Jilid 14
Gadis remaja ayu jelita serba kuning itu unjuk senyum manis lalu putar tubuh, pelan-pelan ia berlenggok menuju kesebuah jalanan gunung.
Sang putri malam tengah memancarkan cahayanya yang gemilang, pemandangan alam semesta malam nan sunyi ini bertambah semarak dan mempesonakan.
Giok-liong mencuri lihat bayangan punggung gadis jelita yang sedang berlenggok itu, sedemikian gemulai ia berjalan seakan-akan bidadari tengah menari dibawah sinar bulan purnama, sungguh indah cantik molek lagi.
Sesaat Giok-liong menjadi terlongong-longong kesima, teringat olehnya akan istri tercinta yang masih ketinggalan di Hwi-hun-san-ceng, bukankah saat-saat mereka berpisah juga di waktu bulan purnama begini.
Dirabanya saputangan pemberian sang kekasih yang penuh kenangan itu, tak terasa ia menghela napas sedih, pikirnya .
"Kapan baru aku dapat membikin terang riwayat hidupku, menuntut balas sakit hati keluarga, melenyapkan awal ilalang bencana yang bakal menimpa Bulim, lalu kembali ke Hwi hunsan cheng berkumpul dan hidup bahagia bersama istri tercinta. Remuk luluhlah angkara murka yang selama ini menghantui sanubari Giok-liong yang selalu dikejar keributan, Akhirnya ia menghela napas lalu membalik tubuh hendak tinggal pergi.
"Hendak kemana kau ?"
Sebuah seruan nyaring merdu disusul bayangan kuning berkelebat tiba-tiba gadis remaja baju kuning itu telah menghadang dihadapannya.
Lagi-Iagi bercekat hati Giok-liong timbul kesiap siagaan dalam hatinya, Ji lo dikerahkan sehingga mega putih mulai menguap keluar keluar dari badannya, matanya menyapu pandangan, katanya.
"Jadi kau bermaksud merintangi aku?"
"Yang terang adalah kau yang mengejar aku bukan?"
"Sekarang aku tidak perlu mengejar lagi."
Setelah berkata Giok-liong melangkah maju melewati sisi samping gadis serba kuning terus berjalan turun gunung.
"Hm, hm! "
Jengek dan tertawa dingin keluar dari mulut gadis baju kuning yang tnung!h Giok-liong jadi tersentak berhenti.
"Apa yang kau tawakan?"
Tanyanya.
"Aku geli dan kecewa karena mataku buta melek, salah mengenal orang."
Giok-liong semakin tak mengerti dan garuk-garuk kepala yang tidak gatal, tanyanya selidik.
"Apa maksud ucapan ini?"
Terdengar suara sesenggukan terlihat pula si gadis rupawan itu tengah menyeka matanya dengan ujung lengan bajunya, terang bahwa ia yang sedang menangis, agaknya hatinya sangat rawan dan sedih sekali sampai tak tertahan ia sesenggukan semakin keras.
Diatas pegunungan yang sunyi pada tengah malam, dibawah pancaran sinar sang bulan purnama terdapat seorang gadis remaja yang rupawan ini sudah sangat janggal dan mengherankan.
Tapi justru sesenggukan tangis si gadis ini lebih aneh Iagi.
Terpaksa Giok-liong tidak bisa tinggal pergi begitu saja, urusan banjir darah di Sam ceng-koan boleh dikesampingkan.
Sebaliknya gadis jenaka ini mengapa rnendadak menangis ini harus dicari tahu.
"Nona, kenapa kau?"
"Jangan tanya aku!"
Urusan di dunia ini sungguh sangat aneh dan ganjil sesuatu yang ditanyakan kalau tidak dijelaskan semakin menarik perhatian. Maka Giok-liong melangkah setindak serta desaknya.
"Apakah kau punya sesuatu kesukaran?"
"Peduli apa dengan urusanmu?"
"Mungkin aku yang rendah dapat membantu sekuatnya untuk mengatasi kesukaranmu itu."
"Semula memang aku berpikir begitu, maka besar sekali harapanku !"
"Lalu sekarang bagaimana ?""
"Lenyap dan sirna sudah harapanku itu, menjadi kosong belaka."
"Kenapa bisa begitu ?"
Gadis baju kuning mendongak melihat rembulan, air mata meleleh deras membasahi pipinya, sebelum membuka suara ia menghela napas rawan, lalu ujarnya penuh duka.
"Selama puluhan tahun aku hidup merana dan penuh dengan derita, Belum lama ini aku dengar berita akan munculnya seorang pendekar besar di kalangan Kangouw, maka kuimpikan untuk bertemu dengan kau, ingin aku minta bantuanmu untuk menolongku keluar dari serangan derita yang menyiksa badan ini. Maka kutempuh suatu bahaya, melanggar pantangan atau disiplin agama memancingmu datang kemari, Tak duga kau ternyata bernama kosong belaka, tak lain seorang yang bersikap dingin mengenal ..,"
Sebetulnya ia hendak mengatakan tak mengenal kasih.
Tapi agakaya rada likuk dan malu maka ditelannya kembali setelah jelas ia sesenggukan lagi semakin sedih, air mata tak terbendung lagi.
Giok liong seperti orang linglung tak dapat menyelami penjelasan orang tanpa juntrungan ini, katanya sekenanya.
"Aku tidak paham apa maksudmu!"
"Sudah tentu kau takkan paham !"
Gadis baju kuning menyeka air matanya lalu menunjuk delapan dedaunan warna hi.jau yang menghias mukanya serta berkata dengan sedih.
"Meskipun didalam Ui-hoa-kiau kedudukan hanya setingkat dibawah Kaucu, Tapi penderitaan batinku serta tempaan lahiriah yang penuh kegetiran ini siapapun takkan tahu !"
"Nona punya ganjalan hati apa, silakan jelaskan ..."
"Apa gunanya? Semula, harapan satu-satunya kulekatkan pada dirimu. sekarang ai ..."
Dasar GioK-"iong seorang lugu tak tahu ia harus bicara dari mana, katanya tertawa getir sembari mengelus-elus leher.
"Siapa tahu Tuhan maha pengasih, akhirnya aku bisa jumpa dengan kau. Wah, haha hahahaha..."
Gadis baju kuning tertawa menggila, belum selesai ia tertawa mulutnya sudah berteriak keras.
"Melihat lebih kenyataan dari pada mendengar Tak lebih hanyalah harimau kertas melulu, sia-sialah aku berdaya upaya menempuh bahaya melanggar peraturan agama. sekarang selain kematian, adakah harapan untuk hidup bahagia?"
Berkata sampai ucapan sedih yang mengetuk sanubari tak tertahan lagi, ia menggerung gerung. Mendadak ia angkat tangan kanan serta membalikkan telapak tangan terus mengepruk kebatok kepala sendiri seraya berteriak memilukan.
"Ayah! Ibu, harap maafkan anakmu yang tidak berbakti ini. Dendam sakit hari kalian sela ma hidup ini sulit lagi untuk menuntut balas."
Kalau hantaman tangan sendiri itu benar-benar sampai telak mengenai sasarannya pasti jiwanya itu bakat melayang dan tamat diatas gunung yang semak belukar ini.
"Nanti dulu! "bayangan putih memburu maju coba mencegah.
"Hahahaha, bocah bagus, tepat sekali dalam dugaan, hahahaha!"
Seiring dengan gelak tawa yang menggelegar ini, empat bayangan merah kecil saling susul mendarat tiba, kiranya bukan lain adalah enpat manusia cebol dari Hiat-ing-bun.
Begitu Hiat-ing-su-ai muncul seketika merah jengah selebar muka Giok-liong, mulutnya terkancing sementara tangannya masih menyekal lengan gadis baju kuning.
Salah seorang manusia cebol itu menggoyangkan kepala serta berkata.
"Elmaut kematian sudah diambang mata masih mata keranjingan menggoda perempuan !"
PuIang pergi selalu dipanggil bocah ingusan menjadikan Giok-liong bertambah berang, ia lepas genggamannya sembari berkata lirih.
"Nona jangan lagi mencari jalan pendek, persoalanmu nanti kita bicarakan lagi. Biar kugebah dulu para kurcaci ini."
Sembari berkata ia tatap wajah gadis baju kuning penuh arti seperti menelan pil penenang syaraf gadis baju kuning kontan unjuk senyum dan hilanglah rasa sedih, sahutnya aleman .
"Baik !"
Di sebelah sana terdengar Hiat-ing-su ai berseru bersama.
"serahkan seruling samber nyawa, terserah kau hendak mengumbar nafsu, kita berempat tidak akan mengganggu mu lagi."
Giok-liong mengudal gelak tawa sekeras-kerasnya saking marah, kabut putih mulai menguap, cahaya perak mulai terpancar dari badannya.
Diam-diam Giok liong sudah kerahkan Ji lo untuk melindungi badan serta merta kedua tangannya bergerak setengah lingkaran sembari berkata dengan nada berat.
"Mana ada urusan begitu gampang, seumpama ada juga tidak menjadi giliran kalian, sungguh igauan belaka."
Sekonyong-konyong cahaya merah darah terpancar melebar keempat penjuru, ditimpa sinar sang putri maIam menjadi ribuan ombak bayangan darah bergelombang.
Kiranya dalam sekejap ini keempat orang cebol ini sudah saling memberi syarat serentak mengerahkan ilmunya untuk menyerang bersama.
Mega putih bergulung berjubel semakin tebal menyelubungi sinar putih perak yang menyolok mata, sebuah telapak tangan putih halus bergerak kalem dan menari indah berseliweran lincah sekali.
"Sret, sret,"
Sekejap mata saja Giok-Iiong sudah lancarkan delapan belas kali tipu pukulan yang dahsyat menyerang keempat musuhnya di empat penjuru.
Terdengar pekik keras berbareng, bukan mundur Hiat ingsu- ai malah merangsak maju menerjang kearah gulungan mega putih sambil lancarkan juga pukulan hebat.
Harus diketahui bahwa kedudukan Hiat-ing-su-ai dalam golongan Hiat ing-bun hanya setingkat lebih rendah dari Cong-cu mereka, Lwekang dan kepandaian silatnya rata-rata punya latihan dan kehebatannya sendiri-sendiri.
Meskipun belum mencapai titik sempurna namun juga boleh dikata sudah mencapai puncak yang boleh dibanggakan jauh lebih tinggi dari golongan tokoh kosen kelas satu di kalangan kangouw Tatkala mana Su-ai bergabung mengeroyok maka betapa hebat perbawa tenaga gabungan mereka bukankah main-main belaka, Sinar darah masih bergerak seperti ujung panah, berputar lincah menusuk cepat, sebaliknya pukulan tangan juga begitu rapat dan ganas sekali.
Mendadak gerungan aneh serentak berbunyi dari empat penjuru, bayangan hitam jauh bergerak lincah cepat sekali laksana angin badai menerpa.
Sebaliknya pihak lawan mandah tertawa dingin saja, bayangan putih juga ikut berputar cepat, angin ribut menderu deras sehingga udara sekitar gelanggang menjadi gelap oleh debu dan pasir yang beterbangan menjadikan suatu pemandangan indah dan menakjupkan diatas pegunungan yang sepi.
"Blang".
"blum", Ledakan dahsyat menyebabkan Hiat-ingsu- ai masing-masing terpental surut ke belakang tujuh kaki jauhnya namun kedudukan serta kuda-kuda mereka masih berada di tempat semula, sebaliknya Giok liong kelihatan masih berdiri tegak dengan tenangnya, kedua tangan bersilang melindungi dada. Tadi kedua belah pihak sudah mengadu seluruh kekuatan, boleh dikata masih sama kuat belum kentara pihak mana yang lebih unggul atau asor. Masing-masing pihak mempunyai perhitungan serta pengukuran atas standart kepandaian lawan. Mendadak salah seorang manusia cebol itu mendelikkan matanya yang kelihatan buas seperti biji mata ikan, suaranya bergetar seperti bunyi kokok-beluk.
"Lenyapkan dia dengan sinkang !"
Tiga kawannya yang lain segera mengiakan serentak .
"itulah jalan satu-satunya."
Serentak keempat cebol menggerakkan kaki tangan sampai berbunyi keretekan, mata mereka lantas memancarkan sinar warna merah darah, demikian juga air mukanya menjadi merah gelap, Hiat-ing-kang memancarkan cahaya merah laksana jaringan rapat mengapung sekeliling Giok-liong.
Hawa udara menjadi buntu seperti didalam ruangan tertutup rapat.
Seketika Giok-liong merasa pernapasannya sesak, pembuluh darahnya menjadi membeku darah susah mengalir.
Cepat-cepat ia empos semangat mengerahkan hawa murni Ji lo berkembang melindungi sekitar badannya.
Cahaya putih cemerlang yang terbungkus oleh merah darah semakin mengecil mengkeret seperti sebutir sinar mutiara yang kemilau menyilaukan mata.
Mega putih semakin teba.
Demikian juga bayangan merah darah itu semakin marong.
Hiat-ing su-ai mempercepat pengarahan ilmunya, dari delapan telapak tangan mereka masing-masing melesat keluar delapan jalur cahaya panah.
Mendadak serentak mereka menggembor keras, empat bayangan mereka merangsak bersama, cahaya panah dari delapan telapak tangan mereka kontan menerjang kearah buntalan mega putih yang membungkus cahaya sinar perak.
Terdengar kumandang gelak tawa panjang yang menggetarkan isi seluruh alam semesta ini.
"Dar..!"
Gemuruh laksana gugur gunung, darah beterbangan tercecer kemanamana, mega putih luber menjulang tinggi ke tengah udara.
Bayangan orang lantas terpencar mundur sambil mengelak kesakitan.
Kini Hiat ing su ai sudah mundur tiga tombak, ujung mulut, hidung dan mata mereka berlepotan darah, Serempak mereka berteriak.
"Gigit lidah semprotkan darah!"
Bercekat hati Giok-liong.
Gigit lidah menyemprotkan darah merupakan suatu ilmu jahat dan paling ganas dari golongan Hiat-ing-bun mereka.
Ilmu ini merupakan pusaka terakhir bagi mereka yang sudah kewalahan menghadapi musuh, tidak dalam keadaan terpaksa biasanya jarang dan terlarang keras menggunakan ilmu yang berrcjn ini.
Sebab setitik saja pihak musuh terkena semprotan darah ini, selama tujuh kali tujuh jam seluruh badan akan membusuk menjadi genangan darah.
Apalagi tiada obat pemunahnya, bagi yang terkena terang jiwa sukar tertolong lagi.
Sudah tentu orang yang melancarkan ilmu ini juga pasti kehabisan hawa murni dan menjadi lumpuh, sedikitnya kehilangan daya latihan selama tiga empat tahun.
Sekarang agaknya Hiat-ing-su-ai sudah merasa kewalahan dan gusar busan main, terpaksa mereka melancarkan ilmu gigit lidah menyemprotkan darah yang sangat berbahaya itu.
Giok liong menghardik keras.
"Hiat-ing-bun tiada dendam permusuhan dengan aku, kalian hendak melancarkan ilmu jahat, adakah harganya?"
Tertua dari keempat cebol membentak gusar.
"Biia tidak mendapatkan seruling samber nyawa pihak Hiat-in-bun bersumpah tidak akan lepas tangan."
"Baik, terpaksa aku adu jiwa dengan kalian! inilah seruling samoer nyawa disini!"
Serempak sorot kuning dan cahaya putih berkelebat tahu-tahu Giok-liong sudah mengeluarkan Potlot mas dan seruling samber nyawa.
Dengan sikap gagah Giok-liong bergerak lincah berputar seperti gangsingan sepiring dengan gerak-geriknya ini irama seruling lantas mengalun tinggi seperti ular naga sedang menggelosor.
Begitu melihat seruling samber nyawa dikeluarkan seketika timbul semangat Su-ai, tergetar seluruh badan mereka, berbareng mulut mereka mendengus-dengus seperti binatang buas mengendus daging mentah.
Kepala besar mereka bergoyang goyang air muka juga menjadi bengis dan menyeringai iblis, lidahnya diulur odotfcau seperti setan gentayangan seperti lidah ular yang mulur pendek.
Tiba-tiba gadis baju kuning yang menonton dipinggir gelanggang sekian lama itu berteriak.
"Siau-hiap, biarlah aku membantumu!"
Dalam keadaan yang genting ini Giok-liong sempat berteriak. Jagalah keselamatan nona sendiri, mereka takkan dapat ... Hai, awas!"
Pada saat itulah mendadak Su ai lancar kan serangannya dengan delapan jalur panah darah menyerang kearah Giokliong, sedikit saja perhatian Giok-liong terpencar ia harus membayar mahal akan kecerobohannya ini, belum lagi kata katanya habis diucapkan mulutnya berganti berteriak kesakitan, darah terasa bergolak dan mengalir balik, mata berkunang-kunang.
Giok liong merasa tenggorokannya menjadi panas anyir.
"Wah ....."
Darah segar menyemprot keras sekali sampai sejauh tiga tombak.
Begitu serangan mereka memperoleh hasil Su-ai semakin mendapat hati, serentak mereka berteriak-teriak aneh terus memburu maju, diantara cahaya merah darah yang masih melingkupi sekitar gelanggang, delapan cakar iblis mereka sudah menubruk tiba.
"Tahan!"
Liba-tiba terdengar sebuah bentakan nyaring merdu disusul bayangan merah berkelebat datang, Tahu-tahu dihadapan mereka sudah bertambah dua orang gadis remaja.
Sekuatnya Giok-liong pentang matanya, namun tubuhnya terhuyung mundur dan jatuh terduduk diatas tanah, Terasa isi perutnya se perti dipelintir dan dicocoki jarum, sesaat lamanya hawanya murni sulit terhimpun.
Sungguh diluar perhitungannya sedikit saja perhatian terpencar sedetik itu pula, ia sudah terserang telak oleh pukulan gabungan su-ai yang dahsyat itu.
Untung ilmu gigit lidah menyemprotkan darah mereka belum sempat dilancarkan kalau tidak habis sudah riwayatnya.
Kaki tangan terasa lemas lunglai, sekuatnya ia bertahan mengempos semangat mengerahkan hawa murninya.
Melihat sergapan bersama mereka berhasil merobohkan lawan, baru saja Hiat ing-su-ai hendak bertindak lebih lanjut merebut seruling samber nyawa mendadak terdengar bentakan nyaring merdu itu, seketika mereka tertegun berdiri.
Ternyata orang yang mencegah tindakan mereka selanjutnya tak lain tak bukan adalah putri tunggal Congcu mereka sendiri yaitu tuan putri Hiat-ing Kong-cu Ling-Soat-yau bersama pelayan pribadinya Chiu-ki dengan angkernya mereka berdiri ditengah gelanggang.
Lekas-lekas Su-ai menarik kembali serangan selanjutnya, berjama mereka menjura sambil berseru.
"Menghadap Kongcu!."
Hiat ing Kong cu Ling Soat-yan mengulapkan tangan, ujarnya.
"Bebas!"
Habis berkata matanya yang jeli menyapu penrtarg kearah Giok-liong yang duduk bersila, seketika berubah hebat air mukanya, pandangan mata yang penuh nafsu membunuh terunjuk pula rata perasaan dan jelas.
"Diam-diam ia membatin.
"Siapakah gadis baju kuning ini, kenapa membopong dan menolongnya, apa mungkin."
Tak berani ia melanjutkan dugaannya.
Ternyata setelah terkena pukulan Hiat-ing-ciang dari gabungan serangan Hiat-ing-su-ai, Giok liong terluka parah, sampai duduk-pun tak kuat lagi seluruh badannya rebah dalam pelukan si gadis baju kuning, dengan mata meram dalam keadaan sadar tak sadar.
Sekuatnya ia bertahan mengempos semangat menahan sakit yang mengiris-ngiris seluruh badan.
Air mata membanjir keluar dari kedua mata si gadis baju kuning, katanya disamping telinganya dengan lemah lembut.
"Siau-hiap! Kenapa kau? Akulah yang harus mampus terlalu banyak cerewet sampai kau terpencar perhatianmu sehingga terluka parah, akulah yang mencelakakan kau!"
Mata memandang dengan beringas, dalam hati Ling Soatyan mendelu seperti ditusuk-tusuk, ia berdiri termangu sambil menggigit bibirnya. Terdengar Hiat-ing-su-ai menyembah bersama.
"Lapor kepada Kong-cu, hamba sekalian menerima perintah Cong-cu kemari untuk. ."
Tanpa menanti mereka habis berkata Hiat-ing Kong cu sudah tidak sabar lagi, sentaknya.
"Aku sudah tahu untuk merebut benda pusaka seruling samber nyawa itu bukan?"
"Ya, betul! "empat cebol mengiakan bersama.
"Congcu segera juga akan tiba."
"Apa ayah juga segera datang?" - terang Ling Soat-yan tercengang diluar dugaan. Sesaat ia hanya melirik saja, tapi akhirnya toh melangkah maju pelan-pelan sampai dipinggir Giok-Iiong, tanyanya lirih.
"Bagaimana lukamu? Apakah berat?"
"Hm,"
Jengek sigadis baju kuning.
""Kucing menangisi tikus, main pura-pura segala!"
Selebar muka Ling Soat-yan merah padam penuh rasa kebencian dan jelus, desisnya mengancam.
"Apa katamu?"
Gadis baju kuning juga tidak kalah galak dengan tangan sebelah masih memeluk Giok liong, tanpa melirik sedikit kearah Ling-Soat-yau ia menjengek.
"Terang kaum kerabatmu yang memukulnya sampai luka parah, kini kau pura-pura menaruh kasihan apa segala, tidak tahu malu!"
Jikalau ia tidak memeluk Giok-liong mungkin Ling Soat yan sudah menampar pipinya, sedapat mungkin ia menahan rasa gusarnya, semprotnya.
"Kau omong kosong belaka, Tahukah kau apa hubunganku dengan dia?"
Gadis baju kuning tertawa cekikikan dengusnya menghina.
"Paling tidak adalah laki-laki harammu !"
"Cis"
Terbakar panas selebar muka Ling Soat yau, perasaannya sangat tersinggung, setelah meludah ia memaki dengan marahnya .
"Kau ini genduk yang tidak tahu malu, lepaskan dia, kalau nonamu ini tidak mampu membunuhmu aku bersumpah tidak menjadi orang !"
Serentak Su ai melayang maju serta serunya bersama.
"Lapor Kong-cu, kini Ma Giok-liong sudah kehilangan kemampuannya, tidakkah lebih baik kita mengambil Jan-huntinya itu, kalau tidak ..."
"Pendapat siapa itu!"
Selat Ling Soat-yau sambil menggoyangkan kepala.
"Hamba berempat mendapat perintah Cong-cu, kalau tugas ini tidak dapat terlaksana sekembali kita pasti mendapat hukuman berat ..."
"Semua aku yang bertanggung jawab !"
Nada ucapan Ling Soat-yan sangat ketus, Su-ai menjadi saling berpandangan mengunjuk serba salah, Tapi mereka tahu bahwa putri bayangan darah ini adalah putri tunggal Hiat-ing-cu yang paling disayang, mana mereka berani menentang kehendaknya, keruan mereka menjadi gugup seperti semut didalam kuali.
Sementara itu gadis baju kuning sudah membimbing Giokliong bangun duduk, katanya lirib .
"Siau hiap, kau istirahatIah. Biar kuukur sampai berapa tinggi kepandaian budak baju merah yang tidak tahu malu ini."
Melihat sikap yang memprihatin terhadap Giok liong, Ling-Soat yau semakin mendelu serasa hatinya dirusuk sembilu.
"Maknya genduk yang tidak tahu malu!"
Seiring dengan makiannya ini bayangan merah lantas berkelebat merangkak maju sambil mengirim gelombang pukulan dahsyat sekali.
"Silat kampungan, masa dapat merobohkan nonamu !""
Gadis baju kuning juga tidak mau unjuk kelemahan, serempak iapun kirim berbagai tipu pukulan balas menyerang dengan hebat.
Masing-masing pihak membawa adatnya sendirisendiri, maka dapatlah dibayangkan betapa seru dan sengit pertempuran ini, dalam jangka pendek sulit menentukan siapa lebih unggul atau asor.
Giok liong mendengar semua kejadian ini dengan jelas, apa boleh buat luka-lukanya perlu perhatian serius, kaki tangan lemas lunglai lagi, terpaksa ia tinggal diam menghimpun semangat mengerahkan tenaga, pelan-pelan hawa murni mulai lancar untuk mengobatiya luka lukanya.
Sekonyong-konyong dari kejauhan sana terdengar teriakanteriakan nyaring merdu lalu baju terhembus angin berseliweran terdengar kencang lantas terlihat bayangan kuning berloncatan mendatang, terdengar sebuah suara nyaring.
"Nah itu disini bertempur dengan orang!"
Belum lenyap suara seruan seorang gadis serentak dari tengah udara beruntun melayang turun delapan gadis remaja yang mengenakan seragam kuning, di masing masing dadanya tersulam sekuntum kombang.
Dari cara berpakaian kedelapan gadis yang baru datang ini terang bahwa mereka adalah sekomplotan dengan gadis baju kuning yang tengah bertempur itu.
Betul juga gadis baju kuning yang bertempur itu lantas berteriak kearah mereka .
"sekalian cici waspadalah, gadis baju merah ini adalah siluman dari golongan Hiat-ing-bun."
Delapan gadis baju kuning itu berbareng berseru kejut, serentak mereka melejit maju terus mengepung Hiat-ing Kong-cu.
SebetuInya kepandaian Ling Soat-yau setingkat lebih tinggi dari lawannya, maka sedikitpun ia tidak ambil takut, tapi setelah dikeroyok akhirnya ia menjadi kerepotan juga, lambat laun keadaannya menjadi terdesak.
Hiat-ing-su ai melihat keadaan tuan putrinya yang tidak menguntungkan ini, saling memberi syarat, lantas berseru bersama.
"Tuan putri tak usah gugup hamba berempat disini !"
Demikian juga Chiu Ki tidak mau ketinggalan, dilolosnya sehelai sapu tangan merah jingga terus menerjunkan diri dalam gelanggang pertempuran.
Keadaan gelanggang menjadi kacau balau, bayangan kuning bergerak lincah laksana asap mengembang, sebaliknya sinar merah menyala laksana bianglala, puluhan orang berkutet begitu seru sehingga angin menderu deru mengepul tinggi.
Entah sudah berselang berapa lama kedua belah pihak masih bertahan sama kuat, Mendadak terdengar sebuah hardikan keras yang kumandang memekakkan telinga.
"semua berhenti !""
Bagai geledek menggelegar sekuntum mega merah melayang ringan sekali, kelihatan lambat tapi kenyataan cepat sekali meluncur datang susah dibedakan bentuk bayangan manusia.
Pertama-tama Hiat-ing su ai meloncat keluar dari pertempuran terus menjura dalam serta berseru lantang.
"Menyambut kedatangan Cong cu !"
Tak ketinggalan Hiat-ing Koug-cu juga meloncat keluar kalangan, teriaknya .
"Ayah !"
Meski Giok liong tengah istirahat mengerahkan hawa murni, tapi iapun dapat mendengar dengan jelas, lekas lekas ia membuka mata memandang.
Kelihatan olehnya segulung bayangan merah darah yang sukar dibedakan bentuk badannya hanya samar-samar saja seakan tiada tapi ada kelihatan seperti sosok manusia warna merah darah.
Tujuh delapan gadis baju kuning itu juga menjadi terlongong ditempatnya, terdengar diantaranya ada yang berseru lirih.
"Hiat-ing cu !"
"Setelah tahu kebesaran nama Lohu masih tidak segera menggelinding pergi jauh, apa kalian sedang menunggu kematian!"
Nadanya rendah berat dingin lagi membuat pendengarnya merinding. Gadis baju kuning yang terdahulu tadi terpaksa membantah.
"Apa mau menindas yarg kecil dan lemah ?"
"Budak besar nyalimu !"
Belum bentuk badan Hiat-ing cu kelihatan nyata gulungan bayangan merah itu ringan dan cepat sekali melayang kearah kelompok gadis gadis baju kuning itu.
seketika terdengar angin badai menderu keras menghempas kearah mereka.
kontan terdengar jerit pekik yang riuh rendah dari mulut mereka, badan mereka terpental berpencaran sungsang sumbel, sampai Giok-liong yang duduk setombak lebih di-sebelah sana juga merasakan darah bergolak dirongga dadanya, haoipir saja ia tak kuat duduk bersila.
Hanya kelihatan bayangan darah itu sedikit bergerak saja cukup menggetarkan tujuh delapan gadis-gadis baju kuning anak buah Ui-hoa-kiau sehingga mereka lari pontang-panting.
Perbawa semacam ini benar-benar belum pernah dengar dan melihatnya.
"Apakah dia ini Kim pit-jan-hun Ma Giok-liong ?"
"duk ... duk ... duk ..."
Setiap langkah kaki Hiat ing cu terdengar berbunyi berat dan nyaring sehingga menggetarkan bumi terus langsung maju kearah Giok-liong.
"Benar, dialah adanya !"
Seru Su-ai mengiakan bersama.
"Mana seruling samber nyawa itu ?"
"Hamba berempat didepan gunung tadi bersua dengan Biklian- hoa, sehingga belum dapat hasil terus mengejarnya sampai disini, lantas ..lantas ..."
"Telur busuk yang tak berguna!"
"Hamba berempat tengah merebut seruling itu, kebetulan bersua dengan Kong-cu!"
"O, biarlah Lohu turun tangan sendiri !"
Lwekang Giok-liong belum pulih, semadinya sudah mencapai saat-saat yang paling genting, sepasang matanya rada meram, dari sela-sela kelopak matanya itu ia melihat sebentuk bayangan merah darah sedang menghampiri kearah dirinya.
Tanpa berasa dalam hati ia mengeluh .
"Celaka! Tamatlah segala-galanya !"
Tiba tiba bayangan merah jingga berkelebat menghadang didepan Giok liong disusul terdengar suaranya merdu berteriak.
"Ayah !"
"Yau- in, kau minggir !" "Ayah! Dia .., dia , . .!"
"Dia bagaimana ?"
"Sekarang dia tengah terluka parah, sedang semadi menyembuhkan luka-luka itu ?"
"Demi seruling samber nyawa ayahmu tak peduli segala tetek bengek!"
"Ayah tak boleh kau ...
"
"Budak goblok ! Apa kau sudah gila, lekas minggir!"
Tampak sebuah telapak tangan merah darah menyelonong keluar dari guIungan merah itu, sehingga hawas sekelilingnya seketika terasa panas membakar.
Giok-liong sedang berusaha dengan susah payah mengerahkan hawa murninya seketika terasa olehnya seluruh isi perutnya menjadi mengangah seperti dibakar, keringat sebesar kacang mengalir deras dari atas jidatnya ! "Ayah, apa kau bisa mengampuni jiwa nya?"
"Budak, kenapa kau ini tidak lekas menyingkir ?"
"Ayah ! Kau ... kau ... ampunilah jiwanya !"
"Ai, budak ini ! Baik ambillah seruling samber nyawa itu, nanti ayahmu mengampuni jiwanya"
Hati Giok-liong gelisah seperti dibakar, dia rela berkorban demi keselamatan seruling samber nyawa itu, betapapun ia tidak rela kehilangan benda pusaka pemberian perguruan yang diandalkan kepadanya.
Apa boleh buat namun tenaga untuk berdiri saja tiada apalagi hendak melawan sampai bergerak juga susah takut membuyarkan hawa murni yang sudah mulai terhimpun, akibat ini akan membuat tubuhnya cacat untuk selama-lamanya.
Terpaksa harus pasrah nasib saja melihat orang sesuka hati berbuat atas dirinya.
Sinar mas mencorong menyilaukan mata.
Begitu putri bayangan darah merogoh kesaku Giok liong seketika ia berseru kaget, Karena yang dirogohnya keluar bukan lain tuanya Potlot masnya itu.
Semula ia sangka itulah Seruling samber nyawa, maka bahkan heran ia berseru kejut tadi.
Hiat ing-cu mendesak dua langkah, ujarnya.
"Mana Serulingnya ?"
Meski Ling Soat-yan sudah menggeledah seluruh tubuh Giok liong, namun bayangan seruling samber nyawa saja tidak kelihatan ! Dengan mendelong Hiat-ing cu awasi putrinya menggeledah tubuh Giok-liong, namun seruling samber nyawa itu belum juga diketemukan seketika hawa amarah merangsang benaknya, bentaknya dengan bengis .
"Bocah licik ?"
Lengan kanannya sedikit digentakkan pancaran sinar merah darah lantas berkembang dengan gusar ia membentak.
"Biarlah Lohu menyempurnakan kau !"
Segulung kekuatan dahsyat seperti berkuntum-kuntum bunga langsung menerjang kearah Giok-liong, Bayangan merah jingga segera menubruk maju menghadang didepan Giok-liong.
Mulut Ling Soat-yau berpekik sambil menyemburkan darah segar badannya terpental jauh terkena angin pukulan Hiat-ing cu yang dahsyat itu.
Keruan Hiat-ing-cu sangat terkejut, gerungnya keras .
"Anak ing"
Segera bayangannya berkelebat, sebelum badan Ling Soat-yau menyentuh tanah sudah diraihnya ke dalam pelukannya.
Tampak wajah Ling Soat-yau pucat pasi, darah masih meleleh dari ujung mulutnya, dari kedua matanya yang terpejam masih mengalirkan air mata, membuat siapa yang melihat merasa kasihan dan terharu.
Sedang sebelah tangannya dengan kencang menyekal secarik sapu tangan yang terbuat dari sutra halus, Sapu tangan sutra halus ini digeledahnya dari dalam baju Giokliong.
Mimpi juga Hiat ing-cu tidak menyangka putrinya bakal berbuat sebodoh itu, rela berkorban untuk menalangi pukulan yang dihantamkan kcarah Giok-liong tadi.
Kini melihat keadaan putrinya yang kempas kempis ini, hatinya menjadi duka dan perih.
"Anak Yau, kenapa kau senekad ini!"-sementara telapak tangannya menekan dijalan darah Tiong-ting tepat didepan jantungmya. Pelan-pelan Ling Soat-yau membuka mata, napasnya masih memburu, ujarnya lemah.
"Ayah, kau ampunilah dia!.dia ...
"
Hiat ing-cu menjadi keheranan dan tak habis mengerti akan sikap putrinya ini, jiwa sendiri sudah hampir direnggut oleh elmaut toh masih menguatirkan keselamatan Giok-liong, pikir punya pikir akhirnya ia menghela napas panjang, ujarnya.
"Ayah mengabulkan permintaanmu, mari pulang!"
Begitu ia mengulapkan tangan Hiat-ing-su-ai melesat bersama, lalu bayangan darah melambung pergi.
Sambil membopong tubuh putrinya yang terluka berat, Hiat-ing-cu melirik sekilas kearah Chiu ki lalu ia melompat tinggi tiga tombak lebih terus menghilang.
Alas pegunungan ini menjadi kosong dan sunyi, malam semakin berlarut, kesunyian mencekam alam sekelilingnya, Hawa malam semakin dingin, butiran air kabut membasahi seluruh tubuh Giok-liong sehingga merasa kedinginan.
Entah sudah berselang berapa lama baru Giok-liong selesai dengan semadinya.
Terasa seluruh tubuhnya sudah tiada gejala apa apa, namun ia masih tetap duduk bersila sedikit pun tidak bergerak sepasang matanya terlongong melihat barang-barang yang berserakan diatas tanah potlot mas, obat
obatan, perhiasan batu giok ... Dimanakah seruling samber nyawa? Kenapa pula sapu tangan sutra Ya, sapu tangan sutra pemberian istrinya, Coh-Ki-sia sebagai kenang-kenangan? Untuk apa Ling Soat-yau mengambil nya ? Dia adalah ..."
Lama dan lama sekali ia berpikir namun tak kuasa memecahkan pertanyaan hati sendiri.
Mendadak ia berjingkrak bangun kepalanya mendongak ke langit, mulutnya lantas menggembol keras mengalun tinggi seperti gerangan naga laksana pekik burung hong.
Memang malam ini dia merasa sangat dirugikan, selama berkilana di Kangouw belum pernah ia dihina sedemikian rupa, belum pernah tertimpa penderitaan serta siksaan lahir batin semacam ini.
Pertama di gunung Bu-tong san sana ia menjadi penasaran menjadi tuduhan yang semena mena tanpa alasan, Lalu di pancing gadis baju kuning itu, belum lagi mereka bicara habis, dirinya sudah terluka parah terkena gabungan pukulan Hiat-ing-su ai, kalau Ling Soat yau tidak muncul tepat pada wakunya, saat ini...
Jelek-jelek sebagai seorang laki laki sejati, tak duga sekali dua selalu dibela dan dimintakan pengampunan olen perempuan.
Terpikir sampai disini, seolah memperoleh suatu penghinaan yang diluar batas.
"Hiat-ing-cu, sakit hati malam ini betapa juga harus kubalas!"
Sambil berkata-kata telapak tangan kanan menghimpun tenaga terus diserang kedepan terarah kebutan didepannya yang berjarak tiga rombak jauhnya.
Tenaga yang melampiaskan kedongkolan hati ini sungguh dahsyat perbawanya, seketika terjadi suara gcmnruh akan tumbang dan patahnya dahan dahan pohon serta debu pasir yang beterbangan Pohon pohon menjadi roboh dan tumbang seperti didera oleh hujan badai.
Rada lega juga setelah Giok liong melampiaskan dongkol hatinya, Mendakak ia teringat apa-apa, Teriaknya gugup.
"O ! ya. Tentu seruling samber nyawa telah dicurinya. Waktu ia membopong aku karena pukulan Su-ai yang hebat itu, sekaligus ia merogoh dari sakuku, Kalau tidak buat apa seorang gadis tak dikenal mau membopong aku."
"Nona yang manakah membopong aku?"
Dari lamping gunung sebelah sana terlihat sebarisan gadisgadis ayu rupawan laksana bidadari mengiring seorang perempuan yang mengenakan pakaian serba kratonan, pelanpelan mereka sudah tiba didaratan tanah di hadapan sebuah batu besar, terpaut dengan Giok-liong tak lebih satu dua tombak saja.
Seketika terbangun semangat Giok-liong, tersapu habis segala pikirannya yang mengganggu benaknya tadi menjura dalam ia menyapa.
"Harap tahan, apa kalian adalah orangorang dari Ui-hoa-kau?"
Perempuan yang mengenakan pakaian serba kratonan yang mewah itu tersenyum manis, telunjuknya menunjuk sebuah sulaman kembang besar yang berada di depan dadanya, suaranya terdengar merdu.
"Apakah ini perlu ditanya lagi?"
Sulaman kembang mas didalam itu masing masing sampingnya tersulam pula enam lembar daun hijau jadi seluruhnya berjumlah dua belas lembar, sangat jelas dan menyolok mata. Bercekat hati Giok-Iiong, katanya sungguh.
"Jadi Cian-pwe adalah Ui-hoa-kiaucu Kim Eng Kim-cianpwe?"
Perempuan itu tidak menjawab pertanyaan ini, sebaliknya ia berkata.
"Kau hendak menanyakan murid yang telah memancing mu kemari itu ?"
"Ya, nona itulah yang kumaksud !"
"Mari ikut aku !"
Habis berkata sepasang biji mata Ui-hoakiaucu Kim Ing menyapu pandang dengan sorot kilat, sambil mengebaskan lengan bajunya badannya Iantas melambung ringan laksana bayangan setan, tanpa mengeluarkan suara pesat sekali bayangannya sudah menghilang dikejauhan sana! Diam-diarn Giok-Iiong merasa kagum dan memuji dalam hati.
"Hebat benar Gin-kangnya, kiranya latihannya sudah sempurna betul!"
Bukan saja gerak gerik Ui-hoa-kiaucu Kim Ing "serba aneh".
para dayang yang mengiringi dibelakangnya itu juga rata-rata berkepandaian tinggi pula.
Tanpa ayal segera Giok-liong jemput Potlot mas serta benda lain miliknya terus lari mengejar sambil mengembangkan Leng-hun-toh.
Tatkala itu sudah menjelang terang tanah, putri malam sudah hampir tenggelam kearah barat, ditengah cakrawala tinggal bintang-bintang yang berserakan memancarkan sinarnya yang kelap kelip, inilah saat paling gelap menjelang senja.
Tak lama kemudian dari depan kejauhan sana terdengar suara gemuruh laksana derap langkah kuda seperti juga air ditumpahkan dari tengah langit, sekelompok bayangan kuning berlari pesat beriring, paling belakang setitik bayangan putih mengintil dengan ketat.
Suara gemuruh itu semakin dekat dan memekakkan telinga Kiranya itulah sebuah air terjun, air tertumpah jatuh dari sebuah saluran setinggi puluhan tombak.
Bayangan kuning tadi tengah menuju kearah air terjun itulah.
Tidak ketinggalan Giok-liong juga mendarat diatas sebuah batu besar tak jauh disamping air terjun itu.
Ui-hoa-kiau cu membalik tubuh sambil unjuk senyum manis, katanya kepada Giok-liong.
"Ternyata ketenaran nama tuan tidak nama kosong belaka, Gerak tubuh yang pesat sekali. Giok-liong mandah tertawa getir, sahutnya merendah.
"Ah, Cianpwe terlalu memuji. Harap tanya dimanakah nona yang memancingku keluar dari Sam-ceng koan tadi ! Bolehkah aku menemuinya sebentar?"
Tiba-tiba Ui-hoa-kiaucu Kim Ing menarik muka, sikapnya berubah dingin, serunya sambil menunjuk kearah terjun.
"Nah itulah di-sana!"
Tak tertahan Giok liong berjingkrak kaget, kiranya diatas air terjun itu ada sebuah bayangan kuning tengah terayun-ayun bergoyang gontai karena terdorong oleh carahan air terjun.
Kadang-kadang saking keras timpahan air terjun itu sehingga bayangan kuning itu terdorong dan terayun keras menumbuk dinding batu dipinggirnya.
Setelah diawasi dengan seksama barulah jelas ternyata bayangan kuning itu bukan lain terikat kencang oleh tali menjalin sebesar ibu jari, kaki tangan ditelikung ke belakang dan diikat bersama, terus digantung diatas sebuah dahan pohon yang menjulur keluar tepat diantara air terjun yang tercurah deras itu.
Air terjun setinggi puluhan tombak maka dapatlah dibayangkan betapa keras daya timpakan air yang tercurah turun itu, manusia apakah dapat bertahan terus? Setelah berseru kejut, Giok-liong lantas bertanya dengan tak habis mengerti.
"Harap tanya Kau cu, nona ini..."
"Dia sudah berani melanggar undang-undang keras dari agama kita!"
Acuh tak acuh Ui hoa-kiancu memberi keterangan, maka begitulah cara hukuman yang harus dia jalani. Bagaimana ? Apakah karena dia tadi membopong kau lantas merasa kasihan padanya ?"
"Tidak ! Aku mencarinya karena ada persoalan lain !"
"Persoalan lain? Apakah boleh kau katakan kepadaku ?"
Agaknya Ui hoa-kiaucu merasa diluar dugaan dan terkejut. Tanpa tedeng aling-aling lagi segera Giok-liong berkata .
"Karena urusan sebuah "Seruling."
"Seruling ? Apakah seruling sarnber nyawa ?"
"Tidak salah ! Mungkia secara tidak sengaja telah dibawa pergi oleh nona itu, maka . ."
Belum habis dia berkata, terlihat berubah hebat air muka Ui hoa kiaucu, hawa membunuh seketika menyelubungi wajahnya, matanya mendelik tajam.
Tiba-tiba ia ayun kedua tangan mengebaskan lengan bajunya, Sepuluh jalur angin kencang laksana anak panah melesat cepat sekali kearah bayangan kuning yang tergantung ditengah air terjun itu, meski dari kejauhan namun serangan ini kiranya cukup hebat dan ganas, Terdengar mulut Ui-hoakiaucu berteriak memaki.
"Murid murtad! Ternyata besar sekali nyalimu !"
Seketika terdengar jeritan panjang yang mengerikan dan mendirikan bulu roma, sedemikian keras jeritan menyayatkan hati ini sampai kumandang meninggi menembus alam sekelilingnya.
Bayangan kuning yang bergoyang gontai itu kelihatan bergerak semakin kencang, lambat laun berubah dari warna kuning menjadi seluruhnya berwarna merah darah, Terang bahwa serangan telunjuk jari itu telah melukai tubuhnya sehingga seluruh badan berlepotan darah.
Giok-liong menjadi kesima, serunya tergagap .
"Cianpwe ... ini ..."
Agaknya kemarahan Ui-i oa-cu masih belum reda tangan yang terayun tadi lagi lagi bergerak mirirjg seperti membacok, mulutnya seraya berseru .
"Baiklah, sia sia aku membesarkan kau selama puluhan tahun!"
Segulung angin menerjang keluar lantas terdengar suara "Byak".
"Krak"
Air tersampuk muncrat, tali menjalin sebesar jari di atas air terjun itu juga mendadak putus mengikuti aliran air terjun yang tercurah jatuh kebawah, bayangan kuning bersemu merah itu kontan tergulung jatuh kedalam telaga dibawah jurang sana, lalu tergulung oleh ombak besar sehingga menumbuk sebuah batu cadas yang runcing, seketika badannya hancur lebur, sungguh mengerikan ! Wajah Ui-hoa-kiaucu Kim lng tetap wajar seperti tidak pernah terjadi apa-apa, ujarnya sambil mendengus.
"Menguntungkan murid murtad saja !"
Sekonyong-konyong sebuah bayangan biru meluncur datang cari tengah lamping air terjun sana terus menubruk datang, belum lagi orangnya tiba suaranya sudah berteriak memaki.
"Kim Ing ! sungguh kejam dan ganas benar hatimu !"
"Tuiiiit ...."
Lima irama seruling mengalun tinggi, disertai sinar terang memancar berkembang.
"seruling samber nyawa !"
Giok liong berteriak girang, terus menyongsong maju. Ui-hoa-kiaucu mendengus hidung, jengeknya.
"Aku tahu budak busuk itu tentu sudah memberikan seruling samber nyawa ini kepadamu !"
Tatkala mana bayangan biru itu sudah hinggap di atas sebuah batu besar.
Kiranya tak lain seorang pemuda yang mengenakan pakaian ketat warna biru, bermuka pucat, berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, badannya yang agak kurut tinggi itu kelihatan kencang berotot keras.
Senjata yang di bekal ditangan kanannya itu bukan lain memang seruling samber nyawa.
Memandang ke arah jenazah yang hancur lebur tergulunggulung di dalam air bah dibawah jurang sana, ia berteriak dengan penuh kepedihan .
"Adik Yau ! Legakan dan tenframkan kau berada di alam baka, Aku bersumpah akan menuntut balas bagi sakit hatimu ini."
Lalu dengan beringas ia mengayun seruling samber nyawa seiring dengan irama seruling yang menyedot semangat ini ia menubruk kearah Ui-hoa-kiaucu Kim Ing, meskipun gerak geriknya cukup gesit namun kelihatan bahwa Lwekangnya masih belum sempurna.
Bayangan putih melesat tiba, tahu-tahu Giok-liong sudah mencegat ditengah jalan, masih ditengah udara ia sudah berseru.
"Tuan ini harap sabar sebentar !"
Sudah tentu pemuda baju biru merasa gusar karena aksinya dirintangi, tanpa banyak buka mulut ia ayun seruling di tangannya dengan jurus To pian-toan-tui (mengayun pecut memutus air) langsung mengepruk ke jalan darah di pundak Giok-liong.
Gerak serangan ini adalah jurus umum dari ilmu silat yang paling rendah, mana bisa membawa hasil.
Gampang Giok-liong mendakan puncaknya sambil tertawa dingin, sebat sekali sebuah tangannya meraih hendak mencengkram seruling samber nyawa.
Pemuda baju biru berseru kejut, lekas-lekas ia melompat mundur sejauh tiga tombak, gerak geriknya cukup lincah.
"Apa kau juga dari golongan Ui-hoa-kiau?"
Aku yang rendah bukan orang Ui-hoa-kiau!"
"Kenapa kau merintangi aku!"
"Aku hanya minta kembali benda pusaka peninggalan perguruanku, yaitu seruling samber nyawa di tanganmu itu!"
"Kau? Kau adalah Kim-pit jan-hun Ma Giok liong? "
"Tidak berani! Memang itulah aku yang rendah,"
"Karena seruling samber nyawa ini sehingga adik Yau meninggal sedemikian mengenaskan, biarlah Hoa Sip-i adu jiwa dengan kau!"
Dengan kalap ia menerjang maju sambil mengayun seruling mengalunkan irama panjang jurus yang dilancarkan adalah Cui-hun-toh-hun membawa deru angin kencang terus menyerang kelima jalan darah penting di tubuh Giok-liong.
"Bocah yang tidak tahu mampus. Berani kau turun tangan terhadap Kim-pit-jan-hun, bukankah minta gebuk belaka mencari sengsara! Begitupun baik mengurangi tenagaku untuk mengajar bocah kurang ajar ini. Hehehe!"
Mendengar ujar Kim Ing ini lekas-lekas Giok-liong tarik kembali kedua tangannya yang sudah melancarkan serangan tiba-tiba ia mencelat mundur setombak lebih serunya.
"Aku belum pernah ketemu dengan tuan, Mengapa kau turun tangan mendesak orang."
"Sebelum melihat peti mati bocah ini tidak mengenal takut, buat apa kau main sungkan terhadap kurcaci ini."
Demikian sela Ui-hoa-kiaucu. Seruling ditangan pemuda baju biru memancarkan sinar berkeredep beratus beribu jalur, teriaknya penuh kebencian.
"Betul! Kecuali kau bunuh aku, sambutlah seranganku!"
"Baik, aku mengalah sejurus lagi! " "Ma Giok liong, jangan kau takabur dan ceroboh Lan-i - long-kun Hoa Sip-i juga bukan seorang yang bijaksana, Dengan seruling sakti di tangannya kau lebih lebih harus hatihati."
"Kim lng, sundel kau, jangan putar bacot mengadu bibir, Betapapun sakit hati adik Yau aku harus membalaskan juga!"
Meski kepandaian pemuda baju biru tidak begitu tinggi, namun dengan seruling sakti di tangannya perbawanya cukup hebat juga.
Begitulah dengan hati yang terbakar dan penuh duka ia terus menerjang maju sambil menyerang dengan senjata di tangannya.
Hati Giok-liong penuh ditandai kecurigaan entah bagaimana paling baik ia bertindak, jelas bahwa pemuda baju biru ini dengan gadis baju kuning yang telah mati itu tentu adalah sepasang kekasih.
Mungkin King Ing memerintahkan gadis baju kuning memancing dirinya, dengan tujuan seruling samber nyawa itu sebaliknya sang gadis menyerahkan seruling yang berhasil dicurinya kepada kekasihnya ini, sebab itu...
Bagaimana juga kejadian ini dirinya harus merebut kembali seruling itu dulu.
Karena pikirannya ini Giok liong tertawa lantang, serunya.
"Maaf aku berlaku kasar."
Mega putih berkelompok hawa ji-lo terkerahkan menyelubungi badan terus menerjang ke arah bayangan sinar seruling yang berputar kencang.
Dikata lambat sebenarnya cepat sekali, Terdengar keluhan tertahan, gerak bayangan biru seketika berhenti, demikian juga mega putih lantas menjadi hancur.
"Serahkan seruling samber nyawa, nanti kita berkompromi lagi!"
Kiranya dalam satu jurus saja kedua jari tangan Giok
liong telah berhasil menutuk jalan darah Ciang-hiat dibawah ketiak Hoa Sip-i, sehingga pemuda baju biru ini mati kutu.
"HoaSip i, bagaimana kata-kataku tadi?"
Karena jalan darah besar sudah tertutuk Hoa Sip i tidak berani sembarangan bergerak jidatnya basah oleh keringat dingin, kedua matanya mengalirkan air mata, tiba tiba ia ayun seruling ditangan kanannya seraya berteriak dengan kalap.
"Kalau ingin seruling ini kembali, lekas kau bunuh Ui-hoa-kiau cu. Kalau tidak aku Hoa Sip i rela gugur dan hancur bersama seruling ini."
Benar juga tanpa memberdulikan jalan darahnya yang tertutuk itu ia laksanakan ancamannya hendak membanting seruling itu diatas batu gunung. Giok-liong berjingkrak kaget, cepat-cepat ia mencegah dengan gugup.
"Tahan-tahan!"
"Lekaslah bunuhlah Kim Ing sundel laknat itu. Kalau tidak meski harus adu jiwa. maka jangan harap kau dapat memperoleh kembali seruling mu ini dengan masih utuh!"
Seruling samber nyawa terbuat dari ukiran batu giok yang paling baik mutunya, mana boleh main banting diatas batu cadas yang keras.
Sesaat Giok-liong menjadi kehilangan kontrol.
Tiba tiba sejalur bayangan kuning meluncur pesat sekali Serempak pemuda baju biru lantas mengayun tangan melemparkan seruling ditangannya itu kearah batu cadas.
Ui hoa-kiaucu Kim Ing lancarkan sebuah pukulan jarak jauh terus maju hendak merebut Giok-liong menjadi gelagapan tanpa berpikir melukai orang, lekas lekas ia menubruk maju sambil mencengkeram.
saking bernafsu mereka merebut sehingga angin pukulan juga terlalu besar, sehingga seruling itu terpental membelok meluncur ketengah udara.
Kedua belah pihak sama-sama menang-Kap tempat kosong begitulah karena dorongan angin pukulan seruling itu melesat setinggi puluhan tombak terus meluncur turun kedalam jurang telaga yang dalam sana.
"Celaka!"
Sambil mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuannya Giok-liong meluncur mengejar dengan tanpa memikirkan akibatnya, jelas seruling itu sudah separo amblas kedalam air, mendadak terlihar air muncrat air menjadi bergelombang tinggi.
Kiranya begitu dekat dengan seluruh kekuatannya Giokliong menghembuskan napas dari mulutnya berbareng cepat sekali tangannya meraih maju.
Hanya sedetik saja kaki, muka dan selebar dadanya sudah basah oleh air.
Tapi gerakan Giokliong belum berhenti sampai disitu saja, sedikit menutul kaki tubuhnya terus jumpalitan meluncur ketepi sana sejauh tujuh tombak ringan sekali kakinya mendarat disebelah sana, dimana kakinya berpijak tepat diatas dahan sebuah pohon Siong yang tua.
Memandangi seruling ditangannya sungguh susah dilukiskan perasaan hatinya, jantungnya masih berdebar keras, seluruh tubuh basah kuyup oleh keringat dan air, air mukanya serius.
Betapa tidak, seandainya seruling ini benar-benar terjatuh kedalam air terjun yang tidak terukur dalamnya itu bukankah dirinya menjadi durhaka ternadap perguruan dirinya akan menyesal dan putus asa selama hidup ini, sampai nama Kim pit jan-bun yang sepele itu juga harus dicuci bersila dan dihapus dari peninggalan sejarah dunia persilatan.
"Hm, cepat benar gerak tubuhnya !"
Sebuah dengusan dingin dari sebelah sana, Tampak Ui-hoa kiaucu Kim Ing setindak demi setindak menghampiri kearah Hoa Sip-i, kira
kira sejauh tujuh kaki ia berhenti membentak dengan nada berat.
"Memincut anak murid agama kita, ditengah jalan kau mencuri dan merampok seruling pusaka lagi, Besar nyalimu !"
Pemuda baju biru Hoa Sip-i menjadi nekad dan tidak mau kalah garang, semprotnya dengan histeris .
"Kim Ing! Sungguh memalukan dan sia-sia belaka kau menjadi seorang pimpinan agama, dengan cara kejam dan telengas kau siksa seorang gadis sebatang kara yang sengsara. Kau sudah membunuh ayahnya, menyiksa ibunya, sekarang ...
"
Sambil berkata-kaia air mata meleleh dengan deras sampai ia tak kuat meneruskan kata-katanya, akhirnya sambil membanting kaki ia mendelik dan berseru kalap .
"Biarlah aku adu jiwa dengan kau !"
"Kau belum ada harga bergebrak dengan aku !"
Seperti banteng ketaton Hoa Sip-i menyeruduk maju sambil mencengkeram kearah Kim Ing.
Tapi yang diserang mandah tertawa dingin, sedikit menggeser kaki bagai bayangan setan saja layaknya tahu-tahu ia sudah memutar di belakang Hoa Sip i.
Sebetulnya Hoa Sip-i sudah kerahkan seluruh tenaganya untuk menyerang tapi tahu-tahu bayangan orang didepannya mendadak menghilang, belum lagi ia sempat menarik kembali serangannya dan menanan badan yang menjorok kedepan itu, tahu-tahu ia sudah rasakan lima jalur angin kencang menutuk tepat dilima jalan darah penting ditubuhnya.
Seketika ia menggembor keras tertahan, badannya tersungkur jatuh terus bergulingan ditanah dari tujuh lubang indranya mengalirkan darah, kaki tangannya berkelejetan betapa saat dan derita yang dirasakan sungguh ngeri dan memilukan hati.
"Hahaha, bocah keparat ! kepandaianmu seperti sinar kunang-kunang juga berani kurang ajar terhadap aku ! Hahaha, biar kau coba rasakan betapa nikmat hajaran yang setimpal ini !"
Saking kesakitan Hoa Sip-i sudah tidak mampu lagi mengeluarkan suara, seluruh tubuh sudah dekil dan kotor oleh keringat dan debu tak menyerupai orang lagi.
Setelah seruling sudah dapat direbut kembali Giok liong berniat tinggal pergi saja, tapi entah bagaimana juga kesan lantas timbul dalam benaknya sekali loncat ringan sekali ia sudah sampai ditepi sana, sambil unjuk senyum yang dipaksakan ia menjura, katanya.
"Kaucu, kalau kau tiada permusuhan yang mendalam, silakan kau bebaskan tutukan Toan hun siok-bing-im bong-ci itu !"
"Kau mintakan balas kasihannya ?"
"Ya, cukup kasihan keadaannya !"
"Agaknya kau sudah khilaf dan lupa, sedikit terlambat tadi seruling pusakamu pasti sudah hancur lebur bukan !"
"Tentang ini aku tidak bisa salahkan dia. Bukankah kekasihnya kau ..."
"Ck, ck, ck, ck, ... tak kira ternyata Kim-pit-jan hun jaga seorang pemuda romantis."
"Terserahlah, aku tidak ikut campur lagi !"
Ujar Giok liong dengan muka merah, menjejak tanah pesat sekali ia melompat ke luar hutan sana.
"Tunggu sebentar!"
Bayangan kuning berkelebat tahu-tahu Ui-hoa kiaucu Kim Ing sudah menghadang didepannya, ujarnya sambil unjuk senyum menggiurkan.
"sebelum pergi tinggalkan dulu seruling samber nyawa!"
"Kenapa?"
"Sebab Ui hoa-kiau sangat memerlukan seruling pusaka itu." "Apa kau sudah lupa bahwa seruling ini sebenarnya adalah milikku?"
"Hanya kupinjam setahun saja, setelah waktunya tentu kukembalikan!"
"Kalau aku tidak ingin pinjamkan?"
"Terpaksa harus kurebut dengan kekerasan!"
"Hahahaha ... ."
Saking gusar Giok-liong bergelak tertawa serunya lantang.
"Baik! justru aku paling senang orang main kekerasan terhadap aku, Ui hoakiau kalian ada ilmu simpanan apa, biarlah aku yang rendah belajar kenal seluruhnya!"
Alisnya berkerut dalam, ujung bibirnya menjengek menghina. Mendadak ia melompat maju menghampiri tubuh Hoa Sip i, beruntun jarinya bergerak sebat sekali menutuk tiga puluh enam jalan darah besar ditubuhnya, lalu bentaknya keras.
"Kawan lekas pergi."
"Kau berani melepas dia!"
Terdengar hardikan marah disusul bayangan kuning menerjang dengan serangan membadai.
"Terang kau tidak memberi muka kepadaku. Masa Ma Giok liong gampang dipermainkan. Kalau kau berani merintangi aku, seumpama manjat kelangit sukarnya!"
Sembari berkata sebat sekali iapun bergerak menangkis dan balas menyerang dengan keras lawan keras.
Mega berkembang angin menderu bayangan orang menjadi berseliweran kurang jelas dipandang mata nyata kedua belah pihak sudah bertempur sengit.
Sementara itu pemuda baju biru Hoa Sip-i tengah merangkak bangun dengan napas memburu dengan ujung bajunya ia seka kotoran mukanya, dengan susah payah ia merangkak dan berusaha bangun, baru saja ia melangkah dua tindak mata terasa berkunang-kunang, puluhan bayangan kuning berkelebat melayang datang seiringan daun jatuh menghadang dihadapannya, saat mana ia sudah kempas kempis tenaga untuk berdiri juga sudah payah, akhirnya ia meleso jatuh duduk lagi, suaranya serak seperti kera berterisk.
"Kalian ini siluman jahat, bunuhlah tuan mudamu ini..."