Bong Gan memang benar tidak berani memandang rendah. Dia tahu bahwa lawannya ini hebat dan lihai sekali, maka diapun cepat menggerakkan tongkatnya dan memainkan Ta-kwi Tung-hoat yang merupakan ilmu inti yang diajarkan oleh Koay Tojin kepada dua orang muridnya. Dan begitu ada tongkgt di tangannya dan setelah memainkan tongkat itu dangan ilmu Ta-kwi Tung-hoat, Bong Gan memang menjadi lihai sekali. Tongkatnya itu bagikan seekor naga bermain di angkasa, berkelebatan dan manyambar-nyambar dengan ganasnya.
Pek Lan telah digembleng oleh Hek-in Kui-bo, seorang datuk sesat yang berilmu tinggi. Namun, tingkat nenek itu masih kalah dibandingkan tingkat Koay Tojin, maka ilmu yang telah diserap oleh Bong Gan juga lebih tinggi tingkatnya dibandingkan ilmu yang dikuasai Pek Lan. Kalau Pek Lan menggunakan kecurangan seperti yang diajarkan oleh gurunya, menggunakan senjata rahasia beracun dan sebagainya, baru mungkin ia dapat mengimbangi kelihaian Bong Gan. Akan tetapi wanita itu sama sekali tidak ingin melukai Bong Gan apalagi membunuhnya. In sudah menjadi semakin tertarik kepada pemuda tampan dan gagah, juga berkepandaian tinggi. Sungguh seorang kawan dan rekan yang akan amat menyenangkan hati sebagai selingan kebosanannya harus melayani Thai-yang Suhu saja!
Bong Gan juga kagum. Ilmu pedang yang dimainkan gadis itu harus diakuinya amat hebat sehingga andaikata dia tidak menggunakan tongkat, tentu dia akan kalah. Bahkan dangan tongkatnyapun, dengan ilmu tongkatnya, dia hanya dapat mengimbangi permainan pedang, mampu melindungi diri dan juga membalas dengan sama dahsyatnya. Pertandingan itu berjalan seru di bawah sinar bulan sepotong dan diam-diam keduanya merasa saling tertarik dan kagum. Kemudian Bong Gan mengeluarkan seruan keras dan dia menggunakan jurus Menghitung Tulang Iga. Ujung tongkatnya itu bagaikan berubah menjadi banyak dan menusuk-nusuk ke arah dada lawan, seperti hendak mematahkan setiap tulang iga di dada itu!
Pek Lan terkejut bukan main. Ia sudah berusaha memutar pedangnya menangkis, namun ujung tongkat itu seperti hendak menyentuh dan menotok kedua payudaranya. Memang ia berhasil melindungi diri dengan sinar pedangnya sehingga ujung tongkat tidak sampai menyentuhnya, namun angin pukulan tongkat itu tetap menyambar-nyambar dan seperti jari tangan yang meraba-raba dadanya! Sejak tadi ia memang sudah kagum bukan main dan kini gairah berahinya bangkit, menyala dan barkobar. Sambil mengeluarkan suara melengking panjang, Pek Lan menggerakkan pedangnya menangkis tongkat dan mengerahkan tenaga sin-kang untuk menempel. Pedang bertemu tongkat dan melekat! Pek Lan menggunakan tangan kirinya untuk mendorong ke arah dada lawan, akan tetapi pada saat itu, Bong Gan juga melepaskan tangan kanannya, memegang tongkat hanya dengan tangan kiri dan tangan kanan itu menyambut dorongan tangan kiri Pek Lan.
‘Plakkk!! Dua buah tangan dengan jari terbuka itu bertemu dan saling melekat pula, seperti pedang dan tongkat! Mereka tak bergerak, saling pandang dalam jarak hanya satu meter lebih sehingga mereka dapat melihat wajah masing-masing cukup jelas.
Bong Gan tersenyum. ‘Nona, engkau sungguh cantik jelita....!
Pek Lan juga tersenyum. ‘Dan engkau perayu besar!!
‘Tidak, nona. Aku bicara sejujurnya. Engkau memang cantik jelita dan manis sekali, dan ilmu kepandaianmu hebat, aku tergila-gila kepadamu, aku.... aku tidak ingin berkelahi denganmu, melainkan ingin bercinta denganmu, ingin mencium mulutmu yang manis itu....!
Senyum Pek Lan melebar. Gairah berahinya sudah berkobar membakar seluruh dirinya karena sikap dan ucapan Bong Gan bagaikan minyak bakar disiramkan pada api nafsu berahinya. Ia menggerakkan kepalanya. Rambutnya yang digelung itu terlepas dan rambut yang panjang itu menyambar ke depan, melingkari leher Bong Gan. Ia menarik dan muka pemuda itu mendekat. Ketika dua mulut itu berternu dalam ciuman yang penuh nafsu, pedang dan tongkat jatuh dan dua pasang lengan itu saling dekap, keduanya terguling ke atas rumput!
Mereka bagaikan dua orang yang mabok, mabok oleh nafsu berahi mereka sendiri. Kedua orang ini memang cocok, keduanya mempunyai kelemahan yang sama, yaitu menjadi hamba nafsu berahi. Mereka saling menumpahkan berahi mereka lewat kemesraan yang panas. Tiba-tiba, masing-masing terbelalak dan melepaskan rangkulan, bangkit duduk dengan napas masih terengah-engah dan keringat membasahi dahi dan leher, saling tatap seperti orang terkejut.
‘Kau.... kau.... Bong Gan....?!
‘Kau.... Pek Lan....?
Tadinva mereka memang hanya merasa pernah saling bertemu akan tetapi keduenya sudah saling tidak mengenal. Hal ini dapat dimaklumi, karena ketika mereka dahulu menjadi kekasih masing-masing, usia Pek Lan baru tujuh belas tahun dan usia Bong Gan bahkan baru tiga belas atau empat belas tahun! Kini, Pok Lan telah menjadi seorang wanita cantik yang matang, sedangkan Bong Gan menjadi seorang pemuda tampan yang sudah dewasa, bukan lagi remaja setengah kanak-kanak seperti dahulu. Pula, dahulu keduanya sama sekali tidak dapat bersilat dan kini keduanya telah menjadi orang yang lihai ilmu silatnya. Akan tetapi, setelah keduanya bermesraan, barulah mereka saling mengenal dan tentu saja keduanya terkejut bukan main, terheran, juga marasa girang sekali!
‘Pek Lan, ah kau Pek Lan, kekasihku....!
‘Bong Gan, betapa aku rindu kepadamu....!!
Keduanya saling rangkul dan saling cium lagi, seperti dua orang kekasih yang sudah bertahun-tahun berpisah kini saling jumpa kembali. Mereka agaknya sudah lupa bahwa dalam pertemuan terakhir dahulu mereka saling serang dengan penuh kemarahan dan dendam, saling menyalahkan karena keduanya terpakea harus pergi dari rumah gedung hartawan Coa karena tertangkap basah ketika mereka berdua melakukan hubungan gelap, berjina!
Kembali mereka tenggelam dalam gelombang nafsu berahi. Akan tetapi tiba-tiba Pek Lan menahan dada Bong Gan yang menggelutinya, lalu mendorong pemuda itu sehingga keduanya kembali bangkit duduk.
‘Ada apakah, Pek Lan, kekasihku? ‘Aku.... amat rindu kepadamu....! Bong Gan berbisik, terengah-engah.
‘Nanti dulu, aku melihat engkau bersama gadis cantik itu. Isterimukah ia?! tanya Pek Lan, bukan karena cemburu hanya ingin tahu saja.
Bong Gan tersenymn lega. Disangkanya mengapa Pek Lan menghentikan perbukan. Ia bernama Yauw Bi Sian dan ia adalah kakak seperguruanku.!
‘Suci-mu? Hemm, kalau begitu ia tentu lihai sekali.!
‘Sudahlah, kenapa membicarakan orang lain? Engkau mengganggu saja....!! Bong Gan merangkul dan kembali mereka tenggelam ke dalam lautan kemsaraan yang penuh nafsu berahi.
Semalam suntuk, dua orang ini membiarkan diri mareka dipermainkan gelombang berahi. Mereka lupa diri, lupa susila dan lupa sagalanya, karena yang terasa hanyalah gairah nafsu yang tak terkendalikan, nafsu yang menuntut pemuasan namun yang tak mengenal puas. Dan setiap kali mereka mendapat waktu luang untuk istirahat, mereka bercakap-cakap, saling menceritakan pengalaman masing-masing semenjak mereka berpisah.
‘Sungguh aneh keadaan kita ini, Pek Lan,! kata Bong Gan sambil membelai rambut kekasihnya dalam rangkulan. ‘Dahulu, ketika aku masih remaja, kita sudah saling jatuh cinta, kita bermain cinta. Kemudian, ketika kita terusir keluar dari rumah keluarga Coa, kita saling serang sampai engkau diambil murid Hek-in Kui-bo seperti yang kauceritakan tadi, dan aku menjadi murid Koay Tojin. Kemudian, begitu bertem, kita saling tertarik lagi tanpa saling mengenal, kemudian kita bertanding lagi, sebelum saling bermain cinta.!
‘Engkau memang sudah kucinta sejak dulu, Bong Gan,! kata Pek Lan sambil mencium dagu pemuda itu. ‘Dan engkau sampai tiba di Lasha ada keperluan apakah?!
‘Aku diminta suci-ku untuk membantunya mencari musuh besarnya.!
‘Hemm, siapakah musuh besarnya?!
‘Dia bernama Sie Liong dan berjuluk Pendekar Bongkok.!
Pek Lan melepaskan rangkulannya, bahkan bangkit duduk seperti orang terkejut.
‘Pendekar Bongkok? Dia....?!
Kalau gairah nafsu sudah terpuaskan dan mulai menipis, maka apa yang tadinya nampak amat indah menjadi berubah. Bong Gan tidak begitu merasakan bentuk tubuh Pek Lan yang bermandikan sinar bulan itu, tidak seindah tadi. Apalagi yang menjadi bahan percakapan kini menarik hatinya.
‘Engkau sudah mengenal dia, Pek Lan?!
‘Mengenalnya....?! Pek Lan tersenyum getir. Tentu saja ia sudah mengenal Pendekar Bongkok, mengenalnya dengan cara yang paling pahit. ‘Aku pernah bertemu dengan dia. Dia.... hemm, lihai bukan main. Jadi Pendekar Bongkok itu musuh besar suci-mu?!
‘Ya, musuh besar akan tetapi juga pamannya, adik ibu kandungnya.!
‘Ehh? Ceritakan kepadaku, mengapa begitu, Bong Gan,! kata Pek Lan dan karena hawa mulai dingin menjelang subuh itu, ia menutupi tubuhnya dengan pakaiannya, meskipun belum ia pakai sebagaimana mestinya.
Bong Gan juga mulai mengenakan kembali pakaiannya. Dia tidak begitu bargairah lagi setelah semua nafsu yang bergelora disalurkan dan terpuaskan. Dia mulai teringat akan hal-hal lain seperti Bi Sian dan perjalanan mereka ke Lasha.
‘Suci adalah keponakan Pendekar Bongkok karena Sie Liong itu adik kandung ibunya....!
‘Tapi Pendekar Bongkok itu masih amat muda!!
‘Memang selisih usia mereka tidak banyak. Pendekar Bongkok adalah murid Himalaya Sam Lojin dan Pek Sim Sian-su, yaitu subeng dari guruku, Koay Tojin. Pada suatu hari, Pendekar Bongkok telah.... eh, dia membunuh ayah kandung suci. Karena itu, suci mendendam dan mencari Pendekar Bongkok, pamannya itu. Karena tahu akan kelihaian pamannya, maka dia minta bantuanku dan kami berdua mengikuti jejak Pendekar Bongkok sampai ke Lasha.!
‘Hemm, kalau begitu, kita mempunyai kepentingan yang sama. Akupun dimusuhi Pendekar Bongkok dan dia kami anggap sebagai musuh. Kalau engkau suka bergabung dengan kami, Bong Gan, tentu keadaan kita akan lebih kuat. Apalagi, setelah kini saling bertemu, aku tidak ingin berpisah lagi denganmu. Entah bagaimana dengan engkau!!
Song Gan mendekat dan mencium pipi wanita itu. ‘Engkau tahu perasaanku terhadapmu, Pek Lan, dan engkau tahu tidak ada kesenangan lebih besar bagiku melebihi kesenangan bekerja sama denganmu dan selalu berada di dekatmu. Akan tetapi, bagaimana dangan suci? Kalau ia marah kepadaku dan menentang kita, ia akan menjadi penghalang besar dan menambah musuh yang amat berbahaya bagi kita.!
‘Kenapa menjadi musuh? Bukankah ia memusuhi Pandekar Bongkok? Ajak saja ia bergabung dangan kami. Thai-yang Suhu, guruku dalam ilmu sihir itu tentu akan suka pula bergabung dangan kalian.!
‘Maksudmu pendeta yang kulihat bersamamu di rumah makan itu?! Baru sekarang Bong Gan teringat akan pendeta itu. ‘Jadi dia itu gurumu yang baru?!
‘Dia sahabat subo Hek-in Kui-bo dan kini mengajarkan ilmu sihir kepadaku, menjadi guruku pula.!
‘Dan kalian hendak pergi ke manakah? Mengapa sampai pula di Lasha?!
‘Kami hendak pergi menghadap Kim Sim Lama, ketua Kim-sim-pai....!
‘Ah! Sie Liong Si Pendekar Bongkok juga ke sana!!
‘Akan tetapi dia sebagai lawan Kim-sim-pai, sedangkan kami datang sebagai sababat. Guruku, Thai-yang Suhu, adalah seorang sahabat Kim Sim Lama dan kami datang untuk menggabungkan diri dengan Kim-sim-pai yang mempunyai cita-cita besar.!
‘Cita-cita bagaimana?! Bong Gan mulai tertarik.
‘Menggulingkan Dalai Lama dan menjadi penguasa seluruh Tibet!!
‘Wah, pemberontakan? Apa hubungannya itu dengan kita? Aku tidak mau menjadi pemberontak di negeri asing!!
‘Bong Gan, engkau bodoh. Kaukira akupun suka membantu pemberontakan orang Tibet? Kita bukan ikut memberontak, melainkan membantu Kim-sim-pai mencapai cita-citanya. Kalau mereka berhasil, kita tinggal pilih. Kedudukan tinggi dan kekuasaan di Tibet, atau kita dapat pulang ke timur membawa kekayaan yang amat besar. Di sini tempat harta yang amat banyak, emas permata, dan benda-benda aneh yang tak ternilai harganya.!
Bong Gan mengerutkan alisnya. ‘Jadi engkau dan Thai-yang Suhu hendak bersekutu dengan Kim-sim-pai, membantu pemberontakan mereka untuk mencari kedudukan tinggi atau harta benda?!
‘Tentu saja, untuk apa lagi kalau bukan mencari keuntungan? Apa artinya hidup ini kalau tidak mencari keuntungan dan kesenangan?!
Bong Gan mengangguk-angguk. ‘Hem, aku tertarik sekali, Pek Lan. Akan tetapi.... bagaimana dengan suci Yauw Bi Sian?!
‘Kau ajak saja ia bersama kami.!
‘Uh, engkau tidak tahu bagaimana wataknya! Ia keras hati dan sudah pasti ia tidak akan suka kalau mendengar kita membantu Kim-sim-pai untuk suatu pemberontakan di Tibet. Ia.... ia.... hemm, condong untuk menentang segala yang dianggapnya jahat.!
‘Hi-hik, kaumaksudkan ia seorang pandekar wanita?!
Bong Gan mengangguk. ‘Begitulah! Guru kami, Koay Tojin, menentang segala bentuk kejahatan dan....!
‘Dan kau sendiri?!
Bong Gan menyeringai. ‘Aku lebih suka mencari kesenangan dan keuntungan seperti engkau, Pek Lan.!
‘Kalau begitu, tinggalkan saja suci-mu yang pura-pura alim itu. Engkau ikut dangan kami bargabung dengan Kim-sim-pai dan persetan dengan gadis itu!!
‘Ah, tidak bisa begitu, Pek Lan. Meninggalkan ia begitu saja? Ah, aku.... aku....!
‘Hemmm, aku tahu! Engkau jatuh cinta kepada suci-mu yang cantik itu, bukan? Dasar mata keranjang kau!!
‘Tidak banyak bedanya denganmu, Pek Lan.! Bong Gan membalas.
‘Hemm, kalau begitu. Bujuk dan rayu ia agar suka bergabung dengan kami. Kalau ia begitu lihai, kami lebih senang lagi dan Kim Sim Lama tentu akan suka menerima bantuannya.!
‘Itulah sukarnya, Pek Lan. Terus terang saja, pernah aku menyatakan cintaku kepadanya dan ia.... ia agaknya tidak menolak, akan tetapi dengan tegas mengatakan bahwa aku dilarang bicara tentang cinta sebelum kami bertemu Pendekar Bongkok dan berhasil membalas kematian ayahnya. Kalau saja ia suka menerima cintaku sekarang juga.... kalau saja ia dapat menjadi milikku sekarang, tentu akan mudah mengajaknya bekerja sama denganmu.!
Pek Lan terkekeh genit dan merangkul leher kekasihnya. ‘Huh, kalau bukan aku yang mendengar ucapanmu itu, apakah orang tidak akan menjadi gila oleh cemburu? Engkau laki-laki mata keranjang! Baiklah, jangan khawatir, guruku Thai-yang Suhu tentu akan dapat membantumu menundukkan suci-mu itu. Akan tetapi hanya dengan satu syarat, yaitu setelah engkau berhasil menundukkan suci-mu, engkau harus mengajaknya untuk bergabung dengan kami!!
Tentu saja Bong Gan merasa girang bukan main. ‘Baik, aku berjanji! Dan iapun tentu akan setuju karena bukankah dengan bekerja mama, akan lebih mudah untuk menghadapi Pendekar Bongkok?!
‘Dan setiap saat aku menginginkan engkau harus melayaniku dengan taat!!
Bong Gan tertawa. ‘Tentu saja, dengan segala senang hati!!
‘Nah, kalau begitu, sekarang aku menginginkan....!
Keduanya tertawa dan kembali mereka menyelam ke dalam lautan kemesraan yang panas dan memabokkan.
***
Mereka memasuki kota Lasha sambil menuntun kuda tunggangan mereka yang nampak lelah sekali. Sie Lan Hong memandang ke kanan kiri, mengagumi bangunan-bangunan kuno yang kokoh dan megah di lereng bukit-bukit itu. Sungguh sebuah kota yang aneh dan juga asing baginya. Melihat daerah yang luas itu, perumahan yang berada di lereng-lereng bukit, orang-orang yang berlalu lalang di jalan-jalan lebar, iapun mengerutkan alisnya dan merasa khawatir.
‘Lie-toako, di tempat besar seperti ini, ke mana kita harus mencari puteriku dan adikku?!
Lie Bouw Tek tersenyum, dan memandang wanita itu dengan sinar mata lembut dan menghibur. ‘Jangan khawatir, Hong-moi. Yang kita cari adalah dua orang Han, maka tentu tidak akan begitu sukar. Tidak banyak orang Han di sini, maka kalau mereka berada di sini, tentu ada yang melihat mereka.!
‘Sekarang, kita ke mana toako?!
‘Kita mencari tempat penginapan dulu, menyewa dua buah kamar, dan membiarkan kuda kita mendapat perawatan, kemudian kita membersihkan diri, lalu makan. Setelah itu, baru kita pergi menghadap atau berusaha agar dapat diterima menghadap Dalai Lama.!
‘Menghadap Dalai Lama? Akan tetapi aku pernah mendengar bahwa kedudukan Dalai Lama amat tinggi, hampir seperti kaisar kita, dan tidak akan mudah menghadap beliau.!
‘Benar, akan tetapi aku yakin akan dapat diterimanya, Hong-moi. Aku mengenal beliau pribadi, karena aku pernah membantu beliau ketika ada segerombolan penjahat hendak membunuh beliau.!
‘Akan tetapi, adikku Sie Liong mungkin pergi mencari Tibet Ngo-houw, kenapa engkau hendak mengajak aku menghadap Dalai Lama?!
‘Begini, Hong-moi. Aku sendiri menerima tugas dari Kun-lun-pai untuk menyelidiki mengapa Tibet Ngo-houw memusuhi para tosu, bahkan memusuhi pula Kun-lun-pai. Dan di sepanjang perjalanan kita mendengar akan adanya perkumpulan Kim-sim-pai yang kabarnya hendak memberontak. Maka, kupikir sebaiknya kalau aku langsung saja bertanya kepada Dalai Lama tentang sikap Tibet Ngo-houw itu. Aku yakin di sana aku akan bisa mendapatkan keterangan yang lebih jelas. Dan tentang mencari adikmu dan puterimu, kukira orang-orang Dalai Lama akan lebih tahu, atau setidaknya akan lebih mudah kedua orang itu ditemukan kalau Dalai Lama membantu, menyuruh orang-orangnya untuk menyelidiki dan mencari.!
Sie Lan Hang mengangguk-angguk. Memang ia tahu bahwa Lie Bouw Tek adalah seorang pria yang hebat, yang gagah perkasa, cerdik dan juga berpengalaman. Ia merasa lemah dan bodoh sekali berada di samping pria ini, dan ia merasa aman dan terlindung. Alangkah bedanya ketika ia masih menjadi isteri Yauw Sun Kok. Ia tak pernah merasa tenteram, tak pernah merasa aman bahkan selalu merasa gelisah, takut dan juga sakit hati. Lie Bouw Tek yang bukan apa-apanya, tidak ada hubungan apapun antara mereka telah bersikap demikian baiknya!
Begitukah sikap setiap orang pendekar, ataukah ada sesuatu yang istimewa dalam hubungan di antara mereka? Mengingat akan hal ini, seringkali Lan Hong tersipu malu. Tidak, bantahnya kepada diri sendiri. Ia hanya seorang janda yang mempunyai seorang puteri lagi. Ia bukan seorang gadis muda! Sedangkan Lie Bouw Tek adalah seorang pendekar gagah perkasa dan budiman, seorang tokoh Kun-lun-pai yang terkenal! Betapa mungkin.... ah, ia telah mengharapkan terlalu jauh, sungguh tidak tahu malu!
Lan Hong menurut saja ketika Lie Bouw Tek mengajaknya mencari rumah penginapan. Mereka menyewa dua buah kamar yang berdampingan dan menyerahkan dua ekor kuda mereka kepada pelayan untuk diberi makan. Setelah mandi, dengan tubuh terasa segar dan pakaian bersih menggantikan pakaian mereka yang penuh debu, keduanya lalu pergi ke rumah makan. Mereka tidak terlalu menarik perhatian, seperti sepasang suami isteri saja. Lie Bouw Tek sendiri walaupun dia seorang pendekar besar, namun dia tidak menonjolkan diri dan pedang pusakanyapun tersembunyi di balik baju luarnya. Atas nasihat Lie Bouw Tek pula, Sie Lan Hong juga menyembunyikan pedangnya sehingga tidak terlalu menyolok. Pedang Lan Hong memang hanya pedang pendek, maka setelah diselipkan di ikat pinggang, ujung sarung pedang masih tertutup baju, dan gagangnya juga tidak nampak walaupun ada kalanya ujung itu menonjol keluar.
Setelah makan, merekapun pada pagi hari itu juga menuju ke istana Dalai Lama di lereng bukit. Suasana di bukit itu sungguh nyaman. Terdapat beberapa buah taman bunga yang indah, dan suasananya aman dan tenteram. Para pendeta Lama yang kadang-karang bersimpang jalan dengan mereka, bersikap hormat dan ramah.
Akan tetapi ketika mereka tiba di pintu gerbang memasuki daerah istana itu, beberapa orang pendeta Lama menghadang mereka. Biarpun sikap mereka hormat, namun mereka dengan tegas mengatakan bahwa orang luar tidak diperkenankan memasuki daerah itu tanpa ijin.
‘Harap kalian memaafkan kami,! kata kepala jaga dengan sikap hormat. ‘Kalau hendak berjalan-jalan dan menikmati keadaan, harap lakukan itu di luar daerah istana. Tak seorangpun, tanpa ijin, diperbolehkan memasuki daerah dalam pintu gerbang.!
Lie Bouw Tek tersenyum dan menjura dengan hormat, diikuti pula oleh Lan Hong. ‘Harap saudara sekalian suka memaafkan saya. Memang saya sengaja datang ke Lasha untuk menghadap Dalai Lama. Harap saudara sudi melaporkan ke dalam dan mengatakan bahwa kami ingin menghadap Dalai Lama karena ada suatu keperluan yang amat penting.!
‘Omitohud....!! Kepala jaga itu berseru. ‘Apakah sicu (tuan yang gagah) mengira akan demikian mudah saja bertemu dengan beliau? Tanpa panggilan bagaimana sicu dapat diperkenankan menghadap? Pinceng (saya) sungguh tidak berani lancang mengganggu beliau di pagi hari ini, tanpa alasan yang cukup kuat.!
‘Sobat, harap sampaikan saja ke dalam bahwa saya adalah utusan dari Kun-lun-pai yang ingin menyampaikan sesuatu yang teramat penting untuk Dalai Lama,! kata pula Lie Bouw Tek dengan sikap dan suaranya yang tenang berwibawa.
Mendengar disebutnya Kun-lun-pai, sikap para pendeta penjaga itu berubah dan kepala jaga memandang dengan sikap lebih hormat. ‘Omitohud, kiranya sicu utusan dari Kun-lun-pai? Harap sicu menyampaikan surat dari ketua Kun-lun-pai lebih dahulu kepada Dalai Lama melalui kami. Setelah surat itu kami sampaikan, tentu sicu diperkenankan masuk menghadap.!
Akan tetapi Lie Bouw Tek menggeleng kepalanya. ‘Sobat, sampaikan saja kepada Dalai Lama bahwa saya, Lie Bouw Tek murid Kun-lun-pai, mohon menghadap. Kalau mendengar nama saya, tentu beliau akan sudi menerimaku.!
Pada saat itu, seorang pendeta Lama yang usianya sudah lima puluh tahun lebih berjalan tenang dari sebelah dalam. Begitu melihat Lie Bouw Tek, diapun cepat menghampiri dan menjura dengan sikap hormat.
‘Omitohud.... kiranya Lie Taihiap yang berada di sini! Selamat datang, taihiap. Ada keperluan apakah gerangan yang membawa taihiap datang berkunjung ke Lasha?!
Lie Bouw Tek tidak mengenal pendeta Lama itu, akan tetapi dia tahu bahwa pendeta ini tentu seorang di antara mereka yang dulu tahu akan bantuan yang dia berikan kepada Dalai Lama. Diapun cepat memberi hormat dan berkata dengan lembut.
‘Selamat bertemu, losuhu. Saya datang untuk mohon menghadap Dalai Lama karena ada suatu hal yang amat penting harus saya sampaikan kepada beliau. Tolonglah, harap mintakan ijin kepada beliau agar saya diperkenankan menghadap sekarang juga.!
‘Baik, taihiap. Tunggulah sebentar di sini!! kata pendeta itu yang bergegas masuk ke arah bangunan istana yang megah itu. Kini para pendeta jaga bersikap hormat dan ramah, bahkan mempersilakan Bouw Tek dan Lan Hong untuk duduk menanti di dalam gardu penjagaan.
Tak lama kemudian, muncullah enam orang pendeta Lama yang merupakan sebuah pasukan kecil berbaris menghampiri tempat itu. Mereka ditemani oleh pendeta Lama yang tadi menegur Bouw Tek, yang kini tersenyum ramah.
‘Silakan, taihiap. Dalai Lama yang agung mengundang taihiap.!
‘Akan tetapi, saya datang bersama Sie-toanio ini, harap agar iapun diperkenankan menemani saya untuk menghadap Dalai Lama.!
Pendeta itu mengerutkan alisnya. ‘Tidak biasanya Dalai Lama mau menerima tamu wanita. Akan tetapi karena toanio ini datang bersamamu, maka silakan masuk. Terserah kepada Dalai Lama sendiri nanti setelah ji-wi (kalian berdua) tiba di luar ruangan tamu, apakah toanio ini diperkenankan ikut masuk ataukah dipersilakan menunggu di luar ruangan.!
Lie Bouw Tek mengangguk dan bersama Lan Hong, dia lalu mengikuti enam orang pendeta itu yang mengawal dan menjadi penunjuk jalan. Setelah mereka memasuki istana, tidak seperti Lie Bouw Tek yang pernah satu kali masuk ke istana ini, Lan Hong memandang ke kanan kiri dengan bengong. Ia terpesona menyaksikan segala keindahan yang terdapat di istana itu. Ukir-ukiran yang indah sekali, marmar, emas, perak, sutera beraneka warna! Ia merasa seperti memasuki sebuah istana dalam mimpi! Patung-patung logam, marmar, perak atau emas yang ukirannya amat indahnya, lukisan-lukisan. Pendeknya, selama hidupnya belum pernah Lan Hong menyaksikan keindahan seperti itu.
Ketika mereka tiba di luar sebuah pintu besar yang terjaga, enam orang pendeta pengawal itu mempersilakan mereka menanti sebentar. Seorang di antara mereka memasuki ruangan di balik pintu besar itu, dari mana keluar keharuman cendana yang nyaman. Tak lama kemudian, pendeta itu keluar lagi dengan wajah cerah.
‘Taihiap dan toanio dipersilakan masuk untuk menghadap Yang Agung Dalai Lama!!
Dengan wajah gembira Lie Bouw Tek lalu mengajak Sie Lan Hong menasuki ruangan itu. Akan tetapi Sie Lan Hong sendiri agak gemetar ketika melangkah masuk. Ruangan itu luas dan nampak sunyi karena kosong. Di sudut paling belakang, nampak ada seorang pria duduk di atas sebuah kursi yang besar dan terukir indah, mengenakan jubah dan kepalanya tertutup topi pendeta.
‘Selamat datang, pendekar perkasa Lie Bouw Tek dan toanio! Silakan duduk!!
Lie Bouw Tek cepat maju memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan depan dada dan membungkuk sampai dalam. Sie Lan Hong juga memberi hormat, akan tetapi ia merasa heran bukan main. Tadinya ia membayangKan bahwa Dalai Lama yang mengepalai para pendeta Lama di Tibet, tentu seorang kakek yang tua renta keriputan dan buruk. Akan tetapi ternyata sama sekali tidak demikian! Pendeta yang duduk menyendiri itu usianya hanya beberapa tahun saja lebih tua dari Lie Bouw Tek, dan wajahnya tampak bersih! Wajah yang cerah dengan sepasang mata yang terang dan jernih, senyum yang terbuka dan seluruh gerak geriknya membayangkan kesabaran, keagungan dan kebesaran hati.
Setelah Bouw Tek dan Lan Hong duduk di atas kursi yang agaknya sudah disediakan untuk mereka, menghadap ke arah Dalai Lama, nampaklah oleh mereka bahwa di belakang Dalai Lama terdapat sehelai kain sutera putih dan di balik kain sutera itu berdiri beberapa orang pendeta Lama yang tak bergerak bagaikan arca-arca mati saja. Bouw Tok maklum bahwa sedikitnya sepuluh orang pendeta Lama berdiri di sana, dan mereka itu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi sekali, yang merupakan pasukan pengawal yang melindungi keselamatan Dalai Lama. Dalai Lama sendirl memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka ditambah penjagaan pasukan pengawal pribadi ini, dan adanya ratusan orang pendeta Lama di kompleks istana itu, maka tentu saja tempat itu amatlah kuatnya. Apalagi di benteng yang setiap waktu siap mentaati perintah Dalai Lama.
‘Nah, menurut laporan tadi engkau datang sebagai utusan Kun-lun-pai, maka katakanlah semua keperluanmu berkunjung ke sini, taihiap.!
Dari tempat duduknya, Bouw Tek memberi hormat kepada orang pertama yang paling berkuasa di Tibet itu. ‘Mohon dimaafkan kelancangan saya. Karena para pimpinan Kun-lun-pai yang mengutus saya itu hanya menyampaikan pesan melalui beberapa orang murid yang menyusul saya, maka saya tidak membawa surat perintah tertulis. Sebetulnya, tugas saya dari Kun-lun-pai adalah untuk menyelidiki Tibet Ngo-houw, akan tetapi karena saya merasa yakin akan dapat paduka terima dengan baik, maka saya langsung saja menghadap paduka untuk mohon pertimbangan dan kebijaksanaan.!
Dalai Lama masih tersenyum walaupun pandang matanya kehilangan cahaya kelembutannya sebentar mendengar disebutnya nama Tibet Ngo-houw tadi.
‘Tibet Ngo-houw? Taihiap, ada urusan apakah dengan Tibet Ngo-houw?!
Jelas bagi Bouw Tek bahwa pertanyaan itu memancing. Dia merasa heran. Sejak dahulu semua orang juga tahu bahwa Tibet Ngo-houw adalah lima orang pendeta Lama yang terkenal sebagai pembantu-pembantu Dalai Lama yang dipercaya. Dan mungkin saja mereka kinipun berada di balik sutera putih di belakang Dalai Lama itu. Mengapa Dalai Lama masih bertanya lagi?
‘Ampunkan saya, bukan maksud saya untuk mengadu, hanya saya diutus oleh para pimpinan Kun-lun-pai untuk menyelidiki mengapa Tibet Ngo-houw datang ke Kun-lun-san, bukan hanya mencari dan menyerang dengan maksud membunuhi para pertapa dan tosu yang berasal dari Himalaya dan kini bertapa di sana, akan tetapi juga bahkan mereka berlima itu memusuhi Kun-lun-pai.
Karena mereka itu mengaku diutus oleh paduka, maka saya kira lebih baik saya langsung saja bertanya kepada paduka mengenai sepak terjang Tibet Ngo-houw itu.!
Dalai Lama mengangguk-angguk, agaknya sama sekali tidak heran atau terkejut mendengar ucapan Bouw Tek ini, bahkan terdengar dia berkata lirih, seperti kepada diri sendiri. ‘Hemm, sampai begitu jauh mereka berusaha memburukkan nama kami?! Dalai Lama bertepuk tangan dua kali dan muncullah seorang pendeta Lama dari balik kain sutera putih. Dia seorang pendeta yang bertubuh tinggi besar, bersikap agung dan usianya sudah enam puluh tahun lebih, mukanya persegi seperti muka singa, membayangkan kekerasan dan kekokohan, akan tetapi sinar matanya lembut. Dia menjura di depan Dalai Lama, menanti perintah.
‘Lie-taihiap, engkau tentu masih ingat kepada Kong Ka Lama yang bijaksana dan sakti ini. Nah, dialah yang akan menceritakan semuanya kepadamu. Maafkan, tiba saatnya bagi saya untuk melakukan meditasi, maka selanjutnya, rundingkanlah segalanya dengan Kong Ka Lama.! Setelah berkata demikian, Dalai Lama bangkit berdiri. Bouw Tek cepat bangkit berdiri diikuti oleh Lan Hong dan setelah sedikit mengangguk kepada mereka Dalai Lama lalu melangkah masuk dari pintu di belakang sutera putih, meninggalkan Bouw Tek dan Lan Hong berdua dengan pendeta Lama yang bernama Kong Ka Lama itu.
Setelah Dalai Lama dan para pendeta yang mengawalnya memasuki pintu yang segera tertutup kembali, barulah Kong Ka Lama menghadapi Bouw Tek dan Lan Hong, membuat gerakan dengan tangan menunjuk pintu samping dan berkata, ‘Taihiap dan toanio, mari kita bicara di ruangan sebelah.!
Mereka bertiga keluar dari ruangan itu, melalui pintu samping mereka memasuki sebuah ruangan lain yang tidak begitu besar. Ruangan inipun kosong dan hanya ada sebuah meja dan beberapa buah kursi. Kong Ka Lama mempersilakan dua orang tamu itu duduk dan dia sendiripun duduk menghadapi mereka.
Tentu saja Lie Bouw Tek masih ingat kepada pendeta Lama ini. Kong Ka Lama atau artinya Lama Salju Putih adalah seorang di antara jagoan Tibet yang mengawal Dalai Lama. Bahkan dulu, ketika Dalai Lama dalam perjalanan keluar Lasha dihadang para pemberontak yang menyerangnya, Kong Ka Lama yang mengepalai para pengawal melakukan perlawanan dan melindungi Dalai Lama yang berada di dalam tandu. Pada waktu itulah kebetulan dia melakukan perjalanan dan melihat peristiwa itu, lalu dia turun tangan membantu para pendeta Lama, menghalau para penghadang sehingga akhirnya Dalai Lama dapat diselamatkan. Kong Ka Lama adalah seorang pendeta Lama yang berilmu tinggi dan masih saudara seperguruan dengan lima orang Tibet Ngo-houw, maka dapat dibayangkan kelihaiannya.
‘Taihiap, pinceng (saya) memenuhi perintah Dalai Lama untuk memberi keterangan dan penjelasan kepada taihiap tentang sepak terjang Tibet Ngo-houw terhadap para tosu yang berasal dari Himalaya dan yang kini mengungsi ke Kun-lun-san itu. Mungkin taihiap sudah mendengar betapa yang mulia Dalai Lama dahulunya terlahir di sebuah dusun dan melihat bahwa beliau adalah penjelmaan Dalai Lama yang tua, maka para pandeta Lama yang ketika itu dipimpin oleh wakil Dalai Lama, yaitu Kim Sim Lama mengambil calon Dalai Lama baru itu secara paksa. Hal ini diketahui oleh seorang pertapa Himalaya dan terjadilah bentrokan ketika pertapa itu membela orang-orang dusun yang hendak mempertahankan anak itu sehingga akibatnya, tiga orang pendeta Lama tewas. Akan tetapi anak itu dapat dibawa ke sini. Kemudian, dengan bimbingan Kim Sim Lama, anak itu diangkat menjadi Dalai Lama.!
Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong mendengarkan dengan penuh perhatian. Lie Bouw Tek tidak merasa heran karena dia pernah mendengar sendiri dari Dalai Lama, yaitu ketika dia menolongnya baberapa tahun yang lalu bahwa Dalai Lama ketika kecilnya menimbulkan keributan karena dia dipaksa oleh para pendeta Lama ke Tibet sehingga timbul pertempuran antara para pendeta Lama dan orang-orang dusun yang mempertahankannya.
‘Itulah yang aneh, lo-suhu,! katanya. ‘Kalau sedikit banyak para tosu Himalaya sudah berjasa membela Dalai Lama ketika masih kecil, kenapa sekarang Dalai Lama yang mulia dan adil bahkan menyuruh Tibet Ngo-houw untuk membunuhi para tosu dari Himalaya, bahkan memusuhi para tosu Kun-lun-pai?!
Kong Ka Lama menarik napas panjang. ‘Omitohud.... memang demikianlan agaknya yang dikehendaki mereka yang hendak merusak nama baik yang mulia Dalai Lama. Dengarkah, taihiap, akan pinceng lanjutkan penjelasan itu.! Kong Ka Lama berhenti sebentar, lalu melanjutkan ceritanya.
‘Karena ketika diangkat menjadi Dalai Lama, pemimpin kami itu masih belum dewasa, maka kekuasaan dipegang sementara oleh wakil Dalai Lama, yaitu Kim Sim Lama yang sudah berpengalaman. Adalah Kim Sim Lama ini yang dahulu mengamuk, mengirim para pendeta Lama ke Himalaya dan menyerang para tosu dan pertapa Himalaya. Tindakan itu dia lakukan karena dendam, yaitu karena kematian tiga orang pendeta Lama ketika terjadi pertempuran memperebutkan Dalai Lama ketika masih kecil. Perbuatan itu mendatangkan keributan dan banyak para tosu dan pertapa tewas, terluka dan lebih banyak lagi yang melarikan diri meninggalkan Himalaya. Di antaranya banyak yang mengungsi ke Kun-lun-san.!
Lie Bouw Tek mengangguk-angguk. ‘Akan tetapi, kiranya peristiwa itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan plhak Kun-lun-pai, lo-suhu.!
‘Omitohud, memang tidak ada hubungannya. Harap taihiap dengarkan selanjutnya, nanti taihiap akan mengerti. Beberapa tahun kemudian, setelah Dalai Lama menjadi dewasa dan mengerti, beliau mendengar tentang segala sepak terjang Kim Sim Lama yang menjadi wakil, juga pembimbingnya ketika beliau masih kecil. Beliau terkejut sekali. Pertama, beliau adalah penjelmaan Dalai Lama yang selalu hidup suci, maka tentu saja beliau tidak suka mendengar tentang permusuhan, apalagi dendam kebencian dan bunuh membunuh. Apalagi yang dikejar-kejar adalah para pertapa, para tosu karena dahulu seorang di antara mereka pernah membantu penduduk dusun yang mempertahankan dirinya yang hendak dibawa dengan paksa oleh para pendeta Lama. Juga masih banyak kebijaksanaan yang diambil Kim Sim Lama tidak disetujuinya. Beliau menegur Kim Sim Lama dan terjadilah bentrokan!!
‘Hemm, terjadi pemberontakan, begitukah maksud lo-suhu?!
Pendeta Lama itu mengangguk. ‘Semacam itulah. Dalai Lama tidak suka meributkan peristiwa itu, karena hanya akan memukul nama baik Tibet sendiri. Kim Sim Lama dapat ditundukkan dan dia pun meninggalkan Lasha, tidak mau lagi membantu Dalai Lama. Bahkan dia membentuk suatu perkumpulan yang disebut Kim-sim-pai yang berpusat di sekitar Telaga Yam-so, sebelah selatan Lasha. Akan tetapi, karena sampai sekarang mereka tidak pernah melakukan gerakan pemberontakan, Dalai Lama mendiamkan saja, bahkan memesan kepada kami semua agar tidak membuat keributan dengan Kim-sim-pai, apalagi mengingat bahwa Kim Sim Lama adalah seorang tokoh tua di sini dan sudah banyak jasanya dahulu ketika menjadi wakil Dalai Lama.!
‘Akan tetapi, bagaimana dengan Tibet Ngo-houw yang mengamuk di Kun-lun-san?!
‘Omitohud....! Sungguh hal itu sama sekali tidak kami ketahui sebelumnya, taihiap. Agaknya, Yang Mulia Dalai Lama terlalu memberi hati kepada mereka dan agaknya sudah tiba saatnya untuk menghentikan nafsu mereka yang merajalela. Hendaknya taihiap ketahui banwa Tibet Ngo-houw merupakan tokoh-tokoh Tibet yang juga menjadi anak buah Kim Sim Lama. Jelas bahwa perbuatan Tibet Ngo-houw itu sengaja mereka lakukan, bukan lagi uutuk membalas dendam sekarang, melainkan terutama sekali untuk memburukkan nama baik Dalai Lama, atau untuk mengadu domba agar para tosu, dan juga Kun-lun-pai, memusuhi Dalai Lama.!
‘Ah, betapa liciknya!! Bouw Tek berseru. ‘Sekarang baru saya mengerti, lo-suhu. Untung bahwa saya langsung datang menghadap Dalai Lama sehingga memperolen keterangan yang teramat penting ini.!
‘Omitohud, sukurlah kalau taihiap sudah dapat mengerti. Harap taihiap sudi menyampaikan maaf kami kepada Kun-lun-pai dan para tosu di pegunungan Kun-lun-san dan suka memberitahukan keadaan yang sesungguhnya. Bahwa Dalai Lama sama sekali tidak memusuhi para tosu, dan bahwa semua itu, sejak dahulu, adalah tindakan yang diambil oleh Kim Sim Lama.!
‘Akan tetapi, apakah perbuatan itu harus didiamkan saja? Jelas bahwa Kim Sim Lama melakukan perbuatan menyeleweng dan jahat terhadap nama baik Dalai Lama....!
‘Lie-taihiap, hal itu merupakan urusan dalam kami sendiri. Dalai Lama tentu akan mengambil kebijaksanaan dan apapun yang diambilnya, kebijaksanaan itu tidak ada hubungannya dengan pihak luar. Oleh karena itu, kami harap agar taihiap juga tidak mencampuri. Bahkan pinceng yakin bahwa yang mulia Dalai Lama sendirilah yang akan bertindak. Nah, kiranya cukup jelas, taihiap. Sekarang kami persilakan ji-wi kembali ke luar istana, dan kalau mungkin secepatnya meninggalkan Lasha agar jangan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.!
Pendeta Lama itu bangkit berdiri. Bouw Tek dan Lan Hong bangkit berdiri. ‘Maaf, lo-suhu. Ada sedikit lagi pertanyaan dari kami. Harap saja lo-suhu suka membantu kami.!
‘Hemm, urusan apakah itu, taihiap?!
‘Sie-toanio ini datang ke Lasha untuk mencari dua orang, lo-suhu. Yang pertama adalah puterinya, seorang gadis bernama Yauw Bi Sian yang berusia kurang lebih delapan belas tahun, dan yang ke dua adalah adiknya yang bernama Sie Liong dan terKenal dengan julukan Pendekar Bongkok. Kami perkirakan merekapun datang ke Lasha. Kalau barangkali lo-sunu dapat memberi keterangan tentang mereka....!
Pendeta Lama itu mengelus jenggotnya yang dibiarkan memanjang, alisnya berkerut dan dia mengangguk-angguk sambil memandang kepada Sie Lan Hong.
‘Hemm, jadi, toanio ini kakak dari Pendekar Bongkok yang terkenal itu? Toanio, tentang puteri toanio ini, kami tidak pernah mendengarnya. Akan tetapi kalau Pendekar Bongkok.... hemm, namanya sudah sampai pula ke dalam istana ini. Memang dia pernah berada di Lasha, kabarnya bersama seorang gadis peranakan Tibet Han. Dan kebetulan pula menurut kabar yang kami dengar, dia pernah bentrok dengan seorang anggauta Kim-sim-pai.!
‘Aih, terima kasih, lo-suhu. Dapatkah lo-suhu memberitahu, di mana dia sekarang?! tanya Lan Hong yang sejak tadi tidak pernah ikut bicara ‘Menurut penyelidikan para anak buah kami yang diam-diam kami taruh di mana-mana untuk menjaga keamanan Lasha, ada yang melihat PendeKar Bongkok mendatangi sarang Kim-sim-pai. Akan tetapi karena anak bush kami itu dipesan dengan keras agar jangan sampai terlibat dalam urusan Kim-sim-pai, dan karena tidak ada sangkut-pautnya dengan kami, maka kamipun tidak tahu apa yang terjadi di sana. Nah, kiranya cukup keterangan kami, taihiap dan toanio.!
Lie Bouw Tek tidak berani mengganggu lagi dan diapun menghaturkan terima kasih, lalu meninggalkan istana itu bersama Lan Hong. Wanita itu menahan-nahan perasaannya, dan baru setelah mereka keluar dari istana itu, Lan Hong berkata dengan suara mengandung kekhawatiran.
‘Aih, toako. Apa yang hurus kulakukan sekarang? Aku ingin cepat menyusul dan mencari Sie Liong. Aku harus lebih dahulu bertemu dia sebelum Bi Sian mendahuluiku. Aih, ngeri aku membayangkan mereka saling bertemu sebelum aku menemui adikku....!
‘Tenanglah, Hong-moi. Biar aku akan melakukan penyelidikan ke daerah Telaga Yam-so untuk mencari Pendekar Bongkok dan aku akan mengajaknya ke sini menemuimu.!
‘Tidak! Aku harus ikut, toako. Aku harus cepat menemukannya. Sekarang juga.!
‘Akan tetap hal itu berbahaya sekali, Hong-moi. Tentu engkau tadi sudah mendengar keterangan Kong Ka Lama. Daerah telaga Yam-so itu menjadi sarang Kim-sim-pai dan mereka adalah para pendeta Lama yang memberontak. Banyak terdapat orang sakti di sana, Hong-moi. Lebih baik engkau menanti saja di rumah penginapan dan biarlah aku yang akan mencari adikmu di sana.!
‘Toako, tidak boleh begitu. Yang mempunyai kepentingan adalah aku, bagaimana mungkin engkau yang susah payah menempuh bahaya dan aku yang enak-enak menanti sambil tiduran di kamar? Tidak, aku harus ikut! Aku tidak takut menghadapi bahaya dan aku juga dapat menjaga diriku sendiri, toako!!
‘Akan tetapi, sungguh aku amat mengkhawatirkan keselamatan dirimu, Hong-moi. Bagaimana kalau sampai datang ancaman bahaya dan aku sampai tidak mampu melindungi dirimu? Aih, Hong-moi, tak dapat aku membayangkan hal itu terjadi....!
Suara pendekar perkasa itu tiba-tiba agak gemetar. ‘.... tidak, aku tidak dapat membiarkan engkau terancam bahaya. Aku.... aku akan merasa menyesal selama hidupku!!
Melihat pendekar itu bicara seperti itu, seperti tanpa disadarinya bahwa dia membuka rahasia hatinya, tiba-tiba wajah Lan Hong berubah merah dan iapun tersipu. Kalau saja tidak sedang menghadapi keadaan yang menegangkan, tentu ia akan semakin tersipu malu, walaupun ada rasa bahagia dan bangga menyelinap di dalam hatinya.
‘Toako, banyak terima kasih atas perhatianmu kepada diriku, akan tetapi sebaliknya, toako. Kalau engkau pergi sendiri meninggalkan aku untuk mencari adikku, kemudian terjadi sesuatu dengan dirimu, maka akupun akan merasa menyesal selama hidupku, bahkan tak mungkin lagi aku menghadapi kehidupan yang kejam ini seorang diri saja....!
Keduanya menunduk dan dalam saat seperti itu, biarpun mereka tidak secara langsung mengucapkan pengakuan, namun keduanya merasa benar betapa keduanya saling membutuhkan, saling manyayang, saling mencinta dan merasa ngeri kalau-kalau saling kehilangan!
‘Baiklah, Hong-moi. Kita pergi bersama, akan tetapi kita harus berhati-hati dan membuat persiapan. Aku akan melakukan penyelidikan yang lebih seksama dulu. Besok baru kita berangkat ke Telaga Yam-so.!
‘Terima kasih, toako. Selama hidupku, aku tidak akan pernah dapat melupakan semua budi kebaikanmu ini,! kata Lan Hong lirih dengan suara mengandung isak haru.
***
Telaga Yam-so merupakan sebuah telaga yang besar dan luas di sebelah selatan. Orang Tibet menyebutnya dalam Bahasa Tibet sebagai Yamzho Yumco (Telaga Yamso). Letaknya di sebelah selatan sungai besar Brahmaputra yang amat panjang. Sungai itu mengalir di sepanjang negara Tibet sampai membelok ke selatan dan berakhir di selatan negara Bangladesh sebelah timur India. Daerah inilah, dari Sungai Brahmaputra sampai ke Telaga Yamso, menjadi daerah yang dikuasai Kim-sim-pai!
Daerah ini amat sunyi, penuh dengan hutan belantara yang liar, yang sambung menyambung sampai ke selatan, sampai ke Pegunungan Himalaya. Dusun-dusun hanya dihuni orang-orang pribumi Tibet, dan ada pula peranakan Tibet Bhutan dan beberapa orang peranakan India. Namun mereka adalah orang-orang gunung yang sederhana, dan agaknya Kim-sim-pai tidak mengusik mereka yang hidup tenang dan damai karena setiap harinya mereka hanya mengurus mencari makan dengan jalan berburu, beternak kecil-kecilan, dan ada pula yang menjadi penangkap ikan di sepanjang Sungai Brahmaputra atau Telaga Yamso.
Akan tetapi, akhir-akhir ini bermunculan banyak orang Nepal di daerah itu dan mulailah terdapat gangguan-gangguan yang mengusik kehidupan yang tadinya aman damai dari para penghuni dusun di daerah itu. Orang-orang Nepal ini adalah anak buah dari pangeran Nepal pelarian yang kini telah bersekutu dengan Kim-sim-pai. Pangeran itu, Janghar Singh, telah bersekutu dengan Kim Sim Lama dan dia berjanji untuk membantu gerakan para pendeta Lama yang memberontak terhadap Dalai Lama itu, sedangkan pihak Kim-sim-pai juga berjanji bahwa kelak, kalau mereka telah menguasai Tibet, mereka akan membantu Pangeran Janghar Singh yang hendak memberontak terhadap Kerajaan Nepal.
Gangguan para orang Nepal itu kadang amat menggelisahkan penduduk. Kalau mereka itu kadang hanya minta dengan paksa beberapa ekor hewan ternak, hal itu masih dapat diberikan dengan hati sabar oleh para penghuni dusun. Akan tetapi ada kalanya, orang-orang Nepal itu mengganggu wanita! Karena itu, maka banyaklah wanita muda yang cantik atau bersih, diungsikan keluarga mereka ke tempat yang jauh dari daerah itu, terutama mereka yang tinggal di lereng Pegunungan Himalaya yang menjadi perbatasan antara Tibet dengan Nepal.
Pada suatu pagi yang cerah, seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik yang menunggang kuda tiba di lereng bukit dekat Telaga Yam-so.
‘Sute, berhenti dulu!! kata Bi Sian menahan kendali kudanya. Bong Gan juga menahan kudanya dan menoleh lalu menghampiri suci-nya.
‘Ada apakah, suci?! tanyanya, sambil memandang ke sekeliling dengan khawatir.
‘Lihat, sute, betapa indahnya pemandangan di sini. Lihat telaga di bawah itu, airnya seperti permadani biru dikelilingi bukit menghijau. Indah sekali!!
Bong Gan menarik napas lega. Dia sudah mengatur rencana bersama Pek Lan dan menurut rencana itulah pada pagi ini ia dan Bi Sian tiba di lareng bukit itu. Tadinya, ketika Bi Sian minta berhenti, dia khawatir kalau-kalau sucinya itu mencurigai sesuatu. Kiranya gadis itu hanya mengagumi alam yang memang amat indah itu.
‘Memang indah sekali tempat ini, suci. Hawanya nyaman dan sejuk sekali. Aahh, alangkah senangnya kalau kita dapat tinggal beberapa lamanya di tempat seindah ini!!
Bi Sian menoleh dan memandang pemuda itu yang mengembangkan kedua lengannya sambil menghirup udara yang amat menyegarkan itu. Ia tersenyum.
‘Ih, sute. Lupakah engkau bahwa kita datang ke tempat ini bukan untuk pesiar melainkan untuk mencari musuh besarku?!
‘Wah, memang kadang-kadang aku lupa, suci. Perjalanan ini demikian menyenangkan bagiku. Siapa tahu, kita dapat cepat menemukan musuhmu dan membereskan perhitungan, agar kita mempunyai banyak waktu untuk menikmati tempat indah ini.!
Tiba-tiba sepasang mata Bi Sian terbelalak. Bukan hanya matanya yang menangkap berkelebatnya banyak bayangan orang, akan tetapi juga pendengaran telinganya menangkap gerakan banyak orang di sekitar tempat itu.
‘Ada orang....!! bisiknya.
‘Mereka mengepung kita!! Bong Gan juga berbisik dan pemuda ini kelihatan terkejut. Padahal, di dalam hatinya dia bersukur karena dia tahu bahwa ini merupakan siasat yang dijalankan oleh Pek Lan. Maka, diapun hanya berpura-pura ketika kelihatan terkejut, tidak seperti Bi Sian yang merasa benar-benar kaget karena melihat bahwa mereka telah dikepung oleh sedikitnya tiga puluh orang. Bukan orang Han, bukan pula orang Tibet, melainkan orang-orang yang aneh, rata-rata berkulit kehitaman dan gelap, bentuk tubuh mereka tinggi dan sebagian besar dari mereka menggunakan penutup kepala berupa sorban putih yang tebal.
‘Mereka orang-orang asing....! kata pula Bong Gan. Padahal dia sudah mendengar dari Pek Lan yang mengatur siasat itu bahwa yang akan mengepung mereka adalah orang-orang Nepal.
Melihat banyak orang mengepung dan maju mendekat, dua ekor kuda yang mereka tunggangi menjadi panik. Bi Sian lalu melompat turun dari atas punggung kudanya dan berkata kepada Bong Gan, ‘Sute, turun saja dari atas kuda, agar kita dapat membela diri lebih leluasa!!
Keduanya sudah melompat turun dari atas punggung kuda dan dengan sikap tenang namun penuh kesiapsiagaan, kakak adik seperguruan ini berdiri dengan saling membelakangi.
‘Sute, biarkan aku yang bicara dengan mereka,! bisik Bi Sian dan diam-diam Bong Gan tersenyum. Memang sebaiknya begitu agar tidak akan terdengar suaranya yang sumbang.
Kini, tigapuluh orang lebih perajurit Nepal itu sudah datang dekat dan seorang di antara mereka, yang melihat pakaiannya tentu merupakan komandannya berdiri di depan Bi Sian. Dia seorang pria berusia empat puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus, matanya cekung ke dalam dan hidungnya yang panjang itu agak bengkok ke kiri sehingga mulutnya kelihatan seperti mengejek selalu.
‘Hei, kalian dengarlah baik-baik!! Bi Sian berseru dengan suara lantang. ‘Kami dua orang pelancong dari timur, tidak ingin bermusuhan dengan penduduk pribumi. Kenapa kalian menghadang dan mengepung kami yang tidak bersalah?!
Orang tinggi kurus itu memandang tajam, lalu menjawab. Dia dapat bicara dalam Bahasa Han, walaupun logatnya aneh dan lucu. ‘Kami biasa menghormati tamu yang datang diundang. Akan tetapi kalian berdua tidak diundang, telah melanggar wilayah kami. Sudah sepatutnya kalau kami membunuh kalian, akan tetapi mengingat kalian dua orang muda, dan seorang di antaranya bahkan wanita, kami tidak akan bersikap keras. Orang-orang muda, menyerahlah kalian dengan baik, agar kami tawan dan kami hadapkan kepada pemimpin kami!!
Bi Sian menatap orang itu. Sikap mereka cukup gagah, pikirnya, tidak seperti gerombolan perampok atau penjahat yang kejam. Maka, iapun berkata lantang. ‘Maafkan kalau tanpa disengaja kami melanggar wilayah kalian. Akan tetapi kami tidak bersalah, harap biarkan kami melanjutkan perjalanan. Kami tidak suka untuk ditawan.!
Pemimpin tinggi kurus itu mengerutkan alisnya yang tebal, kemudian mencabut sebatang golok yang bentuknya melengkung panjang, dan dia berkata dengan tegas, ‘Di wilayah ini, kami yang berkuasa! Mau atau tidak mau, kalian harus menyerah untuk menjadi tawanan kami. Harap kalian menyerah dengan damai!!
‘Kalau kami tidak mau menyerah?! tanya Bi Sian yang sudah mulai marah dan penasaran.
‘Terpaksa kami menggunakan kekerasan untuk menangkap kalian!!
‘Singg....!! Nampak sinar putih berkilauan ketika ia mencabut pedang Pek-lian-kiam (Pedang Teratai Putih). ‘Bagus! Andaikata aku mau menyerahpun, pedang ini yang tidak membolehkannya. Karena tidak merasa bersalah, tentu saja aku tidak mau menyerah dan kalau kalian hendak memaksaku dan menggunakan kekerasan, jangan salahkan aku kalau kalian menjadi korban pedangku!!
Bong Gan juga sudah menyambar sebatang dahan pohon di atasnya, membuangi ranting dan daunnya dan kini dia sudah memegang sebatang tongkat.
‘Kalau kalian memaksa, kami akan melawan!! Diapun membentak dan sambil berdiri saling membelakangi dengan sucinya, dia melintangkan tongkatnya dan siap melakukan perlawanan.
‘Kami tidak akan membunuh kalian, akan tetapi terpaksa harus menangkap kalian!! bentak pemimpin rombongan itu dan diapun mengeluarkan aba-aba dalam Bahasa Nepal. Tiga puluh orang lebih itu, dengan senjata tombak atau golok dan perisai, kini mengepung ketat dan kepungan itu makin mendesak.
‘Sute, sedapat mungkin robohkan mereka akan tetapi jangan bunuh!! kata Bi Sian. Dara itu menganggap mereka itu bukan orang jahat, hanya akan menangkap dan tidak membunuh, oleh karena itu iapun tidak ingin sutenya melakukan pembunuhan sehingga menanam permusuhan yang semakin dalam.
‘Baik, suci,! kata Bong Gan.
Pada saat kepungan itu sudah makin dekat dan dua orang murid Koay Tojin itu siap bergerak menyerang pengeroyok terdekat, tiba-tiba terdengar seruan nyaring suara seorang wanita.
‘Tahan....! Jangan bertempur!!
Para pengepung itu menahan senjata mereka dan mundur. Bi Sian dan Bong Gan menoleh ke arah suara wanita itu dan mereka melihat seorang wanita yang berusia dua puluh empat tahun lebih, cantik manis dengan muka lonjong dan kulit putih mulus berambut keemasan, muncul bersama seorang kakek berusia enam puluh tahunan yang berkepala gundul, berjubah pendeta dengan gambar Teratai Putih di dadanya. Kakek itu masih nampak muda dan tampan, dengan tubuh tinggi besar. Begitu dua orang ini mendekat, semerbak bau keharuman bunga mawar.
Tentu saja Bong Gan mengenal wanita itu, wanita yang beberapa hari yang lalu, semalam suntuk berada dalam pelukannya. Wanita itu adalah Pek Lan dan kakek yang nampak muda itu adalah Thai-yang Suhu, tokoh Pek-lian-kauw. Akan tetapi Bi Sian tidak mengenalnya.
Melihat para pengepung itu mundur, Bi Sian mengerti bahwa ia berhadapan dengan pemimpin gerombolan orang asing yang menghadangnya. Tentu saja ia tidak tahu bahwa dua orang itu telah bersekutu dengan Kim Sim Lama dan kini menjalankan siasat untuk menjebaknya! Dan para pengepung itu adalah orang-orang Nepal yang dipergunakan untuk membantu siasat itu, yang juga sudah diketahui oleh Bong Gan.
Sambil memandang tajam wanita cantik yang sikapnya genit itu, Bi Sian berkata, pedang Pek-lian-kiam masih melintang di depan dadanya.
‘Hemm, kiranya kalian berdua, seorang gadis cantik dan seorang pendeta, yang memimpin gerombolan ini. Apa alasan kalian menghadang perjalanan kami dan orang-orangmu yang mengepung kami ini hendak menawan kami?! Suara Bi Sian penuh wibawa, tanda bahwa ia sama sekali tidak merasa gentar. Diam-diam Pek Lan kagum. Pantas Bong Gan tergila-gila kepada suci-nya sendiri dan ingin memperisterinya. Memang manis dan jelita sekali! Dan diam-diam Thai-yang Suhu mengamati pedang di tangan gadis itu. Pedang itu bersinar putih dan ada ukiran bunga teratai. Pedang Teratai Putih! Sungguh merupakan pedang yang cocok sekali kalau menjadi miliknya, bahkan kalau menjadi pusaka dari perkumpulannya, yaitu Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), sekiranya pedang itu memang sebuah pusaka yang ampuh, bukan pedang biasa saja.