Suling Pusaka Kemala Jilid 07

Jilid VII

SEMENTARA ITU, Han Lin juga digembleng oleh Bu-beng Lo-jin di Puncak Bambu, sebutan puncak di mana dia tinggal karena puncak itu ditumbuhi banyak bambu dari berbagai jenis. Karena sudah lima tahun lamanya digembleng ilmu silat oleh Gobi Sam-sian, maka Han Lin memiliki dasar yang amat kuat dan yang sealiran dengan pelajaran ilmu silat Bu-beng

Lo-jin. Setiap bulan sekali Han Lin mendaki Puncak Awan Putih untuk belajar ilmu silat dari Cheng Hian Hwesio seperti telah dijanjikan hwesio itu. Tiga hari dia mempelajari teorinya dan dilatih ketika dia kembali ke Puncak Bambu.

Karena sering datang belajar di Puncak Awan Putih, dengan sendirinya Han Lin menjadi sahabat baik dari A-seng. A-seng adalah murid Cheng Hian Hwesio, maka masih terhitung saudara seperguruannya dan karena A-seng berusia enam belas tahun, setahun lebih tua dari Han Lin, maka Han Lin menyebutnya suheng (kakak seperguruan) dan A-seng menyebut sute (adik laki-laki seperguruan) kepada Han Lin.

Sikap A-seng yang ramah dan rendah hati membuat Han Lin suka bersahabat dengannya, bahkan seringkali dua orang pemuda ini berlatih bersama. Han Lin juga seorang pemuda yang pandai membawa diri. Setiap kali berlatih dengar A-seng, dia tidak pernah memainkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari Bu-beng Lo-jin, melainkan berlatih dengar ilmu yang dipelajarinya dari Cheng Hian Hwesio sehingga A-seng dapat mengimbanginya dengan ilmu yang sama.

Dari Cheng Hian Hwesio, mereka menerima pelajaran beberapa macam ilmu silat. Hwesio sakti itu mengajarkan permainan senjata tongkat bambu yang disebut In-liong-tung- hoat (Ilmu Tongka Naga Awan) yang gerakannya lembut seperti gerakan awan tertiup angin, namun dahsyat seperti amukan seekor naga. Juga hwesio itu mengajarkan ilmu silat tangan kosong yang dasarnya dari ilmu silat Liong-kun (Silat Naga) dari Siauw-n-pai, yaitu yang disebut Sin-liong-ciang- hwat (Silat Tangan Kosong Naga Sakti). Dua macam ilmu ini lebih dulu jajarkan dan setiap bulan sekali kalau dia datang ke Puncak Awan Putih, Han Lin tentu berlatih bersama A Seng dalam dua macam ilmu silat itu. Ternyata keduanya memiliki bakat besar. Bahkan dalam hal sin-kang (tenaga sakti) dan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) kedua nya juga seimbang. Melihat kemajuan dua orang muridnya, Cheng Hian Hwesio merasa gembira sekali.

Pada suatu hari, seperti biasa Han Lin datang menghadap Cheng Hian Hwesio dan mendengarkan petunjuk-petunjuk Cheng Hian Hwesio untuk menyempurnakan gerakan In-liong- tung-hoat.

"Berlatihlah sebaiknya dengan A-seng agar kalian bersama- sama mendapat kemajuan," kata Cheng Hian Hwesio sambil memandang wajah cucu buyut keponakan tu. Dia dapat membayangkan persamaan antara wajah Han Lin dan wajah Kaisar Cheng Tung. Dahinya yang sama lebar, mata yang tajam mencorong penuh kewibawaan.

"Baik, losuhu."

"Nah, sekarang carilah A-seng. Mungkin dia sedang mengerjakan pencabut rumput di ladang sayur. Akan tetapi tidak apa, ajaklah dia untuk berlatih, sendiri mendapat kesempatan baik kalau berlatih denganmu daripada dengan dua orang suhengnya yang jauh lebih tua."

Han Lin lalu mencari A-seng di belakang pondok dan benar saja, pemuda itu sedang mencabuti rumput di ladang sayur sawi. Tanpa diminta Han Lin cepat membantunya dan setelah selesai, keduanya lalu pergi ke lapangan rumput di dekat ladang untuk berlatih silat.

"Kita berlatih In-liong-tung-hoat, suheng. Ada beberapa gerakan yang kurasakan masih sulit." kata Han Lin. "Aku yang mendapat bimbingan kedua orang suheng Nelayan Gu dan Petani Lai juga masih mengalami kesulitan, sute. Memang In-liong-tung-hoat merupakan ilmu tongkat yang sukar dipelajari, banyak perkembangannya yang harus kita buat sendiri."

Keduanya lalu mengambil dua batang pangkat bambu dan mulailah mereka bertanding untuk berlatih. Gerakan kedua orang muda yang kini usianya sudah tujuh belas tahun itu cepat dan Juga bertenaga. setiap kali tongkat mereka bertemu, Berasa getaran dari beradunya dua tenaga yang dahsyat.

Setelah berlatih tongkat, mereka lalu berlatih ilmu silat tangan kosong Sin-long Ciang-hoat (Silat Tangan Kosong paga Sakti) dan kembali keduanya bergerak cepat dan mantap sekali. Setiap gerangan mendatangkan angin mengiuk dan tangan mereka bergerak sedemikian cepatnya sehingga tampaknya mereka memiliki lebih dari dua tangan!

Keringat membasahi leher mereka, ketika mereka berhenti berlatih. Sambil mengusap keringat di leher dengan ujung lengan bajunya Han Lin bertanya.

"Suheng, setelah engkau selesai belajar Ilmu kepada suhu, apa yang akan kau- kerjakan?"

Mendapat pertanyaan itu, yang datangnya tiba-tiba dan tidak disangkanya sama sekali, A-seng menatap wajah Han Lin dengan tajam dan dia lalu menundukkan mukanya, menghela napas panjang menjawab.

"Kalau aku telah selesai belajar suhu menyuruhku turun gunung, yang pertama-tama kukerjakan adalah menyelidiki dan mencari para pembunuh keluarga ku."

"Ah, suheng. Bukankah losuhu telah mengajarkan bahwa tidak baik bagi kita untuk mendendam, dan perbuatan yang lahir dari dendam adalah kekejaman dan kejahatan?" A-seng memandang wajah Han Lin dan tersenyum. "Aku tidak mendendam sute. Akan tetapi aku percaya bahwa orang- orang yang sudah melakukan kekejaman seperti itu, membantai sepuluh orang yang tidak berdosa, tentu akan tetap menjadi manusia-manusia jahat yang perlu dibasmi.

Kalau aku membasmi mereka, bukan karena mendendam melainkan untuk membasmi kejahatan seperti yang diajarkan suhu. Dan engkau sendiri, sute? Apa yang akan kau lakukan setelah engkau selesai berguru?"

Han Lin tidak menjawab, melainkan termenung dan beberapa kali menghela napas panjang.

"Sute, semenjak kita berkenalan dan menjadi saudara seperguruan, aku belum pernah mendengar tentang riwayatmu. Engkau sendiri sudah tahu akan riwayat-ku. Seluruh keluargaku terbunuh oleh orang-orang jahat. Aku hidup sebatang kara dan ditolong oleh suhu. Akan tetapi bagaimana dengan engkau? Aku yakin engkau mempunyai riwayat yang menarik karena aku melihat engkau bukan seperti orang muda biasa. Ataukah engkau belum percaya kepadaku sehingga tidak mau menceritakan riwayatmu kepadaku?"

"Bukan begitu, suheng, akan tetapi. "

"Akan tetapi apakah, sute? Sudahlah, kalau engkau tidak percaya kepadaku, jangan ceritakan dan biarlah engkau tetap merupakan seorang yang penuh rahasia bagiku."

"Losuhu sendiri tidak pernah mendengar tentang riwayatku, juga belum pernah bertanya. Akan tetapi suhu Bu-beng Lo-jin tentu saja sudah mendengarnya dari ketiga suhu Gobi Sam- sian. Aku tidak ingin orang lain mengetahui riwayatku "

"Hemm, akan tetapi aku bukan orang lain, sute. Aku adalah suhengmu, bukan? Atau engkau tidak menganggap aku ini

suhengmu?" Han Lin merasa tersudut dengan ucapan A-seng itu.

Walaupun ucapan itu di keluarkan dengan ramah dan lembut namun menyudutkannya dan membuat dia tidak berdaya untuk mengelak lagi.

"Baiklah, biar engkau mendengar pula riwayatku, akan tetapi engkau harus berjanji dulu tidak akan menceritakan kepada orang lain."

Dengan sikap lucu A-seng bangkit berdiri dan mengangkat kedua tangan depan dada seperti memberi hormat dan berkata, "Aku berjanji, demi Bumi dan Langit, tidak akan membuka rahasiamu, sute."

"Baiklah. Nah, dengarlah. Namaku yang sesungguhnya bukan Han Lin melainkan Cheng Lin."

"Bukan she Han melainkan she Cheng? Akan tetapi mengapa harus diganti dengan she Han?"

"Agar orang tidak mengetahui bahwa she Cheng, bahwa aku adalah putera Kaisar Cheng Tung."

A-seng melompat dari tempat duduknya dan berdiri terbelalak memandang kepada Han Lin. "Putera Kaisar Cheng Tung? Ah, kalau begitu engkau adalah seorang pangeran! Ah, aku tidak tahu, maafkan." Dia lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan Han Lin.

"Hushh! Apa-apaan engkau ini? Dengan sikapmu itu sama saja engkau hendak mengatakan kepada semua orang siapa diriku!" tegur Han Lin.

Mendengar teguran ini, A-seng bangkit berdiri lagi.

Sikapnya kini berubah menjadi menghormat sekali, bahkan memandangpun tidak berani langsung ke wajah Han Lin.

"Duduklah dan jangan bengong begitu," kata Han Lin. "Atau engkau tidak ingin mendengar riwayatku?" "Maaf, tentu saja aku mau mendengarnya. Harap lanjutkan." Nada suaranya juga penuh hormat.

"Ibuku adalah seorang Puteri Mongol. Belasan tahun yang lalu, Kaisar Che Tung pernah menjadi tawanan bangsa Mongol selama hampir dua tahun ketika itu dia bertemu dengan ibuku mereka lalu menikah. Sebelum aku di lahirkan, ayahku itu kembali ke selatan dan menjadi kaisar, ibu menanti-nanti penjemputan ayah yang tak kunjung datang. Yang muncul malah seorang datuk jahat sekali berjuluk Huang-ho Sin-liong (Naga Sakti Sungai Huangho) bernama Suma Kiang. Penjahat itu menculik ibu dan aku, dan kami dibawa lari ke selatan.

Kami ditolong oleh ketiga suhu Gobi Sam-sian dan dibawa lari ke Pao-touw. Ibu dan aku tinggal di Pao-touw, akan tetapi ibu telah menjadi gagu karena menggigit putus lidahnya sendiri ketika hendak diperkosa Suma Kiang sebelum ditolong Go-bi Sam-sian."

"Hemm, betapa jahatnya Suma Kiang itu!" kata A-seng dengan gemas.

"Memang dia jahat sekali. Ketika aku berusia sepuluh tahun, muncul lagi Suma Kiang bersama seorang wanita yang menurut keterangan ketiga suhu Go-bi Sam-sian kemudian adalah Sam Ok yang terkenal sebagai datuk sesat yang lihai. Kiranya tempat persembunyian kami diketahui oleh Suma Kiang! Kami dikejar-kejar. Go-bi Sam-sian membela kami akan tetapi mereka kalah oleh dua orang datuk sesat itu. Ibuku yang hendak ditangkap Suma Kiang meloncat ke dalam jurang yang amat dalam!"

"Aduh kasihan ibu paduka !"

Han Lin memandangnya dengan sinar mata menegur. "Kasihan sekali ibumu, sute !" A-seng berkata lagi,

biarpun agak kaku menyebut sute kepada "pangeran" itu.

"Aku dijadikan perebutan antara Suma Kiang dan Sam Ok. Lalu muncul Toa Ok dan Suma Kiang melarikan diri. Kemudian aku menjadi rebutan antara Toa Ok dan Sam Ok, lalu muncullah suhu Bu-beng Lo jin yang mengalahkan dan mengusir mereka."

"Suhumu itu sakti bukan main. Tapi.. heran siapa yang lebih sakti di anta suhumu dan suhu kita di sini."

"Setelah itu, suhu Bu-beng Lo-jin menyusul Go-bi Sam-sian dan mengobati mereka, bahkan suhu It-kiam-sian kehilangan lengan kanannya ketika bertanding melawan Sam Ok. Oleh suhu Bu-beng Lojin aku lalu diserahkan kepada ketiga suhu Go-bi Sam-sian untuk dididik selama lima tahun. Setelah lima tahun ketika suhu itu membawa aku ke Puncak Bambu dan menyerahkan aku kepada suhu Bu beng Lo-jin."

"Paduka eh, engkau beruntung sekali dapat menjadi

murid Bu-beng Lojin dan juga murid suhu. Akan tetapi setelah nanti engkau selesai belajar sini dan turun gunung, apa yang aka kau lakukan, sute? Apakah engkau juga akan membalas dendam kepada musuh musuhmu terutama kepada Suma Kiang yang menyebabkan kematian ibumu? apakah engkau juga akan mencari menyusul ayahmu di kota raja?"

"Kalau aku bertemu dengan Suma Kiang dan manusia itu masih jahat seperti dulu, aku tentu akan membasminya.

Orang macam dia itu amat berbahaya bagi manusia dan dunia. Juga orang-orang seperti ketiga Sam Ok itu akan kutentang. Tentang menyusul ayahku aku masih belum

mengambil keputusan tetap, akan tetapi ingin juga aku berhadapan dengan ayahku untuk menegurnya mengapa dia tidak menyuruh jemput ibuku dan membiarkan ibu hidup merana."

"Akan tetapi, sute. Andaikata engkau -dapat menghadap Kaisar Cheng Tung, bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa engkau adalah puteranya? Apa buktinya?"

"Buktinya? Buktinya adalah ini!" Han Lin mengeluarkan Suling Pusaka Kemala yang tidak pernah terpisah dari badannya, selalu diselipkan di pinggang dan dibawa ke manapun dia pergi.

A-seng memandang suling itu dengan mata terbelalak kagum. "Ah, betapa indahnya!" katanya dan otomatis dia mengulurkan tangannya. Han Lin menyerahkan suling itu kepadanya dan A-seng mengamatinya dengan penuh perhatian. "Sebuah pusaka yang indah sekali!" katanya mengagumi ukiran naga pada suling kemala itu.

"Dapatkah engkau memainkannya, sute?"

"Aku masih ingat betapa ibuku memainkan suling itu, meniup sebuah lagu Mongol." kata Han Lin. Memang sering- kali dia, selagi seorang diri, meniup suling itu dan meniru lagu yang pernah dimainkan ibunya sehingga dia menjadi hafal.

"Tentu indah sekali! Maukah engkau memainkan lagu itu untukku, sute?"

Han Lin segera meniup suling dan memainkan lagu "Suara hati seorang gadis-yang dia hafal lagunya akan tetapi tidak tahu apa judulnya. A-seng melihat dan mendengarkan dengan penuh perhatian dan setelah Han Lin selesai memainkan suling itu, dia bertepuk tangan memuji

"Hebat sekali! Indah sekali, sute?" katanya.

Pada saat itu, terdengar seruan lembut. "Omitohud !"

Dua orang pemuda itu menoleh dan mereka segera menjatuhkan diri berlutut ketika melihat bahwa yang datang adalah Cheng Hian Hwesio.

"Suling apakah yang kau pegang dan lagu apakah yang kau mainkan tadi, Han Lin?"

Han Lin tidak dapat berbohong. "Ini suling pemberian mendiang ibu teecu, losuhu. Dan lagu itupun teecu pelajari dari mendiang ibu teecu." Cheng Hian Hwesio menghela napas panjang. "Omitohud. Pusaka warisan harus disimpan dengan baik dan tidak boleh sembarangan diperlihatkan dan diceritakan kepada orang lain."

Han Lin merasa bersalah, akan tetapi karena sudah terlanjur, diapun berkata, "Maaf, losuhu. Suheng A-seng bukanlah orang lain, melainkan suheng teecu sendiri."

"Baiklah, akan tetapi jangan sekali kali membuka rahasia warisan orang tua kepada orang lain. Pula, engkau bicara tentang mendiang ibumu. Siapa yang bilang bahwa ibumu sudah meninggal dunia?"

"Losuhu, ibu terjatuh ke dalam jurang yang tidak tampak dasarnya saking curamnya. Tidak mungkin orang terjatuh ke jurang seperti itu tidak menjadi tewas."

"Omitohud, apakah ada buktinya bahwa ibumu sudah tewas?"

Han Lin tertegun, dan menggeleng kepalanya. "Memang belum ada buktinya losuhu. Akan tetapi bahkan suhu Bu-beng Lo-jin sendiri mengatakan bahwa tidak mungkin orang terjatuh dan tempat setinggi itu dapat terbebas dari kematian. "

"Omitohud, suhumu terlalu memandang rendah kekuasaan dari Yang Maha Kuasa. Pinceng juga tidak dapat mengatakan apakah ibumu masih hidup, akan tetapi sebelum melihat buktinya, sebaiknya jangan membicarakan ibumu seperti orang yang sudah mati."

"Baik, losuhu, dan maafkan kesalahan teecu."

"Sudahlah, sekarang lebih baik kalian berlatih lagi, pinceng ingin melihat kemajuan kalian."

"Suhu menghendaki kami berlatih silat apakah?" tanya A- seng kepada gurunya. "Coba kalian berlatih silat tangan kosong, karena silat tangan kosong merupakan dasar dari segala macam ilmu silat bersenjata. Pinceng ingin melihat sampai di mana kemajuan kalian dalam ilmu silat tangan kosong."

"Akan tetapi, suhu. Bagaimana dapat dilihat kemajuan masing masing kalau kami berdua melakukan ilmu silat tangan osong yang sama? Kami sudah saling mengenal gerakan masing-masing. Berbeda kalau kami berlatih dengan ilmu ilat yang berbeda, baru dapat dilihat kemajuan masing-masing." kata A-seng.

"Benar juga pendapatnm, A-seng. Han Lin, berlatihlah bersama A-seng dengan menggunakan ilmu silat tangan kosong seperti yang kau pelajari dari Go-bi Sam-sian atau Bu- beng Lo-jin."

"Baik, losuhu." jawab Han Lin dengan patuh.

"Nah, mulailah." kata pula Cheng Hian Hwesio sambil duduk di atas batu besar, siap menonton kedua orang murid itu berlatih.

"Mulailah, sute. Aku sudah siap!" kata A-seng dan nada suaranya gembira sekali.

"Baik, suheng. Lihat seranganku!" Han Lin lalu menyerang, tidak lagi menggunakan ilmu silat Sin-liong Ciang-hoat yang diajarkan hwesio itu, melainkan menyerang dengan ilmu silat Ngo-heng Sin kun (Silat Tangan Kosong Lima Unsur yang diajarkan oleh Bu-beng Lo-jin. A seng segera menyambutnya dengan mengelak dan selanjutnya dia membalas dan bersilat dengan ilmu silat Sin-liong Ciang hoat (Silat Tangan Kosong Naga Sakti) yang diajarkan oleh Cheng Hian Hwesio.

Mereka lalu saling serang dengan hebatnya. Akan tetapi tentu saja keadaan Han Lin lebih untung. Pemuda ini sudah mengenal gerakan Sin-liong Ciang hoat yang juga dipelajarinya dan dia mengerti ke arah mana A-seng akan menyerang. Sebalikny A-seng sama sekali tidak mengenal Ngo heng Sin-kun sehingga kalau Han Lin menyerangnya, dia harus waspada sekali karena dia tidak tahu perubahan pada ilmu silat itu. Ilmu silat Ngo-heng Sin kun berdasarkan bekerjanya Ngo-heng (Lima Unsur), yaitu tanah, air, api, kayu dan logam yang saling menunjang dan saling menundukkan. Perubahannya banyak sekali dan A-seng menjadi bingung dengan perubahan-perubahan gerakan ilmu silat itu.

Sebaliknya, Han Lin yang sudah mempelajari Sin-liong Ciang- hoat, tentu saja dapat berjaga diri dengan baik terhadap serangan jurus-jurus ilmu silat ini. Keadaannya menjadi tidak berimbang dan setelah terdesak, dalam jurus ke dua puluh lima dada A-seng kena dorongan tangan Han Lin dan dia jatuh terjengkang. Tentu saja Han Lin tidak menggunakan tenaga sepenuhnya dan tidak pula memukul melainkan hanya mendorong dengan tenaga terbatas sehingga A-seng tidak menderita luka. Hanya yang mengherankan hati Han Lin, mengapa gerakan A-seng terasa lambat sekali sehingga dorongannya itu tidak dapat ditangkis atau dielakkan.

"Ah, maaf, suheng !" kata Han Lin sambil membantu A-

seng bangun.

"Tidak mengapa, sute. Ilmu silatmu tadi hebat sekali!" A- seng memuji sambil tersenyum.

Cheng Hian Hwesio mengerutkan alisnya. "A-seng, gerakanmu tadi terlambat sehingga engkau terkena dorongan Han Lin. Andaikata gerakanmu tidak demikian lambat, tentu engkau masih dapat mengelak atau menangkis."

"Suhu, gerakan kaki tangan sute demikian rumit dan aneh perubahannya sehingga teecu menjadi bingung."

"Hemm, engkau harus belajar lebih giat lagi." kata Cheng Hian Hwesio dan diapun masuk ke dalam pondok dengan alis berkerut. Setelah hwesio itu memasuki pondo Han Lin berkata, "Suheng, maafkan aku. Doronganku tadi membuat engkau ditegur oleh losuhu."

"Tidak mengapalah, sute. Memang aku harus belajar lebih keras lagi agar dap memperoleh kemajuan. Mari kita latihan lagi, sute. Sekarang kita mempergunaka senjata. Aku akan mainkan In-Iiong-tung hoat (Ilmu Tongkat Naga Awan) dan engkau boleh memainkan ilmu silat senjata yang kau pelajari dari Bu-beng Lojin."

"Baik, suheng. Aku akan mempergunakan tongkat bambu sebagai pedang dan mainkan Leng-kong-kiam-sut (Ilmu Pedang Sinar Dingin) yang kupelajari dari suhu."

"Bagus, dengan demikian kita dapat lebih cepat memperoleh kemajuan."

Dua orang pemuda Itu lalu berlatih silat dengan mempergunakun tongkat bambu. Akan tetapi berbeda dengan tadi, mereka bersilat dengan dua macam ilmu silat, bahkan Han Lin bermain silat pedang yang tentu saja berbeda jauh dengan ilmu silat tongkat yang dimainkan A-seng. Dengan memainkan dua macam Ilmu silat ini dengan sendirinya pertandingan itu menjadi lebih ramai dan me-reka juga bersilat dengan lebih hati-hati. Terutama sekali bagi A-seng yang tidak Mengenal ilmu pedang yang dimainkan Han Lin.

Dia harus waspada sekali karena tidak tahu perubahan gerakan pedang bambu di tangan Han Lin. Dia melawan mati- matian dengan ilmu tongkat In-Iiong-Tung-hoat (Ilmu Tongkat Naga Awan). Akan tetapi seperti juga tadi, Han Lin mendapat lebih banyak kesempatan untuk mendesak A-seng karena dia sudah tau akan perubahan gerakan ilmu tongkat In Liong- tung-hoat itu, sebaliknya A-seng sama sekali tidak tahu dan tidak mengenal gerakan ilmu pedang Leng-kok-kia sut (Ilmu Pedang Sinar Dingin) yang mainkan Han Lin.

Akan tetapi lima puluh jurus kemudian tongkat bambu yang dimainkan sebagai pedang di tangan Han Lin memukul pundak kirinya, Han Lin merasa bahwa gerakan A-seng kurang cepat sehingga dapat "terbacok" pedang.

"Wah, ilmu pedangmu juga hebat sute! Aku menerima kalah!"

"Suheng, hal ini karena aku sudah ngenal baik ilmu tongkatmu sedangkan engkau sama sekali tidak pernah mengenal ilmu pedangku."

"Mulai sekarang sebaiknya kita berlatih secara rajin sute. Dengan demikian aku dapat memperoleh kemajuan dalam ilmu yang kupelajari. Engkaupun dapat memperoleh kemajuan dalam ilmu-ilmu yang kau dapatkan dari Bu-beng Lo-jin."

"Baiklah, suheng. Kalau memang engkau dan juga losuhu menghendaki demikian, tentu saja aku suka sekali agar dapat saling memajukan ilmu yang kita pelajari."

Setelah Han Lin pulang ke Puncak Bambu, meninggalkan Puncak Awan Putih, dan A-seng menghadap Cheng Hian Hwesio, dia berkata dengan suara biasa seperti membuat laporan. "Teecu senang sekali dapat berlatih dengan sute Han Lin yang mempergunakan Ilmu-ilmu yang dia pelajari dari Bu beng Lo-jin. Teecu sudah berlatih ilmu tongkat Sin-liong-tung- hoat, dilawan sute dengan ilmu pedang yang disebut Leng- kong-kiam-sut. Wah, hebat sekali ilmu pedangnya itu, suhul Teecu dapat bertahan sampai lima puluh jurus dan akhirnya terkena bacokan pada pundak kiri teecu. Memang hebat sekali. Pantas saja sute Han Lin berkali-kali mengatakan bahwa ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari Bu-beng Lo-jin merupakan ilmu pilihan dan nomor satu di dunia persilatan, tidak mungkin ada yang mampu menandinginya!"

"Omitohud, begitukah yang dikatakan Han Lin?" kata Chcng Hian Hwesio sambil mengerutkan alisnya.

"Akan tetapi sute Han Lin mengatakan demikian bukan untuk menyombongkan diri, suhu. Dia hanya mengatakan yang sebenarnya. Mulai sekarang teecu akan berlatih secara demikian dengan dia. Dia memainkan ilmu ilmu yang didapatinya dari Bu-beng Lojin dan teecu memainkan ilmu- ilmu dari suhu. Dengan demikian, tentu teecu akan memperoleh kemajuan pesat."

Kerut merut di antara alis Cheng Hian Hwesio semakin mendalam.

"A-seng, apakah engkau merasa bahwa selama menjadi murid pinceng engkau tidak memperoleh kemajuan dalam ilmu silatmu?"

A-seng memandang kepada suhunya dengan mata terbelalak. "Ah, tentu saja teecu tidak «merasa begitu, suhu! Teecu telah memperoleh kemajuan besar, dan terima kasih atas semua jerih payah dan kebaikan hati suhu! Akan tetapi dibandingkan sute Han Lin, memang teecu masih kalah. Hal ini mungkin karena teecu memang kalah berbakat dibandingkan sute Han Lin. Dan teecu tidak merasa penasaran kalau kalah olehnya."

"Engkau tidak perlu kalah olehnya, A-seng. Tidak ada ilmu yang tidak terkalahkan di dunia ini. Juga ilmu-ilmu yang diajarkan oleh Bu-beng Lo-jin bukannya tidak terkalahkan.

Sekarang perhatikan baik-baik, engkau harus memperdalam ilmu silat tangan kosong Sin-liong Clung-hoat dan ilmu tongkat In liong Tung-hoat dengan mempelajari inti-intinya yang tersembunyi dari pinceng. Setelah itu, pinceng akan mengajarkan ilmu It yang-ci yang pinceng rahasiakan dan belum pernah pinceng ajarkan kepada siapapun juga. Pinceng hanya akan mengajarkannya kepadamu."

A-seng terbelalak memandang kepada wajah suhunya. "Apakah suhu juga tidak akan mengajarkannya kepada sute Han Lin, suhu?"

Cheng Hian tampak ragu-ragu, akan tetapi kemudian menggeleng kepala. "Juga tidak karena dia sudah mendapat banyak ilmu silat dari Bu-beng Lo-jin.ia telah sempurna semua ilmu-ilmu yang kau pelajari , baru pinceng akan mengajarkan Pek-in Hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih) kepadamu?"

"Hoat-sut (Ilmu Sihir)?"

"Ya, ilmu sihir. Akan tetapi ilmu sihir yang bersih, bukan untuk melaksanakan kejahatan, melainkan untuk menolak segala macam ilmu sihir yang hitam."

Tentu saja A-seng merasa senang bukan main, akan tetapi dia menahan dan tidak memperlihatkan perasaannya pada wajahnya.

"Teecu akan menaati semua petunjuk suhu dan akan mempelajari dengan tekun."

Hati Cheng Hian Hwesio terbakar. Dia merasa penasaran sekali karena seolah dia merasa direndahkan, lebih rendah dari Bu-beng Lo-jin! Beginilah kerjanya nafsu. Biarpun Cheng Hian Hwesio telah menjadi pendeta dan pertapa sejak puluhan tahun, namun tetap saja Nafsu masih belum bersih benar dari hati akal pikirannya. Hati akal pikiran memang menjadi tempat tinggal Nafsu yang mengangkat diri menjadi Raja, menjadi Aku dan selalu memaksa manusia untuk memperhatikan Aku- nya. Aku yang paling benar, Aku yang paling baik, Aku yang paling pandai dan sebagainya. Aku tidak kalah oleh orang lain!

Sejak manusia dilahirkan, dia sudah disertai nafsu karena nafsu amat diperlukan untuk mempertahankan hidupnya, diperlukan untuk memajukan hidupnya, membela dirinya, dan membuat manusia dapat menikmati hidup di dunia ini. Tanpa adanya nafsu kita tidak dapat hidup atau setidaknya tidak dapat hidup normal sebagai manusia. Mungkin kita akan hidup sebagai binatang yang hanya mengandalkan naluri belaka, tidak bisa memperbarui dan memajukan segala sesuatu, tidak dapat hidup senang karena nafsu memang tujuannya hanya satu, yakni kesenangan! Nafsu memperkenalkan diri kita dengan kesenangan, kenikmatan dan kepuasan, namun sebaliknya juga membuat kita berhubungan dengan kesusahan, sesengsaraan dan kekecewaan!

Manusia yang mampu menguasai dan mengendalikan nafsu, dia akan menjadi seorang yang hidupnya berbahagia, karena nafsu yang terkuasai akan menjadi peserta dan juga pembantu yang amat berguna bagi kehidupan, mendatangkan kesenangan dan kepuasan. Akan tetap apabila nafsu tidak terkendali, sebalikn nafsu malah mengendalikan kita, maka kita akan terseret ke dalam jurang! Kita akan menjadi pengejar kesenangan dan biasanya, kalau nafsu sudah menguasai diri, dalam pengejaran kesenangan hati kita tidak segan melakukan apa saja yang menyimpang dari kebenaran.

Nafsu mencari kesenangan dan kecukupan melalui harta memang perlu bagi kehidupan. Kita hidup tidak akan terepas dari kebutuhan yang hanya dapat ditutup dengan uang.

Namun kalau nafsu mengejar uang sudah mencengkeram kita, apa jadinya? Kita tidak segan-segan untuk menipu, mencuri, merampok, korupsi sebagainya.

Nafsu untuk mencari kesenangan melalui kedudukan memang baik. Kita hidup juga memerlukan agar menjadi orang pandang, agar menjadi orang berguna, akan tetapi kalau nafsu mengejar kedudukan sudah mencengkeram kita, kita tidak segan-segan untuk memperebutkan kedudukan dan kekuasaan dengan saling nenjegal, saling melakukan fitnah, bahan saling membunuh!

Nafsu sex adalah hal yang wajar, terutama sekali sebagai perkembang, biakan manusia. Namun kalau nafsu sex sudah mencengkeram kita, apa jadinya? Pelacuran, perjinaan, perkosaan yang terjadi di mana-mana menunjukkan keganasan nafsu sex yang sudah menguasai manusia.

Nafsu teramat penting, namun juga teramat berbahaya bagi kita manusia, satu-satunya cara untuk membuat nafsu menjadi pelayan yang baik dan bukan menjadi majikan yang jahat, adalah MENGUASAINYA! Namun dapatkah kita menguasai nafsu? Dapatkah semua pengertian tentang bahayanya pengaruh nafsu itu menguasai nafsu itu sendiri? kenyataannya tidak demikian. Semua pencuri tahu bahwa mencuri itu tidak baik, namun mereka tidak dapat menghentikan kebiasaannya mencuri. Semua koruptor tahu bahwa pekerjaan mereka itu tidak baik, namun mereka tidak dapat menghentikan kebiasaan itu. Nafsu membuat orang menjadi ketagihan dan kalau sudah begitu, pengertian tidak ada gunanya. Bahkan pengertian di hati akal pikiran menjadi pembela nafsu sehingga para koruptor mengatakan, "Ah, aku korup karena terpaksa, orang lain juga berbuat seperti itu." dan sebagainya. Hati dan pikiran para pencuri yang sudah bergelimang nafsu juga menjadi pembela dengan kata-kata, "Ah, aku mencuri karena terpaksa untuk memberi makan anak isteri, untuk menyekolahkan anak." dan sebagainya. Tidak, pengertian tidak dapat mengekang nafsu. Hati akal pikiran tidak dapat menundukkan nafsu.

Lalu apa yang harus kita lakukan? Meniadakan nafsu? tidak mungkin. Membiarkan nafsu merajalela amat berbahaya.

Mengendalikan nafsu juga hampir merupakan suatu ketidak- mungkinan. Apa yang harus kita perbuat?

Jalan satu-satunya hanya menyerahkan segalanya kembali kepada Tuhan! Tuhan Maha Pencipta. Juga Tuhan yang memberi nafsu kepada kita. Hanya Tuhanlah deengan KekuasaanNya yang mampu mengekang nafsu. Hanya Kekuasaan Tuhan saja yang dapat membimbing kita, memperkuat batin kita untuk tidak terseret oleh nafsu, melainkan menjadikan nafsu sebagai alat, sebagai pelayan dalan kehidupan ini. Penyerahan diri, kepasrahan dengan penuh keikhlasan, penuh ketawakalan, sepenuh iman.

Cheng Hian Hwesio adalah seorang yang terlatih. Hampir setiap hari dia nenggunakan kesempatan dalam waktu luangnya untuk bersamadhi, memiliki batin yang telah menjadi kuat. Namun, menghadapi nafsu sendiri diapun masih kalah. Melihat kenyataan bahwa muridnya kalah oleh murid Bu-beng Lo-jin mengugah semangatnya yang tidak mau kalah oleh dorongan nafsu. Ingin menang. Ingin lebih besar, lebih pandai, lebih sakti!

Kalau saja di sana tidak ada Bu-beng Lo-jin, tentu dia tidak akan membanding-bandingkan. Akan tetapi Bu-beng Lojin ada di sana, sebagai sahabatnya, kenalan lamanya ketika dia berkelana Pegunungan Himalaya. Dia tahu bah Bu-beng Lo-jin adalah seorang yang sakti. akan tetapi dia merasa tidak kalah, bahkan dalam banyak hal dia seringkali menasihati Bu-beng Lo-jin yang dianggapnya sebagai seorang yang tidak tentu agama , tosu bukan hwesio pun bukan. Akan tetapi mempelajari segala macam falsafah agama dan ajaran Khong- hu-cu. Kalau saja Han Lin tidak menjadi murid Bu beng Lo-jin, diapun tentu tidak membandingkan kepandaian Han Lin dengan kepandaian muridnya yang sama mudanya yaitu A- seng.

Mulai hari itu, Cheng Hian Hwesio mulai menggembleng A- seng dengan lebih tekun, dan semua ilmunya diajarkan kepada murid itu. Dua ilmunya yang tadinya merupakan ilmu simpanannya, yaitu Tiam-hiat-hoat (Ilmu Menotok Jalan Darah) yang disebut It-yang-ci (Menotok Satu jari) dan ilmu Pek-in Hoat-sut yang merupakan ilmu yang berdasarkan kekuatan batin dan hawa sakti, mulai diajarkan kepada A- seng, dan ilmu-ilmu yang lain juga diperdalam sehingga A- seng memperoleh banyak sekali kemajuan.

Cheng Hian Hwesio menjadi lupa bahwa Han Lin adalah cucu buyut keponakannya sendiri, dan kepada pemuda itu dia hanya mengajarkan Sin-liong Ciang-Hoat dan In-liong-tung- hoat, ilmu silat langan kosong dan ilmu tongkat itu. Akan tetapi, Han Lin yang digembleng oleh Bu-beng Lo-jin yang menurunkan semua ilmunya, antara lain Sin-tek Tung-i aat (Ilmu Tongkat Bambu Sakti), Ngo-leng Sin-kun (Ilmu Silat Tangan Kosong lima Unsur), Leng-kong Kiam-sut (Ilmu Pedang Sinar Dingin), juga ilmu-ilmu berdasarkan sin-kang yang tinggi, seperti Jeng-kin-cui (Beratkan Badan Seribu Kati), Sia-kut-hoat (Ilmu Lemaskan Tulang) dan semacam ilmu melalui suara yang disebut Sai-cu Ho-kang (Auman Singa).

Ilmu ini merupakan suara melengking yang dapat memunahkan semua kekuatan sihir lawan, dan juga dapat menggetarkan jantung, membuat lawan menyerah tanpa bertanding seperti seorang yang beerhadapan dengan seekor singa yang mengaum-ngaum.

Apabila kita memperhatikan waktu maka waktu merayap bagaikan siput. Apa lagi kalau kita menanti sesuatu yang telah kita harapkan, agaknya waktu tidak pernah berjalan maju.

Menanti datangnya teman yang telah berjanji dengan kita untuk suatu pertemuan, terlambat sejenak saja rasanya seperti sehari. Akan tetapi sebaliknya kalau kita tidak memperhatikan waktu, maka waktu terbang dengan sangat cepatnya sehingga bertahun-tahun lewat, rasanya seperti baru beberapa hari saja. Kalau seorang tua mengingat-ingat ketika dia masih kanak-kanak, maka seperti baru terjadi beberapa bulan saja padahal sudah lewat puluhan tahun!

Demikianlah, lima tahun lewat dengan sangat cepatnya sejak A-seng menjadi murid Cheng Hian Hwesio. Dalam lima tahun itu, anak yang cerdik itu telah menguasai semua ilmu yang diajarkan kepadanya oleh Cheng Hian Hwesio. Dia telah menguasainya dengan baik sekali, Cheng Hian Hwesio mengajarkan ilmu-ilmunya yang rahasia seperti It-yang-ci dan Pek-in Hoat-sut dengan diam-diam, bahkan dua orang muridnya, Nelayan Gu dan Petani Lai sendiri juga tidak mengetahui bahwa sute mereka yang muda itu telah mempelajari kedua ilmu yang mereka tahu merupakan ilmu simpanan suhu mereka itu.

Pada suatu malam terang bulan. Nelayan Gu dan Petani Lai setelah melayani guru mereka makan malam dan mereka sendiripun sudah makan malam, masih duduk di ruangan belakang dan mereka membicarakan sute mereka yang muda itu.

"Nelayan Gu, apakah kau juga memperhatikan apa yang kulihat?"

"Apakah maksudmu?"

"Mengenai diri sute kita A-seng. Dia telah belajar lima tahun kepada suhu dan agaknya dia telah memperoleh kemajuan yang arnat pesat. Kemarin dulu ketika aku melihat dia berlatih silat In liong-tung, aku melihat gerakannya ringan seperti awan dan dahsyat seperti naga, mengingatkan aku akan gerakan suhu sendiri. Agaknya dalam ilmu itu dia telah melampaui kita." kata Petani Lai.

"Hemm, hal itu dapat saja terjadi. Dia masih muda dan kita tahu bahwa sebelum belajar kepada suhu, dia telah memiliki dasar yang amat baik dan kuat. Ditambah lagi ketekunannya berlatih yang selalu mengagumkan hatiku."

"Akupun melihatnya, akan tetapi ada suatu hal yang kadang merisaukan hatiku! Dia tampak luar biasa cerdiknya dan tampaknya suhu amat menyayangnya, dan betapa seringnya suhu berdua saja dengan dia dalam kamar suhu. Bukan tidak mungkin suhu mengajarkan ilmu-ilmu rahasia yang tidak suhu ajarkan kepada kita." kata Nelayan Gu.

"Maksudmu, suhu mengajarkan It-yang ci dan Pek-in Hoat- sut kepada sute A seng?" tanya Petani Lai dengan-alis berkerut.

"Sangat boleh jadi. Pernah aku secara tidak sengaja lewat di belakang kamar suhu ketika mereka berdua berada di dalam dan aku mendengar suara bercuitan, suara yang hanya ditimbulkan oleh ilmu It-yang-ci apabila dipergunakan."

"Ah, aku ingat sekarang. Suhu pernah mencari lilin dan minta aku mencarikan ke dusun di bawah gunung. Sebanyak tiga belas batang lilin. Bukankah suhu pernah menyinggung bahwa mempelajari Pek-in Hoat-sut membutuhkan tiga belas lilin untuk latihan? Benar sekali, Nelayan Gu. Mungkin anak itu telah diberi pelajaran It-yang-ci dan Pek-in Hoat-sut!"

"Akan tetapi mengapa? Kita yang sudah puluhan tahun dengan setia mengikuti dan melayani suhu, tidak diajarkan ilmu-ilmu itu, sedangkan A-seng yang belum kita ketahui benar asal-usulnya telah diberi pelajaran ilmu rahasia itu!" kata Nelayan Gu dengan penasaran.

Tiba-tiba Petani Lai memberi isarat kepada rekannya dan diapun bergerak ke tempat yang tertutup bayang-bayang gelap. Perbuatannya ini ditiru oleh Nelayan Gu yang melihat bcrkelebatnya bayangan dua orang, agak jauh di belakang pondok.

"Ada orang!" bisik Petani Lai. "Ya, aku melihat dua orang."

"Mencurigakan sekali. Mari kita bayangi ke belakang, mengambil jalan memutar."

Dengan ilmu gin-kang (meringankan tubuh) mereka yang tinggi, kedua orand itu lalu melompat ke dalam gelap di bawah bayang-bayang pohon. Bulan bersinar terang sehingga menciptakan banya bayang-bayang pohon dan di bawah bayang-bayang inilah kedua orang itu melakukan penyelidikan ke belakang pondok. Di belakang pondok itu terdapat sebuah kebun sayur dan di sebelah sananya terdapat sepetak rumput. Mereka bersembunyi ketika melihat ada seorang berdiri d atas petak rumput itu, menghadap bulan membelakangi mereka dan orang itu melipat kedua lengan di depan dada. Kemudian, tampak bayangan dua orang berkelebat dan tiba-tiba dua orang muncul dan berada di depan orang yang berpeluk tangan itu.

"Kongcu !" Mereka memberi hormat dengan merangkap

kedua tangan depan dada lalu membungkuk sampai dalam. "A-kiu dan A-hok, sudah kukatakan jangan lagi muncul di sini. Apa mau kalian malam-malam datang ke sini?" tanya orang yang menghadap bulan itu dengan suara keren dan Nelayan Gu bersama Petani Lai yang mengintai menjadi ter- heran-heran karena mereka mengenal suara A-seng! Akan tetapi kalau suara A-seng selalu ramah dan merendah, suara itu kini amat angkuh dan berwibawa!

"Ampunkan kami, kongcu. Akan tetapi kami diutus oleh pangcu untuk memanggil kongcu pulang karena perkumpulan kita akan mengadakan perayaan peringatan ke lima puluh tahun perkumpulan kita. Kata pangcu kongcu sekarang tentu telah menjadi seorang pemuda dewasa dan sudah cukup mempelajari ilmu, maka Kongcu diharapkan untuk pulang sekarang juga bersama kami!"

Tiba-tiba A-seng, orang yang tadi bersedakap itu, membalikkan tubuhnya dan memandang ke arah di mana Nelayan Gu dan Petani Lai bersembunyi. "Di sana ada dua orang bersembunyi. Tangkap mereka!" perintahnya kepada dua orang yang dipanggil sebagai A-kiu da A-hok itu.

A-kiu dan A-hok bergerak cepat kali, tiba-tiba tubuh mereka sudah melayang ke arah di mana dua itu bersembunyi dan langsung mereka menyerang menggunakan sebatang pedang di tangan masing-masing.

Nelayan Gu dan Petani Lai, biarpun terheran-heran dan terkejut mereka sudah siap siaga dan menghadapi serangan mendadak itu, mereka menyambut dengan gerakan senjata mereka.

"Trang-tranggggg !" Bunga api berpijar-pijar ketika

dayung baja dan cangkul itu bertemu dengan kedua pedang penyerang mereka. Segera terjadi perkelahian hebat antara mereka dan kedua orang murid Cheng Hian Hwesio itu mendapat kenyataan bahwa dua orang itu memiliki ilmu pedang yang aneh dan cukup kuat. Akan tetapi, Nelayan Gu dan Petani Lai adalah dua orang yang telah menerima gemblengan Cheng Hian Hwesio, ilmu silat mereka sudah tinggi, tenaga sin-kang mereka juga kuat sekali dan mereka sudah memiliki banyak pengalaman dalam perkelahian. Maka, setelah mereka berkelahi tiga puluh jurus lebih di bawah sinar bulan purnama itu, perlahan-lahan akan tetapi tentu, mereka dapat mendesak kedua orang lawan mereka yang berpedang, i

"A-kiu dan A-hok, mundur kalian!" A-seng membentak dan dua orang itu berloncatan ke belakang, membiarkan A-seng yang maju menghadapi dua orang suhengnya!

Dua orang itu tertegun dan memandang kepada A-seng dengan mata terbelalak seolah-olah mereka melihat setan! Wajah pemuda itu masih- sama, wajah yang tampan dan gagah, akan tetapi ada sesuatu yang mengerikan pada sinar matanya yang mencorong dan senyumnya yang sinis! Sama sekali lenyap sikap menghormat dan rendah hati yang biasanya diperlihatkan apabila pemuda itu berhadapan dengan kedua orang suhengnya itu.

"Sute apakah yang terjadi? Siapakah kedua orang ini

dan.... dan siapakah engkau sebenarnya?" tanya Nelayad

Gu, sedangkan Petani Lai memandang dengan alis berkerut.

"Nelayan Gu dan Petani Lai, kalian tidak perlu tahu siapa adanya kedua orang ini!" jawab A-seng dengan suara angkuh dan tegas.

"Ahhh ? Sute, beginikah sikapmu terhadap dua orang

suhengmu?" bentak Petani Lai marah. "Kalian bukan suhengku!"

"A-seng !!"

"Ha-ha-ha, namaku bukan A-seng! Aku hanya menggunakan nama itu agar dapat mempelajari ilmu dari suhu Cheng Hian Hwesio! Sekarang aku telah tamat belajar tidak perlu menganggap kalian sebagai suheng. Memalukan sekali mempunyai suheng yang ilmu silatnya masih serendah tingkat kalian!"

Dua orang itu sampai menjadi bengong karena tertegun dan heran bukan main.

Benarkah yang bicara itu A-seng yang biasanya ramah dan hormat? Orangnya memang sama akan tetapi sikapnya berbeda seperti bumi dengan langit. Pemuda ini demikian angkuh, demikian sombong dan tinggi hati. Petani Lai yang keras hati menjadi marah bukan main mendengar ucapan itu. Dia menggerakkan cangkulnya di atas kepala dan mendamprat, "A-seng, jahanam keparat! Berani engkau menghinaku?"

"Ha-ha-ha, mengapa tidak berani? Apa yang dapat kau lakukan dengan cangkulmu itu? Untuk mencangkul tanah juga tidak dalam, hanya untuk menakut-nakuti anjing saja!"

"Jahanam! Berani engkau melawanku?" tantang Petani Lai. "Ha-ha, apa yang harus kutakutkan? Bagiku, cangkulmu itu

tiada gunanya, Petani Lai!"

"Keparat, lihat senjataku!" bentak Petani Lai dan diapun sudah menyerang dengan ganas.

A-seng menyambar sebatang tongkat bambu yang berada di situ dan diapun menyambut serangan itu dengan tongkat bambunya. Gerakannya cepat bukan main dan segera keduanya sudah terlibat dalam sebuah perkelahian yang dahsyat. di bawah sinar bulan purnama, tubuh mereka berdua hampir tak nampak, tertutup oleh sinar dari senjata masing- masing yang membentuk lingkaran-lingkaran yang menyambar-nyambar.

Nelayan Gu terkejut sekali melihal gerakan tongkat bambu. Gerakannya demikian mantap, mengeluarkan angin besar dan berdengung-dengung nyaring sehingga dalam belasan jurus saja Petani Lai sudah terdesak mundur! Akan tetapi dia tidak mau mengeroyok. Bukan wataknya untuk mengeroyok, apalagi kalau diingat bahwa lawan mereka hanyalah sute mereka sendiri.

Petani Lai juga merasa penasaran sekali. Dia seolah merasa berhadapan dengan dinding sinar bambu yang amal kokoh. Ke manapun cangkulnya menyambar, selalu bertemu dengan tongkat dan setiap kali senjata mereka beradu, di merasa betapa tangannya tergetar hebat

Tiba-tiba terdengar A-seng berkata, suaranya nyaring dan penuh kekuatan, "Petani Lai, engkau tidak akan menang melawan aku! Lihat, kedua tanganmu sudah mulai lemah!"

Petani Lai terkejut bukan main ketika merasakan betapa kedua tangannya benar-benar menjadi lemah sekali dan pada saat itu, tangan A-seng menyambar dan berhasil menotok ulu hatinya. Hebat sekali totokan itu. Petani Lai merasa se-olah ada sebatang pedang yang runcing menembus ulu hatinya dan melukai bagian dalam dadanya. Dia mengeluh, cang- kulnya masih menyambar namun segera terlepas dari tangannya dan diapun roboh terkulai!

"Ha-ha-ha, sebegini saja kepandaian-mu!" A-seng tertawa- tawa dengan girang.

Nelayan Gu terkejut sekali dan cepat dia meloncat ke dekat tubuh Petani Lai ntuk memeriksa keadaan rekan itu. A-langkah kagetnya ketika ia melihat bahwa rekannya itu telah tewas!

Rekannya telah tewas oleh totokan yang dahsyat sekali dan diapun dapat menduga bahwa itu adalah ilmu totok It-yang-ci yang ampuh. Wajahnya menjadi pucat sekali kemudian berubah merah ketika dia bangkit berdiri sambil memandang ke arah A-seng dengan sinar mata bernyala saking marahnya.

"Manusia iblis! Engkau kejam sekali!" bentaknya. "Ha-ha-ha, bagus kalau engkau mengetahui itu, Nelayan Gu. Untuk memperoleh kemenangan orang harus berhati kejam!"

"Sebetulnya, siapakah engkau? Mengapa pula engkau melakukan semua ini dan sekarang bahkan membunuh Petani Lai yang tidak bersalah apa-apa padamu?"

"Dia sendiri yang mencari mati karena menantangku. Dan engkaupun akan menyusulnya, ha-ha-ha!" A-seng tertawa- tawa dengan sikap mengejek.

"Akan tetapi siapakah engkau ini?"

"Baiklah, karena engkau akan mati aku tidak keberatan untuk mengaku siapa adanya diriku sebenarnya. Aku bernama Ouw Ki Seng keponakan dari ketua Ban tok-pang. Pada suatu hari aku tersesat naik ke Puncak Awan Putih dan melihat datuk sesat Huang-ho Sin-liong Suma Kiang bertanding dengan kalian, kemudian dia dikalahkan dengan mudah oleh heng Hian Hwesio. Karena itu, aku ingin sekali mempelajari ilmu silat dari Cheng Hian Hwesio yang sakti dan akhirnya kehendakku terpenuhi. Sekarang, semua ilmu dari Cheng Hian Hwesio telah diturunkan kepadaku."

Wajah Nelayan Gu menjadi pucat ketika dia menatap wajah A-seng dengan pandang mata terbelalak. "Jadi kalau begitu, pembantaian terhadap sepuluh orang petani itu "

"Ha-ha-ha, engkau boleh tahu sekarang, Nelayan Gu. Akulah yang melakukan. Aku sengaja membunuhi mereka agar Cheng Hian Hwesio menaruh iba kepadaku dan suka menerimaku sebagai murid. Dan siasatku itu berhasil dengan baik."

"Jahanam! Manusia berwatak iblis! Sejak muda engkau telah menjadi manusia iblis yang kejam sekali!" "Ha-ha, untuk dapat mencapai keinginan hidupnya, orang harus bersikap cerdik Nelayan Gu. Sekarang, setelah engkau mengetahui semua keadaanku, bersiaplah untuk mampus!"

Nelayan Gu sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Sambil mengeluarkan bentakan nyaring diapun sudah menerjang dengan dayung bajanya, menyerai dengan dahsyat. Namun, A-seng menghadapinya dengan tenang. Tongkat bambunya bergerak dan setelah menangkis, iapun balas menyerang dengan sama dasyatnya.

"Tunggg !" Kedua senjata bertemu dan akibatnya,

Nelayan Gu terhuyung belakang.

A-seng menyerang terus dan mendesak Nelayan Gu yang sudah terhuyung belakang. Tiba-tiba tampak sinar hitam menyambar tubuh Nelayan Gu dari arah kiri. Nelayan Gu cepat mengelak dan beberapa batang paku beracun lewat dekat tubuhnya. Itulah paku-paku beracun yang disambitkan oleh A- kiu dan A-hok. Demikianlah watak mereka dari golongan sesat. Lawan yang sudah terdesak malah dikeroyok dan diserang dengan senjata rahasia! Ban-tok-pang (Perkumpulan Selaksa Racun) merupakan perkumpulan golongan sesat yang terkenal jahat dan curang.

Nelayan Gu memutar dayungnya untuk melindungi dirinya, akan tetapi tiba-tiba tongkat bambu di tangan A-seng membentur dayungnya dan melekat! Inilah penggunaan sin- kang (tenaga sakti) untuk menempel dan Nelayan Gu tidak mampu lagi menarik lepas dayung bajanya.

Pada saat itu, kembali ada sinar hitam paku-paku menyambar. Nelayan Gu menggerakkan tangan kirinya untuk me-nyampok sinar hitam itu dan berhasil menangkis paku- paku itu, akan tetapi pada saat itu tangan kiri A-seng sudah mengirim totokan dengan ilmu lt-yang-ci. Jari tangan kirinya yang meluncur itu mengeluarkan suara bercuitan dan tanpa dapat ditangkis maupun dielakkan lagi, jari tangan itu telah berhasil menotok bawah tulang iga kanan Nelayan Gu. Nelayan Gu tersentak kaget, dayungnya terlepas dan diapun roboh terkulai dengan mata terbelalak dan tetap terbelalak ketika dia tewas seketika!

A-seng tidak mempedulikan lagi lawannya yang telah tewas. "Mari kita bakar pondok itu. Biarkan hwesio tua itu mati terbakar di dalamnya. Mari!" Dia mengajak A-kiu dan A-hok.

Ketiganya lalu berlari cepat menghampiri pondok dan ternyata mereka memang sudah merencanakan pembakaran karena telah tersedia banyak rumput kering di luar pondok. Mereka mengepung pondok dengan rumput kering, kemudian membakar rumput-rumput kering itu. Pondok yang terbuat daripada kayu dan bambu itupun terbakar dengan mudah! Api menyambar dan membakar dinding kayu, lalu menyambar pintu dan jendela merambat atap. A-seng memandang api sambil tersenyum lebar. Suara api memakan kayu dan bambu terdengar seperti musik yang merdu di telinganya. Dia tidak membutuhkan lagi Cheng Hian Hwesio, bahkan harus membunuh hwesio itu karena Cheng Hian hwesio itu agaknya yang akan mampu menandinginya, karena merupakan ancaman baginya.

"Omitohud !" Terdengar seruan dan tiba-tiba saja atap

yang belum termakan api jebol dari bawah.

"Braaakkkk I" Tubuh Cheng Hian Hwesio menjebol atap

itu dan melayang ke atas, lalu turun ke dekat A-seng. Hwesio itu memandang kepada A-seng dengan mata terbelalak heran.

"A-seng, apa yang telah terjadi?" tanyanya.

A-seng mendekati hwesio itu, seperti hendak melapor. Akan tetapi setelah tiba dekat, dia membentak, "Inilah yang terjadi!" Dan tangan kirinya sudah meluncur dengan amat cepatnya ke arah dada Cheng Hian Hwesio. Dia menyerang dengan It-yang-ci! Cheng Hian Hwesio terkejut, akan tetapi ketenangannya membuat dia masih sempat mengerahkan ilmu kekebalannya melindungi dada yang ter-totok. "Tukkk !" jari telunjuk A-seng bertemu dengan dada

yang terasa seperti sebuah dinding baja, akan tetapi tetap saja totokan yang amat ampuh itu dapat menembus kekebalan dan akibatnya Cheng Hian Hwesio terjengkang!

"Ha-ha-ha, Cheng Hian Hwesio, mampuslah engkau!" Dan A-seng lalu menyerang hwesio yang sudah terjengkang itu dengan totokan It-yang-ci lagi!

Akan tetapi Cheng Hian Hwesio adalah seorang hwesio sakti yang sudah puluhan tahun melatih diri. Biarpun dari mulutnya mengalir darah segar menandakan bahwa dia telah terluka dalam, namun melihat serangan susulan itu, diapun lalu mengerahkan sisa tenaganya, menyambut serangan A- seng dengan ilmu It yang-ci pula.

"Desss !" Dua tenaga yang amat kuat bertemu dan

akibatnya A-seng terjengkang! Ternyata dia masih kalah kuat dibandingkan gurunya dan kenyataan in membuat A-seng terkejut.

"Ledakkan!" bentaknya dan dua orang tokoh Ban-tok-pang itu lalu membanting dua buah benda yang meledak dan menimbulkan asap tebal hitam. Cheng Hian Hwesio menahan napas dan melompat jauh ke belakang. Setelah asap tebal memudar, dia sudah tidak melihat tiga orang itu tadi. Dia melihat pondok yang sudah terbakar semua dan menghela napas panjang. Dia masih bingung akan sikap A-seng yang menyerangnya dan untuk mengobati luka dalamnya, dia lalu duduk di atas batu dan menghimpun hawa murni. Tahulah dia bahwa It-yang-ci yang dipergunakan A-seng menyerang dirinya sudah bercampur dengan ilmu yang sesat, yaitu hawa yang mengandung racun!

Jendela kamar Han Lin diketuk perlahan dari luar. Han Lin merasa heran sekali dan agar tidak mengganggu suhunya yang tidur di kamar sebelah, dia turun dari pembaringan, mendekati jendela dan bertanya dengan suara lirih, "Siapa di luar?" "Aku, sute. Aku Ingin bicara denganmu."

Mendengar suara A-seng, Han Lin segera membuka daun jendela dan tampaklah wajah A-seng di bawah sinar bulan purnama.

"Ah, engkau, suheng. Ada keperluai apakah malam-malam begini engkau datang berkunjung?"

"Sute, pelajaranku telah selesai d suhu menyuruh aku turun gunung. Besok pagi-pagi sekali aku sudah harus meninggalkan Puncak Awan Putih. Karena itu aku malam-malam berkunjung kepadamu karena aku ingin bercakap-cakap lebih dulu denganmu sebelum pergi. Kalau engkau tidak keberatan, aku ingin bermalam di sini bersamamu agar dapat bercakap cakap sebelum aku pergi besok pagi pagi."

Han Lin tersenyum. "Tentu saja boleh, suheng. Silakan masuk."

A-seng melompat masuk ke dalam kamar itu dan mereka lalu duduk di atas kursi, berhadapan terhalang meja kecil.

"Wah, engkau sudah tamat belajar, suheng? Kalau begitu mulai besok pagi engkau sudah akan bebas seperti seekor burung terbang di udara. Alangkah bebas dan senangnya!"

"Aku tidak tahu apakah aku harus senang ataukah susah! Aku harus berpisah dari suhu yang begitu baik kepadaku, dan berpisah dari engkau yang sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Aku belum tahu harus berbuat apa. Hidupku sebatang kara."

"Ah, mengapa khawatir, suheng? Engkau masih muda dan kuat, engkau dapat mengerjakan apa saja dengan menggunakan kepandaianmu, menjadi piauwsu (pengawal barang kiriman), atau menjadi guru silat bayaran, atau masuk tentara."

"Hemm, aku tidak menyukai itu semua. Mungkin aku akan merantau, sute. Aku ingin sekali merantau jauh ke utara, ingin memasuki daerah Mongol. Siapa tahu aku akan bertemu dengan keluargamu. Kalau aku mengatakan bahwa aku kakak seperguruanmu, tentu mereka akan menyambutku dengan baik."

"Tentu saja, suheng. Paman kakekku, Kapokai Khan, adalah seorang yang baik hati dan dapat menghargai orang gagah.

Kalau kelak engkau sempat berjumpa dengan dia, sampaikan hormatku kepadanya."

"Akan tetapi, agar mereka dapat percaya, aku harus mengetahui keadaanmu baik-baik, sute. Aku telah mengetahui riwayatmu, akan tetapi engkau belum memberitahu siapa nama ibumu kepada ku. Kalau kakek itu bertanya, aku tidak dapat mejawabnya."

"Katakanlah bahwa ibuku bernama Puteri Chai Li." "Hemm, Puteri Chai Li? Nama yang bagus sekali, sute.

Sekarang aku yakin mereka akan menerimaku dengan baik

dan paman-kakekmu akan memperayaiku."

Mereka bercakap-cakap sampai jauh malam, kemudian mereka tidur di atas pembaringan Han Lin. A-seng memperhatikan dengan kerling matanya betapa Han Lin mengambil suling kemala dari ikat pinggangnya dan menyusupkan ke bawah bantal. Tak lama kemudian keduanya sudah tidur nyenyak.

Akan tetapi A-seng hanya pura-pura tidur. Dia sengaja bernapas panjang-panjang seperti seorang tidur nyenyak. Setelah yakin bahwa Han Lin sudah tidur pulas, A-seng mulai menggerakkan tangan perlahan-lahan seperti tidak sengaja tangannya menyusup ke bawah bantal yang ditiduri Han Lin. Tak lama kemudian, tangannya sudah ditarik kembali dan telah memegang suling pusaka kemala!

Kemudian tangan kirinya bergerak, siap melancarkan serangan It-yang-ci, akan tetapi ditahannya. Dia ragu-ragu. Dia tahu bahwa Han Lin lihai sekali, jauh lebih lihai daripada dua suhengnya, Nelayan Gu dan Petani Lai. Belum tentu sekali serang dia akan dapat membunuhnya. Pula, kalau sampai gagal dan terdengar oleh Bu-beng Lo-jin, akan berbahaya ekali. Suling pusaka kemala sudah berada di tangannya.

Benda itu dikehendakinya. Benda sebagai tanda dan bukti bahwa pemegangnya adalah putera Kaisar Cheng Tung, seorang pangeran! Dan benda itu sudah berada di tangannya. Karena dia amat cerdik, dia tidak jadi menyerang Han Lin, melainkan turun dari pembaringan dengan hati-hati sekali, kemudian keluar dari kamar itu melalui jendela sambil menyelipkan suling pusaka kemala di ikat pinggangnya.

Sebelum pergi dia menutupkan kembali daun jendela kamar tu, lalu meloncat dan berlari pergi, menghilang di bawah bayang-bayang pohon.

Seperti biasa setiap fajar, keruyuk ayam hutan jantan membangunkan Han Lin dari tidurnya. Begitu membuka mata, iia teringat akan A-seng dan cepat menengok ke kiri. Kosong.. Mimpikah dia semalam? Bukankah A-seng tidur di sisinya? Dia bangkit dan seperti biasa pada setiap pagi, yang pertama kali dilakukannya adalah mengambil suling pusaka kemala yang ditaruh di bawah bantalnya. Dia menyusupkan tangannya ke bawah bantal, meraba-raba dan menjadi heran, cepat dibukanya bantal itu, diangkatnya dan terbelalak dia memandang ke bawah bantal yang tidak ada apa-apanya!

Suling pusaka kemala yang dia simpan di bawah bantal seperti biasa telah tiada! Kembali dia menengok ke arah bantal di sebelah yang ditiduri A-seng semalam. Diangkat nya bantal itu akan tetapi tetap saj sulingnya tidak berada di situ. Dia melompat turun dan memeriksa seluruh pembaringan. Tidak ada suling! Dia lompat ke dekat jendela dan ternyata jendela itu dalam keadaan tidak terkunci atau terpalang. Jelas bukan mimpi. Semalam A-seng memasuki kamarnya melalu jendela itu dan tidur di sebelahnya, karang A-seng sudah tidak ada dan suling pusaka kemalanya juga tidak ada! Han Lin menjadi penasaran sekai Dengan tergesa-gesa dipakainya sepatunya, lalu dibereskan pakaian dan rambutnya kemudian dia membuka jendela, melompat keluar dan lari dengan cepat meninggalkan puncak menuju ke Puncak Awan Putih untuk mencari A-seng! Dia tidak tahu bahwa ada yang membayangi. Orang itu bukan lain adalah Bu-beng Lojin yang merasa heran melihat tingkah muridnya yang tergesa-gesa pergi dari puncak di waktu sepagi itu. Karena ingin tahu, Bu- beng Lo-jin diam-diam membayangi tanpa diketahui oleh Han Lin karena dilakukannya dalam jarak yang cukup jauh.

Karena hatinya ingin cepat bertemu dengan A-seng yang membawa pergi suling pusaka kemala, Han Lin mempergunakan Ilmu berlari cepat sehingga sebentar saja dia sudah tiba di Puncak Awan Putih.

Akan tetapi apa yang dilihatnya amat mengejutkan hatinya. Pondok itu telah runtuh dimakan api dan masih mengepul-kan asap! Dan dia melihat Cheng Hian Hwesio duduk bersila di atas batu besar. Tidak tampak A-seng, Nelayan Gu atau Petani Lai di situ.

"Losuhu, apa yang telah terjadi?" tanyanya dengan suara nyaring.

Cheng Hian Hwesio membuka matanya. "Han Lin, engkaukah ini? Bencana telah datang menimpa. Pinceng tidak tahu mengapa terjadi hal seperti ini. Nelayan Gu dan Petani Lai juga tidak tampak sejak semalam. Mari kita mencari mereka."

Hwesio tua itu telah berhasil mengusir hawa beracun akibat pukulan A-seng dari tubuhnya dan dia lalu melompat turun.

Diikuti oleh Han Lin, dia lalu cari dua orang murid dan pembantunya Itu ke belakang pondok. Dan di sana, di atas petak rumput, mereka menemuki Nelayan Gu dan Petani Lai sudah menjs di mayat! "Omitohud ! Telah terjadi seperti apa yang pinceng

khawatirkan " Hwesio itu mengeluh dengan nada suara

berduka.

"Akan tetapi apa yang telah terjadi losuhu? Siapa yang telah membunuh kedua orang suheng ini?"

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar