Sepasang Pendekar Kembar Jilid 4

Jilid IV

"APALAGI? Tentu saja tuduhan sebagai kaki tangan pemberontak. Juga anak perempuannya ditangkap. Kemudian pembesar itu diam-diam memberi tahu kepada empek Lim bahwa, jika ia memberikan a-nak perempuannya dengan baik-baik untuk menjadi bini muda tikwan itu, maka anak mantunya boleh pulang dengan aman, akan tetapi kalau tidak, maka anak mantunya akan dihukum terus, sedangkan anak perempuannya juga akan ditahan." Orang itu menghela napas.

"Dan sekarang mengapa banyak orang membujuk-bujuk empek itu di sini?" tanya Lie Eng yang juga sangat tertarik dan penasaran oleh kelakuan tikwan jahanam itu.

"Pagi tadi empek Lim hendak bunuh diri dan terjun ke dalam sungai yang curam itu, maka ia dicegah oleh, orang banyak dan dibujuk-bujuknya supaya jangan mengambil keputusan pendek dan-nekat."

Ouwyang Bu tidak sabar lagi. Ia bertindak maju mendekati empek Lim itu dan berkata,

"Orang tua, jangan kau khawatir. Kami bertiga sanggup menolongmu."

Kakek itu heran mendengar kata-kata ini karena terdengar baru dan ganjil. Semenjak ia mendapat kesusahan ini, orang-orang hanya menghiburnya dan minta ia menyerahkan nasib kepada Yang Maha Kuasa. Tapi anak muda ini sanggup menolongnya, maka ia lalu mengangkat muka memandang. Melihat betapa anak muda itu berpakaian dan berwajah tampan dan gagah, serta di pinggang tampak gagang pedang,, tiba-tiba ia mendapat harapan besar. Ia lalu maju berlutut di depan Ouw-yang Bu dan kedua kawannya yang juga mendekatinya. "Kalau enghiong bertiga dapat menolong tak dan mantuku, aku yang tua akan bersembahyang siang malam memohon kepada Thian agar membalas budi kalian orang- orang gagah."

Kata-kata yang diucapkan dengan bibir gemetar dan mata basah ini membuat Lie Eng merasa terharu.

"Hayo antar kami ke kota Lam-oiu untuk bertemu dengan tikwan itu." kata gadis itu dengan gagah.

Melihat peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya itu, yakni betapa ada orang-orang muda yang hendak melawan tikwan, orang-orang kampung merasa heran dan gembira dan segera ada orang yang meminjamkan seekor kuda kepada empek Lim ke Lam-ciu.

Ketika mereka tiba di kota Lam-ciu mereka langsung menuju ke gedung tikwan. Melihat gedung yang angker dan megah itu, empek Lim menggigil karena bagaimana mereka dapat melawan seorang pembesar yang memiliki kekuasaan Tapi Lie Eng menghiburnya.

"Jangan kau takut, lopeh, aku yang tanggung bahwa, anak dan mantumu pasti akan dibebaskan?”

Mendengar suara gadis yang gagah itu, empek Lim merasa agak terhibur. Kedatangan mereka berempat disambut oleh penjaga pintu dan Ouwyang Bu berkata kepadanya,

"Beritahukan kepada tikwan bahwa kami hendak bertemu."

Penjaga itu menjadi marah melihat lagak mereka dan sebentar saja lima orang penjaga telah menghadapi mereka.

"Kami bertiga sengaja mengantar empek Lim ini untuk menghadap kepada tikwan dan minta keadilan," kata Ouwyang Bun yang tidak mau  menerbitkan keributan dengan penjaga itu.

"Tunggu saja di sini, akan kami laporkan..' kata kepala penjaga yang lalu masuk ke dalam. Tak lama kemudian penjaga itu datang dan mereka diperkenankan masuk, tapi dikawal oleh belasan penjaga.

Tikwan kota Lam-ciu adalah seorang gemuk yang bermulut lebar. Ketika ia keluar dengan pakaian kebesaran, wajahnya nampak pucat dan kepalanya dibalut. Begitu keluar dan melihat para tamunya yang memakai pedang di pinggang, ia segera menuding ke arah Ouwyang-hengte dan Lie Eng sambil berseru keras,

"Nah, inilah orang-orangnya. Tangkap...   tangkap mereka. "

Para penjaga yang belasan jumlahnya itu segera maju mengurung hingga Ouwyang-hengte dan Lie Eng menjadi marah sekali. Mereka cepat mencabut pedang, dan Lie Eng meloncat bagaikan seekor burung ke arah tikwan itu lalu ia pegang pundaknya dan pedangnya ditempelkan di lehernya.

"Kalau orang-orangmu bergerak, maka lehermu akan kuputuskan lebih dulu." ancamnya dengan marah dan gemas.

"Ampun.... ampun, lihiap.... ampun.," Tikwan itu ketakutan dan ia membentak para kaki tangan, "Eh, kalian... mundur. "

"Kau anjing gemuk. Tidakkah kau tahu sedang berhadapan dengan siapa? Kalau aku beri tahu kepada ayahku, pasti dengan tangannya sendiri ia akan mematahkan batang lehermu. Kau kenal ayah? Namanya Cin Cun Ong, kenalkah kau??" Makin takutlah tikwan itu mendengar nama Cin Cun Ong. Ia kini ingat bahwa Cin-ciangkun yang berpengaruh itu mempunyai seorang puteri yang gagah perkasa. Jadi inikah puterinya itu?

"Ampun, lihiap... ampun. Apakah salahku maka lihiap memberi pengajaran? A-ku... aku tidak bersalah apa-apa terhadap Cin-ciangkun ”

"Kau memang tidak bersalah terhadap kami, tapi apa yang telah kaulakukan terhadap keluarga Lim? Lihatlah kepada empek ini, apa yang telah kauperbuat terhadap anak perempuan dan menantunya?"

"Aku.... aku..... ah, mereka itu adalah pemberontak- pemberontak, lihiap. Menantunya adalah anggauta pemberontak, maka kusuruh tangkap." Tiba-tiba ia mendapat pikiran baik dan berkata dengan penuh semangat. "Lihatlah ini, lihiap. Aku dapat membuktikan bahwa menantu kakek Lim adalah pemberontak jahat, bahkan kakek Lim inipun tadinya hendak kusuruh tangkap hari ini juga. Malam tadi telah datang kawan-kawan menantunya dan apa yang mereka lakukan terhadapku? Lihatlah,, sendiri."

Tikwan itu lalu melepaskan pembalut kepalanya dan ternyata telinga kirinya terpotong dan lenyap. Kemudian secara singkat tikwan itu menceritakan betapa tadi malam kamarnya didatangi dua orang yang masuk dari jendela. Orang-orang itu mengancamnya   untuk   melepaskan menantu dari anak kakek Lim dan dengan pedang mereka lalu menyabet putus telinga kirinya. Dan di dalam kamarnya, di dinding yang putih, mereka gunakan darah yang mengucur dari telinganya untuk melukis sebatang bunga bwee. Mendengar penuturan ini, Lie Eng saling pandang dengan Ouwyang-hengte.

"Aku tidak percaya, yang perlu sekarang lekas keluarkan dan bebaskan anak dan menantu kakek ini."

Tapi pada saat itu, datang masuk sambil berlari-lari seorang berpakaian penjaga.

"Celaka, taijin. Dua orang penjaga penjara terbunuh mati dan menantu kakek Lim telah dibawa kabur penjahat. Juga..... anak perempuannya telah lenyap dari kamar tahanan."

Tikwan itu menjadi pucat. "Nah, inilah bukti lebih nyata lagi, lihiap. Mereka itu pasti pemberontak-pemberontak jahat. Lekas tangkap anjing tua ini." ia memerintahkan orang-orangnya.

Tapi Lie Eng mencegah. "Lepaskan dia. Dia orang tua, tidak tahu apa-apa. Lim-lopeh, sekarang pulanglah kau. Anak dan menantumu ternyata telah ditolong oleh orang- orang lain." Suara Lie Eng mengandung nada tak senang karena kini iapun percaya bahwa menantu kakek Lim itu tentu anggauta pemberontak.

"Mari kita periksa lukisan di dinding kamarmu," katanya kepada tikwan itu yang lalu mengantar mereka bertiga ke kamarnya. Tikwan ini benar-benar takut dan tunduk kepada Lie Eng, karena nama Cin Cun Ong yang terkenal, sebagai seorang jenderal perang yang keras, jujur, dan suka bertindak terhadap siapa saja yang tidak benar dalam anggapannya itu membuat semua pembesar merasa takut. Kini menghadapi puleri panglima tua itu, tentu saja ia merasa gemetar apalagi karena tahu bahwa gadis ini memiliki kepandaian tinggi dan kini datang berkawan pula. Benar saja, di atas dinding yang putih terdapat lukisan setangkai bunga bwee yang indah, dilukis dengan menggunakan tinta darah.

"It-to-bwee (Setangkai Bunga Bwee)?? Siapakah mereka ini?" tanya Lie Eng. Tapi Ouwyang-hengte yang baru saja muncul dalam dunia ramai, tentu saja belum pernah mendengar nama ini.

Setelah mereka keluar dari gedung tikwan, Ouwyang Bun berkata kepada Lie Eng,

"It-to-bwee tidak ada hubungannya dengan kita, untuk apa kita urus mereka? Asalkan mereka tidak mengganggu kita, biarkan sajalah. Lebih baik kita lanjutkan perjalanan kita."

Lie Eng mengerutkan jidatnya yang berkulit halus. "Tidak tahukah kau bahwa mereka itu mungkin anggauta- anggauta pemberontak yang berada di kota ini, kita harus cari dan basmi mereka. Demikianlah pesan ayah. Coba saja ingat, malam tadi mereka telah melukai seorang tikwan dan membunuh mati dua orang penjaga."

"Tapi mereka lakukan itu untuk menolong empek Lira dan anak menantunya. Bukankah kita juga tadinya bermaksud menolong mereka? Sudah sepatutnya tikwan jahanam itu mendapat hukuman.” kata Ouwyang Bun.

"Kalau semua orang boleh saja membunuh pegawai pemerintah, maka di manakah kewibawaan pemerintah. Tidak, twa-suheng, bagaimanapun, sudah kewajiban kita untuk mencari It-to-bwee ini dan menyelidikinya, apakah betul-betul orang-orang ini anggauta pemberontak yang perlu dibasmi." Ouwyang Bun melihat betapa adiknya diam saja mendengar perbantahannya dengan Lie Eng, lalu bertanya untuk minta bantuan,

"Bagaimana pikiranmu, Bu-te? Apakah kita harus mencari mereka itu atau kita biarkan saja dan melanjutkan perjalanan kita?"

Setelah memandang kepada Lie Eng, Ouwyang - Bu menjawab, "Aku sependapat dengan suraoi."

Mendengar jawaban ini, Lie Eng nampak gembira sekali dan lalu berkata dengan suara halus kepada Ouwyang Bun, "Twa-suheng, mungkin kau juga benar dan mungkin mereka ini bukanlah anggauta pemberontak, tapi hanyalah orang-orang gagah yang merantau dari dunia kang-ouw. Tapi tidak ada salahnya kalau kita mencoba selidiki dulu. Kalau mereka ternyata orang-orang gagah, lebih baik lagi, kita bisa berkenalan dengan mereka. Bukankah ini baik sekali?" kata-kata ini diikuti senyuman manis hingga Ouwyang Bun terpaksa menurut.

"Tapi ke mana kita harus mencari mereka?" tanya Ouwyang Bu.

Sebelum Lie Eng dapat menjawab pertanyaan sukar ini, Ouwyang Bun yang berotak cerdik berkata,

"Mereka telah menolong dan membawa pergi anak perempuan serta menantu empek   Lim.   Maka bagaimanapun juga, mereka pasti akan   menghubungi empek Lim. Kalau hendak mencari tahu tentang mereka, tiada jalan lain kecuali menghubungi kakek itu."

Lie Eng bertepuk tangan memuji. "Twa-suheng memang cerdik."

Ouwyang Bun melirik ke arah gadis itu dan diam-diam dalam hatinya ia memuji, "Ah, kau sendiri yang cerdik luar biasa. Kaukira aku tidak tahu bahwa pujian-pujianmu ini   sengaja, kaukeluarkan untuk menyenangkan hatiku karena kalah dalam perbantahan tadi?"

Memang Lie Eng adalah seorang gadis yang berpikiran cepat dan cerdik. Sebelum Ouwyang Bun mengeluarkan pendapatnya, memang ia telah berpendapat bahwa mereka harus mencari melalui empek Lim, tapi ia terlampau cerdik untuk menyatakan ini dan biarlah Ouwyang Bun yang mengemukakan pendapatnya. Gadis ini setelah kenal baik dengan Ouwyang-hengte, dapat membedakan, kedua saudara   itu, tidak saja membedakan rupa, tapi juga keadaan dan perangai mereka. Ia tahu bahwa Ouwyang Bu keras hati dan jujur, tapi tidak sepandai Ouwyang Bun yang sangat cerdik dan berbudi halus itu.

Hanya satu hal yang tak diketahui oleh gadis itu, yakni bahwa di dalam dada Ouwyang Bun telah timbul perang pertimbangan dan perasaan mengenai baik buruk dan benar salahnya orang-orang yang mereka sebut pemberontak jahat itu. Sebaliknya, dalam pikiran Ouwyang Bun sama sekali tiada sangkaan bahwa diam-diam gadis yang gagah dan cantik jelita itu telah jatuh hati kepadanya.

Sementara itu, sikap Ouwyang Bu yang terus terang dan jujur membuat Ouwyang Bun dan Lie Eng tahu jelas bahwa pemuda ini mencintai Lie Eng.

Demikianlah, setelah mengambil keputusan, ketiganya lalu cepat menyusul empek Lim yang pulang ke kampungnya menunggang kuda pinjamannya dengan cepat. Dan ketika empek ini sudah mengembalikan kuda kepada pemiliknya dan pulang ke rumah, ia mendapatkan sebuah surat di dalam kamarnya. Dengan cepat ia buka surat itu dan tangannya yang sudah tua itu gemetar ketika membaca isinya: Em pek Lim yang baik.

Aku dan kawan-kawanku telah menolong dan membebaskan anak serta menantumu dari cengkeraman pembesar korup. Tak mungkin menyuruh mereka pulang ke kampung karena pasti akan dicari oleh pembesar jahanam itu. Juga dengan suka rela menantumu hendak ikut dengan kami. Kalau kau hendak bertemu dengan   mereka, datanglah malam ini di hutan sebelah timur kampung

Tanda lukisan It-to-bwee

Girang sekali hati empek Lim membaca surat ini. Ah, benar saja anak dan- menantunya telah selamat. Tapi mengapa mereka hendak ikut dengan para penolong itu? Siapakah mereka ini dan mengapa anak dan menantunya hendak ikut mereka?

Pada saat itu, dari luar jendela terdengar suara,

"Empek, tolong kauperlihatkan surat itu kepada kami." Dan sebelum hilang kagetnya tahu-tahu tiga orang dengan gerakan cepat sekali telah berada di dalam kamarnya dengan meloncati jendela. Tapi kekagetan kakek Lim segera lenyap ketika melihat bahwa yang datang adalah tiga anak muda yang menolongnya tadi. Ia segera menjatuhkan diri berlutut di depan mereka, tapi Ouwyang Bun cepat mengangkatnya bangun.

Tanpa sangsi-sangsi lagi kakek-itu memberikan surat yang baru saja dibacanya kepada Lie Eng. Dara ini mengangguk-angguk karena ia makin yakin bahwa It-to- bwee dan kawan-kawannya adalah para anggauta pemberontak, dapat diketahui dari sebutan-sebutan mereka kepada pembesar yang penuh dengan kebencian dan makian "Lopeh, hati-hatilah kau malam nanti, jangan sampai ada orang yang mengikutimu," pesan Lie Eng. Mereka bertiga lalu meninggalkan kakek itu.

"Bagaimana, twa-suheng. Bukankah mereka itu mencurigakan sekali?" tanya Lie Eng.

Ouwyang Bun harus mengakui bahwa ia kini juga menyangka bahwa mereka itu adalah anggauta pemberontak. Tapi dugaan ini bahkan mempertebal rasa kagumnya terhadap sepak terjang kaum pemberontak. Kini ia dapat menduga mengapa kaum pemberontak itu demikian banyak mendapat bantuan para petani dan orang- orang miskin. Ternyata perbuatan mereka yang selalu menolong kaum lemah dan miskin tertindas, membuat rakyat kecil merasa simpati dan membantu mereka, seperti halnya dengan menantu empek Lim yang telah tertolong itu, kini secara suka rela agaknyapun hendak masuk menjadi anggauta pemberontak.

"Lebih baik kita mendahului mereka dan menyelidiki sekarang juga ke hutan itu, ia utarakan pikirannya. Lie Eng dan Ouwyang Bu setuju dan berangkatlah mereka ke hutan di sebelah timur kampung, hutan ini memang lebat dan liar, penuh pohon siong yang telah puluhan tahun umurnya.

Ouwyang-hengte dan Lie Eng menambatkan kuda mereka di luar hutan dan masuk hutan dengan jalan kaki. Mereka tak dapat menggunakan kuda karena kaki kuda bersuara berisik, menimbulkan kecurigaan .dan mudah diketahui orang dari jauh.

Pada waktu itu hari telah, mulai gelap, lebih-lebih di dalam hutan yang penuh pohon-pohon besar itu. Setelah masuk di tengah-tengah hutan, ketiga anak muda itu melihat sekelompok orang duduk mengelilingi api unggun. Mereka segera menghampiri kelompok orang itu sambil sembunyi-sembunyi di belakang rumpun. Dan ketika melihat orang-orang itu, terkejutlah Ouwyang-hengte dan Lie Eng. Ternyata di antara beberapa orang yang tidak mereka kenal, tampak kedua orang gadis berpakaian laki- laki murid Ciu Pek In, dan di situ terdapat pula Lui Kok Pauw, murid Kengan-san yang pernah mereka jumpai di tempat Gak Liong Ek Si Naga Terbang dari Liok-hui dulu. Sungguh-sungguh di luar dugaan mereka, dan kini tak dapat diragukan lagi bahwa mereka ini adalah anggauta-anggauta pemberontak, bahkan tokoh-tokoh yang penting. Di antara mereka tampak juga seorang laki-laki muda dan seorang perempuan yang berpakaian petani tapi berwajah cantik, maka mereka bertiga dapat menduga bahwa kedua orang itu tentu anak dan menantu dari kakek Lim.

"Bagaimana, sumoi? Kita serbu saja?" Ouwyang Bu berbisik perlahan kepada Lie Eng. Melihat bahwa keadaan para anggauta pemberontak itu tidak sekuat dulu, karena hanya terdiri dari tujuh orang saja, sedangkan yang sudah ketahuan kehebatannya hanyalah kedua murid Ciu Pek ln dan Lui Kok Pauw saja, maka Lie Eng memberi tanda setuju dengan anggukan kepala.

Tapi Ouwyang Bun berpikir lain. "Sabar dulu," bisiknya, "lebih baik kita muncul dengan baik-baik dan menanyakan It-to-bwee yang berada di antara mereka, dan kita lihat saja sikap mereka bagaimana."

Lie Eng dan Ouwyang Bu sebetulnya tidak menyetujui sikap sabar terhadap para pemberontak yang jelas menjadi musuh-musuh mereka itu, tapi tidak mau  berbantah pada saat seperti itu. Mereka lalu keluar dari tempat persembunyian dan dengan beberapa kali loncatan saja mereka telah berada di dekat mereka.

Tapi sungguh aneh, orang-orang yang mengelilingi api unggun itu tidak melihat kedatangan mereka. Bahkan Lui Kok Pauw hanya menengok sebentar kepada mereka dengan acuh tak acuh. Murid pertama dari Ciu Pek In, yakni gadis yang lebih tua daripada Siauw Leng yang dulu pernah mencoba kepandaian Ouwyang Bu,   agaknya menjadi pemimpin kelompok itu, karena ia segera berdiri menyambut Ouwyang-hengte dan Lie Eng, menjura sebagai pemberian hormat lalu berkata,

"Sam-wi telah sudi mengunjungi tempat kami yang kotor, silakan duduk dekat api. Maaf bahwa kami tak dapat menyediakan tempat yang lebih baik kepada sam-wi, tapi agaknya dekat api lebih baik daripada di belakang rumpun alang-alang itu, ia menunjuk ke arah di belakang rumpun di mana tadi mereka bertiga bersembunyi.

"Kau sudah tahu bahwa kami tadi bersembunyi di sana, nona?" tanya Ouwyang Bun kagum.

Nona itu tersenyum dan wajahnya yang gagah itu tiba- tiba berobah manis sekali, hingga dalam pandangan Ouwyang Bun, gadis ini bahkan lebih cantik daripada Lie Eng. Sayang bahwa pakaian dan topinya yang seperti laki- laki itu menyembunyikan kecantikannya.

"Bukankah sam-wi mencari It-to-bwee?"

"Di manakah pemberontak itu?" tiba tiba Lie Eng maju dan bertanya dengan suara keras.

Gadis itu menghadapi Lie Eng dengan senyum sabar. "Nona Cin, kau sungguh cantik dan gagah, pantas menjadi puteri Cin-ciangkun. Kau mau mencari It-to-bwee? Akulah orangnya, dan namaku Cui Sian."

"Bagus, dan mana kawanmu yang pergi bersamamu membunuh penjaga penjara?" tanya Lie Eng sambil mencabut pedangnya. "Akulah orangnya, kalian sudah kenal padaku, bukan?" dan meloncatlah Siauw Leng menghadapi Lie Eng. Gadis yang lincah ini tersenyum dan matanya berseri-seri memandang ke arah Ouwyang Bu.

"Kalau begitu, menyerahlah kalian." bentak Ouwyang Bu.

Cui Sian tertawa dengan nyaring. "Kalian ini sungguh harus dikasihani. Benar seperti kata suhu bahwa kalian adalah tiga batang kembang teratai yang tumbuh di. dalam lumpur. Tanpa sadar kalian telah menghambakan diri kepada raja lalim,, memusuhi pejuang-pejuang rakyat. Tanpa disadari membela para pembesar ganas, pemeras rakyat jelata."

Mendengar ini, Lie Eng tak dapat mengendalikan kesabaran hatinya lagi. "Bangsat pemberontak." makinya dan pedangnya berkelebat menyambar. Tapi dengan gesit sekali Cui Sian dapat mengelakkan serangan itu sambil mencabut pedang.

"Kau hendak menguji kepandaian? Baik, baik, mari kita main-main sebentar, agar kau ketahui kehebatan It-to- bwee."

Maka bertempurlah Lie Eng dan Cui Sian. Keduanya sama gesit dan sama mahir mempermainkan pedang. Keduanya sama-sama murid tokoh persilatan yang tenar namanya. Sebagai puteri tunggal dari Cin Cun Ong, tentu saja Lie Eng memiliki kepandaian silat dan ilmu pedang yang luar biasa, karena sepasang pedang (siang-kiam) di tangannya itu dimainkan dengan ilmu silat pedang- berpasang ciptaan ayahnya sendiri yang disebut Im-yang Siang-kiam-hoat. Begitu ia putar kedua pedangnya, lenyaplah tubuhnya terbungkus sinar kedua pedangnya itu.

Tapi ia kini menghadapi Cui Sian, murid pertama dari Ciu Pek In yang terkenal sebagai Si Naga Sakti. Cui Sian atau yang dijuluki It-to-bwee (Setangkai Kembang Bwee) segera memutar pedangnya dalam gerakan ilmu silat Sin- liong Kiam-sut yang memiliki sinar panjang dan kuat. Gerakan pedangnya seperti gelombang samudera yang menelan sinar kedua pedang Lie Eng, tapi karena Lie Eng mempunyai ilmu pedang Im Yang yang gerakannya sangat bertentangan yang kiri dengan tenaga kekerasan, sebaliknya yang kanan digunakan dengan tenaga lembek, dan begitu sebaliknya hingga untuk beberapa puluh jurus mereka bertempur dengan hebat dalam keadaan berimbang.

Akan tetapi, setelah bertempur seratus jurus, diam-diam Lie Eng mengakui bahwa kepandaian lawan ini sungguh hebat dan luar biasa, dan mulailah ia terdesak. Tiba-tiba terdengar bentakan Ouwyang Bu yang tidak enak harus tinggal diam saja melihat Lie Eng terdesak. Ia menyerbu masuk ke dalam kalangan pertempuran dengan pedang di tangan. Tapi ia disambut oleh Siauw Leng, yakni adik dari Cui Sian. Seperti dulu, kedua anak muda ini bertanding lagi. Tapi kalau dulu mereka hanya bertanding tangan kosong, kini keduanya menggunakan pedang. Juga Ouwyang Bu begitu pedangnya terbentur dengan pedang Siauw Leng, harus mengakui bahwa gadis yang lincah ini memiliki tenaga lweekang dan gerakan pedang yang hebat dan merupakan lawan yang kuat.

Ouwyang Bun berdiri bingung. Haruskah ia turun tangan? Ia melihat bahwa selain Lui Kok Pauw, di situ masih ada tiga o-rang lagi yang agaknya memiliki kepandaian tinggi, maka andaikata ia maju pula turun tangan, belum tentu pihaknya akan mendapat kemenangan, dan hasil dari serbuan ini tentu hanya akan memperhebat permusuhan belaka. Oleh karena itu ia mencabut pedangnya dan meloncat memisah Cui Sian dan Lie Eng yang sedang bertempur sambil berkata,

"Sumoi, tahan."

Lie Eng melohcat mundur dan merasa girang karena menyangka bahwa Ouwyang Bun   hendak menggantikannya, tapi ia kecewa melihat bahwa Ouwyang Bun hanya memisah saja, bahkan kini membentak adiknya supaya menghentikan pertempurannya. Ouwyang   Bu dengan bersungut-sungut juga meloncat mundur dan pertempuran dihentikan. Orang-orang yang mengelilingi api unggun tetap di tempatnya tidak bergerak.

"It-to-bwee, kau memang gagah dan maafkan kami- kalau mengganggu. Biarlah lain kali kita bertemu pula." kata Lie Eng dengan hati gemas kepada Ouwyang Bun yang tak mau membantunya. "Nona Cin, kau juga hebat," jawab Cui Sian sambil tersenyum, "sayang kita dilahirkan di tempat yang berbeda, kalau tidak, aku akan senang sekali bersahabat dengan kau."

Tanpa menjawab dan dengan muka cemberut menandakan bahwa hatinya masih merasa dendam dan jengkel karena tak dapat mengalahkan lawannya, Lie Eng lalu meloncat pergi, diikuti oleh Ouwyang Bu. Sementara itu, Ouwyang Bun menjura kepada Cui Sian sambil berkata,

"Kulihat bahwa nona dan kawan-kawan nona adalah orang-orang perwira yang memiliki kepandaian tinggi dan orang baik-baik, tapi mengapa sampai menjadi anggauta pemberontak?"

Nona itu memandang wajah Ouwyang Bun dengan tajam dan tiba-tiba muka yang tadinya lemah lembut itu kini tampak berapi ketika ia berkata,

"Sudahlah. Kau yang dilahirkan di air laut tentu menganggap bahwa semua air rasanya asin dan tidak tahu bahwa air daratan adalah air tawar yang rasanya manis. Berkali-kali kami masih memberi kesempatan hidup kepada kau dan kawan-kawanmu tapi sekali lagi kita bertemu, hanya ujung pedanglah yang akan menentukan."

Ouwyang Bun merasa hatinya tertusuk sekali oleh ueapan ini dan ia makin bimbang dan ragu-ragu. Menghadapi dua pihak yang bermusuhan ini, ia merasa terjepit di tengah-tengah seakan-akan orang berdiri di antara dua api yang bernyala-nyala panas. Akhirnya dengan menghela napas dan menundukkan kepala ia pergi menyusul Lie Eng dan Ouwyang Bu.

Setelah mereka bertiga berkumpul kembali, Ouwyang Bu berkata, "Mereka masih berada di sana, mengapa kita tidak minta bantuan pembesar kota untuk mengerahkan barisan penjaga dan menawan mereka itu? Dengan bantuan kita bertiga, tentu mereka semua akan dapat dibekuk dan diserahkan kepada pengadilan."

Ouwyang Bun buru-buru mencela usul adiknya dan berkata, "Ah, apa perlunya hal itu kita lakukan? Kurang baik dan memalukan. Apakah untuk melawan beberapa orang saja kita harus mengerahkan barisan penjaga? Pula mereka telah berlaku lunak terhadap kita, apakah perlunya kita membalas dengan kekerasan. Ini akan memalukan dan menodai nama baik kita saja."

"Bun-ko. Mengapa akhir-akhir ini hatimu begitu lemah? Kau pikir sedang menghadapi siapa? Ingat, kita menghadapi pemberontak jahat. Mereka itu harus dibasmi. Sekarang kita bertemu dengan mereka dan mendapat kesempatan baik sekali, mau tunggu apa lagi?"

Ouwyang Bun menghela napas. Otaknya membenarkan kata-kata adiknya, tapi hatinya membantah. Ia lebih taat kepada suara hatinya, maka katanya, "Bu-te, sebenarnya mereka itu mempunyai kesalahan apakah terhadap kita? Apakah mereka pernah mengganggu kau atau aku, atau bahkan pernah mengganggu sumoi? Mengapa kita mau menawan mereka dan kemudian mereka dihukum mati seperti semua orang yang dianggap anggauta pemberontak? Bukankah itu terlalu kejam?"

Lie Eng memandang wajah Ouwyang Bun dengan tajam, lalu berkata,

"Untung sekali bahwa kau tidak mengucapkan kata-kata ini di depan ayah. Kata-katamu ini dapat dianggap mengkhianati negara. Ah, twa-suheng, kau tak dapat menjadi seorang perajurit yang baik. Kau bukan berdarah perajurit hingga kau terlalu menurutkan suara hati, dan tidak taat kepada perintah atasan serta tidak tahu akan tugas kewajiban sebagai seorang perajurit. Aku tidak dapat menyalahkan-mu, suheng, karena kau belum pernah mengalami pertempuran hebat. Kalau saja kau tahu dan pernah mengalami betapa para pemberontak itu menyembelih tentara kita dengan kejam, betapa mereka itu membasmi dan membinasakan seluruh keluarga para pembesar yang jatuh ke tangan mereka, betapa anggauta- anggauta mereka itu pada malam hari mendatangi gedung- gedung orang hartawan dan pembesar tinggi untuk merampok harta dan membunuh jiwa, betapa mereka bercita-cita untuk menggulingkan pemerintah dan untuk membunuh kaisar dan semua pembesar tinggi yang sekarang berkuasa, tentu kau takkan bicara seperti itu." Gadis ini bicara dengan bernapsu sekali. Dan aneh, tiba-tiba saja kedua matanya yang bening dan bagus itu mengalirkan air mata.

Melihat keadaan gadis itu dan mendengar kata-katanya, Ouwyang Bun duduk kebingungan, sedangkan   Ouwyang Bu merasa terharu dan jengkel, la memang telah jatuh hati kepada sumoinya ini dan mencintainya tanpa disadarinya, maka mendengar kata-kata gadis itu, timbullah semangatnya. Serentak ia berdiri dan mengepal tinju.

"Kalau begitu, mengapa kita membuang-buang waktu di sini dengan mengobrol saja? Hayo kita lekas menjemput pengawal dan membasmi mereka itu."

Tapi biarpun Ouwyang Bun telah mendengar kata-kata. gadis itu dengan segala alasannya, namun ia tetap ragu-ragu dan1 tidak bergerak dari tempat duduknya. Mungkinkah seorang gadis secantik dan segagah Cui Sian itu dapat berlaku sekejam dan sejahat itu? Ketika Lie Eng melihat sikap Ouwyang Bu yang bersemangat, ia berkata, "Ji-suheng, takkan ada artinya kalau kita menyerbu ke sana. Sepanjang pengetahuanku, mereka itu bukanlah orang-orang bodoh, dan setelah tempat mereka kita ketahui, tentu mereka akan berpindah tempat secepatnya dan dapat kupastikan bahwa jika kita membawa barisan menyerbu ke sana, tentu mereka telah pergi dari situ. Kalau hal ini terjadi, maka kita hanya akan mereka tertawakan dan mendapat malu saja. Biarlah kali ini kita biarkan mereka, tapi lain kali kalau kita mendapat kesempatan] bertemu dengan anggauta pemberontak lagi, kita sekali-kali tidak boleh berlaku lemah." sambil berkata demikian, Lie Eng mengerling kepada Ouwyang Bun yang hanya menundukkan kepala.

Pada keesokan harinya, setelah meninggalkan pesan kepada tikwan agar jangan berlaku sewenang-wenang dengan ancaman bahwa hal itu akan diadukan kepada ayahnya, Lie Eng dan Ouwyang-hengte meninggalkan tempat itu untuk melanjutkan perantauan mereka.

Pada suatu hari mereka tiba di sebuah kampung yang tampak sunyi sekali. Di dalam kampung itu terdapat dua buah rumah penginapan sederhana, tapi anehnya, ketika ketiga anak muda itu hendak bermalam dan minta kamar, kedua rumah penginapan itu tidak mau menerima mereka dengan alasan kamar penuh.

Ouwyang Bu yang beradat keras segera berkata,

"Kamar penuh? Eh, louwko, kami datang dari tempat jauh dan sudah lelah sekali. Kau harus menerima kami."

Pengurus rumah penginapan itu dengan wajah muram menjawab, "Bagaimana kami dapat menerima kalian? Kamar sudah penuh, lebih baik sam-wi terus saja, Di sebelah barat kira-kira limabelas li dari sini terdapat sebuah kampung dan di situ juga ada rumah penginapan.”

"Kau gila?" Ouwyang Bu membentak. "Hari sudah malam dan kami sudah lelah, kau bilang harus melanjutkan perjalanan? Kaukatakan bahwa rumah  penginapanmu penuh, tapi mana tamunya? Aku tidak melihat seorangpun di sini. Jangan kau menipu kami, apa kaukira kami takkan membayar sewa kamarnya?"

Melihat pemuda itu menjadi marah, pengurus rumah penginapan yang sudah tua itu cepat menjura dengan hormat. "Maaf kongcu, bukan saya menipu, tapi benar- benar semua kamar telah diborong oleh Lai-loya untuk digunakan malam ini dan besok hari. Saya tidak berani melanggar perintah dan pesannya."

"Lai-loyamu itu mengapa begitu serakah? Kamar begini banyak hendak disewanya semua? Sungguh gila." kata Ouwyang Bun yang juga merasa jengkel.

"Lai-loya hanya menggunakan dua kamar, tapi ia tidak mau terganggu oleh tamu-tamu lain, maka ia borong semua kamar. Dan siapakah yang berani membantah perintah Lai- loya?" kata pengurus itu dengan muka takut-takut dan melihat ke sana-sini karena ia khawatir kalau-kalau ada orang mendengar betapa Lai-loya dimaki-maki oleh Ouwyang Bun.

Mendengar jawaban ini, Ouwyang Bu marah sekali dan ia segera mengangkat tangan hendak memukul sambil berkata, "Kau harus memberi kamar kepada kami. Sedikitnya kau harus melihat bahwa di antara kami ada terdapat seorang siocia. Aku dan kakakku dapat tidur di luar atau di lantai, tapi untuk siocia ini kau harus memberi sebuah kamar." Ouwyang Bun melihat betapa adiknya hendak memukul tuan rumah, segera mencegahnya dan dengan suara halus lalu berkata, "Saudara, berlakulah baik hati dan berilah sebuah kamar untuk sumoiku ini. Nanti kalau Lai-loya itu marah, kami yang akan menghadapinya."

Lie Eng juga tidak sabar lagi, lalu maju dan bertanya kepada pengurus rumah penginapan, "Eh, sebenarnya Lai- loya ini orang macam apakah? Apakah ia telah menjadi raja?"

"Di kampung ini ia memang sama dengan raja. Siapa berani membantahnya? Hampir semua rumah-rumah di kampung ini adalah miliknya dan  semua sawah ladang di sekeliling kampung inipun miliknya. Boleh dibilang sekampung ini adalah hambanya, karena betapapun juga, kami telah berhutang budi kepadanya."

"Berhutang budi? Bagaimana maksudmu?" tanya Lie Eng.

"Lai-loya telah begitu baik hati sudi menyewakan rumah- rumahnya itu kepada kami dan menyerahkan tanah- tanahnya itu untuk kami kerjakan dengan bagi hasil. Kalau tidak ada dia, bukankah kami akan mati kelaparan?"

Lie Eng memandang heran, sedangkan Ouwyang Bun tiba-tiba menjadi tertarik sekali. "Kau bilang bahwa dia yang menolong semua penduduk kampung ini? Dan berapa kau bayar untuk sewa rumah ini?"

"Murah saja, hanya seperempat bagian dari seluruh hasil usaha kami."

"Seperempat bagian? Dan kaukatakan ini sebagai pertolongan?" setelah berkata demikian, tiba-tiba Ouwyang Bun tertawa bergelak-gelak. Ia merasa geli dan kasihan melihat kebodohan orang kampung itu dan merasa marah mengingat akan kelicinan orang she Lai yang memeras penduduk kampung tapi masih menerima ganjaran nama baik sebagai "penolong besar" itu. Alangkah bodohnya orang-orang kampung ini dan alangkah pintarnya hartawan itu.

"Apalagi kalau bukan pertolongan?" pengurus rumah penginapan itu berkata lagi. "Kalau tidak ada Lai-loya, takkan ada rumah ini, dan kalau tidak ada rumah ini, kami takkan dapat membuka perusahaan ini."

Kembali Ouwyang Bun tertawa geli. "Dan sawah-sawah ladang itu? Apakah hendak kau bilang juga bahwa kalau tidak ada Lai-loyamu itu, maka takkan ada sawah ladang dan tanah? Apakah Lai-loya itu yang membikin tanah di sekitar kampung ini pula?"

"Tentu, kalau tidak ada dia tentu kita tidak bisa menyewa tanah sawah di sekitar kampung ini. Dan tentang membikin tanah...." penjaga rumah penginapan itu berhenti karena bingung.

"Bun-ko, sudahlah," tiba-tiba Ouwyang Bu menyela kakaknya, "apakah anehnya dengan semua itu? Memang sudah menjadi kebiasaan demikian, yakni penyewa rumal" harus membayar dan penggarap tanah harus pula membagi hasilnya kepada pemilik tanah. Apakah yang aneh dalam hal ini maka kau menjadi heran dan menertawakannya?"

Ouwyang Bun memandang kepada adiknya dengan heran. "Apa? Kau juga tidak dapat melihat kelucuan hal ini? Tak dapatkah kau melihat kejahatan orang she Lai itu? Kejahatannya lebih besar daripan da kejahatan seorang perampok. Tidak tahukah kau.... dan kau, sumoi, kau juga tidak tahu? Tidak mengerti.....?" Ouwyang Bun memindah- mindahkan pandangan matanya kepada Lie Eng dan Ouwyang Bu, tapi kedua anak muda itu hanya balas memandang dengan penuh keheranan.

Akhirnya Ouwyang Bu segera memegang pundak kakaknya karena  ia merasa cemas kalau-kalau kakaknya itu terlampau lelah. "Bun-ko, sudahlah. Kau perlu beristirahat. Jangan pikirkan hal itu lagi, karena bukankah ayah juga seorang kaya dan memiliki banyak tanah dan rumah pula? Ingatlah, sawah-sawah dan rumah-rumah kita juga banyak disewa orang seperti yang terjadi di kampung ini."

Tapi sungguh tak terduga sama sekali, mendengar kata- kata adiknya ini, tiba-tiba Ouwyang Bun menggunakan tangannya untuk memukul tiang yang berdiri di dekatnya hingga dengan mengeluarkan suara keras tiang kayu yang besar itu roboh karena sebagian daripadanya hancur kena pukulan Ouwyang Bun.

"Itulah yang memualkan perutku. Itulah.."   sambil berkata demikian pemuda itu berjalan ke arah sebuah kamar yang kosong dan tanpa melepas pakaian atau sepatunya lagi ia menjatuhkan diri di atas pembaringan dan kemudian terdengarlah dengkurnya.

Ouwyang Bu saling pandang dengan Lie Eng. Keduanya heran sekali melihat kelakuan Ouwyang Bun seperti itu. Sementara itu, pengurus rumah penginapan melihat betapa galaknya mereka ini, hinggai ia tak berani, membantah, lalu menyediakan dua kamar untuk mereka. Hanya ia berkata berkali-kali kepada Ouwyang Bui dan Lie Eng bahwa mereka harus berani bertanggung jawab bila nanti Lai-loya menjadi marah.

"Jangan takut, kami yang akan menghadapi loyamu itu." Ouwyang Bu akhirnya membentak marah hingga pengurus rumah penginapan itu menjadi takut dan pergi. Lie Eng memasuki kamarnya dan beristirahat, sedangkan Ouwyang Bu masuk ke dalam kamar yang ditiduri kakaknya. Dengan khawatir dan penuh kasih sayang, ia perlahan-lahan membuka sepatu kakaknya itu lalu menyelimuti tubuh Ouwyang Bun. Lalu ia duduk di pinggir pembaringan dan berkali-kali meraba jidat   kakaknya, karena ia khawatir kalau-kalau kakaknya jatuh sakit. Ouwyang Bu sampai lupa akan diri sendiri yang sama sekali belum mel ngaso itu. Sambil memandangi wajah kakaknya, ia merasa bingung memikirkan mengapa kakaknya menjadi begini. Sungguh ia tidak mengerti.

Terdengar suara panggilan perlahan dari Lie Eng di luar pintu. Ouwyang Bu lalu keluar. Ternyata, setelah mencuci muka dan badan, gadis itu memesan makanan dan maksudnya mengajak kedua suhengnya itu makan malam.

"Sumoi, kau makanlah lebih dulu. Bun-ko belum bangun."

"Bagaimana dia? Apakah sakit?" Lie Eng bertanya dengan khawatir lalu ia memasuki kamar itu. Dengan penuh perhatian dipandangnya muka pemuda yang berbaring itu dan dengan gaya yang mesra dirabanya jidatnya. Kemudian ia berpaling dan bersama Ouwyang Bu keluar dari kamar.

"Kalau begitu biarlah kita menanti sampai ia bangun," katanya perlahan.

"Sumoi, kau makanlah dulu. Kau lelah dan sejak pagi tadi belum makan pagi. Makanlah, nanti kau sakit," kata Ouwyang Bu dengan penuh perhatian.

Mendengar suara pemuda itu, Lie Eng menjadi terharu. Ia maklum bahwa pemuda ini mencintainya, tapi apa daya hatinya telah terjatuh oleh sinar mata Ouwyang Bun. la hanya menggelengkan kepala dan menjawab, “Biarlah, ji-suheng, aku juga belum lapar benar. Kita makan sama-sama saja nanti kalau twa-suheng telah bangun." Dan gadis ini lalu lari ke kamarnya.

Ketika Ouwyang Bii memasuki kamarnya lagi, ia melihat kakaknya bergerak-gerak. Ia cepat   menghampiri dan duduk di pinggir pembaringan. Ouwyang Bun membuka matanya perlahan dan memandang adiknya.

"Bun-ko, bagaimana? Kau merasa pening?" tanya adiknya sambil memegang lengannya.

Ouwyang Bun menggeleng-gelengkan kepala.

"Bun-ko, kau kenapa? Apakah kau marah kepadaku?

Kalau aku bersalah, pukul saja aku, Bun-ko."

Tiba-tiba Ouwyang Bun bangun cepat. Ia peluk adiknya yang dikasihinya ini.

"Adikku, adikku.... tidak. Kau tidak bersalah, Bu-te. Akulah yang bersalah, ah.... kau juga.... kita berdua dan... dan suhu juga. "

"Bun-ko, apa maksudmu?" Ouwyang Bu memandang dengan mata terbelalak.

"Ya, suhu salah, bahkan.,., ayah juga salah        Ah,

adikku, tidak tahukah kau bahwa mereka itu, orang-orang yang kita anggap pengkhianat dan pemberontak jahat itu, mereka adalah orang-orang yang benar cinta kepada tanah air dan bangsa? Mereka adalah patriot-patriot sejati. Mereka benar, memang keadaan rakyat kita sangat sengsara dan perlu ditolong."

Ouwyang Bu memandang kakaknya dengan mata liar. Ia takut kalau-kalau kakaknya telah menjadi gila. Kata-kata kakaknya membuat ia marah sekali. Ia pegang kedua pundak Ouwyang Bun sambil berkata dengan suara berbisik tapi penuh nap-su hingga terdengar mendesis,

"Apa katamu....? Apa katamu....??" Ia mengguncang- guncangkan tubuh kakaknye seakan-akan hendak membuat kakaknya sadar dari maboknya

Dengan tubuh lemas dan suara terputus-putus Ouwyang Bun berkata,

"Memang.... suhu.. susiok... ayah dan kita sendiri     kita

semua tersesat dan menjadi.... alat. belaka.     "

"Plok.." tangan Ouwyang Bu menampar   muka kakaknya. Karena Ouwyang Bun tidak mengelak atau menangkis, maka tamparannya tepat mengenai pipi Ouwyang Bun hingga darah merah mengalir keluar, dari bibir pemuda ifu. .

"Ya, tamparlah.... tamparlah sekali lagi, dua kali, ya tamparlah seratus kali, Bu-te. Memang aku pantas ditampar untuk menebus dosa suhu, dosa ayah........ dosa kita. "

Melihat betapa muka kakaknya yang dikasihinya itu berdarah, tiba-tiba Ouwyang Bu memeluk kakaknya dan menangis.

"Bun-ko.... Bun-ko, jangan kau bicara begitu, Bun-ko....

kau tidak sayang kepada adikmu   ?"

"Bu-te, siapa bilang aku tidak sayang kepadamu? Aku tidak gila, juga tidak ma-bok. Semua kata-kataku itu kuucapkan dengan penuh "kesadaran. Bu-te, kalau kau memang menurut kehendakku, marilah kita pergi dari sini. Marilah kita tinggalkan sumoi dan tinggalkan semua ini, kita pergi ke puncak gunung dan mengasingkan diri dari dunia yang penuh keributan ini." Ouwyang Bu bangun duduk dan memandang muka kakaknya.

"Bun-ko, kalau aku tidak sangat sayang kepadamu, untuk ucapanmu terhadap ayah dan suhu tadi saja, sudah cukup bagiku untuk membunuhmu. Tapi aku tak dapat melakukan itu, dan kau.... janganlah kau berbuat semacam ini, Bun-ko. Apakah kau ingin menjadi seorang pengkhianat? Ingin melawan dan memusuhi pendapat dan cita-cita ayah dan suhu sendiri? Di mana jiwa kebaktianmu terhadap orang tua dan guru? Apakah kau ingin menjadi pengecut yang merasa takut terhadap para pemberontak itu dan mengundurkan diri? Ah, Bun-ko, pikirlah baik-baik."

"Adikku, bukan sekali-kali aku pengkhianat atau pengecut. Kau cukup tahu o-rang macam apa kakakmu ini. Hanya saja, aku telah merasa yakin bahwa tindakan kita ini keliru. Kita tidak boleh memusuhi para pejuang rakyat itu, bahkan seharusnya kita membantu. Kalau kau   suka menurut kakakmu dan masih percaya akan bimbinganku, mari kita pergi dan kau kelak akan melihat sendiri bahwa pendapatku ini benar semata-mata."

"Tak mungkin." adiknya menjawab sambil menggelengkan kepala.

Ouwyang Bun memegang. pundaknya. "Bu-te, kau.....

cinta pada sumoi, bukan?"

Pundak yang dipegang itu sesaat menggigil sedikit. Akhirnya Ouwyang Bu mengangguk perlahan lalu menundukkan mukanya.

Ouwyang Bun menepuk-nepuk pundak adiknya. "Aku tahu, adikku. Dan aku girang, karena Lie Eng memang seorang gadis yang tepat sekali untuk menjadi isteri-mu. Tentang tunanganmu pilihan ibu, ah, aku   sendiripun kurang begitu cocok dengan pendapat orang-orang tua yang secara sembrono telah memilihkan calon isteri untuk anak- anak mereka. Berbahagialah kau dengan Lie Eng, adikku."

Ouwyang Bu terkejut dan memandang muka kakaknya. "Kau. kau hendak pergi ke mana, Bun-ko?"

Ouwyang Bun menggeleng-gelengkan kepala. "Kau tak perlu tahu, Bu-te."

"Bun-ko, kau tahu, kalau.... kalau di sini tidak ada sumoi, tentu aku akan ikut padamu."

Kakak itu menepuk-nepuk pundak adiknya. "Aku tahu..... aku tahu. "

Pada saat itu, dari luar terdengar bentakan keras,

"Orang-orang kurang ajar dari manakah berani merintangi kehendak Lai-loya?"

Sementara itu, Lie Eng menolak daun pintu kamar Ouwyang-hengte sambil berkata perlahan,

"Ji-wi suheng, mari kita makan dulu. Perutku sudah lapar sekali."

Ouwyang-hengte lalu turun dari pembaringan dan melangkah keluar. Mereka melihat seorang laki-laki tinggi besar berdiri sambil bertolak pinggang dengan lagak sombong sekali. Laki-laki tinggi besar itu memaki-maki pengurus rumah penginapan dan beberapa kali melirik ke arah Ouwyang-hengte dan Lie Eng, tapi ketiga anak muda ini tidak memperdulikannya, bahkan dengan tenang lalu duduk mengelilingi meja makan yang sudah disiapkan oleh Lie Eng. Gadis ini tadi mendengar suara kedua suhengnya bercakap-cakap di dalam kamar, ia segera menyediakan makanan dan mengajak suheng-suhengnya makan, dan sedikitpun tidak memperdulikari rbentakan orang kasar di luar itu. Begitulah, dengan enak ketiganya makan. Lie Eng yang bermata tajam maklum bahwa ada terjadj sesuatu antara kedua suheng itu, karena sebentar-sebentar Ouwyang Bu memandang kakaknya sedangkan Ouwyang Bun menjadi pendiam sekali, tapi pandangan matanya tenang dan tidak liar seperti tadi ketika marah.

Sementara  itu, laki-laki tinggi besar itu  setelah mendengar keterangan pengurus  penginapan, menjadi marah sekali. Ia adalah kepala dari para tukang pukul atau kaki tangan Lai-loya. Namanya Cu Houw dan ia terkenal kejam serta  ditakuti  karena bertenaga besar  dan berkepandaian tinggi. Ia hendak mengajar adat kepada orang-orang yang kurang ajar itu, tapi melihat bahwa mereka membawa pedang yang tergantung di pinggang ia dapat menduga bahwa mereka ini tentu mengerti silat dan karenanya hatinya menjadi agak ragu. Untuk menambah semangat, ia segera menggerakkan tangan ke belakang dan dari luar rumah penginapan, lima orang kawannya yang tinggi besar dan bersikap angkuh segera maju. Karena kini berenam, Cu Houw menjadi berani dan tabah.

"Mana tiga orang rendah yang berani mati dan kurang ajar itu?" bentaknya.

Ouwyang Bu tidak setenang dan sesabar. Ouwyang Bun atau Lie Eng. Dadanya telah terasa panas bagaikan terbakar dan mukanya perlahan-lahan berubah merah. Ia lalu berkata kepada kedua kawannya cukup keras untuk didengar oleh Cu Houw,

"Sungguh menyebalkan anjing kuning itu, sejak tadi menggonggong dan menyalak-nyalak."

Lie Eng tertawa dan berkata, "Mungkin ia lapar."

Ouwyang Bun menyambung, "Ia mencium bau tulang, tentu saja ia menyalak-nyalak." Kedua mata Cu Houw terputar-putar karena marahnya mendengar sindiran-sindiran yang diucapkan oleh ketiga anak muda itu. Lebih-lebih kepada Ouwyang Bu yang memulai mengeluarkan sindiran itu.

Ia memandang dengan mata melotot dan seakan-akan hendak menelan bulat-bulat pemuda itu. Dengan gerakan mengerikan ia mencabut sebilah pisau belati yang kecil dan tajam dari pinggangnya, lalu ber-kata,

"Kawan-kawan, biarlah aku binasakan binatang rendah ini dulu. Kalian lihatlah." Tiba-tiba tangannya yang memegang pisau itu diayun dan senjata tajam yang kecil itu melayang cepat sekali ke arah tenggorokan Ouwyang Bu. Lie Eng dan Ouwyang Bun melihat ini, tapi mereka tetap saja makan seakan-akan tidak melihat serangan berbahaya ini, sedangkan pada saat itu Ouwyang Bu sedang menggunakan sumpitnya untuk mengambil   sepotong daging. Melihat berkilatnya pisau yang menyambar ke arah lehernya, ia lepaskan daging itu dan menggerakkan sepasang sumpitnya ke atas dan tahu-tahu pisau itu telah terjepit oleh sepasang sumpitnya.

"Ha, kebetulan, ada yang memberi pisau untuk memotong daging yang alot dan keras ini," katanya sambil tertawa menyindir.

"Ah, anjing itu tidak hanya menggonggong, tapi juga memperlihatkan giginya yang sudah ompong. Menjemukan benar." kata Ouwyang Bun.

Biarpun Cu Houw terkejut sekali melihat demonstrasi kepandaian Ouwyang Bu ini, namun ia merasa malu untuk mengundurkan diri. Ia adalah kepala barisan pengawal Lai- loya yang telah terkenal dan disegani, apakah ia harus mundur menghadapi tiga orang anak muda saja? Pula, di dekatnya ada lima orang kawannya yang kesemuanya berkepandaian, dan masih berpuluh-puluh lagi anak buahnya yang akan segera datang membantunya atas perintahnya. Maka ia lalu memaki,

"Bangsat-bangsat kecil, hari ini yaya-mu akan mengajar adat kamu sekalian."

Sambil berkata demikian, ia mencabut goloknya dan memberi isyarat kepada kawan-kawannya yang juga mencabut senjata masing-masing. Enam orang ini lalu menghampiri Ouwyang-hengte dan Lie Eng dengan sikap mengancam.

Tiba-tiba Ouwyang Bu menoleh kepada mereka dan dengan pandangan mata tajam ia membentak,

"He, kalian mau apa?" Suaranya keras dan nyaring hingga untuk sesaat keenam orang itu terkejut dan ragu- ragu untuk melangkah maju.

"Kalian bertiga "berani betul memaksa untuk memakai kamar rumah penginapan yang sudah diborong oleh Lai- loya. Hayo kalian keluar dan bermalam di rumah penginapan lain agar loya kami jangan sampai marah hingga kalian akan dihukum." kata seorang di antara pengawal-pengawal itu. Ia memang agak ragu setelah melihat demonstrasi kepandaian Ouwyang Bu tadi dan sedapat mungkin hendak menyuruh mereka ini pergi dengan damai saja.

Tapi tiba-tiba Ouwyang Bu melemparkan pisau Cu Houw tadi ke atas yang menancap ke tiang yang melintang. Gagang pisau itu bergoyang-goyang dan Ouwyang Bu membentak lagi,

"Diam dan jangan banyak cerewet, kami sedang makan." Ia lalu melanjutkan makan dengan Ouwyang Bun dan Lie Eng, sama sekali tidak memperdulikan mereka berenam, seakan-akan di situ tidak ada orang lain. Sedangkan enam orang itupun merasa ragu-ragu untuk bertindak sembrono, maka mereka hanya berdiri saja di situ melihat orang makan bagaikan pelayan-pelayan sedang menjaga majikan- majikan mereka makan. Dan ketiga anak muda itu terus makan minum dengan tenangnya. Sungguh peristiwa dan pemandangan yang lucu.

Setelah selesai makan, Ouwyang Bu dan kedua kawannya berdiri lalu dengan tenang menghampiri Cu Houw dan lima orang teman-temannya.

"Nah, kami telah selesai makan, kalian mau apa?" tanya Ouwyang Bun sambil tersenyum.

Cu Houw melihat sikap Ouwyang Bun yang lemah lembut serta melihat Lie Eng yang cantik jelita tiba-tiba timbul dugaan jangan-jangan mereka ini anak-anak orang kaya atau orang berpangkat di kota lain. Karena itu iapun agak menjadi sabar dan berkata dengan suara ditenangkan,

"Sam-wi diharap suka pindah ke rumah penginapan lain, karena tempat ini telah lebih dulu dipesan oleh loya kami."

"Loyamu itu orang macam apa maka begitu ditakuti oleh semua orang? Dan mengapa penginapan ini diborongnya semua, bukankah cukup kalau ia menyewa satu atau dua kamar saja? Kami tak mau pergi." jawab Lie Eng.

"Cu-twako, mengapa banyak berdebat. Kalau tidak mau pergi, seret saja keluar." kata seorang dari kawan-kawan Cu Houw.

"Bagus, kalian majulah." Ouwyang Bu menantang dan mencabut pedangnya.

Tapi tiba-tiba Ouwyang Bun mencegah adiknya. "Bu-te, membasmi kaki tangan segala hartawan kejam dan pembesar jahat bukanlah tugasmu, tapi tugasku. Kau lihatlah saja," dan tiba-tiba tubuh Ouwyang Bun meloncat maju. Terdengar teriakan ngeri dan orang yang baru saja bicara tadi tahu-tahu telah kena tendang dadanya hingga terlempar keluar dan tak dapat bangun lagi. Maka ramailah lima orang yang lain menyerbu Ouwyang Bun yang menggunakan tangan kosong menghadapi   mereka. Ouwyang Bu heran sekali melihat sepak terjang kakaknya berobah dari biasanya. Kini kakaknya menjadi telengas dan menurunkan tangan besi kepada, lawannya hingga sebentar

saja dengan mudah empat orang telah dirobohkan dengan pukulan dan tendangan berat hingga mereka mendapat luka parah di dalam dan tak dapat, bangun lagi.

Melihat kehebatan pemuda ini, Cu Houw dan seorang kawannya yang belum roboh lalu lari keluar. Ouwyang Bun tertawa ber-gelak-gelak. "Ha-ha, segala anjing hina pengganggu rakyat. Baru tahu rasa kalian sekarang."

Tapi pada saat itu, dari luar menyusul banyak orang yang tidak lain adalah Cu Houw dengan kawan-kawannya pengawal lain. Jumlah mereka tidak kurang dari tigapuluh orang dan mereka mengiringkan seorang tua yang berpakaian mewah dan memegang sebuah kipas. Pakaiannya berwarna merah dan serba indah. Tubuhnya tinggi kurus dan kumisnya panjang, sedangkan sepasang matanya yang kecil sipit itu memandang liar seperti yang biasa dimiliki orang-orang mata keranjang.

"Mana mereka?" tanyanya dengan suara marah.

"Ha-ha, inikah manusia kaya yang banyak lagak itu?" Ouwyang Bun menyambut dengan makian. "Mari, mari, majulah kau biar kutamatkan riwayat hidupmu yang kotor dan penuh najis itu."

Sebetulnya orang tua ini memang seorang hartawan besar dari Lok-yang. Dengan pengaruhnya ia berhasil membeli hampir semua tanah di kampung itu hingga ia menjadi raja kecil di situ karena semua orang di kampung itu mendewa-de-wakannya. Ia adalah seorang bandot tua yang tiada jemunya mencari daun muda hingga beberapa kali ia menggunakan pengaruh hartanya untuk mengawini seorang gadis dari kampung di mana ia berkuasa. Orang tua mana yang berani menolak pinangannya? Biarpun di rumahnya telah ada isteri dengan selir-selir lebih dari sepuluh orang, namun masih saja ia mencari korban baru dari kampung. Kedatangannya kali ini juga untuk melangsungkan "perkawinannya" yang entah   sudah keberapa puluh kalinya itu. Tapi sungguh malang baginya, hari ini ia bertemu dengan orang-orang asing yang berani mengganggu dan merintanginya. Maka bukan main marahnya mendengar berita tentang hal itu dan cepat-cepat ia membawa semua-pengawalnya untuk memberi "hajaran" kepada orang-orang "kurang ajar" itu.

Kini mendengar. makian Ouwyang Bun, ia marah sekali dan siap hendak memerintahkan kaki tangannya maju mengeroyok, tapi tiba-tiba matanya yang tajam itu dapat melihat Lie Eng. Tiba-tiba saja segala kemarahan yang terbayang pada mukanya lenyap seketika dan mulut yang tadinya cemberut itu berubah tersenyum, sedangkan mata yang tadinya merah dan mengeluarkan cahaya marah itu kini berseri-seri.

"He, kalian ini mengapa berani-berani mengganggu nona dan dua kawannya itu?" tiba-tiba ia menegur ke arah belakang kepada Cu Houw hingga kepala pengawal ini melongo, tapi ia memang telah tahu akan adat kelakuan majikannya dan dapat menduga bahwa si tua ini tentu tertarik oleh kecantikan gadis asing itu. Dasar seorang berjiwa penjilat, tukang pukul inipun tiba-tiba dapat merobah sikapnya. Kalau tadinya ia garang dan galak, kini ia membongkok-bongkok dan menjura kepada majikannya sambil berkata.

"Loya, maafkan hamba dan kawan-kawan yang tidak mengenal tamu-tamu agung." Ia sengaja menyebut Ouwyang-heng-te "tamu agung" untuk mengimbangi mak- sud dari niat majikannya.

Maka giranglah hati hartawan tua itu melihat kecerdikan orangnya, ia lalu maju dan menjura kepada Ouwyang- hengte dan Lie Eng sambil berkata,

"Sam-wi, mohon maaf sebesar-besarnya bahwa orang- orangku yang bodoh dan kasar ini mengganggu sam-wi. Kalau hendak memakai kamar di sini, silakan saja dan kami akan menganggap sam-wi sebagai tamu agung kami, karena kebetulan sekali hari ini aku sedang merayakan pesta perkawinan."

"Eh, mengapa sikap orang ini beda benar dengan sikap orang-orangnya?" Lie Eng berkata perlahan, lalu ia maju menjura dan berkata,

"Tuan yang harus memaafkan kami karena telah terjadi, salah mengerti ini. Apakah tuan hendak mengawinkan putra tuan?"

Ditanya oleh gadis itu sendiri, muka hartawan she Lai menjadi merah bagaikan kepiting direbus.

"Eh, bukan.... yang kawin      eh, saya sendiri, siocia."

Kini muka Lie Eng yang berobah merah karena muak, sedangkan Ouwyang Bun tertawa gelak-gelak.

"Ha-ha-ha. Dengar, sumoi, Bu-te. Dia mau kawin. Sudah kuduga bahwa orang yang disebut Lai-loya tentu seorang hartawan tua pemeras rakyat yang berhati binatang dan pantas diberi hajaran."

"Bun-koko, jangan bicara begitu." Lie Eng menegur, dan dalam kebingungannya gadis itu terlanjur menyebut "Bun- koko" atau kanda Bun, tidak menyebut twasu-heng seperti biasa, hingga suaranya ini seakan-akan mewakili suara hatinya. Tapi karena keadaan yang tegang itu, baik Ouwyang Bun maupun Ouwyang Bu kurang memperhatikan perubahan ini.

Ouwyang Bun berkata lagi, suaranya seram, "Kalau orang macam ini tidak dibasmi hanya akan membikin kotor dunia saja." Sehabis berkata demikian, ia mer loncat dan tahu-tahu ia telah memegang leher baju hartawan she Lai itu dan dibawanya meloncat ke atas genteng. Cu Houw dan kawan-kawannya yang memiliki kepandaian lalu mengejar dan meloncat ke atas sambil berteriak-teriak. Juga Lie Eng dan Ouwyang Bu mengejar ke atas genteng sambil berkata,

"Bun-ko, lepaskan dia."

Tapi Ouwyang Bun yang sangat marah dan gemas kepada hartawan tua itu lalu membentak,

"Kau mau minta bangsat ini, marilah." ia lalu melemparkan tubuh itu sekuat tenaganya ke arah para pengejarnya. Tentu saja Cu Houw dan kawan-kawannya terkejut sekali dan mengelak karena tidak berani menyambut tubuh yang menyambar cepat ke arah mereka itu. Hartawan Lai menjerit-jerit ketika merasa tubuhnya melayang ke bawah dan jantungnya berhenti berdetak karena ia telah merasa pasti bahwa kali ini tentu akan mati konyol.

Tapi tiba-tiba hartawan tua itu merasa betapa lengan tangannya disambar orang dan ia dibawa melayang turun ke atas tanah dengan selamat. Ternyata pada saat yang sangat berbahaya itu, Ouwyang Bu berhasil menolong Lai- wangwe dari bahaya

Melihat betapa adiknya menolong Lai-wangwe dari atas genteng Ouwyang Bun berkata, "Ah, Bu-te, sekarang ternyata bahwa kaulah yang lemah. Karena anjing rendah macam itupun cukup berharga untuk kau tolong." Suara pemuda itu mengandung penyesalan besar.

"Bun-ko, kau mau ke mana?" tanya Ouwyang Bu yang segera meloncat lagi ke atas genteng.

"Sudahlah, Bu-te, selamat tinggal, mudah-mudahan kita akan bertemu kembali dalam keadaan yang lebih baik. Aku tetap tak dapat mengekor dan melakukan pekerjaan yang berlawanan dengan suara batinku ini." Setelah berkata begitu, Ouwyang Bun lalu meloncat pergi.

"Twa-suheng.. Tunggu.." Lie Eng memanggil.

Ouwyang Bun menoleh. "Sumoi, jangan menahan aku. Baik-baiklah kau menjaga diri dan berlaku baiklah kepada Bu-te." Setelah berkata begitu, ia cepat lari pergi-

"Bun-ko......" Terdengar Ouwyang Bu memanggil, tapi Ouwyang Bun tidak memperdulikan dan lari terus.

Ouwyang Bu menutup mukanya dan air mata mengalir membasahi pipinya.

"Sudahlah, suheng. Dia tidak mau bersama-sama kita. Biarlah. Mungkin ia akan menyusul ayah dengan jalan lain."

Ouwyang Bu mengangkat mukanya lalu   menghela napas. "Sumoi, kau tidak tahu... Bun-ko telah mengambil keputusan lain, ia..... tidak mau  membantu susiok, tidak mau memusuhi para pemberontak, bahkan agaknya ia.....

ia.    menganggap para pemberontak itu betul?"

"Apa.....?" gadis itu menjadi pucat karena terkejut. "Kaumaksudkan bahwa ia ....... ia hendak   menyeberang dan membantu pemberontak?"

"Entahlah, tadinya ia mengajak aku pergi bersama-sama ke   gunung   untuk   mengasingkan   diri,   tapi   aku aku

menolaknya." suaranya terdengar penuh penyesalan.

"Mengapa kau tidak ikut dengan kakakmu, suheng?"

Ouwyang Bu memandang gadis itu dengan mata tajam dan mesra.

"Sumoi... bagiku.... pekerjaan   ini   dan   semua   urusan ini tidak ada artinya. Aku tidak perduli mana yang benar dan mana yang salah, tapi.... tapi karena ada kau di sini....

bagaimanakah aku sanggup meninggalkanmu ?"

0o-dw-o0 

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar