Jilid 16
Sebaliknya perempuan pertengahan umur juga berusaha menghindari diri dari tutukan di jalan darah Tiong ting hingga ia melindungi bagian dada, tak duga malah pundaknya yang menjadi makanan empuk.
Seketika rasa sakit yang luar biasa meresap ketulang-tulang tangan menjadi lemas dan tak bertenaga lagi, maka selendang tutra yang tengah ditarik kembali itu menjadi lemat dan kendor dan menceng, tanpa sengaja tepat sekali menyapu diketiak kiri laki-laki kekar yang duduk semadi itu, seketika ia menggembor keras terus roboh.
Darah menyembur keras dari mulutnya, luka ditambah luka keruan tambah parah lagi keadaannya.
Perubahan yang beruntun terjadi itu kalau dikata lambat hakikatnya berlangsung secepat kilat hanya sekejap saja.
Setelah terhuyung mundur perempuan pertengahan segera menubruk maju lagi bagai harimau kelaparan sambil berteriak beringas.
"Bocah keparat yang telengas, sungguh kejam cara turun tanganmu !"
Namun betapapun ia menubruk dan menyeruduk bagai banteng ketaton, gerak geriknya sudah tidak segesit tadi, karena pundak kirinya terluka sehingga Lwekangnya susut sebagian besar.
Bahwasanya tadi Giok liong hanya membawa adatnya sendiri sehingga ia kesalahan tangan melukai orang, kini melihat keadaan lawan serta laki laki kekar yang sekarat itu, hatinya menjadi menyesal dan mendelu, sejurus ia balas menyerang lalu berseru lantang.
"Kau sendiri yang harus disalahkan. Toh bukan aku sengaja, sudahlah selamat bertemu !"
Tubuhnya lantas melesat keluar hutan.
"Kemana kau !"
Walaupun pundak kiri terluka namun Giakang perempuan pertengahan umur masih tetap lihay, sekali melejit ia sudah menghadang didepan Giok-liong sambil menarikan selendang sutranya, dimana angin mendesis menggulung tiba, terdengar ia bersuara dengan gemas sarribil kertak gigi.
"Keluarga yang bahagia, telah porak poranda karena bocah keparat ini ! Kecuali kau bunuh aku, kalau tidak selama hidup ini jangan harap kau bisa tinggalkan tempat ini!"
Rasa dongkol dan gemas terlontar dari kata-katanya, demikian juga sorot matanya berkilat penuh kebencian, air mata mengalir keras, Biasanya orang kalau tidak sedih takkan mengalirkan air mata, naga-naganya perempuan ini betulbetul sangat pedih dan menderita batin.
Keadaan Giok-liong menjadi serba susah, mau pergi tidak bisa, kalau bertempur ia tidak suka melukai lawan, Dalam keadaan yang kepepet apa boleh buat tangannya harus bekerja menangkis atau menyampok serangan selendang musuh kalau tidak mau diri sendiri yang bakal konyol.
Suatu kesempatan ia berseru penasaran.
"Kau selalu mendesak orang tanpa memberi kesempatan, malah menuduh semenamena bahwa aku telah mencelakai keluarga kalian. Siapakah dan apa namamu ?"
Pedih dan lara perasaan perempuan setengah umur apalagi luka di pundaknya sangat mengganggu tenaganya sehingga cara turun tangannya semakin lemah, tenaga serangannya tidak sedahsyat semula, namun sekuat tenaga ia masih berusaha menyerang dengan selendang sutranya.
Giginya terdengar berkeriut, desisnya.
"Aku tahu kau seorang tokoh kejam yang sudah kenamaan, Siapa tidak kenal nama Kim pit-jan-bun yang tenar ttu, Tapi tidak seharusnya ...
"
Suaranya tersenggak oleh sengguk tangisnya. Giok - liong berseru keras.
"Kalau kau sudah kenal aku, bagaimana juga harus bicara dengan alasan yang terpercaya !"
"Apalagi yang harus dilakukan, apakah perlu lagi kenyataan didepan mata ini merupakan bukti yang terang !"
"Peristiwa disini tak bisa menyalahkan aku sendiri !"
"Jadi maksudmu menyalahkan aku ! Bajingan, biar aku adi jiwa dengan kau !"
"Cring!"
Tiba tiba sinar dingin berkilau menyilaukan mata meluncur bagai bianglala, Tahu-tahu tangan perempuan pertengahan u-njur sudah melolos keluar sebatang pedang lemas sepasang tiga kaki, sedemikian lemas pedang itu setipis kertas, lebar tiga senti, seluruh batang pedang memancarkan sinar kebiru-biruan.
Praktisnya pedang ini dapat digunakan sebagai sabuk di pinggangnya, kini setelah dilolos langsung ia menyapukan kedepan.
"Siuuuuut..."
Pedang yang tipis lemas itu kini mendadak menjadi kaku lempang, dimana pergelangan tangan perempuan pertengahan umur berputar seketika berpetaIah kembang pedang seiring dengan gerak langkah orang pelanpelan bayangan sinar pedang meluncur kedepan.
Bukan kepalang kejut Giok-liong serunya tertahan.
"Pek tok lan-king-hoat-hiat kiam !"
Pek-tok-lan king-hoauhiat-kiam adalah salah sebuah senjata ampuh dan keji dari sembilan diantaranya yang sangat ditakuti dan dipandang sebagai pusaka oleh kalangan hitam di Kangouw.
Namun bagi golongan putih senjata ini dipandang sebagai benda berbisa yang paling ganas dan ditakuti Karena pedang ini tipis dan lemas, tapi bila Lwekang sudah dikerahkan dibatang pedang bisa menjadi lempang kaku.
Apalagi seluruh batang pedang sudah dilumuri beratus macam kadar racun dari berbagai suku minoritas di daerah pedalaman.
Jangan kata pedang ini menembus badan manusia, hanya teriris sedikit saja kadar racun, akan segera meresap kedalam badan dan jiwa sukar diselamatkan lagi, setelah mati seluruh tubuh berubah menjadi air darah tak meninggalkan bekas.
Oleh karena itulah bagi kaum persilatan golongan putih pedang ini dipandang sebagai salah sebuah senjata ganas dan kejam dari sembilan senjata lainnya.
Kalau tidak dipakai pedang ini disarungkan kedalam serangkanya yang terbuat dari kulit harimau dan dibuat sabuk, Begitu tercabut keluar hawa dingin lantas merangsang keluar, sudah tentu kadar racunnya juga lantas bekerja, Bukan saja pihak musuh takkan kuat bertahan, bagi pemiliknya sendiri juga begitu sudah melancarkan serangannya harus terus bergerak membadai tanpa boleh berhenti Lwekang harus disalurkan terus kebatang pedang untuk mendesak hawa racun ke ujung pedang.
Kalau tidak badan sendiri kemungkinan besar bisa terkena racun juga.
Oleh karena itu, cara penggunaan pedang ini paling menguras tenaga besar, kalau tidak dalam keadaan kepepet tidak sembarangan dikeluarkan.
Begitu Pek-tok-lan king-hoat hiat-kiam di lolos keluar, air muka perempuan pertengahan umur berubah sungguhsungguh dengan kedua tangannya ia bolang-balingkan pedangnya dengan langkah berat ia mengancam maju, ujarnya.
"Adalah kau yang mendesak aku. Selama puluhan tahun baru sekali ini Tam-kiong sian-ci Hoan Ji-hoa turun tangan!"
Begitu mendengar perempuan pertengahan umur menyebut namanya, tergetar seluruh tubuh Giok-liong, lekaslekas ia berteriak.
"Bibi, jangan! mari kita bicara lagi, lekas...."
Perempuan pertengahan umur mendengus dan menyeringai tawa sinis penuh kesedihan suaranya dingin mencekam.
"Bangsat licik yang tidak tahu malu, kau takut!"
"Bukan! Bukan takut....."
"Sudah jangan cerewet lagi, sambut seranganku ini!"
Sinar biru berkilau menungging keatas terus meluncur turun, hawa dingin menyesakkan napas, lapat-lapat dari sambaran angin yang menderu itu tercium bau amis yang memuakkan.
Gesit sekali Giok-liong melompat mundur sejauh mungkin.
Tapi sinar biru berkilau itu bagai bayangan saja mengejar dengan pesat sekali, Tiba-tiba terlihat sinar kuning memancar memenuhi udara.Tak berani Giok-liong melawan senjata yang terkenal ganas itu dengan sepasang tangannya, terpaksa ia keluarkan Potlot masnya, dengan jurus pura-pura ia tangkis pedang lawan terus senjatanya diputar melindungi muka, teriaknya keras.
"Bibi, sabarlah sebentar, dengar penjelasan siautit..."
"Aku tidak sudi dengar obrolan manismu. Sambut seranganku!"
Baru saja jurus pertama dilancarkan jurus kedua sudah memberondong tiba pula sungguh raya serangan yang luar biasa, dimana sinar biru kemilau itu menyambar, naganaganya ia tidak berani berlaku lamban sedikitpun, dengan mati matian ia terus putar senjata berbisa di tangannya.
walaupun Potlot mas Giok-liong itu adalah senjata Toji Pang Giok yang sudah kenamaan dan ampuh, betapa juga merupakan senjata biasa saja, seluruhnya mengandalkan tiputipu jurus silatnya yang harus sempurna dalam latihan sekarang menghadapi salah satu dari sembilan senjata beracun paling ganas di dunia ini, betapapun tak berguna lagi, tak mungkin memperlihatkan perbawanya, ditambah hati Giok-liong sendiri sudah keder pula hatinya penuh keraguan, tak heran kedatangannya semakin payah dan terdesak terusc Sedapat mungkin ia putar Potiot masnya sekencang mungkin untuk melindungi badan, bagaimanapun juga tidak boleh buat menangkis senjata lawan yang beracun.
Sebaliknya Tam-kiong-sian ci Hoan Ji-hoa semakin bernafsu, jurus demi jurus semakin ganas, tak peduli senjata potlot atau bayangan orangnya, begitu ada kesempatan tentu ditabas dan dibacoknya dengan gemesnya.
Puluhan jurus telah berlalu, pancaran sinar biru semakin berkembang dan menyolok, demikian juga hawa dingin semakin membekukan, hawa beracun jaga semakin tebal dengan baunya yang memualkan itu.
Keadaan Giok-liong semakin keriputan berloncatan kian kemari sehingga mencak-mencak seperti joget kera.
Kalau keadaan Giok-liong semakin payah, keadaan Tam-kiong-sianci Hoan-Ji-hoa juga tidak lebih baik, karena setiap melancarkan serangannya harus menguras tenaga terlalu besar, lama kelamaan jidatnya mandi keringat napas juga tersengal memburu.
Setengah jam telah berlalu, pancaran sinar biru semakin guram, demikian juga mega putihpun semakin pudar, Ketika belah pihak sudah bertempur mati matian sampai kehabisan tenaga, Rambut Tam kiong sian-ci Hoa Ji-hoa riap-riapan, air mukanya pucat, napasnya memburu mesti gerak langkah sudah sempoyongan namun pedang beracun ditangannya masih bekerja dengan ganas.
Jurus jurus pelajaran ilmu potlot mas Giok liong sudah dilancarkan berulang kali, Tapi karena tidak berani menangkis atau bersentuhan dengan senjata lawan, jadi hakikatnya selama ini ia hanya main kelit dan bela diri saja, sebetulnya banyak kesempatan dapat merobohkan musuh dengan sekali gebrak saja, sayang hatinya penuh keraguan sehingga sia-sia saja kesempatan baik itu.
Mendadak bergerak hatinya "Kenapa aku tidak gunakan seruling samber nyawa untuk memecahkan ilmunya !"
Bahwasanya seruling samber nyawa adalah senjata pusaka peninggalan tokoh-tokoh persilatan yang kosen, merupakan senjata sakti dan ampuh berkasiat dapat melawan hawa beracun adanya kesaktian yang madraguna ini mungkin tak perlu takut lagi akan pedang beracun."
Tanpa banyak pikir lagi segera ia merogoh keluar seruling samber nyawa, Alunan lima irama seruling dengan lagu yang merdu segera kumandang ditengah udara, dimana sinar putih melayang dari batang seruling terhembus hawa dingin yang menyegarkan seketika terbagun semangat Giok-liong.
Betul juga begitu seruling ditangannya bergerak hawa beracun yang berbau amis memualkan itu lantas sirna tanpa bekas seperti tersapu bersih oleh hujan badai.
Keruan bukan kepalang girang Giok liong, batinnya.
"Sungguh goblok aku, kenapa sejak mula aku tidak teringat akan hal ini!"
Segera ia putar seruling ditangannya lebih kencang, mulutnya berseru.
"Bibi, lekas simpan kembali senjata beracun itu, kalau tidak..."
Belum habis kata-katanya mendadak ia rasakan seruling ditangannya seperti ular hidup dapat bergerak sendiri seperti tumbuh daya sedot tergerak mengikuti ayunan padang beracun kemana saja melayang, yang lebih hebat lagi saban-saban menangkis dan menutuk kebatang pedang dengan tanpa terkendali lagi.
Giok-liong menjadi heran mendadak terasa tangan kanan tergetar keras, tak kuasa lagi seruling itu lantas bersuit nyaring terlepas dari tangannya, seperti kuda pingitan lepas dari kandangnya melesat terbang kedepan dengan kencang.
"Celaka !" - "Trang !" - "Aduh !"
Perubahan yang terjadi ini betul-betul dlluar dugaan, Tahu-tahu Pek-tok-lan-king hoathiat- kiam sudah terpental terbang ketengah udara setinggi puluhan tombak meluncur kelereng gunung sana.
Irama seruling juga lantas berhenti, daya sedot dan pancaran sinarnya yang cemerlang tadi juga semakin guram, Giok-liong berdiri terlongong aitempatnya seperti patung.
Dilain pihak, tampak Tam-kiong-sian-ei Hoan Ji-hoa terjurai sempoyongan, wajahnya pucat pias tanpa darah, sebaliknya telapak tangannya pecah mengucurkan banyak darah.
Perubahan ini betul betul tak terduga sebelumnya.
Beruntun Hoan Ji hoa terhuyung beberapa langkah, akhirnya tangannya menyikap dahan pohon.
sekuat tenaga ia meronta berdiri, desisnya geram.
"Ma Giok liong! Ma Giok - liong ! Kapan Hwi-hun sam-ceng berbuat salah terhadap kau !"
Perasaan Giok-liong sungguh sukar dilukiskan dengan katakata, hatinya seperti ditusuk tusuk sembilu, ia berdiri kesima memandangi seruling dan potlot mas ditangannya.
Akibat yang dialami ini betul-betul diluar dugaannya.
Tak tahu dia bahwa seruling pusaka ini begitu sakti mandraguna, begitu kebentur dengan senjata berbisa yang jahat, tanpa komando lantas memperlihatkan perbawanya, begitu hebat perbawa kesaktiannya sampai tenaga manusia juga tidak mampu mengendalikan.
Lama ia berdiri bagai kesetanan.
akhirnya tersadar dari lamunannya.
Membaru berapa langkah sambil menyimpan seruling dan Potlot masnya, katanya tergagap.
"Bibi siautit..."
"Stop!"
Tam-kong-sian-ci Hoan -Ji-hoa membentak bengis.
"Selangkah lagi kau maju, aku bersumpah takkan hidup bersama kau didunia ini. Ketahuiah bahwa warga Hwi-hunsanceng boleh dibunuh tak boleh dihina. Berani maju alangkah lagi, kumaki kau habis-habisan."
Terpaksa Giok-Iiong menghentikan langkah, jauh-jauh ia berdiri serunya dengan nada memohon."
Bibi dengarlah penjelasanku!"
Sekonyong-konyong setitik sinar terang melengking nyaring menembus udara meluncur datang dari kejauhan sana langsung menerjang kemata kanan Giok liong, Betapa cepat daya luncuran titik sinar terang ini serta ketepatan sasaran yang diarah betul-betul mengejutkan.
Sambil berkelit minggir Giok-liong menggerakkan tangan meraih benda yang meluncur datang itu dan tepat kena ditangkapnya, Waktu ia menunduk melihat, kiranya benda di telapak tangannya itu bukan lain adalah sebentuk batu giok yang berbentuk jantung hati warna merah darah pemberian ibunya sebelum berpisah dulu.
seketika ia berjingkrak kegirangan, teriaknya keras.
"Adik Sia! Ki-sia"
"Siapa adik Sia-mu, manusia tidak kenal budi, mata keranjang tak kenal cinta suci!"
Betul juga Coh Ki sia sudah melayang tiba dihadapan Giok liong, Tapi bukan menghampiri kearah Giok liong, segera ia memburu lari kepelukan Tam-kiong-sian-ci Hoan Ji-hoa, katanya sambil sesenggukan "Bu, kenapa kau Bu..."
Wajah Hoan Ji hoa berkerut kerut bergetar sekuatnya ia menahan sakit sebelah tangannya mengelus-ngelus rambut putri kesayangannya, air matanya mengalir deras, ujar gemetar. Anak Sia! Nak, kemanakah kau selama ini, membuat ibumu menderita mencarimu!"
Sambil mengembeng air mata Coh Ki sia menunjuk Giokliong, katanya.
"Dia pergi sekian lama tanpa memberi kabar berita, Maka tanpa pamit aku melarikan diri dari penjagaan nenek, Tak nyana selama kelana di Kangouw ini baru aku tahu bahwa dia bukan lain seekor serigala cabul yang suka ngapusi kaum perempuan."
Mendengar ini, segera Giok liong menyelak bicara.
"Adik Sia, mana boleh kau bicara sembarangan!"
Tanpa menanti Giok-liong bicara habis, Coh Ki-sia sudah menyemprotnya.
"Kau sangka aku menuduhmu semenamena? Li Hong, Kiong Ling-ling, Tan Soat-kiau, Ling Soat yan serta Sia Bik-yau dari Ui - hoa kiam itu ... masih ada lagi, oh., Bu, begitu kejam ia menyiksa anak"
"Dari mana asal mula perkataanmu ini, memang dikalangan kangouw tersiar kabar demikiaa, tapi kenapa kau begitu percaya obrolan orang !"
Tam kiong-sian ci Hoan Ji-hoa mendelik gusar berapi-api, gerangnya marah.
"Apakah kau melukai kita suami istri juga pura-pura !"
"Hah ! Dimana ayah ? Ayah ..."
"Ayahmu terkena pukulan Sam-ji cui-hun-chiu, setelah terluka parah . , . anak Sia coba kau tilik dia, mungkin dia ...
"
Tak tertahan lagi Hoan Ji-hoa ikut menangis sesenggukan. Coh ki-sia berjingkrak berdiri, setindak demi setindak ia menghampiri kehadapan Giok-liong, desisnya berat .
"Baru sekarang aku dapat melihat muka aslimu ! Manusia berhati binatang !"
Cepat-cepat Giok liong membela diri.
"Aku toh tidak tahu kalau beliau adalah paman dan bibi."
"Tutup mulutmu! Meski ayahku bakas tokoh kenamaan di dunia persilatan tapi toh bukan tidak punya nama, apalagi ilmu Hwi-hun-chiu tiada aliran kedua di dunia ini !"
"Tapi, aku ... aku tidak tahu !"
"Tidak tahu ! Kau sengaja !"
Tam-kiong sian ci Hoa Ji hoa mendengus hidung, jengeknya.
"Hm, aku sudah memperkenalkan diri kau masih tidak tahu ?" "Bukankah aku segera memanggilmu bibi, serta minta kau orang tua segera berhenti ?"
"Lalu kenapa kau keluarkan Potlot mas dan seruling samber nyawa, Melancarkan Jan-hun-su-sek lagi secara mati-matian hendak adu jiwa dengan aku !"
"Ini kan , ..karena ..."
Kontan sambil marah Coh Ki sia me^langkah setindak, jarinya menuding hidung Giok liong, semburnya.
"Aku tidak akan mendengar obrolanmu Mana kembalikan !"
"Apa ?"
"Giok-pwe milikku itu !"
Pelan-pelan GioK-liong menarik keluar Giok-pwe tanda mata yang tergantung dilehernya itu, katanya lirih .
"Adik Sia, lihatlah ...
"
Tak diduga kemarahan Coh Ki sia sudah tak terbendung lagi, sekali raih ia terus rebut Giok-pwe itu dan ditariknya sekuatnya sambil membanting kaki.
Benang sutra yang mengikat putus, sampai Giok-Iiong sendiri ikut tertarik menjorok kedepan hampir jatuh tersungkur, wajahnya pucat dan sedih.
Kiranya amarah Coh Ki sia belum reda, lagi-iagi tangannya diulurkan katanya lagi .
"Masih ada, kembalikan sekalian !"
"Masih ada ? Apa ?"
"Sapu tangan !"
"Sapu tangan ?"
"Mengapa? kau sudah lupa ?"
"Tidak, bagaimana aku bisa lupa ?"
"Lha, kembalikan !" "ini ...
"
"Ini itu apa, lekas kembalikan. Sejak hari ini putus hubungan kita."
Hati Giok-liong seperti ditusuk-tusuk, katanya memohon .
"Adik Sia, sejak perpisahan di Hwi-hun-san-cheng, siang malam selalu kuteringat akan kau, masa kau .."
"Sudah jangan cerewet, kembalikan sapu tanganku itu ?"
Sementara itu, Hoan Ji hoa yang belum sempat istirahat mendengar percakapaa putrinya ini, rasa gusarnya memuncak lagi, akhirnya ia tak tahan berdiri lagi tangannya mengapegape dahan pohon berusaha berpegangan, saking lemasnya akhirnya ia menyemburkan darah lagi terus melorot jatuh terduduk.
Betapa erat ikatan batin antara ibu dan anak, bertambah mendelu dan pedih perasaan hati Coh Ki sia, desaknya sambil membanting kaki.
"Kau mau kembalikan tidak?"
Giok-lioig jadi nekad, katanya terus terang.
"Sapu tanganmu tak berada ditanganku."
"Lalu dimana ?"
"Diambil oleh Hiat-ing Kong cu ...
"
"Plak, plak !"
Dua tamparan keras dan nyaring seketika membuat kedua pipi Giok-liong bengap dan terasa panas, mata sampai berkunang-kunang.
Setelah menampar muka Giok liong, tak tertahan lagi Coh Ki-sia menjerit nangis gerung-gerung terus berlari ke hadapan ibunya, katanya sambit sesenggukan.
"Bu, akulah yang salah sehingga kau ikut menderita."
"Anak Sia, jemput kembali pedang ibu!"
"Tanpa mengerling ke arah Giok liong yang berdiri terlongong mematung, cepat Coh Ki-sia berlari ke arah sana menjemput Pek-tok-lan kiang
hoai-hiat kiam, pelan-pelan ia payang ibunya, lalu tanyanya .
"Dimanakah ayah !"
Sekuatnya Hoan Ji-hoa merangkak bangun menggelendot di pundak putrinya, selangkah demi setindak maju kehadapan Giok-liong yang mematung itu. katanya dengan napas memburu.
"Ma Tay-hiap, kalau kau hendak memusnahkan Hwi-hun-san cheng, sekarang inilah saat yang paling baik, setelah detik ini kelak kau jangan menyesal."
Pandangan Giok-Iiong mendelong memandang ke arah jauh sekejappun ia tidak berkata-kata. Terdengar suara batuk batuk serta langkah berat Hwi-hunchiu Coh Jian kun pelan pelan berjalan keluar dengan sekuatnya, serunya menyambung.
"Benar, selama puluhan tahun ini, aku Coh Jian-kun belum pernah mengikat permusuhan dengan tokoh Bulim siapapun ! Tapi, Ma Tayhiap, tak kira aku harus terjungkal di tanganmu."
Lekas-Iekas Coh Ki-sia memburu maju membimbing ayahnya, air mata mengucur tak tertahan lagi. Kata Coh Jian-kun lagi.
"Hari ini, kita suami istri serta putri tunggalku berada di arena. Kalau saat ini kau tidak sekalian membereskan kita, perhitungan ini selamanya akan kuresapi dalam sanubariku begitu ada kesempatan pasti kucari kau !"
Betapa sedih perasaan Giok-liong sulit dilukiskan dengan kata-kata, seumpama seorang bisu yang menelan empedu (rasanya pahit), ada maksud bicara tapi tak bisa ber-kata, pelan-pelan ia berkata suatanya serak sembetj "Pa ... man..."
"Tutup mulutmu !"
Mata Coh Jian-kun mendelik besar bentaknya.
"Seumpama To ji Pang Giok sendiri bakal membela kau, dendam sakit hati ini selama aku masih hidup bersumpah harus ku balas."
Begitu bernafsu ia bicara sehingga amarahnya memuncak, apalagi luka-lukanya belum sembuh seketika ia memuntahkan darah segar lagi, badan juga terhuyung hampir roboh.
Keadaan Tam kiong-sian ci Hoan Ji hoa juga rada payah, namun melihat keadaan suaminya lekas-lekas ia memburu maju saling berpegangan, ibu beranak memayang dari kiri kanan serentak mereka bersuara bersama.
"Sudahlah tak perlu banyak mulut lagi!"
Giok-liong mengawasi saja tak bisa berbuat apa-apa, rasa hatinya semakin mencekam, katanya pelan-pelan.
"Terang kalian tidak memaafkan aku, dan memberi kesempatan supaya aku menjelaskan untuk membela diri, Tapi mas murni tetap mas murni, kenyataan tetap kenyataan aku juga tidak perlu khawatir, akan datang suatu hari semua ini dapat dibikin beres dengan terang duduk perkaranya, semua ini hanya salah paham melulu, terserah kau mau percaya!"
Kata terakhir terang ditujukan kepada Coh-ki sia malah tangannya juga menunjuk kearahnya. Akan tetapi jawaban yang ia dengar tetap jengekan menghina yang dingin .
"Hm, salah paham !"
Tam-kiong sian-ci Hoan Ji-hoa berkata.
"Kita akan segera pulang!"
Giok-liong tertawa getir, katanya apa boleh buat.
"Silakah ! Aku Ma Giok-liong pasrah nasib saja."
Hwi-hun-chiu Coh Jian-kun menggeleng kepala, ujarnya .
"Selama hidup ini takkan kulupakan, peristiwa hari ini kuharap Ma Siau-hiap juga selalu ingat akan hal ini, mari!"
Saling berbimbingan mereka bertiga beringsut keluar dari hutan lebat ini.
Mengantar kepergian bayangan mereka tak tahu Giok-Iiong perasaan harinya getir atau pahit, tak terasa air matanya mengembeng terus menetes membasahi pipinya.
Dia bertanya kepada dirinya sendiri - "Apakah sudah suratan takdir hidupku ini penuh penderitaan sehingga setiap orang yang bertemu berkumpul dengan aku selalu mengalami bencana atau penderitaan ? Kalau tidak, mengapa..."
Dia tidak berani memikirkan lebih lanjut.
"Betapa juga harus mengatakan isi hatiku."
Demikian pikirnya, maka bergegas ia berlari mengejar keluar serta teriaknya.
"Hai tunggu sebentar !"
Karena luka-luka mereka yang parah sehingga jalannya agak lambat, mendedgar teriakan Giok-liong serentak Coh Jian kun bertiga berpaling.
"Kau menyesal dan sekarang hendak membabat rumput seakar-akarnya !"
Bentak Hoan Ji-hoa dengan bengis. Mata Giok-liong berkilat, alisnya dikerutkan dalam, mendadak ia kerahkan Lwekangnya terus mengayun sebelah tangan, sambil membentang mulut ia menggembor keras terut memukul kedepan.
"Blang,"
Sebuah batu besar segede gajah sejauh puluhan tombak sana seketika meledak hancur berkeping-keping menjadi debu beterbangan. Terbelalak pandangan Coh Jian-kun, desisnya gemetar.
"Kau mendemostrasikan Lwekangmu untuk menakuti orang"
Nada suara Giok liong barat dan sedih, teriaknya.
"Adik Sia, kalau hatiku bercabang biarlah riwayatku tamat seperti baru itu Cukup perkataanku sampai disini, cobalah pertimbangkan lagi !"
Coh Ki-sia sendiri masih dalam keadaan marah, mana mau dengar penjelasannya, hidungnya mendengus.
"Huh, kau memang pandai bermain badut, Putri orang she Coh sudah pernah diakali sekali, aku takkan sudi mendengar obrolan rnanismu, silakan kau pertunjukkan kepada orang lain saja !"
Apalagi yang harus Giok-liong katakan, manggut-manggut ia berkata.
"Baik terserah kau mau percaya, Aku bicara dengan tulus hati !"
"Cis !"
Coh Ki-sia meludah terus berjalan pergi membimbing ayahnya.
Keadaan dialas belukar ini menjadi sunyi senyap, angin menghembus menyegarkan pikiran, pemandangan didepan mata tidak berubah.
Tinggal Giok-liong seorang diri berdiri terpaku memandangi awan dilangit yang mengembang halus, pikiran lantas meIayang-Iayang tak tentu arah rimbanya, lambat laun rasa pedih mengetuk sanubarinya.
Betapa Giok-liong takkan sedih bila teringat akan dendam kesumat ayah bundanya.
Bibit bencana yang bakal bersemi dan menggegerkan dunia persilatan serta undang-undang perguruan yang keras, pesan para kawan yang belum terlaksana, perjanjian bulan tiga dengan pihak Mo khek, jangka tiga hari yang dibatasi oleh Hutan kematian, seorang diri menyembunyikan diri dialam pegunungan yang belukar ini terasa olehnya bahwa dirinya ini seorang yang penuh dosa nestapa dengan banyak cita-cita yang belum terlaksana.
Sayang sekali tiada seorangpun dalam dunia ini yang mau meresapi dan percaya akan tutur katanya.
seolah-olah dunia yang besar ini tiada seorangpun yang mau kenal dan menyelami pribadinya, tiada suatu tempat yang boleh dan dapat menjadi tempat berpijak untuk hidup tentram sentosa, hidup sebatang kara memang penuh derita dan sengsara.
"Hidup manusia kalau begitu penuh derita, untuk apa lagi masih tetap bernyawa dialam baka ini ?"
Berpikir sampai disini ia menghela napas panjang-panjang, katanya getir sambil menggertak gigi .
"Lebih baik mati saja !"
Potlot mas sudah dilolos dan ujungnya sudah tepat mengarah tenggorokannya, ujung yang runcing dan tajam itu sedikit menembus dagingnya tidak terasa sakit sedikitpun.
Sebab seluruh badannya terasa sudah mem-baal dan kebal.
Tapi ujung senjata yang runcing itu ada merembeskan hawa dingin yang seketika menyadarkan pikirannya sehingga daya hidup dalam benaknya mulai berkobar kembali.
"Aku tidak boleh mati!"
Tak terasa ia berteriak sekeras-kerasnya.
Lalu menggembor dengan lengkingan tinggi menembus angkasa melemparkan rasa sesak yang mengeram dalam benaknya.
Sekarang badan terasa segar dan enteng, semangat juga pilih kembali, dengan langkah lebar ia mengarungi semak belukar yang luas ini.
Tak terasa dari pagi sampai petang, Waktu memang tidak menunggu orang, sekejap saja dua hari sudah berlelu, seorang diri Giok liong melakukan perjalanan, pagi-pagi benar ia sudah beranjak di jalan raya, iort harinya mencari penginapan untuk istirahat.
Kalau tiada penginapan ia menginap di rumah pedesaan atau bermalam di atas pohon.
Hari ketiga, langit mendadak menjadi mendung, kilat menyambar geledek menggelegar hujan turun dengan derasnya, Hari sudah sore lagi, saat mana Giok-liong tengah melanjutkan perjalanannya, didepan tiada rumah dibelakang adalah hutan belantara, karena tiada tempat untuk meneduh seluruh badannya menjadi basah kuyup.
Tak jauh kemudian di depan sana kira kira ratusan meter terlihat bayangan sebuah bangunan rumah yang samar
samar, Segera ia kembangkam ilmu ringan tubuhnya, beberapa kejap kemudian ia sudah tidak jauh dari rumah batu merah.
Kiranya bukan lain adalah sebuah biara penyembahan dewa gunung.
Keadaan biara ini sudah bobrok dan tak terurus lagi, pintu besarnya sudah keropos, debu tebal beberapa inci dimanamana banyak gelagasi, terang sudah lama tidak diinjak orang.
Tanpa ragu-ragu Giok liong terus menerobos masuk langsung keruang sembahyang Dibawah kaki patung penyembahan tempat yang tidak kehujanan ia membersihkan tubuhnya serta mengebutkan matelnya terus dicantelkan diatas tongkat senjata yang dipegang patung pemujaan itu.
"Tang "
Tiba-tiba sebuah benda berkilau jatuh dari atas atap, sedikitpun Giok liong tidak bersiaga, keruan ia berjingkrak kaget. Tepat pada saat itulah terdengar suara "Dar!"
Guntur mengelegar disertai kilat menyamber samarsamar kelihatan seperti ada sebuah bayangan berkelebat menghilang.
"Siapa"
Tak kalah cepatnya bayangan putih melesat mengejar sampai diemper luar, Tapi hujan diluar begitu lebat mengeluarkan suara gemuruh. mana kelihatan adan bayangan orang.
"Aneh...... hah!"
Giok-liong mengguman kembali dibawah kaki patung pcmujaan, mendadak ia berseru kejut dan seketika terIong-ong.
Karena mantelnya yang dicantelkan diatas tongkat senjata itu kini sudah terbang tanpa sayap.
Dibawah kakinya benda berkilauan terang dan nyata itu ternyata bukan lain adalah sebuah lencana besi dari Hutan kematian, Karena terlalu nafsu hen!ak mengejar bayangan tadi, jadi ia tidak perhatikan benda apa yang jatuh tadi.
Kini setelah melihat jelas seketika timbul hawa amarahnya, Disangkanya pasti kamprat-kamprat Hutan kematian yang mempermainkan dirinya.
Cepat benar gerak badan orang itu! Terpikir demikian lantas teringat pula akan mantelnya yang hilang itu, terang bahwa orang yang mempermainkan dirinya bukan hanya seorang saja.
Salah seorang melontarkan lencana besi Hutan kematian, sedang seorang yang lain sembunyi didalam mencuri mantelnya.
"Kawan!"
Demikian teriaknya keras.
"Silakan keluar!"
Namun suasana dalam biara bobrok ini tatap sunyi lengang, gema suaranya mendengung berkumandang.
"Main sembunyi termasuk orang gagah macam apa itu? Ayo keluar!"
Bentakan kali ini lebih keras seperti gema lonceng laksana guntur bergetar, sampai atap genteng penuh debu beterbangan Tapi keadaan tetap sunyi tanpa penyahutan atau reaksi apapun.
Giok liong menjadi dongkol, dengan cermat dan waspada ia periksa segala pelosok kelenteng, yang cukup untuk sembunyi seseorang.
Akhirnya ia kewalahan sendiri dan kembali ke ruang tengah, sambil menghela napas ia duduk bersila, mulai memusatkan pikiran semadi.
Hujan semakin deras, haripun semakin ge-lap, malam telah meliputi seluruh jagat.
Hanya lencana besi Hutan kematian itulah yang memancarkan sinar dingin berkilau diatas tanah, Saat mana Giok-liong sudah tenggelam dalam semadinya.
Sekonyong-konyong lapat-lapat hidungnya mengendus bau arak dan daging panggang tanpa terasa ia menjadi tertawa geli sendiri, batinnya.
"Agaknya perutku sudah kelaparan! Dalam kelenteng bobrok macam ini mana ada daging dan arak!"
Tapi kenyataan diluar dugaannya, justru bau arak dan daging itu terbaur disebelah badannya.
Tak kuasa lagi Giokliong berjingkrak bangun sambil berteriak kejut ia tak berani percaya, matanya dikucek-kueek memandangi empat macam masakan di sebelah samping kirinya serta sepoci arak, seketika ia berdiri melongo tak habis mengerti.
"Ini dari mana?"
Badannya melenting dan bergerak cepat memeriksa seluruh ruangan kelenteng, hasilnya tetap nihil, Dengan hati-hati ia mencium dan mengendus-ngendus masakan dan arak itu sedikit pun tiada tanda-tanda aneh apa.
Memang perutnya sudah lapar, bau arak daging begitu merangsang lagi seketika timbul selera dan perutnya menjadi berkerutukan.
"Peduli apa, gegares dulu lebih penting!"
Tanpa sungkansungkan lagi ia angkat mangkok dan sumpit yang sudah tersedia terus mulai makan minum sepuasnya. Belum lagi arak di tenggak habis empat macam masakan sudah dikuras kedalam perutnya semua.
"Krak,"
Sebuah suara yang lirih tiba-tiba terdengar di sebelah samping tak jauh sana.
Umpama orang biasa apalagi dalam keadaan hujan lebat yang gemuruh ini tentu takkan mendengarnya, sebaliknya kejelian telinga Giok-liong memang hebat luar biasa, seiring dengan Lwekangnya yang bertambah maju, apalagi hatinya selalu was was dan penuh prihatin, jelas sekali didengarnya suara lirih itu.
Tapi dia pura pura tidak dengar dan bersikap wajar, duduk tenang tanpa bergerak di tempatnya matanya dipicingkaa merem melek, pikiran di pusatkan sambil mengempos semangat, pelan pelan ia melirik kearah datangnya suara itu.
Sekian lama dinanti-nantikan, tanpa terlihat reaksi apa-apa, Baru saja Giok-liong berniat bangkit hendak memeriksa, tiba tiba tidak jauh di sebelah sampingnya sebuah papan bergerak berbunyi, meski sangat halus dan lirih tapi tak dapat mengelabui Giok-liong lagi.
Pelan-pelan papan batu itu terangkat naik menunjukkan sebuah lubang kecil.
Giok-liong tinggal diam-diam saja, matanya dipejamkan pura-pura tidur pulas.
Akhirnya papan bata itu tergeser ke samping, seiring dengan itu dari dalam lubang kecil persegi itu terdengarlah suara aneh yang mendirikan bulu roma seperti teriakan setan laksana dedemit menyeramkan, sungguh mengerikan.
Pelan-pelan dari dalam lubang itu muncul sebuah kepala manusia yang berwajah pucat pias rambutnya awut-awutan matanya mendelik banyak putih dari hitamnya, giginya prongos, bibirnya monyong sehingga dua baris giginya yang putih mengkilap itu terlihat jelas.
Di alam pegunungan yang sepi dalam kelenteng bobrok tanpa penghuni, disaat hujan lebat ditengah malam gelap ini, pertunjukan apa yang dilihatnya ini betul betul mengejutkan dan menakutkan sekali, Betapa-pun tinggi lwekang Giok-liong tak urung ia merasa merinding dan mengkirik juga seluruh tubuhnya menjadi dingin dan basah oleh keringat.
Akhirnya tak tahan lagi ia melompat bangun sambil menubruk maju, kedua tangannya diulur untuk mencengkeram sambil mulutnya membentak .
"Setan macam apa kau ini !"
Begitu sebat gerakan Giok liong, namun belum lagi tangannya sampai.
"Brak"
Tiba-tiba papan batu itu ditarik balik tepat menutup diatas lubang persegi tadi keruan Giok-liong menangkap tempat kosong.
Giok-liong menjadi penasaran sambil berjongkok ia coba mengungkit papan batu itu, namun begini rata dan dan halus tanpa sedikit lubangpun sehingga tangannya tak kuasa mengangkatnya keluar.
Saking gemes ia bmgkit dan menginjak dengan keras tapi papan batu itu demikian keras sedikitpun tak bergerak, hanya suaranya saja yang terdengar mendengung dibawah sana, terang dibawahnya adalah lubang kosong, tapi apa iagi yang dapat diperbuat.
"Wut"
Sekonyong-konyong sebuah benda warna putih lebar melayang masuk dari luar pintu langsung menungkrup keatas badan Giok-liong.
"Celaka"
Giok-liong berseru kejut, gesit sekali kakinya menggeser kedudukan tahu-tahu tubuhnya sudah melesat tujuh kaki ke samping, sebelum tahu benda apa yang menyerangnya ia tak berani sembarangan menyentuh.
Tidak tahu benda putih besar itu dengan ringan sekali melayang jatuh ketanah tanpa mengeluarkan suara.
Baru sekarang Giok liong mengelus dada lega, tapi juga dongkol dan malu.
Kiranya itulah mantel luarnya yang hilang tadi, kini sudah menjadi kering dan dilempit dengan rapi sekali, Orang itu menggunakan Tay~lik ciu-hoat melemparkan ke dalam biara.
Menurat gelagat yang dihadapi ini Giok-liong menjadi serba aneh, tak tahu lawan atau kawankah orang yang mempermainkan dirinya ini.
Tapi betapapun Giok-liong menjadi penasaran dan dongkol.
Sebab secara terang-terangan telah dimainkan, ini menunjukkan ketidak becusan dirinya, juga menunjukkan betapa tinggi kepandaian silat orang tersembunyi itu, bukan melulu karena gerak geriknya yang serba misterius saja.
Kejadian yang beruntun ini betul-betul memusingkan kepala.
menghidangkan makanan, mengeringkan mantelnya ini boleh dikata merupakan penghormatan yang sangat perhatian terhadap dirinya.
Hal inilah yang menjadikan Giokliong sukar mengumbar kedongkolan hatinya, walaupun perbuatan orang ini seakan mempermainkan dirinya, tapi ia tak berhasil menemukan orang yang main guyon guyon dengan dirinya dengan sendirinya ia menjadi uring-uringan sendiri.
Waktu itu, hujan sudah mulai mereda dan tak lama kemudian udara menjadi cerah.
Sinar bulan purnama menembus masuk melalui celah celah lubang atap yang sudah ambrol langsung menyinari kedalam ruang sembahyang tengah ini.
Kini Giok-liong memperoleh akal, terlebih dulu dipakainya mantel putihnya, lalu dari tangan patung pemujaan ia lolos keluar senjata tombak yang sudah berkarat itu, dengan langkah lebar ia menuju kearah lubang tadi, dengan tepat ia incar batu papan tadi lalu mencongkel dengan sekuat tenaga.
Saking bernafsu dan besar tenaga yang dikerahkan batu papan ita sampai mencelat tinggi dan jatuh gedebukan sejauh setombak lebih Kini diatas lantai terlihat sebuah lubang sebesar tiga kaki persegi.
Didalam sana hitam pekat, tak kelihatan ada undakan atau tangga, waktu melongok kebawah keadaan begitu gelap sampai lima jari sendiri juga tidak kelihatan Tapi berkat kepandaian tinggi Giok liong tidak takut sedikitpun, terlebih dulu ia sodorkan tombak ditangannya kedalam lalu ia sendiri juga lantas melompat turun kedalam.
Badannya terasa sekian lama meluncur turun tak mencapai ujung pangkal.
Tiba-tiba kakinya terasa menginjak tempat empuk dan panas.
seketika percikan api beterbangan disertai abu mengepul mengotori seluruh tubuhnya.
Ternyata tepat sekali ia jatuh diatas gundukan bara api yang belum padam, keruan Giok-liong mencak-mencak kepanasan sehingga seluruh tubuh semakin kotor oleh abu.
Lubang goa ini tidak besar, kira-kira tiga tombak luasnya berbentuk bundar, Di-ujung sebelah sana terlihatlah muka pucat pias dengan rambut awut-awutan, di atas kepala yang menongol keluar lubang tadi, mulutnya yang prongos itu memperlihatkan giginya yang berbaris rapi sangat menakutkan.
"Kunyuk, malu setan menjadi dedemit apa segala, lekas keluar!"
Demikian dengan berang Giok liong membentak dua kali, tapi tanpa mendapat penyahutan, muka itu tetap tertawa tidak tertawa menyeringai giginya yang memutih itu.
Amarah Giok liong semakin memuncak, sekali loncat ia melejit maju lebih dekat terus mengulur tangan mencengkram, mulutnya tidak tinggal diam membentak.
"Disuguh arak kehormatan tidak mau malah minta digebuk !"
"Heh!"
Kata-katanya diakhiri dengan seruan kejut, kiranya yang dihadapi bukan manusia melainkan sebatang dahan pohon yang digantungi kedok muka yang menakutkan itu.
Goa ini lengkap terpenuhi segala perbekalan untuk makan minum, tapi dari jumlahnya dapat diperkirakan bahwa tempat ini bukan tempat tinggal abadi, mungkin hanya tempat persembunyian darurat belaka.
Terbukti dari bau apek yang masib merangsang hidung memualkan, pelan-pelan diambilnya sebatang dahan sebagai obor untuk meneliti keadaan sekitarnya.
Disebelah kanan sana ada jalan keluar yang menyelusuri sebuah lorong panjang, pelan-pelan ia menggeremet maju.
Semakin jauh tanah dibawah kakinya terasa semakin basah lembab, tanahnya juga semakin menanjak keatas.
Kira-kira tujuh tombak kemudian ia sudah sampai pada ujung gua, disebelah atas terlihat sebuah lubang bundar dan terlihatlah langit yang biru kelam ditaburi bintang-bintang yang kelap kelip, tinggi lubang gua itu ada lima tombak, terlebih dulu Giok-liong lontarkan tombak ditangannya keatas untuk menghindari pembokongan orang diluar, setelah didengarkan seksama tiada suara apa-apa baru ia melompat naik, keluar dari lubang gua yang lain.
MuIut dari lubang gua ini adalah sebuah sumur kering yang terletak di belakang biara bobrok itu.
Beribu berlaksa bintang berkelap-kelip diangkasa raya, udara keras angin menghembus sepoi menyegarkan badan membangkitkan semangat semalam suntuk Giokliong tidak tidur barang sebentarpun meskipun tidak ngantuk tapi rada penat juga.
Bayang-bayang pohon bergerak terdengarlah getaran angin berkesiur.
Tahu-tahu delapan orang berpakaian abu abu entah dari mana sudah meluncur dekat disekitarnya tanpa mengeluarkan suara serempak mereka membungkuk hormat seraya berkata.
"Liong-tong Tecu, mendapat perintah menunggu disini sekian lama."
Karena diluar dugaan Giok-liong sampai tersentak kaget, dari cara berpakaian mereka serta rambut panjang yang terurai melambai terhembus angin malam, serta expresi wajahnya yang dingin kaku dengan jubah panjang yang kedodoran menyentuh tanah, hatinya menjadi muak dan sebal.
"Jadi kalianlah yang berlagak setan mempermainkan aku ya !"
"Hamba beramai tidak berani !" "Kejadian didalam lubang dalam biara sana, kalau bukan perbuatan kalian lalu perbuatan siapa ?"
"Ah, bukan, bukan hamba yang melakukan !"
"Jadi perbuatan siapa ?"
"Ciiiit!"
Tiba-tiba terdengar suara aneh, dari jarak lima tombak sana melayang datang sebuah bayangan kecil yang lincah, ditengah udara berbunyi cat-cit, sekejap saja sudah melampaui kedelapan pelaksana hukum seragam abu-abu itu tems hinggap didepan mereka.
Kini terlihat jelas kiranya manusia kecil cebol, bermulut lancip pipi tepos, kepalanya hampir gundul tinggal beberapa rambut kuning-kuning yang dapat dihitung, demikian juga jenggot kambingnya pendek dan jarang sekal.
Matanya bundar kupingnya kecil persis benar dengan mata dan kuping tikus, mengenakan pakaian ketat putih perak, tinggi badannya tidak lebih tiga kaki, badannya kurus, begitu kurus kering legam lagi laksana seeuggok kayu bakar aneh dan menggelikan.
Meskipun bentuk tubuh dan wajahnya yang tidak wajar seperti manusia umumnya tapi sepasang mata bundarnya itu berkilat memancarkan sinar tajam, terang Lwekangnya jauh lebih tinggi dari kedelapaa pelaksana hukum dari Liong-tong itu, naga-naganya kepandaian silatnya juga tidak bisa di pandang ringan.
Dasar sifat kekanak-kanakan Giok-liong belum hilang, melihat bentuk orang yang seperti tikus ini, hatinya menjadi geli, tanpa merasa ia tertawa tawar kegelian.
Orang aneh berbentuk seperti tikus itu segera menjura serta berkata dengan suara tinggi seperti bunyi tikus.
"Sudah sekian lama kami mendapat perintah untuk menantikan kedatangan Siau-hiap, Kejadian dalam biara tadi adalah Puntong yang mengatur, harap suka di maafkan."
"Tong-cu?"
Tak terasa tergetar perasaan Giok-liong.
Sebab tempo hari waktu ia mengejar Ang imo-li Li Hong memasuki Hutan kematian bertemu dengan Wi-hian ciang Liong Bun dari beliau dapat diketahui bahwa Hutan kematian banyak terdapat gerobong-gembong silat dan para iblis yang mengeram disana.
Betapa tinggi Lwekang Wi-hian-ciang Liong Bun itu, tak lebih hanya menduduki jabatan Huhoat (Pelindung) dari Liongtong saja, Setelah Tong-cu masih ada wakil Tong-cu, kedudukan kedua jabatan ini setingkat lebih tinggi dari Huhoat, maka dapatlah dibayangkan sampai dimana hebat Lwekang mereka.
Manusia tidak normal dengan bentuk lucu dihadapinya ini, mana bisa menduduki salah satu Tong-cu jabatan tinggi hanya setingkat diwajah majikan Hutan kematian?"
Begitulah berbagai pikiran berkecamuk dalam otaknya sehingga sekian lama Giok liong termenung tanpa bersuara. Manusia aneh seperti tikus itu berkata lagi dengan dingin.
"Karena seluruh anak buah Pun tong merasa gentar dan segan menghadapi ketenaran nama Siau hiap, maka tidak berani menghadapi secara sembrono. Terpaksa digunakan cara yang kurang hormat itu. Harap Siau-hiap tidak berkecil hati."
Giong-liong memicingkan mata, serunya lantang.
"Gentar atau segan apa segala, alasan belaka, Terang kalian ini bangsa panca longok yang sudah berdarah daging seperti tikus takut melihat kucing bersifat pengecut."
Seketika menyala pandangan srrot mata orang aneh seperti tikus, wajahnya mengunjuk rasa bimbang dan ragu, Tapi perasaan tak senang ini sebentar saja lantas hilang, dengan tertawa yang dipaksakan ia berusaha tetap berlaku hormat, ujarnya.
"Siau-hiap, harap suka memberi sedikit kelonggaran!"
"Hm, perbuatan bangsa kurcaci tidak lebih begitu saja!"
"Siau-hiap, kau..... ."
"Bagaimana?"
"Sukalah bersabar dan berpikir tenang, sedikit banyak berilah kelonggaran dan muka pada kita sekalian."
"Kurcaci! Kurcaci !"
Giok-Liong semakin berang semprotnya.
"Seorang laki laki harus berani berlaku jantan, seumpama ingin baiok kepalaku ini juga rela kuserahkan Tapi dengan perbuatan kalian yang rendah takut melihat matahari ini, sungguh menyebalkan."
Orang aneh seperti tikus itu menjadi beringas wajahnya berkerut kaku, seluruh badan bergemetaran saking menahan gusar, giginya berkeriuk mulutnya berbunyi cit-cit seperti bunyi tikus yang kelaparan.
Melihat gelagat yang gawat ini, para pelaksana hukum Liong-tong itu lekas-lekas maju melerai, mereka menjura dalam serta berkata .
"Lapor pada Tong-cu, agaknya Ma Siayhiap belum tahu undang-undang terlarang dari Hutan kematian. Harap Tong-cu menahan sabar, jangan nanti menggagalkan urusan besar !"
Mendengar itu, Giok-liong semakin uring-uringan, tanyanya menjengek .
"Undang-undang terlarang apa ?"
Salah satu pelaksana hukum Liong-tong menyahut lirih .
"Dua sekte "Bu"
Dan "Hu"
Dari Hutan kematian kita banyak larangan yang harus dipatuhi. Kelak pasti Siau-hiap juga pasti akan tahu."
Agaknya Giok liong seperti paham sesuatu, katanya menghina.
"O, mungkin karena tadi aku menyinggung tentang kucing serta tikus sehingga melanggar undang undang terlarang dari tuan Tong cu ini ? "Harap Siau-hiap maklum adanya.!"
Serentak kedelapan pelaksana hukum menjelaskan. Rasa gusar yang tersorot dari pandangan mata si orang aneh seperti tikus itu mulai berkurang, dengan tawa yang dipaksakan ia berkata .
"Siau-hiap tidak tahu, maka tidak dapat disalahkan !"
"Hahaha !"
Giok-liong bergelak tawa sekian lama suaranya bergema mengandung perbawa kekuatan lwekangnya sampai menembus awan menggetarkan bumi, mengaung panjang ditengah udara.
Delapan pelaksana hukum Liong-tong menjadi kesima saling pandang.
Orang aneh seperti tikus itu juga melenggong tak tahu dia harus ikut tertawa atau harus marah.
Lenyap gelak tawa Giok-liong, ia berkata lagi dengan nada berat.
"Diri sendiri bukan seorang lurus, berani berbuat tentu berani terlihat matahari, kohk memakai pantangan apa segala, Kalau memang betul sebagai kurcaci koh takut dan melarang orang memanggil kunyuk. Tikus memang biasanya takut kucing, kenapa membenci orang menyebut nama kucing, Bedebah benar, menggelikan saja !"
"Keparat, kau terlalu menghina orang!"
Tiba-tiba terdengar bentakan melengking dimana bayangan putih perak melesat angin keras lantas menerpa dengan kencang.
Glok-liong menjejak kakinya melejit setinggi tiga tombak, sedetik saja terlambat ia pasti tubuhnya hancur lebur keterjang serangan musuh.
Begitulah dengan tubuh masih terapung ditengah udara ia meluncur turun sambil balas menyerang, hardiknya gusar.
"Tikus kurcaci, berani kau membokong !"
Serentak delapan pelaksana hukum Liong tong segera melejit maju menghadang di tengah mereka, katanya lembut menjura kepada orang aneh seperti tikus itu.
"lapor Tongcu, Ma Siau-biap adalah tamu agung majikan, harap Tong cu suka memberi kelonggaran menghabisi pertikaian ini supaya majikan tidak menimpakan dosa, sungguh kita beramai tidak berani menanggung resikonya."
Mata bundar orang seperti tikus itu berjelalatan, tangannya mengelus elus moncong serta muka yang tepos, serta kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang itu, teriaknya.
"Konyol, konyol ! Aku Siau thiao-sin-ju ( tikus sakti ) Yap Tong-jwan sudah puluhan tahun mendampingi majikan, Siapa yang berani menghina dan memandang rendah aku. Tak duga hari ini aku di desak oleh seorang bocah ingusan ! "
Mendengar kata kata orang Giok-liong semakin mengumbar tawanya, serunya.
"O, jadi kau ini bernama Tikus sakti Thongjwan (tukang gangsir ) lantas kenapa kau salahkan orang lain, Kecuali kau ganti she dan merubah nama."
Tikus sakti Yap Thong- jwan semakin gusar sambil berjingkrak marah seperti kebakaran jenggot mulutnya mengeluarkan suara cit cit seperti bunyi tikus, ia dorong ke delapan pelaksana hukum Liong- tong, terus menerjang maju sambil melengking tajam .
"Kalau majikan menimpakan dosa, biar aku Yap Thong-jwan yang bertanggung jawab, seumpama harus dihukum cacah jiwa hancur lebur juga rela. Betapapun penasaranku ini harus terlampias dulu. Keparat, lihat serangan ?"
Tampangnya aneh Lwekangnya tinggi lagi, dimana sinar perak berkelebat, gesit sekali ia menyelinap diantara delapan pelaksana hukum itu, entah dengan gerakan tahu-tahu ia sudah menggeser tiba disamping Giok liong, terlihat bayangan pukulan tangan berkembang dengan kencang, sekaligus ia lancarkan delapan belas pukulan dahsyat dan ganas.
"Api kunang-kunang, silat kampungan belaka !"
Terdengar Giok-liong menjengek.
Di mulut ia bicara takabur namun sebenarnya siang-siang ia sudah bersiap siaga, menyalurkan hawa pelindung badan, begitu musuh menerjang datang, mega putih bergulung lantas menapak kedepan.
Tatkala bulan purnama sudah mulai doyong kearah barat Di belakang pelataran biara bobrok yang tidak begitu besar ini terjadilah suatu pertempuran sengit, dua belah pihak sama sama dongkol dan ingin menang sendiri, maka jurus serangan yang dilancarkan menjadi semakin hebat tak mengenal kasihan lagi.
Adalah kedelapan pelaksana hukum itu yang menjadi gelisah dan serba sulit, satu pihak tak mungkin ia berani membantu Tong cu yang tinggi hati dan berkedudukan tinggi, itu sebaliknya juga merasa rikuh untuk membantu tamu yang diundang majikan Hutan kematian.
Tokoh-tokoh kosen kalau berkelahi tentu bergerak sangat cepat, sekejap saja tahu-tahu sudah lima puluh jurus berlalu.
Sungguh Giok liong tidak mengira manusia-aneh dengan tampang yang menakutkan macam Siau-thian sia ju Yap Thong-jwan ini mampu menangkis salah satu jurus sakti dari Sam ji cui hun chiu.
Terpaksa Cin chiu, Hwatbwe dan Tian-ceng satu persatu dilancarkan.
Dengan bekal ilmu yang sakti dan tunggal tiada keduanya didunia persilatan ini, Giok-liong sudah malang melintang mengalahkan berapa banyak tokoh-tokoh silat kelas satu, seumpama belum kalah juga pasti terdesak dibawah angin menjadi kerepotan memosia diri.
Diluar tahunya Siau thian sin-ju Yap Thong-jwan yang bertubuh kecil kurus ini, dengan sepasang tangan yang kecil dan runcing seperti cakar tikus itu, bergerak lincah seperti mencakar menggarut-garut, jurus demi jurus bergerak lincah kekiri kanan, bukan saja tergerak teratur, malah cara memunahkan serangan balas menyerang, tenaga yang digunakan juga sangat sembabat untuk mengambil kedudukan yang menguntungkan.
Yang lebih mengejutkan cakar kecilnya itu saban-saban menyelonong tiba dengan bera-i)uyi, sungguh banyak perubahan gerak gerik tipu-tipu silatnya sulit di jajagi lagi.
Enam puluh jurus sudah lewat, Delapan pelaksana hukum Liong tong segera berseru berbareng .
"Sudahlah dihentikan saja !"
Tikus sakti Yap Tbong-jwan yang tadi menyerbu dengan beringas dan ingin adu jiwa itu, begitu mendengar seruan ini segera mencit cit keras terus melompat keluar, sorot matanya masih mengandung kebencian dan nafsu membunuh, raut mukanya semakin kecut.
Giok-liong tidak tahu maksud dari orang ini, sambil berdiri bertolak pinggang mulutnya menjengek sambil manggutmanggut.
"Bangsa tikus kiranya juga punya kepandaian macam cakar kucing."
Lekas-lekas delapan pelaksana hukum itu merubung tua iu berbareng mereka menjura dan berkata .
"rio!enlai urusan disini dianggap beres, harap Siau-hiap menepati janji tiga hari ini dan tepat tiba di Liong-iong untuk menemui majikan."
Giok-liong tersenyum ewa, ujarnya.
"jadi kalian ini hendak mengiring aku"
Tanpa merasa delapan pelaksana hukum sama mundur selangkah sahutnya lirih.
"Hamba beramai mana berani. Tidak lain hanya menerima perintah saja!" "Oh..."- pagi hari itu hawa udara penuh diliputi kabut yang tebal, keadaan menjadi remang-remang dan serasa dingin. Setelah pernapasan kembali tenang seperti sedia kala, tiba tiba Siau thian sin-ju Yap Thong-jwan melompat tinggi tiga tombak ditengah udara, tubuhnya berputar dengan gaya liang ing wi-hian (burung elang berputar-putar), mulutnya mencicit keras menusuk telinga. Seketika berubah hebat air muka delapan pelaksana hukum dari Liong tong itu, air muka mereka menjadi serius dan tegang, kelihatan rasa takut terbayang dalam pandangan mereka. Giok-liong sendiri juga tidak tahu apa yang bakal terjadi, gerungnya gusar.
"Berteriak gila apa kau ini".
"Citcit...Citcit..."
Seketika dari empat penjuru terdengar suara bunyi tikus salingbersahutan.
Didalam keremangan kabut pagi tampak berpuluh bayangan perak abu abu bergerak merambat dengan gesit semua meluruk datang semakin dekat, suara citcit juga semakin ramai dan jelas serta banyak.
Delapan pelaksana hukum saling pandang, sekarang tahu Giok liong bahwa keadaan rada mengancam, cepat cepat ia kerahkan Ji lo hawa pelindung badan, bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu dengan tukikan bagai burung garuda Siauthian- sin-ju Yap Thong-jwan meluncur turun hinggap ditanah, katanya kepada delapan pelaksana hukum itu.
"Kalian lekas pulang bersama menunggu petunjuk selanjutnya. Tapi kalian sudah melerai setelah aku melancarkan enam puluh empat jurus Siau-thian chiu, kebaikan ini kuterima dengan ikhlas, serahkan saja orang ini kepada Hu tong (Sekte Tikus)!"
Baru sekarang Giok-liong sadar, kenapa tadi musuhnya mau mundur setelah melabrak dirinya habis habisan, kiranya ia sudah kehabisan tenaga dan kehilangan kontrol tipu-tipu silatnya.
Dengan wajah serius delapan pelaksana hukum menjura bersama seraya berkata sungguh.
"Lim-cu (Majikan) ingin benar menemui orang ini"