Jilid 04
Heng San duduk dalam kamar itu dan untuk beberapa lamanya dia memikirkan percakapan dengan pelayan tua itu. Benarkah ada hantu di kamar ini? Dia teringat akan cerita gurunya, Pat-jiu Sinkai tentang setan dan hantu. Menurut gurunya, apa yang disebut setan atau hantu itu memang ada. Akan tetapi setan yang menampakkan diri itu tidak berbahaya. Tidak ada setan yang menampakkan diri berani atau dapat mengganggu manusia. Yang amat jahat dan teramat berbahaya adalah setan yang mengganggu manusia melalui pikirannya. Setan atau nafsu manusia sendiri. Itu amat berbahaya. Kalau setan sudah menguasai hati akal pikiran manusia, maka si manusia itu akan diseret ke dalam lumpur kesesatan dan manusia itu akan dapat melakukan segala kejahatan yang keji dan jahat.
Tidak, dia tidak percaya ada hantu atau setan yang berada di kamar ini mengganggu setiap orang yang tidur di situ. Mungkin kakek pelayan tadi sudah tua dan pikun, atau mungkin dia seorang yang terlalu percaya akan tahyul. Sebentar saja Heng San dapat melupakan segala renungan tentang setan di kamar itu dan dia teringat lagi akan keadaan dirinya. Keadaan dirinya yang letih pantas dipikirkan daripada memikirkan soal setan. Dia sudah.kehabisan uang! Bagaimana dia harus mendapatkan uang? Dan baru sekarang dia melihat kenyataan bahwa orang hidup memang memerlukan uang! Agaknya tidak mung- kin hidup tanpa uang! Pakaian, makanan, bahkan tempat tinggal atau tempat tidur selalu membutuhkan uang! Teringatlah dia akan ucapan suhunya kalau bercerita tentang perantauan seseorang dalam dunia kang-ouw. Perantauan seperti itu tidaklah mudah.
Bukan menghadapi musuh para penjahat saja yang berbahaya. Melainkan yang lebih berbahaya lagi adalah kebutuhan akan uang. Seorang perantau akan menghadapi kesulitan besar kalau tidak pandai mencari uang untuk biaya hidupnya. Bahkan suhunya memberi contoh dirinya sendiri. Karena tidak pandai mencari uang, dan tidak sudi melakukan pencurian atau perampokan, suhunya rela menjadi seorang pengemis, minta- minta belas kasihan orang untuk sekedar memberi uang kecil pembeli makanan!
Tidur di mana saja, di emper rumah, kalau tidak diusir pemilik rumah, atau di bawah jembatan. Pakaian hanya yang menempel di badan karena tidak mampu membeli yang baru. Perut kadang kadang kelaparan karena berhari-hari tidak ada orang yang mau memberi sedekah. Hidup menjadi terlantar! Menjadi pengemis? Dia? Menjadi pencuri? Heng San menghela napas panjang. Tidak, dia tidak sudi melakukan itu. Baik menjadi pengemis tukang minta-minta, apa lagi menjadi pencuri atau perampok!
Tiba-tiba Heng San berdiri dari duduknya. Tidak mungkin! Dia mendengar langkah kaki perlahan-lahan menghampiri daun pintu kamarnya. Itukah setan yang datang hendak mengganggunya? Ah, tidak mungkin. itu suara jejak langkah seorang manusia biasa. Langkah itu berhenti di muka pintu kamarnya! Heng San memperhatikan penuh kewaspadaan, mengira bahwa setan itu akan masuk menembus pintu. Seperti bayangan, seperti yang pernah dia dengar dongeng-dongeng tentang setan yang dapat menembus apa saja.
"Tok-tok-tok!"
Pintu kamarnya diketok. Heng San bernapas lega. Jelas bukan setan. "Siapa di luar?" tanyanya sambi! duduk kembali.
"Saya, siauw-ya." Heng San tersenyum. Pelayan tua yang baik hati itu. "Masuklah, paman. Daun pintunya tidak terkunci" katanya.
Daun pintu didorong dari luar dan pelayan tua itu masuk. Dia memandang ke sekeliling kamar, mukanya agak pucat dan sikapnya seperti orang tegang, lalu dia menghela napas panjang, lega.
"Sukurlah, siauw-ya tidak apa-apa." Heng San tersenyum. "Terima kasih, paman. Aku tidak apa-apa. Tidak ada hantu di sini."
"Akan tetapi sekarang belum tengah malam, siauw-ya. Maukah engkau keluar dari kamar dan duduk di ruang tengah, bercakap-cakap dengan saya? Kebetulan saya bertugas jaga malam ini."
Sebetulnya dia tidak ingin mengobrol, akan tetapi Heng San tidak tega menolak melihat keramahan pelayan tua itu dan dia lalu keluar dan duduk di ruang tengah bersamanya.
Pelayan tua itu banyak bercerita dan Heng San mendengarkan dengan hati tertarik, terutama tentang perayaan gotong toapekong (patung yang dipuja dalam kelenteng) itu.
"Telah beberapa lamanya di kota ini terjangkit penyakit aneh dan pencurian-pencurian yang aneh pula. Orang-orang menganggap bahwa hal itu merupakan gangguan roh jahat, maka mereka lalu mengambil keputusan untuk menggotong patung Kwan-te-kong keluar dari kelentengnya dan diarak putar-putar kota untuk mengusir roh jahat yang mengganggu penduduk kota."
"Penyakit aneh yang bagaimanakah, paman?" tanya Heng San yang merasa heran mendengar bahwa kota ini agaknya kaya akan cerita tentang segala macam roh jahat dan hantu yang mengganggu manusia.
"Selama beberapa bulan ini, hampir setiap malam tentu ada rumah yang diganggu. Tahu- tahu sejumlah uang emas dan perak lenyap tanpa meninggalkan bekas. Tuan atau nyonya rumahnya tiba-tiba saja menderita penyakit kaku-kaku dan gagu untuk beberapa lamanya. Kalau mereka sudah dapat bicara dan ditanya, mereka tidak tahu apa-apa, hanya mengatakan bahwa pada waktu tengah malam mereka terbangun dari tidur dalam keadaan kaku tidak mampu bergerak dan tidak mampu bicara. Kalau bukan setan atau roh jahat yang melakukan hal itu, habis siapa lagi?"
Heng San menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Mana ada setan yang doyan uang perak dan. emas, paman?"
"Engkau tidak tahu, siauw-ya. Pernahkah engkau mendengar orang-orang yang kaya mendadak tanpa bekerja?"
"Kaya mendadak tanpa bekerja?"
"Ya, orang-orang yang tanpa bekerja sesuatu tiba-tiba saja menjadi kaya raya. Nah, mereka inilah merupakan orang-orang yang memelihara roh jahat. Dengan menjual rohnya kepada roh-roh jahat itu, mereka dapat memerintah roh jahat untuk mencuri uang."
"Menjual roh kepada setan? Bagaimana maksudnya, paman?" Heng San benarbenar tertarik karena selama hidupnya memang belum pernah dia mendengar akan hal aneh semacam itu.
"Begini, siauw-ya. Orang yang memelihara roh jahat itu telah berjanji bahwa kelak setelah dia mati diapun akan menjadi seperti roh-roh jahat itu. Menjadi setan pula. Tapi sebelum mati dia dapat hidup kaya raya tanpa bekerja."
Heng San menghela napas panjang. Dia tidak dapat percaya begitu saja akan obrolan macam itu. Akan tetapi untuk menyatakan ketidak-percayaannya dia merasa sungkan dan tidak tega. Pula, tidak akan mudah membantah orang-orang yang sudah terlalu percaya akan tahyul. Dia lalu menyatakan hendak tidur karena sudah mengantuk.
"Selamat tidur, siauw-ya. Jangan lupa, kalau ada apa-apa berteriaklah. Aku akan membantumu kalau hantu jahat itu mengganggumu karena engkau adalah orang yang baik."
Heng San tersenyum geli. "Terima kasih, paman." Dia memasuki kamarnya dan hanya menutup daun pintu, Lalu duduk termenung melanjutkan renungannya tentang keadaan dirinya, tidak lagi memikirkan setan atau roh jahat. Dia membayangkan dirinya yang benar-benar telah kehabisan uang dan apa selanjutnya yang akan dilakukannya. Teringatlah dia akan kata-kata gurunya sebelum dia meninggalkan rumah. Gurunya pernah mengatakan bahwa kalau dia menuruti kemauan ayahnya, menjadi ahli pengobat- an, membuka toko obat, tentu dia tidak akan pernah kekurangan uang. Uang! Dari mana akan didapatnya? Tiba-tiba saja dia teringat akan cerita pelayan penginapan itu. Orang- orang miskin tiba-tiba menjadi kaya raya tanpa bekerja! Ah, pikirannya lalu menghubungkan dengan lenyapnya uang emas dan perak dari rumah-rumah orang kaya yang tiba-tiba menjadi kaku dan gagu. Karena perbuatan setan? Roh jahat? Sudah pasti bukan! Itu tentu perbuatan manusia juga! Dia teringat. Gurunya pernah bercerita bahwa di dunia kang-ouw terdapat orang-orang yang menamakan diri mereka maling-maling budiman, yaitu mereka yang menggunakan kepandaiannya untuk mencuri uang dari rumah orang-orang kaya dan hasil curiannya itu sebagian diberikan kepada orang-orang miskin! Roh jahat yang mengganggu kota Leng-koan itu pastilah sebangsa maling budiman itu! Dan kalau pengganggu keamanan itu seorang maling, berarti seorang manusia, dia tidak boleh tinggal diam. Dia mungkin dapat menangkapnya untuk menghindarkan penduduk kota ini dari gangguannya.
Setelah berpikir demikian, Heng San lalu merapikan bajunya dan membuka daun jendela kamarnya yang menembus ke pekarangan samping lalu melompat keluar dari dari jendela, menutupkan lagi daun jendelanya dan cepat dia melompat ke atas genteng, lalu melakukan perjalanan melalui wuwungan rumah-rumah besa. Ketika tiba di tiba di sebuah wuwungan yang tinggi, dia teringat bahwa wuwungan itu adalah wuwungan rumah merangkap toko obat yang pemiliknya melakukan penghinaan terhadap dirinya siang tadi.
Tiba-tiba dia menyelinap dan bersembunyi di balik tembok penutup wuwungan dan mengintai. Sinar bulan tua cukup memberi penerangan remang-remang. Tadi dia melihat bayangan berkelebat di a tas rumah depan. Cepat dia bersembunyi dan mengintai. Jantungnya berdebar melihat sosok bayangan itu juga melompat ke wuwungan rumah obat.. Gerakannya gesit bukan main dan kedua kakinya tidak menimbulkan suara sedikitpun ketika kedua kakinya menginjak genting. Seorang yang memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang cukup tinggi. Sejenak bayangan itu celingukan, memandang ke kanan kiri, kemudian tubuhnya melayang ke bawah.
Heng San cepat keluar dari balik wuwungan dan dengan gerakan yang disebut Lo-wan- teng-ki (Monyet Tua Meloncati Cabang) dia melompat turun, berjungkir balik dan kedua kakinya telah mengait sebatang balok yang melintang. Dari tempat gelap ini dia dapat memandang ke sekeliling rumah itu di bawah. Dia melihat bayangan itu menghampiri sebuah jendela, meraba-raba jendela dan sebentar saja jendela telah terbuka tanpa mengeluarkan suara. Bayangan itu lalu melompat ke dalam kamar melalui jendela yang terbuka.
Heng San cepat melayang turun dan mengintai dari balik jendela yang terbuka. Biarpuan dia merasa tidak suka kepada pemilik toko obat yang sombong itu, namun dia tetap saja hendak mencegah kalau pencuri itu hendak mengganggu atau membunuhnya.
Heng San melihat bayangan itu menyingkap kelambu dan dalam keremangan dia melihat seorang laki-laki yang bukan lain adalah pemilik rumah obat itu rebah di samping seorang wanita yang mungkin isterinya. Heng San sudah siap dengan sebuah batu kecil yang tadi diambilnya ketika dia turun. Dia siap menyambitkan batu kalau maling itu hendak melakukan pembunuhan. Akan tetapi bayangan itu tidak mencabut pedang yang berada di punggungnya, melainkan menggerakkan jari tangannya menotok dua orang yang sedang tidur itu. Heng San maklum dari gerakan tangan itu bahwa yang ditotok adalah jalan darah yang membuat kedua orang lelaki dan perempuan itu tak mampu bergerak atau berteriak dan menjadi kaku dan gagu. Kemudian maling itu membongkar peti dan mengeluarkan sebuah kantong yang. nampaknya berat. Ketika tali kantung dibuka, di. bawah sinar lampu gantung tampak bahwa isinya uang emas dan perak yang berkilauan.
Setelah mengikat lagi mulut kantung, bayangan itu lalu melompat keluar dari jendela dengan cepat. Heng San sudah siap dan telah mendahului melompat ke atas wuwungan. Hatinya merasa girang karena tanpa disangka-sangka dia telah menemukan orang yang selama ini mengganggu ketenteraman penduduk kota itu. Kiranya orang inilah yang disangka roh jahat, yang membuat orang-orang menderita penyakit aneh, tubuhnya kaku dan gagu! Dan orang ini pula yang dianggap roh jahat yang dipelihara orang yang mencari pesugihan.
Ketika bayangan itu melompat ke atas genteng, tiba-tiba dia merasa ada angin menyambar. Ia cepat mengelak, akan tetapi tahu-tahu kantung uang yang dipanggulnya telah tertarik dan pindah tangan! Ia mengeluarkan jerit lirih dan memandang ke depan.
Seorang pemuda dengan senyum mengejek berdiri di depannya dan kantung uang itu telah berada di tangan pemuda itu.
Di lain pihak Heng San menjadi terkejut dan heran. Bayangan itu ternyata adalah seorang pemuda yang bertubuh kecil ramping dan wajahnya tampan sekali. Ketika bayangan itu tadi menjerit lirih, keheranan Heng San bertambah karena dia tahu bahwa yang berdiri di depannya adalah seorang wanita muda yang menyamar sebagai laki-lakil
"Eh....oh...! Jadi... roh jahat itu engkaukah?" tanyanya dengan heran.
Gadis - cantik berpakaian pria itu menjadi merah mukanya dan cepat ia mencabut pedang panjang tipis yang terselip di sarung pedang yang diikat di punggungnya. Pedang itu beronce merah dan merupakan sebuah pedang yang indah, juga mengkilap saking tajamnya tertimpa- sinar bulan.
"Manusia liar dari mana berani menggangguku? bentaknya dengan suara merdu dan nyaring sehingga walaupun ketus dan marah namun terdengar sedap di telinga Heng San.
"Maaf, nona. Sungguh aku tidak mengira bahwa roh jahat yang mengganggu kota ini adalah seorang gadis."
"Jangan banyak cakap. Kembalikan kantungku!" bentak gadis itu.
Heng San mengulurkan tangan yang memegang kantung seolah hendak mengembalikan kantung itu, akan tetapi ketika tadi dia merampas kantung, dia menggunakan tenaga terlalu kuat sehingga tali pengikat mulut kantung menjadi putus. Ketika dia menjulurkan tangan, kantung itu terbuka mulutnya dan sebagian isinya berhamburan di atas genteng!
"Bangsat kurang ajar!" gadis itu membentak dan cepat sekali ia menggerakkan pedangnya menusuk ke arah dada Heng San.
"Eit! Aku tidak sengaja, nona:" Heng San berseru sambil cepat mengelak dari tusukan itu. Dia menutup kantung itu dan untuk mencegah isinya berhamburan keluar, dia menyelipkannya di ikat pinggangnya. Pada saat itu, lawannya sudah menggerakkan lagi pedangnya, membacok ke arah lehernya. Namun dengan luar biasa cepat dan gesitnya, Heng San sudah mengelak lagi. Sejak berguru kepada Pat-jiu Sin-kai dan digembleng ilmu silat tangan kosong yang banyak macamnya dan ada di antaranya yang merupakan ilmu silat tangan kosong yang khusus untuk melawan musuh yang menggunakan pedang. Maka, biarpun gadis itu menyerangnya terus secara bertubi-tubi, dengan mudah Heng San dapat menghindarkan semua serangan itu dengan elakan maupun tangkisan tangannya dari samping.
Dari serangan-serangan itu Heng San mengetahui bahwa gadis itu memiliki ilmu silat yang cukup lihai. Dia merasa kagum dan ingin sekali berkenalan karena dia menduga bahwa gadis ini adalah sebangsa gi-to (maling budiman). Akan tetapi setelah serangan bertubi- tubi itu selalu dapat dia hindarkan, hal ini tentu membuat gadis itu merasa dipermainkan dan menjadi marah sekali.
"Nona, tahan dulu, mari kita bicaraI" Heng San melompat ke samping sambil mengangkat kedua tangannya. Akan tetapi gadis itu yang menjadi gemas dan mendongkol karena semua serangannya luput atau tertangkis tangan yang berani bertemu pedangnya itu, tidak menjawab melainkan terus mengejar dan mengirim serangan-serangan maut!
Heng San men jadi bingung. Tiba-tiba dia mendapat akal. Dia sengaja memperlambat gerakannya sehingga ujung pedang gadis itu dapat menusuk ujung bajunya sehingga robek. Heng San sengaja berseru kaget dan ketakutan, lalu melompat ke samping sambi! berkata gugup.
"Nona...., nona yang baik.... sebelum kau bunuh aku, beritahu lebih dulu namamu, agar aku dapat mati dengan mata terpejam dan tidak menjadi setan penasaran "
Benar-benar gadis itu menahan pedangnya. Ia adalah seorang pendekar wanita yang tidak mau membunuh secara menggelap tanpa berani mengakui namanya.
"Dengar kau, bangsat kecil! Namaku adalah Ma Hong Lian, pendekar wanita dari Tit-le! Nah, sekarang terimalah kematianmu dengan mata terpejam!" Tanpa menanti jawaban ia Ialu menyerang kembali dengan gerakan Pek-hong-koan-jit (Pelangi Putih Penutup Matahari).
"Aihh....!" Heng San pura-pura terkejut dan bergerak cepat mengelak. Hatinya girang karena akalnya telah berhasil, dia telah mengetahui nama gadis jelita itu.
"Aih, Tit-le Lihiap (Pendekar Wanita dari Tit-le)! Kenapa engkau bernapsu besar untuk membunuhku? Engkau tidak takut nanti setanku seialu mengejarmu untuk menuntut balas?"
"Kamu laki-laki kurang ajar! Tunggu nonamu mengambil kepalamu!" Pedang itu berkelebat lagi menyambar ke arah leher.
"Haaitt ! Luput lagi, nona. Suka betulkah engkau pada kepalaku, nona Hong Lian?" Heng
San menggoda sehingga kemarahan gadis itu semakin memuncak. Ia merasa bahwa ia pasti akan dapat membunuh laki-Iaki kurang ajar ini karena bukankah tadi hampir saja pe- dangnya menembus tubuh pemuda itu dan merobek ujung bajunya?
Tiba-tiba nona itu terkejut bukan main. Kini gerakan kaki tangan Heng San berubah. Tubuh pemuda itu kini bergerak cepat sekali, berloncatan ke kanan kiri dan tiba-tiba di belakangnya dan cepat sekali sudah berada di depannya lagi sehingga mata gadis itu berkunang dan kepalanya menjadi pusing. Kemudian, sebelum ia mengetahui bagaimana pemuda itu melakukannya, tahu-tahu pedangnya telah terampas!
Melihat gadis itu kini berdiri di depannya dengan muka pucat, Heng San menjadi tidak tega dan merasa iba. Dia mengambil kantung dengan tangan kiri, lalu mengulurkan kedua tangannya, yang kiri memegang kantung yang kanan memegang pedang, sambil berkata lembut, "Nona,. terimalah barang-barangmu. Aku Lauw Heng San bukanlah bangsat kecil seperti yang kaukira. Atau.... sebaiknya kita jangan bicara tentang roh jahat atau maling, karena hal itu bisa menyinggung perasaanmu juga." Dia tersenyum. Gadis itu menggigit bibir sendiri dan memandang dengan penuh kebencian, lalu dengan isak tertahan ia membalikkan tubuh dan melompat pergil Heng San hendak mengejar, akan tetapi dia berpendapat bahwa hal itu tentu akan memperbesar kesalahpahaman dan menambah kemarahan nona itu. Maka dia lalu melompat pergi kembali ke rumah penginapan.
Ketika Heng Sang melompat memasuki kamarnya melalui jendela, dia disambut serangan hebat yang tidak disangka-sangkanya semula. Tiga batang golok menyambarnya dari balik jendela! Heng San bergerak cepat, seperti seekor burung tubuhnya sudah melayang kembali keluar kamar melalui jendela. Lima orang berpakaian seperti jago-jago silat, masing-masing memegang sebatang golok besar juga berlompatan keluar jendela dan setelah tiba di luar segera mengepung Heng San dengan muka bengis mengancam.
"Nah, itu dial Aku sudah curiga bahwa dia bukan orang baik-baik. Pantas dia berani bermalam di kamar ini. Ternyata dialah hantu dan roh jahat Itu. Serbu! Tangkap!!" Yang berteriak itu adalah pelayan rumah penginapan yang ramah itu.
Heng San menjadi marah. Akan tetapi dia dapat menduga bahwa hal ini merupakan kesalahpahaman dari pelayan itu yang mencurigainya. Tentu pelayan itu tadi telah membuka pintu kamarnya dan melihat dia tidak ada, lalu timbul kecurigaannya dan mendatangkan jagoan-jagoan untuk menangkapnya yang dikira pengganggu keamanan kota itu.
Dia hendak berlari pergi, akan tetapi dia teringat akan buntalan pakaiannya yang masih berada di dalam kamar. Ketika lima orang bergolok itu mengepungnya, Heng San cepat melompat ke atas, berpok-sai (bersalto) di udara dan tubuhnya masuk lagi ke dalam kamarnya. Cepat dia mengambil buntalan pakaiannya, digendong di punggung bersama pedang yang. dirampasnya dari gadis bernama Ma Hong Lian itu, kemudian ia melompat ke luar lagi. Lima batang golok menyambutnya. Akan tetapi Heng San mempergunakan kepandaiannya. Kedua tangannya bergerak, diikuti kedua kakinya dan terdengar suara berkerontangan ketika lima batang golok itu terlepas dari pegangan para pengeroyoknya, terlempar dan lima orang itu mundur dengan terkejut. Heng San menggunakan kesempatan itu untuk melompat jauh dan menghilang dalam kegelapan malam. Dia terus berlari meninggalkan kota Leng koan, akan tetapi ketika tiba di atas wuwungan toko obat di mana tadi Ma Hong Lian beraksi, dia teringat bahwa dia masih membawa setengah kantung terisi uang emas dan perak milik toko obat itu! Dia berhenti dengan ragu. Akan dikembalikankah uang pemilik toko obat itu? Tiba-tiba dia mendengar isak tangis yang datangnya dari rumah kampung di belakang toko obat. Di belakang toko-toko yang berjajar di sepanjang tepi jalan raya terdapat perkampungan rumah-rumah kumuh. Dia lalu berlompatan ke atas genteng rumah dari mana datangnya isak tangis wanita itu. Dia mengintai dari atas genteng.
Sebuah ruangan rumah yang kumuh dan kotor. Seorang wanita duduk di tepi dipan bambu menunggui seorang anak berusia lima tahun yang tampaknya sedang menderita sakit. Anak. itu menggigl1 kedinginan walaupun sudah ditimbuni kain-kain butut yang banyak. Jelas dia menderita demam. Seorang laki-Iaki setengah tua duduk di kursi butut dan tampak sedih sekali.
"Sudahlah, jangan menangis. Anak kita tidak akan sembuh oleh tangismu." kata laki-Iaki itu sambil menghela napas panjang.
"Keterlaluan sekali juragan toko obat itu. Kenapa dia tidak mau menolong anak kita? Pada hal, sudah bertahun-tahun aku bekerja mencucikan pakaian keluarga mereka." tangis wanita kurus itu.
"Orang-orang kaya itu, mana ada yang baik hati? Semakin kaya, mereka itu menjadi semakin kikir. Permintaan tolong kita dianggap sebagai pengganggu kesenangan mereka saja. Uhhh !" Tertegun Heng San melihat dan mendengar semua itu. Kini mengertilah dia apa yang telah diperbuat gadis bernama Ma Hong Lian itu. Gadis itulah yang mengambil uang para hartawan kikir dan dia pula yang membagi-bagikan uang kepada para fakir miskin. Ah, dan dia telah mengganggu pekerjaan gadis itu!
Terdorong oleh perasaan kagum terhadap nona itu, dia lalu mengambil beberapa potong uang perak dan dijatuhkan ke bawah dari celah-celah genteng. Beberapa potong uang itu jatuh ke atas meja di depan laki-laki itu, berbunyi nyaring. Laki-laki dan isterinya itu terkejut, terbelalak melihat empat potong uang perak di atas meja. Mereka sudah men- dengar ten tang adanya "dewa" yang memberi pertolongan kepada orang-orang miskin. Segera mereka berlutut dan menghaturkan terima kasih. Akan tetapi Heng San sudah melayang pergi tanpa menimbulkan suara. Dia membagi-bagikan sebagian isi kantung ke rumah-rumah kumuhdan miskin. Kemudian baru dia meninggalkan kota Leng-koan. Masih ada uang emas seperempat kantung. Kini dia tidak malu menganggap uang itu sebagai miliknya sendiri. Dia memang membutuhkan uang untuk biaya hidup.
Setelah berlari keluar kota Lengkoan beberapa lamanya, dia melihat sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan di tepi jalan. Kuil kosong itu tampak angker dan menakutkan, akan tetapi Heng San yang merasa lelah dan mengantuk, segera masuk ke dalam kuil, menemukan bagian yang agak bersih dan tidur di situ sampai pagi.
Pada keesokan harinya setelah matahari terbit, Heng San melanjutkan perjalanannya. Ketika melewati sebuah dusun, dia berhasil membeli seekor kuda yang kuat dan dia melanjutkan perjalanannya dengan menunggang kuda. Selama dua hari dia melakukan perjalanan naik turun bukit dan masuk keluar hutan. Dia menikmati keindahan pemandangan alam di sepanjang perjalanan. Kini dia selalu membawa bekal makanan roti dan daging kering, dan sebuah guci yang diisi air minum. Tidurnya di mana saja. Kalau perlu, karena tidak menemukan kota atau dusun dan kemalaman di jalan, dia tidur di kui! tua, di gubuk sawah ladang, atau di atas pohon!
Pada hari ke tiga, sejak pagi hari yang cerah itu Heng San menjalankan kudanya dengan santai memasuki sebuah hutan besar di kaki sebuah bukit. Hari itu cerah sekali. Sinar matahari pagi yang menerobos di celah-celah daun pohon mendatangkan kehidupan dalam hutan. Heng San menikmati perjalanan dalam hutan ini. Dia mendengarkan kicau burung-burung di dalam pohon dan terkadang melihat tupai berlompatan saling kejar memanjat pohon dengan gesitnya, atau melihat kelinci menyusup-nyusup di antara semak-semak. Ada pula dilihatnya sekumpulan kijang berlari cepat mendengar suara kaki kudanya. Heng San melihat dan mendengar itu semua dengan gembira. Dia tidak tahu ke mana arah kudanya berjalan dan dia juga tidak peduli. Ke manapun sama saja baginya, asal jangan kembali ke tempat yang sudah dilaluinya.
”Tolong....! Tolonggg !"
Heng San terkejut. Suara minta tolong itu keluar dari dalam hutan. Cepat dia membedal kudanya yang melompat dari berlari congklang ke depan, ke arah dari mana datangnya suara minta tolong.
Setelah tiba di tengah hutan, di tempat terbuka, dia melihat betapa belasan orang berpakaian sebagai perajurit sedang bertempur melawan dua puluh lebih orang-orang yang berpakaian biasa. Banyak orang berpakaian perajurit sudah menggeletak dan orang yang berteriak-teriak minta tolong adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh gemuk pendek. Dia memegang sebuah perisai di tangan kiri dan sebatang golok di tangan kanan dan dengan dua macam senjata ini dia membela diri dan menangkis serangan-serangan yang dilakukan seorang anggauta gerombolan yang menyerang para perajurit pengawal itu. Orang gemuk pendek ini melihat pakaiannya tentulah seorang pembesar. Heng San melompat turun dari kudanya dan langsung saja dia membantu pembesar itu. Sekali saja kakinya mencuat, penyerang pembesar itu terkena tendangannya dan terlempar jauh lalu jatuh terbanting, tidak mampu bangkit lagi. Heng San lalu menyerbu dan membantu para perajurit yang terdesak hebat. Begitu kaki tangannya bergerak, para anggauta gerombolan itu kocar-kacir, berpelantingan roboh.
Heng San merasa kagum dan juga bangga atas kemampuannya sendiri. Gerombolan yang bersenjata tajam dan rata-rata memiliki ilmu silat yang membuat para perajurit pengawal kewalahan itu, dengan mudah saja dia robohkan dengan tamparan dan tendangannyal Kepala gerombolan yang bercambang bauk dan bersenjata pedang, tubuh- nya tinggi besar dan kokoh melawan mati-matian ketika tiba gilirannya berhadapan dengan Heng San. Akan tetapi diapun hanya dapat bertahan selama belasan jurus saja. Akhirnya dia terkena tendangan Heng San dan roboh muntah darah.
"Anjing pemerintahl" kepala gerombolan itu memaki sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Heng San. "Siapakah engkau yang membela seorang pembesar anjing pengkhianat penindas rakyat?"
Sebelum Heng San menjawab, seorang perajurit meluncurkan anak panah. "Serrr....
cappp!" Anak panah itu menancap di leher kepala gerombolan yang seger a roboh dan tewas seketika.
Heng San terkejut dan dia tidak mengerti akan maksud kata-kata kepala gerombolan tadi. Sementara itu, pembesar yang tadi ditolongnya sudah membuang perisai dan goloknya, lalu menghampiri Heng San dengan wajah berseri.
"Hebat, hebat sekali Engkau sungguh seorang gagah perkasa, tai-hiap (pendekar besar) Kalau tidak ada tai-hiap yang datang menolong, tentu nyawa kami akan melayang semua. Ahh, sungguh keadaan tidak aman sekarang, di mana-mana terdapat perampok dan gerombolan yang jahat dan kejam. Mereka meminta barang barang kami dan sudah kami berikan, akan tetapi mereka masih menghendaki nyawa kami. Tentu saja kami melawan. Terima kasih, tai-hiap. Bolehkah kami mengetahui namamu yang terhormat?"
Heng San merasa rikuh juga melihat sikap pembesar yang demikian hormat kepadanya. Dia cepat membalas penghormatan itu dan berkata dengan sikap merendah. "Siauw-te (adik muda) bernama Lauw Heng San. Kebetulan saja siauwte lewat dan melihat pertempuran sehing ga dapat membantu tai-jin (pembesar) membasmi gerombolan perampok itu."
"Engkau sungguh seorang yang gagah perkasa, seorang pendekar besar yang mengagumkan. Siapakah julukanmu, Lauw taihiap (pendekar Lauw)?"
Heng San tersenyum. "Ah, tai-jin, orang seperti saya ini mana mempunyai julukan segala?"
Pembesar itu memperlihatkan wajah heran. "Sungguh tidak adil! Kami telah bertemu banyak orang gagah yang tingkat kepandaiannya jauh di bawah tingkat kepandaianmu, tapi mereka itu sudah mempunyai nama julukan yang hebat-hebat! Apa lagi yang berkepandaian selihai engkau ini, yang dengan tangan kosong saja dapat merobohkan belasan orang perampok yang bersenjata tajam dengan sekejap mata saja! Ah, Lauw- taihiap, percayalah, selama hidup belum pernah aku bertemu dengan pendekar sehebat engkau dan belum pernah menyaksikan kepandaian silat sedemikian tinggi. Engkau benar-benar seorang Sin Kun Bu Tek (Kepalan Sakti Tanpa Tanding)!"
Heng San merasa bangga sekali dan dia mengganggap pembesar itu sangat ramah dan baik. Dari logat bicaranya dia tahu bahwa pembesar itu seorang bangsa aseli, yaitu bangsa Han seperti dia sendiri. Memang tidak sedikit bangsa Han yang diangkat menjadi pembesar sipil oleh pemerintah Ceng, yaitu pemerintah Bangsa Mancu. "Terima kasih, tai-jin." kata Heng San sambil menjura, memberi hormat. "Saya tidak merasa pantas mempunyai julukan sehebat itu, akan tetapi kalau tai-jin berkenan memberikan julukan itu kepada saya, sayapun tidak berani menolaknya."
Pembesar itu bertepuk tangan. "Bagus, bagus! Memang engkau tepat sekali dengan julukan Sin-kun Bu-tek, karena sebagai seorang pendekar gagah, tidak kami lihat engkau tadi menggunakan senjata ketika melawan mereka."
"Memang senjata saya hanya sepasang tangan dan kaki ini, tai-jin. Pedang di punggung saya inipun bukan milik saya, melainkan milik seorang pencuri yang saya rampas di kota Leng-koan."
"Ahh! Jadi engkau sudah pula menangkap pelaku pencurian dan penyebaran penyakit yang kabarnya dilakukan roh jahat di kota Leng-koan itu, Lauw-taihiap?" tanya pembesar itu sambil membelalakkan mata penuh kagum.
”ia seorang pencuri biasa, bukan roh jahat, tai-jin." kata Heng San dengan singkat, bahkan dalam hatinya dia tidak menganggap pencuri itu orang jahat.
Pembesar gendut pendek itu mendekati Heng San dan menepuk-nepuk pundaknya dengan sikap akrab. "Lauw-taihiap, perkenalkanlah. Kami adalah seorang pembesar dari kota Keng-koan berpangkat ti-koan. Engkau masih muda dan gagah, marilah ikut kami ke Keng-koan, di mana engkau akan kami perkenalkan kepada Thio-ciangkun (Perwira Thio). Dia seorang pembesar miIiter yang berkuasa besar, cerdik pandai dan menjadi sahabat baikku. Thio-ciangkun adalah seorang pembesar militer yang menjadi tangan kanan kaisar yang bertugas membasmi gerombolan pemberontak yang berusaha untuk merobohkan pemerintah Ceng yang jaya."
Heng San merasa tertarik sekali. Ayah maupun gurunya tidak pernah bicara tentang pemerintah Kerajaan Ceng, maka dia tidak tahu akan politik kerajaan baru itu. Dia memang tidak memiliki pekerjaan dan kalau ada pekerjaan yang cocok dengan kepandaian silatnya, maka tentu saja dia suka.
"Jangan ragu, taihiap. Aku menjamin bahwa engkau tentu akan senang sekali berkenalan dengan orng-orang gagah yang menjadi para pembantu Thio-ciangkun yang pandai." bujuk pula pembesar gendut itu. "Aku bernama Liok Han Sai, dikenal sebagai Liok-tikoan yang selalu bertindak adil dan jujur."
"Akhirnya Heng San tidak menolak. ketika diajak ikut ke kota Keng-koan oleh Liok-taijin (pembesar Liok). Di sepanjang jalan, sambil duduk sekereta dengan pembesar itu dan kudanya dibawa perajurit pengawal, Heng San mendengarkan keterangan Liok-taijin tentang Thiociangkun yang dipuji-pujinya. Thio-ciangkun (Perwira Thio) itu bernama Thio Ci Gan, seorang perwira bangsa Han juga yang namanya terkenal di kota raja. Dia adalah seorang kepercayaan kaisar dan sudah berjasa besar sekali ketika ikut menghancurkan barisan Gouw Sam Kui yang tadinya bersekutu dengan pasukan Mancu kemudian membalik dan melawan pasukan Mancu secara mati-matian. Ketika Kaisar Kang Hsi dari kerajaan Ceng (Mancu) mendengar dari para penyelidik bahwa di daerah Keng-koan terdapat banyak orang-orang Han yang bersikap memberontak, kaisar lalu memerintahkan Thio Cin Gan untuk pindah ke kota Keng-koan dan menjadi komandan pasukan keamanan di kota itu. Tugasnya adalah membasmi kaum patriot bangsa Han yang menentang penjajahan Mancu. Di kota Keng-koan ini Thio Cin Gan yang cerdik membujuk para orang gagah dengan sogokan harta benda dan janji-janji muluk dan berhasil membentuk pasukan istimewa terdiri dari ahli-ahli silat yang dapat terbujuk.