Berdebar-debar rasanya jantung di dada Sim Kui Hwa ketika ia duduk di dalam perahu yang meluncur cepat menuju ke tengah lautan itu. Berdebar penuh harapan untuk mendapatkan puterinya sudah kembali ke pulau dengan selamat. Akan tetapi ada debar lain yang tidak mengenakkan hatinya. Setelah ia tiba di pulau dan berkumpul kembali dengan suami dan anaknya, ia harus melihat tuan penolongnya ini pergi meninggalkan pulau, meninggalkannya dan bayangan ini entah mengapa membuat hatinya merasa kecewa dan sedih. Makin jelas pulau itu tampak, makin kencang debar jantung dalam dada Sim Kui wa. Akhirnya tukang perahu dapat membawa perahu ke tepi dan perahu terpaksa berhenti di kedalaman selutut. Daratan masih terpisah dua meter lebih dari perahu. Karena itu, terpaksa Gan Hok San berkata dengan sikap hormat kepada Sim Kui Hwa.
“Nyonya, engkau harus menyeberang kecuali kalau aku boleh memondongmu dan membawa melompat ke darat.” Sim Kui Hwa yang sudah merasa akrab dan tahu bahwa penolong itu bukan seorang pria yang kurang ajar atau mata keranjang, mengangguk sambil tersenyum.
“Tentu saja boleh, tai-hiap. Silakan,” katanya lirih. Biarpun dia sudah menguatkan hatinya, tetap saja jantungnya berdebar keras ketika kedua lengannya memondong tubuh wanita itu dan sekali menggerakkan tubuh, dia sudah membawa nyonya itu melompat ke darat, lalu diturunkannya dengan lembut dan hati-hati. Sama sekali dia tidak mengira bahwa pada saat itu, Ouw Yang Lee berlari-lari dari tengah pulai dan melihat ketika Sim Kui Hwa dipondong dan dibawa loncat ke darat olehnya.
Ketika tadi perahu nelayan mendekati pantai, dua orang anak buah Pulau Naga telah melihatnya dan ketika mereka melihat ji-hujin (Nyonya Ke Dua) berada dalam perahu itu, cepat mereka lari melapor kepada Ouw Yang Lee. Mendengar laporan bahwa isterinya yang ke dua datang dengan perahu, Ouw Yang Lee cepat berlari menuju ke pantai itu. Dia berlari cepat sekali dan sempat melihat ketika isterinya dipondong seorang pria dan dibawa melompat turun ke darat. alisnya berkerut dan sepasang matanya mencorong penuh cemburu dan kemarahan. Ketika Sam Kui Hwa melihat suaminya berlari mendekatinya, ia lalu berlari juga menyambut dan mengembangkan kedua lengannya untuk merangkul suaminya sambil terisak menangis. Akan tetapi Ouw Yang lee menangkis dan nendorong kedua lengan itu, tidak mau dirangkul.
“Mana Ouw Yang Hui, Ouw Yang lan dan ibunya?” tanya Ouw Yang Lee dengan suara mengandung geram. Mendengar pertanyaan ini, Sim Kui Hwa yang sudah merasa heran akan penyambutan suaminya yang dingin, menjadi terkejut sekali.
“Apakah... bukankah Hui-ji sudah diantar pulang oleh seseorang?” tanyanya penuh harap dan matanya mencari-cari untuk melihat apakah Ouw Yang Hui juga ikut menyambut kedatangannya.
“Tidak ada, Hui-ji belum pulang. Hayo cepat ceritakan apa yang telah ter jadi dan siapa orang ini!” Dia menuding ke arah Gan Hok San yang masih berdiri dengan sikap tenang Sim Kui Hwa tidak mengerti akan sikap suaminya yang menyambutnya sedingin itu, juga ia terkejut sekali mendapat keterangan bahwa anaknya belum pulang. Dengan suara bercampur tangis ia menceritakan pengalamannya.
“Malam itu, aku dan enci Lai Kim beserta Lan-ji(Anak Lan) dan Hui- ji ditawan dan dilarikan oleh dua orang jahat ke pantai, lalu kami dibawa pergi dengan perahu menuju ke daratan besar. Setelan tiba di sana, kami dipisahkan. Enci Lai Kim dan Lan-ji dibawa pergi seorang penjahat, sedangkan aku dan Hui-ji dibawa dengan kereta oleh penjahat yang lain. Di tengah perjalanan, Hui-ji dilarikan seorang anak buah gerombolan dan aku dilarikan oleh pimpinan penjahat yang bernama Tok-Gan-Houw Lo Cit. Akan tetapi di tengah jalanan, aku ditolong oleh tai-hiap Hok San ini. Dia amat baik, selain menyelamatkan aku juga sudah berusaha untuk mencari Hui-ji, akan tetapi di tengah perjalanan kami menemukan orang yang melarikan Hui-ji telah menggeletak di tepi jalan, sudah mati. Kami kira Hui-ji ada yang menolong dan mengembalikan ke Pulau Naga. Demikianlah apa yang kualami.” “Akan tetapi, kembali ke Pulau Naga mengapa sampai memakan waktu berhari-hari? Perempuan tidak tahu malu! Engkau bergaul dengan laki-laki selama berhari-hari, berdua saja. Perempuan macam apa engkau ini?” mukanya pucat dan matanya terbelalak.
“Jangan sebut aku suamimu! Engkau tidak patut menjadi isteriku dan aku tidak percaya bahwa engkau masih menjadi isteriku yang setia. Engkau telah bergaul berdua saja dengan laki-laki lain selama beberapa hari. Aku tidak sudi lagi mengakuimu sebagai isteriku!” “Fitnah...! Itu fitnah... Aku...aku..hanya berterima kasih kepada Gan-taihiap dan dia sudah begitu baik, bahkan mengantarkan aku pulang, dan engkau menuduh kami yang bukan-bukan?” “Aku tidak menuduh! Aku masih mempunyai sepasang mata yang dapat melihat dengan jelas. Ketika mendarat tadi, engkau membiarkan dirimu dipondong dengan mesra. Itu saja sudah membuktikan bahwa engkau telah berbuat serong dengan laki-laki ini!” bentak Ouw Yang Lee dengan marah.
“Demi Tuhan, aku tidak melakukan perbuatan tercela itu!” “Tidak perlu menyebut nama Tuhan engkau perempuan hina. Orang macam engkau tidak pantas menjadi isteriku bahkån tidak pantas untuk hidup lebih lama lagi. Lebih baik engkau mati di tanganku dari pada mencemarkan dan menodai nama besar dan kehormatanku!” Setelah berkata demikian, Ouw Yang Lee menggerakan tangan kanannya, memukul dari jarak jauh dengan pengerahan tenaga sin-kang yang amat kuat. Dia yakin bahwa dengan pukulan jarak jauh itu, sekali pukul dia dapat membunuh wanita yang menimbulkan kebencian dan kemarahan karena cemburu itu. Hawa pukulan yang amat kuat menyambar ke arah tubuh Sim Kui Hwa. Akan tetapi ada angin menyambar dari samping, menyambut pukulan jarak jauh yang dilontarkan Ouw Yang Lee itu.
“Wuuutt...desss...!” Dua tenaga sakti bertemu di udara dan akibatnya, kedua orang jagoan itu terdorong mundur beberapa langkah. Ouw Yang Lee terkejut bukan main dan dia tidak memperdulikan lagi Sim Kui Hwa yang menjatuhkan diri berlutut sambil menangis. Ouw Yang Lee memandang kepada Gan Hok San yang telah berani menangkis pukulannya tadi.
“Keparat, siapa engkau yang berani mencampuri urusan antara suami dan isterinya?” bentak Ouw Yang Lee menudingkan telunjuknya ke muka Gan Hok san. Pendekar ini tersenyum tenang sambil melangkäh maju mendekati Ouw Yang Lee, mudian berkata dengan suara tegas Tung-Hai-Tok Ouw Yang Lee! “Telah lama aku mendengar akan nama besarmu sebagai seorang datuk timur yang berilmu tinggi dan disegani. Akan tetapi apa yang kudapatkan sekarang? Engkau bukan lain hanyalah seorang suami yang sama sekali tidak bijaksana, seorang pencemburu besar yang tidak tahu akan kesetiaan dan kebaikan budi isterinya sendiri, seorang laki-laki kejam yang hendak membunuh begitu saja ibu dari anaknya sendiri! Aku Gan Hok San tidak mencampuri urusan antara suami dan isterinya. Akan tetapi tentu saja kalau melihat tindakan sewenang-wrnang, aku akan mencampuri, menentang yang sewenang-wenang, dan menolong orang yang menjadi korban kesewenang-wenangan. Sebagai seorang murid Siauw Lim Pai Pai aku sudah bersumpah untuk membela kebenaran dan keadilan, di manapun juga aku berada.” Terkejut juga hati Ouw Yang Lee. Dia teringat bahwa dia pernah mendengar akan nama besar tokoh Siauw Lim Pai Pai ini.
“Hemm, kiranya engkau tokoh Siauw Lim Pai Pai bernama Gan Hok San itu! Kalau aku tetap hendak membunuh isteriku sendiri ini, engkau mau apa?” “Aku akan mencegahnya sekuat tenaga dan menyelamatkan wanita ini. Aku pandang ia sebagai seorang wanita yang membutuhkan pertolongan, bukan sebagai isterimu. Tentu saja engkau dapat mengerahkan anak buahmu untuk mengeroyok aku, akan tetapi kalau kaulakukan itu, hal itu hanya akan membuktikan bahwa sesungguhnya nama besar Tung-Hai-Tok Ouw Yang Lee hanya nama kosong belaka, karena sesungguhnya dia hanya seorang pengecut yang curang.” “Jahanam keparat yang sombong dan bermulut besar! Kaukira aku takut kepadamu untuk bertanding satu lawan satu? Mari kita buktikan dan mengadu kepandaian!” Gan Hok San menyapu ke arah para anak buah Pulau Naga yang sudah berkumpul di situ dan mulutnya tersenyum mengejek.
“Benarkah satu lawan satu? Anak buahmu yang sudah siap itu tidak akan mengeroyok? Aku sangsikan hal itu!” Hati Ouw Yang Lee menjadi semakin panas. Dia adalah seorang gagah perkasa yang sudah yakin akan kehebatan ilmu silatnya, seorang yang dianggap datuk timur. Tentu saja dia merasa malu untuk melakukan pengeroyokan setelah ditantang untuk bertanding satu lawan satu. Dia lalu membalikkan tubuhnya dan berteriak kepada anak buahnya.
