Taiko Bab 23 : Si Monyet Menuju ke Barat

Bab 23 : Si Monyet Menuju ke Barat

TlDAK lama setelah pertemuannya dengan Kanbei, Hideyoshi menerima tugas khusus dari Nobunaga.

"Sebenarnya." Nobunaga mulai berkata, "aku sendiri ingin memimpin pasukan dalam ekspedisi ini, tapi keadaan tidak memungkinkan. Karena alasan itu, aku mempercayakan semuanya padamu. Kau akan memimpin tiga pasukan, membawa mereka ke provinsiprovinsi Barat, dan membujuk marga Mori agar mau tunduk padaku. Ini tanggung jawab besar yang hanya dapat diemban oleh kau seorang. Bersediakah kau?"

Hideyoshi membisu. Ia begitu gembira dan dipenuhi rasa terima kasih sehingga tak sanggup menjawab langsung.

"Hamba menerima tugas ini," ia akhirnya berkata dengan emosi mendalam.

Ini baru kedua kali Nobunaga mengerahkan tiga pasukan dan menyerahkan kepemimpinan kepada salah satu pengikutnya. Sebelumnya ia menugaskan Katsuie sebagai panglima tertinggi operasi di Utara. Tapi karena demikian penting dan begitu sukar, penyerbuan ke provinsi-provinsi Barat tak dapat dibandingkan dengan operasi di Utara.

Hideyoshi merasa seolah-olah beban yang teramat berat diletakkan ke atas bahunya. Ketika melihat roman muka Hideyoshi yang  ragu-ragu, Nobunaga tiba-tiba waswas dan bertanya-tanya apakah tanggung jawab tersebut tidak terlalu berat. "Apakah Hideyoshi memiliki kepercayaan diri untuk memikul tanggung jawab ini?" ia bertanya dalam hati.

"Hideyoshi, apakah kau akan kembali dulu ke Benteng Nagahama sebelum mengerahkan pasukan?" tanya Nobunaga. "Atau kau lebih suka bertolak dari Azuchi?"

"Jika tuanku memperkenankan, hamba akan berangkat dari Azuchi hari ini juga."

"Kau tidak menyesal meninggalkan Nagahama?" "Tidak. Ibu, istri, dan anak angkat hamba berada di

sana. Mengapa hamba harus merasa sedih?"

Anak angkat yang dimaksud adalah putra keempat Nobunaga, Tsugimaru. Hideyoshi telah diperkenankan Nobunaga untuk membesarkannya.

Nobunaga tertawa, lalu bertanya, "Kalau operasi ini ternyata berkepanjangan dan provinsi asalmu jatuh ke tangan anak angkatmu, di mana kau akan membentuk wilayahmu sendiri?"

"Setelah menundukkan daerah Barat, hamba akan memintanya."

"Dan kalau tidak diberikan?"

"Barangkali hamba bisa menaklukkan Kyushu dan tinggal di sana." Nobunaga tertawa terbahak-bahak, dan melupakan perasaan waswasnya kemula.

Dengan gembira Hideyoshi kembali ke ruangannya, dan segera menceritakan perintah Nobunaga pada Hanbei. Hanbei langsung mengirim kurir pada Hikoemon, yang bertanggung jawab di Nagahama selama Hideyoshi pergi. Hikoemon berjalan sepanjang malam, memimpin pasukan untuk bergabung dengan majikannya. Sementara itu, sebuah pemberitahuan diedarkan pada semua jendral Nobunaga, berisi kabar mengenai penugasan Hideyoshi.

Ketika Hikoemon tiba pada pagi hari dan mendatangi ruangan Hideyoshi, ia menemukan Hideyoshi sendirian, sedang mengoleskan moxa ke tulang kering.

"Itu persiapan yang baik untuk menghadapi operasi militer," ujar Hikoemon.

"Aku masih punya setengah lusin bekas luka di punggung, dari waktu aku diobati dengan moxa ketika aku kanak-kanak." jawab Hideyoshi sambil mengenakan gigi karena menahan panas yang hebat. "Aku tidak suka moxa karena sengatannya, tapi kalau aku tidak melakukan ini, ibuku akan cemas. Kalau kaukirim kabar ke Nagahama, tolong tuliskan bahwa aku memakai moxa setiap hari."

Begitu selesai mengoleskan moxa, Hideyoshi berangkat ke garis depan. Pasukan yang bertolak dari Azuchi pada hari itu benar-benar memesona. Nobunaga mengamati mereka dari donjon. Si Monyet dari Nakamura sudah maju sekali, ia berkata dalam hati. Tak terhitung banyaknya perasaan yang melintas di dadanya ketika ia menyaksikan panji berlambang labu emas milik Hideyoshi menghilang di kejauhan.

Provinsi Harima merupakan mutiara giok dalam pertarungan antara naga dari Barat dan macan dari Timur. Apakah provinsi itu akan bergabung dengan kekuatan Oda yang sedang bangkit? Atau justru berpihak pada kekuasaan tua marga Mori?

Semua marga, baik yang besar maupun yang kecil, di provinsi-provinsi Barat yang membentang dari Harima ke Hoki kini menghadapi pilihan yang sukar.

Beberapa berpcndapat. "Marga Mori merupakan kekuatan utama di daerah Barat. Mereka tentu takkan runtuh."

Yang lain, yang tidak begitu yakin, membalas. "Tidak, kita tak bisa mengabaikan orang-orang Oda yang tiba-tiba menanjak dengan pesat."

Orang biasa mengambil keputusan dengan membandingkan kelebihan kedua belah pihak—luas wilayah masing-masing, jumlah praiurit, dan sekutu. Tapi dalam hal ini, mengingat hebatnya pengaruh marga Mori dan luasnya wilayah marga Oda, kekuatan kedua belah pihak tampak seimbang.

Siapa yang akan menaklukkan masa depan?

Provinsi-provinsi Barat yang terombang-ambing antara gelap dan terang serta tak sanggup menentukan pilihan inilah yang dituju oleh pasukan Hideyoshi pada hari kedua puluh tiga di Bulan Kesepuluh.

Ke Barat. Ke Barat.

Tanggung jawabnya teramat berat. Ketika Hideyoshi berkuda di bawah panji berlambang labu emas, wajahnya tampak cemas. Usianya empat puluh satu tahun. Kedua bibirnya merapat, membentuk garis panjang, sewaktu kudanya melangkah tenang. Debu yang ditcrbangkan angin menyelubungi seluruh pasukan.

Sesekali Hideyoshi mengingatkan diri bahwa ia sedang maju ke provinsi-provinsi Barat. Bagi Hideyoshi sendiri, hal ini tidak banyak pengaruhnya, tapi ketika ia bertolak dan Azuchi, para jendral lain mengucapkan selamat padanya.

"Yang Mulia akhirnya mengambil keputusan tepat dan mengusahakan agar kau dapat berguna. Tuan Hideyoshi, Tuan tidak kalah dari siapa pun. Tuan harus membalas kemurahan hati Yang Mulia."

Berlawanan dengan ini, Shibata Katsuie tampak sangat tidak senang. "Apa? Dia ditunjuk sebagai panglima tertinggi operasi di provinsi-provinsi Barat?!" Katsuie tertawa mengejek ketika membayangkannya.

Mudah dipahami mengapa Katsuie berpikiran seperti itu. Pada waktu Hideyoshi masih seorang pelayan yang bertugas membawa sandal Nobunaga dan bertempat tinggal di kandang bersama kuda-kuda, Katsuie sudah menjadi jendral marga Oda. Selain itu, ia menikah dengan adik Nobunaga dan memimpin provinsi senilai lebih dari tiga ratus ribu gantang. Dan kemudian, ketika Katsuie dijadikan panglima tertinggi operasi Utara, Hideyoshi telah melanggar perintah dan kembali ke Nagahama tanpa pemberitahuan lebih dulu. Sebagai pengikut senior, Katsuie kini melakukan berbagai manuver politik untuk mengecilkan arti penyerbuan kc provinsi-provinsi Barat. Di atas kudanya dalam perjalanan ke daerah Barat itu, tak putus-putusnya Hideyoshi terkekeh-kekeh.

Segala hal itu tiba-tiba melintas dalam benaknya pada waktu ia mulai jemu dengan ketenteraman di jalan yang menuju ke Barat. Hideyoshi tertawa keraskeras. Hanbei, yang berkuda di sebelahnya, menduga ada yang terlewatkan olehnya dan bertanya. "Tuanku mengatakan sesuatu?" sekadar untuk memastikannya.

"Oh, tidak," jawab Hideyoshi.

Pasukannya telah menempuh jarak cukup jauh hari ini, dan mereka telah mendekati perbatasan Harima.

"Hanbei, ada kejutan menyenangkan untukmu kalau kita memasuki Harima nanti."

"Hmm, apa kiranya?"

"Rasanya kau belum pernah berjumpa dengan Kuroda Kanbei."

"Belum, hamba belum pernah berjumpa dengannya, tapi sudah lama hamba mendengar namanya disebutsebut."

"Dia tokoh yang patut diperhatikan. Kalau bertemu dia, kau tentu segera berteman dengannya."

"Hamba telah banyak mendengar centa tentang dia."

"Dia putra pengikut senior marga Odera, dan baru berumur tiga puluhan."

"Bukankah operasi ini diprakarsai olehnya?" "Benar. Dia cerdas dan bermata jeli." "Tuanku kenal baik dengannya?"

"Aku mengenalnya lewat surat, tapi baru-baru ini di Azuchi aku bertemu dia untuk pertama kali. Kami berbincang-bincang secara terbuka selama setengah hari. Ah, aku merasa yakin sekali. Dengan Takenaka Hanbei di sisi kiri dan Kuroda Kanbei di sisi kanan, aku telah memiliki staf lapangan."

Tiba-tiba terjadi sesuatu yang menimbulkan kekacauan dalam pasukan. Tawa salah seorang pelayan meledak.

Hikoemon menoleh dan memberikan perintah pada Mosuke, kepala para pelayan. Mosuke lalu menghardik para pelayan di belakangnya. "Diam! Sebuah pasukan harus maju dengan penuh wibawa."

Ketika Hideyoshi menanyakan apa yang terjadi, Hikoemon tampak salah tingkah. "Karena hamba mengizinkan para pelayan berkuda, mereka bermainmain dan mengacaukan barisan, seakan-akan hendak berpiknik. Mereka membuat kegaduhan dan bersenda gurau, dan Mosuke pun tak dapat mengendalikan mereka. Mungkin lebih baik kalau hamba menyuruh mereka berjalan kaki."

Hideyoshi memaksakan tawa dan memandang ke belakang. "Mereka bcrsuka ria karena mereka masih muda, dan kegembiraan mereka tentu sukar dihalau. Biarkan saja mereka. Belum ada yang jatuh dari kudanya, bukan?"

"Yang paling muda dari mereka, Saluchi, rupanya tidak biasa berkuda, dan ada yang sengaja membuatnya terjatuh."

"Saluchi jatuh dari kuda? Hmm, itu pun latihan yang berguna."

Berbeda dengan kepemimpinan Katsuie yang serbamuram, atau kekerasan dan ketegasan Nobunaga, gaya kepemimpinan Hideyoshi berciri satu hal: keriangan. Apa pun kesulitan yang menimpa pasukannya, mereka tetap memancarkan keriangan dan keharmonisan sebagai satu keluarga besar.

Jadi, walaupun para pelayan, yang berusia antara sebelas sampai enam belas tahun telah melanggar disiplin militer, Hideyoshi sebagai "kepala keluarga" hanya mengedipkan mata dan berkata. "Biarkan saja mereka.''

Hari sudah mulai gelap ketika barisan depan memasuki Harima, sebuah provinsi sekutu di tengahtengah wilayah musuh. Karena bingung tindakan apa yang harus mereka ambil, dan di bawah tekanan hebat dari provinsi-provinsi tetangga mereka, para warga Harima kini menyalakan api unggun di manamana dan menyambut kedatangan pasukan Hideyoshi dengan hangat.

Pasukan Hideyoshi telah menempuh langkah pertama dalam penyerbuan provinsi-provinsi Barat. Ketika barisan panjang itu memasuki benteng sambil berbaris dua-dua, bunyi keletak-keletak meramaikan suasana. Korps pertama terdiri atas para pembawa panji; korps kedua merupakan korps penembak; yang ketiga korps pemanah; yang keempat pasukan tombak; yang kelima pasukan pedang. Korps tengah terdiri atas samurai berkuda dan pcrwira-perwira yang mengelilingi Hideyoshi. Dengan para penabuh genderang, polisi militer, para inspektu,. para penuntun kuda cadangan dan kuda beban, serta para pengintai. Pasukan itu berkekuatan sekitar tujuh ribu lima ratus orang, dan setup penonton harus mengakuinya sebagai kekuatan yang hebat.

Kuroda Kanbei berdiri di gerbang, menyambut mereka. Ketika Hideyoshi melihatnya, ia segera turun dari kuda dan menghampiri Kanbei sambil tersenyum. Kanbei pun maju dengan seruan selamat datang dan tangan terentang. Mereka bertegur sapa seperti dua sahabat yang sudah saling mengenal bertahun-tahun, lalu masuk ke dalam benteng. Kanbei memperkenalkan Hideyoshi kepada para pengikutnya yang baru. Masing-masing orang menyebutkan namanya, dan mengucapkan sumpah setia pada Hideyoshi.

Di antara orang-orang itu ada laki-laki yang tampak istimewa. "Hamba Yamanaka Shikanosuke." ia memperkenalkan diri, "salah satu dari sedikit pengikut marga Amako yang masih hidup. Sampai sekarang tuanku dan hamba bertempur saling berdampingan, tapi di resimen bcrbeda, jadi kita tak pernah berjumpa. Tapi hati hamba melonjak gembira sewaktu mendengar bahwa tuanku akan menyerbu daerah Barat, dan hamba memohon agar Yang Mulia Kanbei memberikan rekomendasi untuk hamba."

Walaupun Shikanosuke sedang berlutut dengan kepala tertunduk, dengan mclihat bahunya yang lebar Hideyoshi langsung tahu bahwa ia jauh lebih tinggi dan tegap dari rata-rata. Dalam keadaan tegak, tinggi badan Shikanosuke melebihi 180 senti. Usianya sekitar tiga puluh tahun. Kulitnya bagaikan besi dan sorot matanya menusuk seperti mata elang. Hideyoshi menatapnya sejenak, seakan-akan tak dapat mengingat siapa laki-laki itu.

Kanbei membantunya. "Di zaman ini jarang ada orang sesetia dia. Dulu dia mengabdi pada Amako Yoshihisa, seorang bangsawan yang dihancurkan oleh orang-orang Mori. Selama bertahun-tahun Shikanosuke memperlihatkan kesetiaannya, bahkan dalam keadaan paling memprihatinkan sekalipun. Selama sepuluh tahun terakhir ia turut serta dalam berbagai pertempuran dan hidup sebagai pengembara, mengusik marga Mori dengan pasukan-pasukan kecil, dalam rangka mengembalikan bekas junjungannya ke wilayah yang menjadi haknya."

"Aku pun sudah mendengar nama Yamanaka Shikanosuke yang setia. Tapi apa maksudmu sewaktu kau berkata bahwa kita bertempur di resimen berbeda?" tanya Hideyoshi.

"Dalam operasi melawan marga Matsunaga, hamba bertempur bersama pasukan Yang Mulia Mitsuhide di Gunung Shigi."

"Kau hadir di Gunung Shigi?"

Sekali lagi Kanbei angkat bicara. "Tahun-tahun kesetiaan di tengah penderitaan akhirnya sia-sia karena marga Amako dikalahkan marga Mori. Kemudian, dia diam-diam memohon bantuan Yang Mulia Nobunaga. melalui jasa baik Yang Mulia Katsuie. Dalam pertempuran di Gunung Shigi-lah Shikanosuke memenggal kepala Kawai Hidetaka yang terkenal ganas."

"Rupanya kau yang menghabisi Kawai," ujar Hideyoshi, seakan-akan segala keraguannya telah sirna. Sekali lagi ia menatap Shikanosuke, kali ini sambil tersenyum lebar.

***

Dalam waktu singkat Hideyoshi telah memperlihatkan kehebatan pasukannya. Dua benteng, masingmasing di Sayo dan Kozuki, bertekuk lutut, dan di bulan yang sama Hideyoshi menaklukkan marga Ukita, sekutu marga Mori. Takenaka Hanbei dan Kuroda Kanbei selalu berada di sisi Hideyoshi.

Perkemahan utama dipindahkan ke Himeji. Selama itu, Ukita Naoie terus meminta bala bantuan marga Mori. Pada waktu yang sama, orang-orang Mori memberikan pasukan berkekuatan delapan ratus prajurit kepada Makabe Harutsugu, samurai paling tangguh di Bizen. Dengan pasukan itu, Benteng Kozuki berhasil direbut kembali oleh Makabe.

"Hideyoshi ini ternyata tidak ada apa-apanya." Makabe berkoar.

Gudang-gudang mesiu dan makanan di Benteng Kozuki diisi lagi, dan pasukan baru dikirim sebagai bala bantuan. "Hamba rasa kita tak bisa melepaskannya begitu saja," ujar Hanbei.

"Rasanya memang begitu." kata Hideyoshi dengan hati-hati. Sejak datang ke Himeji, Hideyoshi telah mempelajari situasi di provinsi-provinsi Barat. "Menurutmu, siapa yang harus kutugaskan? Kelihatannya pertempuran ini akan berlangsung sengit."

"Satu-satunya pilihan adalah Shikanosuke." "Shikanosuke?"

Kanbei segera menyatakan sependapat. Shikanosuke menerima perintah Hideyoshi,

menyiapkan pasukannya sepanjang malam, dan maju ke Benteng Kozuki. Akhir tahun sudah dekat, dan udara teramat dingin.

Para perwira dan anak buah Shikanosuke dibakar oleh semangat yang sama seperti komandan mereka. Orang-orang itu telah berikrar untuk menundukkan marga Mori dan mengembalikan Katsuhisa, pemimpin marga Amako, ke kedudukan yang menjadi haknya, dan kesetiaan serta keberanian mereka tak perlu diragukan.

Ketika jendral-jendral Ukita menerima laporan para pengintai bahwa mereka berhadapan dengan marga Amako, di bawah komando Shikanosuke, mereka langsung diserang rasa ngeri. Hanya mendengar nama Shikanosuke, mereka merasakan kengerian yang mungkin dialami seekor burung kecil saat menghadapi macan yang mengamuk.

Mereka lebih takut terhadap serangan Shikanosuke daripada terhadap serangan yang dipimpin oleh Hideyoshi sendiri.

Dari segi itu, Shikanosuke merupakan orang paling tepat untuk merebut Benteng Kozuki. Bagaimanapun. dengan kesetiaan dan keberaniannya yang tak tergoyahkan, ia telah menimbulkan malapetaka dan membangkitkan kengerian seperti dewa yang murka. Jendral paling tangguh dari marga Ukita pun, Makabe Harutsugu, meninggalkan Benteng Kozuki tanpa pertempuran, karena yakin akan kehilangan terlalu banyak orang jika ia diam di tempat dan melawan Shikanosuke.

Pada saat anak buah Shikanosuke memasuki benteng dan melaporkan bahwa benteng itu berhasil direbut tanpa pertumpahan darah. Makabe telah meminta bala bantuan. Setelah bergabung dengan pasukan di bawah pimpinan saudaranya, sehingga kekuatan mereka mencapai sekitar seribu lima ratus sampai seribu enam ratus orang, Makabe maju lagi untuk melancarkan serangan balasan, dan berhenti di tengah awan debu di sebuah dataran tak jauh dari benteng.

Shikanosuke memperhatikannya dari menara jaga. "Sudah dua minggu tak ada hujan. Mari kita berikan sambutan hangat untuk mereka," katanya sambil tertawa.

Shikanosuke membagi anak buahnya menjadi dua kelompok. Setelah larut malam, mereka melancarkan serangan mendadak, dan satu kelompok membakar rumput-rumput kering di sekitar musuh. Dikelilingi api yang berkobar-kobar, pasukan Ukita terpaksa lari dalam keadaan kacau-balau.

Kini korps kedua mulai benindak dan maju untuk membinasakan mereka. Tak ada yang tahu berapa jumlah musuh yang tewas dalam pembantaian ini, tapi komandan musuh, Makabe Harutsugu, dan saudaranya sama-sama menemui ajal.

"Rasanya mereka sudah jera sekarang." "Tidak, mereka akan kembali lagi."

Pasukan Shikanosuke kembali ke Kozuki sambil mengumandangkan nvanyian kemenangan. Tapi kemudian seorang kurir dari markas besar di Himeji tiba, membawa perintah untuk mengosongkan benteng dan kembali ke Himcji. Tidak mengherankan bahwa perintah ini menimbulkan kemarahan besar dalam segenap pasukan. mulai dari Amako Katsuhisa, si kepala marga, hingga ke jajaran bawah. Mengapa mereka harus mengosongkan benteng yang baru saja mereka rebut dan tangan musuh—apalagi benteng ini terletak di tempat strategis?

"Bagaimanapun, dia panglima teninggi," ujar Shikanosuke, yang harus menghibur Amako Katsuhisa dan anak buahnya, dan kembali ke Himeji.

Ketika tiba di sana, ia segera menghadap Hideyoshi. "Jika hamba diperkenankan berbicara terus terang, semua perwira dan anak buah hamba tercengang mendengar perintah Yang Mulia. Hamba pun merasakan hal yang sama." "Untuk menjaga kcrahasiaan rencanaku, aku sengaja tidak menyampaikan alasan gerak mundur ini pada kurir yang kukirim, tapi sekarang aku akan menjelaskannya. Benteng Kozuki merupakan umpan yang baik untuk memancing orang-orang Ukita. Jika kita mengosongkannya, mereka pasti akan memulihkan persediaan perbekalan, senjata, dan mesiu. Mungkin mereka malah akan menambah pasukan penjaga. Dan saat itulah kita bergerak!" Hideyoshi tertawa. Sambil merendahkan suara, ia bersandar ke depan dan mwnuding ke arah Bizen dengan kipas perang. "Tak pelak lagi. Ukita Naoie menduga aku akan kembali menyerang Benteng Kozuki. Hanya saja kali ini dia sendiri memimpin pasukan besar, dan kita akan menyiasatinya. Jangan gusar, Shikanosuke."

Pergantian tahun telah tiba. Laporan-laporan para pengintai tepat seperti yang diduga: Orang-orang Ukita memindahkan perbekalan dalam jumlah besar ke Benteng Kozuki. Komando benteng tersebut diberikan pada Ukita Kagetoshi, dan pasukan pilihan dikirim untuk berjaga-raga di tembok pertahanan.

Hideyoshi mengepung benteng itu dan memerintahkan Shikanosuke beserta pasukannya yang berkekuatan sepuluh ribu orang bersembunyi di sekitar Sungai Kumami.

Sementara itu, Ukita Naoie, yang merencanakan serangan menjepit terhadap pasukan Hideyoshi dengan bekerja sama dengan pasukan penjaga benteng, bertindak sebagai panglima pasukan Bizen.

Umpan telah terpasang. Ketika Naoie menyerang Hideyoshi, Shikanosuke menyambar bagaikan angin puyuh, meluluhlaniakkan pasukan Naoie. Hanya dengan susah payah Naoie berhasil menyelamatkan nyawanya. Setelah mengatasi orang-orang Ukita, Shikanosuke bergabung dengan Hideyoshi untuk serangan besar-besaran terhadap Benteng Kozuki.

Hideyoshi melancarkan serangan api. Begitu banyak orang tewas dalam kobaran api di benteng itu, sehingga tempat itu dikenal sebagai Lembah Neraka di Kozuki oleh generasi-generasi selanjutnya.

"Kali ini aku takkan menyuruhmu mengosongkan benteng." Hideyoshi berkata pada Amako Katsuhisa. "Jagalah baik-baik."

Begitu Hideyoshi selesai membereskan Tajima dan Harima, ia kembali ke Azuchi dengan membawa kemenangan. Ia tinggal kurang dari sebulan di sana, sebelum bertolak lagi ke dacrah Barat di Bulan Kedua. Selama selang waktu itu, provinsi-provinsi Barat terburu-buru menyiapkan diri untuk menghadapi peperangan. Ukita Naoie mengirim pesan mendesak

kepada marga Mori:

Situasinya suram. Urusan mi tidak hanya menyangkut Provinsi Harima. Sekarang Amako Katsuhisa dan Yamanaka Shikanosuke menduduki Benteng Kozuki, dengan dukungan Hideyoshi. Masalah ini akan membawa dampak serius yang tak bisa dtabaikan oleh marga Mori. Apa maksud semuanya ini, kalau bukan langkah pertama pihak Amako—yang telah dihancurkan oleh marga Mori— untuk merebut kembali tanah mereka yang hilang? Seyogyanya marga Mori tidak menutup mata terhadap perkembangan ini, melainkan mengirim pasukan besar dan menghancurkan mereka sekarang. Kami, para samurai Ukita, akan membentuk barisan depan dan membalas budi atas kebaikan-kebaikan di masa lampau.

Jendral-jendral kepercayaan Mori Terumoto adalah putra-putra kakeknya. Mori Motonari yang tersohor. Mereka dikenal sebagai "Kedua Paman Marga Mori". Kcdua-duanya diwarisi bakat Motonari. Kobayakawa Takakage adalah laki-laki berpengetahuan luas, sedangkan Kikkawa Motoharu memiliki ketenangan, kebajikan, dan kecakapan.

Pada masa hidupnya, Motonari menguliahi anakanaknya sebagai berikut. "Pada umumnya, tak ada yang lebih mengundang bencana daripada orang yang ingin meraih kepemimpinan seluruh negeri, tapi tidak memiliki kemampuan untuk memegang tampuk pemerintahan. Kalau orang seperti itu memanfaatkan keadaan zaman dan berusaha merebut kekuasaan, kehancuranlah yang akan menyusul. Sadarilah status kalian, pimpinlah provinsi-provinsi Barat, dan bertahanlah di kawasan penting ini. Kalian tak perlu melakukan apa-apa selain berusaha agar tidak ketinggalan dari orang lain.

Peringatan Motonari masih dihargai sampai hari itu. Dan inilah sebabnya marga Mori tidak memiliki ambisi seperti marga Oda, Uesugi, Takeda, maupun Tokugawa. Walaupun mereka menampung bekas shogun, Yoshiaki, berkomunikasi dengan para biksuprajurit Honganji, dan bahkan membentuk persekutuan rahasia dengan Uesugi Kenshin, semuanya semata-mata demi perlindungan provinsi-provinsi Barat. Di hadapan serbuan Nobunaga, bentengbenteng di provinsi-provinsi yang berada di bawah kendali marga Mori merupakan garis pertahanan pertama wilayah mereka .

Tapi kini daerah Barat sendiri yang menghadapi serangan-serangan gencar. Satu mata ramai garis pertahanan itu telah terputus, membuktikan bahwa provinsi-provinsi Barat pun tak dapat menutup diri terhadap perputaran zaman.

"Pasukan utama sebaiknya dibentuk oleh gabungan kekuatan Terumoto dan Takakage, dan mereka harus menyerang Kozuki bersama-sama. Aku akan memimpin para prajurit Inaba, Hoki, Izumo, dan Iwami, bergabung dengan para prajurit Tamba dan Tajima di tengah jalan, lalu menyerbu ibu kota, bekerja sama dengan para biksu-prajurit Honganji, dan menghantam markas besar Nobunaga di Azuchi."

Sirategi berani ini diajukan oleh Kikkawa Motoharu, tapi baik Mori Terumoto maupun Kobayakawa Takakage tidak menyetujuinya, karena menganggap rencana itu terlalu ambisius. Akhirnya diputuskan bahwa mereka akan menyerang Benteng Kozuki dulu.

Di Bulan Ketiga, pasukan Mori berkekuatan tiga puluh lima ribu orang bertolak ke Utara. Hideyoshi telah pergi ke Benteng Kakogawa di Harima, tapi pasukannya hanya berjumlah tujuh ribu lima ratus orang. Dengan mengerahkan sekutu-sekutunya di Harima pun pasukannya bukan tandingan orangorang Mori.

Hideyoshi berusaha tetap tampak tenang, dan menyatakan bahwa bala bantuan akan dikirim jika diperlukan. Namun pasukannya dan para sekutunya terguncang oleh kekuatan musuh yang mereka hadapi. Tanda ketidaksetiaan segera terlihat. Bessho Nagaharu, penguasa Benteng Miki dan sekutu utama Nobunaga di bagian timur Harima, membelot ke kubu musuh. Bessho menyebarkan desas-desus palsu tentang Hideyoshi untuk membenarkan pengkhianatannya, dan secara bersamaan ia mengundang pihak Mori ke bentengnya.

Sekitar waktu itulah Hideyoshi menerima kabar tak terduga: Uesugi Kenshin dari Echigo telah tiada. Bukan rahasia lagi bahwa Kenshin amat menggemari sake, dan sementara orang menduga ia meninggal akibat penyakit ayan. Tapi ada pula yang berpendapat ia dibunuh. Malam itu Hideyoshi berdiri di atas Gunung Shosha, pandangannva menerawang ke bintang-bintang, dan ia mengenang kehebatan dan kehidupan Uesugi Kenshin.

Benteng Miki mempunyai beberapa benteng cabang di Ogo, Hataya, Noguchi, Shikata, dan Kanki, dan semuanya mengikuii jejak Miki dan mengibarkan bendera pemberontakan. Para komandan bentengbenteng itu mencemooh Hideyoshi dan pasukannya yang kecil.

Pada titik inilah Kanbei mengusulkan strategi baru pada Hideyoshi.

"Kita mungkin akan terpaksa meremukkan bentengbenteng kecil itu satu per satu. Tapi menurut hamba, merebut Benteng Miki dengan menyingkirkan kerikilkerikil di sekiurnya merupakan strategi terbaik."

Hideyoshi mula-mula merebut Benteng Noguchi, memaksa Kanki dan Takasago untuk menyerah, dan membakar desa-desa tetangga satu per satu. Ia sudah setengah berhasil menundukkan marga Bessho ketika sepucuk surat penting dari Shikanosuke tiba dari Benteng Kozuki yang tengah dikepung.

Kami dikepung pasukan Mori berkekuatan besar. Situasi kami amat menyedthkan. Harap kirim bala bantuan. Para prajurit Kobayakawa berjumlah lebih dari dua puluh ribu orang. Kikkawa memimpin enam belas ribu orang. Selain itu, Ukita Naoie pun ber-gabung dengan pasukan berkekuatan lima belas ribu orang, jadi seluruhnya pasti tak kurang dan lima puluh ribu orang. Untuk memutuskan hubungan antara Kozuki dan sekutu-sekutunya, pasukan musuh menggali selokan panjang melintasi lembah, serta mendirikan tembok pertahanan dan penghalang. Mereka juga memiliki sekitar tujuh ratus kapal perang yang sedang berlayar di perairan Harima dan Settsu. Tampaknya mereka akan mengirim bala bantuan dan perbekalan lewat darat. Mau tak mau sepak terjang Hideyoshi terhenti oleh laporan ini. Masalah yang mereka hadapi memang sangat berat. Dan mendesak untuk ditangani. Tapi bukan suatu kejutan, sebab pengerahan pasukan Mori sebelumnya sudah diperhitungkan dalam rencana Hideyoshi.

Setiap kali menghadapi masalah, perasaan Hideyoshi diwujudkan dalam bentuk kening berkerut. Karena telah meramalkan perkembangan terakhir, ia sudah minta bala bantuan dari Nobunaga, tapi sejauh ini belum ada jawaban dari ibu kota. Hideyoshi tidak memiliki bayangan sama sekali apakah bala bantuan sudah dikirim atau justru tidak akan datang.

Benteng Kozuki, yang kini mati-matian dipertahankan oleh Amako Katsuhisa dan Shikanosuke, terletak di pertemuan tiga provinsi: Bizen, Harima, dan Mimasaka. Walaupun hanya benteng kecil di dekat desa pegunungan, Benteng Kozuki menempati posisi strategis yang sangat penting.

Jika seseorang hendak memasuki daerah Sanin, Kozuki merupakan tantangan pertama yang harus dikuasai. Dengan sendirinya orang-orang Mori mempertimbangkan hal ini secara serius, dan Hideyoshi terkesan oleh kejelian musuh dalam membaca situasi. Tapi kekuatannya tidak mcmadai untuk membagi pasukannya menjadi dua.

Nobunaga bukanlah orang berjrwa kerdil yang tak sanggup mempercayakan tugas-tugas penting pada orang-orang di bawah komandonya. Tapi pada dasarnya segala sesuatu harus berada di tangannya. Ia berpegang pada prinsip bahwa jika seseorang mengancam kendalinya, orang itu tak boleh dipercaya sedikit pun. Hideyoshi mengetahui hal ini dari pengalaman. Walaupun ia diberi tanggung jawab sebagai panglima tertinggi dalam operasi itu, ia tak pernah mengambil keputusan besar seorang diri.

Jadi, ia acap kali mengirim kurir untuk menanyakan pendapai Nobunaga, biarpun timbul kesan bahwa ia meminta petunjuk dari Azuchi untuk setiap persoalan sekecil apa pun. Ia mengutus pengikut-pengikut kepercayaan untuk memberikan laporan terperinci, sehingga Nobunaga selalu memahami perkembangan terakhir.

Setelah mengambil keputusan dengan cara seperti biasa, Nobunaga langsung memerintahkan persiapan untuk keberangkatannya. Namun para jendral lain memperingatkannya. Nobumori. Takigawa, Hachiya, Mitsuhide—semua nya berpendapat sama.

"Medan di Harima sangat berat, penuh gununggunung dan jalan setapak yang sukar dilewati. Bukankah lebih baik kalau tuanku mengirim bala bantuan lebih dulu, dan menunggu tindakan musuh?" Jendral lain melanjutkan. "Dan operasi tuanku di daerah Barat ternyata berkepanjangan, para biksuprajurit Honganji mungkin memotong jalan kita dari belakang, dan mengancam prajurit-prajurit kita dari

darat maupun laut."

Nobunaga berhasil dipengaruhi oleh alasan-alasan mereka dan menunda keberangkaiannya. Tapi jangan lupa perasaan para jendral terhadap Hideyoshi, setiap kali rapat perang diadakan. Tanpa mengatakan secara terbuka, mereka seakan-akan mempertanyakan mengapa Hideyoshi ditunjuk sebagai panglima tertinggi. Tak perlu orang bermata jeli untuk mengetahui bahwa mereka menganggap Hideyoshi tak sanggup mengemban tanggung jawab itu. Dan di samping segala tuduhan tak langsung, masih ada satu hal lagi: biarpun Nobunaga sendiri yang pergi, tetap saja Hideyoshi yang akan menerima semua pujian.

Dengan mcmimpin bala bantuan berkekuatan dua puluh ribu orang, Nobumori, Takigawa, Niwa, dan Mitsuhide bertolak dari ibu kota dan mencapai Harima pada awal Bulan Kelima. Belakangan Nobunaga mengirim putranya, Nobutada, untuk bergabung dengan mereka.

Sementara itu, setelah memperkuat pasukan utamanya dengan ujung tombak bala bantuan di bawah komando Araki Murashige. Hideyoshi memindahkan seluruh pasukan, yang kini berada di sebelah timur Benteng Kozuki, ke Gunung Takakura. Ketika mengamati posisi Benteng Kozuki dari tempat itu, ia menyadari bahwa akan sukar sekali menghubungi orang-orang di dalam benteng.

Baik Sungai Ichi maupun anak-anak sungainya mengalir di kaki gunung tempat Benteng Kozuki berdiri. Selain itu, baik ke barat laut maupun ke tenggara bentengnya terlindung oleh tebing-tebing Gunung Okami dan Gunung Taihei. Mendekati benteng itu merupakan hal yang mustahil.

Sebenarnya ada satu jalan, tapi jalan itu ditutup oleh pihak Mori. Melewati jalan itu, kubu-kubu pertahanan dan panji-panji musuh tampak di setiap sungai, lembah, dan gunung. Sebuah benteng dengan pertahanan alami seperti ini dapat bertahan terhadap serangan musuh, tapi letaknya menimbulkan kesulitan besar bagi bala bantuan yang berusaha mencapainya.

"Tak ada yang bisa kita lakukan." Hideyoshi berkeluh kesah. Sepertinya ia mengakui bahwa sebagai jendral, ia kehabisan akal untuk menyusun strategi.

Akhirnya, ketika malam tiba, ia memerintahkan anak buahnya untuk membuat api unggun besar. Tak lama kemudian, lidah api raksasa terlihat dari Gunung Takakura sampai ke sekitar Gunung Mikazuki, melewati puncak-puncak dan lembah-lembah. Pada siang hari, tak terhitung banyaknya panji dan bendera digantung di pepohonan di tempat-tempat tinggi, sehingga menunjukkan kehadiran pasukan Hideyoshi kepada musuh, dan memberi semangat kepada pasukan kecil di dalam benteng. Ini berlangsung sampai Bulan Kelima. sampai kedatangan bala bantuan berkekuatan dua puluh ribu orang di bawah Nobumori, Niwa, Takigawa, dan Mitsuhide.

Semuanya kembali bersemangai, tapi hasil yang diperoleh tidak membenarkan kegembiraan seperti itu. Masalahnya, kini terlalu banyak jendral tersohor berkumpul di satu tempat, dan dalam keadaan bahumembahu dengan Hideyoshi, tak seorang pun bersedia menduduki posisi lebih rendah. Baik Niwa maupun Nobumori merupakan senior Hideyoshi, sementara Mitsuhide dan Takigawa setaraf dengannya dalam hal popularitas dan kecerdasan.

Mereka sendiri menimbulkan suasana serbaragu mengenai siapa sesungguhnya panglima tertinggi. Perintah tak bisa melalui dua jalur, namun kini perintah diberikan oleh beberapa jendral. Pihak musuh dapat mencium kesulitan seperti itu. Pasukan Mori cukup awas untuk memahami perkembangan situasi. Suatu malam, pasukan Kobayakawa menyusuri bagian belakang Gunung Takakura dan melancarkan serangan mendadak terhadap perkemahan Oda.

Korban berjatuhan di kalangan anak buah Hideyoshi. Kemudian pasukan Kikkawa bergerak cepat dari dataran di belakang daerah Shikama dan melancarkan serangan mendadak terhadap korps perbekalan Oda, membakar kapal-kapal mereka, dan melakukan segala sesuatu untuk menimbulkan kekacauan.

Suatu pagi, ketika Hideyoshi memandang ke arah Kozuki, ia melihat menara jaga benteng itu telah dihancurkan pada malam sebelumnya. Pada waktu menyelidiki kejadian itu, Hideyoshi diberitahu bahwa marga Mori memiliki meriam bangsa barbar dari Selatan, dan rupanya mereka telah menghancurkan menara jaga dengan tembakan meriam yang kena telak. Terkesan oleh unjuk kekuatan ini, Hideyoshi bertolak ke ibu kota.

***

Ketika tiba di Kyoto, Hideyoshi langsung menuju Istana Nijo. Pakaiannya masih penuh debu perjalanan, dagunya dipenuhi pangkal janggut.

"Hideyoshi?" Nobunaga harus mclihat dua kali sebelum yakin. Penampilan Hideyoshi sungguh berbeda dengan laki-laki yang meninggalkan ibu kota sebagai pemimpin pasukan; matanya tampak cekung. dan janggut tipis berwarna kemerahan mengelilingi mulutnya, seperti sikat kasar.

"Hideyoshi, mengapa kau datang ke sini dengan wajah tertekan seperti itu?"

"Hamba tidak punya waktu banyak, tuanku." "Kalau begitu, mcngapa kau di sini?" "Hamba datang untuk memohon pctunjuk."

"Kau memang jendral yang merepotkan. Aku telah menunjukmu sebagai panglima tertinggi, bukan? Kalau kau menanyakan pendapatku tentang segala sesuatu, kau takkan punya waktu untuk menjalankan taktik-taktikmu. Kenapa kau begitu bimbang kali ini? Tidak mampukah kau bertindak sendiri?"

"Sudah sewajarnya tuanku merasa gusar, tapi hendaknya perintah tuanku hanya melewati satu jalur."

"Pada waktu kuserahkan tongkat komando ke tanganmu, aku telah memberikan wewenang dalam segala situasi. Kalau kaupahami keinginanku, berarti perintahmu adalah perintahku. Mengapa mcsti bingung?"

"Dengan segala hormat, justru dalam hal ini hamba mengalami kesulitan. Hamba tidak menginginkan satu prajurit pun gugur sia-sia."

"Apa maksudmu?"

"Kalau situasi sekarang masih berkelanjuian, kita tak mungkin menang."

"Kenapa kau berpikir demikian?"

"Betapapun tidak berartinya hamba, sebagai panglima tertinggi, hamba tidak bermaksud membawa pasukan hamba menuju kekalahan yang menyedihkan. Tapi kekalahan tak terelakkan. Dalam hal semangat tempur, perlengkapan, dan keuntungan medan, sekarang ini kami tak dapat menandingi pihak Mori."

"Hal pcrtama yang harus diingat," balas Nobunaga. "kalau panglima tertinggi belum-belum sudah takut kalah, dia tidak memiliki alasan untuk mengharapkan kemenangan."

"Tapi kalau kita salah perhitungan, menyangka kita bisa menang, kekalahan kita mungkin berakibat fatal. Jika pasukan tuanku dinodai satu kekalahan di daerah Barat, musuh-musuh yang menunggu di sini dan di tempat lain, dan tentu saja para biksu-prajurit Honganji akan menyangka pemimpin marga Oda telah menemui batu sandungan, dan sekaranglah dia akan jatuh. Mereka akan memukul gong dan meneriakkan jampi-jampi, dan daerah Utara dan Timur akan bangkit dan menentang tuanku."

"Aku menyadari hal itu."

"Tapi bukankah kita harus mempertimbangkan bahwa penyerbuan daerah Barat, yang begitu penting, mungkin berakibat fatal untuk marga Oda?"

"Itu pun sudah kupikirkan."

"Kalau begitu, mengapa bukan tuanku sendiri yang datang ke provinsi-provinsi Barat, setelah hamba mengirim begitu banyak permintaan bantuan? Waktu teramat penting. Kalau kita menyia-nyiakan kesempatan ini, kita tidak memiliki peluang dalam pertempuran sesungguhnya. Rasanya konyol menyinggung ini, tapi hamba tahu bahwa tuanku jendral pertama yang melihat kesempatan ini, dan hamba benar-benar tidak mengerti mengapa tuanku tidak mengambil tindakan setelah hamba mengirim permohonan demi permohonan. Hamba bahkan telah berusaha menarik musuh keluar, padahal mereka tidak mudah dipancing. Sekarang pihak Mori telah mengcrahkan pasukan besar dan menyerang Kozuki, dengan menggunakan Benteng Miki sebagai pangkalan. Bukankah ini kesempatan emas? Dengan senang hati hamba akan bertindak sebagai umpan untuk semakin menarik mereka. Setelah itu, dapatkah tuanku datang sendiri untuk menyelesaikan permainan ini dengan satu pukulan mencntukan?"

Nobunaga termenung-menung. Karena ia bukan orang yang mungkin dirasuki kebimbangan pada saat seperti ini, Hideyoshi segera mengerti bahwa Nobunaga tidak bermaksud meluluskan permintaannya.

Akhirnya Nobunaga berkata, "Tidak, ini bukan waktu untuk bertindak gegabah." Kali ini Hideyoshi yang tampak termenung-menung. Nobunaga melanjutkan, seakan-akan memarahinya. "Bukankah kau terlalu berkecil hati karena kekuatan orang-orang Mori, sehingga kau merasa sudah kalah sebelum bertempur?" "Menurut hamba, menjalankan pertempuran yang akan berakhir dengan kekalahan bukanlah tanda

kesetiaan pada tuanku."

"Begitu kuatkah pasukan provinsi-provinsi Barat?

Begitu hebatkah semangat tempur mereka?" "Demikianlah keadaannya. Mereka menjaga per-

batasan yang telah terbentuk sejak masa Motonari, dan mereka pun berupaya memperkuat bagian tengah wilayah mereka. Kekayaan marga Uesugi dari Echigo atau marga Takeda dari Kai pun tak dapat menandingi kekayaan mereka."

"Hanya orang bodoh yang menyamakan provinsi kaya dengan provinsi kuat."

"Kekuatan tergantung dari jenis kekayaan. Seandainya marga Mori bersikap berlebih-lebihan dan congkak, mereka tak pcrlu dicemaskan, bahkan kekayaan mereka dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kita. Tapi kedua jendral, Kikkawa dan Kobatakawa, sangat membantu Terumoto, dan mereka meneruskan tradisi bekas junjungan mereka: semua komandan dan prajurit berbudi luhur mengikuti Jalan Samurai. Segelintir prajurit yang berhasil ditawan dalam keadaan hidup menunjukkan keberanian luar biasa, dan scakan-akan dibakar oleh kebencian terhadap musuh. Kalau hamba melihat itu semua, mau tak mau hamba menyesalkan bahwa penyerbuan ini akan begitu ber..."

"Hideyoshi. Hideyoshi," potong Nobunaga dengan gusar. "Bagaimana dengan Benteng Miki? Nobutada sedang menuju ke sana."

"Hamba meragukan bahwa benteng itu akan takluk dengan mudah, biarpun dengan segala kecakapan yang dimiliki putra tuanku."

"Komandan macam apa Bessho Nagaharu, penguasa benteng itu?"

"Dia tangguh."

"Sadarkah kau bahwa kau terus memuji-muji musuh?"

"Menurut hamba, aturan pertama dalam ilmu perang adalah mengenali musuh. Hamba rasa, mungkin memang tidak pada tempatnya memuji komandan maupun prajurit mereka, tapi hamba berkata apa adanya, karena hamba merasa berkewajiban memberikan penilaian yang tepat."

"Rasanya kau benar." Sepertinya Nobunaga akhirnya mulai mengakui kckuatan musuh, biarpun dengan enggan. Mcski demikian, keinginan untuk menang masih membara di dalam dirinya, dan ia berkata. "Rasanya kau benar, tapi itu tidak berarti pasukan kita tidak bersemangat, Hideyoshi." "Betul sekali."

"Peran sebagai panglima tertinggi tidak mudah. Takigawa, Nobumori, Niwa, dan Mitsuhide, mereka semua jendral senior. Mungkinkah mereka tidak menaati perintahmu?"

"Pengamatan tuanku sungguh cermat." Hideyoshi menundukkan kepala, wajahnya yang letih bertempur menjadi merah. "Barangkali tanggung jawab ini memang terlalu berat bagi junior mereka, Hideyoshi."

Tentu saja ia dapat membaca intrik-intrik halus para pengikut senior, serta bagaimana mereka mencegah Nobunaga terjun langsung ke kancah pertempuran. Seandainya pun pasukan besar pihak Mori tak perlu dikhawatirkan ia harus mengingaikan diri untuk berhati-hati terhadap bahaya dari sekutu-sekutunya scndiri.

"Ini yang harus kaulakukan, Hideyoshi. Tinggalkan Benteng di Kozuki untuk sementara waktu. Bergabunglah dengan pasukan Nobutada, pergi ke Benteng Miki, dan singkirkan Bessho Nagaharu. Kemudian awasi tindakan musuh selama beberapa waktu."

Kemuraman prajurit-prajurit mereka terutama disebabkan pasukan mereka terpceah dua, setengahnya ditugaskan menyerang Benteng Miki setengahnya diharapkan menolong Kozuki. Ini akibat perbedaan pendapat yang berlangsung sampai sekarang dalam rapat-rapat militer pihak Oda. Alasan pemecahan ini tampak jelas. Nasib pasukan Amako yang berkekuatan kecil dan terkurung di Benteng Kozuki berada di tangan marga Oda. Meninggalkan mereka untuk meraih keuntungan strategis akan menyebabkan marga-marga lain di daerah Barat merasa gelisah dan bertanya-tanya, laki-laki macam apa Nobunaga sebenarnya. Dapat di pastikan marga Oda akan memperoleh reputasi sebagai sekutu yang tak dapat diandalkan.

Hideyoshi-lah yang menempatkan Amako Katsuhisa dan pasukan Shikanosuke di dalam Benteng Kozuki, dan kini kesengsaraan, persahabataan, dan simpati yang nyaris tak tertahankan merasuki sukmanya. Ia tahu bahwa ia akan menyaksikan kematian mereka. Meski demikian, begitu menerima perintah baru dari Nobunaga itu, ia langsung berkata. "Baik, tuanku," dan menarik diri.

Sambil memendam perasaannva, ia kembali ke provinsi-provinsi Barat, termenung-menung sepanjang perjalanan. Hindari pertempuran berat, dan menangkan yang mudah—inilah hukum yang melandasi strategi militer, katanya pada diri sendiri. Sepertinya langkah ini tak ada sangkut-pautnya dengan kejujuran, tapi seharusnya sejak awal kita bertempur untuk tujuan yang lebih besar. Sekarang aku harus memikul yang tak tertahankan.

Setelah Hideyoshi kembali ke markasnya di Gunung Takakura, ia memanggil semua jendral lain dan memberitahukan keputusan Nobunaga pada mereka, persis seperti disampaikan kepadanya. Kemudian ia segera memberi perintah untuk membongkar perkemahan dan bergabung dengan pasukan Nobutada. Niwa dan Takigawa ditugaskan sebagai barisan belakang, Hideyoshi dan Araki Murashige memulai penarikan pasukan.

"Sudah kembalikah Shigenori?" Hideyoshi bertanya Beberapa kali sebclum meninggalkan Gunung Takakura.

Takenaka Hanbei, yang tahu apa yang ada dalam benak Hideyoshi, menoleh ke arah Benteng Kozuki, seakan-akan enggan pergi.

"Dia belum kembali?" Hideyoshi bertanya sekali lagi. Shigenori adalah salah satu pengikut Hideyoshi. Dua malam sebelumnya, ia menerima perintah dari Hideyoshi untuk pergi scorang diri ke Benteng Kozuki sebagai kurir. Kini Hideyoshi merasa was-was dan bertanya-tanya, apakah utusannya berhasil menyelinap melewati barisan musuh. Tindakan apa yang akan diambil Shikanosuke? Pesan Hideyoshi, yang dibawa oleh Shigenori, berisi pemberitahuan mengenai

perubahan rencana yang terjadi.

Dapatkah kalian bertekad memilih kehidupan di tengah-tengah kematian, dan meninggalkan benteng untuk bergabung dengan pasukan kami? Kami akan menunggu kalian sampai besok. Keesokan harinya mereka menunggu dengan hati berdebar-debar. Tapi para prajurit di dalam benteng tidak bergerak, dan pasukan Mori yang mengepung benteng pun tidak melakukan perubahan apa-apa. Tak ada pilihan bagi Hideyoshi selain meninggalkan Gunung Takakura.

Orang-orang di Benteng Kozuki tenggelam dalam keputusasaan. Mempertahankan benteng berarti maut, meninggalkan benteng juga berarti maut. Shikanosuke yang gigih pun tampak bingung. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan.

"Ini bukan salah siapa-siapa." Shikanosuke berkata pada Shigenori. "Kita hanya bisa mendongkol terhadap para dewa."

Setelah membahas masalah itu dengan Amako Katsuhisa dan para pengikut lainnya, Shikanosuke menyampaikan jawaban mereka pada Shigenori. "Meski tawaran Yang Mulia Hideyoshi sungguh baik, tak terbayangkan bagaimana pasukan kecil yang lelah ini dapat menerobos kepungan musuh dan bergabung dengan beliau. Kami terpaksa mencari akal yang jauh lebih baik."

Setelah itu, Shikanosuke diam-diam menulis surat yang ditujukan pada komandan pasukan penyerang Mori Terumoto. Surat itu berisi pernyataan menyerah. Secara terpisah ia juga mengajukan permohonan untuk intervensi oleh Kikkawa dan Kobayakawa. Shikanosuke hendak menyelamatkan nyawa junjungannya, Amako Katsuhisa, serta ketujuh ratus praiurit dalam benteng, tetapi baik Kikkawa maupun Kobayakawa tidak bersedia memenuhi permohonan Shikanosuke. Hanya ada satu cara yang dapat diterima oleh keduanya. "Bukalah gerbang benteng." mereka berkata, "dan serahkan kepala Katsuhisa."

Memang berlebihan jika seseorang menuntut belas kasihan pada waktu ia terpaksa menyerah. Sambil menelan air mata kesedihan, Shikanosuke menyembah di hadapan Katsuhisa. Tak ada lagi yang dapat dilakukan pengikut Yang Mulia. Betapa malang nasib tuanku, karena memiliki pengikut tak berguna seperti hamba. Ini tak terelakkan, tuanku harus bersiap-siap menghadapi maut."

"Tidak, Shikanosuke," kata Katsuhisa, lalu berpaling ke arah Iain. "Situasi ini terjadi bukan karena para pengikutku tidak memiliki kemampuan. Tapi kita juga tidak bisa menaruh dendam terhadap Yang Mulia Nobunaga. Aku justru bersyukur telah memperoleh kesetiaan pengikut-pengikutku, dan telah mengabdi sebagai pemimpin marga samurai. Kaulah yang membangkitkan keinginanku untuk memulihkan nama marga kita, dan memberikan kesempatan untuk memerangi musuh bebuyutan kita. Apa yang harus kusesali, walaupun kita kini menghadapi kekalahan? Kurasa aku telah melakukan kewajibanku sebagai lakilaki. Sekarang aku bisa beristirahat dengan tenang."

Pada fajar hari ketiga di Bulan Ketujuh, Katsuhisa melakukan seppuku dengan jantan. Dendam antara marga Mori dan Amako telah berlangsung selama lima puluh enam tahun penuh.

Tctapi kejutan terbesar masih menyusul. Yamanaka Shikanosuke, laki-laki yang berjuang melawan marga Mori tanpa memedulikan derita dan sengsara, dan yang baru saja meminta Amako Katsuhisa untuk melakukan seppuku, memutuskan untuk tidak mengikuti contoh junjungannya itu. Ia memilih mendatangi perkemahan Kikkawa Motoharu bagaikan prajurit rendahan, dan menanggung aib sebagai tawanan perang.

Hati manusia tak dapat diduga. Shikanosuke dicerca oleh kawan maupun lrwan, yang mengatakan tak peduli bagaimana ia berselubung di balik kesetiaan, jika saat penentuan tiba, mau tak mau belangnya terungkap juga.

Tetapi beberapa hari kemudian orang-orang yang sama mendengar sesuatu yang lebih tak terduga lagi, yang membuat mereka muak dan terheran-heran. Yamanaka Shikanosuke telah menjadi pengikut marga Mori, dan diberi sebuah benteng di Suo sebagai imbalan atas kesetiaannya di masa mendatang.

"Dasar anjing berpikiran dangkai!"

"Orang ini tak pantas bergaul dengan para samurai!" Dalam sekejap nama Yamanaka Shikanosuke telah tercoreng untuk selama-lamanya. Selama dua puluh tahun, oleh kawan maupun lawannya ia dianggap sebagai samurai dengan kesetiaan tanpa batas, yang tak mau tunduk meski didera kesusahan. Tapi kini orangorang merasa malu karena telah ditipu mentahmentah. Kebencian mereka berbanding lurus dengan keharuman nama Shikanosuke sebelumnya.

Di bagian terpanas Bulan Ketujuh, Shikanosuke— yang tampaknya tak peduli terhadap segala caci maki— keluarganya, dan para pengikutnya digiring menuju kediaman mereka yang baru di Suo. Mereka dikawal oleh pasukan Mori berkekuatan beberapa ratus orang, yang resminya bertindak sebagai penuntun, tapi sesungguhnya tak lebih dari pasukan penjaga. Shikanosuke bagaikan harimau yang tertangkap, yang sewaktu-waktu masih bisa mengamuk. Sebelum ia dikurung di dalam kerangkeng dan terbiasa diberi makan, sekutu-sekutu yang baru belum merasa aman. Setelah perjalanan beberapa hari, mereka tiba di penyeberangan Sungai Abe di kaki Gunung Matsu.

Shikanosuke turun dari kuda dan menduduki batu besar sambil menghadap ke sungai.

Amano Kai dari pihak Mori ikut turun dari kuda dan menghampirinya. Ia berkata. "Para perempuan dan anak-anak tidak biasa berjalan kaki, jadi kita biarkan mereka menyeberang lebih dulu. Beristirahatlah sejenak di sini."

Shikanosuke hanya mengangguk. Belakangan ini ia jadi pendiam, dan tidak berminat banyak bicara. Kii berjalan ke arah perahu tambang dan menyerukan sesuatu pada orang-orang di tepi sungai. Hanya ada satu atau dua perahu. Istri, putra, dan para pengikut Shikanosuke menaiki perahu-perahu itu, lalu berangkat ke tepi seberang. Sambil memperhatikan perahu, Shikanosuke menghapus keringat dari wajah dan meminta pelayannya mencelupkan sepotong kain ke dalam air sungai yang dingin bagaikan es. Satu-satunya pelayannya yang lain membawa kudanya ke arah hilir, untuk diberi minum. Kawanan serangga bersayap hijau terbang di sekeliling Shikanosuke. Bulan berwarna pucat mengambang di langit senja. Rumput liar yang sedang

berbunga menjalar di tanah.

"Shinza! Hikoemon! Ini kesemparan kalian!" bisik putra sulung Kii, Motoaki, pada dua laki-laki yang berdiri di bayang-bayang pohon tempat sekitar sepuluh kuda diikat. Shikanosuke tidak mengetahui kehadiran mereka. Perahu yang membawa keluarganya sudah berada di tengah sungai.

Angin sungai mengisi dadanya, dan pemandangan sekitar memesona matanya yang berkaca-kaca. Betapa menyedihkan, ia berkeluh kesah. Sebagai suami dan ayah, hatinya serasa diiris-iris ketika ia memikirkan nasib keluarganya yang kini menjadi gelandangan.

Prajurit tergagah pun memiliki perasaan, dan Shikanosuke konon lebih sentimental daripada kebanyakan orang. Keberanian dan jiwa ksatrianya membara dalam matanya, melebihi terik matahari. Ia telah ditinggalkan oleh Nobunaga; ia telah memutuskan hubungan dengan Hideyoshi; ia telah menyerahkan Benteng Kozuki; dan kemudian ia menyodorkan kepala junjungannya pada musuh-musuhnya.

Dan sckarang   ia   masih   ada   di   sini,   enggan melepaskan kehidupan. Harapan apakah yang digenggamnya? Masih adakah kehormatan yang dimilikinya? Caci maki dunia menyerupai suara jangkrik yang kini mcngelilinginya. Tapi, ketika ia mendengarkannya di tengah angin sejuk yang mengenai dadanya, ia tak peduli.

Satu ketusahati Bertumpuk pada yang lain

Menguji kekuatanku sampai ke batasnya.

Sajak itu ditulisnya bertahun-tahun yang lalu. Kini ia membacanya di dalam hati. Ia teringat sumpah yang diucapkannya di hadapan ibunya, di hadapan bekas junjungannya, di hadapan dewa-dewa, dan di hadapan bulan muda di langit kosong sebelum ia maju ke medan tempur: Berikan segala rintangan bagiku!

Ia berhasil mengatasi setiap rintangan satu per satu, sampai sekarang. Shikanosuke menganggapnya sebagai kesenangan paling besar bagi manusia, dan kepuasan terbesar dalam hidupnya.

Pada hakikatnya, seratus rintangan pun bukan alasan untuk bersedih hati. Dengan berpegang pada keyakinan ini ketika mengarungi kehidupan, Shikanosuke sempat mencicipi kegembiraan besar di tengah segala penderitaannya. Ia tetap mempertahankan sikap ini ketika utusan Hideyoshi memberitahunya bahwa Nobunaga mengubah strategi. Memang benar, untuk sementara waktu ia berkecil hati, tapi ia tidak menaruh dendam pada siapa pun. Ia juga tidak bersedih. Tak pernah, bahkan sekarang pun, saat ia tenggelam dalam keputusasaan dan berpikir. "Inilah akhir segalanya." Malah sebaliknya, harapannya tetap membara. Aku masih hidup, dan akan terus hidup selama aku bernapas! Ia menyimpan satu harapan besar mendekati musuh bebuyutannya, Kikkawa Motoharu, dan mati ketika menikamnya sampai tewas. Setelah merenggut nyawa Kikkawa. dengan sukacata ia akan menemui arwah bekas junjungannya di akhirat.

Walaupun Shikanosuke telah menyerah, Kikkawa tak mau mengambil risiko dengan bertatap muka. Dengan santun ia menganugerahkan sebuah benteng dan menyuruh Shikanosuke pergi ke sana. Kini Shikanosuke bergundah gulana, sambil bertanya-tanya kapan ia akan memperoleh kesempatan.

Perahu yang membawa keluarga dan pengikutnya merapat di tepi seberang. Sesaat perhatian Shikanosuke beralih pada keluarganya yang sedang turun dari perahu, di tengah-tengah kerumunan orang.

Tanpa suara, sebilah pedang terhunus menyambar di belakang Shikanosuke dan mengenai bahunya. Pada saat yang sama, pedang lain menghantam baju yang didudukinya, mengakibatkan bunga api beterbangan. Orang seperti Shikanosuke pun bisa dikejutkan oleh serangan mendadak. Walaupun lukanya cukup dalam, Shikanosuke melompai bangun dan menjambak rambut calon pembunuhnya. "Pengecut!" teriaknya.

Ia telah terluka, dan penyerangnya ada dua orang. Melihat rekannya dalam kesulitan, orang kedua menyerang Shikanosuke sambil mengacungkan pedang dan berseru. "Bersiaplah untuk mati! Ini perintah junjungan kami."

"Keparat!" Shikanosuke membalas dengan marah. Ia mendorong penyerang pertama ke arah rekannya. sehingga keduanya berjatuhan. Shikanosuke memantaatkan kesempatan itu untuk berlari ke dalam sungai. Air bercipratan ke segala arah.

"Jangan biarkan dia lolos!" seorang perwira Mori berseru, lalu mulai berlari. Dengan segenap tenaga ia melemparkan rombaknya dari tepi sungai. Tombak itu menancap di punggung Shikanosuke, membuatnya terjerembap ke dalam sungai. Gagang tombak tampak tegak dalam air yang mulai memerah, seperti harpun yang menancap di tubuh ikan paus.

Kedua pembunuh melangkah mendekat. Mereka menyeret Shikanosuke yang terluka parah ke pinggir dengan memegang kakinya, lalu memenggal kepalanya. Darah mengalir di celah-celah batu di tepi sungai, sementara ombak Sungai Abe kelihatan bagai terbakar. Secara bersamaan icrdcngar orang beneriakteriak dari arah hulu.

"Tuanku!" "Yang Mulia!"

Kedua pembantu Shikanosuke berlari ke arahnya. tapi kemungkinan itu pun telah diperhitungkan oleh orang-orang Mori. Begitu keduanya mulai berteriakteriak, mereka telah dikelilingi oleh kerangkeng baja dan tidak dapat maju lebih jauh. Ketika menyadari bahwa majikan mereka telah menemui ajalnya, mereka bertempur dengan gagah berani, sampai mereka menyusul Shikanosuke ke akhirat.

Tubuh manusia tak dapat hidup selama-lamanya. Tapi kesetiaan yang tak tergoyahkan serta kesadaran tentang kewajiban akan seterusnya tercatat dalam sejarah perang. Setiap kali mereka memandang ke atas dan melihat bulan muda di langit malam, para samurai di kemudian hari akan terkenang pada kegigihan Yamanaka Shikanosuke dan dirasuki perasaan hormat. Dalam hati mereka, Shikanosuke akan hidup untuk selama-lamanya.

Pedang dan kotak teh "Samudra Luas" milik Shikanosuke dikirim kepada Kikkawa Motoharu beserta kepalanya.

"Jika kami tidak menyingkirkanmu." ujar Kikkawa ketika memandang kepala itu, "suatu hari kau akan memandang kepalaku seperti ini. Itulah Jalan Samurai. Setelah segala keberhasilanmu, kau sebaiknya berusaha mencari kedamaian di akhirat."

***

Ketika ketujuh ribu lima ratus prajurit Hideyoshi meninggalkan Kozuki, sepertinya mereka hendak menuju Tajima, tapi tiba-tiba mereka membelok ke arah Kakogawa di Harima, dan bergabung dengan pasukan Nobutada yang berkekuatan tiga puluh ribu orang. Akhir musim panas telah tiba.

Diserang oleh pasukan besar ini, baik benteng di Kanki maupun di Shikau takluk dalam waktu singkat. Kini tinggal Benteng Miki, kubu utama marga Bessho. Pertempuran-pertempuran pasukan Oda ketika mereka maju ke Benteng Miki seolah-olah terasa ringan, tapi sesungguhnya penaklukan bentengbenteng pada garis pertahanan terdepan pihak Mori memakan banyak korban. Pasukan gabungan Oda berkekuatan tiga puluh delapan ribu orang, tapi tak perlu diragukan bahwa musuh akan memberikan perlawanan gigih.

Salah satu sebab operasi militer ini membutuhkan waktu lama adalah bahwa di samping kemajuan persenjataan juga terjadi perubahan besar-besaran dalam taktik-taktik tempur. Pada umumnya, persenjataan pasukan provinsi-provinsi Barat lebih maju daripada persenjataan musuh-musuh marga Oda di Echizen maupun Kai.

Ini pertama kalinya prajurit-prajurit Oda berhadapan dengan mesiu dan meriam yang demikian hebat. Hideyoshi merasa bisa belajar banyak dari musuh ini. Kemungkinan besar Kanbei yang melakukan pembelian, tapi Hideyoshi-lah yang pertama-tama meninggalkan meriam-meriam Cina yang kuno dan melengkapi diri dengan meriam buatan bangsa barbar dari Selatan, yang ditempatkan di puncak sebuah menara pengintai. Ketika para jendral Oda yang lain melihat ini, mereka pun bergegas untuk memperoleh meriam terbaru.

Sewaktu mendapat kabar mengenai pertempuran di provinsi-provinsi Barat, banyak pedagang senjata berdatangan dari Hirado dan Hakau di Kyushu, menghindari armada Mori dengan mempertaruhkan nyawa dan mencari pelabuhan-pclabuhan di pesisir Harima. Hideyoshi membantu orang-orang ini dengan bertindak sebagai pcranrara. Ia menyarankan agar para jendral lain membeli senjata-senjau baru, tanpa memedulikan biaya.

Benteng Kanki menjadi sasaran pertama dalam rangka uji coba kekuatan meriam-meriam baru ini. Orang-orang Oda membuat bukit kecil yang menghadap ke sasaran, lalu mendirikan menara pengintai dan kayu di atasnya. Kemudian sebuah meriam besar ditempatkan di puncak menara dan ditembakkan ke benteng. Tembok dan gerbang benteng dengan mudah berhasil dihancurkan. Tapi sasaran sesungguhnya adalah menara-menara dan benteng dalam.

Namun pihak musuh juga memiliki artileri, begitu pula senapan dan mesiu terbaru. Beberapa kali menara pengintai hancur lebur dan terbakar habis, hanya untuk dibangun dan dihancurkan kembali.

Selama pertempuran sengit itu, korps zeni Hideyoshi menguruk parit pertahanan dan mendesak maju sampai ke tembok baru, sementara para tukang gali menggali terowongan untuk meruntuhkan tembok. Pekerjaan itu berlangsung siang-malam. hampir tanpa henti, dan tanpa memberi kesempatan kepada para prajurit di dalam benteng untuk memperbaiki kerusakannya. Strategi semacam itu akhirnya membawa kekalahan bagi benteng-benteng musuh. Karena kemenangan atas benteng-benteng kecil di Shikata dan Kanki saja sudah memerlukan usaha sedemikian besar, serangan terhadap benteng utama di Miki tampaknya lebih sukar lagi.

Di suatu tempat bernama Bukit Hirai terdapat daerah yang agak tinggi berjarak kira-kira satu setengah mil dari benteng. Di sanalah Hideyoshi mendirikan perkemahan dan menempatkan delapan ribu prajurit di daerah sekitarnya.

Suatu hari Nobutada mengunjungi Bukit Hirai, dan mereka berdua pergi mengamati posisi-posisi musuh. Di selatan musuh terdapat gunung-gunung dan bukitbukit yang merupakan bagian dari daerah pegunungan di Harima bagian barat. Sungai Miki mengalir di sebelah utara. Di sebelah timur terlihat rumpunrumpun bambu, tanah pertanian, dan semak belukar. Sejumlah kubu pertahanan pada bukit-bukit sekitar mengelilingi tembok benteng pada tiga sisi. Tembok itu mengelilingi benteng pertama, kedua, dan satu benteng lagi.

"Rasanya berat menaklukkannya dengan cepat," ujar Nobutada sambil mengamati Benteng Miki.

"Hamba meragukan benteng itu bisa direbut dengan cepat. Benteng itu seperti gigi busuk dengan akar yang dalam."

"Gigi busuk?" tanpa sengaja Nobutada tersenyum ketika mendengar perumpamaan Hideyoshi. Sudah empat atau lima hari Nobutada menderita sakit gigi parah. Karena bengkak, wajahnya tampak agak berubah. Kini ia memegang pipinya dan tertawa. Persamaan antara Benteng Miki dan giginya yang busuk terdengar lucu sekaligus menyakitkan.

"Begitu. Persis seperti gigi busuk. Untuk mencabutnya dibutuhkan kesabaran."

"Ini memang hanya satu gigi, tapi pengaruhnya terasa di seluruh tubuh. Bessho Nagaharu membuat orang-orang kita mendcrita. Belum cukup kalau dia disamakan dengan gigi busuk. Tapi kalau kita mengalah pada kejengkelan kita dan berusaha menundukkan benteng itu secara gegabah, bukan gusi saja yang mungkin rusak, akibatnya bisa gatal untuk seluruh tubuh."

"Hmm, apa yang harus kita lakukan kalau begitu?

Apa strategimu?"

"Nasib gigi ini sudah jelas. Biarkan akarnya membusuk dengan sendirinya. Bagaimana kalau kita memutuskan jalan penghubung dan menggoyanggoyangkan giginya dari waktu ke waktu?"

"Ayahku, Nobunaga, menyuruhku mundur ke Gifu jika serangan cepat tak dapat dilakukan. Kau boleh mengatur semuanya; aku kembali ke Gifu."

"Tuanku tak perlu khawatir."

Keesokan harinya Nobutada menarik diri dari medan pertempuran bersama para jendral lain. Hideyoshi menempatkan kedelapan ribu prajuritnya di sekitar Benteng Miki, menugaskan seorang komandan korps di masing-masing posisi, dan mendirikan pagar kayu runcing. Ia menempatkan penjagapenjaga dan memutuskan semua jalan yang menuju benteng. Perhatian khusus diberikan pada korps observasi yang menjaga jalan di sebelah selatan benteng. Jika jalan itu diikuti sejauh kurang-lebih dua belas mil ke arah barat, orang akan tiba di tepi laut. Angkatan laut Mori sering mengirim konvoi kapal ke titik ini, lalu membawa senjata dan perbekalan ke benteng.

"Bulan Kedelapan sungguh menyegarkan." ujar Hideyoshi sambil memandang bulan di langit malam. "Ichimatsu! Hei, Ichimatsu!"

Para pelayan menghambur keluar dari kemah, masing-masing berusaha mendului yang lain. Ichimatsu tidak tampak di antara mereka. Sementara para pelayan berusaha saling mengalahkan. Hideyoshi memberikan perintah.

"Siapkan tikar di tempat berpemandangan bagus di Bukit Hirai. Malam ini kita membuat acara memandang bulan. Ayo, jangan bertengkar. Ini pesta, bukan pertempuran."

"Baik, tuanku." "Toranosuke." "Ya, tuanku."

"Ajaklah Hanbei untuk menemaniku, kalau dia merasa cukup sehat untuk memandang bulan."

Tak lama kemudian dua pelayan kembali dan memberitahu Hideyoshi bahwa tikar sudah disiapkan. Mereka memilih tempat di dekat puncak Bukit Hirai, sedikit di atas perkemahan.

"Pemandangannya memang indah," Hideyoshi berkomentar. Sekali lagi ia berpaling kepada para pelayan dan berkata, "Ajak juga Kanbei ke sini. Sayang sekali kalau dia tidak menikmati keindahan bulan ini." Kemudian ia menyuruh seorang pdayan bergegas ke tenda Kanbei .

Pelataran untuk memandang bulan didirikan di bawah pohon cemara besar. Telah tersedia sake dingin dalam botol berleher bangau, dan santapan pada baki berbentuk bujur sangkar yang terbuat dari kayu pohon cemara. Meski tak dapat dikatakan mewah, pelataran ini cukup memadai untuk melepas lelah di tengah operasi militer—terutama dengan bulan terang di atas kepala. Ketiga laki-laki itu duduk berdampingan di tikar, Hideyoshi di tengah, Hanbei dan Kanbei di kedua sisinya.

Mereka menatap bulan yang sama, tapi pemandangan itu menimbulkan perasaan berbeda dalam diri masing-masing. Hideyoshi teringat ladangladang di Nakamura, Hanbei mengenang bulan di atas Gunung Bodai, dan hanya Kanbei yang memikirkan hari-hari yang akan datang.

"Kau kedinginan, Hanbei?" Kanbei bertanya pada sahabatnya, dan Hideyoshi, mungkin karena mendadak cemas, ikut menoleh dan menatap Hanbei.

"Tidak, aku baik-baik saja." Hanbei menggelengkan kepala, namun saat itu wajahnya tampak lebih pucat dibandingkan bulan.

Laki-laki hebat ini bertubuh lemah. Hideyoshi mendesah. Ia lebih mencemaskan kesehatan Hanbei daripada Hanbei sendiri.

Suatu hari, Hanbei pernah muntah darah ketika berkuda di Nagahama, dan ia sering jatuh sakit selama operasi di Utara. Ketika mereka berangkat untuk menghadapi pasukan Mori, Hideyoshi sempat berusaha mencegah Hanbei dengan berkata bahwa sahabatnya itu terlalu memaksakan diri.

"Apa maksudmu?" Hanbei membalas sambil lalu, dan tetap menyertai Hideyoshi ke medan laga.

Hideyoshi merasa lebih tenang jika Hanbei berada di sisinya. Hanbei memberikan kekuatan nyata dan kekuatan batin—hubungan mereka hubungan antara junjungan dan pengikut, tapi dalam hati Hideyoshi memandang Hanbei sebagai guru. Kini ia menghadapi tugas berat berupa operasi Barat, perangnya berkepanjangan. dan banyak jendral lain merasa iri padanya. Hideyoshi sedang menempuh perjalanan terberat selama hidupnya, dan karena itu ia semakin mengandalkan Hanbei.

Namun Hanbei sudah dua kali jatuh sakit sejak mereka memasuki wilayah provinsi-provinsi Barat. Hideyoshi begitu ccmas, sehingga ia memerintahkan Hanbei menemui dokter di Kyoto. Tapi dalam waktu singkat Hanbei telah kembali lagi.

"Sejak kecil hamba sudah sakit-sakitan, jadi hamba sudah terbiasa dengan keadaan ini. Pengobatan tak ada gunanya bagi hamba. Medan peranglah tempat bagi samurai." lalu ia kembali bekerja dengan tekun di markas Hideyoshi, tanpa memperlihatkan tanda-tanda keletihan. Namun tubuhnya yang lemah merupakan kenyataan yang tak dapat ditolak. Dan tak ada cara untuk mengalihkan penyakitnya, tak peduli betapa kuatnya semangat yang ia miliki.

Hujan turun deras ketika pasukan pindah dari Tajima. Mungkin karena perjalanan berat itu, Hanbei melapor sakit dan tidak muncul di hadapan Hideyoshi selama dua hari, sejak mereka mendirikan perkemahan di Bukit Hirai. Memang biasa Hanbei tidak menemui Hideyoshi jika ia sedang sakit keras; ia tak ingin membuat junjungannya khawatir. Tapi karena Hanbei tampak sehat dalam beberapa hari terakhir, Hideyoshi pikir mereka bisa duduk duduk di bawah bulan dan berbincang-bincang seperti yang sudah lama tidak mereka lakukan. Namun bukan hanya karena cahaya bulan, seperti yang ditakutkan Hideyoshi, memang ada vang tidak beres dengan corak kulit Hanbei.

Ketika menyadari kecemasan Hideyoshi dan Kanbei, Hanbei sengaja membelokkan pembicaraan ke arah lain.

"Kanbei, menurut berita yang kuterima kemarin dari pengikut provinsi asalku, putramu, Shojumaru, tampaknya sehat-sehat saja, dan akhirnya mulai terbiasa dengan lingkungannya yang baru."

"Karena Shojumaru berada di provinsi asalmu, Hanbei, aku tidak khawatir. Aku hampir tak pernah memikirkan hal itu."

Selama beberapa waktu keduanya berbincangbincang mengenai putra Kanbei, Hideyoshi. yang belum juga dikaruniai keturunan, mau tak mau merasa agak iri ketika mendengarkan percakapan kedua ayah itu. Shojumaru merupakan pewaris Kanbei, tapi ketika Kanbei menyadari perkembangan di masa depan, ia mempercayakan putranya pada Nobunaga sebagai tanda iktikad baik.

Sandera muda itu ditempatkan di bawah asuhan Hanbei, yang lalu mengirim Shojumaru ke bentengnya di Fuwa dan membesarkannya seperti putranya sendiri. Jadi, dengan Hideyoshi sebagai poros hubungan mereka, Kanbei dan Hanbei juga terikat oleh tali persahabatan. Dan walaupun mereka bersaing sebagai jendral, di antara keduanya tak sedikit pun terdapat rasa iri dan dengki. Pepatah "dua orang besar tak dapat berdiri berdampingan" tak berlaku di markas Hideyoshi.

Ketika memandang bulan, mereguk sake, dan membicarakan orang-orang besar di masa lampau dan masa sekarang, serta pasang-surut provinsi dan marga, Hanbei tampaknya dapat melupakan penyakitnya.

Namun Kanbei kembali ke pembicaraan semula. "Walaupun seseorang memimpin pasukan besar di pagi hari, dia tidak tahu apakah dia masih hidup pada waktu matahari terbenam. Tapi jika kita menyimpan ambisi besar—tak pengaruh betapa hebatnya kita—kita harus hidup cukup lama agar jerih payah kita dapat membuahkan hasil. Banyak pahlawan gagah dan pengikut setia yang akan dikenang sepanjang masa, walaupun hidup mereka singkat. Bagaimana kalau mereka hidup lebih lama? Tak ada salahnya kita menyesali singkatnya kehidupan. Kehancuran yang mengiringi penyingkiran hal-hal lama dan pertempuran melawan kejahatan bukan satu-satunya tugas orang besar. Tugasnya belum selesai sampai seluruh bangsa dibangun kembali ."

Hideyoshi mengangguk penuh semangat. Kemudian ia berkata pada Hanbei yang membisu. "Karena itu, kita harus menyayangi kehidupan. Dan karena alasan itulah kuminta agar kau memperhatikan kesehatanmu, Hanbei."

"Aku pun sependapat,." Kanbei menambahkan "Daripada memacu dirimu secara berlebihan, mengapa kau tidak bertetirah di sebuah kuil di Kyoto, dengan dokter yang pandai, dan mengurus dirimu? Aku mengusulkan ini sebagai sahabat, dan kurasa memberikan ketenangan pikiran pada junjunganmu merupakan bukti kesetiaan."

Hanbei mendengarkan mereka, dipenuhi rasa terima kasih pada kedua sahabatnya. "Kuterima usulmu. Aku akan pergi ke Kyoto untuk beberapa waktu. Tapi sekarang ini kita sedang menyusun rencana, jadi aku baru berangkat setelah mengetahui bahwa semuanya sudah rampung."

Hideyoshi mengangguk. Sejauh ini ia mendasarkan strateginya pada usul-usul Hanbei, tapi ia belum melihat keberhasilannya.

"Kau cemas karena Akashi Kagechika?" tanya Hideyoshi.

"Benar," jawab Hanbei sambil mengangguk. "Jika tuanku berkenan memberikan waktu lima atau enam hari sebelum hamba mulai bertetirah, hamba akan menyusup ke Gunung Hachiman dan menemui Akashi Kagechika. Hamba akan berusaha membujuknya agar pindah ke pihak kita. Setujukah tuanku?"

"Itu akan merupakan kemenangan besar. Tapi bagaimana kalau terjadi sesuatu? Kau tentu sadar bahwa kemungkinannya delapan atau sembilan dari sepuluh. Bagaimana kalau begitu?"

"Hamba akan mati," jawab Hanbei tanpa berkedip. Nada suaranya membuktikan bahwa ia tidak sekadar omong besar.

Sctelah penaklukan Benteng Miki, Akashi Kagechika merupakan lawan berikut yang menanti Hideyoshi. Tapi sementara ini Hideyoshi tak sanggup merebut Benteng Miki. Namun ia pun tidak bermaksud melakukan pengepungan secara membabi buta. Benteng Miki hanyalah sebagian operasi untuk menaklukkan seluruh daerah Barat. Jadi, ia tak punya pilihan selain menerima rencana Hanbei untuk menghasut Akashi.

"Kau akan pergi?" tanya Hideyoshi.

Hideyoshi masih ragu-ragu, walaupun Hanbei telah membulatkan tekad. Kalaupun Hanbei berhasil melewati segala rintangan yang menghadang dalam perjalanan dan menemui Akashi. Jika perundingan bcrakhir dengan kegagalan, tak dapat dipastikan bahwa pihak musuh akan mengembalikan Hanbei dalam keadaan hidup. Di pihak lain, Hideyoshi pun tak dapat memastikan bahwa Hanbei ingin kembali dengan tangan kosong. Mungkinkah Hanbei scsungguhnya bermaksud mati? Entah ia mati karena penyakitnya atau karena dibunuh musuh, ia hanya bisa mati satu kali.

Kanbei lalu mengajukan rencana lain. Ia mempunyai beberapa kenalan di antara para pengikut Ukita Naoie. Sementara Hanbei mendekati marga Akashi, ia sendiri bisa menemui para pengikut senior marga Ukita.

Ketika mendengar ide ini, Hideyoshi langsung merasa tenang. Memang ada kemungkinan marga Ukita bisa dibujuk. Sejak penyerbuan provinsiprovinsi Barat, orang-orang Ukita menunjukkan sikap hangat-hangat kuku, menunggu sampai jelas pihak mana yang berada di atas angin. Ukita Naoie telah minta bantuan marga Mori, tapi jika ia bisa diyakinkan bahwa masa depan adalah milik Nobunaga... Kecuali itu, persekutuan marga Ukita dengan marga Mori mungkin terbukti tak berharga jika mereka tidak memperoleh dukungan militer. Itu dapai berarti kematian bagi pihak Ukita. Mereka menarik pelajaran ketika Mori ditarik mundur, setelah Benteng Kozuki berhasil direbut kembali .

"Jika marga Ukita mencapai kata sepakat dengan kita, Akashi Kagechika tak punya pilihan selain mengikuii langkah mereka." Hideyoshi berkata mengemukakan pemikirannya. "Dan jika Kagechika tunduk pada kita, pihak Ukita akan segera memohon damai. Melakukan kedua perundingan pada waktu yang sama merupakan ide gemilang."

Keesokan harinya Hanbei minta cuti karena penyakitnya di depan umum, dan mengumumkan bahwa ia akan pergi ke Kyoto untuk berobat. Dengan dalih ini, ia meninggalkan perkemahan di Bukit Hirai, hanya disertai dua atau tiga orang. Setelah beberapa hari, Kanbei pun meninggalkan perkemahan.

Hanbei pcrtama-tama menemui adik Kagechika, Akashi Kanjiro. Ia bukan teman Kanjiro, tapi ia pernah bcrtemu dua kali dengannya di Kuil Nanzen di Kyoto, tempat mereka sama-sama menekuni meditasi Zen. Kanjiro tertarik pada ajaran Zen. Menurut Hanbei, jika pembicaraan dengan Kanjiro dilandasi semangat Zen, dengan cepat mereka akan mencapai persetujuan. Setelah itu Hanbei akan berbicara dengan kakaknya, Kagechika.

Sebelum bertemu dengannya, baik Akashi Kanjiro maupun kakaknya, Kagechika, bertanya-ranya kebijaksanaan seperti apa yang akan dikemukakan oleh Hanbei, dan seberapa pandai ia bersilat lidah. Bagaimanapun, ia guru Hideyoshi dan ahli taktik yang tersohor. Tapi, ketika berbicara dengannya, mereka ternyata menemukan bahwa ia laki-laki yang suka berterus terang dan sama sekali tidak menyimpan tipu muslihat.

Pendirian dan ketulusan Hanbei begitu berbeda dari tipu daya yang biasa dipergunakan dalam perundingan antarmarga samurai, sehingga orangorang Akashi mempercayainya dan memutuskan hubungan dengan marga Ukita. Baru setelah berhasil merampungkan tugas, Hanbei akhirnya minta cuti pendek. Kali ini ia benar-benar meletakkan kewajibankewajiban militer vang diembannya, lalu pergi ke Kyoto untuk berobat.

Hideyoshi berbicara dengannya ketika ia hendak berangkat, dan memintanya mengunjungi Nobunaga. Hanbei ditugaskan memberitahu Nobunaga bahwa mereka berhasil membujuk Akashi Kagechika untuk bergabung dengan persekutuan Oda.

Ketika mendengar berita itu, Nobunaga sangat gembira. "Apa? Kalian berhasil menaklukkan Gunung Hachiman tanpa menumpahkan darah? Bagus, bagus sekali!" Pasukan Oda, yang sebelumnya telah menduduki seluruh Harima, kini untuk pertama kali memasuki wilayah Bizen. Langkah pertama itu mempunyai arti besar.

"Kau tampak lebih kurus. Ambillah waktu untuk memulihkan kesehatanmu." ujar Nobunaga, dan sebagai penghargaan atas jasa baik Hanbei, ia menycrahkan dua puluh keping perak kepadanya. Kepada Hideyoshi ia menulis:

Kau menunjukkan kebijakan luar biasa dalam situasi ini. Aku menanti laporan terperinci pada saat kita bertemu, tapi untuk sementara, inilah tanda terima kasihku.

Dan ia mengirimkan seratus keping emas, jika Nobunaga gembira, kegembiraannya meluap-luap. Dengan meraih segelnya yang berwarna merah terang, ia menunjuk Hideyoshi sebagai penguasa militer di Harima.

***

Operasi di Bukit Hirai serta pengepungan Benteng Miki yang berkepanjangan telah memasuki jalan buntu. Tapi dengan pembelotan marga Akashi ke pihak mereka, orang-orang Oda berangsur-angsur berhasil menjalankan manuver-manuver mereka. Namun, seperti bisa diduga dari sebuah marga yang demikian termasyhur, marga Ukita tidak mudah terpengaruh oleh perundingan, walaupun Kanbei telah mengerahkan segenap kelihaiannya dalam menghadapi mereka. Sebagai penguasa Provinsi Bizen dan Mimakasa, orang-orang Ukita berada dalam posisi terjepit antara pihak Oda dan pihak Mori. Jadi tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa masa depan provinsi-provinsi Barat sepenuhnya tergantung pada sikap mereka.

Ukita Naoie mengandalkan nasihat empat pengikut senior, Osafune Kii, Togawa Higo, Oka Echizen, dan Hanabusa Sukebei. Di antara mereka, Hanabusa yang memiliki hubungan dengan Kuroda Kanbei. Dan Hanabusa-lah yang pertama-tama didatangi Kanbei. Kanbei berbicara sepanjang malam, membahas keadaan negeri di masa sekarang dan masa mendatang. Ia membicarakan cita-cita Nobunaga dan watak Hideyoshi, dan berhasil merangkul Hanabusa.

Hanabusa lalu membujuk Togawa Higo untuk bergabung dengan mereka, dan karena berhasil meyakinkan kedua orang ini, Kanbei akhirnya dapat menemui Ukita Naoie.

Setelah mendengarkan alasan-alasan mereka, Naoie berkata. "Kita harus mempertimbangkan bahwa kekuatan besar yang menjangkau seluruh negeri sedang bangkii dari Timur. Jika kita diserang oleh Yang Mulia Nobunaga dan Yang Mulia Hideyoshi, seluruh marga Ukita akan binasa untuk membela marga Mori. Untuk menyelamatkan nyawa ribuan prajurit dan berjasa bagi negeri ini, ketiga putraku dengan senang hati menyambut kematian di wilayah musuh. Walau harus menyerahkan ketiga putraku sebagai sandera di daerah musuh, jika aku dapat melindungi wilayah ini dan menyelamatkan ribuan nyawa, doa-doaku akan terkabul."

Kata-kata Naoie ini mengakhiri perdebatan di kalangan pengikut-pcngikutnnya. Pertemuan ditutup, dan sepucuk surat berisi pernyataan kesediaan bekerja sama dari marga Ukita diserahkan pada Hikoemon, yang lalu membawanya ke Bukit Hirai. Dengan demikian, Hideyoshi meraih kemenangan di belakang pasukannya tanpa melepas satu anak panah pun. Tanpa pertumpahan darah Provinsi Bizen dan Mimakasa menjadi sekutu marga Oda.

Hideyoshi tentu saja ingin secepat mungkin menyampaikan kabar mengenai perkembangan menggembirakan ini pada junjungannya, tapi mengirim surat mungkin berbahaya, katanya dalam hati. Urusan ini menuntut kerahasiaan. Sampai kesempatan yang tepat tiba, persekutuan ini harus ditutup-tutupi agar tidak diketahui oleh pihak Mori.

Ia mengirim Kanbei ke Kyoto untuk menyampaikan hal ini pada Nobunaga.

Kanbei langsung bertolak ke ibu kota. Tiba di sana, ia diterima oleh Nobunaga.

Sewaktu mendengarkan laporan Kanbei, Nobunaga tampak sangat tak senang. Sebelumnya, pada waktu Hanbei datang ke Istana Nijo dan melaporkan bahwa marga Akashi berhasil ditundukkan, Nobunaga gembira sekali dan memuji-mujinya. Tapi kali ini tanggapannya berbeda sama sekali.

"Siapa yang memberi perintah ini? Kalau Hideyoshi yang bertanggung jawab, dia akan menanggung akibatnya! Lancang sekali dia membuat kesepakatan dengan Provinsi Bizen dan Mimakasa. Kembalilah dan sampaikan hal ini pada Hideyoshi!" Kemudian. seakan-akan tcguran keras itu belum cukup, ia melanjutkan, "Menurut surat Hideyoshi, dalam beberapa hari dia akan datang ke Azuchi bersama Ukita Naoie. Kauberitahu dia bahwa aku tak sudi menerima Naoie, biarpun dia datang ke sini. Aku bahkan tidak bersedia menemui Hideyoshi!"

Nobunaga begitu geram, sehingga Kanbei pun tak sanggup menghadapinya. Setelah mencmpuh perjalanan yang sia-sia, ia kembali ke Harima dengan memendam perasaan tak senang.

Walaupun merasa malu melaporkan hasil kunjungannya, mengingat segala kesulitan yang telah dilalui Hideyoshi, Kanbei juga tidak dapat menutupnutupinya. Ketika Kanbei menatap wajah Hideyoshi, Hideyoshi bisa melihat ia memaksakan senyum di wajahnya yang cekung.

"Ya, aku mengerti," ujar Hideyoshi. "Yang Mulia marah karena aku membuat persekutuan yang tak perlu atas wewenangku sendiri." Tampaknya ia tidak sekecewa Kanbei. "Kurasa Yang Mulia Nobunaga sebenarnya berkcinginan agar kita menghancurkan marga Ukita, supaya dia dapat membagi-bagi wilayah kekuasaan mereka di antara para pengikutnya." Kemudian, untuk mcnghibur Kanbei yang murung, ia berkata. "Memang berat rasanya kalau rencana kita tidak berjalan seperti yang diharapkan. Rencana yang disusun sepanjang malam tiba-tiba mentah lagi pada pagi hari, dan siasat-siasat yang kita miliki pagi hari sudah berubah lagi ketika sore tiba." Kanbei tiba-tiba menyadari bahwa hidupnya berada di tangan orang ini. Di lubuk hatinya yang paling dalam, ia merasa takkan menyesal mati demi Hideyoshi.

Hideyoshi bisa membaca hati Nobunaga. Jika ia benar-benar memahami bagaimana mengabdi pada Nobunaga, tentunya ia pun mengetahui jalan pikiran junjungannya itu. Kini Kanbei mengerti bahwa kepercayaan dan status yang dinikmati Hideyoshi merupakan hasil pengabdiannya selama dua puluh tahun.

"Kalau begitu, apakah ini berarti tuanku mengadakan kesepakatan dengan pihak Ukita, meskipun tuanku tahu ini bertentangan dengan keinginan Yang Mulia Nobunaga?" tanya Kanbei.

"Mengingat cita-cita Yang Mulia, memang sudah bisa di pastikan bahwa dia akan gusar. Ketika Takenaka Hanbei melaporkan bahwa Akashi Kagechika telah tunduk, Yang Mulia begitu gembira, sehingga memberikan imbalan berlebihan pada Hanbei dan aku. Tentunya Yang Mulia merasa tunduknya marga Akashi akan mempermudah serangan terhadap marga Ukita, dan serangan yang berhasil akan memungkinkan Yang Mulia membagibagi wilayah Ukita dan menawarkannya sebagai tanda penghargaan. Tapi, setelah orang-orang Ukita tunduk pada kita, rasanya tak mungkin Yang Mulia merampas tanah mereka, bukan?"

"Kalau dijelaskan seperti ini, aku dapat memahami perasaan Yang Mulia Nobunaga. Tapi Yang Mulia begitu marah, sehingga takkan mudah bagi tuanku untuk melakukan pembicaraan dari hati ke hati. Yang Mulia berpesan, jika Ukita Naoie datang ke Azuchi, atau bahkan jika tuanku datang sebagai perantara, Yang Mulia menolak bertemu."

"Aku harus menemuinya, tak peduli betapapun dia marah. Selalu ada cara untuk menghindari pertengkaran antara suami-istri, tapi sia-sia belaka kalau kita berusaha menghindari amarah junjungan kita. Tak ada yang dapat membuatnya merasa lebih baik daripada permohonan maaf secara langsung, walaupun untuk itu aku harus menerima caci maki sambil menyembah di kakinya."

Pernyataan tertulis yang diperoleh dari Ukita Naoie berada di tangan Hideyoshi, tapi Hideyoshi hanya komandan lapangan. Jika kesepakatan itu tidak berkenan di hati Nobunaga, pernyauan itu tak ada artinya sama sekali.

Selain itu, sebagai formalitas, tata krama menuntut agar Naoie pergi ke Azuchi, mempcrlihatkan ketaatannya pada Nobunaga, dan menanyakan perintah lebih lanjut. Pada hari yang sudah ditetapkan sebelumnya, Hideyoshi menyertai Naoie ke Azuchi. Tapi kemarahan Nobunaga belum padam.

"Aku tidak mau bertemu mereka." Hanya itu yang ia sampaikan melalui pembantunya.

Hideyoshi kehabisan akal. Ia hanya dapat menunggu. Ia kembali ke ruang tamu tempat Naoie sedang menunggu, dan melaporkan hasilnya. "Yang Mulia sedang tidak enak hari hari ini. Sudikah Tuan menungguku di tempat Tuan menginap?"

"Sakitkah beliau?" tanya Naoie dengan perasaan tak senang. Ketika memohon damai, ia tidak bermaksud minta belas kasihan Nobunaga. Ia masih dapat mengandalkan pasukannya yang hebat. Ada apa sebenarnya? Mengapa ia memperoleh sambutan demikian dingin? Kata-kaia itu tak pernah terucap, tapi mau tak mau ia memikirkannya sambil mendongkol.

Naoie tak tahan dipermalukan lebih lanjut Barangkali lebih baik jika ia secepatnya pulang ke provinsi asalnya dan kembali bersikap sebagai lawan. Tampak jelas bahwa niat itu sempat terlintas di dalam benaknya.

"Tidak, tidak." kaia Hideyoshi kepadanya. "Kalau sekarang ada masalah, kita bisa menemuinya nanti. Untuk sementara ini, mari kita pergi ke kota benteng." Hideyoshi telah mengatur penginapan Naoie di Kuil Sojitsu. Keduanya bergegas kembali ke kuil, lalu Naoie membuka pakaian resmi dan berbicara dengan

Hideyoshi.

"Aku akan meninggalkan Azuchi sebelum malam tiba, dan menginap satu malam di ibu kota. Setelah itu, rasanya lebih baik kalau aku pulang seorang diri ke provinsi asalku."

"Ah, mcngapa Tuan hendak berbuat demikian? Mengapa Tuan hendak berbuat demikian sebelum kita pergi menemui Yang Mulia Nobunaga sekali lagi?" "Aku tidak berminat lagi bertemu dia." Untuk pertama kali Naoie menegaskan perasaannya melalui roman muka dan ucapannya. "Tampaknya Yang Mulia Nobunaga pun tidak berminat menemui aku. Lagi pula ini provinsi musuh, dan aku tidak menjalin hubungan di sini. Rasanya paling baik bagi kita

berdua jika aku segera pergi."

"Itu melanggar kehormatanku."

"Di lain kesempatan, aku akan datang lagi dan mengucapkan terima kasih secara pantas atas segala kebaikan yang kuterima, Tuan Hideyoshi. Aku takkan meupakan kebaikan Tuan."

"Sudikah Tuan tinggal satu malam lagi? Aku tak tega melihat dua marga kupertcmukan untuk perundingan damai tiba-tiba kembali terlibat pertempuran. Hari ini kita tidak berhasil menemui beliau, dan Yang Mulia punya alasan sendiri atas sikapnya itu. Mari kita bertemu lagi nanti malam, dan aku akan bercerta. Sekarang ini aku pun akan kembali ke tempat penginapanku. Aku akan berganti pakaian dulu. Kumohon Tuan menungguku sebelum mulai makan."

Tak ada yang dapat dilakukan Naoie, jadi ia menunggu sampai waktu malam tiba. Hideyoshi berganti pakaian dan sekali lagi mengunjungi Sojitsu. Mereka mengobrol dan tertawa sambil makan malam, dan setelah selesai, Hideyoshi berkomencar, "Ah. betul. Aku telah berjanii untuk bercerita mengapa Yang Mulia Nobunaga memperlakukanku begitu keras kali ini."

Dan ia mulai bercerita, seakan-akan baru teringat masalah itu. Karena ingin mendengar cerita Hideyoshi, Naoie telah menunda keberangkatannya. Kini Hideyoshi memperoleh perhatiannya secara penuh.

Dengan terus terang Hideyoshi menjelaskan mengapa tindakannva menyinggung Nobunaga. "Sesungguhnya tak pantas aku berkara begini, tapi cepat atau lambat, baik Provinsi Mimasaka maupun Bizen akan menjadi milik marga Oda. Karena itu, persetujuan damai dengan marga Ukita tidak diperlukan. Tapi jika Yang Mulia Nobunaga tidak menghancurkan marga Ukita, dia pun tak dapat membagi-bagikan wilayah itu di antara jendral jcndralnya sebagai imbalan atas jasa-jasa mereka. Disamping itu, aku tidak minta persetujuan dari Azuchi, dan ini tidak termaafkan. Karena inilah Yang Mulia begitu marah." Ia tertawa sambil berbicara, tapi kata-katanya tak sedikit pun mengandung kepalsuan. Kebenaran ucapannya tampak nyata, bahkan dari balik senyumnya.

Naoie terpukul sekali. Wajahnya merah akibat sake, tiba-tiba menjadi pucat. Namun ia tidak meragukan bahwa memang demikianlah jalan pikiran Nobunaga.

"Jadi, beliau sedang tidak enak hati," Hideyoshi melanjutkan. "Yang Mulia tidak mau menemui aku, dan juga tidak berkenan menerima Tuan. Kalau sudah bertekad seperti itu, beliau takkan mengubah sikap. Pikiranku buntu, dan perasaanku tak keruan. Pernyataan yang Tuan percayakan padaku belum juga disahkan, dan selama beliau belum membubuhkan segelnya, kita tak dapat berbuat apa-apa. Aku akan mengembalikannya pada Tuan, jadi Tuan dapat saja memutuskan hubungan dengan kami, membatalkan perjanjian itu, dan bergegas pulang ke provinsi asal Tuan besok pagi."

Lalu Hideyoshi mengeluarkan pernyataan yang diberikan kepadanya dan menyerahkannya pada Naoie. Namun Naoie hanya memandang lentera yang berkelap-kelip, dan sama sekali tidak menyentuh dokumen itu.

Hideyoshi membisu.

"Tidak." Naoie tiba-tiba memecahkan keheningan. Dengan santun ia merapatkan kedua tangan. "Kumohon Tuan sekali lagi bersedia mengerahkan segala upaya. Aku akan sangat bcrterima kasih jika Tuan sudi menjadi perantara bagiku."

Kali ini ia bersikap seperti orang yang menyerah dari lubuk hati. Sebelumnya, tampaknya ia menyerah hanya karena argumen-argumcn yang dikemukakan Kuroda Kanbei .

"Baiklah. Jika kepercayaan Tuan terhadap marga Oda sedemikian besar," kata Hideyoshi sambil mengangguk-angguk. Dan ia berjanji untuk menangani urusan itu.

Lebih dari sepuluh hari Naoie tinggal di Kuil Sojitsu untuk menanti hasilnya Hideyoshi cepat-cepat mengirim kurir ke Gifu, dengan harapan Nobutada dapai meluluhkan hati Nobunaga. Karena memang ada keperluan di ibu kota, tak lama kemudian Nobutada bertolak ke Kyoto.

Disertai oleh Naoie, Hideyoshi lalu diterima oleh Nobutada. Akhirnya, berkat perantaraan Nobutada, sikap Nobunaga melunak. Pada hari yang sama. capnya yang berwarna merah terang dibubuhkan pada pernyataan Naoie, dan marga Ukita sepenuhnya memutuskan hubungan dengan pihak Mori dan menyeberang ke kubu Oda.

Tidak sampai tujuh hari setelah itu, entah karena kebetulan atau karena keputusan militer yang cepat, salah satu jendral Oda, Araki Murashige, mengkhianati Nobunaga dan bergabung dengan marga Mori, mengibarkan bendera pemberontakan tepat di depan hidung orang-orang Oda. 

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar