Jilid I
PEKIK dan sorak sorai peperangan Itu menggegap gempita menjulang tinggi ke angkasa. Betapapun pasukan kerajaan Beng melakukan perlawanan mati-matian namun mereka telah terkepung ketat, di tempat terbuka dan lebih mencelakakan lagi, mereka bertempur dalam keadaan kehabisan ransum dan air. Lapar dan haus melemahkan semangat dan tenaga mereka sehingga pasukan itu akhirnya dipukul mundur cerai berai oleh pasukan Mongol yang sudah terbiasa perang di tempat yang liar terbuka seperti peperangan di kota Huai Lai, di perbatasan utara kerajaan Beng dan bangsa Mongol itu.
Pasukan Mongol, dikepalai oleh panglima-panglima atau kepala-kepala suku Mongol dan gagah perkasa, telah menyerbu ke dalam dan mengepung perkemahan di mana terdapat Kaisar Cheng Tung. Para pengawal berserabutan keluar dengan pedang dan lembing dan melakukan perlawanan mati-matian untuk melindungi kaisar mereka. Namun, jumlah mereka jauh kalah banyak dan satu demi satu para pengawal itupun roboh bergelimang darah. Terjadilah pembantaian di perkemahan itu.
Kepala suku Mongol yang juga menjadi panglima besar yang memimpin penyerbuan itu adalah Kapokai Khan, seorang pria berusia empat puluh tahun yang tinggi besar dan gagah perkasa. Dia melompat turun dari kudanya dan diikuti belasan orang perwira pembantu dan pasukan di belakangnya, dia menyerang terus ke dalam perkemahan.
Setelah tiba di dalam, dia berhenti dan memandang tertegun. Di sana, di tengah-tengah perkemahan itu, tampak Kaisar Cheng Tung duduk seorang diri di atas permadani, tenang dan diam, sedikitpun tidak tampak gugup atau ketakutan. Di sekelilingnya tampak tubuh para pengawalnya bergelimpangan bermandikan darah mereka sendiri. Wajah itu tampak tampan dan tenang, masih anggun dan agung dan ketika dia melihat Kapokai Khan, kepala itu dikedikkan, lehernya agak tegak dan sepasang mata yang tajam mencorong memandang kepada kepala suku itu penuh keberanian.
Kepala suku Mongol Kapokai Khan adalah seorang panglima besar, seorang yang menjunjung tinggi kegagahan. Dia masih keturunan Kublai Khan dan ketika pemerintah kerajaan Mongol jatuh, dia masih seorang bayi yang dapat dilariK m oleh seorang pengawal. Kini, melihat laki-laki yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun itu duduk begitu tenangnya, dengan sikap agung seorang raja besar, dikelilingi pengawal yang berserakan tumpang tindih menjadi mayat bergelimang darah dalam suasana yang sunyi, Kapokai Khan menjadi terpesona. Dia merasa seperti melihat seekor naga melingkar di situ, penuh ketabahan, sedikitpun tidak gentar walaupun sudah jelas bagaimana nasibnya, dikepung pasukan musuh yang masih memegang senjata yang berlepotan darah di tangan.
"Bunuh Kaisar Beng !" Tiba-tiba seorang panglima
melompat dan goloknya terayun ke arah leher orang muda yang duduk dengan tenang itu. Kepala itu sedikitpun tidak bergerak, seperti sebuah arca ketika golok menyambar ke arah lehernya.
"Tranggggg !" Golok yang menyambar leher itu terpental
oleh sebatang pedang yang berada di tangan Kapokai Khan. Kepala suku ini dengan kecepatan luar biasa telah meloncat dan menangkis serangan itu.
Penyerangnya terbelalak, juga para panglima yang lain. "Kapokai Khan! Dia adalah Kaisar Beng? Dia adalah musuh besar kita yang harus mati!" beberapa orang berseru dengan penasaran.
Kapokai Khan yang tinggi besar itu melintangkan pedangnya dan berdiri menghalang di depan Kaisar Cheng Tung, suaranya terdengar menggelegar dan penuh wibawa. "Aku adalah Kapokai Khan yang besar, selalu menghargai kegagahan dan kejantanan. Aku melihat Kaisar ini seorang yang sama sekali tidak takut mati, dengan gagah berani dan mata terbuka menghadapi ancaman bahaya kematian.
Bagaimana aku dapat membiarkan orang segagah dia mati? Tidak, dia akan menjadi tawananku, juga tamu kehormatanku dan barang siapa berani mengganggunya, menyentuh rambutnya, akan berhadapan dengan pedangku. Aku, Khan Yang Besar, telah bicara!"
Semua orang terbelalak mendengar kata-kata dan melihat sikap Kapokai Khan ini dan kini semua orang memandang kepada pria yang duduk di atas permadani itu.
Dia memang seorang pria yang gagah dan tampan. Usianya sekitar tiga puluh tahun, bertubuh tinggi tegap memakai pakaian kebesaran kaisar yang gemerlapan. Rambutnya digelung ke atas dan ditutup mahkota yang berkeredepan dihias permata. Pandang matanya mencorong, sedikitpun tidak memperlihatkan kegugupan atau rasa takut, seolah-olah dia tidak sedang dikepung pasukan musuh, melainkan dihadap hulubalangnya. Di bibirnya yang merah tersungging senyuman penuh percaya diri sendiri. Dia adalah Kaisar Cheng Tung (1437 - 1465), kaisar dari Kerajaan Beng. Dia adalah keturunan dari Chu Yuan Chang, pendiri dari Kerajaan Beng yang berhasil meruntuhkan kerajaan Mongol yang besar dan mengembalikan tanah air di bawah kekuasaan bangsa sendiri. Kaisar Cheng Tung adalah cucu buyut Kaisar Yung Lo, pendiri istana kerajaan di Peking yang dipindahkan dari Nan- king. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pendiri Kerajaan Beng yaitu Chu Yuan Chang, menjadi kaisar pertama Kerajaan Beng dan berpusat di Nan-king. Untuk mempertahankan diri dari ancaman bangsa Mongol yang sudah diusir kembali ke utara, Kaisar Chu Yuan Chang menempatkan seorang di antara puteranya, yaitu Pangeran Yen, untuk memimpin pasukan besar dan berjaga di Peking, benteng sebelah utara yang dapat membendung gangguan bangsa Mongol dari utara.
Kaisar Chu Yuan Chang atau dikenal pula sebagai Kaisar Hung Wu, meninggal dalam tahun 1398 setelah memimpin kerajaan selama tiga puluh tahun dengan sukses. Akan tetapi putera sulungnya meninggal dunia sebelum menggantikannya sebagai kaisar, oleh karena itu yang menggantikan kedudukan kaisar adalah cucunya bernama Hui Ti yang diangkat menjadi Kaisar ketika berusia enam belas tahun.
Pengangkatan Hui Ti yang muda sebagai kaisar ini menimbulkan perang saudara. Pangeran Yen yang menjadi panglima di Peking merasa tidak setuju dan merasa lebih berhak untuk menggantikan ayahnya menjadi kaisar setelah kakak sulungnya meninggal. Oleh karena itu, dia mengerahkan pasukannya menyerbo ke Nan-king, untuk memaksa Hui Ti, keponakannya turun tahta dan menyerahkan kepemimpinan kerajaan kepadanya. Karena kemampuannya sebagai seorang panglima dan karena memang sebagian besar pasukan berada di bawah kepemimpinannya, dia berhasil. Kaisar Hui Ti yang muda melarikan diri dan biarpun Pangeran Yen berusaha mencari keponakannya itu, dia tidak berhasil dan Kaisar Hui Ti tetap lenyap dan dilupakan orang.