“Kalian mundur dan tonton saja dari jauh. Awas, tak seorangpun boleh turun tangan dalam perkelahian antara aku dan dia ini!” Mendengar perintah itu, para anak buah Pulau Naga lalu mundur dan hanya nonton dari jarak jauh.
“Ouw Yang Lee, sebelum kita bertanding, aku ingin lebih dulu mengetahui bagaimana kalau engkau nanti kalah atau menang dalam pertandingan ini? Aku tetap curiga bahwa kalau engkau kalah olehku, engkau akan mengerahkan anak buahmu untuk mengeroyok aku!” “Gan Hok San manusia sombong, aku berjanji tidak akan melakukan pengeroyokan, apapun yang terjadi. Aku sudah mengeluarkan perintah dan anak buahku tidak akan ada yang berani melanggar perintahku. Karena engkau datang tanpa diundang sebagai seorang tamu tak diundang engkau harus menaati peraturan yang diadakan tuan rumah. Akulah yang menentukan,Kalau dalam pertandingan ini engkau kalah maka engkau akan mati dan apa yang akan kulakukan terhadap isteriku ini tidak ada seorang pun boleh mencampurinya” “Hemm, itu kalau aku kalah, tentu saja terserah kepadamu. Akan tetapi bagaimana seandainya engkau yang kalah?” “Hemm, kalau aku kalah olehmu, engkau boleh membawa perempuan ini bersamamu dan meninggalkan pulau ini. kata Ouw Yang Lee. Tiba-tiba Sim Kui Hwa berseru..., “Tidaaakk…” Dan ia bangkit lalu la menghampiri Gan Hok San dan berkata “Gan-tai-hiap, pergilah sekarang juga jangan mencampuri urusan kami. Biar aku dibunuh suamiku, akan tetapi engkau yang tidak bersalah apa-apa tidak boleh terancam kematian. Pergilah dan aku akan berterima kasih kepadamu sarnpai aku mati. Gan Hok Sah tersenyum.
“Minggirlah, nyonya. Aku harus menolong dan melinungimu, biar untuk itu aku harus mempertaruhkan nyawaku. Marilah, Ouw Yang Lee, aku menerima dan menyetujui peraturan yang kautentukan tadi. Aku telah siap menandingimu!” Setelah berkata demikian,Gan Hok San melangkah maju sehingga berhadapan dengan Ouw Yang Lee dalam jarak lima meter. Kedua orang gagah itu saling pandang bagaikan dua ekor singa yang saling menantang atau dua ekor ayam jantan yang hendak berlaga, Saling pandang dengan pandang mata mencorong dan penuh selidik, seolah dengan pandang mata itu mereka hendak mengukur kekuatan masing-masing. Gan Hok San memasang gerakan pembukaan dengan kedua kaki terpentang dan lutut ditekuk seperti orang menunggang kida, kedua tangannya dirangkap di depan dan sepasang matanya mencorong memandang lawan untuk mengikuti semua gerak-geriknya. Maklum bahwa lawannya yang menjadi tokoh Siauw Lim Pai Pai itu tentu memiliki ilmu silat tinggi dan tenaga sin-kang (tenaga sakti) yang kuat, Ouw Yang Lee juga sudah mengerahkan sin-kang yang mengandung hawa beracun. Dia membuat kedua lengan tangannya tergetar dan perlahan- lahan kedua kulit lengannya itu berubah menjadi kemerahan! Itulah pengerahan ilmu yang disebut Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah), satu di antara ilmu-ilmunya tentang racun.
Kedua tangan itu sudah dirawatnya sedemikian rupa sehingga kalau dikerahkan, hawa beracun merah itu akan timbul dan pukulannya mengandung racun merah yang dapat membuat tubuh lawan yang terpukul menjadi seperti terkena bara api! Melihat ini, Gan Hok San sebagai seorang jagoan atau pendekar yang banyak pengalarman, dapat menduga bahwa lawannya tentu memiliki pukulan-pukulan keji yang beracun sesuai dengan nama julukannya Racun Lautan Timur. Maka pendekar inipun sudah melindungi kedua lengannya dengan pengerahan ilmu kekebalan Tiat-pou-san (Ilmu Kebal Baju Besi) sehingga kedua lengannya itu terlindung oleh sin-kang yang amat kuatnya sehingga dengan lengan telanjang dia akan mampu menangkis senjata-senjata tajam dan menolak serangan hawa beracun.
“Sambut seranganku! Haiiiittttt...!” Ouw Yang Lee membentak nyaring sekali dan dia sudah menerjang dengan tamparan tangan kirinya ke arah kepala lawan. Gan Hok San menundukkan kepalanya sehingga tamparan itu lewat mengenai tempat kosong. Akan tetapi tangan kiri Ouw Yang Lee menyusul dengan pukulan membalik, menggunakan tangan itu seperti sebatang golok menghantam ke arah leher lawan. Hantaman ini didahului oleh angin yang menyambar dahsyat dan berbau amis, tanda bahwa tangan itu mengeluarkan hawa pukulan beracun. Namun Gan Hok San tidak menjadi gentar. Dia mengangkat lengan kirinya menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.
“Dukkk!” Kedua lengan kiri itu bertemu dengan kuatnya dan akibatnya, mereka berdua terdorong mundur dan agak terhuyung. Hal ini membuat Ouw Yang Lee menjadi semakin penasaran dan kembali dia mengeluarkan bentakan nyaring dan menerjang dengan hantaman tangan kanannya ke arah dada lawan. Gan Hok San kembali menangkis dan ketika tangan lawan terpental, dia membalas dengan serangan yang tidak kalah dahsyatnya, menggunakan tangan kiri dari samping nenampar ke arah pelipis kanan lawan.
“Wuuutt... dukk!” Ouw Yang Lee juga berhasil menangkis pukulan ini. Mereka lalu saling serang dengan ganas dan hebatnya.
Keduanya ternyata memiliki gerakan yang sama kuatnya, akan tetapi perlahan-lahan tampak bahwa dalam hal kegesitan atau gin- kang (ilmu meringankan tubuh), Gan Hok San masih unggul sedikit. Gerakannya sedemikian cepatnya sehingga Ouw Yang Lee merasa terdesak dan bingung mengikuti gerakan lawan yang demikian cepatnya.
Sim Kui Hwa yang sudah bangkit berdiri terpaksà menonton jalannya pertandingan itu dengan wajah pucat sekali. la mengenal suaminya sebagai seorang yang amat keras hati dan kalau Gan Hok San kalah, tentu pendekar dan penolongnya itu akan dibunuh mati sedangkan ia sendiripun tidak ada harapan untuk diampuni. Tentu saja ia tidak mengharapkan kekalahan bagi Gan Hok San karena ia tidak ingin melihat penolongnya itu tewas dan dirinya sendiri terancam maut. Akan tetapi Ouw Yang Lee adalah suaminya,ayah dari anaknya maka tentu saja ia pun mengharapkan bahwa kalau Gan Hok San menang, pendekar itu tidak akan membunuh Ouw Yang Lee. Biarpun ia menjadi isteri Ouw Yang Lee sudah hampir sepuluh tahun, akan tetapi wanita yang cantik dan berwajah lembut ini sama sekali tidak pernah mempelajari ilmu silat.
Maka ia tidak dapat mengikuti pertandingan itu dengan jelas, tidak tahu siapa yang akan menang atau kalah. Tiba-tiba Song Bu lari dari kelompok para anak buah Pulau Naga, mendekati Sim Kui Hwa. Wanita ini yang sudah amat akrab dengan anak itu, menganggap anak itu sebagai anak sendiri, merangkulnya, seolah minta dilindungi. Song Bu juga menonton per tandingan itu dan dia sendiripun belum cukup lihai untuk dapat mengikuti dan menilai jalannya pertandingan. Perkelahian tangan kosong itu sudah mencapai puncaknya. Dengan kegesitannya, tiba-tiba kaki Gan Hok San mencuat dan mengenai paha lawannya. Ouw-yan Lee terhuyung dan hampir roboh! Sebetulnya hal ini sudah menunjukkan bahwa dia masih kalah dalam pertandingan silat tangan kosong itu. Akan tetapi datuk ini tentu saja tidak mau mengaku kalah demikian saja.
“Singgg...” Tampak sinar berkilat ketika dia mencabut pedangnya. Biasanya,Ouw Yang Lee cukup bersenjatakan dayung bajanya kalau menghadapi lawan biasa. Kalau dia sampai mencabut pedangnya, hal itu menunjukkan bahwa lawan yang dihadapinya amat tangguh.
“Keluarkan senjatamu dan lawan pedangku kalau engkau memang jantan!” bentaknya sambil memalangkan pedangnya didepan dada. “Hemm, Tung-Hai-Tok Ouw Yang Lee! Belum lecet kulitmu, belum patah tulangmu, engkau sudah mernpergunakan pedang,Baiklah, kalau engkau ingin ber tanding dengan sènjata, aku akan melayanimu!” Setelah berkata demikian, Gan Hok San menggerakkan tangan kanan ke belakang punggung dan tampak sinar berkilat ketika dia mencabut sebatang pedang yang bersinar kebiruan. Dia melihat betapa ujung pedang dan di sepanjang mata pedang yang dipegang lawannya berwarna kehitaman, maka tahulah dia bahwa pedang lawannya itu mengandung racun yang berbahaya. Dia harus menjaga diri dengan hati-hati karena tergores sedikit saja oleh pedang itu berarti bahaya maut mengancam dirinya! Melihat lawannya sudah memegang pedang, Ouw Yang Lee membentak nyaring, “Sarnbut pedangku!” dan dia sudah menerjang ke depan, pedangnya berkelebat dan menyerang dengan sabetan ke arah leher. Gan Hok San mengerahkan tenaga dan menggerakkan pedangnya menangkis.
“Trang...!” Bunga api berpijar ketika dua batang pedang itu saling bertemu dengan kuatnya. Demikian kuatnya dua batang pedang itu beradu, sehingga membuat keduanya terpental dan dua orang yang sedang bertanding itu melompat ke belakang untuk memeriksa pedang masing-masing. Setelah dengan hati lega melihat bahwa pedang mereka tidak rusak, mereka lalu maju lagi dan saling serang dengan dahsyatnya, Akan tetapi ternyata sekali ini Ouw Yang Lee salah perhitungan. Kalau tadi, ketika mereka bertanding dengan tangan kosong, tingkat kepandaian mereka berimbang dan dia hanya kalah dalam hal kecepatan gerakan, kini setelah mereka bertanding dengan silat pedang, Ouw Yang Lee terkejut sekali. Ilmu pedang yang dimainkan Gan Hok San ternyata hebat sekali dan segera dia terdesak hebat. Setelah lewat lima puluh jurus, Ouw Yang Lee hanya mampu bertahan saja, menangkisi hujan serangan Gan Hok San dengan main mundur. Masih untung baginya bahwa pendekar Siauw Lim Pai itu tidak bermaksud membunuhnya. Ketika mendapatkan kesempatan, ujung pedang Gan Hok San hanya melukai pundak kanan Ouw Yang Lee sehingga baju berikut kulit pundak nya terobek. Majikan Pulau Naga ini terpaksa melompat ke belakang dengan muka berubah kemerahan. Dia merasa penasaran dan malu sekali karena dia harus mengakui bahwa dia telah kalah. Kalau dia nekat dan dilanjutkan, belum tentu kalau lawannya akan demikian bermurah hati dan hanya melukai ringan pada pundaknya.
“Gan Hok San, pergilah engkau dan bawa serta perempuan hina ini!” katanya sambil mendelik memandang kepada Sim Kui Hwa. Wanita itu menangis dan menjatuhkandiri berlutut. Song Bu merangkulnya.
“Subo, harap jangan rnenangis...” Dia menghibur.
“Song Bu, ke sini engkau” Ouw Yang Lee membentak dan Song Bu cepat meninggalkan Sim Kui Hwa dan menghampiri gurunya lalu berdiri di sampingnya.
“Aku adalah isterimu, selama sepuluh tahun menjadi isterimu yang setia, kenapa engkau menyuruh aku pergi mengikuti seoang laki- laki lain?” Wanita itu meratap.
“Kalau engkau tetap tinggal di sini, akan kubunuh!” Ouw Yang Lee membentak.
“Ouw Yang Lee! Seorang laki-laki tidak akan menjilat ludah sendiri yang telah dikeluarkan, tidak akan mengingkari janji sendiri yang telah diucapkan. Engkau berjanji tidak akan membunuh wanita ini!” Gan Hok San menegur.
“Aku berjanji tidak akan membunuhnya, akan tetapi tidak berjanji untuk menerimanya kembali tinggal di sini! Wanita rendah ini tidak boleh tinggal di atas pulau ini dan kalau ia nekat, tentu akan kubunuh!” “Bunuh saja aku... ahh, bunuh saja… Gan Hok San yang diam- diam telah jatuh hati kepada wanita itu dan merasa amat iba, lalu menghampiri dan berkata dengan suara lembut. “Nyonya, sudah jelas suamimu bersikap kejam kepadamu. Tidak baik membiarkan dia membunuhmu. Apakah nyonya tidak ingat kepada puterimu yang hilang dibawa orang? Apakah nyonya tidak ingin mencarinya dan menemukannya kembali?” Mendengar ini, Sim Kui Hwa meratap.
“Nah, kalau engkau ingin menemukan puterimu sampai dapat ditemukan, nyonya,marilah kuantar engkau mencari anakmu, Sia- sia saja membuang nyawa di sini membiarkan anakmu kehilangan ibunya sedangkan ayahnya sudah begitu kejam terhadap dirlnya.” Sim Kui Hwa menurunkan kedua tangan yang menutupi mukanya dan dengan mata merah dan basah memandang suaminya.
“Suamiku... benarkah engkau begitu tega tidak mau enerimaku kembali dan mencari anak kita Ouw Yang Hui sampai dapat ditemukannya?” tanyanya dengan suara memelas.
“Perempuan rendah, aku tidak sudi menerimamu! Pergilah engkau dengan penolong dan kekasihmu itu, aku tidak perduli!” Kui Hwa terkulai dan roboh pingsan di atas tanah.
“Ouw Yang Lee, engkau manusia kejam dan tak berprikemanusiaan! Lain kali kalau kita saling bertemu kembali, aku pasti akan membunuhmu!” kata Gan Hok San dan diapun segera menghampiri dan mengangkat tubuh Sim Kui Hwa yang pingsan, Memondongnya dan membawanya ke pantai di mana perahunya berada. Dengan tenang dan tanpa menengok lagi kepada Ouw Yang Lee dan anak buahnya, dia merebahkan tubuh Sim Kui Hwa di dalam perahu, lalu mendayung perahu itu ke tengah dan meninggalkan Pulau Naga. Setelah Gan Hok San pergi, diikuti pandang mata Ouw Yang Lee yang masih berdiri bertolak pinggang dengan alis berkerut, menyesali kekalahannya, Song Bu menghampirinya.
“Suhu, kenapa suhu membiarkan orang itu pergi membawa subo? Kenapa tidak mengerahkan para paman untuk menangkapnya dan merampas subo dari tangannya?” Suara muridnya itu seolah baru menyadarkan Ouw Yang Lee dari lamunannya. Dia memutar tubuh memandang Song Bu, menghela napas panjang dan berkata, “Untuk apa mempertahankan isteri yang tidak setia? Song Bu, catatlah dalam hatimu bahwa orang bernama Gan Hok San itu hari ini telah menghinaku dengan melarikan isteriku. Kelak engkau harus membalaskan sakit hatiku ini. Sanggupkah engkau?” “Tentu saja tee-cu (murid) sanggup, suhu: Akan tetapi bagaimana dengan Toasubo (lbu Guru Tertua) dan adik Lan, juga Ji-subo (lbu Guru Kedua) dan adik Hui? Apakah suhu tidak pergi mencari mereka?” “Hemm, mereka hanya dua orang puteri. Aku akan dapat mencari penggantinya dengan mudah, yang lebih muda dan cantik. Dan anak-anak itupun hanya anak perempuan, aku tidak terlalu membutuhkan anak perempuan. Sekarang, engkaulah yang menjadi pengganti mereka, Song Bu. Mulai sekarang, engkau menjadi anakku, nama lengkapmu Ouw Yang Song Bu. Bagaimana pendapatmu?” Song Bu adalah seorang anak yang cerdik luar biasa. Biarpun pada lahirnya dia tidak berkata sesuatu, namun otaknya bekerja dan dia sudah dapat rnembayangkan semua keadaannya. Ucapan gurunya itu berarti mengangkat dia menjadi anak sehingga segala yang ada pada gurunya kelak menjadi miliknya! Pulau Naga dan semua anak buahnya, dan terutama ilmu kepandaian Ouw Yang Lee tentu akan diwariskan kepadanya! Maka, setelah pikirannya bekerja secepat kilat, dia lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki datuk itu, memberi hormat dengan membenturkan kepalanya berkali-kali ke atas tanah dan menyebut “Ayah” Ouw Yang Lee yang tadinya muram karena kecewa atas kekalahannya terhadap Gan Hok San, tiba-tiba kini tertawa bergelak.
Dia telah menemukan seorang anak laki-laki yang telah lama didambakannya. Kini Song Bu merupakan orang yang paling dekat dengannya, satu-satunya orang yang disayangnya dan kelak dapat dia andalkan. Para anak buah Pulau Naga yang menonton dari jarak jauh tidak tahu apa yang terjadi antara Song Bu dan Ouw Yang Lee. Mereka tadi menonton dari jauh, akan tetapi dapat melihat bahwa pemimpin mereka telah kalah dan isteri pemimpin mereka dibawa pergi oleh lawan. Kemudian mereka melihat Song Bu berlutut di depan majikan atau pemimpin itu. Biarpun pundak kanannya terluka, Ouw Yang Lee tidak mengeluh. Dia membangunkan Song Bu dengan tangan kirinya, menggandeng tangan anak itu menuju ke rumah dan ketika berada di depan para anak buahnya, dia berhenti dan berkata dengan lantang.
“Kalian semua dengar baik-baik! Mulai saat ini, anak ini menjadi puteraku dan bernama Ouw Yang Song Bu. Kalian semua harus menghormatinya dan menyebutnya Ouw Yang Kong-cu (Tuan Muda Ouw Yang).” Semua orang mengangguk dan mereka pun bubaran. Ouw Yang Lee mengajak putera angkatnya itu menuju ke rumah dimana dia mengobati luka di pundaknya. malam itu juga dia menyuruh para pelayannya untuk mempersiapkan sebuah pesta kecil untuk merayakan pengangkatan Ouw Yang Song Bu menjadi puteranya. Pesta kecil itu dihadiri pula oleh para anggauta pimpinan yang terdiri dari lima orang pembantu Ouw Yang Lee. Ouw Yang Kee juga tidak banyak membuang banyak waktu membiarkan kamar- kamarnya kosong. Dalam waktu sebulan saja dia telah mendapatkan dua orang gadis cantik yang dibawanya dari dusun- dusun di daratan,Orang tua para gadis itu tentu saja, menyerahkan anak mereka dengan senang hati karena anak mereka menjadi isteri majikan pulau Naga yang berkuasa dan kaya raya.
Semenjak hari itu, Ouw Yang Song Bu digembleng secara tekun oleh ayah angkatnya yang menginginkan dia menjadi seorang yang tangguh dan kelak akan dapat mengangkat nama ayah angkatnya. Anak yang cerdik inipun tidak menyia-nyiakan kesempatan baik itu, belajar silat dengan rajin sekali, berlatih siang malam sehingga cepat dia dapat menguasai seluruh gerakan dasar yang diajarkan oleh ayah angkatnya. Akan tetapi di samping itu, perangainya juga berubah. Karena merasa bahwa dia adalah satu-satunya putera yang disayang dan dimanja oleh Ouw Yang Lee, dia bersikap tinggi hati terhadap para anak buah Pulau Naga yang merasa tidak berani memperlihatkan perasaan ini karena maklum bahwa Song Bu amat disayang oleh Ouw Yang Lee. Thai- Lek-Kui (Iblis Tenaga Besar) Ciang Sek menahan kendali kudanya sehingga binatang itu berhenti melangkah. Dia menoleh ke kiri, ke arah kuda lain yang ditunggangi Lai Kim dan puterinya, Ouw Yang Lan.
Kuda itu tampak letih, demikian pula dengan dua orang penunggangnya. Lai Kim memegang tali kendali kuda dengan tangan kanannya sedangkan lengan kirinya memeluk Ouw Yang Lan yang duduk didepannya. Melihat kuda yang ditunggangi Ciang Sek berhenti, Lai Kirh juga menghentikan kudanya. la sudah lelah sekali sehingga tubuhnya membungkuk, tinggal sedikit lagi tenaganya untuk mencegahnya terpelanting dari atas punggung kuda. Ouw Yang Lan adalah seorang anak yang pemberani, bahkan keras hati dan keras kepala. Sejak semula ia sudah tidak takut terhadap laki-laki tinggi besar bermuka merah itu dan pandang matanya terhadap pria yang menawan ibunya itu selalu menantang. Kini, melihat laki-laki itu menoleh dan memandang kepada ibunya, iapun tidak tahan untuk tidak berkata dengan suara penuh celaan.
“Paman, kenapa engkau begitu kejam? Tidak dapatkah engkau melihat bahwa kami sudah lelah sekali? Terutama sekali ibu, tidak kasihanikah engkau kepadanya?” “Lan-ji (Anak Lan).. Lai Kim menegur anaknya agar diam karena ia takut kalau-kalau anaknya akan membuat penawan mereka marah. Sudah beberapa kali Ciang Sek mengancam bahwa kalau ia banyak ribut, maka laki-laki itu akan membunuh anaknya! Sejenak sinar mata Ciang Sek menatap wajah anak itu dengan tajam, akan tetapi dia tersenyum, kagum akan keberanian anak itu! Dia telah tergila-gila kepada Lai Kim dan dia ingin wanita itu menyerahkan diri dengan sukarela kepadanya, menjadi isterinya. Kalau dia membunuh anak itu dan memaksa Lai Kim menjadi isterinya, wanita itu tentu tidak akan menyerahkan diri dengan suka rela dan dia tidak menghendaki hal ini terjadi. Dia harus mengancam akan membunuh anak itu agar Lai Kim mau menyerahkun diri, dan bersikap lunak untuk merayu dan meruntuhkan hati wanita itu.
“Baiklah, kita berhenti mengaso sebentar di sini,” katanya dan diapun lalu melompat turun dari atas punggung kuda. Setelah menambatkan kudanya Ciang Sek lalu membantu Lai Kim dan Ouw Yang Lan untuk turun dari atas kuda. Untuk menenangkan dan menyenangkan hati ibu dan anak itu, ketika membantu mereka turun Ciang Sek bersikap lembut sekali.
“Duduklah kalian di bawah pohon itu Di sana. sejuk dan ada batu- batu untuk tempat duduk,” katanya. Ibu dan anak itu mengikutinya menuju ke bawah pohon yang ditunjuk. Karena lelah sekali Lai Kim lalu duduk dia atas sebuah batu dan Ouw Yang Lan duduk di sebelahnya. Kalau Lai Kim duduk dengan muka agak pucat dan mata menunjukkan kegelisahan dan kedukaan, sebaliknya Ouw Yang Lan memandang ke arah Ciang Sek dengan sinar mata mengandung kemarahan dan kebencian. Ciang Sek membuka buntalan kain yang tadi diterimanya dari anak buah Tok-Gan-Houw (Harimau Mata Satu) Lo Cit dan menaruh buntalan yang sudah terbuka itu di atas tanah di depan mereka. Isi buntalan itu ternyata roti dan daging kering, juga terdapat seguci arak.
“Mari, kalian makanlah. Perjalanarn masih jauh dan kalian tentu sudah merasa lapar,” katanya. Akan tetapi Lai Kim tetap duduk di atas batu dan memeluk puterinya.
“Nyonya yang baik, engkau makanlah dan beri anakmu makan,” kata pula Ciang Sek. “Apa engkau lebih suka melihat anakmu mati kelaparan?” Teringat akan puterinya, Lai Kim terpaksa lalu turun dari atas batu dan mengambil dua potong roti dan dua potong daging kering. Sepotong roti dan sepotong daging diberikannya kepada Ouw Yang Lan dan mereka makan roti dan daging itu tanpa berkata-kata. Melihat sikap lembut penculiknya, Lai Kim memberanikan hati bertanya dengan hati-hati, “Kenapa engkau menculik kami ibu dan anak yang tidak bersalah apapun terhadap dirimu?” Sebelum menjawab, Ciang Sek minum arak dari guci, dituangkan begitu saja ke dalam mulutnya. Setelah menyeka mulutnya, dia memandang kepada Lai Kim dan menjawab, “Aku menculik kalian untuk memberi pelajaran kepada Ouw Yang Lee yang suka bertindak sewenang-wenang terhadap orang-orang di dunia kangouw (sungai telaga, persilatan). Biar dia tahu rasa dan mengurangi kesombongan nya.” “Ke mana engkau hendak membawa kami? “Kalian akan kubawa ke Pek-In-San (Bukit Awan Putih) di Pegunungan hai-san. Di sana aku tinggal sebagai majikan bukit itu,” jawab Ciang Sek dengan tenang.
“Akan tetapi... kapankah engkau akan membebaskan kami?” Ciang Sek tersenyum dan menatap wajah cantik dengan tahi lalat kecil di pipi kiri itu, “Tenanglah, nyonya. Kalau engkau tidak membuat ribut dan tidak melawan, aku pasti akan memperlakukan engkau dan puterimu dengan baik. Akan tetapi kalau engkau banyak rewel, engkau tahu apa yang akan kulakukan!” Berkata demikian, dengan penuh arti dia melirik ke arah Ouw Yang Lan Lai Kim mengerutkan alisnya dan iapun tersedak makanan yang serba kering itu karena ucapan dan sikap laki-laki tinggi besar itu membuatnya gelisah sekali. melihat ini, Ciang Sek segera bangkit berdiri, membawa sebuah guci arak lain yang telah kosong.
“Kau tunggulah di sini, aku akan mencarikan air jernih untuk kalian minum. Awas, jangan pergi-pergi dari tempat ini!” Setelah berkata demikian, Ciang Sek lalu memasuki hutan pegunungan yang berada di sebelah kiri jalan dan memghilang di balik pohon pohon dan semak semak. Begitu laki-laki itu lenyap dari pandang mata mereka, Ouw Yang Lan segera berkata kepada ibunya, “Ibu, ini merupakan kesempatan baik bagi kita. Mari kita melarikan diri, ibu!” Lai Kim meragu, memandang ke kanan kiri yang amat sunyi. “Pergi ke mana?”
“Ah, ibu! Ke mana saja asal dapat terbebas dari orang itu! Mari, Ibu!” Anak itu bangkit dan menarik tangan ibunya. Lai Kim bangkit berdiri.
“Baik kita lari!” akhirnya ibu itu menyetujui ajakan puterinya. “Akan tetapi kita jangan naik kuda. Derap kaki kuda akan terdengar olehnya. Pula kita tidak biasa menunggang kuda. Kita lari sąja. Hayo!” Ibu dan anak itu lalu berlari sambil bergandeng tangan.
Setelah berlari cukup jauh dán tidak melihat ada yang mengejar mereka, ibu dan anak itu merasa lega juga. Akan tetapi biarpun napas mereka sudah terengah-engah, mereka tidak mau berhenti. Mereka terus berlari sampai mereka tidak kuat lagi. Tidak menuju ke arah tertentu, asal menjauhi penawan mereka. Selagi ibu dan anak itu berlari dengan harapan berkembang dalam hati, tiba-tiba muncul tiga orang laki-laki yang berlompatan keluar dari balik pohon-pohon di tepi jalan. Tiga orang laki-laki kasar yang memegang sebatang pedang di tangan kanan dan sikap mereka bengis! Seorang diantara mereka yang bertubuh tinggi besar dan dahinya terhias codet memanjang bekas luka, tertawa bergelak ketika melihat bahwa yang mereka hadang adalah seorang wanita yang cantik dan seorang anak perempuan yang mungil.
“Ha-ha-ha-ha, kita untung besar, kawan-kawan! Ada seorang bidadari cantik tersesat di hutan! la pantas sekali untuk menjadi pendampingku!” Orang kedua yang tinggi kurus juga berkata, “Dan perempuan kecil inipun mungil dan manis sekali. Rumah pelesir tentu suka membelinya dengan harga mahal!” Lai Kim terbelalak dengan muka pucat. Baru melihat sikap dan mendengar ucapan itu saja ia sudah dapat menduga bahwa ia berhadapan dengan orang-orang yang jahat dan kejam, yang mempunyai maksud buruk terhadap dirinya dan puterinya.
“Mari, manis. Engkau ikut aku dan kita bersenang-senang!” kata si muka codet dan kali dia menubruk ke depan, tangan kirinya menyambar dan dia sudah dapat menangkap pergelangan tangan Lai Kim. sementara itu, orang kedua yang tinggi kurus juga menyerbu dan hendak menangkap Ouw Yang Lan. Akan tetapi anak perempuan itu melawan. la menarik tangannya yang hendak ditangkap, bahkan tangan kanannya lalu memukul ke depan, ke arah perut si tinggi kurus itu! “Ehh...?” Si tinggi kurus tercengang, akan tetapi sambil tertawa dia menangkis terus menangkap tangan yang memukul itu, memuntirnya dan dia telah dapat meringkus Ouw Yang Lan yang lalu dipondongnya.
“Lepaskan aku! setan jahat, lepaskan aku!” Ouw Yang Lan meronta-ronta dan mencoba untük memukul dengan kedua tangannya. Si tinggi kurus itu tetawa dan sekali tangan kanannya menotok, tubuh anak itu menjadi lemas dan tidak mampu bergerak lagi. Ternyata si tinggi kurus itu pandai bersilat, bahkan menguasai ilmu menotok jalan darah. Melihat anaknya ditawan, Lai Kim yang juga sudah diringkus si muka codet itu meronta dan menjerit-jerit.
“Lepaskan anakku! Ahhhh, lepaskan anakku!” Akan tetapi si muka codet yang bertubuh tinggi besar itu sudah mengangkat dan memondongnya, bahkan lalu menciumi muka Lai Kim yang meronta dan berusaha sekuatnya untuk menghindarkan mukanya dari ciuman dan melepaskan diri dari dekapan. Orang ke tiga yang menonton semua ini hanya tertawa-tawa gembira Pada saat itu, terdengar derap kaki kuda dan Ciang Sek menunggang seekor kuda sambil menuntun seekor kuda lain mendatangi dengan cepat.
“Keparat jahanam!” bentaknya setelah tiba di tempat itu dan melihat Lai Kim meronta-ronta dalam dekapan seorang laki-laki dan Ouw Yang Lan terkulai lemas dalam pondongan seorang laki- laki lain. Dia melompat turun dari atas kudanya sambil membentak. Orang ke tiga yang tadi hanya menonton sambil tertawa-tawa, cepat menyambut Ciang Sek dengan pedang di tangan.
“Manusia lancang, apa engkau bosan hidup? Jangan mencampuri urusan kami. Hayo cepat menggelinding pergi tinggalkan dua ekor kudamu di sini!” Katanya sambil menyerang dengan pedangnya.
Serangan itu cepat dan merupakan serangan maut untuk membunuh. Ciang Sek marah sekali. Dia adalah seorang datuk, majikan dari Bukit Awan Putih yang biasanya dihormati orang dan ditakuti para tokoh dunia kang-ouw. Kini melihat dirinya diserang oleh seorang perampok biasa, tentu saja dia marah bukan main. Terutama sekali melihat Lai Kim, wanita yang telah menjatuhkan hatinya itu, dipondong dan hendak diciumi orang, hatinya menjadi panas sekali. melihat pedang yang menyambar, Ciang Sek memperlihatkan kehebatannya. ia tidak mengelak, melainkan menyambut pedang yang membacok ke arah kepalanya itu dengan tangan kiri begitu saja! Pedang itu meluncur turun dan ditangkap tangan kirinya yang telanjang. Akan tetapi tangan kirinya itu telah diisi penuh tenaga sakti menangkap dan meremas.
“Krakk!!”Pedang itupun hancur seperti kerupuk kering saja. Si penyerang terkejut dan terbelalak, akan tetapi dia tidak sempat melanjutkan keheranannya karena pada saat itu tangan kanan Ciang Sek menyambar dengan tamparan ke arah kepalanya.
“Darrr..” Kepala itu terkena tamparan tangan kanan Ciang Sek menjadi pecah berantakan. Tubuh orang itu terkulai dan tewas seketika. Si muka codet yang menjadi pimpinan gerombolan tiga orang itu, terkejut melihatbbetapa mudahnya kawannya terbunuh. Dia melempar tubuh Lai Kim ke atas tanah dan mencabut pedangnya.
“Siapakah engkau, berani mencampuri urusan kami?” bentaknya.
“Cacing busuk, memang sebaiknya engkau kau mengenalku agar tidak mati penasaran. Aku adalah Thai-Lek-Kui (Iblis Bertenaga besar) majikan Pek-In-San!” Mendengar ini, si muka codet terbelalak dan mukanya menjadi pucat. Dia cepat merangkapkan kedua tangan ke depan dada dan berkata gagap.
“Ohh... maafkan kami tidak mengenal maka berani bersikap kurang ajar... Tidak ada maaf! Engkau harus mampus ditanganku!” kata Ciang Sek sambil melangkah maju menghampiri. Melihat bahwa datuk itu tidak mau memaafkannya, si muka codet menjadi nekat.Dari pada mati konyol lebih baik melawan dulu, siapa tahu dia akan mampu menandingi datuk yang nama besarnya sudah pernah didengarnya itu. Tanpa berkata apapun dia lalu menyerang dengan pedangnya, menusuk ke arah dada lawan. Ciang Sek melihat datangnya pedang yang meluncur itu dan tahu bahwa lawannya memiliki tenaga sin-kang yang cukup kuat, sehingga dia tidak menyambut dengan tangan kosong, tidak ingin membahayakan tangannya, maka diapun memiringkan tubuhnya. Ketika pedang itu meluncur lewat secepat kilat tangan kanannya dibacokkan dengan tangan miring ke arah lengan kanan lawan yang memegang pedang.
“Krekkk!!” Seketika tulang lengan kanan si muka codet itu patah. Pedangnya terlempar dan lengan kanan itu terkulai. Pada saat itu, Thai-Lek-Kui sudah menyusulkan sebuah tendangan yang amat kuat ke arah dada lawannya.
“Dessss...!!” Tubuh yang tinggi besar dari si muka codet terlempar jauh ke belakang lalu terbanting keras dan tidak bergerak lagi karena dadanya pecah, semua tulang iganya remuk dan dia tewas seketika!
Melihat betapa dengan mudahnya Thai-Lek-Kui Ciang Sek merobohkan dua orang penjahat itu, Lai Kim yang bingung melihat si tinggi kurus sudah melarikan diri sambil memondong tubuh Ouw Yang Lan, segera tolong selamatkan anakku” la lari menghampiri Ciang Sek dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan laki-laki itu.
“Tolong selamatkan anakku... ia dibawa lari orang itu... la menuding ke arah laki-laki tinggi kurus yang masih tampak dari situ, berlari cepat sambil memondong Ouw Yang Lan. Akan tetapi Ciang Sek hanya memandang ke depan sebentar, lalu melipat kedua lengan di depan dada, dengan sikap tak acuh berkata, “Hemm, engkau sudah mencoba untuk melarikan diri dariku!” “tolonglah anakku. Cepat... tolonglah anakku...!” Lai Kim meratap kebingungan melihat orang yang membawa lari ánaknya kini sudah hampir tidak kelihatan.
“Aku mau mengejar dan menyelamatkan anakmu, hanya dengan satu syarat. Engkau harus mau menjadi isteriku. Kalau tidak, aku tidak mau menolongmu,” biar ia dibawa lari dan dicelakai orang Lai Kim menjadi bingung sekali. la menoleh dan melihat betapa bayangan orang yang melarikan anaknya sudah tidak tampak lagi Pada saat itu, satu-satunya keinginannya adalah agar anaknya diselamatkan. Untuk itu, disuruh apapun juga ia tentu mau! “Baiklah...” la meratap sambil menangis.
“Berjanjilah dengan sumpah bahwa engkau akan mau menjadi isteriku!” kata pula Ciang Sek dengan nada gembira penuh kemenangan. Sambil terisak-isak Lai Kim berkata, Aku… aku bersumpah akan suka menjadi isterimu... akan tetapi cepat tolong anaku.” “Jangan khawatir, calon isteriku yang tercinta! Anakmu juga akan menjadi anakku. Tidak ada seorangpun di dunia ini boleh mengganggunya” Setelah berkata demikin, Ciang Sek melompat ke atas punggung kudanya dan membalapkan kudanya melakukan pengejaran. Lai Kim masih berlutut, mengikuti bayangan Ciang Sek sambil menangis tersedu-sedu. la menyadari apa yang telah ia janjikan dan ia sumpahkan tadi. Berarti ia harus menjadi isteri datuk itu. Akanbtetapi apa dayanya? la tidak mempunyai pilihan lain. Demi keselamatan anaknya, ia akan rela menyerahkan nyawanya. Dan ia tahu benar bahwa ia harus menuruti kehendak Ciang Sek, kalau ia menghendaki agar anaknya itu selamat. Si tinggi kurus itu berlari secepatnya sambil memondong tubuh Ouw Yang Lan yang sudah ditotoknya sehingga anak itu tidak mampu bergerak. Orang itu lari sekuatnya dengan ketakutan. Dia melihat betapa dua orang kawannya roboh dan tewas di tangan pria tinggi besar muka merah yang amat lihai itu.
Diapun tadi mendengar bahwa pria itu adalah Thai-Lek-Kui, maka dia menjadi ketakutan dan melarikan diri. Sambil memondong tubuh Ouw Yang Lan dengan tangan kiri, dia membawa pedangnya dengan tangan kanan untuk menjaga diri. Tiba-tiba dia mendengar derap kaki kuda datang dari arah belakangnya. Si tinggi kurus menjadi terkejut sekali. Ketika dia menengok, dia melihat orang yang ditakutinya itu mengejarnya dengan menunggang kuda, datang dengan cepat sekali. Karena ketakutan dan merasa tidak berdaya melarikan diri, si tinggi kurus menjadi nekat. Dia menanti sampai kuda itu lewat dekat dan tiba-tiba dia melompat dan menyerang dengan sarnbaran pedangnya. Akan tetapl, Ciang Sek menangkis pedang itu dengan tangan kirinya dan tubuhnya melayang dari atas kuda, tangan kanannya mencengkeram dan menyambar tubuh Ouw Yang Lan.
“Takk!” Pedang terpental dan tühuh anak itu dapat direnggutnya terlepas dari pondongan si tinggi kurus.
Demikian kuatnya tangkisan tangan kiri Ciang Sek sehingga pedang itu terpental dan terlepas dari pegangan si tinggi kurus. Tentu saja dia terkejut bukan main dan tanpa berpikir dua kali, si tinggi kurus sudah membalikkan tubuh dan melarikan diri dari situ. Ciang Sek memungut pedang itu dan sekali menggerakkan tangan, pedang itu meluncur seperti anak panah cepatnya mengejar orang tinggi kurus yang melarikan diri dan menancap di punggung,demikian kuatnya tenaga lontaran itu sehingga pedang itu menembus sampai keluar dari dada! Si tinggi kurus roboh menelungkup dan ujung pedang yang keluar dari dadanya itu rnenancap di atas tanah menahan tubuhnya! Ciang Sek lalu membebaskan totokan pada tubuh Ouw Yang Lan sehingga anak itu dapat bergerak kembali. Begitu dapat bergerak dan bicara, Ouw Yang Lan teringat akan ibunya.
“Jangan khawatir, ibumu sudah kuselamatkan. Maka, jangan melarikan diri lagi dariku. Kalau tidak ada aku, tentu engkau dan ibumu sudah celaka di tangan orang-orang jahat. Mari kita menjemput ibumu.”
Ciang Sek memboncengkan Ouw Yang Lan di atas kudanya, kembali ke tempat di mana tadi dia meninggalkan Lai Kim. Setelah tiba di situ dan menurunkan Ouw yang Lan, Ciang Sek juga turun dari atas kudanya dan memandang kepada Lai Kim sambil tersenyurn senang. Lai Kim berlari menghampiri puterinya dan merangkulnya sambil menangis.
“Ibu, jangan menangis. Kita sudah dapat diselamatkan. Ternyata paman ini baik dan telah menolong kita, ibu. Lai Kim diam saja. Hatinya tidak karuan rasanya, teringat akan sumpahnya bahwa ia harus mau menjadi isteri laki-laki tinggi besar bermuka merah itu setelah Ciang Sek benar-benar berhasil menyelamatkan Ouw Yang Lan.
