Sepasang Rajah Naga Chapter 10

Sepantasnya pandangan itu penuh rasa iba, bukan penuh rasa benci! Para wanita itu menjadi korban keadaan, bahkan sebagian besar menjadi korban kekejaman kaum pria yang menjerumuskan mereka kepada pekerjaan seperti itu. Coba lihat saja aku! Aku tidak sudi melayani mereka, akan tetapi apa yang dilakukan para pria? Mereka membujukku dengan rayuan, dengan uang, dengan kedudukan dan kuasa, bahkan dengan kekerasan! Kalau aku lemah dan terseret oleh mereka, apakah kesalahannya hanya di jatuhkan kepadaku seorang? Dipandang hina? Sedangkan para pria yang berdatangan ke tempat ini, yang menghamburkan uang, mengkhianati isteri dan tunangannya, hanya untuk mengejar kesenangan, sama sekali tidak pernah dipersalahkan! Apakah engkau pernah merasa jijik dan benci kepada para pemuda bangsawan dan hartawan yang berdatangan ke rumah-rumah pelesir seperti ini? Pernahkah? Kalau tidak pernah, maka kebencianmu terhadap para pelacur itu membuatmu menjadi munafik besar yang sama sekali tidak adil.” Wajah yang putih kemerahan itu kini menjadi semakin merah, sepasang matanya bersinar-sinar dan dalam kemarahannya, gadis itu tampäk anggun dan agung dalam pandangan Sin Cu. Ucapan yang mengandung pembelaan terhadap para pelacur itu seolah menikam hati Sin Cu dan membuka hatinya. Dia dapat menyelami ucapan itu dan dapat melihat kenyataan yang terkandung di dalamnya. Sin Cu memberi hormat dan mengangkat kedua tangan depan dada.

“Nona, maafkanlah aku. Ucapanmu itu benar-benar menyadarkan dan membuka mataku. Mulai saat ini aku berjanji tidak akan lagi memandang rendah dan jijik, apa lagi benci terhadap para wanita yang sengsara itu. Maafkan aku dan aku mohon diri” Sin Cu memutar tubuhnya dan hendak meninggalkan taman yang mulai diliputi kegelapan senja itu.

“Sobat, tunggu dulu!” Suara merdu itu menahannya dan Sin Cu menahan langkahnya lalu membalikkan tubuhnya menghadapi gadis itu.

“Ada apakah, nona?” Siang Bi Hwa tersenyum, manis sekali.

“Ah, aku yang minta maaf kepadamu, sobat, Engkau telah menyelamatkan aku dari malapetaka dan apa yang kaudapat dariku sebagai balasan? Ucapan yang keras dan kasar! Maafkan aku dengan ucapanku tadi.” “Tidak ada yang perlu dimaafkan, nona. Ucapanmu tadi memang benar sekali, bahkan aku berterima kasih karena kata-katamu itu menyadarkan aku bahwa selama ini aku bersikap dan berpemandangan tidak adil.” “Nanti dulu sebentar! Agaknya tidak pantaslah kalau engkau yang sudah menyelamatkan aku, kemudian kita sudah begini panjang lebar bercakap-cakap, tidak saling berkenalan. Bolehkah aku mengetahui namamu, in-kong (tuan penolong)?” “Ah, harap jangan sebut aku in-kong, nona. Aku hanyalah seorang perantau biasa yang miskin dan bodoh. Sudah tentu engkau boleh mengetahui namaku, nona. Aku bernama Wong Sin Cu, seorang perantau yang hidup sebatangkara dan tidak memiliki tempat tinggal tertentu.” “Ah, Wong-Twako (kakak Wong), apakah... apakah engkau sudah tidak mempunyai orang tua lagi?” tanya Siang Bi Hwa dengan suara mengandung iba dan haru. Sin Cu menggeleng kepalanya.

“Aku tidak tahu, nona. Sejak berusia tiga tahun aku telah berpisah dari ayah ibuku dan sejak kecil aku sudah ikut dengan guruku. Aku sekarang sedang dalam perjalanan untuk menyelidiki dan mencari orang tuaku.” “Aih, mudah-mudahan saja engkau akan dapat bertemu dengan mereka, Wong Twako. Engkau sudah memperkenalkan diri Twako, sekarang aku akan memperkenalkan namaku.” “Namamu sudah amat terkenal di kota ini, nona. Aku sudah mendengar bahwa namamu adalah Siang Bi Hwa, dikenal oleh semua orang tua muda pria wanita. Namamu terkenal sekali” “Engkau keliru, Twako, Siang Bi Hwa itu hanya nama julukanku saja. Nama aseliku memang tidak banyak orang yang tahu, akan tetapi engkau boleh mengetahuinya. Nama aseliku adalah Ouw Yang Hui dan aku hanyalah anak angkat seorang mucikari yang kau pandang rendah dan hina pekerjaannya.

“Hanya anak angkat? Lalu, siapa dan ke mana orang tuamu, nona?” “Harap jangan panggil nona kepadaku, Twako. Aku sudah memanggilmu kakak, apakah engkau tidak mau memanggil adik?” “Baiklah, Hui-moi (adik Hui), namamu indah sekali. Lalu ke mana orang tua kandungmu?” Siang Bi Hwa atau Ouw Yang Hui tidak ingin memperkenalkan ayahnya yang menjadi datuk dan majikan Pulau Naga. lapun malu untuk bertemu ayah dan ibu kandungnya, merasa malu karena sekarang ia menjadi anak seorang mucikari yang hina! Alisnya berkerut ketika ia ditanya tentang ayah ibunya dan menjawab lirih.

“Nasib kita sama, Cu-Ko (kakak Cu) Akupun sejak kecil sudah berpisah dari kedua orang tuaku. Akan tetapi engkau lebih beruntung. Engkau dipelihara dan dididik gurumu menjadi seorang pendekar yang lihai dan budiman. Sebaliknya aku aku dipelihara dan dididik oleh seorang mucikari sehingga menjadi... seperti ini.” “Akan tetapi, engkau telah menjadi seorang gadis yang luar biasa! Engkau dikagumi dan dihormati orang, terutama para pemudanya!” Siang Bi Hwa menghela napas dan menggeleng kepalanya.

“Mungkin saja mereka itu kagum kepadaku, akan tetapi menghormatiku? Hanya pada lahirnya saja mereka menghormatiku, akan tetapi di dalam hatinya, mereka itu memandang rendah kepadaku, menganggap aku sama rendahnya dengan para gadis penghibur anak buah ibu.” kata gadis itu dan suaranya terdengar lirih dan sedih. Pada saat itu terdengar teriakan Cia-Ma dari pintu belakang.

“Bi Hwa! Hari sudah mulai gelap! Masuklah, di taman banyak nyamuk!” Mendengar ini, Sin Cu lalu menyelinap ke balik semak- semak dan berkata, “Sudahlah, Hui-moi. Aku harus pergi. Tidak baik kalau sampai aku terlihat orang lain berada di sini!” “Cu-Ko... kapankah kita dapat saling bertemu kembali...?” “Entahlah, Hui-moi. Kalau Thian menghendaki, tentu kelak kita akan berjumpa kembali. Engkau jaga dirimu baik-baik, Hui-moi.” “Aku juga tidak akan melupakanmu, Hui-moi. Selamat tinggal.” “Selamat Jalan Cu-Ko,” suara gadis itu mengandung kekecewaan dan kedukaan karena ia merasa kehilangan. Biarpun baru saja berjumpa dan berkenalan dengan pemuda itu, rasanya seperti mereka sudah berkenalan lama dan menjadi sahabat baik.

“Bi Hwa... !” Daun pintu belakang terbuka dan tubuh gemuk Cia- Ma masuk ke dalam taman.

“Aku disini ibu...! Seru Bi Hwa yang melihat bayangan Sin Cu berkelebat lenyap dari situ.

“Aihh, malam sudah mulai tiba dan kau belum masuk?” Cia-Ma menghampiri gadis itu.

“Mari masuk, anakku, engkau nanti bisa masuk angin.” la menggandeng dan membimbing tangan gadis itu dan mereka berjalan ke arah pintu belakang.

“Bi Hwa, aku sudah mendengar dari para Kongcu betapa engkau mengalahkan dan mengusir Su-Kongcu dan dua orang jagoannya.

Ya Tuhan, bagaimana engkau dapat melakukannya, Bi Hwa? Menurut cerita mereka, engkau menalukkan orang-orang jahat itu dengan menggunakan sihir! Benarkah itu?” “Ah, ibu. Dari mana aku dapat mempelajari ilmu sihir? Aku hanya percaya sepenuhnya bahwa orang yang tidak bersalah pasti mendapatkan perlindungan dari Tuhan. Tuhan tentu mengutus seseorang dewa penolong untuk menyelamatkan orang yang tidak bersalah dan menentang mereka yang jahat.” “Wah, jadi engkau telah ditolong oleh seorang dewa, Bi Hwa?” tanya Cia-Ma dengan mata terbelalak kagum Siang Bi Hwa tersenyum. la tahu bahwa ibu angkatnya ini seorang yang percaya akan tahyul dan seringkali ke kuil-kuil untuk mohon berkah pertolongan para dewa. la pikir tidak perlu ia menceritakan tentang Wong Sin Cu karena belum tentu ibunya percaya akan ceritanya itu. Bi Hwa mengangguk.

“Benar, ibu. Seorang dewa telah menolongku dan menyelamatkan aku dari gangguan Su-kongou dan dua orang tukang pukulnya.” “Hemm, kalau begitu aku harus membuat sembahyangan untuk menghaturkan terima kasih kepada dewa penolongmu. Siapakah dewa penolong itu, Bi Hwa?” “Aku... aku tidak tahu siapa dia, ibu.” “Bagaimana rupanya, Bi Hwa? Apakah dia tinggi besar, berkumis berjenggot dan mukanya hitam?” Hampir saja Bi Hwa tertawa mendengar gambaran itu. Wong Sin Cu sama sekali tidak seperti gambaran itu, melainkan seorang pemuda yang tampan dan tampak lemah lembut. Akan tetapi agar tidak berkepanjangan, iapun mengangguk.

“Ah, kalau begitu, tentu beliau itu Dewa Penjaga Bumi yang kuilnya berada didusun sebelah timur kota. Aku akan segera melakukan sembahyangan di kuil itu, Bi Hwa!” kata Cia-Ma dengan girang. Mereka masuk ke kamar Bi Hwa dan duduk berhadapan di dalam kamar itu, di atas kursi menghadapi meja kecil.

