Akan tetapi teringat akan cerita kakek petani yang menjadi tuan rumahnya, dia marah sekali kepada lurah ini. Biarpun marganya sama dengan dia, berarti kalau diusut silsilahnya tentu masih ada hubungan keluarga jauh, dia tidak perduli. Siapa yang jahat, biarpun keluarga sendiri, harus ditentang dan dihajar! Tempat itu sudah sepi. Para tamu sudah lari semua, para penabuh musik juga sudah melarikan diri. Akan tetapi di luar pagar pekarangan, Sin Cu melihat masih banyak orang yang mengintai dan menonton. yang berada di ruangan yang terang benderang itu hanya dia dan sepasang pengantin,juga lima belas orang jagoan yang sudah menderita luka dan hanya berani duduk sambil memegangi anggauta tubuh yang terluka. Sin Cu mengerahkan Iwee-kang (tenagà dalam) dari pusar perutnya sehingga suaranya terdengar lantang dan dapat didengar pula oleh mereka yang nonton di luar pagar.
“Wong Cin, tahukah engkau akan dosa-dosamu?” Dia membentak sambil melirik kearah pengantin wanita yang tadi menunduk sambil menangis itu. Kini pengantin wanita itu masih menangis dan menggunakan kedua tangan menutupi mukanya dengan tubuh gemetar dan ketakutan.
“Nona, jangan takut dan jawablah sejujurnya. Apakah nona suka menjadi isteri keenam Lurah Wong Cin ini?” Pengantin wanita itu tidak berani menjawab, hanya menggeleng kepala kuat-kuat tanda bahwa ia tidak suka.
“Jawablah, jangan takut. Kalau engkau tidak suka, bagaimana engkau dapat duduk di sini dalam pakaian pengantin?” “Saya... saya dipaksa, ayah saya takut dipukuli dan akan dibunuh kalau saya menolak menjadi isterinya, Wong Cin kembali menekan goloknya pada leher Wong Cin.
“Nah, benarkah pengakuan gadis ini?” bentaknya. “Jangan bohong, kalau bohong aku pasti akan memenggal lehermu.” “Be... benar...” Lurah Wong Cin meratap.
“Bagus! Engkau seorang lurah yang sepatutnya melindungi penduduk dusun ini dan mengusahakan agar kehidupan mereka di sini aman tenteram. Akan tetapi sebaliknya engkau malah menjadi lurah yang korup dan menindas penduduk! Engkau mata keranjang, memaksa gadis-gadis menjadi isteri mudamu dan engkau mempergunakan tukang-tukang pukulmu untuk memaksakan kehendakmu dan menyiksa penduduk. Dosamu sudah bertumpuk dan engkau layak dipenggal lehermu!” “Jangan bunuh saya... saya mempunyai lima orang isteri yang menjadi tanggungan saya... saya mohon ampun...” ratap laki laki itu.
“Hemm, mudah saja mengampuni, akan tetapi engkau harus bersumpah, disaksikan semua orang itu. Hayo panggil mereka masuk ke sini untuk menjadi saksi!” Lurah Wong Cin lalu melambaikan tangan ke arah mereka yang nonton di luar sambil berteriak.
“Heii, kalian semua, Masuklah ke sini, jangan takut, ke sinilah!” Lurah itu berteriak menyuruh orang-orang itu agar jangan takut, untuk menyembunyikan rasa takutnya sendiri. Mendengar panggilan ini, orang-orang yang menonton dari luar pagar lalu memasuki pekarangan itu dan berindap-indap masuk ke ruangan depan tempat para tamu tadi duduk. Jumlah mereka ada tiga puluh orang lebih dan sebagian besar adalah penduduk dusun Tong-Sin- Bun. Tentu saja mereka masih merasa ngeri dan takut-takut melihat Lurah Wong Cin dalam keadaan berlutut dan pemuda itu menempelkan golok yang berlumuran darah dileher itu, sementara itu, lima belas orang jagoan itu masih merintih-rintih kesakitan.
“Nah, sekarang bersumpahlah, disakskan semua orang bahwa mulai saat ini engkau akan menjadi seorang lurah yang baik dan bijaksana, tidak menindas penduduk dusun, tidak sewenang- wenang, dan tidak akan mengganggu anak gadis dan isteri orang” Karena takutnya, Lurah Wong Cin lalu berseru dengan suara yang cukup lantang dan gemetar, “Saya bersumpah untuk menjadi lurah yang adil dan bijaksana, tidak menindas penduduk, tidak sewenang-wenang dan tidak mengganggu gadis dan isteri orang.
“Juga akan menolong penduduk yang kekurangan!” kata Sin Cu.
“Dan juga akan menolong penduduk yang kekurangan!” teriak lurah itu. Sekarang, bebaskan gadis ini dan suruh antar ia pulang ke rumah orang tuanyal” bentak lagi Sin Cu. Lurah Wong Cin lalu berteriak memanggil seorang yang masih paman pengantin wanita dan yang tadi ikut mengantar wanita itu diboyong ke rumah Wong Cin.
“Cepat antarkan keponakanmu pulang!” Pengantin wanita menangis saking gembiranya. la melepaskan hiasan kepala dan membuangnya, lalu lari menghampiri pamannya. Kemudian, dibimbing pamannya, mereka berdua berlutut di depan Sin Cu.
“Terima kasih atas pertolongan Taihiap....” kata gadis itu sambil terisak.
“Sudahlah, tidak perlu berterima kasih, cepat pulanglah ke rumah orang tuamu,” kata Sin Cu dan dua orang itu lalu bangkit dan berjalan setengah berlari meninggalkan rumah lurah itu.
“Wong Cin, engkau telah bersumpah disaksikan oleh banyak warga dusunmu. Bagaimana kalau engkau melanggar sumpahmu?” bentak Sin Cu kepada lurah yang masih berlutut itu.
“Tidak, Taihiap, saya tidak akan melanggar! Kalau saya melanggar sumpah saya, biarlah saya tidak akan selamat! Tiba-tiba Sin Cu menggerakkan golok rampasannya. Wong Cin menjerit dan mengaduh sambil mendekap telinga kirinya yang sudah buntung dan bercucuran darah. Daun telinga kirinya telah terbabat buntung oleh golok di tangan Sin Cu Sekali ini aku hanya membuntungi telinga kirimu untuk peringatan. Akan tetapi kalau lain kali aku lewat di sini dan melihat engkau mengingkari sumpahmu bukan hanya sebelah telingamu lagi yang kubuntungi, melainkan lehermu!” Setelah berkata demikian, Sin Cu menggerakkan goloknya. Terdengar suara keras dan meja besa itu patah menjadi dua potong! Dia lalu melemparkan goloknya. Golok itu meluncur dan menancap di sebuah tihang sampai ke gagangnya! Setelah melakukan itu, Sin Cu lalu meninggalkan lurah yang masih berlutut dan mengaduh-aduh dengan tubuh menggigił itu. Sernua orang bubaran meninggalkan rumah Lurah Wong Cin dan tentu saja peristiwa itu menjadi bahan percakapan penduduk dusun Tong-Sin-Bun. Mereka membicarakan peristiwa itu dengan hati girang, penuh harapan bahwa semenjak saat itu sang lurah akan benar-benar menjadi lurah yang adil dan dapat dijadikan pengayoman penduduk dusun itu. Sin Cu kembali ke rumah petani yang menyambutnya dengan penuh hormat karena petani ini tadi juga ikut menonton peristiwa yang terjadi di rumah Lurah Wong Cin. Taihiap, kami semua senang sekali dan amat berterima kasih kepada Taihiap akan pertolongan Taihiap kepada kami dengan menundukkan Lurah Wong!” kata petani itu bersama isterinya sambil memberi hormat.
“Sudahlah, paman dan bibi. Jangan sebut-sebut lagi urusan itu. Aku merasa gerah dan ingin mandi. Apakah ada persediaan air jernih di sini?” kata Sin Cu yâng kegerahan sambil membuka bajunya. Karena gerah dia membuka baju dan lupa, akan tanda rajah naga di dadanya. Baru dia menyadari hal ini ketika suami isteri itu memandang ke dadanya dengan mata terbelalak. Suami isteri petani sederhana itu tercengang melihat gambar seekor naga putih di dada pemuda itu, gambar seekor naga putih yang seolah hidup dan bergerak-gerak di atas dada yang bidang itu.
“Hanya rajah gambar naga,” kata Sin Cu mencela keheranan orang dan dia menggunakan tangan kiri menutup gambar itu.
“Paman, adakah air di sini untuk mandi?” “Oh... ada... ada, Taihiap. Di belakang tersedia cukup air. Silakan...” Petani itu membawa sebuah lampu gantung dan mengantar Sin Cu ke belakang, di mana terdapat sebuah kamar mandi sederhana, akan tetapi airnya memang cukup banyak. Sehabis mandi dan berganti pakaian Sin Cu memberi uang kepada petani itu untuk membeli hidangan untuk makan malam, Malam itu dia tidur nyenyak dalam sebuah kamar sederhana, di atas sebuah pembaringan bambu yang sederhana pula. Namun, dia dapat tidur dengan pulas. Perbuatannya terhadap Lurah Wong Cin semalam agaknya mendatangkan kepuasan dalam hatinya, juga menghilangkan kegelisahannya ketika dia mengira bahwa lurah yang menyeleweng itu adalah ayah kandungnya. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah pergi setelah meninggalkan sepotong uang perak untuk suami isteri petani itu.
Sin Cu melangkah perlahan memasuki hutan, mengikuti jalan mendaki lereng melalui hutan itu. Pagi itu amat indah dan cerah. Sinar matahari pagi menerobos di antara celah-celah daun, menimbulkan berkas-berkas sinar yang mengusir sisa-sisa halimun dari dalam hutan. Kicau burung menghidupkan hutan itu dan karena pada waktu itu musim semi telah menghijaukan pohon- pohonan bahkan di sana sini sudah tampak bunga menghias pohon-pohon itu, maka suasananya menjadi amat cerah dan menggembirakan hati. Biarpun hutan itu sepi manusia dan dia hanya melangkah seorang diri, namun Sin Cu tidak merasa kesepian. Burung-burung yang berkicau sambil berlompatan dari ranting ke ranting, kelinci yang berlari lucu dari semak ke semak lain, semua itu seolah menemaninya dan membuat dia merasa tidak kesepian.
