Jilid 20
Kembali bercerita tenang Sau Peng-lam. Setelah sadar dan melihat semangka, tanpa pikir semangka diraihnya terus dimakan. Ia tidak tahu bahwa sudah sekian lama Gilim menunggunya sadar untuk makan bersama meski Nikoh jelita itu sendiri sebenarnya sangat kelaparan.
Melihat Peng-lam makan semangka dengan lahapnya, dengan tertawa Gi-lim berkata: "Dalam mimpipun sering kau sebut nama seorang, siapakah si dia itu?”
"Ah masa?" jawab Peng-lam dengan meleagak.
"Memangnya kau kira aku berdusta" Coba jawab.
siapakah orang yang bernama Leng Hiang itu?”
"Oo. dia Sumoayku, usianya sebaya dengan kau.”
"Kau sangat menyukai dia bukan?”
"Selain Sumoayku, dia juga keponakan ibu guruku.
dengan sendirinya kusuka padanya Di Soh-hok-han, jika iseng tentu dia mencariku untuk mengajak bermain, karena dia cocok bermain denganku, aku menjadi tambah suka padanya." Seketika kecut rasa hati Gi-lim, ia menunduk dan tidak bicara lagi, ia sendiri tidak tahu mengapa pikirannya bisa begitu.
Luka Peng-lam cukup parah, tapi berkat obat luka Siongsan-pay yang mujarab yang dibubuhkan di luar dan diminum, ditambah lagi dia masih muda dan kuat, Lwekangnya juga cukap sempurna, setelah tidur selama dua hari semalam ditepi air terjun itu, kini lukanya sudah rapat, sebab itulah begitu sadar kembali lantas sehat seperti tidak pernah terjadi apapun.
Seharian ini mereka cuma makan semangka dengan sendirinya tak bisa kenyang, padahal Peng-lam belum dapat melakukan sesuatu gerakan keras meski tampaknya sudah sehat. Ia minta Gi-lim berburu kelinci atau menangkap ikan. Tapi apapun Gi-lim tidak mau, ia bilang dapatnya Peng-lam lolos dari maut adalah berkat perlindungan Buddha, untuk bayar kaul, paling baik anak muda itu jangan makan daging selama setahun sebagai tanda terima kasih kepada sang Buddha, kalau dia disuruh membunuh makhluk berjiwa yang menjadi pantangan agamanya, betapapun dia tidak mau.
Peng-lam mentertawakan jalan pikiran Gi-lim yang kekanak2an itu, tapi iapun tak dapat memaksanya.
Malamnya, kedua orang duduk bersandar di dinding tebing dan memandangi udara yang penuh dengan bintik2 terang, yaitu kunang2 yang tak terhitung banyaknya.
Kata Peng-lam: "Musim panas tahun yang lalu pernah kutangkap be-ribu2 kunang2, kumasukkan dalam beberapa buah kantung tipis dan kugantung di dalam kamar, sungguh sangat menarik.”
"Tentunya Sumoaymu yang minta kau menangkapi kunang2 itu bukan?" tanya Gi-lim.
"Hm, kau sangat pintar, tepat benar tebakanmu.
Darimana kau tahu Sumoayku yang minta kutangkapkan kunang2 baginya?”
"Habis watakmu tidak sabaran, kau pun bukan anak kecil, mana kau telaten menangkap beribu kunang2, tentu karena permintaan Sumoaymu," setelah berhenti sejenak, lalu Gi-lim tanya pula: "Kemudian bagaimana kunang2 itu kau gantung dalam kamar"“
"Sumoay mengambilnya dan digantung di dalam kelambu, dia bilang langit kelambu akan gemerlapan seperti beratus ribu bintang2 dilangit dan dia pun seperti tidur di tengah awang2, bila membuka mata, sekelilingnya hanya bintang2 belaka.”
"Sumoaymu memang suka bermain, untung juga dia mempunyai Suko seperti kau, jika dia menginginkan bintang2 dilangit, mungkin juga akan kau tangkapkan baginya." "Asal mula menangkap kunang2 memang lantaran kami bicara tentang bintang2 dilangit," tutur Peng-lam dengan tertawa. "Malam itu kami berduduk mencari angin diluar dan memandangi bintang2 yang bertaburan dilangit. Tiba2 Sumoay menghela napas dan menyatakan sayang sebentar lagi harus pergi tidur, alangkah terangnya bilamana dapat tidur diudara terbuka, begitu membuka mata lantas melihat bintang2 dilangit se-akan2 sedang berkedip padanya.
Karena pikiran Sumoay itu, aku lantas mengusulkan menangkap kunang2 saja dan ditaruh didalam kelambunya, keadaannya akan serupa dengan bintang2 yang bertaburan dilangit.”
"O, kiranya kau yang mengusulkannya," kata Gi-lim.
"Ya, tapi Sumoay bilang kunang2 itu akan terbang kian kemari dan merambati tubuhnya. Tiba2 ia mengusulkan akan menjahit beberapa kantungan sutera tipis untuk wadah kunang2. Dan begitulah dia lantas membuat kantungan dan aku sibuk menangkap kunang2. Cuma sayang, kunang2 itu hanya tahan hidup semalam, besoknya semua kunang2 itu mati seluruhnya.”
"Hah, be-ribu2 kunang2 itu telah mati akibat ulah kalian”
Ai, mengapa .... mengapa kalian begitu. . . .”
"Maksudmu kami kejam bukan?" tanya Peng-lam dengan tertawa. "Ai, sebagai murid Buddha hatimu memang welas-asih. Padahal kalau tidak ditangkap kami, bila musim dingin tiba, kunang2 itu tetap akan mati beku.
Mati cepat atau mati lambat kan sama saja?"“
Gi-lim ter-mangu2 sejenak, katanya kemudian dengan hambar: "Ya, hidup manusia di dunia ini memang juga begitu, Ada yang mati lebih cepat, ada yang mati lebih lambat, cepat atau lambat akhirnya akan mati juga.
Menurut sang Buddha, setiap orang tak terhindar dari penderitaan lahir, tua sakit dan mati. Untuk membebaskan diri dari sengsara memang tiduklah mudah.”
"Betul, makanya untuk apa kau selalu bicara tentang peraturan dan pantangan segala, jangan membunuh, tidak boleh mencuri dan entah apa lagi. Jika sang Buddha harus mengurusi setiap persoalan, wah. beliau bisa kerepotan.”
Gi-lim terdiam dan entah apa yang harus dibicarakan.
Pada saat itulah, se-konyong2 di udara sebelah kiri sana sebuah bintang pindah meluncur membelah angkasa.
"Menurut Gi-ceng Suci," kata Gi-lim, "apabila melihat bintang pindah tempat, jika ujung baju cepat2 diberi satu ikatan, berbareng itu dalam hati menyatakan sesuatu angan2, asalkan ikatan ujung baju diselesaikan sebelum lenyapnya bintang pindah dan angan2 juga sudah terpikir, maka angan2 itu kelak akan terkabul. Menurut kau, ceritanya itu betul atau tidak?”
"Entah, aku tidak tahu, tapi boleh juga kita mencobanya, cuma tangan kita mungkin tidak secepat itu," kata Peng-lam dengan tertawa sambil memegang ujung baju, lalu sambungnya pula: "Hayolah, kau pun siap, bila terlambat sedetik saja mungkin akan gagal.”
Gi-lim siap memegang ujung bajunya dan memandang langit dengan termenung.
Malam di musim panas memang banyak meteorit, tiba2 sebuah meteor tampak meluncur membelah angkasa, cuma meteor ini dalam sekejap saja lantas lenyap, jari Gi-lim baru bergerak dan meteor itupun sudah hilang.
Ia bersuara kecewa, terpaksa ia menunggu lagi.
Tiba2 ada lagi meteor yang meluncur dari barat ke timur dengan jarak yang panjang, gerak tangan Gi-lim sangat cepat, berhasil juga dia membuat satu ikatan pada ujung bajunya. "Aha, bagus, bagus, kau berhasil!" seru Peng-lam girang "Thian maha pengasih, tentu cita2mu akan terkabul “
Gi-lim menghela napas, katanya: "Tapi yang kupikirkan hanya membuat ikatan pada ujung baju ini. seketika belum sempat memikirkan sesuatu angan2.”
"Jika begitu harus kau siapkan dulu angan2-mu, apalkan dulu agar nanti tidak lupa lagi," ujar Peng-lam dengan tertawa.
Sambi! memegangi ujung bejunya Gi-lim ter-menung lag!, pikirnya. "Apa angan2ku" Apa yang harus kupikirkan?”
Dia pandang Peng-lam sekejap, mendadak pipinya bersemu merah den cepat melengos ke arah lain.
Dalam pada itu di angkasa ber-turut2 meluncur lewat beberapa meteor. Peng-lam ber-teriak2 dan mendesak: "Itu dia ada satu! He, panjang amat ekor bintang itu! Eh, kau berhasil membuat ikatan tidak" Terlambat lagi bukan?”
Tapi pikiran Gi-lim terasa kusut, dalam lubuk hatinya lamat2 memang terkandung suatu harapannya, tapi harapan itu tak berani dibayangkannya, apalagi memohon kepada Thian yang maha pengasih. Seketika ia merasa takut, tapi juga terasa senang tak terperikan.
Didengarnya Peng-lam lagi bertanya; "He, Sudah Kau pikirkan belum cita2mu" Hanya satu cita2 saja, lebih dari itu takkan manjur.”
Gi-lim tetap diam saja, ia merasa bingung cita2 apa yang harus dikemukakan" Ia menengadah memandang langit dengan kesima. "He, kenapa kau tidak bicara?" seru Peng-lam pula. "Jika kau tidak mau omong, biarlah kuterka saja isi hatimu!”
"Tidak, tidak. jangan!" seru Gi-lim.
"Memangnya kenapa" Akan kutebak tiga kali, coba jitu atau tidak?" ujar Peng-lam dengan tertawa.
Gi-lim berbangkit, katanya: "Jangan, jika kau katakan, segera kupergi.”
Peng-lam ter-bahak2, katanya; "Baik, baik, takkan kukatakan Seumpama kau berhasrat menjadi ketua Siongsan-pay kan juga tidak perlu merasa malu?”
Gi-lim melengak, pikirnya: "Masa dia cuma menerka aku ingin menjadi ketua Siong-san-pay" Padahal.. . .padahal hal ini tak pernah kupikirkan. . . .”
Pada saat itulah dari kejauhan tiba2 berkumandang suara "creng-creng" yang nyaring, suara orang memetik kecapi.
Peng-lam saling pandang sekejap dengan Gi-lim, mereka sama merasa heran mengapa di pegunungan sunyi ini ada orang memetik kecapi”
Tapi suara kecapi itu sangat merdu dan nyaring, sekejap pula terdengar suara seruling yang halus teriring ditengah suara kecapi itu. Paduan suara kedua macam alat musik itu terdengar sangat halus dan menggetar sukma.
Suara kecapi dan seruling itu se-olah2 sahut menyahut, berbareng itu pelahan2 juga makin mendekat.
Peng-lam membisiki Gi-lim: "Aneh sekali suara musik ini, mungkin tidak menguntungkan kita. Sebentar biar apapun yang terjadi hendaklah jangan bersuara.”
Gi-lim mengangguk.
Suara kecapi tadi terdengar mulai meninggi, sebaliknya nada suara seruling semakin rendah, namun biarpun suara seruling semakin rendah tidak berarti putus atau berhenti, suara seruling masih terus berkumandang terbawa angin dan mengalun merdu dengan irama yang mengharukan.
Tiba2 dari balik batu padas sana muncul tiga sosok bayangan orang. Waktu itu rembulan kebetulan ter-aling2 oleh gunung sehingga keadaan menjadi remang2, tertampak ketiga orang itu yang dua tinggi dan yang satu pendek, yang tinggi adalah dua lelaki dan yang pendek ialah perempuan.
Kedua lelaki itu lantas mencari tempat duduk di atas batu, yang satu memetik kecapi dan yang lain meniup seruling, yang perempuan cuma berdiri saja disamping pemetik kecapi.
Pelahan Peng-lam menarik kepalanya kebelakang dinding batu dan tidak berani mengintip lagi, agaknya kuatir dipergoki kedua orang itu.
Sementara itu irama seruling terdengar sangat lembut dan merdu. Diam2 Peng-lam berpikir: "Air terjun itu terletak di sebelah Sana, gemerjuk air yang keras itu ternyata tidak dapat menutupi suara kecapi dan seruling yang halus, tampaknya Lwekang kedua orang ini tidaklah cetek.”
"Creng-creng", tiba suara kecapi menimbulkan suara keras, suara yang berhasrat membunuh. Suara kecapi yang mendadak melengking tajam ini membuat hatinya terkesiap, namun suara seruling tadi masih tetap mengalun merdu dan halus.
Selang sejenak, irama kecapi mulai berubah halus juga mengikuti irama seruling, kedua suara alat musik itu sebentar meninggi dan lain saat merendah, se-konyong2 suara kecapi dan seruling berubah keras, seketika seperti beberapa seruling dan beberapa kecapi berpadu suara sekaligus. Peng-lam sangat heran mengapa bisa datang orang sebanyak ini”
Waktu ia mengingip pula kesana, ternyata di situ masih tetap berduduk dua orang dan seorang lagi berdiri menunggu. Kiranya kedua pemain seruling dan kecapi itu benar2 sangat mahir sehingga se-olah2 dua orang bisa berubah menjadi empat orang dan empat berubah menjadi delapan.
Hanya sebuah alat tetabuhan bisa menimbulkan berbagai suara alat musik yang berbeda.
Darah Peng-lam serasa bergolak dan hampir saja ia tidak tahan dan ingin berdiri, mendadak suara teruling dan kecapi berubah lagi, sekarang suara seruling berubah menjadi irama pokok dan suara kecapi hanya sebagai suara pengiring saja. Akan tetapi suara kecapi juga semakin tinggi nadanya.
Secara tidak tahu apa sebabnya hati Peng-lam terasa pedih, waktu ia berpaling, dilihatnya Gi-lim sudah mengucurkan air mata.
Se-konyong2 terdengar suara mendering, senar kecapi putus beberapa jalur, seketika suara kecapi berhenti, segera pula seruling juga berhenti bersuara.
Seketika suasana menjadi bening, hanya kelihatan sang dewi malam menghias angkasa dan bayangan pohon di tanah "Wi-hiante," demikian terdengar seorang bicara dengan pelahan, "agaknya sudah takdir bahwa hari ini kita harus mati disini. Yang harus kusesalkan adalah tadi kakak tidak lebih cepat turun tangan sehingga mengakibatkan keluargamu menjadi korban kaum pengganas, sungguh hati kakak merasa sangat tidak enak.”
Lalu terdengar seorang lagi berkata: "Kita cukup paham perasaan masing2, untuk apa omong ha|2 ini . . .”
Dari suaranya segera Gi-lim tahu siapa pembicara kedua ini, segera ia membisiki Sau Peng-lam: " Itulah Wi Kay-hou, Wi-iusiok.”
Mengenai peristiwa yang berlangsung dikediaman Wi Kay-hou, sudah tentu Gi-lim dan Sau Peng-lam tidak tahu menahu, sekarang melihat Wi Kay-hou muncul di pegunungan sunyi ini, seorang lagi bicara tentang "kita sudah ditakdirkan mati disini segala serta segenap anggota keluargamu telah menjadi korban kaum pengganas", seketika mereka dibuat tercengang.
Terdengar Wi Kay-hou berkata lagi: "Orang hidup tidak lebih beruntung daripada mati, asalkan mendapatkan teman karib, biarpun mati aku tidak menyesal.”
Seorang lagi menanggapi: "Wi-hiante, dari nada serulingmu rasanya kau masih menyesalkan sesuatu, jangan2 karena puteramu si Wi Kin yang takut mati pada saat berbahaya itu kau anggap telah menodai nama baikmu." Wi Kay-hou menghela napas panjang, jawabnya: "Dugaan Kik-toako memang betul. Se-hari2 terlalu kumanjakan anak itu dan kurang memberi pelajaran, tak tersangka anak itu sedemikian pengecut.”
Yang dipanggil Kik-toako itu memang betul Kik Yang adanya. gembong Mo-kau yang menjadi gara2 itu.
Terdengar ia berkata: "Pengecut atau tidak, paling2 seratus tahun dan semuanya akan pulang kedalam tanah, apa bedanya" Yang salah ialah diriku. Sudah lama kusembunyi diatas rumah, seharusnya kuturun tangan lebih dini, kukira Wi-hiante tidak ingin bermusuhan dengan Ngotay-lian-beng hanya lantaran diriku, sebab itulah aku ragu2 untuk turun tangan. Siapa tahu ketua lima besar kalian itu tega bertindak sedemikian keji dan ganas.”
Wi Kay-hou termenung sejenak, ia menghela napas panjang, lalu berkata: "Orang2 awam macam mereka itu mana tahu keluhuran persahabatan kita melalui seni musik ini" Mereka suka mengukur orang lain dengan bajunya sendiri, dengan sendirinya mereka menyangka hubungan kita ini akan merugikan Ngo-tay-lian-beng dan kaum pendekar. Ai, memangnya juga tak dapat menyalahkan mereka bilamana mereka memang tidak paham. Kik-toako, Tay-cuy-hiat dipunggungmu terluka parah dan mengguncang urat nadi jantung bukan?”
"Ya, Tay jiu-in tokoh Say-koan memang lihay, tak tersangka waktu kusambut pukulan dahsyat itu dengan punggungku, karena kerasnya tenaga pukulan musuh juga menggetar putus urat nadi jantungku," ujar Kik Yang "Apabila sebelumnya kutahu Hiante juga sukar terhindar dari elmaut ini, secomot Hek hiat-sin-ciam itu kukira tidak perlu kuhamburkan sehingaa banyak menimbulkan korban orang yang tak berdosa, toh tiada gunanya bagi persoalannya.”
Tergetar hati Peng-lam mendengar nama "Hek-hiat-sin-ciam" atau jarum sakti darah hitam, pikirnya: "Apakah mungkin orang ini adalah tokoh Ma-kau" Cara bagaimana pula Wi-susiok bisa bersahabat dengan dia?”
Terdengar Wi Kay-hou tertawa, katanya; "Menimbulkan korban orang tak berdosa memang betul harus disesalkan.
Tapi lantaran itu kita dapat pula memainkan bersama satu lagu, selanjutnya di dunia ini tiada lagi paduan suara kecapi dan seruling seperti kita ini.”
Kik Yang menghela napas, katanya: "Memang betul, sejak jaman dahulu hingga sekarang, kuyakin tiada ahli musik lain yang dapat memainkan lagu 'Siau-go-yan-he”
(hina kelana) kita ini.”
"Ucapan Kik-toako memang betul, tapi mengapa engkau menghela napas?" tanya Wi Kay-hou. "Ah, tahulah aku, tentu engkau menguatirkan Fifi.”
Terkesiap hati Gi-lim: "Fifi" Jangan2 Fifi itulah yang dimaksudkannya?”
Benar juga, segera didengarnya suara Kik Fi-yan lagi berkata "Yaya (kakek), bilamana engkau dan kakek Wi sudah sembuh, biarlah kita meluruk kesana, akan kita bunuh habis segenap anggota Say-koan mereka untuk membalas dendam nenek Wi dan lain2.”
Se-konyong2 terdengar orang bergelak tertawa, habis itu dari balik batu padas sana melompat keluar sesosok bayangan, sinar hijau berkelebat, tahu2 seorang berdiri di depan Kik Yang dan Wi Kay-hou dengan pedang terhunus.
Siapa lagi dia kalau bukan jago Toa-jiu-in yang termashur dari Say-koan, yaitu Hui Pin adanya.
Dia mendengus, katanya: "Besar amat mulut anak perempuan ini, hendak membunuh habis segenap anggota Say-koan, masakah di dunia ini ada pekerjaan semudah itu?" Wi Kay-hou berbangkit dan berkata: "Hui Pin, kau sudah membunuh segenap anggota keluarga itu, orang she Wi juga mendekati ajal akibat pukulan kalian bertiga saudara seperguruan, sekarang apalagi yang kau kehendaki?”
Hui Pin ter-bahak2, katanya: "Anak perempuan ini bilang membunuh habis, maka kedatanganku ini hendak membikin habis2an.”
Tiba2 Gi-lim membisiki Peng-lam: "Fifi dan kakeknya telah menyelamatkan jiwamu, kita harus mencari akal untuk menolong mereka.”
Tanpa diminta memang Peng-lam sedang memikirkan akal yang sekiranya dapat digunakan menyelamatkan kedua penolongnya itu. Cuma pertama lantaran Hui Pin adalah tokoh Say-koan, biarpun dirinya tidak terluka juga bukan tandingannya. Kedua, Kik Yang adalah gembong Ma-kau, selama ini pihak Cing-pay dan Ma-kau tidak kenal kompromi, Lam-han juga memandang Ma-kau sebagai musuh, mana boleh sekarang dirinya membantu pihak musuh malah”
Karena pikiran inilah dia menjadi ragu2 den sukar mengambil keputusan.
Terdengar Wi Kay-hou berkata pula: "Orang she Hui, apapun kau tergolong tokoh ternama dari Beng bun-cingpay. Sekarang Kik Yang dan Wi Kay hou jatuh ditanganmu, mau bunuh boleh kau bunuh, mau gantung boleh kau gantung, matipun kami tidak menyesal. Tapi kalau kau menganiaya seorang anak perempuan apakah perbuatan ini pantas disebut gagah perkasa" " Fifi, lekas kau pergi saja!”
"Tidak, aku akan mati bersama Yaya dan kakek Wi.
tidak nanti kuhidup sendiri," jawab Fifi tegas.
"Lekas pergi, lekas!" seru Wi Kay-hou "Urusan orang tua tiada sangkut-pautnya dengan anak kecil seperti kau.”
"Tidak, aku tidak mau pergi," jawab Fifi.
"Sret-sret," mendadak ia melolos kedua bilah pedangnya dan mengadang di depan Wi Kay-hou.
Melihat Fifi melolos senjata, Hui Pin menjadi girang, ia pikir kebetulan baginya. Dengan tertawa ia lalu berkata: "Anak dara ini menyatakan hendak membunuh habis segenap anggota Say-koan kami, tampaknya dia benar2 ingin melaksanakannya.”
Tapi Wi Kay-hou lantas menarik tangan Fifi dan mendesaknya agar lekas lari saja. Namun luka dalamnya terlalu parah, ditambah lagi dia banyak mengeluarkan tenaga dalam ketika memainkan lagu "Hina Kelana" tadi, karena itulah hampir tak kuat dia memegang tangan anak dara itu. Maka dengan enteng saja Fifi dapat meronta lepas pegangan Wi Kay-hou Pada saat itulah cahaya hijau berkelebat, tahu2 pedang Hui Pin sudah menusuk kemukanya. Cepat pedang kiri Fifi menangkis, berbareng pedang kanan balas menusuk.
Hui Pin tertawa, pedangnya berputar dan menyampuk pedang kanan Fifi. Seketika lengan anak dara itu kesemutan dan pedang terlepas dari cekalan, Sekali putar dan menyendal lagi pedangnya, pedang kiri Fifi juga tergetar mencelat. Berbareng itu ujung pedang Hui Pin lantas mengancam dileher Fifi, katanya terhadap Kik Yang: "Kik-tianglo, akan kugunakan dulu mata kiri cucu perempuanmu, habis itu baru kupotong hidungnya dan menyayat . . .”
Mendadak Kik Fi-yan menjerit terus menubruk maju malah, ia sengaja menumbukkan lehernya ke ujung pedang musuh. Namun gerakan Hui Pin cukup cepat pedang sempat ditarik kembali sehingga tubuh Kik Fi-yan terus menumbuk kearahnya. Segera jari Hui Pin bekerja, bahu kanan anak dara itu tertutuk dan jatuh terguling.
"Hahahaha!" Hui Pia bergelak tertawa. "Orang jahat, ingin matipun tidak mudah. Biarlah kukorek dulu sebelah matamu." Segera ia angkat pedangnya dan benar2 hendak mencungkil mata Fifi.
"Tahan!" mendadak seorang membentak dibelakangnya.
Karuan Hui Pin terkejut, pikirnya: "Aneh, masa sama sekali aku tidak tahu ada orang berada di belakang?”
Ia tidak tahu bahwa sejak tadi Sau Peng-lam dan Gi-lim.
sudah sembunyi dibelakang batu tanpa bergerak sedikitpun, kalau tidak, mustahil dia tidak tahu ada orang merunduk ke belakangnya”
Cepat Hui Pin membalik tubuh dengan pedang siap melintang di depan dada, di bawah cahaya bulan tertampaklah seorang pemuda berdiri tegak di depannya dengan bertolak pinggang, sikapnya menghina tapi mukanya pucat pasi.
"Siapa kau?" tanya Hui Pin.
"Siautit Sau Peng-lam dari Lam-han., terimalah hormatku, Hui-susiok," kata Peng-lam sambil memberi hormat, namun badannya lantas tergeliat se-akan2 roboh.
Hui Pin mengangguk, ucapnya: "O, kiranya murid pertama Sau-suheng. Silahlah, tak perlu banyak adat Untuk apakah kau berada disini?”
"Siautit (kemanakan) terluka oleh murid Tang-wan dan sedang merawat lukaku di sini, beruntung dapat bertemu dengan Hui-susiok," jawab Peng-lam.
"Hm, kebetulan kemunculanmu," dengus Hui Pin.
"Anak dara ini adalah kaum jahat anggota Ma-kau dan pantas dibunuh, jika aku turun tangan sendiri disangka orang tua menganiaya anak kecil. boleh kau saja yang membunuh dia " " Sembari bicara iapun menuding kearah Kik Fi-yan.
Tapi Sau Peng-lam menggeleng, jawabnya. "Kakek anak dara ini bersahabat karib dengan Wi-susiok dari Thay-san-pay, kalau diurutkan dia masih lebih rendah satu tingkatan daripadaku, jika Siautit membunuh dia, tentu orang Kangouw juga akan menuduh orang Lam-han menganiaya anak kecil, bila tersiar tentu nama kami akan tercemar.
Lagipula Kik-cianpwe ini dan Wi-susiok sama terluka, jika kau aniaya anak kecil di depan mereka perbuatan ini kukira tidak pantas dilakukan oleh kaum ksatria kita. Tindakan demikian jelas2 tidak nanti dilakukan oleh murid Lam-han kami.”
Jelas di balik ucapannya dia ingin menyatakan bila apa yang tidak sudi diperbuat oleh orang Lam-han toh dilakukan juga oleh orang Say-koan, maka teranglah nilai Say-koan akan jauh di bawah Lam-han.
Seketika alis Hui Pin menegak, sorot matanya tampak buas, katanya: "Hah, kiranya diam2 kau pun bersekongkol dengan kaum siluman Ma-kau. Oya, tadi Wi Kay-hou juga bilang siluman she Kik ini telah mengobati lukamu dan menyelamatkan jiwamu, hm, tak tersangka anak murid utama Lan-han yang terhormat seperti kau juga menyerah kepada Mo-kau secepat ini"!”
Pedang yang dipegangnya tampak bergetar, Cahayanya gemerdep, tampaknya setiap saat hendak ditusukkan kearah Sau Pang-lam "Sau-hiantit," tiba2 Wi Kay-hou menyeletuk, "urusan ini tiada sangkut-pautnya dengan kau, tidak perlu kau ikut Campur. Lekas pergi saja, lekas, supaya kelak ayah angkatmu tak ikut mendapat kesulitan.”
Peng-lam ter-bahak2, jawabnya: "Wi-susiok, kita ini sok mengaku sebagai kaum pendekar dan bersumpah tidak hidup berdampingan dengan kaum jahat. Lalu apa artinya 'pendekar' itu. Menganiaya orang yang sudah terluka parah apakah perbuatan seorang pendekar" Hendak membunuh anak kecil yang tak sanggup melawan, apakah terhitung pendekar berbudi" Haha, apabila perbuatan2 macam begini sampai dilakukannya, lalu apa beda antara kaum pendekar dan kaum iblis jahat?”
"Perbuatan2 rendah begitu juga tidak sudi dilakukan oleh anggota agama kami yang kalian anggap sebagai agama iblis," kata Kik Yang tegas. "Saudara Sau, hendaklah kau pergi saja dan jangan ikut campur. Jika Say-koan ingin berbuat demikian, biarkan saja dia berbuat sesukanya.”
Peng-lam tertawa, katanya: "Mana aku mau pergi. aku justeru ingin tahu betapa hebat dan bijaknya Hui-tayhiap, pendekar besar kita dari Say-koan. jago Toa-jiu-in kita yang termashur ini.”
Habis berkata ia terus berpangku tangan dan bersandar pada pohon. Seketika timbul hasrat Hui Pin untuk membunuhnya, ucapnya dengan menyeringai: "Hm, kau kira dengan ucapanmu itu lalu dapat mengekang diriku agar tidak membunuh ketiga siluman ini" Hehe, jangan kau mimpi.
Membunuh tiga orang namanya membunuh, membunuh empat orang namanya juga membunuh, tidak ada bedanya bagiku." " Habis berkata ia lantas maju dua langkah kedepan Sau Peng-lam.
Meski dilihatnya Sau Peng-lam adalah ahli-waris kesayangan Kun-cu-kiam Sau Ceng-hong, betapa tinggi ilmu silatnya konon tidak dibawah tokoh utama golongan lain. Persoalan sekarang menyangkut nama baik pribadi Hui Pin sendiri dan Say-koan, jika sampai anak muda itu lolos tentu nama Say-koan akan runtuh habis2an, berbareng itu antara Lam-han dan Say-koan pasti juga akan terjadi bentrokan besar. Jalan yang baik hanya membunuh Sau Peng-lam itu untuk menghilangkan saksi hidup, dengan demikian bencana dikemudian haripun tidak perlu dikuatirkan lagi.
Melihat keberingasan orang, mau-tak-mau Peng-lam terkesiap juga, diam2 ia memikirkan akal untuk meloloskan diri, namun lahirnya dia tetap tenang2 saja dan berkata: "Hui-susiok, apakah kau pun akan membunuh diriku untuk menghilangkan saksi?”
"Hehe, kau memang pintar, tepat sekali ucapanmu,”
jengek Hu Pin sambil ter-kekeh2 dan mendesak maju pula.
Pada saat gawat itulah dari balik batu sana muncul pula seorang Nikoh muda jelita sambil berseru: "Hui susiok, lautan sengsara tak terbatas, mau berpaliag akan mencapai tepi. Saat ini baru timbul maksud jahatmu, tapi kejahatan nyata belum kau perbuat. Tahanlah kudamu di tepi jurang belum terlambat.”
Nikoh jelita ini bukan lain daripada Gi-lim. Padahal Peng-lam menyuruh dia sembunyi di belakang batu dan jangan bersuara. Tapi demi dilihatnya keadaan Sau Penglam sangat berbahaya, tanpa pikir panjang lantas tampil kemuka dan bermaksud menasehati Hui Pin supaya tidak melakukan kejahatan.
Hui Pin juga terkejut, tanyanya: "Kau orang Siong-san-pay bukan" Mengapa kau pun main sembunyi disini?”
Muka Gi-lim menjadi merah, jawabnya dengan tergegap2: "Aku .... aku. . . .”
"He, Gi-lim Cici, memang sudah kuduga engkau pasti berada bersama Sau-toako," seru Fifi, meski dia tertutuk dan hanya menggeletak tak bisa berkutik di tanah, tapi mulutnya bisa bicara. "Wah, engkau ternyata dapat menyembuhkan luka Sao-toako, cuma sayang .... kami semua ini segera akan mati.”
"Tidak," ujar Gi-lim sambil menggeleng. "Hui-susiok adalah ksatria besar, tokoh termashur, masa dia sampai hati mencelakai orang yang terluka parah dan nona kecil seperti kau?”
Fifi tertawa dingin, katanya. "Kau bilang dia tokoh termashur, ksatria apa?”
"Hui-susiok adalah tokoh terkemuka dari Say-koan yang memegang pimpinan Ngo-tay-lian-beng," tutur Gi-lim.
"segala sesuatu tentu akan dilakukannya dengan mengutamakan keluhuran budi dan bijaksana.”
Ucapan Gi-lim itu keluar dari lubuk hatinya yang tulus.
Maklumlah, dia memang polos dan belum tahu selukbeluknya orang hidup, setiap urusan selalu berpikir pada hal2 yang baik. Tapi bagi pendengaran Hui Pin, ucapannya itu dirasakan sebagai sindiran. Diam2 ia membatin: "Sekali mau berbuat harus sampai tuntas. Jika salah satu saksi hidup sampai lolos, maka selanjutnya nama baik orang she Hui pasti akan runtuh.”
Setelah tekadnya bulat, segera ia angkat pedangnya dan menuding Gi-lim. katanya; "Kau sendiri kan tidak terluka dan juga bukan anak kecil, tentunya dapat kubunuh kau bukan?" Keruan Gi-lim kaget, jawabnya sambil menyurut mundur: "Hahhh, aku .... aku .... mengapa hendak kau bunuh diriku?”
"Sebab kau berkomplot dengan siluman Mo-kau, jelas kau bersaudara dengan mereka. dengan sendirinya kau pun tak dapat kuampuni," kata Hui Pin sambil mendesak imaju dan mengangkat pedangnya hendak menusuk Cepat Sau Peng-lam melompat maju dan menghadang didepan Gi-lim, sambil berseru: "Lekas lari, Sumoay, pergilah mencari bantuan kepada Suhumu!”
Ia tahu tempat mereka berada itu sangat terpencil, sukar diketahui kemana akan menemukan Ting-yat Suthay.
Sebabnya dia menyuruh Nikoh jelita itu mencari bantuan pada gurunya hanya sebagai alasan untuk menyuruhnya lari saja.
Pedang Hui Pin bergerak, segera ia menusuk bahu kanan Peng-lam. Cepat Sau Peng-lam mengegos, tapi "sret-sret-sret", kembali Hui Pin menyerang tiga kali hingga Peng-lam mengelak dengan rada kelabakan.
Melihat itu, Gi-lim tidak tinggal diam, cepat ia melolos pedangnya yang patah itu dan menyerang Hui Pin. serunya: "Sau-toako, engkau terluka, lekas mundur!”
"Hahaha, Nikoh cilik telah goyang imamnya, rupanya kau terpikat oleh pemuda ganteng sehingga diri sendiri pun tak terpikir lagi," ejek Hui Pin ter-babak2-Mendadak ia membacok. Terpaksa Gi-lim menangkis, "trang", kedua pedang beradu dan pedang Gi-lim tergetar jatuh. Menyusul pedang Hui Pin lantas berputar balik dan mengancam ulu hati Gi-lim.
Serangan ini cepat lagi jitu, termasuk jurus serangan suatu ilmu pedang Say-koan.
Karena orang yang harus dibunuhnya berjumlah lima, meski selain Gi-lim, yang lain sama terluka parah dan tidak mampu melawan, tapi demi kebaikan sendiri agar tiada satupun yang sempat lolos, maka cara menyerangnya tidak kenal ampun lagi.
Gi-lim menjerit dan bermaksud melompat mundur, namun ujung pedang musuh sudah menyambar tiba.
Untung Sau Peng-lam keburu menubruk maju, segera ia mencolok kedua mata Hui Pin.
Dalam keadaan demikian, andaikan Hui Pin sampai membunuh Gi-lim, tapi mata sendiri juga harus menjadi korban. Terpaksa melompat mundur, namun pedangnya yang juga ditarik kembali sempat menyayat luka panjang dilengan kiri Sau Peng-lam.
Tubrukan Sau Peng-lam untuk menolong Gi-lim ini sesungguhnya dilakukan dengan nekat, seketika lukanya kambuh dan napas ter-sengal2, ia ter-guling2 akan roboh.
Cepat Gi-lim memeganginya, katanya dengan sendat: "Biarlah dia bunuh saja kita berdua!”
"Lekas. . . lekas kau lari. . ." ucap Peng-lam dengan ter-engah2.
"Tolol," omel Kik Fi-yan dengan tertawa. "Masa sampai saat ini belum lagi kau tahu isi hati orang" Dia menyatakan ingin mati bersamamu. . . .”
Belum habis ucapannya, dengan menyeringai Hui Pin telah mendesak maju dengan pedang terhunus.
Peng-lam merasa kusut pikirannya, ia heran sebab apa Gi-lim ingin mati bersamanya" Meski Nikoh itu utang budi padanya karena jiwanya pernah diselamatkan. tapi persahabatan merekapun baru berlangsung selama beberapa hari ini, paling2 cuma sesama saudara perguruan lima besar saja semua ini kan tidak perlu harus dibalas dengan mengorbankan jiwa segala”
Diam2 ia kagum terhadap anak murid Siong-san-pay yang berbudi dan setia kawan, Ting-yat Suthay dianggapnya benar2 tokoh yang hebat.
Dilhatnya Hui Pin lagi mendesak maju pula, pedangnya gemerdep menyilaukan mata. Selagi tokoh Say-koan itu hendak menyerang, tiba-tiba dari balik pohon Siong sana berkumandang suara kecapi yang rawan.
Suara kecapi itu sangat memilukan, seperti penuh rasa penyesalan dan seperti pula orang menangis sedih.
Menyusul suara kecapi itu menjadi bergemetar, nadanya berubah ter-putus2 seperti air hujan yang setitik demi setitik menetes diatas daun.
Tergetar hati Hui Pin, pikirnya: "Ah, Siau-sian-ya-uh Bok Jong-siong. si kakek kecapi ketua Thay-san-pay telah datang!”
Bok Jong Siong selain berjuluk "Khim-lo" atau kakek kecapi, juga terkenal dengan julukan "Siau-siang-ya-uh”
atau hujan gerimis dimalam sunyi, Julukan ini diberikan orang oleh karena bunyi kecapinya yang bernada sedih.
Suarra kecapi itu makin lama makin sedih, namun sejauh itu Bok Jong Siong, Bok-taysiansing tidak menampakkan diri. "Apakah Bok-taysiansing adanya?" seru Hui Pin "Mengapa tidak keluar untuk bertemu?”
Mendadak suara kecapi itu berhenti dari balik pohon Siong muncul sesosok bayangan tinggi kurus.
Sudah lama Sau Peng-lam kenal nama si kakek kecapi Bok-taysiansing, tapi belum pernah berjumpa. Dibawah cahaya bulan sekarang dapat dilihatnya perawakan kakek kecapi ini kurus kering, kedua pundaknya agak menjembul ke atas mirip orang yang mengidap sakit bengek atau asma.
Sungguh tak tersangka, ketua Thay-san-pay yang termashur, Suheng Wi Kay-hou yang disegani itu, ternyata seorang tua yang menyerupai orang sakit tebese begini.
Dengan tangan kiri menjinjing kecapi, Bok Jong-siong memberi salam kepada Hui Pin dan menyapa: "Hui-suheng, baik2kah Coh-bengcu?”
Melihat ketua Thay-san-pay ini tidak bermaksud jahat, pula diketahui selama ini dia tidak cocok dengan Wi Kayhou, maka Hui Pin lantas menjawab: "Terima kasih atas perhatian Bok-taysiansing Suko kami baik2 saja. Wi Kay-hou dari Thay-san kalian bergaul dengan Ma-kau dan bermaksud buruk terhadap Ngo-tay-lian-beng kita. menurut Bok-taysiansing, bagaaimana kita harus bertindak?”
"Harus dibunuh!" ucap Bok Jong-siong dengan dingin sambil melangkah kearah Wi Kay-hou dan begitu kata "bunuh" terucapkan, se-konyong2 cahaya tajam berkelebat, tangannya sudah memegang sebilah pedang panjang, sempit dan tipis, dimana sinar pedang gemerdep, tahu2 dada Hui Pin yang dituju.
Serangan ini cepat luar biasa, keruan Hui Pin kaget setengah mati, cepat ia melompat mundur, namun tidak urung dadanya sudah terluka, baju terobek dan darah mengucur. Kejut dan gusar Hui Pin, segera ia balas menyerang.
Tapi sekali sudah mendahului, serangan Bok Jong-siong yang lain susul menyusul menyambar tiba pula. Pedangnya yang tipis sempit itu, laksana ular gesitnya dan bergetar tiada hentinya menerobos kian kemari ditengah sinar pedang Hui Pin.
Mestinya Hui Pin bermaksud membentak dan memaki, namun serangan Bok Jong-siong teramat cepat sehingga dia terdesak dan tidak sempat buka mulut.
Kik Yang, Wi Kay hou dan Sau Peng-lam adalah ahli pedang, mereka menjadi kesima dan tercengang menyaksikan betapa lihay ilmu pedang Bok Jong-siong ini!.
Padahal selama berpuluh tahun Wi Kay-hou belajar bersama sang Suheng, tapi sama sekali tak diketahuinya ilmu pedang Suhengnya sedemikian bagusnya.
Tertampak tetesan darah menciprat diantara sambaran kedua pedang, Hui Pin melompat kian kemari dan menangkis sekuatnya, akan tetapi tidak pernah terlepas dari kurungan sinar pedang Bok Jong-siong.
Terlihat sekitar kedua orang itu sudah terciprat menjadi satu lingkaran darah. Mendadak Hui Pin menjerit dan melompat keatas, Sebaliknya Bok Jong-siong lantas menarik pedangnya dan melompat mundur, pedang dimasukkannya ketengah kecapi, lalu putar tubuh dan melangkah pergi. Lagu "Siausian-ya-uh" tadi bergema pula dari balik pohon sana dan makin lama makin jauh . , , .
Setelah melompat keatas tadi, tahu2 Hui Pin lantas jatuh terkapar, darah menyembur keluar dari dadanya laksana air pancuran.
Kiranya dalam pertarungan sengit tadi sekuatnya dia mengerahkan tenaga dalam untuk menghadapi serangan Bok Jong-siong yang lihay itu, setelah dadanya tertusuk pedang, tenaga dalamnya belum lagi hapus sehingga darah terdesak keluar melalui luka tusukan pedang. Keadaannya menjadi seram dan misterius.
Gi-lim memegangi lengan Sau Peng-lam, jantungnya berdebar2. Meski sudah ber-tahun2 ia belajar silat, tapi belum pernah menyaksikan pembunuhan secara mengerikan begini. Sementara itu Hui Pin sudah terkapar bermandi darah dan tidak bergerak, jelas sudah binasa.
"Wi-hiante," ucap Kik Yang dengan gegetun, "pernah kau katakan padaku bahwa antara kau dan Suhengmu tiada kecocokan, tak tersangka pada saat kau menghadapi bahaya dia turun tangan menyelamatkan dirimu.”
"Tindak-tanduk Suhengku memang aneh dan sukar diduga," kata Wi Kay-hou. "Ketidak cocokanku dengan dia juga bukan urusan kaya dan miskin, hanya soal watak saja yang berbeda.”
Kik Yang menggeleng. katanya: "Ilmu pedangnya sedemikian hebat, kecapi yang dibunyikannya justeru sedemikian sedihnya dan mengharukan orang, rasanya terlalu kampungan.”
"Memang begitulah sifat Suko," kata Wi Kay-hou, "Ber-ulang2 begitulah lagu yang dibawakannya, nadanya selalu sedih memilukan. Bila mendengar suara kecapinya, rasanya aku ingin menghindarinya jauh2.”
Diam2 Peng-lam membatin: "Kedua orang ini benar2 sudah keranjingan seni musik, pada saat gawat antara mati dan hidup begini mereka masih bicara tentang lagu segala.”
Terdengar Wi Kay-hou berkata pula: "Tapi bila bicara tentang ilmu pedang jelas aku ketinggalan jauh, se-hari2 aku memang kurang hormat kepadanya, jika dipikir sekarang, sungguh aku merasa menyesal dan malu.”
Kik Yang meng-angguk2, katanya: "Ketua Thay-san-pay memang benar2 tidak bernama kosong.”
"Yaya, hendaklah kau buka Hiat-toku dan marilah kita pergi saja," tiba2 Fifi berseru.
Kik Yang berusaha bangun, tapi baru tubuh bagian atas menegak, dengan lemas ia jatuh berduduk lagi. katanya dengan menggeleng: "Ai, aku tidak sanggup." Tiba2 ia berpaling kepada Sau Peng-lam dan berkata: "Adik cilik, ada satu hal ingin kumohon bantuanmu, entah engkau mau menerima atau tidak?”
"Permintaan apapun pasti akan kulaksanakan," jawab Peng-lam.
Kik Yang memandang Wi Kay-hou sekejap, lalu berkata: "Aku dan Wi-hiante sama mabuk seni suara sehingga lupa daratan, hasil pemikiran kami selama beberapa tahun adalah menciptakan sebuah lagu 'Siau-go-yan-he'. Kami yakin lagu ini sangat hebat dan belum pernah ada sejak dahulu hingga sekarang. Selanjutnya sekalipun didunia ini mungkin terdapat manusia seperti Kik Yang, tapi belum tentu akan muncul pula seorang Wi Kay-hou, se-umpama ada juga manusia seperti Kik Yang dan Wi Kay-hou juga belum tentu dapat terlahir pada jaman yang sama. Apalagi keduanya harus mahir seni suara dan paham ilmu Lwekang, keduanya harus mempunyai hobi yang sama dan bersahabat karib untuk ber-sama2 menciptakan lagu ini, kukira maha sukar untuk bisa terjadi. Sekarang lagu ini akan tamat bersama dengan kepergian kami berdua, di alam bakapun kami akan merasa menyesal karena hasil ciptaan kami harus ikut musnah.”
Sampai disini dia lantas merogoh saku dan mengeluarkan sejilid buku kecil, lalu sambungnya pula: "Inilah buku lagu Siau-go-yan-he yang kumaksudkan, Wi-hiante juga memegang satu buku. Kuharap adik cilik suka mengingat jerih-payah kami dan sudi kiranya menyimpan kitab lagu ini untuk dicarikan ahli-warisnya yang mau mempelajari lagu ini.”
Wi Kay-hou juga lantas mengeluarkan satu buku yang serupa, katanya: "Bila lagu ini dapat tersebar didunia, matipun kami dapat tenteram di alam baka.”
"Kedua Cianpwe jangan kuatir, sekuat tenaga Wanpwe pasti akan melaksanakan pesan kalian." dengan hormat Peng-lam lantas menerima kedua jilid buku itu.
Ketika Kik Yang ingin minta bantuannya, semula Penglam menyangka pasti urusan yang sulit dan berbahaya, tidak tahunya cuma menyuruhnya mencari dua orang untuk belajar main kecapi dan meniup seruling, sudah tentu urusan ini terlalu mudah baginya.
Kik Yang menghela napas, katanya "Adik cilik, engkau adalah murid dari perguruan ternama, seharusnya tidak pantas kuminta bantuanmu, tapi urusannya sudah sangat mendesak, terpaksa mesti membikin susah padamu, harap suka memberi maaf,"_ lalu ia berpaling kepada Wi Kay-hou dan berkata pula: "Saudaraku, sekarang bolehlah kita pergi dengan lega,”
Wi Kay-hou mengiyakan, ia menjulurkan ke dua tangannya, kedua orang bergandeng tangan dan sama terbahak, lalu memejamkan mata dan mangkat untuk selamanya. Peng-lam terkejut, serunya: "He, Cianpwe, Wi-susiok!”
" Waktu ia periksa pernapasan kedua orang itu, ternyata sudah berhenti.
Melihat air muka Siu Pang-lam yang terkejut itu, Kik Fiyang menjadi sangsi, cepat ia berseru: "Yaya, Yaya!”
Peng-lam menggeleng dengan sedih.
"O, Yaya sudah meninggal?" seru Fifi dengan suara gemetar Dilihatnya Peng-lam tetap diam saja, maka yakinlah dia sang kakek memang sudah mati, meledaklah tangisnya. Gi-lim memeluk anak dara itu dan pelahan2 mengurut tubuhnya yang tertutuk tadi. Tapi tutukan Hui Pin itu cukup berat, kekuatan Gi-lim terbatas, seketika dia tidak sanggup membuka Hiat-to Fifi yang tertutuk itu.
Peng-lam cukup berpengalaman dan luas pengetahuannya, ia berkata: "Siausumoay, lekas kita menanam mayat ketiga orang ini agar tidak dilihat orang sehingga menimbulkan perkara lain lagi. Tentang terbunuhnya Hui Pin oleh Bok-taysiansing hendaklah jangan sampai tersiar sedikitpun.”
Sampai disini. ia menahan suaranya dan mendesis: "Apabila peristiwa ini sampai bocor dan tersiar, tentu Bok-taysiansing tahu kita bertiga inilah yang menyiarkannya dan pasti akan mendatangkan bencana bagi kita.”
"Betul," kata Gi-lim. "Tapi kalau Suhu tanya padaku, lantas kukatakan atau tidak?”
"Siapapun tidak boleh kau katakan," ujar Peng-lam.
"Kalau kau katakan, bila Bok-taysiansing kemudian mengajak bertanding pedang dengan gurumu, kan bisa runyam?" Betapa lihay ilmu pedang Bok Jong-siong sudah disaksikan Gi-lim sendiri, diam2 ia merasa ngeri, maka ia berkata pula: "Baiklah, takkan kukatakan.”
Pelahan Pang-lam menjemput pedang Hui Pin yang terjatuh tadi. segera ia menikam lagi belasan kali ditubuh Hui Pin yang sudah tidak bernyawa itu.
Gi-lim merasa tidak tega, katanya: "Toa ....Toako, dia sudah mati, untuk apa kau merusak. mayatnya?”
Peng-lam tertawa. jawabnya: "Pedang Bok-taysiansing tadi sangat sempit dan tipis, bagi seorang ahli tidaklah sulit untuk menarik kesimpulan siapa yang berbuat setelah memeriksa luka Hui-susiok ini. Jadi tujuanku bukan untuk merusak mayatnya, tapi ingin kubuat jenazahnya terluka sedemikian banyak dan sukar diketemukan sesuatu tanda yang dapat dijadikan petunjuk pengusutan.”
Gi-lim menghela napas, pikirnya: "Di dunia Kangouw kiranya masih banyak liku2 begini, sungguh menjadi orang memang tidak mudah.”
Ketika dilihatnya Peng-lam telah membuang pedangnya.
lalu mengangkat batu dan dilemparkan ke mayat Hui Pin, cepat Gi-lim berseru: "Kau jangan banyak bergerak, silakan berduduk saja, biar aku yang melakukannya.”
Dia lantas mengangkat potongan batu dan ditaruh pelahan di atas jenazah Hui Pin, begitu hati2 se-akan2 mayat itu masih punya daya rasa dan kuatir membikin sakit padanya.
Peng-lam sendiri memang merasakan lukanya kesakitan pula, terpaksa ia berduduk bersandar batu, ia coba membalik2 kitab ajaran main kecapi tinggalan Kik Yang tadi.
Dilihatnya pada belasan halaman pertama adalah petunjuk cara bersemadi, lalu ada lagi berbagai lukisan badan manusia yang penuh gsris2 tanda urat nadi, halaman selanjutnya adalah petunjuk2 ilmu menutuk dan ilmu pukulan. setelah lebih 20 halaman barulah mulai pelajaran menabuh kecapi. Setengah buku bagian belakang hampir seluruhnya terdiri dari huruf2 aneh yang tidak dipahaminya. Dalam hal tulis menulis, pengetahuan Peng-lam memang sangat terbatas, ia tidak tahu bahwa tanda nada kecapi itu memang ditulis dengan hurup aneh, ia masih menyangka tulisan itu adalah huruf Tiongkok kuno yang tidak dikenalnya. Maka tanpa pikir ia masukkan kedua jilid buku itu dalam bajunya. Lalu berkata kepada Gi-lim: ' Siausumoay, setelah kau beristirahat, hendaklah kau kubur sekalian jenazah Kik-tianglo dan Wi-susiok.”
Gi-lim mengiakan.
Fifi kembali menangis demi mendengar jenazah sang kakek akan dikubur.
Gi-lim ikut terharu melihat betapa sedih tangisan anak dara itu, iapun mencucurkan air mata.
Peng-lam menghela napas panjang, pikirnya: "Demi persahabatan, Wi-susiok rela mengorbankan segenap anggota keluarganya. Meski sahabatnya adalah Tianglo dari Mo-kau, tapi keduanya sama2 berjiwa luhur dan setia kawan, keduanya tidak malu disebut sebagai lelaki sejati, sungguh sangat mengagumkan dan pantas dihormati,”
Baru saja berpikir demikian, tiba2 dilihatnya di barat-laut sana cahaya hijau berkelebat, ia merasa cukup kenal cahaya hijau demikian, jelas ada tokoh terkemuka perguruan sendiri sedang bertempur dengan orang Terkesiap hati Peng-lam, cepat ia berkata: "Siausumoay, hendaklah kau temani Fifi dan menunggu sebentar disini, kupergi sejenak dan segera akan kembali.”
Gi-lim tidak melihat cahaya hijau tadi, disangkanya Peng-lam hendak pergi buang air kecil, maka tanpa ragu ia mengangguk.
Dengan ranting kayu sebagai tongkat penyangga, Penglam terus melangkah ke depan, sebelumnya ia sempat menjemput pedang tinggalan Hui Pin dan diselipkan dipinggang, lalu menuju kearah datangnya sinar hijau tadi.
Tidak lama kemudian, sayup2 didengarnya suara nyaring benturan senjata, jelas sedang terjadi pertarungan sengit. Diam2 ia membatin: "Siapakah tokoh angkatan tua perguruan sendiri yang sedang bergebrak dengan orang”
Agaknya cukup sengit pertempuran mereka, nyata pihak lawannya juga tokoh kelas tinggi.”
Dengan mendak tubuh pelahan2 ia menunduk kesana.
Didengarnya suara benturan senjata itu jaraknya sudah dekat, ia sembunyi di balik pohon, lalu mengintip ke depan sana.
Di bawah sinar bulan dilihatnya seorang Susing (kaum terpelajar) berpedang berdiri gagah di tengah kalangan, siapa lagi kalau bukan ayah-angkatnya, yaitu Sau Cenghong. Lawannya adalah seorang lelaki pendek gemuk dan sedang mengitar dengan cepat luar biasa, senjatanya berbentuk golok melengkung, ia membacok dengan cepat sembari berlari, setiap berlari satu lingkaran sedikitnya belasan kali dia membacok. Si pendek gemuk ini ternyata Hong-hoa-wancu Ciam tay Cu-ih adanya.
Melihat ayah-angkatnya sedang bertempur dengan orang, lawannya adalah satu di antara Su-ki atau empat kosen, seketika Peng-lam ikut bersemangat.
Dilihatnya gerak-serik sang ayah angkat sangat tenang dan mantap, setiap kali diserang Ciamtay Cu-ih selalu ditangkisnya dengan seenaknya, meski Ciamtay Cu-ih berputar kebelakangnya, dia tidak ikut berputar melainkan cuma berjaga dengan ketat.
Ciamtay Cu-ih masih terus menyerang tanpa berhenti, gerak goloknya juga semakin cepat, namun Sau Ceng-hong tetap bertahan saja tanpa balas menyerang.
Kagum sekali Peng-lam, pikirnya: Gihu (ayah angkat) berjuluk Kun-cu-kiam. beliau memang sabar dan sopan, sekalipun sedang bertempur juga tiada sikap garang sedikitpun Sebabnys Gihu tidak perlu naik pitam adalah karena ilmu pedangnya terlebih tinggi daripada ilmu golok lawan. ini bukan lantaran sengaja berlagak, tapi memang Kungfunya yang teramat tinggi.
Sau Ceng-hong memang jarang bertarung dengan orang, biasanya Peng-lam hanya melihat sang guru dan ibu-guru bergebrak untuk memberi contoh kepada anak muridnya.
dengan sendirinya gebrakan begitu tidaklah sungguh2, jelas berbeda dengan pertarungan sengit yang mendebarkan ini.
Tertampak setiap kali Ciamtay Cu-ih menyerang, goloknya selalu membawa deru angin yang keras, betapa tenaga dalamnya sungguh sangat mengejutkan. Diam2 Peng-lam membatin: "Selama ini aku sok memandang rendah ilmu silat Tang-wan, siapa tahu si gemuk buntak ini sedemikian lihaynya, andaikan aku tidak terluka juga pasti bukan tandingannya. Lain kali bila kebentrok dengan dia perlu berlaku hati2 atau lebih baik menghindari saja.”
Setelah menonton lagi sekian lama, dilihatnya Ciamtay Cu-ih semakin cepat berputar sehingga berwujut satu lingkaran putih mengintari Sau Ceng-hong, benturan senjata yang nyaring itu, lantaran terlalu cepat dan kerapnya sehingga bunyinya tidak lagi "trang-tring”
melainkan berubah menjadi rentetan suara berdering.
Diam2 Peng-lam terkesiap, ia pikir bila serangan secepat itu ditujukan kepadanya. mungkin satu kali saja ia tidak mampu menangkis dan tubuhnya bisa tercacah oleh golok lawan. Dilihatnya sang guru tetap tidak melancarkan serangan balasan mau-tak-mau ia menjadi kuatir padahal serangan si buntak sedemikian cepatnya, bila lengah sedikit saja bisa jadi sang guru akan dikalahkannya.
Mendadak terdengar suara "creng" yang sangat keras, secepat anak panah Ciamtay Cu-ih melayang mundur, lalu berdiri tegak, entah sejak kapan goloknya yang melengkung itu sudah dimasukkan kesarungnya, ia berdiri tanpa bicara.
Peng-lam terkejut, cepat ia pandang sang guru, terlihat pedang orang tua itupun sudah disimpan dan juga berdiri tanpa bersuara.
Meski Peng-lam yakin pada pandangannya sendiri yang cukup tajam, tapi ia merasa tidak dapat melihat pertarungan ini sesungguhnya dimenangkan oleh siapa. entah siapa pula yang terluka- Tiba2 terdengar Sau Ceng-hong berkata: "Kalah-menang belum jelas, bagaimana kalau kita bertempur seribu jurus lagi?”
Ciamtay Cu-ih menggeleng, jawabnya dengan tersenyum getir: "Tidak, aku mengaku kalah saja.”
"Sungguh tidak mudah untuk mendapatkan pengakuan Anda ini," ujar Sau Ceng-hong dengan tersenyum.
Ciamtay Cu-ih menggreget, katanya pula: "Ku-kira kaupun tidak perlu bangga. Selama berpuluh tahun untuk pertama kali inilah aku mengaku kalah padamu, yang kumaksudkan hanya tenaga dalam saja, soal permainan golokku tetap tidak kalah sedikit pun daripada permainan pedangmu. Mengenai tenaga dalam, harus kau maklumi bahwa selama belasan tahun aku menggeletak di tempat tidur sehingga latihanku telantar, makanya sekarang aku kalah kuat.”
Kiranya suara "creng" yang keras tadi akibat benturan golok dan pedang, hampir saja golok sabit Ciamtay Cu-ih terlepas dari cekalan, ia tahu bila pertarungan dilanjutkan mungkin tenaga untuk memegang golok saja akan habis.
Jelas tenaga dalam pihak lawan terlebih kuat daripada dirinya, sesungguhnya sejak tadi goloknya sudah dapat dibikin terpental, tapi pihak lawan sengaja mengalah padanya, jika dirinya tidak bisa melihat gelagat, bukan mustahil nanti akan jatuh sungguh2.
Sebab itulah, setelah suara mendering tadi cepat ia menarik kembali senjatanya dan melompat keluar gelanggang pertempuran.
Sudah tentu Sau Ceng-hong tahu tenaga dalam lawan bukan tandingan dirinya, segera iapun menyimpan kembali pedangnya dan membiarkan pihak lawan menyatakan kalah sendiri. Dan sekarang Ciamtay Cu-ih benar2 menyerah kalah, bahkan menyinggung sebab musabab kekalahannya.
Tentang apa sebabnya selama belasan tahun Ciamtay Cu-ih menggeletak di tempat tidur sehingga Lwekangnya telantar. Hal ini tidak menarik bagi Sau Ceng-hong, maka iapun tidak bertanya, hanya ditanyakan: "Dimana Sau Kim-leng?”
"Hm, kau Kira setelah aku mengaku kalah padamu, lalu akan kuserahkan dia padamu?" jengek Ciamtay Cu-ih "Tiada gunanya kau menawan anak dara itu," ujar Ceng-hong. "Kutahu maksud tujuanmu, mungkin kau tidak tahu bahwa keluarga Sau kami, baik Sau dari Lam-han maupun Sau dari Pak-cay, ilmu pedang yang tertinggi tidak diajarkan kepada anak perempuan melainkan cuma diturunkan kepada anak lelaki. Ini memang pesan khusus tinggalan leluhur dan tidak mungkin dilanggar oleh saudara sepupuku si Cing-in. Tidak nanti ia mengajarkan Siang-liu-kiam-hoat kepada Kim-leng. Jadi kalau kau ingin mendapatkan Siang-liu-kiam-hoat dari nona itu, jelas kau akan kecewa.”
"Biarpun begitu tetap akan kubawa dia pulang ke Tang-hay (lautan timur)," kata Ciamtay Cu-ih tegas.
"Buat apa susah payah begitu?" ujar Ceng-hong pula "Tentu kau tahu, dia adalah kemenakan perempuanku, adalah kewajibanku untuk melindungi dia dan tidak nanti kubiarkan dia dibawa ke Tang- hay, sungguh tidak kuharapkan kita akan cekcok hanya karena urusan kecil ini." Mendadak Ciamtay Cu-ih bergelak tertawa, begitu berhenti tertawa ia lantas menggeleng dan berkata: "Sungguh tidak nyana kau bisa memperhatikan anak perempuan Sau Ceng in.”
"Betapa pun dia kau kemenakanku," kata Ceng-hong.
"Apalagi kau hendak memaksa dia berjanda selama hidup, sekalipun puteri musuh juga pasti akan kubela dia bila kau perlakukan dengan tidak se-mena2.”
"Hm, Pak-cay dan Lam-han selama tiga turunan selalu bermusuhan bukan?" jengek Ciamtay cu-ih.
"Ya, itu memang fakta," jawab Ceng-hong, "Tapi permusuhan yang sesungguhnya berawal dari kakekku dan kakek Ceng-in. Selama dua turunan berikutnya permusuhan ini sudah mulai luntur diantara kedua keluarga kami, meski kedua keluarga masih saling bermusuhan. tapi bukan permusuhan mati2an lagi, apalagi sekalipun puteri musuh besar, bila menghadapi keadaan begini juga pasti akan kubela." "Keadaan apa maksudmu?" dengus Ciamtay Cu-ih.
"Apakah kau tuduh aku memaksa seorang anak perempuan berjanda selamanya bagi anak lelakiku?”
"Betul," jawab Ceng-hong tegas "Anakmu mcemaksa hendak mengawini dia, sedangkan kau paksa dia berjanda selama hidup, jeias semua ini perbuatan tidak pantas.
Apabila sebelumnya diantara kalian ada ikatan jodoh masih dapat dimaklumi, tapi kalian hanya main paksa saja secara se-wenang2.”
Ciamtay Cu-ih tidak menanggapi urusan itu lagi, tapi bicara soal lain, katanya: "Kedatanganku ke Tionggoan ini memang juga tidak sia2, bcgitu mendarat segera kudengar sesuatu berita menarik, entah betul entah tidak?”
"Berita apa?" tanya Ceng-hong dengan air muka rada berubah.
"Bahwa Sau Ceng-in telah muncul pula di dunia Kangouw," kata Ciamtay Cu-ih.
"Hanya desas desus saja, belum dapat dibuktikan.”
"Tanpa angin takkan timbul gelombang, Sau-heng, kukira engkau perlu ber-jaga2.”
"Ber-jaga2 apa" Apa yang perlu kutakuti" Jika dia betul2 masih hidup didunia ini. persoalan kita akhirnya toh harus diselesaikan, paling2 cuma. . . .”
"Bagus, Sau-heng memang hebat, semangat tak gentar matimu inilah yang kukagumi," sela Ciamtay Cu-ih.
"Cuma, numpang tanya, bila betul Sau-heng tidak takut mati, mengapa engkau malah menolong puteri musuh”
Apakah untuk memikat hatinya atau akan kau gunakan sebagai Hou-sin-hu (jimat penyelamat diri)?”
Ceng-hong tidak menjawabnya, air mukanya pelahan2 berubah pucat menghijau.
Ciamtay Cu-ih ter-gelak2, katanya pula: "Ah, di depan sahabat lama, hendaklah bersabar sedikit, janganlah dari malu menjadi marah.”
Sau Ceng-hong memang benar seorang sabar, mendengar itu, air mukanya kembali tenang.
Merasa di atas angin, segera Ciamtay Cu-ih maju satu langkah lagi, ia ter-bahak2 dan berkata: "Hahaha, tentang kejadian yang kau katakan, kukira perlu berubah sedikit.
Hehehe, membela kaum lemah apa segala, enak sekali kedengarannya, tapi sayang. di depanku tidak nanti maksudmu dapat tercapai.”
"Terserah apa yang akan kau katakan, mencari muka atau menjadikan dia jimat penyelamatku sendiri juga boleh, pendek kata sudah pasti aku akan membela arak dara itu dan pendirianku ini tak dapat ditawar lagi." ucap Sau Ceng-hong dengan tegas.
Bahwa Ceng-hong bisa bersikap keras hal ini rada diluar dugaan Ciamtay Cu-ih, ia melengak, katanya kemudian, sambil menggeleng kepala: "Tidak tidak boleh jadi!”
"Jika begitu, terpaksa jangan menyalahkan aku bertindak kasar," kata Ceng-hong.
Cepat Ciamtay Cu-ih berkata: "Percuma kau mengaku sebagai tokoh terkemuka kaum pendekar, mengapa kau cuma memikirkan kepentinganmu sendiri" Padahal kau harus tahu, andaikan Sau Ceng-in betul masih hidup didunia, kan aku juga ingin mengunakan anak perempuannya sebagai jimat penyelamat diriku" Bila kuincar Siang-liu-kiam-boh dari anak dara itu, bukankah tujuanku juga untuk menghadapi Siang-lui-kiam-hoat musuh kita ber-sama2. Kalau Siang-liu-kiam-bob tidak kuperoleh siapa pula yang dapat mematahkan ilmu pedangnya yang maha hebat itu, makanya . . . .”
Mendadak Sau Ceng hong bergelak tertawa.
Selagi Peng-lam heran mengapa sang guru bisa tertawa, apanya yang perlu dibuat gembira hanya memperebutkan seorang sendera" Diam2 ia merasa sedih bagi kepribadian sang guru dan juga ayah-angkatnya itu.
Tak tersangka Ceng-hong bahkan berkata pula: "Manusia yang tidak berbuat untuk kepentingan diri sendiri tentu akan celaka sendiri, kukira Ciamtay-heng sependapat bukan" Sayang kau bukan tandinganku, pasti akan kusikat kau, jimat penyelamat diri itu pun pasti akan kuminta.”
Diam2 Peng-lam menggeleng kepala. sungguh ia tidak percaya sang ayah-angkat adalah manusia serendah ini”
-ooo0dw0ooo-