Jilid 09
"Oh, anak yang baik! Lekas kau bimbing aku ke dalam kamar!" kata thayhou setelah mengenali Sia Po.
Dia juga tidak perlu merasa malu, memang Sia Kui cu seorang bocah laki-laki, tapi dia toh seorang thay-kam yang sudah dikebiri.
"Baik!" sahut Siau Po yang langsung memegang lengan wanita itu dan membimbingnya masuk ke dalam kamar. Dia juga membantu thayhou berbaring di atas tempat tidurnya.
Siau Po sendiri sudah terlalu letih, selesai membantu ibu suri, dia sendiri jatuh terkulai di ata permadani yang tebal, nafasnya tersengal-sengal.
"Kau berbaring saja," kata thayhou, "Nanti kalau ada yang datang, jangan mengeluarkan suara sedikit pun."
"Ya," sahut Siau Po mengangguk lemah. Sejenak kemudian terdengarlah suara yang riuh rendah di luar kamar thayhou.
Rupanya sudah banyak orang yang berkumpul di sana, Ada yang membawa obor dan ada juga yang membawa lentera.
"Eh, ada thay-kam mati di sini!" teriak seseorang dengan nada terkejut.
"Dia Hay kongkong dari ruang Siang-sian tong!" seru yang lainnya begitu mengenali siapa adanya mayat itu.
Seorang lainnya segera berteriak dengan suara lantang.
"Lapor! Harap thayhou ketahui bahwa di dalam taman ini telah terjadi sesuatu, semoga thayhou dalam keadaan baik-baik saja!"
"Urusan apa yang telah terjadi?" tanya thayhou pura-pura tidak tahu apa-apa. Jawaban itu melegakan hati para siwi dan thay-kam yang berdatangan di taman itu.
Kalau thayhou dalam keadaan selamat, berarti mereka pun aman. Meskipun peristiwa
itu terjadi di dalam keraton Cu-Ceng kiong.
"Kemungkinan hanya para thay-kam yang berkelahi, bukan urusan penting, silahkan thayhou beristirahat peristiwa ini akan segera diurus dan besok baru hamba memberikan laporan selengkapnya," sahut siwi tadi.
"Baiklah!"
Suara yang bising pun mereda, mereka bekerja dengan hati-hati. Mayat Hay kongkong diangkat kemudian reruntuhan tembok dirapikan kembali.
"Di sini masih ada mayat seorang dayang cilik!"
Tiba-tiba terdengar seseorang berteriak "Eh,., Dia masih belum mati hanya pingsan. "
"Syukurlah kalau belum mati. Nanti kalau sadar, kami bisa mendapat keterangan yang jelas darinya. "
Thayhou mendengar pembicaraan itu, dia segera menukas.
"Apa? Ada dayang kecil yang tidak sadarkan diri? Cepat pondong dia masuk ke dalam kamarku!"
Thayhou tahu satu-satunya dayang cilik yang melayaninya hanya Lui Cu. Dia harus mendapatkan nona cilik itu agar setelah sadar, Lui Cu tidak sembarangan berbicara. Perintah thayhou segera dilaksanakan. Dua orang pengawal segera memondong tubuh Lui Ci kemudian memasukkannya ke kamar ibu suri, setelah itu mereka langsung keluar lagi.
Sampai saat itu, para dayang yang lainnya serta beberapa thay-kam yang melayani ibu suri baru berdatangan. Mereka hanya berdiri di depan pintu kamar menunggu perintah. Tidak ada seorang pun yang berani lancang masuk ke dalam.
Ibu suri tahu para pelayannya sudah berdatangan, dia segera memberi perintah. "Kalian tidak perlu menunggu di sini, istirahatlah!"
Seperti mendapat pengampunan, berbondong-bondong pelayan itu menyatakan terima kasih lalu meninggalkan keraton Cu-ceng kiong.
SebetuInya, memang tidak ada dayang yang tahu thayhou mengerti ilmu silat. Kalau ia berlatih, selalu dilakukannya dalam keadaan seorang diri, baik di dalam kamar ataupun di luar, Dia melarang dayang, siwi atau thay-kam sembarangan menyentuh pintu kamarnya.
Sementara itu, thayhou segera memejamkan matanya untuk beristirahat setengah kentungan kemudian, keadaannya mulai membaik. Tenaga Siau Po sendiri sudah mulai pulih sebagian, dia bisa duduk tegak bahkan berdiri.
Thayhou bingung melihat keadaan Siau Po yang baik-baik saja, Kalau menurut pendapatnya sendiri, tendangan Hay kongkong tadi cukup dahsyat, apalagi bagi seorang bocah berusia belasan tahun. Meskipun tidak sampai mati, dapat dipastikan tulang di dadanya bisa patah, tapi kenyataannya tidak, sebab thay-kam cilik ini masih kuat memondongnya masuk ke dalam kamar.
Hal mana tidak mungkin dilakukan seseorang yang terluka parah atau tulangnya patah, Dia menerka-nerka ilmu apa yang dipelajari bocah cilik ini.
"Selain Hay kongkong, siapa lagi yang mengajarkan ilmu silat kepadamu?" tanya thayhou dengan perasaan ingin tahu.
"Hamba hanya belajar setengah tahun dari thay-kam tua itu," sahut Siau Po. "Thayhou, dia jahat sekali. Setiap hari yang dipikirkannya hanya bagaimana membunuh hamba. "
"Oh!" seru ibu suri, "Apa benar kau yang membutakan kedua matanya?"
"Tua bangka yang jahat itu siang malam terus memaki thayhou," sahut Siau Po yang cerdik dan pandai mengikuti situasi yang ada di hadapannya "Dia juga mencaci maki Sri Baginda sehingga hamba tidak tahan mendengarnya, sayangnya hamba tidak mempunyai keberanian untuk membunuhnya, hamba takut" "Bagaimana dia mencaci maki raja dan aku?" tanya thayhou.
"Ah! Mulutnya hanya sembarangan mengoceh, tidak pernah hamba mengingatnya dengan serius!
"Kau anak yang baik," puji ibu suri. "Apa keperluanmu malam-malam di taman bungaku?"
Otak Siau Po bekerja dengan cepat
"Ketika baru tertidur, hamba mendengar tua bangka itu membuka pintu kamar, Hamba takut dia akan mencelakai hamba, maka diam-diam hamba bangun dan mengikutinya. Ternyata hamba mengikutinya sampai di sini!"
"Tadi dia juga mengoceh sembarangan di ha dapanku, apakah kau dengar apa yang dikatakannya?" tanya thayhou, "Hal ini membuat perasaannya menjadi khawatir, Apalagi Siau Kui cu dekat sekali dengan Sri Baginda.
"Ucapan orang tua itu seperti kentut busuk. Maaf, hamba sampai berkata kasar di hadapa thayhou, Hal ini karena hamba benci sekali kepadanya. Setiap hari dia mencaci hamba sebagai anak kura-kura. Dia juga memaki leluhur hamba, karena itu hamba tidak pernah menanggapi apa pun yang diocehkannya."
"Kau dengar!" Tiba-tiba nada suara thayhou berubah jadi dingin, "Aku hanya bertanya, apakah kau dengar apa yang dikatakannya kepadaku malam ini?"
Siau Po cepat-cepat menggelengkan kepalanya.
"Tadi hamba bersembunyi jauh di luar taman, Tidak berani hamba berada pada jarak yang terlalu dekat dengannya, meskipun mata tua bangka itu sudah buta, telinganya justru semakin tajam. Hamba takut dia tahu akan kehadiran hamba. sebenarnya hamba ingin sekali mendengar apa yang diocehkannya kepada thayhou, tetapi sayang jaraknya terlalu jauh sehingga tidak dapat mendengar sepatah kata pun.
Sampai lama sekali hamba mengintai dari kejauhan, setelah tua bangka itu menyerang thayhou, baru hamba berani mendekat. Tujuan hamba ingin membokongnya, sayangnya hamba gagal. Hamba yakin ia tentu menjelek-jelekkan hamba di depan thayhou, Hamba mohon thayhou jangan percaya pada apa yang dikatakannya!" sahutnya cerdik.
"Hm!" Thayhou mendengus dingin sekali lagi, "Apa benar kau tidak mendengar apa yang dikatakannya? Syukurlah kalau memang benar, Kau anak yang cerdik juga berani, tapi awas kalau kelak dikemudian hari aku tahu kau berdusta!" "Thayhou memperlakukan hamba dengan baik, Kalau sampai dia bicara yang tidak genah mengenai thayhou, tentu hamba akan mengadu jiwa dengannya!"
"Bagus kalau kau bisa mempunyai pikiran seperti itu! Sebenarnya, aku tidak merasa telah memperlakukan kau dengan baik. "
"Thayhou benar-benar memperlakukan hamba dengan baik. Hamba sudah berani berkelahi dengan Sri Baginda, walaupun saat itu hamba tidak tahu bahwa beliau adalah sang Raja, tetapi thayhou tidak menyalahkan hamba sedikit pun juga, ini yang disebut budi kebaikan! Dengan matinya si tua bangka, berarti thayhou telah membebaskan hamba dari cengkeraman hatinya yang jahat!"
"Bagus, kau mengerti budi, Nah, sekarang nyalakan lilin di atas meja!" Siau Po mengiakan, dia segera melaksanaka perintah itu.
"Ke sini! Aku ingin melihat wajahmu!" kata thayhou kemudian.
Perlahan-lahan Siau Po menghampiri, dia melihat wajah ibu suri pucat sekali. Matanya setenga dipicingkan, Sinar matanya tajam sekali dan mengandung pengaruh yang besar, jantung Siau Po berdebar-debar melihatnya.
"Mungkinkah dia ingin membunuhku agar aku bungkam untuk selamanya? Kalau sekarang aku lari, dia pasti akan meringkusku, Tapi, belum tentu dia bisa mengejar aku. " pikir Siau Po ragu-ragu untuk sejenak, "Tapi kalau aku sampai tertawan, matilah
aku!"
Ketika bocah itu masih dilanda kebimbangan tiba-tiba tangannya telah dicekal oleh thayhou. Siau Po terkejut sekali, sampai dia mengeluarkan seruan tertahan.
"Kau takut? Apa yang kau takutkan?" tanya thayhou datar. "Ham... ba tidak takut, namun. "
"Namun apa?"
"Budi thayhou besar laksana gunung, apa pun keputusan thayhou, hamba akan menerimanya. " Siau Po jadi gugup, dia tidak ingat lagi apa yang ingin dikatakannya.
"Kenapa kau gemetaran?" tanya thayhou. "Ti... dak. "
Thayhou menyalurkan tenaga pada lengan kirinya. Dia ingin menghajar Siau Po sampai mati. Dia takut kelak bocah ini akan menimbulkan bencana baginya, "Apabila bocah ini mampus, rahasia tidak akan terbongkar lagi untuk selamanya," pikirnya dalam hati. Tapi barusan dia berkelahi melawan Hay kongkong, tenaganya sudah terkuras habis, seandainya Siau Po meronta sedikit saja, pasti dia akan bebas, namun dia tidak berani melakukan hal itu.
"Luar biasa anak ini. Tadi si thay-kam tua bangka itu menendangnya dengan keras, tapi dia tida apa-apa. ilmu apakah yang dipelajarinya? Sekarang tenagaku sudah habis, lebih baik aku bersabar beberapa hari dan mencari kesempatan Iainnya, pikir thayhou dalam hati.
"Malam ini kau telah berjasa, Aku akan memberikan hadiah besar kepadamu!" Kata thayhou sambil tersenyum.
"Sebetulnya tua bangka itu ingin membunuh ku!" kata Siau Po yang pandai menempatkan diri, "Thayhou telah membunuhnya, berarti thayho yang telah menolong hamba. Hamba sendiri tida berjasa apa-apa."
Senang hati thayhou mendengarkan kata-kata itu, tetapi dia tidak mengutarakannya. "Kau tahu diri, kelak aku tidak akan menyia-nyiakanmu, sekarang kau boleh
mengundurkan diri!" Perlahan-lahan thayhou melepaskan cekalannya pada tangan
bocah itu.
Siau Po menjatuhkan dirinya berlutut, dia mengangguk-anggukkan kepala untuk memberi hormat dan menyatakan perasaan terima kasihnya. Kemudian dengan setengah merangkak dia mengundurkan diri.
Thayhou memperhatikan dengan seksama, Dia melihat pakaian bocah itu penuh bercak darah, hal ini membuktikan bahwa tadi Siau Kui cu sudah muntah darah cukup banyak, tetapi gerak-geriknya tetap gesit, dia jadi heran karenanya.
Ketika berjalan keluar, Siau Po melirik ke arah Lui Cu. Dada nona itu bergerak turun naik, tanda nafasnya masih bekerja. sedangkan mata nona itu terpejam, wajahnya bersemu dadu seperti orang yang sedang tertidur nyenyak Hati Siau Po agak lega melihatnya.
"Lain kali aku akan membelikan buah-buahan dan kue untukmu," janjinya dalam hati.
Sekejap kemudian Siau Po sudah kembali ke kamarnya, Dia segera menutup pintu dengan palangnya, setelah itu baru dia bisa bernafas lega. Sejak tadi hatinya merasa tidak tenang, dia ingat selama setengah tahun lebih dia hidup bersama Hay kongkong, hatinya selalu was-was karena takut Hay kongkong mengetahui samarannya dan akan mencelakai dirinya.
"Sekarang si kura-kura tua sudah mampus. Tidak ada lagi yang perlu kutakutkan!" Namun baru berpikir sampai di sini, tiba-tiba dia teringat wajah thayhou dengan senyumnya yang menggidikkan hatinya, "Ah! istana ini tetap tidak aman bagiku, Lebih baik aku... aku. " Hatinya ragu sejenak, dia memikirkan apa yang harus dilakukannya, kemudian dia tersenyum lebar "Lebih baik aku bawa uangku yang empat ratus lima puluh ribu tail itu, Aku akan pulang ke Yangciu dan hidup senang sampai di hari tua bersama ibuku!"
Berpikir sampai di situ, hati Siau Po senang sekali, dia berjingkrak-jingkrak seorang diri, Hampir saja dia tidak bisa mengendalikan kegirang hatinya untuk berteriak sekeras- kerasnya.
Tiba-tiba Siau Po teringat tendangan keras Hay kongkong. Sampai sekarang dadanya masih terasa agak nyeri, Cepat-cepat dia menuju peti penyimpanan obat- obatan. Di dalamnya terdapat banyak botol-botol kecil dari berbagai jenis warna, Juga ada yang bertulisan sayangnya Siau Po buta huruf, tidak tahu botol mana yang berisi obat luka dalam.
"Ah! Sudahlah, Apa artinya sedikit rasa sakit ini? Bukankah selama ini tubuhku kuat, Jarang sakit dan ilmuku juga sudah sempurna?" katanya kepada diri sendiri.
Dia menutup kembali peti obat itu, dia merasa setelah kematian Hay kongkong sudah pantasnya dia mewarisi barang-barangnya itu. Maka dia pun membongkar sana sini dan ingin tahu apa saja yang bisa ditemukannya, Di dalam laci masih ada uang kontan senilai dua ratus tahil. Siau Po tidak terlalu memperhatikan uang itu, Bukankah dia mempunyai banyak uang simpanan di tangan Ngo-tu, saudara angkatnya?
Dia membongkar laci yang terakhir Tiba-tiba dia menemukan sebuah bungkusan yang tidak seberapa besar dari kain berwarna hijau, Ketika di membukanya, hati Siau Po langsung berdegup ke cang.
Isinya dua buah kitab, judulnya Si Cap Ji Ci keng!
Untuk sesaat Siau Po tertegun. Buku itu dibungkus kain hijau yang sudah kumal dan tua sekali.
"Aneh si kura-kura tua itu! Dia toh sudah memiliki buku ini, mengapa masih mencari yang lain? Mengapa dia menyuruh aku mencuri milik ibu suri? Mengapa thayhou juga mempunyai pikiran yang sama dengan kura-kura tua itu? Untuk apa sebenarnya buku ini? Segala buku tua dan bau apek diperebutkan Lebih baik berjudi agar bisa memenangkan uang banyak!"
Meskipun berpikiran demikian, Siau Po tetap memegangi buku itu, dia membalikkan halamannya sehingga terlihatlah huruf-huruf yang padat, dia memperhatikannya dengan seksama.
"Kalian mengenal aku Wi Siau-po, sayangnya aku justru tidak mengenal kalian!" gerutunya dalam hati, Dia membungkus kembali buku itu untuk memeriksa buku yang satunya lagi, Dia mengenalinya sebagai kitab yang sama.
"Dasar celaka! Tuan besar tidak ingin mengenalmu!" makinya. Dia menduga bahwa kitab itu pasti berisi ajaran Buddha, tapi dia toh membalikkan halamannya satu per satu. Kemudian dia menemukan bahwa setiap halaman dari kitab itu berisi gambar laki-Iaki bertubuh telanjang dan penuh dengan garis-garis kecil berwarna merah mirip benang halus.
Tanpa terasa, perhatiannya jadi tertarik maka dia membuka lagi halaman berikutnya dan memperhatikan dengan seksama.
Gambar orang-orang yang ada dalam kitab itu dalam posisi yang berbeda, Ada yang duduk, ada yang berdiri, ada yang setengah berlutut, ada yang berbaring dengan posisi miring. Bahkan ada yang bersikap kepala di bawah dengan kaki di atas.
"Ah! ini pasti gambar cara melatih ilmu silat." pikir Siau Po yang berotak cerdas, "llmu silat kura-kura tua lihay sekali, mungkin dia mempelajarinya dari kitab ini, Hm... dia mengajarkan ilmu silat Siaulim pai palsu kepadaku, isi kitab ini pasti asli. Kalau aku mempelajari satu dua tiga halaman saja, mungkin dalam setengah sampai satu tahun aku sudah berhasil menguasai semuanya dan aku pun akan lihay seperti si kura-kura tua. pada saat itu, tidak ada lagi orang yang sanggup menandingi aku. Aku pun menjadi si kura-kura kedua! Ai" Tidak betul! Kalau aku menjadi kura-kura kedua bukankah artinya aku menjadi kura-kura cilik?"
"Ha... ha... ha... ha..." Saking gelinya, Siau Po jadi tertawa sendiri, dengan perasaan gembira, segera membolak-balik halaman kitab itu. Dilihatnya gambar seorang Iaki-laki sedang duduk bersila. Dia segera meniru gambar itu dengan duduk bersila juga.
Tapi, baru saja dia duduk sebentar, dari depan pintu terdengar suara yang nyaring. "Kui kongkong, Kui kongkong! Selamat! Selamat! Lekas buka pintu!"
Siau Po meloncat bangun, cepat-cepat dia menyimpan kembali kedua kitab tadi dan menutup lacinya dengan rapi, setelah itu dia juga mengenakan sehelai jubah lain untuk menutupi tubuhnya yang telanjang, pakaiannya sudah dilepaskan dan dicuci bersih dari noda darah. Setelah itu baru dia berjalan menuju pintu dan membukanya.
"Hei, hei! Tunggu dulu! Urusan apa yang begitu menggembirakan?" tanyanya ramah.
Di depan pintunya berdiri empat orang thay-kam. Mereka langsung menjura memberi hormat kepada Siau Po seraya berkata.
"Selamat, Kui kongkong, Selamat!" Siau Po tersenyum.
"Apa-apaan ini? Pagi-pagi kalian sudah muncul di sini dan berteriak-teriak, Ada apa kah ?"
Salah seorang thay-kam berusia setengah baya segera menyahut "Tadi thayhou telah mengeluarkan firman kepada Lwe buhu, bunyinya menyatakan: "Oleh karena Hay tayhu Hay kongkong telah menutup mata akibat sakit yang berkepanjangan, maka jabatannya sebagai Hu congkoan diserahkan kepada Kui kongkong sekarang kongkong naik lagi pangkatnya!"
Seorang thay-kam yang lain tidak mau ketinggalan Dia tersenyum kemudian berkata. "Tanpa menunggu Lwe buhu datang kemari menyampaikan firman tersebut, kami
mendahuluinya memberi selamatl Senang sekali mengetahui bahwa Kui kongkong yang
akan memimpin Siang-sian tong mulai hari ini!"
Siau Po sendiri tidak terlalu antusias mendengar kenaikan pangkatnya, diam-diam dia berpikir dalam hati.
"Kenaikan pangkatku ini pasti karena thayhou takut aku membocorkan rahasia tadi malam. Sebenarnya, biar tidak dinaikkan pangkat, lohu juga tidak berani sembarangan bicara, bisa-bisa kepala ku pindah rumah dan mulutku disumpal untuk selamanya! Mana mungkin aku begitu bodoh berani mengoceh? sekarang thayhou telah menaikka pangkatku, aku yakin dia tidak akan membunuhku Hatiku boleh lega sekarang."
Sebelum Siau Po sempat mengatakan sesuatu thay-kam yang ketiga juga ikut menimbrung.
"Di dalam istana ini, sebelumnya tidak pernah ada seorang pun Hu congkoan yang usianya semuda Kui kongkong, jumlah keseluruhan congkoan di istana ini ada empat belas orang, sedangkan wakil nya ada delapan orang, Di antara mereka, tidak ada satu pun yang usianya kurang dari tiga puluh tahun, sekarang Kui kongkong menggantikan kedudukan Hay kongkong, berarti mulai besok kedudukanmu sudah sama dengan Tio congkoan dan Ong cong koan!"
Thay-kam yang keempat pun ikut memberika komentar.
"Kami semua tahu Kui kongkong sangat disayangi Sri Baginda. Tidak disangka kau juga dihargai oleh thayhou, Kami yakin tidak sampai setengah tahun lagi, Kui kongkong akan dinaikkan pula pangkatnya menjadi congkoan Kongkong, kami harap kelak kongkong tidak lupa kepada kami dan mau menolong kami!"
Senang juga hati Siau Po mendengar nada suara keempat thay-kam yang demikian hormat kepadanya. Bibirnya langsung menyunggingkan senyuman.
"Kita semuanya merupakan saudara. jangan bicara soal lupa atau toIong. Sudah sepatutnya kita saling memperhatikan. Dan kenaikan pangkatku itu adalah berkat kebaikan thayhou, Apalah jasa lohu?"
Tampaknya sudah menjadi kebiasaan bagi Siau Po untuk menyebut dirinya sendiri lohu, meskipun orang yang dihadapinya jauh lebih tua daripadanya sendiri. "Nah, mari kalian masuk! Di dalam kamar kita minum teh!" ajak Siau Po. Thay-kam yang berusia setengah baya tadi segera berkata.
"Firman thayhou mungkin akan disampaikan oleh Lwe buhu setidaknya siang nanti, Karena itu Kui kongkong, sebaiknya kita minum teh bersama merayakan kenaikan pangkat kongkong ini, semoga tidak lama lagi pangkat kongkong akan naik pula, Kui kongkong, kau sekarang terhitung pembesar tingkat lima. Untuk orang seusiamu, benar-benar luar biasa!"
Thay-kam lainnya ikut memberikan pujian. Bahkan ada yang ingin mengundang "Siau Po minum arak. Karena malu hati, akhirnya Siau Po mengganti pakaian yang lebih pantas, kemudian mengunci pintu kamarnya dan ikut dengan keempat thay-kam tersebut
Dua dari keempat thay-kam itu adalah pelayannya thayhou. Mereka yang menyampaikan firman thayhou kepada Lwe buhu dan juga merupakan dua orang pertama yang mendengar kabar gembira itu.
Dua yang lainnya adalah petugas Siang-sian tong yang bertugas membeli beras dan barang-barang makanan, ketika mendengar berita kematian Hay kongkong, pagi-pagi sekali mereka sudah berkumpul di depan kantor Lwe buhu untuk mendengar siapa yang akan menggantikan kedudukan thay-kam tua itu.
Dengan demikian sejak dini mereka bisa memberi selamat kepada orang yang beruntung karena hal ini penting demi menjaga kelangsungan kedudukan mereka sendiri.
Mereka mengajak Siau Po ke dapur, di sana bocah itu dipersilahkan duduk dan semuanya pun repot melayani. Mereka menyiapkan santapan yang paling lezat, bahkan lebih hebat dari hidangan yang biasa disajikan untuk Sri Baginda maupun thayhou.
Siau Po tidak suka minum arak, dia hanya menemani keempat thay-kam itu bercakap-cakap.
"Sebenarnya Hay kongkong cukup baik. Hanya saja belakangan ini kesehatannya memburuk, apalagi matanya sudah buta, Menurut kabar, dia mati karena penyakit batuknya yang sudah parah sekaii," kata salah seorang thay-kam itu.
"Benar, penyakit batuk Hay kongkong memang sudah kronis, kalau lagi batuk, kadang-kadang dadanya sampai sesak karena sulit bernafas," sahut SiauPo.
"Tadi pagi-pagi," kata thay-kam yang melayani thayhou, "Lie Taiie, si tabib istana datang melaporkan bahwa penyakit yang diderita oleh Hay kongkong adalah sakit paru- paru yang sudah menyusup ke dalam tulang dan sakit beri-beri yang sudah naik ke jantung. sedangkan penyakit lamanya kumat pula, Karena itu dia tidak dapat disembuhkan lagi, Bahkan karena takut penyakitnya bisa menular, jenasahnya langsung dibakar. Mendengar laporan itu, thayhou sampai menarik nafas panjang sekali-sekali, Thayhou menyayangkan kematian Hay kongkong yang katanya baik dan pekerjaannya bagus."
Siau Po tidak memberikan komentar. Sehabis pesta, dia kembali lagi ke kamarnya, Ketika dia mohon diri, seorang thay-kam menjejalkan sebuah bungkusan kecil ke dalam genggaman tangannya.
Begitu sampai di kamar dia segera membuka bungkusan itu, isinya ternyata uang kertas masing-masing senilai seribu tail. Diam-diam dia berkata dalam hati.
"Belum lagi aku menjabat kedudukan yang baru, uang sudah masuk kantong, Lumayan juga!"
Tengah hari, Siau Po dipanggil oleh Sri Baginda untuk menghadap ke kamar tulisnya. Ketika bocah itu melangkah masuk, kaisar Kong Hi langsung menyambutnya dengan senyuman yang meriah.
"Siau Kui cu, menurut thayhou, kemarin kau berjasa besar. Karena itu pula pangkatmu dinaikkan!"
"Hamba telah mengetahuinya," sahut Siau Po yang pandai membawa diri. Dia segera menjatuhkan diri berlutut dan menyatakan terima kasihnya. "Sebenarnya hamba tidak berjasa apa-apa. Semuanya karena budi kebaikan thayhou belaka!"
Kaisar Kong Hi tertawa.
"Siau Kui cu, walaupun usia kita masih muda, tapi kita harus bisa melakukan usaha besar agar para menteri tidak berani mencemooh kita atau mengejek kita sebagai bocah cilik yang tidak ada gunanya!"
"Benar!" sahut Siau Po. "Asal Sri Baginda sudah mempunyai rencana yang matang, apa pun akan hamba laksanakan dengan senang hati!"
"Bagus! Kau tahu Go Pay si menteri celaka itu bukan? Dia telah berani menentang aku sebagai junjungannya, meskipun sekarang dia sedang menjalani hukuman, tetapi antek-anteknya masih banyak, Aku khawatir mereka akan memberontak. Kalau hal itu sampai terjadi, negara bisa dilanda kekacauan yang tidak berani kubayangkan!"
"Benar!" sahut Siau Po setuju.
"Tadi Kong cin ong datang melaporkan bahwa Go Pay dipenjarakan di istana pangeran, tetapi setiap hari dia berteriak-teriak tidak karuan, Kata-katanya tidak enak didengar." Kaisar Kong Hi merendahkan suaranya, "Dia mengatakan bahwa aku telah menikam punggungnya satu kali." "Tapi, mana mungkin? Bukankah lidahnya sudah kita kutungkan?" tanya Siau Po dengan suara yang tidak kalah lirihnya.
"Rupanya hari itu kita kurang seksama, lidahnya tidak sampai putus. Tapi hanya terluka saja. Setelah beberapa hari lukanya sudah sembuh dan dia bisa berkaok-kaok lagi."
"Tapi kata-katanya tidak benar! Untuk menghadapi seorang Go Pay saja, tidak mungkin Sri Baginda harus turun tangan sendiri kan? sebetulnya hambalah yang menikamnya, Ada baiknya hamba datang ke Kong cin ong untuk menjelaskan hal ini."
Sebetulnya memang kaisar Kong Hi yang membokong Go Pay. Tetapi apabila hal ini sampai tersiar di luaran, tentu nama baiknya akan tercemar. Karena itu hatinya gembira mendengar Siau Po langsung mengakui bahwa dialah yang melakukan bokongan itu.
"Memang paling bagus kalau kau yang menjelaskannya sendiri," kata kaisar Kong Hi. Kepalanya manggut-manggut, "Kau boleh pergi ke istana pangeran itu dan lihat kira-kira kapan jahanam itu akan menemui kematiannya."
"Baik!" sahut Siau Po.
"Tadinya aku mempunyai keyakinan bahwa dia akan langsung mati setelah terkena tikaman itu. Siapa sangka tubuhnya begitu kuat dan bisa bertahan sampai hari ini. Aih! Kalau tahu begini..!" Wajah kaisar Kong Hi tampak sedih dan gelisah memikirkan hal itu.
Siau Po dapat menduga apa yang menjadi pikiran kaisar Kong Hi. Dia bermaksud membunuh Go Pay secara diam-diam.
"Menurut penglihatanku, orang itu tidak mungkin hidup lewat hari ini!" kata bocah itu sambil mengedipkan matanya.
Kaisar Kong Hi senang sekali mendengarnya, kemudian dia berkata dengan suara berbisik.
"Dia lihay sekali. Meskipun sudah dipenjarakan, dia ibarat seekor harimau yang ganas, itulah sebabnya kau harus berhati-hati, jangan sampai dirimu yang dilukai atau sampai terbunuh olehnya!"
"Hamba mengerti!" sahut Siau Po dengan suara Iirih.
"Nah, sekarang kau pergilah!" kata kaisar Kong Hi yang kemudian menitahkan empat orang pengawalnya mengantarkan Hu congkoan itu.
Siau Po pergi ke istana Kongcin ong dengan menunggang kuda yang tinggi dan besar, Dia di kawal oleh empat orang siwi, dua di depan dan dua lagi di belakang. Di sepanjang jalan dia selalu menoleh ke kiri dan kanan, sikapnya menunjukkan dia bangga sekali dengan kedudukannya itu. Tiba-tiba terdengar seseorang berkata.
"Apakah benar kabar yang tersiar di luaran bahwa orang yang membekuk Go Pay adalah seorang kongkong kecil yang berusia sepuluh tahun lebih?"
"Benar!" Terdengar sahutan seorang lainnya, "Sri Baginda masih muda, sekarang thay-kam yang disayangnya juga hampir sebaya dengan beliau."
"Apakah kongkong yang dimaksud bukan kongkong yang sedang menunggang kuda ini?" tanya yang satu lagi.
"Entah!"
Keempat pengawal itu mendengar pembicaraan mereka, Salah satunya ingin mengambil hati Siau Po. Dia segera berkata.
"Ketika terjadi penangkapan atas diri Go Pay, si pengkhianat, Kui kongkong inilah yang berjasa!"
Go Pay memang sangat dibenci oleh orang-orang Han sebab sikapnya yang sadis dan sering membunuh rakyat tanpa alasan yang tepat. Ketika para penduduk Peking mengetahui bahwa dia telah tertawan karena berani menghina Sri Baginda, seluruh kota menjadi gempar. Mereka senang sekali, bahkan ada yang mengadakan pesta untuk merayakan kehancurannya.
Berita itu tersebar luas, mereka pun mengetahui bahwa yang menangkap Go Pay itu adala seorang thay-kam cilik yang menjadi kesayangan Sri Baginda, sebagaimana biasanya gosip-gosip yang disiarkan, kasus yang satu ini pun dibumbui oleh orang yang satu ke orang yang lainnya, cerita itu jadi semakin seru.
Malah kalau ada seorang thay-kam yang lewat di pasar atau jalan raya, dia dihentikan orang hanya untuk ditanyakan kebenaran cerita itu karena mereka merasa penasaran sekali.
Begitu juga kali ini, begitu si pengawal mengatakan bahwa Kui kongkong inilah yang meringkus Go Pay, Siau Po langsung dikerumuni orang banyak. Ada yang menanyakan ini itu seperti wartawan, ada pula yang bersorak-sorak memuji kegagahannya, jumlahnya sampai ratusan orang.
Kalau tidak ada keempat pengawal yang menguakkan kerumunan orang banyak itu, mungkin sampai sore Siau Po masih terkurung terus, Di lain pihak, dia senang diperlakukan seperti orang penting oleh rakyat.
Setibanya di istana Kong cin ong, sang pangeran yang sudah mendengar berita tentang datangnya utusan Sri Baginda, segera membuka pintu tengah dan keluar menyambutnya sendiri, Kongcin ong bermaksud mengatur meja sembahyang dan memasa hio untuk menerima firman Sri Baginda, Siau Po langsung mengulapkan tangannya sambil berkata.
"Ongya, kedatangan hamba hanya menjalankan tugas Sri Baginda untuk melihat keadaan Go Pay, Bukan untuk hal penting apa-apa."
"Baiklah kalau begitu," sahut sang pangeran yang sikapnya ramah sekali terhadap si thay-kam gadungan, Dia tahu Siau Po selalu mendampingi raja yang sudah membuat jasa besar dengan meringkus Go Pay.
"Kui kongkong," katanya kemudian, "Kedatangan kongkong merupakan suatu kehormatan bagi kami. Nah, mari kita minum dulu satu dua cawan, setelah itu kita baru lihat Go Pay."
Siau Po menerima baik undangan itu, sesaat kemudian dia sudah duduk bersama Kong cin ong. Keempat pengawal yang mengiringinya juga diajak duduk bersama.
Perjamuan itu dilakukan dalam taman bunga, Kong cin ong menanyakan apa kesukaan kongkong kecil itu, Siau Po berpikir dalam hati.
"Kalau aku mengatakan bahwa kegemaran ku berjudi, mungkin pangeran ini akan menemaniku bermain dan aku pun akan memenangkan uang yang banyak. Tapi cara itu kurang baik apabila sampai didengar oleh raja..." karena itu dia segera menjawab "Hamba tidak mempunyai kesukaan apa-apa."
Kongcin ong menguras otaknya, Dia ingin menyenangkan hati Siau Po.
"Orang yang sudah tua suka uang, orang yang usianya setengah baya biasanya suka perempuan tapi kongkong ini justru masih kecil lagipula dia seorang thay-kam, mana mungkin tertarik dengan wajah cantik? Lalu, apa kira-kira kesukaannya? Barang apa yang harus kuhadiahkan kepadanya.
Dia pandai silat, tentu suka dengan golok atau pedang mustika, tetapi di dalam istana tidak boleh sembarangan menyimpan senjata tajam. Kalau sampai terjadi apa-apa, aku yang tertimpa bencan Ah... ya... aku tahu sekarang!" pikirnya dalam hati.
Pangeran itu pun tertawa lebar
"Kui kongkong, di dalam istalku ada beberapa ekor kuda pilihan, Karena kita sudah menjadi sahabat karib, harap kongkong sudi memilih beberapa di antaranya sebagai hadiah dan kenangan untukmu."
Siau Po senang mendengar Kongcin ong menawarkan hadiah itu kepadanya, tapi dia pura-pura berkata.
"Ongya, mana boleh ongya memberikan hadiah kepada hamba." "Kita adalah orang sendiri, jangan sungkan" kata Kong Cin-ong, "Mari, kita lihat kuda- kuda itu dulu, nanti kita teruskan lagi perjamuan ini!"
Kong cin ong langsung menggandeng tangan Siau Po dan mengajaknya menuju istalnya, Pangeran itu segera menitahkan orangnya untuk mengeluarkan beberapa ekor kuda kecil.
Mendengar pangeran itu mengatakan "kuda kecil," hati Siau Po merasa kurang puas. "Mengapa kuda kecil yang akan dihadiahkan kepadaku? Apakah karena dia
menganggap aku masih kecil sehingga tidak sanggup menunggang kuda yang besar?"
gerutunya dalam hati.
Saat itu juga dia melihat seorang pegawai Kongcin ong menuntun enam ekor kuda ke hadapan mereka, Siau Po menatapnya sekilas kemudian tertawa lebar sambil berkata.
"Ongya, tubuh hamba memang tidak tinggi, tapi hamba senang menunggang kuda yang besar. Dengan demikian hamba tidak akan terlihat kecil"
Kong cin ong mengerti. Dia menepuk pahanya dan tertawa terbahak-bahak. "Aih! Kenapa aku sampai lupa!" katanya, kemudian dia pun memerintahkan
orangnya, "Kau bawa kemari kuda Giok Hoa-cong! Biar Kui kongkong melihatnya!"
Perawat kuda itu mengiakan, dia segera pergi dan sejenak kemudian sudah kembali lagi dengan menuntun seekor kuda yang tinggi dan besar. Bulunya berwarna merah dan tubuhnya bertotolan, Ketika kuda itu mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, sikapnya gagah sekali.
Sedangkan pakaiannya terbuat dari emas dan batu permata yang bertaburan, jangan kata kudanya, pakaiannya saja sudah tidak ternilai harganya.
"Bagus!" puji Siau Po. sebenarnya dia tidak bisa membedakan mana kuda bagus dan mana kuda jelek, dia hanya memuji karena tampangnya saja yang kelihatannya gagah.
Kong cin ong tertawa.
"Kuda ini berasal dari wilayah barat, jenis kuda Ferghana, jangan kau lihat tubuhnya yang tinggi besar, padahal usianya masih muda, baru dua tahun lewat beberapa bulan. Kuda yang bagus harus di tunggangi oleh orang yang gagah. Nah, saudara Kui bagaimana kalau kau memilih kuda ini saja?"
Dari kongkong, sebutan pangeran terhadap si bocah cilik berubah menjadi "saudara", Hal ini membuktikan bahwa perasaan Kong Cin-ong sudah akrab sekali dengan si thay- kam cilik palsu ini. "Ta... pi, ini kan kuda ongya sendiri? Mana berani hamba menerimanya? Lagipula hadiah ini terlalu istimewa bagi hamba.,." kata Siau Po.
"Aih, Saudara Kui. jangan menganggap aku sebagai orang luar, Kalau kau menolak, berarti kau tidak memandang mata kepada ku. Apakah saudara memang keberatan bersahabat denganku?"
"Ongya, di dalam istana kedudukan hamba rendah sekali, Mana pantas hamba bersahabat dengan ongya."
"Kami bangsa Boanciu adalah orang-orang yang terbuka, Kalau kau memang menganggap aku sebagai sahabat, terimalah kuda ini, MuIai sekarang tidak ada perbedaan derajat lagi di antara kita. Kalau tidak, aku benar-benar marah. " Wajah
Kong Cin-ong tampak serius sekali ketika mengucapkan kata-kata itu.
Siau Po merasa simpatik terhadap pangeran ini.
"Ongya, kau... begitu baik terhadap hamba. entah bagaimana hamba harus
membalasnya. "
Mendengar kata-kata Siau Po, wajah Kong Cin-ong berubah berseri-seri seketika. "Jangan bicara soal budi, kalau kau sudi menerima kuda ini, berarti kau benar-benar
menghargai aku."
"Kong Cin-ong menghampiri kudanya kemudian menepuk-nepuknya dengan lembut. "Giok Hoa, Giok Hoa," katanya kepada kuda itu, "Mulai sekarang kau ikut dengan Kui
kongkong, Harap kau melayaninya dengan baik."
Kemudian Kong cin ong menoleh kembali kepada Siau Po dan berkata. "Saudara Kui, cobalah menunggangnya."
"Baik!" sahut Siau Po tertawa.
Siau Po langsung memegangi pelana kuda itu kemudian loncat ke atasnya, dia menggunakan ilmu yang diajarkan oleh Hay kongkong.
"Bagus!" puji Kong cin ong. Dia melihat gerakan Siau Po yang lincah sekali.
Siau Po menunggangi kuda itu berkeliling beberapa saat, ketika dia menarik tali kendalinya, kuda yang jinak itu langsung berhenti, Hatinya senang sekali mendapatkan kuda yang cerdas.
"Bagus! Bagus!" puji Kongcin ong sambil bertepuk tangan. "Ongya, hamba mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas hadiah yang tidak ternilai ini, Nah, sekarang sudah waktunya hamba melihat Go Pay. sekembalinya nanti, hamba akan menemani Ongya lagi!"
Hal ini membuktikan bahwa Siau Po tidak melupakan tugasnya meskipun hatinya yang kekanak-kanakan masih ingin bermain-main dengan kuda yang luar biasa itu.
"Baiklah," sahut Kongcin ong. "Tugas memang harus diutamakan, Namun saudara Kui, apabila kau kembali ke istana nanti, tolong sampaikan pada Sri Baginda bahwa aku akan menjaga si pengkhianat itu baik-baik, meski dia mempunyai sayap sekalipun, jangan harap dapat meloloskan diri dari tempat ini!"
"Tentu" kata Siau Po.
"Apakah saudara ingin kutemani?" tanya Kongcin ong.
"Terima kasih, Hamba tidak ingin mencapaikan Ongya," kata Siau Po.
Sebetulnya Kongcin ong juga tidak suka bertemu dengan Go Pay. Setiap kali dia melihatnya, orang itu selalu mencaci-makinya habis-habisan sampai dia merasa kehilangan muka di depan para bawahannya. Karena itu, dia menugaskan delapan orang siwi untuk mengawal Siau Po menjenguk orang yang di penjara dalam kamar tahanan itu.
Siau Po segera diantar ke sebuah rumah batu yang letaknya terpisah dari bagian yang lain, Di depannya menjaga enam belas orang wisu. Tangan mereka masing- masing menggenggam sebatang golok yang berkilauan saking tajamnya, Dua orang di antaranya berjalan mondar-mandir untuk menjaga-jaga terhadap kemungkinan adanya orang yang bisa menyelinap.
Salah seorang siwi segera menemui wisu kepala, dia melaporkan bahwa Kui kongkong sebagai utusan raja datang untuk melihat Go Pay. Semua wisu segera menjura dalam-dalam kepada Siau Po.
Setelah itu kepala wisu mengeluarkan kunci untuk membuka pintu kamar tahanan dan mempersilahkan kongkong kecil itu masuk ke dalam.
Kamar tahanan itu gelap gulita, Di sudut ruangan ada dapur dan seorang petugas sedang menanak nasi.
"Pintu penjara ini tidak pernah dibuka, barang makanan dapat diselusupkan lewat celah yang ada. Petugas itulah yang biasa melayaninya," kata si kepala wisu menerangkan.
"Bagus! Ketat sekali penjagaan di sini, Asal pintu besi itu tidak dibuka, otomatis tahanan pun tidak dapat melarikan diri!" sahut Siau Po sambil menganggukkan kepalanya. Wisu itu ikut mengangguk.
"Ongya telah berpesan wanti-wanti, apabila tahanan ini sampai lolos, semuanya akan mendapat hukuman mati!"
Wisu itu mengajak Siau Po masuk ke halaman dalam. Mereka sampai di sebuah ruangan kecil, dari situ sudah terdengar suara teriakan Go Pay rupanya dia tengah mencaci maki Sri Baginda.
"Roh nenek moyangmu akan mendapat ganjaran! Locu sudah mengalami kematian berkali-kali, Locu telah membuat jasa yang tidak terkirakan banyaknya, semuanya demi para leluhurmu. Demi ayahmu! Karena jasaku, dia mendapat negara yang kaya dan luas ini.
Sekarang kau, setan cilik yang bejat! Usiamu masih muda, tapi hatimu sudah busuk! Kenapa kau mencelakai locu dengan cara membokong? Ingat! Kalau locu mati, biar jadi setan pun, locu tidak akan mengampunimu!"
Wisu kepala yang mendengar dampratan yang tidak enak itu langsung mengernyitkan keningnya.
"Dengarlah kata-kata jahanam itu! Matanya benar-benar sudah tidak memandang tingginya langit dan undang-undang kerajaan! Dia pantas mendapat hukuman penggal kepala!"
Siau Po tidak memberikan komentar, dia melangkah perlahan menuju kamar penjara yang kecil. Dari jendela yang ada di dalam ruangan ada sinar suram yang menyorot masuk, Siau Po dapat melihat keadaan Go Pay.
Tangannya dibelenggu oleh borgol yang besar, rantainya cukup panjang sehingga dia dapat berjalan mondar-mandir di kamar itu. Suara bising terpancar dari rantai yang diseret-seret itu terdengar jelas.
Ketika dia mengangkat kepalanya dan melihat Siau Po, Go Pay langsung berteriak seperti orang kalap.
"Kau... Kau setan cilik yang harus mampus beribu kali, Masuklah kemari! Lihat bagaimana locu akan mencekik lehermu sampai mampus!" Matanya mendelik dan memancarkan sorot kegusaran yang tidak terlukiskan.
Dengan sengit, dia maju ke depan dan menghantam borgol tangannya ke jeruji besi penyekat jendela tahanannya, suaranya sampai memekakkan gendang telinga.
Meskipun sudah berusaha menenangkan dirinya semaksimal mungkin, Siau Po tetap terkejut. Kakinya sampai surut ke belakang dua langkah, matanya menatap Go Pay dengan sorot ngeri karena orang itu memang garang sekali. "Jangan takut!" hibur si wisu kepala, "Dia tidak dapat menerjang keluar." "Mengapa harus takut?" sahut Siau Po sok gagah, "Sekarang harap kalian
menunggu di luar, menurut perintah yang diberikan oleh Sri Baginda, ada beberapa
pertanyaan yang harus aku ajukan kepadanya!"
Wisu itu mengiakan. Dia segera mengajak rekan-rekannya keluar dari ruangan tersebut.
Go Pay masih tetap mencaci maki dengan nada lantang, setelah berada berduaan, Siau Po tertawa lebar.
"Go siaupo!" sapanya ramah, Dia sengaja nyebut siaupo yang artinya pelindung raja, Sedangkan jabatan Go Pay telah dicopot "Siaupo, Baginda menitahkan aku datang menjengukmu, beliau ingin tahu apakah kau dalam keadaan baik-baik saja atau tidak. Tapi kalau mendengar suara caci makimu yang demikian bersemangat, tampak kesehatanmu baik sekali. Kalau Sri Baginda mengetahuinya, tentu beliau akan senang sekali."
Go Pay mengangkat kedua tangannya, rantai penyambung borgolnya dihantamkan ke jeruji jendela.
"Setan gentayangan! Anak turunan anjing, sana beritahukan kepada Raja, tidak usah pura-pura kasihan. Kalau mau bunuh silahkan, apa kira Go Pay akan merasa takut?"
Siau Po menyurut mundur dua langkah, khawatir jeruji besi itu akan jebol terkena hantaman Go Pay. Bibirnya kembali menyungging senyuman.
"Sri Baginda memang sangat membencimu, dia tidak ingin kau mati cepat-cepat, Sri Baginda malah berharap kau akan berumur panjang hingga dapat menikmati kehidupan di sini selama dua puluh atau tiga puluh tahun lamanya, apabila kau benar-benar sudah menginsyafi kesalahanmu dan merangkak di depan Sri Baginda sambil membenturkan kepalamu di atas tanah sampai beratus kali, dan memohon pengampunan mu.
Mengingat jasa yang telah kau dirikan, Sri Baginda akan membebaskan kau dari penjara ini. Tapi, jabatanmu yang telah dicopot tidak dapat kau peroleh kembali."
Mendengar kata-kata Siau Po, diam-diam Go Pay berpikir dalam hati.
Tentu sengsara sekali dikurung dalam tahanan ini sampai puluhan tahun, dengan demikian mati atau hidup hampir tidak ada bedanya, Bahkan lebih menderita daripada mendapat hukuman penggal kepala!"
Biarpun benaknya berpikir demikian, tapi pada dasarnya Go Pay beradat keras, dia tidak sudi menyerah pada Sri Baginda begitu saja. Dia tidak mau berlutut atau memohon pengampunan justru kepada orang yang dibencinya dan tidak dipandang sebelah mata olehnya. "Beritahukan kepada raja agar dia jangan bermimpi di siang bolong! Mungkin tidak sulit baginya untuk membunuh Go Pay, tapi jangan berharap mudah menyuruh Go Pay berlutut memohon pengampunan!"
Tawa Siau Po semakin lebar mendengar ucapan nya.
"Kita lihat saja nanti!" katanya "Tiga atau empat tahun kemudian, asal Sri Baginda teringat kepadamu, tentu beliau akan mengutus orang kemari untuk menjengukmu Go tayjin, jagalah kesehatanmu baik baik. Hati-hati agar jangan sampai masuk angin dan terserang penyakit batuk."
"Kau benar-benar anak haram!" maki Go Pay "Sri Baginda sebenarnya cukup baik, tapi dia mudah dipengaruhi kalian, orang-orang Han yang berhati busuk! Kalau sejak semula Raja mendengarkan nasehatku, tentu istana tidak ada seorang menteri pun di istana yang berbangsa Han, bahkan seekor anjing Han pun dilarang masuk ke dalam, Kalau perkataanku diikuti, tentu keadaannya tidak menjadi kacau seperti sekarang ini!"
Siau Po tidak memperdulikan umpatannya, Di berjalan ke arah dapur dan membuka tutup kuali, di dalamnya terdapat masakan daging dengan sawi putih.
"Baunya sedap sekali!" puji Siau Po.
"Beginilah makanan orang tahanan, Tidak ada yang lezat?" sahut si pengurus dapur. "Sri Baginda memerintahkan aku memeriksa hidangan untuk orang tahanan ini. Tidak
boleh sembarangan memberikan makanan kepadanya!"
"Harap kongkong jangan khawatir, dia tidak bakal kelaparan Ongya juga berpesan agar setiap hari dia dimasakkan sekati daging."
"Ambilkan mangkuk, aku akan mencicipi makanan ini. Kalau kau berbuat yang bukan-bukan akan kuadukan kepada Ongya agar kau dihajarnya habis-habisan!"
Pelayan itu ketakutan setengah mati.
"Hamba tidak berani main gila!" sahutnya sambil memgambilkan sebuah mangkuk dan menyendokkan masakan ke dalamnya, Kemudian disodor-kannya kepada Siau Po dengan penuh hormat.
Siau Po mencicipi satu sendok kuah masakan itu, dia tidak memberikan komentar apa-apa, hanya berkata:
"Apakah setiap hari kau memberinya sekati daging? Jangan-jangan kau menyisihkannya untuk mengenyangkan perutmu sendiri!"
Pelayan itu menggelengkan kepalanya berkali-kali. "Tidak, tidak! Hamba mana berani melakukan perbuatan itu? sekarang juga... hamba akan menyuguhkan makanan kepada tahanan itu," katanya gugup.
Dia segera menyendokkan semangkuk besar masakan dan tiga mangkuk nasi, Siau Po mengangkat sumpit yang tergeletak di samping dan memperhatikannya dengan seksama.
"Sumpit ini kotor sekali, Kau cuci dulu biar bersih!"
"Baik, baik." sahut pelayan itu yang langsung membawa sumpit itu untuk dicuci di pancuran air di luar.
Di saat pelayan itu sudah pergi, Siau Po segera mengeluarkan sebungkus bubuk berisi obat, dituangkannya setengah ke dalam masakan daging kemudian sisanya disimpan kembali. Kemudian dia mengaduk-aduk masakan itu agar obatnya larut.
Siau Po tahu Sri Baginda ingin membunuh Go Pay, itu sebabnya dia membuka peti obat milik Hay kongkong untuk mencari racun yang mematikan. Tapi dia tidak tahu yang mana obat beracun yang diinginkannya, akhirnya dia mencampur beberapa macam obat menjadi satu, karena dia yakin beberapa di antaranya pasti ada obat yang mengandung racun mematikan sekarang obat itulah yang dimasukkan ke dalam masakan yang akan dihidangkan untuk Go Pay.
Sesaat kemudian pelayan tadi sudah kembali lagi dengan sumpit yang sudah dicuci bersih.
"Ya, dagingnya memang tidak sedikit. Tapi, apa sehari-harinya selalu begini? Apa kau tidak mencuri makanannya?"
"Tidak, tidak, kongkong!"
"Nah, pergilah kau antarkan makanan ini!"
"Baik, kongkong!" sahut pelayan itu yang segera membawa makanan yang telah disiapkan.
Siau Po puas sekali, sembari mengetuk-ngetuk mangkuk dengan sumpit, ia berpikir. "Kalau Go Pay sudah menyantap hidangan itu, tentu darah akan mengalir dari mulut
hidung dan telinganya!" Dengan membawa pikiran itu, Siau Po segera berjalan keluar
menemui para penjaga.
"Go Pay sedang makan, mari kita lihat," katanya kepada kepala wisu. "Mari!" sahut orang itu. Siau Po dan wisu kepala itu jalan berdampingan. Baru melangkah masuk pintu, tiba- tiba terdengar suara yang gaduh, Terdengar seseorang membentak.
"Siapa? Berhenti!" Kemudian disusul dengan suara sambaran anak panah.
Wisu kepala itu terkejut sekali. "Kongkong, kau duluan, Nanti aku lihat apa yang terjadi!" serunya sambil menghambur keluar
Siau Po juga mengikuti di belakangnya, segera terdengar suara keras seperti bentrokan senjata tajam.
Ternyata ada belasan orang berpakaian hijau yang sedang berkelahi melawan para wisu. Melihat hal itu, hati Siau Po tercekat.
"Ah! Mungkinkah mereka konco-konconya Go Pay yang datang untuk menolongnya?" tanyanya dalam hati.
Si wisu kepala langsung menghunus senjatanya dan memegang tampuk pimpinan. Dia memberikan petunjuk-petunjuk kepada anak buahnya namun pada saat itu, dia diserang oleh seorang laki-Iaki dan perempuan dari kedua sisinya.
Empat siwi yang mengawal Siau Po ada di dekatnya, mereka segera memberikan bantuan kepada para wisu.
Dalam sekejap mata dua orang wisu sudah berhasil dirobohkan oleh rombongan orang berpakaian hijau itu.
Siau Po segera menyusup ke dalam ruangan dan menutup pintunya rapat-rapat. Tapi baru saja di mengangkat palang pintu itu, titta-tiba terasa ada serangkum angin tolakan yang keras sehingga tubuh bocah itu terpental ke belakang, setelah itu tampak empat orang berpakaian hijau meloncat ke dalam sambil berteriak:
"Go Pay! Di mana Go Pay?"
Malah seorang laki-laki yang usianya agak lanjut dan wajahnya dipenuhi janggut langsung mencekal Siau Po sebelum bocah itu sempat melakukan apa-apa.
"Di mana Go Pay ditahan?" bentaknya garang.
"Di luar, dalam kamar ada ruangan bawah tanah," sahut Siau Po sambil menunjuk keluar.
Dua orang berpakaian hijau segera menghambur keluar, sebaliknya dari luar ada empat orang lainnya yang menerjang masuk terus menuju belakang.
"Di sini!" Terdengar teriakan salah satu di antaranya. Orang tua yang mencekal Siau Po marah sekali, dia langsung mengirimkan sebuah bacokan ke arah Siau Po yang untung sudah terlepas dari cekalannya. Siau Po menghindarkan diri dengan gesit. Namun dari sisi kirinya ada seorang berpakai hijau lainnya yang langsung menyerangnya.
Dukk! punggungnya terhajar. Sekali lagi tubuhnya terpental ke halaman belakang, namun kali ini dia tidak sanggup bangun lagi.
Enam orang berpakaian hijau menyerbu ke dalam penjara, tetapi pintu besinya kokoh sekali, tidak mudah dijebol.
Sementara itu di luar terdengar suara gong yang bising. Rupanya para wisu sedang meminta bala bantuan.
"Cepat!" gertak salah seorang berpakaian hijau itu.
"Ngaco" Sahut yang tidak tahu "kita tidak boleh menunda waktu lama-Iama di sini?" bentak si orang tua tadi.
Seorang berpakaian hijau kewalahan menggempur pintu besi yang kokoh itu. Dia segera menuju jeruji jendela dan menghajarnya dengan senjata ruyungnya. Baru beberapa kali hantaman, besi jeruji jendela itu sudah melengkung.
Jumlah mereka semuanya menjadi enam orang, sedangkan ruangan itu cukup sempit sehingga mereka harus berdesak-desakan. Ketika mereka semua sedang mengepung kamar tahanan itu, Siau Po mulai dapat merangkak.
Dia berniat menyingkir dari tempat itu, tapi belum beberapa tindak, seseorang telah memergokinya, orang itu langsung menikam ke arahnya.
Untung saja Siau Po waspada, dia segera menggulingkan tubuhnya, namun meskipun demikian ujung pedang itu sempat juga mengoyakkan pakaiannya dan menyayat bagian iganya, Siau Po tidak memperdulikan nyeri yang dirasakannya, Yang paling utama baginya hanya menyelamatkan diri. Dia terus melompat sekuat tenaga dan menghambur.
"Setan cilik!" damprat seseorang yang melompat sambil membacokkan goloknya.
Siau Po terdesak, tidak ada tempat baginya untuk meloloskan diri, akhirnya dengan nekat dia menerobos ke dalam dua jeruji jendela yang sudah dilengkungkan oleh kawanan berpakaian hijau itu.
Seorang berpakaian hijau berusaha menahannya dengan serangan, tetapi dia hanya berhasil menghajar jeruji besi karena tubuh Siau Po sudah nyeplos ke dalamnya.
"Biarkan aku masuk! Biarkan aku masuk!" teriak salah seorang dari kawanan berpakaian hijau itu. Dia bermaksud menyelusup ke dalam jeruji besi seperti halnya Siau Po. Sayang tubuh orang itu terlalu besar, hanya bagian kepalanya saja yang bisa masuk lewat jeruji itu.
Siau Po segera mengeluarkan belatinya dan menggenggamnya erat-erat, Dengan panik dia berteriak.
"Lekas panggil bala bantuan! Lekas panggil bala bantuan!"
Dari luar terus berkumandang suara pukulan gong dan bentrokan senjata, Ketika Siau Po sedang berteriak-teriak, tiba-tiba ada angin keras yang menyambar ke arahnya. Belum sempat dia mengetahui apa yang telah terjadi, tahu-tahu tubuhnya sudah terpelanting kemudian bergulingan beberapa kali.
Kemudian dia juga mendengar suara keras yang memekakkan telinga, cepat ia menolehkan kepalanya. Dilihatnya Go Pay sedang menyerang kesana kemari dengan tangan tetap terbelenggu kata-katanya tidak jelas lagi, hanya suaranya keras dan tidak enak didengar.