Kisah Pendekar Bongkok Bab 9


‘Tidak ada. Kalau ada, tentu dia sudah bercerita kepada kami. Kami semua mencinta Sie Kauwsu dan kami semua merasa bersedih dan kehilangan.!

Sie Liong mengerutkan alisnya, termenung. ‘Lopek, banyak terima kasih atas keteranganmu, dan aku tidak ingin lagi bicara tentang hal itu.! Setelah berkata demikian, pemuda ini bersila di depan makam dan memejamkan kedua matanya, bersamadhi. Kakek Kwan tidak lagi berani mengganggunya.

Terjadi perang di dalam pikiran Sie Liong. Mengapa encinya bercerita lain? Mengapa encinya seperti hendak menutupi kematian ayah ibunya, dan mengatakan bahwa ayah ibunya tewas karena penyakit menular? Benarkah encinya tidak tahu akan peristiwa itu? Ataukah encinya sengaja membohonginya? Akan tetapi, bagaimana mungkin encinya berbohong kepadanya? Dia yakin benar betapa besar kasih sayang encinya kepadanya. Dia tidak mau membicarakan urusan itu lagi dengan Kwan Sun, karena khawatir kalau orang-orang mencurigai encinya. Bagaimanapun juga, memang segalanya menunjukkan bahwa encinya tentu tahu akan peristiwa itu dan tahu pula siapa pembunuh ayah ibunya! Hanya encinya yang tahu, dan dia pasti akan mendengarnya dari encinya. Dia akan bertanya kepada Sie Lan Hong, encinya.

Setelah merasa cukup melakukan sembahyang di depan makam itu, Sie Liong lalu mengikuti Kwan Sun yang menjadi lurah baru untuk pulang ke rumah baru lurah itu. Dia harus tinggal beberapa hari lamanya di dusun itu untuk melatih beberapa jurus kepada bekas murid-murid ayahnya agar para penduduk dapat menyusun kekuatan untuk menghadapi ancaman orang-orang jahat seperti lurah Bouw.

Dengan penuh semangat para penduduk dusun itu, terutama mereka yang pernah belajar silat kepada Sie Kauwsu berlatih silat di bawah bimbingan Sie Liong selama satu minggu. Dan pada malam terakhir, Sie Liong duduk bersila di dalam kamarnya di rumah lurah Kwan merenungkan nasibnya. Nasib yang lebih banyak pahitnya dari pada manisnya. Sejak kecil dia telah menderita banyak sekali kekecewaan. Baru setelah dia menjadi murid orang-orang sakti dan berlatih ilmu di puncak bukit, hidupnya nampak indah dan berbahagia. Sekarang, begitu turun, dia mendengar berita kematian orang tuanya yang amat mengejutkan, yaitu bahwa ayah ibunya tewas karena dibunuh orang, sama sekali bukan karena penyakit. Ayah ibunya dan seisi rumah dibunuh, kecuali encinya dan dia! Apa artinya ini semua den mengapakah encinya harus berbohong kepadanya? Dia harus mendengar penjelasan dari encinya. Pada keesokan harinya dia berpamit meninggalkan dusun Tiong-cin, tempat kelahirannya itu. Lurah Kwan terkejut mendengar bahwa pendekar itu hendak pergi meninggalkan dusun mereka.

‘Sie Taihiap, kenapa engkau tergesa-gesa hendak meninggalkan kami? Harap taihiap menanti selama beberapa hari karena kami semua bermaksud untuk menjamu taihiap yang telah menyelamatkan semua saudara di dusun ini dari penindasan orang jahat. Selain itu, juga saya sendiri mempunyai urusan yang amat penting untuk diselesaikan kepada taihiap.!

Sie Liong tersenyum. Dia memang memiliki rasa persaudaraan dekat sakali dengan para penghuni dusun Tiong-cin, tempat kelahirannya. Kalau para penduduk hendak menjamunya, sebagai semacam pesta perpisahan, tidak mungkin dia menolak. Dia tidak ingin mengecewakan hati mereka, dan pula, menunda beberapa haripun apa salahnya? Biarpun hatinya ingin sekali mendengar dari encinya tentang kenatian orang tuanya, namun dia tidak tergesa-gesa.

‘Baiklah, Kwan Lopek. Aku tidak berkeberatan untuk menunda dua hari lagi, akan tetapi jangan terlalu lama. Tentang urusanmu itu, apakah itu, lopek?!

‘Sebelumnya maaf kalau pertanyaanku ini menyinggung karena terlalu pribadi. Akan tetapi bolehkah aku mengetahui apakah engkau sudah menikah atau bertunangan, Sie Taihiap?!

Sie Liong tersenyum dan menggeleng kepalanya. Kalau saja dia tidak menerima penggemblengan ilmu-ilmu yang dalam, juga pengertian tentang kehidupan dari para gurunya, tentu pertanyaan itu akan menyinggung perasaannya. Dia seorang yang cacat, bagaimana berani memikirkan tentang perjodohan? Wanita mana yang mau didekati seorang laki-laki yang bongkok seperti dia? Yatim piatu, miskin, dan bongkok pula!

‘Tidak, lopek. Aku masih hidup seorang diri.!

Tiba-tiba wajah kakek itu berseri gembira sehingga Sie Liong menjadi heran. Bahkan kini kakek itu tertawa. ‘Ha-ha-ha, sungguh kebetulan sekali, taihiap. Kalau Tuhan menghendaki, dan kalau taihiap tidak merasa rendah, kami sekeluarga, bahkan seluruh penduduk dusun ini akan merasa berbahagia sekali kalau taihiap sudi menjadi jodoh cucuku Kwan Siu Si. Ia juga sudah yatim piatu dan ia seorang anak yang amat baik, taihiap.!

Wajah Sie Liong berubah merah. Siu Si? Hemm, gadis yang manis sekali itu! Memang dia sama sekali belum pernah berpikir tentang jodoh. Akan tetapi kalau benar gadis yang manis itu mau dijodohkan dengan dia, sungguh hal itu merupakan suatu anugerah baginya. Gadis itu berwajah manis, bertubuh padat dan sehat, juga seorang gadis dari dusun tempat kelahirannya sendiri.

‘Bagaimana, Sie Taihiap? Maafkan kami kalau usulku tadi menyinggung perasaanmu. Memang kami akui bahwa Siu Si seorang gadis dusun bodoh dan terlalu rendah apabila dibandingkan dengan taihiap.!

‘Ah, jangan berkata demikian, lopek! Sama sekali aku tidak mempunyai pikiran seperti itu. Bahkan aku merasa berterima kasih sekali. Akan tetapi karena aku sudah tidak mempunyai ayah ibu, aku harus minta keputusan enci-ku dalam hal perjodohan. Maka, bersabarlah kalau aku belum dapat memberi jawaban dan keputusan sekarang. Aku akan menyampaikan kepada enci dan minta keputusan enci.!

‘Tapi.... tapi, engkau sendiri tidak berkeberatan, taihiap?!

Sie Liong menggelengkan kepala.

Lurah Kwan menjadi girang bukan main. ‘Terima kasih, taihiap! Aku akan memberitahu kepada kawan-kawan agar secepatnya mempersiapkan jamuan karena engkau akan pulang ke rumah encimu!!

Pada keesokan harinya, perjamuan makan untuk menghormati Sie Liong dan untuk menghaturkan selamat jalan diadakan di rumah Lurah Kwan. Semua penghuni dusun itu hadir, dan Sie Liong duduk semeja dengan Lurah Kwan, dilayani oleh Siu Si sendiri. Gadis ini nampak malu-malu, karena ia sudah diberitahu oleh kakeknya tentang usaha kakeknya menjodohkannya dengan pendekar itu. Sie Liong melihat betapa gadis yang manis ini kelihatan canggung dan malu-malu, akan tetapi penglihatan Sie Liong yang tajam dapat menangkap bekas air mata dan mata yang agak kemerahan oleh tangis, dan bahwa sikap ramah dan senyum di bibir yang mungil itu tidak wajar, seperti dipaksakan.

