Pedang Sinar Emas Jilid 6

 Jilid VI

“KAU belum mengaku siapa suhumu,” Bouw Ek Tosu dan empat orang adiknya juga melompat dan menahan Kui To yang menjadi gemas sekali. Pemuda ini membalikkan tubuhnya, berdiri sambil bertolak pinggang dan sepasang matanya memancarkan sinar yang amat berpengaruh, sehingga lima orang tokoh kang ouw itu menjadi ragu ragu untuk turun tangan.

“Guruku adalah Iblis! Iblis Tua Laut Selatan, kalian mau apa? ?” bentak Gan Kui To dengan marah sekali.

Bukan main terkejutnya hati Sin beng Ngo hiap mendengar keterangan ini.

“Apa…..? Suhumu Lam hai Lo mo Seng jin Siansu ??”

“Hanya ada satu saja Lam hai Lo mo !” jawab Kui To. Berubahlah wajah kelima orang itu. Pantas saja pemuda ini demikian lihai seperti setan, tidak tahunya dia adalah murid dari tokoh besar atau datuk persilatan dari selatan itu. Bouw Ek Tosu cepat mengangkat kedua tangan ke dada dan memberi hormat dituruti pula oleh empat orang adiknya.

“Maaf, maaf, pinto berlima sama sekali tidak tahu bahwa taihiap (pendekar besar) adalah murid dari locianpwe itu. Kami Sin beng Ngo hiap benar benar merasa tunduk atas kelihaian taihiap.”

Akan tetapi Gan Kui To hanya menggerakkan hidungnya dan sepasang matanya yang sudah sipit menjadi makin kecil lagi dalam tarikan muka menghina, kemudian tanpa banyak cakap ia lalu berlari menyusul Lan Giok yang sudah lenyap dari pandangan mata. Gerakannya amat cepat, sehingga sebentar saja ia sudah berada jauh.

Bouw Ek Tosu menarik napas panjang..”Aah, kita ini orang orang tua benar benar seperti katak katak di dalam sumur, tidak tahu lebarnya dunia dan kemajuan kemajuannya. Betul kata orang bahwa makin tua usia, segala menjadi makin mundur dan makin lemah. Anak anak sekarang memiliki kepandaian yang hebat dan sebentar saja mereka itu akan jauh meninggalkan kita.”

“Kita tidak perlu merasa penasaran,” menghibur Kui Hok Si Pacul Kilat. “anak anak muda yang kita jumpai dan yang memiliki ilmu kepandaian hebat adalah murid murid dari Ngo gak (Lima Gunung Besar) atau Ngo thai locianpwe (Lima Orang Tua Gagah). Anak perempuan tadi adalah murid dari Mo bin Sin kun, adapun pemuda tadi adalah murid dari Lam hai Lo mo, tentu saja kepandaian mereka amat luar biasa. Mengapa mesti malu kalau sampai kita tidak dapat mengalahkan mereka?”

Tiba tiba Hwa Hwa Niocu teringat akan sesuatu dan mukanya berubah.”Ah, celaka…!” katanya. 

Kakak kakaknya menahan tindakkan kaki mereka dan memandang dengan heran.”Mengapa kau bilang celaka ?” tanya Bouw Ek Tosu.

“Kita tak bisa ke kota raja“ “Mengapa ?” Si Pacul Kilat bertanya.

“Suheng, bukakah bahwa anak yang bernama Kui To itu adalah murid dari Lam hai Lo mo? Betapapun juga, kita telah bertempur melawan dia dan sekarang diapun pergi ke kota raja. Pat jiu Giam ong adalah susioknya (paman gurunya), maka tentu anak itu pergi ke sana pula. Kalau kita bertemu dengan dia di sana dan Pat jiu Giam yang telah mendengar tentang pertempurannya dengan kita, bukankah kita akan menghadapi suasana yang amat tidak enak?”

Teringatlah kakak kakaknya akan hal itu dan mereka saling memandang dengan bingung..”Apalagi kalau Lam hai Lo mo sendiri berada di sana!” seorang diantara sepasang hwesio kembar berkata menambahkan.

“Habis, kalau kita tidak ke sana, bagaimana dengan rencana kita tentang harta terpendam itu? Dan rencana kita untuk mengadukan Pat jiu Giam ong dengan Mo bin Sin kun?” kata Bouw Ek Tosu sambil memandang kepada adik adik seperguruannya minta pertimbangan.

“Lebih baik kita serahkan urusan ke dua itu kepada muridmu, Twa suheng,” kata Kui Hok yang cerdik. “biarlah Ngo jiauw eng muridmu itu yang menjadi pembantu Pat jiu Giam ong, memberi laporan tentang kehendak Mo bin Sin kun membasmi bekas orang orang Ang bi tin ! Adapun tentang harta terpendam dari bekas Jenderal Yap itu, karena lain orang tidak ada yang tahu, mengapa kita harus tergesa gesa? Lain kali saja kalau keadaan sudah aman, tak dapatkah kita mengambilnya? Demikianlah, mereka lalu mengambil jalan wenuju ke kota Tong Seng kwan untuk mencari Ngo jiauw eng !

Kita ikuti perjalanan Song Bun Sam dan suhengnya muka tengkorak Yap Bouw yang masuk ke dalam kota raja dengan maksud hendak mengambil harta pusaka yang disimpan oleh Yap Bouw di dalam kebun bunga bekas gedungnya. Menurut hasil penyelidikan Bun Sam di waktu siangnya, karena Yap Bouw menyembunyikan diri agar mukanya tidak menarik perhatian orang, mereka mendapat keterangan bahwa rumah gedung bekas tempat tinggal Jenderal Yap Bouw itu kini ditinggali oleh seorang Panglima Goan tiauw bernama Bucuci.

“Kita harus bekerja hai hati, sute,” kata Yap Bouw dengan bahasa gerak jarinya. “aku pernah mendengar bahwa Panglima Bucuci itu amat lihai ilmu silatnya.”

Setelah hari menjadi malam yang gelap, kedua orang ini lalu pergi menyelidiki ke gedung Panglima Bucuci. Mereka langsung menuju ke bagian bela kang, melompati pagar tembok dan mengintai ke dalam kebun kembang yang indah itu. Dengan hati terharu Yap Bouw melihat betapa taman bunga yang dulu amat disnyanginya dan yang diaturnya sendiri itu masih sama seperti dulu. Alangkah anehnya melihat kenyataan yang kadang kadang membuat manusia harus berpikir dalam dalam. Bangsa apapun juga, biarpun mereka itu boleh saling menggempur, saling membenci dan saling bermusuhan, ternyata selalu memiliki kesenangan yang sama, sama sama suka memelihara kembang, suka melihat pemandangan indah, pendeknya semua manusia di dalam dunia ini, tidak perduli bangsa apa, tidak perduli beragama apa atau berpolitik apa tetap saja yang dikehendaki ialah suasana yang menyenangkan jasmani dan rohaninya! Seperti halnya semua bunganya ini demikian Yap Bouw berpikir. Aku dulu amat snyang pada taman bunga ini dan agaknya penghuni barunya, panglima dari Mongol itu, juga amat snyang, buktinya pada taman bunga ini terawat baik baik dan modelnya masih sama dengan dulu.

“Harta itu terpendam di bawah sebatang pohon yangliu (cemara) yang berada di sudut barat taman, di dekat empang teratai,” demikian keterangan yang diberikan oleh Yap Bouw kepada Bun Sam. Oleh karena itu, setelah melihat betapa keadaan di taman yang kini diberi penerangan di empat penjuru itu sunyi saja, Bun Sam dan suhengnya lalu melompat turun dan mengeadap endap menuju ke ujung barat taman itu.

Ketika mereka tiba di dekat tempat itu, tiba tiba mereka mendengar suara orang dan secepat kilat Bun Sam telah bersembunyi di belakang serumpun pohon bunga, adapun Yap Bouw lebih cepat lagi telah melompat ke balik tembok dan keluar dari taman!

Ketika Bun Sam Mengintai, ia melihat seorang gadis duduk di bawah pohon yang liu, di dekat empang teratai yang indah itu. Di atas pohon itu digantungi sebuah lampu yang cukup terang, bahkan di empat penjuru empang teratai yang banyak ikan masnya itu juga terdapat empat buah lampu teng yang kecil, akan tetapi berwarna merah indah, sehingga sinarnya di sekeliling empang itu nampak ke merah merahan.

Akan tetapi, semua pemandangan yang indah ini terlewat saja. oleh pandangan Bun Sam, karena yang menjadi pusat perhatian pandangan matanya adalah gadis itu sendiri ! Gadis itu berpakaian sebagai seorang cian kim siocia, seorang puteri bangsawan yang tarpelajar, dengan pakaiannya yang terbuat daripada sutera halus dan berwarna indah. Bajunya berkembang, berwarna merah sehingga nampak mukanya yang bekulit putih dan amat cantiknya. Gaun di bawah berwarna kuning gading, dengan celana lebar berwarna kebiruan dan ikat pinggang yang panjang berwarna keemasan. Rambutnya disanggul dengan model terakhir, amat manis dan sedap dipandang.

Bagaikan terpesona, Bun Sam pemuda tanggung berusia enam belas tahun itu berdiri ditempat sembunyinya dengan mata terbelalak penuh kegairahan. Ia merasa seakan akan melihat seorang bidadari dari kahyangan dan sekaligus hatinya jatuh oleh kecantikan gadis itu.

Tanpa berani bergerak Bun Sam melihat betapa gadis cantik itu tengah menggunakan sebatang pit menulis sesuatu di atas kertas. Hati Bun Sam berdebar ketika ia melihat gadis itu mengerutkan kening sebentar sebentar menghentikan tulisannya, memandang ke dalam empang atau menggunakan bibir dan giginya yang putih untuk menggigit tangkai pit, lalu menulis lagi. Aduh, alangkah indahnya pemandangan yang terbentang di hadapan matanya itu. Bun Sam benar benar terpesona.

Agaknya nona baju merah yang cantik itu telah selesai menulis, karena ia lalu mengangkat kertas yang penuh tulisan itu, dibacanya perlahan tanpa menggerakkan bibirnya sambil menengadah untuk lebih jelas melihat tulisannya di bawah sinar lampu dari pohon yang liu. Karena wajahnya kini tersamar penuh oleh lampu, maka Bun Sam seakan akan merasa napasnya terhalang dan debar dadanya makin mengeras. Nona itu benar benar cantik dalam pandangan matanya, jauh lebih cantik daripada nona yang manapun juga yang pernah dilihatnya baik dalam kenyataan maupun dalam mimpi. Kemudian, bagaikan dalam mimpi, ia melihat bibir itu bergerak dan mendengar suara yang merdu membaca tulisan yang ternyata adalah serangkaian sajak.

Bagi telinga Bun Sam, semua bunyi yang tadi terdengar olehnya, yakni suara jengkerik yang bersembunyi di dalam rumput, suara burung malam yang kadang kadang terdengar dari jauh, juga suara ikan yang melompat ke permukann air, lenyap sama sekali dan udara penuh oleh suara gadis itu yang halus dan merdu. Saking terpesona dan penuh perhatian Bun Sam dapat menangkap jelas isi syair itu dan mendengar jelas perkataan perkataannya satu demi satu,

“Ikan kecil bersisik emas bermata Intan Alangkah senangnya hidupmu, ikan ! Berenang di air jernih dibawah teratai indah Bermain dengan bayangan bulan dan lampu Merah.

Alangkah bahagia hidupmu! Benarkah kau berbahagia?

Atau hanya sangkaanku belaka?

Benarkah aku terkurung di dalam empang? Bukankah segala keinginan hatimu terhalang? Ah, ikan, agaknya kau seperti aku pula, Nampaknya gembira namun… hati diliputi duka !

Sunyi, sunyi sekali bagi Bun Sam setelah gadis itu selesai membaca sajaknya. Sunyi dan sedih sehingga helaan napas yang halus dari gadis itu terdengar nyata olehnya, seakan akan berada di depan mukanya.

Tak terasa pula, Bun Sam ikut menghela napas. Sayang, pikirnya, gadis yang cantik dan terpelajar, yang dapat membuat sajak demikian indahnya, diliputi kedukaan. Akan tetapi sesungguhnya pikiran pemuda ini salah sama sekali, karena siapakah gadis itu? Bukan lain adalah Tan Sian Hwa, puteri dari Panglima Bucuci atau murid terkasih dari Pat jiu Giam ong! Sama sekali bukanlah seorang gadis terpelajar yang lemah, melainkan seorang gadis yang berkepandaian tinggi, ahli silat juga ahli surat!

Maka alangkah kaget hati Bun Sam ketika tiba tiba gadis itu bangkit berdiri, tangan kanannya mengepal ngepal kertas yang tadi ditulisi, sehingga kertas itu menjadi sekepal benda bulat. Tiba tiba Sian Hwa memutar tubuh dengan cepat dan ketika tangan kanannya terayun, kertas yang telah menjadi bal bulat itu meluncur cepat bagaikan pelor besi ke arah gerombolan pohon kembang yang menutup tubuh Bun Sam !

Di dalam kagetnya, Bun Sam mengulur tangan menyambut.”pelor kertas” ini dan makin terkejutlah dia ketika merasa betapa telapak tangannya seperti menerima sebutir pelor baja saja dan betapa tenaga sambitan itu amat kuat !

“Bangsat atau pencuri manakah yang berani mati sekali memasuki taman orang?” gadis itu membentak marah dan tahu tahu gadis ini telah memegang sebatang pedang yang tadi ditaruh di dekat bangku yang didudukinya.

Bun Sam menjadi serba salah. Untuk melarkan diri sudah tidak keburu lagi karena orang telah mengetahui di mana ia bersembunyi. Ia tidak ingin bertempur dan ia tidak ingin timbul salah pengertian diantara mereka. Ia datang bukan bermaksud berkelahi, melainkan hendak mencari harta terpendam dari suhengnya. Maka ia lalu terpaksa bertindak keluar dari gerombol itu, dengan muka merah dan kepalan kertas tadi masih berada d tangannya.

Kebetulan sekali Bun Sam keluar di tempat yang diterangio oleh sinar lampu, maka Sian Hwa dapat melihat jelas wajah seorang pemuda yang tampan dan gagah, wajah yang tunduk kemerahan dan nampak malu malu sekali dan yang memegang kertas tulisannya yang di sambitkannya tadi. Untuk sejenak gadis ini memandang dengan mata terbuka lebar. Tadinya ia mengira bahwa yang akan muncul dari balik rumpun itu tentulah seorang laki laki kasar seperti biasanya muka seorang pencuri atau penjahat, sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa yang akan muncul adalah seorang pemuda remaja yang demikian tampan dan gagah nya, yang berdiri sambil menundukkan muka ke malu maluan!

“Siapa kau? Mengapa malam malam masuk ke sini? tanyanya, tetapi suaranya tidak segalak tadi.

“Mohon maaf sebanyaknya, nona. Aku….” Bun Sam menjadi bingung karena kalau ia mengaku, tentulah rahasia suhengnya akan terbongkar dan ia tidak menghendaki hal ini. Pikiran yang cerdik itu bekerja cepat, lalu disambungnya ucapannya yang terputus tadi..”Aku adalah seorang pelancong yang.... kesasar, nona. Barusan aku.....

aku mendengar kau membaca sajak yang yang…. amat indah, sehingga tanpa mendapat izin aku lancang masuk ke sini. Mohon kau memberi maaf sebanyak banyaknya, nona!”

Sian Hwa memandang dengan tajam dan pandangan matanya penuh selidik, ia juga bukan seorang gadis yang bodoh dan mendengar ucapan yang sopan santun dan merendah ini, ia sudah dapat menduga bahwa semua yang dikatakan tadi tentu bohong semata. Akan tetapi, entah mengapa, melihat pemuda ini hatinya tertarik dan ia ingin sekali mengetahui lebih banyak tentang pemuda ini. Apalagi tadi ia telah melihat betapa pemuda ini dengan mudah saja dapat menyambut sambitan kertasnya yang telah dikepal dan dilontarkan dengan lweekang yang kuat.

“Hm, jadi kau seorang perantau yang kesasar?” Sian Hwa mengulang keterangan pemuda itu sambil memandang acuh tuk acuh. “dan kau seorang terpelajar yang pandai membuat sajak, maka kau tertarik oleh sajak yang kubaca tadi?”

Karena sudah kepalang tanggung, Bun Sam mengangguk. Mukanya berseri karena ia dapat melepaskan diri dan keadaan yang amat tidak enak.

“Sekali lagi maafkanlah aku, nona. Aku adalah seorang dusun yang baru masuk kota. Sesungguhnya baru kali ini aku masuk ke kota raja, sehingga tidak tahu aturan. Maafkan kelancangaaku telah masuk ke sini.”

“Tidak demikian mudah, kawan,” kata Sian Hwa dan kini gadis inipun melempar senyun, karena ia merasa geli melihat tingkah laku pemuda yang ia tahu berpura pura bodoh ini.”Kau telah mencuri dengar sajakku dan juga mencuri masuk ke tamanku. Karena kau adalah seorang terpelajar yang tentu pandai membuat sajak, maka sebelum kau membaca sebuah sajakmu, kau tak boleh pergi begitu saja dan tidak akan mudah mendapatkan maafku.”

Bun Sam terkejut dan pura pura memperlihatkan muka ketakutan.

“Aduh, nona. Bagaimana kalau aku tidak dapat membuat sajak? Aku aku adalah seorang dusun yang bodoh. Pelajaranku masih amat dangkal!” “Kalau tidak dapat berarti bahwa kau memang sengaja masuk untuk mencuri. Nah, kau bersajak lah atau

kusuruh penjaga menangkapmu dan memasukkan kau

dalam penjara!”

Celaka, pikir Bun Sam, akan tetapi hatinya berdebar girang. Tak disangkanya bahwa ia akan mendapat kesempatan berlawan tutur dengan gadis yang makin lama makin menarik dan jelita ini.

Ia tidak takut kepada gadis ini, juga tidak takut apabila gadis ini memanggil para penjaga, akan tetapi lebih baik jangan membuat permusuhan dengan gadis yang semolek ini, apalagi karena ia dan suhengnya hendak mengambil harta terpendam. Ia pernah mempelajari ilmu surat ketika ia masih berada di puncak Oei san, bahkan suhengnya banyak pula memberi petunjuk kepadanya. Pernah ia menghabiskan tiga buku sejarah yang ditulis Oleh Yap Bouw sendiri di mana terdapat pula sajak sajak peperangan yang bersemangat. Di antaranya masih ada yang diingat di luar kepalanya, maka ia lalu berkata.

“Baiklah, akan tetapi karena aku hanya seorang bodoh, harap nona jangan mentertawakan padaku kalau sajakku terdengar buruk dan kasar.” Ia lalu mengingat ingat, kemudian ia mendeklamasikan sajak yang diingatnya di luar kepala, yakni sajak dari seorang panglima gagah di zaman Sam kok.

“Bila golok telanjang berada di tanganku, dan pakaian perang menempel di tubuhku, aku bisa menjadi seorang manusia!

Bila golokku berwarna merah,

dan pakaian perangku berbau darah, aku merasa sehat gembira ! Napas dan tetes darah terakhir, kusediakan untuk tanah air!”

Sian Hwa bergidik.”Ah, sajakmu mengerikan sungguh tidak suka aku mendengarnya.”

Bun Sam tersenyum. Ia makin suka kepada gadis ini dan juga merasa betapa lucu sikap gadis yang pandai menyambit dengan tenaga lweekang, akan tetapi tidak suka akan sajak sajak perang ini.

“Mengapa kau terenyum? Kalau kau bermaksud kurang ajar….” kembali Sian Hwa meraba gagang pedangnya yang sudah disarungkannya kembali.

“Bagaimanakah aku berani berlaku kurang ajar, nona? Kau begini halus, begini peramah, begini lemah lembut dan pemurah, suka memaafkan seorang kelana yang tersasar, biar sampai matipun aku takkan berani berlaku kurang ajar. Akan tetapi.... aku terpaksa tersenyum karena kau memang lucu, nona. Kau membawa pedang dan tampak gagah seperti seorang ahli silat, akan tetapi kau merasa ngeri mendengar sajak perang.”

Sian Hwa cemberut. “Bodoh, aku buku merasa ngeri karena takut, hanya karena sajak itu tidak cocok dengan jalan pikiranku. Siapa orangnya yang demikian bodoh untuk memikirkan mati saja dalam hidupnya? Apakah hidup ini memang hanya untuk menanti datangnya maut?”

“Nah, itulah, noaa. Cocok sekali dengan pendapatku. Hidup tak perlu mengeluh, masih banyak jalan untuk mencari kebahagiaan. Biar ikan di airpun akan dapat merasai kebahagiaan hidupnya asalkan dia tidak mudah berkeluh kesah....” tiba tiba Bun Sam menahan ucapannya dan merasa betapa ia telah lancang sekali. Ia melihat betapa 

gadis itu menatapnya dengan mata terbuka lebar maka tahulah bahwa dia telah menyinggung nyinggung bunyi sajak yang mengenai keadaan diri gadis itu.

“Hem, kau bukan orang biasa. Kaukira mataku buta, sehingga aku tidak tahu bahwa kau bukanlah seorang dusun sebagaimana yang kaukatakan? Kau tentu sudah lama masuk ke taman ini dan mengintai karena kalau baru saja kau masuk tentu aku telah mendengarmu. Kau tidak masuk karena tertarik oleh bunyi sajakku, Ayoh katakan! Siapa kau dan apa perlumu ke taman ini?”

Sebelum Bun Sam yang menjadi kebingungan itu sempat menjawab, terdengar suara dari arah bangunan gedung. “Sian Hwa, dengan siapa kau bicara?” Ucapan ini disambung oleh suara kerincingan yang riuh.

“Celaka, ayah datang dan kau tentu akan dibunuhnya!” gadis itu berbisik dengan wajah pucat.

Sebalum kedua orang muda itu dapat berbuat sesuatu, berkelebatlah bayangan dan suara kerincingan makin jelas terdengar dan tahu tahu di depan Bun Sam telah berdiri seorang pendek yang berpakaian perang dan banyak kerincingan di pasang pada pakaiannya ini. Orang ini adalah Panglima Bucuci.

“Sian Hwa, siapa dia ini ?” Bucuci bertanya dengan kening dikerutkan.

Gadis itu tentu saja tidak mau tercemar namanya dalam pandangan ayah tirinya, maka ia menjawab. “Siapa tahu, ayah? Dia tahu tahu telah bersembunyi di dalam taman dan ku baru saja menegur dan bertanya kepadanya ketika ayah datang!” 

“Bangsat, kau tentu maling ya? Berani sekali kau masuk ke dalam tamanku. Apakah kau mempunyai nyawa lebih dan satu?”

Sambil berkata demikian, dengan amat tiba tiba Bucuci bergerak maju sambil memukul kepala pemuda itu. Diam diam hati Sian Hwa menjerit karena ia menaruh hati kasihan terhadap pemuda itu dan biarpun ia dapat menduga bahwa pemuda itu tentu mengerti ilmu silat, akan tetapi bagaimana dapat menahan serangan ayah tirinya yang mempunyai ilmu silat yang amat ganas?

Akan tetapi segera gadis itu dan ayah tirinya menjadi heran sekali ketika melihat betapa dengan hanya menggoyangkan sedikit lehernya, Bun Sam telah dapat menghindarkan diri dari serangan ke arah kepalanya.

“Ciangkun...... maaf…. siauwte tidak sengaja masuk ke taman ini:....” katanya dengan bingung, karena sesungguhnya perkembangan kedadaan yang amat buruk ini tidak diingini sama sekali oleh Bun Sam.

“Bangsat muda, kau memiliki kepandaian juga, maka berani lancang masuk ke sini, ya? Nah, terimalah ini !” Kembali perwira Mongol yang lihai ini maju dan melakukan serangannya yang ganas dan cepat. Bun Sam melihat betapa lawannya ini menggunakan ilmu pukulan yang menyerupai ilmu silat Siauw kin na jiu hwat, yakni ilmu silat yang berdasar tangkapan dan cengkeraman (semacam Jiu yit su) ia cepat mengelak ke belakang dan mempergunakan ginkangnya untuk menjauhi penyerangan itu. Oleh karena tahu bahwa panglima ini adalah ayah dari gadis yang menarik hatinya, ia tidak mau membalas serangan lawan dan hanya mengelak ke sana ke mari ketika serangan Bucuci makin menghebat. Kini perwira itu tidak hanya mempergunakan sepasang tangannya saja untuk mencengkeram dan menangkap, bahkan menambah serangannya dengan tendangan tendangan maut yang amat berbahaya.

Akan tetapi, alangkah herannya ketika tubuh pemuda itu tiba tiba lenyap dari pandangan matanya dan berkelebatan ke sana ke mari diantara sambaran tangan kakinya. Juga Sian Hwa menjadi terkejut sekali ketika melihat betapa pemuda yang kelihatan bodoh itu ternyata memiliki ginkang yang agaknya tidak akan kalah oleh kepandaiannya sendiri. Bucuci makin marah. Tiba tiba ia berseru keras sekali dan kerincingan yang tadinya masih berbunyi riuh, kini tidak berbunyi sama sekali, tanda bahwa ia telah mengerahkan seluruh ginkang dan lweekang nya untuk menyerang lawannya yang muda itu. Kalau tadi Bucuci hanya berusaha untuk menangkap hidup hidup pemuda itu, kini ia menyerang dengan pukulan pukulan mematikan. Akan tetapi, jangankan merobohkan pemuda itu, bahkan sekali pernah ia berhasil menangkap pergelangan lengan Bun Sam akan tetapi dengan licin melebihi belut tangan yang dipegangnya itu dapat terlepas dengan sekali betot saja. Itulah Ilmu Sia kut hwat (Melepaskan Tulang Melemaskan Tubuh) tingkat tinggi, sehingga pemuda ini dapat membuat bagian bagian tubuh nya menjadi licin seperti belut.

“Ciangkun, maafkan siauwte yang lancang, Siauwte tidak berani melawan lebih lanjut,” kata Ban Sam dan tiba tiba tubuhnya berkelebat keatas tembok dan lenyap di dalam gelap.

“Sian Hwa, kejarlah dia!” teriak Bucuci kepada anaknya karena ia maklum bahwa ilmu kepandaian anaknya ini sekarang sudah lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri. Apalagi dalam hal ginkang, terang bahwa Sian Hwa jauh lebih pandai. Akan tetapi gadis itu hanya melompat ke atas tembok dan ketika melihat bayangan Bun Sam dan bayangan seorang lagi yang lebih besar berlari jauh, ia hanya memandang. Untuk apa aku harus mengejarnya? Demikian pikir gadis ini dan semacam perasaan aneh terhadap pemuda itu timbul di dalam hatinya ia melompat turun kembali dan ketika ayah tirinya bertanya, ia tetap tidak bercerita terus terang dan hanya mengatakan bahwa tahu tahu pemuda itu telah bersembunyi di dalam taman dan tepergok olehnya.

Sementara itu, dengan gerak jari tangannya, Yap Bouw menegur adik seperguruannya. “Bun Sam, kau terlalu sembrono. Mengapa kau memancing keributan di dalam taman dengan Panglima Bucuci? Dengan adanya keributan itu Panglima Bucuci tentu menjadi curiga dan makin sukarlah usaha untuk menggali harta itu.”

Bun Sam hanya menundukkan mukanya dan setelah menghela napas, dengan sepasang matanya masih membayangkan kecantikan Sian Hwa, ia berkata, “Maaf, suheng. Sebetulnya bukan maksud ku untuk memancing keributan. Aku kepergok oleh gadis itu dan setelah aku mulai berhasil membohonginya dan mencari alasan mengapa aku berada di situ, tiba tiba datang ayahnya yang galak dan serta merta menyerangku kalang kabut. Sayang sekali, pecahlah rahasiaku, karena tadinya aku hendak merahasiahkan bahwa aku mengerti ilmu silat. Siapa tahu perwira itu menyerang tanpa memberi kesempatan kepadaku, sehingga terpaksa aku angkat kaki.

Oleh karena sudah terlihat oleh seorang panglima besar seperti Bucuci terpaksa Bun Sam dan Yap Bouw bermalam di dalam sebuah Kuil Buddha, tidak berani bermalam di Hotel, takut kalau kalau akan terlihat oleh mata mata dan menimbulkan keributan belaka. Menurut usul Yap Bouw, mereka bergerak dalam beberapa hari ini, menanti sampai taman bunga di belakang gedung Pauglima Bucuci itu sunyi dan tuan rumah tidak menjaga dengan kuat lagi. Bun Sam setuju saja atas usul suhengnya karena keadaan di kota raja cukup menarik dan ramai, sehingga setiap hari ia dapat melancong dan melihat lihat keadaan kota raja yang amat indah. Akan tetapi Yap Bouw tidak pernah keluar di waktu siang, hanya bersembunyi saja di dalam kuil karena ia takut kalau kalau keadaannya akan menarik dan menimbulkan kecurigaan orang. Apalagi ia sama sekali tidak tertarik oleh pemandangan di kota raja, karena ia tahu bahwa pemandangan itu hanya akan menimbulkan kemarahan dan keharuan di dalam hatinya, melihat betapa sekarang kota raja menjadi ibu kota dari pemerintah asing! Baik Bun Sam maupun Yap Bouw, sama sekali tidak pernah mengira bahwa pada waktu itu seorang gadis sedang berada di kota raja juga, seorang gadis yang masih amat muda akan tetapi yang memiliki keberanian luar biasa! Dan selain gadis yang bukan lain dari Lan Giok ini masih ada seorang pemuda lagi yang juga sedang bersiap siap melakukan sebuah tugas yang akan menggemparkan kota raja dan pemuda ini adalah Thian Giok, kakak dari Lan Giok !

Sebagaimana telah dituturkan sedikit di bagian depan, Lan Giok adalah adik kembar dari seorang pemuda yang bernama Thian Giok, murid dari Mo bin Sin kun juga. Berbeda dengan Lan Giok yang lincah dan jenaka, Thian Giok adalah seorang pemuda yang pendiam dan biarpun usianya juga baru empatbelas tahun lebih, numun ia nampak lebih matang dan lebih luas pandangannya. Ia menerima tugas dari gurunya untuk melenyapkan Toa to Hek mo (Setan Hitam Bergolok Besar) seorang tokoh Ang bi tin yang dahulunya terkenal sebagai seorang perampok besar. Sebagaimana para pembaca barangkali masih ingat, di dalam jilid terdahulu telah dituturkan bahwa ayah Bun Sam, yakni Song Hak Gi, terbunuh oleh keroyokan Toa to Hek mo dan kawan kawannya pula! Mo bin Sin kun adalah pembencii Ang bi tin, terutama sekali ia membenci sampai ke tulang tulangnya orang orang Han yang membantu Ang bi tin, karena orang orang macam ini dianggapnya orang orang pengkhianat yang tidak mundur untuk mengorbankan nyawa dan mengalirkan darah bangga sendiri demi kepentingan orang orang Mongol. Oleh karena itu, sekalian untuk memberi kesempatan kepada muridnya mencari pengalaman ia memperdalam kepandaian, ia menyuruh Thian Giok membunuh Toa to Hek mo dan menyuruh Lan Giok membunuh Ngo jiauw eng. Tugas Thian Giok dianggapnya lebih ringan karena memang Toa to Hek mo bukanlah lawan berat, sebaliknya tugas Lan Giok lebih berat. Selain Ngo jiauw eng adalah murid dari Bouw Ek Tosu, orang tertua dan Sin beng Ngo hiap, juga Lan Giok dianggapnya masih hijau. Oleh karena itu. Diam diam Mo bin Sin kun membayangi perjalanan murid perempuan ini.

Dua malam kemudian setelah Bun Sam bertemu dengan Sian Hwa di taman bunga gedung panglima Bucuci, terjadi kegemparan pertama di kota raja. Toa to Hek mo, yang kini bekerja sebagai seorang touwtong juga di kota raja terdapat mati di dalam kamarnya. Dadanya pecah terkena pukulan yang hebat sekali dan penjahat tua ini maei tanpa terdengar suaranya oleh orang serumah.

Tentu saja kota raja menjadi gempar. Terbunuhnya seorang pembesar militer, seorang bekas tokoh Ang bi tin pula, tentu saja menarik perhatian orang, Bucuci yang mendengar ini, lalu menghubungkan kedatangan pemuda di malam hari dalam tamannya itu, maka ia lalu menyebar mata mata dan mempersiapkan penjagaan di dalam kota raja untuk menangkap pembunuh itu. Oleh karena tidak ada seorangpun yang melihat pembunuh touwtong Toa to Hek mo, memang agak sukar untuk mencari pembunuhnya. Akan tetapi Panglima Bucuci memerintahkan semua kaki tangan dan mata matanya untuk menyelidiki dan mengikuti semua orang yang dianggap asing yang kebetulan berada di kota raja.

Pada keesokan harinya, ketika Bun Sam sedang terjalan jalan, ia mendengar warta yang mengejutkan ini. Ia merasa heran juga karena siapakah orangnya yang demikian beraninya, membunuh seorang pembesar militer di kota raja? Ia maklum bahwa di kota raja banyak terdapat panglima panglima dan perwira perwira yang tangguh, banyak terdapat siwi siwi (pegawal kaisar) yang berkepandaian tinggi. Diantaranya Panglima Bucuci dan Jenderal Liem yang berjuluk Pat jiu Giam ong dan yang memiliki kepandaian amat tinggi. Maka, siapakah orangnya yang demikian berani melakukan perbuatan yang seakan akan merupakan tantangan terhadap para panglima kerajaan?

Ketika ia tiba di sebuah perempatan yang ramai ia melihat seorang pemuda yang tampan berjalan sambil menundukkan mukanya. Pemuda itu memakai pakaian seperti seorang kacung biasa, akan tetapi mata Bun San yang tajam segera mengenalnya. Setelah ia memperhatikan dengan seksama diam diam ia menjadi geli sekali. Ah.diantara muka seribu orang manusia, ia masih akan dapat mengenal muka ini, pikirnya. Apa apaan dia memakai pakaian seperti itu?

“Lan Giok, kau sedang berbuat apakah di sini?” tegurnya tiba tiba untuk meng orang sambil menyentuh pundak pemuda tampan itu dari belakang.

Benar saja seperti yang diduganya, pemuda itu menengok dengan kaget sekali dan memberi reaksi yang kontan. Sambil memiringkan tubuh pemuda itu dapat mengelak dari sentuhan tangan Bun Sam, lalu mengerutkan kening dengan pandangan matanya yang amat tajam.

“Siapakah kau? Aku tidak kenal padamu!” kata pemuda itu dengan penuh kecurigaan.

Bun Sam tertawa dan merasa makin geli hatinya. “Ah, Lan Giok, orang lain boleh kau permainkan akan tetapi apakah kaukira aku tak dapat mengenalmu? Ha, ha, anak nakal, biarpun kau akan memakai pakaian pengemis atau kepalamu akan kau gunduli, aku pasti akan dapat mengenal mukamu yang jenaka! Eh, Lan Giok, kau bersama siapa datang ke sini? Mana suthai??”

Pemuda itu memandang makin heran..”Aku bukan Lan Giok, aku tidak kenal padamu!” Sambil berkata demikian ia lalu berjalan pergi. Bun Sam terbelalak memandang, lalu menyusulnya ia tetap yakin bahwa pemuda itu tentu Lan Giok yang memakai pakaian laki laki dan entah mengapa gadis cilik itu berlaku seolah olah tidak mengenalnya. Tiba tiba ia menjadi pucat karena teringat akan pembunuhan yang terjadi malam tadi. Mungkinkah Lan Giok yang melakukannya?

“Lan Giok, tunggu….!” serunya dan dua orang muda ini lalu berkejaran, menimbulkan keheranan pada banyak orang yang berlalu limas di tempat itu.

Tiba tiba diantara banyak orang yang berada di situ, melompat lima orang yang berpakaian biasa, akan tetapi yang sesungguhnya adalah lima orang siwi (pegawai kisar) yang berkepandaian tinggi. Memang seperti telah dituturkan di depan, selelah terjadi pembunuhan ini tidak saja fihak keamanan kota yang menyebar mata mata, juga duri pembesar militer seperti Panglima Bucuci dan juga fihak Gi lim kun (Pasukan Pengawal Istana) mengadakan penjagaan secara diam diam dan memasang mata mata. Tentu saja segala peristiwa yang mencurigakan tidak terlepas dari pengawasan para penyelidik ini dan pertemuan antara pemuda dan Bun Sam itu juga menimbulkan kecuriggan lima orang siwi yang bertugas di situ. Yang terutama mereka curigai tentu saja pemuda berpakaian kacung biasa ini.

“He, kau! berhenti dulu!” Lima orang siwi itu berteriak sambil mengejar pemuda itu. Karena lima orang itu mengulurkan tangan dia hendak mempergunakan Ilmu Eng jiauw kang untuk mencengkeram pundaknya dan menangkapnya, pemuda itu cepat membalikkan tubuhnya dan sekali kedua tangannya didorongkan ke depan, lima orang itu berteriak kesakitan dan jatuh terjengkang semuanya.

Bun Sam tersenyum. Hm, Lan Giok telah mempergunakan Soan hong pek lek jiu untuk merobohkan limaorang yang hendak menangkapnya itu.

“Lan Giok, mari kau ikut lari bersamaku. Aku dan suheng mempunyai tempat yang baik sekali !” ajaknya sambil melompat ke dekat pemuda itu.

Sementara itu, seruan seruan para siwi itu telah menarik perhatian dua orang pembesar yang sedang duduk berunding di sebuah restoran besar. Mereka ini adalah Panglima Bucuci sendiri bersama seorang komandan pasukan Gi lim kun yang bernama Ang Seng Tong yang memiliki kepandaian tinggi, karena dia adalah seorang yang telah menamatkan pelajaran ilmu silat di puncak Kun lun san. Kedua orang pembesar ini tengah membicarakan urusan pembunuhan atas diri Toa to Hek mo dan dengan penuh perhatian Ang Seng Tong mendengarkan penuturan Bucuci tentang seorang pemuda yang mengunjungi taman bunganya seperti seorang maling pada dua hari yang lalu. “Anak itu kepandaiannya hebat sekali,”kara Bucuci antara lain, “coba saja bayangkan, aku sendiri telah mengerahkan kepandaianku untuk menangkapnya, akan tetapi gagal dan ia masih dapat melarikan diri dengan cepat sekali! Agaknya kepandaiannya itu tidak di sebelah bawah kepandaian puteriku atau kepandaian Liem Swee putera Liem Goan Swe sekalipun!”

Ang Seng Tong nampak terkejut mendengar keterangan ini. “Apakah puteri mu tidak mengenal nya?”

“Tidak, baru malam itu dia melihatnya.”

“Hm, sungguh aneh. Mungkin juga pembunuh Toa to Hek mo adalah pemuda yang memasuki tamanmu itu, akan tetapi mengapa ketika kau mencoba untuk menangkapnya, puterimu tidak membantumu?” Ang Seng Tong memandang kepada wajah Bucuci dengan tajam sekali.

Tiba tiba muka pembesar ini berobah. Baru sekarang ia teringat akan hal itu. Benar benar aneh, mengapa Sian Hwa tidak membantunya menangkap pemuda itu? Kalau Sian Hwa membantu, belum tentu pemuda itu dapat melarikan diri!

Pada saat itulah Bucuci dan Ang Seng Tong mendengar suara ribut ribut. Mereka sedang duduk di ruang loteng rumah makan itu, maka ketika mereka menjenguk ke bawah, mereka melihat betapa seorang pemuda tampan telah memukul roboh lima orang anggota siwi! Tentu saja Ang Seng Tong yang melihat anak buahnya dirobohkan orang, menjadi bukan main marahnya. Akan tetapi Bucuci lebih tertarik kepada pemuda yang lain lagi, yang juga berada di iempat itu. 

“Dia itulah orang yang datang ke tamanku!” serunya kemudian. Tubuh kedua orang kosen ini telah melayang turun dari loteng restoran.

Pemuda tampan yang oleh Bun Sam disangka Lan Giok itu sebenarnya adalah Thian Giok. kakak kembar dari Lan Giok. Memang muka sepasang saudara kembar ini serupa benar, sehingga sukarlah membedakan, kecuali bahwa mereka itu seorang laki laki dan seorang lagi wanita. Akan tetapi karena Bun Sam belum pernah bertemu dengan Thian Giok, melihat pemuda ini tentu saja mengira bahwa ia adalah Lan Giok yang menyamar sebagai laki laki.

Thian Giok adalah seorang pemuda pendiam, akan tetapi cerdik dan luas pandangannya. Ketika menerima tugas dari gurunya untuk membunuh Toa to Hek mo ia tidak melakukan tugas itu secara membabi buta, tetapi dengan cermat ia bertanya kepada gurunya mengapa Toa to Hek mo harus dibinasakan. Setelah mendengar tentang Ang bi tin dari gurunya, diam diam pemuda ini menjadi amat benci kepada bekas bekas pemimpin Barisan Alis Merah itu. Tidak percuma ia berada di kota raja sampai beberapa hari lamanya. Ia tidak mau tinggal diam saja dan melakukan penyelidikan dengan teliti, maka ketika melihat Bucuci dan Ang Seng Tong melayang turun, tahulah ia bahwa Bucuci memiliki kepandaian yang lebih tinggi dan ia teah tahu pula bahwa Bucuci adalah seorang bekas pemimpin Ang bi tin pula. Tanpa banyak cakap melihat dua orang itu melayang turun, ia lalu menerjang dan menyerang Bucuci!

Bucuci tadinya bermaksud hendak menangkis dan menyerang Bun Sam, akan tetapi melihat betapa pemuda kecil itu menyambutnya dengan pukulan kedua tangan yang mendatangkan angin pukulan kuat sekali, terpaksa ia lalu menyambut serangan Thian Giok. Bucuci adalah seorang yang kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi maka tentu saja ia tidak dapat dikalahkan dengan mudah oleh pukulan Soan hong pek lek jiu yang dipukulkan oleh seorang pemuda berusia empatbelas tahun lebih seperti Thian Giok . Sambil mengerahkan lweekangnya ia menerima pukulan ini dengan tangkisannya. Akan tetapi, ia mennjadi cukup terkejut dan heran ketika ia terpental ke belakang setelah tangannya terbentur oleh tangan anak muda itu. Adapun Thian Giok sendiripun terhuyung ke belakang. Betapapun juga, dalam hal lweekang ia masih belum dapat mengatasi jago tua yang sudah banyak pengalaman itu.

Adapun Ang Seng Tong yang melihat Bucuci sudah turun tangan lalu maju membantu untuk menangkap pemuda yang telah merobohkan lima orang anak buahnya itu. Akan tetapi tiba tiba, berkelebat bayangan yang gesit sekali dari samping. Terpaksa ia mengangkat tangan memukul ke kanan untuk mendahului bayangan yang agaknya hendak menghalanginya itu, akan tetapi ia hanya memukul angin. Bayangan itu ternyata gesit sekali dan kembali ia merasa angin pukulan mengarah kepalanya dari belakang. Cepat Ang Seng Tong membalikkan tubuhnya sambil mencengkeram dengan kedua tangannya, akan tetapi sia sia belaka karena Bun Sam yang menyerangnya tadi, dengan cepat telah dapat mengelak pula.

“Bocah anak setan, kau ingin mampus?” bentaknya sambil menerjang dan mencabut goloknya yang berkepala harimau. Memang Ang Seng Tong adalah ahli golok dan karena goloknya itu kepala nya berbentuk kepala harimau, ia mendapat julukan Houw thouw to (Golok Kepala Harimau).

Melihat menyambarnya sinar golok yang cukup lebar tahulah Bun Sam bahwa lawannya memiliki ilmu golok yang tinggi, maka ia lalu berlaku cepat sekali. Dengan ginkangnya yang tinggi, tubuh anak muda ini lenyap merupakan sinar yang berkelebat diantara sambaran dan gulungan cahaya golok yang diputar cepat. Pertandingan antara Bun Sam dan Ang Seng Tong ramai sekali, akan tetapi sifatnya tetap saja seperti angin mempermainkan . Ang Seng Tong terus menyerang dan memutar goloknya, sedangkan Bun Sam hanya mengelak ke sana ke mari mengandalkan ginkangnya yang amat lihai.

Akan tetapi pertempuran yang terjadi antara Thian Giok melawan Bucuci lebih seru lagi. Keduanya memiliki watak yang hampir sama, yakni keras lawan keras. Setiap serangan mereka mendatangkan angin dan selalu merupakan tangan maut yang meraih nyawa lawan. Bucuci adalah seorang tokoh besar dari Mongol yang kepandaiannya sudah amat tinggi dan tenaga lweekang serta ginkangnya sudah amat terkenal, juga ia memiliki ilmu pukulan yang berat dan ampuh. Sebaliknya biarpun baru berusia empat belas tahun lebih, Thian Giok adalah murid pertama dari Mo bin Sin kun si Tangan sakti, maka tentu saja ia telah digembleng dan telah memiliki ilmu pukulan tangan kosong yang luar biasa. Selain pukulan Soan hong pek lek jiu, Thian Giok juga sudah dilatih dan mengerti akan pukulan pukulan aneh di dunia kang ouw dan dari gurunya sudah diberi tahu bagaimana caranya menghadapi ilmu ilmu pukulan tangan kosong dari semua cabang persilatan. Sebagai seorang yang mempunyai nama julukan Sin kun (Tangan Sakti) tentu saja gurunya mangerti akan semua ilmu pukulan pukulan tangan kosong. Kedua orang yang jauh berbeda usinya ini saling serang dengan mati matian dan kembali Soan hong pek lek jiu ciptaan Mo bin Sin kun itu memperlihatkan kesungguhannya. Betapspun Bucuci mengerahkan seluruh kepandaiannya, dihadapi oleh Thian Giok dengan Pukulan angin Puyuh dan Halilintar ini, ia tak berdaya menembus pertahanan anak muda itu.

Dibandingkan dengan Bucuci, kepandaian Ang Seng Tong kalah jauh dan juga ia masih kalah satu dua tingkat oleh Bun Sam. Maka biarpun ia menyerang pemuda itu dan dengan goloknya, tetap saja Bun Sam dapat mempermainkan lawannya dengan enak. Ketika Bun Sam melirik ke arah pemuda yang dianggapnya Lan Giok itu, ia menjadi gelisah juga. Ternyata bahwa Bucuci amat tangguh dan kalau sekiranya Lan Giok akan dapat memenangkan pertempuran itu, pasti Bucuci akan roboh binasa. Kedua orang itu telah masuk ke dalam pertempuran mati matian dan salah seorang diantara mereka pasti akan roboh atau terluka berat ia tidak ingin melihat Lan Giok terluka dan pula ia juga merasa tidak enak kalau panglima yang menjadi ayah Sian Hwa akan roboh. Aku harus mencegah pertumpahan darah diantara mereka, pikir Bun Sam.

Dengan cepat ia lalu menggerakkan kedua tangannya sambil berseru keras dan terdengar suara, “krekk” disusul oleb jeritan Ang Seng Tong. Kalau dilihat memang mengherankan karena kini tahu tahu panglima Gi lim kun ini telah berdiri kaku seperti patung dan goloknya masih dipegang oleh tangan kanannya, akan tetapi dengan keadaan buntung. Ternyata bahwa dengan amat pandai dan indah Bun Sam telah mempergunakan ilmu pukulan yang dipelajarinya dari Mo bin Sin kun dan sekali saja ia membalas, ternyata golok lawannya telah dapat dipukul buntung dan sebuah totokan yang cepat sekali dengan gerakan Ilmu Totok It ci san (Totokan Satu Jari), ia telah berhasil menotok jalan darah lawan di bagian tai twi hiat, sehingga tubuh Ang Seng Tong menjadi kaku seperti patung batu. “Lan Giok, jangan melukai dia!” Bun Sam berseru, ketika melihat betapa pemuda itu menyerang dengan nekat. Pada saat itu, Lan Giok melakukan serangan yang disebut ilmu pukulan Tin san ciang (Pukulan Menggetarkan Gunung), samacam ilmu pukulan yang dilakukan dengan tenaga lweekang sepenuhnya dan yang dapat membunuh lawan dan jarak jauh. Bucuci yang sudah maklum sepenuhnya bahwa lawan nya yang masih muda ini amat lhai tidak berani berlaku gegabah, cepat ia lalu merendahkan tubuhnya seperti seekor katak hendak melompat, mengumpulkan lweekangnya, sehingga tubuhnya yang pendek itu menggembung penuh hawa, kemudian sambil berseru kerus iapun mendorong dengan kedua tangannya ke arah pemuda cilik itu.

Kalau sampai dua tenaga ini terbentur tentu akhirnya Thiab Giok yang akan mendapat celaka dan terluka hebat, sedangkan Bucuci tentu akan terluka ringan saja karena kalau diperbandingkan tenaga lweekang Bucuci masih lebih kuat. Akan tetapi bukiknya Bun Sam cepat bertindak ia berada di samping kedua orang itu, maka cepat ia lalu menggerakkan tenaga lweekangnya yang tidak kalah kuatnya daripada tenaga Bucuci dan kemudian dari samping ia lalu mengerahkan pukulan Soan hong jiu hwat ke tengah tengah mana kedua tenaga raksasa itu bertamu. Oleh karena pukulan Soan hong pek lek jiu memang istimewa kuat hawa pukulannya, maka tenaga pukulan kedua orang itu karena terdorong tenaga dari samping, lalu menyeleweng arahnya dan tidak mengenai lawan masing masing.

Bucuci dan Thian Giok menjadi terkejut sekali. Cepat meraka menarik kembali tangan yang memukul dan melompat ke belakang sambil memandang ke arah Bun Sam. “Lan Giok, jangan terlambat, ayoh kita lari!” Bun Sam menyambar tangan pemuda itu dan di betotnya dengan sekuat tenaga. Tadinya Thian Giok hendak membantah akan tetapi tenaga betotan Bun Sam tak dapat ditolaknya sehingga ia terbawa oleh lompatan Bun Sam. Dan lagi, karena tahu bahwa pemuda yang lihai ini pasti sudah kenal dengan adik nya dan bukan seorang musuh, maka Thian Giok lalu menurut dan ikut berlari dengan Bun Sam. Baiknya mereka melakukan hal ini, karena seorang diantara para siwi telah lari memanggil bala bantuan dan kalau sampai kedua orang muda itu terkurung sukarlah bagi mereka untuk melepaskan diri. Apalagi kalau Pat jiu Giam ong sendiri yang turun tangan !

Bucuci hendak mengejar, akan tetapi dalam hal ginkang harus diakuinya bahwa ia masih kalah jauh, maka ia menahan niatnya dan cepat mengerahkan seluruh pasukan di kota raja untuk mencari kedua orang muda itu. Sementara itu, untuk menghilangkan jejaknya Bun Sam sengaja mengajak Thian Giok berlari menuju ke jurusan yang berlawanan dengan jurusan di mana kuil tempat sembunyinya berada. Kemudian setelah tiba di tempat sunyi dan tidak ada orang yang melihatnya, barulah ia mengajak Thian Giok membelok dan memasuki kuil di mana suhengnya masih duduk di dalam kamar bersamadhi.

“Sahabat baik, kau sesungguhnya siapakah? Dan di mana kau berkenalan dengan Lan Giok adikku ?” tanya Thian Giok setelah mereka berada di tempat aman.

Bun Sam terkejut dan memandang, dengan penuh perhatian Kemudian ia tertawa geli karena kebodohannya sendiri !

“Ah, jadi kaukah yang bernama Thian Giok kakak dari adikmu yang nakal itu ? Siapa yang akan dapat membedakan? Kau benar benar seperti telur dibelah dua !” Biarpun Thian Giok orangnya pendiam akan tetapi melihat keheranan Bun Sam, ia tersenyum juga dan kembali Bun Sam tertegun karena senyum pemuda ini benar benar seperti senyum adiknya, begitu manis memikat.

“Memang aku Yap Thian Giok dan siapakah kau yang gagah berani dan berilmu tinggi? Mengapa tadi kulihat kau dapat pula menggunakan pukulan Soan hong pek lek jiu ?”

Bun Sam lalu menuturkan tentang pertemuanya dengan Lan Giok dan bagaimana ia telah diberi pelajaran Soan hong pek lek jiu oleh Mo bin Sin kun guru dari pemuda itu dan adik kembarnya.

“Pantas saja kau lihai, tidak tahunya kau murid dari Kim Kong Taisu!” kata Thia Giok dengan girang.”Guruku sering kali memuji muji kakek sakti itu. Bun Sam karena kau telah menerima pelajaran dari guruku, maka kita masih terhitung orang sendiri. Aku merasa girang bahwa kau telah menolongku dari bahaya.”

“Jangan bilang begitu, Thian Giok. Sesungguhnya kebodohan kulah yang membuat kau dicurigai dan hendak ditangkap. Kalau saja aku tidak mengira kau Lan Giok dan tidak memanggilmu agaknya sekarang kau masih berjalan jalan dengan aman.”

Thian Giok menggelengkan kepalanya. “Betapapun juga kalau tidak begitu, kita takkan saling bertamu dan saling mengenal. Akan tetapi ketika tadi aku memukul Panglima Bucuci, mengapa kau mencegah aku melukainya, saudara Bun Sam? Tidak tahukah kau bahwa dia juga seorang panglima besar dan bekas pemimpin Ang bi tin yang jahat?”

Bun Sam meresa tertusuk hatinya. Kata kata ini mengingatkannya akan kenyataan pahit, bahwa Bucuci adalah ayah dari Sian Hwa dan mukanya menjadi muram, tanda akan kekecewaan hatinya yang membuatnya menarik napas panjang.

“Bukan demikian, kawan. Kalau sampai kau melukai atau membunuh Bucuci, bukankah itu akan menggemparkan kota raja dan kau lebih sukar pula aku keluar dari pintu kota! Karena itulah maka aku menahanmu dan pula kepandaiannya juga amat tinggi.”

Thian Giok bermata tajam dan ia melihat perobahan pada muka Bun Sam yang menjadi muram, maka ia diam saja dan tidak mau membicarakan persoalan ini lagi. Akan tetapi, tiba tiba Thian Giok melihat wajah kawannya itu lenyap kemuramannya, bahkan menjadi berseri, ia benar benar merasa heran melihat sikap kawan baru yang aneh ini. Tentu saja ia tidak tahu bahwa Bun Sam teringat akan suhengnya yang masih bersamadhi di dalam kamar kuil itu. Ah, pikirnya dengan hati gembira alangkah akan bahagianya hati Yap Suheng kalau ia melihat Thian Giok, puteranya! Ingin sekali ia mendobrak pintu kamar itu untuk mengabarkan kepada suhengnya tentang Thian Giok, akan tetapi ia menahan ketegangan hatinya dan berkata kepada Thian Giok, “Saudaraku yang baik, aku lupa memberi tahukan kepadamu bahwa aku berada di sini bersama seorang suhengku. Kalau nanti kau berkenalan dengan suhengku harap kau jangan merasa kaget. Suhengku itu berwajah mengerikan, karena mukanya telah dirusak oleh orang orang jahat dan selain wajahnya mengerikan, suhengku juga gagu tak dapat bicara. Pula, adatnya agak aneh, harap kau suka bersabar dan jangan salah sangka.”

Thian Giok mengangguk. “Siapakah nama suhengmu itu dan di mana dia sekarang?”

“Dia tidak punya nama. Inilah sebuah daripada keanehannya. Dan dia sedang melakukan siulian (samadhi) di dalam kamarnya. Coba kutengok dia.” Ketika Bun Sam membuka pintu kamar di mana suhengnya duduk bersila, ia melihat Yap Bouw sudah membuka matanya karena orang tua ini telah mendengar suaranya dan sadar daripada samadhinya. Melihat Bun Sam sudah kembali, ia segera bangkit berdiri sambil tersenyum.

“Suheng, aku membawa seorang kawan di luar. Mari kau menemuinya”

Yap Bouw menggelengkan kepala, karena ia paling tidak suka bertemu dengan orang orang lain, takut kalau kalau mukanya yang buruk itu akan mengganggu orang lain saja. Akan tetapi Bun Sam berkata. “Suheng, kawan kita ini bukan sembarang orang, dia masih segolongan dengan kita. Keluarlah, kau takkan kecewa melihatnya, suheng!”

Ada sesuatu dalam suara sutenya yang menggerakkan hati Yap Bouw, maka keluarlah dia dari kamar itu bersama Bun Sam. Keadaan amat sunyi, yang terdengar hanyalah suara hwesio membaca ham keng (doa) sambil memukul bok hi (alat bunyi untuk membuat irama), selain suara itu tidak terdengar sesuatu dalam kuil. Kuil tua ini hanya didiami oleh tiga orang hwesio yang sudah tua dan yang jarang keluar dan dalam kuil. Dan tembok tebal y mg mengelilingi kuil itu memisahkan kuil itu dari dunia ramai di luar tembok.

Ketika Yap Bouw tiba di luar pintu dan melihat pemuda tanggung yang berdiri di situ memandang ke arahnya dengan muka yang tiba tiba memperlihatkan rasa kasihan yang amat besar, Yap Bouw tiba tiba tak dapat melanjutkan langkah kakinya. Kalau saja wajahnya tidak demikian gelap dan kulit mukanya tidak demikian rusak, tentu akan mudah terlihat betapa semua darah meninggalkan mukanya dan kalau saja ia tidak terlatih cukup hebat dalam ilmu batin dan tenaga lweekang, pasti akan mudah terlihat betapa ia 

menggigil pada seluruh tubuhnya. Ia hanya tampak berdiri bagaikan patung batu dengan wajah yang amat mengerikan itu.

Bun Sam yang sudah kenal baik dan tahu betul akan keadaan suhengnya ini, menjadi sangat terharu, ia dapat membayangku betapa hebat gelora yang mengalun di dalam sanubari suhengnya ketika menghadapi puteranya yang sudah besar dan demikian tampan serta gagahnya. Untuk memecahkan suasana yang penuh hikmat bagi suhengnya itu, ia tersenyum dan suaranya masih menggetar karena keharuan ketika ia berkata.

“Nah, saudaraku yang baik. Inilah suhengku, orang bijaksana dan yang paling mulia di dunia ini bagiku!”

Tadinya Thian Giok memang terpukul melihat wajah yang demikian mengerikan. Bukan sekali kali ia merasa jijik melihat keburukan wajah orang ini, karena gurunya sendiripun memiliki wajah seperti iblis, akan tetapi karena tadinya Bun Sam sudah memberitahukan bahwa suheng dari Bun Sam itu mukanya dirusak oleh penjahat penjahat maka ia merasa amat kasihan dan ngeri. Mendengar ucapan Bun Sam yang memperkenalkan, ia sadar kembali dari renungannya, lalu mengangkat kedua tangan ke dada dan sambil menjura ia melangkah maju mendekati orang bermuka tengkorak itu sambil berkata dengan senyum ramnh. “Siauwte Yap Thian Giok menghaturkan hormat kepada taihiap !”

Dapat dibayangkan betapa hebat gelora dalam hati Yap Bouw melihat puteranya sendiri memperkenalkan diri kepadanya seperti itu. Telah bertahun tahun ia bermimpi dan membayangkan bagaimana rupa puteranya dan kini melihat puteranya berdiri di hadapannya ia hampir tak dapat menahan runtuhnya air matanya yang membuat kedua matanya terasa panas! Kalau saja ia tidak gagu tentu ia tak dapat menahan lagi seruannya memanggil nama puteranya, tetapi karena ia telah gagu, Thian Giok hanya melihat betapa bibir yang rusak itu bergerak gerak tanpa mengeluarkan suara dari dada orang itu keluar suara semacam keluhan orang berduka.

Yap Bouw melangkah maju dan sebelum Thian Giok dapat menduga, kedua tangan Yap Bouw telah memeluknya dan sekali angkat saja, orang itu telah memondongnya dan memeluknya dengan mesra! Tentu saja Thian Giok merasa terkejut dan heran sekali, akan tatap ketika ia hendak memberontak, ia teringat akan pesan Bun Sam bahwa memang orang ini amat aneh adatnya, maka ia khawatir kalau kalau menyinggung perasaannya. Lebih heran lagi ia ketika merasa betapa butir butir air mata menetes turun membasahi lehernya.

Ketika ia mencoba untuk menengok ke arah Bun Sam, ia makin terkejut dan heran karena pemuda itupun berdiri dengan pipi basah air mata. Memang Bun Sam tak dapat menahan keharuan hatinya lagi ketika menyaksikan pertemuan antara ayah dan anak yang tak dapat diperkenalkan ini, pertemuan yang hanya diketahui oleh Yap bouw dan dia. Kebahagiaan besar yang dirasai oleh Yap Bouw di saat itu, kebahagiaan yang bercampur kedukaan maha hebat, terasa pula oleh Bun Sam dan membuat ia teringat kepada ayah bundanya sendiri. Oleh karena itulah, maka ia tak dapat menahan mengalirnya air matanya yang membasahi pipinya.

Adapun Yap Bouw yang memondong dan memeluk puteranya, segera dapat mengerti bahwa puteranya tentu akan merasa heran sekali, maka perlahan lahan ia menurunkan Thian Giok dan memandang wajah pemuda itu yang menjadi kemalu maluan, “Saudara Bun Sam bagaimanakah suhengmu ini… ?” tanyanya.

“Birkanlah Thian Giok, dia amat… suka kepadamu agaknya.”Akan tetapi Bun Sam segera melangkah maju dan cepat menyambar tangan suhengnya itu, karena ternyata bahwa Yap Bouw berdiri tidak tetap dan tubuhnya terhuyung huyung lemas. Ketika Bun Sam memegang tangannya, terasa olah nya telapak tangan suhengnya itu amat dingin dan ketika ia meraba lehernya, bukan main panasnya. Yap Bouw ternyata tak dapat menahan pukulan batin yang hebat ketika ia bertemu dengan putranya karena ia teringat akan isterinya dan merasa amat berduka dan hancur hatrinya karena ia tidak mungkin dapat berkumpul lagi dengan isteri dan dua orang anaknya yang tercinta.

Biarpun usianya baru enam belas tahun akan tetapi Bun Sam sudah luas pengetahuannya, karena ia telah banyak mempelajari kepandaian dari Kim Kong Taisu. Melihat keadaan suhengnya, sedikit banyak ia telah dapat menduga apa yang diderita oleh suhengnya ini. Tanpa banyak cakap ia lalu mengangkat tubuh suhengnya, dibawa ke dalam kamar kuil itu dan diletakkan di atas pembaringan.

Ia memeriksa detak jantung suhengnya yang memukul lemah sekali, maka ia lalu menempelkan tangan pada tangan suhengnya dan mengerahkan tenaga untuk membantu peredaran darah di dalam tubuh suhengnya. Kemudian, setelah peredaran darah di tubuh Yap Bouw menjadi normal kembali dan orang tua itu telah siuman dari pingsannya, Bun Sam lalu berlari keruang belakang untuk memasak air. Air panas hangat perlu untuk orang menderita sakit, pikirnya.

Thian Giok melihat semua ini dengan penuh kekaguman kepada Bun Sam. Kagum akan ketenangan dan ketangkasan pemuda itu, juga kagum melihat kasih sayang terhadap suhengnya yang demikian besar. Ketika ia melihat orang bermuka tengkorak itu sudah siuman, ia duduk di atas bangku dekat pembaringan untuk menjaganya. Yap Bouw masih memejamkan matanya dan tiba tiba ia merasa sentuhan tangan yang halus pada jidatnya yang kasar. Karena sudah biasa Yap Bouw tahu bahwa itu bukanlah sentuhan tangan sutenya maka ia lalu membuka matanya. Ketika melihat bahwa yung meraba jidatnya itu adalah Thian Giok puteranya ia menangkap dan menggenggam tangan itu dengan perasaan penuh kasih sayang, lalu terdengnr ia terisak isak menangis.

“Sudahlah taihap, apakah yang kau sedihkan? Segala perkara penasaran di dunia ini dapat dibereskan dan segala sakit hati bisa dibalas, mengapa harus berduka?” Thian Giok mengeluarkan kata kata menghibur karena merasa tidak enak kalau diam saja.

Mendengar ucapan puteranya yang menghibur nya bagaikan diremas remas rasa jantung di dalam dadanya. Ia mengeluh dan menyebut nama “Thian Giok” berkali kali, akan tetapi yang terdengar oleh Thian Giok hanya suara “Ok.. ok… “ dan dibarengi dengan mengalirnya air mata orang tua itu.

BiarpunThian Giok berhati keras, naman menyaksikan kesedihan orang tua yang amat dikasihani ini, tak terasa dua butir air mata bertitik pula di atas pipinya.

Melihat puteranya menitikkan air mata, tiba tiba Yap Bouw merasa tenaganya pulih kembali lalu ia bangkit duduk. Benar benar amat mengherankan Thian Giok akan tetapi ia mengerti maksud orang tua itu ketika Yap Bouw menggunakan ujung bajunya untuk menghapus air mata pada pipi Thian Giok, kemudian menggunakan telunjuknya digoyang goyangkan tanda bahwa pemuda itu sekali kali tidak boleh mengeluarkan air mata. Tentu saja Thian Giok merasa aneh sekali dan juga geli. Kakek ini sendiri menangis sedih mengapa ia melarang orang lain mangeluarkan dua titik air mata saja? Pada saat itu, Bun Sam masuk membawa air teh yang panas. Pemuda ini terheran heran melihat suhengnya sudah duduk dan tampak segar, maka tentu saja ia menjadi girang sekali.

“Suheng, lebih baik kau berbaringlah dan beristirahat.”

Akan tetapi, Yap Bouw bahkan memberi isyarat dengan jari tangannya, supaya Bun Sam minta Thian Giok menceritakan riwayatnya semenjak kecil. Bun Sam mengerti akan kehendak suhengnya ini, maka katanya kepada Thian Giok,

“Saudaraku yang baik. Kita sudah menjadi sahabat sahabat baik, bahkan kalau diingat bahwa akupun pernah menerima latihan silat dari gurumu, kita berdua boleh di kata saudara seperguruan juga. Oleh karena itu, sukalah kiranya kau menuturkan riwayatmu semenjak kecil kepadaku, karena tentu kaupun maklum seperti juga Lan Giok bahwa ayah mu dahulupun menjadi murid dari suhuku dan suhengku ini sudah kenal baik dengan ayahmu yang menjadi saudara seperguruannya. Maka, kau ceritakanlah riwayat mu agar suheng dapat pula mendengarkan.”

Berseri wajah Thian Giok. “Jadi kalau begitu, suhengmu ini tentu akan dapat menceritakan pula keadaan mendiang ayahku?” Pemuda ini memandang kepada Yap Bouv yang mengangguk anggukkan kepalanya.

“Saudara Bun San baiklah, aku akan menuturkan riwayatku yang tidak menarik. Akan tetapi, nanti suhengmu juga harus menuturkan keadaan mendiang ayahku melalui kau.”

“Baiklah,Thian Giok. Itu sudah semestinya, kukira.” Thian Giok lalu menuturkan riwayatnya secara singkat. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan. Nyonya Yap Bouw ltelah ditinggalkan oleh suaminya semenjak ia masih mengandung, karena suaminya, Jenderal Yap Bouw selalu sibuk dengan tugas menindas kaum perusuh dan pemberontak di tapal batas negara.

“Ayah telah meninggalkan ibu semenjak aku dan adikku masih berada di dalam kandungan dan sampai tiga tahun lamanya ayah tak pernah pulang karena sibuk dengan pekerjaannya sebagai seorang jenderal.” kata Thian Giok dengan suara mengandung kebanggaan besar. “Kemudian tentara musuh dapat menduduki kota raja dan kami mendengar bahwa ayah telah gugur di dalam perang. Ibu membawa kami yang masih berusia tiga tahun pergi mengungsi dengan orang orang lain. Bahkan ada beberapaorang orang gagah bekas kawan dan keluarga ayah, melindungi ibu dan kami untuk dapat keluar dari kota raja. Akan tetapi malang sekali…” Thian Giok menunda ceritanya sambil menarik napas panjang, sehingga Yap Bouw yang mendengarkan penuturannya dengan tertarik kali itu ikut menahan napas.

Thian Giok lalu melanjutkan penuturannya. “Pada waktu ibunya dikawal oleh orang orang gagah dan berusaha mengungsi keluar dari kota raja, tiba tiba mereka diserang oleh serombongan mata mata musuh yang sudah menduduki kota raja. Rombongan ini terdiri dari orang orang berkepandaian tinggi, maka terjadilah pertempuran

yang sengit mana jatuh banyak korban diantara kedua

fihak. Nyonya Yap sambil menggendong Lan Giok dan menyeret Thian Giok, melarikan diri dari dalam keributan itu dan berhasil keluar dari pintu kota. Tanpa mengenal lelah nyonya yang ketakutan hebat ini terus melarikan diri bersama   kedua   anaknya.   Ia   menggendong   anaknya 

bergantian. Kalau Thian Giok sudah lelah dan menangis ia menurunkan Lan Giok dan menggendong Thian Giok. Demikian sebalik nya.

Akhirnya malam tiba dan mereka sudah sampai dalam sebuan hutan. Akan tetapi, pada saat nyonya Yap sudah menarik napas lega karena terlepas dari bencana maut, tiba tiba muncul serombongan orang jahat, yakni perampok perampok yang selalu timbul apabila negara berada dalang keadaan kacau. Nyonya Yap adalah seorang nyonya muda yang cantik, pula pakaiannya indah dan tubuhnya memakai perhiasan perhiasan emas permata, maka tentu saja para perampok ini lalu menyerbu.

Pada saat yang amat berbahnya itu , datanglah Mo bin Sin kun yang dengan sekali gerakan saja sudah membunuh pemimpin perampok dan membuat anak buah perampok ini bercerai berai. Kemudian, Thian Giok dan Lan Giok diserahkan oleh Nyonya Yap agar menjadi murid penolong itu adapun Nyonya Yap sendiri oleh Mo bin Sin kua lalu dibawa kepuacak Sian hwa san (Bukit Bunga Dewa) sebuah tempat pegunungan yang indah dan berhawa nyaman di mana terdapat sebuah kuil pendeta wanita bertapa. Nyonya Yap merasa aman dan senang di tempat itu, maka dengan suka rela ia lalu mencukur rambutnya dan menjadi pemeluk Agama Buddha yang taat dan saleh.

“Demikianlah, kami berdua kakak beradik yang malang menjadi murid dari Mo bin Sin kui, adapun ibu sampai sekarang menjadi nikouw di kuil Sian hwa bio. Kalau tugasku dan adikku selesai dan pelajaran kami sudah tamat, kami tentu akan kembali ke sana mencari ibu.” Demikian Thian Giok menutup penuturannya.

Dapat dibayangkan betapa terharu dan girang hati Yap Bouw mendengar tantang kesengsaraan anak isterinya, akan tetapi yang akhirnya tertolong juga ia lalu berkata kepada Bun Sam dangan bahasa gerak jarinya. “Sute. beritahukan padanya tentang harta terpendam di dalam taman bekas gedungnya itu dan bahwa kita akan mengambil harta itu. Karena harta itu milik ayahnya, ia berhak menerima sebagian.”

Bun Sam ntengganguk angguk, kemudian bertanya dengan gerak jari pula, “Suheng, bagaimana kalau kau mengaku saja bahwa kau ayahnya?”

Mata Yap Bouw terbelalak dan tergesa gesa ia memberi tanda dengan jari jari tangannya. “Jangan Sute! Biarlah ia selalu mengira dengan hati bangga bahwa ayahnya adalah seorang jenderal besar yang gugur sebagi seorang pahlawan negara.”

Terpaksa Bun Sam tak berani membantah, ia berpaling kepada Thian Giok yang tidak mengerti gerak gerik mereka, lalu berkata,

“Thian Giok, kebetulan sekali suhengku ini mengetahui sebuah rahasia ayahmu dan di bilang bahwa kau sudah eharusnya mengetahui akan hal itu. Ketahuilah kau bahwa dahulu nyahmu telah menanam sejumlah harta yang dipendam di belakang rumah di dalam taman bunga, yakni rumah yang sekarang ditinggali oleh Panglima Bucuci. Dan kami berdua juga datang di kota raja khusus untuk mengambil harta terpendam itu. Sekarang menurut suheng, kau berkewajiban pula untuk ikut membantu dan berhak untuk menerima sebagian daripada harta terpendam itu.”

Thian Giok mengerutkan keningnya. “Kau dan suhengmu hendak mengumbil harta pusaka itu untuk apakah?”

“Tentu saja untuk dipergunakan menolong rakyat yang menderita kesengsaraan,” jawab Bun Sam. “Kalau begitu aku akan membantu kalian mengambil harta itu, akan tetapi aku sendiri tidak menghendaki pembagian. Untuk apakah harta dunia bagi orang orang seperti kita? Lebih baik dibagikan semua kepada rakyat yang kekurangan.”

Dua titik air mata kembali membasahi mata Yap Bouw ketika itu mendengar ucapan puteranya itu. Ia merasa girang dan bangga sekali. Lalu ia memberi tanda dengan jari jari tangannya kepada Bun Sam. Pemuda ini lalu berpatlng kepada Thian Giok sambil tersenyum dan berkata,

“Thian Giok, jangan kau berkata demikian. Sungguhpun kau sendiri tidak memerlukan harta dunia seperti juga kami, akan tetapi harta itu dapat kau pergunakan untuk ibunu ”

“Ibu juga tidak membutuhkan harta pusaka. Apa artinya harta dunia bagi ibu? Beliau telah mendapatan harta yang teragung di dunia ini, yaitu krbahagiaan batin yang suci.”

Kembali Yap Bouw, merasa betapa kerongkongannya tersumbat oleh sedu sedan yang naik dari dadanya. Bun Sam melirik kepadanya dan melihat suhengnya menggerak gerakkan jari tangannya.

“Saudara Thian Giok,” ia menterjemahkan bahasa gerak jari itu. “Biarpun ibumu sendiri tidak membutuhkan harta dunia, kami rasa bio (kuil) di mana ibumu tinggal itu membutuhkan untuk perbaikan dan lain lain. Oleh karena itu kau tidak boleh menolak.”

“Kita bicarakan lagi kalau harta terpendam dari mendiang ayah itu sudah berada di tangan kita, Bun Sam. Belum tentu mudah mendapatkan harta terpendam yang berada di taman bunga rumah Panglima Bucuci, apalagi pada waktu mereka sedang mencari cari kita seperti sekarang ini.” akhirnya Thian Giok berkata. Sementara itu karena tidak berhasil menemukan dua orang pemuda pengacau yang dicari carinya, Bucuci lalu memanggil Ngo jiauw eng Lui Hai Siong yang berada di Tong seng kwan. Semenjak dahulu, |Ngo jiuw eng adalah tangan kanannya dan ia percaya penuh akan kecerdikan Ngo jiauw eng dalam mencari dan menyelidiki para pemberontak. Banyak sudah jasa yang diperoleh pembantunya ini dalam masa perjuangan Ang bi tin dahulu. Dan inilah sebabnya mengapa Ngo jiauw eng buru buru pergi ke kota raja memenuhi panggilan Bucuci, sehingga ketika Lan Giok mencarinya di Tong seng kwan gadis itu tidak dapat menemukannya, lalu menyusul ke kota raja.

Beberapa hari kemudian setelah bersembunyi dan merasa bahwa keadaan telah agak mereda dan aman pada malam hari, Yap Bouw, Bun Sam dan Thian Giok meninggalkan kuil tua itu dan mempergunakan kepandaian mereka untuk menuju ke gedung Panglima Bucuci yang berada di tempat agak pinggir kota raja. Tubuh mereka berkelebat di malam gelap, melalui genteng dan bubungan rumah penduduk kota raja. Karena kepandaian mereka sudah tinggi, maka kaki mereka tidak menerbitkan suara berisik dan bayangan mereka sukar terlihat orang karena cepatnya gerakan mereka. Waktu itu sudah hampir tengah malam dan tiga orang ini sama sekali tidak menduga bahwa di tempat panglima itu telah terjadi keributan hebat.

Marilah kita kembali beberapa jam yang lalu. Sebuah bayangan yang amat gesit, bayangan yang tubuhnya kecil langsing, melompat di atas genteng gedung Bucuci laksana setan malam. Bayangan ini adalah Lan Giok, gadis yang tabah itu yang sengaja menyusul dan mencari Ngo jiauw eng di kota raja. Tanpa takut sedikitpun juga, Lan Giok lalu mengunjungi rumah Bucuci pada malam hari itu setelah mendapat keterangan di mana rumah pembesar itu. Sesungguhnya semua tempat di kota raja memang telah dijaga dan dimata matai oleh pembantu pembantu Bucuci dan Ngo jiauw eng bahkan Ngo jiauw eng yang amat cerdik diam diam telah menaruh curiga pada tempat tempat suci seperti kuil kuil tua dan rumah rumah pembesar tinggi dan diam diam menaruh orang orangnya di sekeliling tempat itu. Akan tetapi karena apa yang diutamakan atau yang selalu berada di dalam ingatan para penjaga adalah dua orang pemuda tanggung, tentu saja melihat seorang gadis cilik seperti Lan Giok, mereka tidak menaruh perhatian, sehingga gadis ini dengan amat mudah dapat sampai di gedung Panglima Bucuci.

Agaknya memang sudah menjadi nasib Ngo Jiauw eng Lui Hai Siong karena setelah memberi tugas pada para pembantunya sehari penuh ia beristirahat dan “makan angin” di taman gedung Panglima Bucuci ia mendapat kamar di bangunan samping gedung itu, sehingga mudah baginya untuk malam malam keluar makan angin di taman bunga yang indah itu. Sambil duduk di atas bangku ia menikmati keharuman bunga sambil memandang ke dalam empang di mana ikan ikan yang berwarna emas berenang ke sana ke mari.

Tiba tiba ia mendengar teguran yang halus. “Ngo jiauw eng, tentu kau yang bernama Njo jiiuw eng bukan?”

Lui Hai Siong cepat melompat dari tempat duduknya dan bersiap sedia. Ia memandang kesana kemari, akan tetapi tidak kelihatan bayangan orang.

“Siapa itu??” ia bertanya dengan sikap seperti seekor harimau mencium bau musuhnya. Tubuhnya yang jangkung agak membungkuk itu, seperti sikap seorang jago gulat. “Ha, ha, ha, benar! Kau tentu Ngo jiauw eng!” suara yang halus itu menertawakannya dan tiba tiba dan atas pohon yung liu menyambar turun tubuh Lan Giok! Gadis ini sekali memandang saja dapat menduga bahwa indah orangnya yang harus dilenyapkan. Tidak saja ia mengingat pemberitahuan gurunya bahwa Ngo jiauw eng bertubuh jangkung kurus, akan tetapi juga sikap dan kuda kuda orang ini terang menyatakan bahwa ia adalah ahli Eng jiauw kang (Ilmu Silat Kuku Garuda).

“Siapa kau?” Ngo jiauw eng Liu Hai Siong membentak dengan hati lega ketika melihat bahwa yang datang hanyalah seorang gadis kecil.

“Aku? Bukalah telingamu baik baik. Aku adalah wakil dari para korban Ang bi tin yang kau pimpin. Aku datang hendak mencabut nyawamu!”

“Bagus, bocah lancang mulut“ kata Ngo jiauw eng sambil maju menubruk dengan kedua tangan dipentang seperti seekor garuda menyambar kelinci. Ia memandang rendah kepada pengunjung nya ini dan merasa yakin bahwa dengan sekali bergerak saja ia dapat merobohkan gadis itu. Tapi ia harus membayar mahal sekali untuk sikapnya yang memandang rendah itu, karena Lan Giok yang memang datang dengan maksud membunuh, segera merendahkan tubuhnya dan melancarkan pukulan Soan hong pek lek jiu yang hebat. Pada saat itu, Ngo jiauw eng sedang menubruk maju, maka tentu saja ia menerima pukulan Lan Giok sepenuhnya. Sebelum dadanya tersentuh kedua tangan gadis kecil yang mendorong ke arah dadanya, ia telah terkena hawa pukulan Soan hong pek lek jiu yang hebat sekali. Terdengar Ngo jiauw eng menjerit ngeri dan tubuhnya terlempar ke belakang, lalu terjengkang sejauh dua kaki lebih. Mulutnya menyemburkan darah segar dan ia merasa dadanya seakan akan remuk! Jeritan yang mengerikan itu menggema di udara dan sebelum Lan Giok dapat menyusulkan sebuah pukulan terakhir, tiba tiba berkelebat bayangan merah dan sinar pedang yang terang menyambar ke arah lehernya! Lan Giok tepaksa menunda maksudnya untuk memukul Ngo jiauw eng dan karena serangan pedang itu memang cepat dan berbahaya, ia lalu melemparkan tubuhnya ke belakang dan bergulingan ke belakang sehingga terhindar dari bahaya. Ketika ia berdiri kembali, ternyata bahwa yang menyerangnya adalah seorang gadis baju merah yang cantik sekali, yang usianya lebih tua satu dua tahun daripadanya.

“Siapa kau? Sungguh berani mati sekali telah melukai Lui ciangkun!” bentak gadis baju merah yang bukan lain adalah Sian Hwa adanya. Diam diam Sian Hwa kaget dan kagum sekali ketika melihat bahwa yang dapat merobohkan Ngo jiauw eng dengan sekali pukul adalah seorang gadis cilik yang patut menjadi adiknya! Melihat kemanisan wajah Lan Giok, hati Sian Hwa menjadi ragu ragu untuk melanjutkan serangannya. “Mengapa kau menyerang Ngo jiauw eng?” tanyanya karena ia maklum bahwa tentu ada sesuatu antara kedua orang ini, maka gadis semuda itu sampai demikian berani menyerang Ngo jiauw eng yang menjadi tamu dari ayahnya.

“Dia bekas pemimpin Ang bi tin yang jahat mengapa aku takkan membunuhnya?” kata Lan Giok mengejek dan kembali Sian Hwa tersenyum. Terdengar keluh Ngo jiauw eng, maka Sian Hwa cepat menghampiri orang itu.

Keadaan Ngo jiauw eng Lui Hai Siong benar benar payah. Pukulan Soan hong pek lek jiu yang dilancarkan oleh Lan Giok tadi benar benar hebat sekali dan dengan tepat telah mengenai dadanya, sehingga mendatangkan luka di bahagian dalam dadanya. Bahkan tiga buah tulang rusuknya telah patah! “Kau… kau yang menolongku? Tak ku sangka....” Lui Hai Siong berkata terrngah engah.

“Apa katamu, Lui cangkun? Apa yang tidak kau sangka… ?” Sian Hwa terheran mendengar ucapan ini.

“Tak kusangka bahwa kau… kaulah yang malah menolongku!” Ngo jiauw eng merasa bahwa ia tak dapat hidup lebih lama lagi dan pukulan hebat itu sedikitnya telah mempengaruhi otaknya.

“Aku… aku yang membunuh ayahmu …. aku    ” Akan

tetapi ucapan ini ditutup oleh pekik kesakitan dan nampak orang itu berkelojotan lalu mati!

Sian Hwa memiliki mata tajam dan pendengaran yang halus sekali, maka ia mendengar suara senjata rahasia yang tadi menyambar sebelum Ngo jiauw eng mati. Cepat ia membalikkan tubuh dan memandang kepada Lan Giok yang hendak melarikan diri.

“Kau kejam!” seru nya kepada Lan Giok. “Kau menyerang orang yang sudah terluka hebat dengan am gi (senjata rahasia)!”

Akan tetapi Lan Giok tidak memperdulikannya dan hendak melompat ke atas tembok yang mengelilingi taman bunga itu. Akan tetapi tiba tiba terdengar suara kerincingan dan tahu tahu dari tembok tahu tahu dari tembok itu melayang turun sesosok tubuh yang kate dan yang dengan tangkas nya menyerang Lan Giok. Orang ini adalah Panglima Bucuci sendiri yang tadinya mengadakan perundingan dengan Pat jiu Giam ong dan yang kebetulan sekali pulang dan mendengar ribut ribut di dalam taman gedungnya. Lan Giok yang melihat betapa serangan orang kate ini cukup berbahaya, cepat mengelak dan membalas dingan serangannya yang tidak kalah lihainya. Melihat cara memukul Lan Giok yang mempergunakan Soan hong pek 

lek jiu, terkejutlah hati Bucuci. Cepat ia berteriak minta bantuan karena ia mengerti ilmu pukulan ini seperti yang dipergunakan oleh pemuda yang sedang dikejar kejarnya.

Adapun Sian Hwa yang semenjak tadi berdiri termangu mangu karena masih terpengaruh oleh pengakuan Ngo jiauw eng yang mendatangkan rasa kaget baru sadar setelah mendengar teriakan ayah tirinya yang minta bantuan. Akan tetapi ia masih berlaku lambat karena ada sesuatu yang amat menarik perhatiannya. Ia melihat betapa muka Ngo jiauw eng yang kebetulan berada di bawah sinar lampu, menjadi kehitaman dan melihat lehernya yang membengkak, tahulah Sian Hwa bahwa Ngo jiauw eng tewas karena urat lehernya tertotok dengan keras sekali. Ketika ia memandang ke bawah, ia melihat sebuah besi lonjong dan bukan main terkejut hati Sian Hwa karena ia mengenal besi lonjong kecil itu sebagai bagian daripada kerincingan di baju ayah tirinya! Ia tahu pula bahwa ayah tirinya seringkali mempergunakan besi lonjong itu sebagai senjata rahasianya yang ampuh.

“Sian Hwa, bantulah aku menangkap penjahat perempuan ini!” teriak Bucuci karena ia benar benar terdesak oleh serangan serangan Soan pek lek jiu yang dilancarkan dengan nekat oleh Lan Giok.

Mendengar teriakan ini, barulah Sian Hwa bergerak dan melompat mendekati pertempuran itu, setelah lebih dulu mengambil besi kecil yang lonjong itu dan dimasukkan ke dalam saku bajunya.

“Bocah berani mati, lebih baik kau menyerah dan mengaku mengapa kau menyerang Ngo jiauw eng !” bentak Sian Hwa yang sesungguhnya tidak tega untuk mengeroyok dan membunuh atau melukai gadis kecil ini. Ia akan lebih suka menjadi sahabat baik dari gadis yang ayu dan lihai ini. “Majulah, majulah kau semua, aku tidak takut sedikitpun juga!” Lan Giok menjawab dengan suaranya yang bening dan tinggi, lalu memainkan ilmu pukulannya lebih cepat lagi, sehingga tubuhnya yang kecil langsing itu berkelebat ke sana ke mari seperti burung walet menyambar nyambar.

Terpaksa Sian Hwa bergerak maju dan begitu ia menggerakkan pedangnya, Lan Giok kaget sekail. Ah, kepandaian nona baju merah ini jauh lebih lihai daripada kepandaian Panglima Bucuci yang pakaiannya memakai kerincingan ini, pikirnya. Akan tetapi ia tidak merasa takut, karena memang Lan Giok tidak pernah mengenal artinya takut. Ia melayani keroyokan dua orang itu dengan nekat dan sebentar saja ia terdesak dan terkurung oleh sinar pedang Sian Hwa! Baiknya nona baju merah ini tidak berniat melukainya, hanya mengurungnya saja dan ingin menawan hidup hidup tanpa melukai nya Kalau Sian Hwa mau melukainya, dengan mengeroyok dua tentu ia akan dapat melakukan hal ini.

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar