Jilid 7
Sin Lee cepat membalas penghormatan mereka. “Aku yang meminta maaf, karena tertarik maka aku lupa akan sopan santun dan bertanya mengapa sam-wi sampai luka-luka. Tentu saja aku tidak tahu bahwa sam-wi sedang jengkel dan sedih,” kembali dia membalas penghormatan mereka, juga kepada tokoh Kong-thong-pai itu.
“Apa yang telah terjadi kepada kalian? Atau, sudahlah, nanti saja kalian melapor sendiri kepada pangcu (ketua). Taihiap, sebetulnya apakah ada keperluan penting yang membawa taihiap berkunjung ke tempat kami?”
“Paman, saya hanya mendengar berita tentang kebesaran Kong-thong-pai dan ketika lewat di sini, saya ingin sekali singgah dan mengobrol dengan para pemimpinnya. Akan tetapi ternyata kini Kong-thong-pai menghadapi urusan dengan adanya tiga saudara ini yang tertimpa malapetaka, maka sebaiknya kalau saya pergi saja, tidak jadi singgah di Kong-thong-pai.”
“Ah, jangan begitu, taihiap. Taihiap adalah seorang pendekar terkenal, bahkan kalau terjadi malapetaka, kami mengharapkan petunjuk dari taihiap. Mari, silahkan bersama kami menghadap ketua kami. Perkenalkan, saya adalah wakil ketua Kong-thong-pai bernama Kiang Cu I.”
“Kalau paman Kiang berkata begitu, saya juga tidak berani menolak. Marilah!”
Lima orang itu lalu mendaki puncak tanpa banyak cakap dan setibanya di puncak, ternyata di sana terdapat sebuah bangunan besar yang menjadi pusat dari Kong-thong-pai. Di pintu gerbang terdapat belasan orang murid Kong-thong-pai yang melakukan penjagaan. Mereka memandang heran ketika wakil ketua kembali bersama seorang pemuda asing dan lebih heran lagi melihat tiga orang rekan mereka babak belur. Akan tetapi di situ terdapat wakil ketua, mereka tidak berani bertanya.
Setelah menghadap ketua di ruangan yang luas, di mana ketuanya duduk bersila di atas sebuah dipan, Sin Lee ikut memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada. Dia memperhatikan ketua Kong- thong-pai itu. Usianya kurang lebih enam puluh tahun akan tetapi tubuhnya masih tegap dan nampak kuat. Rambutnya berwarna dua, dibiarkan panjang dan diikat sutera kuning. Kepalanya juga diikat sutera kuning agar rambut itu tidak awut-awutan. Jubahnya kuning seperti jubah pendeta, dan wajahnya manis segar seperti wajah seorang pemuda. Dia menyambut kedatangan mereka dengan sikap sabar walaupun pandang matanya membayangkan keheranan melihat Sin Lee. Sutenya, yaitu wakil ketua yang bernama Kiang Cu I, setelah memberi hormat lalu melapor.
“Suheng, sobat muda ini adalah Pendekar Bunga Merah yang namanya terkenal belakangan ini. Dia datang untuk berkunjung dan berkenalan dengan kita. Saya sudah sempat mencoba ilmunya dan ternyata namanya bukan nama kosong belaka.” Kemudian Kiang Cu I menoleh kepada Sin Lee dan bertanya, “Taihiap, kalau tidak berkeberatan, kami ingin sekali mengenal nama taihiap.”
“Maaf, paman Kiang. Saya seorang yatim piatu dan sebatang kara, ada sesuatu yang menyebabkan saya lebih suka dikenal sebagai Bunga Merah saja,” kata Sin Lee. Dia khawatir bahwa kalau namanya banyak dikenal orang akan segera diketahui orang bahwa dia adalah seorang pangeran, adik Sribaginda Kaisar Kian Cung. Dan kalau sudah begitu tentu dia tidak akan leluasa bergerak lagi.
“Ha-ha-ha, siancai... siancai...! Inilah yang dinamakan menurut apa yang disebut:Siapa yang menonjolkan diri tidak berhasil, siapa yang menjunjung diri tidak dapat berlangsung ! Taihiap tidak ingin memperkenalkan nama dan menggunakan nama Ang-hwa (Bunga Merah), sungguh mengagumkan sekali!”
“Harap pangcu memaafkan saya dan tidak menganggap saya congkak dan sombong,” kata Sin Lee sambil kembali memberi hormat. “Ah, tidak. Setiap orang berhak menentukan nama sendiri, taihiap. Sekarang, kulihat kalian bertiga ini datang bersama susiok kalian dalam keadaan babak belur. Bukankah kalian bertiga sudah bekerja membuka Pek-liong piauw-kiok (Perusahaan Pengawal Naga Putih)?”
Tiga orang murid Kong-thong-pai itu lalu berlutut memberi hormat dan si kumis tebal melapor, “Harap suhu memaafkan teecu bertiga kalau hari ini terpaksa teecu membuat sibuk pikiran suhu dengan laporan kami. Ada malapetaka menimpa diri teecu bertiga.”
“Apa yang telah terjadi?” tanya ketua Kong-thong-pai itu.
Mereka lalu mengerling ke arah Sin Lee dan Kiang Cu I yang maklumakan keraguan mereka, segera berkata, “Kalian boleh menceritakan sejujurnya di depan Pendekar Bunga Merah. Dia adalah seorang pendekar perkasa, mungkin bahkan dapat memberi petunjuk kepada kalian.”
Kam Sun Tojin, ketua Kong-thong-pai tertawa, “Siancai, sebelumnya kami bahkan minta bantuan Ang-hwa Taihiap kalau-kalau kami menghadapi ancaman bahaya.”
“Harap pangcu tidak bersikap sungkan. Di antara orang sendiri, soal bantu membantu sudah merupakan kewajiban yang tidak boleh ditawar-tawar lagi. Apa lagi terhadap Kong-thong-pai, bahkan terhadap siapapun yang membutuhkan bantuan, kalau tenaga saya mencukupi, pasti akan saya bantu.”
“Ci Toan, kau wakili saudara-saudaramu, ceritakan apa yang terjadi dengan kalian,” kata ketua itu kepada si kumis tebal.
Ci Toan, si kumis tebal itu, lalu bercerita. Setelah lulus dari perguruan Kong-thong-pai, Ci Toan bersama adiknya, Ci Gu, dan seorang sutenya, Yong Hai, membuka sebuah perusahaan pengawal pengiriman barang dan mereka memberi nama pada perusahaan mereka itu Pek-liong Piauw-kiok. Selama lima tahun membuka perusahaan itu, jarang terjadi gangguan. Para perampok sudah puas dengan menerima sedikit sogokan dari Pek-liong Piauw-kiok. Mereka tidak berani sembarangan mengganggun setelah para pengganggu sebelumnya dihajar oleh tiga saudara seperguruan itu. Bendera yang bergambarkan naga putih, dan tulisan Kong-thong-pai amat berwibawa dan para perampok tidak berani menganggunya.
Sepekan yang lalu, Pek-liong Piauw-kiok mengawal kiriman sepeti terisi emas permata milik seorang pembesar yang pensiun dan hendak pulang ke dusunnya. Karena barang yang dikirim itu amat berharga, maka Ci Toan, Ci Gu dan Yong Hai sendiri turun tangan mengawalnya. Harta itu berharga amat besar sehingga kalau sampai hilang, biar bekerja keras sampai puluha tahunpun mereka tidak akan dapat menggantinya.
Demikianlah, pada hari itu, sepekan yang lalu sepeti emas permata itu dikawal oleh tiga orang pimpinan Pek-liong Piauw-kiok sendiri dan masih ditambah dengan para pengawal anak buah mereka sebanyak selosin orang.
Ketika rombongan pengawal ini tiba di kaki bukit Kwi-san, dalam perjalanan antara Lok yang dan Su-kiang, tepat pada jalan yang diapit hutan rimba, tiba-tiba saja muncul seorang pemuda. Melihat pemuda itu rebah di atas tanah melintang menghalangi jalan, semua piauw-su merasa heran. Disangkanya pemuda itu sakit, lalu mereka menghampiri dan mengurungnya. Ternyata pemuda itu sedang tidur mendengkur, telentang dengan mulut terbuka. Pemuda itu cukup tampan, akan tetapi rambutnya awut-awutan sebagian menutupi mukanya dan pakaiannya sungguh aneh sekali. Pakaian itu berwarna-warni, berkembang-kembang pula dan ternyata terbuat dari bermacam-macam kain yang disambung-sambung, akan tetapi semua kain itu masih baru dengan bentuk potongan pakaiannya juga luar biasa. Lengannya panjang pendek, di bagian leher dan dada terbuka sehingga nampak kulit dadanya yang putih. Baju itupun panjang sampai ke lutut. Celananya terlalu besar akan tetapi panjangnya hanya sampai bawah lutut dan di bagian bawahnya tidak terjahit sehingga menyerupai rumbai-rumbai.
Melihat bahwa orang itu tidak sakit melainkan tidur mendengkur, Ci Toan dan dua orang adiknya tertawa. “Heii, bangun! Jangan tidur di tengah jalan, kami hendak lewat!” tegur Yong Hai.
Orang itu tidak menjawab dan tetap tidur mendengkur. Yong Hai yang berwatak berangasan itu merasa dipermainkan, lalu diguncang-guncang pundak orang itu. “Heii, bangun! Kalau tidak, kereta kami akan melindasmu hancur!” Orang muda itu kini membuka matanya, akan tetapi hanya sebelah, lalu mulutnya mengomel, “Huh, mengganggu orang sedang tidur. Pergi!”
Yong Hai marah. Dia sudah menggerakkan tangan hendak memukul, akan tetapi Ci Gu melarangnya. “Suheng, jangan pukul. Orang ini agaknya tidak waras, otaknya miring, kalau tidak masa tidur melintang di tengah jalan?” Lalu Ci Gu yang mengguncang pundaknya.
“Saudaraku yang baik, bangunlah dan biarkan kami lewat dulu, baru nanti kau tidur lagi.”
Orang itu membuka mata lagi, menggosok-gosok kedua matanya dengan punggung tangan. “Ahh, rewel, mengganggu orang tidur. Aku mau pindah kalau diberi upah.”
“Sobat, minta diupah berapa? Katakanlah, akan kami beri upah kepadamu.”
“Betul, berapapun yang kuminta, akan kau beri?” Orang gila itu kini terkekeh-kekeh senang seperti seorang anak kecil dijanjikan akan diberi hadiah.
“Tentu saja boleh dan pasti kuberi,” kata Ci Toan yang menduga bahwa orang gila ini tentu akan puas diberi sedikit uang receh.
“Sumpah dulu, he-he-he, sumpah dulu...”
“Gila! Masa pakai sumpah segala macam?” bentak Yong Hai akan tetapi Ci Toan memberi tanda kedipan mata kepadanya.
“Baiklah aku bersumpah akan kauhajar babak belur kalau aku berbohong.”
“Bagus!” si gila itu kini bangun berdiri dan tubuhnya ternyata cukup tegap. Wajahnya juga tidak buruk, bahkan agak tampan akan tetapi jelas bahwa otaknya miring, matanya liar berputar-putar dan mulutnya tertawa ha-ha-he-he seperti anak kecil. “Coba aku hitung. Pertama, kalian mengganggu tidurku, itu harus didenda. Kedua kalian membuat kaget aku, itupun ada dendanya. Kemudian kalian minta aku pergi dari sini, padahal jalan ini bukan milik kalian. Haaaaa, itu bertumpuk-tumpuk jadinya aku minta kalian serahkan saja peti itu kepadaku, habis perkara! Adil, bukan?”
Dia lalu menghampiri kereta itu untuk mengambil peti hitam yang terisi emas permata. Semua orang terkejut dan tentu saja tiga orang piauwsu itu dan anak buahnya segera mengepung kereta dan melarang orang itu datang mendekat.
“Gila! Mengapa upahnya begitu gila? Pantasnya upah itu uang beberapa keping. Nah, ini kuberi upah beberapa keping dan cepat pergilah!” kata Ci Toan sambil merogoh saku bajunya untuk mengambil beberapa potong uang receh.
“Tidak mau, ahhh, tidak mau... huu-huu-huuu... kalian mau berbohong melanggar sumpah, hu-huuu...!”
Laki-laki muda itu menangis! Lucu dan aneh, bahkan mengerikan melihat seorang pemuda berusia kurang lebih tiga puluh tahun itu menangis sambil mengusap-usap kedua matanya yang basah dengan punggung tangan seperti anak kecil. Dan kembali dia rebah melintang di tengah jalan!
Tiga orang piauwsu itu menjadi marah. Terutama sekali Yong Hai, karena menurut dia, baik gila atau tidak, jelas orang itu hendak mempermainkan mereka.
“Orang gila, bangun dan pergi kau! Atau kau ingin kupukuli sampai babak belur?”
Mendengar ini, orang gila yang tadinya menangis itu mendadak tertawa bergelak-gelak. “Ha-ha-ha-heh- heh, benar sekali. Bukankah kalian tadi bersumpah bahwa kalau kalian berbohong, biar kuhajar sampai babak belur? Nah, sekarang aku harus menghajar kalian sampai babak belur!”
Setelah berkata demikian, dia bangkit dan sekali tangannya menampar ke arah Yong Hai, terdengar bunyi “plakk!” dan tubuh Yong Hai terpelanting karena tamparan itu kuat sekali dan membuatnya menjadi pening. Suheng dan sutenya terkejut. Kenapa demikian mudahnya Yong Hai terkena tamparan dan kenapa pula sekali kena tamparan si gila itu langsung terpelanting? Yong Hai marah sekali. Rasanya tadi seperti disambar halilintar saja akan tetapi dia tidak terluka parah, hanya pipinya agak membengkak dan rasanya nyut-nyutan. Dia bangkit kembali.
“Orang gila, berani engkau memukul aku!” bentaknya.
“Mengapa tidak berani? Kalian sudah bersumpah, ha-ha-ha, dan aku boleh memukuli babak belur sesuka hatiku. Heii, kalian berdua belum kebagian. Mari sini kuberi hadiah tamparan!”
Berkata demikian kakinya melangkah mendekati Ci Toan dan Ci Gu, dan kedua tangannya bergerak menampar. Ci Toan dan Ci Gu mengelak, akan tetapi sungguh aneh, lengan orang gila itu dapat mulur dan biarpun sudah dielakkan tetap saja dapat mengejar dan “plak! Plak!” kedua orang itu terkena tamparan pada pipi mereka. Demikian keras dan kuatnya tamparan itu sehingga merekapun roboh terpelanting!
Kini terkejutlah tiga orang piauwsu itu. “Kepung, hajar orang gila ini!” kata Ci Toan karena kini dia curiga bahwa orang gila itu hanyalah seorang perampok tunggal yang lihai sekali dan hendak merampas peti emas permata yang dikawalnya.
Dikepung oleh dua belas orang anak buah piauw-kiok dan tiga orang piauwsu itu, si gila lalu berteriak- teriak minta tolong. “Tolong... tolooongg... ayah... ibu... toloongg...!”
Semua orang tidak perduli, dan menganggap orang gila itu berteriak asal saja. Mereka semua menyerbu dan siap memukuli si gila. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara tawa yang menyeramkan sekali. Tawa yang parau bercampur baur dengan suara tawa terkekeh genit. Mereka semua menoleh dan meremang bulu tengkuk mereka melihat dua orang laki-laki dan wanita setengah tua datang bergandeng tangan sambil tertawa-tawa.
“Hua-ha-ha-ha, Aceng, kenapa engkau menangis?” tanya si pria yang pakaiannya mirip pakaian pemuda tadi, berkembang-kembang aneh, sedangkan wanitanya berpakaian sutera merah polos! Jelas dari pakaiannya saja dapat diduga bahwa mereka adalah orang-orang gila.
“Aceng sayang, jangan takut, mari kita hajar orang-orang gila ini!” kata si wanita sambil terkekeh-kekeh genit. Orangnya memang cukup cantik akan tetapi kecantikan yang tidak menarik melainkan mengerikan dan menggelikan. Rambutnya awut-awutan, digelung secara malang-melintang aneh, memakai hiasan bunga-bunga setaman! Mulutnya memakai gincu merah sampai berlepotan di bibirnya.
Dan kini tiga orang keluarga gila itu menggerakkan tubuh mereka. Semua piauwsu dan anak buah mereka menggerakkan senjata untuk melawan, akan tetapi berturut-turut mereka roboh terpelanting. Mereka bangkit lagi hanya untuk disambut tendangan atau tamparan. Tiga orang itu seperti kanak-kanak yang mendapatkan permainan baru, tidak memukul terlalu keras sehingga tidak sampai membunuh akan tetapi cukup kuat membuat semua orang babak belur. Biarpun Ci Toan, Ci Gu dan Yong Hai menggunakan pedang dan memainkan ilmu pedang Kong-thong-pai, tetap saja mereka dihajar babak belur dan pedang mereka terlempar entah ke mana. Akhirnya, lima belas orang itu tidak dapat menahan lagi siksaan yang mereka derita dan merekapun melarikan diri agar jangan disiksa lebih lama lagi.
Demikianlah, suhu. Kami bertiga tidak berdaya melindungi peti dengan isinya yang dibawa pergi mereka. Kami harus mempertanggung-jawabkan terhadap Ouw-taijin (pembesar Ouw) yang memiliki barang itu, akan tetapi bagaimana caranya? Keluarga gila itu sungguh lihai bukan main.” Ci Toan menutup ceritanya sambil menangis.
“Siancai... di manakah di dunia kang-ouw ini ada keluarga gila seperti itu? Pinto belum pernah mendengarnya...” kata Kam Sun Tojin termenung.
“Aku juga belum pernah mendengarnya, suheng. Taihiap yang sudah banyak menjelajahi kota dan desa, apakah pernah mendengar tentang adanya keluarga gila seperti itu?” tanya Kiang Cu I.
Sin Lee menggeleng kepalanya. “Belum pernah melihatnya, juga mendengarpun belum, paman.”
Tiba-tiba di antara para murid Kong-thong-pai yang hadir di situ, terdengar suara wanita, “Ayah, aku pernah mendengar tentang keluarga gila yang lihat itu!”
Semua orang memandang, juga Sin Lee dan dia kagum. Gadis itu berusia sembilan belas tahun, cantik manis dengan kedua pipinya yang putih mulus itu kemerahan, seperti biasa pipi wanita muda dari pegunungan. “Bi Hwa, benarkah engkau pernah mendengar tentang keluarga gila itu? Dari mana engkau mendengarnya?” tanya Kam Sun Tojin kepada murid keponakannya itu. Kiang Bi Hwa adalah puteri atau anak tunggal Kiang Cu I, dan ia merupakan murid Kong-thong-pai yang menjadi kesayangan semua murid, karena bukan saja ia cantik dan ramah, akan tetapi juga dalam hal ilmu silat, kepandaiannya menonjol dan ia sudah menguasai semua ilmu yang diajarkan ayahnya.
“Supek, saya mendengar ketika saya mewakili Kong-thong-pai berkunjung ke Thian-san-pai itu. Ketika itu di antara para tamu ada yang bicara tentang munculnya tiga orang gila di dunia kang-ouw yang terdiri dari suami isteri dan puteranya dan kabarny ilmu kepandaian mereka memang luar biasa sekali. Akan tetapi yang saya dengar, mereka itu bukan penjahat, artinya di antara mereka tidak pernah melakukan perampokan atau kejahatan lain walaupun watak mereka memang aneh sekali. Kalau saya tidak salah ingat, mereka itu dari keluarga Song. Saya tidak menceritakan berita itu kepada supek atau ayah kerena saya anggap itu hanya kabar angin belaka, siapa kira hari ini kita berurusan langsung dengan mereka. Biar saya yang akan mendatangi mereka dan merampas kembali barang kawalan Ci suheng dan kawan- kawannya, supek!”
Diam-diam Sin Lee kagum akan ketegasan dan kegagahan gadis itu. Akan tetapi ayah gadis itu cepat berkata, “Suheng, urusan ini bukan urusan kecil, selain menyangkut pertanggunganjawab murid Kong- thong-pai, juga menyangkut nama dan kehormatan Kong-thong-pai. Kalau sampai tersiar berita bahwa barang yang dilindungi murid Kong-thong-pai dapat dirampas orang, tentu orang-orang akan memandang rendah kepada Kong-thong-pai. Dan mengingat bahwa keluarga gila itu amat lihai, maka saya minta perkenan suheng untuk menangani sendiri urusan ini.”
“Siancai...! Hari ini Kong-thong-pai menghadapi urusan besar. Engkau benar, sute, memang harus engkau sendiri yang menangani. Akan tetapi jangan seorang diri. Bawalah murid-murid yang terpandai untuk membantumu. Urusan ini bukan urusan mengadu ilmu memperebutkan kehormatan, akan tetapi untuk mengambil kembali barang yang dirampok. Jadi, tidak perlu sungkan menggunakan tenaga banyak murid.”
“Baik, suheng. Sekarang juga saya akan mengumpulkan murid-murid yang terbaik.”
“Ayah, biarkan aku yang akan memilih para suheng yang patut untuk menyertai kita, aku yang akan memimpin mereka!” kata Bi Hwa dengan gagah dan ucapan ini berarti bahwa ia, tidak boleh ditawar-tawar lagi, akan ikut dalam usaha perampasan kembali barang berharga itu.
Sin Lee yang sejak tadi merasa tidak enak karena dia bertamu kepada keluarga yang sedang sibuk menghadapi urusan besar, lalu minta diri berpamit kepada mereka.
“Harap pangcu dan paman Kiang suka memaafkan aku. Akan tetapi kurasa aku tidak perlu mengganggu cu-wi (kalian) lebih lama lagi. Aku hendak melanjutkan perjalananku.”
Kam Sun Tojin dan Kiang Cu I segera memberi hormat dan Kiang Cu I berkata, “Taihiap harap maafkan kami tidak dapt menyambut sebagaimana mestinya.”
“Siancai...! Pendekar Bunga Merah kenapa demikian tergesa-gesa? Kenapa tidak tinggal di sini selama beberapa hari agar dapat bercakap-cakap dengan pinto?”
“Terima kasih, pangcu. Biarlah lain kali saja saya datang berkunjung lagi kalau saatnya tepat, kalau Kong- thong-pai tidak sedang menghadapi urusan besar seperti ini.”
Dia lalu memberi hormat dan meninggalkan tempat itu dengan cepat. Akan tetapi tentu saja Sin Lee tidak pergi jauh. Sampai di luar wilayah Kong-thong-pai, dia bersembunyi dan menanti. Hatinya sudah tertarik sekali mendengar cerita tentang keluarga gila itu. Dia seperti dapat mencium adanya bahaya yang mengancam Kong-thong-pai, oleh karena itu dia menanti dan mengambil keputusan untuk membayangi mereka dan kalau perlu membantu mereka. Dia tentu saja tidak berani mencampuri urusan orang lain secara berterang, karena hal itu sama saja dengan meremehkan kemampuan orang-orang Kong-thong-pai.
Tak lama kemudian, lewatlah rombongan orang Kong-thong-pai itu di situ. Sin Lee mengintai. Yang menjadi pimpinan rombongan adalah Kiang Cu I sendiri yang berjalan di samping puterinya, Kiang Bi Hwa yang nampak cantik dan gagah. Gadis ini sudah berganti pakaian ringkas berwarna merah muda, dengan pedang di punggung dan rambut digelung ke atas ia nampak gagah dan jelita. Di belakang ayah dan anak ini berjalan Ci Toan, Ci Gu dan Yong Hai sebagai penunjuk jalan, dan masih ada lagi sepuluh orang murid Kong-thong-pai yang sudah lihai ilmu silatnya. Mereka semua membawa pedang di punggung, sehingga kelihatan seperti barisan pedang.
Sin Lee membiarkan mereka lewat sampai jauh, baru dia membayangi mereka dari jarak jauh. Dia teringat bahwa tempat di mana tiga murid Kong-thong-pai bertemu keluarga gila itu adalah di antara kota Lok-yang dan Su-kiang, di kaki bukit Kwi-san. Melihat gerakan rombongan itu tidak begitu cepat, Sin Lee lalu menggunakn ilmu berlari cepat, hendak mendahului mereka karena dia ingin sekali “berkenalan” dengan keluarga gila itu. Menurut Bi Hwa, gadis jelita itu, keluarga gila itu tidak pernah berbuat jahat. Kenapa sekarang mengganggu tiga orang murid Kong-thong-pai? Dan dia teringat pula akan sikap tiga orang murid itu yang agak kasar dan tidak menghargai orang. Apakah karena itu maka perampokan terjadi? Ingin dia mengetahui sendiri dan kalau memang keluarga gila itu tidak jahat, dia harus mencegah terjadinya pertempuran.
Karena melakukan perjalanan dengan pengerahan ilmu berlari cepat, menjelang sore hari Sin Lee sudah tiba di tempat itu, di kaki bukit Kwi-san, jalan yang terapit hutan rimba itu. Karena jalan itu sunyi saja, dia lalu memasuki hutan. Dia mendaki bukit Kwi-san, karena dia menduga bahwa tinggal di daerah itu paling enak tentu memilih puncak Kwi-san.
Belum lama dia mendaki, dia mendengar suara orang tidur mendengkur. Jantungnya berdebar. Bukankah Ci Toan bercerita bahwa ketika pertama kali bertemu dengan pemuda gila yang oleh orang tuanya dipanggil Aceng itu, pemuda gila itu juga tertidur melintang jalan sambil mendengkur? Makin keras saja suara dengkur itu ketika dia menyusup masuk hutan dan tak lama kemudian dia mendapatkan dari mana suara dengkur itu terdengar. Nun di sana, jauh di atas pohon yang tinggi terjepit dahan dan ranting, nampak seorang laki-laki sedang tidur mendengkur! Melihat betapa orang itu masih muda, berpakaian warna-warni berkembang, tahulah dia bahwa orang inilah yang disebut Aceng, pemuda gila itu. Diapun bersikap hati-hati dan waspada.
Dia melihat sebuah sarang lebah tergantung di pohon itu dan dia mendapatkan pikiran baik untuk menggugah si gila tanpa terlihat bahwa dia yang melakukannya. Dipungutnya sebutir kerikil dan sehelai daun. Kerikil itu disambitkannya ke arah sarang lebah dan daun itu disambitkan ke arah kaki si gila yang sedang tidur mendengkur itu.
Dengan tepat sarang lebah itu kemasukan kerikil. Tentu saja pada penghuninya menjadi geger san beterbangan keluar, mengaung-ngaung. Adapun sehelai daun itu mengenai kaki yang telanjang dan yang pipa celananya tinggi, dan itu sudah cukup untuk membangunkan orang yang sedang tidur. Pemuda gila itu menguap dan menggerakkan tangannya, dan pada saat itulah lebah-lebah yang melihat gerakan ini, langsung saja menyerangnya.
“Aduh, aduh... auwww... aduh...!” Si gila meronta, dan melayang turun dengan gerakan ringan sekali. Akan tetapi lebah-lebah itu masih mengejarnya. Dan ternyata si gila itu memang memiliki tubuh yang kebal. Biarpun terasa nyeri dan gatal, namun tidak ada yang bengkak disengat lebah itu. Dan diapun menjadi marah.
“Tawon gila! Tawon jahat! Apa salahku maka engkau menggigitku? Kaukira aku tidak mampu balas menggigitmu?” Dan dia lalu menangkapi lebah yang menempel di tubuhnya, membawanya ke mulut lalu menggigit lebah-lebah itu.
“Ehh? Engkau manis! Enak!” Dan diapun makin getol menangkapi lebah-lebah yang menempel di tubuhnya, langsung mengigit. Tentu saja lebah yang digigitnya langsung hancur.
Sin Lee yang bersembunyi di balik pohon memandang dengan heran dan juga geli hatinya. Orang ini memang gila seratus prosen. Akan tetapi ketika melayang turun tadi jelas menunjukkan bahwa ginkangnya memang istimewa, dan disengat lebah-lebah itu mengapa tidak menjadi bengkak-bengkak malah membalas menggigit lebah dan menghisap darahnya yang dikatakannya manis?
“Heii, Aceng...!” Dia memberanikan diri keluar dari tempat sembunyinya.
“Heii...!” Aceng menoleh dan melambaikan tangan, seperti seorang anak kecil bertemu temannya. “Mari sini, lebah-lebah ini menggigit aku, maka kubalas gigit mereka. Wah, rasanya manis lho!”
Sin Lee tidak mendekat. “Ogah ah, aku takut disengat. Aceng, lebah-lebah itu bukan menggigitimu, melainkan menyengat. Engkau tidak boleh balas menggigit!” teriak Sin Lee yang asal bicara saja untuk mengadakan hubungan.
“Tidak boleh menggigit? Lalu bagaimana? Kalau mereka menyengat, bagaiman aku harus membalasnya?” “Tentu juga dengan menyengat mereka!”
“Waaah, bagaimana caranya menyengat? Dengan apa? Pantatku tidak ada sengatnya!” Dan Sin Lee tertawa mendengar ini, lalu terdengar pemuda itu juga tertawa. Keduanya tertawa bergelak-gelak. Sin Lee tertawa bukan dibuat-buat melainkan memang geli hatinya membayangkan pemuda itu mempunyai sengat di pantatnya.
Si gila itu lalu menghampiri Sin Lee. “He-he-he, engkau menyenangkan sobat. A=mari kita main-main. Siapa namamu?”
“Namaku Sin Lee,” kata Sin Lee sambil mengambil bunga merah dari kancing bajunya dan menyerahkan kepada si gila.
“Apa ini?”
“Ini kembang merah, bagus sekali kalau engkau pakai menghias rambutmu,” kata Sin Lee yang mengagumi perhiasan yang dipakai pemuda gila itu. Ada lima helai kalung melingkari lehernya, kalung emas dengan mainan permata besar-besar. Juga lengannya memakai gelang, bahkan kedua kakinya juga memakai gelang! Teringatlah dia akan peti perhiasan yang dirampas itu.
“Ha-ha, bagus sekali. Kembang merah bagus sekali.” Si gila itu menari-nari sambil memeluknya, agaknya dia memakai minyak wangi! “Sin Lee, nanti kalau aku menikah engkau akan kuberi sedikit.”
“Beri apa?”
“Tentu kuberi apa yang kudapat. Aku memperoleh isteri, nah, kuberikan isteriku kepadamu sedikit.” “Wah, engkau ini aneh saja.”
“Kenapa aneh? Kalau sahabat baik, tentu akan memberikan miliknya kepada sahabatnya itu dan engkau memang sahabat baikku.”