Susah senang, puas kecewa, iri, marah, dengki, takut, benci, adalah keadaan hati akal pikiran yang diumbang-ambingkan dan dipermainkan oleh nafsu-nafsu daya rendah. Hati akal pikiran yang dikuasai oleh nafsu daya rendah membentuk “Si Aku” yang menjadi pusat di mana nafsu berulah. Segala sesuatu ditujukan untuk kepentingan dan kesenangan si aku dan kalau kesenangan tidak terdapat, maka menjadilah kesusahan,kalau kepuasan tidak terdapat maka terdapatlah kekecewaan yang mendatangkan kemarahan dan kebencian, Kalau pikiran hening, di waktu naísu daya rendah tidak bekerja, seperti keadaan Sin Cu pada waktu melangkah memasuki hutan di pagi hari itu, akan terasalah keadaan yang hening, indah dan mulia dan dalarn keadaan seperti itu, maka terasalah apa kebahagiaan itu.
Kebahagiaan yang berada di atas suka duka, berada di atas semua perasaan jasmaniah. Inilah kiranya yang menjadi sebab dan pendorong mengapa para bijaksana di jaman dahulu banyak yang pergi ke tempat-tempat yang indah dan sunyi, di mana mereka dapat menikmati kebahagiaan itu. Namun, mereka salah duga. Kebahagiaan yang sudah dicari-cari berubah menjadi kesenangan dan seperti senua kesenangan, keindahan alam itupun akhirnya membosankan! Kebahagiaan tidak dapat dicari. Yang dapat dicari adalah kesenangan, dan di mana ada kesenangan, pasti ada pula kesusahan. Kebahagiaan adalah suatu keadaan jiwa yang terbebas dari pada kotoran nafsu-nafsu daya rendah, dan kebebasan jiwa dari kotoran nafsu ini tidak dapat diusahakan melalui hati akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu.
Hahya Kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu membersihkan jiwa dari pengaruh nafsu daya rendah yang merupakan kotoran yang menutupi jiwa sehingga sinar jiwa tidak dapat menembus. Sin Cu melangkah perlahan-lahan, merasa dirinya ditelan keindahan alam sekelilingnya, merasa dirinya menjadi bagian dari keindahan itu, bukan sebagai penonton melainkan berada di dalamnya! Tak dapat digambarkan keadaan sebahagia itu. Bahkan setiap tarikan nafas, setiap kali hawa udara yang jernih memasuki tubuh, terasa nyaman dan nikmat yang tak dapat digambarkan dengan kata-kata! Mata memandang, telinga mendengar, hidung mencium, sesuatu yang lebih dari pada keindahan, bukan keindahan yang mendatangkan kesenangan, melainkan keindahan, kemerduan dan keharuman yang seolah sudah menyatu dengan diri jiwa raga.
Tak dapat digambarkan dengan kata-kata keindahan itu, kebesaran itu, kebenaran dan kenyataan itu. Sin Cu merasa dirinya seolah melayang layang dalam dunia yang lain sama sekali dari pada yang biasa dilihatnya. Tanpa disengaja, dia menarik napas panjang sekali, seolah olah udara yang disedotnya memasuki seluruh tubuhnya sampai dia seperti terisak dan pada saat itu dia menyadari akan kebesaran dan kekuasaan Tuhan yang menciptakan semua itu. Jiwanya seperti berdoa dengan sendirinya, memuji kebesaran Tuhan. Dan pada saat itu, segala yang dilihat dan didengarnya, bahkan yang diciumnya, baginya seolah semua itu memuji kebesaran Tuhan. Burung berkicau, kupu yang beterbangan, daun dan bunga yang bergoyang-goyang dihembus angin semilir, keharuman tanah rumput dan bunga yang memasuki penciumannya, semua itu ditujukan untuk mengagungkan dan memuja kebesaran Tuhan.
“Tolooonngg... ahh, tolooong...” Tiba-tiba terdengar jerit melengking memecahkan suasana, menyeret Sin Cu kembali ke alam yang keras.
Suara wanita minta tolong, pikirnya. Ada orang membutuhkan pertolongannya! Ada orang berada dalam ancaman bahaya! Urat syarafnya yang sudah peka sekali itu tiba-tiba bekerja, tubuhnya melompat dan berlari cepat ke bagian depan, kearah datangnya suara jeritan tadi, Setelah melewati sebuah tikungan jalan dalam hutan itu, Sin Cu melihat sebuah kereta berhenti di tepi jalan dan seorang pría berusia tiga puluh lima tahun sedang dipukuli seorang laki-laki tinggi besar. Yang membuat hatinya marah adalah ketíka dia melihat dua orang wanita, seorang berusia tiga puluh tahun lebih dan yang ke dua berusia kurang lebih empat belas tahun, sedang meronta-ronta dalam pondongan dua orang laki-laki lain. Sedangkan dua orang lagi yang tampak bengis dan kasar tertawa tawa dalam kereta. Perampok, pikirnya marah. Sin Cu melompat dekat.
“Lepaskan wanita-wanita itu!” bentaknya dan begitu dia menggerakkan tangan dua kali, laki laki yang meringkus wanita- wanita itu terpelanting dan roboh sehingga korban mereka terlepas. Kemudian Sin Cu menyerang laki-laki yang memukuli pria berpakaian indah seperti bangsawan itu. Sekali pukul saja laki-laki tinggi besar itupun terpelanting roboh. Dua orang kawannya yang berada dalam kereta menjadi marah sekali. mereka berlompatan turun dan mencabut golok yang tergantung di punggung mereka.
“Hei... Dari mana datangnya bocah setan yang berani menentang kami!” bentak seoang dari mereka yang berkumis tebal dan agaknya menjadi pemimpin gerombolan lima orang itu. Dia bukan hanya membentak akan tetapi juga langsung menyerang dengan goloknya, diikuti temannya yang juga mengayunkan golok menyerang Sin Cu. Biarpun dua orang itu sudah mengerahkan tenaga dan menyerang dengan gerakan secepat mungkin, namun gerakan mereka itu bagi Sin Cu masih terlampau lamban. Dengan amat mudahnya pemuda perkasa itu mengelak, kemudian dua kali berturut-turut kakinya menendang.
“Dukk...!! Dess...!” kedua orang itu berseru kaget dan kesakitan, tubuh mereka terlempar sampai empat lima meter dan terbanting jatuh berdebuk di atas tanah, golok mereka terlepas dari pegangan. Barulah terbuka mata lima orang gerombolan perampok itu bahwa mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang lihai sekali, yang dapat merobohkan mereka dengan sekali gerakan. Nyali mereka menjadi kecil dan pemimpin mereka yang berkumis tebal itu lalu merangkak bangun dan melarikan diri seperti dikejar setan. Dengan tubuh babak belur dan muka benjol- benjol karena dipukuli penjahat tadi pria yang berpakaian bangsawan itu terhuyung menghampiri Sin Cu lalu memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dadanya.
“Terima kasih kami ucapkan atas pertolongan Taihiap.” “Tidak perlu berterima kasih kepada saya karena apa yang saya lakukan hanyalah sekedar memenuhi kewajiban saya. Lima orang perampok itu adalah orang-orang jahat yang wajib saya tentang.” Tiba-tiba gadis remaja yang tadi bersama ibunya diringkus dua orang penjahat, mendekati Sin Cu dan berkata penuh dengan nada teguran.
“Engkau tadi mampu mengalahkan mereka, mengapa tidak kau bunuh saja lima orang jahat tadi? Mengapa engkau membiarkan mereka melarikan diri?” “Loan Cin! Jangan berkata begitu!” tegur ayah gadis itu yang bukan lain adalah Pangeran Ceng Sin. Seperti telah kita ketahui, Pangeran Ceng Sin, isterinya dan anak perempuannya telah melarikan diri keluar dari kota raja setelah Sóng Bu melepaskannya, tidak membunuhnya karena pemuda ini merasa kagum dan kasihan kepada puteri pangeran yang lincah dan pemberani. Berhari-hari Pangeran Ceng Sin melakukan perjalanan dengan kereta bersama isteri dan putrinya dan pada pagi hari itu, dia dihadang oleh lima perampok yang hampir saja mencelakai keluarganya.
“Taihiap, maafkan kelancangan anak perempuan kami. Perkenalkan, saya Ceng Sin. Ini adalah isteri saya, Ceng Hujin (Nyonya Ceng) dan ini puteri kami bernama Ceng Loan Cin. Bolehkah kami mengetahui nama in-kong (tuan penolong) yang terhormat?” Melihat sikap dan mendengar ucapan yang teratur itu tahulah Sin Cu bahwa dia berhadapan dengan seorang terpelajar dan melihat pakaian keluarga itupun dia dapat menduga bahwa mereka tentu keluarga bangsawan, maka dia lalu memberi hormat.
“Saya bernama Wong Sin Cu, seorang perantau yang kebetulan lewat di tempat ini. Akan tetapi Taijin (pembesar) sekeluarga mengapa melakukan perjalanan di tempat sunyi ini tanpa pengawal?” “Ah, jangan menyebut saya Taijin!” kata Pangeran Ceng Sin yang hendak menyembunyikan keadaan dirinya. Dia adalah seorang pelarian yang mungkin menjadi buruan orang-orangnya Thaikam Liu Cin, maka perlu dia menyembunyikan keadaan dirinya, “Kami hanyalah keluarga pedagang biasa. Kami datang dari kota raja dan kami ingin mencari tempat tinggal yang baru di sebuah dusun yang aman tenteram.” “Hemm, mengapa, Paman Ceng Sin? Mengapa paman sekeluarga meninggalkan kota raja dan hendak mencari tempat tinggal baru di dusun yang aman tenteram? Apakah di kota raja tidak aman tenteram?” “Di kota raja banyak kekacauan. Banyak pembesar yang bertindak sewenang wenang mengandalkan kedudukan dan kekuasaannya sehingga kami merasa tidak tenteram tinggal di sana. Tidak kami sangka bahwa di tempat sesunyi ini muncul pula penjahat- penjahat.” “Paman, di manapun tentu terdapat orang-orang yang baik dan orang-orang yang jahat. Sekarang paman sekeluarga hendak ke mana?” “Dari jauh tadi kami melihat bukit ini amat subur dan menarik, Kami hendak melanjutkan perjalanan mencari sebuah dusun di daerah pegunungan ini, kalau cocok kami akan tinggal di dusun daerah ini.” “Kebetulan sayapun hendak melalui jalan ini. Biarlah saya menemani paman agar dapat mencegah kalau para perampok tadi melakukan penghadangan lagi.” “Ah, terima kasih, Wong-Taihiap. Engkau seorang pemuda gagah perkasa yang budiman. Mari, mari naik kereta dan duduk didepan bersama saya. Kami merasa aman melakukan perjalanan bersamamu,” kata Pangeran Ceng Sin dengan girang sekali. Ceng Loan Cin menjenguk dari dalam kereta dan berkata kepada ayahnya, “Ayah, akupun ingin belajar silat agar aku dapat membasmi para penjahat seperti kakak Wong Sin Cu ini!” “Hemm, enak saja engkau bicara! Apa kau kira mudah menguasai ilmu silat seperti yang dikuasai oleh Wong-Taihiap ini?” Pangeran Ceng Sin berkata sambil tertawa.
“Mengapa tidak, paman Ceng Sin? Kulihat adik Ceng Loan Cin ini memiliki keberanian dan ketabahan. Kalau ia mendapatkan seorang guru yang baik dan belajar dengan penuh semangat, aku yakin la dapat menjadi seorang yang berkepandaian lebih tinggi dari pada saya.” Mereka melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap. Sin Cu merasa suka dan kagum kepada Ceng Sin yang ternyata memiliki pengetahuan yang luas dan sikapnya amat ramah dan baik. Ketika kereta mereka tiba di sebuah lereng di luar sebuah dusun yang berpagar bambu, Ceng Sin menahan kudanya sehingga berhenti. Dia menoleh ke kanan dan matanya terbelalak kagum. Sin Cu juga memandang ke arah itu dan diapun kagum. Di sana, di lereng bukit tampak sebuah bangunan kuno yang indah sekali. Bangunan itu merupakan sebuah kuil, Atapnya berbentuk bunga teratai dan ada pula menaranya yang, bertingkat sebelas, Melihat kapur dan cat bangunan itu bersih dan baru, sehingga tampak indah sekali, dapat diduga bahwa kuil itu terpelihara baik baik. Juga dari situ dapat tampak ada taman bunga di sekeliling kuil.
“Hemm, sebuah kuil yang indah sekali,” kata Sin Cu. “Tapi kenapa atapnya berbentuk bunga teratai?”
“Engkau belum tahu, Wong-Taihiap? Bunga teratai itu melambangkan bahwa kuil itu adalah sebuah Kwan-Im-Bio (Kuil di mana dipuja Kwan Im Pauwsat), tentu penghuninya para Nikouw (pendeta wanita),” kata Ceng Sin menerangkan.
Akan tetapi pada saat itu, perhatian mereka tertarik oleh suara hiruk pikuk dan ketika mereka menoleh ke kiri, mereka terkejut sekali melihat belasan orang berlari-lari menghampiri mereka. Melihat betapa belasan orang itu semua memegang senjata golok telanjang yang diacung-acungkan dengan sikap mengancam, tahulah Sin Cu bahwa mereka adalah gerombolan orang jahat. Dia segera dapat melihat bahwa di antara mereka terdapat lima orang perampok tadi. Sin Cu menjadi marah dan cepat dia melompat turun dari kereta dan berdiri menghadang belasan orang yang datang sambil berteriak-teriak itu. Setelah tiba di dekat kereta dan melihat Sin Cu berdiri dengan tegak dan tenang, kepala gerombolan lima orang yang berkumis lebat itu lalu menuding ke arah pemuda itu dan berkata, “Dialah orangnya. Dari gerombolan belasan orang itu muncul seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun dan keadaannya sungguh berbeda dari belasan orang yang rata-rata bertubuh tinggi besar dan berwajah bengis itu. Orang ini berpakaian seperti seorang Tosu (pendeta Agama To), Rambutnya digelung ke atas dan bajunya bagian dada yang berwarna kuning itu terdapat sebuah gambar bulatan Im Yang hitam putih. Tosu ini membawa pedang di punggungnya dan wajahnya penuh senyum, walaupun pandang matanya mencorong dan mengandung kekerasan. Melihat Tosu ini, Sin Cu menduga bahwa dia tentu seorang lawan tangguh, akan tetapi dia merasa heran bagaimana seorang Tosu dapat bersama kawanan berandal itu.
“Orang muda, siapakah engkau yang berani menentang kami dan melindungi orang orang yang menjadi buruan kami?” tanya Tosu itu sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Sin Cu.
“Totiang,” kata Sin Cu dengan sikap hormat karena dia harus menghormati seorang pendeta. “Nama saya Wong Sin Cu dan saya merasa heran sekali melihat seorang pendeta seperti Totiang (sebutan pendeta To) bersama kawanan perampok jahat ini.” “Wong Sin Cu, engkau tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan. Pinto (aku) adalah Im Yang Tojin, seorang tokoh Im- Yang-Kauw. Ketahuilah bahwa yang kau lindungi itu adalah keluarga buronan yang harus kami tangkap.” “Saya merasa heran sekali, Totiang yang saya lihat tadi, keluarga Ceng ini telah disergap oleh lima orang perampok jahat, maka saya membela mereka dan menghajar lima orang jahat itu. Akan tetapi kenapa sekarang mereka kembali bersama Totiang dan belasan orang kawannya. Sungguh tidak mengerti saya melihat Totiang hendak membela kawanan perampok laknat itu.” “Sudahlah, engkau tidak perlu tahu akan urusan kami. Sekarang lebih baik engkau yang masih muda ini pergi meninggalkan keluarga itu yang akan menjadi tawanan kami!” biarpun ucapan itu dikeluarkan dengan kata-kata lembut namun mengandung nada mengancam.
“Tidak bisa, Totiang. Saya melihat kenyataan bahwa yang jahat adalah pihakmu yang hendak menggunakan kekerasan mengganggu sebuah keluarga yang tidak bersalah. Terpaksa saya harus melindungi mereka!” kata Sin Cu dengan suara tegas.
“Orang muda, engkau keras kepala! Terpaksa Pinto harus menggunakan kekerasan.” Dia menoleh kepada belasan orang gerombolan itu dan berseru memerintah, “Tangkap mereka yang berada dalam kereta!” Belasan orang itu bergerak mengepung mereka, akan tetapi Sin Cu dengan sigapnya melompat mendekati kereta dan berseru, “Siapa berani mengganggu akan kuhajar!” “Bocah sombong!” Tosu itu berseru dan diapun menerjang ke depan, menyerang Sin Cu dengan pukulan tangan kiri. Agaknya dia memandang rendah kepada Sin Cu sehingga ketika menyerang, tangan kirinya menampar dengan keyakinan bahwa pemuda itu tidak akan mampu menghindarkan diri. Tidaklah mengherankan kalau Tosu itu memandang rendah kepada Sin Cu. Dia adalah Im Yang Tojin, bekas pengawal Koan-Ciangkun yang tewas di tangan Ouw Yang Lee, kemudian dia terbujuk oleh Thaikam Liu Cin, sehingga setelah kehilangan majikan, dia lalu menghambakan diri kepada Thaikam Liu Cin, menjadi rekan dari Ouw Yang Lee. Tingkat kepandaian Im Yang Tojin memang sudah tinggi, setingkat dengan kepandaian Ouw Yang Lee, maka tentu saja dia memandang rendah seorang pemuda seperti Sin Cu, Akan tetapi ternyata tamparan itu degan mudah dihindarkan oleh Sin Cu yang mengelak ke kiri dan melihat ada dua orang anak buah gerombolan berusaha untuk membuka pintu kereta, dia lalu menerjang dan dua kali tangan kanannya menyambar maka robohlah dua orang itu. Pada saat itu, Im Yang Tojin yang merasa penasaran telah mengirim pukulan berturut-turut sampai tiha kali. Akan tetapi alangkah terkejut hatinya ketika dengan mudah Sin Cu dapat megelak dari tiga kali pukulan itu, bahkan pemuda itu sempat merobohkan seorang anak buah gerombolan pula yang berusaha menyerang Ceng Sin yang duduk di tempat kusir bagian depan kereta. Im Yang Tojin menjadi marah dan maklum bahwa pemuda itu memang lihai sekali. Maka, diapun lalu menerjang maju dan mengirim pukulan dengan pengerahan tenaga andalannya, yaitu Im-Yang Sin-Kang.
“Sambut pukulan Pinto ini!” Dia berseru sambil mengirim pukulan yang mengandung tenaga sakti yang dahsyat itu.
“Wuuuutt !!” Angin pukulan yang amat kuat menyambar ke arah
Sin Cu. Pemuda ini terkejut, bukan main karena dia mengenal pukulan jarak jauh yang amat berbahaya. Diapun menyambutnya dengan pengerahan tenaga sakti Thai-yang Sin-ciang, tenaga inti matahari yang mengandung hawa panas.
“Wuuuut Blaarr!!,” Tubuh Im Yang Tojin terjengkang dan hampir
saja dia roboh terbanting.
Untung dia amat cekatan dan dengan bersalto dua kali ke belakang sehingga dia dapat mencegah tubuhnya terbanting. Dia terkejut setengah mati. Pemuda itu bahkan mampu menyambut pukulannya dan membuatnya terjengkang! Hampir dia tidak dapat percaya akan kenyataan ini, akan tetapi diapun menjadi marah bukan main. Dia mencabutnya pedang dari punggungnya dan sambil borseru keras dia menyerang. Melihat sinar pedang meluncur dan menyambar ke arahnya, Sin Cu cepat mengelak dan karena maklum bahwa lawannya amat tangguh, maka diapun merogoh pedang yang berada dalam buntalan pakaian di punggungnya. melihat pedang berbentuk naga putih itu, ln Yarg Tojin terbelalak dan menjadi semakin terkejut. Akan tetapi karena sudah marah dan penasaran sekali, dia terus menyerang secara bertubi-tubi, “Trang-cringgg...” Bunga api berpijar ketika pedang di tangan Tosu itu bertemu dengan Pek-Liong-Kiam (Pedang Naga Putih) di tangan Sin Cu.
Im Yang Tojin menyerang terus dan mencoba mendesak lawannya yang masth muda, akan tetapi dia merasa seperti bertemu dengan dinding baja yong sukar ditembus, demikian kuatnya pertahanan yang dibuat oleh pedang naga di tangan Sin Cu. Akan tetapi pemuda ini merasa gelisah karena lawannya memang lihai sehingga dia tidak sempat lagi menjaga keamanan keluarga yang berada dalam kereta, pada hal anak buah gerombolan itu mulai mengepung kereta sambil berteriak-teriak. Dia harus mencurahkan perhatiannya terhadap serangan bertubi dan berbahaya yang dilancarkan Tosu itu kepadanya. Pada saat yang amat gawat bagi keluarga Pangeran Ceng Sin, tiba-tiba tampak berkelebat bayangan putih dan para anak buah gerombolan yang mengepung kereta menjadi kocar-kacir ketika bayangan putih itu berkelebatan.
Dan ada sinar putih mencuat dan menyambar-nyambar merobohkan para pengepung. Pangeran Ceng Sin dan isteri serta anaknya menjadi girang bukan main melihat betapa para pengepung itu kocar kacir karena diamuk oleh seorang berpakaian putih, seorang Nikouw (pendeta wanita) yang memainkan sabuk sutera putih secara hebat sekali. Sabuk sutera putih yang panjang itupun menyambar nyambar dengan dahsyatnya, siapapun yang terkena ujung sabuk sutera putih itu pasti terjungkal roboh! Dalam waktu singkat saja, sembilan orang anak buah gerombolan itu sudah roboh oleh totokan ujung sabuk sutera putih. Tentu saja hal ini amat mengejutkan yang lain sehingga mereka menjadi jerih dan tidak berani mendekati kereta yang kini sudah terjaga oleh Nikouw tua yang amat lihai dengan sabuk suteranya itu.
Im Yang Tojin mulai terdesak oleh Sin Cu. Biarpun merasa penasaran sekali, namun Tosu tokoh Im-Yang-Kauw yang sudah diusir dari perkumpulannya karena menyeleweng ini harus mengakui bahwa lawannya yang masih muda itu amat tangguh. Maka, ketika melihat munculnya seorang Nikouw tua yang lihai sekali dan dalam waktu singkat merobohkan banyak anak buahnya, maklumlah Im Yang Tojin bahwa keadaannya terancam bahaya. Dia memang menerima tugas dari Thaikam Lui Cin untuk melakukan pengejaran terhadap Pangeran Ceng Sin sekeluarga dan membunuh pangeran itu. Akan tetapi sama sekali tidak disangkanya bahwa pangeran itu dilindungi oleh seorang pemuda yang amat lihai bahkan kini muncul pula seorang Nikouw yang juga amat lihai. Karena itu, Im Yang Tojin lalu berseru nyaring.
“Mundur...!” Dan dia sendiri sudah melompat ke belakang lalu melarikan diri, meninggalkan tempat berbahaya itu. Para anak buahnya yang sudah merasa gentar, tidak menunggu perintah dua kali. Mereka saling bantu dan melarikan diri cerai berai, menggandeng kawan-kawan yang terluka. Sin Cu hanya mengikuti mereka yang lari dengan pandang matanya, tidak melakukan pengejaran. Kemudian dia memandang ke arah Nikouw tua itu dengan kagum. Dia melihat bahwa Nikouw itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, pakaiannya serba putih dan kepalanya yang gundul itu dilindungi kain penutup kepala berwarna putih pula.
Sabuk sutera putih yang dipergunakan untuk mengusir para pengepung kereta tadi adalah sabuk yang masih diikatkan di pinggangnya yang masih ramping. Kedua ujung sabuk itu memang panjang dan untuk dapat memainkan sepasang ujung sabuk sutera itu, diperlukan tenaga sinkang yang kuat sehingga sabuk sutera yang lemas itu dapat berubah menjadi kaku dan kuat. Di lain pihak, Nikouw itupun memandang kepada Sin Cu penuh perhatian dan juga penuh kagum karena Ia tadi sudah menyaksikan betapa pemuds itu mampu mendesak lawannya yang amat tangguh. Pangeran Ceng Sin sudah melompat turun dari atas kereta, mernbuka pintu kereta dan menuntun isteri dan anak perempuannya turun dari kereta. Kemudian didampingi isterinya dia memberi hormat kepada Nikouw itu dan berkata dengan sikap dan suara penuh hormat.
“Kami sekeluarga mengucapkan terima kasih kepada Lo-Cianpwe (orang tua gagah) yang telah menyelamatkan kami dari ancaman bahaya besar.” Pangeran Ceng Sin dan isterinya memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada dan membungkuk. Akan tetapi tiba-tiba Ceng Loa Cin sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Nikouw itu.
“Omitohud! Kebetulan saja Pinni lewat di sini dan melihat kejahatan dilakukan orang, bagaimana Pinni (saya) tidak akan turun tangan? Kalau tidak ada pemuda yang gagah perkasa itu, tentu Taijin (pembesar) sekeluarga akan tertimpa malapetaka,” kata Nikouw itu dengan suara lembut lalu menoleh dan memandang kepada Sin Cu sambil tersenyum ramah.
“Harap Lo-Cianpwe tidak menyebut saya Taijin. Saya adalah rakyat biasa bernama Ceng Sin. Ini adalah isteri saya dan anak kami bernama Ceng Loan Cin. Loan Cin yang masih berlutut di depan kaki Nikouw itu lalu berkata dengan suara tegas.
“Lo-Cianpwe, harap suka menerima saya menjadi murid dan mengajarkan ilmu silat kepada saya.” “Omitohu... Nona Ceng ingin belajar ilmu silat, untuk apakah seorang gadis sepertimu mempelajari ilmu silat?” kata Nikouw itu sambil tersenyum dan mengangkat bangun Loan Cin.
Sikap anak kami ini tidak mengherankan, Lo-Cianpwe. Kami sekeluarga meninggalkan kota raja karena terjadi banyak kejahatan yang membuat orang hidup tidak tenteram di sana. Kami pergi mencari tempat tinggal baru yang aman, tenang dan tentram. Akan tetapi dalam perjalananpun kami diganggu banyak orang jahat. Untung ada Song-Taihiap menolong kami dan tadi bahkan Lo-Cianpwe juga menolong kami sehingga kami semua terbebas dari kecelakaan, bahkan mungkin kematian. Karena menghadapi banyak kejahatan inilah kiranya yang membuat anak kami ingin mempelajari ilmu silat. Maka kalau Lo-Cianpwe sudi menerima anak kami menjadi murid, kamipun akan merasa berterima kasih sekali. Bolehkah kami mengetahui nama dan tempat tinggal Lo- Cianpwe?” Nikouw itu tersenyum lebar dan ternyata wanita berusia lima puluh tahun itu masih memiliki gigi yang lengkap, bersih dan rapi.
“Pinni disebut Thian Li Nikouw, dan Pinni memimpin para Nikouw di kuil Kwan-Im-Bio di sana itu,” katanya sambil menuding ke arah kuil yang tadi dikagumi Ceng Sin.
“Ah, jadi Lo-Cianpwe adalah penghuni kuil yang indah itu? Kamipun merasa suka sekali dengan pegunungan ini. Kami akan mencoba membeli sebidang tanah di dekat kuil dan mengharap dengan sangat Lo-Cianpwe sudi menerima anak kami menjadi murid.” Thian Li Nikouw mengangguk-angguk sambil memandang kepada Loan Cin. Nikouw yang berpandangan tajam dan berpengalaman luas ini tentu saja dapat menduga bahwa Ceng Sin tentu seorang bangsawan, melihat dari pakaian keluarga itu dan juga keretanya.
Apa lagi mendengar nama marga Ceng, Nikouw itupun dapat menduga bahwa Ceng Sin tentulah keluarga Kaisar. Karena sudah mendengar bahwa di kotaraja terjadi pergolakan dan pertentangan dengan berkuasanya Thaikam Liu Cin, maka ia dapat menduga bahwa Ceng Sin tentu seorang diantara para bangsawan yang menentang thaikam berkuasa itu dan kini terpaksa melarikan diri karena terancam. Apa lagi tadi melihat Tosu yang amat lihai itu berusaha membunuh keluarga ini, maka ia menduga bahwa Tosu itu tentulah suruhan orang- orang yang menginginkan kematian keluarga Ceng Sin, Berpikir demikian mengingatkan ia kepada pemuda perkasa itu dan kembali ia memandang kepada Sin Cu dengan penuh selidik.
“Memang baik sekali kalau Tuan Ceng Sin sekeluarga hendak menenteramkan hati dan tinggal di Lian-San (Bukit Teratai) yang indah ini, dan tentang Nona Ceng Loan Cin yang hendak mempelajari ilmu silat, dapat kita bicarakan kemudian. Akan tetapi pinni melihat bahwa sicu (orang gagah) ini telah melindungi keluargamu dan ilmu kepandaiannya tinggi sekali! Sicu, siapakah nama sicu dan kalau boleh Pinni mengetahui, siapa pula guru sicu?” Sin Cu sejak tadi mendengarkan percakapan antara Thian Li Nikouw dan Ceng Sin. Diapun amat kagum kepada Nikouw yang kelihatan lemah lembut ini namun dia tahu bahwa Nikouw ini memiliki ilmu kepandaian tinggi. Maka ditanya demikian, dia lalu cepat memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada sambil membungkuk.
“Nama saya Wong Sin Cu dan suhu (guru) menyebut dirinya Bu Beng Siauw-jin.” Ceng Sin dan isterinya yang baru sekarang mendengar nama sebutan guru Sin Cu memandang heran. Bagaimana ada seorang guru yang berilmu tinggi mempunyai sebutan Bu Beng Siauw-jin (Orang Hina Tanpa Nama)? Akan tetapi ketika Thian Li Nikouw mendengar disebutnya nama ini, ia segera merangkap kedua tangan depan dada, menyembah.
“Omitohood... nama boleh serendah mungkin namun budi harus setinggi mungkin. Kiranya Wong-sicu murid manusia luarbiasa itu? Pinni mengucapkan selamat bahwa engkau sudah terpilih menjadi muridnya, dan beruntunglah Tuan Ceng sekeluarga dapat berjumpa dengan seorang permuda seperti Wong-sicu.” Karena hatinya tertarik kepada Nikouw dan kuilnya itu, dan dia sudah mengambil keputusan untuk mencari dan membeli tanah lalu tinggal di daerah Bukit Teratai yang indah, maka Ceng Sin lalu berkata kepada Thian Li Nikouw.
“Saya persilakan Lo-Cianpwe suka duduk dalam kereta dan bersama kami pulang ke kuil. Kami ingin berkunjung ke kuil, bersembahyang dan menghaturkan terima kasih kepada Kwan Im Pouw-sat yang telah melindungi kami sekeluarga.” Isteri Ceng Sin juga ikut mempersilakan Nikouw itu. Sambil tersenyum ramah Nikouw itu mengangguk menyetujui sambil mengucapkan terima kasih. Pada saat itu, Sin Cu lalu memberi hormat dan berkata kepada Ceng Sin.
“Paman Ceng Sin, saya kira sudah tiba saatnya bagi saya untuk memisahkan diri. Saya hendak melanjutkan perjalanan saya dan saya boleh berlapang dada karena paman telah bertemu dan mendapatkan perlindungan dari seorang sakti seperti Thian Li Nikouw. Saya percaya bahwa paman sekeluarga pasti akan dapat hidup aman dan tenteram di daerah ini dan adik Ceng Loan Ci akan dapat mempelajari ilmu silat tinggi dari Thian Li Nikouw. Nah, selamat tinggal semuanya!” Dia memberi hormat kepada mereka semua dan hendak melangkah pergi.
“Kakak Wong Sin Cu!” tiba-tiba Loan Cin berseru.
“Jangan kau lupakan kami. Kelak kalau aku sudah mempelajari ilmu silat aku ingin menguji kepandaianku denganmu!” Sin Cu tersenyum dan memandang kepada gadis cilik yang lincah dan cantik itu, kemudian dia mengangguk.
“Baiklah, adik Loan Cin. Akan kuingat selalu pesanmu ini.” Pemuda itu sekali lagi memberi hormat lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi dari situ, diikuti pandang mata empat orang itu. gagah perkasa dan budiman, pantas menjadi murid Bu Beng Siauw-jin. Mereka semua lalu naik kereta dan Ceng Sin menjalankan kuda-kuda penarik kereta itu, menuju ke kuil melalui jalan yang cukup rata dan baik yang menuju ke kuil di lereng itu.
Pada suatu siang, dalam perjalanannya menuju kota raja, tibalah Sin Cu di kota Nam-Po. Dia telah melakukan perjalanan sejak pagi sekali tadi sampai siang hari tak pernah berhenti sehingga dia merasa lelah dan lapar. Ketika melewati sebuah rumah makan, dari mana berhamburan bau sedap masakan, perut Sin Cu berkeruyuk semakin kuat. Dia lalu masuk ke rumah makan itu, disambut seorang pelayan dan diapun duduk di bagian sudut ruangan rumah makan itu.
Dia memesan nasi dan dua macam sayuran, minum air teh lalu makan minum dengan seenaknya. Perut lapar dan hati pikiran tidak terganggu membuat orang dapat menikmati makanan. Betapa sederhanapun hidangan yang dimakan, akan terasa nikmat. Sebaliknya kalau perut tidak lapar dan hati pikiran terganggu, segala macam masakan yang serba lezat dan mahal sekalipun tidak akan terasa enak. Setelah makan dan minum air teh, Sin Cu merasa mengantuk dan timbul keinginan untuk mengasokan tubuhnya. Dia melihat rumah makan itu cukup besar dan di bagian belakangnya terdapat bangunan yang lebih besar lagi. Biasanya, rumah makan yang besar merangkap menjadi rumah penginapan pula. Maka setelah membayar harga makanan, Sin Cu bertanya kepada pelayan yang melayaninya.
“Twako, apakah rumah makan ini juga menyewakan kamar untuk menginap?” tanyanya sambil memandang ke arah belakang di mana terdapat pintu besar tembusan dan dari situ dapat dilihat anak tangga menuju ke sebuah loteng.
“Tentu saja! Tuan membutuhkan kamar?” Perusahaan Thian-lok kami memang membuka rumah penginapan dan rumah makan terbesar di kota ini. Silakan maşuk, tuan, saya antarkan kepada petugas kantor penginapan.” Pelayan itu mengantarkan Sin Cu masuk dan setelah diterima petugas penginapan, pelayan itu lalu meninggalkan Sin Cu berurusan dengan pegawai di situ. Sin Cu mendapatkan sebuah kamar di loteng, sebuah kamar yang tidak berapa besar akan tetapi cukup bersih dan terawat baik. Sin Cu memasuki kamar, meletakkan buntalan pakaian dan pedangnya di atas meja lalu merebahkan tubuhnya yang lelah di atas pembaringan. Sebentar saja dia sudah tertidur pulas. Ketika dia membuka matanya mendengar ketukan pada pintu kamarnya, hari telah menjelang sore. Rupanya dia telah tertidur cukup lama, tidak kurang dari tiga jam! “Siapa?” tanyanya ketika mendengar ketukan pada daun pintu, ketukan perlahan dan sopan.
“Saya, pelayan rumah penginapan, tuan. Hari telah sore, apakah tuan tidak memerlukan air untuk membersihkan badan? Sin Cu turun dari pembaringan dan membuka daun pintu. Sambil membungkuk-bungkuk pelayan pria berusia tiga puluhan tahun yang bertubuh kurus itu masuk dan tersenyum ramah.
“Perlukah saya membawakan sebaskom air untuk membasuh muka, ataukah tuan hendak pergi mandi di belakang?” “Aku ingin mandi,” kata Sin Cu.
“Silakan, tuan. Kamar mandi sudah diisi penuh air. Akan tetapi harap tuan mengunci pintu kamar ini kalau ditinggalkan. Kami tidak menanggung kalau ada barang yang hilang dari dalam kamar yang ditinggalkan tamu.” “Hemm, kalau begitu, buntalan pakaianku akan kubawa saja ke kamar mandi, ada barang berharga di dalamnya.” Sin Cu bukan maksudkan sekantung emas dan perak sebagai barang berharga, melainkan pedangnya. Setelah dia mandi dan bertukar pakaian, baru saja dia memasuki kamarnya, pelayan kurus itu sudah berada pula di situ.
“Apakah tuan hendak mencucikan pakaian kotor? Kami menerima juga cucian dengan bayaran murah.” Sin Cu menjadi girang. Sudah dua stel pakaiannya yang kotor dan perlu dicuci, maka dia menyerahkan cucian itu kepada si pelayan. Pelayan itu ternyata ramah sekali.
“Besok siang cucian ini sudah akan bersih dan kering, tuan. Agaknya tuan bukan penduduk Nam-Po.?” “Memang bukan, aku seorang pendatang...” jawab Sin Cu.
“Tuan belum pernah berkunjung ke sini?” “Belum, baru sekali ini.”
“Ah, kalau begitu tuan tentu belum mendengar akan berita yang menggemparkan dari kota Nam-Po ini, bahkan mungkin tuan belum pernah mendengar akan nama Siang Bi Hwa (Bunga Cantik Harum)!” “Siapa itu Siang Bi Hwa? Aku belum pernah mendengar nama itu,” kata Sin Cu, sambil lalu karena dia tidak begitu tertarik untuk membicarakan orang lain, apa lagi yang dibicarakan itu agaknya seorang wanita, melihat namanya itu.
“Aduh, kalau begitu tuan rugi besar! Datang ke Nam-Po belum melihat Siang Bi Hwa, sama saja dengan belum berkunjung ke Nam-Po! Bahkan para pemuda bangsawan dari kota raja saja berebut untuk melihat Siang Bi Hwa, dan untuk sekadar melihatnya dan mendengarkan ia bernyanyi saja, para pemuda dari kota raja itu berani membayar mahal sekali!” Tertarik juga hati Sin Cu mendengar bahwa para pemuda bangsawan kota raja berebut untuk melihat Siang Bi Hwa, membuat dia ingin tahu siapa sebetulnya Siang Bi Hwa dan orang macam apa.
“Hemm, apakah Siang Bi Hwa itu orang aneh? Orang macam apakah ia itu?” “Wah, tuan! Kalau ada orang lain mendengar pertanyaan ini, tentu tuan akan ditertawakan. Siang Bi Hwa itu lebih terkenal dari pada puteri Istana yang manapun! Kecantikannya tiada bandingnya! Seperti Kwan Im Pauwsat turun menjelma menjadi seorang gadis yang cantik jelita!” Sin Cu tertawa.
“Ah, kukira orang macam apa! Tidak tahunya hanya seorang gadis cantik! Apa anehnya itu? Engkau berlebihan, Twako !” “Ehh? Berlebihan? Tuan, saya belum menceritakan seluruhnya! Siang Bi Hwa itu bagaikan bidadari, bukan hanya kecantikannya, akan tetapi juga kepandaiannya. Dengar tuan, ia ahli membuat sajak, ia pandai meniup suling, pandai memainkan Yang-kim, mengarang lagu sendiri, dan suaranya! Seperti nyanyian dewi! Dan tuan tahu, apa yang baru-baru ini dibicarakan orang? Di samping semua kepandaian itu, Siang Bi Hwa juga pandai sekali dalam ilmu silat. Ah, dara itu tentu penjelmaan Kwan Im Pauwsat sendiri. Ilmu silatnya tinggi, bahkan kabarnya ia pandai terbang! Dan siapa yang tidak hafal akan pantun ini?” Pelayan itu lalu berpantun.
“Bunga Cantik Harum, di Nam-Po kota, amatlah berharga tiada terkira, selaksa tail perakpun ditolaknya, Kongcu manakah yang mampu mempersuntingnya?” Mendengar ini, Sin Cu mengerutkan alisnya yang hitam tebal. “Hemm, ternyata ia hanya seorang pelacur?”
“Aih, tuan! Jangan berkata sembarangan. Orang-orang akan marah kalau mendengar ucapanmu itu. Siang Bi Hwa memang anak perempuarı Cia-Ma, seorang mucikari yang mempunyai rumah pelesir terbesar di kota Nam-Po ini, akan tetapi anak perempuannya itu, Siang Bi Hwa seorang gadis yang mulai mekar dewasa, sama sekali bukan pelacur! Bahkan menemui seorang priapun ia tidak sudi. Mereka hanya diperbolehkan melihatnya dari jarak jauh. Bahkan dibayar selaksa tail perakpun untuk melayani pria, ia tidak sudi!” Sin Cu merasa heran juga mendengar keterangan ini. Benar-benar luar biasa kalau seorang gadis, anak seorang mucikari, menolak uang selaksa tail perak untuk melayani seorang pria! Wanita macam apakah itu? Agaknya berdarah seniwati, akan tetapi juga pandai silat, bahkan dikabarkan pandai terbang! Tentu saja ia merasa tertarik, bukan tertarik oleh kecantikan gadis itu, melainkan tertarik oleh keadaannya yang aneh. Benarkah ia pandai silat dan pandai terbang? Inilah yang paling menarik hatinya dan menimbulkan keinginan hatinya untuk tahu dan melihat keadaan gadis itu, membuktikan sendiri kebenaran cerita yang dianggapnya terlalu muluk dan berlebihan itu.
“Hemm, agaknya aneh juga nona itu” “Ha, tuan juga tertarik, bukan? Semua orang, terutama kaum mudanya, akan rugi kalau berkunjung ke Nam-Po tidak menyaksikannya.” “Di mana tempat tinggalnya, bung?” “Rumahnya paling mudah ditemukan. Dari jalan raya di depan rumah makan kami ini, tuan berjalan ke arah timur. Paling jauh hanya satu li (mil) dari sini. Rumahnya besar bercat merah dan di depan rumah itu penuh dengan tanaman bunga yang terawat baik. Juga di depan pintu pekarangan tergantung sebuah lampu berwarna merah. Apakah tuan hendak pergi ke sana?” “Ah, aku hanya bertanya saja, belum tentu aku hendak melihatnya. Aku hanya ingin berjalan-jalan.” “Apakah tuan tidak ingin makan malam?” “Sekarang masih sore, nanti saja sepulangku berjalan-jalan, aku makan malam.” “Baiklah, tuan. Selamat menikmat dulu? kota Nam-Po kami.” Pelayan yang suka bicara itu lalu meninggalkan Sin Cu.
Pemuda itu mengambil pedangnya, digantungkan di pinggang, akan tetapi tertutup oleh baja luarnya yang panjang sehingga tidak tampak dari luar. Diapun membawa kantung uangnya. Yang ditinggalkan di atas meja dalam kamarnya hanya pakaian. Tentu tidak akan ada orang mau mencuri pakaian bekas. Setelah itu dia menutupkan daun jendela, mengunci daun pintu dan pergi meninggalkan rumah penginapan merangkap rumah makan itu. Ketika dia berjalan melewati rumah pelesir yang bercat merah, dia melihat beberapa orang pemuda berpakajan mewah seperti pemuda bangsawan atau hartawan memasuki rumah itu. Dia tidak ingin masuk karena dengan pakaian yang sederhana, orang tentu akan memandang rendah kepadanya. Apa lagi, diapun merasa segan memasuki sebuah rumah pelesir. Selama hidupnya belum pernah dia memasuki rumah seperti itu.
Akan tetapi lapat-lapat pendengarannya dapat menangkap suara suling yang mengalun merdu, yang datangnya dari dalam atau belakang bangunan besar itu. Hari masih sore dan udara masih terang. Sin Cu lalu berjalan terus. Setibanya di ujung pekarangan rumah itu, dia melihat sebuah taman yang dikelilingi pagar yang cukup tinggi. Agaknya taman itu menembus ke belakang rumah. Dia melihat ke sekelilingnya. Setelah yakin bahwa pada saat itu tidak ada orang melihatnya, dia lalu mempergunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh), mengenjot kakinya dan tubuhnya melayang naik melewati pagar bambu yang mengelilingi taman itu.Dia tiba di sebuah taman yang indah dan tepat seperti dugaannya, taman itu menembus ke belakang. Di belakang bangunan itu terdapat sebuah taman yang tidak berapa besar, namun terawat rapi dan indah dan dari taman di belakang rumah itulah suara suling tadi terdengar.
Kini masih terdengar suara suling itu. Karena cuaca masih terang di sore hari itu dan dia tidak ingin terlihat orang dan dianggap sebagai seorang pencuri yang memasuki taman orang, Sin Cu lalu menyelinap di balik rumpun bunga. Kemudian berindap-indap dia menuju ke taman belakang, menyusup dari balik rumpun ke balik batang pohon dan tumbuh-tumbuhan yang memenuhi taman. Akhirnya tibalah dia di taman belakang dan dari balik serumpun bambu kuning yang indah dia mengintai. Suara suling terhenti dan dia melihat seorang gadis yang luar biasa cantiknya duduk di atas bangku tepi sebuah kolam ikan. Gadis itu baru saja menghentikan tiupan sulingnya, meletakkan suling itu di atas bangku lalu mengambil sebuah Yang-kim kecil dari atas bangku itu. Dipangkunya Yang-kim itu lalu jari-jari tangannya yang kecil mungil meruncing itu mulai memainkan. dawai-dawai Yang-kim.
Terdengar suara Yang-kim berkencrang-kencring merdu sekali. Kemudian, Sin Cu sendiri sampai terbengong terpesona ketika dara jelita itu mulai bernyanyi diringi suara petikan Yang-kim. Suaranya lembut dan merdu sekali. Sin Cu mendengar suara orang-orang di sebelah kiri dan ketika dia menoleh, dia melihat bahwa di sebelah kiri itu terdapat sebuah pintu yang menembus ke bagian belakang bangunan. Di situ berkumpul tujuh orang muda berpakaian mewah seperti pemuda bangsawan. Mereka duduk di atas bangku-bangku dan dalam jarak kurang lebih dua puluh lima meter mereka menonton dan mendengarkan gadis itu bermain Yang-kim dan bernyanyi. Sin Cu yang sudah mendengar cerita tentang Siang Bi Hwa dari pelayan rumah penginapan, dengan mudah dapat menduga bahwa gadis itulah tentu yang dimaksudkan.
Dara yang menolak pemberian uang selaksa tail perak! Dara yang selain cantik jelita dan pandai bernyanyi dan bermain musik, juga kabarnya pandai sekali ilmu silat, bahkan pandai terbang! Kalau benar gadis itu sedemikian saktinya, ada kemungkinan kehadirannya akan diketahui olehnya! Teringat akan hal ini Sin Cu berhati-hati sekali, tidak membuat gerakan yang dapat membuat kehadirannya ketahuan karena kalau hal itu terjadi, dia tentu akan merasa malu sekali dan disangka pencuri! Akan tetapi perhatiannya segera terikat oleh pemandangan dan pendengaran yang amat mempesona itu. Gerakan jari-jari lentik di atas Yang-kim itu begitu manis dan serasi dengan gerakan mulut yang bernyanyi. Bibir merah basah yang bergerak, terbuka dan tertutup itu sedemikian manisnya. Selama hidupnya belum pernah Sin Cu memperhatikan wajah seorang wanita dan sekali ini dia terpesona.
“Matahari senja,
engkau begitu indah mempesona, nun di ufuk barat engkau bertahta, mencipta Istana awan beraneka warna, tampak begitu dekat dan mudah tercapai, betapa hati ini ingin menggapai, apa daya tangan tak dapat menjangkau, engkau adalah kebahagiaan, yang hanya tampak membayang, kemudian tanpa bekas engkau menghilang, tinggalkan aku melamun terkenang” Begitu dara itu berhenti bernyanyi, para pemuda yang bergerombol di luar pintu tembusan itu bertepuk tangan memuji.
Akan tetapi pada saat itu tiba-tiba muncul seorang pemuda bertubuh kurus, bermulut,lebar dan bermata juling berusia dua puluh tiga tahun. Dia diikuti oleh dua orang laki-laki berusia empat puluh tahunan yang bertubuh tinggi besar dan tampak bengis menyeramkan. Pemuda itu bukan lain adalah Su Kan Lok, putera Jaksa Su dari kota raja yang tempo hari pernah tercebur ke dalam kolam ikan ketika dia dalam keadaan mabok hendak mengganggu Siang Bi Hwa. Kini pemuda itu datang bersama dua orang jagoannya dan dengan langkah lebar dia memasuki taman, diikuti dua orang tukang pukulnya. Para pemuda yang melihat ini menjadi khawatir sekali akan keselamatan Siang Bi Hwa. Pada saat itu, tampak seorang wanita berusia lima puluh tahun lebih, bertubuh gemuk dan berpakaian mewah, muncul berlari larian dari pintu tembusan, diikuti oleh lima orang laki-laki.
la adalah Cia-Ma yang mendengar bahwa putera Jaksa Su datang membawa tukang pukul dan langsung memasuki taman. Dengan hati penuh kekhawatiran Cia-Ma lalu memanggil lima orang tukang pukulnya dan cepat melakukan pengejaran ke dalam taman. Para pemuda bangsawa yang berada di situ menonton dengan hati tegang Cia-Ma berteriak ketika ia melihat pemuda kurus bermulut lebar bermata juling itu telah berada dalam taman bersama dua orang tukang pukulnya yang menyeramkan. Mendengar teriakan itu, Su Kan Lok berhenti melangkah dan dua orang jagoannya juga berhenti dan mereka memutar tubuh menghadapi Cia-Ma yang berlarian datang bersama lima orang jagoannya. Sementara itu, Siang Bi Hwa juga sudah mendengar keributan itu dan ia sudah bangkit berdiri, memandang dengan alis berkerut ketika mengenal pemuda kurus yang pernah mengganggunya dahulu.
“Su-Kongcu, tidak ada orang yang boleh memasuki taman ini dan mendekati Siang Bi Hwa. Kenapa Kongcu masuk ke sini dan membawa dua orang ini? Harap Kongcu suka keluar dan menonton saja dari pintu seperti para Kongcu yang lain!” kata Cia- Ma. Su Kan Lok memandang kepada Cia-Ma dengan matanya yang juling dan mulutnya yang lebar tersenyum mengejek.
“Cia-Ma, aku minta dengan baik-baik agar Siang Bi Hwa dapat diberikan kepadaku untuk menjadi isteriku, engkau menolaknya. Bahkan Bi Hwa berani menghina aku sehingga aku terjatuh ke dalam kolam. Sekarang aku datang untuk mengambil Siang Bi Hwa, mau atau tidak mau, boleh atau tidak boleh, hari ini ia harus ikut denganku dan menjadi isteriku. Engkau mau apa?” Dia memandang dengan sikap menantang. “Kalau engkau butuh uang, datang saja ke gedung kami di kota raja, berapapun engkau minta untuk uang tebusan Siang Bi Hwa tentu akan diberi oleh ayahku.” “Tidak, Su-Kongcu! Anakku tidak akan kuserahkan secara begini! la harus mendapat pinangan secara terhormat dan berwenang memilih calon jodohnya. Kongcu tidak boleh memaksa!” bantah Cia-Ma dengan berani. Wanita ini menjadi berani karena ia merasa bahwa ia mempunyai banyak kenalan orang-orang berkedudukan tinggi di kota raja.
“Cia-Ma, kalau aku menggunakan paksaan, kau mau apa? Kalau Siang Bi Hwa mau ikut denganku secara sukarela, sukurlah. Akan tetapi kalau ia tetap menolak, terpaksa aku akan memaksanya ikut denganku dan tak seorangpun boleh mencegahku!” “Kalau Su-Kongcu memaksa, saya akan menghalangi! Orang- orangku akan mencegah Kongcu melakukan paksaan!” kata Cia- Ma sambil memberi isyarat kepada lima orang tukang pukulnya. la lalu mundur dan lima orang jagoannya melangkah maju menghadapi Su Kan Lok dengan sikap menantang. Melihat ini, Su Kan Lok lalu berkata kepada dua orang jagoan yang sengaja dibawanya dari kota raja.
“Hajar mereka!” katanya sambil melangkah mundur. Dua orang jagoannya, dua orang yang bertubuh tinggi besar dan berwajah dingin, kaku dan bengis, melangkah maju menghadapi lima orang tukang pukul anak buah Cia-Ma.
“Kalian berlima mau apa?” bentak seorang di antara dua orang tinggi besar itu.
“Pergilah kalian dari sini dan jangan membuat keributan!” kata kepala jagoan rumah pelesir itu, dengan suara membujuk karena mereka berlima sebagai jagoan-jagoan kota Nam-Po masih merasa segan juga terhadap jagoan yang datangnya dari kota raja! “Kalian berlima yang cepat pergi, dan jangan mencampuri urusan Su-Kongcu, atau kalian terpaksa akan kami hajar!” jawab seorang di antara dua jagoan kota raja yang pipinya codet bekas luka bacokan, sambil melangkah maju. Tantangan itu membuat lima orang jagoan menjadi marah. Pemimpin mereka memberi aba-aba dan lima orang itu bergerak secara serentak maju menerjang ke arah dua orang tukang pukul dari kota raja itu, Akan tetapi, dua orang jagoan bawaan Su Kan Lok itu sama sekali tidak mundur.
Mereka menggerakkan kedua tangan, menangkis dan membalas, Gerakan mereka selain cepat dan tangkas, juga mengandung tenaga besar.
Tangkisan kedua orang itu membuat para penyerang menjadi terhuyung dan dua orang itu segera menyusulkan tampararn dan tendangan. Lima orang tukang pukul anak buah Cia-Ma berteriak mengaduh dan mereka berpelantingan. Dalam segebrakan saja lima orang itu telah dirobohkan oleh dua orang jagoan dari kota raja. Hal ini menunjukkan betapa lihai dan kuatnya dua orang jagoan yang dibawa Su Kan Lok! Lima orang itu adalah tukang- tukang pukul bayaran yang biasa memaksakan kehendak mengandalkan tenaga dan kekerasan. Maka, ketika mereka dirobohkan, mereka menjadi marah sekali dan mereka telah berlompatan bangun sambil mencabut golok darí punggung mereka! Dengan sikap beringas dan mengancam,mereka melangkah maju menghampiri dua orang jagoan kota raja itu. Dua orang ini berdiri tenang dan tersenyum mengejek.
“Hemm, masih berani berlagak? Majulah kalian!” kata si pipi codet. Lima orang, jagoan Cia-Ma itu menjadi semakin marah.
Dan mereka lalu menerjang sambil berteriak, membacokkan golok mereka kepada dua orang tinggi besar yang masih tenang dan sama sekali tidak menyentuh pedang yang tergantung di punggung mereka. Dengan tangan kosong saja dua orang itu menghadapi penyerangan lima orang lawannya. Akan tetapi mereka berdua memiliki gerakan yang amat cekatan. Semua bacokan golok itu dapat mereka hindarkan dengan mudah. Mereka mengelak dan berloncatan ke kanan kiri. Semua sambaran golok itu mengenai tempat kosong dan ketika dua orang itu membalas dan menyerang ke depan, berturut-turut lima orang itu terjungkal keras dan berteriak kesakitan. Kini mereka roboh dan tidak dapat segera bangkit kembali karena tamparan dan tendangan yang mereka terima dari dua orang itu sekali ini sungguh kuat sekali sehingga mereka menderita patah tulang dan isi perut terguncang! “Dan engkau, Cia-Ma, aku sendiri yang akan menghajarmu!” bentak Su Kan Lok sambil menghampiri Cia-Ma. Melihat ancaman pemuda ini, Cia-Ma lalu melarikan diri masuk ke dalam rumah. Para Kongcu hanya menonton dengan hati tegang, hendak melihat apa yang akan dilakukan Su Kan Lok terhadap Siang Bi Hwa yang masih berdiri di tepi kolam. Dara ini berdřri tegak dan sama sekali tidak tampak ketakutan ketika Su Kan Lok menghampirinya bersama dua orang jagoannya yang tangguh.
“Su-Kongcu,” kata Siang Bi Hwa dengan suara lembut namun tegas, “Aku mendengar bahwa engkau adalah putera seorang jaksa di kota raja, tentu engkau mengerti tentang hukum dan peraturan! Akan tetapi mengapa engkau sekarang melakukan kesewenang-wenangan yang melanggar hukum, memasuki tempat tinggal orang dan menyuruh orang orangmu memukul orang lain?” Su Kan Lok tersenyum dan mulutnya tampak semakin lebar, sepasang matanya yang memandang kepada Siang Bi Hwa itu seolah sedang memandang ke arah lain sehingga tampak lucu menggelikan.
“Siang Bi Hwa, hukum berada di tanganku. Sekarang engkau tinggal pilih. Engkau ikut bersamaku dengan suka rela dan hidup mulia di sampingku atau aku akan menyeret dan memaksamu untuk ikut denganku!” “Aku tidak sudi ikut bersamamu!” jawab Siang Bi Hwa dengan nekat dan tegas walaupun ia sendiri bingung apa yang harus ia lakukan menghadapi pemuda yang tersesat dan yang ia tahu pasti tidak akan ragu menggunakan kekerasan terhadap dirinya.
“Hemm, kalau begitu terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!” Setelah berkata demikian, Su Kan Lok yang kini menjadi besar hati karena didampingi dua orang jagoannya, melangkah maju dengan kedua lengan dikembangkan seolah hendak memeluk dara yang membuatnya tergila-gila itu. Karena pernah mendengar bahwa dara cantik jelita itu pandai ilmu silat, dua orang jagoan menjaga di belakang Su Kan Lok untuk melindunginya kalau-kalau Siang Bi Hwa akan menyerangnya. Siang Bi Hwa sudah bersiap-siap untuk mengelak apa bila dirinya disergap, akan tetapi tiba-tiba saja pada saat itu, Su Kan Lok yang sudah bergerak ke depan untuk menubruk, berteriak kaget dan tubuhnya terpelanting ke kiri dan tanpa dapat dihindarkan lagi tubuhnya tercebur ke dalam kolam ikan! “Byuurrr...!” Air muncrat tinggi dan ikan-ikan berenang menjauh ketakutan. Dua orang tukang pukul itu terkejut bukan main. Mereka tadi sama sekali tidak menyangka bahwa majikan muda mereka akan terpelanting dan jatuh ke dalam kolam, maka mereka tidak sempat mencegah. Setelah pemuda itu tercebur dan berteriak minta tolong, barulah mereka berdua cepat menolong dan menariknya keluar dari kolam. Su Kan Lok berdiri di tepi kolam dengan tubuh dan pakaian basah kuyup. Dia marah sekali walau tidak tahu mengapa tiba-tiba dia terpelanting ke dalam kolam. Dia hanya merasakan betapa tubuhnya tiba-tiba menjadi lemas dan tidak mampu berdiri lagi sehingga terkulai dan terjatuh. Dia mendengar suara tawa di belakangkangnya, suara tawa para pemuda bangsawan yang menonton semua itu dengan merasa geli.
“Tangkap Dia,” bentaknya sambil menudingkan telunjuknya ke arah Siang Bi Hwa yang sudah mundur beberapa langkah. Gadis inipun merasa heran mengapa Su Kan Lok tiba-tiba terpelanting jatuh ke dalam kolam. Padahal ia sama sekali tidak berbuat sesuatu, kecuali melangkah mundur empat tindak. Kini dua orang jagoan itu melangkah maju menghampiri Siang Bi Hwa. Mereka bersikap hati-hati karena biarpun mereka tidak melihat gadis itu melakukan sesuatu, akan tetapi jatuhnya Su Kongcu membuat mereka curiga dan mengira bahwa tentu gadis itu yang membuat pemuda itu roboh. Kini mereka melangkah maju perlahan-lahan dan membuat langkah menghampiri gadis itu dari arah kanan dan kiri. Mereka, tanpa bicara, sudah mengatur siasat untuk menyergap gadis itu dari kanan kiri, tidak memberi tempat untuk menghindarkan diri.
Kedua lengan mereka tergantung di kanan kiri tubuh, akan tetapi semua urat syaraf mereka menegang dan siap untuk menubruk dengan gerakan mendadak dan meringkus gadis jelita itu dari kanan kiri. Melihat ancaman ini, Siang Bi Hwa mundur-mundur sampai punggungnya menyentuh rumpun bunga dan ia tidak dapat mundur lagi. Dua orang itu terus melangkah maju sampai mereka tiba dekat dengan gadis itu, tinggal dua meter lagi jaraknya dan mereka sudah siap untuk menubruknya, seperti dua ekor harimau akan menubruk seekor domba yang tidak berdaya. Pada saat itu, dua orang jagoan sudah mengangkat kedua lengan ke atas dan siap menerkam. Akan tetapi, tiba-tiba mereka berdiri seperti kejang, mulut mereka mengeluarkan seruan kaget dan tiba-tiba saja mereka berdua jatuh bertekuk lutut seperti memberi hormat kepada Siang Bi Hwa! Para pemuda bangsawan yang menonton peristiwa itu tentu saja menjadi terkejut dan heran bukan main. Tadipun mereka sudah merasa kagum melihat Su Kan Lok terpelanting lagi ke dalam kolam dan mereka merasa yakin bahwa Siang Bi Hwa memang sakti dan menggunakan kesaktiannya untuk merobohkan pemuda bangsawan yang nekat itu. Akan tetapi kini melihat betapa dua orang jagoan yang tadi memperlihatkan kelihaian mereka ketika mengalahkan lima orang tukang pukul itu secara tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut, hal ini sungguh amat mengejutkan dan mengherankan! Seolah-olah Siang Bi Hwa melakukan sihir saja! Dua orang jagoan itu terkejut setengah mati. Sebagai orang-orang yang ahli dalam ilmu silat mereka tentu saja mengerti apa yang menyebabkan mereka kejang kemudian jatuh berlutut itu.
Ada sesuatu yang menyerang mereka. Entah apa yang menyerang mereka mengenai pundak, membuat tubuh atas mereka seketika menjadi kaku, kemudian ada pula yang menyentuh kedua lutut mereka. Sedemikian kuatnya lutut mereka terpukul sehingga mereka tak dapat menahan diri lagi untuk jatuh berlutut! Entah apa yang menyerang tubuh mereka. Mereka tidak dapat melihatnya, hanya tampak sinar berkelebat dan tahu-tahu mereka telah tertotok. Tentu saja mereka menduga bahwa gadis itu yang menyerang mereka! Sementara itu, melihat dua orang jagoannya tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan Siang Bi Hwa, Su Kan Lok mengerutkan alisnya dan menjadi marah sekali. Dia tidak mengerti mengapa dua orang jagoan yang dia andalkan itu tiba- tiba malah berlutut di depan Siang Bi Hwa.
“He! Apa yang kalian lakukan itu? Cepat tangkap gadis itu, kalau melawan ancam dengan pedang!” Dua orang jagoan yang merasa yakin bahwa gadis itu memang lihai sekali, cepat melompat bangun dan mendengar ucapan majikan muda mereka tadi, mereka berdua sudah mencabut pedang dan menodongkan pedang mereka ke arah Siang Bi Hwa. Tiba-tiba mereka berdua melihat lagi sinar-sinar kecil menyambar. Mereka tidak dapat menghindarkan diri karena sinar itu menyambar bagaikan kilat cepatnya dan tahu-tahu tangan kanan mereka menjadi lumpuh sehingga pedang mereka tak dapat dicegah lagi terlepas dari pegangan mereka dan pada detik berikutnya, kembali kedua kaki mereka tertotok dan nerekapun sekali lagi jatuh berlutut di depan kaki Siang Bi Hwa! “Hei! Keparat, kenapa kalian malah berlutut?” Su Kan Lok berteriak, akan tetapi tiba-tiba diapun jatuh berlutut, bahkan tubuhnya tiba-tiba menjadi lemas sehingga dia terkulai dan roboh menelungkup di atas tanah menghadap Siang Bi Hwa. Siang Bi Hwa adalah seorang gadis yang amat cerdik. Biarpun ia bukan seorang ahli silat, namun ia adalah puteri Ouw Yang Lee, seorang datuk persilatan yang berilmu tinggi dan ia tahu bahwa di dunia ini terdapat banyak orang yang berkepandaian tinggi. Tadi ia sempat melihat sinar-sinar menyambar dari arah belakangnya dan akibatnya, dua orang jagoan itu jatuh berlutut secara aneh di depannya. la dapat menduga bahwa tentu ada orang yang telah menolongnya dan yang diam-diam melakukan penyerangan terhadap orang-orang itu sehingga Su Kan Lok dan dua orang jagoannya kini berlutut di depannya.
“Hemm, kalau kalian menyesali sikap kalian yang kurang ajar, sudahlah pergi cepat dari sini, tidak perlu berlutut minta-minta ampun segala!” katanya. Kini dua orang jagoan itu yakin bahwa gadis jelita itu benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, mungkin juga pandai ilmu sihir seperti yang dikabarkan orang. Mereka tidak berani melawan lagi, lalu bangkit, memungut pedang masing-masing, lalu melangkah terhuyung karena masih terasa lemas kedua kaki mereka, membantu Su Kan Lok untuk bangkit, dan mereka menarik pemuda itu cepat-cepat keluar dari taman. Mereka melewati lima orang tukang pukul Cia-Ma yang sudah berkumpul dan menonton pula di pintu tembusan, dan juga melewati tujuh orang pemuda bangsawan yang tertawa-tawa menyaksikan adegan yang mereka anggap lucu tadi. Setelah tiga orang itu pergi, para Kongcu bangsawan tadı masih tertawa-tawa.
“Apa yang kalian tertawakan? Hayo semua pergi, jangan ada seorangpun yang tinggal di sini! Pergi!” Ucapan Siang Bi Hwa itu merdu akan tetapi lantang dan amat berwibawa. Buktinya para tuan muda bangsawan dan lima orang tukang pukul itu cepat pergi meninggalkan pintu dengan sikap gentar. Apa yang baru saja mereka saksikan itu meyakinkan hati mereka bahwa Siang Bi Hwa benar-benar seorang gadis yang memiliki kesaktian dan mungkin benar dugaan sementara orang bahwa ia adalah penjelmaan Dewi Kwan Im Pauwsat yang berbudi mulia dan amat sakti! Setelah semua orang pergi, muncullah Cia-Ma yang datang berlari-lari menghampiri Siang Bi Hwa.
“Ah, engkau selamat, anakku? Engkau dapat mengusir mereka?” kata wanita gemuk itu sambil merangkul Siang Bi Hwa dan menangis, menangis karena girang dan lega hatinya.
“Sudahlah, ibu. Mereka sudah pergi dan tidak ada yang mengganggu lagi sekarang. Aku minta dengan sangat agar ibu suka meninggalkan aku sendiri di sini. Aku ingin sekali berada seorang diri di sini. Tunggulah aku di ruangan belakang, sebentar lagi aku masuk. Tinggalkan aku, ibu.” Dalam suara Siang Bi Hwa terkandung permintaan yang sangat mendesak. Cia-Ma yang tidak merasa heran akan sikap anak angkatnya yang kadang-kadang memang ingin dan suka menyendiri, mengangguk-angguk sambil menghapus air matanya, lalu pergi meninggalkan dara itu dan memasuki pintu belakang yang ia tutup dari dalam agar jangan ada yang mengganggu lagi kepada anaknya yang ia sayang itu. Setelah merasa yakin bahwa ia berada seorang diri, Siang Bi Hwa lalu menghadap ke arah semak-semak rumpun kembang itu dan berkata, “Sobat, engkau telah bersikap sebagai seorang sahabat baik dan menolongku. Mengapa tidak muncul sebagai seorang sahabat baik dan berkenalan denganku?” Sin Cu yang masih berada di balik semak-semak itu, terkejut bukan main. Gadis itu mengetahui bahwa dia berada di situ dan telah membantunya! Ah, benarkah cerita bahwa gadis itu sesungguhnya memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi? Akan tetapi karena sudah ketahuan, dia tidak dapat bersembunyi lagi dan pula, di situ tidak ada orang lain. Maka diapun segera keluar dari balik semak-semak dan berdiri di depan gadis itu. Mereka berdiri berhadapan dalam jarak lima meter dan keduanya berdiri diam tak bergerak saling memandang seperti terkena pesona! Setelah berdiri berhadapan, barulah Sin Cu dapat melihat dengan jelas sekali dan dia terpesona. Alangkah cantik jelitanya gadis ini, pikirnya.
“Maafkan aku..., aku telah lancang memasuki taman ini tanpa ijin. Aku telah bertindak seperti seorang pencuri, maafkan aku...” akhirnya Sin Cu dapat berkata dengan rikuh dan gagap setelah dia dapat menenteramkan hatinya yang terguncang. ucapan itu seolah menyeret Siang Bi Hwa kembali ke alam sadar. Tadipun ia terpesona. Tak disangkanya bahwa yang menolongnya adalah seorang pemuda yang berpakaian sederhana yang demikian tampan. Banyak sudah ia melihat laki-laki muda yang tampan. Akan tetapi ada sesuatu pada diri pemuda ini yang membuat ia tadi bengong terpesona. Setelah Sin Cu mengeluarkan kata-kata, yang demikian lembut, rendah hati dan sopan, ia menjadi semakin tertarik.
“Mengapa minta maaf? Aku bahkan amat berterima kasih kepadamu, sobat. Engkau telah menolong dan menyelamatkan aku dari ancaman bahaya besar,” kata Siang Bi Hwa dan ia tersenyum, senyum yang membuat jantung Sin Cu berloncatan dan berjungkir balik! Senyum yang hanya sekali dan pertama kali itu sudah cukup untuk tercetak dan meninggalkan kesan yang takkan dapat terlupakan oleh Sin Cu.
“Nona terlalu merendah. Tanpa ada bantuan sekalipun orang- orang jahat itu tentu tidak akan mampu mengganggu sehelaipun rambutmu. Nona terlampau lihai untuk dapat diganggu orang- orang macam mereka,” kata Sin Cu yang juga tersenyum maklum, seolah dia sudah yakin akan kemampuan Siang Bi Hwa. Sepasang mata yang indah laksana bintang kembar itu terbelalak dan kembali Sin Cu terpesona dan menelan ludahnya sendiri. Sepasang mata itu demikian indahnya dan sinarnya sedemikian tajam dan terangnya sehingga dia merasa seolah gadis itu dapat menjenguk dan melihat isi hatinya.
“Sobat, apakah artinya ucapanmu itu. Aku sama sekali tidak lihai. Apa engkau juga percaya akan berita desas-desus yang mengatakan bahwa aku pandai terbang dan segala macam kesaktian? Ah, itu hanyalah gunjingan orang-orang bodoh. Aku adalah seorang yang lemah dan tidak pandai ilmu silat, hanya pernah mengenal dasar-dasarnya saja.” “Akan tetapi bagaimana nona dapat mengetahui bahwa aku telah membantumu padahal nona tidak melihatku? Tentu nona memiliki pendengaran yang amat tajam, pendengaran seorang pendekar yang lihai,” bantah Sin Cu. Kembali Siang Bi Hwa tersenyum lebar dan terpaksa Sin Cu harus menekan batinnya kuat-kuat karena daya tarik senyuman itu terlampau kuat.
“Ah, hal itu mudah, sobat! Aku melihat sinar-sinar kecil berkelebat yang akibatnya membuat orang-orang itu jatuh berlutut, padahal aku tidak berbuat apa-apa. Dengan mudah aku dapat menduga bahwa tentu ada orang berilmu yang telah membantuku, entah dengan cara bagaimana dan karena datangnya sinar-sinar itu dari arah belakangku sedangkan di belakangku terdapat semak semak itu, maka mudah sekali bagiku menduga bahwa penolongku tentu bersembunyi di belakang semak-semak itu. Nah, mudah sekali, bukan? Sekali lagi aku tegaskan bahwa aku sama sekali tidak pandai ilmu silat, walaupun dahulu ketika aku masih kecil aku pernah mempelajari pasangan kuda-kuda dan langkah-langkah dasarnya.” Sin Cu menjadi kagum bukan main. Kalau gadis ini pandai ilmu silat seperti yang disangkanya tadi, maka ketenangannya menghadapi para penjahat itu tidaklah mengherankan.
“Akan tetapi, kalau nona memang seorang gadis lemah yang tidak pandai ilmu bela diri yang tangguh, bagaimana nona dapat bersikap demikian tenang menghadapi orang-orang kasar dan jahat tadi?” “Aku pernah membaca dalam kitab agama bahwa orang yang tidak melakukan kesalahan apapun tidak perlu takut menghadapi bahaya apapun juga karena tidak ada yang lebih kuat dari pada kebenaran. Buktinya secara tidak terduga-duga, dalam ancaman bahaya dari orang-orang jahat itu tiba-tiba muncul engkau yang telah menyelamatkan aku.” Sin Cu menjadi semakin kagum. Gadis ini bukan hanya memiliki kecantikan luar biasa dan juga merupakan seniwati yang pandai, akan tetapi juga agaknya seorang gadis terpelajar yang suka membaca kitab-kitab agama dan mengerti akan filsafat hidup dan pendidikan moral! “Sungguh aneh sekali” tiba tiba Sin Cu berkata di luar kesadarannya karena kata-kata itu merupakan suara hatinya yang begitu saja mencuat keluar melalui mulutnya.
“Apanya yang aneh, sobat?” Ditanya begitu, baru Sin Cu menyadari bahwa dia tadi bicara tanpa disengaja. Karena ucapan itu sudah terlanjur keluar, maka diapun harus mençaku apa yang berkecamuk dalam benaknya.
“Sungguh aneh dan mengherankan sekali melihat seorang bijaksana seperti nona dapat berada di tempat seperti ini!” Mendengar ucapan itu, Siang Bi Hwa mengerutkan alisnya yang hitam melengkung dan sepasang matanya menatap wajah Sin Cu dengan sinar mata tajarn penuh selidik.
“Apa anehnya? Aku adalah puteri pemlik rumah ini, tentu saja aku berada di rumah ini! Hemm, agaknya engkau termasuk di antara orang-orang munafik yang memandang rumah ini dan enci-enci yang bekerja di sini dengan hati jijik dan benci?” Wajah Sin Cu menjadi kemerahan dan dia menundukkan pandang matanya, tidak kuat menentang pandang mata yang demikian lembut namun sinarnya demikian terang dan tajam seperti mengandung sinar berapi.
“Nona, bukankah sudah menjadi sikap umum untuk memandang rumah pelesir dan para pekerjanya dengan pandangan jijik dan benci?” “Pandangan umum yang munafik dan sesat!