sekarang ia demikian penurut! Sian Hwa memang suka melihat Pun Hui, dan dia pernah mengalami buaian cinta kasih, maka diam diam ia merasa amat terharu menyaksikan betapa puterinya pada saat itu sama benar dengan keadaannya ketika masih muda, ketika ia terpaksa berpisahan dengan Bun Sam yang pada masa itu masih merupakan seorang pemuda yang telah menempati ruang hatinya.
Setelah berpamit kepada ayah bundanya dan mendapat ijin persetujuan mereka, berangkatlah Siauw Yang meninggalkan Pulau Sam liong to, untuk mencari Pun Hui. Ia tahu ke mana harus menyusul Bi sin tung Thio Leng Li, gadis puteri Sin tung Lo kai Thio Houw yang secara aneh sekali telah membawa lari Pun Hui. Diam diam ia merasa heran, akan tetapi rasa khawatirnya lebih besar lagi, karena memang peristiwa yang dilihatnya amat mengherankan dan mencurigakan. Bagaimana Leng Li bisa merayakan pernikahan dengan Pangeran Ciong, dan mengapa kemudian puteri Ketua Pengemis itu menolong Pun Hui dan membawanya lari? Dengan cepat Siauw Yang melakukan perjalanan dan mendarat di pantai Tiongkok, lalu menuju ke tempat di mana Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti Merah berpusat, yakni di sebelah barat saluran. Kita tinggalkan dulu Siauw Yang dan mari kita mengikuti perjalanan Siang Cu yang membawa pergi Tek Hong. Pemuda itu masih pingsan. Akibat pukulan Sam hiat ci hoat yang dilakukan oleh Lam hai Lo mo tepat mengenai jidatnya, meninggalkan tanda bekas jari tiga buah yang merah warnanya. Kalau saja Tek Hong tidak mempergunakan tenaga Kim kong ketika ia dahulu dipukul oleh Lam hai Lo mo, tentu sekarang ia telah tewas. Pukulan Sam hiat ci hoat memang amat jahat. Pukulan ini mengandung hawa racun yang berasal dari ular ular merah. Apalagi dilakukan oleh Lam hai Lo mo sendiri, pencipta dari ilmu pukulan mengerikan itu, tentu saja jauh lebh hebat dari pada apabila pukulan ini diakukan oleh anggauta anggauta lain dari Sam hiai ci pai.
Biarpun Siang Cu sendiri belum pernah mempelajari ilmu pukulan ini, namun ia pernah mendengar dari suhunya tentang kelihaian racun ular merah. Pernah Lam hai Lo mo menuturkan kepadanya bahwa racun ular merah itu adalah racun yang pengaruhnya berbahaya sekali dan yang tidak dapat disembuhkan oleh pengobatan apapun juga kecuali oleh obat katak putih yang berada di daerah di mana ular ulur merah itu hidup. Dan Siang Cu tahu di mana daerah ular merah itu, yakni di daerah Tiongkok, daerah dingin yang sering kali menjadi tempat penuh dengan buku buku salju. Pernah satu kali ia diajak oleh suhunya ke daerah ini di mana suhunya menangkap seekor ular merah untuk diambil racunnya.
Akan tetapi, tetap saja hati Siang Cu ragu ragu dan khawatir sekali. Selama dua hari di daerah itu dengan suhunya, biarpun suhunya sudah mencari ke sana ke mari dengan bantuannya, mereka tak dapat menemukan seekorpun katak putih. Menurut penuturan suhunya, di seluruh daerah bersalju itu, belum tentu ada tiga ekor katak putih paling banyak hanya sepasang dan itupun takkan mudah didapatkan orang. Katak itu bersembunyi di bawah salju dan berbeda dengan katak katak biasa, kalau bertelur, di antara seribu telur, paling banyak hanya ada sepasang atau dua ekor saja yang menetas.
Siang Cu memondong tubuh Tek Hong sambil berlari cepat, ia telah berada di daerah itu dan pikirannya kusut, tubuhnya lemas dan lelah. Telah sepekan lamanya ia melakukan perjalanan sambil memondong tubuh Tek Hong dan selama waktu ini ia lupa makan lupa tidur, pikirannya penuh dengan kegelisahan melihat wajah pemuda yang dikasihinya itu! Memang, perasaan yang paling agung dan kuat di dunia ini adalah perasaan kasih sayang. Dengan kasih sayang orang dapat melakukan apa saja, bahkan dengan kasih sayang orang dapat melakukan hal hal yang nampaknya tak mungkin. Orang yang biasa dianggap sebadai seorang mulia karena cinta kasih dapat melakukan hal yang serendah rendahnya, sebaliknya orang yang biasa dianggap seorang rendah dapat melakukan hal yang semulia mulianya karena kasih sayang.
Perasaan cinta kasih yang bersarang di dalam hati Siang Cu membuat gadis ini sedemikian kuat sehingga ia tahan untuk tidak makan dan tidak tidur selama sepekan, terus menerus melakukan perjalanan sambil memondong tubuh pemuda itu! Tentu saja hal ini takkan mungkin ia lakukan kalau saja ia tidak dibikin kuat oleh kasih sayangnya terhadap pemuda ini. Berkali kali terdengar ia mengeluh dan menyebut nyebut nama pemuda itu dalam bisikan sayu.
“Tek Hong jangan khawatir, sayang. Mati atau hidup,
kau takkan kutinggalkan ”
Cinta kasihnya terhadap Tek Hong makin mendalam setelah kini ia membuktikan sendiri betapa gagah dan mulia adanya keluarga pemuda ini. Tentu saja ia percaya sepenuhnya akan penuturan Sian Hwa dan kini ia tahu betapa jahat adanya kakek buntung yang mengaku menjadi gurunya dan yang berlaku seakan akan amat sayang kepadanya, ia percaya bahwa gurunya itulah yang pembunuh orang tuanya, karena orang seperti gurunya dapat melakukan hal apapun juga. Ia hanya belum mendapat keyakinan dan kepuasan kalau belum mendengar pengakuan dari mulut kakek buntung itu sendiri.
Tiba tiba Siang Cu merasa pemuda itu bergerak gerak dalam pondongannya. Bukan main girangnya ketika ia melihat pemuda itu telah siuman dan membuka matanya dengan penuh keheranan.
“Kau.... ?” Tek Hong berkata lemah. “Siang Cu…. apakah aku sudah mati dan bertemu dengan kau di sorga?” Pemuda itu menggerakkan leher memandang ke kanan kiri dan tidak amat menggelikan kalau ia mengira berada di surga karena tempat itu memang luar biasa sekali. Belum pernah ia menyaksikan tempat seperti daerah itu. Sana sini putih belaka, apalagi tertimpa sinar matahari yang redup. Pohon pohon terbungkus salju, demikian pula tanah dan bukit bukit sehingga orang yang datang ke tempat itu akan merasa seperti dalam mimpi.
“Tidak, Tek Hong Kita masih hidup. Sudah kuatkah kau untuk turun?”
Tek Hong baru sadar bahwa masih di pondong oleh gadis itu. Maka ia segera menggerakkan tubuh dan turun dengan hati berdebar keras. Kini ia teringat akan semua pengalamannya maka ia menjadi makin terheran heran,
“Siang Cu, aku ingat sekarang….” akan terapi ia haru menghentikan kata katanya karena tiba tiba ia menjadi limbung dan pandangan matanya berputar putar, tubuhnya lemas sekali. Siang Cu sigap memeluknya. “Tek Hong, kau perlu beristirahat, kau terluka hebat. Mari kita duduk….” Ia lalu menggandeng pemuda itu dan mereka duduk di atas akar pohon besar yang tertutup salju. Melihat tubuh pemuda itu masih lemas sekali. Siang Cu tidak berani melepaskannya dan dengan lengan kiri memeluk punggung Tek Hong, ia menahan tubuh pemuda itu.
“Bagaimana rasanya? Peningkah kepalamu? Sakitkah?” tanya Siang Cu dengan gelisah sekali.
Tek Hong membuka matanya dan ia tersenyum lemah.
“Siang Cu, tidak ada penderitaan apapun juga yang akan dapat mengurangi kebahagiaanku melihat kau sendiri yang menolong dan merawatku, Terima kasih Siang Cu, terima kasih. Tak salah pilihan hatiku, kaulah gadis termulia di dunia ini.”
“Hush....” kata Siang Cu dan tanpa disadari nya, dua titik air mata menetes dari sepasang matanya yang indah. “Aku harus mencarikan obat untuk lukamu yang amat berbahaya itu ”
Kembali Tek Hong tersenyum.
“Aku ingat Sekarang. Aku dan ayah dikepung oleh Lam hai Lo mo dan kawan kawannya. Mereka lihai sekali, aku terkena pukulan Lam hai Lo mo dan kepalaku serasa dibakar.... Tiba tiba ia melompat bangun dan hampir roboh kalau Siang Cu tidak cepat cepat menangkap lengannya dan membujuknya untuk duduk kembali.
“Apa yang terjadi dengan ayahku?” Ia memegang lengan Siung Cu erat erat, “Siang Cut bagaimana ayah ?? “
“Ayahmu selamat, hanya terluka ringan sekarang bersama ibumu dan adikmu berada di Pulau Sam liong to....
“ Mendengar ini. Tek Hong berseru girang dan menjatuhkan diri berlutut di depan Siang Cu.
“Siang Cu, kau telah menolong ayah ”
Siang Cu mengangkat bangun pemuda itu dan mengelus elus rambut Tek Hong yang menjadi putih terkena salju ketika ia berlutut tadi.
“Tidak, Tek Hong. Bagaimana seorang rendah seperti aku dapat menolong ayahmu? Dia terlampau gagah bagi suhu dan kawan kawannya kemudian ibu dan adikmu datang. Keluargamu memang orang orang luar biasa dan kepandaian mereka bukan lawan suhu dan kawan kawannya. Semua kawan suhu, kecuali suhu sendiri, Tung hai Sian jin, dan puteranya, telah tewas di dalam tangan ayah, ibu, dan adikmu!”
Tek Hong nampak bingung. Kepalanya terasa pening sekali.
“Akan tetapi kau.... bagaimana kau dapat membawaku ke sini ?” Ia terpaksa menghentikan kata katanya lagi dan
segera memegangi kepalanya yang serasa akan pecah. “Bagaimana rasanya, Tek Hong? Sakitkah?”
Siang Cu segera memijit mijit kepala pemuda itu.
“Jangan kau terlalu banyak bicara, terlalu banyak berpikir.... kau terluka hebat ”
“Ya, terluka oleh suhumu.... Siang Cut agaknya aku takkan kuat menahan.... aduh....” Dengan lemas pemuda itu berusaha memperkuat tubuhnya akan tetapi ia tidak dapat menahan serangan rasa sakit yang hebat sehingga sambil mengeluarkan keluhan panjang, kembali ia jatuh pingsan dalam pelukan Siang Cu. Gadis ini menjadi bingung sekali dan menangis sambil memanggil manggil nama pemuda itu. Akan tetapi ia segera dapat mengatasi perasaannya. Dengan hati hati ia merebahkan tubuh Tek Hong di atas tanah yang tertutup salju. Cepat ia membuka mantelnya dan dibentangkan mantel itu di atas salju, lalu ia memindahkan tubuh Tek Hong di atas mantel itu. Tubuhnya terserang hawa dingin ketika ia membuka mantel dan hanya memakai pakaian yang tipis dan ringkas. Akan tetapi ia tidak memperdulikan semua ini. Sambil mencabut pedangnya. Siang Cu lalu mulai mencari katak putih yang akan menolong nyawa kekasihnya.
Ia diberi tahu oleh suhunya bahwa ular ular merah yang terdapat di daerah ini, bersarang di dalam lubang lubang itu tertutup oleh salju, akan tetapi mudah dilihat karena nampak kemerahan seakan akan di bawah salju terdapat gumpalan darah. Itulah bisa dari ular yang dipasang di sekitar mulut lubang untuk menghalau pergi musuh yang hendak memasuki lubang sarang mereka. Dan untuk mencari katak putih, demikian kata suhunya, harus dicari di dekat sarang ular ular merah itu.
Karena di tempat sekitar itu ia tidak mendapatkan lubang sarang ular ular merah. Siang Cu terpaksa meninggalkan Tek Hong dan pergi agak jauh, memutari sebuah bukit kecil yang tertutup salju. Akhirnya dengan girang ia melihat tanda tanda merah di atas tanah bersalju, tanda tanda bahwa di tempat itu terdapat ular ular merah. Daerah ini penuh dengan bukit bukit salju kecil, merupakan tempat yang amat indah seperti dalam mimpi, akan tetapi sunyi sekali dan seperti mati, tidak ada pergerakan sedikitpun juga. Angin yang bertiup hanya dapat dirasakan, karena tidak ada benda yang dapat digerakkan oleh angin, kecuali debu salju yang berhamburan seakan akan tepung putih yang disebar dan atas.
Setelah mencari ke sana ke mari, tiba tiba Siang Cu melihat tanda tanda merah di bawah sebatang pohon besar yang sudah berobah menjadi pohon kecil karena tertutup seluruhnya oleh salju. Siang Cu menjadi girang karena itulah mulut lubang sarang ular ular merah. Cepat ia menghempas hempaskan kedua kakinya sambil mengerahkan tenaga di sekeliling lubang itu. Demikianlah cara untuk memaksa ular ular itu keluar.
Betul saja, tak lama kemudian, lubang yang tertutup oleh salju itu tiba tiba terbuka dan uap kemerahan mengebul keluar dari lubang itu. Itulah hawa dari bisa ular yang sudah mulai keluar, mengirim dulu bisanya untuk membinasakan musuh. Kemudian, ular pertama keluar, disusul oleh kawan kawannya yang jumlahnya semua ada enam ekor ular ular merah. Ular ini kulitnya berkilat kemerahan, hanya di bagian muka saja putih dan lidahnya juga putih. Akan tetapi ketika ular ular ini mendesis, muka dan lidah berubah menjadi merah seperti darah, jauh lebih merah dari pada warna tubuhnya.
Siang Cu tahu dari suhunya bagaimana caranya untuk mengetahui di mana gerangan adanya katak putih di sekitar tempat itu. Kalau katak itu tempatnya berada di sebelah utara lubang sarang ular, tentu ular ular itu tidak berani maju ke utara demikian pula kalau berada di jurusan lain. Ia berdiri di sebelah selatan lubang dan ular ular itu ketika melihatnya, lalu serentak mengejar ke arahnya dengan suara mendesis desis. Ular Ular yang panjangnya ada tiga kaki itu berlenggak lenggok dan gerakan mereka cepat sekali.
Siang Cu maklum sekali kena gigit saja, ia akan tewas. Maka melihat ular ular itu berani menyerangnya dan ia berdiri di sebelah selatan lubang, ia tahu bahwa katak putih tidak terdapat di sebelah selatan, ia cepat melompat ke sebelah kanan atau sebelah timur lubang Namun ular ular itu tetap mengejarnya Siang Cu lalu melompat lagi ke kanan, kini berada di sebelah utara lubang.
Melihat betapa ular ular itu tetap saja mengejarnya, tahulah dia bahwa di jurusan selatan, dan utara tidak terdapat katak putih. Tentu di sebelah barat, pikirnya, akan tetapi ia masih belum puas dan cepat melompat lagi ke kanan, kini berdiri di sebelah barat lubang, ia menduga bahwa ular ular itu seperti takut menghadapi sesuatu akan mundur atau masuk kembali ke dalam lubang. Akan tetapi bukan main heran dan kecewanya ketika melihat betapa ular ular merah itu tetap saja mengejarnya dengan cepat sekali.
Hal ini hanya boleh diartikan bahwa di sekitar tempat itu tidak terdapat katak putih! Bukan main marah hati Siang Cu.
“Ular ular bedebah!” makinya kecewa sekali. Pedangnya berkelebat dan putuslah leher dua ekor ular yang terdekat dengannya. Dengan marah Siang Cu bermaksud membunuh semua ular itu, akan tetapi tiba tiba terdengar orang berkata,
“Jangan bunuh.... ! Sayang bahan obat demikian banyaknya dibuang sia sia!”
Siang Cu terkejut dan cepat membalikkan tubuh sambil melompat menjauhi ular ular itu. Ia melihat seorang kakek gemuk dengan potongan tubuh seperti patung Jilaihud, berwajah ramah sehingga mulut dan matanya seperti tertawa tawa. Kakek ini datang menghampiri ular ular itu lalu mengeluarkan sebuah benda dari saku bajunya yang penuh tambalan. Ternyata bahwa benda itu adalah seekor
katak berkulit putih. Sebelum Siang Cu hilang kaget dan herannya, kekek itu melemparkan katak putih itu di tengah tengah ular yang tinggal empat ekor banyaknya itu.
Untuk sesaat ular ular itu seperti bingung dan ketakutan, akan tetapi setelah mereka mendapat kenyataan bahwa katak putih itu tidak bergerak seperti mati, mereka lalu maju menyerang dan menggigit! Kalau dibicarakan memang aneh sekali. Empat ekor ular itu menggigit dan empat jurusan, dalam waktu bersamaan dan kini mereka masih menggigit katak putih itu. Akan tetapi setelah menggigit, mereka tak dapat melepaskan gigitan lagi seakan akan gigi gigi mereka menempel dan tak dapat dibuka kembali Tubuh empat ekor ular itu berkelojotan dan sebentar saja mereka tak dapat bergerak, lemas dan mati! Namun mulut mereka masih menempel pada tubuh katak.
Siang Cu melihat katak putih itu, berdebar hatinya dan ia melangkah maju hendak mengambil katak obat itu.
“Jangan ganggu! Biarkan racun mereka dihisap habis!” kakek gemuk itu berkata mencegahnya sehingga Siang Cu yang tidak mengerti menjadi ragu ragu dan menahan langkahnya.
Tak lama Kemudian, kakek itu tertawa bergelak melangkah maju dan melepaskan katak itu dari gigitan empat ekor ular merah. Ternyata oleh Siang Cu bahwa ular ular itu telah mati dengan tubuh kering seakan akan seluruh darahnya telah dihisap oleh katak itu dan katak itu sendiripun ternyata adalah katak yang sudah tak bernyawa lagi.
“Ha, ha, ha! Bahan obat datang sendiri tanpa dicari! Benar benar murah, tak usah membahayakan nyawa. Nona, terima kasih, kau baik sekali. Telah lama aku mencari cari ular ular ini dan kalau mereka berada di dalam sarangnya, bagaimana aku dapat memancing mereka keluar?”
“Mengapa kau membiarkan katak itu digigit?”
“Kau tidak tahu, nona Gigitan mereka itu membuat semua bisa mereka dihisap oleh katak ini dan karenanya khasiat katak ini lebih hebat lagi. Bisa itu setelah terkumpul di dalam tubuh katak berobah menjadi obat. Sekarang, khasiat katak itu cukup untuk mengobati sepuluh orang yang tergigit oleh segala binatang berbisa. Ha, ha, ha, aku beruntung sekali!”
Akan tetapi kakek itu terpaksa menghentikan ketawanya ketika tiba tiba tubuh Siang Cu berkelebat dan tahu tahu katak yang dipegangnya telah berpindah ke tangan gadis berbaju merah itu. Kakek itu terkejut melihat gerakan gadis itu yang luar biasa sekali cepatnya, sebaliknya Siang Cu juga terkejut karena ternyata bahwa kakek itu sama sekali tidak mengerti ilmu silat atau setidaknya amat lemah, benar benar di luar dugaannya semula. Tadinya Siang Cu mengira bahwa kakek ini tentulah seorang luar biasa yang berkepandaian tinggi akan tetapi ternyata tidak demikian sama sekali.
“Nona, ternyata kau seorang kang ouw yang tidak kenal aturan!”
Siang Cu tertegun mendengar teguran ini.
“Apa katamu, orang tua? Mengapa kau menganggap aku seorang kang ouw yang tidak kenal aturan?” tanya gadis itu marah.
“Gerakanmu seperti kilat cepatnya, tanda bahwa kau seorang ahli silat dan seorang kang ouw, akan tetapi kau merampas barang milik seorang kakek yang lemah, itu tanda bahwa kau seorang kang ouw tidak kenal aturan!” Merah wajah Siang Cu, akan tetapi ia adalah seorang gadis yang keras hati, maka jawabnya,
“Kakek yang baik, di dalam dunia kang ouw terdapat peraturan bahwa siapa yang kuat dialah yang berhak memiliki benda yang diperebutkan. Kalau kau memang kuat, cobalah kaurampas kembali benda ini dari tanganku.”
Kakek yang tubuhnya seperti patung Jilaihud itu tertawa, lalu bernyanyi,
“Mengerti akan orang lain adalah waspada. Mengerti akan diri sendiri lebih bijaksana.
Mengalahkan orang lain mengandalkan kekuatan belaka. Mengalahkan diri sendiri barulah gagah perkasa.
Mengenal batas kecukupan berarti kaya bahagia.
Melakukan sesuatu dengan memaksa berarti nekad- membuat.”
ujar Nyanyian ini adalah sebagian daripada ujar Nabi Locu. Akan tetapi Siang Cu tidak mau mengambil pusing akan semua sindiran ini.
“Kakek, apapun yang hendak kaukatakan aku tidak ambil perduli dan cukup kauketahui bahwa aku sengaja merampas katak putih ini untuk mengobati seorang yang terkena bisa ular merah. Kalau sudah selesai, benda ini boleh kauambil kembali.”
Setelah berkata demikian. Siang Cu melompat pergi. Akan tetapi kakek itu berseru, “He, nona baju merah! Apa gunanya kau mengambil katak itu kalau tidak tahu cara mempergunakannya?”
Siang Cu tersentak kaget dan kedua kakinya seperu tertahan oleh sesuatu. Apalagi ketika ia mendengar kakek itu berkata lagi sambil tertawa tawa.
“Katak itu sudah menghisap banyak sekali racun ular merah. Penggunaan yang tepat merupakan obat mujijat, akan tetapi penggunaan yang salah akan merupakan racun yang tiada duanya di atas dunia! Bukankah itu sama halnya dengan menolong si sakit dengan jalan merenggut nyawa meninggalkan raganya?”
Mendengar ini, Siang Cu menjadi pucat. Memang suhunya belum pernah menceritakan bagaimana cara mengobati orang terkena bisa dengan katak putih ini. Bagaimana kalau kata kata kakek ini benar dan ia tidak berhasil menolong Tek Hong bahkan membunuhnya? Ia bergidik dan cepat ia berlari kembali.
“Kakek yang baik, tolonglah aku! Kawanku terkena pukulan yang mengandung racun ular merah dan keadaannya amat berbahaya, nyawanya sewaktu waktu dapat meninggalkan raganya. Tolonglah, kakek yang baik, obatilah dia!”
“Ha, ha, ha, beginilah sifat orang muda. Bersikap sombong tak mau kalah. Kalau aku meniru sikapmu dan berkeras tidak mau menolong biarpun kau akan membunuhku, apa dayamu?”
Siang Cu dapat menduga bahwa biarpun kakek ini tidak pandai silat, namun melihat wataknya, tentulah kakek ini seorang yang luar biasa. Orang orang seperti ini memang tidak takut menghadapi maut. Mulai bingunglah gadis ini karena ia teringat akan keadaan kekasihnya Dengan cepat ia lalu melangkah maju dan berlutut di depan kakek itu sambil menangis!
“Eh, eh, kukira kau seorang dara perkasa yang berhati baja dan keras melebihi laki laki. Tidak tahunya kau tetap saja seorang perempuan, mudah tertawa mudah menangis!”
“Orang tua yang budiman, tolonglah kau obati dia yang sedang sakit. Kalau aku sendiri yang sakit, aku tidak akan menyusahkan engkau, bagiku mati tidak apa apa. Akan tetapi dia, ah, kakek yang baik, dialah orang satu satunya di dunia ini yang kucinta. Kematiannya akan lebih hebat bagiku daripada kematianku sendiri.”
Mendengar ucapan Siang Cu ini, tiba tiba wajah kakek gemuk yang tadi tertawa tawa jadi berobah dan ia mulai menangis! Tangisnya mendadak dan keras seperti ketawanya sehingga ia seperti seorang kanak kanak yang menangis, berkaok kaok keras. Melihat ini, Siang Cu tertegun.
“Aduh, nona yang gagah dan cantik. Kau membikin hatiku sakit dan penuh iri hati. Kaulah orang berbahagia sekali, mendapat kesempatan untuk mencurahkan isi hatimu yang penuh kasih sayang kepada seseorang! Tidak ada kebahagiaan di dunia ini melebihi perasaan kasih sayang yang begitu murni seperti kasih sayangmu terhadap orang itu. Tidak ada kasih sayang yang suci murni melebihi kasih sayang yang diselimuti oleh kerelaan pengorbanan sebesar yang kaunyatakan itu. Kau berani berkorban melupakan kepentingan diri sendiri demi orang yang kau cinta. Aku kagum dan iri kepadamu, nona. Aku bersedia mengobati orang yang kau cintai itu. Bagaimana sakitnya? Apakah dia digigit ular merah?”
Bukan main girangnya hati Siang Cu melihat bahwa ia telah dapat menangkan hati kakek aneh ini.
“Tidak, ia tidak tergigit binatang berbisa melainkan terkena pukulan Sam hiat ci hoat yang mengandung bisa ular merah, terpukul pada jidatnya.”
“Ganas sekali pemukul itu! Bagaimana keadaannya?
Apakah kuku tangannya berwarna hitam ataukah putih?”
“Kuku tangannya putih, belum berubah hitam,” jawab Siang Cu.
“Celaka! Bodoh kau! Kalau kuku tangannya berubah hitam berami ia masih belum begitu berat keadaannya. Kalau berwarna putih, tanda bahwa bisa itu telah mengancam nyawanya! Di mana dia?”
Mendengar ini Siang Cu menjadi pucat dan bingung sekali. Air matanya mengalir deras.
“Dia tidak jauh dari sini, mari kita pergi ke tempat dia berbaring,” katanya cepat.
“Tak usah, membuang buang waktu saja. Biar aku mengerjakan obat ini dan kau cepat cepat bawa dia ke mari. Lekas!”
Kakek itu menerima katak putih dari Siang Cu dan gadis ini tanpa bertanya tanya lagi lalu melompat cepat dan lenyap dalam sekejap mata, membuat kakek itu menahan napas penuh kekaguman.
Tek Hong masih rebah pingsan di atas mantel seperti orang tidur, atau lebih tepat lagi, seperti mayat karena mukanya pucat sekali. Siang Cu merasakan jantungnya perih dan dengan penuh kegelisahan ia meraba lengan pemuda itu. Hatinya lega merasa bahwa lengan itu masih hangat, lalu ia menyelimutkan mantel tadi dan memondong tubuh Tek Hong, membawanya lari menuju ke tempat kakek gemuk yang diharapkan akan dapat menyembuhkan pemuda ini. Akan tetapi, setelah tiba ditempat itu, Siang Cu merasa semangatnya terbang meninggalkan tubuhnya ketika ia melihat kakek itu telah rebah mandi darah dan tak bernyawa lagi di atas salju dan sebagai gantinya, di situ berdiri Tung hai Sian jin dan Bong Eng Kiat! Seperti biasa Bong Eng Kiat memandang kepada Siang Cu dengan tersenyum senyum dan sinar mata penuh gairah. Tung hai Sian jin berdiri tenang dan tangan kanannya memainkan katak putih yang tadi dipegang oleh kakek gemuk.
Sebetulnya, tadi ketika Siang Cu bercakap cakap dengan kakek gemuk, Tung hai Sian jin dan puteranya telah tiba di tempat itu dan mereka bersembunyi di balik bukit sambil mengintai dan mendengarkan. Tanah yang tertutup salju lunak itu membuat tindakan kaki dua orang yang memiliki kepandaian tinggi ini tidak terdengar oleh Siang Cu. Setelah Siang Cu pergi untuk mengambil Tek Hong, mereka muncul dan sekali mengulur tangannya, Tung hai Sian jin sudah dapat merampas katak putih itu.
Kakek gemuk itu hendak membuka mulut, akan tetapi Bong Eng Kiat menotok pundaknya sehingga ia roboh terguling.
“Hayo ceritakan kepada kami bagaimana caranya mempergunakan katak putih ini!” kata Tung hai Sian jin kepada korbannya yang memandang dengan mata terbelalak.
“Hm, kalian ini sepasang iblis jahat jangan harap akan membuka mulutku,” maki kakek gemuk dengan tegas.
Eng Kiat hendak mengayun tangan membunuhnya, akan tetapi Tung hai San jin mencegahnya. Lalu kakek ini membungkuk dan membebaskan kakek gemuk itu dari totokan sehingga kakek ini dapat bangun duduk di atas salju. “Mengapa kau keras kepala? Kami membutuhkan katak putih ini bukan untuk mengobati siapapun juga melainkan kami pernah mendengar bahwa katak putih ini dapat dipergunakan sebagai obat penguat tubuh yang luar biasa. Kau ceritakan kepada kami bagaimana caranya mengobati orang atau kalau kau tidak suka, biarlah kau ceritakan saja apakah benar benar katak putih ini dapat menjadi obat kuat yang mujijat? Kalau kau mau bercerita, kami takkan mengganggumu lagi.”
Kakek gemuk itu adalah seorang yang sudah banyak merantau dan dia tahu betul bahwa orang orang seperti yang sekarang ia hadapi ini tidak boleh dipercaya omongannya. Dan ia merasa amat kasihan kepada nona baju merah tadi. Pikiran dalam kepala yang besar dan bulat itu bekerja keras, kemudian nampaklah senyumnya seperti biasa.
“Ada orang yang perlu ditolong, bagaimana bicara tentang obat penguat tubuh? Kalau kalian mau mempergunakan katak ini untuk mengobati teman nona tadi, barulah aku mau memberi tahu cara mempergunakan katak ini sebagai obat penguat tubuh.”
“Baik, aku berjanji akan mengobati kawan nona tadi,” kata Tung tui Sian jin. “Lekas kau ceritakan bagaimana caranya.”
“Lebih dulu kau genggam bagian kepala katak ini sampai mulutnya tertutup rapat, lalu kau pencet perutnya perlahan lahan sehingga dari lubang tubuh belakangnya keluar darah berwarna putih yang menetes. Lima belas tetes darah ini dapat dipergunakan untuk diminum oleh si sakit. Kemudian, tubuh katak ini boleh digosok osokkan di atas luka orang yang sakit untuk mengisap keluar semua bisa. Akan tetapi cara menggosoknya harus mempergunakan bagian perut katak ini. Setelah luka yang tadinya berwarna
merah atau kebiruan atau hitam menjadi putih kembali, baralah penggosokan dihentikan dan korban itu akan sembuh kembali.”
“Cukup, aku sudah mengerti. Sekarang bagaimana kalau dipergunakan untuk memperkuat tubuh ?” tanya Tung hai Sian jin dengan penuh gairah karena hal inilah baginya yang terpenting.
Kakek gendut itu terseryum. “Tidak ada manusia di dunia ini yang mengenal cukup, dia yang mengenal cukup, barulah seorang yang kaya dan berbahagia, yang tidak mengenal cukup akan hancur dalam kekecewaan, diburu oleh nafsunya sendiri.”
“Jangan ngaco belo, lekas katakan bagaimana caranya!” bentak Eng Kiat yang ingin pula mendapatkan khasiat obat itu.
“Kalian hendak memperkuat tubuh? Sampai bagaimana kuatnya? Tetap saja takkan dapat melawan maut “
“Apa kau ingin kami kehilangan kesabaran dan memecahkan kepalamu?” bentak Tung hai Sian jin marah.
“Baiklah, baiklah, bukan aku yang menghendaki, akan tetapi kalian sendiri. Pencetlah katak itu dari belakang sehingga keluar darah merah dari mulutnya Nah, darah ini kalau diminum mendatangkan kekuatan yang luar biasa, akan tetapi jangan banyak banyak, setetespun cukuplah.”
“Kau tidak bohong?”
“Siapa berani bohong? Aku berani membuktikannya.”
Tung hai Sian jin menggerakkan tangan mengetuk pundak kakek gendut ini sehingga tertotoklah jalan darahnya dan akibatnya seluruh tubuh kakek ini seperti lumpuh, lenyap sama sekali tenaganya, Tung hai Sian jin lalu memencet belakang tubuh katak putih itu dan benar saja, dari mulut yang terbuka itu menetes darah merah. Dengan memaksa membuka mulut kakek gendut, Tung hai Sian jin meneteskan setitik darah ke dalam mulut kakek itu.
Ajaib! Sudah terang bahwa kakek gendut itu tidak mempunyai tenaga lweekang dan takkan mungkin membebaskan diri dari pengaruh totokan. Akan tetapi, begitu tetesan darah merah itu tertelan olehnya, tiba tiba ia dapat menggerakkan tubuhnya kembali, tanda bahwa totokan Tung hai Sian jin tadi buyar!
“Bagus, kau tidak membohong!” serunya keras akan tetapi berbareng kakek kejam ini menggerakkan tongkatnya ke arah kepala kakek itu.
“Prak!” Tanpa dapat bersambat lagi kakek gendut itu roboh dengan kepala pecah!
Pada saat itu, muncullah Siang Cu yang memondong tubuh Tek Hong. Melihat nona ini, Tung hai Sian jin menjadi marah, akan tetapi sebaliknya, Eng Kiat cengar cengir dengan sikap menjemukan sekali.
“Nona, kau benar benar amat memalukan. Bagaimana kau mati matian membela pemuda ini dan hendak mencarikan obat untuknya sedangkan kau tentu tahu bahwa pemuda ini adalah musuh besar suhumu, putera dan Thian te Kiam ong? Seharusnya kau membunuhnya!” tegur Tung hai Sian jin dengan suara marah.
“Kau calon isteriku mengapa memondong mondong seorang pemuda? Siang Cu, lemparkan dia di jurang!” kata Eng Kiat dengan sikap ceriwis sekali.
Siang Cu merasa dadanya panas. Ingin ia mengamuk dan menyerang dua orang ini. Akan tetapi ia bukan seorang gadis bodoh, ia maklum bahwa hal itu tidak akan menguntungkan, pertama tama ia takkan menang menghadapi dua orang ini seorang diri saja, kedua kalinya obat katak putih itu telah terjatuh ke dalam tangan mereka, sedangkan ia amat membutuhkannya untuk menolong Tek Hong.
“Tung hai Sian jin, harap kau mengingat perikemanusiaan dan berikanlah obat katak putih itu kepadaku agar aku dapat mengobati Tek Hong.”
“Hm, kau tidak tahu bagaimana cara mempergunakannya, bagaimana kau dapat mengobatinya? Kalau salah pengobatan itu, dia takkan sembuh bahkan sebaliknya akan mempercepat kematiannya.”
Mendengar ucapan ini Siang Cu yang cerdik tahu bahwa tentu kakek yang licik dan kejam ini sudah dapat mengetahui cara pengobatannya sebelum membunuh kakek gemuk yang bernasib malang itu. Maka ia lalu bersikap halus dan berkata,
“Tung hai Sian jin, mengingat akan hubungan antara kau dan suhu, tolonglah aku dan obatilah Tek Hong.”
“Satu permintaan yang aneh. Tek Hong ini adalah putera dari Thian te Kiam ong Song Bun Sam musuh besar kita, bagaimana kini kau murid Lam hai Lo mo minta aku mengobatinya? Bahkan kalau aku harus mengingat akan hubunganku dengan suhumu, pemuda ini harus kubunuh sekarang juga!” Setelah berhenti sebentar Tung hai Sian jin memandang tajam tajam kepada Siang Cu lalu bertanya. “Sebetulnya apakah yang membuat kau begitu memperhatikan pemuda ini dan ingin melihat dia sembuh?”
Sambil menahan perasaan hatinya yang jengah dan malu. Siang Cu mengeraskan hati dan menjawab dengan suara gagah, “Aku cinta padanya! Aku suka berkurban apa saja asal dia dapat disembuhkan. Orang macam aku tidak apa mati, akan tetapi dia adalah seorang mulia dan tidak selayaknya mari muda.”
“Kau tak tahu malu!” bentak Tung hai Sian jin marah sekali dan tongkatnya sudah menggetar di dalam kedua tangannya yang menggigil, ia marah sekali dan ingin ia membunuh Siang Cu dan Tek Hong di saat itu juga.
Akan tetapi Eng Kiat yang sudah mengetahui watak ayahnya dan sudah merasa khawatir sekali kalau kalau ayahnya menjadi marah dan membunuh Siang Cu, segera maju dan berkata,
“Ayah, jangan mengganggu calon menantumu sendiri.” “Mantu apa? Siapa sudi mempunyai mantu tak kenal
malu seperti dia ini? Dunia masih lebar, masih banyak wanita yang lebih cantik dari padanya. Kau akan kucarikan puteri yang jauh lebih cantik. Jangan khawatir, Eng Kiat, sebutkan saja gadis mana yang kaukehendaki, biar puteri pangeran akan dapat kauambil untukmu.”
“Hanya satu, ayah, yakni Siang Cu inilah kuharapkan menjadi isteriku. Karena itu, harap ayah jangan membunuhnya,”
“Tung hai Sian jin, lekaslah kau mengobati Tek Hong!” Siang Cu yang tidak memperdulikan percakapan mereka, mendesak dan membujuk, ia tidak berani mempergunakan kekerasan karena maklum bahwa hal itu percuma saja.
“Hm, kau benar benar ingin melihat dia sembuh?” “Tentu saja!”
“Dan kau rela berkurban apa saja untuknya?” tanya pula Tung hai Sian jin.
“Biarpun harus menebus nyawanya dengan nyawaku, aku rela!” jawab nona itu tegas. “Eng Kiat, aku menyerahkan syaratnya kepadamu. Aku akan mengobati pemuda ini asalkan Siang Cu memenuhi syarat yang kau ajukan,” kata Tung hai Sianjin yang sudah merasa bohwat (tak berdaya) menghadapi puteranya yang tergila gila kepada Siang Cu ini. Ia maklum bahwa puteranya hanya suka betul betul kepada dua orang gadis, yakni Siang Cu dan Siauw Yang puteri Thian te Kiam ong. Hal ini tidak mengherankan, karena di dunia ini agaknya sukar dicari gadis gadis seperti kedua orang nona ini, tidak saja cantik jelita, akan tetapi juga memiliki kepandaian yang luar biasa dan mengagumkan.
Mendengar kata kata ayahnya, Eng Kiat maju mendekati Siang Cu dan berkata, “Syaratnya ringan saja, yakni kau harus bersumpah bahwa kau suka menjadi isteriku.”
Siang Cu merasa kepalanya pening, jantungnya berdebar kera dan ia menahan nahan nafsunya yang hendak meluap dan menekan kedua tangannya yang seakan akan ingin bergerak sendiri untuk menampar muka pemuda yang amat dibencinya itu. Akan tetapi kalau ia menengok ke bawah, ia melihat wajah Tek Hong yang pucat seperti mayat, maka ia tak dapat menahan lagi jatuhnya air matanya, ia tak dapat menjawab hanya mengangguk anggukkan kepalanya kepada Eng Kiat sambil menurunkan tubuh Tek Hong ke atas salju.
“Obatilah dia.... sembuhkanlah dia.... !” katanya di antara isaknya.
“Kau bersumpahlah dulu seperti yang diminta oleh Eng Kiat, bersumpah bahwa kau akan suka menjalani upacara pernikahan dengan dia, menjadi isterinya,” kata Tung hai Sian jin.
“Aku bersumpah untuk.... menjalankan upacara pernikahan dengan Eng Kiat dan menjadi isterinya,” kata
Siang Cu dengan hati hancur. “Lekas obati dia, takut kalau kalau terlambat. Akan tetapi sumpahku ini hanya berlaku kalau Tek Hong kausembuhkan.”
“Bagus,” Eng Kiat bersorak girang. “Ayah, kau obatilah dia ini. Siang Cu sudah menjadi calon isteriku benar benar! Aduh senangnya. Bidadariku yang manis, kau seakan akan telah memberi hadiah bulan purnama kepadaku. Ke sinilah, adinda yang tercinta, sini duduk dengan kanda.”
Bukan main mendongkol dan marahnya hati Siang Cu, Gadis ini sudah lelah sekali dan dalam waktu sepekan tidak tidur dan tidak makan. Kemudian ia menghadapi goncangan goncangan batin yang hebat, sekarang ditambah pula oleh nafsu amarah yang tertahan tahan, maka sambil memandang penuh kebencian kepada Eng Kiat, ia menjerit dan roboh pingsan di dekat Tek Hong.
Eng Kiat menjadi bingung sekali, ia membanting banting kedua kakinya dan hampir menangis. Sambil mewek mewek ia berkata kepada ayahnya, “Ayah, lekas sembuhkan dia! Aduh bagaimana ini? Ayah jangan perdulikan Tek Hong, lekas obati dia lebih dulu, bagaimana pengantinku menjadi begini?” Eng Kiat menggoyang goyang pundak Siang Cu sambil mewek mewek dan memanggil namanya. “Dinda Siang Cu.... dindaku yang manis, bangunlah !”
“Minggirlah!” Tung hai Sian jin membentak marah kepada puteranya. Kemudian ia memegang nadi pergelangan tangan Siang Cu lalu tertawa terbahak bahak.
“Dia kurang tidur dan lapar sekali. Hayo keluarkan bekal makanan dan arak!”
Tanpa menanti perintah kedua kalinya, Eng Kiat lalu menurunkan gendongan buntalannya, mengeluarkan kue kering dan dengan amat telaten dan penuh cinta kasih. Setelah memasukkan beberapa potong kue dan memberi minum arak kepada Siang Cu, mulailah gadis itu siuman kembali. Akan tetapi begitu melihat bahwa ia sedang disuapi oleh Eng Kiat, ia cepat cepat melompat bangun dengan muka merah. Eng Kiat tertawa.
“Ha, ha, ha, tadi kau sambil meram makan kue dengan enaknya. Marilah kaumakan lagi manis!”
Akan tetapi Siang Cu tidak mau memperdulikan lagi dan ketika ia menengok ke arah Tek Hong, ia segera berkata, “Kenapa dia belum diobati? Hayo lekas obati dia, Tung hai Sian jin. Bukankah aku sudah mengucapkan sumpahku?”
Tung hai Sian jin terkenal akan kelicikannya, kini melihat sikap Siang Cu tentu saja ia tidak percaya begitu saja.
“Untuk mengobati pemuda ini, adalah hal yang mudah. Akan tetapi makan waktu lama. Aku sudah mempelajarinya dan kakek itu. Sedikitnya makan waktu tiga hari. Akan tetapi aku bertanggung jawab bahwa dia pasti akan sembuh. Sementara itu kau harus pergi dengan Eng Kiat dan merayakan pernikahan di kampungku, yakni di rumah adikku, seorang piauwsu (pengantar barang ekspidisi) di dusun Tiang kwan.”
“Kau licik!” Siang Cu membentak marah, akan tetapi ia segera menahan marahnya dan berpikir cepat. “Kita harus atur seadil adilnya. Boleh aku meninggalkan Tek Hong di sini bersamamu, dan aku memang sudah bersumpah untuk menjalankan upacara pernikahan dengan anakmu. Akan tetapi, semua itu hanya dengan satu syarat bahwa aku harus melihat dulu kesembuhan Tek Hong dan bahwa aku baru mau menikah kalau Tek Hong sudah sembuh Sementara itu, jangan harap Eig Kiat akan berlaku kurang ajar. Sekali saja melakukan hal kurang ajar, aku anggap sumpahku tak berlaku!”