Wah, berabe memang. Jalan pikiran orang gila memang sukar diikuti, tapi Sin Lee maklum bahwa selamg tidak menentangnya, tentu Aceng akan menganggapnya sahabat baik.
Aceng memegang tangan Sin Lee, “Mari ikut.” “Ke mana?”
“Pulang. Aku akan memberi tahu ayah ibu bahwa aku telah mempunyai seorang kawan yang baik sekali. Mari, nanti kumintakan barang-barang bagus dari mereka untukmu.”
Aceng lalu berlari cepat sambil menggandeng tangan Sin Lee. Diam-diam Sin Lee mengendurkan tenaganya saja dan dia hendak melihat sampai di mana ilmu kepandaian Aceng. Dan dia kagum. Pemuda gila itu pandai berlari cepat. Tubuhnya ringan dan tangan yang memegang pergelangan tangannya itu kuat sekali sehingga tubuhnya seolah terangkat dan dia dibawa lari secepat terbang. Pantas saja tiga orang murid Kong-thong-pai itu tidak mampu melawannya. Dia merasa kebetulan sekali karena memang inilah yang dikehendakinya. Menyelidiki keadaan tiga orang gila itu. Kalau dia yang mendatangi mereka mungkin saja berbahaya. Akan tetapi kalau Aceng yang membawanya, tentu ayah ibu pemuda yang tentu lebih lihai lagi tidak akan marah.
Aceng membawanya naik ke puncak Kwi-san dan ternyata di sana berdiri sebuah rumah besar yang terbuat dari pada kayu dan bambu. Atapnya dari daun bambu dianyam. Biarpun sederhana seperti gubuk, namun gubuk itu besar dan di sekitarnya ditumbuhi banyak kembang yang beraneka warna dan ragam. Agaknya keluarga gila ini suka pula akan keindahan dan memiliki jiwa seni, pikir Sin Lee. Dan biasanya, orang yang memiliki jiwa seni, jarang ada yang berwatak jahat.
“Ayah! Ibu! Lihat siapa yang kubawa ke sini!” teriak Aceng ketika mereka tiba di depan rumah. Dia melepaskan tangan Sin Lee yang memandang sekeliling. Indahnya pemandangan dari tempat itu. Sungguh, tempat ini memiliki hong-swi (letak) yang bagus sekali. Dan inipun menunjukkan bahwa orang- orang ini memiliki jiwa seni.
Seorang laki-laki berpakaian seperti Aceng datang menghampiri dan matanya bergerak liar memandang ke sekeliling, seperti berputar-putar.
Wanitanya tidak kalah anehnya. Pakaiannya dari sutera merah, potongannya juga aneh, kedodoran. Dan wanita ini berbedak tebal, bergincu dan tubuhnya penuh dengan perhiasan yang mahal-mahal seperti yang dipakai Aceng. Wanita inipun tertawa-tawa mengerikan, walaupun harus diakui bahwa wajah itu sama sekali tidak buruk, bahkan cantik. Kecantikan yang aneh dan membuat orang takut!
“Hooo, siapa kawanmu ini, Aceng?” tanya sang ayah sambil matanya memandang kepada Sin Lee penuh selidik. Sin Lee merasa seolah-olah pandang mata itu menggerayangi tubuhnya dari kepala sampai ke kaki, membuatnya merasa tidak enak.
“He-he-hi-hi, pemuda begini tampan engkau dapatkan di mana, Aceng? Berikan saja kepada ibumu untuk teman main-main!” kata wanita itu dan Sin Lee merasa tubuhnya panas dingin. Kalau dia diberikan kepada wanita itu dan diajak bermain-main, sungguh mengerikan sekali.
“Aiih, ibu. Mana bisa? Aku yang menemukan dia.”
Wanita itu mendekati Aceng dan mengelus-elus wajah puteranya. “Aceng, kenapa pipimu ini? Dan lehermu? Kenapa ada tanda merah-merah ini. Engkau keracunan!”
“Ihh, ibu. Sialan itu lebah-lebah. Mereka menggigiti aku, dan aku sudah balas menggigit mereka sampai hancur. Eh, kawan baikku ini mengatakan bahwa lebah itu tidak menggigit melainkan menyengat. Ayah, ibu, ajarkan aku menyengat supaya kelak aku dapat membalas lebah-lebah atau apa saja yang menyengatku!” suara Aceng berubah manja seperti seorang anak kecil merengek minta dibelikan kembang gula.
Diam-diam Sin Lee merasa geli sekali, akan tetapi ditahannya agar jangan sampai tertawa karena dia khawatir kalau dikira menertawakan mereka.
“Hiiii, kalau ingin tertawa, tertawa saja. Jangan ditahan-tahan begitu, menyebalkan!” Wanita itu tiba-tiba menudingkan telunjuknya kepada Sin Lee.
Sin Lee terkejut. Begitu awaskah wanita ini sehingga dapat melihat bahwa dia ingin tertawa dan ditahan- tahannya. Dan tiba-tiba saja ketiganya meledak-ledak tertawa dan mau tidak mau Sin Lee ikut pula tertawa haha-hehe. Celaka, pikirnya, kini dia tertawa lepas tak ditahannya pula, ketawa lepas bebas dan dia pikir, kalau terlalu lama berada di antara mereka, tentu dia ketularan gila!
“Nah, begitu baru bagus!” kata kakek itu. “Sin Lee, kami senang sekali padamu. Kamu waras seperti kami, tidak gila seperti orang-orang yang suka mencela kami dan mengatakan kami gila. Kamu adalah sahabat baik kami dan awas mereka kalau ada yang mengganggu kamu. Eh, Aceng, engkau ingin belajar menyengat?”
“Benar, ayah. Aku ingin sekali, akan tetapi bagaimana mungkin? Pantatku tidak ada sengatnya.”
“Siapa bilang tidak mungkin? Nah, kau lihat baik-baik.” Kakek itu lalu membuat gerakan jurus silat yang aneh. Mula-mula pantat disorongkan akan tetapi tiba-tiba saja tubuh itu membalik dan kakinya sudah menendang, “Nah, tendangan kaki itu menggantikan sengatmu. Pasti orang menjadi terkejut dan tahu-tahu terkena tendangan.”
Aceng menirukan gerakan ayahnya dan Sin Lee kagum bukan main karena kakek itu seketika dapat menemukan gerakan jurus yang aneh, dan Aceng juga setelah mengulang tiga empat kali sudah dapat meniru gerakan ayahnya tadi. Tak terasa lagi Sin Lee bertepuk tangan memuji.
“Bagus sekali, Aceng!”
“Ha-ha-ha, engkau teman Aceng yang baik, Sin Lee. Ketahuilah, namaku Song Kian Ok, dan ini isteriku Nyonya Song. Dia bernama Song Ceng, panggilannya Aceng.” “Eh, suamiku, ada orang-orang datang ke sini!” kata Nyonya Song dan Sin Lee mengerahkan pendengarannya. Barulah dia dapat menangkap suara dari jauh. Wanita itu sambil bercakap-cakap dapat menangkap gerakan orang-orang yang mendatangi dari jauh. Ini saja sudah menunjukkan bahwa ia memang memiliki sin-kang yang jempolan. Ayah dan anka itu diam sejenak dan merekapun dapat mendengarnya.
Sin Lee dapat menduga bahwa yang datang itu tentulah rombongan orang dari Kong-thong-pai, maka diapun memancing omongan tentang mereka.
“Paman dan bibi Song, dan Aceng, tadi ketika aku mendaki bukit, di bawah sana aku melihat serombongan orang. Kalau tidak salah orang-orang itu adalah para muring Kong-thong-pai, dan beberapa orang adalah piauwsu-piauwsu dari Pek-liong Piauw-kiok. Apakah mereka yang naik ke sini?”
“Bagus, kalau mereka benar-benar datang, biarlah si tua Kam Sun Tojim sendiri yang datang menghadap aku!” kata Song Kian Ok. “Sudah lama mendengar namanya, kalau dia tidak mampu mengajar adat kepada murid-muridnya, biarlah aku yang mengajar adat kepada Kam Sun Tojin.”
“Suamiku, bukankah Kam Sun Tojin itu pewaris ilmu Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai?”
“Benar, dan kalau sampai ketua Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai mau datang dan ikut-ikutan, biar sekalian kuhajar?”
Sin Lee terkejut. Kakek ini demikian congkak, hendak menghajar ketua Kong-thong-pai, ketua Siauw-lim- pai dan ketua Kun-lun-pai. Sehebat apakah ilmu kepandaiannya?
“Wah, kalau akan timbul perkelahian, aku takut. Lebih baik aku pergi dulu!” katanya dan di hendak pergi dari situ.
Akan tetapi Aceng memegang tangannya. Pegangannya demikian kuat sehingga Sin Lee tidak mampu melepaskan diri. “Sin Lee, kenapa takut? Kau kira aku tidak tahu bahwa engkaupun memiliki kepandaian? Kalau tidak ingin terlihat mereka, hayo bersembunyi di dalam rumah saja.” Dan dia menarik Sin Lee memasuki rumah. Sin Lee terpaksa menurut karena tidak ingin mereka yang bersikap baik kepadanya itu tiba-tiba menaruh curiga. Dia mengintai dari balik pintu. Keluarga gila itu kini berdiri di pekarangan rumah dan bertolak pinggang, tertawa ha-ha-hi-hi menyambut datangnya belasan orang itu.
Kini nampaklah rombongan orang Kong-thong-pai itu. Paling depan berjalan Kiang Cu I dan gadisnya Kiang Bi Hwa. Sedangkan di belakangnya berjalan tiga orang piauwsu yang nampak jerih dan sepuluh orang murid Kong-thong-pai yang masih muda-muda dan nampak gagah perkasa. Barisan kecil ini nampak angker dan berwibawa. Akan tetapi tiga orang gila itu sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan Aceng lalu bermain-main dengan lima untai kalung emas permata yang melingkari lehernya.
Akan tetapi ketika melihat Bi Hwa, matanya terbelalak, dan tiba-tiba saja Aceng tertawa, mengejutkan semua yang baru datang karena tawanya keras sekali. Pandang matanya tidak pernah lepas dari Bi Hwa dan Aceng lalu merengek. “Ayah, ibu, itu ia pengantinku sudah datang! Ha-ha-ha-ha secantik bidadari! Lihat ibu, matanya itu, dan mulutnya... wah, manisnya. Ayah, ibu, kalau tidak mendapatkan isteri seperti itu, lebih baik aku mati!”
Wajah Bi Hwa seketika menjadi merah sekali lalu berubah agak pucat karena marah mendengar ucapan yang gila itu. “Orang gila!” bentaknya dengan suara nyaring dan menudingkan telunjuknya ke arah muka pemuda gila itu. “Cepat kembalikan peti perhiasan yang kaurampok atau terpaksa aku akan menghajarmu!”
“Bi Hwa, tenanglah,” kata ayahnya yang melangkah maju menghadapi keluarga gila itu. Kiang Cu I adalah seorang wakil ketua perkumpulan besar. Dia sudah mempunyai banyak pengalaman maka biarpun yang dihadapinya sebuah keluarga gila, dia tidak berani memandang rendah. Ada suatu sikap dari para tokoh kang-ouw, yaitu untuk tidak memandang remeh, bahkan berhati-hati sekali kalau bertemu dengan orang- orang yang nampaknya lemah seperti wanita, pendeta, pengemis yang nampaknya berpenyakitan. Dia melangkah maju dan memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada.
“Saya Kiang Cu I, wakil ketua Kong-thong-pai, minta maaf apa bila kedatangan kami serombongan mengganggu sam-wi yang menjadi penghuni tempat ini,” katanya lantang. “Bagus, bagus! Kam Sun Tojin sudah berani memandang rendah kepada kita sehingga datang hanya mengirim wakilnya saja. Apa dia kira dia itu terlalu hebat dan tidak pantas untuk datang berkunjung?” kata Song Kian Ok kepada isterinya.
“He-he-hi-hi-hik, kirim wakilnya juga sudah lumayan, apalagi disertai tiga belas orang muridnya. Hei, siapa namamu tadi? Kiang Cu I? Kenapa Kong-thong-pai mempunyai pimpinan yang brengsek, tidak dapat mengajar adat kepada para muridnya?”
Kiang Cu I kembali mengangkat tangan memberi hormat. “Saya mewakili Kong-thong-pai minta maaf apa bila ada murid kami yang bersalah dan harap suka jelaskan apa kesalahan mereka.”
“Aceng, dia tanya apa kesalahan muridnya, ha-ha-ha!” kata Song Kian Ok kepada puteranya. “Nah, katakan apa kesalahan murid mereka.”
Aceng menggaruk-garuk kepalanya. “Wah, apa, ya? Aku sudah lupa lagi. Coba kuingat... ya, sekarang aku ingat. Nah, itu tiga orang yang kurang ajar itu!” Dia menudingkan telunjuknya kepada Ci Toan, Ci Gu, dan Yong Hai yang menjadi ketakutan. “Hayo kalian pungkiri kalau bisa. Ketika aku sedang tidur di jalan. Eh, tahu-tahu orang-orang ini membentak dan menggugahku. Aku jadi terkejut dan terganggu. Eh, malah mereka marah-marah, memaki aku gila dan mengusirku dari situ. Siapa yang tidak muak. Orang-orang itu gila memaki aku sebagai orang gila. Kemudian yang lebih menjengkelkan lagi, mereka sudah bersumpah akan memberikan apa saja yang kuminta. Eh, setelah kuminta peti itu, mereka tidak mau memberikan, malah mengeroyok aku! Aku lalu menghajar mereka dan mengambil peti yang memang sudah dijanjikan akan diserahkan kepadaku kalau kuminta.” Pemuda itu lalu menjulurkan lidahnya kepada tiga orang itu, mengejek dan tertawa-tawa.
Kiang Cu I sudah mendengar penuturan tiga orang murid keponakan itu. Tentu saja tak diceritakan tentang sumpah itu, dan agaknya orang gila ini mempunyai cara sendiri untuk mempertahankan kebenarannya. Dia menoleh kepada mereka dan bertanya, “Benarkah apa yang diceritakannya itu?”
Ci Toan mewakili saudara-saudaranya menjawab, “Memang benar, susiok, akan tetapi...”
“Tidak ada tapi, tidak ada tapi!” kata pemuda itu. “Kalau sudah bersalah ya bersalah saja, tidak ada pakai tapi lagi.”
“Ha-ha-ha, anak kami ini, jelek-jelek tidak pernah berbohong, Kiang-pangcu. Jelas murid-murid Kong- thong-pai yang bersikap keterlaluan. Nah, sekarang kalian datang ke sini mau apa?”
“Locianpwe, kami mintakan maaf atas kesalahan para murid kami dan mereka sudah menerima hajaran dari putera locianpwe. Kami kira hal itu sudah sepantasnya dan kalau yang bersalah sudah menerima hukuman, bukankah hal itu berarti sudah beres. Akan tetapi, kami datang untuk minta agar peti berisi perhiasan itu dikembalikan kepada kami. Hendaknya diketahui bahwa barang itu bukan milik kami, akan tetapi karena kami yang mengawalnya, maka menjadi tanggungan kami.”
“Enak saja!” bantah Aceng. “Barang itu sudah kuminta, dan sudah diberikan, bagaiman bisa diambil kembali. Tidak bisa!”
“Ha-ha-ha, orang-orang Kong-thong-pai seperti anak kecil saja. Heh, Kiang Cu I dengarlah, kalau memang kalian menghendaki kembalinya peti itu, saya minta agara Kam Sun Tojin datang sendiri ke sini dan kalian semua berlutut minta ampun. Kemudian Kam Sun Tojin harus dapat mengalahkan kami ayah ibu dan anak, baru peti serta isinya kami kembalikan. Bagaimana?”
Wajah Kiang Cu I menjadi merah. Dia membanting kaki kanannya dan berseru lantang, “Sungguh keterlaluan engkau menghina kami! Kami sudah banyak mengalah, akan tetapi engkau yang mendesak kami untuk menggunakan kekerasan!”
“Orang gila seperti mereka apa perlunya diajak bicara baik-baik, ayah? Kita hajar saja mereka!” bentak Bi Hwa yang marah sekali dan gadis ini sudah mencabut pedangnya dan sekali melompat tubuhnya yang ringan seperti burung walet itu sudah berada di depan Aceng.
“Orang gila, kembalikan peti perhiasan itu atau aku akan memenggal batang lehermu!”
“He-he, engkau calon isteriku. Tadinya aku hendak meminangmu, akan tetapi karena pihakmu bermain kasar, engkau harus didenda. Mau tidak mau engkau harus menjadi isteriku, ha-ha-ha!”
“Gila!” bentak Bi Hwa dan pedangnya menyambar cepat ke arah leher orang gila itu. Akan tetapi dengan gerakan aneh seperti orang mabok, menggeleng-geleng kepalanya sambil mundur, Aceng sudah berhasil menghindarkan serangan pedang itu dan tiba-tiba tangannya meluncur ke depan untuk mencengkeram pundak Bi Hwa. Gadis ini terkejut karena biarpun ia sudah melangkah mundur, namun tangan itu tetap saja terulur hampir dapat mencengkeram pundaknya, maka terpaksa ia membuang diri ke belakang sambil berjungkir balij beberapa kali, barulah ia terhindar dari cengkeraman tangan yang dapat mulur itu.
Sementara itu, Kiang Cu I juga sudah mencabut pedangnya dan melompat ke depan Song Kian Ok. “Sobat, silakan kalau hendak menguji ilmu kepandaian,” katanya.
Song Kian Ok tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, kalau Kam Sun Tojin yang datang sendiri, barulah ramai dan ada harganya untuk kulawan. Kini engkau hanya wakilnya. Kiang Cu I, majulah bersama semua muridmu itu agar keadaannya berimbang!” Dia mengangkat tangan yang memegang tongkat dan menuding ke arah para anggota Kong-thong-pai itu. Sikapnya memandang rendah dan tertawa-tawa.
Sementara itu, Nyonya Song lalu mencari tempat duduk di atas batu dan ia tertawa haha-hihi sambil memeluk lutut yang diangkat tinggi. “Aduh, bagus, tontonan ramai sekali. Eh, Aceng, jangan engkau lukai calon isterimu itu, kasihan!” Iapun kelihatan gembira sekali.
Melihat gerakan Aceng yang menggunakan tangan kosong melawan puterinya, Kiang Cu I terkejut bukan main. Dia tahu bahwa tingkat kepandaian Bi Hwa sudah hampir sama dengan tingkatnya, akan tetapi pemuda gila itu menghadapinya dengan tangan kosong saja dan dalam gebrakan pertama saja gadis itu sudah terdesak hebat. Baru kepandaian puteranya sudah demikian tingginya, apa lagi kepandaian ayahnya. Oleh karena itu dia tidak malu-malu lagi menggunakan keuntungan tantangan lawan untuk dikeroyok itu. Bukan dia yang mengeroyok, melainkan pihak lawan yang menantang. Apa lagi, sekali ini bukan pertandingan silat, melainkan usaha merampas kembali barang yang dirampok. Maka dia memberi isyarat kepada tiga belas orang murid pilihan itu yang kesemuanya telah mencabut pedang dan mengepung Song Kian Ok yang tertawa bergelak kegirangan.
“Bagus! Bagus! Hayo maju semua, jangan ada yang ketinggalan, jangan nanti tidak kebagian gebukan ada yang iri hati heh-heh-heh!”
Karena merasa dipandang rendah sekali, Kiang Cu I lalu membentak, “Lihat pedang!” dan dia mulai menyerang dengan dahsyatnya. Kakek itu hanya terkekeh, menggerakkan tongkat seenaknya akan tetapi ketika tongkatnya membentur pedang, Kiang Cu I terbelalak karena hampir saja pedangnya terlepas dari pegangan. Tongkat orang gila itu seperti mengandung gerakan yang amat kuat.
Tiga belas orang muridnya lalu mengeroyok. Diserang dari berbagai jurusan itu, Song Kian Ok girang sekali dan bergelak-gelak sambil menari-nari seperti orang gila. Akan tetapi kemanapun dia menggerakkan tongkat, dengan tepat tongkat itu menangkis pedang para pengeroyok. Dalam beberapa jurus saja beberapa orang pengeroyok kehilangan pedangnya yang terpental ketika ditangkis tongkat.
Pertandingan antara Bi Hwa melawan Aceng juga berat sebelah. Biarpun gadis itu memiliki gerakan yang gesit sekali dan pedangnya diputar menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata, akan tetapi Aceng menari-nari dan selalu tusukan atau bacokan itu luput. Bahkan beberapa kali Aceng sudah dapat menepuk pundak atau pinggul Bi Hwa, bahkan mengelus pipi. Bukan gerakan yang mengandung kekurangajaran, melainkan seperti gerakan anak kecil yang suka menggoda. Muka Bi Hwa menjadi sebentar merah sebentar pucat, akan tetapi ia merasa tidak berdaya melawan si gila yang amat lihai ini.
Pertempuran mengeroyok Song Kian Ok juga sudah nampak tanda-tanda bahwa para pengeroyok itu tidak akan mampu menang. Beberapa orang sudah terkena tendangan atau tamparan tangan atau totokan tongkat Song Kian Ok, bahkan pundak Kiang Cu I pernah terkena hantaman tongkata. Dari semua pukulan ini, Sin Lee dapat melihat bahwa Song Kian Ok sama sekali tidak ingin melukai parah kepada pengeroyoknya. Hal ini amat menyenangkan hatinya dan menambah rasa kagumnya kepada keluarga gila itu. Nyonya Song hanya bertepuk-tepuk tangan memuji suaminya saja.
Sementara itu, Bi Hwa nampak kepayahan sekali. Gadis ini berkelahi dengan kedua mata basah karena saking jengkelnya, ia tidak mampu menahan air matanya walaupun tidak terang-terangan menangis. Melihat keadaan Kiang Cu I dan Bi Hwa ini, Sin Lee merasa tidak tega dan sekali melompat dia telah terjun ke tengah pertempuran, dengan tangannya menangkis gerakan tongkat Song Kian Ok lalu melompat untuk menengahi Aceng dan Bi Hwa. “Tahan senjata...!” dia berseru keras.
Nyonya Song sudah turun dari atas batu dan menghampiri Sin Lee bersama suaminya, juga Aceng menghampiri Sin Lee. Sinar mata mereka liar dan mereka agaknya merasa penasaran sekali melihat Sin Lee turun tangan melerai pertempuran yang sudah hampir dimenangkan pihak mereka itu.
“Siapa suruh engkau ikut campur?” bentak Song Kian Ok.
“Sin Lee, anak tampan. Mau apa engkau menahan kami?” bentak pula Nyonya Song penasaran. “Sin Lee, apakah engkau bukan sahabatku lagi?” kata pula Aceng penasaran.
“Justru karena aku sahabat baik kalian maka terpaksa aku melerai. Paman dan bibi Song, aku tidak dapat membiarkan kalian bertiga melakukan hal bo-ceng-li (tidak punya aturan).”
“Apa katamu? Kita bo-ceng-li. Mereka inilah yang bo-ceng-li, mereka datang hanya untuk menggangu kami, mengatakan kami gila. Hayo, siapa yang tidak tahu aturan?” kata Song Kian Ok.
“Ketahuilah, paman dan bibi Song, juga engkau Aceng. Mereka ini adalah keluargaku. Nona Kiang Bi Hwa itu adalah... tunanganku. Nah, apa benar kalau kalian sahabat-sahabat baikku mengganggu tunanganku dan keluarganya? Sama saja dengan mengganggu aku! Peti perhiasan itu adalah tanggungan murid-murid calon ayah mertuaku, kalau kalian ambil tentu saja mereka akan celaka termasuk tunanganku dan aku pula. Maka demi persahabatan kita, paman dan bibi Song dan engkau Aceng sahabatku yang baik, kembalikanlah peti perhiasan itu kepada mereka dan jangan memusuhi mereka. Kalau mereka telah bersikap kasar dan membuat kalian marah, akulah yang mintakan ampun. Harap kalian bertiga memandang mukaku untuk memaafkan mereka.”
“Wah, ia tunanganmu, Sin Lee? Aduh, aku sudah kedahuluan!” Aceng merengek kecewa.
“Kenapa tidak dari dulu kaukatakan bahwa mereka ini adalah keluarga calon isterimu, Sin Lee?” tegur Nyonya Song.
“Heh, sudahlah. Kalau memang mereka ini keluarga calon isteri Sin Lee, tentu saja kami memandang mukanya untuk dapat memaafkan. Akan tetapi, Sin Lee, tidak begitu mudah, ada syaratnya agar kami mau mengembalikan peti perhiasan berikut semua isinya.”
“Paman Song, aku sanggup memenuhi semua syaratmu itu.”
“Awas kalau engkau tidak dapat memenuhi, akan kuobrak-abrik mereka ini, kuberi hajaran agar jera. Nah, dengarlah syaratku. Pertama, engkau harus mewakili keluarga isterimu itu, bertanding melawan kami satu lawan satu. Aku sudah lama ingin melihat sampai di mana kelihaianmu. Syarat ke dua, engkau harus mengaku kami sebagai orang tuamu dan Aceng sebagai kakakmu. Dan syarat ke tiga, karena kami sudah ingin sekali mempunyai mantu dan menimang cucu, engkau sebagai putera kami harus segera melangsungkan pernikahan dengan tunanganmu ini, sekarang juga dan di tempat kami ini. Nah, bagaimana? Tidak boleh satupun syarat dilanggar, atau aku akan melanjutkan menahan peti perhiasan dan tetap menentang mereka itu.”
“Syarat-syarat gila!” bentak Kiang Cu I yang tentu saja tidak ingin melihat Sin Lee berkorban demi mereka.
“Sstt, paman. Jangan berkata apa-apa lagi, aku menerima syarat-syarat itu!” katanya sambil mengedipkan matanya sebagai tanda bahwa penerimaan syarat itu hanya untuk meredakan kemarahan keluarga gila itu. “Paman Song aku terima ketiga syaratmu!”
“Ha-ha-heh-heh, bagus, bagus! Aceng, kau mulailah, coba main-main sebentar dengan Sin Lee adikmu!”
“Bagus, Sin Lee, mari kita latihan sebentar. Lihat seranganku ini, jangan lengah atau engkau akan kubikin jungkir balik, ha-ha-ha!” Aceng gembira sekali dan tangannya sudah menyambar ke arah Sin Lee. Sin Lee maklum akan kelihaian Aceng, maka cepat dia mengelak dan sebelum tangan itu mulur dan mengejarnya, dia sudah balas menyerang dengan menotok ke arah pergelangan tangan yang tadi menyerangnya. Aceng juga lincah sekali, dia menarik tangannya sambil tertawa ha-ha-he-he dan menendang dengan kakinya yang panjang. Sin Lee juga mengerahkan tenaga dan kepandaiannya, mengelak lagi dan membalas. Mereka serang menyerang dan kalau Aceng hanya main-main saja, Sin Lee bersungguh-sungguh, berusaha memenangkan pertandingan itu. Pada jurus ke lima belas, ketika tangan kanan kiri Aceng melakukan dorongan ke arah dadanya, dia merendahkan tubuhnya sehingga kedua tangan itu meluncur ke atas kepalanya dan secepat kilat dari bawah dia mengirim totokan ke arah siku kanan kiri lawan. Usahanya berhasil dan begitu terkena totokan jari tangan Sin Lee, maka seketika kedua lengan Aceng menjadi lumpuh.
“Wah, wah, tanganku... aaah, tidak dapat digerakkan... hu-hu-huuhh...!” dan Aceng menangis seperti anak kecil ketakutan. Sin Lee cepat merangkulnya dan membebaskan totokannya.
“Ilmu silatmu hebat, Aceng-ko, akan tetapi aku masih dapat mengatasimu.”
“Wah, kau nakal. Sin Lee, aku tidak mau bermain-main denganmu lagi!” Aceng meloncat menjauh.
Nyonya Song tertawa. “Heh-heh-heh, ternyata engkau memang hebat, Sin Lee anakku yang tampan. Akan tetapi engkau harus dapat mengalahkan aku! Nah, sambutlah ini!” Nyonya itu sudah menyerang, serangannya berupa totokan-totokan dengan satu jari tangan, cepat bukan main gerakannya dan begitu menyerang, serangannya bertubi-tubi.
Sin Lee terkejut. Ilmu totokan yang diperlihatkan nyonya itu memang aneh dan hebat dan kalau melihat betapa Nyonya Song hanya menggunakan satu jari tangan saja, mirip ilmu totokan It-sin-ci (Satu Jari Sakti), hanya saja gerakannya demikian aneh dan lucu, seperti gerakan orang main-main saja walaupun amat cepat. Justeru keanehan gerakan ini yang berbahaya karena selain tidak dikenalnya, juga tidak dapat diketahui perubahannya. Maka Sin Lee cepat mengerahkan gin-kangnya, mempergunakan kecepatan gerakan tubuhnya untuk mengelak ke sana sini seperti gerakan seekor burung walet saja, dan diapun membalas dengan ilmu tendangan berantai dari Bu-tong-pai, yaitu Soan-hong-twi (Tendangan Angin Puyuh). Barulah setelah dia menggunakan ilmu tendangan Soan-hong-twi, desakan Nyonya Song kepadanya dapat ditahan dan mengendur karena nyonya itupun harus menyelamatkan diri dari hujan tendangan yang mendatangkan angin berputar, Nyonya Song bersilat sambil berteriak-teriak dan tertawa- tawa, nampaknya ia gembira bukan main mendapatkan lawan yang begitu tangguh. Tiga keluarga ini memang orang-orang gila yang aneh. Selain mereka tidak kejam dan tidak mau mencelakakan orang, juga agaknya mereka gila ilmu silat sehingga bertanding ilmu silat bagi mereka seperti mendapatkan permainan yang amat menggembirakan.
“Hai, kau hebat! Ahhh...!” Nyonya Song menjerit-jerit ketika kaki Sin Lee seperti berubah menjadi banyak sekali, menendangnya bertubi-tubi dan kini nyonya itu mengubah gerakannya. Ia tidak menghindarkan diri dengan berloncatan ke sana ke mari melainkan kini berusaha untuk menangkap kaki Sin Lee! Seperti seorang anak kecil bermain-main hendak menangkapi burung-burung yang beterbangan menyambar- nyambar.
Sin Lee maklum akan bahayanya perbuatan wanita itu. Kalau kakinya sampai terkena ditangkap, berarti dia akan kalah. Baru lepas sepatunya saja dapat dianggap kalah. Maka diapun menghentikan tendangannya dan kini diapun mengubah ilmu silatnya, kini dia memainkan ilmu silat yang diajarkan oleh Ciu-sian Lo-kai, yaitu ilmu silat Dewa Mabok, semacam ilmu yang dirangkai oleh Ciu-sian Lo-kai dan cocok sekali dengan pengemis tua dewa arak itu. Gerakannya seperti orang mabok, terhuyung-huyung akan tetapi pada saatnya yang tepat dapat mengirim serangan atau mengelak seperti tidak sengaja dan seperti orang mabok terhuyung-huyung ke sana ke mari. Nyonya Song gembira sekali melihat gerakan Sin Lee yang hampir sama dengan gerakannya, hanya bedanya kalau gerakan Sin Lee seperti orang mabok, maka gerakannya seperti orang sinting!
Sampai lima puluh jurus kedua orang ini bertanding dan akhirnya dengan cara menggulingkan dirinya, Sin Lee berhasil menangkap kaki nyonya itu dan menariknya sehingga nyonya Song terpelanting jatuh! Biarpun ia tidak terluka, namun ia terkejut sekali dan sambil bersungut-sungut ia melompat bangun. “Sin Lee, bocah nakal kau, berani menarik-narik kaki ibumu?”
Kini Song Kian Ok sendiri yang melompat ke depan. “Sin Lee, engkau pantas menjadi puteraku. Sekarang, kita main-main sebentar, pergunakan senjatamu!” Dia sendiri lalu melepaskan sabuknya, sehelai sabuk kulit yang panjangnya satu setengah meter berwarna hitam seperti ular. Sin Lee dapat menduga betapa ampuhnya senjata yang sederhana itu, maka diapun menengok ke kanan kiri mencari senjata.
“Twako, pakailah pedangku ini!” Bi Hwa berseru sambil melolos pedang dari sarungnya. “Bagus, calon mantuku sungguh mencinta calon suaminya!” kata Nyonya Song. “Sin Lee, kau pakailah pedang calon isterimu itu.”
Akan tetapi Sin Lee menolak dengan halus, dia harus bersandiwara, dan menyebut gadis itu “siauwmoi” seolah memang ia tunangannya. “Biarlah, siauwmoi, karena ini hanya pertandingan antara keluarga, aku menggunakan tongkat ini saja.” Dia memungut sebuah kayu ranting yang besarnya selengan tangan dan panjangnya satu meter. Dia menghadapi Song Kian Ok dengan senjata itu di tangan.
“Nah, paman Song, aku sudah siap!” katanya.
“Bagus, nah, sambutlah sabukku ini, Sin Lee!” Song Kian Ok mulai menyerang dan serangannya bukan seperti orang bermain silat melainkan seperti orang gila mengamuk. Dia memutar-mutar sabuk di atas kepalanya dan menyerang dengan ganas. Sabuk itu mengeluarkan suara bercuitan dan nampak bergulung-gulung hitam, mengeluarkan angin dahsyat pula.
Maklum bahwa gerakan yang kacau ini sesungguhnya merupakan gerakan silat yang aneh dan berbahaya, Sin Lee tidak berani memandang rendah dan diapun menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak ke sana sini sambil membalas dengan ranting. Dia mencari celah-celah antara gulungan sinar hitam untuk memasukkan rantingnya, menusuk dan menotok ke tiga belas jalan darah di bagian depan tubuh lawan.
Song Kian Ok mengeluarkan suara aneh, kadang-kadang tertawa, kadang-kadang seperti orang menangis dan sungguh luar biasa sekali. Semua orang hampir saja ikut terbawa menangis kalau dia mengeluarkan suara tangis, dan ikut tertawa kalau mendengar dia tertawa. Ternyata suara itu mengandung khikang yang amat kuat!
Namun Sin Lee sudah mengerahkan sin-kangnya dan tidak hanyut oleh pengaruh suara itu. Bahkan dia mampu mengimbangi kecepatan gerakan sabuk sehingga mereka itu saling serang dengan seru sekali. Sudah lewat lima puluh jurus dan belum juga di antara mereka ada yang terkena senjata lawan. Akhirnya Song Kian Ok melompat ke belakang. Napasnya agak terengah dan mukanya penuh keringat, sedangkan Sin Lee sama sekali tidak berkeringat dan pernapasannya tidak memburu, ini saja sudah merupakan bukti bahwa dalam hal ketahanan tenaga dan napas, pemuda ini jauh lebih unggul walaupun dalam hal ilmu silat, dia masih belum dapat mengalahkannya. Sin Lee harus mengakui bahwa selama dia meninggalkan gurunya, Ciu-sian Lo-kai belum pernah dia bertemu lawan setangguh tiga orang gila itu!
“Ha-ha-ha, engkau pantas menjadi puteraku. Hayo penuhi syarat ke dua, engkau mulai hari ini harus menjadi putera kami, Sin Lee!”
Karena menghadapi orang gila, dia harus pula melayani seperti orang gila, untuk mencegah terjadinya keributan, maka dia lalu memberi hormat kepada Song Kian Ok dan menyebut ayah, kepada Nyonya Song menyebut ibu, dan kepada Aceng menyebut kakak. Mereka bertiga girang sekali, berloncatan seperti anak kecil mendapatkan mainan, bahkan Aceng lalu merangkul Sin Lee dan mengajaknya menari-nari sambil berkata, “Aku girang sekali, mendapatkan adik yang lihai, ha-ha-ha!”
“Sekarang mari kita semua pulang. Aku undang orang-orang Kong-thong-pai sebagai keluarga sendiri. Putera kami akan menikah dengan puteri wakil ketua Kong-thong-pai, mari kita rayakan di rumah kami!” kata Song Kian Ok dan semua orang mengikuti.
Tadinya Sin Lee mengira bahwa pernikahan itu sudah cukup kalau diakuinya saja, akan tetapi dia menjadi pucat juga ketika suami isteri Song itu lalu mengatur meja sembahyang.
“Sepasang pengantin harus bersembahyang di sini untuk peneguhan pernikahan mereka!” kata Song Kian Ok.
“Nanti dulu!” kata Nyonya Song. “Aku masih menyimpan pakaian pengantinku. Mantuku harus mengenakan pakaian pengantian biar lebih cantik!” Nyonya itu lalu menggandeng tangan Bi Hwa diajaknya masuk ke dalam kamar dan Bi Hwa juga menurut saja. Tak lama kemudian, Bi Hwa keluar lagi digandeng Nyonya Song, mengenakan pakaian merah, pakaian pengantin kuno! Dan anehnya, Bi Hwa melangkah perlahan-lahan, persis pengantin, bahkan wajah gadis itupun bersungguh-sungguh!
Terpaksa Sin Lee lalu bersanding dengan Bi Hwa, keduanya disuruh berlutut dan bersembahyang di depan meja sembahyang melakukan sumpah sebagai sepasang pengantin. Nyonya Song yang memberi contoh kepada mereka.
“Aku bersumpah disaksikan Bumi dan Langit bahwa mulai saat ini kami berdua telah menjadi suami isteri yang saling mencinta dan saling setia!” Kembali terjadi keanehan. Kalau Sin Lee menirukan suara Nyonya Song dengan ngawur saja, asal menggerakkan bibir akan tetapi tidak demikian dengan Bi Hwa. Gadis ini mengeluarkan ucapan itu dengan suara lantang dan jelas dan sikapnya bersungguh-sungguh, bahkan kedua pipinya kemerahan dan sinar matanya berseri-seri. Hal ini tidak luput dari penglihatan ayahnya yang merasa heran pula, juga khawatir.
Setelah upacara pernikahan selesai, Nyonya Song lalu menyuruh semua orang membantunya memotong ayam dan kambing yang dimiliki keluarga itu, memasaknya dan hari itu mereka berpesta dengan gembira. Kegembiraan yang aneh. Orang-orang Kong-thong-pai tidak berpura-pura, mereka memang gembira karena peti perhiasan itu, lengkap dengan isinya benar-benar dikembalikan kepada mereka. Hanya Sin Lee yang hampir tak dapat makan, karena dia merasa seperti terjepit. Mengaku mereka sebagai keluarganya masih belum mengapa, akan tetapi pernikahan dengan Bi Hwa itu membuat jantungnya berdebar karena dia melihat betapa Bi Hwa demikian bersungguh-sungguh!
Ketika mereka semua sedang makan, tiba-tiba Nyonya Song menangis tersedu-sedu. “Aih, ibu, mengapa menangis? Diamlah, ibu, aku akan ikut menangis kalau ibu tidak diam...” kata Aceng sambil mewek- mewek, siap untuk ikut menangis. Akan tetapi ibunya malah mengguguk dan akhirnya Aceng ikut menangis meraung-raung.
Song Kian Ok memegang pundak isterinya. “Sudahlah, isteriku yang tersayang, jangan menangis.”
“Hu-huuh-huh, aku kehilangan putera, diambil oleh wanita lain, bagaimana tidak boleh bersedih dan menangis?” Nyonya Song berkata dan kembali ia menangis.
“Hu-huk, akupun kehilangan saudara...!” Aceng mengikuti contoh ibunya.
“Ha-ha-ha, kalian ini bodoh. Kalian tidak kehilangan anak dan adik, akan tetapi malah mendapatkan anak mantu dan adik ipar. Seharusnya tertawa, kenapa menangis?” kata Song Kian Ok.
Mendengar ini, Nyonya Song menghentikan tangisnya lalu tertawa. “Hi-hik-hik, engkau benar. Mari kita minum untuk mantu perempuanku yang cantik manis!”
“Hore, akupun mendapatkan adik ipar yang manis. Mari kita minum!” Aceng ikut-ikut ibunya tertawa bergelak sambil minum araknya.
Setelah pesta bubaran, semua orang berpamit sambil membawa peti perhiasan dan kereta, sedangkan Sin Lee juga berpamit untuk berkunjung ke Kong-thong-pai, ke rumah “mertuanya”. Untuk meyakinkan keluarga itu, dia sengaja menggandeng tangan Bi Hwa dengan mesra.
“Ya-ya, akan tetapi jangan lupa kadang-kadang menengok ayah ibu dan kakakmu di sini, ya?” pesan mereka dan semua orang lalu meninggalkan tempat itu dengan hati lega dan cepat-cepat, takut kalau keluarga gila itu berubah pikiran.
Ketika mereka semua tiba di Kong-thong-pai, Bi Hwa terus lari memasuki kamarnya dan tidak mau keluar lagi. Melihat ini, ibunya segera menengoknya dan ternyata Bi Hwa rebah telungkup sambil menangis terisak-isak. Ibunya terkejut dan segera merangkul puterinya.
“Bi Hwa, kenapa engkau menangis bersedih? Bukankah peti perhiasan itu telah kembali dan semua orang bergembira di ruangan dalam, mengadakan pesta, kenapa engkau malah bersembunyi di kamar sambil menangis?”
Ditanya begitu oleh ibunya, Bi Hwa bangkit duduk merangkul ibunya dan tangisnya semakin mengguguk. “Ibu... ah, ibu... aku ingin mati saja, ibu...!”
Tentu saja ibunya terkejut setengah mati. “Hushhh... jangan bicara begitu, anakku. Kabarnya kalian semua berurusan dengan keluarga gila, apakah engkau ketularan penyakit itu? Ada urusan dapat diurus, ada permasalahan dapat diselesaikan, jangan berkata ingin mati begitu. Katakan, ada masalah apa yang membuat engkau begitu bersedih?” Bi Hwa mencoba untuk menghentikan tangisnya. Setelah tangisnya mereda dan ia hanya kadang terisak saja, ia lalu berkata, “Apakah ibu belum mendengar apa yang terjadi di rumah keluarga Song yang gila itu?”
“Tentu saja sudah. Mereka ramai membicarakan. Berkat pertolongan Pendekar Bunga Merah yang bernama Sin Lee itu maka peti perhiasan itu dapat diambil kembali. Kabarnya, Pendekar Bunga Merah mengorbankan dirinya, mengalahkan mereka dan bahkan mau mengakui mereka sebagai orang tua, dan juga berpura-pura menikah denganmu. Eh, ada apakah?” Ibunya menegur melihat anaknya bersungut- sungut.
“Ibu, di dunia ini mana ada pernikahan dilakukan pura-pura? Kalau pura-pura, itu merupakan suatu penghinaan bagiku. Ibu, ingat kami telah bersumpah di depan meja sembahyang, disaksikan bumi dan langit bahwa kami telah menjadi suami isteri. Bagaimana dapat berpura-pura lagi?”
“Akan tetapi, pernikahan itu hanya dilakukan oleh keluarga gila, dan hanya untuk memenuhi syarat saja.”
“Bagi orang lain begitu, tetapi bagiku... ahh, aku malu disuruh mengenakan pakaian pengantin segala. Aduh, ibu... aku malu... aku malu kalau pernikahan itu dibatalkan begitu saja...”
“Maksudmu...”
“Tidak tahulah, ibu harus tahu sendiri...” Gadis itu lalu menelungkup dan menangis lagi. Ibunya lalu berlari keluar dan tak lama kemudian ia kembali memasuki kamar bersama suaminya.
Kian Cu I terkejut ketika mendengar pelaporan isterinya tentang puterinya. Kini ia dapat mengerti. Kiranya puterinya itu jatuh cinta kepada Sin Lee dan benar-benar menghendakinya sebagai suami. Pantas ketika diadakan upacara di rumah keluarga Song yang gila, Bi Hwa begitu bersungguh-sungguh!
“Bi Hwa, apakah engkau menganggap upacara pernikahan di keluarga Song itu benar-benar?” tanyanya dengan halus.
Bi Hwa menyusut air matanya dan bangun duduk, memandang kepada ayahnya dengan mata merah. “Habis bagaimana, ayah? Apakah penyumpahan itu pura-pura belaka? Aku tidak bisa berpura-pura seperti itu. Aku akan mati karena malu, ayah.”
“Akan tetapi anakku, Pendekar Bunga Merah melakukan itu hanya untuk memenuhi syarat keluarga itu, hanya untuk membujuk mereka agar mengembalikan peti perhiasan dan dia sudah berhasil menolong kita. Dia melakukan upacara pernikahan pura-pura itu hanya untuk memenuhi syarat. Kalau kau anggap sungguh-sungguh, tentu harus dimintai persetujuannya dulu. Tidak mungkin pernikahan dilangsungkan hanya sepihak saja, anakku.”
“Mengapa ayah tidak bertanya kepadanya dan membujuknya? Orang lain boleh menganggap pura-pura, akan tetapi bagiku sungguh-sungguh, ayah!”
“Katakan saja bahwa engkau telah jatuh cinta kepada Pendekar Bunga Merah, anakku.”
“Apakah ayah juga tidak akan bangga kalau mempunyai mantu dia?” Gadis itu balas bertanya. Ayah ibunya mengangguk-angguk.
“Akan kubicarakan dengan dia, anakku. Akan tetapi engkau jangan yakin lebih dulu. Bagaimanapun juga, kita semua tahu bahwa dia bukan bermaksud mempermainkanmu, melainkan hanya untuk memenuhi syarat yang diajukan oleh keluarga itu. Akan kucoba membujuk dia.”
“Mudah-mudahan dia akan setuju, ayah,” kata Bi Hwa sungguh-sungguh. Ia tidak dapat membayangkan apa yang akan dilakukannya kalau seandainya pendekar itu menolak. Yang jelas, ia akan merasa terpukul, kecewa, patah hati dan malu sekali. Dan semua ini gara-gara keluarga yang gila itu!
Seluruh murid Kong-thong-pai berpesta. Setelah selesai perjamuan itu, dan Sin Lee sudah siap-siap untuk meninggalkan tempat itu, Kiang Cu I mendekatinya dan berkata.
“Taihiap, saya ada urusan penting sekali yang hendak saya bicarakan dengan taihiap berdua saja.” “Ah, ada urusan apakah yang demikian pentingnya, paman Kiang? Dan harap paman jangan sebut saya taihiap lagi. Dari keluarga Song tentu paman sudah mendengar bahwa nama saya adalah Sin Lee.”
“Dan nama margamu?”
“Lebih baik aku dikenal sebagai Sin Lee saja, paman. Nah, ada urusan apakah yang hendak paman bicarakan denganku?”
“Mari, Sin Lee. Kita bicara di dalam. Sudah kukatakan bahwa aku ingin bicara berdua saja jangan terdengar orang lain.”
Dengan penuh keheranan pemuda itu lalu mengikuti Kiang Cu I pergi ke tempat tinggal wakil ketua Kong- thong-pai itu dan dipersilahkan duduk di ruangan tamu. Mereka hanya berdua saja, duduk berhadapan terhalang meja kecil.
Setelah mereka duduk, Kiang Cu I berkata, “Sesungguhnya, amat sulitlah bagi saya untuk membicarakannya, Sin Lee. Akan tetapi apa boleh buat, demi sayangku kepada anak, terpaksa aku memberanikan diri membicarakannya. Ketahuilah, setelah pulang dari rumah keluarga Song yang gila itu, anakku Bi Hwa mengeram saja di dalam kamarnya dan tidak keluar ikut berpesta atas kemenangan itu.”
“Pantas saya tidak melihatnya, paman. Ada apakah?”
“Ibunya mendapatkan ia menangis sesenggukan di dalam kamarnya dan ketika ditanya, ia bercerita tentang pernikahan di keluarga Song itulah. Pernikahan pura-pura itu yang membuatnya bersedih, Sin Lee. Dan ketika aku datang bertanya, ia mengatakan bahwa ia telah melakukan sumpah di sana dan bahwa Bi Hwa tidak menganggapnya sebagai pernikahan pura-pura, melainkan sungguh-sungguh.”
“Ahhh...!” Sin Lee terbelalak dan mukanya berubah kemerahan. Sama sekali tidak pernah disangkanya gadis itu akan menganggapnya demikian. Semua orang tahu belaka bahwa hal itu dilakukan hanya untuk memenuhi syarat yang diajukan keluarga gila itu. “Kenapa begitu, paman? Paman sendiri menjadi saksi bahwa hal itu dilakukan hanya untuk memenuhi syarat yang diajukan keluarga Song! Apakah artinya ini, paman?”
“Aku mengerti, Sin Lee. Dan aku tahu benar apa artinya. Artinya bahwa anak kami yaitu Bi Hwa, telah jatuh cinta padamu dan menghendaki agar engkau benar-benar menjadi suaminya. Dan kami semua juga mengharapkan begitu Sin Lee.”
“Akan tetapi, paman. Aku sama sekali belum pernah memikirkan soal pernikahan...” “Apakah engkau sudah menikah?”
“Belum.”
“Apakah engkau sudah bertunangan?” ”Belum.”
“Kalau begitu apa salahnya? Anak kami akan menjadi seorang isteri yang baik, hal ini kami berani menanggungnya!”
“Bukan begitu, paman. Akan tetapi pernikahan tidak dapat dilakukan secara begitu saja. Perjodohan haruslah didasari dasar cinta kasih dan cinta hanya dapat terjadi kalau kedua pihak menghendaki. Sedangkan aku...”
“Engkau tidak mencinta puteri kami?”
“Bagaimana mungkin, paman? Kami baru saja bertemu, tidak saling mengenal, dan terus terang saja, aku sama sekali belum berpikir tentang perjodohan.”
Kiang Cu I menghela napas panjang. “Kami tidak menyalahkanmu, Sin Lee. Kami juga terkejut melihat sikap puteri kami yang secara tiba-tiba jatuh cinta padamu. Akan tetapi, bagaimana kami harus memberitahu padanya, Sin Lee. Ia puteri kami, anak tunggal dan manja. Kalau kami menceritakan seperti yang kaukatakan tadi, tentu ia tidak akan percaya kepada kami. Ah, kami sedih sekali, Sin Lee...”
Sin Lee merasa kasihan kepada orang tua itu. Begitulah kalau mempunyai anak manja. Kalau tidak dapat memenuhi permintaannya, menjadi bersedih hati karena anak manja biasanya segala permintaannya harus dipenuhi. Pada hal urusan perjodohan dan cinta mencinta haruslah dihadapi dengan kejujuran hati, dengan keterus-terangan.
“Baiklah, paman. Kalau begitu biarkan aku sendiri yang bicara dengan adik Bi Hwa agar ia dapat yakin dan tidak akan menyalahkan paman dan bibi.”
Wajah Kiang Cu I menjadi berseri. “Benarkah itu, Sin Lee? Ah, terima kasih banyak kalau engkau mau bicara dengannya. Hanya dengan jalan itulah kiranya ia akan percaya. Akan kupanggil ia ke sini, Sin Lee.”