Jilid 4
Akan tetapi ketika A Thai mengeluarkan kain sutera tertulis itu, Bi Hwa sendiri merampasnya. la membuka gulungan sutera dan membaca dengan nyaring,
“Siang dan malam kuselalu ingat kepadamu kekasih
betapa kejam hatimu membiarkan aku rindu merana
aku hampir mati karena duka di atas bantal dingin bulanpun merasa kasihan menjenguk ke dalam jendela
betapa keras hatimu melebihi baja
tidak kasihankan engkau kepadaku kekasih? isterimu yang mencintaimu dilanda gelisah menanti sentuhan penuh gairah.” Bi Hwa melemparkan sutera itu dan lari memasuki kamarnya, melempar diri diatas pembaringan dan menangis. Shi Men menjadi marah, merobek-robek kain sutera bersurat itu, menendang A Thai dua kali dan mengusirnya pulang. Kemudian Shi Men naik ke loteng memasuki kamar Bi Hwa, melihat wanita itu menelungkup dan menangis, dia lalu memondongnya dan mendekapnya.
“Bi Hwa, kekasihku, manisku, jangan berduka. Surat itu tidak ada artinya sama sekali. Isteriku ke lima yang mengirimnya dan ia minta aku pulang untuk membicarakan urusan rumah tangga, Hanya itu.” Sambil mengusap air. matanya, Bi Hwa berkata,
“Shi-Kongcu, engkau telah melakukan kesalahan. Di rumahmu, keluargamu siap untuk melayanimu, engkau telah mempunyai isteri-isteri cantik dan banyak pelayan manis. Kenapa engkau masih keluar untuk mencari perawan lain? Kongcu sudab terlalu lama di sini, sebaiknya Kongcu pulang,” Shi Men merasa terharu dan mendekap kekasihnya, itu, dan diapun tidak mau pulang. Hatinya penuh dengan kasih sayang dan iba kepada, kekasih barunya. Ini, kalau orang sudah tergila-gila maka yang nampak pada orang yang dicintanya adalah kebaikan-kebaikannya saja, sebaliknya orang yang membenci hanya melihat keburukan keburukan dari orang yang dibencinya, Hanya orang yang waspada saja, melihat kebaikan dan keburukan seseorang sebagai suatu hal yang wajar. Sementara itu A Thai pulang sambil menangis. Ketika A Thai memasuki ruangan utama, Goat Toanio ditemani oleh Kim Lian dan Yu Lok.
“Apakah majikanmu pulang?” mereka bertanya penuh harapan.
“Aih, yang saya dapatkan hanyalah caci-maki dan tendangan!” A Thai meringis. “Dia marah-marah ketika saya datang.”
“Hemm, sungguh tidak baik sekali baginya. Dia tidak mau pulang, sudahlah Akan tetapi kenapa dia harus memukuli anak yang tak bersalah ini?” kata Goat Toanio mengerutkan alisnya.
“Dia boleh menendangi A Thai sepuasnya, akan tetapi kenapa dia marah kepada kita?” Yu Lok bertanya penasaran. Ia sepatutnya menyadari bahwa seorang pelacur murahan seperti itu tak mungkin sungguh- sungguh mencintainya,” kata Kim Lian dengan suara pahit. “Pelacur macam itu hanya memandang uangnya saja. Sekapal emas takkan dapat memenuhi ketamakan rumah pelesir tempat pelacuran!”
Kim Lian tidak mengira bahwa kata-katanya itu didengar oleh Sun Siu Oh, Bibi dari Bi Hwa. Tentu saja Siu Oh tidak senang mendengar ucapan Kimı Lian itu dan semenjak saat itu Kim Lian telah mendapatkan seorang musuh baru. Lidah memang tidak bertulang. Lidah memang merupakan tempat segala rasa enak. Akan tetapi lidah juga merupakan alat yang dapat mendatangkan musuh di samping dapat mendatangkan sahabat. Tidak ada pedang yang lebih tajam meruncing melebihi lidah, akan tetapi tidak ada pula obat penghibur hati melebihi lidah manjurnya. Orang bijaksana selalu akan menjaga kata-kata yang keluar dari situ seperti menjaga keluarnya harimau dari sarangnya. Hanya batin yang jernih dan hening saja membuat mulut mengeluarkan kata-kata yang penuh cinta kasih, seperti pohon yang sehat mengeluarkan bunga dan buah yang indah dan lezat.
Dengan hati kecewa dan sedih, wajahnya murung, Kim Lian kembali ke pondoknya sendiri di ujung taman. Batinnya keruh, merasa tertekan oleh duka dan kerinduan. Waktu dirasakannya lambat sekali. Sejam seperti sebulan rasanya. Akhirnya, batin yang keruh itu menimbulkan gagasan yang hanya didorong oleh nafsu, nafsu berahi yang tak tersalurkan dan nafsu dendam. la mengambil keputusan. Malam itu Shi Men pasti tidak pulang, hal ini diketahuinya benar. Setelah hari menjadi gelap, ia menyuruh dua orang pelayannya tidur. Setelah ia merasa yakin bahwa mereka sudah tidur nyenyak dengan mengintai dari jendela kamar mereka, Kim Lian lalu memasuki taman seperti malam-malam sunyi yang lalu. Akan tetapi sekali ini ia memasuki taman bukan untuk termenung dan menghibur hati. la masuk ke taman dengan maksud tertentu.
Ketika Yu Lok masuk ke dalam keluarga itu sebagai isteri ke tiga, ia membawa seorang kacung bernama Kin Tung yang usianya sekitar enam belas tahun. Shi Men menerimanya dan mengangkatnya sebagai tukang kebun dan memperkenankan dia tinggal di pondok kecil dekat pintu gerbang taman. Biasanya Kim Lian dan Yu Lok kalau sedang menghibur diri di taman, mereka menanggil Kin Tung yang selalu siap melakukan segala perintah mereka dengan patuh dan taat. Nah, pada malam ini, ketika kerinduan dan berahi mencapai puncaknya di dalam batin Kim Lian, wanita ini melangkahkan kakinya menuju ke pondok kecil di mana Kin Tung tinggal. la memanggil dengan suara lirih ketika Kin Tung keluar dari dalam pondoknya dengan perasaan heran, Kim Lian menarıh jari telumjuk di depan mulut, memberi isyarat agar Kim Tung tidak mengeluarkan Suara, kemudian mengajaknya masuk ke dalam kamarnya.
Dengan hati-hati Kin Lian mengunci pintu pondok, kemudian mengeluarkan arak dan dengan bujuk rayunya, akhirnya Kin Tung tak berdaya dan lupa, dan menuruti semua keinginan hati nyonya majikannya. Nafsu sex merupakan satu di antara nafsu-nafsu yang dapat menguasai diri manusia lahir batin. Seperti nafsu lain, sex bukanlah suatu hal yang buruk, jahat atau kotor. Sama sekali tidak! Nafsu sex adalah pembawanya alamiah yang suci dan indah, pendorong perkembangbiakan manusia dan merupakan anugerah yang amat besar bagi manusia, mendatangkan rasa nikmat yang tiada duanya dalam hidup, mendatangkan rasa mesra dan kasih sayang. Namun, seperti juga dengan nafsu-nafsu lain, nafsu ini hanya sekedar alat, dan kitalah majikannya. Celakalah orang yang telah kehilangan kewaspadaannya dan diperhamba oleh nafsu, baik itu nafsu sex ataupun nafsu yang lainnya.
Pikiran membayangkan segala kenikmatan dan keindahan itu, pikiran mengunyah-nguyah kembali dan timbullah keinginan untuk menikmatinya kembali, timbullah pengejaran dan kalau Sudah begini, muncul bahaya. Pengejaran inilah yang berbahaya karena pengejaran ini dapat membutakan hati nurani, meniadakan kewaspadaan dan kesadaran. Pengejaran membuat kita buta akan pertimbangan baik buruk, benar salah. Karena diperhamba oleh, nafsu Sex, terjadilah perjinaan, perkosaan dan pelacuran. Dan malam itu, Kim Lian telah menjadi hamba nafsunya sendiri! Kerinduannya akan kemesraan bersama Suaminya ditumpahkannya kepada Kim Tung, pemuda remaja itu. Semenjak malam itu, Setiap malam Kim Lian mengundang Kim Tung ke dalam kamarnya di mana untuk Semalam Suntuk Kim Lian ber senang-senang sepuas hatinya memenuhi semua gejolak berahinya pada pemuda remaja itu.
Pagi-pagi sekali pada keesokan harinya, baru Kim Lian membolehkan Kim Tung meninggalkan kamarnya. Sebagai tanda terima kasih atas pelayanan istimewa ini, Kim Lian memberi hadiah penjepit rambut perak tiga buah dan sebuah kantung sutera harum. la tentu saja percaya kepada Kin Tung yang akan menyimpan rahasia perjinaan antara mereka. Kim Lian sama sekali tidak pernah menduga bahwa pemuda remaja itu sering kali pergi minum arak dan bermain dadu dengan teman-temannya dan di antara teman-temannya itulah dia suka membual dan menyombongkan nasibnya yang baik. Maka tersiarlah desas-desus tentang hubungan gelap itu dan pada suatu hari, berita itu sampai ke telinga Li Kiao, isteri Shi Men ke dua, dan Siu Oh, isteri ke empat. Dua orang madu ini memang merasa iri dan tidak suka kepada Kim Lian, maka mendengar berita itu mereka segera pergi menghadap Goat Toanio.
“Ternyata perempuan itu tak tahu malu,” kata Li Kiao. “Mengotorkan dan menodai nama dan kehormatan keluarga kita.” “Ia tidak setia, tetap saja perempuan yang suka menyeleweng seperti dulu,” kata Sun Siu Oh. Akan tetapi Goat Toanio tidak percaya.
“Ah, soalnya kalian memang tidak suka kepada Kim Lian. Jangan bicara yang bukan-bukan.” Dengan kata-kata itu Goat Toanio menghabiskan perkara itu. Akan tetapi kini Kim Lian sudah ketagihan, makin diberi semakin haus. Pada suatu malam Kim Lian mengunci pintu dapur. Siauw Giok, pelayan Goat Toanio kebetulan memasuki dapur itu untuk suatu keperluan dengan pelayan Kim Lian. Ketika ia membuka pintu, ia melihat Kim Lian berada dalam pelukan pemuda remaja tukang kebun itu. la menceritakan hal ini kepada pelayan Siu Oh yang tentu saja menyampaikannya kepada Siu Oh. Isteri ke empat ini segera memberitahu kepada Li Kiao, isteri ke dua dan sekali lagi dua orang isteri ini melapor kepada Goat Toanio.
“Sekali ini ada saksi pelayan Siauw Giok, dan kalau engkau tidak mau memberitahukan Kongcu, kami yang akan memberitahu. Hidup dengan perempuan itu sungguh lebih berbahaya daripada hidup dengan seekor kalajengking.”
Goat Toanio masih bersikap sabar dan minta kepada mereka agar jangan merusak hari ulang tahun Shi Men dengan desas-desus itu. Akan tetapi, ketika dua hari sebelum hari ulang tahunnya Shi Men pulang, dua orang isteri itu segera menceritakan kepadanya tentang ketidaksetiaan Kim Lian yang berlaku serong. Bukan main marahnya hati Shi Men mendengar laporan ini. Semua urusan penting yang timbul selama dia pergi, kini dilupakan dan dia memaki-maki Kin Tung. Mendengar ini, Kim Lian cepat memanggil Kin Tung, memperingatkan agar pemuda remaja itu tidak mengaku sesuatu dan ia menggambil kembali barang-barang yang pernah dihadiahkannya kepada Kin Tung. Akan tetapi dalam kegugupannya, ia lupa mengambil kembali kantung harum itu. Kin Tung segera diseret dan dengan tubuh gemetar pemuda remaja itu kini berlutut di depan kaki Shi Men.
“Anjing hina, apakah engkau mengakui dosamu?” Kin Tung tidak berani menjawab dan hanya diam saja.
“Cari penjepit rambutnya dan perlihatkan kepadaku!” Shi Men berteriak kepada empat orang pelayannya yang memegangi kacung itu dan kini dengan kasar mereka memeriksa, menjambaki rambut kacung itu dan mencari penjepit rambut. Namun mereka tidak dapat menemukan sesuatu pada diri orang muda itu.
“Di mana kau sembunyikan penjepit rambut dan semua barang itu?” Shi Men berteriak. “Saya tidak memilikinya.”
“Hemm, engkau perlu dipaksa. Buka semua pakaiannya!” Dengan kasar para pelayan menelanjanginya dan nampaklah kantung harum itu, tergantung di pinggangnya.
“Hemm, dan dari mana engkau mendapatkan benda ini, keparat?” Shi Men membentak sambil merenggut lepas kantung itu, yang dikenalnya sebagai kantung yang biasa dipakai Kim Lian. Dengan tubuh menggigil Kin Tung menjawab,
“Saya menemukannya ketika saya menyapu taman...” Dengan kemarahan meluap Shi Men memerintahkan. para pelayannya untuk mencambuki Kin Tung. Remaja itu dicambuki tiga puluh kali dengan tongkat bambu sampai kulitnya pecah-pecah dan tubuhnya berlepotan darah. Kemudian atas perintah Shi Men, dua genggam rambut dicabut dari kedua pelipisnya dan sesudah itu, Kin Tung yang sudah setengah mati itu diusir dari rumah. Kim Lian menggigil ketakutan ketika la mendengar jeritan dan rintihan yang keluar dari mulut Kin Tung ketika dia disiksa tadi.
Kemudian, tiba-tiba muncul Shi Men yang kelihatan marah sekali. Kim Lan menggigil dan merasa seolah- olah seluruh darahnya membeku di dalam tubuhnya. hampir la tak mampu bernapas. Betapapan juga, kecerdikannya membuat ia mampu, bangkit menyambut dan dengan sikap tenang ia membantu suaminya menanggalkan baju luarnya seperti biasa. Akan tetapi tiba-tiba mukanya ditampar. Kemudian Shi Men memanggil Cun Bwe dan memerintahkan pelayan ini menutup pintu pagar dan melarang siapa saja memasuki pondok itu. Dengan cambuk kuda di tangan, Shi Men duduk di atas bangku di taman. Dia memerintahkan Kim Lian untuk menanggalkan pakaian dan berlutut di depannya. Kim Lian mentaatinya tanpa mengeluarkan suara, berlutut dengan kepala ditundukkan sekarang,
“Perempuan tak setia, mengakulah sejujurnyal” Dia membentak.
“Jahanam cilik itu telah mengakui segalanya. Jangan menyangkal. Sudah berapa kali engkau melacurkan diri padanya di sini tanpa setahuku?”
“Ya Tuhan, ampunkan seorang wanita tak berdosa ini.” Kim Lian mengeluh dan menangis.
“Sesungguhnya aku tidak pernah melakukan kesalahan apapun selagi engkau tidak di rumah. Setiap siang aku menyulam bersama Yu Lok, dan setiap malam aku mengunci pintu dan tidur sore-sore. Belum pernah aku mempergunakan pintu samping. Kalau tidak percaya, tanya saja Cun Bwe.”
“Akan tetapi aku mendengar engkau memberinya tali rambut, tiga penjepit rambut. Kebohonganmu tidak berguna” Shi Men berteriak marah.
“Mereka itu menyebar fitnah kepadaku!” Kim Lian menyangkal. “Semua cerita itu hanya karangan saja dari perempuan busuk kampungan itu, yang membenciku karena engkau sayang kepadaku. Semoga ia terkutuk, mulutnya membusuk dan mati tersiksa. Tali rambut dan penjepit rambut itu berada di sini, ada padaku. Jangan percaya segala fitnah. Kalau bajingan cilik itu mengaku apa-apa, berarti dia telah berbohong!”
“Hemm, apakah engkau mengenal barang ini?” Shi Men mengeluarkan kantung harum yang didapatkannya pada diri Kin Tung tadi dan memperlihatkannya kepada Kim Lian. “Bagaimana barang ini bisa berada di tubuhnya? Apakah engkau masih hendak menyangkal, perempuan tak tahu malu?” Kemarahan Shi Men berkobar lagi dan cambuk kuda itu mengeluarkan suara ledakan ketika menyambar kulit tubuh yang putih mulus itu.
“Aduhh ampunkan aku, Kongcu, aku akan bicara terus terang” Kim Lian menggeliat kesakitan.
“Aku... aku telah kehlangan kantung ini di taman. Ikat pinggangku melonggar ketika aku berjalan-jalan di taman bersama Mong Yu Lok. Tentu kantung itu terlepas dan jatuh ke tanah, akan tetapi aku tidak mengetahuinya sampai kemudian aku kehilangan barang itu dan tidak dapat kutemukan. Siapa yang menyangka bahwa bajingan cilik itu telah mengambilnya? Aku berani bersumpah bahwa aku tidak pernah memberikan benda itu kepadanya.”
Shi Men tertegun. Kata-kata selirnya itu cocok dengan pengakuan Kin Tung yang katanya menemukan barang itu ditaman. Shi Men memandang Kim Lian yang masih berlutut dengan telanjang bulat. Tubuhnya demikian indah menggairahkan, cantik menarik walaupun dalam kesakitan, menggairahkan walaupun sedang menangis dan melihat ini, mencairlah hati Shi Men yang sudah membeku dan mengeras oleh cemburu dan marah tadi. Dia berteriak memanggil pelayan Cun Bwe yang cepat datang ke situ. Shi Men menarik tangan Cun Bwe dan sambil duduk di atas bangku, dia memangku pelayan yang telah menjadi kekasihnya itu.
“Sekarang tergantung kepadamu apakah yang harus kulakukan dengan majikanmu ini. Apakah cerita tentang hubungan gelapnya dengan tukang kebun cilik itu benar? Katakanlah terus terang.” Cun Bwe bukanlah seorang yang bodoh dan ia melihat keuntungan-keuntungannya kalau berpihak kepada Kim Lian.
“Semua itu bohong belaka, Kongcu. Setiap waktu saya berada bersama nyonya. Kami berdua tak pernah berpisah seperti pipi dan Bibir. Semua cerita itu adalah karangan belaka dan fitnah keji. Sebaiknya Kongcu tidak percaya desas-desus bohong seperti itu.” Ucapan pelayan ini meyakinkan hati Shi Men. Dia melempar cambuk kudanya dan menyuruh Kim Lian berpakaian kembali. Lalu dia memanggil Siauw Giok, pelayan ke dua dan memerintahkan pelayan ini untuk menghidangkan makanan dan arak. Setelah hidangan dikeluarkan lengkap, sambil berlutut Kim Lian menyuguhkan cawan pertama kepada Shi Men yang menerimanya.
“Aku ampunkan kau,” katanya. “Akan tetapi di masa depan, selagi aku tidak berada di rumah, pergunakanlah waktumu untuk membersihkan hatimu. Tutuplah gerbang dan pintu pada waktunya. Jangan memikirkan hal-hal yang tidak patut. Kalau sampai ada hal-hal buruk lagi terdengar olehku, aku tidak akan mengampunimu lagi.”
“Perintah Kongcu akan kutaati selalu,” kata Kim Lian sambil bersoja empat kali. Maka peristiwa itupun berakhir dengan baik bagi Kim Lian yang hampir saja tertimpa malapetaka akibat ulahnya sendiri. Akan tetapi bagaimanapun juga, peristiwa itu melukai hati Kim Lian dan ia terus mengurung diri di dalam pondoknya sendiri., Pada hari ulang tahun Shi Men, dua hari kemudian, ketika banyak tamu berkunjung ke rumah itu, Kim Lian tidak muncul. Ketika Bi Hwa, kekasih baru Shi Men, bersama Li Kiao isteri ke dua Shi Men yang menjadi Bibi Bi Hwa, datang mengunjungi Kim Lian, wanita ini memerintahkan Cun Bwe untuk menutup semua pintu pondoknya.
Dua orang pengunjung ini terpaksa pergi tanpa dapat berjumpa dengan Kim Lian dan mereka merasa malu sekali. Ketika pada malam hari itu Shi Men datang mengunjungi Kim Lian, dia melihat isterinya ke lima ini dalam keadaan menyedihkan, Rambutnya yang lebat itu tidak tersisir, wajahnya yang cantik jelita nampak pucat dan murung. Kim Lian melakukan tugasnya seperti biasa dengan baik. Dia membantu Shi Men menanggalkan ikat pinggangnya, berganti pakaian dan mencuci kaki suaminya dengan air hangat. la melayani suaminya dengan penuh kemesraan dan kepasrahan diri dan baru setelah melihat Shi Men rebah kepuasan dan kelelahan di sampingnya, ia menuangkan perasaan hatinya yang amat menekan batin itu.
“Koko (Kanda), siapakah di antara isteri-isterimu yang demikian sungguh dan jujur mencintamu seperti cintaku kepadamu? Cinta wanita-wanita lain itu semua hanyalah seperti kabut pagi yang akan lenyap begitu matahari terbit. Mereka siap duduk di kursi pengantin yang baru begitu engkau meninggal. Akulah satu-satunya yang mengerti dan mengenalmu sedalam-dalamnya, Koko. Kalau saja engkau mau berusaha untuk mengerti aku! Apakah engkau tidak melihat bahwa semua desas-desus itu sengaja disebarkan atas dasar kebencian dan iri hati melihat betapa kita saling mencinta? Aku tidak akan merasa heran kalau kini mereka merencanakan siasat lain untuk menusukku dari belakang. Dan sekarang engkau menghinaku dan membikin malu orang yang sungguh-sungguh mencintamu lahir batin.” Kim Lian mengusap air matanya dan dengan girang ia melihat keharuan membayang di wajah suaminya.
“Apakah engkau tidak menyadari, Koko, bahwa dengan menyiksaku berarti engkau menyiksa isterimu yang paling baik dan paling mencintamu? Ketika baru-baru ini, di rumah pelesir, engkau menendang Siauw Thai, sedikitpun aku tidak mengeluarkan kata-kata mencela. Goat Toanio dan isterimu ke tiga menjadi saksi. Satu-satunya kegelisahanku adalah kalau-kalau engkau akan merusak diri sendiri dengan menggauli perempuan-perempuan berbedak tebal itu. Ingatlah baik-baik, Koko. Perempuan macam itu hanya mencinta uangmu, bukan dirimu. Jangan terpengaruh perempuan seperti itu. Percayalah kepadaku, satu-satunya isterimu yang setia dan mencinta.”
Demikianlah, dengan kata-kata halus, Kim Lian merayu dengan ucapan manis dan belaian-belaian lembut, dengan kehangatan tubuhnya. Akan tetapi agaknya bujuk rayu dan peringatan Kim Lian itu tak berbekas lagi ketika beberapa hari kemudian Shi Men sudah pergi ke rumah pelesir yang dimiliki Bibi Li. Ketika itu, Bi Hwa sedang melayani tamu-tamu di meja makan. Melihat kedatangan Shi Men, cepat Bi Hwa lari meninggalkan ruangan dan masuk ke kamarnya sendiri, menghapus bedak dan gincu dari mukanya, melepaskan perhiasan yang menempel di tubuhnya, berganti pakaian sederhana lalu ia melempar diri di atas pembaringan, membenamkan mukanya di bantal. Tak lama kemudian Bibi Li muncul menyambut Shi Men.
“Aih, sudah lama kami tidak mendapat kehormatan kunjunganmu, adik iparku yang terhormat.” “Ya, kesibukan pesta hari ulang tahunku menghalangiku pergi meninggalkan rumah.”
“Saya harap saja kunjungan kami tempo hari tidak mendatangkan perasaan tidak enak kepadamu.” “Sama sekali tidak. Oya, di mana ia?” Tentu saja yang dimaksudkan adalah Bi Hwa.
“Aihh, ia telah berubah banyak sejak kembali dari rumahmu. Agaknya la menyusahkan sesuatu. Setiap hari ia tidur saja dan sama sekali tidak mau bangun. Tak pernah ia meninggalkan kamarnya.”
“Aneh sekali. Kalau begitu biar aku naik dan menemuinya.” Ketika memasuki kamar kekasihnya, Shi Men melihat gadis itu rebah di atas pembaringan, rambutnya awut-awutan, mukanya ditekan pada bantal dan ia tidak bergerak ketika Shi Men masuk.
“Engkau mengapakah, manis? Kenapa engkau berduka sejak pulang mengunjungi aku di rumahku beberapa hari yang lalu? Apakah ada seseorang atau sesuatu yang mengganggumu?” Sampai lama Bi Hwa tidak menjawab. Setelah Shi Men beberapa kali mengulang pertanyaamya, barulah ia menjawab seperti air bah terlepas dari bendungannya.
“Mau apakah engkau mencari aku sedangkan di rumah engkau mempunyai isterimu yang ke lima itu? Biarpun aku dibesarkan di rumah pelesiran, aku memiliki pula kelebihanku dan aku hanya akan berjingkat sedikit saja untuk dapat menandingi seorang isteri sepertinya itu! Baru-baru Ini aku berkunjung ke rumahmu, bukan karena undangan melainkan karena ada hubungan keluarga dengan isterimu yang ke dua, untuk menghaturkan selamat bersama ibuku. Isterimu yang pertama menerimaku dengan manis budi, memberiku pakaian dan hadiah, minta kepadaku untuk datang berkunjung lagi. Kami dari rumah pelesir juga memiliki sopan santun. Kami sengaja berkunjung ke pondok isterimu yang ke lima untuk memberi hormat. Akan tetapi apa yang dilakukannya? la tidak mau keluar dan mengatakan kepada kami melalui pelayannya bahwa ia tidak ingin menemui siapapun. Begitukah cara bersopan santun? Begitukah orang berpendidikan?”
“Jangan masukkan dalam hatimu,” Shi Men menghibur. “Hari itu ia sedang tidak senang hatinya. Akan tetapi kalau ia berani lagi bersikap seperti itu kepadamu, ia akan kuhukum cambuk!” Bi Hwa cepat menutup mulut Shi Men dengan jari tangannya.
“Orang liar, masa engkau harus mencambukinya ?” “Ha-ha, kalau saja engkau tahu!” Shi Men tertawa.
“Bagaimana aku akan dapat mengendalikan isteri-isteriku kalau aku bersikap lunak? Dua puluh atau tiga puluh kali cambukan! Dan kalau itu tidak menolong, akan kupotong rambutnya!
“Hemm, engkau hanya membual saja. Kekerasanmu akan mencair menjadi kelembutan dan kemesraan kalau engkau sudah berdekatan dengannya. Aku tidak dapat menyaksikannya sendiri bualmu. Kalau aku dapat melihat segumpal rambut yang dipotong dari kepalanya baru aku mau percaya kekejamanmu yang kau bualkan itu.
“Hemm, tunggu saja, aku akan membuktikannya.” Pada keesokan harinya, ketika pagi-pagi sekali Shi Men hendak meninggalkan rumah pelesir itu, Bi Hwa mengingatkannya,
“Jangan datang ke sini lagi kalau engkau tak dapat membuktikan janjimu !” Ketika tiba di rumahnya, Shi Men masih terpengaruh oleh kata-kata Bi Hwa dan dia pun langsung saja pergi ke pondok Kim Lian. Kim Lian menyambutnya dengan senyum manis dan membantunya melepas sepatunya. Akan tetapi tiba-tiba Shi Men membentak,
“Berlutut dan lepaskan pakaianmu!” Kim Lian terkejut sampai keringat dingin membasahi tubuhnya. la berlutut akan tetapi tidak menanggalkan pakaiannya.
“Koko, setidaknya katakanlah dulu apa kesalahanku. Lebih baik aku mati saja daripada mengalami penyiksaan setiap hari. Mengapa aku tak pernah dapat menyenangkan hatimu walaupun aku telah mencobanya dengan seribu cara? Engkau seperti hendak membunuhku dengan sebuah pisau tumpul, menyiksaku perlahan-lahan.”
“Buka pakaianmu!” Shi Men membentak lagi dan dia memanggil Cun Bwe sambil berteriak, “Ambilkan cambukku!” Akan tetapi Cun Bwe tidak mentaatinya. Ketika Shi Men mengulang perintahnya, Cun Bwe mendekati dengan tubuh gemetar ketika ia melihat majikannya berlutut di atas lantai.
“Cun Bwe, tolonglah aku. Dia ingin memukulku lagi!” Kim Lian mengeluh dengan suara memelas.
“Jangan layani ia, Cun Bwe. Ambil saja cambuk itu agar aku dapat menghajarnya!” Cun Bwe tak dapat lagi menahan perasaan marah dan penasarannya. Kongcu, apakah Kongcu tidak malu kepada diri sendiri.? Kesalahan apakah yang telah dilakukannya kepadamu? Tanpa alasan, hanya karena mendengarkan desas-desus, Kongcu hendak menghukumnya. Sungguh penasaran dan kejam sekali!” Berkata demikian, Cun Bwe lalu lari keluar dari kamar nyonyanya. Shi Men tertawa dan menoleh kepada Kim Lian. “Ke sinilah, aku tidak akan memukulmu. Aku hanya menginginkan segumpal rambutmu. Maukah engkau memberikan segumpal rambutmu kepadaku?”
“Koko, seluruh tubuhku adalah milikmu, apa saja yang kau kehendaki, ambillah. Aku tidak tahu apa yang kau inginkan.”
“Aku menginginkan segumpal rambutmu yang indah itu.” “Kenapa? Untuk apa?”
“Untuk kubuat rajut rambut.”
“Benarkah? Baik, engkau boleh mendapatkan segumpal. Akan tetapi berjanjilah bahwa engkau takkan menggunakannya untuk maksud buruk.”
“Aku berjanji.” Kim Lian melepaskan rambutnya dan Shi Men menggunting segumpal rambut yang subur indah. Dia membungkusnya dengan hati-hati dan menyimpannya dalam saku bajunya. Kim Lian menyandarkan kepalanya di dada suaminya.
“Engkau tahu, Koko, aku siap melakukan apa saja yang kau minta,” katanya dengan kedua mata basah.
“Hanya satu hal kuminta kepadamu, janganlah kau menyiksaku. Aku tidak akan ribut kalau engkau bersikap manis kepada lain wanita, akan tetapi janganlah engkau bersikap kejam kepadaku, Koko.” Pada keesokan harinya, Shi Men mengunjungi Bi Hwa dan menyerahkan dengan bangga segumpal rambut kepala Kim Lian yang hitam, subur dan harum itu.
Pada jaman itu, di bawah pemerintahan dinasti Song-Tiauw, kehidupan para bangsawan dan hartawan memang bergelimang dengan kesenangan duniawi yang berlebihan. Para pejabat menggendutkan perut masing-masing dengan korupsi dan penyogokan, dari seratus orang pejabat belum tentu ada dua yang tidak Ikut melakukan korupsi dan makan suapan. Terutama sekali kesenangan mengumpulkan wanita cantik, dapat dikatakan merupakan hobby bagi para bangsawan dan hartawan seperti Shi Men.
Pada waktu itu, harga diri seorang wanita amat murahnya, wanita-wanlta dari dusun masih diperjual- belikan seperti barang dagangan. Yang kaya hidup berlebihan, yang miskin sampai menjual anak gadisnya. Shi Men, di samping perdagangannya yang sudah maju dan besar, yang diurus oleh kuasa- kuasanya, hanya menenggelamkan diri ke dalam pengejaran kesenangan, terutama sekali kesenangan mengejar wanita-wanita cantik. Baginya seperti tak pernah mengenal kepuasan. Pada suatu hari tetangga dan sahabat baik, juga saudara angkatnya dalam kelompok sembilan, mengundangnya. Ketika pada siang hari itu, Shi Men datang berkunjung ke rumah Hua Ce Shu, tetangganya itu, dia langsung memasuki serambi depan dan hampir saja dia bertubrukan dengan nyonya rumah, yaitu Nyonya Hua. Karena hawa di situ agak panas, Nyonya Hua mengenakan pakaian yang tipis.
Bajunya terbuka di bagian leher sehingga nampak bagian atas bukit payudaranya membusung. Di bawah gaunnya yang panjang nampak dua buah kaki kecil dalam sandal sutera merah yang disulam burung Hong. Rambutnya diikat dengan pita perak, dan kedua telinganya terhias anting-anting dengan batu permata indah. Tubuhnya yang padat itu tingginya sedang, dan wajahnya bulat seperti semangka, kulit mukanya putih kemerahan dan segar sehat, nampak cantik berseri, dengan sepasang mata yang demikian bening dan penuh daya tantang dan daya tarik, membuat jantung Shi Men berdebar kencang. Nyonya Hua membalas penghormatan Shi Men dengan senyum cerah, lalu mengundurkan diri. Seorang pelayan wanita mempersilakan Shi Men memasuki ruang tamu dan mempersilakannya duduk. Tak lama kemudian Nyonya Hua muncul dari balik pintu.
“Harap. tuan menanti sebentar,” ia berkata dengan suara merdu, “Suami saya sedang keluar untuk suatu urusan akan tetapi dia segera kembali.” Pelayan wanita datang menyuguhkan teh. Kemudian terdengar pula suara Nyonya Hua dari balik pintu.
“Bolehkah saya minta bantuanmu, Kongcu? Jika suami saya mengajakmu minum arak hari ini, maukah Kongcu mencegah dia tinggal di sana terlalu lama? Karena saat ini saya berada sendirian saja bersama dua orang pelayan, wanita saya.”
“Baiklah, So-so (Kakak ipar)” jawab Shi Men dan pada saat itu pelayan melaporkan pulangnya Hua Ce Shu. Nyonya, Hua cepat menghilang dari pintu. Ketika dua orang sahabat itu bertemu, ternyata Hua Ce Shu mengundang sahabatnya untuk diajak mengunjungi rumah pelesir Bibi Wu. Hari itu adalah hari ulang tahun Gin Nio, kekasih Hua Ce Shu yang tinggal di rumah pelesir itu, “tanggal dua puluh empat bulan enam.” Shi Men menemani sahabatnya dan mengingat akan pesan nyonya rumah yang cantik tadi, Shi Men membujuk sahabatnya yang sudah mabuk itu untuk pulang. Setelah Hua Ce Shu yang terhuyung-huyung itu disambut dan dituntun ke dalam kamarnya, dan Shi Men sudah siap hendak pulang, Nyonya Hua muncul di ruangan tamu untuk mengucapkan terima kasihnya kepada Shi Men. Nyonya yang cantik manis itu bersoja kepada tamunya yang tampan. itu, dan dengan suara merdu berkata,
“Aih, tentu suamiku yang gila itu telah mabuk lagi. Sungguh Kongcu telah berbuat baik sekali mengajak dia pulang sore-sore.” Shi Men menjura dengan hormat.
“Tak perlu berterima kasih, So-so. Setiap perintah yang keluar dari Bibirnya terukir di dalam tulang- tulangku, tentu akan kulaksanakan. Pula, kami memang bertetangga. Sungguh tidak mudah membujuknya pulang. Ketika kami lewat di rumah pelesir Bibi Cong, dia melihat Siang Bi yang cantik berdiri diambang pintu. Kalau saja aku membiarkan dia masuk, tentu semalam suntuk dia tidak akan pulang. Sungguh heran dan penasaran sekali. Bagaimana seorang suami dapat menyia-nyiakan seorang isteri yang demikian cantik jelita seperti anda! Sungguh dia bodoh dan tak dapat dimaafkan!”
“Anda benar, Kongcu, Sungguh aku sendiri merasa pusing melihat ulah suamiku yang suka meninggalkan rumah itu. Bolehkah aku mengharapkan bantuanmu agar mengamat-amatinya, Kongcu? Aku akan berterima kasih sekali dari lubuk hatiku atas budimu ini.” Shi Men tersenyum. Dia bukan seorang laki- laki yang hijau. Dia adalah laki-laki yang sudah banyak bergaul dengan wanita, sudah mengenal benar watak wanita. Berhadapan dengan nyonya muda ini, melihat pandang matanya, senyumnya, mendengar kata-kata dan melihat sikapnya, dia tahu bahwa si cantik itu telah membuka pintu yang cukup lebar untuknya. Dengan senyum penuh arti diapun menjura.
“Tenang tenanglah, So-so. Aku akan menjaga dan mengamatinya baik-baik.” Nyonya Hua mengucapkan terima kasih dan mengundurkan diri. Shi Men pulang dengan hati puas karena dia mendapatkan kemungkinan baru menikmati pengalaman baru yang indah, memasuki taman sorga yang pintunya sudah dibuka oleh Nyonya Hua tadi.
Percakapan antara Nyonya Hua dan Shi Men itu mendatangkan kesan mendalam, bukan hanya pada diri Shi Men, melainkan terutama sekali dalam hati Nyonya Hlua. la adalah seorang wanita yang memiliki darah panas, dan ia tidak merasa cukup memperoleh kepuasan dari suaminya.. Hanya karena ia seorang wanita yang kaya dan berkedudukan tinggi, tentu saja ia tidak memperoleh jalan untuk memuaskan hasratnya, khawatir kalau-kalau hal itu akan menjatuhkan martabatnya. Kini, bertemu dengan Shi Men, hatinya tergerak dan tertarik. Shi Men seorang pria yang menarik, tampan dan gagah, kaya raya dan berkedudukan karena terpandang. Maka, melihat cara Shi Men bicara dengannya, nyonya ini sudah tahu bahwa tetangga itu “ada hati” kepadanya. Pada suatu malam, Ciu Hwa, pelayan Nyonya Hua, datang menemui Shi Men. Melihat pelayan ini, Shi Men cepat menghampiri.
“Apakah ada sesuatu yang di kehendaki nyonya majikanmu dari aku?”
“Ya, nyonya ingin bicara dengan Kongcu. Tuan sedang tidak berada di rumah,” bisik pelayan wanita itu.
“Harap Kongcu menunggu di bawah tembok pemisah antara kebun kita malam ini.” Shi Men mengangguk dan dengan hati girang sekali, juga penuh ketegangan, dia menanti di dalam kegelapan malam di dekat tembok yang membatasi kebunnya dengan kebun keluarga Hua.
Tiba-tiba terdengar gonggongan anjing dari balik pagar tembok. Lalu suara seekor kucing di atas tembok. Dia memandang ke atas dan melihat Ciu Hwa, si pelayan itu, memberi isyarat kepadanya dari atas tembok. Cepat Shi Men menaruh sebuah bangku dekat tembok dan memanjat ke atas. Di balik sana telah dipasang sebuah tangga sehingga dengan mudah Shi Men lalu menuruni tangga itu memasuki kebun keluarga Hua. Segera dia mengikuti Ciu Hwa dan masuk ke dalam sebuah kamar yang diterangi cahaya lembut sebatang lilin. Dan di dalam kamar itu nyonya Hua menyambutnya, dengan pakaian tipis tembus pandang, rambut terurai, dengan sikap manis mempersilakan dia duduk dan menyuguhkan arak selamat datang.
“Akan tetapi bagaimana kalau saudara Hua tiba-tiba pulang?” tanya Shi Men dengan hati-hati.
“Ah, aku telah memberi dia ijin untuk pergi sampai pagi. Dan dua orang kacung kami ikut bersama dia. Aku sendirian bersama dua orang pelayanku, dan Nenek Bi, pengasuhku yang menjaga pintu dan ia amat boleh dipercaya.” Lenyaplah rasa khawatir dari hati Shi Men dan diapun menyambut uluran tangan nyonya rumah yang cantik manis itu dengan penuh kegembiraan. Mereka duduk berdempetan, minum dari satu cawan.
Dua orang gadis pelayan melayani kedua orang itu makan minum. Setelah kenyang dan cukup panas oleh arak, keduanya bergandengan tangan menuju ke sebuah tempat tidur dan dua orang gadis pelayan itupun meninggalkan kamar, menutupkan daun pintu dari luar dengan sikap sopan. Kedua orang yang sedang dimabuk nafsu berahi itu sama sekali tidak menyangka bahwa Ciu Hwa adalah seorang gadis tujuh belas tahun yang nakal. la membuat lubang pada kertas jendela dengan tusuk kondenya dan melakukan pengintaian ke dalam kamar dengan jantung berdebar. Dengan tubuh gemetar gadis ini menyaksikan segala yang terjadi di dalam kamar itu, walaupun ia hanya melihat bayangan kedua orang itu di balik kelambu tertutup yang diterangi api lilin di atas meja. lapun dapat mendengarkan percakapan mereka kemudian, yang dilakukan dalam bisikan-bisikan mesra.
“Berapakah usiamu sekarang?”
“Dua puluh tiga. Dan berapa usia isterimu yang pertama?” “Dua puluh enam.” “Tiga tahun lebih tua dariku, kalau begitu. Aku akan senang sekali untuk berkunjung padanya dan menghadiahkan beberapa benda yang indah. Akan tetapi barangkali ia tidak sudi berkenalan dengan aku.”
“Jangan takut, ia memiliki watak yang halus dan baik”
“Bagaimana kalau andaikata ia mengetahui hubungan kita ini? Bagaimana akan menghadapinya?”
“Ah, semua isteriku berada di pondok-pondok yang agak jauh dari tembok pagar kebun, mereka takkan melihat sesuatu Hanya isteriku yang ke lima saja tinggal di pondok taman dekat dengan tembok pagar kebun ini. Akan tetapi ia tidak akan mencampuri urusanku.”
“Berapa usia isterimu yang ke lima?” “Sama dengan isteriku pertama.”
“Kalau sekiranya isterimu ke lima tidak menganggap aku terlalu rendah, aku ingin bersahabat dengannya. Besok pagi aku akan mengunjungi ia dan isterimu yang pertama, membawa. dua pasang sandal yang kubuat sendiri.” Nyonya Hua lalu menyerahkan dua penjepit rambutnya yang terbuat daripada emas kepada Shi Men.
“Akan tetapi jangan sampai suamiku melihatnya.” Mereka berenang dalam lautan asmara yang tak kenal puas itu sampai pagi dan pada saat ayam berkokok pertama kali, Shi Men pulang dengan mengambil jalan seperti ketika dia datang. Dia sudah membuat perjanjian dengan Nyonya Hua tentang pertemuan mereka di masa mendatang, dengan isyarat menggantungkan kain di atas pagar tembok yang menunjukkan bahwa suami nyonya itu tidak berada di rumah dan Shi Men boleh datang menggantikannya. Setelah melompati pagar tembok dengan bantuan tangga dan bangku, Shi Men memasuki pondok Kim Lian yang masih berada di tempat tidurnya. Melihat kunjungan suaminya di pagi buta itu, ia bertanya.
“Ke mana saja engkau semalam ini?”
“Pergi ke rumah pelesir Bibi Wu bersama saudara Hua, aku hanya memenuhi permintaannya untuk menemaninya.” Kim Lian percaya padanya walaupun ada sedikit keraguan di dalam hatinya. Beberapa hari kemudian, pada suatu sore, ketika Kim Lian bersama Yu Lok duduk menjahit di taman, mereka melihat sehelai kain bergantung dari balik pagar tembok! Sore itu hawanya agak panas maka kedua orang wanita muda ini menjahit di luar pondok dan kebetulan mereka melihat tanda rahasia di atas pagar tembok itu, Yu Lok terkejut dan Kim Lian melihat wajah seseorang menjenguk dari atas pagar tembok lalu lenyap lagi di balik tembok. la menyentuh madunya.
“Sam-Ci (Kakak ke tiga),” katanya lirih. “Bukankah di balik pagar tembok itu termasuk kebun milik tetangga kita Hua? Dan wajah orang yang menjenguk tadi jelas wajah Nenek Bi. Apakah ia hanya ingin melihat taman bunga kita?”
Karena hatinya sudah merasa curiga, malam itu Kim Lian diam-diam mengamati gerak gerik Shi Men. Hanya sebentar saja Shi Men mengunjunginya malam itu, bahkan menolak ketika disuguhi makanan dan minuman. Oleh karena itu, ketika Shi Men pergi meninggalkan pondoknya malam itu, Kim Lian membayanginya dari jauh. Maka iapun melihat betapa Shi Men menggunakan bangku dan tangga untuk melompati tembok pagar. Kim Lian kembali ke pondoknya, dan sampai lama ia berjalan-jalan hilir mudik di dalam kamarnya termenung dan semalam itu ia tidak dapat pulas. Ketika pada keesokan harinya pagi- pagi sekali Shi Men memasuki pondoknya dan duduk di pembaringan, Kim Lian menjewer telinganya.
“Hemm, suami mata keranjang. dan tidak setia. Mengaku sajalah di mana kau semalam pergi? Tak perlu menyangkal. Aku sudah mengetahui semua permainanmu. Kemarin sore, ketika aku menjahit di luar bersama Yu Lok, aku melihat tanda rahasia yang mereka berikan kepadamu. Nah, kiranya engkau bermain gila dengan nyonya sebelah, ya? Katakan sudah berapa kali engkau bermain gila dengannya? Kalau kau mengaku sejujurnya, aku akan diam saja. Akan tetapi kalau tidak, aku akan bikin ribut sampai semua orang tahu dan juga tuan muda Hua akan mendengarnya!” Sekali ini Shi Men tak berdaya dan tahulah dia bahwa dia telah tertangkap basah. Jalan satu-satunya hanyalah merangkul isterinya yang ke lima itu dan membujuknya.
“Kekasihku, aku minta padamu, jangan bikin ribut. Aku akan mengakui seluruhnya kepadamu!” Dan diapun menambahkan, “Juga, ia akan segera datang berkunjung kepadamu dan kepada isteriku pertama, dan akan menyerahkan hadiah sandal yang dibuatnya sendiri. la ingin sekali bersahabat baik denganmu.”
“Huh, siapa yang membutuhkan itu? Ia berpura-pura baik hanya agar aku membiarkan ia mencuri pinjam suamiku. Hayo katakan, berapa kali engkau sudah bermain gila dengannya?” Shi Men tertawa.
“Aih, kekasihku yang manis, jangan siksa aku dengan pertanyaan-pertanyaanmu seperti hakim. Besok ia akan datang memberi hormat padamu dan Goat Toanio, dan sementara ini ia mengirimkan hadiah yang amat indah ini kepadamu.'“ Shi Men membuka topinya dan mengambil dua jepitan rambut yang amat indah itu. Terbuat daripada emas, dengan ukiran dan permata indah menggambarkan kura-kura biru, lambang panjang usia. Dahulu, pembesar Thaikam tinggi, Paman suami nyonya itu, memakai penjepit rambut ini di istana.
“Bagaimana, manis, tidak senangkah engkau dengan hadiah ini?” tanya Shi Men. Kim Lian merasa girang sekali karena memang benda itu merupakan benda yang amat indah dan langka.
“Baiklah, aku tidak akan ribut. Bahkan sebaliknya, aku akan membantumu demi kelancaran hubunganmu itu. Bagaimana pendapatmu?”
“Aih, engkau memang isteriku yang manis sekali!” Shi Men menciumnya dengan girang bukan main. “Dengarlah, wanita di sebelah itu bukan mencintaku karena suatu perhitungan, melainkan ia jatuh cinta benar-benar kepadaku sejak pertemuan pertama. Dan untukmu, besok akan kubelikan pakaian baru yang amat indah.”
“Hemm, siapa bisa mempercayai lidahmu yang tak bertulang? Sebaiknya engkau menjanjikan tiga hal kepadaku sebagai hadiahku tutup mulut.”
“Aku akan menjanjikan apa saja yang kau kehendaki.”
“Nah, pertama-tama engkau harus menjauhkan diri dari rumah-rumah pelesiran. Ke dua, engkau harus menuruti semua permintaanku. Ke tiga, setiap kali engkau mengunjungi Nyonya Hua, engkau akan menceritakan segalanya kepadaku dan jangan merahasiakan sesuatu. Maukah engkau berjanji? “Aku berjanji, dengan senang hati” Mulai saat itu, setiap kali habis mengunjungi Nyonya Hua, pada keesokan harinya Shi Men menceritakan segalanya kepada Kim Lian. Bukan hanya apa yang dimakan dan diminumnya di rumah sebelah itu, akan tetapi juga dia bercerita tentang indahnya tubuh Nyonya Hua, betapa halus lembut dan hangat kulitnya dan betapa besar gairahnya.
Dia bercerita kepada Kim Lian akan segala hal yang terjadi sampai mendetail, menjawab apapun yang ditanyakan Kim Lian. Seringkali Shi Men membawa barang-barang yang indah dan langka dari tetangga sebelah. Pada suatu pagi, dia pulang membawa segulung kain lukisan yang amat indah. Dilukis oleh pelukis istana yang kenamaan dan benda itu dahulu dibawa oleh Thaikam tua Hua, dari harem istana. Lukisan itu menggambarkan dua puluh empat adegan sanggama yang amat erotis, namun dilukis demikian indahnya seolah-olah hidup. Kim Lian mengamati gambar-gambar itu dengan muka merah dan memandang gambar itu saja sudah membangkitkan berahinya, la lalu menggulung gambar itu, memberikan kepada Cun Bwe untuk disimpan, seolah-olah gambar itu miliknya sendiri.
“Aku harus mengembalikannya dalam dua hari,” kata Shi Men. “Gambar itu hanya kupinjam untuk kuperlihatkan padamu.”
“Takkan kuberikan,” kata Kim Lian, “Aku ngin mengamatinya setiap hari.” Beberapa kali Shi Men memintanya, namun dengan berani Kim Lian mempertahankan.
“Baiklah, kau lihat gambar itu sepuasmu. Masih banyak lagi barang yang lebih indah dimiliki wanita itu, dan sekali waktu akan kuperlihatkan pula kepadamu.”
“Nah, kalau begitu, kupinjam beberapa hari sebelum dikembalikan,” kata Kim Lian dengan girang dan puas, lalu merekapun seperti biasa, tenggelam ke dalam kemesraan yang panas membara oleh nafsu berahi. Rahasia perhubungan antara Shi Men dan Nyonya Hua itu dipergunakan oleh Kim Lian sebaik- baiknya untuk menguasai Shi Men. Dan agaknya Shi Men kini tunduk benar kepada isterinya yang ke lima ini. Apapun yang dikehendaki Kim Lian, diturutinya belaka, bahkan dia kelihatan semakin sayang kepada Kim Lian, Wanita ini memang cerdik sekali. la membiarkan suaminya bermain gila dengan wanita lain, untuk memperoleh pengaruh dan kasih sayang yang lebih besar. la melepaskan sesuatu untuk memperoleh lain yang lebih menguntungkan. Pada sore hari ini Shi Men datang menemui Goat Toanio dengan wajah tegang sekali.
“Coba bayangkan, mereka menangkap sahabat Hua!” katanya. “Kami berempat sedang minum-minum di rumah Bibi Cong, ketika tiba-tiba muncul beberapa orang petugas keamanan dari benteng dan menangkapnya tanpa sepatah pun kata keterangan. Tentu saja kami terkejut sekali. Aku lari bersembunyi di kamar Bi Hwa sampai setengah hari lamanya, Sementara itu aku berhasil mendapatkan beberapa penjelasan, Kiranya tiga orang saudara Hua telah mengadukan dia dalam persoalan warisan sehingga dia ditangkap untuk diperiksa. Barulah hatiku lega dan aku berani keluar dari tempat persembunyianku.”
“Hemm, sampai begitu! Inilah hasilnya pergaulanmu dengan mereka, dan kebiasaanmu berkeliaran,” Goat Toanio mencelanya. Percakapan mereka terhenti dengan munculnya kacung Siauw Thai yang memberi tahu akan kedatangan gadis pelayan Ciu Hwa yang diutus oleh Nyonya Hua untuk mengundang Shi Men karena ada urusan penting. Sejenak Shi Men tertegun, lalu diapun berangkat. “Hemm, mungkin lain kali engkau tidak akan memperoleh nasihat yang baik dari siapapun kalau kau tidak mendengar nasihatku,”, kata Goat Toanio memperingatkan.
“Kami adalah tetangga dan Hua adalah sahabatku, tak mungkin menolak permintaannya.” jawab Shi Men. Nyonya Hua menyambut kedatangannya dengan pakaian kusut dan wajah pucat sekali. Sambil menangis nyonya itu berlutut di depan kaki Shi Men.
“Ahh, apakah yang harus kulakukan? Suamiku tak pernah mau mendengar nasihatku. Dia tidak memperdulikan rumah tangga dan selalu pergi ke kota. Dan kini malapetaka pun tiba. Aku dapat mati penasaran kalau teringat, kepadanya. Dan kalau dia dihukum cambuk sampai setengah mampus barulah dia tahu rasa. Akan tetapi aku memikirkan nama baik si tua Kong-kong (kakek) Karena nama baiknya, aku mohon kepadamu, tolonglah agar jangan sampai urusan ini jatuh ke pengadilan dan mendatangkan aib.”
“Tenanglah dan mari kita duduk dengan baik. Bagaimanapun, aku belum tahu bagaimana sebenarnya urusan suamimu itu.” Nyonya Hua lalu memberi penjelasa dengan singkat.
“Suamiku adalah saudara ke dua, dari empat bersaudara, semuanya keponakan-keponakan dari Kakek. Sebelum mati, Kong-kong tua menyerahkan seluruh warisannya kepadaku, karena dia tidak begitu percaya kepada suamiku yang menjadi keponakannya. Tiga orang keponakan yang lain jauh dari Kong- kong, yang selalu bersikap keras kepada mereka. Ketika Kong-kong meninggal, tiga orang keponakan yang lain itupun menerima warisan, yaitu pembagian barang-barang dan prabot rumah. Akan tetapi harta pusakanya tetap berada padaku, tidak dibagi-bagi. Sudah berulang kali aku menganjurkan suamiku untuk membayar tiga orang saudaranya itu dengan uang sebagai pembagian warisan, namun dia tidak pernah mau perduli. Dan sekarang, mereka bertiga itu menuntut dengan tiba-tiba.”
“Ah, kiranya hanya urusan perebutan warisan saja,” kata Shi Men. “Urusan itu tidaklah terlalu besar. Jangan kau khawatir. Tentu saja aku akan membantumu dan kuanggap urusan ini seperti urusanku. sendiri.”
“Ahhhh, sekarang hatiku merasa lega. Kukira yang terpenting adalah mencari dukungan para pejabat tinggi. Tentu saja aku akan menyediakan syaratnya untuk itu.”
“Tidak perlu menyebar uang tanpa perhitungan. Yang berhak memutuskan perkara ini adalah hakim dari Kai-Hong-Hok, yaitu Jenderal Yang dan pembesar Cai. Kedua orang inilah yang memegang peran dalam pengadilan dan mereka berdua dekat dengan istana. Jenderal Yang mempunyai hubungan baik sekali dengan aku. Kita harus mendekati mereka berdua, karena mereka akan mampu mempengaruhi jaksa yang menerima tuntutan suamimu. Akan tetapi, kalau pembesar Cai, kita boleh memberi hadiah sekedarnya, kepada Jenderal Yang tak mungkin memberi hadiah yang tidak berarti. Dia berkedudukan tinggi dan masih ada hubungan baik denganku.
“Baik, tunggulah.” Nyonya Hua masuk ke kamarnya, lalu menyuruh para pelayannya membawa enam puluh potong perak yang jumlah beratnya tidak kurang dari tiga ribu ons.
“Nah, ini kuserahkan kepadamu.”
“Kenapa begitu banyak? Setengahnyapun sudah cukup.” “Bawa sajalah dan anggap saja milikmu. Selain ini, aku masih menyembunyikan beberapa peti terisi pakaian kebesaran berikut semua perhiasannya yang serba mahal dan aku ingin menitipkan barang- barang itu kepadamu demi keamanan. Bolehkah?”
“Bagaimana kalau saudara Hua kehilangan barang-barang itu setelah dia pulang?”
“Ah, dia tidak tahu apa-apa tentang barang-barang itu. Kong-kong tua menyerahkannya kepadaku dan aku tidak pernah bercerita kepadanya tentang itu”. Pada keesokan harinya, Shi Men mengutus mantunya, Cen, untuk pergi membawa suratnya kepada Jenderal Yang. Dan seorang pegawai yang dipercaya Li Pao diutus untuk menghubungi Pembesar Cai. Tentu saja mereka itu selain membawa surat, juga membawa uang dan barang hadiah lain untuk kedua orang pejabat tinggi itu. Tentu saja Shi Men tidak mempergunakan semua uang yang diterimanya dari Nyonya Hua, akan tetapi setengahnya saja jumlah uang itu sudah amat banyak!
Tibalah hari sidang pengadilan bagi perkara Hua Ce Shu. Semua orang menjatuhkan diri berlutut ketika Hakim Tinggi memasuki ruangan pengadilan. Hua sudah mendapat berita dari Shi Men bahwa untuk perkaranya ini, telah dilaksanakan jalan yang baik untuk memerintahkan pemeriksaan. Dan pemeriksaan itupun amat singkat dan lunak. Hakim hanya menanyakan apa saja sisa harta warisan dari Paman Hua. Hua Ce Shu menjawab bahwa sisa peninggalan itu hanyalah dua buah rumah gedung di kota dan sebuah di desa. Semua prabot rumah telah dibagi rata antara dia dan tiga orang saudaranya, sedangkan uang tunai yang tidak banyak telah dihabiskan untuk biaya pemakaman yang mewah. Hakim menerima keterangan ini dengan puas, lalu berkata memberi keputusan.
“Sukar memang menilai berapa besarnya harta dari seorang pejabat tinggi istana. Uang yang didapat dengan mudah, sama mudahnya terbuang. Karena kini peninggalannya hanya berupa dua rumah dan sebidang tanah, kami memutuskan agar Kepala Daerah Ceng-Hong-Sian menangani urusan ini. Tiga tempat itu harus dilelang, dan hasil pelelangan itu dibagi rata antara para keponakan yang menjadi ahli waris.” Tiga orang saudara Hua tentu saja merasa tidak puas dengan keputusan ini karena tadinya mereka mengharapkan akan mendapatkan lebih dari itu. Mereka berlutut dan memohon kepada hakim agar tetap menahan Hua Ce Shu sampai dia dapat membayarkan uang harta peninggalan Paman mereka yang mereka yakin tentu telah diberikan kepada Hua Ce Shu. Mendengar ini, Hakim Tinggi membentak marah.
“Kenapa kalian tidak mengajukan tuntutan pada saat kematian Paman kalian? Urusan ini telah kadaluwarsa. Mau apalagi ribut-ribut?” Demikianlah, Hua Ce Shu dibebaskan tanpa hukuman apapun.
Tentu saja semua ini terjadi karena pengaruh harta. Pada jaman itu, apa saja dapat dibeli dengan harta. Kehormatan, bahkan kebenaran dan kemenangan dapat dibeli dengan harta! Yang melarat tetap saja hanya mampu menangis menyesali nasibnya. Mendengar keputusan ini, sebelum suaminya pulang. Nyonya Hua segera memanggil Shi Men untuk diajak berunding. Ia mengusulkan agar tanah yang bergandengan dengan tanah Shi Men itu dibelinya sebelum terjatuh ke tangan orang lain. Shi Men membicarakan hal ini dengan Goat Toanio, namun isteri pertamanya itu menyatakan keberatan. Hal itu akan menarik perhatian orang dan akan membangkitkan kecurigaan Hua Ce Shu, katanya. Shi Men menunda keputusannya tentang tanah itu. Akan tetapi, Kepala Daerah menghendaki agar keputusan itu dapat dilaksanakan secepatnya dan agar tiga bidang tanah itu dapat segera dijual,
Maka Nyonya Hua lalu mengutus pelayannya, untuk menemui Shi Men dan memberitahukan bahwa Shi Men boleh mempergunakan sisa uang yang dititipkan kepadanya untuk membeli tanah itu. Shi Men tentu saja tidak berkeberatan dan membelinya dengan harta lima ratus empat puluh ons perak. Dua tanah yang lain dilelang dengan harga tujuh ratus ons dan tujuh ratus lima puluh ons perak. Hasil penjualan tiga bidang tanah ini dibagi rata di antara tiga orang penuntut. Hua Ce Shu tidak kebagian apapun! Tentu saja Hua Ce Shu yang mendadak menjadi bangkrut ini merasa bingung dan dia minta kepada isterinya untuk menanyakan kepada Shi Men apakah enam puluh potong perak yang diserahkan kepada Shi Men itu masih ada kelebihannya untuk dapat membeli sebuah rumah kecil-kecilan. Isterinya menyambut pertanyaannya ini dengan caci maki.
“Engkau setan bodoh! Selama ini yang kau kerjakan hanyalah berkeliaran ke rumah-rumah pelesiran, menghamburkan harta dan tidak memperdulikan rumah tangga! Sekarang kita bangkrut, siapa yang harus dipersalahkan kecuali engkau sendiri? Apakah yang dapat kulakukan, seorang wanita lemah tak berdaya, untuk menyelamatkanmu? Sepatutnya engkau berterima kasih bahwa dalam kecelakaan yang kau buat sendiri ini, masih ada Kongcu Shi Men yang menjadi seorang tetangga dan sahabat baik sehingga engkau terbebas dari hukuman. Dalam musim yang begini buruk, dengan susah payah dia mengirim utusan ke Kotaraja dan mengatur segalanya untuk keperluanmu. Dan sekarang, setelah engkau terbebas dari hukuman, telah menjadi orang bebas di atas kakimu sendiri lagi, dapat menghisap udara terbuka di luar kamar tahanan, engkau bersikap cerewet dan menggangguku dengan urusan sisa uang yang mungkin masih kurang untuk membebaskanmu. Bukankah engkau sendiri yang menulis surat padaku dari penjara, minta agar aku menggunakan semua perak itu untuk mengusahakan pembebasanmu? Bahkan andaikata engkau tidak menulispun, aku pasti akan melakukannya”.
“Memang benar, aku menyuruhmu menggunakan uang itu untuk usaha pembebasanku. Akan tetapi bagaimanapun juga, aku mengharapkan kalau-kalau masih ada sisa dari uang yang banyak itu.”
“Huh, percuma saja bicara dengan orang keras kepala seperti engkau. Kalau saja engkcau tidak begitu tolol, tentu engkau tidak sampai terjatuh ke dalam perangkap orang lain. Sekarang engkau mengomel tentang biaya yang besar, seolah-olah engkau tidak tahu ke mana perginya tiga ribu ons perak itu. Apakah kau kira bangsawan-bangsawan tinggi seperti Paduka Sekretaris Tinggi Cai dan Jenderal Yang itu akan puas dengan sepotong dua potong perak saja? Dan apakah engkau kira Hakim itu akan membebaskanmu begitu saja tanpa apa-apa? Daripada mengomel dan mengeluh seperti ini, sepatutnya engkau mengundang penolongmu untuk menyatakan terima kasihnya dengan membuat pesta baginya, sekedar membalas jasa dan kebaikannya kepadamu. Sungguh memalukan engkau ini, manusia yang tidak mengenal budi sama sekali!” Hua Ce Shu hanya dapat menundukkan kepala dan menarik napas panjang. Pada keesokan harinya, Shi Men yang merasa. kasihan juga kepada sahabat itu, mengirim beberapa macam barang hadiah.
Untuk ini, Hua Ce Shu lalu mengirim undangan untuk pesta terima kasih. Dia bermaksud untuk minta pertolongan kepada sahabatnya itu dalam pertemuan ini, agar suka memberi perhitungan mengenai uang, titipan isterinya, dan andaikan sudah habis, dia bermaksud untuk meminta bantuan barang dua ratus ons perak. kepada Shi Men untuk menambah uangnya guna membeli sebuah rumah kecil. Akan tetapi, Hua Ce Shu memberitahukan keinginannya ini kepada isterinya. Inilah kesalahannya, karena mendengar niat suaminya, diam-diam Nyonya Hua mengutus Nenek Bi untuk menemui Shi Men dan menasihatkan agar Shi Men jangan memenuhi undangan itu dan sebaliknya mengirimkan suatu catatan perhitungan yang menyatakan bahwa semua uang itu telah habis dipergunakan untuk menyuap pembesar-pembesar dalam usaha membebaskan Hua Ce Shu.
Percuma saja Hua Ce Shu mengulangi undangannya sampai tiga empat kali. Shi Men tidak pernah muncul bahkan sengaja meninggalkan rumah. Ketika Hua Ce Shu mendengar bahwa sahabatnya itu tidak berada di rumah, dia merasa demikian kesal, putus asa dan berduka sampai dia jatuh pingsan. Hua Ce Shu sudah jatuh benar-benar. Rumah dan pekarangannya telah dijual dan jatuh ke tangan Shi Men. Dia harus dapat mencari sebuah tempat tinggal baru, padahal uangnya sudah habis sama sekali. Atas pertolongan para sahabatnya, dia akhirnya berhasil mengumpulkan dua ratus lima puluh ons perak dan dibelinya sebuah rumah sederhana di Jalan Singa. Akan tetapi, begitu pindah ke rumah baru ini, diapun jatuh sakit. Untuk memanggil tabibpun dia tidak mempunyai uang, dan isterinya sudah acuh saja.
Demikianlah kalau seorang isteri sudah melakukan penyelewengan. Ia dapat menjadi kejam sekali terhadap orang yang pernah dicintanya akan tetapi kini dibencinya itu. Dan semua ini sesungguhnya adalah kesalahan Hua Ce Shu sendiri. Ketika masih makmur dan sehat, dia hanya berkeliaran ke rumah- rumah pelesir, mengabaikan isterinya yang muda dan cantik sehingga isterinya itu terjerumus ke dalam perjinaan dengan pria lain untuk menghibur diri yang kesepian selalu ditinggal suami. Akhirnya, Hua Ce Shu meninggal dunia dalam usia dua puluh empat tahun! Waktu berkabung untuk seorang isteri selama lima minggu belum juga terlewat ketika Nyonya Hua mengambil keputusan untuk mengunjungi keluarga Shi Men. Selama hari-hari perkabungan ini, pikirannya lebih banyak menuju kepada Shi Men daripada kepada meja sembahyang suaminya.
Kebetulan sekali keluarga Shi Men merayakan hari ulang tahun Kim Lian dan ini menjadi alasan baginya untuk pergi berkunjung. Nyonya Hua datang berkunjung diikuti dua orang pelayannya yang masih ada, yaitu Tian Hok dan Nenek Bi. Ketika ia turun dari joli yang membawanya ke rumah bekas tetangganya itu, nampaklah bahwa di balik jubah berkabung yang menjadi pakaian luarnya, ia mengenakan sebuah gaun yang indah dan perhiasan yang cemerlang. la memberi hormat dengan bersoja empat kali kepada Goat Toanio, kemudian ia memberi hormat kepada isteri-isteri lain yang diperkenalkan kepadanya. Nenek Bi lalu menyerahkan sekantung penuh barang-barang hadiah ulang tahun untuk Kim Lian. Dengan keramahannya. Nyonya Hua cepat dapat akrab dengan isteri-isteri Shi Men, terutama sekali dengan Goat Taoanio yang disebutnya Toa-Ci (kakak perempuan tertua).
Berpestalah para wanita cantik itu sambil beramah-tamah. Para isteri Shi Men merasa suka kepada Nyonya Hua yang pandai membawa diri. Shi Men sendiri setelah larut malam baru pulang karena dia berpesta dengan teman-temannya di Kuil Istana Kumala. Bukan main girang rasa hati Nyonya Hua ketika pada malam hari itu ia memasuki jolinya dan pulang. la merasa bahwa ia telah berhasil mengambil hati para isteri Shi Men. la tidak khawatir akan menemukan lawan kalau sewaktu-waktu ia diboyong ke keluarga itu sebagai isteri termuda dari Shi Men. inilah tujuannya sejak ia mempunyai hubungan gelap dengan pria itu. Dalam pertemuan tadi, ia mendengar dari Kim Lian bahwa kini tembok pemisah antara bekas rumahnya dengan rumah keluarga Shi Men telah dibongkar, dan Shi Men akan membuat sebuah bangunan baru di tempat itu.
“Semua itu dibangun untukku.” Kim Lian menambahkannya. “Untukmu,” pikir Nyonya Hua.
Beberapa hari kemudian, Shi Men, atas nama isteri pertama, mengirimkan barang-barang hadiah kepada Nyonya Hua berupa seguci anggur yang baik, beberapa mangkok masakan lezat, dan kain sutera sulaman. Sebagai balasan, Nyonya Hua lalu mengirim lima kartu undangan untuk para isteri Shi Men, juga undangan rahasia untuk Shi Men sendiri yang diharapkan datang berkunjung agak malam setelah isteri-isterinya pulang. Undangan itu diterima dan empat orang isteri Shi Men datang berkunjung dalam joli. Hanya Sun Siu Oh, isteri ke empat yang tidak datang karena ia harus menjaga rumah. Nyonya Hua menerima dan menyambut mereka itu dengan gembira. Setelah lima orang wanita cantik itu makan minum sambil bercakap-cakap, Nyonya rumah mengajak para tamunya untuk naik ke loteng dan nonton keramaian pasar di depan rumah itu dari jendela di depan loteng.
Kebetulan sekali rumah Nyonya Hua berhadapan dengan Pasar Lentera dimana dijual bermacam-macam lentera yang serba indah. Pasar itu dikunjungi banyak orang karena mereka membutuhkan lentera- lentera juga kue-kue untuk merayakan hari Tahun Baru yang menjelang tiba. Segala macam bunga terdapat di situ, yaitu lentera-lentera yang berbentuk bunga-buga indah beraneka warna, dari bunga teratai sampal bunga salju, juga terdapat lentera dalam bentuk manusia dan binatang-binatang. Ada bentuk wanita cantik, pemuda-pemuda tampan, ada pula bentuk Pendeta-Pendeta gendut, bahkan bentuk setan-setan dan iblis-iblis yang menakutkan. Ada pula binatang onta, kera, gajah dan lain-lain juga ikan-ikan yang menyeramkan. Pengunjung pasar itu juga terdiri dari bermacam orang, Hampir semua golongan dapat ditemukan di dalam pasar itu.
Lima orang wanita cantik itu senang sekali melihat keadaan yang dapat dilihat dan didengarkan di bawah kaki mereka, terutama Kim Lian dan Yu Lok. Ketika tiga wanita yang lain sudah turun, mereka berdua ditemani oleh dua orang gadis penyanyi yang dipanggil Nyonya Hua untuk meramaikan perjamuan mereka, masih tinggal di belakang jendela loteng, nonton keramaian di bawah. Suasana di bawah itu sudah menbayangkan keramaian Tahun Baru, gaduh dan gembira. Dalam kegembiraanya, tirmbul kegenitan dan kenakalan Kim Lian. la makan kwa-ci dan menyemburkan kulit kwa-ci ke bawah sehingga mengenai kepala mereka yang lewat. Ketika orang-orang di bawah itu menengok ke atas, mereka tertegun dan terpesona melihat begitu banyak wanita cantik berada di balik jendela loteng. bukan hanya cantik wajahnya, akan tetapi juga berpakaian indah sekali.
“Hemmm..., mereka tentulah selir-selir Pangeran” kata seorang laki-laki muda sambil memandang kagum.
“Tentu mereka selir-selir Pangeran dari istana yang memiliki perkebunan di timur itu,” kata yang lain.
“Atau dewi-dewi rumah pelesiran yang didatangkan oleh orang kaya untuk menggembirakan Pesta Lentera,” kata orang ke tiga
“Aih, kalian ngawur saja!” cela orang ke empat. “Mereka tentu selir-selir Pangeran Neraka sendiri kalau bukan selir selir hartawan Shi Men yang memiliki toko obat dl dekat benteng dan menjadi sahabat baik dari semua, pejabat kita, dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi.”
Mendengar ini, hati Kim Lian merasa tidak enak dan pada saat itu, Goat Toanio memanggilnya, maka iapun tidak dapat mendengar kelanjutannya percakapan di bawah itu karena ia bersama Yu Lok dan dua orang gadis penyanyi itu harus segera turun. Menjelang senja, Goat Toanio mengajak Siu Oh pulang. Kim Lian dan Yu Lok masih tinggal di situ karena mereka ingin melihat sampai lentera-lentera dinyalakan. Sementara itu, Shi Men bergembira dengan dua orang sahabat baiknya, Ying Po Kui dan Cia Si Ta, akan tetapi diam-diam dia menanti datangnya malam dan dia sudah janji dengan Nyonya Hua untuk datang berkunjung. Setelah malam tiba, Shi Men Sudah tidak sabar lagi itu meninggalkan dua orang sahabatnya di rumah pelesiran dan bersicepat pergi ke rumah Nyonya Hua di Jalan Singa. Kedatangannya disambut senyum manis oleh wanita cantik itu,
“Hampir saja engkau berpapasan dengan isterimu ke tiga dan kelima” ia berkata lirin. “Mereka baru saja pergi” Nyonya Hua mempersilakan Shi Men duduk ruangan tamu yang terhias indah itu, diterangi lampu-lampu dengan lentera indah, dihangatkan dengan perapian, dan diharumkan dengan dupa wangi, Nyonya itu lalu berlutut mempersembahkan arak selamat datang dan berkata dengan suara merdu dan penuh perasaan.
“Semenjak kematian suamiku, hanya engkaulah seorang yang menjadi harapanku, penolongku dan satu- satunya orang yang mulia bagiku, oleh karena itu aku mohon, sudilah kiranya engkau menerimaku sebagai pelayanmu, membereskan tempat tidurmu, dan menjadi adik dari isteri-isterimu.” Kedua mata yang bening indah itu basah oleh air mata dan sinarnya peruh permohonan. Dengan tangan kanan Shi Men menerima cawan penuh arak yang disuguhkan dan tangan kirinya membantu wanita itu bangkit.
“Kata-katamu yang penuh cinta mengharukan hatiku, sayang. Jangan khawatir, setelah habis masa perkabunganmu akan kubicarakan hal ini dengan orang-orang rumah.” Mereka lalu makan minum dengan gembira sambil bercakap-cakap, dilayani oleh gadis pelayan Nyonya Hua yang manis, Ciu Hwa.
“Bagaimana dengan rencana bangunan baru di bekas tempat tinggalku itu?” tanya Nyonya Hua.
“Akan dimulai bulan depan. Semua bangunan lama akan dibongkar, kecuali pondok tiga kamar di sudut itu. Aku mau membuat sebuah taman dengan bukit kecil dan memperbaiki pondok itu, juga menambah ruangan.” Nyonya Hua menunjuk ke tembok di belakang pembaringan,
“Aku menyimpan dalam beberapa peti teh seratus kilo lilin putih, empat puluh kilo mrica, dua guci air raksa dan beberapa macam barang berharga lagi. Harap utusan orang mengangkutnya dan menjualkannya. Sebagian dari uang penjualan itu akan kuserahkan kepadamu untuk membantu membiayai bangunan itu. Aku tidak sabar lagi menanti untuk dapat tinggal bersamamu, secepat mungkin. Aku tidak dapat hidup jauh darimu.” Dengan hati terharu Shi Men mengusap air mata yang membasahi kedua mata itu dengan saputangannya. “Bersabarlah sampai masa perkabunganmu lewat sambil menanti jadinya bangunan baru itu.”
“Apakah untuk sementara aku tidak bisa tinggal bersama isterimu yang ke lima? Hubunganku dengannya dan dengan isterimu yang ke tiga baik sekali, Aku agak meragukan isterimu yang pertama, ada sesuatu dalam pandang matanya yang tidak menyenangkan.
“Ha-ha, jangan salah duga, Isteri pertamaku itu baik hati sekali. Kalau tidak, mana mungkin ia membolehkan aku memiliki isteri sampai begitu banyak? Akan tetapi, sabarlah, pondok baru itu kubangun untukmu seorang, dan tentang permintaanmu tadi, biar kubicarakan dengan mereka.”
“Aih, Koko yang tercinta...” Nyonya Hua tenggelam ke dalam rangkuan Shi Men dan selanjutnya mereka berdua membiarkan diri hanyut dalam gelombang nafsu yang menggelora. Sampai pada keesokan harinya, mereka masih belum mau meninggalkan kamar tidur bagaikan tak pernah merasa puas Laporan pelayan akan kedatangan A Thai, pelayan pribadi Shi Men, mengganggu mereka dan akhirnya terpaksa Shi Men keluar kamar dengan alis berkerut karena merasa terganggu . Dengan sikap takut-takut melihat majikannya marah, A Thai segera melapor bahwa dia diutus Goat Toanio karena lima orang pedagang dari selatan yang menjadi langganan rempah-rempah Shi Men datang menyetorkan dagangan mereka.
“Apakah kau katakan bahwa aku berada di sini?” bentak Shi Men.
“Tidak, saya memberi tahu bahwa Kongcu berada di rumah pelesir bersama para sahabatnya.” “Bagus, Hemm... pedagang-pedagang sialan itu mengganggu saja. Tentu mereka kehilangan pasaran maka bergegas mencariku. Menyebalkan saja mereka itu, hanya mengganggu saja”
“Aih, Koko, pekerjaan adalah yang terpenting. Pergilah temui mereka, karena Goat Toanio tentu akan curiga kalau engkau tidak, ke sana. Pula, kita masih mempunyai banyak waktu dan kesempatan yang manis di masa depan. Pergilah dan jangan abaikan pekerjaanmu!” Akhirnya Shi Men pergi juga, menerima penyetoran rempah-rempah, menimbang dan menghitung, menyuruh pembantunya membayar. Setelah selesai, diapun pergi ke pondok Kim Lian.
“Hemm, ke mana saja engkau Semalam? Jangan mengelak atau menyangkal, aku tidak begitu bodoh untuk kau bohongi. Aku dapat melihat bahwa wanita itu tergesa-gesa menginginkan kau pulang agar dapat memasukkan engkau. Engkau telah tidur semalam suntuk dengannya, bukan?” Kim Lian menyambutnya dengan tuduhan ini. Shi Men tidak dapat menyangkal lagi dan dia menceritakan bagaimana Nyonya Hua yang malang itu merasa kesepian dalam hidupnya, dan betapa ia mohon diterima menjadi selirnya dan untuk sementara minta tinggal bersama Kim Lian.
“Biarkan ia datang, kehadirannya akan menghiburku karena akupun kesepian di sini setelah engkau semakin jarang mengunjungiku. Akan tetapi, bagaimanapun juga, harus dimintakan persetujuan Goat Toanio.”
“lapun masih harus menghabiskan masa perkabungannya,” kata Shi Men. Dia lalu mengutus orang mengambil barang-barang dari rumah Nyonya Hua dan menjualkannya. Kesemuanya laku tiga ratus ons perak yang diambil seratus delapan puluh ons oleh Nyonya Hua, sedangkan selebihnya ia berikan kepada Shi Men untuk membantu pembiayaan bangunan pondok baru. Setelah memilih hari baik, pembangunan itupun dimulai. Akan tetapi Goat Toanio tidak setuju kalau Nyonya Hua untuk sementara tinggal di pondok Kim Lian,
“Hal ini hanya akan mendątangkan kecurigaan saja, amat tidak enak bagi kita. Pertama-tama, la adalah isterl sahabatmu sendiri, ke dua, ia masih berkabung, apalagi engkau telah membeli rumah dan pekarangan mereka. Dan ke tiga, yang harus diperhatikan, adalah Kakak tertua dari Hua Ce Shu yang terkenal jahat itu. Tentu dia tidak tinggal diam dan menyebarkan desas-desus buruk untuk menjatuhkan nama keluarga kita.” Mendengar ini, Shi Men menjadi ragu-ragu dan dia minta nasihat Kim Lian bagaimana harus mengatakannya kepada Nyonya Hua.
“Mudah saja,” kata Kim Lian, “Katakan bahwa sebelum bangunan baru itu jadi, di sini tidak terdapat kamar kosong untukmu dan agar ia bersabar sampai pondok yang dibangun itu jadi. Setelah itu Kalau ia tinggal sekamar denganku, engkau tidak akan mendapatkan apa-apa, Jangan harap untuk dapat mendekati ia di depan hidungku, juga tak mungkin engkau dapat bermain cinta denganku di depan hidungnya.” Shi Men tertawa,
“Baiklah akan ku katakan demikian kepadanya.” Shi Men lalu pergi mengunjungi Nyonya Hua yang dapat menerima alasan ketika Shi Men menceritakan seperti yang dinasihatkan Kim Lian kepadanya. Bahkan Nyonya Hua lalu melayani Shi Men dengan penuh kemesraan dan terulang kembalilah pencurahan kasih sayang di antara mereka. Akan tetapi, menjelang tengah malam, kembai datang gangguan ketika muncul pula kacung A-Thai. Hampir saja Shi Men memukul kacung itu yang dianggap mengganggu kesenangannya, akan tetapi A Thai cepat berlutut dan melaporan bahwa dia diutus oleh Goat Toanio untuk mencari dan menyusul Shi Men untuk mengabarkan bahwa puterinya dan mantunya telah datang tanpa berita lebih dulu membawa banyak sekali barang. Dan Goat Toanio minta agar malam itu juga dia pulang karena ada berita yang teramat penting untuk dibicarakan.
“Sialan!” Shi Men mengutuk dengan hati kesal, akan tetapi terpaksa pula dia berpakaian dan meninggalkan kekasihnya. “Urusan apakah yang membawa kalian datang malam-malam begini?” Shi Men bertanya ketika tiba di rumah dan bertemu dengan puterinya dan mantunya. Chen Ceng Ki, mantu Shi Men, memberi hormat kepada Ayah mertuanya dan mengeluarkan sesampul surat, memberikannya kepada Shi Men. Shi Men menerima surat itu dan cepat membacanya.
Surat itu ditulis oleh Chen Hung, Ayah Chen Ceng Ki Ki atau besannya, yang memberitahukan peristiwa yang amat mengejutkan. Kiranya Jenderal Yang, Saudara misan atau paman dari Chen Ceng Ki, telah dikalahkan saingan-saingannya di depan Kaisar, dinyatakan bersalah dan bertanggung jawab atas kekalahan dan kerusakan pasukan. pemerintah di perbatasan yang dihancurkan para pemberontak. Sebagai hukuman, Jenderal Yang ditangkap, dipenjara dan semua keluarganya juga ditangkap dan dibuang ke daerah perbatasan! Di antara anggauta keluarga Jenderal Yang,. mereka yang di buang termasuk pula Chen Hung, besan Shi Men! Sebagai penutup dalam suratnya, Chen Hung mohon kepada Shi Men untuk Merima puteranya dan mantunya yang lari mengungsi dan melampirkan uang sebanyak lima ratus ons perak untuk biaya yang dianggap perlu oleh Shi Men.
Wajah Shi Men sebentar pucat sebentar merah ketika dia membaca isi surat itu. Jenderal Yang, orang yang dianggapnya berpengaruh dan kepada siapa dia bergantung untuk segala kepentingan di Kotaraja kini ditangkap dan di penjara. Besannya, ayah mertua dari puterinya juga ditangkap dan dibuang! Hancurlah martabat keluarganya. Seolah-olah baru saja dilempar dari tempat tinggi, terbanting di atas tanah yang rendah. Shi Men lalu menghentikan pekerjaan bangunan menutup pintu pagar pekarangan rumahnya, menutup semua pintu dan jendela depan, melarang anggauta keluarganya keluar masuk rumah. Sementara itu, Shi Men setiap hari kerjanya mengurung diri dalam kamar, berjalan hilir mudik di dalam kamarnya. Melihat keadaan suaminya ini, Goat Toanio menghiburnya.
“Semua ini adalah persoalan keluarga Chen. Ada sangkut pautnya apa dengan kita? Kenapa engkau menjadi gelisah dan berduka? Biarlah masing-masing menanggung nasib sendiri,”
“Ah, engkau tidak tahu apa artinya ini” Shi Men berkata dengan pahit. “Masalah ini menyangkut puteri kita dan menantu kita yang mengungsi ke sini. Kalau sampai banyak orang mengetahui bahwa besan kita tersangkut dan hal itu menjadi desas-desus umum, maka kita sendiripun terancam bahaya.”
Keterangan ini membuat seluruh keluarga Shi Men menjadi gelisah juga, apalagi melihat betapa Shi Men nampak ketakutan dan tidak pernah meninggalkan rumah seperti biasanya. seolah-olah menanti datangnya bencana yang sudah mengancam dari angkasa. Shi Men maklum bahwa sebagai besan dari Chen Hung dan sekutu Jenderal Yang, kedudukannya terancam bahaya besar, Oleh karena itu, dia segera mengutus dua orang kepercayaannya, yaitu Lai Pao dan Lai Wang, untuk membawa banyak harta berupa perak dan emas, pergi ke Kotaraja dan mendengarkan berita lalu bertindak atas namanya, menghubungi pembesar-pembesar yang berkuasa di Kotaraja untuk menyelamatkan Chen Hung dan terutama sekali dirinya sendiri kalau kalau dia tersangkut. Dua orang kepercayaan itu berangkat dengan cepat, Membawa banyak sekali emas, perak dan permata yang serba mahal harganya.
Sementara itu, Nyonya Hua merasa tersiksa sekali. Berulang kali ia mengutus Nenek Bi dan pelayan lain untuk mencari keterangan tentang. Shi Men yang sama sekali-tiada kabar beritanya. Akan tetapi, rumah keluarga itu selalu tertutup sehingga semua pelayannya tidak mampu memberi keterangan apapun. Nyonya Hua menanti, akan tetapi hari berganti minggu dan minggu berganti bulan Tetap saja tidak ada kabar dari Shi Men, pria yang dinanti-nanti dengan penuh kerinduan itu. Ia merasa semakin gelisah dan tersiksa, apalagi di waktu, malam. Semua kenangan tentang kesenangan yang dialaminya bersama Shi Men menyiksanya, membuatnya tidak dapat tidur. Kurang tidur Kurang makan, merana dan gelisah akhirnya membuat Nyonya muda yang cantik Ini jatuh sakit. la menjadi semakin kurus dan mukanya pucat sekali, matanya tidak bercahaya. Melihat Ini Nenek Bi menjadi khawatir dan pada suatu hari ia berkata kepada Nyonya majikannya.
“Saya telah memanggil seorang Tabib untuk memeriksa Nyonya. Bolehkah dia masuk?”
Nyonya Hua rebah dengan muka pucat, rambut kusut dan tubuh lemah, matanya sayu tidak menjawab pertanyaan pelayannya yang setia karena tidak bersemangat lagi. Nenek Bi lalu mempersilahkan Tabib itu masuk. Tabib itu seorang laki-laki berperawakan agak kecil, berusia kurang lebih tiga puluh tahun dan tekenal dengan Tabib Kiang, Dan diam-diam mengagumi kemewahan dalam kamar, kemudian terpesona oleh kecantikan wanita mudą yang rebah di atas pembaringan dalam keadaan lemah itu. Dengan teliti dia lalu duduk di tepi pembaringan, memeriksa denyut nadi dan mengikuti pernapasan yang lemah itu. Tentu saja diapun memperhatikan wajah cantik manis dan tubuh yang muda menggairahkan itu, walaupun tertutup selimut masih membayangkan kerampingan dan Kegempalannya.