“Ibu, melihat kejadian tadi, aku sekarang merasa tidak suka untuk bermain musik dan bernyanyi di taman untuk ditonton para Kongcu itu,” kata Bi Hwa sambil mengerutkan alisnya. Cia-Ma terkejut.

“Aih, jangan begitu, Bi Hwa! Para Kongcu itu hanya sekedar hendak menonton dan mendengarkanmu. Kalau hal ini ditolak, tentu mereka akan menjadi marah sekali dan tidak sudi lagi datang berkunjung ke rumah kita. Ini berarti kita akan bangkrut dan pula, kita tidak dapat melakukan pilihan di antara para pemuda bangsawan itu untuk menjadi calon suamimu.” Siang Bi Hwa menghela napas panjang.

“Hemm, baiklah, ibu. Aku akan bernyanyi untuk mereka, akan tetapi ibu harus menjaga benar-benar agar peristiwa seperti tadi jangan sampai terulang lagi. Dan pula, ibu lalu bicara tentang perjodohan. Terus terang saja, ibu, aku tidak suka menjadi isteri dari seorang di antara para Kongcu bangsawan itu. Mereka itu hanya pandai berpelesir memamerkan kekayaan dan mengandalkan kedudukan ayah mereka untuk bersikap sewenang-wenang. Pemuda-pemuda seperti itu tidak dapat diharapkan untuk menjadi seorang suami yang baik.” “Ahh, soalnya karena belum saatnya engkau bertemu jodohmu. Suatu hari pasti akan muncul seorang pemuda bangsawan yang baik dan cocok untukmu. Kita tunggu saja. Sudahlah, cepat engkau mandi, bertukar pakaian lalu kita makan malam.” Setelah ibu angkatnya pergi meninggalkannya, Siang Bi Hwa mandi dan bertukar pakaian. Akan tetapi ia tidak pernah dapat mengusir bayangan Wong Sin Cu yang selalu terkenang olehnya. Bahkan malam itu ia tidur dengan gelisah, mengenang Sin Cu dan bertanya-tanya dalam hatinya di mana pemuda itu kini berada. la merasa sedih karena kecil sekali kemungkinan baginya untuk dapat bertemu lagi dengan pernuda penolongnya itu. la tidak mungkin pergi mencarinya dan pemuda itu mustahil akan berkunjung ke rumah pelesir! Kabar tentang Siang Bi Hwa tersiar sampai ke kota raja. Bukan hanya para pemuda bangsawan yang mendengar akan nama besar gadis itu, akan tetapi juga para pembesar yang masih suka pergi ke rumah rumah pelesir. Berita ini yang membuat mereka berbondong-bondong mengunjungi rumah pelesir milik Cia-Ma. Bahkan akhirnya berita itu tertangkap juga oleh telinga Kaisar Ceng Tek! Kaisar yang nasih muda dan gemar pelesir ini tentu saja tertarik sekali. Biarpun dia sudah mempunyai banyak isteri dan selir, namun Kaisar Ceng Tek masih suka pergi berkeliaran, menyamar sebagai seorang pemuda bangsawan biasa dan keluar masuk rumah pelesir. Kaisar muda ini menjadi hamba nafsunya sendiri, setiap hari hanya sibuk mengejar kesenangan untuk memuaskan nafsu-nafsunya sehingga tidak memperhatikan tugasnya sebagai pemimpin kerajaan.

Urusan pemerintahan dia serahkan kepada para menterinya, terutama sekali kepada Thaikam Liu Cin. Tugas pekerjaannya hanya mendengarkan laporan dari para pembesar itu dan tentu saja semua laporan itu hanya dimaksudkan untuk menyenang kan hati sang Kaisar seolah-olah segala sesuatunya berlangsung dengan beres. Setelah Ouw Yang Song Bu mengikuti ayah angkatnya ke kota raja menghambakan diri kepada Thaikam Liu Cin, dia bergaul dengan para pemuda bangsawan dan dia bahkan menjadi andalan mereka karena pemuda itu memiliki ilmu silat yang tinggi. Akhirnya, Song Bu dapat berdekatan dengan Kaisar Ceng Tek dan setelah mengetahui bahwa Song Bu merupakan seorang jagoan muda kepercayaan Thaikam Liu Cin, Kaisar yang doyan pelesir itu mulai mempergunakan Song Bu sebagai pengawal pribadinya kalau dia berkeliaran di luar Istana.

Pada pagi hari itu, setelah mendengar berita tentang Siang Bi Hwa sebagai gadis pujaan semua pemuda bangsawan, kembang kota Nam-Po, Kaisar muda itu tertarik sekali dan dia memanggil Song Bu menghadap dalam ruangan pribadinya. Song Bu yang dipanggil melalui seorang pengawal Istana, cepat datang menghadap dan ketika dia memasuki ruangan pribadi milik Kaisar Ceng Tek, dia melihat sang Kaisar yang mengenakan pakaian pemuda bangsawan biasa, duduk termenung seorang diri di situ. Dia cepat maju dan menjatuhkan diri berlutut memberi hormat kepada junjungannya. Kaisar Ceng Tek tersenyum ketika melihat Song Bu dan dengan tangannya dia memberi isarat kepada lima orang pengawal Istana yang berada di sekitar situ untuk pergi meninggalkan dia berdua saja dengan Song Bu. Setelah para pengawal pergi, Kaisar Ceng Tek berkata, “Song Bu, tidak ada orang lain di sini. Bangkit dan duduklah disini dan jangan pakai banyak peradatan seperti dalam pertemuan menghadap Kaisar secara resmi. Bangkit dan duduklah, Song Bu memberi hormat.

“Terima kasih, Yang Mulia.” Dia lalu bangkit dan memberi hormat lagi sebelum duduk di atas kursi berhadapan dengan Kaisar Ceng Tek. Mereka duduk berhadapan dan karena sudah terbiasa menghadapi sang Kaisar dalam penyamaran, maka Song Bu tidak merasa canggung duduk berhadapan dan mengangkat muka memandang wajah Kaisar itu. Mereka saling pandang dan Kaisar itu tersenyum. Kaisar Ceng Tek berusia kurang lebih tiga puluh tiga tahun. Wajahnya tampan akan tetapi sinar matanya menunjukkan kelemahannya. Sinar mata itu tidak acuh dan kehilangan daya kewibawaannya. Sejenak dia memandang kepada wajah Song Bu yang gagah. Pemuda yang duduk di depannya itu memang gagah. Bertubuh tinggi dan tampak kokoh kuat.

Walaupun usianya baru dua puluh tahun, akan tetapi sinar matanya membayangkan pengetahuan yang luas. Mukanya berbentuk bulat dan matanya lebar bersinar tajam, kadang mencorong membayangkan kekuatan yang dahsyat. Hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersenyum sinis seperti menertawakan segala sesuatu yang tampak olehnya. Pakaiannya rapi dan cukup mewah. Rambut yang hitam panjang itu digelung ke atas dan diikat pita sutera kuning, dihias tusuk sanggul berbentuk merak terbuat dari pada emas. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Dia telah memperoleh kepercayan Kaisar sehingga diperbolehkan menghadap dengan membawa pedang di punggung. Song Bu memandang kepada junjungannya. Kaisar Ceng Tek bertubuh jangkung dan agak kurus. Wajahnya cukup tampan namun agak kewanitaan.

“Paduka memanggil hamba, apakah yang hendak paduka perintahkan kepada hamba?” tanya Song Bu, biarpun sikapnya sederhana namun ucapannya mengandung penuh hormat.

“Song Bu, apakah engkau sudah mendengar tentang seorang gadis bernama Siang Bi Hwa dari kota Nam-Po seperti yang disohorkan orang? Semua pria bangsawan kota raja agaknya tergila-gila kepadanya. Pernahkah engkau mendengar tentang gadis itu?” Tentu saja Song Bu pernah mendengarnya akan tetapi hatinya tidak tertarik Harus diakui bahwa Song Bu banyak bergaul dengan para pemuda bangsawan dan ikut pula dengan mereka hidup berfoya-foya. Akan tetapi dia hanya ikut dalam pesta perburuan binatang hutan dan pesta makan minum, juga bermain judi. Dia tidak pernah mau ikut dengan mereka untuk berpelesir dengan pelacur. Karena itu, biarpun dia sudah banyak mendengar tentang Siang Bi Hwa, hatinya tidak tertarik dan belum pernah dia melihatnya.

“Hamba pernah mendengar tentang Siang Bi Hwa, Yang Mulia. la seorang pelacur yang terkenal sekali di Nam-Po.” “Hemm, apa yang pernah kau dengar tentang gadis itu?” “Kabarnya ia cantik sekali, pandai bernyanyi dan bermain musik, dan ada pula kabar bahwa ia juga pandai ilmu silat, bahkan ada yang mengabarkan bahwa ia dapat terbang. Tentu saja hamba tidak percaya akan berita terakhir tentang terbang itu!” “Dan pernahkah engkau mendengar bahwa ia bukan pelacur biasa, melainkan seorang dara yang tidak mau melayani para pemuda bangsawan, bahkan menolak selaksa tail perak.?” “Hamba pernah mendengar nyanyian itu, akan tetapi hamba tidak percaya. Bagaimana mungkin seorang gadis pelacur menolak uang selaksa tail perak? Bagaimanapun juga, ia hanya seorang gadis pelacur yang hina.” “Hemm, Song Bu, jangan engkau bilang begitu!” cela Kaisar Ceng Tek.

