Bab 18
Namun pada detik yang menentukan itulah, tiba2 terdengar dibelakang sana ada suara gerengan tertahan, mendengar itu, seketika tangan Ti Put-cian tergetar dan tanpa Hong san Koay Khek “
merasa gemetar.
Sebaliknya semangat Lou Jun-yan menjadi terbangun, ketika ia pandang kedepan, ia lihat si orang aneh yang selama ini selalu mengintil dibelakangnya itu sudah berada lagi disitu tidak jauh dari Ti Put-cian.
Sementara itu terdengar suara mencicit nyaring dua kali, dua butir batu kecil secepat kilat telah menyambar, sebutir kearahnya dan yang lain menuju pergelangan tangan Ti Put-cian.
Segera Jun-yan merasa pinggangnya kesemutan, nyata ia sudah tertutuk oleh sambitan batu kecil itu hingga badannya berdiri kaku disitu.
Berbareng itu mendadak tampak tangan Ti Put-cian sedikit ditarik, namun sudah terdengar suara Ting yang nyaring, batu kecil tadi tepat kena diatas jari tunggalnya yang berselongsong emas itu, tangannya tergetar pegal, cekalannya kendor dan pedang Tun-kau-kiam terjatuh ketanah.
Kejadian2 itu berlangsung dalam sekejap saja, kalau pedang Ti Put-cian tadi sempat diulurkan sedikit lagi, pasti tubuh Jun-yan akan tertembus atau jika melompat mundur tentu akan ditelan lumpur serta sarang labah-labah di gua sebelah bawahnya itu.
Syukurlah saking jeri terhadap orang aneh itu, begitu muncul lantas Ti Put-cian gemetar ketakutan dan sesudah pedangnya jatuh ketanah, orangnya terus melompat kesamping.
Mendadak orang aneh itupun putar tubuh dan melontarkan sekali pukulan dari jauh, begitu keras angin pukulannya hingga debu berhamburan didalam gua itu, lekas2 Ti Put-cian jatuhkan diri kesamping pula dan dengan cepat menggelundung pergi sampai 7-8 kaki jauhnya.
Habis ini cepatan saja ia merangkak bangun terus berlari sipat kupingnya keluar gua sana.
Manusia aneh itupun tidak mengejar, dengan mulutnya ternganga sambil mengeluarkan suara.
Ah ah dia mendekat Jun-yan serta menuding2 kebelakang si gadis.
Untuk sejenak Jun-yan merasa bingung, tapi kemudian iapun paham akan maksud orang sebabnya menyambitkan batu menutuk jalan darahnya ialah kuatir kalau dia melompat kebelakang hingga terjerumus kedalam gua yang lebih besar itu.
Tapi segera ia menjadi heran pula, terang mata orang aneh ini sudah buta mengapa justru tahu ada gua yang menurun dibelakangnya dengan sarang labah2 beracun itu “ Kenapa terhadap keadaan dalam gua ini orang seperti apal betul” Sedang dia memikir, sementara itu orang aneh ini sudah mendekatinya serta menepuk perlahan dipundaknya untuk melancarkan jalan darahnya.
Hong san Koay Khek “
Tatkala mula2 Jun yan melihat manusia aneh ini, ia merasa rupa orang lebih mirip setan daripada manusia.
Tapi kini kalau dibandingkan Ti Put-cian yang berwajah cakap ganteng itu namun berhati palsu dan keji, ia merasa muka si orang aneh ini tiba2 seperti muka yang penuh welas asih.
Banyak terimakasih atas pertolonganmu tadi, kata Jun-yan kemudian sambil menjemput Tun-kau-kiam yang jatuh ditanah ditinggalkan Ti put-cian tadi.
Walaupun tusukan Ti Put-cian tadi gagal mencelakai Jun-yan, namun sejak inilah corak asli pemuda yang berhati palsu dan berjiwa keji itu sudah dapat diketahui si gadis.
Sejak kecil Jun-yan sudah berada dibawahan asuhan gurunya, Thong-thian-sinmo Jiau Pek-king, maka pengaruh jiwa sang guru itu menjadikannya enteng pikir, mudah menerima dan gampang melepas.
Sungguhpun tadinya hati kecilnya mulai bersemi cinta pada Ti Putatannya yang rendah' ia malah bersyukur dapat mengetahui kepalsuan orang sebelum terlambat.
Sementara itu si orang aneh masih ah ah uh uh tak jelas apa yang hendak dikatakannya.
Melihat itu, hati Jun-yan menjadi terharu dan merasa kasihan, dengan suara lembut ia menanya : Paman aneh, aku tidak mengerti apa yang hendak kau katakan.
Akupun tidak kepingin jadi kepala orang-orang Biau segala, marilah kau ikut aku pulang ke Jin-sia-san, nanti kumohon Suhu agar mencarikan tabib terpandai untuk menyembuhkan kau” Tapi orang aneh itu hanya miringkan kepalanya seperti mendengarkan, sesudah Jun yan selesai bicara, kembali dari tenggorokannya keluar pula suara gerengan tertahan yang susah dimengerti apa maunya.
Marilah paman aneh, kita pergi saja, ujar Jun-yan sambil melangkah maju.
Diluar dugaan, baru beberapa langkah, mendadak si orang aneh itu merintangi sembari tarik lengannya dan diseretnya pergi cepat.
Semula Jun-yan terkejut, tapi mengingat ia selalu melindungi dirinya, rasanya tidak nanti bermaksud jahat, maka iapun tidak melawan dan membiarkan dirinya dibawa kembali kedalam kamar batu itu.
Sesudah berada didalam kamar batu itu, segera orang aneh itu lepaskan si gadis terus me-raba2 kedinding kamar itu, Sampai suatu sudut, tiba2 ia berhenti, lalu terdengar pula ia menggereng tertahan, ia mencengkeram dengan jarinya, tahu2 bubuk dinding ditempat itu berhamburan, ternyata sebuah lubang kecil Hong san Koay Khek “
tembus kena terkamannya itu.
Sungguh tidak kepalang terkejutnya Jun-yan melihat betapa lihai tenaga jari orang.
Sedang Jun-yan ternganga kagum, sekonyong-konyong orang aneh masukan tangannya kedalam lubang kecil itu, ketika ia tarik sikutnya, dibarengi suara gemuruh yang keras, tahu-tahu sepotong batu besar dinding itu telah kena disingkirkan hingga berwujut sebuah lorong yang menurun.
Jun-yan bertambah kaget, namun saat itulah si orang aneh itu telah baliki badannya terus pegang pundak si gadis, dan sebelah tangan lain mengangkat pinggangnya hingga tubuhnya terangkat naik.
He, he, apa2an ini ! teriak Jun-yan sambil kedua kakinya meronta2.
Namun orang aneh itu tak memperdulikannya, tubuh Jun-yan tetap diangkat dan dimasukkan kedalam lubang besar itu dan terus didorong sekuatnya, Jun-yan merasa tubuhnya merosot kebawah dengan cepat oleh dorongan suatu tenaga yang besar, ia terus meluncur kebawah hingga berpuluh tombak jauhnya, ketika tiba2 tubuhnya menggelundung diatas semak2 rumput dan matanya terbeliak, ternyata dirinya sekarang sudah berada disuatu goa besar yang tidak jauh dari situ nampak ada cahaya sang surya, ia merangkak bangun dan berjalan keluar, waktu ia menoleh dan coba memanggil paman aneh , namun tiada sesuatu suara sahutan.
Sesudah berada diluar gua itu, ia dapat mengenali tempat itu adalah tempat yang pernah dilaluinya diwaktu datang bersama Ti Put-cian tempo hari.
Cepat Jun-yan masukkan pedang kesarungnya, ia pikir tentu Ti Put-cian masih berada dilembah kurung itu, biarlah mencari padanya untuk bikin perhitungan.
Maka segera ia berlari menuju kepintu besi yang sudah dikenalnya itu, beberapa orang Biau yang tinggi besar penjaga pintu menjadi terkejut demi nampak datangnya Jun-yan, se-konyong2 mereka letakkan tombak mereka serta berjongkok ketanah memberi sembah, lalu bersorak sorai se-keras2nya hingga mengejutkan kawan-kawannya yang berada disebelah dalam.
Ketika pintu dibuka dan Jun-yan masuk kelembah kurung didalamnya, suku Biau yang sedang menyanyi dan menari itu mendadak berhenti, seluruh pandangan diarahkan padanya.
Masih Jun-yan hendak mencari Ti Put-cian yang mungkin campurkan diri diantara orang banyak tapi ternyata tak kelihatan batang hidungnya.
Hong san Koay Khek “
Hanya sebentar saja suasana menjadi sunyi, mungkin saking herannya karena Junyan bisa keluar dari gua sarang labah2 berbisa dengan selamat.
Namun sejenak kemudian tiba2 genderang berbunyi lagi, suara sorak sorai gegap gempita memecah bumi.
Terlihatlah tujuh puluh dua orang Biau dibawah pimpinan Tiat-hoa-popo telah berlutut ditanah memberi sembah sambil bersorak : Tongcu dari tujuh puluh dua gua menyampaikan sembah bakti kepada Seng-co kesembilan! Untuk sesaat Jun-yan tercengang, ia pikir dirinya belum mampu menembus gua sarang labah-labah berbisa itu, kenapa mereka telah menganggapnya sebagai Seng-co “ Tapi segera iapun menjadi jelas, sebab dirinya datang kembali melalui pintu besi diluar sana, sudah tentu orang tak tahu apakah datangnya itu menembus gua labahlabah itu atau tidak.
Dasar sifatnya yang masih kekanak-kanakan, ia menjadi senang ketika melihat semua orang begitu menghormat kepadanya betapa jayanya menjadi kepala suku Biau.
Maka dengan tersenyum ia memberi tanda agar semua orang berdiri.
Dengan ber-bondong2 lalu Jun-yan disongsong ke 72 kepala gua itu keatas panggung batu ketika Tiat-hoa-popo memberi tanda, kemudian suasana menjadi sunyi lagi, lalu dia angkat bicara dengan suaranya yang tajam: Walaupun Lengpay (lencana tanda perintah, mandaat) Seng co telah dihilangkan sejak lenyapnya Seng-co ke 8 dan hingga kini belum diketemukan, namun sesudah Seng-co baru sekarang kita angkat, kita tetap akan menurut dan tunduk kepada segala perintah Seng-co.
Habis itu Tiat-hoa-popo berpaling minta petunjuk kepada Jun-yan apakah sebagai Seng-co baru ada petua apa2 yang perlu disampaikan.
Sudah tentu si gadis gelagapan entah apa yang harus dikatakan, ia hanya minta Tiat-hoa-popo menyampaikan kepada para kerabat agar tetap hidup damai berdampingan, semoga makmur dan bahagia.
Sembari berkata ia coba men-cari2 lagi Ti Put-cian diantara orang banyak, tapi masih tak diketemukan.
Sementara itu Tiat-hoa-popo menuturkan lagi kepada Jun-yan, tentang adat istiadat serta kewajiban2 seorang Seng-co, bahwa tiap sebulan sekali Seng-co harus bergiliran tinggal bersama disetiap gua dengan suku bangsanya, sesudah itu barulah boleh pilih tempat kediaman sendiri untuk selamanya.
Diam2 Jun-yan mengeluh akan ikatan demikian itu.
Masakan ia harus tinggal untuk selamanya didaerah Biau ini.
Hong san Koay Khek “
Tiat-hoa-popo, jika menurut penuturanmu, jadi Seng-co sama sekali tak boleh tinggalkan tempatnya ini “ Tentu saja boleh, sahut sinenek, asal sebelumnya ia mengangkat seorang wakilnya.
Aha, jika begitu, Tiat-hoa-popo adalah seorang yang paling dihormati diantara sukumu, padahal masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan ditempat lain, maka biarlah sementara ini aku angkat kau sebagai wakilku, mumpung seluruh kepala tujuh puluh dua gua berada disini, sekarang juga aku umumkan maksudku ini.
Betapa girangnya Tiat-hoa-popo, hampir2 ia tidak percaya akan pendengarannya sendiri.
Saking terharu sampai air matanya meleleh, segera ia sampaikan keinginan Jun-yan kepada para kawannya, maka didahului sinenek, kembali para kepala gua itu berjongkok menyembah lagi.
Lapor Seng-co, demikian Tiat-hoa-popo berkata pula, Sebenarnya Seng-co Baru mendengar sampai disini, se-konyong2 Jun-yan merasa sesosok bayangan berkelebat dari samping, tanpa pikir Jun-yan meraup dengan tangannya serta memandang kearah datangnya bayangan itu.
Tetapi ia menjadi heran ketika tiada seorangpun disitu, hanya tangannya tahu-tahu bertambah satu bungkusan hitam entah apa isinya, cuma bobotnya terasa agak antap, waktu ia buka, ia menjadi tercengang.
Ternyata isi bungkusan itu adalah dua belas buah lencana emas segi tiga, diatas lencana2 itu terukir gambar yang ber-beda2.
Saking herannya Jun-yan membolak-balik lencana-lencana itu untuk dilihat hingga mengeluarkan suara yang gemerincing.
Ia menjadi heran, darimanakah datangnya lencana-lencana emas ini dan apa gunanya “ Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Tiat-hoa popo berhenti menutur, tapi dengan cermat sedang mendengarkan suara gemerincing yang diterbitkan lencana2 emas itu.
Benda apakah yang kau pegang itu, Seng-co” tiba2 ia menanya.
Entahlah, tapi bentuk lencana segitiga dan seluruhnya ada dua belas buah, sahut Jun-yan.
Ha” seru Tiat-hoa-popo kaget, lalu dengan suara terharu pintanya : Dapatkah aku meraba sebuah diantaranya “ Hong san Koay Khek “
Segera Jun-yan serahkan sebuah lencana emas itu ditangan sinenek.
Ketika nenek itu sudah meraba dan pegang2 lencana itu dengan teliti mendadak wajahnya berobah hebat, lalu dengan suara keras ia berkata dalam bahasa Biau.
Jun-yan bingung oleh kelakuan orang.
Ia lihat orang2 Biau yang tadinya bersoraksorai tadi, kini mendadak berdiam lagi, lalu Tiat-hoa-popo angkat lencana tadi tinggi2 sembari mengucapkan serentetan kata2 lagi dalam bahasa mereka, maka orang2 Biau itu kembali menjura lagi dengan hikmatnya.
Selagi Jun-yan hendak menanya, tiba2 sinenek berganti dalam bahasa Han dan berkata padanya : Lencana Seng-co sudah hilang selama tiga puluhan tahun, kini mendadak berada ditangan Seng-co baru, ini suatu tanda rejeki Seng-co baru yang maha besar dan suku Biau menerima rahmatnya.
Jun-yan berseru kaget oleh penjelasan itu, jadi lencana itulah Lengpay yang dianggap benda keramat oleh bangsa Biau.
Lalu siapakah tadi yang menimpukkan kepadanya “ Apakah orang aneh itu “ Padahal orang aneh itu diketemukan Jing-lingcu dijurang Ciok-yong-hong di-pegunungan Hengsan, dari manakah ia dapat memperoleh Lengpay dari Seng-co 72 gua suku Biau ini “ Dan karena masih tidak mengerti, akhirnya Jun-yan bertanya: Lalu apakah gunanya Leng pay ini, Popo” Lengpay ini adalah tanda kebesaran Seng-co, tutur Tiat-hoa-popo.
Beratus ribu suku Biau kita akan tunduk pada segala perintah Seng-co asal melihat Lengpay itu.
Diam2 Jun-yan bergirang akan manfaat lencana kebesaran itu.
Maka ia ambil enam buah diantaranya, sisa enam buah lainnya ia serahkan kepada sinenek serta mengumumkan dihadapan 72 kepala gua itu, bahwa untuk sementara berhubung urusan penting yang harus diselesaikannya didaerah lain, maka Tiat-hoa-popo ia angkat sebagai wakil mandaat penuh sesuai dengan enam buah lencana yang diserahkan padanya itu.
Dengan sorak gemuruh para orang Biau itu menyatakan setuju, saking terharunya kembali Tiat-hoa-popo meneteskan air mata.
Pada saat itulah tiba-tiba sesosok bayangan putih berkelebat, tahu seorang telah melompat keatas panggung, kiranya adalah A Siu yang lincah itu.
Walaupun tadinya merasa cemburu oleh karena melihat A Siu kesemsem pada Ti Put-cian namun sesudah tahu perangai jahat pemuda itu Jun-yan merasa gegetun malah bila si gadis cantik ini terpikat oleh pemuda yang tak bermoral itu.
Memangnya Hong san Koay Khek “
iapun suka bersahabat, terutama terhadap seorang gadis jelita yang lincah seperti A Siu ini, maka segera ia menyapanya dengan tertawa : Eh, adik ini siapakah namanya “ Aku bernama A Siu, sahut si gadis dengan tersenyum.
Kemarin Jun-yan sudah menyaksikan juga betapa A Siu telah robohkan Siau-yau-ih-su Cu Hong-tin hanya dengan sekali-dua gebrakan saja, terang ilmu silatnya sangat tinggi, A Siu, hebat sekali kepandaianmu.
Siapakah suhumu “ segera ia tanya.
Lapor Seng-co, aku tak punya Suhu.'' sahut A Siu terus terang.
Aneh, diam2 Jun-yan membatin.
Segera ia pun membisiki A Siu : Harap kau jangan sebut aku Seng-co umur kita sepadan, panggillah padaku enci saja.
Mana boleh jadi” sahut A Siu tertawa.
Sebab apa” tanya Jun-yan.
Kau adalah Seng-co, mana boleh terang2an aku panggil kau enci” sahut A Siu.
Tapi lantas ia membisikan pula : Hanya kalau sudah diluar daerah sini, barulah tidak menjadi soal.
Melihat sifat dan tutur kata A Siu berbeda dengan orang Biau lainnya, Jun-yan bertambah suka padanya.
Tiba2 ia ingat akan diri Ti Put cian lagi, maka tanyanya : A Siu dimanakah pemuda satu jari itu.
Seketika wajah A Siu bermuram durja sahutnya : Tidak lama baru saja ia keluar dari gua, lantas buru2 pergi ingin aku menyusulnya tapi dicegah Popo sebab bila kau masih belum keluar gua pada waktunya orang berikutnya adalah giliranku.
A Siu apakah kau suka pada pemuda itu” tanya Jun-yan melihat wajah A Siu tibatiba muram demi mendengar Ti Put-cian disebut.
Sebenarnya ia hendak menasehatkannya tentang jiwa kotor pemuda itu, tapi urung.
Sebaliknya A Siu tidak menjawab, ia hanya mengangguk sambil memandang dengan sinar mata yang jernih dan mantap.
A Siu, karena urusan lain aku harus tinggalkan tempat ini dahulu, apakah kau suka ikut bikin perjalanan bersamaku “ kata Jun-yan kemudian.
Tentu saja A Siu bergirang, memangnya ia ingin sekali bisa menyusul buah hatinya.
Asal bisa menyusul buah hatinya.
Asal bisa ikut pergi bersama Jun-yan, harapan Hong san Koay Khek “
bertemu tentu sangat besar.
Maka tanpa ragu2 lagi ia mengia, segera ia bicarakan hal itu dengan Tiat-hoa-popo.
ENGAN enam buah lencana, sudah tentu Tiat-hoa-popo dapat bertindak sesukanya seperti Seng-co.
Maka iapun tidak merintangi akan kepergian A Siu bersama Jun-yan.
Besoknya, kedua gadis itu lantas berangkat dihantar oleh 72 kepala gua Biau hingga jauh.
Sesudah menginjak daerah, dengan tertawa Jun-yan berkata pada A Siu: Nah, sekarang kau boleh panggil enci, bukan” Betul juga A Siu lantas memanggil enci kembali padanya.
Karenanya Jun-yan kegirangan.
Selama ia berkelana di kangouw, siapa saja kalau tidak menyebutnya anak dara, tentu memakinya budak liar, tetapi belum pernah orang memanggil taci padanya.
A Siu, kata Jun-yan pula.
Walaupun kita bukan saudara kandung, tetapi menurut kebiasaan bangsa Han kami, kita bisa mengangkat saudara.
Ya, ya, aku tahu, bangsa Han suka angkat saudara sehidup semati, ujar A Siu.
Eh, darimana kau tahu, apa pernah kau pergi kenegeri kami “ tanya Jun-yan heran.
Pernah, ketika pergi bersama muridku, kata A Siu.
Muridmu “ Jun-yan menegas dengan heran, ah bagus bakal ada orang memanggil aku Supeh, tentu! Dan siapakah nama muridmu itu” Dimana dia sekarang “ Muridku adalah seorang Hwesio gede, namanya Tiat-pi Hwesio, sebulan yang lalu tinggal disuatu biara, mungkin masih disana, tutur A Siu.
Mendengar nama Tiat-pi Hwesio, Jun-yan bertanya: itu paderi jahat terkenal disekitar Hunlam “ Benar, walaupun orangnya kelihatannya jahat, sebenarnya tidak demikian, ujar A Siu.
Hong san Koay Khek “
Lalu iapun ceritakan pengalamannya dahulu ketika merantau bersama Tiat-pi Hwesio ke-daerah Hunlam dan Kuiciu.
Melihat A Siu sama sekali tidak menyinggung ilmu silat yang dimilikinya, diam2 Jun-yan sangat ingin mengetahui sampai dimanakah sebenarnya ilmu kepandaian gadis jelita itu, meski sudah terang sangat tinggi seperti waktu menghajar Cu Hong-tin diatas panggung batu, tapi gaya aslinya masih belum jelas kelihatan seluruhnya.
Siapakah gurumu, A Siu “ tanyanya kemudian.
Namun A Siu hanya geleng2 kepala saja dan menjawab : Aku tak punya guru.
Diam2 Jun-yan tidak percaya, masakan tanpa Suhu dapat mempelajari ilmu silat setinggi itu, bahkan jauh lebih unggul daripada Kang lam-it-ci-seng Ti Put-cian yang sudah ngacir itu.
Ia pikir mungkin peraturan perguruan yang melarang memberitahukan orang luar, maka A Siu tak mau bilang.
Maka iapun tidak menanya lebih jauh.
Petangnya tibalah mereka disuatu kota kecil, setelah mendapatkan hotel, Jun-yan minta pelayan menyediakan alat sembayangan dan sekedar sesajen, karena ia hendak mengangkat saudara dengan A Siu.
Selesai upacara singkat itu, Jun-yan pikir sebagai enci, sepantasnya memberi sesuatu tanda mata padanya.
Tetapi merasa tidak membawa barang2 apa yang berharga, pedang Tun-kau-kiam ia merasa berat, pecut mulut bebek tidak mungkin, sebab itu senjata pemberian sang guru.
Sesudah berpikir lama, ia lihat telinga A Siu tanpa hiasan, tiba2 hatinya tergerak, katanya : A Siu, biarlah aku memberi sepasang anting2 padamu, dengan itu, tentu kau akan lebih menggiurkan.
Aku sudah punya anting-anting, sahut A Siu dengan tertawa.
Sembari berkata, ia keluarkan sepasang anting2 pualam hijau yang ditemunya waktu mencari jejak ayahnya dan Jin koh tempo dulu.
Coba kulihat, pinta Jun-yang.
Tapi ia menjadi heran dan terperanjat ketika melihat diatas anting2 itu masing2 -king yang kecil-kecil, ia jadi teringat pada peristiwa2 sesudah dirinya tinggalkan Cio-jong hong, waktu malam pertama tahu2 orang meletakkan golok Pek-lin-to disamping bantalnya, kemudian ketika orang aneh itu merampasnya kapal jambrud dari tangannya Siang Lui untuk dirinya, setiap kali selalu disertai secarik kertas dengan tulisan Jing kin .
Melihat huruf itu, tampaknya nama seorang, hal ini selamanya Hong san Koay Khek “
menjadi tanda tanya baginya, dan kini diatas anting2 terdapat lagi nama itu, sungguh aneh! Ada apakah, enci Jun-yan “ Apa anting2 ini tidak bagus “ tanya A Siu ketika melihat Jun-yan ter-menung2 penuh kesangsian.
A Siu, darimanakah kau mendapatkan anting2 ini “ tanya Jun-yan kemudian.
Entahlah, cuma dapat diduga miliknya Jing-koh (bibi Jing), sahut A Siu.
Jing-koh “ Siapakah dia” Entahlah, hanya tahu dia she Ang bernama Jing-kin, iapun memberi sebutir mutiara besar padaku, kata A Siu pula.
Lalu ia unjukkan mutiara mestika yang terkalung di lehernya itu.
Nampak mutiara itu, kembali hati Jun-yan tercekat, diam2 ia heran sekali : Aneh, mutiara ini aku seperti pernah melihatnya entah dimana “ Makin lihat ia merasa makin kenal akan benda itu, se-akan2 benda itu pernah dimilikinya.