Nan-king yang diserbu oleh Pangeran Yen dari Peking itu jatuh dalam tahun 1402 dan sejak saat itu, Pangeran Yen mengambil alih kerajaan dan mengangkat diri menjadi Kaisar dengan sebutan Kaisar Yung Lo. Dia memindahkan pusat kerajaannya ke Peking dan membangun Peking sebagai kota raja yang amat besar dan indah, penuh dengan istana-istana yang demikian megahnya sehingga terkenal sampai jauh ke negeri-negeri barat. Kaisar Yung Lo, pendiri Peking itu, menjadi kaisar selama 1402-1425. Dalam usia tua, dia masih sering memimpin sendiri pasukannya untuk mengadakan penyerbuan ke Mongolia luar, menghantam kedudukan bangsa Mongol yang menjadi musuh besarnya. Dia meninggal dalam perjalanan pulang dari serbuan ke utara itu, dalam tahun 1425. Penggantinya adalah Kaisar Hung Hwi, puteranya. Akan tetapi Kaisar ini berpenyakitan dan meninggal dunia karena penyakit di tahun itu juga. Kedudukan Kaisar lalu diserahkan kepada cucu Yung Lo yang bernama Hsuan Te yang juga merupakan kaisar yang berusia pendek dan memerintah selama sebelas tahun.
Oleh karena kematiannya itu, maka yang diangkat menjadi kaisar adalah puteranya, atau cucu buyut Kaisar Yung Lo, yaitu Kaisar Cheng Tung yang pada waktu itu baru berusia delapan tahun!
Oleh karena Cheng Tung baru berusia delapan tahun ketika diangkat menjadi kaisar, maka dengan sendirinya pemerintahan kerajaan dipegang oleh Ibu Suri dan para pembantunya, yaitu para thai-kam (sida-sida).
Kaisar Cheng Tung sendiri, karena usianya yang amat muda, dan karena kedudukannya, terkurung di dalam istana dan oleh Ibu Suri dia dijejali pelajaran sastera dan filsafat, dipersiapkan untuk kelak menjadi seorang kaisar yang bijaksana. Namun, karena dikelilingi oleh para thai-kam yang pandai menjilat, tidak urung kaisar ini terperosok ke dalam pengaruh para thai-kam.
Ketika dia sudah berusia dewasa, dia menjadi kaisar yang bijaksana namun lemah, mempercayakan segalanya kepada seorang di antara kepala thaikam yang berpengaruh di waktu itu. Thaikam ini bernama Wang Chin, seorang thaikam yang berasal dari Huai Lai, yaitu kota di perbatasan Mongol.
Dalam tahun 1450, ketika usia Kaisar Cheng Tung sudah hampir tiga puluh tahun. Thaikam Wang Chin membujuk Kaisar Cheng Tung untuk mengadakan perjalanan ke tapal batas tanah yang dikuasai bangsa Mongol dan berkunjung ke Huai Lai, yaitu tempat yang menjadi kampung halaman Wang Chin. Dia hendak memamerkan pengaruhnya dan ingin menjamu sang kaisar di kampung halamannya.
Kaisar Cheng Tung yang sudah biasa terbujuk dan menuruti omongan manis Wang Chin, sekali ini juga memenuhi permohonannya. Bahkan, bukan saja dia memenuhi permintaan Wang Chin untuk melakukan perjalanan ke utara, namun diapun mengangkat Wang Chin menjadi panglima yang memimpin pasukan yang mengawal perjalanan itu.
Tentu saja para panglima tua, yang dahulu pernah berjuang dengan gagah beraninya di samping mendiang Kaisar Yung Lo. yang sudah penuh pengalaman melakukan penyerbuan ke Utara, menjadi khawatir sekali. Mereka mengusulkan kepada Kaisar muda itu untuk mengangkat panglima yang lebih berpengalaman, akan tetapi semua itu dikesampingkan Kaisar Cheng Tung yang sudah percaya penuh kepada Thaikam Wang Chin.
Demikianlah, perjalanan itu dilakukan, dikawal oleh sepuluh ribu orang pasukan vang dipimpin oleh Wang Chin yang sama sekali tidak berpengalaman. Ketika pasukan tiba di Huai Lai, kepala suka, Mongol, Kapokai Khan, mendengar tentang perjalanan kaisar ini. Dia menyebar mata-mata dan segera mendapat keterangan bahwa pasukan yang mengawal kaisar itu sudah berada dalam keadaan lelah setelah melakukan perjalanan jauh juga bahwa perbekalan mereka sudah hampir habis, kelaparan dan kehausan.
Sebagai seorang kepala suku yang berpengalaman, dia tahu bahwa pasukan itu bukan dipimpin oleh seorang panglima yang pandai. Oleh karena itu, diapun mengerahkan pasukannya untuk mengepung dan menyerbu pasukan kerajaan Beng tidak jauh dari Huai Lai, dekat Nan Kou di sebelah dalam Tembok Besar.
Pasukan kerajaan Beng yang kelelahan, kelaparan dan kehausan itu hancur berantakan dan sebagian besar melarikan diri meninggalkan kaisar dan pengawalnya di perkemahan.
Para pengawal melindungi kaisar dan bertempur mati-matian sampai akhirnya tak seorangpun di antara mereka hidup dan mayat mereka bertumpukan dan berserakan di dalam kemah. Akan tetapi, ketenangan dan ketabahan hati Kaisar Cheng Tung membuat Kapokai Khan terpesona dan kagum bukan main. Dia sendirilah yang melindungi Kaisar Cheng Tung, merasa bangga bahwa dia telah dapat menawan seorang kaisar yang demikian gagah beraninya!
Thaikam Wang Chin dan semua pembantunya terbunuh dalam perang itu, dan para perajurit yang berhasil meloloskan diri berlari pulang ke selatan memberi kabar tentang malapetaka itu.
Biarpun Ibu Suri dan para menteri mendengar bahwa Kaisar Cheng Tung tidak terbunuh melainkan tertawan, namun untuk tidak membiarkan singgasana kosong, maka diangkatlah Kaisar Ching Ti, adik Kaisar Cheng Tung, menjadi kaisar pengganti.
Kapokai Khan dan para pembantunya mengepung Kaisar Cheng Tung dan atas isarat Kapokai Khan, seorang juru bicaranya yang pandai bahasa Han segera berkata dengan suara memerintah kepada Kaisar Cheng Tung.
"Atas perintah Yang Mulia Kapokai Khan Yang Besar, engkau diharuskan bangkit berdiri dan mengikuti kami sebagai seorang tawanan perang!"
Kaisar Cheng Tung mengangkat muka dan memandang si pembicara dengan sinar mata merendahkan. "Kami Kaisar Cheng Tung dari kerajaan Beng yang Jaya sama sekali tidak sudi menerima perintah dari siapapun juga!"
Penterjemah itu terkejut dan segera menyampaikan jawaban ini kepada Kapokai Khan. Kepala suku ini membelalakkan matanya, akan tetapi dia bahkan tertawa bergelak dan menjadi semakin kagum.
"Kalau engkau membangkang, engkau akan disiksa sampai mati!" kembali penterjemah itu berkata garang.
Kaisar Cheng Tung tersenyum. Senyumnya lepas bebas keluar dari hati, tidak dibuat-buat dan tiba-tiba dia bernyanyi!
"Manusia hidup lemah dan lemas sesudah mati menjadi kaku dan keras segala benda tumbuh lemah dan lemas sesudah mati kering dan getas!
Maka itu :
kaku dan keras adalah teman kematian lemah dan lemas adalah teman kehidupan!
Inilah sebabnya :
senjata keras mudah menjadi rusak kayu keras mudah menjadi patah!
Maka dari itu :
Kaku dan keras menduduki tempat bawah lemah dan lemas menduduki tempat atas!"
Sibuklah penterjemah itu menerjemahkan nyanyian yang dinyanyikan Kaisar Theng Tung kepada Kapokai Khan. Kepala suku itu "termenung sejenak, lalu serunya.
"Kaisar Cheng Tung, apa yang kau maksudkan dengan nyanyian itu?"
Kaisar Cheng Tung yang sejak kecil hafal akan semua ujar- ujar dan sajak haik dalam kitab-kitab Khong-cu, Lo-cu atau Buddha itu mengangguk. Dia tadi menyanyikan bagian dari kitab To-tik-keng dan kini menghadapi pertanyaan Kapokai Khan dia berkata dengan dingin.
"Apa artinya kematian dibandingkan dengan kehormatan?
Seorang budiman dapat mempertahankan kehormatannya sampai akhir, namun tidak dapat mempertahankan kehidupannya. Mati terhormat jauh lebih sempurna dari pada hidup terhina."
Setelah kata-kata ini diterjemahkan, Kapokai Khan menundukkan kepalanya. Dia juga sudah banyak mendengar tentang kebudayaan dan filsafat Cina dari para pembantunya, terutama yang tua-tua, akan tetapi karena dia sendiri sejak kecil sudah harus meninggalkan Cina, banyak hal yang tidak dikenalnya. Dia merasa kagum sekali dan memerintahkan kepada penterjemah untuk berkata dengan sikap hormat.
"Kapokai Khan Yang Besar mempersilakan Kaisar Cheng Tung yang Bijaksana untuk bangkit dan mengikuti rombongannya untuk diperlakukan sebagai seorang tamu agung!"
Cheng Tung tersenyum memandang kepada Kapokai Khan, lalu mengangguk dan setelah mengebutkan bajunya diapun bangkit dengan tenang. Tubuhnya yang jtinggi tegap itu berdiri tegak di samping Kapokai Khan. Kepala suku ini lalu menggunakan tangannya mempersilakan dan mereka lalu berjalan berdampingan keluar dari perkemahan, melangkahi mayat-mayat para pengawal yang tewas.
Di luar telah dipersiapkan dua ekor kuda yang terbaik, seekor untuk Kapokai Khan dan seekor lagi untuk Kaisar Cheng Tung. Kaisar itupun naik ke punggung kudanya dengan gerakan yang menarik dan anggun, tidak seperti Kapokai Khan yang melompat begitu saja. Dua orang itupun lalu menggerakkan kuda mereka yang jalan sejajar dikawal oleh ribuan orang pasukan Mongol yang bersorak-sorak gembira karena kemenangan. * * *
Karena sikapnya yang anggun dan tabah itu membangkitkan kekaguman dalam hati Kapokai Khan, maka Kaisar Cheng Tung biarpun menjadi tawanan perang, diperlakukan sebagai seorang tamu kehormatan. Dia berdiam dalam sebuah pondok besar di perkampungan o-rang Mongol, segala kebutuhannya dicukupi, diperlakukan dengan sikap hormat. Bahkan Kapokai Khan memerintahkan Chai Li, seorang keponakan perempuannya yang masih gadis dan yang pandai berbahasa Han, untuk menjadi pelayan pribadi sang kaisar!
Chai Li adalah seorang dara berusia delapan belas tahun yang cantik jelita, sehat kuat, dan cerdik. Juga ia seorang gadis terpelajar, sejak fcecil oleh kakeknya yang dahulu bekerja sebagai pejabat tinggi dalam pemerintahan kerajaan Mongol ketika masih menjadi Cina, ia dididik dengan kebudayaan dan kesusastera-an Cina. Ia pandai membaca menulis, pandai bersajak dan pandai pula memainkan alat tiup suling dan bernyanyi serta menari.
Sejak kecil bergaul dengan orang-orang Mongol yang kasar, kini bertemu dengan seorang kaisar muda yang demikian lembut dan halus, tampan dan penuh sopan santun, tidak mengherankan kalau hati gadis itu hanyut dan jatuh cinta kepada Kaisar Cheng Tung! Di lain pihak, kaisar yang terpisah dari keluarganya, yang hidup sebatang kara di tempat musuh, tidaklah mengherankan pula kalau dia tertarik kepada dara yang cantik menarik itu.
Kalau seorang pria dan seorang wanita sudah saling tertarik dan tergila-gila, apalagi mereka diberi kesempatan untuk hidup berdekatan, maka terjadilah hal yang tak dapat terelakkan lagi. Bertemulah kertas putih dengan tulisan indah dan terbentuklah sajak-sajak yang amat halus dan indah.
Bertemulah suling dengan yang-kim (gitar) yang dimainkan tangan-tangan ahli sehingga terdengarlah nyanyian merdu. Pada suatu senja yang indah, Kaisar Cheng Tung duduk di dalam taman bunga di belakang pondoknya, ditemani oleh Chai Li dan seorang pelayan wanita Mongol.
Kaisar Cheng Tung sejak tadi mengamati Chai Li. Baginya, senja hari itu Chai Li tampak lebih cantik dari pada biasanya. Sinar matahari senja itu seolah mengubah dara yang berpinggang ramping itu menjadi seorang bidadari yang langkah dan gerak-geriknya seolah tari-an indah sang bidadari. Ketika pelayan wanita tua Mongol meletakkan poci minuman dan cawan-cawannya ke atas meja, Kaisar Cheng Tung berkata kepada Chai Li dengan lembut.
"Chai Li, kalau engkau tidak keberatan, aku ingin bicara berdua denganmu. Dapatkah engkau menyuruh pembantu ini pergi?"
Chai Li tersenyum. Kaisar ini selalu bersikap sopan kepadanya. Padahal, dia boleh memerintahkan apa saja kepadanya.
"Sudah tentu saja, Yang Mulia." ia lalu bicara dalam bahasa Mongol kepada pelayan itu yang segera pergi meninggal-kan mereka.
Setelah pelayan itu pergi, dengan cekatan namun halus gerak geriknya Chai Li lalu menuangkan air teh dari poci ke dalam cawan dan menyerahkannya kepa-j da sang kaisar dengan gaya lemah gemulai. Kaisar Cheng Tung menerima cawan itu sambil tersenyum dan meminumnya, lalu meletakkannya di atas meja.
"Yang Mulia, apakah yang paduka hendak bicarakan berdua dengan saya?" akhirnya, setelah lama saling pandang tanpa bicara, Chai Li bertanya karena ia merasakan sesuatu dalam pandang mata kaisar muda itu.
"Chai Li, duduklah di bangku dekatku sini." kata Kaisar Cheng Tung dengan lembut. "Yang Mulia, mana saya pantas. ?"
"Tidak ada yang tidak pantas, Chai Li, kalau aku sudah mempersilakanmu."
Dengan sikap agak malu-malu Chai Li lalu duduk di sebelah kaisar dan menundukkan mukanya, mendengarkan.
"Chai Li, ada kata-kata yang tidak perlu terucapkan mulut, kata-kata yang menjadi bisikan hati yang terpancar keluar melalui pandang mata dan getaran suara. Dapatkah engkau menangkap kata-kata hatiku itu?"
Kepala itu semakin menunduk. Tentu saja ia mengerti karena suara hati yang sama tergetar pula dari hatinya.
Kaisar Cheng Tung mengeluarkan sesuatu dari balik ikat pinggangnya. Ketika ia mengeluarkannya, ternyata benda itu adalah sebatang suling pendek yang terbuat dari batu kemala hijau, indah bukan main karena diukir dalam bentuk seekor naga.
"Chai Li, benda pusaka ini adalah pemberian ibuku dan selamanya belum pernah terpisah dariku. Menurut pesan ibuku, di dunia ini hanya terdapat seorang wanita saja yang mampu memainkan nya sesuai dengan selera hatiku. Maukah engkau mencobanya, memainkan sebuah lagu untukku, Chai Li?" Sambil berkata demikian, Kaisar Cheng Tung meletakkan suling kemala itu ke tangan Chai Li.
Dara itu menerima suling kemala dengan jari-jari tangan gemetar. Ia ingin menolak karena merasa tidak berhak memainkan suling milik Kaisar Cheng Tung, akan tetapi ada desakan hatinya yang membuat ia tidak kuasa mengembalikan suling itu. Bagaikan dalam mimpi, kedua tangannya memegang suling dan membawanya ke dekat mulutnya.
Setelah menemukan lubang-lubang untuk jari dan lubang untuk bibir, iapun memejamkan kedua matanya, menarik napas panjang lalu mulai meniup suling itu. Suara suling melengking, mendayu-dayu dan terdengar aneh namun manis memasuki telinga dan hati Kaisar Cheng Tung. Dara itu memainkan sebuah lagu Mongol yang terdengar asing namun memukau. Suara itu menghanyutkan sukma, membawa lamunannya membubung tinggi dan terayun-ayun di angkasa, suaranya meninggi dan merendah membuai dan tanpa disadarinya lagi, dua titik air mata membasahi kedua mata Kaisar Cheng Tung.
Chai Li menghentikan tiupan suling-Tung dan terbelalak, terkejut bukan main. "Yang Mulia, paduka.... menangis ?"
Cheng Tung tidak menjawab, hanya merangkul dara itu. "Lagu apakah yang kau mainkan itu, Chai Li?" '
"Lagu Mongol, judulnya 'Suara hati seorang gadis” ucapnya lirih.
"Chai Li, engkaulah wanita satu-satunya yang dapat memainkan suling ini sesuai dengan seleraku. Karena itu, kuberikan suling pusaka kemala ini kepadamu."
"Akan tetapi, Yang Mulia "
"Ssttt, apakah engkau tidak sudi menerima hatiku yang kupersembahkan kepadamu?" Kaisar Cheng Tung merangkul dan Chai Li hanyut dalam pelukan itu.
Mulai saat itu, terjadilah perubahan besar dalam hubungan antara Chai Li dan Kaisar Cheng Tung. Mereka berkasih kasihan, bahkan secara berterang sehingga tak lama kemudian semua orang mendengar belaka akan hubungan cinta kasih antara kedua orang ini. Ketika Kapokai Khan mendengar akan hal itu, dia tertawa gembira. "Ha-ha-ha, bagus sekali! Biar Kaisar Cheng Tung memperoleh keturunan dari darah keluarga kami dan kelak keturunan itu yang akan menggantikannya menjadi Kaisar Kerajaan Beng!" Dia tidak marah kepada keponakannya itu, bahkan merestui hubungan mereka sehingga lebih leluasa lagi bagi Chai Li dan Kaisar Cheng Tung untuk berkasih-kasihan secara terbuka. Tertawannya Kaisar Cheng Tung membesarkan semangat bangsa Mongol untuk berusaha merebut dan mendirikan kembali kekuasaan mereka di Cina. Mereka bahkan mencoba untuk menyerbu memasuki Tembok Besar bahkan menyerang sampai ke dekat perbatasan kota raja Peking! Namun ternyata kekuatan bangsa Mongol masih belum dapat menembus pertahanan Kerajaan Beng yang dipimpin oleh para panglima tua untuk mempertahankan kota raja Peking. Semua serbuan bangsa Mongol dapat dipatahkan dan mereka terusir keluar dari wilayah kerajaan Beng. Apa lagi, pasukan dari berbagai propinsi juga ikut memperkuat Peking dari berbagai jurusan sehingga pasukan Mongol selalu dipukul mundur.
Ketika Kapokai Khan mendengar bahwa sebagai pengganti Kaisar Cheng Tung telah diangkat seorang kaisar baru, yaitu Kaisar Ching Ti, dia menjadi khawatir sekali. Kalaupun dia tidak dapat menguasai Cina, sebaiknya Kaisar Cheng Tung yang menjadi penguasa, bukan kaisar lain yang tentu akan memusuhinya. Kaisar Cheng Tung telah diperlakukan sebagai tamu kehormatan, bahkan telah berhubungan sebagai suami isteri dengan seorang keponakannya yang kini telah mengandung pula. Dia lalu menyebar mata-mata ke dalam kota raja Peking untuk mendengar dan melihat keadaan.
Dari para mata-mata ini akhirnya dia mendapatkan berita gembira, yaitu bahwa semua menteri, bahkan Ibu Suri, masih mengharapkan Cheng Tung untuk sewaktu-waktu dapat lolos dari tawanan dan akan diterima kembali menjadi Kaisar.
Kebanyakan dari mereka masih mencinta Kaisar Cheng Tung dari pada adiknya, Kaisar Ching Ti yang dianggap kurang mampu memegang tampuk pemerintahan.
Ketika mendengar ini, Kapokai Khan segera menemui Kaisar Cheng Tung. Melalui seorang penerjemah dia mengadakan perundingan dengan Kaisar Cheng Tung.
"Yang Mulia, kalau sekarang paduka kami bebaskan dan kami antarkan kembali ke Peking, apa yang dapat paduka lakukan demi membalas kebaikan kami?”
Diam-diam Kaisar Cheng Tung merasa heran dan girang mendengar bahwa dia hendak dibebaskan. "Kapokai Khan yang baik, engkau yang menawan kami da« engkau pula yang hendak membebaskan kami. Apakah yang dapat kami lakukan untukmu?"
"Kami akan membebaskan paduka dan mengawal paduka kembali ke Peking dengan selamat kalau paduka suka menjanjikan beberapa hal kepada kami."
Kaisar Cheng Tung memandang kepala suku itu dengan sinar mata menyelidik "Janji apakah yang harus kami berikan?”
"Pertama, kalau paduka menjadi Ka-j isar kembali, paduka harus menghentikan penyerbuan ke utara dan menganggap kami sebagai sahabat."
Kaisar Cheng Tung mengangguk. "Hal itu sudah sepatutnya. Kami berjanji” "Kedua, kalau putera paduka dari Chai Li terlahir, kelak paduka akan menerimanya sebagai putera, sebagai pangeran Beng yang kelak akan dapat menggantikan kedudukan paduka sebagai Kaisar!"
Kaisar Cheng Tung mengerutkan alisnya. "Kalau puteraku dari Chai Li terlahir, dia adalah puteraku. Kalau terlahir sebagai puteri, ia akan menjadi puteri istana yang terhormat, dan kalau terlahir sebagai putera, dia akan menjadi seorang pangeran. Akan tetapi mengenai kedudukan sebagai putera mahkota, hal itu harus dipertimbangkan lebih dulu, melihat keadaan dan suasana. Betapapun juga, dia adalah puteraku dan tentu akan menduduki tempat penting dan terhormat." Kaisar Cheng Tung berhenti sebentar, berpikir lalu berkata, "Akan tetapi karena keadaan Chai Li sedang mengandung tua, lebih baik ia tinggal dulu di sini. Kelak kalau ia sudah melahirkan dan puteranya sudah kuat, ia akan kami terima di istana Peking sebagai seorang selir kami."
Kapokai Khan merasa puas dengan janji-janji itu, maka pada hari yang sudah ditentukan, Kaisar Cheng Tung dikawal sepasukan perajurit dan diantarkan ke selatan.
Sebelum berangkat Kaisar Cheng Tung berpamit kepada Chai Li yang ketika itu sudah mengandung tujuh bulan. Chai Li menangis dan memegangi tangan suaminya.
"Yang Mulia, sekarang kita berpisah, entah kapan kita akan dapat saling bersua kembali."
Kaisar Cheng Tung merangkul wanita itu dengan penuh kasih sayang. Selama ini kasih sayangnya terhadap Chai Li semakin bertambah karena ternyata Chai Li adalah seorang wanita yang benar-benar setia dan mencinta suaminya.
"Chai Li, simpanlah air matamu. Tangismu tidak baik untuk kesehatan anak kita dalam kandunganmu. Perpisahan kita hanya sementara saja. Kelak, kala anak kita sudah terlahir dan kuat, engkau dapat membawa anakmu menyusul ku ke kota raja Peking dan kita hidup berbahagia di sana selama- lamanya."
Chai Li menahan tangisnya dan berangkatlah Kaisar Cheng Tung,diantar oleh tiupan suling yang mendayu-dayu itu.
Tahulah dia bahwa tiupan suling itu adalah peringatan baginya agar dia tidak melupakannya, dan merupakan bekal yang selalu akan terkenang olehnya.
Di perbatasan Kaisar Cheng Tung diterima oleh pasukan kerajaan Beng dengan penuh kegembiraan dan kehormatan. Pasukan pengawal Mongol segera kembali setelah menyerahkan kaisar itu dan Kaisar Cheng Tung selanjutnya dikawal oleh pasukan kerajaan Beng ke kota raja.
Kembalinya Kaisar Cheng Tung mendapat sambutan meriah, dan biarpun dia tidak memperlihatkan keinginannya untuk menggantikan kembali adiknya yang sudah terlanjur menjadi Kaisar, namun semua orang mendukungnya. Kaisar Ching Ti yang tidak populer dan tidak disuka itu akhirnya jatuh sakit dan selagi dia sakit, Kaisar Cheng Tung diangkat kembali menjadi kaisar untuk yang kedua kalinya.
Akan tetapi ketika Ibu Suri dan para pangeran mendengar bahwa Kaisar Cheng Tung telah mempunyai seorang selir di Mongol yang kini telah mengandung, mereka merasa gelisah sekali. Tak seorang pun di antara mereka menghendaki seorang pangeran atau puteri keturunan Mongol di istana, walaupun tidak ada yang berani secara berterang menyatakan dil depan Kaisar Cheng Tung.
Di antara mereka yang diam-diam merasa marah mendengar bahwa Kaisai Cheng Tung mempunyai keturunan dari darah Mongol adalah Pangeran Chen Boan, seorang adik dari Kaisar Chen Tung dari selir. Pangeran Cheng Boan ini diam-diam mengusahakan untuk mengenyahkan keturunan dari darah Mongol itu. Tiga tahun kemudian setelah Kaisai Cheng Tung kembali menjadi kaisar, Pangeran Cheng Boan diam-diam menghubungi seorang datuk persilatan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Di membawa seratus tail emas, diserahkan kepada datuk besar itu dan minta kepadanya agar pergi ke Mongol dan membunuh seorang wanita bernama Chai Li berserta seorang puteranya. Tidak ada seorangpun lain yang mengetahui perintah ini kecuali Ibu Suri yang menyetujui rencana Pangeran Cheng Boan karena Ibu Suri menganggap bahwa kehadiran seorang pangeran keturunan Mongol akan merupakan suatu hinaan terhadap keluarga Kaisar!
Datuk besar persilatan yang menerima tugas keji itu bernama Suma Kiang. Dia seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus dengan muka kemerahan, dahinya lebar, sepasang mata sipit yang bersinar tajam, idung dan mulutnya tampak mengejek elalu dan dia memelihara jenggot sam-l ai ke lehernya. Di punggungnya tergantung sepasang pedang dan walaupun gerak-geriknya lembut, namun pandang matanya liar dan gerakannya menunjukkan bahwa dia seorang ahli silat tingkat tinggi.
Ringan dan peka. Selama belasan tahun dia terkenal sebagai seorang datuk di daerah Sungai Huang-ho, malang melintang dengan sepasang pedangnya dar sukar dicari tandingannya. Banyak sekali ketua-ketua perkumpulan persilatan yang sudah roboh olehnya sehingga di diakui sebagai seorang datuk besar di wilayah Lembah Sungai Huang-ho.
Sebetulnya sebagai seorang datuk persilatan yang berilmu tinggi seperti Suma kiang yang berjuluk Huang-ho Sin liong (Naga Sakti Sungai Huang-ho), untuk mengumpulkan uang seratus tail emas bukanlah pekerjaan sukar. Bukan jumlah uang itu yang menarik hatinya sehingga dia menerima tugas yang diberikan Pangerai Cheng Boan. Akan tetapi petualangannya itulah. Dia ingin bertualang ke daerah Mongol yang terkenal berbahaya itu. Apalagi dia merasa menjadi petugas kerajaan yang amat penting! Mengemban tugas rahasia yang tidak boleh diketahu orang lain. Dan tugas ini diberikan oleh seorang Pangeran, direstui pula oleh Ibi Suri. Dia merasa dirinya menjadi penting dan terhormat. Karena semua inilah mal ka dia menerima tugas yang sebetulnya tidak ringan dan penuh bahaya itu.
Suma Kiang hidup sebatang kara. Di waktu mudanya, dia hidup sebagai seorang pendekar yang mempunyai seorang isteri yang cantik. Akan tetapi telah bertahun-tahun beristeri, dia belum juga mempunyai keturunan. Dan pada suatu hari terjadilah malapetaka itu yang mengubah jalan hidupnya. Dia menerima kunjungan seorang pendekar lain, seorang sahabat, dengan ramah dan senang hati. Akan tetapi ternyata kemudian bahwa isterinya menyeleweng dengan sahabatnya itu! Suma Kiang menjadi mata gelap dan dibunuhnya sahabatnya dan isterinya itu. Kehidupannya menjadi guncang dan bertahun-tahun dia hidup seperti orang gila memperdalam ilmunya dan wataknya menjadi kejam. Dia menjadi seorang datuk yang ditakuti orang. Tidak semata-mata melakukan kejahatan, akan tetapi segala kehendaknya harus ditaati orang, siapa-pun juga dia! Namanya mulai terkenal dan dia dijuluki Huang-ho Sin-liong karena dia seolah-olah seekor naga sakti yang baru muncul dari Sungai Huang-ho dan mengamuk di sepanjang Lembah Huang-ho.
Ketika Pangeran Cheng Boan melalui seorang utusan rahasia menyampaikan perintah rahasia itu, dia segera menerimanya. Memang dia sudah bosan bertualang di Lembah Huang-ho. Ditinggalkannya pondok besar di Lembah Huang-ho itu dan dia mulai melakukan perjalanan ke utara yang jauh dan panjang. Apalagi perjalanan menuju ke utara itu bagi Suma Kiang adalah perjalanan pulang ke kampung halaman.
Dahulu, di waktu mudanya, dia adalah seorang yang berasal dari utara yang merantau ke selatan dan kini di masa usianya sudah mulai tua, dia kembali ke utara, berarti pulang ke kampung halaman. Dia menerima tugas penting itu karena diapun pandai bahasa Mongol yang pernah dipelajarinya ketika dia masih muda. .
Pada suatu pagi yang cerah Suma Kiang memasuki sebuah perkampungan Mongol di dekat Terusan Nan Kou. Dia mengenakan pakaian longgar dan selain sepasang pedangnya, juga sebuah buntalan kuning tergendong di punggungnya.
Tangan kanannya memegang sebuah tongkat yang berbentuk ular berwarna hitam dan ketika memasuki perkampungan itu, dia berseru dalam bahasa Mongol yang agak kaku, akan tetapi cukup dapat dimengerti oleh mereka yang mendengarnya.
"Tukang mengobati segala macam penyakit dan meramalkan segala macam nasib!"
Berulang-ulang dia meneriakkan ini dan tak lama kemudian serombongan anak-anak sudah mengikuti di belakangnya, menarik perhatian banyak orang.
Biasanya, yang mendatangi perkampungan orang Mongol, kecuali suku bangsa sendiri, adalah pedagang keliling bangsa campuran Han-Mongol, itupun mereka datang berkelompok untuk berdagang dan menukar barang dagangan. Maka kunjungan orang yang mengaku ahli pengobatan dan peramal ini tentu saja menarik perhatian banyak orang.
Mereka yang mempunyai keluarga yang sedang sakit, segera mencoba kepandaian Suma Kiang. Ternyata Suma Kiang memang pandai mengobati penyakit, suatu ilmu yang pernah dipelajarinya. Kalau hanya penyakit ringan saja, dengan ilmu menotok jalan darah, dia dapat menolong si penderita. Dia memang telah menguasai It-yang-ci (Totok Satu Jari), semacam ilmu totok yana ampuh dari perguruan Siauw-lim-pai. Dengan ilmu totok yang juga amat ampuh untuk menyerang lawan itu, dia dapati memulihkan jalan darah yang tersumbat sehingga si penderita penyakit menjadi! sembuh. Setelah terbukti dia dapat menyembuhkan beberapa orang yang menderita! sakit, Suma Kiang mulai dapat kepercayaan penghuni perkampungan suku Mongol itu. Bahkan dia dipanggil kepala suku yang menderita sakit leher untuk mengobatinya. Dalam waktu singkat dia dapat menyembuhkan kepala suku itu sehingga namanya semakin terkenal.
Akan tetapi, di luar dugaan Suma Kiang sendiri, perbuatannya itu menimbulkan kemarahan dan iri hati Sangkibu yang biasa bertindak sebagai dukun di suku itu. Sangkibu merasa mendapatkan saingan dan dia menjadi marah sekali. Dia kumpulkan lima orang-orangnya yang dikenal sebagai jagoan dan ketika Suma Kiang sedang berjalan seorang diri di perkampungan itu, tiba-tiba dia diserang oleh lima orang jagoan yang menggunakan senjata golok. Lima orang itu menyerang tanpa berkata apapun.
Suma Kiang melihat datangnya serangan lima batang golok itu dan melihat pula seorang laki-laki jangkung kurus berwajah seperti tengkorak memberi aba-aba kepada lima orang itu. Dia bergerak cepat, tongkat ularnya diayun berputar menangkis lima batang golok itu.
"Trang-trang-trang-trang !" Lima batang golok yang
diserangkan dengan tenaga kuat itu terpental semua dan lima orang pemegangnya terhuyung seolah golok mereka mengenai sebuah dinding baja yang tebal dan kuat!
"Nanti dulu!" Suma Kiang berseru dengan sabar. "Kalian ini siapakah dan mengapa pula menyerangku?"
Laki-laki jangkung kurus berusia lim puluh tahunan itu melangkah maju dai menudingkan tongkatnya yang bercabang; "Engkau orang asing. Pergilah sebelum kami mengenyahkan dari muka bumi!"
"Apa kesalahanku dan siapakah engkau?" Suma Kiang bertanya dengan sikap tenang. "Aku ahli pengobatan dan sesepuh d perkampungan ini. Engkau datang mem bikin kacau dan menipu rakyat. Enyah lah engkau!" Dukun itu melemparkai tongkatnya yang bercabang sambil mem baca mantera dan orang-orang yanj
mulai berdatangan dan menonton melihat betapa tongkat itu berubah menjad seekor ular yang merayap ke arah Sum a Kiang.
Suma Kiang tersenyum. Baginya, permainan sihir seperti itu seperti permainan kanak-kanak saja. Dia mengerahkai sinkangnya dan menggunakan tongkat ularnya untuk menusuk, tepat mengena kepala ular dan seketika itu pecahlah tongkat bercabang itu menjadi dua potong.
Orang-orang yang mulai berdatangan dan menonton melihat betapa tongkat itu berubah menjadi seekor ular yang merayap ke arah Suma Kiang.
"Bunuh dia!" Dukun yang bernama Sangkibu itu berteriak garang. Lima orang anak buahnya lalu menyerbu lagi dengan golok mereka. Akan tetapi Suma Kiang memutar tongkatnya dan lima batang golok itu menempel pada tongkatnya, ikut terputar dan terlepas dari tangan lima orang pemegangnya! Denga tangan kirinya, Suma Kiang mengambil lima batang golok itu dan sekali melempar ke atas tanah, lima batang golok itu menancap sampai ke gagangnya ke dalam tanah.
"Pergilah kalian!" bentaknya dan sekali mencongkel dengan tongkatnya! tongkat bercabang itupun melayang dan mengenai tubuh Sangkibu sehingga dukun tinggi kurus itu terjengkang karena dadalnya terpukul tongkatnya sendiri.
Orang-orang berkerumun dan menyaksikan betapa dukun Sangkibu dan lima orang pembantunya itu dengan mudah dikalahkan Suma Kiang. Sangkibu juga tahu diri. Dia maklum bahwa ternyata orang asing itu memiliki kepandaian tinggi, maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu terhuyung pergi diikuti lima orang pembantunya yang juga merasa gentar.
Berita tentang kepandaian Suma Kiang ini akhirnya sampai juga ke telinga pemimpin besar suku Mongol, yaitu Kapokai Khan. Dia merasa tertarik sekali, apalagi mendengar bahwa Suma Kiang berhasil mengalahkan dukun Sangkibu dan lima orang pembantunya yang jagoan dengan mudah dan bahwa orang asing itu pandai meramalkan nasib. Segera kepala suku ini mengutus orang untuk memanggil Suma Kiang dari perkampungan itu untuk menghadap dia.
Tentu saja Suma Kiang menjadi girang bukan main mendapat panggilan ini. Memang semua tindakannya di perkampungan itu adalah untuk memancing perhatian Kepala Suku Kapokai Khan. Dia sudah mendengar bahwa dahulu, Kapokai Khan inilah yang menawan Kaisar Cheng Tung, dan bahwa wanita yang diperisteri Kaisar Cheng Tung dan sudah mempunyai putera itu adalah keponakan sang kepala suku. Ke sanalah dia harus pergi untuk menyelidiki wanita dan puteranya itu. Untuk langsung datang ke pusatj markas orang Mongol itu amat berbahaya, dapat menimbulkan kecurigaan. Akan tetapi sekarang dia pergi ke sana karena dipanggil oleh Kepala Suku Kapokai Khan.
Jerih juga rasa hati Suma Kiang ketika dia berhadapan dengan Kapokai Khan. Kepala Suku itu amat berwibawa dikelilingi para hulubalangnya yang rata-rata tampak gagah perkasa. Maka dia lalu maju dan membungkuk sambil merangkap kedua tangan tanda menghormat
"Khan Yang Besar, saya Suma Kiang datang menghadap memenuhi panggilan” katanya dengan suara lantang namun dengan sikap hormat.
Kapokai Khan menggerakkan tangan dan seorang pengawal menyodorkan sebuah kursi kepada Suma Kiang. "Duduklah!" katanya dan setelah Suma Kiangl duduk, dia bertanya, "Apakah engkau yang bernama Suma Kiang, ahli pengobatan dan tukang meramalkan nasib?"
"Benar, Yang Mulia. Sudah belasan tahun saya mempelajari kedua ilmu itu. Apakah ada di antara keluarga Yang Mulia menderita sakit? Saya akan mengobatinya sampai sembuh."
"Ha-ha-ha, semua keluarga kami sehat dan tidak ada yang sakit. Kami tidak ingin minta pengobatan, melainkan menghendaki agar engkau meramalkan nasib kami."
Suma Kiang mengamati wajah Kapokai Khan dengan penuh perhatian, lalu menggunakan tongkat ularnya untuk membuat lingkaran di atas lantai di depannya, kemudian menggurat- gurat lingkaran itu dan menuliskan beberapa buah huruf yang rumit, lalu mengangguk-angguk dan berkata, "Wajah paduka bersinar terang dan menurut perhitungan saya, paduka masih akan memimpin bangsa ini selama belasan tahun lagi."
"Bukan itu yang ingin kami ketahui biarpun itu merupakan berita baik sekali. Kami ingin mengetahui tentang Kaisar Cheng Tung dari Kerajaan Beng. Dia kini telah kembali menjadi kaisar. Bagaimana dengan kedudukannya itu?" Kembali Suma Kiang membuat lingkaran, guratan dan huruf-huruf, lalu mulutnya berkemak-kemik dan akhirnya dia berkata, "Kaisar Cheng Tung memiliki peruntungan besar.
Beliau juga dapat lama memegang jabatan kaisar, sampai belasan tahun."
"Coba engkau perhitungkan, Suma Kiang. Apakah ada kemungkinan keturunannya, darah Mongol, kelak menggantikan kedudukannya sebagai Kaisar Kerajaan Beng?" tanya Kapokai Khan dengaj suara penuh semangat dan ketegangan.
Berdebar rasa jantung dalam dada Suma Kiang. Justeru inilah yang hendak diselidikinya. Dia beraksi lebih gaya lagi, memejamkan matanya, berkemak-kemik dan membuat coretan-coretan seperiti orang kesurupan. Kemudian dia membuka kedua matanya dan memandang ke atas. Matanya mendelik dan diapun bangkit berdiri, mengembangkan kedua tangannya dan berkata seperti orang bersorak.
"Benar....! Kaisar Cheng Tung mempunyai seorang keturunan berdarah Mongol! Seorang putera yang berusia tiga tahun. Akan tetapi apa yang saya lihat ini? Bercak-bercak darah, tidak jelas,, uh", banyak halangan. Kesialan yang tebal, harus dibersihkan dulu.... ah " Suma Kiang terkulai di atas
kursinya kembali, terengah-engah seperti kelelahan.
Kapokai Khan melompat bangun dan menghampirinya. "Bagaimana penglihatan mu? Apa yang akan terjadi?
Dapatkah keturunannya itu kelak menggantikan kedudukannya menjadi kaisar?"
"Kalau diusahakannya, tentu dapat," kata Suma Kiang setelah menghela napas panjang berulang kali. "Saya melihat banyak halangan dan hambatan, Yang Mulia. Banyak kesialan dan bahaya. Akan tetapi, hemmm saya dapat
mengusahakan agar semua kesialan itu terusir pergi." "Begitukah? Engkau dapat? Suma Kiang, berapapun besar biaya yang kau minta, akan kami berikan asalkan engkau dapat membuat dia kelak menjadi pengganti Kaisar Cheng Tung, menjadi Kaisar Kerajaan Beng!"
"Akan tetapi pekerjaan itu tidak mu-dah, Yang Mulia. Saya harus membersihkan hawa kesialan dari mereka ibu dan anak berdua, harus bersamadhi, mungkir sampai berhari-hari. Saya harus membersihkan hawa kesialan dari mereka, dalam rumah dan ruangan tersendiri, jauli dari orang lain dan tidak diganggu sampai saya berhasil. Kalau hawa kesialar itu sud&h dienyahkan, saya tanggung kelak anak itu akan dapat menggantikan menjadi-Kaisar Kerajaan Beng.
Bukan main girangnya hati Kapokai Khan mendengar ucapan ini. Dia percaya sepenuhnya kepada Suma Kiang yang tampaknya demikian yakin. Maka dia segera memanggil Chai Li dan puteranya disuruh datang ke situ pada saat itu juga.
Semenjak ditinggalkan Kaisar Cheng Tung, Chai Li telah melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat dan teringal akan pesan Cheng Tung ketika hendak meninggalkannya, dia memberi nama Cheng Lin kepada anak itu. Akan tetapi, setelah menunggu-nunggu sampai anak itu berusia tiga tahun, belum juga ada utusan dari Kaisar Cheng Tung. Padahal Chai Li sudah mendengar bahwa kekasihnya itu kini telah kembali menjadi kaisar. Siang malam ia menunggu-nunggu dengan hati penuh rindu dan harapan, akan tetapi selalu berakhir dengan cucuran air mata di malam hari karena yang ditunggu- tunggu tidak kunjung datang.
Suma Kiang mengamati wanita dan anak itu. Hatinya girang karena dia sudah menemukan ibu dan anak yang harus dilenyapkao dari muka bumi itu. Walaupun tugasnya itu masih sukar karena ibu dan anak itu berada di antara banyak orang Mongol, di perkotaan besar di mana terdapat banyak orang pandai, namun ibu dan anak itu dapat dikatakan telah berada di tangannya. Dia melihat seorang wanita berusia kurang lebih dua puluh satu tahun yang amat cantik, anggun dan bermata bintang, dengan seorang anak laki-laki berusia tiga tahun yang sehat dan tampan.
"Inilah mereka, ibu dan anak itu, Suma Kiang. Kami harap engkau akan segera dapat membersihkan mereka dari awan kesialan itu." kata Kapokai Khan kepada Suma Kiang.
Kemudian Kepala Suku Mongol itu berkata kepada keponakannya, "Chai Li, mulai hari ini engkau harus menurut apa yang Suma Kiang ini. Dia hendak membersihkan engkau dan anakmu dari kesialan sehingga kelak anakmu akan dapat menemukan kemuliaan besar."
Chai Li sudah mendengar akan apa yang terjadi. Ia seorang terpelajar dan cerdik, sungguhpun hatinya tidak percaya akan ketahyulan itu, akan tetapi di depan pamannya, apa yang dapat dikatakannya Ia hanya dapat menurut dan tunduk atas perintah pamannya yang berkuasa
Demikianlah, mulai hari itu Chai L dan Cheng Li tinggal di dalam sebuah pondok kosong bersama Suma Kiang. Mereka itu seolah-olah dua ekor dornba yang diberikan kepada seorang algojo yang memang ditugaskan untuk menyembelih mereka! Akan tetapi Kapokai Khai juga bukan seorang bodoh. Dia memperayakan keponakan dan cucu keponakannya kepada Suma Kiang bukan begitu saja. Rumah itu diam-diam dikepung pasukan untuk menjaga keselamatan ibu dan anak yang diharapkan kelak akan mengangkat derajat orang Mongol. Dan sembarang pasukan yang ditugaskan mengamati dan menjaga keselamatan mereka, melainkan pasukan khusus dan yang terdiri dari perajurit-perajurit pilihan, dua losin banyaknya dan dipimpin oleh seorang panglima berusia lima puluh tahun bernama Sabuthai. Panglima ini adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, seorang di antara jagoan-jagoan pemerintah Mongol yang telah jatuh dan kembali ke utara. Ilmu silatnya tinggi dan dia terkenal sebagai seorang yang bertenaga gajah, memiliki sinkang (tenaga sakti) yang kuat dan ahli memainkan senjata ruyung.
Bukan hanya Sabuthai yang jagoan lan memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga dua losin perajurit yang dipimpinnya adalah orang-orang pilihan, dari satuan golok besar yang tangguh. Bagaimanapun juga Kapokai Khan cukup berhati-hati menjaga keselamatan keponakan dan cucu keponakannya itu dan tidak mempercayai sepenuhnya kepada orang asing bernama Suma Kiang yang mengaku ahl pengobatan dan ahli meramalkan nasib itu.
Dua orang tergopoh-gopoh melapor kepada kepala jaga di depan rumah besar Kapokai Khan, minta agar dihadapkan kepada Kepala Suku Mongol itu. Malam sudah tiba dan kepala jaga menolak akan tetapi seorang di antara kedui penghadap itu, Sangkibu, berkata tajam "Ini urusan penting sekali, kalau engkau tidak mau melaporkan, akan kukutuk engkau menjadi babi hutan!"
Kepala penjaga mengenal Sangkibu dukun yang ditakuti, maka terpaksa dia pun melapor ke dalam, kepada kepala pengawal di sebelah dalam. Setelah permohonan ini diteruskan, Kapokai Khai mengerutkan alisnya dan mengomel. "A kun ada ulah apa lagi Sangkibu yang aneh itu, malam- malam begini mohon menghadap?" Akan tetapi karena kepala uku itu sudah mengenal akan kemampu-in sang dukun, diapun menyuruh pengawalnya untuk menjemput dan membawa Sangkibu dan temannya menghadapnya di ruangan dalam.
Setelah menghadap Kapokai Khan, Sangkibu menjatuhkan dirinya berlutut memberi hormat, diturut oleh temannya, seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun ang bertubuh pendek namun gerak-ge-nknya gesit.
"Bangkitlah kalian dan ceritakan. Sangkibu, apa yang membawa kalian datang menghadap malam-malam begini?" kata Kapokai Khan sambil menggerakkan tangannya. Sangkibu bangkit berdiri, diturut pula oleh temannya dan dengan suaranya yang agak gemetar itu dia segera berkala,"Para dewa masih melindungi kita, Khan Yang Mulia. Malapetaka tergantung di atas kepala kita tanpa kita ketahui. Khan Yang Mulia, saat ini keselamatan Puteri Chai Li dan puteranya terancan bahaya maut!"
Tentu saja Kapokai Khan terkejut bukan main mendengar ini. Justeru saa itu dia mengusahakan agar hawa kesialai meninggalkan ibu dan anak itu, dengan menggunakan bantuan Suma Kiang. Dia melompat bangun dari atas kursinya, memandang kepada Sangkibu dengan mata terbelalak, mengepalkan tinju dan membentak.
"Apa yang kaukatakan ini? Apa maksudmu?"
"Yang Mulia, sekarang ini ada usaha dari Kerajaan Beng untuk membunuh putera keturunan Kaisar Cheng Tung yang terlahir dari ibu Mongol agar kelak tidak sampai menggantikan kedudukan kaisar. Golongan pangeran Kerajaan Beng mengutus seseorang untuk melakukan pembunuhan itu. Oleh karena itu, menurut perhitungan saya, suruhan yang diutus membunuh itu tentulah si keparat Suma Kiang itu, maka sekarang Puteri Chai Li dan puteranya berada dalam keadaan berbahaya sekali!"
Kapokai Khan menjadi semakin terkejut. "Sangkibu, dari mana engkau memperoleh berita seperti itu?"
"Yang Mulia, ini orangnya yang membawa berita. Dia adalah seorang di antara mata-mata yang kita sebar ke Kerajaan Beng untuk menyelidiki dan mengetahui keadaan. Dia baru saja tiba dan menyampaikan berita itu kepadaku karena dia adalah adik misanku dan bernama Bhika."
"Hei, Bhika! Benarkah apa yang dikatakan Sangkibu itu?" Kapokai Khan membentak.
Laki-laki pendek itu segera memberi hormat. "Tidak salah, Yang Mulia Khan! Pangeran yang mengutus agar Puteri Chai Li dan puteranya dibunuh adalah Pangeran Cheng Boan, dan yang diutus adalah Suma Kiang itu, seorang datuk di Lembah Huang-ho. Kalau paduka tidak cepat turun tangan, hamba khawatir akan keselamatan Puteri Chai Li dan puteranya!"
Mendengar ini, Kapokai Khan mengutus kepala pasukan pengawal untuk memanggil panglima-panglimanya dan dalam waktu singkat, dua puluh orang lebih ikut dua losin penjaga itu mengepung rumah yang didiami oleh Puteri Chai Li dan puteranya, di mana juga terdapat Suma Kiang. Penyerbuan ini dipimpin sendiri oleh Kapokai Khan. Akan tetapi walaupun berita itu sudah jelas, mereka masih ragu dan mengepung rumah itu dengan diam-diam dan mereka hendak memeriksa keadaan terlebih dulu sebelum turun tangan.
Sementara itu, di dalam pondok, Suma Kiang duduk bersila dalam samadhi, di atas sebuah pembaringan dalam kamarnya. Pondok itu mempunyai dua buah kamar, sebuah untuknya dan sebuah lagi ditinggali Puteri Chai Li dan Cheng Lin.
Suma Kiang yang duduk diam itu ternyum mengejek. Alangkah mudahnya tugas itu baginya. Tinggal menanti sampai sang puteri dan puteranya itu pulas, kemudian dua kali menggerakkan pedangnya dia sudah akan dapat menunaikan tugas dengan baik. Setelah itu, dia dapat meloloskan diri di malam gelap
Akan tetapi, jalan pikirannya tidak selancar itu. Ada beberapa hal mengganjal hatinya. Setelah tadi bertemu dan mengamati sang puteri, terjadi sesuatu dalam hatinya. Suma Kiang bukanlah seorang laki-laki mata keranjang. Bahkan nafsunya terhadap wanita telah mati bersama matinya isterinya yang menyeleweng dengan sahabatnya. Dia menganggap wanita rnahluk yang berbahaya dan palsu, hanya mendatangkan kesengsaraan batin belaka.
Akan tetapi ketika siang tadi dia dipertemukan dengan Puteri Chai Li, ketika sang puteri dengan matanya yang seperti bintang itu memandangnya, dengan mulutnya yang berbibir indah merah itti menatapnya, jantungnya berdegup keras ekali. Dia seperti melihat isterinya berdiri di hadapannya! Wajah sang puteri itu demikian mirip isterinya sehingga seolah-olah isterinya hidup kembali dan mengenakan pakaian puteri Mongol. Ketika dia membunuh isterinya, usia isterinya juga sebaya dengan Puteri Chai Li!
Perjumpaan dengan wanita yang persis isterinya itu membangkitkan gairah kerinduan dan gairah birahi yang berkobar di dalam dirinya. Seperti juga segala macam nafsu, nafsu berahi tidaklah mungkin padam begitu saja dalam diri manusia. Kalau toh dikendalikan dan diusahakan supaya tidak berkobar, nafsu itu hanya membara, tidak bernyala namun tetap membara menanti datangnya angin untuk mengipasinya dan membuatnya berkobar lagi! Nafsu telah ada dalam diri manusia sejak manusia dapat mengenal baik buruk dan menjadi peserta dalam kehidupan manusia. Berbahagialah manusia apabila nafsu pesertanya yang patuh dan baik, membantu manusia untuk dapat berbahagia hidupnya sebagai manusia. Namun, celakalah manusia kalau nafsunya dibiarkan berkobar membakar dirinya, kalau nafsu dibiarkan berubah dari pelayan menjadi majikan, kalau nafsu dibiarkan menyeret dirinya menurut segala yang dikehendaki nafsu! Dar kalau nafsu sudah memegang kendali, kita menjadi hambanya dan semua perbuatan kita ditujukan untuk memuaskar nafsu dan mulai hidup menjadi lembah kesengsaraan dan kedukaan!
Sudah belasan tahun Suma Kiang dapat menekan nafsu berahinya, semenjak dia membunuh isterinya yang menyeleweng dengan sahabatnya. Dia mengira bahwa nafsu berahinya telah mati. Akan tetapi sama sekali dia tidak menyadari bahwa nafsu itu hanya pura-pura mati saja, dan setiap saat mengintai dan mencari kesempatan. Begitu kesempatan terbuka, dia akan meronta dan mengamuk sehingga dirinya tidak berdaya lagi. Begitu dia melihat Puteri Chai Li yang merupakan seorang wanita cantik mirip isterinya, nafsu berahinya bangkit dan tidak dapat dikuasainya lagi. Hanya satu saja keinginannya. Dia harus mendapatkan wanita itu!
Ini merupakan hambatan pertama terhadap tugasnya membunuh Puteri Chai Li dan puteranya. Hambatan kedua adalah keraguannya. Kalau dia membunuh putera yang masih kecil itu, mana buktinya yang dapat dia ajukan kepada Pangeran Cheng Boan? Akan lebih baik lagi kalau dia menghadapkan pangeran cilik berdarah Mongol itu ke hadapan Pangeran Cheng Boan sendiri, agar Pangeran Cheng Boan melihat buktinya da dapat melaksanakan sendiri n itu!
Dengan demikian, dia akan mendapa pahala lebih besar dan mungkin dia dapat menuntut kedudukan tinggi dan terhormat dari Pangeran Cheng Boan. Dan alangkah akan senang hidupnya kalau dia dapat menduduki jabatan tinggi dan mulia, hidup di samping Puteri Chai Li yang menjadi isterinya!
Suma Kiang tersenyum-senyum dalan lamunannya, kemudian dia mendengai pernapasan lembut sang puteri dari kamar sebelah. Dia tersenyum dan pikirannya berputar, mencari cara bagaimana dia dapat membawa Chai Li dan anaknya keluar dari situ dengan aman. Kalau membunuh mereka lalu keluar, hal itu teramat mudahnya. Akan tetapi sekarang terjadi perubahan dalam rencananya. Diq hendak membawa kabur mereka! Dan hal ini diakuinya bukan merupakan pekerjaan mudah. Membawa lari anak itu jauh lebih mudah, tinggal menggendong dan mengikatnya dengan dirinya. Akan tetapi membawa lari Puteri Chai Li lebih sukar.
Kembali dia mendengar suara pernapasan lembut dari kamar sebelah. Dengan pendengarannya yang tajam terlatih, tahulah dia bahwa sang puteri yang membuatnya tergila-gila itu telah tidur nyenyak. Dia turun dari pembaringannya.
Langkahnya seperti seekor harimau, ama sekali tidak mengeluarkan bunyi ketika dia mendekati kamar sebelah. Tongkat ular hitam berada di tangan kirinya dan dengan tongkat itu dia menguak tirai yang menutupi kamar itu. Dari balik kelambu tipis dia melihat sosok tubuh sang puteri yang ramping itu tidur miring, menghadapi dan memeluk puteranya yang juga tidur nyenyak. Begitu tirai dikuak, dia mencium bau harum dari kamar itu. Dia memejamkan mata dan pikirannya melamun jauh, meng ingat ketika dia masih hidup berbahagia bersama isterinya. betapa senang dan bahagianya waktu itu.
Tiba-tiba dia membuka mata, menurunkarr tirai yang dikuakkan dengan tongkatnya, memutar tubuh dengan cepat memandang ke sekelilingnya. Telinganya menangkap suara yang tidak wajar, yang datangnya dari luar rumah. Ada suara tapak-tapak kaki manusia, tidak wajar tersendat-sendat seolah-olah langkah yang tertahan-tahan dan dilakukan dengan hati-hati.