“Kalau ia hanya seorang gadis pelacur biasa, bagaimana mungkin namanya begitu terkenal? Dan kabarnya tidak pernah ada seorang pemuda bangsawan manapun yang berhasil mendekatinya! Aku jadi tertarik sekali, Song Bu, Aku ingin menyaksikan sendiri gadis itu. Akan tetapi perjalanan kita ini harus menyamar. Aku tidak ingin diketahui orang lain berkunjung dan melihat Siang Bi Hwa. Karena itu, aku ingin mengajak engkau seorang untuk menemani dan mengawalku.” Biarpun hatinya merasa tidak senang diajak ke rumah pelesir, akan tetapi tentu saja Song Bu tidak berani menolak perintah Kaisar! Dia hanya dapat mengangguk dan menyatakan kesediaannya mengawal junjungannya. Setelah berganti pakaian menyamar sebagai seorang Kongcu (tuan muda) biasa yang kaya raya, Kaisar Ceng Tek pergi meninggalkan Istana melalui sebuah pintu tembusan rahasia yang berada di taman bunga, diikuti oleh Song Bu. Para penjaga taman mengenal Kaisar dalam penyamaran itu dan mereka hanya memberi hörmat secara biasa. Mereka tahu bahwa kalau sedang dalam penyamaran, Kaisar tidak suka menerima penghormatan resmi seperti kalau dia berpakaian Kaisar. Kaisar Ceng Tek bersama Song Bu pergi menuju ke istal kuda. Penjaga istal tergopoh-gopoh menyediakan dua ekor kuda yang diminta, kemudian dua orang itu menunggang kuda dan keluar dari lingkungan Istana, lalu terus menuju ke pintu gerbang. Para petugas yang menjaga pintu gerbang tidak mengenal Kaisar mereka, Akan tetapi mereka mengenal baik Song Bu yang menjadi jagoan pengawal di antara para jagoan Thaikam Liu Cin. Maka mereka tidak menghalangi ketika dua orang pemuda itu melarikan kuda mereka keluar dari kota raja menuju ke kota Nam-Po. Matahari telah naik tinggi, tengah hari telah lewat ketika dua orang penunggang kuda itu memasuki kota Nam-Po. Biarpun Kaisar Ceng Tek dan Song Bu belum pernah datang ke kota ini, namun tidak sukar bagi mereka untuk mencari di mana tempat tinggal Siang Bi Hwa. Semua penduduk Nam-Po, laki-laki dan perempuan, tua dan muda, tahu belaka mana tempat tinggal Bunga Cantik Harum yang amat terkenal, bahkan menjadi kebanggaan seluruh warga kota Nam-Po itu. Tentu saja mereka bangga karena adanya gadis itu membuat kota Nam-Po menjadi terkenal dan dikunjungi banyak pemuda hartawan dan bangsawan dari empat penjuru, bahkan dari kota raja.

“Tempat tinggal Siang Bi Hwa?” kata mereka.

“Gadis penjelmaan Dewi Kwan Im itu tinggal di rumah pelesir Pintu Merah milik Cia-Ma, di dekat perempatan jalan itu,” mereka memberitahu, Kaisar Ceng Tek dan Song Bu lalu datang ke rumah besar berpintu merah itu. Mereka menambatkan kuda mereka di halaman depan, di mana memang terdapat tempat penambatan kuda.

Karena melakukan perjalanan yang cukup jauh di siang hari, maka pakaian mereka terkena debu dan mereka membersihkan pakaian mereka dengan mengebut-ngebutkannya. Song Bu yang berpenglihatan tajam itu segera dapat melihat bahwa ada belasan orang laki-laki yang melihat sikap dan bentuk tubuhnya tentu merupakan orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan. Mereka tentu para tukang pukul, pikir Song Bu. Akan tetapi dia tidak memperdulikan mereka, hanya memandang kepada seorang wanita berusia lima puluh tahunan yang keluar dari pintu depan. Pakaian wanita ini mewah, bahkan setua itu ia masih memakai perhiasan di leher, telinga, sanggul, tangan dan jari-jari tangannya. Seperti toko perhiasan berjalan. Wajahnya ramah sekali dan penuh dengan senyum ketika wanita itu menghadapi Kaisar Ceng Tek dan Song Bu.

“Selamat siang, ji-wi Kongcu (tuan muda berdua), selamat siang dan selamat datang di pondok kami yang sederhana. Mari silakan masuk dan bicara di dalam, Silakan, ji-wi Kongcu!” Setelah berkata demikian, wanita yang bukan lain adalah Cia-Ma itu masuk ke dalam rumah melalui pintu sambil membungkuk-bungkuk dengan sikap ramah dan hormat sekali. Kaisar Ceng Tek memberi isyarat dengan pandang matanya kepada Song Bu keduanya masuk mengikuti Cia-Ma. Ternyata ruang tamu di bagian depan itu lengkap dan terdapat meja kursi yang serba mewah dan enak diduduki. Juga ruangan itu diatasnya rapi, dihias kain-kain sutera beraneka warna. Pot-pot bunga indah menghiasi ruangan itu dan di dinding tergantung banyak lukisan indah dan tulisan-tulisan hias yang amat bagus, dengan kata-kata mutiara.

“Silakan, silakan duduk, ji-wi Kongcu.” Cia-Ma mempersilakan mereka duduk. Kaisar Ceng Tek duduk di atas kursi dan dia tersenyum. Keadaan santai dan enak, tanpa dibuat kaku oleh segala peradatan dan peraturan seperti di Istana inilah yang membuat dia lebih suka berkeluyuran. Dia merasa bebas, tidak terikat dan boleh melakukan apa saja yang disukai dan dikehendakinya. menghela napas panjang dengan hati senang dan memandang ke sekelilingnya. Tentu saja dibandingkan dengan ruangan di Istananya, ruangan itu bukan apa-apa. Akan tetapi ruangan ini memiliki sesuatu yang tidak dimiliki ruangan-ruangan megah dalam Istana, yaitu kebebasan dari segala macam peraturan.

“Enak dan sejuk sekali ruangan ini!” katanya sambil memandang ke sekelilingnya.

“Aihh, Kongcu terlalu memuji! Apa artinya ruangan sempit yang buruk dan miskin ini jika dibandingkan dengan ruangan gedung Kongcu yang tentu saja mewah sekalı? Ji-wi Kongcu datang dari kota raja, bukan? Kalau ji-wi tinggal di Nam-Po, saya tentu mengenal ji-wi. Akan tetapi kalau tidak salah, baru sekarang ji-wi (kalian berdua) mengunjungi pondok kami ini.” Karena Kaisar Ceng Tek tidak menjawab dan hanya tersenyum memandang kepadanya, Song Bu maklum bahwa dia diharapkan untuk menjawab.

“Benar sekali, Bibi. Kami datang dari kota raja.” “Aih, sudah kuduga. Melihat pakaian jiwi berdebu, tentu datang dari jauh dan berkuda. ji-wi Kongcu tentu putera-putera seorang pembesar tinggi. Jangan menyebut Bibi kepada saya. Saya adalah Cia-Ma, pemilik tempat ini dan harap selanjutnya menyebut saya Cia-Ma seperti para Kongcu lainnya.” “Kami memang datang dari kota raja Saya bermarga Ouw Yang dan beliau ini...!!” Song Bu menjadi bingung karena baru sekarang dia harus memperkenalkan Kaisar dalam penyamarannya. Melihat keraguannya, Kaisar Ceng Tek lalu menyambung kata-katanya yang terputus.

“Aku she (marga) Liong.” “Ah, Ouw Yang Kongcu dan Liong Kongcu, saya gembira sekali dapat menerima kunjungan ji-wi.” Cia-Ma menoleh ke dalam dan terdengar teriakannya, “A-Lin dan A-Ciu... kesinilah, suruh pelayan membawakan minuman air yang terbaik!” Cia-Ma selalu menyebut “Arak yang terbaik” setiap kali menyuruh pelayan atau anak buahnya menghidangkan arak, pada hal di situ hanya ada satu macam saja arak. Betapapun juga ia memang selalu menyediakan arak yang baik dan mahal. Terdengar langkah-langkah lembut dua orang di antara para gadis anak buahnya yang selalu siap menerima panggilan memasuki ruangan itu.

Mereka berdua itu masih muda-muda, tidak lebih dari dua puluh tahun usianya. Wajah mereka cantik menarik dan tubuh mereka menggairahkan ketika mereka melangkah dengan ayunan langkah seperti dua orang penari memasuki ruangan itu. Di belakang mereka berjalan seorang pelayan wanita yang juga masih muda akan tetapi wajahnya biasa saja dan tentu tidak menarik kalau dibandingkan dengan dua orang gadis penghibur itu. Dua orang gadis penghibur yang disebut A-Lin dan A-Cui itu sudah terlatih baik. Tanpa dikomando lagi mereka berdua menghampiri dua orang tamu itu dan memberi hormat dengan gerakan yang menarik dan gemulai. Kemudian mereka mengisi cawan dengan arak yang dibawa oleh si pelayan wanita. A-Lin menghampiri Kaisar Ceng Tek, sedangkan A-Cui menghampiri Song Bu. Keduanya dengan sikap manis dan suara merdu menyuguhkan arak.

“Kongcu, silakan minum arak yang kami hidangkan sebagai ucapan selamat datang.” Kaisar Ceng Tek dan Song Bu terpaksa menerima cawan itu dan minum araknya sampai habis, Cia-Ma lalu bangkit berdiri dan berkata, “Ji-wi Kongcu, silakan bercakap cakap dengan A-Lin dan A-Cui. Kalau ji-wi membutuhkan apa-apa, hidangan misalnya, harap beritahukan kepada dua orang anak saya ini. Selamat bersenang- senang ji-wi Kongcu!” “Nanti dulu!” kata Song Bu menahan wanita gemuk itu. Cia-Ma menahan langkahnya dan membalikkan tubuhnya.

“Kongcu hendak memesan sesuatu? Apakah tidak cocok dengan anakku yang ini? Saya dapat menggantikannya dengan anakku yang lain kalau Kongcu menghendaki.

“Ah, tidak. Dengar, Cia-Ma. Sebetulnya kami bèrdua ini datang berkunjung bukan dengan maksud untuk bersenang-senang, melainkan untuk menonton Siang Bi Hwa. Kamí mendengar bahwa orang dapat menonton Siang Bi Hwa bernyanyi dan bermain musik, karena itu jauh-jauh dari kota raja kami datang khusus untuk menontoh gadis itu.” “Ah, begitukah? Akan tetapi, anakku Sang Bi Hwa itu hanya bermain musik pada sore hari, tidak pernah pada siang hari.” “Suruh ia main sekarang, kami ingin menontonnya. Berapapum upah yang kau kehendaki, akan kami bayar,” kata Kaisar Ceng Tek dan dalam suaranya terkandung wibawa yang kuat sehingga Cia- Ma tidak berani membantah lagi.

“Kalau begitu, coba saya akan membujuknya,” katanya lalu ia membungkuk dan keluar dari ruangan itu menuju ke bagian belakang, ke kamar Siang Bi Hwa. Ketika Cia-Ma menyatakan keinginan dua orang tamu itu agar siang hari itu Siang Hwa mau bermain musik, gadis itu mengerutkan alisnya, la tengah membaca buku dengan asyiknya.

“Akan tetapi, ibu. Aku hanya mau beгmain musik di sore hari saja,” “Sudah kukatakan itu kepada mereka, tetapi mereka minta dengan sangat dan membujukku. Mereka tampaknya putera-putera bangsawan yang berwibawa dan sopan, anakku, dan yang seorang membawa pedang di punggungnya dan dia gagah sekali. Agaknya yang satu ini seorang ahli silat, mirip seorang pendekar. Aku jadi takut untuk menolak kehendak mereka. Turutilah permintaan mereka sekali ini, Bi Hwa. Aku khawatir kalau kalau terjadi apa-apa jika mereka itu terus ditolak. Yang seorang lagi, sudah berusia tiga puluh tahun lebih, kelihatan amat berwibawa dan dia mengatakan sanggup membayar berapa saja yang kita minta. Hayolah, Bi Hwa, sekali ini saja, turuti permintaan mereka yang hanya ingin menontonmu. Baru sekali ini mereka datang berkunjung dan jangan mengecewakan hati mereka.” rayu Cia-Ma, “Ibu, kenapa tidak menyuruh saja anak buah ibu melayani dan menghibur mereka?” “Sudah kupanggilkan A-Lin dan A-Cui yang cantik molek, akan tetapi mereka menolak dan mengatakan tidak hendak bersenang- senang, melainkan sengaja datang untuk menontonmu.” Siang Bi Hwa merasa terdesak dan ia menghela napas panjang.

“Hemm, baiklah, ibu. Sekali ini aku akan menuruti bujukan ibu. Aku akan bermain-musik dan bernyanyi sejenak untuk mereka. Persilakan mereka untuk menonton dari pintu belakang seperti biasa.” Cia-Ma girang sekali dan ia lalu bergegas pergi ke ruangan tamu di depan. Dua orang tamunya masih duduk di situ, akan tetapi A-Lin dan A-Cui sudah tidak berada di situ lagi.

“Eh, ke mana anak-anak saya tadi?” tanyanya.

“Kami menyuruh mereka pergi karena kami tidak membutuhkan mereka, Cia-Ma,” jawab Song Bu mewakili junjungannya.

“Bagaimana dengan Siang Bi Hwa?” “Ji-wi Kongcu untung besar! Anakku itu bersedia untuk bermain musik pada siang hari ini, akan tetapi tidak terlalu la-ma. Sekarang persilakan ji-wi menonton dari pintu tembusan dan saya harap ji-wi mengerti akan peraturan di sini, yaitu menonton Siang Bi Hwa bermain musik dan bernyanyi harus dari pintu tembusan itu dan tidak diperkenankan memasuki taman dan menghampirinya.” “Hemm, mengapa begitu?” tanya Kaisar Ceng Tek, heran. Belum pernah selamanya dia mendengar ada seorang gadis anak mucikari yang tidak mau didekati pria ketika bermain musik.

“Soalnya begini, Kongcu. Anak saya itu pemalu sekali. Kalau ditonton dari dekat, ia akan menjadi malu dan gugup, tidak dapat bermain musik atau bernyanyi lagi. Karena itu semua penontonnya harus duduk di pintu tembusan dan tidak mendekatinya.” la lalu membungkuk lagi dan mempersilakan dua orang tamunya mengikutinya.

Biarpun merasa penasaran, Kaisar Ceng Tek mengikutinya juga dan Song Bu mengikuti dari belakang. Song Bu tidak tertarik karena dia menduga bahwa gadis yang bernama Siang Bi Hwa itu tentu tidak ada bedanya dengan para gadis penghibur, mungkin lebih cantik, akan tetapi sama-sama pesolek, mukanya seperti gambar dipolesi bedak tebal dan gincu, seperti sebuah boneka yang didandani.

Kecantikan polesan seperti itu bahkan memuakkan hatinya. Dia memang suka bersama para pemuda bangsawan itu berpesiar, berpesta pora atau bermain judi, akan tetapi hatinya tidak pernah tertarik oleh gadis-gadis penghibur, bahkan dia merasa-jijik dan muak. Ketika mereka tiba di pintu tembusan dan dipersilakan duduk di atas kursi yang sudah disediakan di situ, Siang Bi Hwa beium tampak di dalam taman. Selagi Kaisar Ceng Tek hendak bertanya, tiba-tiba terdengar suara suling ditiup dengan istimewa. Suaranya mengalun merdu mendayu-dayu. Kaisar Ceng Tek dan Song Bu memandang ke arah datangnya suara, tampak oleh mereka di antara tumbuh-tumbuhan Bunga di taman itu berjalan seorang gadis berpakaian biru putih, rambutnya diikat pita sutera merah, dandanannya sederhana saja walaupun pakaiannya terbuat dari sutera halus.

Biarpun gadis yang menghampiri sebuah kolam ikan itu jaraknya cukup jauh, Song Bu dapat melihat bahwa gadis itu berusia sekitar sembilan belas tahun, mukanya berbentuk bulat telur dan kulit mukanya putih kuning tidak tertutup bedak tebal ataupun gincu. Matanya agak sipit, bentuknya indah dan sinar matanya lembut sekali hidungnya kecil mancung dan mulut yang sebagian tertutup suling itu berbibir merah manis sekali. Ketika ia meniup suling tampak sepasang lesung pipit di kanan kirinya. Dengan langkah gemulai dan sedikit langkah kecil itu tidak memperhatikan dua orang pria yang sedang menonton dari pintu tembusan, gadis menghampiri bangku dekat kolam duduk di situ sambil terus meniup sulingnya. Song Bu terbelalak. Bukan saja kagum akan kecantikan aseli tanpa pulasan itu, melainkan juga karena dia merasa seperti sudah mengenal wajah gadis itu.

“Hemm, memang ia seorang gadis yang amat jelita, tiupan sulingnya juga merdu sekali,” terdengar Kaisar Ceng Tek memuji dan Song Bu tahu bahwa kalau ada wanita sampai dipuji oleh Kaisar, tentu wanita itu memang luar biasa. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di bagian depan rumah pelesir itu. Kaisar Ceng Tek yang merasa terganggu, segera berkata kepada Song Song Bu, coba lihat apa yang terjadi diluar.” Song Bu mengangguk dan berlari keluar, diikuti oleh Cia-Ma yang juga merasa khawatir. Setelah tiba di luar, mereka melihat bahwa di halaman depan terjadi perkelahian. Belasan orang tukang pukul anak buah Cia-Ma mengeroyok lima orang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih. Para tukang pukul itu mempergunakan golok mereka. Akan tetapi lima orang itu lihai bukan main. Biarpun mereka hanya bertangan kosong, namun lima belas orang tukang pukul     itu     mereka     hajar     sampai     berpelantingan, seorang pemuda berusia dua puluh tiga tahun berpakaian mewah, bermulut lebar dan bermata juling, bertubuh kurus dengan lagak angkuh bertolak pinggang menonton lima orang itu menghajar para tukang pukul yang belasan orang banyaknya.

“Hayo pukul, hajar mereka biar tahu rasa dan tidak berani memandang rendah kepada Su-Kongcu, putera jaksa Su di kota raja!” teriak pemuda kurus itu yang bukan lain adalah Su Kan Lok. Melihat dan mengenal pemuda itu Cia ma cepat berlari menghampiri, mengangkat kedua tangan di depan dada dan membungkuk bungkuk meratap, “Su-Kongcu..., ampunkanlah kami, jangan pukuli lagi orang orangku...” Akan tetapi Su Kan Lok menjadi semakin marah ketika melihat wanita gemuk itu.

“Cia-Ma, sekali ini hendak kulihat engkau mau menyerahkan Siang Bi Hwa padaku atau tidak!” “Ampun, Kongcu...” Cia-Ma mendekati.

“Pergi Kau!” Su Kan Lok dengan marah menendang.

“Bukk!” Perut gendut Cia-Ma tertendang sehingga wanita itu terjengkang roboh, akan tetapi Su Kan Lok sendiri terhuyung karena rasanya berat sekali menendang perut yang gendut itu. Sementara itu, belasan orang tukang pukul anak buah Cia-Ma sudah roboh semua dan Su Kan Lok dengan gaya seorang panglima berkata, “Sekarang mari antar aku menjemput Siang Bi Hwa di taman. Kudengar ia bermain suling di taman. Hayo ikut aku!” Lima orang jagoan itu dengan sikap tenang dan senyum mengejek memandang belasan orang tukang pukul yang bergelimpangan di atas halaman itu, kemudian mereka mengikuti Su Kan Lok memasuki rumah.

Biarpun sambil menangis dan terseok-seok, Cia-Ma mengejar enam orang itu dan Song Bu mengikuti dari belakang, hendak melihat apa yang akan dilakukan pemuda kerempeng bersama lima orang jagoannya itu. Su Kan Lok langsung saja menuju kebelakang dan keluar dari pintu tembusan dikuti lima orang jagoannya, memasuki taman. Dia sama sekali tidak mempedulikan seorang pria yang duduk di atas kursi di pintu tembusan itu. Orang itu, Kaisar Ceng Tek, hanya duduk dan memandang kepada Su Kan Lok dengan alis berkerut. Cia-Ma berlari-lari menghampiri Su Kan Lok yang sudah berada dalam taman. terlihat pemuda bangsawan itu bersama lima orang jagoannya hendak menghampiri Siang Bi Hwa yang masih meniup suling di dekat kolam, Cia-Ma lalu berlari menghampiri dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan pemuda putera jaksa itu.

“Su-Kongcu ampunkan saya, ampunkan kami dan jangan mengganggu anakku...” wanita itu meratap dan menangis.

“Perempuan tolol! Siapa mau menganggu Siang Bi Hwa? Aku mau menjadikan dia isteriku.” “Ampun... Jangan, Su-Kongcu...!” akan tetapi Su Kan Lok lalu menggerakkan kakinya menendang dan kembali tubuh wanita itu terjengkang. Akan tetapi ia tidak terluka karena tendangan itupun lemah saja. Su Kan Lok lalu memberi isarat kepada lima orang tukang pukulnya.

“Tangkap gadis itu dan bawa ia masuk ke dalam keretaku! Dia sendiri tidak berani mendekati Siang Bi Hwa karena dia percaya bahwa gadis itu memiliki ilmu kepandaian yang lihai! Lima orang tukang pukul yang rata-rata memiliki ilmu silat tangguh itu menghampiri Siang Bi Hwa yang sudah menghentikan tiupan sulingnya dan sudah berdiri dengan alis berkerut, “Nona, mari ikut kami ke kereta Su-Kongcu!” kata seorang dari mereka sambil menggerakkan tangannya. Siang Bi Hwa hendak mengelak, akan tetapi sekali ini ia berhadapan dengan ahli-ahli silat yang pandai. Dua orang dari mereka menggerakkan tangan dan di lain saat kedua lengan Siang Bi Hwa telah ditangkap. Di kanan kirinya telah berdiri masing-masing seorang jagoan yang memegang pergelangan tangannya sehingga ia tidak berdaya. Melihat dua orang jagoannya telah berhasil menangkap pergelangan tangan Siang Bi Hwa, Su Kan Lok tertawa dan bertolak pinggang memandang kepada Cia-Ma yang sudah merangkak bangkit.

“Ha-ha-ha, Siang Bi Hwa sudah kutangkap dan hendak kubawa pergi. Hayo, siapa berani menghalangi aku?” Setelah tertawa bergelak, pemuda kurus itu lalu memerintah anak buahnya, “Hayo, cepat bawa gadis itu ke dalam keretaku!” Siang Bi Hwa mencoba untuk meronta, namun apa dayanya terhadap dua orang laki-laki yang memegang pergelangan tangannya? la ditarik dan setengah diseret menuju ke pintu tembusan. Song Bu memandang kepada Kaisar Ceng Tek seperti menanti perintah. Kaisar itu juga memandang kepadanya.

“Kau tolong gadis itu dan hajar lima orang jagoan itu!” kata Kaisar dengan suara lirih. Song Bu mengangguk dan dia melangkah lebar, menghadang lima orang yang sedang menyeret Siang Bi Hwa.

“Berhenti!” bentak Song Bu. “Bebaskan gadis itu!” Seorang di antara mereka yang tidak memegang tangan Siang Bi Hwa melangkah maju menghadapi Song Bu dan membususungkan dadanya yang bidang.

“Bocah, siapakah engkau berani menentang kami? Tidak tahukah engkau sipa kami? Kami adalah Kwi San Houw (Lima Harimau Kwi-san) yang terkenal! Apakah engkau sudah bosan hidup berani menentang kami?” “Hemm, kalian ini Lima Harimau atau Lima Buaya Darat aku tidak perduli Sebaiknya cepat kalian bebaskan gadis atau terpaksa aku akan menghajar kalian berlima!” kata Song Bu dengan tenang.

“Keparat! Bocah kemarin sore berani menentang kami! Mampuslah engkau” bentak laki-laki tinggi besar itu sambil mengayun tinjunya yang besar. Tinjunya menyambar ke arah kepala Song Bu. penyerangnya itu agaknya yakin benar bahwa sekali pukulannya mengenai akan dapat meremukkan kepala pemuda itu. Dipukul seperti itu, Song Bu tidak mengelak, melainkan dia menyambut pukulan itu dengan tangannya.

“Plakk!” Tangan kanan Song Bu berhasil menangkap pergelangan tangan kanan lawan dan dengan gerakan cepat, dengan suatu sentakan dengan pengerahan tenaga sin-kang yang amat kuat membuat penyerangnya itu terjungkir dan terbanting ke atas tanah. Kaki Song Bu menendang, mengenai dada lawannya.

“Dess...!” tubuh yang tinggi besar itu terlempar dan terguling- guling. Melihat rekannya roboh, empat orang “Harimau” yang lain menjadi marah sekali. Sifat rendah dan pengecut mereka keluar. Tanpa banyak cakap dan tanpa malu-malu lagi mereka berempat maju mengeroyok dan mereka telah mencabut pedang, menyerang Song Bu dengan serbuan mematikan. Namun tentu saja Song Bu tidak menjadi gentar.

Para pengeroyoknya itu bukan orang lemah dan kalau orang pertama tadi dengan mudah dapat dia robohkan karena penyerang tadi memandang rendah kepadanya. Kini, empat orang itu telah tahu akan kelihaiannya dan mereka mengeluarkan kepandaian mereka dan memainkan pedang mereka dalam penyerangan yang cukup hebat. Dengan mengandalkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) Bu-Eng-Kui (Iblis Tanpa Bayangan) sehingga tubuh berkelebatan demikian cepatnya di antara sambaran sinar pedang. Bahkan kini orang pertama yang tadi roboh telah bangkit dan ikut pula mengeroyok! Dari gerakan pedang mereka tahulah Song Bu bahwa lima orang yang mengaku berjuluk Kwi-San Ngo-Houw itu bukanlah lawan yang lemah. Kalau hanya menghadapi seorang atau dua orang saja dari mereka biarpun dia bertangan kosong, Dia masih akan mampu mengalahkannya tanpa kesukaran Akan tetapi mereka maju berlima gerakan mereka kompak sekali sehingga berbahaya juga baginya kalau harus dia lawan dengan tangan kosong saja. Ketika lima orang pengeroyoknya mendesak, Song Bu melompat ke belakang dan tangan kanannya meraba ke belakang punggung. tiba tiba tampak sinar hitam yang mengerikan mencuat dan sebatang pedang berwarna hitam telah berada di tangan kanan Song Bu. Itulah pedang Toat-beng Tok-kiam (Pedang Beracun Pencabut Nyawa) yang amat berbahaya Melihat pemuda itu mencabut pedang, Kaisar Ceng Tek tidak menghendaki Song Bu membunuh orang karena pembunuhan itu tentu akan menarik perhatian banyak orang dan dia tidak ingin kehadirannya diketahui banyak orang dan akan timbul kegemparan.

“Jangan bunuh orang!” serunya kepada Song Bu. Seruan ini dimengerti oleh Song Bu.

“Hamba hanya akan menghajar mereka” katanya dan begitu dia menggerakkan tangan memutar pedangnya, tampak sinar hitam bergulung-gulung dan terdengar desir angin yang dahsyat. Lima orang pengeroyok itu terkejut bukan main. Mereka menggerakan pedang mereka menyerang dari semua jurusan. Song Bu yang dikepung memutar tubuhnya seperti gasing, sinar pedangnya berkelebatan dan berturut-turut terdengar suara berdentingan dan disusul teriakan lima orang itu yang cepat melompat mundur karena pedang mereka telah patah ketika bertemu dengan sinar hitam itu. Secepat kilat Song Bu sudah menyimpan pedangnya kembali dan dia menerjang ke depan bagaikan seekor naga menyambar dari angkasa. Kaki tangannya bergerak cepat dan lima orang itu tidak mampu menghindarkan diri dari tamparan dan tendangan yang amat cepat datangnya seperti kilat menyambar.

“Plak plak, desss...!!, Mereka mengaduh dan roboh berpelantingan! Sekali ini Song Bu menambah tenaga pada tamparan dan tendangannya sehingga lima orang yang roboh itu tidak mampu bangkit dengan segera, hanya duduk dan memegangi bagian yang tertampar atau tertendang. Su Kan Lok atau Su-Kongcu adalah seorang pemuda yang terbiasa mengandalkan kedudukan ayahnya. Dia menjadi seorang pemuda sombong dan selalu mau menang sendiri, memandang rendah orang lain. Ketika melihat betapa lima orang jagoannya roboh, dia menjadi marah sekali dan seperti biasa, dia hendak menggertak, mengandalkan kedudukan ayahnya untuk menakut-nakuti orang. Dengan lagak gagah dia melangkah maju menghampiri Song Bu, matanya yang juling itu terbelalak dan hidungnya kembang kempis. Dia menudingkan telunjuknya ke arah muka Song Bu dan membentak.

“Keparat, siapa engkau ? Berani mati sekali engkau memukuli orang-orangku! Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan? Buka lebar matamu agar mengenal orang! Aku adalah Su-Kongcu, putera dari Su-Taijin (Pembesar Su), jaksa di kota raja. Apa Kau ingin ditangkap dan dijatuhi hukuman seumur hidup?” Song Bu hanya tersenyum dan menoleh memandang kepada Kaisar Ceng Tek, bertanya, “Apa yang harus hamba lakukan kepada orang ini?” Sebelum Kaisar Ceng Tek menjawab, Su-Kongcu sudah menghampiri Kaisar dan sambil bertolak pinggang dia membentak, “Dan siapa engkau ini? Apakah dia itu tukang pukulmu? Awas, engkau pun dapat kuseret dan dimasukkan dalam penjara!” Melihat lagak dan mendengar, ucapan Su Kan Lok yang amat sombong itu, Song Bu menjadi marah bukan main. Ingin rasanya dia mernukul remuk kepala pemuda sombong itu, akan tetapi dia takut kalau mendapat marah dari Kaisar. Maka diapun melangkah maju membentak Su-Kongcu dengan suara nyaring.

“Bocah she Su! Apa matamu yang juling itu telah menjadi buta? Bukalah matamu baik-baik dan lihat siapa yang Kau hadapi ini! Lihat baik-baik, manusia yang layak mampus!” Kemudian Song Bu menghadapi Kaisar dan bertanya, “Yang Mulia, apakah hamba harus membunuh anjing ini?” Kaisar Ceng Tek menggeleng kepala dan hanya memandang kepada Su Kan Lok dengan sinar mata penuh wibawa. Su Kan Lok terkejut mendengar ucapan Song Bu itu dan kini dia mengamati wajah Kaisar Ceng Tek dengan penuh selidik. Pada saat itu, Kaisar Ceng Tek berkata lembut kepada Song Bu.

“Song Bu, jangan membunuh orang disini.” Mendengar disebutnya nama Song Bu Su-Kongcu menjadi semakin terkejut. Dia memang belum pernah bertemu dengan Ouw Yang Song Bu karena selama ini Song Bu hanya bergaul dengan pemuda-pemuda bangsawan tinggi, akan tetapi dia sudah mendengar nama besar jagoan muda baru dari Thaikam Liu Cin itu. Juga Kwi-San Ngo-Houw sudah mendengar akan nama besar Song Bu maka mereka juga terkejut bukan main. Yang paling kaget dan ketakutan adalah Su Kan Lok setelah kini dia mengenal wajah pria berusia tiga puluh tahun lebih itu. Saking takutnya, wajahnya menjadi sepucat mayat dan seluruh tubuhnya menggigil seperti orang yang terserang demam. Kedua kakinya menjadi lemas dan diapun roboh bertekuk lutut. Sambil membentur-benturkan dahinya di atas tanah diapun meratap dengan suara gemetar.

“Yang Mulia. SriBaginda Kaisar... am... am... ampunkan hamba... ampunkan hamba...” Saking takutnya, Su Kan Lok menangis dan mendekam di atas tanah dengan tubuh menggigil.

Mendengar ucapan Su-Kongcu ini, lima orang tukang pukulnya itu terkejut bukan main. Juga tadi mereka mendengar disebutnya nama Song Bu. Nama yang amat terkenal bagi mereka. Maka, dengan ketakutan merekapun berlutut dan mohon ampun. Cia-Ma yang mendengar bahwa tamunya adalah sri Baginda Kaisar sendiri, menjadi lemas kedua kakinya dan tubuh yang gendut itupun terkulai dan berlutut. Ouw Yang Hui juga terkejut. Sama sekali tidak pernah dibayangkannya bahwa orang yang ingin mendengar ia meniup suling dan bernyanyi itu adalah sang Kaisar sendiri! Biarpun selamanya belum pernah ia berdekatan dengan Istana dan tidak tahu upacara dan peradatan di Istana, namun karena banyak membaca iapun tahu apa yang harus dilakukannya di depan Kaisar. melangkah maju lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar dengan berucap dengan suara lembut dan penuh hormat.

“Ban-swe... Ban-ban-swe (Hiduplah selaksa tahun!)...!” Kaisar Cheng Tek memberi isarat dengan tangannya kepada Song Bu untuk mengusir enam orang itu dan Song Bu segera berkata kepada Su Kan Lok dan lima orang tukang pukulnya.

“Kalian berenam pergilah, akan tetapi keluarlah dengan merangkak! Baru boleh berdiri kalau sudah tiba di jalan raya!” Song Bu memang merasa gemas sekali dia hendak memberi pelajaran kepada mereka.

“Dan tunggu saja hukuman yang akan dijatuhkan atas diri kalian!” “Terimakasih, Yang Mulia...” Serempak enam orang itu berseru lalu karena ketakutan mereka tidak berani membangkang terhadap perintah Song Bu tadi. Mereka berenam lalu merangkak seperti enam ekor anjing, keluar dari taman itu melalui rumah Cia-Ma dan keluar dari pekarangan.

Tentu saja orang-orang yang sedang lewat di jalan raya depan rumah itu terheran-heran menyaksikan enam orang laki-laki itu merangkak-rangkak keluar dari pekarangan rumah pelesir Cia-Ma. Akan tetapi tak seorangpun berani bertanya apa lagi menertawakan ketika mereka melihat bahwa mereka adalah seorang Kongcu berpakaian mewah dan lima orang yang tampaknya bengis. Enam orang itu setelah tiba di jalan raya lalu bangkit berdiri dan setengah berlari mereka lalu menuju ke sebuah kereta yang tadi ditumpangi Su-Kongcu, kemudian membalapkan kereta itu menuju ke kota raja. Setelah tiba di gedung ayahnya di kota raja, Su Kan Lok menangis di depan ayahnya, menceritakan tentang pertemuannya dan kesalahannya terhadap Kaisar yang tadinya tidak dikenalnya. Mendengar pelaporan puteranya itu, Jaksa Su menjadi kaget setengah mati.

Dia takut kalau kalau Kaisar akan menjadi marah besar dan mereka sekeluarga dapat dihukum karena ulah Su Kan Lok. Maka dia mendahului dan menyuruh perajurit menangkap dan menjebloskan Su Kan Lok dan Kwi-San Ngo-Houw ke dalam penjara, kemudian bergegas dia pergi menghadap Thaikam Liu Cin dan menangis di depan atasannya itu mohon agar Liu Cin suka memintakan ampun kepada Kaisar atas perilaku puteranya. Sementara itu, setelah enam orang itu merangkak pergi, Kaisar Ceng Tek memandang kepada Siang Bi Hwa dan Cia-Ma yang masih berlutut di depan kakinya. Melihat sikap yang halus lembut dan penuh sopan santun dari Bi Hwa, sama sekali berbeda dari sikap waníta pelacur yang genit, juga melihat dandanan gadis itu sederhana walaupun rapi, Kaisar tersenyum. Hatinya senang dan diam-diam dia memuji Bi Hwa yang tidak kalah dibandingkan dengan para puteri Istana.

“Siang Bi Hwa, lanjutkan bermain musik. Mainkan Yang-kim dan bernyanyilah untuk kami. Kami ingin sekali mendengarnya,” kata Kaisar dengan lembut dan dia memberi isyarat kepada Song Bu untuk mengambilkan bangku-bangku yang berada diambang pintu itu. Song Bu segera mengambil dua buah bangku dan Kaisar lalu duduk di atas sebuah bangku, kini tidak jauh dari tempat Bi Hwa bermain Yang-kim. Song Bu juga disuruh duduk oleh Kaisar, sedangkan Cia-Ma lalu membimbing anaknya ke tepi kolam.

Setelah mengetahui bahwa yang memerintahnya adalah Kaisar, tentu saja Bi Hwa tidak berani menolak. Apa lagi Kaisar itu bersikap lembut, sopan dan berwibawa. namun, setelah tadi melihat sepak terjang Song Bu, teringatlah Bi Hwa kepada Wong sin Cu. Pemuda inipun gagah perkasa seperti Sin Cu! Akan tetapi ia merasa sudah pernah mengenal wajah pemuda ini dan ketika Kaisar menyebut namanya, Bi Hwa menjerit dalam hatinya. Song Bu! Tentu saja Song Bu murid ayah kandungnya. Tan Song Bu yang menjadi Suhengnya (kakak seperguruannya)! Akan tetapi karena merasa malu bahwa ia sekarang telah menjadi anak angkat seorang mucikari, dia diam saja, hanya menahan keharuan hatinya, Perintah Kaisar dapat mengalihkan perhatiannya dari Song Bu dan dituntun Cia-Ma, ia lalu kembali ke atas bangku dekat kolam dan mengambil Yang-kim yang memang telah tersedia di situ.

la duduk dan mulai memainkan Yang-kim, dipetik jari jari tangannya yang mungil. Cia-Ma duduk di atas batu tak jauh dari situ dengan sikap hormat karena kehadiran Kaisar. Jantung Cia- Ma berdebar keras. Akan menjadi kenyataankah mimpinya bermenantukan seorang bangsawan? Kalau saja Bi Hwa dapat menjadi isteri atau selir Kaisar! Wah ia tentu akan terangkat tinggi sekali! Biarpun menyadari bahwa sekali ini permainan musik dan nyanyiannya didengarkan oleh Kaisar, orang tertinggi kedudukannya dan paling berkuasa di seluruh negeri, namun Bi Hwa tetap tenang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri. Jari jari tangannya yang mungil itu sama sekali tidak gemetar ketika memainkan dawai Yang-kim. Terdengariah suara merdu berkencrang-kencring dan berkentang kenting. Kemudian terdengarlah ia bernyanyi merdu.

“Batang pohon yang terpelihara dan sehat menghasilkan daun yang hijau subur, bunga yang indah dan buah yang segar” “Batang pohon yang sakit mematikan cabang ranting dan daun takkan menghasilkan bunga dan buah!” “Karena itu basmilah semua benalu bersihkan semua hama perusak agar kita dapat menikmati hasilnya!” Kata-kata dalam nyanyian itu amat berkesan dalam hati Kaisar. Isinya sungguh berbeda dengan nyanyian pada umumnya. Biasanya, lagu yang demikian merdu itu mempunyai kata-kata yang menggambarkan keindahan pemandangan alam, atau tentang kasih asmara,akan tetapi kata-kata dalam nyanyian Sing Bi Hwa ini terdengar aneh, menceritakan tentang batang pohon. karena itu, setelah gadis itu berhenti bernyanyi, Kaisar Ceng Tek lalu menggapai dan memanggilnya. Bi Hwa menghampiri dengan langkah perlahan dan menundukkan mukanya. Ketika ia akan berlutut, Kaisar Ceng Tek mencegahnya.

“Jangan berlutut, duduk saja dikursi itu.” Dia memberi isyarat kepada Song Bu untuk menyerahkan kursinya kepada gadis itu. Bi Hwa menurut dan duduk sambil menundukkan mukanya.

“Nyanyianmu merdu sekali,” puji sang Kaisar. “Terimakasih, Baginda” jawab Bi Hwa sederhana.

“Petikan Yang-kim-mu indah dan nyanyianmu merdu sekali” “Terimakasih, Yang Mulia,” kata Bi Hwa.

“Akan tetapi kami ingin mengerti tentang makna nyanyian tadi. Apa maksudmu dengan menggambarkan batang pohon itu? Coba jelaskan kepada kami,” kata Kaisar Ceng Tek dengan suara memerintah. “Karangan siapakah lagu yang Kau nyanyikan itu?” “Ampun yang mulia, lagu itu adalah karangan hamba sendiri.” “Lalu apa yang Kau maksudkan dengan batang pohon itu? Jelaskan!” “Batang pohon itu hamba maksudkan sebuah negara. Negara yang diatur dengan baik menjadi tertib dan kaya raya sehingga rakyatnya dapat hidup makmur dan berbahagia. Sebaliknya, kalau negara tidak teratur dengan baik, bagaikan batang pohon yang sakit, maka banyak kekacauan akan timbul dan rakyat tentu akan hidup serba kekurangan, sengsara, tertindas dan menderita.” “Hemm, lalu apa yang Kau maksudkan dengan benalu dan hama?” “Para pembesar yang jahat dan korup, pembesar yang hanya mementingkan kesenangan diri pribadi, mencuri uang negara dan memeras menindas rakyat untuk menggendutkan perut dan kantung sendiri, tidak adil dan sama sekali tidak mengurus tugasnya dengan baik, saling memperebutkan kekuasaan, hanya pandai menjilat ke atas menekan ke bawah, mereka semua itu bagaikan benalu-benalu dan hama-hama yang menggerogoti dan membuat pohon atau pemerintah menjadi tidak sehat.” Kaisar Ceng Tek mengerutkan alisnya.

“Hemmm, Siang Bi Hwa, apakah engkau menganggap bahwa pemerintahan kami sedang sakit dan banyak mengandung benalu dan hama perusak?” “Ampunkan hamba, Yang Mulia Hamba mohon agar paduka berhati-hati terhadap orang-orang yang paduka percaya, karena banyak sekali orang yang menyalah-gunakan kepercayaan yang paduka berikan. Makin besar kekuasaan orang itu,maka akan semakin sewenang-wenang dan mempergunakan kekuasaannya. Hamba kira bahwa banyak di antara pembesar-pembesar negeri merupakan orang-orang yang tidak bijaksana. Hal ini dapat hamba nilai dari banyaknya para Kongcu putera bangsawan yang berdatangan ke sini dan kerjanya hanya menghambur-hamburkan uang berfoya-foya dan bertindak sewenang-wenang seperti putera Jaksa Su tadi. Hanya padukalah yang akan mampu membersihlkan benalu dan hama-hama itu. Ampunkan kelancangan hamba, Yang Mulia.” Wajah Kaisar Ceng Tek menjadi kemerahan. Pada saat itu, ada sesuatu yang menyentuh hatinya. Dia sendiri merasa heran mengapa dia tidak menjadi marah kepada gadis itu. Gadis puteri mucikari berani bicara seperti itu! Kalau bukan Siang Bi Hwa yang bicara seperti itu, mungkin dia akan dia tangkap dan memenjarakannya. Akan tetapi ada sesuatu dalam kata-kata dan sikap Bi Hwa yang menyadarkannya bahwa ucapan gadis itu mungkin sekali mengandung kebenaran! “Hemm, engkau memang seorang gadis yang luar biasa, Siang Bi Hwa. Karena kami senang sekali mendengar nyanyian dan ucapanmu, maka sekarang kami ingin memberi hadiah kepadamu. Mintalah apa saja kepada kami dan kami akan memenuhinya!” Mendengar ini, Cia-Ma menjadi salah tingkah. la mengerling kepada anak angkatnya itu, memberi isarat dengan kedipan mata. Tentu saja Bi Hwa tidak mengerti maksudnya, tidak mengerti bahwa ibu angkatnya itu menghendaki ia mengajukan permintaan yang paling berharga dari Kaisar itu! Dalam hatinya Cia-Ma berpikir bahwa kalau ia yang menjawab, tentu ia akan minta agar Siang Bi Hwa diambil sebagai selir Kaisar dan diboyong ke dalam Istana, tentu saja berikut dirinya! Atau andaikata ia tidak ikut diboyong juga, setelah semua orang tahu bahwa ia adalah mertua Kaisar, siapa berani mengganggunya? la akan dihormati orang seluruh negeri! Akan tetapi jawaban Siang Bi Hwa benar-benar mengejutkan Cia-Ma dan Song Bu, bahkan juga Kaisar sendiri.

“Ampunkan hamba, Yang Mulia. Hamba tidak membutuhkan apa- apa karena semua kebutuhan hidup hamba telah dipenuhi oleh ibu hamba. Hanya kalau hamba diperkenankan memohon kepada paduka, hamba hanya mohon sudilah kiranya paduka menindak dengan keras para pejabat yang tidak bijaksana korup dan suka berlaku sewenang-wenang terhadap rakyat jelata. Hanya itulah permohonan hamba.” Song Bu merasa takjub mendengar ucapan gadis itu. Mana ada orang diberi kesempatan minta apa saja kepada Kaisar dan akan dipenuhi permintaannya, hanya minta agar Kaisar bertindak keras terhadap para pejabat yang korup? Cia-Ma merasa kecewa bukan main. Anak angkatnya telah melewatkan dan menyia-nyiakan kesempatan sebesar gunung emas! Bahkan Kaisar Ceng Tek sendiri tercengang. Sedikitpun tidak pernah disangkanya bahwa gadis itu akan mengajukan permohonan seperti itu! Seorang gadis puteri seorang mucikari! Jelas bahwa gadis ini bukanlah seorang gadis biasa. Sama sekali tidak mata duitan, tidak mengejar kesenangan bahkan memperhatikan nasib rakyat. Kaisar mengangguk-angguk.

“Baiklah, Siang Bi Hwa. Kami akan memenuhi permintaanmu dan kami akan perintahkan para pembantu kami untuk menindak keras para pejabat yang tidak benar.” Setelah berkata demikian, Kaisar Ceng Tek memberi isarat kepada Song Bu dan mereka berdua lalu keluar dari situ. Song Bu meninggalkan beberapa potong uang emas kepada Cia-Ma. Setelah Kaisar Ceng Tek dan Song Bu pergi, Cia-Ma menegur Bi Hwa dan menyesal sekali.

“Bi Hwa, kenapa engkau begitu bodoh? kenapa engkau yang telah diberi kesempatan oleh SriBaginda Kaisar tidak minta untuk diängkat menjadi selir atau minta harta yang banyak? Engkau minta yang bukan-bukan!” “Ibu, yang kuminta dari SriBaginda Kaisar itu amat berharga sekali. Kalau dipenuhi berarti mengurangi penderitaan rakyat, bahkan dapat mendatangkan kebahagiaan kehidupan rakyat jelata.” “Aih, kenapa engkau memikirkan nasib orang lain saja? Nasib kita sendiri tidak ada yang memikirkan! Kenapa engkau tidak minta untuk dijadikan selir?” “Aku tidak ingin menjadi selir SriBaginda Kaisar, ibu.” “Atau engkau minta barang yang tidak ternilai harganya?”

“lbu, aku juga tidak ingin menjadi orang yang kaya raya. Akan tetapi setidaknya, dengan kunjungan SriBaginda Kaisar tadi, kita akan aman dan tidak akan ada yang berani mengganggu kita lagi.” Wajah Cia-Ma yang tadinya muram itu menjadi berseri.

“Ah, benar juga! SriBaginda Kaisar telah bersikap baik kepadamu, Berarti engkau tentu akan dilindunginya!” Cia-Ma bergegas keluar dan mulailah ia menyebarkan berita tentang kunjungan Kaisar ke rumah pelesirnya dan bahwa mulai saat itu, ia dan semua anak- buahnya berada di bawah perlindungan Kaisar. dengan cara inipun Cia-Ma sudah merasa martabatnya terangkat tinggi sekali.

=======

Siang Bi Hwa atau Ouw Yang Hui duduk di dalam kamarnya dan ia termenung. la teringat akan Tan Song Bu, Suhengnya yang datang bersama Kaisar siang tadi. Pertemuannya dengan Song Bu yang tidak terduga-duga itu otomatis mendatangkan bayangan masa lalu dan teringatlah ia kepada ayah ibunya dan kepada saudara tirinya, Ouw Yang Lan dan ibunya, Lai Kim. Teringatlah ia akan Pulau Naga dan semua keluarganya. Siang Bi Hwa menahan keharuan hatinya agar tidak menangis. la telah rindu kepada mereka semua, akan tetapi bagaimana mungkin ia dapat pulang ke Pulau Naga? Selain Cia-Ma pasti tidak akan mengijinkan ia pergi, juga ia sendiri merasa malu bertemu dengan keluarganya di Pulau Naga setelah kini ia menjadi anak angkat seorang mucikari.

“Tok-tok-tok!” Daun pintu kamarnya terketuk dari luar. “Siapa itu?” tanya Bi Hwa sambil menengok ke arah pintu.

“Aku, Bi Hwa. Bukalah pintunya, ada urusan penting yang akan kusampaikan kepadamu.” Siang Bi Hwa membereskan rambutnya agar tidak tampak kusut dan ia mengusir kekalutan pikirannya agar tidak tampak pada wajahnya. Ibu angkatnya itu amat menghargainya sehingga kalau hendak berkunjung ke kamarnya tentu mengetuk pintu lebih dahulu. la lalu bangkit dan menghampiri pintu dan membukanya.

“Ada urusan apakah, ibu?” tanyanya lembut sambil memandang wajah Cia-Ma yang kelihatan berseri gembira.

“Bi Hwa, dia datang lagi, berkunjung ke sini dan ingin bertemu dan bicara denganmu!” “Siapakah, ibu? Apakah Sribaginda Kaisar?” “Ah, tidak, akan tetapi pengawalnya pemuda yang lihai dan yang telah menghajar Su Kongcu dan lima orang tukang pukulnya itu!” Berdebar rasa jantung Bi Hwa. Tan Song Bu, Suhengnya yang datang! Akan tetapi mengapa? Siang tadi Suhengnya itu seperti tidak mengenalnya. Dan ia memang tidak ingin dikenal sebagai puteri mucikari.

“Kenapa dia ingin bertemu denganku, ibu? Aku tidak mempunyai urusan dengan dia! Katakan saja bahwa aku sedang tidak enak badan dan sedang beristirahat, tidak mau diganggu.” “Hussshh! Bagaimana boleh begitu? Ingat, dialah, yang telah menyelamatkan kita dari Su Kongcu! Dan dia adalah orang kepercayaan Sribaginda Kaisar. Mungkin kedatangannya ini diutus oleh kaisar! Hayo, keluarlah dan temui dia. Apa engkau ingin kita semua celaka kalau membantah perintah Kaisar?” Bi Hwa tidak berani membantah lagi. Mungkin Song Bu datang karena mernbawa perintah kaisar, pikirnya. la akan bersikap seolah tidak mengenal pemuda itu dan apapun perintah Kaisar, ia akan mempertimbangkan. la adalah seorang yang memiliki pendirian. Biarpun perintah kaisar, kalau itu tidak berkenan di hatinya, ia tidak akan membuta dan menaatinya begitu saja. la adalah seorang anak pungut mucikari yang tentu dipandang rendah oleh orang orang lain. Apa yang dimilikinya selain harga diri yang harus dijunjungnya tinggi sebagai seorang wanita yang terhormat dan tidak sudi merendahkan, apa lagi menjual diri? Bi Hwa mengikuti Cia-Ma keluar dari kamarnya, menuju ke ruangan tamu itu Pemuda itu duduk diam saja, tidak mempedulikan tiga orang gadis pelacur yang duduk pula di situ.

Tiga orang gadis pelacur itupun tidak berani berkutik, tidak berani mengganggu atau mengajak bicara pemuda yang mereka tahu adalah pengawal kaisar dan yang kemarin mengamuk dan menghajar Kongcu dan lima orang pengawalnya. Karena pemuda itu tidak menegur mereka, maka tiga orang gadis itupun hanya duduk diam seperti arca. Cia-Ma yang melihat situasi seperti lalu memberi isyarat kepada mereka bertiga untuk meninggalkan ruangan tamu itu. Ketika mendengar langkah kaki Bi Hwa dan Cia- Ma, Song Bu menoleh dan dia segera bangkit berdiri ketika melihat Bi Hwa. Dia memandang dengan penuh perhatian. Demikian pula Bi Hwa. la berdiri di depan Song Bu dan menatap wajah pemuda itu dengan penuh selidik. Mereka berdua berdiri saling berhadapan dan saling tatap dengan tajam. Melihat ini, Cia-Ma lalu memberi hormat dan berkata dengan halus.

“Taihiap (Pendekar Besar), ini Siang Bi Hwa sudah datang. Silakan taihiap bicara dengannya. Bi Hwa anakku, temani Taihiap bercakap-cakap, aku hendak ke dalam dulu.” Wanita gemuk itu segera melangkah pergi meninggalkan ruangan tamu. Akan tetapi ia tidak terus menuju ke belakang, melainkan bersembunyi di balik daun pintu yang menembus ke ruangan itu dan memasang telinga. Sebagai seorang ahli silat yang pendengarannya terlatih baik, tentu saja Song Bu dapat menangkap gerakan Cia-Ma, akan tetapi dia tidak perduli karena apa yang akan dibicarakan dengan Siang Bi Hwa bukan rahasia dan dia siap mempertanggung jawabkan pertemuannya dengan gadis itu. Sejenak dua pasang mata bertemu pandang. Bi Hwa menundukkan pandang matanya lalu berkata dengan hormat dan lembut.

“Taihiap, silakan duduk dan katakan kepentingan apa yang membawa Taihiap datang ke sini bertemu dengan saya.” Akan tetapi Song Bu tidak mau duduk dan langsung saja dia menegur gadis itu.

“Hui-moi, lupakah engkau kepadaku? Aku Suhengmu!” Bi Hwa mengangkat muka dan menggeleng kepala.

“Siapa, siapakah Taihiap?” “Aku Suhengmu (kakak seperguruanmu), Tan Song Bu! Bahkan sekarang telah menjadi kakak-angkatmu Ouw Yang Song Bu.” Bi Hwa tetap menggeleng kepalanya.

“Tidak saya tidak mengenalmu...” “Hui-moil Engkau Ouw Yang Hui bukan? Aku tidak salah lihat dan aku masih mengenalmu dengan baik. Engkau Ouw Yang Hui! Ah, adikku, bagaimana engkau dapat berada di tempat seperti ini? Dan di mana adik Ouw Yang Lan? Di mana ibu Lai Kim dan ibumu Sim Kui Hwa? Hu-moi, harap jangan berpura-pura lagi. Ketahuilah, ayah Ouw Yang Lee juga berada di kota raja dan kalau dia sampai mendengar bahwa engkau berada di tempat seperti ini... ahh, tentu akan marah sekali!” Diberondong dan dipojokkan oleh kata-kata Song Bu itu, yang membuat Ouw Yang Hui teringat akan semua keluarganya, gadis itu tidak dapat menahan kesedihannya lagi dan iapun menjatuhkan diri di atas kursi dan menangis lirih.

“Hemm, engkau, tentu diancam dan dipaksa oleh nenek gendut itu, ya? Biar kubunuh ia sekarang juga! Haii engkau, hayo keluar dari tempat sembunyimu!” Song Bu menuding ke arah pintu tembusan di belakang mana Cia-Ma bersembunyi. Mendengar ia hendak dibunuh oleh pemuda perkasa itu dan kini dibentak disuruh keluar, Cia-Ma gemetaran dan menjadi pucat. la lalu keluar dan tersaruk- saruk menghampiri Song Bu, lalu menjatuhkan dirinya berlutut menghadap pemuda itu.

“Ampun, Taihiap... ampun dan jangan bunuh saya, anakku Bi Hwa, tolonglah” lapun menangis ketakutan. Ouw Yang Hui menghentikan tangisnya, mengangkat muka dan berkata kepada Song Bu.

“Suheng, biarkanlah ia, jangan ganggu dia. Cia-Ma sama sekali tidak pernah memaksa atau mengancam aku, bahkan ia sudah kuanggap sebagai ibu sendiri. la baik dan berjasa sekali kepadaku, Suheng. Ibu masuklah dan jangan mendengarkan percakapan kami. Aku akan bicara dengan Suhengku ini.” Cia-Ma mengangguk-angguk, bangkit berdiri lalu pergi meninggalkan ruangan itu dengan tubuh masih lemas ketakutan. la bahkan menutupkan daun pintu tembusan itu dari luar. Setelah yakin bahwa Cia-Ma pergi dan tidak ada orang lain di dekat ruangan tamu itu, Song Bu berkata, “Hui-moi, sekarang ceritakanlah semua riwayatmu sejak engkau dan Lan-moi bersama ibu kalian dilarikan penjahat dari Pulau Naga dan bagaimana pula engkau sampai berada di tempat seperti ini sebagai anak perempuan Cia-Ma. Akan tetapi jangan sebut aku Suheng karena ketahuilah bahwa sejak kalian meninggalkan Pulau Naga, ayah Ouw Yang Lee telah mengangkat aku sebagai puteranya dan sekarang aku bernama Ouw Yang Song Bu, kakak angkatmu, bukan lagi Suhengmu.” Ouw Yang Hui beberapa kali menghela napas panjang untuk menenangkan hatinya yang terguncang, lalu ia bangkit, menghampiri sebuah almari tempat minuman di sudut ruangan itu, rnengambil seguci anggur dan dua buah cawan, membawanya kembali ke meja dan iapun duduk kembali. Dituangnya anggur dari guci ke dalam dua cawan anggur. Semua ini dilakukan dengan tenang karena hatinya sudah tenang kembali.

“Sebelum aku bercerita, mari kita minum dulu untuk menenangkan hati, Suheng eh, Bu-ko (kakak Bu),” katanya. Mereka mengangkat cawan dan minum anggur itu.

“Malam celaka itu, kami berempat, ibuku dan aku, ibu Lai Kim dan enci Lan, dilarikan dua orang penjahat dan dibawa pergi dari Pulau Naga dengan perahu. Aku tidak tahu siapa mereka, hanya tahu bahwa yang seorang laki-laki berusia hampir lima puluh tahun, tinggi besar brewok dan mata kirinya buta.” “Hemm, jahanam itu adalah Gan Tok Houw Lo Cit yang sampai sekarang entah menghilang ke mana karena ayah dan aku tidak berhasil menemukan jejaknya!” kata Song Bu gemas.

“Adapun yang seorang lagi juga seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, tinggi besar dengan muka merah.” “Jahanam yang ke dua ini belum kuketahui siapa. Akan tetapi kalau aku dapat menemukan Lo Cit, tentu aku akan dapat mengetahui siapa dia. Lanjutkan ceritamu Hui-moi,” kata Song Bu sambil memandang wajah adik angkatnya dan diam-diam dia harus mengakui bahwa Ouw Yang Hui benar-benar cantik jelita seperti bidadari! “Kami dilarikan dengan perahu sampai ke daratan besar. Di sana telah menanti anak buah mereka. Kami lalu dipisahkah, Aku dan ibuku dinaikkan kereta oleh Si Mata Satu sedangkan Ibu Lai kim bersama Enci Lalu dibawa pergi dengan kuda oleh penculik ke dua yang bermuka merah. Akan tetapi, tengah perjalanan, Si Mata Satu memerintahkan seorang anak buahnya untuk membawa aku pergi dengan kuda memisahkan aku dengan ibuku.” “Dan bagaimana dengan ibumu?” “aku tidak tahu, ibu masih dikereta bersama Si Mata Satu. Kami menangis dan menjerit-jerit ketika dipisahkan, akan tetapi aku segera dilarikan dengan kuda oleh seorang anak buah Si Mata Satu. Akan tetapi di tengah perjalanan, orang yang melarikan aku dengan kuda itu dihadang dua orang dan merekapun menyerang penculikku. Terjadi perkelahian dan orang yang melarikan aku itu tewas di tangan dua orang itu. Aku berpindah tangan, dibawa pergi oleh dua orang itu dan akhirnya mereka membawaku kepada Cia- Ma. Nah, sejak itulah aku tinggal di sini dan diaku sebagai anak oleh Cia-Ma.” “Dan mucikari itu memaksamu untuk melayani tamu?” tanya Song Bu dengan marah dan penasaran.

“Sama sekali tidak! Andaikata? demikian tentu aku tidak sudi dan aku akan memilih mati dari pada merendahkan diri seperti itu. la bersikap baik sekali, menganggap aku anak sendiri dan ia benar- benar menyayangku sehingga akupun menyayangnya. la memanggil guru-guru untuk mendidik aku. Hanya karena desakan Saja maka ia minta aku untuk bermain musik dan bernyanyi, itupun hanya ditonton dari jauh oleh para Kongcu.” Song Bu mengangguk- angguk. Kemarahannya terhadap Cia-Ma mereda. Bagaimanapun juga, Cia-Ma telah bersikap baik kepada Ouw Yang Hui. Andaikata tidak demikian, andaikata Cia-Ma memaksa Ouw Yang Hui untuk melayani para Kongcu hidung belang, tentu dia akan membunuh mucikari itu! “Dan bagaimana dengan nasib ibumu dan Lan-moi bersama ibunya, Hui-moi?” “Aku tidak tahu, Bu-ko. Aku sama sekali tidak pernah mendengar tentang mereka, tidak tahu mereka kini berada dimana, masih hidup ataukah sudah mati.” “Ibumu masih hidup, Hui-moi. Bahkan ibumu pernah pulang ke Pulau Naga,” kata Song Bu yang mengenang kembali peristiwa pulangnya Sim Kui Hwa yang diantar oleh seorang pendekar yang lihai bernama Gan Hok San. Mendengar ucapan Song Bu, Ouw Yang Hui memandang kakak angkatnya itu,matanya bersinar, la merasa girang sekali mendengar bahwa ibunya masih hidup dan selamat bahkan sudah kembali ke Pulau Naga.

“Jadi ibu sudah pulang dan kini berada di Pulau Naga?” tanyanya. Song Bu mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala.

“Sayang sekali tidak seperti yang kita harapkan, Hui-moi. Ketika itu, beberapa hari setelah engkau dan Lan moi bersama kedua ibu kalian lenyap diculik orang, pada suatu hari muncul ibumu. la diantar oleh seorang pendekar Siauw-lim bernama Gan Hok San yang telah menolongnya dari tangan penculiknya. Ibumu bermaksud untuk pulang ke Pulau Naga dan Pendekar Gan itu hanya mengantarnya sampai ke Pulau Naga. Akan tetapi ayah kita marah dan merasa cemburu, bahkan hendak membunuh ibumu. Akan tetapi Pendekar Gan menghalanginya sehingga terjadi perkelahian antara ayah dan Pendekar Gan. Akhirnya Pendekar Gan yang amat lihai dapat mengalahkan ayah. Ayah, mengusir ibumu dan akhirnya ibumu pergi meninggalkan Pulau Naga dikawal oleh Pendekar Gan Hok San.” Ouw Yang Hui termenung, sedih memikirkan ibunya. Dapat ia bayangkan betapa hancur dan sedih hati ibunya ketika pulang ke Pulau Naga malah dicemburui dan diusir oleh suami sendiri! Bahkan hampir dibunuh dan tentu ibunya sudah tewas kalau tidak ada Pendekar Gan itu yang melindunginya.

“Keterlaluan sekali ayah!” gerutunya. “Sepantasnya dia mengasihani ibu dan berterima kasih kepada Pendekar Gan Hok San itu!” Song Bu menghela napas dan menatap wajah adik angkatnya.

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar