Jilid XIX
YAP THIAN GIOK mengangguk anggutkan kepalanya.
“Tindakan nekad dan putus asa hanya dilakukan oleh orang orang yang bodoh dan tak berakal. Apakah untungnya kalau kau mengorbankan nyawa secara sia sia? Apakah dengan perbuatanmu itu, keadaan akan berobah dan keadaan rakyat akan menjadi baik? Apa kaukira dengan perbuatanmu itu kau akan dapat merobah pemerintah menjadi baik? Daripada melakukan usaha karena dorongan putus asa, lebih baik kau berusaha untuk dapat meringankan beban rakyat dan menolong mereka yang tertindas.” “Apakah daya seorang bodoh dan lemah seperti saya ini, taihiap?”
“Itulah, karena kau kurang ilmu. Setelah bertemu dengan aku, apa sukarnya kalau kau memang betul betul mau mencari kemajuan dan mau belajar ilmu?”
Tiba tiba wajah Pun Hui berseru gembira.
“Betul betulkah taihiap mau menerima teecu (saya) sebagai murid ?”
Yap Thian Giok tertawa. “Mau atau tidak, setelah melihat keadaanmu ini, aku terpaksa menerimamu. Kau sebatang kara seperti aku pula, semangatmu besar seperti seorang pendekar dan mengenai kegigihan seperti seorang pahlawan, sudah sepatutnya menjadi muridku.”
Pun Hui lalu mengangguk anggukkan dan memberi hormat sambil berlutut.
“Suhu, teecu berterima kasih sekali Semoga teecu dapat menjadi murid yang baik.”
“Pun Pui, ketahuilah. Yang kauangkat menjadi guru ini adalah Yap Thian Giok murid Sian hou san, yang di kalangan kang ouw dijuluki Sin pian. Selamanya aku melakukan perbuatan gagah sesuai dengan petunjuk dan pesan guruku. Oleh karena itu aku tidak ingin melihat kau kelak merusak namaku dan nama guruku, yakni Mo bin Sin kun. Nah, kau bersumpahlah bahwa kelak kau hanya akan mempergunakan ilmu kepanduan yang kaupelajari dariku demi kebaikan.”
“Di depan suhu Yap Thian Giok, disaksikan oleh bumi dan langit, teeeu Liem Pun Hui bersumpah bahwa segala macam ilmu yang akan teecu pelajari, segala macam petunjuk yang akan teecu dengar dari suhu, akan teecu pergunakan untuk melakukan kebajikan dan kebaikan,
membela yang lemah tertindas dan memberantas yang jahat dan tidak adil. Kalau teecu melanggar sumpah ini biarlah teecu tewas di ujung senjata orang gagah lain!”
Yap Thian Giok menjadi girang dan puas. Ia lalu membawa muridnya itu ke dalam sebuah hutan yang liar di sebelah barai kanal (terusan) yang menuju ke Peking, di sebelah selatan dari kota raja.
Setelah tiba di tengah tengah hutan itu, Thian Giok berkata.
“Pun Hui, aku hendak pergi ke Tit le untuk sebuah urusan penting. Kau tinggallah seorang diri di tengah hutan ini sambil melatih siulian (samadhi) dan mengatur pernapasan agar memperkuat dasar mu untuk kelak menerima latihan silat. Tentang makan dan minum, kau usahalah sendiri di dalam hutan ini. Sengaja aku tinggalkan kau untuk kira kira satu bulan sebagai ujian bagimu. Berani dan sanggupkah kau?”
Dengan wajah berseri Pun Hui menjawab,
“Suhu, teecu sudah bersumpah untuk mentaati segala macam petunjuk dari suhu. Menghadapi kematian teecu tidak takut, apalagi hanya untuk tinggal seorang diri di dalam hutan yang liar ini. Apa yang teecu takutkan?”
“Bagus! Itulah jawaban yang kuharapkan. Kalau datang binatang buas, kau naiklah ke pohon dan selanjutnya kau harus dapat menjaga diri sendiri.”
“Jangan khawatir, suhu. Pergilah suhu dengan hati aman. Teecu sanggup menjaga diri sendiri.”
Yap Thian Giok lalu memberi petunjuk petunjuk dan pelajaran tentang cara bersemadhi dan mengatur napas, kemudian ia tinggalkan muridnya itu, berlari cepat menuju ke Tit le untuk mencari Thian te Kiam ong Song Bun Sam, menyerahkan surat peninggalan dari mendiang Pangeran Kian Tiong.
Thian te Kiam ong dan isteri nya di rumahnya sedang gelisah. Berhari hari kedua suami isteri ini duduk termenung dan di rumah yang biasanya penuh dengan kegembiraan dan kebahagiaan itu kini nampak sunyi. Bahkan jarang sepasang suami sedikit isteri ini bercakap cakap, masing masing merenungi jalan pikirannya sendiri.
Apa yang terjadi ? Yang membikin mereka binging dan gelisah adalah karena mereka memikrkan kepergian kedua orang anak mereka. Mula mula kurang lebih dua bulan yang lalu, semenjak peristiwa penyerahan peta palsu oleh Coa Kui, kemudian peta itu diberikan kepada Ouw bin cu Tong Kwat, pada keesokan harinya pagi pagi sekali Siauw Yang telah pergi meninggalkan rumah dengan meninggalkan sepotong surat dikamarnya menyatakan bahwa anak ini hendak menyusul Ouw bin cu ke pulau Sam liong to. Dalam suratnya Siauw Yang menyatakan bahwa gadis itu merasa m erasa curiga akan pemberian peta palsu itu, menyangka bahwa tentu ada tersembunyi maksud tertentu maka orang memberikan peta palsu kepada ayahnya, seakan akan memancing ayahnya untuk pergi ke pulau itu. Dan dia menyatakan hendak mewakili ayahnya menghadapi pancingan itu.
Thian te Kiam ong Song Bun Sam terkejut dan menggeleng geleng kepalanya, ia sudah kenal baik akan walak putrinya yang keras dan sukar mengalah. Sungguhpun ia percaya penuh bahwa kepandaian puterinya sudah cukup tinggi hingga dapat menjaga diri dengan baik, namun kekhawatiran hati seorang ayah membuatnya menyuruh Tek Hong puteranya untuk segera menyusul adiknya itu. Namun, sudah dua bulan dua orang anak itu pergi, belum juga mereka kembali, bahkan sedikit berita pun tidak kunjung datang. Berkali kali Sia Hwa isteri Thian te Kiam ong menyatakan kegelisahan hatinya dan mengajak suaminya untuk menyusul dua orang anak muda itu, akan tetapi Bun Sam selalu menghiburnya.
“Untuk apa disusul! Mereka sudah besar dan dapat menjaga diri. Aku tidak mengkhawatirkan keadaan mereka, hanya ingin tahu mengapa mereka begitu lama pergi. Kalau kita susul, bagaimana kalau kita berselisih jalan dengan mereka? Bukankah kita semua bahkan saling mencari tidak karuan? Biarlah kita menanti di rumah dengan sabar, dan biar mereka itu mendapat pengalaman dalam hidup di dunia kang ouw. Hanya kuharap saja Tek Hong dapat bertemu dengan adiknya. Berdua mereka akan lebih kuat, karena berbeda dengan Tek Hong yang baik hati dan tenang. Siauw Yang terlalu manja dan terlalu sembrono.”
“Akan tetapi dia lebih cerdik dari kakaknya, aku lebih percaya kepadanya,” membantah isterinya.
Pada suatu hari, selagi sepasang suami isteri ini duduk di ruang depan menanti kedatangan anak anak mereka, datanglah seorang laki laki gagah memasuki halaman depan. Mereka mengangkat kepala memandang dan berserilah wajah Thian te Kiam ong ketika ia mengenal laki laki ini.
“Ah, kau.... Thian Giok,” katanya sambil melompat berdiri dan menyambut tamu itu.
Sin pian Yap Thian Giok juga gembira sekali dan mereka saling berpelukan.
“Thian Giok, apakah sampai sekarang kau belum juga dapat memperkenalkan isierimu kepadaku?” tanya Bun Sam berkelakar. Memang dua orang sahabat baik ini setiap kali bertemu masih seperti anak anak muda dan bergembira sambil berkelakar.
“Bun Sam, kau baik baik saja? Ah, sudah tetua aku ini siapa orangnya sudi menjadi isteriku? Aku sudah terlambat untuk itu dan takkan menikkah, Bun Sam. Bagaimana isierimu, baik baik sajakah?”
Sian Hwa juga menyambut dengan gembira. Thian Giok memberi hormat.
“So so (kakak ipar), harap kau baik baik saja selama ini. Mana keponakan keponakanku Tek Hong dan Siauw Yang yang nakal?”
“Itulah yeng membuat kami kehilangan kegembiraan untuk beberapa pekan.” kata Bun Sam menarik napas panjang. “Telah, dua bulan mereka pergi merantau.”
“Apa salahnya? Merantau baik sekali sewaktu waktu dilakukan oleh orang orang muda, menambah pengalaman,” kata Thian Giok menghibur sahabatnya. , Bun Sam mempersilahkan tamunya duduk dan pelayan lalu dipanggil untuk menghidangkan minuman.
“Kalau hanya merantau biasa saja, kami takkan ribut ribut,” kata Song Bun Sam. “akan tetapi ada persoalannya.” ia lalu menceritakan pada Thian Giok tentang pemberian peta palsu itu.
Mendengar semu penuturan itu, Thian Giok mengerutkan kening mengangguk angguk.
“Puterimu cerdas sekali, Bun Sam, Memang hal itu mencurigakan sekali. Sudahkah kau menyelidiki keadaan Coa Kui yang memberi peta itu?”
“Sudah, dan dia sudah pergi, kata tetangganya ia pindah dengan tergesa gesa, tak seorangpun tahu di mana pindahnya.”
“Nah, benar dugaan puterimu. Tentu ada udang di balik batu dengan pemberian peta palsu itu. Baiklah nanti aku membantumu menyelidiki keadaan dua orang putera puterimu itu. Kalau mereka berpesiar, tak bisa lain tentu di tempat indah seperti di telaga Barat atau di kota kota besar seperti di kota raja.”
“Terima kasih, Thian Giok. Memang kami pun sudah mengambil keputusan untuk pergi menyelidiki dan mencari mereka sendiri kalau hari ini mereka tidak pulang.”
Mereka lalu bercakap cakap. Juga Sian Hwa tidak ketinggalan, ikut menanyakan tentang pengalaman pengalaman Thian Giok selama ini, karena sudah lama mereka tidak saling bertemu dan terhadap Thian Giok, Sian Hwa tidak malu malu lagi dan sudah biasa, bahkan menganggap orang gagah ini sebagai saudara sendiri.
Kemudian Thian Giok menceritakan pengalamannya, juga pengalamannya di kota raja dan menceritakan tentang nasib Pangeran Kian Tiong dan isterinya yang terbunuh oleh seorang penjahat.
Mendengar ini, Bun Sam terkejut sekali dan Sian Hwa tak tertahan lagi menumpahkan air mata saking terharu dan kasihan.
“Aduh, jahanam benar! Siapakah orang yang berani sekali membunuh Pangeran Kian Tiong yang bijaksana dan berhati mulia? Kalau hendak membunuh, mengapa tidak membunuh kaisar atau pembesar yang jahat, sebaliknya membunuh orang baik baik?” kata Bun Sam marah sekali. “Bukan itu saja, Bun Sam. Bahkan penjahat itu telah menculik anak perempuannya yang baru berusia lima tahun dan sampai sebarang tidak ada kabar lagi bagaimana nasib anak itu.”
Bun Sam menggigit bibirnya. “Keparat, kalau aku tahu siapa orangnya, tentu takkan kuberi ampun. Siapa dia pembunuhnya?”
“Itulah sukarnya. Tak seorangpun mengetahui, hanya ada kabar bahwa pembunuhnya adalah seorang kakek berkaki satu yang wajahnya seperti iblis. Dan sebelum menghembuskan nafas terakhir. Pangeran Kian Tiong meninggalkan surat untukmu.”
“Kau bilang hal itu terjadi sepuluh tahun lebih yang lalu, mengapa suratnya tidak juga sampai ke tanganku?
“Memang begitulah. Pangeran Kian Tiong barpesan kepada keluarganya bahwa surat itu hanya boleh diserahkan kepadamu apabila kau datang mengunjunginya di istana. Karena itu surat disimpan saja oleh keluarganya. Baru setelah aku datang dengan maksud hendak mengunjungi Pangeran Kian Tiong, orang memberikan surat ini kepadaku untuk disampaikan kepadamu.” Sambil berkata demikian, Thian Giok mengeluarkan dan memberikan surat itu kapada Bun Sam.
Ketika menerima surat itu, Bun Sam tak segera membukanya. Terbayang di depan matanya pengalamannya ketika masih muda, penemuannya di dalam taman istana dengan Pangeran Kian Tiong dan Puteri Luilee. Juga Sian Hwa terkenang akan kebaikan sepasang bangsawan muda itu. Bun Sam merasa matanya panas dan sedapt mungkin ia menahan jatuhnya air matanya.
“Kasihan sekali Puteri Luilee yang baik hati….” kata Sian Hwa sambil mengeringkan air mata dengan
saputangannya. “Suamiku, kita harus membalaskan dendamnya ini, kalau tidak selama hidupku aku akan selalu merasa penasaran.”
“Tentu saja! Aku takkan tinggal enak saja sebelum aku menghancurkan dada Jahanam kejam itu,” kata Bun Sam yang segera membuka surat itu. Berdua dengan isterinya, ia membaca surat itu.
“Song taihiap, sahabat baik,
Kalau surat ini kau terima, aku sudah tak berada di dunia lagi, menyusul isteriku yang tercinta. Kami berdua menjadi korban keganasan seorang kakek kaki satu yang luar biasa dan lihat sekali. Soal matiku, tidak membuat aku penasaran karena aku pergi menyusul isteriku yang tercinta.
Hanya tentang anakku…. kau harus tolong kami, taihiap. Cari dan tolonglah puteri kami Kian Gwat Eng, kasihan dia berada dalam tangan seorang iblis gila yang jahat.
Ada tanda pengenal yang takkan hilang sampai ia dewasa pada anak kami itu, yakni tai lalat merah di betis kaki kirinya. Carilah, doaku bersama kau dan isteri serta anak anakmu. Carilah sampai bertemu anak kami itu, sahabatku yang baik.
Selamat tinggal. Kian Tiong
Basah juga mata Bun Sam setelah ia membaca habis surat itu ia memberikan surat itu kepada Thian Giok, sambil berkata,
“Kau bacalah Thian Giok, agar kaupun bisa membantu mencari jejak penjahat ini. Kasihan kalau anak Gwat Eng itu tidak dapat dicari.”
Tanpa berkata apa apa, Thian Giok lalu membaca surat itu dan iapun merasa amat terharu.
“Aku akan membantu mencarinya. Akan tetapi karena hal ini sudah terjadi sepuluh tahun lebih yang lalu, amat meragukan apakah anak itu masih hidup dan apakah penculik yang sudah tua itu masih hidup pula. Kalau anak itu misih hidup tentulah ia telah menjadi seorang gadis dewasa.”
Sampai lama tiga orang gagah ini membicarakan tentang hal ini dan masing masing berjanji untuk menyelidiki sedapat mungkin.
“Akan kutanya tanyakan kepada orang orang kang ouw di seluruh penjuru, siapa tahu kalau kalau di antara mereka ada yang mengenal seorang kakek buntung yang lihai. Selamanya aku belum pernah mendengar adanya seorang kang ouw yang buntung kakinya,” kata Thian Giok.
“Siapa tahu, di dunia ini memang banyak sekali orang orang pandai bersembunyi, baik yang berwatak budiman maupun yang berwatak rendah,” kata Sian Hwa dan suaminya serta Thian Giok membenarkan kata kata tadi.
Pada keesokan harinya, setelah bermalam di rumah sahabatnya, Thian Giok berpamitan karena ia hendak medatangi muridnya yang ditinggal di dalam hutan, ia sekali lagi berjanji bahwa ia akan menyelidiki halnya Kian Goat Eng dan akan memberi kabar cepat cepat apabila ia mendengar sesuatu tentang kakek kaki buntung itu.
Sepeninggal Thian Giok, Song Bun Sam dan isterinya juga meninggalkan rumah, berangkat merantau untuk
mencari dua orang anak mereka dan sekalian melakukan penyelidikan hal penculik puteri sahabat mereka, Pangeran Kian Tiong dan Puteri Luilee.
Kita ikuti perjalanan Song Siauw Yang, gadis lincah jenaka yang berkepandaian tinggi itu. Malam hari itu semenjak ia bertemu dengan Coa Kiu dan Ouw bin cu, ia tak dapat tidur. Pikirannya bekerja keras, ia merasa curiga sekali dengan adanya peristiwa peta palsu itu. Tidak saja ia hendak menyelidiki ke pulau Sam liong to, akan tetapi juga gadis ini sudah lama ingin pergi merantau seorang diri untuk menambah pengalaman. Kalau ia mengemukakan kehendaknya, selalu ia mendapat tentangan dari orang tuanya, terutama ibunya yang selalu melarangnya.
“Tidak patut seorang gadis melakukan perjalanan seorang diri. Di dunia ramai banyak sekali orang orang jahat dan kurang ajar, kau hanya akan menghadapi godaan dan gangguan belaka, anakku. Kalau kau hendak melakukan perjalanan boleh asalkan bersama ayah ibumu atau dengan kakakmu,” demikian ibunya selalu memberi nasihat. Akan tetapi Siauw Yang tidak puas dengan cegahan ibunya ini. Karena ia merata kurang tenang kalau harus pergi dengan kakaknya, apalagi dengan ayah bundanya. Pergi dengan mereka hanya, akan menghadapi larangan dan celaan belaka.
Sekarang ada alasan baginya. Peristiwa peta palsu itu amat kebetulan. Dengan adanya peristiwa itu ia dapat mengadakan alasan untuk menyelidiki hal itu sekalian untuk merantau di dunia bebas, bebas seperti burung terbang di udara. Kapan lagi kalau tidak sekarang melakukan perjalanan jauh seorang diri, pikirnya. Kalau aku sudah menikah…. sampai di sini merahlah mukanya, aku takkan bebas lagi dan tak mungkin sebagai seorang isteri aku pergi seorang diri untuk melakukan perjatlanan ke luar rumah!
Oleh karena itu, setelah membolak balik pikirannya sampai setengah malam ia lalu berkemas, mempersiapkan pakaian pakaiannya yang paling baik dan ringkas dibungkus merupakan buntalan besar, membawa serta pedang ayahnya, yakni pedang Kim kong kiam yang tergantung di kamar senjata dan yang diam diam ia ambil di luar tahu ayahnya, lalu ia meninggalkan sepucuk surat dan setelah menanti sampai menjelang pagi di mana ia tahu seluruh isi rumah sedang tidur pulas, gadis yang tabah ini lalu pergi meninggalkan rumahnya. Tidak lupa ia membawa bekal uang dan barang perhiasan untuk menjaga kalau kalau ia kehabisan bekal di tengah perjalanan.
Ketika matahari mulai bersinar, ia telah pergi jauh sekali dari rumah dan dusunnya. Memang semenjak subuh ia melakukan perjalanan cepat sekali, mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat sehingga sebentar saja ia telah melakukan perjalanan puluhan li jauhnya. Sikapnya yang gagah dan pedangnya yang tergantung di pinggang membuat Siauw Yang tak pernah mendapat gangguan. Sekelebatan saja orang orang di kalangan kang ouw yang ulung sudah dapat menduga bahwa dara ini adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Ditambah pula oleh sikap Siauw Yang yang ramah tamah dan manis budi maka begitu jauh ia belum pernah mengalami hal hal yang tidak enak baginya.
Cocok seperti dugaan Thian Giok ketika bercakap cakap dengan Bun Sam tentang kepergian anak anak Thian te Kiam ong Siauw Yang pertama tama hendak pergi ke kota raja. Sudah lama sekali ia amat rindu menyaksikan kota yang disohorkan amat indah ini, yang penuh dengan istana istana indah bangunan baru dan kaisar, ia merencanakan untuk mengunjungi kota raja lebih dulu sebelum melanjutkan perjalanan menyeberang laut mencari Pulau Sam liong to. Gadis ini sengaja melakukan perjalanan di sepanjang saluran air yang menuju ke Peking, saluran yang telah digali oleh tenaga rakyat dan yang telah banyak mengorbankan jiwa rakyat jelata. Pemandangan di sekitar saluran ini memang indah. Banyak perahu perahu pedagang dan perahu perahu nelayan hilir mudik di sepanjang saluran itu dan pedagang nampak ramai sekali.
Pada suatu hari, tibalah gadis ini di sebuah hutan yang luas di selatan kota raja, ia mempercepat larinya dan mengambil keputusan untuk melakukan perjalanan secepatnya agar sore hari itu dapat tiba di kota raja.
Ketika ia tengah berlari cepat, tiba tiba di tengah hutan itu ia mendengar suara ribut tibut. Cepat ia menuju ke tempat suara itu dan ia melihat puluhan orang pengemis tengah mengurung seorang pemuda dengan sikap mengancam. Yang mengherankan hati Siauw Yang, para pengemis ini semuanya memegang sebatang tongkat merah, maka tahulah gadis yang sudah banyak mendengar penuturan ayah bundanya tentang keadaan di dunia kang ouw bahwa pengemis pengemis ini bukanlah pengemis pengemis biasa, melainkan anggota anggota sebuah perkumpulan pengemis yang bertanda tongkat merah.
“Kalau dia menolak, pukul saja dengan tongkat wasiat kita sampai nyawanya meninggalkan badan!” terdengar beberapa orang pengemis berseru marah. Mereka sudah mengangkat tongkat tongkat merah mereka tinggi tinggi, siap untuk menjatuhkan pukulan kepada pemuda yang mereka kurung itu.
Karena para pengemis itu menghalangi penglihatannya sehingga ia tidak dapat melihatnya pemuda yang dikurung maka Siauw Yang lalu melompat ke atas sebatang pohon dan melihat ke tengah.
Ternyata bahwa pemuda yang dikurung oleh para pengemis itu adalah seorang pemuda berpakaian seperti pelajar yang sederhana, seorang pemuda yang berwajah halus dan tampan, bersikap ramah akan tetapi sedikitpun tidak kelihatan takut menghadap ancaman para pengemis yang marah itu. Dengan sikap tenang dan suara yang tabah serta manis, pemuda itu mengangkat kedua tangannya dan berkata kepada para pengepungnya,
“Cu wi sekalian harap suka berlaku sabar dan tenang. Orang orang pandai berkata bahwa mengurus sesuatu perkara, harus dilakukan dengan hati panas dan kepala dingin, baru dapat selesai dengan baik. Cu wi harus pikir masak masak sebelum mengambil sesuatu keputusan, apalagi keputusan untuk mengangkat seorang pangcu (ketua perhimpunan). Siuwte ini orang apakah? Lemah dan bodoh, lagi masih muda kalau dibandingkan dengan cu wi (saudara saudara sekalian), bagaimana mungkin siauwte dapat menjadi seorang pemimpin?”
Para pengemis itu nampaknya masih tidak puas dengan jawaban ini dan melihat sikap mereka, jelas bahwa mereka hendak memaksa pemuda itu.
Siapakah adanya pemuda ini dan mengapa ia dikurung oleh para pengemis tongkat merah itu? Pembaca tentu sudah dapat menduga bahwa pemuda ini bukan lain adalah Liem Pun Hui. pemuda yang diterima menjadi murid oleh Sin pian Yap Thian Giok dan yang kemudian ditinggalkan di dalam hutan itu sebagai ujian selagi Thian Giok pergi mengujungi sahabatnya, yakni Thian te Kiam ong Song Bun Sam di Tit le. Beberapa hari kemudian setelah suhunya pergi, selagi melatih siulian dan mengatur pernapasan. Pun Hui melihat beberapa orang pengemis berjalan lewat di situ. Mereka berjalan tanpa bicara dan bahkan sama sekali tidak memperdulikan keadaan pemuda yang duduk bersila di bawah pohon itu. Tadinya Pun Hui merasa kasihan melihat mereka ini, pengemis pengemis yang memakai baju butut dan bertambal tambal, ia menarik napas panjang dan diam diam ia mengutuk pemerintah asing yang ia anggap menjadi biang keladi sehingga di Tiongkok banyak terdapat orang orang gelandangan dan pengemis yang hidup amat sengsara, dan yang menurut anggapan merupakan noda yang memalukan bagi bangsa.
Akan tetapi segera timbul rasa herannya ketika tak lama kemudian, datang lagi serombongan pengemis dan baru sekarang kelihatan oleh pemuda ini bahwa setiap orang pengemis itu membawa sebatang tongkat yang sama bentuknya dan sama pula warnanya, yakni berwarna merah. Dan juga bahwa semua pengemis itu tidak ada yang kelihatan seperti orang kelaparan atau sengsara. Mereka itu melangkahkan kaki dengan tegap dan tubuh mereka nampak kuat. Tak mungkin persamaan tongkat itu hanya kebetulan saja.
Pun Hui menjadi tertarik dan setelah beberapa kali ia melihat beberapa orang pengemis lagi lalu di hadapannya menuju ke tengah hutan, ia tertarik sekali dan tak dapat lagi ia bersiulian karena pikirannya tak dapat dikumpulkan.
“Siapakah orang orang ini dan mereka hendak melakukan pekerjaan apakah? Tak mungkin sekali para pengemis hendak minta minta di dalam hutan, karena tempat ini sunyi tidak ada orang.” Dengan pikiran ini, pemuda itu lalu berdiri dan diam diam ia mengikuti ke arah pengemis tadi pergi. Pun Hui bersembunyi di balik batang pohon dan mengintai. Para pengemis itu nampak duduk merupakan lingkaran di tempat terbuka di tengah hutan itu, duduk di atas rumput dan keadaan sunyi sekali karena mereka sama sekati tidak bergerak dan tidak bicara. Di tengah tengah lingkaran itu nampak sebuah meja besar di atas mana mengebul asap hio yang tertancap di sebuah hiolouw (tempat hio) besar berwarna kuning berkilauan, tanda bahwa hiolouw itu terbuat daripada emas. Meja itu sendiri memakai hiasan kain bersulam indah sekali dan semua pengemis memandang atau menghadap kepada meja ini penuh khidmat.
Pun Hui menjadi bengong karena upacara apakah itu? Meja itu meja sembahyang, hal ini sudah pasti, akan tetapi siapa yang di sembahyangi di situ dan mengapa para pengemis yang kelihatannya jembel dan miskin ini bisa mempunyai hiolouw yang terbuat daripada emas dan begitu besar? Kalau hiolouw itu dijual, agaknya uangnya dapat dipergunakan untuk membeli lima stel pakaian untuk setiap orang pengemis.
Kemudian terdengar seorang pengemis tua berkata, “Sam lojin (Tiga Orang Tua) sudah hampir datang, lilin
dapat dinyalakan sekarang!” Suaranya tidak keras, akan
tetapi oleh karena keadaan di situ amat sunyi, maka terdengar berpengaruh dan penuh upacara.
Dua orang pengemis yang juga sudah berusia lanjut, lalu melangkah maju. Mereka mengeluarkan lilin lilin putih yang besar dari buntalan yang menggemblok di punggung, lalu memasang sembilan batang lilin itu di atas meja, didirikan dengan jajaran tiga kali tiga. Kemudian dinyalakan sembilan lilin itu yang segera bernyala dengan anteng karena memang pada saat itu tidak ada angin meniup sedikitpun juga. Kemudian suasana sunyi dan semua orang masih tetap duduk mengitari meja sembahyang itu. Tak seorang pun bercakap cakap, semua seakan akan dalam sikap menanti. Pun Hui menjadi makin terheran heran dan ia pun menanti dengan dada berdebar, ingin sekali tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Tak lama kemudian, kembali orang tua yang tadi bicara, satu satunya orang yang semenjak tadi pernah membuka mulut berkata,
“Sam lojin datang semua memberi hormat!”
Pun Hui benar benar merasa heran. Siapakah Sam lojin atau Tiga Orang Tua yang dikatakan datang itu? Ia tidak melihat seorangpun atau juga tidak mendengar suara orang datang. Akan tatapi orang tua yang agaknya memimpin para pengemis itu menyatakan bahwa ada Sam lojin yang dikatakan datang.
Pun Hui makin lama makin terheran heran, dan lebih heran dan terkejutnya ketika tiba tiba api lilin yang menyala di atas meja sembahyang itu bergoyang goyang seperti tertiup angin besar. Padahal pada saat itu tidak bertiup angin sama sekali. Dan keheranannya bertambah lagi ketika tiba tiba ia melihat bayangan tiga orang memasuki lingkaran itu dan tahu tahu di depan meja sembahyang telah berdiri tiga oranng! Karena kebetulan sekali tempat di mana Pun Hui bersembunyi berada di belakang meja sembahyang, maka ia dapat melihat wajah tiga orang yang datang datang seperti siluman dengan jelas.
Kembali terjadi keanehan dan Pun Hui menjadi bengong terlongong memandang kepada tiga orang yang disebut Sam lojin atau Tiga Orang Tua itu dengan mata terbelalak. Orang pertama dari tiga orang pendatang itu adalah seorang kakek yang usianya sudah limapuluh tahun lebih, bertubuh jangkung kurus dengan jenggot seperti kambing bandot dan mata juling dengan kedua manik mata mendekati hidung, ia mengenakan pakaian seperti pengemis pula, tambal tambalan dan kotor. Di tangan kanannya terlihat tongkat merah seperti yang dipegang oleh para pengemis itu. Orang ke dua juga sudah tua, agak lebih muda daripada orang pertama, akan tetapi sudah termasuk tua, dengan tubuhnya yang agak gemuk dan perutnya gendut, tertutup oleh kain kepala hitam dan seluruh wajah orang ini selalu nampak berseri dan tertawa, dari matanya yang bersinar sinar jenaka sampai mulutnya yang tersenyum senyum selalu. Pakaiannya tambal tambalan pula bahkan di bagian perut berlubang sehingga nampak perutnya yang tergantung ke depan. Ia juga memegang tongkat merah yang nampaknya berat di tangan kanannya.
Dua orang ini memang patut disebut Lojin (orang tua) karena usia mereka sudah kurang lebih limapuluh tahun, biarpun orang ke dua yang gendut itu mukanya kelimis tidak terhi sehelai rambutpun.
Akan tetapi yang membuat Pun Hui terlongong keheranan adalah keadaan orang ketiga. Orang ke tiga adalah seorang wanita, seorang dara malah, usianya paling banyak sembilanbelas tahun, wajahnya bundar dan manis, matanya jeli bersinar tajam dan bibirnya yang merah dan manis itu selalu nampak bersungut sungut, mendekati sifat galak. Rambutnya panjang, digelung ke atas dan diikat dengan saputangan sutera hijau. Pendeknya, seorang gadis yang manis dan cantik, lagi gagah. Tubuhnya juga baik dan padat langsing, cukup menarik. Hanya pakaiannya yang lucu karena biarpun terbuat dari kain yang bersih dan mahal, namun tambal tambalan pula! Dara inipun memegang sebatang tongkat merah yang kecil dan ujungnya meruncing. Hampir saja Pun Hui tak dapat menahan gelak tawanya. Bagaimana seorang gadis muda cantik jelita seperti ini, betapapun gagah kelihatannya, disebut Lojin atau Orang Tua?? Gadis ini sama sekali belum tua, bahkan masih lebih muda dari dia sendiri! ia mencoba untuk mencari cari dengan pandangan matanya kalau kalau masih ada orang tua ke tiga yang belum datang akan tetapi jelas tidak ada lain orang lagi, jadi sudah terang bahwa yang disebut Sam lojin (Tiga Orang Tua) itu tentulah tiga orang kakek dan gadis muda ini!
Tentu saja Pun Hui tidak tahu bahwa gadis ini termasuk salah seorang Tiga Orang Tua bukan karena usianya, melainkan karena kepandaian dan kedudukannya! Tingkatnya dalam perkumpulan pengemis yang disebut Ang kai tung (Tongkat Pengemis Merah) ini sama dengan dua orang yang kini berdiri di dekatnya dan mereka bertiga ini hanya lebih rendah setingkat daripada ketua perkumpulan itu sendiri yang disebut Lo pangcu. Gadis itu adalah puteri dari ketua perkumpulan pengemis yang namanya pada waktu itu menggemparkan kalangan kang ouw, sebagai seorang diantara para tokoh yang menggantikan kedudukan Lima Tokoh Besar yang sudah mengundurkan diri. (Lima Tokoh Besar itu, yakni Pat jiu Giam ong Liem Po Cuan yang tewas oleh Thian te Kian ong Song Bun Sam, ke dua Mo bin Sin kun atau guru dan Yap Thian Giok, ke tiga Kim Kong Taisu tokoh Oei san yang sudah meninggal dunia karena usia tua, ke empat Lam hai Lo mo Seng jin Siansu dan ke lima Bu tek Kiam ong guru dari Song Bun Sam yang sudah meninggal dunia lebih dahulu).
Ketua Ang kai tung ini bernama Thio Houw dan berjuluk Sin tung lokoai (Manusia Aneh Tongkat Sakti) ia hanya hidup berdua dengan puterinya yang bernama Thio Leng Li, yang telah mewarisi kepandaiannya dan amat lihai di samping kecantikannya yang menggiurkan. Beberapa tahun yang lalu, Sin tung lokoai ini menundukkan sebuah perkumpulan pengemis yang yang dikepalai oleh dua orang pengemis tua yang cukup lihai yakni yang bertubuh jangkung bernama Bu beng Sin kai (Pengemis Sakti Tiada Nama), dan seorang adik seperguruannya. yakni pengemis tua yang gendut itu yang berjuluk Sam thouw liok ciang kai (Pengemis Tiga Kepala Enam Tangan).
Melihat bahwa perkumpulan ini memiliki banyak sekali anggauta dan kedudukannya kuat sekali, maka Thio Houw lalu membentuknya menjadi sebuah perkumpulan Ang kai tung Kai pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Merah) dan ia menjadi ketuanya. Sebagai pembantunya, ia mengangkat Bu beng Sin kai, Sam thouw liok ciang kai, dan puterinva sendiri, yakni Thio Leng Li yang seperti ayahnva, diberi julukan Sin tung (Tongkat Sakti), akan tetapi kalau ayahnya d juluki Manusia Aneh Tongkat Sakti, maka dia dijuluki Bi sin tung atau Tongkat Sakti yang Cantik!
Demikianlah penjelasannya dan di samping kedua orang kawannya yang boleh dibilang menjadi pembantu atau wakil dari ayahnya, Thio Leng Li juga termasuk Orang Tua, sebutan yang lajim dipergunakan dalam perkumpulan pengemis itu dengan maksud menghormat orang yang lebih tinggi kedudukannya atau orang yang menjadi pemimpin dan yang memiliki kepandaian lebih tinggi daripada mereka!
Mengapa mereka berkumpul di situ? Dan apa artinya meja sembahyang itu? Baiklah kita melanjutkan cerita iini dan melihat sendiri apa yang akan terjadi di situ, seperti yang disaksikan oleh Pun Hui.
Ketika tiga orang Sam lojin ini sudah datang dengan cara yang luar biasa sekali, yakni dengan mempergunakan kepandaian ginkang mereka yang tinggi sehingga tahu tahu telah berdiri di hadapan meja sembahyang dan orang orang yang duduk di sekitarnya telah memberi hormat dengan mengangkat tongkat tinggi tinggi di atas kepala. Thio Leng Li lalu mengangkat tangan, memutar tubuh dan menghadapi semua anggauta perkumpulan.
“Seperti sudah dikabarkan kepada saudara saudara sekalian, kedatangan kita kali ini untuk berkumpul di sini, ialah pertama untuk menyembahyangi arwah dari ayahku yang tercinta dan bersumpah menuntut balas atas kematian orang tua itu,” sampai di sini merahlah mata gadis itu yang dengan gagah berusaha sedapat mungkin menahan jatuhnya air matanya, kemudian dengan suara yang lantang, nyaring dan bening, ia melanjutkan, “dan kedua kalinya untuk mengadakan pemilihan ketua baru sesuai dengan peraturan dalam perkumpulan kita. Akan tetapi, lebih dulu kita harus mengundang datang orang yang dengan lancang berani mengintai pertemuan ini!”
Semua anggauta pengemis yang duduk di sekitar meja itu terkejut dan saling pandang, tidak tahu siapa yang dimaksudkan oleh gadis itu sebagai tamu yang tak diundang. Akan tetapi, Bu beng Sin kai si jangkung kurus dan Sam thouw liok ciang kai si gendut, cepat menengok ke arah pohon, di belakang mana, Pun Hui semenjak tadi bersembunyi!
Bukan main kagetnya Pun Hui mendengar ini. Ternyata bahwa gadis muda itu benar benar lihai sekali sehingga kehadirannya yang semenjak tadi tidak terlihat oleh seorangpun anggauta perkumpulan pengemis, kini sekaligus terlihat oleh gadis itu!
Dengan malu malu dan muka merah, Pun Hui mendahului mereka melangkah ke luar dari balik pohon dan menjuri ke arah mereka sambil berkata, “Mohon maaf sebanyaknya apabila siauwte mengganggu pertemuan cu wi sekalian. Sesungguhnya bukan maksud siauwte untuk berlaku kurang patut dan mengintai, hanya karena tadi siauwie tertarik sekali oleh kedatangan cu wi di tempat ini, maka siauwte datang ke sini dan setelah tiba di sini, siauwte takut kalau kalau mengganggu, maka aiauwte bersembunyi. Sekali lagi maaf dan kalau kehadiran siauwte tidak dikehendaki, ijinkan siauwte pergi lagi.” Ia menjura sekali lagi dangau sikap hormat.
Para pengemis memandang dengan bengong, kemudian meledaklah suara ketawa mereka saking geli hati. Belum pernah mereka sebagai pengemis pengemis yang biasanya dianggap hina diperlakukan dengan kasar dan rendah oleh orang orang lain, kini mendapat perlakuan demikian penuh hormat oleh seorang pemuda yang bicaranya amat sopan santun dan teratur, tanda seorang pemuda terpelajar.
Adapun Leng Li juga tertegun ketika melihat siapa orangnya yang mengintai di balik pohon, ia tadi hanya tahu bahwa ada orang mengintai di balik pohon, akan tetapi sama sekali tidak pernah menyangkanya bahwa yang mengintai adalah seorang pemuda terpelajar yang demikian sopan santun dan tampan. Maka untuk beberapa lama ia tidak dapat mengeluarkan suara apa apa.
Si pengemis gendut tertawa senang. “Di jaman dahulu, para sasterawan dan seniman hidup tiada bedanya dengan pengemis, maka aku tidak keberatan kalau kau ikut hadir sebagai tamu dan saksi.”
Namun Leng Li tidak berani mengambil keputusan sebelum mendengar pendapat Bu beng Sin kai sebagai orang tertua di situ. Maka ia menengok dan memandang kepada si jangkung kurus ini dengan mata mengandung penuh pertanyaan. “Dia sopan dan tahu diri, tiada jeleknya hadir.
Bagaimana pendapat nona?”
Dengan suara tantang Leng Li berkata,
“Dia sudah melihat keadaan kita semua, asalkan dia sanggup menutup mulut boleh saja dia melanjutkan pendengaran dan penglihatannya di sini.” Kemudian nona ini menoleh kepada Pun Hui dan berkata,
“Sahabat, silahkan kau duduk di tempat kami yang sederhana ini.”
Dengan girang sekali Pun Hai lalu melangkah maju dan tanpa ragu ragu lagi lalu mengambil tempat duduk di atas rumput, di antara para pengemis yang pakaiannya berbau apek. Tentu saja hal ini menggirangkan hati para pengemis, karena biasanya orang kota yang pakaiannya bersih selalu merasa jijik kalau berdekatan dengan mereka, apa lagi duduk berdampingan. Pemuda ini benar benar menarik perhatian mereka dan membuat mereka merasa senang.
Setelah semua orang tenang kembali, Leng Li lalu mengeluarkan bungkusan kain putih dan ketika dibuka, ternyata bungkusan itu adalah sebatang tongkat merah yang bentuknya seperti seekor ular, Melihat itu, terdengar suara keluh kesah di antara semua pengemis seperti orang berduka. Pun Hui yang tidak mengerti apa artinya tongkat itu hanya memandang dengan hati penuh pertanyaan, apakah tongkat itu bukan seekor ular yang sudah kering.
Leng Li lalu menaruh tongkat itu di atas meja sembahyang, kemudian ia menyalakan tiga batang hio, demikian pula kedua orang Lojin yang berdiri di sampingnya dan mereka mulai bersembahyang. Setelah selesai bersembahyang, tiga orang itu lalu berlutut di depan meja sembahyang dan menangis. Tangis mereka mendatangkan suasana mengharukan dan juga menggelikan karena suara si jangkuug kurus itu kecil sekali seperti tangis seorang anak kecil, sedangkan si gendut suaranya besar seperti kerbau menguak. Di antara dua suara tangis yang berlainan, terdengar isak tangis Leng Li. Suara tangis yang wajar dari seorang wanita, amat menyedihkan sehingga diam diam Pun Hui merasa amat kasihan kepada gadis muda itu. Ia belum tahu siapa adanya gadis ini dan setelah gadis itu berkata kata dengan suara nyaring dalam tangisnya, tahulah ia bahwa yang ditangisi itu adalah kematian ayah gadis itu sendiri.
“Ayah, kami seluruh anggauta Ang kai tung Kai pang menyatakan duka atas kematianmu dan percayalah bahwa anakmu, didukung oleh semua kawan yang berada di sini, bersumpah hendak membalas dendammu kepada kakek buntung itu. Demi tongkat keramatmu yang berada di sini, kami bersumpah takkan berhenti berusaha sebelum dapat membunuh musuh besarmu, ayah!”
Setelah berkata demikian, kembali gadis itu menangis, kini diturut oleh semua pengemis yang hadir di situ sehingga keadaan menjadi riuh rendah. Hanya Pun Hui seorang yang berdiri menengok ke kanan kiri, merasa asing.
Kemudian Leng Li dan dua orang kawannya bangun berdiri dan gadis ini berkata kepada semua orang yang berada di situ,
“Kawan kawan sekalian. Mungkin di antara kalian ada yang belum jelas persoalan kematian ayahku atau juga ketua kalian. Dengarlah baik baik, Ji suheng (kakak ke dua) Sam thouw liok ciang kai baru saja datang membawa tongkat keramat dari ayah. Dia melihat sendiri betapa ayah telah bertempur melawan seorang kakek buntung kakinya yang amat lihai dan ayah telah kena dikalahkan sehingga tubuhnya terlempar ke dalam Sungai Huang ho dan tongkatnya terbawa air, Ji suheng mencoba untuk mencari jenazah ayah, namun sia sia dan ia hanya dapat menemukan tongkat keramat ini, lalu cepat membawanya ke sini dan mengabarkan kepadaku. Maka ingatlah baik baik, apabila ada yang melihat seorang kakek bermuka iblis dengan kaki kanan buntung dan bersenjata tongkat bambu, lekas beri tahu kepadaku atau cobalah untuk mengeroyok dan membunuhnya. Dialah yang telah menewaskan ayah.”
Semua pengemis menjawab dengan suara menyatakan marah kepada musuh besar ini. Kemudian Leng Li melanjutkan kata katanya,
“Sekarang, sesuai dengan peraturan dan pesan ayah, perkumpulan kita tidak boleh dibiarkan kosong tak berketua. Oleh karena itu, kini setelah ayah meninggalkan kita, kita harus mengadakan pemilihan ketua baru sebagai pengganti ayah dan yang bertugas untuk memegang pucuk pimpinan. Tanpa kepala, apapun di dunia ini takkan dapat bergerak maju. Oleh karena itu, terserah kepada kawan kawan sekalian untuk memilih seorang ketua baru.”
Leng Li tidak dapat menahan kesedihan hatinya lagi, maka ia lalu menghentikan kata katanya dan sambil menangis ia lalu memeluk tongkat merah yang tadi diletakkan di atas meja, kemudian duduk bersimpuh di depan meja sembahyang sambil memeluki tongkat itu.
Bu beng Sin kai lalu menghadapi para anggauta dan berkata dengan suaranya yang kecil tinggi seperti tubuhnya,
“Kawan kawan sekalian, untuk menjadi ketua menggantikan kedudukan mendiang pangcu kita, tidak ada orang yang lebih tepat melainkan nona Leng Li sendiri, mengingat bahwa biarpun masih muda namun ia telah dapat mowarisi kepandaian pangcu kita dan di antara kita memiliki tingkat kepandaian yang paling tinggi!”
Sorak sorai menyatakan tanda setuju menyambut ucapan ini. Leng Li berdiri dan air matanya mengucur deras. Dengan suara terputus putus ia berkata,
“Saudara saudaraku sekalian yang tercinta. Terima kasih banyak atas penghargaan kalian terhadap diriku yang muda, bodoh, dan yatim piatu.” ia berhenti sebentar untuk menyusut air matanya, kemudian ia dapat mengerahkan hatinya yang berguncang. “Kepandatanku tidak jauh selisihnya dengan kepandaian ji wi suheng. Dan kalau dibandingkan tentang pengalaman, aku jauh kalah oleh ji suheng yang sudah amat terkenal di kalangan kang ouw. Untuk memimpin perkumpulan kita ini amat diperlukan pengalaman dan hubungan yang luas dengan dunia kang ouw, dan kiranya ji suheng Sam thouw liok ciang kai paling tepat untuk menjadi ketua kita karena dia sudah amat luas hubungannya.”
Si gendut itu cepat cepat menggerak gerakkan kedua tangannya mencegah si nona bicara lebih lanjut. Kedua tangannya yang bundar itu berputar putar dan senyumnya makin lebar sehingga hampir mewek.
“Tidak bisa, tidak bisa! Mana ada aturan seperti itu? Di atasku masih ada suheng Bu beng Sin kai, bagaimana meminta aku yang bodoh dan tidak tahu apa apa ? Tdak, tidak, untuk menjadi ketua orang harus memiliki kebijaksanaan, kesabaran dan pemandangan yang luas. Tidak ada orang lain yang lebih cakap kecuali suheng Bu beng Sin kai. Aku sama sekali tidak bijaksana, tidak sabar dan pemandanganku cupat. Apa artinya hubungan dan pengalaman luas?”
Akan tetapi sebaliknya, Bu heng Sin kai berkukuh memilih Leng Li dan Leng Li memilih si gendut yang sebaliknya juga tidak mau mengalah dan memilih Bu beng Sin kai! Tiga orang ini saling tunjuk dan saling tidak mau mengalah sehingga suasana menjadi tegang di depan meja sembahyang. Para anggota perkumpulan pengemis itu tidak ada yang berani campur bicara, hanya saling pandang dengan menggerakkan pundak dan menggeleng kepala.
Leng Li lalu menghadapi para anggauta dan berseru keras,
“Mengapa kalian diam saja? Sebagai anggauta anggauta perkumpulan kita, kalian berhak untuk menjatuhkan pilihan!”
Akan tetapi oleh karena tiga orang Lojin yang dianggap mewakili pimpinan itu sudah ribut ribut dan tidak mau mengalah, para anggauta tidak ada yang berani mengangkat tangan menunjuk! Leng Li menjadi gemas sekali dan membanting banting kaki.
“Twa suheng tidak mau menerima, ji suheng juga menolak, apakah kalian ini hendak memaksa aku memikul tugas dan tanggung jawab seberat ini? Apakah ji wi suheng tidak ingat bahwa aku hanya aeorang gadis berusia delapanbelas tahun yang sudah tak berayah ibu, yang hidup sebatangkara dan tidak dapat dibayangkan betapa akan jadi nya dengan nasib hidupku selanjutnya? Apakah ji wj suheng hendak mengikat aku dan menanam aku di sini sehingga selama hidupku sampai menjadi nenek nenek aku akan terus menjadi seorang ketua perkumpulan kita? Tidak kasihankah ji wi kepadaku?” kembali air mata mengalir deras ke luar dan kedua mata nona itu.
Dua orang pengemis tua itu menjadi terharu, akan tetapi betapapun juga. karena menganggap bahwa kepandaian gadis itu masih lebih tinggi dari pada kepandaian mereka, keduanya masih ragu ragu dan tidak berani menerima jabatan ketua. Keadaan menjadi kalut dan tiba tiba terdengar suara nyaring dan Pun Hui pemuda sasterawan yang untuk sementara waktu itu dilupakan orang, telah berdiri tegak dan bicara dengan lantang,
“Cu wi sekalian. Maafkan kalau siauwte berani bersikap lancang, karena siauwte memang tahu bahwa seharusnya siauwte tidak berhak untuk bicara di sini sebagai seorang luar yang tidak tahu persoalannya. Akan tetapi mendengar pembicaraan sam wi bertiga, dan melihat keadaan tak menjadi baik dan kalut, perkenankan siauwte menyumbang sedikit pendapat siauwte.”
Tiga orang Lojin itu memandang kepadanya tanpa berkata kata, dan ini dianggap sebagai tanda oleh Pun Hui bahwa ia boleh bicara terus,
“Biarpun siauwte seorang bodoh yang tak pernah mencampuri urusan perkumpulan, namun dari kitab kitab, siauwie pernah membaca banyak tentang perkumpulan dan tahu sedikit akan pera turan dan syarat syaratnya. Pendapat sam wi bertiga tadi memang tepat sekali. Menjadi ketua harus memiliki kebijaksanaan dan ini dimiliki oleh Twa lo eng hiong (Orang tua gagah pertama). Juga harus memiliki pengalaman dan pergaulan yang luas dalam dunia, dan hal ini dimiliki oleh Ji lo eng hiong. Syarat ke tiga memang seorang ketua harus memiliki kepandaian yang sesuai dengan sifat perkumpulan dan dalam perkumpulan ini, ialah kepandaian bu (silat) dan menurut pendengaran siauwte tadi, hal ini dimiliki oleh siocia (nona). Maka apa sukarnya untuk mengaturnya? Daripada bertengkar dan saling tunjuk tidak mau mengalah, bukankah lebih baik kalau sekarang dibentuk ketua gabungan yang terdiri dan tiga orang? Sam wi bertiga dapat memegang jabatan sebagai ketua gabungan ini, selain lebih kuat, juga memperlambangkan kesatuan dan kerja sama yang baik dalam perkumpulan, memberi tauladan kepada semua anggota. Bagaimana pikiran sam wi dan cu wi sekalian? Maaf kalau sekiranya kata kata siauwte ini tidak berharga dan ngawur.”
Semua orang saling pandang, mengangguk angguk dan kemudian meledaklah sorak sorai dari para anggauta, “Akur! Akur! Inilah jalan yang terbaik Hidup Sam wi pangcu (Tiga Ketua)!” Otomatis sebutan Sam lojin (Tiga Orang Tua) berobah menjadi Sam pangcu (Tiga Ketua).
Leng Li dan kedua orang tua itupun saling pandang dan wajah mereka berobah lega. Memang inilah jalan terbaik bagi mereka bertiga. Dengan penuh rata terima kasih mereka memandang ke arah pemuda sasterawan itu dan tiba tiba Bu beng Sin kai mengangkat kedua tangannya ke atas sehingga semua sorak sorai itu tiba tiba berhenti.
“Kongcu,” kata Bu beng Sin kai sambil menjura ke arah Pun Hui, “pendapat kongcu tadi benar dan dapat kami terima dengan baik. Banyak terima kasih atas nasihat dari kongcu yang amat berharga. Mendengar kongcu bicara dan sekaligus dapat menguasai pikiran dan kecocokan hati kami membuat kami teringat akan mendiang pangcu kami. Oleh karena itu, sekarang kami bertiga mohon bertanya siapakah nama kongcu dan dimana tempat tinggalnya!”
Pun Hui merasa jengah dan malu sekali menerima penghormatan besar ini. Ia cepat membalas penghormatan itu dan menjawab sederhana, “Ah, lo enghiong. Pendapatku tadi hanya kebetulan saja cocok dengan pendapat cu wi sekalian, apa sih anehnya dan kiranya belum patut mendapat penghargaan. Siauwte bernama Liem Pun Hui, seorang yatim piatu yang hidup sebatangkara, tiada tempat tinggal, tegasnya seorang perantau yang hidup dari belas kasih para sahabat.”
“Bagus, bagus! Tepat sekali kalau begitu!” kata Bu beng Sin kai. “Kalau begitu, kami bertiga mengangkat kongcu
sebagai ketua perkumpulan kami menggantikan pangcu kami yang telah tewas, sedangkan kami bertiga tetap membantu di belakang.”
Kalau ada kilat menyambar kepalanya, agaknya Pun Hui takkan begitu terkejut seperti ketika ia mendengar ucapan ini. Matanya terbelalak dan ia cepat cepat menjawab,
“Eh, eh, mana bisa begini? Siauwte ini orang macam apakah maka lo enghiong berkata seperti itu? Harap saja sudi menghentikan lelucon yang ditujukan kepada diri siauwte.”
“Kami bersungguh sungguh kongcu. Seperti kongcu lihat sendiri tadi, untuk membereskan persoalan kecil saja kami bertiga tidak becus dan bahkan saling menunjuk. Oleh karena itu, kami memerlukan seorang pemimpin yang cerdik dan berpemandangan luas untuk memberi petunjuk dan keputusan terakhir. Dan kongculah orangnya yang tepat. Bukankah begitu saudara saudara?”
“Betul, cocok sekali!” terdengar teriakan para pengemis yang memang suka kepada pemuda ini. Tidak saja suka akan kesopanannya, juga suka bahwa pemuda ini tidak memandang rendah kepada para pengemis dan terutama sekali karena tadi pemuda itu telah memberi jalan yang amat baik dalam pemilihan ketua.
“Celaka tigabelas,” pikir Pun Hui yang menjadi merah dan sebentar pucat mukanya. Ia cepat menjura ke sekeliling dan berkata,
“Cu wi, harap sudi maafkan siauwte! Bagaimanakah siauwte dapat menjadi ketua? Siauwte amat lemah, tidak bisa ilmu silat sehingga untuk menepuk lalatpun takkan kena. Bagaimana kalau datang bahaya dan bencana? Siauwte tidak mengerti sama sekali tentang perkumpulan, bagaimana kalau timbul kesulitan? Dan siauwte orang yang asing, sama sekali tidak mengenal dunia kang ouw, tidak tahu siapa adanya orang orang gagah di dunia kang ouw dan siapa pula perkumpulan perkumpulan ternama. Ah, siauwie benar benar tidak tepat kalau menjadi ketua, harap dipikir masak masak jangan nengambil keputusan serampangan belaka sehingga kelak akan menyesal.”
“Kalau datang bahaya, ada aku dan tongkatku yang menghadapinya,” kata Leng Li dengan gagah dan sepasang matanya yang jeli dan bening itu menatap wajah Pun Hui dangan tajam,
“Kalau datang kesulitan dalam perkumpulan, ada aku yang akan membereskan,” kata pula Bu beng Sin kai cepat cepat,
“Ha, ha, dan kalau ada bubungan dengan orang orang kang ouw akupun orangnya yang akan maju ke depan.”
Pun Hui merasa terdesak dan tak dapat bergerak lagi. Ia menjadi bingung sekali dan hanya menoleh ke sana ke mari seakan akan minta bantuan orang lain. Akan tetapi setiap wajah yang berada di situ memandangnya dengan menyatakan kebulatan tekad mengangkat dia sebagai ketua.
Tiba tiba tubuh Bu beng Sin kai dan Sam Thouw liok ciang kai bergerak dan tahu tahu mereka telah berada di depan Pun Hui. Seorang memegang lengan pemuda itu dan sekali melompat mereka telah membawa Pun Hui ke depan meja sembahyang.
“Kongcu kau lihat sendiri bahwa kami semualah yang kali ini betul dan tidak salah pilih. Maka harap kau jangan menolak lagi, karena penolakan terhadap para anggauta kami berarti penghinaan dan kau akan berada dalam keadaan berbahaya. Harap kau suka berlutut dan bersumpah di depan meja sembahyang mendiang Lo pangcu.” Pun Hui masih ragu ragu dan bingung, akan tetapi sekali saja menekan pundaknya, Bu beng Sin kai telah dapat membuat tubuhnya menjadi lemas dan tak teras pula ia berlutut. Bu bong Sin kai memang sengaja memaksa pemuda ini menerima jabatan itu dan berada di tengah tengah mereka karena diam diam orang tua ini mempunyai maksud tertentu, ia suka kepada pemuda ini dan bermaksud menjodohkan pemuda ini dengan puteri mendiang ketuanya, yakni Leng Li.
Leng Li segera menyalakan tiga batang hio dan memberikan kepada pemuda itu sambil tersenyum manis. Pun Hui hendak menolak, akan tetapi melihat pandang mata semua pengemis yang kini tertuju kepadanya, ia menjadi ngeri dan terpaksa ia bersembahyang.
“Hidup ketua! Hidup Sam lojin !” teriak para anggauta setelah Pun Hui selesai bersembahyang, setelah kini mempunyai ketua baru, kembali tiga orang gagah itu mereka sebut Sam lojin lagi.
“Ah, bagaimana ini? Siauwte benar benar tak dapat menerima pengangkatan yang berat ini.” kata Pun Hui yang hampir menangis karena tidak tahu harus berbuat apa. Baru kali ini selama hidupnya ia benar benar merasa gelisah dan gugup, bukan takut .Akan tetapi penolakannya ini tenggelam dalam sorak sorai para anggauta pengemis. Kemudian Bu beng Sin kai berkata kepada orang banyak,
“Kami bertiga hendak berusaha mencari musuh besar mendiang lo pangcu. Oleh karena itu harap kalian suka memberi petunjuk dan keterangan kepada pangcu kita yang baru ini dan jagalah dia baik baik!”
Setelah berkata demikian, sekali berkelebat dari situ, Bu beng Sin kai, Sam thouw liok ciang kai dan Leng Li lenyap dari situ, meninggalkan Pun Hui di tengah tengah para pengemis.
“Pangcu, tongkat keramat di atas meja itu harus dibawa selalu oleh pangcu ke mana juga pangcu pergi. Pangcu tidak boleh terpisah dari tongkat itu, karena itulah tanda kedudukan pangcu,” kata seorang pengemis.
Pun Hui menandang ke arah tongkat merah yang setelah didekatinya ternyata adalah seekor ular merah yang kering. Tentu saja ia menjadi mengkirik dan tidak berani menjamahnya. Akan tetapi melihat pandang mata para pengemis, ia melihat sesuatu yang jauh lebih mengerikan lagi. Maka dipaksanya mengambil tongkat itu dan di pegangnya di tangannya. Ternyata ular kering itu telah mengeras dan dingin sekali. Para pengemis bersorak.
“Nanti dulu, sahabat sahabat sekalian. Sesungguhnya, Sam lojin tadi terlalu sembrono dan gegabah memilih siauwte sebagai ketua. Siauwte tidak mengerti apa apa dan kalian hanya akan menemukan kekecewaan belaka kalau memilih siauwte sebagai pangcu. Oleh karena itu, harap kalian sudi menerima kembali tongkat keramat ini dan biarkan siauwte pergi.”
Akan tetapi, alangkah kaget hati pemuda itu ketika melihat akibat dari ucapannya ini. Semua mata memandangnya dengan marah sekali.
“Dia menghina tongkat keramat kita.”
“Apakah maksud cu wi? Siauwte sama sekali tidak menghina tongkat ini!”
“Tidak menghina? Kau sudah menerima pengangkatan pangcu, sudah sembahyang di depan arwah mendiang pangcu kami, sekarang setelah tongkat keramat berada di tanganmu, kau hendak memberikan itu kepada kami? Itu penghinaan namanya!” kata seorang pengemis tua.
“Kalau dia kukuh menolak, pukul saja dia sampai tewas dengan tongkat keramat kita!” teriak pengemis pengemis muda dan melangkah maju dengan sikap mengancam.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, pada saat Lim Pun Hui terancam bahaya dan ia menghadapi dengan sabar dan tenang, datanglah Siauw Yang di hutan itu.
Siauw Yang benar benar merasa kagum melihat Pun Hui. Jelaslah bahwa pemuda itu adalah seorang yang tidak mengerti ilmu silat, namun pemuda itu menghadapi para pengemis yang hendak mengeroyok dan membunuhnya dengan bibir tersenyum tenang dan sepasang mata tak pernah berkedip sama sekali tidak kelihatan takut takut.
“Cu wi sekalian benar benar tidak adil dan tidak mau berpikir secara luas. Kalian memaksa orang menjadi pangcu, aturan manakah ini? Kalau siauwte menerima dan memaksa diri manjadi pangcu, kebaikan apakah yang dapat siauwte lakukan? Tentu hanya akan membikin kacau keadaan dan perkumpulan cu wi takkan dapat maju. Oleh karena itu, kalau cu wi memaksa dan hendak membunuh, nah, ini tongkat keramatnya, bunuhlah. Matinya seorang seperti siauwte takkan berarti apa apa bagi dunia.”
Seorang pengemis muda mengulur tangan hendak merampas tongkat itu dari tangan Pun Hui, akan tetapi tiba tiba orang ini memekik dan roboh pinggan di depan pemuda itu! Hal ini membuat semua orang terkejut sekali. Mereka mengira bahwa pemuda sasterawan ini tentu lihai sekali. Untuk beberapa lama mereka tertegun dan tak berani bergerak. Akan tetapi, melihat Pun Hui masih berdiri tegak dan pemuda inipun terheran melihat betapa pengemis muda yang tadi hendak merampas tongkat merah di tangannya tahu tahu terguling, tiga orang pengemis lain, kini yang tua tua dan yang memiliki kepandaian silat lumayan, menubruk maju hendak menangkapnya dan merampas tongkat merahnya. Mereka menggerakkan tongkat di tangan dan siap menyerang pemuda yang disangkanya memiliki kepandaian tinggi itu.
Pada saat itu, dari atas pohon, melayang turun tubuh Siauw Yang. Dengan gerakan indah dan cepat yang disebut Burung Walet Menyambar Air, tubuhnya melayang dan benar benar seperti seekor burung walet cepatnya, ia menyambar ke arah tiga orang pengemis yang menyerang Pun Hui. Terdengar teriakan kesakitan dibarengi seruan seruan kaget ketika tiga batang tongkat merah yang dipakai menyerang Pun Hui itu melayang terlepas dari pegangan dan tubuh tiga orang kekek pengemis itu terlempar dan bergulingan pula.
Kini Siauw Yang telah berdiri bertolak pinggang di depan para pengemis, membelakangi pemuda itu seakan akan menjadi pelidungnya.
“Mengandalkan banyak orang mengeroyok seorang sasterawan yang lemah. Hmm, aturan manakah ini?” bentak Siauw Yang sambil tersenyum mengejek
Di antara para pengemis itu terdapat seorang pengemis bartubuh tinggi besar bermuka hitam, usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun. Dia ini terkenal dengan sebutan Hek bin kai ( Pengemis Muka Hitam), bukan terkenal karena mukanya yang hitam, akan tetapi lebih terkenal karena ia memiliki ilmu silat tinggi. Hek bin kai ini adalah murid dari Sam thouw liok ciang kai, yakni pemimpin pengemis yang bertubuh gendut. Boleh dibilang di antara para anggauta Ang sin tung Kai pang di bawah tiga Sam lojin yang menjadi wakil ketua, kepandaian Hek bin kai ini yang paling tinggi. Selain ilmu silatnya memang sudah cukup tinggi dengan latihan belasan tahun lamanya, juga Hek bin kai memiliki tenaga besar. Pernah ia menimbulkan kegemparan di kota Kui cu ketika di sana terdapat seorang hartawan yang terkenal jahat, pelit, dan suka mengganggu anak bini orang mengandalkan kekayaannya dan pengaruhnya karena ia selalu dekat dengan para pembesar tinggi.
Ketika Hek bin kai mendengar tentang hartawan ini, ia lalu datang ke tempat itu, membawa sebuah arca singa yang tadinya berada di depan pintu gerbang rumah gedung hartawan itu, dan meletakkan patung yang beratnya ada seribu kati itu di ambang pintu hartawan tadi. Ia menuntut uang sedekah sebanyak atau seberat patung itu. Tentu saja hartawan itu tidak mau memberinya sehingga Hek bin kai lalu mengamuk, merobohkan tiang tiang ruangan dan menghajar para pelayan hartawan itu yang mencoba untuk menyeretnya keluar. Akhirnya hartawan itu terpaksa membayar delapan ribu tail uang perak kepada Hek bin kai yang lalu menyebar nyebarkan uang itu di sepanjang jalan sehingga para petani dan rakyat miskin menjadi girang bukan main.
Inilah Hek bin kai, pengemis muka hitam yang selain berkepandaian tinggi dan bertenaga besar seperti gajah, juga memiliki watak yang jujur, kasar, terus terang bicaranya tanpa tedeng aling aling lagi, akan tatapi juga keras kepala dan tidak mau mengaku kalah.
Ketika tadi ia melihat Pun Hui akan dikeroyok ia diam saja karena mana mau ia turun tangan terhadap seorang sasterawan lemah? Ia tidak begitu perduli tentang peraturan perkumpulannya dan membiarkan saja kawan kawannya yang mengatur urusan dengan pemuda lemah itu. Akan tetapi ketika melihat kawan kawannya roboh dan melihat di sana tiba tiba muncul seorang gadis cantik dan gagah sekali, tergeraklah hatinya dan perutnya mulai terasa panas. Kawan kawannya roboh oleh seorang wanita muda yang melindungi sasterawan muda yang hendak menghina perkumpulannya, bagaimana ia tinggal diam saja sedangkan hal itu terjadi di depan hidungnya?
Hek bin kai menggunakan kedua lengannya mendorong kawan kawannya ke kanan kiri sambil berkata,
“Biarkan aku menghadapi mereka!” Biarpun ia hanya bermaksud mendorong ke kanan kiri para kawannya itu agar mereka minggir dan tidak menghalanginya memasuki lingkaran itu, namun beberapa orang kawannya yang terdorong itu terlempar ke kanan kiri seperti batang padi tertiup angin keras.
“Perempuan liar dari mana dan siapakah kau begitu berani menghina kami anggauta anggauta Ang sin tung kai?” Suara Hek bin kai memang keras dan parau menyakitkan telinga, apalagi dipergunakan untuk mengeluarkan kata kata yang kasar.
Merahlah wajah Siauw Yang. Namun gadis ini tidak puas kalau tidak membalas ucapan yang menghina dan memandang rendah ini, maka sambil tersenyum senyum mengejek ia berkata,
“Hek gu (Kerbau hitam), apakah kau yang menjadi kepala dari segerombolan anjing kelaparan ini? Kau bilang aku berani menghina kawan kawanmu, sebalik nya kau diam saja tidak menyatakan sesuatu ketika kawan kawanmu menghina dan mengeroyok seorang siucai seperti dia ini !” Ia menunjuk ke arah pemuda itu sambil memutar tubuh nya, dan pada saat itu, barulah Siauw Yang dapat melihat pemuda itu dengan jelas. Juga Pun Hui baru sekarang setelah Siauw Yang memutar tubuhnya, dapat melihat wajah gadis gagah yang menolongnya ini. Seakan akan ada sesuatu yang pecah di dalam jatung masing masing, yang membuat pipi mereka menjadi merah dan yang membuat mereka tak sanggup melanjutkan bertemu pandang! Siauw Yang cepat cepat memutar tubuhnya lagi menghadapi si muka hitam.
“Bocah ingusan! Urusan sasterawan muda ini dengan perkumpulanku, bukanlah urusanmu, mengapa kau turut campur? Apakah dia itu saudaramu, ataukah barangkali tunanganmu, tentu kau jatuh cinta kepadanya maka kau datang datang campur tangan dan menghina kawan kawanku tanpa bertanya dulu sebab sebab keributan ini terjadi!”
Kalau saja Hek bin kai memakinya dan mengeluarkan kata kata kasar yang lain, agaknya Siauw Yang takkan begitu marah karena sekali pandang saja Siauw Yang sudah tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang berangasan, kasar dan jujur. Akan tetapi karena orang kasar ini menuduhnya melindungi pemuda itu karena ia mencintanya, tersinggunglah perasaan halus kewanitaan dari gadis ini. Hampir saja ia kehilangan ketenangannya dan akan marah sekali. Baiknya ia teringat akan nasehat ayah bundanya yang sering kali menekankan kepadanya bahwa dalam menghadapi seorang lawan, pantangan pertama yang terpenting adalah nafsu amarah.
“Kemarahan adalah musuh terbesar dari kewaspadaan dan ketenangan,” kata ayahnya berkali kali, “oleh karena itu hati hatilah, jangan mudah dibakar oleh lawan, kerena orang orang kang ouw yang berpengalaman akan selalu berusaha membangkitkan kemarahan lawannya sebelum bertempur.”
Teringat akan nasehat ini, Siauw Yang lalu menekan kemarahannya, lalu tersenyum senyum kepada si muka hitam itu. “Muka hitam yang buruk rupa. Kita kesampingkan dulu urusan dengan anjing anjing kelaparan ini. Kau merasa bahwa aku menghina dan sebaliknya kata katamu yang kotor telah amat menghinaku. Hal ini hanya dapat diselesaikan dengan adu kepandaian. Apakah kau yang kasar ini masih memiliki keberanian untuk melawanku? Ataukah kata katamu yang kasar itu hanya gertak sambal belaka, akan tetapi sebetulnya hatimu bersifat pengecut besar?”
“Bocah lancang, kau mencari penyakit sendiri. Kau belum mengenal kelihaian Hek bin kai, majulah!”
“Hek bin gu (Kerbau Muka hitam), perlihatkan kepandaianmu!” kata Siauw Yang sambil tertawa mengejek.
Sementara itu, para pengemis lalu sengaja mundur untuk memberi lapangan kepada dua orang yang hendak mengadu kepandaian ini. Mereka tadi telah menyaksikan kelihaian Siauw Yang sehingga banyak diantara mereka menjadi jerih. Akan tetapi mereka lebih percaya akan kelihaian Hek bin kai yang akan membalaskan hinaan yang dilakukan oleh dara cantik itu.
Adapun Pun Hui ketika melihat betapa gadis muda itu hendak bertanding melawan Hek bin kai yang kelihatannya begitu kuat dan ganas, menjadi khawatir sekali.
“Lihiap (nona pendekar), harap kau jangan layani mereka itu, hanya untuk membelaku. Pergilah jangan mencampuri urusan ini sebelum terlambat,” katanya.
Mendengar ini, Siauw Yang makin merah mukanya. “Siapa membelamu? Aku hanya tidak suka melihat
anjing anjing ini main jago jagoan dan hendak merajalela, seakan akan tak ada orang lain berani menentang mereka. Hayo, muka hitam pengecut kau majulah!”
“Awas pukulan!” seru Hek bin kai dan ia menubruk maju sambil mengayun pukulan tangan kanannya ke arah muka nona itu yang berdiri sembarangan saja.
Melihat gerak pukulan tangan kanan sambil memperhatikan kedudukan kaki dan tangan kiri lawan, tahulah Siauw Yang bahwa pukulan tangan kanan itu hanya pancingan belaka, ia pura pura mengelak, akan tetapi sebetulnya ia memperhatikan serangan susulan yang pasti akan tiba. Benar saja dugaannya, karena Hek bin kai cepat sekali menarik kembali tangan kanannya yang memukul tadi, dan kini secepat kilat ia majukan sebelah kaki dan tangan kirinya terulur maju, memukul ke arah lambung lawannya. Inilah serangan yang disebut Pai in jut sui (Dorong Awan Keluar Puncak) yang dilakukan dengan tenaga sepenuhnya.
Siauw Yang melihat gerakan lawan dan merasai sambaran angin pukulan, maklum bahwa lawannya ini hanya memiliki tenaga besar dan kecepatan yang dipaksakan, maka ia memandang ringan. Sebetulnya pukulan Pai in jut sui itu dilakunkan dengan pukulan ke arah dada. Kini dengan sengaja si muka hitam memukul agak ke bawah dan mengarah lambungnya menandakan bahwa si kasar ini masih mempunyai kesopanan dan merasa malu untuk memukul dada lawannya, karena lawannya seorang wanita. Mengingat ini, diam diam Siauw Yang merasa kasihan kepada si muka hitam dan gelora hatinya yang tadi agak mereda, ia tidak jadi berniat membunuh lawannya, hanya ingin mempermainkannya belaka.
Dengan gerakan kaki Tut po lian hoan (Menggerakkan Kaki Melangkah Mundur Secara Berantai) Siauw Yang dapat mengelakkan diri dengan mudah sekali dari setiap pukulan yang menyambar ke arahnya.
Hek hin kai penasaran sekali melihat betapa lawannya yang masih muda itu mengelak dengan gerakan seperti orang menari saja. Demikian lemas, lincah dan mudah gadis itu membuat setiap serangannya mengenai angin. Semua pengemis, terutama sekali yang ilmu silatnya sudah lumayan, mengeluarkan seruan memuji ketika menyaksikan betapa gadis itu gesit sekali gerakannya. Adapun Pun Hui juga memuji gadis itu karena ia melihat gadis itu seperti sedang menari nari dengan gerakan amat Indah. Diam diam ia memperhatikan gadis ini dan ia harus akui bahwa gadis itu selain gagah, juga cantik jelita sekali, ia teringat akan Siang Cu, gadis gagah yang dulu menolongnya dari korban bajak laut dan diam diam ia membandingkan kegagahan kedua orang gadis ini. Siang Cu gagah dan berani, juga cantik sekali Demikian pula gadis ini, bahkan dalam pandangannya, masih lebih cantik menarik daripada Siang Cu. Tentang kepandaian silatnya, ia tidak dapat mengetahui siapa yang lebih tinggi, hanya agaknya perbedaan yang menyolok sekali adalah dalam watak mereka. Biarpun baru bertemu satu kali, Pun Hui dapat melihat betapa Siang Cu berwatak keras dan galak, sedangkan gadis pembelanya ini adalah seorang dengan watak lincah dan lucu.
Siauw Yang memang sengaja mempermainkan dan hendak menguji sampai di mana tingginya kepandaian lawannya si muka hitam itu. Oleh karena itu, gadis itu tidak mengeluarkan ilmu silatnya yang paling lihai, sebaliknya melayani lawannya dengan Ilmu Silat Thai lek kim kong jiu pada bagian Bian kua (Ilmu Silat Tangan Kapas). Dengan ilmu silat ini, setiap kali ia mendorong dan menyampok pukulan lawannya, Hek bin kai hanya merasa betapa pukulannya itu tergeser dan menyeleweng dan ia merasa tangannya bertemu dengan sesuatu yang empuk seperti kapas, namun yang mengandung tenaga aneh. Makin lama ia menjadi makin marah dan penasaran. Apalagi ketika Siauw Yang mulai membalas serangannya, bukan dengan memukul atau menendangnya roboh, melainkan hanya menowel dan menampar bagian bagian sambungan pundak, sambungan siku, atau pergelangan tangannya yang mendatangkan rasa sakit seperti ditusuk tusuk jarum.
“Kerbau muka hitam, apakah kau belum mengaku kalah??” seru Siauw Yang. Gadis ini yang hendak mentaati pesan ayahnya bahwa ia tidak boleh menanam bibit permusuhan dengan orang orang kang ouw terutama sekali dengan golongan pengemis, tidak mau menjatuhkan tangan kejam.
“Bocah sombong! Hek bin kai hanya mengaku kalah kalau ia sudah roboh tak dapat bangun kembali !” seru si muka hitam yang memang wataknya tidak mau kalah, apalagi terhadap seorang gadis muda seperti ini, ia merasa amat malu kalau harus mengaku kalah. Padahal ia sudah tahu bahwa gadis ini memiliki kepandaian yang luar biasa lihainya.
Menghadapi kebandelan Hek bin kai, Siauw Yang menjadi gemas juga. Ketika si muka hitam itu menubruk maju, Siauw Yang lalu mulai mengeluarkan kepandaiannya dan tiba tiba saja ia lenyap dari depan Hek bin kai. Si muka hitam terkejut sekali, karena ia hanya melihat bayangan berkelebat di pinggirnya. Ia memutar tubuh sambil mengayun kaki dan menendang. Benar saja dugaannya, dengan gerakan ginkang yang luar biasa Siauw Yang tadi bukannya menghilang, melainkan melompat dan berada di belakang lawannya. Kini menghadapi tendangan Hek bin kai yang memutar tubuhnya, jadi tendangan ngawur saja tanpa mengetahui di mana kedudukan lawan, Siauw Yang mengulur tandannya dan secepat kilat dengan gerakan Ciang to thian bun (Telapak Tangan Menyangga Pintu Langit), ia menangkap pergelangan kaki dari bawah dan sambil meminjam tenaga tendangan yang keras sekali itu, ia mengerahkan tenaga lweekang mendorong ke atas dan…. tubuh Hek bin kai mencelat ke atas, tinggi sekali dan jatuh di tengah tengah pohon besar yang tumbuh tak jauh dari tempat pertandingan itu. Hanya terdengar suara Hek bin kai berteriak saking kagetnya dan tahu tahu daun daun pohon bergoyang ketika tubuh itu menyangsang di antara ranting ranting dan daun daun.
Di dekat puncak pohon yang tinggi itu, Hek bin kai dengan kedua tangannya memegangi cabang dan tubuhnya bergoyang goyang karena cabang itu terlalu kecil untuk dapat menahan tubuhnya. Celakanya, biarpun ia telah mempunyai kepandaian tinggi, namun Hek bin kai paling anti tempat tinggi. Hatinya berdebar ketakutan dan semangatnya melayang ketika ia memandang ke bawah, tubuhnya gemetar.
“Kawan kawan, tolonglah aku turun….” katanya tanpa malu malu lagi. Kemudian ia teringat betapa keadaannya itu benar benar amat memalukan dan merendahkan namanya maka ia lalu berseru kepada Siauw Yang yang masih berdiri di bawah pohon sambil bertolak pinggang.
“Bocah curang, tunggulah sampai aku turun. Tongkatku pasti akan dapat membikin benjut kepalamu dan kau akan minta minta ampun kepadaku.”
Siauw Yang tertawa geli dan berkata, “Eh, kerbau hitam kau sekarang lebih cocok kalau disebut lutung hitam.”
Sekalian pengemis, ketika melihat betapa Hek bin kai tak dapat turun, lalu sibuk mencoba untuk menolongnya. Beberapa orang telah mulai memanjat pohon itu, akan tetapi setelah dua orang tiba di dekat cabang di mana Hek bin kai bergantungan, cabang itu menjadi makin bergoyang goyang keras dan hampir patah.
“Berhenti! Berhenti… kalau tidak patahlah cabang ini!” teriak Hek bin kai ketakutan.
Melihat ini, Pun Hui tak dapat menahan gali hatinya, namun ia merasa khawatir kalau kalau si muka hitam itu jatuh ke bawah dan mati. Maka ia lalu berkata kepada Siauw Yang dengan penuh kepercayaan akan kepandaian gadis itu yang sudah disaksikannya sendiri.
“Lihiap, kau dapat melontarkannya ke atas, tentu dapat menurunkannya kembali. Tolonglah dia sebelum cabang itu patah. Kalau ia mati karenanya, akulah yang merasa berdosa karena itu tolonglah, lihiap !”
Siauw Yang tertegun. Tak disangkanya bahwa pemuda ini demikian luhur budinya, memohon pertolongan untuk pengemis yang tadinya hendak membunuhnya. Ia memandang dan dalam pandangan sekilas ini, keduanya dapat melihat kekaguman terbayang dalam pandang mata masing masing.
Siauw Yang tidak menjawab permohonan ini, akan tetapi ia lalu berdongak keatas dan berkata,
“Eh, lutung hitam. Kau mau turun? Nah, turunlah !” Tiba tiba tubuh gadis ini berkelebat dan melayang ke atas dengan pedangnya tercabut di tangan kanan. Sekali ia mengayun pedang ke arah cabang pohon yang digantungi tubuh Hek bin kai, terdengar suara hiruk pikuk. suara ini adalah suara patahnya cabang pohon, gemerisiknya daun daun terlanggar oleh cabang dan tubuh Kek bin kai dan seruan kaget dari para pengemis. Juga Pun Hui berseru, “Celaka…!”
Akan tetapi, sebelum tubuh tinggi besar itu jatuh berdebuk di atas tanah dengan bahaya kepala pecah, tiba tiba ia merasa lehernya tercekik dan kedua kakinya menyentuh tanah dengan lambat dan ringan. Ia selamat dan ternyata bahwa leher bajunya telah disambar oleh Siauw Yang sehingga leher bajunya itu mencekik lehernya namun ia terbebas duri cengkeraman maut.
“Hebat!” seru para pengemis melihat betapa tadi setelah membabat cabang pohon, gadis itu melayang turun menyusul cabang yang membawa tubuh Hek bin kai, kemudian bagaikan seekor garuda menyambar kelinci, ia telah dapat menangkap leher baju si muka hitam itu.
Muka Hek bin kai yang sudah hitam itu, kini menjadi makin hitam karena darah mengalir naik ke arah mukanya, ia merasa malu, marah dan mendongkol sekali. Saking marahnya dan malunya, ia tidak dapat berkata kata lagi, hanya serentak ia mengambil tongkat merahnya dari atas tanah dan berseru keras kepada Siauw Yang.
“Bocah sombong, cabut pedangmu dan mari kita bertempur mengadu kepandaian. Jangan takut, aku takkan membinasakanmu, hanya ingin memperkenalkan ilmu tongkat kami !”
Tentu saja kata kata ini hanya terdorong oleh kekerasan kepala dan sifat yang tidak mau kalah. Bagaimana ia bicara besar kalau tadi sudah terang terangan ia tak dapat melawan gadis lihai itu?
“Orang tak tahu diri, kau masih belum kapok? Baiklah, sekali ini nonamu akan memberimu tahu rasa. Majulah, jangan kira aku takut menghadapi tongkatmu itu. Karena aku masih kasihan melihat kedogolanmu, maka tak perlu pedangku ikut bekerja.” “Kau mau menghadapiku dengan tangan kosong?” Hek bin kai melebarkan matanya dan mengangkat alisnya, benar benar ia merasa heran atas keberanian gadis ini. Jarang sekali ada orang kang ouw yang berani menghadapinya kalau ia sudah memegang tongkatnya, apalagi dengan tangan kosong seperti yang sekarang dilakukan oleh gadis muda itu.
Siauw Yang menjadi habis sabar. “Monyet hitam, sudahlah jangan banyak cakap. Kalau dalam sepuluh jurus aku tidak mampu merampas tongkatmu, aku terima kalah!”
“Betul betulkah?” Hek bin kai marah bukan main dan perutnya terasa panas. “Nah, awaslah!” Ia mulai menyerang dengan tongkatnya, ditusukkan ke arah leher Siauw Yang dengan gerak tipu Ang hong kan cu (Naga Merah Mengejar Mustika). Gerak tipu ini selain amat cepat dan lihai, juga berbahaya sekali karena dilanjutkan dengan serangan ujung tongkat yang membayangi tubuh lawan dan selalu mengarah jalan darah.
Akan tetapi, dasar ginkang dari si muka hitam kalah jauh oleh Siauw Yang dan dasar ilmu silatnya memang kalah tinggi tingkatnya, maka sekali saja miringkan tubuh dan menggerakkan kedua tangan, Siauw Yang telah dapat mengelak dan berbareng tangan kirinya menotok ulu hati dan tangan kanannya merampas tongkat.
-oo0dw0ooo-