“Mari, kalian minum: dulu untuk menghilangkan kekagetan,” kata Ciang Sek sambil menyerahkan guci berisi air jernih yang tadi diambilnya dari sumber air di dalam hutan kepada Lai Kim. Wanita itu menerimanya dan memberi minum kepada puterinya, lalu ia sendiripun minum beberapa teguk.
Ciang Sek lalu mengajak mereka melanjutkan perjalanan. Ouw Yang Lan berboncengan dengan ibunya. Kuda rnereka berjalan perlahan di sarnping kuda yang ditunggangi Thai-Lek-Kui Ciang Sek.
Setelah mereka tiba di puncak bukit awan Putih, mereka disambut oleh anak buah Pek-In-San yang berjumlah kurang lebih lima puluh orang. Ternyata Ciang Sek tinggal di situ sebagai seorang ketua atau majikan Pek-In-San' dan memiliki sebuah gedung yang besar dan megah. Ciang Sek bersikap baik, ramah dan sopan terhadap Lai Kim sehingga akhirnya nyonya muda ini dapat ditundukkan dan suka menjadi isterinya. Lai Kim tidak mempunyai pilihan lain. Selain ia sudah bersumpah untuk mau menjadi isteri Ciang Sek, juga ia harus melindungi dan menjaga keselamatan Ouw Yang Lan. Dan satu-satunya cara untuk menyelamatkan puterinya hanya denga merelakan dirinya menjadi isteri datuk itu.
Ternyata kemudian bahwa Ciang Sek benar-benar menyayang dan mencintanya, bersikap baik juga kepada Ouw Yang Lan yang dianggap anak sendiri sehingga perlahan-lahan hati Lai Kim terhibur juga dari kedukaan. Bahkan ia harus mengakui bahwa sikap Ciang Sek sebagai seorang suami jauh lebih baik dari sikap Ouw-yang Lee yang kadang kasar kepadanya karena ia tidak mempunyai keturunan laki-laki. Ciang Sek bahkan memperlihatkan kasih sayangnya kepada Ouw Yang Lan. Dia mendatangkan seorang ahli sastra ke Pek-In-San, khusus untuk mendidik Ouw Yang Lan dalam ilmu kesusastraan, sedangkan dia sendiri menggembleng anak itu dengan ilmu silat. Ouw yang Lan berwatak keras itu akhirnya juga merasakan akan kasih sayang Ciang Sek kepadanya sehingga anak itupun menurut dan taat kepada ayah tirinya.
Pondok kayu itu kecil saja, bahkan lebih mirip sebuah gubuk, terbuat dari papan yang disambung-sambung secara sederhana dan kasar, juga atapnya dari rumput ilalang kering yang sederhana. Pondok itu berdiri di tengah hutan yang berada di lereng sebuah bukit. Suasana di situ sunyi sekali karena jauh dari pedusunan. Dikelilingi pohon-pohon dan hawanya sejuk dan jernih. Sinar matahari menerobos di antara celah-celah daun, mendatangkan cahaya yang indah di atas tanah yang ditilami rumput hijau. Di depan pondok itu terdapat sebuah lapangan rumput yang cukup luas. Seorang kakek duduk di atas bangku bambu yang terdapat di depan pondok, mulutnya tersenyum dan matanya mengiuti gerakan seorang anak laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun yang sedang membuat langkah-langkah silat di atas lapangan rumput itu.
Kakek itu berusia kurang lebih lima puluh tujuh tahun. Tubuhnya sedang, bahkan agak kurus sehingga tampak lembut dan ringkih. Pakaiannya sederhana sekali, hanya terbuat dari kain kuning yang dilibat-libatkan di tubuhnya seperti pakaian tosu (pendeta To) pertapa. Rambutnya panjang dan digelung ke atas, diikat dengan kain putih. Wajahnya yang berjenggot dan berkumis rapi itu masih memperlihatkan ketampanan. Wajah yang lembut dan cerah selalu terhias senyum yang membayangkan kesabaran dan kematangan jiwa. Matanya mencorong, akan tetapi pandang matanya lembut. Dia adalah laki-laki tua yang aneh, tidak bernama dan kalau ditanya nama mengaku bahwa namanya Bu Beng Siauw-jin (Orang Rendah Tak Bernama)! Anak laki-laki itu berusia sepuluh tahun. Seorang anak laki-laki yang tampan.
Wajahnya berbentuk bulat telur. Alisnya hitam berbentuk golok, sepasang matanya tajam bersinar-sinar, pandang matanya juga lembut, mata yang membayangkan kepekaan hati. Hidungnya mancung dan mulutnya berbentuk manis, kecil dan terhias senyum. Rambutnya hitam sekali, dipotong pendek dan diikat ke atas dengan kain kuning,Pakaiannya juga terbuat dari kain kasar dengan potongan sederhana sekali. Kakinya bersepatu kain hitam. Anak laki-laki itu adalah Wong Sin Cu, murid Bu Beng Siauw-jin. Seperti kita ketahui, Sin Cu yang pada tujuh tahun lalu disambar seekor burung rajawali raksasa dan diterbangkan ke sarangnya, nyaris menjadi mangsa anak-anak burung itu, telah tertolong oleh Bu-Beng Siauw-jin. Semenjak saat itu, Sin Cu menjadi murid kakek aneh itu dan diajak berkelana, karena kakek itu tidak mempunyai ternpat tinggal yang tetap.
Bu Beng Siauw-jin telah berusaha untuk mencari orang bernama Wong Cin yang diakui sebagai ayahnya oleh Sin Cu, namun usahanya sia-sia belaka. Setelah tiga bulan lebih berkeliaran di sekitar daerah ditemukannya anak itu, mencari-cari, akhirnya dia mengambil keputusan untuk membawa anak itu berkelana sebagai seorang muridnya. sambil berkelana, kakek itu mengajarkan ilmu bun (sastra) dan bu (silat) kepada Sin Cu. Pada tahun-tahun pertama, Sin Cu masih suka rewel dan menanyakan ayah ibunya kepada gurunya. Akan tetapi akhirnya anak itu dapat menerima kenyataan bahwa ayah ibunya telah berpisah dari dirinya, tidak tahu entah berada di mana, sudah mati ataukah masih hidup. Yang diketahuinya hanya bahwa ayahnya bernama Wong Cin. Selebihnya dia tidak tahu lagi. Bahkan bagaimana wajah ayah ibunyapun dia sudah tidak dapat ingat lagi.
Setelah bertahun-tahun hidup bersama gurunya, dia mendapatkan kasih sayang gurunya dan menganggap gurunya sebagai pengganti orang tuanya, satu-satunya orang yang mengasihi dan dikasihinya, satu-satunya anggauta keluarga. Pada waktu itu, Bu Beng Siauw-jin yang tertarik oleh keindahan tempat di lereng bukit itu, membangun sebuah pondok dan untuk sementara tinggal di situ. Dalam memberi pelajaran ilmu silat kepada Sin Cu, Bu Beng Siauw-jin menekankan pentingnya berlatih mermasang kuda-kuda yang kokoh kuat, lalu mengatur langkah-langkah yang mantap. Pada pagi hari itupun kembali dia menyuruh Sin Cu berlatih langkah-langkah sambil memasang kuda-kuda. Kalau anak itu merasa bosan walaupun anak itu tidak berani menyatakan Bu Beng Siauw-jin dapat mengetahui perasaan dan kebosanannya muridnya itu dengan kata-kata lembut, dia berkata.
“Jangan kaupandang ringan pelajaran memasang bhe-si (kuda- kuda) dan mengatur langkah-langkah ini, Sin Cu. Ketahuilah bahwa kuda-kuda dan langkah-langkah itu merupakan dasar dari ilmu silat, seperti pondasi dari sebuah bangunan. Kalau pondasi itu kurang kuat, maka bangunan itu mudah runtuh. Dengan bhe-si (kuda-kuda) yang kokoh kuat, engkau tidak mudah dirobohkan lawan, dan dengan langkah-langkah yang teratur dan tepat engkau akan mendapatkan kelincahan, dapat menghindarkan diri dengan mudah dari serangan lawan dan dapat membalas serangan dengan cepat dan tepat.” Sin Cu amat patuh kepada gurunya yang dia hormati dan sayang. Juga dia seorang anak yang cerdik, maka dia dapat mengerti akan maksud gurunya dan kini dia tidak pernah lagi merasa bosan kalau disuruh berlatih sendiri. latihan yang tekun ini membuat kedua kakinya dapat memasang kuda-kuda yang kokoh kuat, dan kedua kaki itu Tanpa disadarinya dapat membuat langkah-langkah yang gesit sekali, Bu Beng Siauw-jin bangkit berdiri dan menghampiri muridnya.
“Berhentilah melangkah dan pasang kuda-kuda yang kuat!” kata kakek itu. Setelah Sin Cu menghentikan langkahnya dan memasang kuda-kuda Ji-Ma-Se (Menunggang Kuda) tiba-tiba Bu Beng Siauw-jin menggunakan kakinya menendang atau mendorong tubuh anak itu dari depan. Dorongan kaki itu kuat sekali, akan tetapi tubuh Sin Cu tidak terjengkang. Hanya kedua kakinya yang memasang kuda-kuda itu saja yang tergeser ke belakang, namun kedua kaki itu tidak pernah terangkat, seolah telah melekat kepada tanah! Bu Beng Siauw-jin mengulangi ujiannya, mendorong dari samping, dari belakang beberapa kali. Namun tidak pernah kedua kaki Sin Cu terangkat, hanya terdorong dan tergeser ke depan, ke samping atau ke belakang. Bu Beng Siauw-jin mengangguk-angguk sambil tersenyum.
“Bagus! Latihanmu sudah berhasil. Setelah kuda-kudamu kuat dan engkau mahir mengatur langkah, barulah aku akan mengajarkan gerakan kaki tangan untuk bersilat kepadamu!” Sin Cu menghentikan latihannya dan dia merasa girang sekali. Untuk dapat berlatih silat, dia harus menanti sampai empat lima tahun! Selama empat lima tahun dia hanya diharuskan berlatih memasang kuda-kuda dan mengatur langkah-langkah! kalau saja Sin Cu bukan seorang anak yang patuh kepada gurunya,, tentu dia sudah merasa muak dan bosan. Dan di luar sadarannya sendiri, dia telah menguasai gesitan yang luar biasa. Bu Beng Siauw-jin mengajak muridnya duduk di atas bangku di depan pondok mereka. Setelah anak itu duduk dan mengusap keringatnya yang membasahi leher, Bu Beng Siauw-jin berkata, “Sin Cu, engkau telah memiliki dasar yang cukup kokoh. Akan tetapi yang menjadi dasar ilmu silat bukan hanya itu. Masih ada lagi syarat untuk dapat menjadi ahli silat yang, baik, yaitu tenaga. Engkau harus memiliki tenaga yang kuat dan tenaga yang kuat adalah tenaga sakti yang terdapat dalam tubuh setiap orang manusia. Akan tetapi tenaga sakti itu harus dibangkitkan melalui latihan pernapasan dan samadhi. Nah, mulai sekarang engkau harus berlatih pernapasan dan siu-lian (samadhi).” Mulai pagi hari itu, Sin Cu diberi pelajaran bersamadhi dan berlatih pernapasan untuk menghimpun sinkang (tenaga sakti). Dia disuruh duduk bersila dibawah cahaya matahari dan setelah memberi petunjuk, Bu Beng Siauw-jin meninggalkannya untuk berlatih seorang diri.
Setelah gurunya pergi dan dia duduk bersila seorang diri, mulai belajar bersamadhi, Sin Cu tidak dapat mengosongkan pikirannya. Bahkan bermacam pikiran timbul sehubungan dengan apa yang dipelajarinya dari gurunya. Dia lebih senang mempelajari sastra, karena dari pelajaran itu kini dia sudah pandai membaca dan menulis. Yang lebih menyenangkan lagi, dengan kepandaian ini, dia dapat membaca kitab-kitab yang kadang didapatkan gurunya, kitab-kitab kuno tentang sejarah tokoh-tokoh jaman dahulu dan juga kitab-kitab agama Budha dan agama To. Akan tetapi ilmu silat? Untuk apa dia mempelajari ilmu silat? Dan dia sendiripun tidak pernah tahu, sampai di mana kepandaian gurunya tentang ilmu silat. Selama tujuh tahun ini, gurunya tidak pernah memperlihatkan kepandaiannya dalam ilmu silat itu.
Pernah memang dia melihat gurunya dapat berlari secepat terbang, akan tetapi hanya itulah yang pernah dilihatnya, bahkan itupun ketika dia masih kecil dahulu. Tiba-tiba terdengar tangis seseorang. Dari suara tangisnya, dapat diduga bahwa yang menangis itu tentu seorang anak anak. Tentu saja gangguan suara yang tidak wajar ini membuat Sin Cu tidak dapat melanjutkan samadhinya. Dia membuka kedua matanya dan bangkit berdiri. Dia melihat gurunya juga keluar dari pondok untuk melihat siapa yang menangis. Seorang anak laki-laki yang sebaya dengannya, berusia kurang lebih sepuluh tahun, berpakaian seperti anak petani,berjalan dekat pondok sambil menangis. Tangan kanannya memegang sebatang pecut, punggung tangan kirinya digosok- gosokkan mata dan dia menangis tersedu-sedu. Bu Beng Siauw- jin menghadang anak itu.
“Anak baik, kenapa engkau menangis?” Sambil menggosok-gosok matanya dan masih menangis, anak itu berkata, “... huhuuu... dua ekor sapiku dibawa pergi orang hu-huuu!” “Dibawa pergi? Siapa yang membawa pergi dan ke mana?” tanya kakek itu. Sin Cu sudah menghampiri anak itu da berkata dengan suara menghibur, “Sobat,ceritakanlah apa yang telah terjadi. Suhu ku tentu akan menolongmu.” Anak laki-laki itu memandang kepada Sin Cu, lalu kepada Bu Beng Siauw-jin, dan dia menahan isaknya lalu bercerita.
“Tadi aku menggembala dua ekor sapiku di padang rumput di lereng bawah sana. Lalu muncul dua orang laki-laki yang galak dan mereka merampas dua ekor sapiku dan dibawa lari mendaki bukit lalu menghilang ke dalan hutan. Mereka mengancam aku dengan golok. Aku lalu mencari mereka sampai ke sini... hu-huuu ayah tentu akan marah dan memukuli aku kalau dua ekor sapi itu hilang...” “Tenanglah, nak. Kami akan mencari dan menemukan dua ekor sapi itu. Kau tunggu saja di pondok: kami ini. Hayo, Sin Cu, engkau ikut denganku!” Setelah berkata demikian, Bu Beng Siauw-jin memegang tangan Sin Cu dan begitu dia menggerakkan kaki untuk berlari cepat, Sin Cu merasa betapa kedua kakinya terangkat dari atas tanah dan tubuhnya seperti melayang ke depan dengan cepat sekali! Dia membuka mata lebar-lebar dan tahu bahwa dengan memegang pergelangan tangannya, suhunya telah mengangkatnya.
Tampak pohon-pohon seperti bergerak dan berlari dari depan. Dengan kecepatan luar biasa, Bu Beng Siauw-jin membawa Sin Cu keluar dari dalam hutan lalu memasuki hutan besar di depan. Baru saja memasuki hutan itu, mereka mendengar suara banyak orang, suara orang bercakap-cakap dan ada yang tertawa-tawa. Bu Beng Siauw-jin menuju ke arah suara dan tampaklah di tengah hutan itu belasan orang sedang bercakap-cakap. Ada yang sedang bekerja memasak air dan ada pula yang sibuk hendak menyembelih dua ekor sapi gemuk yang ditambatkan pada batang pohon. Mengertilah Bu Beng Siauw-jin bahwa si pencuri sapi tentu berada di antara belasan orang itu dan dua ekor sapi gernuk itulah milik anak yang menangis tadi. Mereka berdua mengintai dari balik pohon dan Bu Beng Siauw-jin berbisik kepada muridnya.
“Sin Cu, dalam keadaan begini apa yang akan kaulakukan terhadap mereka?” Mereka harus ditegur karena mencuri sapi dari anak itu, dan minta agar dua ekor sapi itu dikembalikan, diserahkan kepada kita untuk kita kembalikan kepada yang berhak.” “Hemm, bagaimana kalau mereka menolak dan bahkan marah kepadamu?” Sin Cu tertegun. Apa yang dapat dia lakukan? Dia tidak dapat menjawab. Bu Ben Siauw-jin yang dapat mengerti akan isi hati Sin Cu yang kebingungan itu lalu berkata.
“Inilah sebabnya nengapa engkau perlu mempelajari ilmu silat, Sin Cu. Selama ini engkau agaknya kurang menghargai perlunya menguasai ilmu silat dengan baik. Dengan penguasaan ilmu silat, engkau akan mampu memaksa orang-orang ini mengembalikan dua ekor sapi yang mereka rampas dari anak itu. Dengan ilmu silat engkau akan mampu melindungi dan menolong yang lemah tertindas dan mampu menentang yang kuat dan jahat. Akan tetapi, beranikah engkau menegur mereka dan minta agar dua ekor sapi itu diserahkan kepada kita untuk kembalikan kepada yang berhak?” Biarpun dia belum menguasai ilmu silat,namun Sin Cu adalah seorang anak yang berani dan tabah. Dia merasa dirinya benar, maka timbul keberaniannya. Dengan tenang dia melangkah keluar dari balik pohon. Dia tidak berhenti walaupun melihat gurunya tidak ikut keluar dan dia lalu menghampiri rombongan orang itu. Belasan orang itu mengangkat muka memandang ketika mendengar langkah kaki Sin Cu menginjak daun kering. Melihat seorang anak laki-laki, mereka mengira bahwa anak itu tentulah si pemilik sapi seperti diceritakan dua orang kawan mereka yang merampas sapi itu dan yang sekarang hendak mereka sembelih dan mereka pergunakan untuk pesta pora.
“Hei, bocah! Mau apa engkau di sini? relakan dua ekor sapimu dan pergilah dari sini, atau engkau juga akan kami sembelih!” seorang di antara mereka menggertak untuk menakut nakuti Sin Cu, “Dia bukan pemilik sapi itu!” kata seorang laki-laki gendut pendek, seorang di antara dua orang perampas sapi tadi.
“Kalau begitu, siapakah engkau, bocah! Dan mau apa engkau berkeliaran ke sini?” tanya seorang lain yang bertubuh tinggi besar sambil menghampiri Sin Cu.
“Namaku Wong Sin Cu!” kata Sin Cu dengan tenang dan tabah sambil melangkah maju mendekat.
“Mau apa engkau ke sini?” tanya si tinggi besar sambil mengamati pakaian Sin Cu yang kasar sederhana.
“Engkau hendak mengemis? Bukan di sini tempatnya. Hayo pergi!” “Paman, aku datang untuk menyadarkan para paman sekalian. Paman sekalian telah bertindak salah dan jahat, merampas dua ekor sapi milik anak dusun yang tidak berdosa. Kalian membuat anak itu menangis ketakutan karena dia tentu akan dimarahi ayahnya yang kehilangan dua ekor sapinya. Karena itu, aku mohon dengan hormat, berikanlah dua ekor sapi itu kepadaku untuk kukembalikan kepada yang berhak.” “Bocah gilal Apa kaubilang? Apa kau sudah bosan hidup bicara seperti itu kepada kami?” bentak si tinggi besar. “Hayo pergi atau aku akan memukuli sampai pecah kepalamu!” “Paman, aku ingin menyadarkun kalian, Apa yang kalian lakukan adalah suatu kejahatan, dan kejahatan akhirnya akan menimpa diri kalian sendiri,” kata Sin Cu, mengulang kata-kata yang pernah dibacanya dalam kitab-kitab agama.
“Keparat!” Si tinggi besar itu melangkah maju dan tiba-tiba kaki kirinya menendang. Cepat dan keras sekali tendangannya dan kalau tendangan ini mengenai tubuh Sin Cu, tak dapat diragukan lagi tubuh anak itu akan terpental jauh seperti bola ditendang. Akan tetapi pada saat itu, Sin Cu teringat akan gerakan langkah langkahnya dan secara otomatis kakinya melangkah ke samping dan tendangan itu luput.
“Ehhh...?” Laki-laki tinggi besar itu terkejut dan merasa heran sekali. Dia adalah seorang ahli silat yang terkenal sekali akan lihainya tendangan kakinya. Akan tetapi sekali ini, menendang seorang bocah berusia sepuluh tahun yang berdiri demikian dekat dengannya, endangannya itu luput dan dapat dielakkan oleh anak itu! Tentu saja dia menjadi penasaran sekali dan cepat kaki kanannya mencuat, menyusulkan tendangan yang lebih cepat dan lebih kuat lagi. Akan tetapi, dengan otomatis, tanpa dipikir lagi, Sin Cu menggerakkan kakinya mengatur langkah-langkah yang sudah selama lima tahun dilatihnya setiap hari dan tendangan itupun luput! Lima enam kali menyusul tendangan bertubi-tubi dan berganti-ganti dengan kedua kaki yang besar dan panjang itu. Namun semua tendangan itu hanya mengenai angin, sama sekali tidak dapat menyentuh tubuh Sin Cu! Sin Cu sendiri sampai merasa terheran-heran. Dia melangkah demikian mudahnya, akan tetapi semua tendangan itu dapat dihindarkannya dengan mudah. Barulah dia menyadari bahwa apa yang dilatihnya selama ini mengandung manfaat yang amat besar. Hatinya menjadi gembira dan dia menggerakkan kedua kaki dan tubuhnya dengan lebih teratur lagi.
Si tinggi besar kini bukan hanya menendang, melainkan juga memukul. Akan tetapi seperti juga tendangannya, semua pukulannya mengenai tempat kosong! Dia sama sekali tidak dapat mengerti bagaimana anak kecil itu dapat mengelakkan semua serangannya dengan demikian tepatnya. Bahkan Sin Cu sendiri tidak tahu bahwa sebetulnya dia telah mulai menguasai sebuah ilmu langkah yang hebat, yang disebut Chit-Seng-Sin-Po (Langkah Sakti Tujuh Bintang), satu di antara ilmu-ilmu aneh yang dimiliki Bu Beng Siauw-jin. Änggauta gerombolan yang bertubuh pendek gendut yang melihat betapa kawannya belum juga dapat memukul roboh anak itu, menjadi penasaran dan marah. Diapun melompat dekat dan bantu memukul Sin Cu. Akan tetapi sungguh aneh! Beberapa kali pukulannya yang dia lakukan bertubi-tubi juga selalu mengenai tempat kosong.
Tubuh anak itu bergerak-gerak aneh dan selalu dapat rmenghindar dari semua pukulan dan tendangan dua orang itu! Kini belasan orang gerombolan itu menghentikan kesibukan mereka dan semua menonton. Banyak di antara mereka yang menertawakan dua orang yang mengeroyok Sin Cu dan juga belum juga dapat merobohan anak itu. Mendengar betapa mereka ditertawakan, dua orang itu menjadi semakin penasaran dan marah. Mereka lalu mencabut golok yang tergantung di pinggang mereka dan mulai menyerang Sin Cu dengan menggunakan golok mereka! Tentu saja hati Sin Cu merasa terkejut dan ngeri juga melihat dua batang golok yang berkilauan itu menyambar-nyambar ke arah tubuhnya. Otomatis kedua kakinya bergerak tubuhnya berputaran dan dia masih selalu dapat menghindarkan diri dari sambaran sinar golok. Tiba-tiba terdengar seruan, “Siancai (damai) Betapa kejamnya dua hati orang dewasa yang berniat untuk membunuh seorang anak-anak!” Dan pada saat itu, tiba-tiba saja dua batang golok yang sudah siap digerakkan dan dibacokkan itu tertahan di udara. Yang tampak hanya bayangan Bu Beng Siauw-jin yang berkelebatan dan dua batang golok. itu terlepas dari pegangan pemiliknya, mencelat dan disusul robohnya dua orang itu yang terpelanting karena kaki mereka disabet kaki Bu Beng Siauw-jin. Laki-laki setengah tua berjenggot panjang yang agaknya menjadi pimpinan gerombolan itu melompat ke depan Bu Beng Siauw-jin, sedangkan dua orang yang tadi roboh sudah berlompatan bangun kembali. Si jenggot panjang ini berusia empat puluh lima tahun, tubuhnya juga tinggi besar dan mukanya bengis, di punggungnya tergantung sepasang pedang. Dia menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Bu Beng Siauw-jin dan mermbentak.
“Dari mana datangnya kakek siluman yang berani membikin kacau di sini?” Bu Beng Siauw-jin menjawab dengan sikap tenang dan sabar.
“Sobat, pertimbangkanlah, siapa yang telah membikin kacau di daerah ini? Dua orang di antara anak buahmu telah merampas dua ekor sapi milik seorang anak kecil. Muridku itu datang hanya untuk menyadarkan kalian dari kesalahan, akan tetapi dua orang anak buahmu bahkan berusaha membunuh muridku. Siapakah yang membikin kacau?” “He, tua bangka! Apa perdulimu? Beranı engkau mencampuri urusan kami. Siapakah engkau? Apa tidak pernah mendengar bahwa aku Siang-Kiam Mo-Ko (Iblis Berpedang Pasangan) yang menguasai daerah ini? Karena kami yang menguasai daerah ini, maka segala apa yang terdapat di daerah ini dapat saja kami ambil. Siapa engkau? Perkenalkan nama agar engkau tidak sampai mampus tanpa nama!” Bu Beng Siauw-jin tersenyum sabar dan tenang sekali. “Sian-cai! Aku memang tidak mempunyai nama. Sebut saja aku Bu Beng Siauw-jin.” “Bu Beng Siauw-jin (Orang Rendah Tak Bernama)? Ha-ha-ha-ha! Sebentar lagi engkau akan menjadi Setan Tanpa Nama!” Siang- Kiam Mo-Ko tertawa dan para anak buahnya ikut menertawakan kakek itu. Akan tetapi Bu Beng Siauw-jin tidak menjadi marah, bahkan ikut pula ter tawa gembira! Melihat ini, Siang-kiam Mo ko menggerakkan kedua tangannya dan sepasang pedang itu sudah berpindah dari belakang punggung ke dalam kedua tangannya. Dia menyilangkan sepasang pedang itu di depan dada dan berlagak gagah.
“Bu Beng Siauw-jin, keluarkan senjatamu. Jangan nanti mengatakan bahwa aku bertindak sewenang-wenang menyerang lawan yang tidak bersenjata!” “Hemm, sikapmu ini cukup gagah Siang-Kiam Mo-Ko. Hanya sayang, kegagahanmu .kaupergunakan untuk bertindak dengan sewenang-wenang memaksakan kehendakmu. Sekali lagi, aku mendukung peringatan yang diberikan muridku. Sadarlah akan kesalahanmu, kembalikan dua ekor sapi itu dan selanjutnya, pimpinlah anak buahmu ke jalan yang benar, jalannya orang-orang gagah yang membela kebenaran dan keadilan.” “Cukup! Kalau dengan kata-kata engkau mengharapkan dapat terlepas dari tanganku, engkau mimpi! Keluarkan senjatamu! bentak Siang-Kiam Mo-Ko.
“Aku tidak pernah membawa senjata Mo-Ko,” kata Bu Beng Siauw- jin.
“Kalau begitu, mampuslah dan jangan penasaran!” Bentak Siang kiam Mo-Ko dan diapun sudah menerjang ke depan, sepasang pedangnya menyambar dari kanan kiri dengan gerakan menggunting. Kalau sambaran kedua batang pedang itu mengenai sasaran, tentu leher dan pinggang kakek itu akan putus! Akan tetapi, orang berjenggot panjang itu terbelalak. Dia yakin bahwa sepasang pedangnya tidak akan luput dari sasaran, Akan tetapi ternyata sepasang pedang itu hanya membacok angin saja dan tubuh kakek itu seperti bayang-bayang saja yang tidak dapat dibacok. Pada hal, tentu saja sesungguhnya tidak begitu, melainkan karena cepatnya kakek itu bergerak sehingga tubuhnya seolah berubah menjadi bayangan. Siang-Kiam Mo-Ko menjadi penasaran. Dia mengeluarkan suara gerengan dan menggerakkan sepasang pedangnya dengan gaya silat yang bengis sekali, sepasang pedang itu berubah menjadi dua gulungan sinar yang menyambar nyambar membacoki bayangan kakek itu. Namun, tetap saja sepasang pedang yang mengeluarkan suara berdesingan itu hanya mengenai angin belaka. Sampai lebih dari dua puluh jurus Siang-Kiam Mo-Ko mengamuk dan menyerang bertubi-tubi dan selalu Bu Beng Siauw-jin hanya mengelak. Akan tetapi tiba-tiba terdengar kakek itu berseru, “Mundurlah!” dan dia mendorong dengan tangan kirinya ke arah Siang-Kiam Mo-Ko yang masih menggerakkan sepasang pedangnya dengan cepat.
Serangkum angin yang amat kuat menyambar dan kepala gerombolan itu berusaha untuk mengerahkan tenaga menahan diri, namun tetap saja tubuhnya terdorong oleh tenaga angin yang amat kuat.itu sehingga dia terjengkang dan roboh bergulingan sampai beberapa meter jauhnya! Bagi orang biasa yang berakal sehat pengalaman ini tentu sudah cukup untuk membuka matanya bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang sakti. Akan tetapi Siang-Kiam Mo-Ko adalah seorang tokoh kangouw yang terbiasa memaksakan kehendaknya melalui kekerasan, maka bagi seorang seperti dia itu, amatlah sulit untuk dapat menerima kekalahan dan mengakui kelemahan sendiri. Pengalaman tadi bahkan membuat dia marah bukan main. Sambil merangkak bangun karena dia tidak terluka, dia memberi aba-aba kepada para anak buahnya.
“Serbu! Bunuh setan tua itu!” Limabelas orang anak buah gerombolan itu sudah mencabut golok dan pedang mereka dan bagaikan kesetanan mereka menyerbu dan menghujankan senjata mereka pada tubuh kakek yang agak kurus itu. Akan tetapi, kembali terjadi keanehan. Tubuh itu berkelebat dan seolah menjadi bayang-bayang yang berkelebatan di antara belasan batang golok dan pedang itu. Sejak tadi Sin Cu berdiri di bawah pohon dan menonton. Ketika tadi gurunya diserang secara bertubi-tubi oleh Siang-Kiam Mo-Ko, dia menonton penuh perhatian. Dia dapat melihat betapa gurunya juga menggunakan langkah-langkah reperti yang telah dia pelajari, sampai gurunya mendorong dengan tangan kiri merobohkan lawan. Kini dia melihat belasan orang itu mengeroyok suhunya, namun dengan enak dan mudahnya gurunya mengatur langkah dan dapat menghindarkan diri dari sambaran belasan senjata tajam.