Jilid XXVIII
TEE COAN LIOK KIAM SUT atau Enam Ilmu Padang Lingkaran Bumi adalah ilmu pedang ciptaan mendiang Bu tek Kiam ong (Raja Pedang Tiada Bandingnya) guru Song Bun Sam. Ilmu pedang ini ada enam bagian dan setiap bagian terdiri dari tujuh belas jurus sehingga seluruhnya ada seratus dua jurus. Akan tetapi setiap jurus dapat dipecah pecah lagi dan banyak variasinya yang dapat dipergunakan untuk mengimbangi lawan yang bagaimana lihaipun juga. Biarpun semenjak kecil Tek Hong dan Siauw Yang telah mendapat gemblengan dari ayah mereka, namun mereka tetap saja tidak dapat menguasai seluruh ilmu pedang yang luar biasa ini. Dibandingkan dengan Siauw Yang, Tek Hong bahkan masih kalah banyak variasinya, dan kalah lincah sungguhpun dalam hal mempergunakan tenaga lweekang dalam ilmu pedang ini, Tek Hong masih menang dari Siauw Yang.
Kini pemuda itu sedang marah dan dengan penuh semangat dan nafsu ia menyerang Lam hai Lo mo. Sebaliknya kakek buntung ini memang hendak mengukur sampai di mana kehebatan ilmu pedang keluarga musuh besarnya, maka ia sengaja mundur sambil menangkis atau mengelak. Akan tetapi, sebentar saja ia menjadi terkejut sesali karena ia telah terkurung oleh sinar pedang lawannya dan terdesak hebat sekali! “Lihai benar....!” serunya dan kini kakek buntung ini tidak berani main main lagi. Ia cepat mengerahkan tenaga dan membalas dengan serangan serangan dari tongkat bambunya yang amat ganas.
Memang tidak mengherankan apabila Lam hai Lo mo dapat mengimbangi ilmu pedang yang dimainkan oleh Tek Hong, karena selain kakek ini banyak menang dalam hal pengalaman, juga Lam hai Lo mo memang seorang ahli silat yang termasuk kawakan dan menduduki tingkat nomor satu. Kepandaiannya boleh disejajarkan dengan kepandaian mendiang Kim Kong Taisu, Mo bin Sin kun, Pat jiu Giam ong, Tung hai Sian jin dan tokoh tokoh besar lain. Bahkan kepandaiannya boleh dibilang paling ganas dan berbahaya. Apalagi semenjak ia kalah oleh Bun Sam, kakek yang sudah buntung itu melatih diri sehingga ia makin lihai saja apalagi dalam hal tenaga lweekang.
Tek Hong tidak merasa heran melihat perobahan ilmu tongkat dan lawannya, ia sudah menduga sebelumnya bahwa Lam hai Lo mo merupakan lawan yang amat tangguh, bahkan iapun sudah mengira bahwa belum tentu ia akan dapat menangkan kakek ini. Namun, pemuda ini seakan akan sudah membuta dalam sakit hatinya teringat akan keadaan Siang Cu, ia tidak menakuti apapun juga.
Semangat dan keberanian Tek Hong membuat ilmu pedangnya menjadi jauh lebih kuat daripada biasanya Sinar pedangnya bergulung gulung dan biarpun ia belum dapat memainkan pedang selihai ayahnya, namun pedangnya telah merupakan enam lingkaran yang menyambar dari segala jurusan dan membuat Lam hai Lo mo tiada habisnya memuji, ia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk dapat mengimbangi permainan pedang lawannya yang amat muda ini dan pertempuran itu berjalan hebat sekali. Berpuluh jurus lewat dan kedua orang jago muda dan tua itu saling desak dan saling serang dengan hebatnya. Kalau Lam hai Lo mo mengagumi ilmu pedang lawannya yang benar benar amat luar biasa, adalah di lain fihak Tek Hong diam diam harus mengakui bahwa kakek buntung itu merupakan lawan yang paling tangguh yang pernah dihadapinya. Tongkat di tangan kakek itu biarpun hanya terbuat dari bambu, namun sotelah dimainkan seakan akan berobah menjadi benteng baja yang sukar sekali ditembusi oleh pedangnya.
“Hebat....! Lihai sekali ilmu pedang ini....!” berkali kali Lam hai Lo mo memuji.
Tung hai Sian jin dan yang lain lain melihat pertempuran itu, menjadi tidak sabar. Apalagi Tung hai Sian jn yang sudah tahu benar akan kelihaian Lam hai Lo mo menjadi heran dan penasaran, ia dapat melihat bahwa kalau kakek buntung itu mau mengeluarkan ilmu ilmunya yang paling lihai, pemuda ini biarpun tangguh, tentu akan dapat dirobohkan. Akan tetapi mengapa agaknya kakek buntung itu ragu ragu untuk membunuh lawannya? Ia cukup tahu akan tingkat kepandaian Tek Hong, karena ia pernah melawan pemuda ini. Maka iapun dapat memastikan bahwa Lam hai Lo mo pasti akan dapat mengalahkan Tek Hong kalau saja kakek buntung itu menghendaki. Akan tetapi mengapa kakek itu mengulur ulurkan pertempuran dan tidak segera menjatuhkan tangan maut? Tiba tiba Tung hai Sian jin teringat mengapa kakek buntung ini tidak mau menggunakan ilmu pukulan Sam hiat ci hoat? Berpikir sampai di sini, Tung hai Sian jin tiba tiba ingin sekali mencoba ilmu pukulan yang baru ia pelajari ini. Ia segera menggerakkan tongkat kepala naganya, menyerampang kedua kaki Tek Hong sambil bertera keras,
“Membunuh monyet muda ini, apa sih sukarnya?” Tek Hong cepat melompat ke atas. Keadaannya sudah terdesak oleh Lam hai Lo mo kini kalau Tung hai Sian jin turun tangan, benar benar amat berbahaya. Namun ia tidak gentar bahkan memaki keras.
“Siluman tua yang curang! Majulah kalian semua, aku Song Tek Hong tidak takut!”
Akan tetapi, kata katanya ini disambut oleh pukulan hebat dari Tung hai Sian jin yang telah mempergunakan ilmu pukulan Sam hiat ci hoat yang luar biasa. Tek Hong terkejut dan Lam hai Lo mo berteriak,
“Jangan bunuh dia!”
Namun terlambat kesemuanya itu, karena biarpun Tek Hong mencoba untuk mengelak, kedudukannya sudah terjepit oleh desakan Lam hai Lo mo. Tiga buah jari tangan Tung hai Sian jin menyerempet jidatnya dan pemuda itu roboh tanpa dapat mengeluarkan suara lagi. Pedangnya terlempar dan ia pingsan.
Ketika Tung hai Sian jin melihat pemuda itu belum binasa, ia melangkah maju dan hendak mengirim pukulan Sam hiat ci hoat untuk menamatkan riwayat pemuda itu. Akan tetapi Lam hai Lo mo juga melompat maju dan mencegahnya.
“Tung hai Sian jin, jangan bunuh dia!”
Tung hai Sian jin membatalkan niatnya dan ia memandang kepada Lam hai Lo mo sambil menuding ke arah tubuh pemuda itu lalu bertanya,
“Lam hai Lo mo, kalau tidak dibunuh dia ini habis mau diapakankah?”
Lam hai Lo mo tersenyum. Tentu saja tidak ada sedikitpun rasa kasihan dalam hatinya terhadap Tek Hong. Akan tetapi sejak tadipun ia telah mendapatkan pikiran yang amat baik,
“Sabar, saudaraku yang baik. Kebencianku terhadap keluarga Song jauh melebihi sakit hatimu kepada mereka. Akulah orangnya yang akan merasa senang sekali menyisikan kehancuran mereka. Akan tetapi bukankah ada ujar ujar kuno yang menyatakan bahwa seorang yang cerdik dan bijaksana tidak akan hanyut oleh perasaan kebencian dan nafsu? Aku bukan seorang cerdik, akan tetapi aku bercita cita dan hendak kupergunakan dia ini untuk menarik keuntungan sebesarnya.”
“Apa maksudmu?” pertanyaan ini tidak saja diajukan oleh Tung hai Sian jin, bahkan yang lain lain juga mendekati kakek buntung itu dan ingin tahu apakah rencana Lam hai Lo mo selanjutnya.
“Nanti dulu,” jawab Lam hai Lo mo, “sebelum aku bercerita, lebih baik dia ini dihindarkan lebih dulu dan ancaman maut.” Baiknya pukulan Tung hai Sian jin dalam penggunaan Ilmu Sam hiat ci hoat belum sehebat Lam hai Lo mo dan tadi pukulannya agak meleset sehingga nyawa Tek Hong masih dapat tertolong. Lam hai Lo mo memasukkan obat penawar ke dalam mulut Tek Hong, kemudian ia mengurut urut jidat yang ada tanda tiga jari merah itu sehingga lambat laun tanda itu lenyap. Nyawa Tek Hong tertolong. Akan tetapi Lam hai Lo mo segera menotoknya dan membelenggu kedua tangannya di belakang tubuh.
“Nah, sekarang dengarlah kalian. Kita bersama sudah menyaksikan betapa hebat ilmu pedang dari pemuda ini. Dia yang masih begini muda sudah dapat mengimbangi kepandaian kita dengan ilmu pedangnya. Apalagi kalau ilmu pedang itu dimainkan oleh Thian te Kiam ong ayahnya “ “Aku tidak takut,” seru Tung hai Sian jin marah.
Lam hai Lo mo tersenyum menyeringai “Aku pun tidak takut. Apa yang perlu kita takuti? Setelah adanya Sam hiat ci pai, kita tidak mengenal takut. Akan tetapi cita cita kita bersama adalah cita cita besar yang membutuhkan tenaga bantuan sekuat kuatnya. Kita boleh pancing datang Song Bun Sam dan dengan puteranya di tangan kita, dia bisa berbuat apakah? Apalagi, menurut pengakuan pemuda ini yang kupercaya kejujurannya, antara dia dan muridku ada pertalian kasih sayang, inipun merupakan ikatan yang baik sekali ”
Terdengar Eng Kiat menggumam marah. Tung hai Sian jin maklum akan kehendak puteranya maka ia berkata,
“Lam hai Lo mo, antara muridmu dan puteraku sudah ada pertalian jodoh !”
Lam hai Lo mo kembali tersenyum. “Bukankah dia lebih suka kepada puteri Thian te Kiam ong? Kalau pemuda ini sudah berada di tangan kita, apa salahnya memaksa Thian te Kiam ong menyerahkan puterinya kepada pureramu itu?”
Berseri wajah Eng Kiat mendengar ucapan ini. “Ayah, kata kata Lam hai locianpwe betul juga.”
Demikianlah, mereka telah bersepakat untuk mempergunakan Tek Hong sebagai umpan dan sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Song Bun Sam telah mendarat di Pulau Sam liong to dan setelah menguburkan jenazah Mo bin Sin Kun dan Yap Thian Giok, pendekar besar ini mendamaikan dirinya terkurung oleh barisan Sam hiat ci pai yang membawa Tek Hong sebagai tawanan! “Song Bun Sam, apakah kau tuli dan tiba tiba menjadi gagu? Kau telah terkurung oleh Sam hiat ci pai dan kau tentu akan mati, akan tetapi terlebih dahulu puteramu ini yang akan kubikin mampus kalau kau tidak mau menurut perintahku. Pilihlah, mau mati bersama puteramu atau hidup dan menuruti perintahku?” demikian Lam hai Lo mo mengulangi kata katanya ketika Bun Sam seperti tidak melayaninya dan pendekar ini hanya memandang kepada puteranya yang ia tahu berada di bawah pengaruh totokan dan dibelenggu sehingga tak berdaya sama sekali. Otaknya sedang diputar mencari jalan untuk menolong puteranya itu.
“Lam hai Lo mo, ternyata bahwa iblis iblis jahat telah menyelamatkan nyawamu. Setelah dengan keji kau membunuh guruku Mo bin Sin kun dan saudaraku Yap Thian Giok, kau masih ada kehendak keji yang mana lagi yang hendak kau sampaikan padaku?” Suara Thian te Kiam ong terdengar tenang dan biasa saja, sama sekali tidak terlihat bahwa ia sedang marah besar. Hal ini menunjukkan bahwa Bun Sam telah dapat mengatur perasaan dan dapat menguasai nafsunya sendiri.
Lam hai Lo mo tertawa bergelak. “Kau mau mendengarkan kata kataku? Baik, baik, bagus! Itu tandanya bahwa kau masih belum ingin mati dan masih mau melihat puteramu hidup! Kau menuduh aku keji. padahal sebaliknya aku bermaksud baik sekali padamu, Thian te Kiam ong. Dengarlah, diantara putramu ini dan murid perempuanku terdapat jalinan cinta kasih suci murni, karena itu kau harus mengijinkan puteramu ini menjadi suami muridku, Ong Siang Cu Bagaimana keputusanmu? Kalau kau menolak, berarti kau dan puteramu harus mati di sini.” “Teruskanlah, Lam hai Lo mo. Masih ada lagikah syarat syaratmu untuk membebaskan aku dan puteraku?” tanya Bun Sam dengan senyum di wajahnya yang masih tampan dan gagah, akan tetapi senyum itu tidak menyedapkan hati Lam hai Lo mo karena baginya seperti senyum seorang dewasa mendengarkan obrolan seorang anak kecil.
“Jangan kau memandang ringan, Thian te Kiam ong. Aku bicara sungguh sungguh. Bukan hanya itu syaratnya, ada lagi. Yang ke dua, kau harus mengijinkan puterimu menikah dengan Bong Eng Kiat, putera dari Tung hai Sian jin. Bukankah itu baik sekali? Anak anakmu menjadi jodoh murid dan putera orang segolongan, bukan orang sembarangan. Baik muridku maupun putera Tung hai Sian jin cukup pantas menjadi mantu mantumu.”
Bukan main mendongkolnya hati Bun Sam, ia tadinya bermaksud memberi hajaran kepada Tung hai Sian jin dan puteranya atas penghinaan mereka terhadap Siauw Yang dan kini hendak dipaksa memberikan Siauw Yang kepada putera Tung hai Sian jin!
“Hanya itukah? Atau masih ada lagi?” tanyanya menahan kemendongkolan hati.
“Kaulihat sendiri, sebagai musuh besarmu, seorang yang telah kausiksa dan kaubikin sengsara sehingga keadaanku menjadi begini macam, aku masih berlaku amat murah hati kepadamu! Dua syarat syaratku tadi cukup pantas, dan syarat ke tiga juga demi kebaikan kita bersama. Setelah kau menerima syarat perjodohan kedua anak anakmu, sudah sewajarnya kita sebagai besan besan bekerja sama dan bersatu padu dalam mewujukan cita cita yang tinggi. Kau harus menjadi anggauta dari Sam hiat ci pai dan membantu perjuangan kami.”
Kembali Bun Sam merasa hawa panas naik ke dadanya, akan tetapi dengan kuatnya ia dapat menekan kembali hawa itu memasuki pusarnya.
Tiba tiba Tek Hong yang semenjak tadi mendengarkan percakapan itu, berkata keras,
“Ayah! Jangan mendengarkan dan percaya kepada mereka! Siauw Yang telah ditawan oleh Tung hai Sian jin dan perkumpulan mereka jahat sekali.”
Akan tetapi dengan penuh ketenangan Bun Sam tidak memperduliksn seruan puteranya, bahkan bertanya kepada Lam hai Lo mo,
“Jadi, kau menghendaki aku membantu perjuangan Sam hiat ci pai? Akan tetapi apakah cita cita perjuangan perkumpulan aneh itu?”
Lam hai Lo mo tertawa puas. Ia mengira bahwa pendekar pedang ini tentu masih sayang akan nyawa sendiri dan nyawa puteranya, maka bertanya demikian penuh perhatian.
“Song Bun Sam, kau sendiri tahu bahwa Kaisar Gian tiauw adalah seorang asing. Oleh karena itu, aku yang bercita cita tinggi lalu membentuk perkumpulan ini untuk membantu Pangeran Ciong. Tidak berat tugasmu, hanya bersumpah sebagai anggauta Sam hiat ci pai dan berjanji setia dan taat kepadaku!”
“Sudah cukup, kau tentu mau menerimanya, bukan?” tanya Lam hai Lo mo sambil memandang tajam segala gerak gerik dan sikap Bun Sam.
“Syarat pertama tentang perjodohan puteraku dan muridmu, belum dapat kujawab sekarang karena aku belum pernah bertemu dengan muridmu itu. Kalau kelak ternyata bahwa antara mereka memang ada pertalian cinta kasih seperti yang kau katakan dan aku melihat bahwa muridmu itu cukup baik. tentu akupun tidak keberatan. Akan tetapi syarat kedua tentang perjodohan puteriku dengan putera Tung hai Sian jin, dengan jelas kutolak! Mereka telah berani mengganggu puteriku yang baiknya dapat membebaskan diri, dan untuk hal itu saja mereka harus dihukum. Bagaimana aku sudi menerima puteranya menjadi menantuku? Demikian pula syarat ke tiga, aku tidak sudi menjadi anggauta perkumpulanmu dan tidak mau pula membantu apa yang kausebut cita cita Pangeran Ciong!”
Bun Sam bicara dengan tegas akan tetapi di dalam hatinya ia merasa khawatir sekali. Kecurigaan dan ketidakpercayaannya kepada Pangeran Ciong ternyata terbukti. Tidak saja pangeran itu bersekongkol dengai Lam hai Lo mo, bahkan agaknya pangeran itu yang menjadi kepala! Ia tahu bahwa putera dan puterinya yang berada di tempat pangeran itu tentu tidak aman sebagaimana yang mereka kira.
Lam hai Lo mo dan Tung hai Sian jin marah sekali mendengar penolakan penolakan itu, terutama sekali Tung hai Sian jin yang terang terangan dihina oleh Bun Sam.
“Song Bun Sam, kau tidak melihat bahwa puteramu telah berada di tanganku dan nyawanya sewaktu waktu dapat kucabut? Apakah kau tidak melihat bahwa kau telah terkurung oleh dewan pengurus Sam hiat ci pai? Apakah kau tidak ingat bahwa sekalipun gurumu Mo bin Sin kun sendiri, karena hendak membikin kacau di sini telah menemui maut bersama muridnya? Penolakan penolakanmu itu berarti keputusan hukum mati bagi kau dan puteramu!” Lam hai Lo mo mengancam.
“Nyawa berada di tangan Tuhan, Lam hai Lo mo! Iblis Tua dan Laut Selatan, pernah kau mendengar sajak dari pujangga Locu yang berbunyi demikian? Langit dan Bumi
serta segala isinya berasal dari ADA, adapun ADA berasal dari TIADA! Kalau orang nengetahui awalnya, ia akan selamat! Mengapa aku harus takut mati?”
Mendengar ini, Lam hai lo mo dan yang lain lain menjadi agak bingung. Memang ucapan Thian te kiam ong ini agak aneh dan seperti tidak keruan susunannya. Akan tetapi Tek Hong yang mendengarnya, tiba tiba berpikir keras. Pemuda ini memang semenjak kecil sudah hafal akan segala ujar ujar kuno dan Locu dan Khong Cu. Tentu saja ujar ujar Locu yang tani diucapkan oleh ayahnya itu, ia kenal baik. Mengapa ayahnya hanya mengucapkan ujar ujar itu bagian belakangnya atau akhirnya saja? Dan mengapa ayahnya tadi berkata bahwa kalau orang mengetahui awalnya, ia akan selamat? Bagaimana bunyi awalan ujar ujar itu?
“Berbalik adalah pergerakan Tao. Kelemahan adalah kegunaan Tao. Langit dan Bumi serta segala isinya Berasal dari ADA.
Adapun ADA berasal dari TIADA!”
Dengan demikian, ayahnya bermaksud bahwa dia harus tahu tentang “Berbalik dan Kelemahan!” Tentu saja yang dimaksudkan oleh ayahnya itu adalah dia sendiri, karena bukankah di samping ayahnya, dia orangnya yang menghendaki selamat karena nyawanya terancam bahaya? Otak Thian te Kiam ong memang cerdik, dan kecerdikannya itu menurun kepada anak anaknya. Tek Hong memiliki pula kecerdikan luar biasa, maka ujar ujar Locu yang dipergunakan oleh Bun Sam sebagai sindiran ini, dapat ditangkap maksudnya, ia maklum bahwa ia berada di bawah pengaruh totokan dari Lam hai Lo mo dan untuk membebaskan totokan itu, ia harus dibebaskan totokannya di bagian punggung, yakni di jalan darah Tai hui hiat. Ayahnya menghendaki agar supaya ia berbalik diri dan menghadapkan punggungnya ke arah ayahnya!
Akan tetapi, ia berada di bawah pengawasan Lam hai Lo mo dan lain lain tokoh Sam hiat ci pai yang amat lihai maka sedikit saja ia membuat pergerakan, tentu mereka akan menaruh curiga. Oleh karena ini, sebelum tokoh tokoh Pulau Sam liong to itu menyatakan sesuatu atas ucapan Bun Sam tadi, ia berseru kepada ayahnya,
“Ayah, mengapa masih melayani mereka? Melihat pun aku sudah merasa muak!” Sambil berkata demikian, dengan sikap jijik Tek Hong lalu membalikkan tubuhnya, membelakangi Lam hai Lo mo dan ayahnya!
Tadi ketika ia menggali tanah dan mengubur jenazah Mo bin Sin kun dan Yap Thian Giok pada telapak tangan Bun Sam masih menempel tanah lempung. Dalam pertemuan dan percakapannya dengan Lam hai Lo mo, ia diam diam membersihkan kedua telapak tangannya dari tanah liat itu akan tetapi ia tidak menbuang tanah liat itu, melainkan menggulung gulungnya menjadi tiga butir bola tanah kecil kecil. Hal ini dilakukan hanya untuk mengumpulkan senjata rahasia guna menghadapi tokoh tokoh lihai itu akan tetapi kini ia dapat mempergunakannya untuk menolong anaknya. Girang sekali hatinya melihat kecerdikan Tek Hong yang kini tanpa menimbulkan kecurigaan telah membalikkan tubuhnya.
Secepat kilat Bun Sam mengayun tangannya dan sebutir bola tanah yang menyambar tepat mengenai jalan darah Tai hui hiat di punggung Tek Hong. Seketika itu juga, bebaslah Tek Hong dari pengaruh totokan dan ia dapat menggerakkan tubuhnya lagi. Berkat latihannya yang tekun dan gemblengan ayahnya yang tak kenal lelah, sekaligus ia dapat memulihkan kembali tenaganya dengan jalan mengatur napas ia memekik keras dan putuslah tali tali yang mengikat kedua tangannya!
Sebaliknya, begitu melihat sambitan dari tangan Bun Sam mengenai punggung Tek Hong, tahulah Lam hai Lo mo dan yang lain lain akan hal yang terjadi cepat sekali tadi. Yang berdiri terdekat dengan Tek Hong adalah Lam hai Lo mo dan Tung hai Sian jin, maka keduanya bergerak cepat hendak menyerang Tek Hong.
Bun Sam tidak tinggal diam. Begitu sambitan pertama mengenai sasaran dan puteranya teleh terbebas, ia mengayun tangannya lagi dan kini dua butir bola tanah melayang ke arah Lam hai Lo mo dan Tung hai Sian jin.
“Kerahkan tenaga Kim kong!” seru Bun Sam.
Semua terjadi dalam saat yang cepat. Lam hai Lo mo memukul dengan Ilmu Pukulan Sam hiat ci hoat ke arah jidat Tek Hong, sedangkan pemuda itu otomatis menurut petunjuk ayahnya, mengerahkan tenaga Kim kong yang telah dilatihnya baik baik Sehingga hawa dan dalam pusarnya naik ke atas melindungi jalan jalan darah di tubuh bagian atas terutama di kepalanya. Sementara itu, sebutir bola tanah melayang ke arah pangkal lengan Lam hai lo mo tepat mengenai jalan darah sehingga kakek ini pukulannya tidak sehebat yang dikehendakinya. Adapun butiran bola tanah kedua melayang ke arah Tung hai Sian jin sehingga kakek ini terkejut sekali dan terpaksa mengelak dan karenanya serangannya terhadap Tek Hong dibatalkan!
Akan tetapi, karena Lam hai Lo mo memang lihai, pukulan bola tanah yang mengenai pangkal lengannya tidak dapat menahan pukulannya dan tiga buah jari tangannya mengenai jidat Tek Hong! Pemuda itu berteriak dan roboh terguling dalam keadaan pingsan!
Akan tetapi, sebelum Lam hai Lo mo atau yang lain lain sempat turun tangan menewaskan Tek Hong, Bun Sam sekali berkelebat telah berada di dekat Tek Hong dan pedangnya menyambar, merupakan sinar kuning. Pedang ini adalah Oei giok kiam ( Pedang Kemala Kuning) yaitu pedang isterinya yang dipinjamnya karena pedangnya sendiri, yakni Kim kong kian telah dibawa pergi oleh Siauw Yang.
Gerakan pedangnya ini demikian hebatnya sehingga Lam hai Lo mo dan Tung hai San jin tidak berani menyambut dan terpaksa melonpat mundur, Bun Sam menyambar tubuh puteranya dan melompat ke arah pantai, dikejar oleh Lam hai Lo mo dan kawan kawannya. Sebenarnya, Bun Sam melarikan diri bukan karena takut, akan tetapi hendak mencari tempat yang baik. Ia tidak gentar untuk menghadapi keroyokan mereka, akan tetapi ia khawatir kalau kalau Tek Hong akan dibunuh selagi ia masih sibuk menghadapi mereka. Setelah tiba di tepi pantai, karena para pengajarnya tetap saja tidak dapat menyusulnya, ia melemparkan tubuh puteranya yang masih pingsan itu ke pinggir laut dan dengan gagah ia menanti datangnya para pengejar. Kini ia boleh merasa lega karena tak mungkin musuh musuhnya itu mengganggu Tek Hong yang terlindung oleh air laut dari belakang.
“Thian te Kiam ong, kau benar benar bosan hidup!” teriak Lam hai Lo mo marah sekali. Semua kawannya telah siap siaga dan dengan sikap mengancam mereka mulai mendekati Bun Sam.
“Lam hai Lo mo, tak usah banyak cerita lagi. Mari segera kita mulai membereskan perhitungan antara kita.” Sambil berkata demikian, mata Bun Sam memandang dengan kecerdikan luar biasa untuk meneliti keadaan tanah di sekitarnya dan untuk mengukur jarak, dengan girang ia melihat bahwa tanah di pantai itu cukup keras dan rata sehingga ia tidak perlu khawatir lagi. Di dalam pertempuran menghadapi pengeroyokan demikian banyak orang lihai, ia tentu takkan sempat memperhatikan keadaan tanah yang diinjaknya dan hal ini amat berbahaya bagi seorang yang dikeroyok karena sekali kaki salah berpijak, dapat mendatangkan bahaya.
“Sam hiat ci tin (Barisan Tiga Jari Berdarah), serbu !”
Lam hai Lo mo memberi komando sambil memutar tongkatnya. Kakek ini memang masih merasa gentar menghadapi Bun Sam yang di waktu masih muda sekali telah mengalahkannya, maka tentu saja ia tidak berani maju sendiri dan memberi komando itu.
Serentak kawan kawannya memutar senjata dan maju menyerang Bun Sam. Bong Eng Kiat tidak mau ketinggalan dan maju dengan siang kiam (sepasang pedang). Akan tetapi, begitu Bun Sam memutar pedangnya dan tubuh pendekar ini berkelebatan seperti naga menyambar, terdengar suara keras dan sebatang pedang di tangan kanan Eng Kita terbang pergi entah ke mana! Juga Koai kiam sian, orang ke empat dari See san Ngo sian yang memegang pedang aneh, merasa telapak tangannya tergetar dan sakit. Memang, dalam menghadapi senjata senjata lawan yang langsung menanggung akibat benturan pedang yang luar biasa gerakannya itu adalah lawan lawan yang memegang pedang pula Tentu saja hal ini juga terutama bergantung kepada tingkat kepandaian lawan itu dan diantara mereka semua, yang boleh dibilang masih kurang kepandaiannya hanyalah Bong Eng Kiat, maka pedangnya ketika terbentur lalu terlempar jauh. Sebaliknya, Koai kiam sian sudah cukup tinggi kepandaiannya sehingga ia tidak sampai harus melepaskan pedangnya. Namun tetap saja telapak tangannya terasa sakit sehingga ia menjadi terkejut sekali. Belum pernah ia bertemu dengan lawan setangguh ini, yang dalam sekali bentur saja sudah dapat menggetarkan tangannya.
Memang gerakan pedang dari Bun Sam amat luar biasa. Kalau orang lain, setiap kali pedang terbentur dengari senjata lawan, tenaga gambarannya berkurang banyak. Akan tetapi, keistimewaan ilmu pedang Bun Sam adalah setiap kali pedangnya terbentur dengan senjata lawan, ia malah dapat “mencuri” tenaga lawannya dan pedangnya membalik, untuk menghadapi lain pengeroyokan dengan tenaga lipat ganda!
“Eng Kiat, kau mundur....” seru Tung hai Sian jin kepada puteranya, karena ayah ini amat sayang kepada putranya dan ia tahu bahwa menghadapi orang seperti Thian te Kiam ong bukanlah hal yang boleh dibuat main main, Lam hai Lo mo dan yang lain lain tidak merasa sakit hati mendengar Tung hai Sian jin menyuruh puteranya mundur karena memang Eng Kiat bukan anggauta pengurus Sam hiat ci pai dan pemuda itu tak dapat banyak diharapkan dalam pengeroyokan ini.
Lam hai Lo mo merasa yakin bahwa kali ini ia dan kawan kawannya pasti akan dapat merobohkan Thian te Kiam ong, karena mustahil mereka sembilan orang yang berkepandaian tinggi tidak mampu mengalahkan seorang lawan saja, biar seorang lawan selihai Thian te Kiam ong sekalipun, maka ia memutar tongkat bambunya dengan cepat mempergunakan tangan kanan sedangkan tangan kirinya melancarkan serangan serangan Sam hiat ci hoat yang merupakan tangan maut menjangkau nyawa!
Bun Sam maklum bahwa ia menghadapi keroyokan orang orang yang rata rata sudah memiliki kepandaian luar biasa. Gerakan senjata mereka mendatangkan angin keras dan setiap pukuan lawan merupakan ancaman maut. Akan tetapi ia tidak menjadi gentar dan segera mengeluarkan ilmu pedangnya yang selama ini belum pernah menemui tandingan, yakni Tee coan Liok kiam sut. Pedangnya seakan akan berobah menjadi enam batang dan gerakannya menimbulkan enam gulungan sinar pedang yang menyambar ke sana ke mari, menangkis setiap serangan lawan dan sebaliknya juga mengirim serangan serangan pembalasan yang tak kalah hebatnya ia tahu bahwa kali ini ia harus mengadu nyawa, karena kalaupun ia sempat melarikan diri, tak mungkin ia dapat membawa tubuh puteranya yang masih pingsan. Tentu saja ia lebih baik menghadapi maut daripada meninggalkan puteranya, di samping ini, keangkuhannya sebagai seorang pendekar besar tidak mengijinkan ia meninggalkan musuh musuhnya.
Bukan main ramainya pertempuran itu. Hebat dan dahsyat sekali, dan jarang terjadi pertempuran antara ahli ahli sekian banyaknya. Di antara para pengeroyok, hanya dua orang saja yang mempergunakan tangan kosong, yakni Pat jiu sian dan Sin kun sian, orang pertama dan ke tiga dari See san Ngo sian. Mereka memiliki ilmu silat tangan kosong yang istimewa dan dalam menghadapi pedang Thian te Kiam ong, mereka memperlihatkan kegesitan, mengganti ganti ilmu silat mereka dan kadang kadang melancarkan pula pukulan Sam hiat ci hoat yang sudah mereka pelajari baik baik.
Lima puluh jurus telah lewat dan belum seorangpun di antara para pengeroyoknya yang berhasil melukai Bun Sam. Mereka menjadi penasaran sekali, karena kalau mereka tidak mampu mengalahkan Bun Sam, hal ini merupakan sesuatu yang amat memalukan. Masa sembilan orang tokoh besar dari Sam hiat ci pai yang mereka banggakan tidak mampu mengalahkan seorang lawan saja? Mereka segera mendesak makin rapat dan Bun Sam harus bekerja makin keras, bergerak makin cepat dan memutar pedang makin kuat lagi. Pendekar besar ini maklum bahwa kalau diteruskan begini, akhirnya ia akan kalah juga, karena ia yang lebih dulu akan kehabisan tenaga. Kecepatan pedangnya jauh berkurang dalam menghadapi sembilan orang lawan, karena ia harus membagi bagi gerakannya dalam menyerang untuk dipergunakan mengelak atau menangkis datangnya senjata lawan yang seperti hujan itu.
Thian te Kiam ong Song Bun Sam memutar otak mencari jalan keluar. Apalagi ia masih diganggu oleh rasa khawatir memikirkan keadaan isterinya dan Siauw Yang serta Pun Hui yang masih berada di rumah Pangeran Ciong Pak Sui yang ternyata adalah musuh yang berbahaya pula.
Pemusatan pikiran untuk mencari akal dan kekhawatirannya membuat gerakannya agak lambat. Hal ini tidak disia siakan oleh Lam hai Lo mo dan kawan kawannya yang merangsek makin kuat sehingga sebentar saja Thian te Kiam ong terdesak hebat. Hampir saja tongkat bambu di tangan Lam hai Lo mo mengenai sasaran ketika tongkat ini menusuk dada Bun Sam. Baiknya Bun Sam masih sempat menggerakkan tubuh dan memutarnya miring sehingga terdengar kain robek. Ketika ujung bambu itu menerobos pinggir iga dan merobek bajunya!
“Ha, ha, ha, Thian te Kiam ong, di mana kelihaian ilmu pedangmu yang diturunkan oleh Bu tek Kiam ong? Ha, ha, ha, sebentar lagi kau akan mampus, juga puteramu! Dan kau tahu bahwa isteri dan puterimu juga takkan terluput daripada kematian? Ha, ha, heh, heh!”
Ucapan terakhir ini benar benar menambah kebingungan Bun Sam karena persangkaannya ternyata benar, yakni bahwa isteri dan puterinya terancam bahaya, ia makin kalut dan terdesak hebat dan agaknya benar seperti diramalkan oleh Lam hai Lo mo, sebentar lagi ia akan roboh. Namun Ilmu Pedang Tee coan Liok kiam sut memang benar hebat dan patut disebut raja sekalian ilmu pedang. Ilmu pedang ini seakan akan sudah mendarah daging dalam tubuh Bun Sam sehingga biarpun pikirannya kalut, namun gerakannya seperti otomatis dan ilmu pedang ini amat kuat melindungi tubuhnya dari semua serangan para pengeroyoknya.
Baik kita tinggalkan sebentar keadaan Bun Sam yang terancam bahaya maut dalam pengeroyokan sembilan orang tokoh Sam hiat ci pai di Pulau Sam liong to itu. Mari kita menengok keadaan Siauw Yang, Sian Hwa dan Pun Hui yang masih duduk di ruang tamu yang kini penuh dengan tamu untuk menyaksikan pernikahan Pangeran Ciong Pak Sui. Betul betulkah keadaan mereka terancam bahaya seperti yang dikhawatirkan oleh Bun Sam?
Kelihatannya tidak demikian, karena Sian Hwa dan Siauw Yang masih duduk di ruang bagian wanita. Bercakap cakap gembira dengan tamu tamu lain sungguhpun di dalam hatinya, Sian Hwa amat mengkhawatirkan keadaan suaminya dan Siauw Yang masih kecewa sekali karena tidak boleh ikut ayahnya. Liem Pun Hui yang tadinya masih terheran heran mengapa tiba tiba Bun Sam meninggalkan ruangan dan tidak nampak kembali, kini sedang memperhatikan seorang gadis baju merah yang duduk tidak jauh dari temnat Siauw Yang dan ibunya. Gadis ini adalah Ong Siang Cu, murid Lam hai Lo mo. Diam diam Pun Hui merasa amat gelisah melihat gadis yang amat hebat ini.
Biarpun kelihatannya tiga orang ini tidak terancam bahaya sesuatu, namun sesungguhnya diam diam Pangeran Ciong sudah mengatur bersama kawan kawannya untuk menyerbu mereka apabila pernikahannya sudah dilangsungkan. Pangeran ini tidak mau merusak kebahagiaannya dengan pertempuran dan setelah upacara pernikahannya selesai, barulah ia akan bertindak. Untuk keperluan ini, kawan kawannya yang banyak terdapat di ruang itu sudah siap sedia, diatur oleh Thio Kim Si Tangan Seribu.
Lucunya, baik Pangeran Ciong Pak Sui maupun Thio Kim Si Tangan Seribu, memperkuat betul betul persiapan untuk mengeroyok Pun Hui karena pangeran dan pembantunya ini masih selalu mengira bahwa pemuda ini lebih lihai dan berbahaya dan pada Siauw Yang.
Tak lama kemudian, upacara pernikahan itu pun dilangsungkan. Sepasang pengantin sudah mulai menuju ke meja sembahyang untuk bersembahyang. Pangeran Ciong kelihatan tersenyum senyum girang dan semua orang yang melihat bentuk tubuh pengantin wanita serta melihat wajah di balik tirai halus yang melindungi mukanya, menjadi kagum dan memuji bahwa mempelai itu cantik sekali.
“Bi sin tung Thio Leng Li....!” tiba tiba terdengar Pun Hui berseru heran ketika ia mengenal mempelai wanitanya.
“Dia Leng Li....!” Siauw Yang berseru lebih keras lagi karena gadis inipun tidak pernah mengira bahwa calon isteri Pangeran Ciong adalah Thio Leng Li, puteri dari Sin tung Lo kai Thio Houw, tokoh besar dan ketua dan Ang sin tung Kai pang di wilayah barat saluran.
Pengantin wanita itu ketika mendengar seruan seruan ini, nampak terkejut dan otomatis menyingkap tudung mukanya. Kini, nampak kelihatanlah wajahnya dengan jelas dan memang dalam hiasan dan pakaian pengantin ia kelihatan cantik manis. Pertama tama pandang matanya mencari Pun Hui dan ketika ia melihat pemuda itu berdiri di antara para tamu, berobah wajahnya. Untuk sesaat Leng Li berdiri memandang ke arah Pun Hui, kemudian seperti seorang yang malu malu ia membalikkan tubuh dan memandang ke arah Siauw Yang. Gadis puteri Thian te Kiam ong ini saking herannya sudah bangkit berdiri.
“Nona Song Siauw Yang....!” Leng Li berseru girang ketika mengenal gadis perkasa itu.
Akan tetapi, setelah nama ini disebut, sesosok bayangan merah berkelebat dan ternyata gadis baju merah yang semenjak tadi telah memperhatikan Siauw Yang dan Sian Hwa, dengan melompati beberapa orang tamu wanita yang duduk menghalanginya, kini telah berdiri di depan Siauw Yang dan memandang dengan mata menyelidik.
“Hm, jadi inikah puteri Thian te Kiam ong yang tersohor lihai? Kebetulan sekali, telah lama kucari dan engkau dan sekarang setelah bertemu, biarlah kucoba kelihaian pedangmu!” kata Siang Cu gadis baju merah itu sambil mencabut pedangnya yang mengeluarkan cahaya kehijauan, yakni pedang Cheng hong kiam.
Siauw Yang dan Sian Hwa terkejut sekali ketika tiba tiba melihat seorang gadis baju merah yang sekali berdiri dan menantang.
“Eh, eh, siapakah kau? Apakah kau telah terlalu banyak minum arak dan menjadi sinting?” Siauw Yang menegur heran dan marah.
Siang Cu tersenyum sindir dan dengan suara marah pula. Ia menjawab, “Aku Ong Siang Cu murid Lam hai Lo mo. Sudah lama ingin sekali kubuktikan apakah nama besar keluarga Song bukankah nama kosong belaka.”
Bukan main terkejut dan marahnya Siauw Yang mendengar bahwa gadis baju merah yang galak ini adalah murid dari musuh besar ayahnya. Demikian pula Sian Hwa menjadi kaget sekali, akan tetapi semenjak tadi nyonya ini hanya duduk di atas bangkunya sambil memandang kepada Siang Cu dengan mata terbelalak,
“Kau...... kau anak Puteri Luilee.... tak salah lagi ” tiba
tiba Sian Hwa berseru. Bagaimana ia bisa meragukan lagi bahwa Ong Siang Cu adulah puteri Pangeran Kian Tiong dan Puteri Luilee? Gadis baju merah ini bentuk mukanya serupa benar dengan Puteri Luilee, hanya bedanya mata dari Puteri Luilee berwarna kebiruan, sedangkan mata gadis ini biasa saja, hitam dan tajam berbentuk indah.
Mendengar ucapan nyonya yang kelihatan cantik dan gagah itu, Siang Cu tertegun dan tidak tahu apa yang dimaksudkan oleh nyonya Thian te Kiam ong itu. Akan tetapi pada saat itu, Pangeran Ciong yang terkejut sekali mendengar betapa rahasia Siang Cu akan terbuka, segera berseru,
“Nona Siang Cu, kebetulan sekali! Mereka inilah keluarga yang telah membikin sengsara suhumu?” Diam diam ia memberi tanda kepada Thio Kim agar menggerakkan orang orangnya.
Akan tetapi Siang Cu yang merasa bingung tidak memperdulikan omongan Pangeran Ciong, bahkan membentak, “Kau tidak ada sangkut paut dengan urusanku!” Kemudian ia menghadapi Siauw Yang dengan pedang di tangan, lalu menantangnya.
“Berani tidak kau mengadu ilmu pedang dengan aku?” Siauw Yang adalah seorang gadis yang lincah gembira,
akan tetapi juga memiliki kekerasan hati dan keangkuhan tinggi. Menghadapi tantangan ini ia mencabut Kim kong
kiam dan tersenyum mengejek. “Kau perempuan liar memang patut menjadi murid iblis tua Lam hai Lo mo. Apakah kau tidak tahu malu dan begitu tidak tahu aturan sehingga mencari keributan di tempat pesta?”
“Tutup mulut, pendeknya kau berani atau tidak?” bentak Siang Cu marah.
“Takut kepadamu? Nanti dulu kawan. Aku Song Siauw Yang tak pernah takut kepada siapa pun juga. Majulah!” Siauw Yang sudah memasang kuda kuda dan mempersiapkan pedangnya lalu menendang dua buah bangku di depannya Orang orang menjadi gempar dan banyak tamu wanita sejak tadi telah meninggalkan bangku mereka.
“Sabar, Siauw Yang ” kata Sian Hwa.
Akan tetapi Siang Cu sudah menerjang dan menyerang Siauw Yang dengan pedangnya, ditangkis oleh gadis ini sehingga terdengar suara “Trang !” dan bunga api berpijar
menyilaukan mata. Tak lama kemudian bangku bangku dikanan kiri mereka terbang ke sana ke mari karena mereka tendang.
“Nona Siang Cu, kauhajar nona galak puteri Thian te Kiam ong itu, biar ibunya dan suhengnya kami yang akan merobohkannya!” teriak pangeran Ciong dengan gembira sekali karena dengan adanya Siang Cu, maka keraguannya lenyap dan ia merasa mendapat tenaga bantuan yang luar biasa tangguhnya. Pangeran ini maklum bahwa ilmu silat dari murid Lam hai Lo mo itu lebih lihai dan kepandaiannya sendiri, maka ia tidak khawatir lagi bahwa rencananya membasmi keluarga Song akan gagal.
Tanpa memperdulikan kepada pengantinnya, ia lalu menyambar tombaknya dan bersama Thio Kim dan kawan kawan lain, ia lalu menyerbu! Pangeran ini memang licik
sekali, ia merasa takut untuk menghadapi Pun Hui yang dianggapnya lebih lihai daripada Siauw Yang, maka ia lalu menyerang Sian Hwa!
“Suci (kakak seperguruan), kau harus tahu bahwa penghianatanmu terhadap mendiang suhu harus kautebus dengan hukuman mati!” kata pangeran itu sambil menusuk dengan tombaknya. Akan tetapi Sian Hwa sudah siap dan nyonya yang gagah ini cepat menyambar bangku dan menangkis serangan tombak itu. Sayang sekali bahwa pedangnya Pek giok kiam dipinjam oleh suaminya, maka ia kini bertangan kosong dan hanya mempergunakan bangku untuk menghadapi lawannya. Sebentar saja ia dikeroyok oleh tujuh orang kawan Ciong Pak Sui sehingga nyonya ini dikepung dan hanya mengandalkan ginkangnya untuk menghindarkan diri dari semua serangan. Bangku di tangannya sudah hancur dan ia menyambar lain bangku untuk melakukan perlawanan hebat.
Sementara itu, Thio Leng Li menjadi bengong ketika melihat betapa tiba tiba Siauw Yang dan ibunya dikeroyok oleh calon suaminya dan banyak tamu membantu pangeran itu. Timbul tidak senangnya terhadap Pangeran Ciong yang dikiranya seorang gagah perkasa, kaya raya dan budiman itu. Lebih lebih lagi kagetnya ketika ia melihat belasan orang dipimpin oleh Thio Kim Si Tangan Seribu yang dikenalnya sebagai orang kepercayaan calon suaminya, mengurung dan menyerbu ke arah Pun Hui dengan tangan memegang senjata.
Seorang di antara kawan Thio Kim yang maju mengeroyok Pun Hui, mempergunakan toya nya untuk mengemplang kepala pemuda itu. Sebagaimana diketahui, biarpun ia telah diangkat sebagai murid oleh Sin pian Yap Thian Giok, namun Pun Hui belum pernah mempelajari ilmu silat dari gurunya itu. Memang benar bahwa semenjak ia melakukan perjalanan bersama Siauw Yang, gadis itu banyak memberi petunjuk dan melatih ilmu silat padanya. Akan tetapi oleh karena kurang kesempatan dan pula memang selamanya belum pernah Pun Hui belajar ilmu silat ia lebih banyak mengerti teorinya daripada prakteknya. Namun ia telah mengerti cara bagaimana untuk mengelak dan serangan toya itu, maka tergopoh gopoh ia melompat ke kiri. Malang baginya, karena kepandaiannya masih rendah sekali, lompatannya kaku dan ia menabrak meja sehingga jatuh terguling! Melihat ini Thio Kim terheran heran. Benarkah apa yang dilihat? Bagaimana diserang toya begitu saja pemuda itu dalam mengelak sampai menabrak meja dan terguling guling, seakan akan pemuda itu sama sekali tiduk mengerti ilmu silat? Ketika melihat Pun Hui mengaduh aduh sambil merangkak bangun, tak tertahan lagi Thio Kim tertawa bergelak dengan hati geli sambil memegangi perutnya. Tak disangkanya bahwa suheng dari puteri Thian te Kiam ong yang disegani dan ditakuti, bukan saja oleh dia sendiri melainkan juga oleh Pangeran Ciong, ternyata hanyalah seorang lemah yang agaknya hanya kuat dalam hal bermain catur!
Akan tetapi suara ketawa dari Thio Kim ini tidak lama karena tiba tiba ia mendengar seorarg di antara kawan kawannya yang mengeroyok Pun Hui menjerit dan roboh dengan pundak berdarah! Thio Kim cepat menengok dan ternyata bahwa kawannya itu roboh oleh tongkat di tangan Thio Leng Li, nona pengantin!
“Eh, keponakanku, mengapa kau menyerang kawan sendiri?” tanya Thio Kim Si Tangan Seribi ini memang mengaku Leng Li sebagai keponakannya karena she (nama keturunan) mereka sama, yakni she Thio. Hal ini ia lakukan untuk lebih mendekatkan dirinya dengan majikannya, pangeran Ciong yang mengambil Leng Li sebagai isteri. “Siapa keponakanmu? Tadinya kalian kukira orang baik baik, tidak tahunya bangsa rendah dan kaki tangan Lam hai Lo mo yang jahat. Jangan mengganggu pemuda ini kalau kalian masih sayang jiwa!”
Thio Kim menjadi bingung. Untuk menyerang nona pengantin ini tentu saja ia tidak berani karena tentu majikannya akan marah. Maka ia membentak kawan kawannya supaya mundur dan hanya memandang dengan bengong dan bingung ketika ia melihat Leng Li mengempit tubuh Pun Hui dan dibawa lari cepat dari tempat itu!
“Ciong siauw ong ya! Nona pengantin membawa lari pemuda she Liem!” teriak Thio Kim yang kebingungan.
Pada saat itu, Ciong Pak Sui tengah mendesak Sian Hwa dan tombaknya telah melukai lengan kanan nyonya perkasa itu. Ia merasa yakin bahwa sebentar lagi tentu ia dan kawan kawannya akan berhasil menewaskan isteri dari Thian te Kiam ong ini. Akan tetapi ketika ia mendengar seruan ini, ia menjadi kaget heran dan khawatir.
“Kejar dia, paksa kembali! Bodoh kalian!” Namun ia tidak mau meninggalkan Sian Hwa yang benar benar sudah payah dan terdesak hebat.
Mendengar ini, Thio Kim lalu memberi aba aba dan larilah dia keluar bersama sepuluh orang kawannya, ia maklum bahwa dengan jalan kekerasan ia dan kawan kawannya akan sanggup membawa kembali Leng Li dan pemuda she Liem itu, karena kepandaian nona Leng Li biarpun cukup tinggi, tak mungkin dapat mengimbangi keroyokan sebelas orang.
Thio Leng Li membawa lari Pun Hui dengan cepat. Ia tahu akan kelihaian Pangeran Ciong dan akan pengaruh besar pangeran itu yang mempunyai banyak sekali kaki tangan, maka kalau sampai ia tersusul oleh mereka, akan celakalah dia. Baru sekarang terbuka matanya bahwa orang yang tadinya dianggap sebagai orang gagah itu, bukan lain adalah seorang kawan Lam hai Lo mo yang memusuhi Thian te Kiam ong pendekar yang amat dikaguminya. Tak terasa pula sambil berlari, kedua mata Leng Li menjadi basah. Alangkah buruk nasibnya. Dahulu, pada waktu ia amat tertarik oleh Pun Hui, ayahnya berlaku kasar dalam soal perjodohan sehingga ia merasa terhina dan melarikan diri dari ayahnya. Di dalam perjalanan, ketika ia diganggu oleh sekawanan perampok, ia bertemu dengan Pangeran Ciong yang dengan gagah berani membasmi perampok perampok itu dan mereka berkenalan. Akhirnya Pangeran itu meminangnya dan karena Leng Li sudah tidak mempunyai harapan untuk kembali kepada ayahnya, ia menerima pinangan itu setengah terpaksa.
Dan sekarang.... Ia kembali bertemu dengan Pun Hui yang hendak dibinasakan oleh orang orang calon suaminya itu. Dan tidak membantu usaha calon suaminya, bahkan menolong Pun Hui dan membawanya lari! Semua ini ia lakukan sesuai dengan perasaan hatinya, dan baru sekarang ia tahu bahwa ia sebenarnya tidak menaruh hati suka kepada Pangeran Ciong. Bahwa ia jauh lebih suka kepada Pun Hui daripada pangeran itu sehingga kini tanpa ragu ragu ia melindungi Pun Hui dengan taruhan nyawa.
Ketika gadis ini berlari terus tanpa memperdulikan protes dari Pun Hui yang berkali kali menyatakan bahwa ia akan kembali ke rumah Pangeran Ciong untuk melihat keadaan Siauw Yang dan ibunya, tiba tiba terdengar bunyi derap kaki kuda dan ternyata bahwa Thio Kim dan kawan kawannya telah dapat menyusulnya.
“Kita harus menghadapi mereka mati matian,” kata Leng Li sambil menurunkan Pun Hui. Pemuda ini biarpun tahu akan datangnya bahaya maut, namun ia masih saja tenang dan tidak takut apa apa.
“Nona, mengapa kau memaksa diri hendak berkorban untukku? Kau larilah, biar aku menghadapi mereka,” kata Pun Hui gagah.
Leng Li tersenyum dan di dalam hatinya ia berkata, “Inilah agaknya yang merupakan daya penarik kuat sekali dan sasterawan muda ini. Begitu gagah berani dan tabah sungguhpun tidak memiliki kepandaian silat.” Akan tetapi pada mulutnya ia berkata,
“Liem siucai, kita adalah kenalan kenalan dan sahabat sahabat lama, bagaimana aku dapat meninggalkan kau? Segala cacing busuk seperti mereka itu saja, apanya yang kutakutkan?” Sambil berkata demikian, Leng Li mencabut tongkatnya dan berdiri menghadang di jalan melindungi Pun Hui yang berdiri di belakangnya.
“Leng Li, apakah kau sudah gila? Bagaimana seorang pengantin membawa lari seorang laki laki musuh calon suaminya? Hayo lekas kembali dan serahkan pemuda ini kepada kami.” Thio Kim melompat turun dari kudanya sambil membentak marah, diikuti oleh sepuluh orang kawannya.
Leng Li tersenyum menyindir. “Thio Kim, baru sekarang terbuka mataku dan tahulah aku orang orang macam apa adanya kau sekalian dan Pangeran Ciong! Siapa sudi menjadi isterinya? Kembalilah kalian, aku takkan mengganggu kalian mengingat perkenalan kita yang lalu. Akan tetapi, kalau kalian memaksa hendak membunuh Liem siucai yang tiada dosa, terpaksa aku Bi sin tung Thio Leng Li akan turun tangan dan melakukan tugas sebagai seorang yang menjunjung tinggi kegagahan, membela si lemah dan melawan si penindas.” “Ha, ha, kau sombong sekali. Kawan kawan, tangkap nona pengantin dan bunuh sasrerawan itu!” bentak Thio Kim dan sebelas orang itu lalu maju menyerbu. Terdengar suara keras ketika tongkat di tangan Leng Li bergerak menangkis sekian banyaknya senjata yang diarahkan kepada Liem Pun Hui, kemudian terjadilah pertempuran hebat.
Leng Li benar benar berlaku nekat. Biarpun ia telah memiliki kepandaian yang cukup tinggi namun para pengeroyoknya juga bukan orang orang lemah. Apalagi gadis perkasa ini harus melindungi Pun Hui, maka sebentar saja ia terdesak hebat sekali. Sebaliknya, Pun Hui tak berdava sama sekali hanya apabila ada seorang di a mara para pengeroyok itu dapat memisahkan diri dan menyerangnya, ia mencoba untuk mengelak.
Leng Li benar benar sibuk dan marah sekali. Ia mendengar teriakan kesakitan dan melihat Pun Hui dibacok oleh seorang pengeroyok yang memegang golok. Pemuda itu sudah mencoba untuk mengelak, akan tetapi tetap saja ujung golok itu menyerempet pundak sehingga pundak dan kulit dadanya tergurat golok, pakaiannya robek dan pundak sampai ke dada berdarah.
“Bangsat rendah!” Leng Li berseru dan sekali ia menggerakkan tubuhnya, ia telah menyerang pemegang golok itu. Tongkatnya digerakkan cepat sekali. Pemegang golok menjerit dan roboh dengan dada tertusuk tongkat dan nyawanya meninggalkan raganya di saat itu juga!
Melihat seorang kawannya tewas, Thio Kim dan yang lain lain menjadi marah sekali, kalau tadi mereka hanya menujukan serangan mereka kepada Pun Hui dan terhadap Leng Li mereka hanya berusaha merampas tongkatnya, kini mereka menyerang gadis itu! Leng Li harus bekerja lebih teras lagi karena kini benar benar keadaannya amat berbahaya.
Akan tetapi, kembali ia merobohkan seorang pengeroyok yang kurang hati hati sehingga orang ini roboh dengan kepala retak retak terpukul tongkatnya! Pada saat itu, seorang pengeroyok lain berhasil menyerempet lengan kiri Leng Li dengan goloknya sehingga terlukalah lengan itu dan darah mengalir deras. Namun Leng Li tidak menjadi gentar, bahkan mengamuk makin hebat sehingga kembali seorang pengeroyok jatuh tersungkur.
“Jangan bunuh dia, bikin dia tidak berdaya agar dapat kita!” seru Thio Kim berkali kali memperingatkan kawan kawannya, karena kalau sampai nona ini tewas, ia ngeri menghadapi kemarahan Pangeran Ciong. Seruan inilah yang menyelamatkan nyawa Leng Li karena biarpun ia terdesak hebat, namun lawan lawannya tidak berani mempergunakan serangan maut.
Kini semua orang tidak memperdulikan Pun Hui dan semua senjata dipukulkan keras keras untuk membikin tongkat di tangan gadis perkasa itu terlepas dari pegangan. Sudah jelas bagi mereka bahwa Pun Hui bukan apa apa dan kalau nona ini sudah dapat dibuat tak berdaya, apa sukarnya membunuh sasterawan itu?
Leng Li berusaha mempertahankan tongkatnya, namun digunting dari kanan kiri oleh sekian banyaknya senjata lawan, akhirnya ia tidak kuat bertahan lagi dan tongkatnya dapat direnggut terlepas dari tangannya! Pada saat itu, sebuah tendangan dari Thio Kim mengenai belakang lututnya sehingga Leng Li terguling roboh!
“Ha, ha, ha, ringkus dia dan biarkan aku bunuh kutu buku yang lemah itu!” seru Thio Kim kepada kawan kawannya dengan hati girang. Akan tetapi suara ketawanya tiba tiba terhenti dan terdengar suara keras ketika sinar merah menyambar dan kepala Thio Kim pecah berantakan! Seorang kakek tua dengan tongkat merah telah berdiri di situ dan sambil memaki maki tongkat merahnya bergerak ke sana sini sehingga empat orang pengeroyok tadi roboh dengan kepala pecah!
Melihat kehebatan kakek yang baru datang ini, gegerlah kawan kawan Thio Kim, apalagi ketika melihat betapa dalam beberapa gebrakan saja Thio Kim dan empat orang lain telah tewas dalam keadaan mengerikan. Yang dua orang lain telah tewas di tangan Leng Li dan seorang pula telah terluka, maka kini hanya tinggal tiga orang lagi. Mereka menjadi ketakutan dan melarikan diri. Akan tetapi, kakek bertongkat merah itu sekali melompat telah mengejar dan menyusul mereka dan berbareng dengan berkelebatnya tongkat merah di tangannya, dua orang itupun roboh binasa!
“Ayah....!” seru Leng Li dengan girang dan terbaru ketika ia melihat kakek bertongkat merah itu.
Sin tung Lo kai Thio Houw, ketua dari Ang sin tung Kai pang itu tertawa bergelak.
“Ha, ha, ha! Puas hatiku! Lihat, Leng Li, mereka semua mampus, orang orang yang berani sekali mengganggumu tadi. Aha, kau hendak pulang membawa calon mantuku? Bagus, bagus! Mari kita pulang dan segera kita merayakan pernikahanmu dengan dia ini!”
Mendengar ucapan ayahnya ini, Leng Li hendak membantah, akan tetapi ia menahan kemarahannya. Leng Li setelah banyak merantau telah dapat merebah wataknya, tidak amat berkeras hati dan mudah marah seperti dahulu lagi. Diam diam ia sering merenungkan keadaan ayahnya
dan tahulah ia bahwa ayahnya memang seorang berwatak aneh, namun semua keanehan itu berdasar cinta kasih yang amat besar kepadanya.
“Ayah, Liem siucai ini perlu ditolong. Dia terluka dan kalau tadi anak tidak turun tangan, dia tentu akan dibunuh oleh anak buah Sam hiat ci pai.”
Benar saja dugaan Leng Li, mendengar nama perkumpulan ini, sekaligus pengemis sakti itu lupa sama sekali akan urusan perjodohan dan akan pemuda sasterawan itu,
“Sam hiat ci pai? Perkumpulan apakah bernama demikian hebat?”
“Perkumpulan itu berpusat di Sam liong to, dipimpin oleh orang orang seperti Lam hai Lo mo dan Tung hai Sian jin. Adapun orang orang ini adalah kaki tangan dari Pangeran Ciong Pak Sui yang merupakan komplotan dari Sam hiat ci pai.”
Berita ini benar benar mengejutkan hati Sin tung Lo kai Thio Houw. Perkumpulan yang dipimpin oleh Lam hai Lo mo dan Tung hai Sian jin, tentu merupakan perkumpulan yang hebat dan sekarang ia telah membunuh orang orang perkumpulan itu. Inilah hebat sekali. Biarpun ia merupakan seorang tokoh besar yang memiliki kepandaian tinggi, namun nama dua orang itu cukup mengejutkan hati Sin tung Lo kai Thio Houw.
“Akan tetapi bagaimana kau sampai bisa terkeroyok oleh mereka?”
“Karena aku hendak menolong Liem siucai ini, ayah,” “Aah, lagi lagi pemuda ini menimbulkan kehebohan.
Hayo kita pulang, tak perlu kita mencampuri urusan Sam
hiat ci pai. Anehnya, pemuda lemah ini bagaimana sampai bentrok dengan perkumpulan yang dipimpin oleh dua orang itu?”
“Nanti saja anak ceritakan, ayah! Sekarang lebih baik kita lekas pulang. Mari Liem siucai, kita pergi ke tempat aman!” ajaknya kepada Pun Hui.
Pemuda yang sedang mengusap usap darah yang mengucur dari lukanya itu menggelengkan kepalanya. “Tidak, nona Leng Li, aku harus kembali ke sana. Aku tidak tega meninggalkan Song sumoi dan ibunya yang terancam bahaya maut.”
“Kau bisa apakah? Kehadiranmu takkan menolong mereka, bahkan akan menambah beban mereka untuk melindungimu. Hayo kita pergi dari sini.” Leng Li mendesak.
“Tidak, biar aku mati bersama mereka, aku tidak mau lari seperti seorang pengecut.”
“Kau banyak rewel,” bentak Thio Houw marah. “Sekali anakku bilang pergi, kau harus ikut pergi!” Tanpa menanti jawaban Pun Hui, Sin tung Lo kai Thio Houw menyambar tubuh Pun Hui dan mengempitnya. Dalam kempitan kakek ini, mana Pun Hui bisa bergerak sedikitpun juga?
“Hayo kita pergi, anakku!” kata Thio Houw. Leng Li tersenyum melihat keadaan Pun Hui dan ia mengangguk. Maka pergilah ayah dan anak ini, mempergunakan ilmu lari cepat. Memang Leng Li menganggap bahwa lebih baik cepat cepat pergi dari tempat itu, karena kalau sampai Pangeran Ciong dan kawan kawannya mengejar, biarpun di situ ada ayahnya yang membantu, keadaan mereka amat berbahaya. Apalagi di sana terdapat murid Lam hai Lo mo. Kalau tokoh tokoh Sam hiat ci pai sampai datang membantu Pangeran Ciong, ayahnya sendiripun takkan berdaya menghadapi mereka yang terkenal lihai dan kejam.
Mari kita menengok keadaan Siauw Yang dan Sian Hwa. Sebagaimana telah kita ketahui, Siauw Yang bertempur hebat sekali melawan Siang Cu. Kedua orang gadis ini sama sama hebat, sama sama lincah dan ilmu pedang mereka sama sama kuat. Memang dalam hal ilmu pedang, Siauw Yang masih lebih unggul karena memang ilmu pedangnya Tee coan Liok kiam sut warisan Bu tek Kiam ong yang ia pelajari dari ayahnya merupakan ilmu pedang yang menjadi raja segala ilmu pedang di jaman itu. Namun ia menghadapi Siang Cu yang mempunyai ilmu pedang yang amat ganas. Sedangkan dalam hal tenaga dan keringanan serta kecepatan gerakan tubuh, boleh dibilang keadaan mereka seimbang.
Kim kong kiam di tangan Siauw Yang berobah menjadi segulung sinar kuning emas, sedangkan Cheng hong kiam di tangan Siang Cu menjadi gulungan sinar hijau. Dua sinar pedang itu bergulung gulung seperti dua ekor naga sakti saling serang atau tengah bercanda. Kadang kadang nampak berkelebatannya bayangan merah dari pakaian Siang Cu atau bayangan biru dari baju Siauw Yang. Akan tetapi jarang sekali kelihatan bayangan dari dua orang gadis perkasa ini karena tertutup sama sekali oleh sinar pedang mereka yang dahsyat.
Sebaliknya, Sian Hwa lebih repot daripada Siauw Yang. Nyonya yang gagah ini tidak saja menghadapi tombak Ciong Pak Sui yang lihai sedangkan dia sendiri bertangan kosong, bahkan masih banyak kawan kawan pangeran itu mengeroyoknya. Namun dengan gagah Sian Hwa mengamuk terus, mempergunakan bangku bangku dan agaknya tidak mudah orang merobohkannya biarpun ia sendiripun tidak mungkin dapat melepaskan diri dari kepungan. Siang Cu masih saja mengingat ingat ucapan nyonya Song itu dan hatinya berdebar. Masih berdengung di telinganya ketika Sian Hwa menyebut nama Puteri Luilee, sebuah nama yang biarpun tak pernah didengarnya, namun kedengarannya begitu manis, begitu terkenal, dan mendebarkan jantungnya! Isteri dari Thian te Kiam ong menyatakan bahwa dia adalah anak dan Puteri Luilee? Apakah artinya ini? Namun serangan yang hebat dan Siauw Yang membuat ia tak sempat melamun terus.
Kemudian, ketika Siang Cu mengerling ke arah Sian Hwa, ia melihat betapa nyonya itu dikepung dan didesak hebat oleh Ciong Pak Sui dan kawan kawannya. Merahlah telinga Siang Cu melihat betapa seorang wanita tua yang bertangan kosong dikeroyok oleh sekian banyaknya laki laki yang gagah gagah dan bersenjata tajam! Apa pula kalau ia ingat bahwa pangeran itu adalah murid keponakan dan suhunya, sungguh membuat ia menjadi malu sekali! Juga diam diam ia mengaguni kehebatan ilmu silat Siauw Yang dan ibunya. Sayang Thian te Kiam ong tidak berada di tempat itu. Kalau ada, tentu ia akan dapat menjajal ilmu pedang dari Raja Padang musuh besar suhunya itu.
Melihat betapa Sian Hwa terdesak hebat, Siang Cu lalu melompat keluar lapangan pertempuran dan berkata kepada Siauw Yang, “Kalau memang kau gagah, hayo kita melanjutkan pertempuran di tempat sunyi, jangan di tempat yang penuh sesak ini. Dan Lebih baik kau menoloog ibumu lebih dulu, aku menantimu di….” Akan tetapi pada saat itu. Siang Cu menghentikan kata katanya dan melompat cepat sekali, mengembatkan pedangnya menangkis tombak Ciong Pak Sui yang hampir saja menembus dada Sian Hwa.
“Sungguh tak tahu malu mengeroyok seorang wanita tak bersenjata!” seru Siang Cu marah dan Pangeran Ciong terkejut sekali melihat ujung tombaknya telah terbabat putus oleh pedang Siang Cu! Pada saat Siang Cu bicara tadi, keadaan Sian Hwa amat terdesak. Sebuah pukulan ruyung dari pengeroyoknya ditangkis dengan bangku itu, akan tetapi bangku itu hancur sehingga lengannya ikut teruka dan pada saat itu, tombak di tangan Pangeran Ciong sudah meluncur dekat. Baiknya Siang Cu datang menolongnya dan untuk kedua kalinya, Sian Hwa memandang gadis ini dengan mata kagum serta penuh keheranan.
Sebaliknya, Pangeran Ciong menjadi kaget dan marah sekali.
“Nona Siang Cu, bagaimanakah kau ini? Mereka ini adalah musuh musuh kita yang harus dibasmi habis. Thian te Kiam ong sendiri sekarang mungkin sudah mampus di tangan suhumu di Pulau Sam liong to. Bagaimana kau bisa menghalangiku membunuh isterinya?”
“Urusanku dengan mereka tak mungkin kau campuri dan urusanmu dengan merekapun aku tidak sudi mencampuri. Antara kau dan aku tidak ada sangkut paut sesuatu! Akan tetapi aku tidak suka melihat sekian banyaknya laki laki gagah bersenjata mengeroyok seorang wanita setengah tua yang bertangan kosong. Oh, memalukan sekali!” Kemudian ia menoleh kepada Siauw Yang dan berkata dengan cemberut dan lagak menantang.
“Masih beranikah kau melawan aku?”
“Bocah sombong! Mari kita bertempur sampai seribu jurus. Siapa takut padamu?” jawab Siauw Yang marah sekali.
“Kalau begitu mari kita lanjutkan di pantai laut, jangan di sini agar tidak ada orang yang mengganggu pertandingan kita.” Siang Cu melompat, diikuti oleh Siauw Yang yang mengajak ibunya dan tiga orang wanita perkasa itu meninggalkan Pangeran Ciong yang berdiri bengong tanpa berani mengejar. Setelah Siang Cu berdiri di fihak lawan dan tidak menghendaki ia mengeroyok Sian Hwa, siapa lagi yang ia andalkan? Apalagi kalau Siang Cu sampai mempergunakan larangan dengan pedangnya, tentu akan berbalik bahaya bagi fihaknya. Akan tetapi, kawan kawannya banyak sekali dan seandainya Siang Cu tidak mau membantunya, agaknya tak mungkin nona itu akan membantu fihak musuh. Tidak, ia tak boleh mendiamkan saja isteri dan anak Thian te Kiam ong melarikan diri.
Pangeran Ciong sedang marah karena mendengar betapa calon isterinya membawa lari pemuda pelajar itu yang menjadi suheng dari Siauw Yang. Maka kebenciannya terhadap keluarga Song makin menghebat dan kini mengandalkan bantuan kawan kawannya, ia mengambil keputusan untuk berlaku nekat.
“Nanti dulu, nona Siang Cu! Ibu dan anaknya itu harus kami tewaskan!” Ia lalu memberi tanda kepada kawan kawannya, maka menyerbulah lebih dari duapuluh orang keluar, mengejar Sian Hwa dan Siauw Yang!
“Ibu, pergunakanlah pedang ini!” kata Siauw Yang sambil menyerahkan pedang Kim kong kiam kepada ibunya. Akan tetapi Sian Hwa menggelengkan kepalanya.
“Kau lebih lihai berpedang, Siauw Yang, biarlah aku akan merampas sebatang pedang mereka.” Ibu dan anak ini lalu berbalik dan berdiri menanti kedatangan para pengeroyok itu dengan tenang dan gagah. Adapun Siang Cu membanting banting kaki melihat hal ini. Ia menjadi gemas sekali. “Orang orang rendah tak tahu malu, kalian lebih baik mampus semua!” bentak Siang Cu yang merasa marah sekali melihat betapa Pangeran Ciong dan kawan kawannya berlaku nekad dan terus mendesak Siauw Yang dan ibunya. Siang Cu tidak saja menganggap mereka ini mengganggunya yang hendak mengadu kepandaian melawan puteri Thian te Kiam ong, akan tetapi terutama sekali semangat kegagahannya tersinggung melihat betapa anak buah murid keponakan suhunya berlaku begitu pengecut. Setelah mengeluarkan bentakan itu, Siang Cu lalu melompat ke depan, memutar pedangnya dan menyerang Pangeran Ciong dan kawan kawannya!
“Nona Siang Cu, kau gila! Kalau gurumu tahu akan hal ini, kau tentu akan ditegur!” kata Pangeran Ciong yang cepat menangkis serangan pedang Siang Cu.
Akan tetapi jawaban Siang Cu hanya menyerang lebih hebat lagi sehingga Pangeran Ciong Pak Sui terhuyung mundur dan cepat memutar tombaknya untuk menangkis serangan pedang yang datangnya bertubi tubi dan berbahaya sekali itu.
“Aku tidak butuh bantuanmu!” teriak Siauw Yang marah melihat Siang Cu membantunya. Sambil berteriak ia terus menyerang Cong Pak Sui dengan ilmu pedangnya yang kuat dan cepat. Pangeran Ciong yang sedang terhuyung huyung menghadapi serangan Siang Cu, kaget sekali melihat sinar kuning emas menyambar tenggorokannya, cepat ia menangkis dengan tombaknya, akan tetapi tangannya tergetar dan ia merasa pundaknya perih sekali karena masih saja pedang Kim kong kiam membabat kulit pundaknya.
“Siapa sudi membantumu? Aku benci melihat kecurangannya!” balas Siang Cu yang juga membentak ketus dan pedangnya secepat kilat menusuk ke arah dada Pangeran Ciong!
Hebat sekali ilmu pedang kedua orang gadis ini kalau digabung menjadi satu menyerang seorang lawan. Menghadapi Siang Cu atau Siauw Yang saja Pangeran Ciong sudah takkan menang, apalagi sekarang diserang oleh dua orang gadis yang seakan akan berlomba hendak merobohkannya dan tidak mau saling mengalah, bagaimana ia sanggup mempertahankan dirinya? Tusukan Siang Cu cepat sekali dan biarpun sambil berseru kaget ia miringkan tubuhnya tetap saja pedang itu menyerempet iganya dan sambil menjerit kesakitan Pangeran Ciong terjungkal roboh mandi darah. Siauw Yang penasaran sekali melihat musuhnya lebih dulu merobohkan lawan ini, maka ia cepat menyusul dengan sabetan pedang pada leher Ciong Pak Sui. Darah muncrat dan kepala pangeran yang bercita cita tinggi itu terpisah dari tubuhnya!
Siauw Yang dan Siang Cu sudah saling berhadapan untuk meneruskan pertandingan, akan tetapi pada saat itu, Sian Hwa yang masih mengamuk dikurung rapat rapat oleh belasan orang. Biarpun nyonya yang gagah ini sudah merobohkan tiga orang pengeroyok dengan sebatang pedang rampasan, namun keadaannya terdesak hebat karena lawan lawannya juga orang orang ahli silat tinggi dan jumlah mereka banyak sekali. Melihat ini, tanpa janji lebih dulu, Siauw Yang dan Siang Cu menyerbu dan mengamuk, membabati tubuh para pengeroyok seperti seorang petani membabat rumput saja.
Tubuh para pengeroyok bergelimpangan. Jerit susul menyusul dan darah mengalir membasahi rumput. Sebentar saja enam orang telah roboh tak bernyawa lagi. Para pengeroyok menjadi terkejut sekali. Apalagi ketika mereka melihat bahwa Pangeran Ciong Pak Sui tewas, terbanglah
semangat mereka meninggalkan raga. Tanpa diberi aba aba larilah mereka cerai berai mencari keselamatan masing masing!
“Apakah kau masih penasaran dan hendak melanjutkan pertandingan?” tanya Siauw Yang. Betapapun juga, ia merasa bahwa gadis aneh berbaju merah itu telah menolong dan membantu dia dan ibunya.
“Tentu saja! Kaukira aku akan melepaskan kau? Hayo kita pergi ke pantai, di sana kita takkan terganggu orang lain.” Setelah berkata demikian. Siang Cu terus berlari cepat meninggalkan Siauw Yang dan Sian Hwa menuju ke pantai laut.
“Baik, siapa takut padamu?” kata Siauw Yang gemas, melihat kenekatan gadis aneh itu dan iapun berlari cepat mengejar ke pantai.
Adapun semua kejadian itu, ditambah lagi oleh lukanya, membuat Sian Hwa menjadi bingung sehingga ia tak dapat berkata kata. Kasihan sekali nyonya ini biarpun lukanya tidak berarti banyak, namun ketegangan ketegangan itu membuatnya lemah. Pertama tama, tak disangkanya bahwa Pangeran Ciong Pek Sui yang masih sutenya sendiri itu, akan berlaku curang sehingga kini mengalami kematian yang mengerikan. Ke dua, ia masih merasa gelisah mendengar bahwa di Pulau Sam liong to, berkumpul Lam hai Lo mo dan kawan kawannya yang tentu akan mengeroyok suaminya. Ke tiga, perjumpaannya dengan Siang Cu membuat ia berdebar debar. Nona baju merah ini serupa benar dengan Puteri Luilee. Dan anehnya, nona ini menjadi murid Lam hai Lo mo. Kalau sudah diketahui bahwa kakek buntung yang membunuh Pangeran Kian Tiong dan Puteri Luilee serta menculik Kian Gwat Eng puteri dari bangsawan itu adalah Lam hai Lo mo, besar sekali kemungkinan bahwa murid Lam hai Lo mo yang serupa dengan Luilee itu tentulah anak mereka yang diculik oleh kakek buntung. Kini melihat Siauw Yang mengejar Siang Cu hendak mengadu ilmu di pantai, ia menjadi makin bingung dan berlarilah nyonya ini menyusul anaknya.
Ketika ia tiba di tepi pantai, Siang Cu dan Siauw Yang telah mulai bertempur dengan hebat sekali. Pedang di tangan Siauw Yang berkelebatan dan bergulung gulung merupakan sinar kuning emas yang teratur baik dan selain kuat dan cepat, juga indah sekali dipandang. Seakan akan seperti nyala api yang diputar putar, bercahaya kuning keemasan dan menyilaukan mata. Sebaliknya pedang dari Siang Cu merupakan gulungan sinar kehijauan yang tidak saja cepat, namun gerakannya amat ganas dan lihai. Pedang ini seperti menyambarnya kilat di waktu hujan. Pertemuan kedua pedang seringkah menimbulkan cahaya dari bunga api yang berpijar, dibarengi suara “traang! traang!” nyaring menyakitkan anak telinga.
Sian Hwa menjadi amat kagum dibuatnya. Belum pernah ia menyaksikan penandingan pedang sedemikian ramainya, ia memang sudah maklum akan kepandaian puterinya dan tahu bahwa biarpun puterinya belum dapat menandingi ayahnya, namun kepandaian ilmu pedang Siauw Yang masih mengatasi Tek Hong. Kini anaknya menemui tandingan yang setimpal, karena biarpun gerakan Siauw Yang amat indah dan kuat ilmu pedangnya, menghadapi ilmu pedang yang ganas dan cepat dari Siang Cu, sukar baginya untuk mendesak lawan.
Di antara kedua dara perkasa yang mengadu ilmu kepandaian juga terdapat rasa kagum yang besar. Kini Siang Cu baru saja percaya bahwa ilmu pedang dan musuh besar suhunya, benar benar hebat dan pantaslah kalau musuh besar suhunya itu berjuluk Thian te Kiam ong atau Raja Pedang Langit Bumi. Baru anaknya saja ilmu pedangnya sedemikian hebatnya, apalagi ayahnya! Sebaliknya, Siauw Yang diam diam terkejut melihat ilmu pedang lawannya. Tadi ketika bertempur di tengah ruangan di rumah Pangeran Ciong, ia tidak dapat mencurahkan semua perhatiannya dan baru sekarang ia betul betul dapat melihat betapa hebat, lincah dan ganas adanya nona yang menjadi lawannya ini.
Serang menyerang terjadi dengan serunya, namun keduanya memang berimbang dalam hal tenaga dan kelincahan. Siauw Yang menang dalam hal kekuatan ilmu pedang, akan tetapi Siang Cu menang dalam hal keganasan dan kecepatan menyerang. Keduanya seanding dan agaknya pertempuran itu akan berlangsung lama sekali sungguhpun Sian Hwa dapat mengira bahwa kalau dilanjutkan terus biarpun ada kemungkinan Siauw Yang terluka, namun akhirnya anaknya pasti akan menang. Selelah kedua orang dara itu bertempur sampai seratus jurus, Sian Hwa menganggap bahwa sudah cukup mereka main main dan memperlihatkan kepandaian masing masing, ia masih menduga dengan kuat bahwa Siang Cu tentulah puteri dari Luilee dan Kian Tiong yang diculik oleh Lam hai Lo mo dan hal ini harus ia beritahukan kepada nona itu. Selain ini, ia ingin sekali mengajak Siauw Yang menyusul ke Pulau Sam liong to, karena hatinya amat khawatir akan keselamatan suaminya.
“Tahan senjata, aku mau bicara!” Sian Hwa berseru sambil melompat ke tengah medan pertandingan sambil memalangkan pedang rampasannya tadi.
“Traang!” pedang di tangan Sian Hwa patah menjadi tiga ketika bertemu dengan Kim kong kiam dan Cheng hong kiam! Melihat ini, Siauw Yang melompat mundur demikian pula Siang Cu karena nona ini biarpun merasa amat penasaran karena tidak dapat mengalahkan lawannya, tidak mau melukai nyonya yang maju hanya dengan maksud menahan pertempuran saja.
“Mengapa pertadingan dihentikan? Aku masih belum kalah!” tanya Siang Cu marah dan kedua matanya yang bening seakan akan mengeluarkan cahava berapi ketika ia memandang kepada Sian Hwa.
“Ya, ibu, mengapa dihentikan? Aku sudah hampir mengalahkannya!” Siauw Yang juga memprotes.
Akan tetapi Sian Hwa tidak menjawab semua pertanyaan itu, melainkan berdiri bagaikan tercengang memandang kepada Siang Cu.
“Tak salah lagi.... mata itu....hanya warnanya saja yang berbeda akan tetapi bentuknya sama ”
“Eh, apakah yang kaumaksudkan....?” Siang Cu merasa serem juga ketika ia melihat pandang mata nyonya itu menatap wajahnya dengan penuh selidik.
“Nona, kau adalah puteri dari Pangeran Kian Tiong dan Puteri Luille....tak salah lagi !”
Untuk kedua kalinya berdebar hati Siang Cu dan sampai lama ia tidak dapat membuka mulut.
Siauw Tang terkejut sekali mendengar ini dan ia bertanya, “Betulkah, ibu? Akan tetapi bagaimana ia menjadi begini ganas dan jahat?”
Merah wajah Siang Cu mendengar omongan Siauw Yang ini dan menjadi marah.
“Memang aku jahat dan ganas, kaucobalah lenyapkan aku kalau mampu! Aku tidak kenal siapa itu Pangeran Kian Tiong dan Puteri Luilee, aku seorang rendah dan jahat, mana mungkin menjadi anak bangsawan bangsawan tinggi?” Biarpun ia berkata demikian, namun alangkah inginnya ia mendengar lebih banyak tentang pangeran dan puteri itu, alangkah rindunya ia untuk mendengar tentang orang orang tuanya yang tak pernah dikenalnya! Adapun perasaan ini mendatangkan rasa keharuan besar sehingga basahlah kedua matanya.
Sian Hwa melangkah maju mendekati Siang Cu yang masih memegang pedang Cheng hong kiam.
“Pedang itu.... bukankah itu Cheng hong kiam dari kota raja? Dari siapa kau mendapat pedang itu!”
“Dari suhu, aku tidak pernah mencurinya dari kota raja!” jawab Siang Cu yang sedapat mungkin masih hendak bersikap galak dan kasar untuk menyembunyikan kelemahan hatinya.
“Dan mengakulah terus terang, adakah tanda tahi lalat merah di betis kaki kirimu?” tanya Sian Hwa sambil menahan napas, kelihatannya tegang dan menahan perasaannya yang bergoncang.
Makin merah wajah Siang Cu mendengar ini. Bagaimana nyonya ini bisa tahu bahwa ada tahi lalat merah di betis kaki kirinya? Kalau saja di situ hadir seorang laki laki, agaknya gadis yang keras hati ini tidak sudi mengaku, akan tetapi oleh karena yang ada di situ hanyalah Siauw Yang dan Sian Hwa dua orang wanita, tanpa ragu ragu ia menjawab, “Memang betul ada ”
Belum habis ia bicara, Sian Hwa sudah maju menubruk dan memeluknya sambil bercucuran air mata
“Kau benar Kiang Gwat Eng.... ah, anak ku alangkah
buruk nasibmu !”
Siang Cu menjadi terkejut dan bingung. Tanpa terasa lagi pedang Cheng hong kiam terlepas dari tangannya, jatuh ke atas pasir pantai,
“Eh, bagaimanakah ini....? Aku tidak mengerti ?”
“Anakku yang baik, kau sebenarnya bernama Kiang Gwat Eng, anak tunggal dari sahabat baikku Pangeran Kian Tiong dan Puteri Luilee yang budiman. Ketika kau masih kecil, kau diculik oleh Lam hai Lo mo yang jahat, dan rupanya kau dipelihara dan dididik menjadi muridnya untuk membantu sepak terjangnya yang tidak bersih ”
“Apa buktinya? Bagaimana kau tahu akan hal ini?” Siang Cu atau Gwat Eng masih ragu ragu, namun jantungnya bergoncang dan mukanya pucat.