Lurah Kwan bangkit berdiri dan minta perhatian kepada semua orang, lalu dia membuat pengumuman bahwa dia telah menjodohkan Kwan Siu Si kepada pendekar Sie Liong! Tentu saja berita ini amat menggembirakan para penduduk dusun itu dan mereka menyambutnya dengan sorakan dan tepuk tangan. Lurah Kwan mengangkat kedua lengan ke atas dan merekapun diam, wajah mereka berseri dan mereka mendengarkan penuh perhatian apa yang akan diucapkan oleh kepala dusun baru itu.

‘Perjodohan ini telah kami bicarakan dengan Sie-taihiap, dan diapun tidak berkeberatan. Akan tetapi jawaban dan keputusannya akan diberikan setelah dia menyampaikan hal itu kepada encinya yang kini tinggal di kota Sung-jan. Karena itu, dalam waktu dekat ini Sie-taihiap akan meninggalkan dusun kita dan pulang ke Sung-jan untuk minta persetujuan encinya.!

Kembali orang-orang bersorak dan bertepuk tangan. Akan tetapi Sie Liong melihat betapa Siu Si, gadis yang tadi melayani mereka bahkan diajak makan bersama oleh kakeknya, diam-diam telah pergi meninggalkan meja dan keluar dari ruangan itu. Kwan Sun yang melihat hal itu hanya tertawa.

‘Maafkan cucuku. Maklum, ia malu-malu,! katanya dan Sie Liong juga tidak berkata sesuatu.

Malam itu, di dalam kamarnya, Sie Liong agak gelisah. Malam terakhir dia di rumah keluarga Kwan yang menjadi lurah baru, karena besok pagi-pagi dia akan pergi meninggalkan dusun itu. Akan tetapi bukan hal itu yang membuatnya tidak dapat tidur. Dia membayangkan keadaan sendiri, tentang ikatan jodoh itu. Bagaimana kalau encinya menyetujui ikatan jodoh itu?

Kalau encinya tidak setuju, hal itu bukan yang digelisahkan. Kalau encinya tidak setuju, tinggal menyampaikan saja kepada Lurah Kwan dan ikatan itu tidak jadi. Dia hanya suka saja kepada Siu Si yang manis, apalagi gadis sedusun dengannya. Dia belum dapat merasakan, belum tahu dan belum mengerti apa itu yang dinamakan cinta antara pria dan wanita. Akan tetapi, bagaimana kalau encinya setuju? Apakah dia harus menikah dengan Siu Si? Lalu apa jadinya dengan dia? Dia tidak mempunyai rumah tinggal, tidak mempunyai pekerjaan yang menghasilkan sesuatu. Tinggal di rumah Lurah Kwan? Sebagai laki-laki, tentu hal ini merendahkan harga dirinya. Ikut encinya? Inipun tidak betul, mengingat akan sikap cihu-nya dan bahkan urusan kematian orang tuanya masih menjadi rahasia yang harus dia tanyakan kepada encinya. Dan Bi Sian.... Tiba-tiba Sie Liong tertegun dan termeung. Bi Sian!

Terbayanglah wajah anak perempuan yang manis, manja dan galak itu, dan jantungnya berdebar. Mengapa timbul parasaan yang amat aneh ketika dia teringat kepada Bi Sian? Uhh, anak itu tentu akan menggodanya setengah mati kalau mendengar bahwa dia hendak kawin! Tiba-tiba saja timbul penyesalan di dalam hatinya. Mengapa dia tergesa-gesa menerima usul lurah Kwan? Kini dia telah melangkah maju, tidak mungkin mundur lagi tanpa menyakiti hati keluarga Kwan.

Tiba-tiba Sie Liong bangkit duduk, memejamkan mata dan mengerahkan pendengarannya yang terlatih. Dia mendengar suara isak tangis tertahan!

Karena mengkhawatirkan terjadinya sesuatu yang tidak bares, apalagi dia menduga bahwa tangis itu agaknya suara tangis Siu Si di dalam kamarnya, dengan hati-hati Sie Liong membuka jendela kamarnya dan sekali berkelebat dia sudah berada di luar kamarnya, kemudian meloncat naik ke atas genteng dan mengintai ke dalam kamar gadis yang dicalonkan menjadi isterinya itu.

Benar saja. Siu Si duduk di atas pembaringan sambil menangis lirih. Agaknya gadis itu menahan suara tangisnya agar tidak kedengaran orang lain. Seorang wanita setengah tua duduk di dekat gadis itu dan menghiburnya.

‘Bibi Liu, kau tidak perlu membujuk dan menghiburku! Percuma kong-kong menyuruh engkau menemaniku dan membujukku. Kong-kong sudah tahu bahwa aku telah lama bersahabat akrab dengan Sui-koko, dan semua orang tahu, engkau juga tahu bahwa kami saling mencinta dan kami mengharapkan kelak menjadi suami isteri. Bahkan kong-kong, biarpun tidak secara resmi, menyetujui kalau Siu-koko kelak menjadi suamiku. Akan tetapi kenapa tiba-tiba saja kong-kong menjodohkan aku dengan.... Si Bongkok itu?!

‘Hushh, jangan berkata demikian, Siu Si. Dia adalah seorang pendekar sakti yang budiman....!

‘Aku tidak perduli! Biar dia sakti seperti dewa sekalipun, aku tidak sudi, aku tidak suka padanya. Siapa mau dikawinkan dengan seorang yang bongkok dan buruk?! Siu Si menangis lagi.

‘Hushh, kau tidak boleh berkata begitu, Siu Si. Sie-taihiap memang bongkok, akan tetapi dia tidaklah buruk. Pula, dia telah menyelamatkan kita semua, terutama engkau! Kalau tidak ada dia, bukankah engkau telah menjadi tawanan Lurah Bouw?!

‘Tapi dia menolongku dengan pamrih! Buktinya, setelah menolongku, kenapa dia tidak pergi saja dan bahkan ingin menjadi suamiku? Aku tidak sudi.... tidak sudi menjadi isteri Si Bongkok! Aihh, aku mau minggat saja dengan Siu-koko....!

‘Hushhh....!!

Wajah Sie Liong menjadi pucat, lalu merah kembali dan tanpa diketahui siapapun, dia sudah melayang turun kembali ke dalam kamarnya. Hatinya seperti ditusuk rasanya. Dia menyelamatkan dusun kelahirannya, menolong penduduk dengan hati yang jujur, menghindarkan Siu Si dari bahaya dengan sesungguhnya tanpa pamrih. Akan tetapi kini dia dituduh yang bukan-bukan. Dan gadis yang ditolongnya itu menyebutnya Si Bongkok dengan nada suara menghina dan penuh kebencian! Dan gadis yang amat membencinya itu akan menjadi isterinya? Tidak, tidak mungkin!

Dengan tubuh lemas dan jari tangan agak gemetar Sie Liong lalu menulis sepucuk surat, pendek saja isinya.

Kwan Lopek,
Maafkan kepergianku tanpa pamit. Tentang perjodohanku itu, sebaiknya kita batalkan saja. Aku tidak mau terikat perjodohan dan aku bukan calon suami yang baik bagi cucumu.
Sie Liong.

Malam itu juga Sie Liong meninggalkan rumah Lurah Kwan, meninggalkan dusun Tiong-cin lalu keluar menuju ke barat. Menjelang pagi, ketika matahari mulai nampak mengintai dari balik cakrawala di timur, dia sudah tiba di puncak sebuah bukit. Dia duduk menghadap ke arah matahari yang baru tersembul, duduk memeluk kedua lututnya, tersenyum pahit dan kadang-kadang meraba punggungnya yang bongkok. Terngiang suara Siu Si di antara isaknya. ‘Siapa mau dikawinkan dengan seorang yang bongkok dan buruk? Aku tidak sudi menjadi isteri Si Bongkok....!

Senyum yang menghias wajah Sie Liong menjadi pahit sekali. Ia mengepal tinjunya, wajahnya merah. Akan tetapi kepalan tinjunya terbuka kembali dan kepahitan senyumnya menipis. Kenapa dia harus marah? Memang dia bongkok, memang dia buruk, habis mengapa? Biarlah dia berbahagia dengan kebongko kannya, dengan keburukannya. Bongkok dan buruk hanyalah tubuh. Dia bahkan harus berterima kasih kepada Siu Si. Seorang gadis yang hebat! Tidak mau menyerah begitu saja, berjiwa pemberontak dan berani menentang kesewenang-wenangan. Kakeknya memang sewenang-wenang!

Kalau kakek Kwan itu sudah tahu bahwa cucunya saling mencinta dengan seorang pemuda lain, kenapa mempunyai niat hendak menjodohkan cucunya itu dengan dia! Untuk membalas budi? Untuk mencari muka? Atau untuk mengikat agar dia mau terus tinggal di dusun itu sehingga menjamin keamanan dan keselamatan penduduk? Yang jelas, niat itu sudah pasti berpamrih. Kalau tidak, tentu kakek Kwan tidak akan memutuskan ikatan kasih sayang antara cucunya dan pemuda lain. Ya, dia harus berterima kasih kepada Siu Si. Kalau gadis itu seperti para gadis lain yang lemah dan tidak berdaya, tidak menentang melainkan ‘terima nasib!, bukankah dia akan memasuki sebuah perkawinan yang celaka? Isterinya akan merupakan orang yang sama sekali tidak mencintanya, bahkan membencinya, dan hanya mau menjadi isterinya karena terpaksa!

‘Terima kasih, Siu Si....! dia berbisik, lalu bangkit berdiri. Pagi itu indah sekali. Matahari muncul sebagai sebuah bola merah yang amat besar, dengan sinar redup cemerlang. Dia tersenyum kepada matahari.

‘Terima kasih, matahari, untuk pagi yang seindah ini....! dia kembali berbisik dan memandang matahari. Tidak lama, karena segera sinar matahari mulai menyilaukan dan tidak baik untuk kesehatan mata. Sie Liong membalikkan tubuh, lalu menuruni puncak bukit itu, senyumnya tidak lagi pahit, melainkan senyum cerah, menyongsong hari yang cerah.

‘Terima kasih, Thian, untuk tubuh yang bongkok ini....! dia berbisik penuh rasa sukur. Bukankah tubuhnya itu pemberian Tuhan? Bongkok atau tidak, pemberian Tuhan adalah anugerah yang sempurna, dan patut disukuri. Biarlah semua orang tidak menyukainya dan menghinanya karena tubuhnya yang bongkok, dia tidak akan berkecil hati. Memang dia bongkok, tinggal orang lain mau menerimanya seperti apa adanya ataukah tidak. Dia memang bongkok dan dia tidak ingin menjadi tidak bongkok, karena keinginan seperti itulah yang men yengsarakan kehidupan manusia. Menginginkan sesuatu yang tidak dimilikinya, menginginkan sesuatu yang lain dari yang pada yang ada. Tidak, dia tidak menginginkan apa-apa. Dia memang bongkok, seorang pemuda yang berbahagia.

***

‘Liong-te....!! Sie Lan Hong menjerit dan merangkul pemuda bongkok yang muncul di depannya itu. Wanita itu merangkul dan menangis di dada adiknya. ‘Aih, Liong-te.... betapa girangnya hatiku melihatmu....!!

Sie Liong membiarkan encinya menangis dan menumpahkan semua peraaaan haru dan rindu, juga kebahagiaan hati melihat bahwa adik yang telah lama menghilang itu kini muncul dalam keadaan selamat dan telah menjadi seorang pemuda dewasa. Setelah mereda guncangan hatinya, Sie Lan Hong melepaskan rangkulannya.

‘Enci, marilah kita duduk dan bicara,! kata Sie Liong, ‘dan mana ci-hu (kakak ipar)?!

‘Cihu-mu.... dia pergi, sebentar tentu akan kembali. Marilah, Liong-te, mari kita duduk di dalam.!

Sambil bergandeng tangan mereka masuk. Diam-diam Sie Liong memperhatikan segala yang nampak di situ. Encinya nampak kurus dan pucat, dan garis-garis duka membuat encinya nampak tua. Padahal kini usianya mendiri dua puluh tahun, berarti encinya baru tiga puluh empat tahun. Belum setua nampaknya! Tentu encinya hidup dalam kedukaan, pikirnya. Karena dia pergi? Dan rumah ini berbeda jauh dengan tujuh delapan tahun yang lalu. Cihu-nya yang berdagang rempa-rempa dapat dikatakan hidup makmur biarpun tidak terlalu kaya.

Dahulu, prabot rumahnya cukup mewah dan keluarga encinya hidup berkecukupan. Akan tetapi sekarang sunguh berbeda sekali keadaannya. Pakaian yang dikenakan encinya juga tidak seindah dulu. Di tubuhnya tidak pula nampak perhiasan mahal. Dan prabot rumah sudah berganti semua, terganti prabot yang murah dan buruk. Tentu saja hati Sie Liong diliputi perasaan khawatir sekali walaupun wajahnya tidak membayangkan sesuatu ketika dia duduk berhadapan dengan encinya. Keduanya saling pandang dan wajah wanita itu berseri melihat betapa adiknya, walaupun punggungnya masih bongkok, namun telah menjadi seorang pemuda dewasa yang wajahnya gagah dan tubuhnya nampak sehat.

‘Liong-te, selama ini engkau pergi ke mana saja?!

‘Aku mempelajari ilmu silat, enci, berguru kepada orang-orang sakti dari Himalaya.! Sie Liong menceritakan secara singkat tentang riwayatnya ketika belajar ilmu silat. Mendengar ini, encinya girang sekali.

‘Ah, sukurlah, adikku. Dengan demikian, maka engkau kini tentu menjadi seorang pendekar yang tidak akan mengecewakan hati ayah dan ibu di alam baka....!

Sie Liong merasa heran. Biasanya dahulu encinya paling tidak suka membicarakan ayah dan ibu mereka yang sudah tiada.

‘Enci Hong, kedatanganku ini untuk bertanya sesuatu kepadamu dan harap sekali ini engkau tidak berbohong kepadaku.!

Wanita itu terbelalak memandang kepadanya, mukanya segera berubah agak pucat dan sinar matanya membayangkan ketakutan. ‘Apa.... apakah yang ingin kautanyakan, adikku?!

‘Apa yang telah terjadi dengan ayah dan ibu kita, enci?!

Wanita itu nampak semakin kaget. ‘Ayah dan ibu? Mereka.... mereka meninggal dunia....!

‘Tak perlu membohong lagi, enci. Aku sudah pergi ke Tiong-cin dan di sana aku mendengar bahwa ayah dan ibu, dan juga suheng Kim Cu An, dua orang pelayan wanita, anjing, ayam dan kuda, semua dibunuh orang pada suatu malam. Nah, enci tidak perlu berbohong lagi!!

Sie Lan Hong menangis, lalu mengusap air matanya dan berkata, ‘Engkau maafkan aku, Liong-te. Memang dulu aku berbohong kepadamu agar tidak membuat engkau penasaran dan diracuni dendam. Memang pada malam jahanam itu keluarga ayah diserbu musuh. Ayah telah mengetahuinya, maka dia memaksa aku pergi meninggalkan rumah dan membawa engkau yang baru berusia sepuluh bulan. Ayah memaksaku, dan andaikata aku tidak pergi membawamu mengungsi, tentu kita berdua sudah menjadi korban pembunuhan pula....!

Sie Liong memandang wajah encinya dengan tajam dan penuh selidik. ‘Enci, di dusun kita itu tidak ada seorangpun mengetahui siapa pembasmi keluarga kita. Apakah engkau tahu, enci? Siapakah musuh besar yang demikian kejam itu?!

Sie Lan Hong menangis lagi dan menggeleng kepala keras-keras. ‘Tidak.... ah, aku tidak tahu.... aku tidak tahu.... aku mengajakmu melarikan diri, adikku. Aku tidak tihu siapa pembunuh itu....!

Melihat encinya menangis lagi, agaknya berduka mengingat akan kematian ayah ibu mereka yang mengerikan, Sie Liong tidak bertanya lagi. Jadi benar ayah ibunya, suhengnya, dua orang pelayan dan semua binatang peliharaan di rumah orang tuanya dibunuh orang. Tentu orang itu menyimpan dendam yang amat hebat maka melakukan perbuatan sekejam itu.

Lalu dia teringat kepada Yauw Bi Sian. ‘Enci, aku tidak melihat Bi Sian. Di manakah ia?!

Encinya kembali memperlihatkan wajah duka. ‘Ia juga pergi mempelajari ilmu. Ia bertemu dengan seorang sakti dan menjadi muridnya, lalu diajak pergi oleh gurunya itu.!

‘Ahhh....!! Sie Liong kagum sekali mendengar ini. Anak yang bengal itu akhirnya belajar silat pada seorang sakti! ‘Siapakah nama gurunya, enci?!

‘Namanya Koay Tojin....!

Sie Liong menahan debaran jantungnya. Koay Tojin? Kakek yang seperti gila namun yang amat sakti itu? Koay Tojin adalah sute dari Pek-sim Sian-su, gurunya sendiri!

‘Kapan ia pulang, enci?! tanyanya, hatinya masih berdebar girang.

‘Entah, menurut janjinya dahulu ketika pamit, agaknya sewaktu-waktu ia akan pulang.!

‘Enci yang baik, engkau kelihatan begini lesu, kurus dan sengsara. Juga aku melihat perubahan dalam rumah ini. Enci, apakah cihu gagal dalam usahanya dan menderita rugi? Apakah engkau sakit, enci?!

Ditanya demikian, Sie Lan Hong tiba-tiba menutupi muka dengan kedua tangannya dan menangis sesenggukan. Sedih sekali. Sie Liong terkejut. Dia mendiamkan saja encinya menangis tersedu-sedu. Setelah tangis itu mereda, Sie Liong memegang tangan encinya, digenggamnya tangan itu.

‘Enci, engkau hanya mempunyai aku sebagai keluargamu. Percayalah kepadaku dan ceritakan semuanya. Siapa tahu aku akan dapat meringankan beban penderitaan batinmu, enci.!

Wanita itu menggeleng kepalanya. ‘Aih, memang nasibku buruk, adikku. Semenjak engkau pergi, lalu disusul Bi Sian juga pergi. Semenjak itu ah, cihu-mu berubah sama sekali. Dia dahulu begitu baik, begitu mencintaku, akan tetapi sudah beberapa tahun ini.... dia hampir setiap malam pergi. Dia berjudi sampai habis-habisan. Pekerjaannya tidak diurus sehingga bangkrut.... dan dia.... dia hanya berjudi dan pelesir saja....!

Sie Liong mengerutkan alianya. Cihu-nya itu sungguh semakin tua tidak mencari jalan terang! Akan tetapi, bagaimana dia dapat mcncampuri urusan rumah tangga encinya? Bagaimanapun juga, cihu-nya telah menyeleweng, dan hal itu perlu ditegur dan diingatkan.

Sie Liong teringat bahwa adiknya baru datang. Diusapnya air mata dan ia pun memaksa diri tersenyum. ‘Aih, engkau datang-datang kuajak bicara hal-hal yang tidak enak saja, Liong-te. Mari, engkau beristirahatlah. Akan kubersihkan kamarmu untukmu.!

‘Biar kubersihkan sendiri, enci. Akupun tidak akan lama sekali tinggal di sini.!

‘Liong-te, jangan begitu! Engkau baru pulang dan engkau mendatangkan kegembiraan di hatiku. Jangan tergesa-gesa pergi. Temanilah encimu yang kesepian ini, Liong-te. Ah, kita sudah tidak mempunyai pelayan, semua harus dikerjakan sendiri.!

‘Baiklah, enci. Aku akan tinggal selama beberapa hari sampai hilang rasa rindu kita.!

Diam-diam dia bermakasud untuk membujuk agar cihu-nya kembali ke jalan benar. Kalau perlu dia akan menggunakan teguran keras!

Setelah jauh malam, baru nampak Yauw Sun Kok pulang menggedor pintu dalam keadaan mabok! Memang semenjak Bi Sian pergi, Yauw Sun Kok telah berubah sama sekali. Agaknya karena anaknya tidak ada dan dia merasa kesepian, maka kambuh pula penyakit lamanya. Dia merasa bosan dengan isterinya dan dia berpelesir di luaran, menjadi langganan rumah pelacuran dan rumah perjudian. Perdagangannya bangkrut karena tidak diurusnya sehingga perabot rumahpun yang berharga telah dijualnya untuk modal berjudi! Terhadap isterinya dia tidak perduli, bahkan pernah beberapa kali kalau isterinya mengomelinya, dia tidak segan turun tangan memukulinya.

Melihat encinya tergopoh-gopoh membuka pintu depan, Sie Liong juga ke luar dari dalam kamarnya. ‘Brakkkkkk!! Daun pintu didorong kuat-kuat dari luar ketika kuncinya dibuka oleh encinya dari dalam dan tubuh Sie Lan Hong terdorong oleh daun pintu sampai terhuyung dan hampir jatuh.

‘Perempuan gila! Perempuan malas! Engkau sudah segan membuka pintu untuk suamimu, hah? Engkau sudah bosan melayani aku, atau engkau sudah mempunyai seorang pacar simpanan? Awas, kubunuh kau!! bentak Yauw Sun Kok sambil berjalan terhuyung menghampiri isterinya. Jelas bahwa dia mabok.

Karena diperlakukan kasar dan dimaki-maki di depan adiknya, Sie Lan Hong yang biasanya hanya menghadapi suaminya dengan cucuran air mata, kini tak dapat menahan kemarahannya.

‘Sungguh bagus sekali sikapmu ini ya? Sejak pagi engkau pergi meninggalkan rumah, pulang sudah malam dalam keadaan mabok, begitu mengetuk pintu segera kubuka, engkau malah memaki-maki aku!!

Sie Liong hampir tidak mengenal cihu-nya. Bukan hanya wataknya yang berubah, akan tetapi juga keadaan badan orang itu berubah! Dulu cihu-nya tampan pesolek dan pakaiannya selalu rapi. Akan tetapi sekarang, rambutnya awut-awutan, pakaiannya kusut, matanya seperti orang mengantuk dan mulutnya cemberut. Cihu-nya itu seperti orang yang tidak percaya mendengar ucapan isterinya.

‘Apa? Engkau hendak melawan, ya? Siapa yang mengajarmu melawan suami? Perempuan sial! Perempuan terkutuk! Engkau minta dihajar, ya?!

Yauw Sun Kok mengangkat tangan ke atas, siap memukul isterinya. Melihat betapa lengan itu terayun kuat, Sie Liong maklum bahwa kalau encinya terkena pukulan itu, bisa celaka. Sekali berkelebat tubuhnya sudah melompat dekat dan dia menangkap pergelanggn tangan cihu-nya sambil berkata, ‘Harap jangan memukul!!

Yauw Sun Kok menoleh ke kanan. Ketika melihat bahwa ada seorang pemuda menangkap lengannya, kemarahannya memuncak. Dia menarik tangannya dan memaki isterinya. ‘Bagus! Sungguh perempuan tak bermalu, perempuan lacur! Jadi engkau benar-benar menyimpan seorang laki-laki di rumah, ya? Pantas, engkau berani melawan aku, suamimu!!

Dia maju dan hendak menyerang isterinya. Akan tetapi Sie Liong sudah berdiri menghalang di depannya. ‘Cihu, lihatlah baik-baik siapa aku! Harap cihu jangan memukul enci dan mendakwa yang bukan-bukan!!

‘Engkau pemuda kurang ajar berani main-main dengan isteriku? Ahh, engkau bongkok! Bongkok....?! Yauw Sun Kok membelalakkan kedua matanya seolah-olah tidak dapat melihat dengan jelas, lalu mendekatkan mukanya. ‘Engkau bongkok....? Benarkah engkau Sie Liong?!

‘Benar, cihu. Aku Sie Liong.!

‘Sie Liong....? Ha-ha-ha....!! Yauw Sun Kok tertawa bergelak sambil mengamati pemuda bongkok itu. ‘Engkau sudah dewasa, akan tetapi masih cacat. Ha-ha-ha!! Dia tertawa-tawa seperti orang gila.

‘Jangan bicara sembarangan. Dia bukan Sie Liong yang dulu lagi. Dia telah menjadi murid orang-orang sakti dan dia datang untuk mencari pembunuh ayah dan ibu kami,! kata Sie Lan Hong.

Seketika Yauw Sun Kok berhenti tertawa dan dia memandang kepada Sie Liong dengan mata terbelalak. ‘Apa? Engkau....? Engkau handak mencari pembunuh ayah ibumu? Hemm, mau apa engkau mencarinya, Sie Liong? Apa kaukira setelah beberapa tahun ini engkau belajar sedikit ilmu silat lalu kaukira a kan mampu melawan pembunuh itu? Huh, jangan sombong engkau! Aku sendiri yang memiliki kepandaian tinggi dan banyak pengalaman, masih tidak mampu menandingi pembunuh itu. Apalagi engkau?!

‘Hemm, jadi cihu tahu siapa pembunuh ayah dan ibuku? Siapa dia itu, cihu?!

‘Dia adalah Tibet Sin-mo (Iblis Sakti Tibet), tokoh Tibet yang amat sakti. Aku sendiri tidak mampu mencarinya. Apa lagi bocah cacat seperti engkau!!

Sie Liong mengerutkan alisnya. Cihu-nya ini memang telah berubah. Walaupun dahulu juga cihu-nya tidak suka kepadanyaa, akan tetapi sikapnya baik dan ramah. Sekarang sikapnya demikian kasar dan menghina. Teringat dia akan cerita encinya dan tadipun dia melihat betapa encinya akan dipukuli.

‘Cihu! Tidak sepatutnya cihu berkata demikian. Cihu memuji-muji musuh, dan cihu tentu tidak bersungguh hati mencari pembunuh ayah ibu kami karena cihu tidak perduli! Dan sekarangpun cihu memperlihatkan sikap yang amat buruk terhadap enci!!

‘Apa? Kau anak kurang ajar.... Hemm, encimu sudah mengadu, ya....?!

‘Cihu, tanpa pengaduan dari siapa pun juga, aku sudah melihat sikapmu tadi. Engkau mabok-mabokan, pulang malam marah-marah, bahkan mau memukul enci! Keadaan rumah tanggamu menjadi rusak, habis-habisan, karena kauhabiskan untuk berjudi! Cihu, engkau harus sadar bahwa engkau telah terseret ke dalam lumpur....!

‘Tutup mulutmu, keparat!! Tiba-tiba Yauw Sun Kok menerjang dengan marah sekali, mengirim serangan kilat ke arah dada dan leher adik isterinya. Biarpun dia sedang mabok, akan tetapi karena memang dia seorang ahli silat yang pandai, serangannya ini masih amat berbahaya dan kalau hanya ahli silat biasa saja, masih akan sukar untuk dapat menghindarkan diri dari serangan Yauw Sun Kok itu. Akan tetapi, yang diserangnya adalah Sie Liong, biarpun seorang pemuda cacat, punggungnya bongkok namun dia murid tersayang dari Himalaya Sam Lojin dan Pek-sim Sian-su manusia sakti dari He-lan-san itu.

Dengan mudah saja Sie Liong memiringkan tubuhnya dan menggunakan len gan kirinya untuk mendorong dari samping dan tubuh Yauw Sun Kok terpelanting!

‘Cihu, aku tidak mau dihina dan dipukul lagi!!

Melihat betapa akibat serangannya membuat dirinya terpelanting, Sun Kok marah sekali. Dia menyambar ke arah dinding di mana tergantung sebatang pedang hiasan. Biar dia mabok, gerakannya masih cepat sekali dan tahu-tahu pedang itu telah berada di tangan kanannya, terlolos dari sarungnya.

‘Jangan....! Jangan berkelahi! Jangan pergunakan pedang....!! Sie Lan Hong berteriak ketakutan. Akan tetapi suaminya tidak memperdulikan jeritannya dan sudah menyerang Sie Liong dengan pedangnya. Pedang menyambar ganas ke arah leher pemuda itu. Sie Liong menekuk lutut sehingga pedang itu menyambar lewat berdesing di atas kepalanya. Akan tetapi dengan cepat, pedang yang menyambar itu telah membalik dan kini menusuk ke arah dadanya.

‘Cihu, engkau sedang mabok!! bentak Sie Liong dan dia menggunakan tangannya dari samping memukul pedang sambil mengerahkan tenaganya.

‘Plakkk!! Pedang itu terpukul lepas dari tangan Yauw Sun Kok yang menjadi terkejut bukan main. Namun dia masih sempat menendang dengan kakinya ke arah perut Sie Liong. Pemuda ini maklum betapa cihunya yang mabok itu harus diberi hajaran agar sadar bahwa yang dihadapinya bukanlah anak bongkok dan lemah yang dahulu. Maka, dia sengaja menyambut tendangan kaki itu dengan pengerahan tenaga di perutnya.

‘Dukkk!! keras sekali tendangan itu, namun akibatnya, bukan tubuh Sie Liong yang terjengkang. Pemuda itu masih berdiri tegak, akan tetapi tubuh Yauw Sun Kok yang terjengkang dan terbanting cukup keras.

Dia bangkit duduk dengan mata terbelalak, dan pada saat itu, isterinya yang mengkhawatirkan kejadian atau perkelahlan yang lebih hebat, sudah berlutut di dekatnya. ‘Hemm, sudahlah. Engkau sedang mabok maka engkau menyerang adik kita sendiri. Hayo, mengasolah.... tidurlah....! Ia membantu suaminya bangkit berdiri dan memapahnya menuju ke kamar mereka. Sekali ini Yauw Sun Kok tidak membantah.

Biarpun mabok, sebenarnya orang ini masih cukup sadar untuk melihat kenyataan yang membuatnya terkejut bukan main. Si Bongkok itu kini telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi! Sungguh berbahaya sekali. Dia merasa penasaran dan juga malu, maka dia merasa lebih aman menyembunyikan diri dan berlindung di balik kemabokannya, maka diapun pura-pura tidak ingat apa-apa lagi dan menurut saja ketika dipapah isterinya ke kamar. Setibanya di dalam kamarnya, langsung dia melempar tubuh ke atas pembaringan dan tak lama kemudian dia sudah tidur mendengkur.

***

Kakek gembel itu duduk di bawah pohon besar, nampak melenggut. Memang nyaman sekali pada siang hari yang amat panas itu duduk berteduh di bawah pohon yang rindang dan teduh. Angin semilir sejuk dan kakek itu mengantuk. Dia duduk bersandar batang pohon, tongkat bututnya menggeletak di dekat kakinya yang dijulurkan. Kakek gembel ini sudah tua sekali, hampir delapan puluh tahun usianya. Pakaiannya butut penuh tambalan.

Tiba-tiba kedua matanya yang tadi tertutup seperti orang tidur, kini terbuka dan dia tertawa-tawa seorang diri, lalu memejamkan kembali matanya. Orang-orang yang melihat keadaannya ini tentu akan menduga bahwa dia seorang gembel tua yang hidup sengsara dan berotak miring. Akan tetapi kalau ada tokoh kang-ouw lewat di situ dan melihat gembel tua ini, dia tentu akan terkejut setengah mati. Kakek tua renta ini sesungguhnya bukanlah orang sembarangan. Dia adalah Koay Tojin, seorang yang terkenal memiliki kesaktian yang menggiriskan. Sepak terjangnya aneh dan biarpun dia jarang bahkan hampir tidak pernah mencampuri urusan dunia ramai, akan tetapi orang-orang kang-ouw ketakutan kalau bertemu dengannya. Hal ini adalah karena wataknya yang aneh dan kadang-kadang ugal-ugalan dan celakalah orang yang sampai berhadapan dengan dia sebagai lawan!

Selagi kakek itu duduk melenggut, tiba-tiba nampak bayangan dua orang berkelebat dan di depan kakek itu kini nampak dua orang muda. Seorang gadis berusia delapan belas tahun dan seorang pemuda berusia hampir dua puluh tahun. Gadis itu cantik dan manis sekali, dengan sepasang mata yang jeli dan tajam mencorong, sikap yang jenaka dengan wajah selalu cerah ceria. Gadis manis inipun mengenakan pakaian tambal-tambalan, akan tetapi bukan sembarang tambalan! Biarpun pakaiannya tambal-tambalan, namun bersih dan semua tambalan itu terbuat dari kain yang baru! Sepatu kulitnya juga mengkilat baru, rambutnya bersih licin, sama sekali tidak nampak kesan seorang pengemis! Pemuda itupun berwajah tampan, matanya mengandung kecerdikan dan mulutnya selalu terhias senyum yang manis sehingga mendatangkan kesan bahwa dia adalah seorang pemuda yang merendahkan orang lain dan memandang diri sendiri terlampau tinggi.

Seperti telah kita ketahui, Koay Tojin mempunyai dua orang murid dan dua orang muda itulah muridnya. Gadis itu bukan lain adalah Yauw Bi Sian dan pemuda itu adalah Coa Bong Gan. Biarpun Bi Sian lebih dahulu menjadi murid Koay Tojin, akan tetapi karena ia lebih muda, ia memaksa Bong Gan untuk menyebut sumoi (adik seperguruan wanita) kepadanya, dan ia sendiri menyebut Bong Gan suheng (kakak seperguruan pria).

‘Suhu, nih teecu (murid) bawakan oleh-oleh untuk suhu! Bebek tim yang lunak dan bubur!! kata gadis itu sambil duduk di atas batu dekat suhunya sambil menyerahkan bungkunan makanan.

‘Dan teecu bawakan arak Hang-ciu kesukaan suhu!! kata pula Bong Gan gembira menyerahkan seguci arak.

Kakek itu membuka matanya dan terkekeh, lalu menyeringai memandang kepada dua orang muridnya. ‘Heh-heh, kalian adalah murid-murid yang baik. Kalian tahu saja kesukaan orang tua. Heh-heh, tidak ada yang lebih enak untuk dimakan kecuali bubur dan bebek tim. Lunak dan gurih, tidak perlu menggunakan gigi untuk mengunyah, memudahkan mulutku yang sudah tak bergigi lagi, heh-heh. Dan arak Hang-ciu memang harum dan keras! Ha-ha-ha!!

Dua orang murid itu tersenyum. Mereka tahu bahwa guru mereka berkelakar karena mereka baru kemarin dulu menyaksikan betapa guru mereka itu, den gan mulutnya tanpa gigi sebuahpun, masih kuat untuk menggigit daging kering yang amat keras dan mengunyahnya dengan mata meram-melek! Dengan kekuatan sin-kang yang amat hebat, gusi dari guru mereka yang sudah tidak bergigi lagi itu dapat menjadi lebih kuat daripada gigi orang-orang muda!

Kakek itu makan minum tanpa memperdulikan dua orang muridnya yang duduk tak jauh di depannya. Akan tetapi, diam-diam Koay Tojin kadang-kadang melirik. Dia merasa senang sekali melihat Bi Sian. Dia amat sayang kepada muridnya ini yang ternyata selain memiliki bakat baik, juga gadis ini memiliki watak yang gagah perkasa dan baik. Sebaliknya, kakek ini merasa khawatir dan sangsi kepada muridnya yang pria. Watak Bong Gan sukar diselami walaupun pada lahirnya, dia juga seorang murid yang berbakat dan amat rajin, pandai mengambil hati.

Akan tetapi ada sesuatu dalam pandang mata pemuda itu yang membuat kakek itu kadang-kadang curiga dan ragu-ragu. Pernah dia melihat betapa pandang mata pemuda itu ditujukan kepada sumoinya secara tidak wajar. Bukan memandang biasa, akan tetapi sinar mata pemuda itu penuh nafsu berahi, memandangi ke seluruh bagian tubuh Bi Sian seperti hendak melahapnya!

Sungguh seorang murid yang kadang-kadang menimbulkan rasa khawatir di hatinya. Jangan-jangan dia telah keliru memilih murid, pikirnya. Akan tetapi, dia sengaja sudah memberi pelajaran lebih pada Bi Sian sehingga kalau sampai terjadi apa-apa, gadis itu tidak akan kalah menghadapi dan melawan Bong Gan. Pernah dia ketika berdua saja dengan Bi Sian mengatakan bahwa ia harus berhati-hati terhadap suhengnya. ‘Wataknya sukar diselami,! demikian dia berkata, akan tetapi gadis itu hanya tersenyum saja. ‘Aih, suhu ini ada-ada saja. Bukankah suheng seorang pemuda dan murid yang amat baik?!

Setelah makan, Koay Tojin mengusap mulutnya dengan ujung lengan baju yang sudah butut. ‘Kebetulan kalian datang, memang aku bermaksud untuk memanggil kalian.!

‘Suhu, ada keperluan apakah?! Bi Sian bertanya sambil mendekati gurunya, sikapnya manja. Kakek itu tersenyum untuk menutupi rasa nyeri di dalam hatinya. Dia merasa heran. Mengapa mendadak saja hatinya begini aneh? Mengapa bayangan perpisahan dengan muridnya ini mendatangkan rasa sakit? Padahal selamanya belum pernah dia merasakan hal seperti ini! Akan tetapi kakek yang lihai ini segera dapat menemukan jawabannya. Sikap Bi Sian terlalu baik, terlalu menyenangkan hatinya, sehingga gadis itu selama tujuh tahun menjadi muridnya, hidup di sampingnya, seolah-olah menjadi matahari yang menyinari hidupnya!

Kesenangan dan keenakan memang selalu menimbulkan ikatan! Kalau sudah terikat, maka akan datanglah duka karena kehilangan! Kalau gadis itu pergi, dibiarkan terpisah darinya, dia seolah-olah kehilangan matahari yang menerangi hidupnya yang sudah tua, membuat dia seperti dalam kegelapan! Kesenangan mendatangkan ikatan, dan ikatan menciptakan duka!

Itulah hidup. Ada suka pasti ada duka! Sudah menjadi imbangannya. Ada nikmat tentu ada derita. Dan melihat kenyataan ini, menghadapi kenyataan ini, menerima kenyataan ini secara wajar merupakan seni hidup itu sendiri.

‘Bi Sian, dan kau juga Bong Gan, sekarang sudah tiba saatnya bagi kita untuk memenuhi janji. Janji antara aku dan kau, Bi Sian. Janji bahwa kita akan berkumpul sebagai guru dan murid selama tujuh tahun saja.!

Gadis itu nampak terkejut! Selama ikut dengan gurunya, iapun merasakan lebih banyak senangnya dari pada susahnya. Hidup bebas seperti burung di udara. Tanpa dirasakannya, tahu-tahu kini sudah tujuh tahun ia mengikuti gurunya.

‘Tapi, suhu....! Rasanya belum lama aku ikut suhu, dan aku masih ingin mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi!! bantahnya, terkejut karena tiba-tiba saja ia mendapat kenyataan bahwa ia harus berpisah dengan suhunya dan melihat pula kenyataan betapa beratnya hal itu kalau terjadi karena ia merasa sayang kepada suhunya yang sudah tua itu!

Koay Tojin tertawa dan nampak mulutnya yang tanpa gigi itu. ‘Ha-ha-ha, Bi Sian, janji tetap janji yang harus dipegang teguh. Engkau bukan hanya berjanji kepadaku, akan tetapi juga kepada ayah ibumu yang tentu telah menanti-nanti penuh kerinduan. Tentang kepandaian, sampai berapa tingginya? Berapa ukurannya? Apa yang kaupelajari selama ini sudah lebih dari pada cukup, Bi Sian.

Tinggal terserah kepadamu untuk melatih diri. Dan engkau, Bong Gan, engkaupun sudah dewasa dan kepandaianmu sudah cukup. Hanya berhati-hatilah, karena kepandaian silat seperti juga pedang, dapat dipergunakan untuk berbuat kebaikan akan tetapi juga dapat dipergunakan untuk melaktikan kejahatan. Semua tergantung kepadamu.!

Diingatkan kepada ayah ibunya, kedukaan bayangan berpisah dari gurunya agak menipis dari hati Bi Sian, tertutup oleh kegembiraan bayangan akan bertemu dengan ayah dan ibunya. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Bong Gang juga berlutut di dekat sumoinya.

‘Suhu, selama tujuh tahun ini, suhu telah melimpahkan banyak kebaikan dan kasih sayang kepada teecu. Teecu menghaturkan terima kasih, suhu dan entah bagaimana teecu akan dapat membalas budi kebaikan suhu. Sebaliknya, teecu sudah banyak menjengkelkan hati suhu, maka mohon suhu memaafkan teecu,! kata Bi Sian dengan hati terharu, akan tetapi tidak setetespun air matanya tumpah. Ia memang pantang menangis, apalagi setelah menjadi murid Koay Tojin.

Koay Tojin tersenyum. ‘Engkau anak baik. Kalau hendak membalas budi kepadaku, pergunakanlah semua kepandaian yang kauperoleh dariku itu dengan baik, tidak melakukan penyelewengan. Dengan demikian berarti engkau menjunjung tinggi nama gurumu, sedangkan kalau engkau melakukan kejahatan dan menyeleweng, engkau akan menyeret nama gurumu ke dalam lumpur.!

‘Teecu juga menghaturkan banyak terima kasih, suhu. Teecu berjanji akan menjunjung tinggi nama suhu,! kata Bong Gan.

Koay Tojin tersenyum saja dan memandang wajah murid pria ini dengan penuh keraguan. Dia tahu bahwa muridnya ini cerdik sekali, demikian cerdiknya sehingga dia tidak dapat menduga apa isi hatinya.

‘Engkau berhati-hatilah, Bong Gan. Ingat bahwa musuh yang paling berbahaya, paling lihai dan paling sukar ditundukkan adalah dirimu sendiri. Karena itu, sebelum menundukkan musuh, sebaiknya kalau menundukkan dulu diri sendiri.!

Bong Gan tidak menjawab, hanya mengangguk-angguk.

‘Sekarang, pergilah kalian sebelum timbul kedukaan dalam hatiku!! kata Koay Tojin, lalu tangan kanannya menyambar tongkat di depannya dan dengan gerakan secepat kilat, tongkatnya itu sudah melakukan serangan totokan bertubi-tubi kepada dua orang muridnya yang berlutut di depannya. Dua orang muda itu terkejut sekali. Sambaran tongkat di tangan suhu mereka itu bukan main cepat dan dahsyatnya, maka keduanya segera melempar tubuh ke belakang sambil berjungkir balik beberapa kali. Mereka terhindar dari serangan kilat itu, dan melihat betapa kakek itu masih duduk bersandar batang pohon, memegangi tongkat sambil tertawa. Tahulah Bi Sian bahwa suhunya memang ingin segera melihat mereka pergi tanpa membiarkan kedukaan karena perpisahan itu memasuki hati. Maka iapun menjura dan berkata dengan suara dibuat nyaring gembira.

‘Suhu, selamat tinggal! Mudah-mudahan suatu waktu kita akan dapat berjumpa kembali!!

‘Ha-ha-ha, selamat jalan. Kita pasti akan bertemu kembali, kalau tidak di alam sini tentu di alam sana, heh-heh-heh!!

Bong Gan juga menjura dan kedua orang itu lalu melompat pergi dan dalam waktu singkat mereka sudah lenyap dari pandang mata. Kakek yang ditinggal seorang diri itu nampak tertegun, matanya yang tua memandang ke arah lenyapnya dua bayangan itu, lalu dia menghela napas panjang berulang kali, lalu bangkit berdiri, dan melangkah perlahan pergi meninggalkan tempat itu, mengambil jurusan yang berlawanan dengan dua orang muridnya.

Dua orang itu berlari cepat, keluar dari dalam hutan itu dan ketika mereka sudah berlari kurang lebih satu jam dan tiba di kaki bukit, Bi Sian menghentikan larinya. Biarpun tubuhnya terlatih baik, namun karena selama satu jam itu ia berlari cepat sambil menahan getaran hatinya yang penuh haru, kini wajah dan lehernya basah oleh keringat.

Diambilnya saputangannya dan diusapnya keringat dari leher dan wajahnya. Bong Gan juga mengusap keringatnya. Tidak seperti Bi Sian, pemuda ini mengenakan pakaian yang tidak ada tambalannya, walaupun dari kain murah dan bentuknya sederhana saja, tidak seperti pakaian Bi Sian yang penuh tambalan namun semua tambalannya kain yang baru.

‘Suheng, sekarang engkau hendak pergi ke mana?! tanya Bi Sian.

Bong Gan menghela napas panjang, lalu duduk di atas sebuah batu besar di tepi jalan. Sebelum menjawab, dia menatap wajah sumoinya dengan tajam, juga dengan wajah yang membayangkan kedukaan. Betapa cantik manisnya sumoinya ini, pikirnya penuh kagum. Apakah dia harus berpisah dari gadis manis ini? Membayangkan perpisahannya dengan gadis yang telah menjadi sahabatnya dan saudara seperguruannya selama tujuh tahun, hampir tak pernah mereka saling berpinah dan mengalami suka-duka bersama-sama, wajah yang tampan itu nampak diliputi kesedihan. Demikian jelas kedukaan itu sehingga nampak jelas oleh Bi Sian.

‘Suheng, engkau pernah menceritakan riwayatmu kepadaku. Engkau sudah yatim piatu, tidak mempunyai keluarga sama sekali, tidak mempunyai handai taulan dan tidak mempunyai tempat tinggal. Oleh karena itulah maka aku sengaja bertanya kepadamu karena aku ingin tahu, ke mana engkau hendak pergi?!

‘Justeru pertanyaanmu itulah yang membuat aku membungkam karena sukar bagiku untuk menjawabnya. Aku sendiri sejak tadi bertanya-tanya di dalam hatiku kepada diriku sendiri, sumoi. Ke mana aku harus pergi? Aku tidak mempunyai tujuan sama sekali! Aku menjadi bingung setelah mendengar pertanyaanmu, sumoi.!

Bi Sian memandang wajah suhengnya itu dengan hati kasihan. Selama ini, suhengnya telah membuktikan bahwa dia seorang pemuda yang amat baik, amat rajin dan juga bersikap sopan kepada gurunya dan juga kepada dirinya. Tidak pernah memperlihatkan kekurang-ajaran sama sekali. Memang kadang-kadang suhengnya suka pergi meninggalkan ia dan suhunya, akan tetapi kepergiannya itu tentu hanya untuk mencari bahan makanan untuk mereka. Kalau pulang, suhengnya tentu membawa seekor rusa, atau beberapa ekor kelinci, ayam hutan, atau juga buah-buahan segar. Beberapa kali suhengnya pernah berpamit kepada suhu mereka untuk berjalan-jalan ke dusun atau kota, dan tidak pernah lancang mengajaknya. Diam-diam Bi Sian merasa suka sekali kepada pemuda ini, rasa suka yang bercampur rasa iba. Inikah cinta, beberapa kali ia suka bertanya kepada diri sendiri tanpa mendapat jawaban!

‘Suheng, engkau ini bagaimanakah? Andaikata aku tidak mengajak engkau berhenti dan bertanya, lalu ongkau hendak ke mana?!

‘Aku.... aku hanya akan mengikutimu, sumoi. Ke manapun engkau pergi.... tentu saja kalau.... kalau aku tidak terlalu mengganggumu.!

Bi Sian tersenyum dan menggeleng kepalanya, mendadak mendapat sebuah pikiran yang dianggap amat bagus. ‘Tentu saja engkau tidak mengganggu, suheng. Bahkan kalau engkau suka, marilah engkau ikut bersamaku ke Sung-jan. Tempat tinggal orang tuaku itu merupakan kota yang cukup ramai, dan siapa tahu engkau dapat tinggal dan bekerja di sana. Ayahku seorang pedagang, mungkin dapat membantumu mencari pekerjaan.!

Wajah yang diliputi kedukaan itu kini menjadi cerah dan berseri. Sepasang mata itu bersinar-sinar dan Bong Gan segera menjura ke arah sumoinya.

‘Ah, sumoi, sungguh engkau berbudi mulia sekali! Terima kasih atas kebaikanmu, sumoi. Tentu saja aku suka sekali pergi bersamamu!!

Bi Sian membalas penghormatan suhengnya dan tertawa. ‘Ihh, suheng ini! Engkau adalah suhengku dan lebih tua, mengapa memberi hormat kepadaku? Dan di antara kita saudara seperguruan, perlukah bersungkan-sungkan? Sudah sepantasnya kalau kita saling bantu, bukan?!

Demikianlah, suheng dan sumoi ini melakukan perjalanan cepat menuju ke barat. Berkat adanya Bong Gan di sampingnya, di sepanjang perjalanan Bi Sian tidak menemui banyak gangguan. Andaikata ia melakukan perjalanan seorang diri, tentu akan banyak timbul gangguan, mengingat bahwa ia seorang gadis yang cantik manis dan melakukan perjalanan jauh seorang diri. Akan tetapi sikap Song Gan yang gagah membuat banyak orang menjadi jerih untuk mengganggu mereka. Padahal, tentu saja andaikata ada gangguan, Bi Sian sama sekali tidak akan merasa gentar bahkan hal itu merupakan kesialan bagi si pengganggu yang tentu akan dihajar habis-habisan!

Ketika mereka pada suatu siang memasuki kota Sung-jan, keduanya langsung saja menuju ke rumah Bi Sian. Gadis ini nampak gembira sekali, wajahnya cerah berseri dan matanya berkilat-kilat ketika mereka tiba di depan rumah dan toko milik ayahnya. Akan tetapi ia merasa heran melihat betapa toko itu tertutup dan segera ia mengajak suhengnya memasuki pekarangan dan langsung menuju ke pintu depan.

Dua orang yang tadinya duduk di ruangan depan, bangkit berdiri den melihat Bi Sian, wanita itu menjerit.

‘Bi Sian....!!

‘Ibuuu....!! Dua orang wanita itu berlari saling tubruk dan di lain saat mereka telah berangkulan sambil memanggil berulang kali. Sie Lan Hong menangis dalam rangkulan puterinya, akan tetapi Bi Sian yang juga merasa terharu dan gembira, tidak menangis, akan tetapi menciumi kedua pipi ibunya dengan penuh kerinduan dan kasih sayang. Ia diam-diam merasa kasihan melihat wajah ibunya yang kurus dan agak pucat. Tak disangkanya bahwa dalam waktu tujuh tahun ibunya kini nampak tua sekali!

Sementara itu, ketika dua orang wanita itu berangkulan, Bong Gan hanya berdiri menonton dengan canggung. Juga Sie Liong, pemuda yang tadi sedang duduk bersama encinya, berdiri dan memandang dengan wajah berseri, akan tetapi juga berdiri canggung.

Tentu saja hatinya girang bukan main melihat keponakannya yang dulu menjadi teman bermain yang akrab itu pulang dan kini telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan manis sekali. Diapun heran melihat keponakannya itu pulang bersama seorang pemuda yang tampan, yang kini juga berdiri dengan canggung. Mereka saling pandang sebentar saja, tidak tahu harus berbuat apa karena mereka belum diperkenalkan.

‘Ibu.... ah, ibu.... kenapa ibu begini kurus? Mana ayah?!

Sie Lan Hong dapat menguasai keharuan hatinya dan teringat akan dua orang pemuda itu. ‘Ayahmu tidak berada di rumah, sedang keluar. Akan tetapi, mari kau temui dulu pamanmu....!

Bi Sian yang melepaskan pelukan ibunya, tiba-tiba memandang dan matanya terbelalak, mulutnya tersenyum dan hampir ia berteriak, ‘Paman Liong....!!

Sie Liong juga tersenyum. ‘Bi Sian, engkau sudah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik dan gagah!!

Bi Sian melangkah maju dan memegang tangan Sie Liong. Ia lupa bahwa ia kini telah menjadi seorang gadis dewasa dan pamannya itupun sudah menjadi seorang pemuda dewasa. Digenggamnya tangan pemuda itu.

‘Paman Liong! Ah, tidak kusangka akan bertemu denganmu di sini! Dan engkau.... ah, engkau juga sudah menjadi seorang pemuda, paman! Engkau kelihatan gagah dan.... hemm....! Gadis itu melepaskan tangannya, mundur dan mengamati Sie Liong yang menjadi merah sekali mukanya.

‘Dan.... bongkok!! sambungnya mendahului, daripada didahului gadis itu.

‘Ah, itu aku sudah tahu. Akan tetapi engkau gagah dan tampan, paman!!

Sungguh! Bi Sian masih nakal seperti dulu, pikirnya gembira. Masih lincah jenaka dan suka menggoda orang akan tetapi dengan cara yang menyenangkan.

‘Bi Sian, engkau masih seperti dulu! Suka menggoda pamanmu!! Sie Lan Hong juga tertawa dan ia sendiri terkejut. Agaknya sudah bertahun-tahun ia lupa untuk tertawa dan baru sekarang ia dapat tertawa kembali. Anaknya telah pulang!

‘Oya, ibu, paman. Aku sampai lupa memperkenalkan. Dia ini adalah suhengku, namanya Bong Gan. Suheng, inilah ibuku dan ini pamanku Sie Liong.!

Sejak tadi Bong Gan hanya menonton saja dan hatinya terasa panas dan tidak enak melihat keakraban antara sumoinya dan pemuda bongkok itu. Biarpun disebut paman, akan tetapi mereka itu sebaya dan juga hubungan mereka demikian akrab, tidak seperti paman dan keponakan. Seketika, timbul perasaan tidak suka kepada kedua orang itu. Akan tetapi karena dia diperkenalkan maka dia cepat memberi hormat dan bersoja dan sikapnya amat sopan santun.

‘Ibu, mana ayah?!

‘Sudah kukatakan, ayahmu sedang keluar rumah. Mari, mari kita bicara di dalam....! Ibu itu merangkul anaknya dan diajak masuk ke dalam rumah. Sie Liong mengkuti, akan tetapi Bong Gan merasa ragu-ragu, dan dia menjadi salah tingkah. Dia bukan anggauta keluarga, bagaimana berani ikut masuk? Akan tetapi agaknya Bi Sian dapat memaklumi keadaannya, maka iapun menoleh dan berkata kepadanya.

‘Suheng, mari silakan masuk saja. Paman Liong, ajaklah suheng. Dia memang pemalu.!

Sie Liong sejak tadi memperhatikan suheng dari keponakannya itu. Seorang pemuda yang tampan dan gagah, dan mengingat bahwa mereka berdua itu murid Koay Tojin, tidak dapat diragukan lagi bahwa kepandaian mereka tentu tinggi sekali. Akan tetapi, ada sesuatu pada wajah pemuda itu yang membuatnya ragu-ragu. Entah apanya, mungkin pandang matanya.

‘Saudara Bong, silakan masuk,! katanya dan Bong Gan menganguk.

‘Terima kasih, terima kasih....!! Mereka berempatpun memasuki rumah itu. Seperti juga ketika untuk pertama kalinya Sie Liong masuk ke dalam rumah itu Bi Sian juga melihat perubahan besar di dalam rumahnya. Prabot-prabot rumahnya sudah berubah, sekarang jelek dan butut, tidak seperti dulu. Ibunya juga tidak mengenakan perhiasan sedikitpun, dan toko mereka sudah ditutup! Apa yang terjadi? Ia tidak berani langsung bertanya kepada ibunya karena di situ terdapat Bong Gan yang bagaimana juga adalah orang luar. Ia akan bertanya kepada ibunya kalau mereka hanya berdua, atau bertiga saja dengan pamannya.

Mereka berempat duduk menghadap meja besar di ruangan dalam. Bi Sian segera menceritakan pengalamannya ketika ia diambil murid Koay Tojin dan ia segera menceritakan tentang perbuatan Lu Ki Cong, putera Lu-ciangkun komandan pasukan keamanan di Sung-jan itu. ‘Coba ibu bayangkan, bukankah orang itu jahat sekali? Dia mempergunakan anak buahnya yang menyamar sebagai perampok dan menggangguku, kemudian dia muncul sebagai penolongku. Setelah para perampok palsu itu pergi, dia menggangguku! Untung muncul suhu! Dan dia datang lagi membawa perampok-perampok palsu itu dan mengeroyok suhu. Akan tetapi mereka dihajar oleh suhu! Aih, betapa senangku pada waktu itu! Apakah manusia jahat itu sekarang masih hidup, ibu?!

Sie Lan Hong menahan senyumnya.

‘Hussssh, jangan berkata demikian, anakku. Memang dia jahat, akan tetapi tidak perlu hal itu diperpanjang. Dia masih hidup dan ayahmu masih mengharapkan perjodohan itu.....!

Bi Sian bangkit berdiri dan mengepal tinjunya. ‘Apa? Dia masih berani melanjutkan ikatan jodoh itu? Biarlah, aku akan ke sana dan menghajarnya sendiri sampai dia minta ampun!!

‘Jangan, Bi Sian! Baru saja engkau pulang, jangan membikin ribut di Sung-jan. Bagaimanapun juga, dia putera kepala pasukan keamanan di sini, dan kekuasaan ayahnya besar sekali. Kalau engkau memusuhi mereka secara terang-terangan begitu, bukankah akibatnya ayah dan ibumu yang akan menanggung?!



Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar