Jilid 4
Akhirnya dipilih seorang kakek bernama Can Kui To menjadi kauwcu, karena memang biasanya kakek Can ini yang memimpin semua upacara yang diadakan oleh ketua Beng-kauw pada waktu lalu dan dia mengerti benar tentang Beng-kauw. Setelah memeriksa buku catatan, tahulah Giok Lan bahwa Beng-kauw bukanlah perkumpulan kecil, melainkan perkumpulan yang besar, memiliki banyak cabang di kota-kota besar dan kalau dihitung semua, seluruh jumlah anggota Beng-kauw ada beberapa ribu orang! Ia merencanakan untuk mengundang semua ketua cabang, untuk diajak berembuk demi kemajuan Beng-kauw.
Sin Lee merasa girang sekali. Kiranya Giok Lan memang cocok untuk menjadi ketua dan gadis itu demikian penuh semangat untuk membawa Beng-kauw ke arah kemajuan. Dia percaya bahwa sumoinya atau adik angkatnya itu akan menemukan kebahagiaan dalam kedudukannya yang baru itu, tidak lagi membutuhkan dia sebagai pendamping. Oleh karena itu, setelah semua beres, dia lalu minta diri kepada adik angkatnya.
“Lan moi, engkau menghadapi tugas yang banyak dan berat namun mengasyikkan. Ku harap saja engkau akan dapat melaksanakan tugas dengan baik, membawa Beng-kauw ke jalan benar. Kalau engkau berhasil, maka jasamu akan besar sekali dan tidak percuma engkau menjadi murid suhu selama ini. Aku sekarang hendak melanjutkan perjalanan ke kota raja.”
Giok Lan terkejut. Dalam kesibukannya tak pernah ia membayangkan akan berpisah dengan kakak angkatnya. Diam-diam ia telah jatuh cinta kepada suhengnya, bukan cinta seorang adik kepada kakak, melainkan cinta seorang wanita kepada pria.
Wajah Giok Lan agak pucat ketika ia memandang kepada pemuda itu. “Lee–koko kau... kau... hendak pergi? Meninggalkan aku seorang diri?” tak terasa lagi begitu mengucapkan kata-kata ini, kedua matanya menjadi basah air mata.
“Aih, Lan moi, kenapa engkau menitikkan air mata? Cepat hapus air matamu. Ingat, engkau seorang pangcu, tidak boleh selemah itu! Dan kenapa kau bilang meninggalkan engkau seorang diri? Engkau tidak serang diri lagi, Lan moi. Engkau ketua dari perkumpulan yang memiliki anggota ribuan orang!”
Giok Lan menghapus air matanya, akan tetapi wajahnya masih pucat dan matanya membayangkan kesedihan besar, “Akan tetapi, Lee-ko, aku-aku...akan merasa kehilangan, kesepian sekali. Apakah engkau tidak bisa tinggal di sini bersama aku, Lee-ko? Setidaknya untuk beberapa bulan saja. Jangan tinggalkan aku begini tiba-tiba, aku menjadi bingung dan kehilangan pegangan, Lee-ko. Selama ini, engkaulah orang tempat aku bergantung, berharap dan bersandar. ”
Sin Lee tersenyum, “Ah, engkau merendahkan kemampuanmu sendiri, adikku. Kulihat engkau sudah matang dan trampil ketika memimpin para anggota Beng-kauw. Aku harus pergi ke kota raja. Jangan khawatir, lain waktu aku tentu akan berkunjung ke sini.”
“Benarkah, koko? Engkau akan segera kembali ke sini. Ingatlah selalu, aku senantiasa mengharapkan kedatanganmu, merindukanmu ” Giok Lan hampir menangis lagi. Sin Lee melepas setangkai bunga merah dari lubang kancingnya dan memberikan itu kepada Giok Lan. “Engkau adikku yang baik tentu saja aku akan datang berkunjung.”
Giok Lan menerima bunga itu dan menekan bunga itu pada dadanya, matanya memandang dengan sayu. “Engkau tidak akan melupakan aku, koko?”
“Ihh, mana bisa aku melupakan adikku yang baik dan manis? Selamat tinggal, Lan-moi. Aku sudah berkemas sejak pagi tadi tinggal berangkat saja.”
“Selamat jalan, koko...” Suara gadis itu tergetar dan ia merasa nelangsa sekali.
Para tokoh Beng-kauw berdatangan dan menghaturkan selamat jalan kepada Sin Lee. Mereka menganggap pemuda yang menjadi kakak angkat ketua mereka ini sebagai bintang penolong.
Giok Lan sendiri mengantar keberangkatan Sin Lee sampai jauh di luar perkampungan Beng-kauw. Kini tidak ada lagi jebakan atau perangkap dipasang di luar perkampungan. Semua disuruh buang dan hancurkan oleh Giok Lan.
“Sudah cukup Lan-moi. Jangan mengantar lebih jauh lagi. Kembalilah dan selamat tinggal.”
Melihat gadis itu berdiri lemas dan air matanya kembali bercucuran, Sin Lee menjadi terharu. “Jangan menangis, adikku...”
Giok Lan lari menghampiri dan merangkul pemuda itu menangis di atas dada pemuda itu. “Koko... aku... aku akan kesepian...”
Sin Lee merasa terharu. Diangkatnya wajah yang basah air mata itu dan dikecupnya dahi yang halus itu. “Adikku, jangan begini. Bagaimana kalau ada anggota Beng-kauw melihat ketuanya selemah ini dan menangis seperti anak kecil. Engkau harus belajar kuat, adikku.”
“Koko !”
Dengan lembut Sin Lee melepaskan rangkulannya dan setelah mengucap “selamat tinggal!” dia lalu menggunakan ilmu meringankan tubuh, berkelebat lenyap dari situ.
“Koko !” Giok Lan mengeluh dan diciuminya setangkai bunga merah pemberian Sin Lee tadi. “Aku cinta
padanya... ah, aku cinta padanya....” bisiknya sambil mengusap air matanya dan perlahan ia memutar tubuh, kembali ke perkampungan Beng-kauw.
Hanya orang-orang yang pernah hidup dalam kemiskinan sajalah yang pernah mengalami dan tahu apa artinya kelaparan. Orang yang keadaan hidupnya berkecukupan tentu tidak tahu bagaimana rasanya kalau anak menangis kelaparan, isteri merengek membutuhkan sandang dan pangan. Orang berkecukupan akan menganggap si miskin itu memang malas dan sebagainya. Pada hal, para penghuni dusun Sia-san bukanlah orang-orang malas. Sama sekali tidak. Mereka adalah orang-orang yang sejak kecil bekerja keras untuk sekedar dapat mengisi perut agar tidak kelaparan dan menutupi tubuh agar tidak telanjang. Bercocok tanam, berburu binatang, pekerjaan apa saja mereka lakukan demi memperoleh nafkah.
Akan tetapi tahun-tahun belakangan ini, kemiskinan dan kelaparan melanda daerah Sia-san. Bermacam malapetaka dan bencana melanda dusun Sia-san. Kalau musim hujan, banjir menghancurkan dan menyapu bersih segala milik penghuni dusun. Rumah dan isinya, sawah ladang menjadi rusak. Kalau musim kering tiba, tanaman di sawah ladang diserbu belalang. Apa lagi untuk manusia, untung binatang saja kekurangan makanan sehingga hasil buruanpun langka.
Kemiskinan dapat membuat orang tidak segan melakukan apa saja. Berbagai perbuatan jahat lahir dari kemiskinan. Di dusun itu, banyak penghuni dusun melakukan hal-hal yang nampak kejam. Mereka hanya menghendaki anak laki-laki karena bagi mereka, anak laki-laki merupakan tambahan tenaga untuk membantu mencari nafkah. Sebaliknya, anak perempuan hanya akan menjadi beban sampai dewasa, dan akhinya setelah dewasa dibawa pergi orang dan sia-sialah semua ‘modal’ yang ditanam untuk memeliharanya sejak lahir. Oleh karena itu, lahirnya seorang anak perempuan hanya dianggap sebagai bertambahnya sebuah mulut lain untuk diberi makan. Seringkali terjadi, anak perempuan yang baru lahir itu di bunuh secara diam-diam. Dan kalau orang tuanya tidak tega melakukan ini, setelah anak perempuan itu berusia sepuluh atau belasan tahun, anak itu akan dijual seperti ternak!
Terutama sekali dalam tahun-tahun terakhir ini, penghuni dusun Sia-san merasa tertekan hebat sekali. Dengan adanya petugas pemerintah yang berkeliaran ke dusun-dusun untuk melaksanakan perintah kerja paksa membangun Tembok Besar kepada rakyat, dusun itu merasa terancam pula. Baru untuk makan pakaian saja sudah sulit, ditambah lagi ancaman para pelaksana perintah kerja paksa itu. Bila malam tiba, dari pondok-pondok para penghuni dusun yang butut seperti gubuk itu membubung tinggi ratap tangis mereka.
Pada suatu pagi, dusun itu nampak ramai. Ada sebuah kereta besar memasuki dusun dan penghuni dusun yang sudah tahu si apa yang datang berbondong mengantarkan anak perempuang mereka yang berusia sepuluh tahun lebih menghampiri kereta itu. Pemilik kereta itu adalah seorang yang bernama Ji Houw, seorang laki-laki setengah tua yang pekerjaannya membeli gadis-gadis cilik dari dusun-dusun kelaparan itu. Gadis-gadis yang berkulit bersih dan berwajah manis dibelinya de ngan harga murah, kemudian gadis- gadis itu dibawanya ke kota dan setelah tiba di sana, diberi pakaian yang bagus, dan wajahnya dirias, maka lakulah gadis-gadis cilik itu dengan harga mahal. Kadang puluhan kali lebih mahal dari pada harga belinya. Para pembeli di kota adalah hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan hidung belang, tentu saja.
Ji Houw selalu mendatangi dusun-dusun yang sedang dilanda kelaparan karena dalam keadaan terhimpit, kelaparan itu, gadis-gadis cilik akan dijual lebih murah oleh orang tuanya. Dalam peristiwa itu terdengarlah tangis gadis-gadis cilik yang dipaksa berpisah dari keluarganya, diseling hardik orang-orang tua mereka.
Ketika jual beli gadis-gadis cilik tengah berlangsung, muncullah seoranng laki-laki berusia lima puluhan tahun bersama seorang gadis berusia sembilan belas tahun. Laki-laki itu bertubuh sedang dan bersikap gagah, mengenakan pakaian ringkas seperti pakaian orang kang-ouw. Adapun gadis yang berjalan di sampingnya, cantik manis dengan mata tajam, pakaiannya juga ringkas dan di punggungnya tergantung sebatang pedang.
Ketika mereka yang sedang lewat itu tiba di tengah dusun dan melihat kereta besar, dirubung banyak orang dan nampak gadis-gadis cilik menangis dihardik orang-orang tua mereka, ayah dan anak ini menjadi tertarik sekali. Mereka segera menghampiri tempat itu. Mereka melihat seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun dengan pakaian mewah duduk nongkrong di atas bangku kereta dan di belakangnya berdiri sepuluh orang pengawalnya yang berlagak jagoan-jagoan tukang pukul. Orang-orang dusun yang merubung kereta menawarkan gadis-gadis mereka dan ada pula yang sudah menerima pembayaran dan gadis-gadis cilik anak-anak mereka dipaksa naik ke dalam kereta.
“Hei, apa yang terjadi di sini?” tanya laki-laki setengah tua itu ketika melihat gadis-gadis cilik itu menangis ketiak dipaksa naik ke atas kereta sedangkan yang masih berada di bawah nampak ketakutan.
Dua orang tukang pukul segera maju menghadapi laki-laki setengah tua itu. “Mau apa kau ikut campur? Majikan kami sedang menolong penghuni dusun yang kelaparan, membagi-bagikan uang dan rejeki, tahu?”
“Hayo pergi atau... kau mau menjual pula gadis itu?” kata seorang tukang pukul lain sambil menuding ke arah gadis di sebelah laki-laki setengah tua itu.
Laki-laki setengah tua itu mengerutkan alisnya dan berkata dengan marah, “Sobat, jangan main-main. Aku adalah Gan Kong, atau yang biasa disebut Gan kauwsu (guru silat Gan) dan ini adalah putriku. Kami hanya ingin bertanya apa yang terjadi di sini, dan mengapa gadis-gadis cilik itu dipaksa naik ke kereta dan menangis.”
Orang yang berpakaian mewah itu lalu turun dari keretanya dan memandang kepada Gan Kong dengan alis berkerut, “Eh, guru silat kampungan, jangan engkau mencampuri urusan kami. Kami menolong saudara-saudara penduduk dusun ini yang menderita kelaparan dan hendak mencarikan pekerjaan untuk puteri-puteri mereka di kota. Jangan engkau ikut campur karena tidak ada sangkut pautnya dengan kalian. Pergilah!”
“Hemm, kami sudah mendengar dari beberapa dusun tentang kau dan pekerjaanmu yang busuk! Engkau membeli gadis-gadis cilik ini untuk kaujual lagi di kota dengan harga tinggi, bukan? Engkau menipu orang- orang dusun yang tidak tahu, dan memaksa anak-anak ini untuk menjual diri, engkau manusia terkutu!” Kini gadis puteri guru silat itu yang bernama Gan Lian Si, berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah Ji Houw. Ji Houw yang bertubuh tinggi kurus bermata sipit dan bermuka kuning tiu membelalakkan matanya namun tetap saja kelihatan tipis dan sipit. Dia marah sekali.
“Engkau lancang mulut!” lalu dia menoleh kepada sepuluh orang tukang pukulnya, “Beri hajaran kepada anak dan ayah yang lancang ini!”
Sepuluh orang tukang pukul itu menyingsingkan lengan baju dan dengan langkah perlahan penuh ancaman dari muka mereka yang bengis mereka menghampiri Gan Lian Si dan ayahnya, Gan Kong.
Sepuluh orang tukang pukul itu memandang rendah dan mereka hanya bermaksud untuk menghajar dan tentu saja tidak akan melewatkan kesempatan untuk mempermainkan gadis cantik itu, maka mereka semua maju dengan tangan kosong saja. Dua orang tukang pukul, yaitu pimpinan mereka, menyeringai dan menghampiri Lian Si, lalu sambil membentak mereka menubruk, dengan maksud untuk menyergap dan mendekap gaids cantik itu. Akan tetapi, terkaman mereka hanya mengenai tempat kosong karena gadis itu dengan lincahnya sudah melompat melampaui kepala kedua orang penyerangnya. Dua orang tukang pukul itu terkejut dan cepat membalikkkan tubuh untuk menghadapi gadis yang sudah berada di belakang mereka. Akan tetapi baru saja mereka membalikkan tubuh dan belum sempat menyerang, dua buah tangan yang halus kecil namun mengandung tenaga yang hebat telah menghantam dada mereka.
“Buk..., buk...!” Dada mereka kena dihantam tangan yang terbuka itu membuat mereka terjengkang dan mereka terbatuk-batuk seperti orang tertelan tulang. Mereka menjadi marah setelah batuk mereka mereda, dan bangkit kembali sambil menghunus golok mereka!
Delapan orang tukang pukul yang lain juga maju mengepung, kini mereka semua mencabut golok. Gadis itu mencabut pedangnya dan siap mengamuk sementara ayahnya yang sejak tadi sudah memegang tongkat cabang pohon yang dipungutnya di jalan, maju mengayun senjatanya pula.
Terjadilah pengeroyokan terhadap ayah dan anak itu. Akan tetapi ternyata mereka terlalu tangguh untuk sepuluh orang tukang pukul. Para tukang pukul bahkan dihajar babak belur oleh tongkat si guru silat. Lian Si juga merobohkan empat orang, dengan tendangan-tendangan kakinya dan goresan pedangnya. Akan tetapi seperti juga ayahnya, ia tidak berniat membunuh mereka maka pedangnya hanya mendatangkan luka ringan saja.
Melihat ini, Ji Houw terkejut dan ketakutan. Dia melompat ke tempat kusir kereta dan membantu kusir hendak mengaburkan kereta akan tetapi sekali melompapt Lian Si sudah berada di dekatnya dan menendang roboh Ji Houw dan kusirnya ke bawah kereta lalu gadis itu memegang kendali menghentikan kuda yang akan mengaburkan kereta. Setelah itu ia meloncat turun dan menodongkan pedangnya ke arah leher Ji Houw yang menjadi ketakutan.
“Lihiap... ampunkan saya..!” katanya meratap sementara para tukang pukul yang sudah dihajar babak belur itu akhirnya berlutut di belakang majikan mereka.
“Lian Si, lepaskan dia, “ kata si guru silat. “Nah, harap kalian menyadari pekerjaan kalian yang sesat dan biarlah sekali ini mejadi peringatan bagi kalian. Lain kali kami tidak akan bermurah hati dan tidak akan segan membunuh kalian. Hayo suruh turun semua anak perempuan itu lalu pergi dari sini. Cepat!”
“Baik, baik...” Ji Houw memberi hormat dan Lian Si lalu memasuki kereta, menyuruh turun semua anak perempuan yang berhenti menangis dan dengan girang kembali ke orang tua masing-masing. Setelah semua gadis cilik itu turun, Ji Houw lalu menaiki keretanya dan para tukang pukulnya berlari-lari di belakang kereta, terengah-engah.
Akan tetapi ketika Gan Kong dan puterinya menghadapi para penduduk dusun itu, mereka menghadapi wajah-wajah yang nampaknya tidak puas dan marah.
“Hemm, harap kalian undang kepala dusun Sia-san ke sini, kami mau bicara dengannya.”
Seorang berlari-larian melapor dan tak lama kemudian kepala dusun datang bersama beberapa orang pembantunya. Kepala dusun ini bertubuh kurus dan mukanya pucat.
“Apa yang terjadi di sini? Kenapa ada ribut-ribut? Kepala dusun itu bertanya dan Gan Kong segera menghadapinya. “Chung-cu (lurah), apakah engkau tidak mengetahui bahwa gadis-gadis cilik di dusunmu ini dijual oleh orang tua m ereka dengan murah seperti hewan ternak untuk diperjualbelikan orang? Kenapa engkau sebagai kepala dusun di sini membiarkan saja perbuatan yang biadab ini berlangsung?” tegur Gan Kong.
Sang lurah menghela napas panjang. “Kamipun mengetahui akan peristiwa itu. Akan tetapi apa dayaku? Mereka ini miskin, dusun dilanda kelaparan dan kesengsaraan karena sawah ladang rusak oleh musim kering dan hama. Dan anak-anak perempuan ini tidak dapat membantu apa-apa, maka dijual untuk sekedar penyambung nyawa keluarga mereka.”
“Tapi anak-anak itu menderita penghinaan, seperti binatang saja!” Lian Si berseru penasaran.
“Apa boleh buat, tidak ada lain jalan. Biarlah anak-anak itu membalas budi orang tua mereka dengan berkorban diri akan tetapi, untuk menyelamatkan keluarga dari bahaya kelaparan.”
“Itu salah sama sekal! Keadaan begini haruslah diubah, dan paman sebagai kepala dusun harus memberi pengertian, bukan membiarkan penduduk menjadi korban pedagang anak perempuan seperti orang tadi!” kata Lian Si penuh semangat. Kini penduduk dusun sudah berkumpul semua dan Lian Si lalu bicara kepada mereka dengan suara lantang penuh semangat. “Para paman dan bibi sekalian, kenapa tega kepada anak perempuan sendiri, menjualnya seperti babi dan membiarkan mereka disembelih orang-orang kota? Tidak kasihankah kalian kepada anak-anak sendiri yang merintih dan menangis ketika dipermainkan orang-orang itu, diperjualbelikan bahkan kemudian banyak dijadikan pelacur?”
“Akan tetapi Ji wan-gwe (Hartawan Ji) berjanji akan mencarikan pekerjaan bagi anak-anak kami,” seorang diantara mereka menjawab.
“Mencarikan pekerjaan apa bagi seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun? Dan mengapa dia selalu memilih anak-anak perempuan yang manis dan berkulit bersih? Kalian dibohongi. Anak-anak itu diperjual belikan seperti binatang, kalau kebetulan bernasih baik mereka akan dijadikan selir seorang hartawan, atau bangsawan, dan inipun belum menentukan nasib mereka. Kebanyakan mereka diperjualbelikan dan kemudian yang terakhir mereka terlempar ke dalam rumah pelesir dijadikan pelacur. Mereka diperas seperti binatang dan hidup mereka penuh derita yang tak terlukiskan. Sebetulnya, pandangan kalian terhadap anak perempuan keliru. Kenapa anak perempuan kalian remehkan, tidak dihargai? Perempuan juga manusia, apa bedanya dengan laki-laki? Kalau sejak kecil perempuan diremehkan, dan dididik seperti kepada anak laki-laki, tentu mereka dapat bekerja seperti anak laki-laki sehingga tidak merugikan keluarganya.”
Para penghuni dusun tercengang mendengar ucapan gadis penuh semangat itu, dan sebagian besar dari mereka mulai menyadari bahwa dengan menjual anak perempuan mereka itu, mereka telah menjerumuskan mereka ke dalam lembah penghinaan dan kesengsaraan.
“Ucapan lihiap memang benar,” kata kepala dusun. “Kita semua perlu mengubah keadaan ini. Kita harus berjuang untuk hidup bukan mencari enaknya saja, bukan mencari jalan keluar yang mudah dengan mengorbankan anak-anak kita sendiri.”
Selagi semua orang saling bicara sendiri menanggapi ucapan Gan Lian Si dan kepala dusun, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh datangnya kereta besar milih Ji Houw tadi. Ternyata orang itu datang kembali dengan sepuluh orang anak buahnya, dan kini bersama mereka datang pula seorang pemuda tampan dan gagah.
Pemuda itu bukan lain adalah Sin Lee. Seperti diceritakan di bagian depan, Sin Lee meninggalkan Beng- kauw menuju ke kota raja.
Dalam perjalanan itu, ketika tiba di tempat sunyi, dia melihat sebuah kereta dijalankan, perlahan, diikuti oleh sepuluh orang yang babak belur dan nampak ketakutan. Dia menjadi tertarik karena tentu telah terjadi suatu perkelahian dan orang-orang itu agaknya kalah. Karena ingin tahu, dia menghadang di tengah jalan menghentikan kereta.
Pimpinan tukang pukul yang masih murung dan marah karena telah mengalami penghinaan di dusun oleh guru silat dan puterinya, merasa dongkol sekali melihat kereta dihentikan dan dihadang oleh seorang pemuda. Dia lalu menghampiri Sin Lee dan dengan mata berang dia bertanya, “Orang muda, mau apa engkau menghentikan kereta kami?” “Maaf, paman. Melihat keadaan paman sekalian babak belur dan ketakutan, aku menjadi tertarik sekali. Apakah yan telah terjadi dan siapa yang membuat paman babak belur seperti ini?”
Pimpinan tukang pukul itu merasa diejek dan dia menjadi marah sekali. Akan tetapi sebelum dia bertindak sesuatu, dari dalam kereta dia ditegur oleh Ji Houw, “Jangan bersikap kasar!” Kemudia Ji Houw keluar dari kereta dan melihat pemuda itu membawa pedang di punggung, dia lalu memberi hormat.
“Taihiap, kami mengalami hal yang membuat hati penasaran sekali. Kami adalah orang-orang yang merasa kasihan kepada penghuni dusun Sia-san di sana itu, akan tetapi ketika sedang membagi-bagikan uang kepada mereka untuk mengatasi bahaya kelaparan yang sedang melanda dusun itu, mendadak muncul seorang iblis wanita dan ayahnya yang tanpa sebab hendak membunuh kami. Kami melakukan perlawanan akan tetapi dara iblis itu lihai sekali. Untung kami masih dapat melarikan diri. Mohon bantuan taihiap untuk mengusir iblis betina dari dusun itu, karena dusun itu terancam.” Sambil bicara, Ji Houw menatap setangkai bunga merah di dada pemuda itu dan bertanya-tanya dalam hati apakah pemuda yang memakai bunga di bajunya ini sanggup menandingi ayah dan anak yang lihai itu.
Sin Lee mengerutkan alisnya, “Apa maksud wanita itu menyerang kalian?” Dia merasa heran karena tidak diterangkan alasan perkelahian itu.
“Entah. Mungkin dia melihat kantong uang kami dan berniat untuk merampok.”
“Hemm, kalau begitu, biar aku melihat ke sana. Kalau memang ada iblis mengacau, sudah menjadi kewajibanku untuk mengusirnya.
Demikianlah, dengan langkah lebar Sin Lee memasuki dusun Sia-san diikuti oleh Ji Houw dalam keretanya dan sepuluh orang tukang pukulnya yang sudah babak belur.
Semua orang di dusun itu terkejut melihat Ji Houw kembali bersama para tukang pukulnya dan melihat ini, Lian Si dan ayahnya segera maju ke depan menyambut untuk melindungi orang-orang dusun.
“Hemm, kalian masih berani datang lagi? Apakah hajaran tadi belum cukup dan kalian m inta dihajar sampai mampus?” bentak Lin Si galak. Sementara itu, Sin Lee tertegun melihat ‘iblis betina’ itu. Sama sekali bukan seperti iblis, melainkan seorang gadis yang manis dan gagah, dan orang setengah tua itupun nampak gagah, tidak pantas menjadi ayah iblis betina. Akan tetapi melihat sikap galak nona itu, Sin Lee melangkah maju.
“Nona, apakah engkau yang disebut iblis betina dan yang memukuli semua orang ini?” tanya Sin Lee.
Mata yang indah tajam itu terbelalak. “Iblis betina? Keparat, jadi jagoan mereka ya? Majulah dan hadapi pedangku!” Gadis itu mencabut pedangnya dan pada saat itu, orang-orang dusun yang digerakkan oleh lurah mereka sudah maju membawa berbagai senjata dan berteriak-teriak menyerbu ke arah Sin Lee, kereta itu dan sepuluh orang pengawal! Melihat ini, Ji Houw segera memutar kereta dan kabur dari situ diikuti para tukang pukulnya membiarkan Sin Lee seorang diri menghadapi amukan orang-orang dusun. Sin Lee terpaksa berlompatan ke sana-sini dan dia merasa heran bukan main. Kalau gadis ini seorang iblis betina yang mengacau dusun, bagaimana mungkin kini orang-orang dusun malah membelanya? Ada sesuatu yabg salah besar di sini. Tubuhnya melompat ke atas dan tahu-tahu dia sudah hinggap di cabang sebatang pohon, mengejutkan semua orang yang melihat keringanan tubuh seperti terbang ini.
Saudara-saudara, tahan dulu!” teriak Sin Lee. “Aku mendengar bahwa ada iblis betina dan ayahnya mengacau di dusun ini, maka aku datang hendak menolong kalian. Akan tetapi kenapa kalian malah hendak mengeroyok aku?”
Kini Gan Kong yang maju mendekati pohon. Dia tahu dari gin-kang yang diperlihatkan Sin Lee bahwa pemuda itu sungguh lihai, maka dia bertanya dengan dengan hati-hati, “Sobat muda, apakah engkau tukang pukul dari hartawan Ji Houw yang berkereta tadi?”
“Paman, aku hanya bertemu di jalan dengan dia dan kawan-kawannya dan dari dialah aku mendengar bahwa dusun ini dikacau oleh seorang... iblis betina bersama ayahnya.”
Dia melirik ke arah gadis itu yang memandang kepadanya dengan mata marah sekali. Gan Kong berkata kepada lurah yang tinggi kurus itu. “Chung-cu, agaknya ini menjadi tugasmu untuk memberi penjelasan kepada sobat muda itu.”
“Orang muda, turunlah dan orang-orangku tidak akan mengeroyok kalau engkau bukan tukang pukul hartawan itu, dan marilah kau dengarkan penjelasanku,” kata lurah.
Sin Lee memang tidak takut dikeroyok. Dia hanya menghindar untuk dapat bicara tadi. Kini tubuhnya melayang turun dan tanpa menimbulkan suara dia sudah turun di depan lurah itu.
“Jelaskanlah, paman,” katanya.
“Begini, orang muda. Gan-kauwsu dan nona Gan ini sama sekali bukan pengacau. Ketika mereka memasuki dusun kami, mereka melihat Ji wan-gwe sedang membeli anak-anak perempuan dari penduduk yang menderita kemiskinan. Untuk menolong keluarga lain dari bahaya kelaparan terpaksa banyak warga dusun yang menjual anak perempuannya kepada Ji wan-gwe. Mendengar keterangan ini, Gan-kauwsu dan puterinya menasehati agar kami membuang kebiasaan menjual anak perempuan itu. Hal ini membuat Ji wan-gwe marah dan dia mengerahkan sepuluh orang tukang pukulnya untuk mengeroyok Gan-kauwsu dan puterinya. Ayah dan anak ini menghajar mereka sehingga mereka babak belur dan melarikan diri. Kemudia setelah mendapat nasihat dari Gan-lihiap ini dan ayahnya, kami menyadari kesalahan kami. Karena itu, ketika engkau hendak memusuhi Gan-kauwsu dan Gan-lihiap, tentu saja kami membela mereka.”
Sin Lee terkejut sekali dan mukanya merah karena tertipu. Dia telah ditiup oleh Ji wan-gwe! “Keparat, kalau begitu Ji wan-gwe itu yang perlu diberi hajaran!” Dia lalu memberi hormat kepada Gan-kauwsu dan puterinya. “Paman dan nona, maafkan kebodohanku, dapat saja ditipu mereka.”
“Enak saja engkau minta maaf! Engkau telah menghinaku, mengatakan aku iblis betina! Tak dapat aku membiarkan diri disebut iblis tana menjawab. Nah, cabutlah pedangmu, hendak kulihat sampai di mana kepandaian orang yang lancang mulut memaki aku iblis betina!”
Gadis itu mencabut pedangnya dan bersiap siaga memasang kuda-kuda. Sin Lee menjadi serba salah. Dia ditantang, akan tetapi dia berada di pihak salah. Dia tadi telah memaki gadis itu sebagai iblis betina, tidak mengherankan kalau dia marah-marah.
“Nona, karena dibohongi orang dan aku percaya, maka aku tadi lancang dengan ucapanku. Harap nona suka memaafkan.”
“Aku maafkan kalau engkau mau menyambut tantanganku. Kalau tidak aku tidak akan memaafkanmu!” jawab Lian Si ketus.
Sin Lee menghela napas panjang. Jawaban itu sama saja dengan dia harus melayaninya. Dia harus berani mempertanggung-jawabkan kesalahannya. “Baiklah, nona. Akan tetapi semua saudara di sini menjadi saksi bahwa nona memaksa saya untuk mengadu kepandaian. Nah, saya sudah siap, nona!” Dia mencabut pedang dari punggungnya dan berdiri di depan Lian Si dengan sikap menanti, tidak mau bergerak lebih dulu.
Sementara itu Gan Kong, guru silat itu memandang dengan hati tertarik sekali. Tidak biasanya puterinya bersikap demikian galak apa lagi kalau pemuda itu sudah minta maaf mengakui kesalahannya. Bagaimana juga, pemuda itu bermaksud membela orang-orang yang disangkanya telah diganggu orang jahat. Tentu ada sesuatu di hati puterinya maka memaksa pemuda itu mengaju kepandaian dan ketika dia melihat dengan penuh perhation keadaan pemuda itu, dia tersenyum girang. Tak salah lagi. Pemuda itu memang tampan menarik, maka agaknya hati puterinya telah tertarik dan kini puterinya ingin menguji sampai di mana tingkat kepandaian pemuda yang menarik hatinya itu! Maka diapun mendiamkannya saja, maklum dari sikap pemuda itu bahwa agaknya pemuda seperti itu tidak akan melukai puterinya.
“Lihat pedang!” tiba-tiba Lian Si berseru nyaring dan pedangnya bergerak menyerang dengan tusukan ke arah tenggorokan Sin Lee. Serangan itu cukup cepat dan gerakannya indah. Itulah jurus Liu-seng-kan-goat (Bintang mengejar bulan). Sin Lee menggerakkan pedangnya menangkis dari samping dengan pengerahan tenaga terbatas.
“Cringgg...!” Bunga api berpijar ketika kedua pedang bertemu di udara. Dari pertemuan pedang ini Sin Lee dapat mengukur tenaga lawannya, sebaliknya gadis itupun kegum ketika merasa betapa pedangnya terpental, tanda bahwa pemuda itu memiliki tenaga sakti yang kuat sekali. Iapun mempercepat serangannya dan kini ia tidak ragu-ragu lagi, tidak takut kalau melukai pemuda itu setelah yakin bahwa imlu kepandaian pemuda itu dapat mengimbangi tingkatnya. Kalau dia menghendaki, tentu Sin Lee akan dapat mengahkan Lian Si dalam waktu singkat saja, akan tetapi dia tidak ingin membikin malu atau menyinggung perasaan gadis yang sudah dimakinya sebagai iblis betina itu. Maka, dia membatasi tenaganya dan lebih banyak mengalah, dengan mengelak atau menangkis dan hanya kadang saja membalas.
Akan tetapi sikap ini membuat Lian Si menjadi penasaran. Ia tidak tahu apakah memang pemuda itu tidak mampu membalas atau memang dia tidak mau membalas. Setelah lewat dua puluh jurus, gadis itu lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan pedangnya berkelebat dengan cepat, menyerang dengan jurus Lian- cu Sam-kiam. Jurus ini amat cepat dan pedang itu melakukan tiga kali tikaman secara berantai. Ke manapun lawan mengelak, akan dikejar oleh susulan tikaman berikutnya.
Sin Lee mengelak dari tikaman pertama, tikaman kedua ditangkisnya dan ketika untuk ketiga kalinya pedang itu menikam, dia miringkan tubuhnya dan ketika pedang meluncur di samping tubuhnya, tangan kirinya bergerak dan jari-jari tangak kirinya menjepit pedang itu. Lian Si terkejut bukan main. Dicobanya untuk menarik kembali pedangnya akan tetapi pedang itu seperti dijepit oleh jepitan baja yang amat kuat, sama sekali tidak mampu ia gerakkan. Dengan gemas ia lalu menggerakkan tangan kiri memukul dan ketika tangan kanan Sin Lee yang memegang pedang itu menangkisnya, ia mengerahkan seluruh tenaga untuk menarik pedangnya. Pada saat itu, Sin Lee tiba-tiba melepas jepitan tangannya dan tentu saja gadis itu seperti didorong keras oleh tenaga betotannya sendiri sehingga ia terhuyung ke belakang sampai tujuh langkah! Karena penasaran Lian Si menggerakkan tangan kirinya dan sebuah senjata piauw (pisau terbang) menyambar ke arah Sin Lee. Pemuda ini menangkap piauw itu dan ketika tangan kirinya bergerak, ada sinar merah menyambar dan hinggap di rambut kepala Lian Si. Gadis itu terkejut bukan main. Ia meloncat mundur dan meraba kepalanya. Ternyata di sanggulnya telah menancap setangkai mawar merah!
Sementara itu, Sin Lee berseru, “Selamat tinggal!’ dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ. Gadis itu mejadi bengong, memegang setangkai bunga merah sambil termangu-mangu, sementara ayahnya juga memandang kagum bukan main.
Melihat keadaan puterinya yang tertegun dan berdiri seperti patung memandang ke arah perginya Sin Lee, Gan-kauwsu lalu berpamit kepada lurah dusun Sia-san. Dia mengajak puterinya keluar dari dusun itu dan setelah tiba di luaur dusun dan melihat puterinya masih saja memegangi setangkai bunga merah tadi sambil melamu, Gan-kauwsu tersenyum dan berkata, “Lian Si, apa yang sedang kau pikirkan dalam lamunan?” Dia menepuk pundak puterinya.
Lian Si bagaikan baru sadar dari mimpi. “Ah, ayah... aku... aku tidak apa-apa, tidak memikirkan apa-apa...”
Ayahnya tersenyum. “Kau tidak dapat membohongi ayahmu, Lian Si. Sejal engkau bertanding dengan pemuda itu, engkau terus saja melamun. Engkau tertarik kepadanya bukan?”
Wajah gadis itu menjadi merah dan dengan tersipu ia berkata, “Ayah, pernah aku menjawab bujukan ayah untuk menikah bahwa aku hanya akan menikah dengan seorang pemuda yang dapat mengalahkan aku dan yang cocok denganku. Pemuda tadi... dia mengalahkan aku, akan tetapi kita tidak tahu apa-apa tentang dirinya. Tidak tahu siapa namanya yang kita ketahui hanya setangkai bunga merah ini darinya.”
Ayahnya mengangguk. “Dia memang pemuda aneh dan hebat. Biarlah kita serahkan saja kepada Tuhan, anakku. Kalau memang engkau berjodoh dengannya, tentu kita akan dapat berjumpa pula dengan dia.”
Mereka melanjutkan perjalanan dan Lian Si terus memakai kembang merah itu di rambutnya.
Mudah saja bagi Sin Lee untuk menemukan rumah besar milik Ji Houw karena orang kaya baru ini memang terkenal di kota Kin-san. Dia memiliki beberapa rumah pelesir dan rumah penginapan di kota itu, terkenal pula sebagai mucikari yang melayani kebutuhan para laki-laki hidung belang yang kaa raya atau yang berkedudukan tinggi. Dan lebih mudah pula bagi Sin Lee untuk pada malam hari itu memasuki rumah gedung itu.
Ketika Sin Lee mengintai dari atas genteng, dia melihat hartawan Ji Houw tengah makan minum dilayani oleh lima orang selirnya yang muda-muda dan cantik. Ji Houw menghibur hatinya setelah siang tadi mengalami kegagalan di dusun Sia-san. Dia mendongkol sekali kepada guru silat she Gan dan puterinya itu yang telah menggagalkan semua pekerjaannya di dusun Sia-san, bahkan membuat dia dan para pengawalnya dikeroyok orang dusun. Kerugian itu besar sekali karena tentu saja dia tidak berani lagi kembali ke dusun Sia-san. Berbahaya kalau penduduk dusun sudah marah kepadanya. Dan sikap itu dapat saja menular ke penduduk dusun yang lain! Untuk mendekati mereka, harus diadakan bujukan dari permulaan lagi, mungkin harga para anak perempuan itu jadi meningkat tinggi!
Selagi dia makan minum dilayani para selirnya untuk menghibur hatinya yang gundah tiba-tiba terdengar suara dari atas dan sesosok bayangan melayang turun. Ketika Ji Houw memandang, dia mengenal pemuda yang pernah dimintai tolong untuk menghajar guru silat dan puterinya, akan tetapi ternyata disambut oleh penduduk dusun yang berbalik marah kepadanya.
“Ah, kiranya engkau, taihiap!” katanya sambil bangkit berdiri menyambt. “Engkau mengejutkan aku saja. Bagaimana, sudahkah engkau berhasil memberi hajaran kepa iblis betina itu dan ayahnya? Aku sudah menyiapkan hadiah besar untukmu, taihiap.”
Pemuda yang memakai kembang merah di dadanya itu tersenyum dan melangkah maju, “Ji Houw, engkau manusia busuk yang sudah sepatutnya dihajar!”
Melihat sikap pemuda itu, Ji Houw terbelalak pucat dan diapun berteriak memanggil penjaganya. Pintu terbuka dari luar dan berserabutan masuklah belasan orang tukang pukulnya. Melihat ada seorang pemuda memakai bunga merah di bajunya beraada di ruangan itu, para penjaga itu terkejut dan heran. Dari mana masuknya pemuda ini?
“Tangkap maling ituu!” teriak Ji Houw ketika belasan orang tukang pukulnya sudah memenuhi ruangan. Mendengar kata-kata itu para tukang pukul mengira bahwa pemuda itu tentu seorang pencuri yang menyelundup masuk, segera bergerak hendak menangkapnya. Di antara mereka tidak ada yang mengawal Ji Houw ke dusun Sia-san, maka tidak ada yang mengenal Sin Lee. Para pengawal siang tadi beristirahat karena mereka telah dihajar babak belur oleh Gan Kauwsu dan puterinya.
Ketika belasan orang tukang pukul itu mau mengurungnya, Sin Lee makin tahu orang macam apa adanya Ji Houw itu yang mengandalkan tukang-tukang pukulnya melakukan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya. Diapun menggerakkan kaki tangannya dan belasan orang itu roboh seperti diserbu angin badai. Melihat ini, Ji Houw menjadi ketakutan dan diapun melarikan diri pergi dari ruangan itu. Akan tetapi sebelum dia tiba di pintu, Sin Lee yang melihat ini sudah meloncat dan menangkap tengkuk bajunya dan sekali, totok tubuhnya menjadi lemas seperti tak bertulang lagi.
Tubuh Ji Houw jatuh terkulai di atas lantai dan Sin Lee menginjak dadanya. Melihat ini, para tukang pukul yang sudah roboh itu merangkak-rangkak menjadi ketakutan.
“Kalian berdiri di tempat!” bentak Sin Lee dan merekapun tidak berani bergerak lagi. Lima orang selir itu saling himpit di sudut ruangan, menggigil ketakutan dan ada yang sampai terkencing-kencing.
“Katakan, apa yang kaulakukan di dusun Sia-san siang tadi!” bentak Sin Lee.
“Saya... saya... menolong penduduk yang kelaparan...!” Ji Houw berkata dengan suara gemetaran. “Bohong! Engkau membeli anak-anak perempuan mereka untuk kau perdagangkan. Benarkah?”
“Ti... tidak, taihap. Warga dusun itu kelaparan dan dengan suka rela menjual anak-anak mereka. Karena merasa kasihan, saya menolong dan membeli anak-anak itu untuk dididik dan diberi pekerjaan...”
“Bangsat kau! Kaudidik untuk kaujual dengan mahal kepada para hidung belang bukan? Kaupaksa mereka menjadi pelacur, itukah yang kau namakan pertolongan?”
“Ti... tidak... ampun...!” kata Ji Houw ketika merasa betapa kaki yang menginjak itu menjadi berat sekali menghimpit tubuhnya.
“Keparat kau! Kalau mau tolong orang dusun kenapa harus membeli anak perempuan mereka? Hayo suruh ambil sekantung emas untuk menolong mereka!” Kembali kaki itu menginjak kuat-kuat sehingga Ji Houw terengah-engah dan memerintahkan selirnya mengambilkan sekantung emas seperti yang diminta Sin Lee.
Sin Lee menerima kantung emas itu dan merasa sudah cukup. “Nah, sekali ini kuampuni kau, akan tetapi sekali saja aku mendengar engkau membeli gadis-gadis cilik lagi, aku akan datang kembali dan membunuhmu!” Dia merenggut bunga merah dari bajunya dan meletakkannya ke dada Ji Houw, kemudian dia melompat ke atas dan lenyap melalui lubang pada gentend.
Sin Lee malam itu juga mendatangi lurah Sia-san dan mengetk daun pintu rumah lurah itu. Lurah Sia-san membuka pintu dan terkejut melihat bahwa yang datang adalah pemuda berbunga merah itu. Pemuda itu kini sudah berdiri di ambang pintu, setangkai bunga merah yang masih segar dan baru dipetik tertancap di lubang kancingnya.
“Ahh, kiranya engkau, taihiap. Silahkan masuk,” katanya ramah.
Sin Lee masuk dan mereka duduk di ruangan tengah. Sin Lee menaruh kantung emas itu di atas meja dan berkata, “Aku membawa emas ini, harap chung-cu besok membagikan dengan adil dan rata kepada penduduk dusun ini. Aku percaya bahwa chung-cu tidak akan melakukan kecurangan dalam membagi- bagikan emas ini karena kalau demikian aku tidak akan tinggal diam.”
“Baik, taihiap, atas nama warga dusun kami menghaturkan terima kasih.” Kata lurah dan dia mengantar Sin Lee sampai ke pintu depan. Sin Lee lenyap ditelan kegelapan malam dan lurah itu tercengang dan terkagum-kagum ketika membuka kantung dan melihat emas dalam jumlah yang banyak. Cukup untuk menjamin kehidupan para penduduk dusun sehingga tidak akan menderita kelaparan sampai sawah ladang mereka dapat menghasilkan bahan makanan lagi.
Sin Lee melewatkan malam di sebuah gubuk di tengah ladang luar dusun Sia-san. Dia termenung membayangkan betapa tidak adilnya keadaan kehidupan di antara manusia. Ada yang kaya raya dan berlebihan, banyak yang miskin sampai makanpun tidak kenyang, mengapa begini? Dia mengepal tinju, hatinya trenyuh dan nelangsa kalau membayangkan betapa untuk dapat memberi makan kepada keluarga saja, sebuah keluarga harus menjual anak perempuannya! Dan dia benci membayangkan mereka yang membeli anak-anak perempuan itu, demi melampiaskan nafsu binatang mereka. Mereka sanggup bersenang-senang di atas penderitaan keluarga itu yang menangis air mata darah. Menggunakan kesempatan selagi orang-orang miskin itu terhimpit, mereka malah menjepit.
Ini kesalahan pemerintah. Kesalahan Kaisar. Begitu banyaknya pembesar yang korup, pejabat yang menekan rakyat, apakah Kaisar tidak tahu? Apakah sengaja mendiamkannya saja? Kalau penguasa daerah tidak bertidak korup, kalau bersikap bijaksana, tentu akan dapat mengatur dan mengatasi semua penderitaan rakyat ini. Soal keuangan dapat dikerahkan bantuan dari para hartawan, soal pemikiran dapat dikerahkan bantuan orang-orang terpelajar dan pandai, dan soal tenaga dapat dikerahkan tenaga rakyat banyak. Kenapa masih ada rakyat yang kelaparan? Kenapa masih ada pembunuhan bayi-bayi perempuan dan penjualan gadis-gadis cilik?
Kalau dia memikirkan bahwa Kaisar yang baru saja meninggal adalah ayah kandungnya, dia mengepal tinjunya lagi. Kalau dia dekat dengan ayahnya waktu itu, tentu dia akan membujuk ayahnya agar memperhatikan nasib rakyat kecil.
Dengan rasa penasaran menggores hati, Sin Lee tertidur akan tetapi tentu saja tidurnya tidak dapat nyenyak, terganggu oleh mimpi-mimpi buruk.
Pada keesokan harinya, ketika dia berjalan menuruni lereng, dia melihat Gao Kauwsu dan puterinya telah menghadang di tengah jalan! Karena sudah tak dapat menghindari lagi, dia menghampiri mereka dan memberi hormat.
“Orang muda, kami berbahagia sekali dapat bertemu kembali denganmu!” kata Gan Kauwsu. “Sesungguhnya memang kami sedang mencarimu, dan tidak kami sangka pagi ini dapat bertemu denganmu di sini.”
Sin Lee tersenyum dan memandang kepada Lian Si. Dia melihat gadis itu memegang setangkai bunga merah yang sudah hampir layu, bunga yang kemarin dia lontarkan dan menancap di rambut kepalanya! Dan kini gadis itu berdiri dengan kepala ditundukkan, kedua tangan mempermainkan bunga, mukanya kemerahan dan ia tersenym-senyum simpul tersipu malu. Sin Lee memandang heran. Sungguh jauh bedanya sikap gadis itu kini dibandingkan dengan sikapnya kemarin yang galak. Kalau kemarin sikapnya seperti seekor harimau betina yang anaknya diganggu, sekarang mirip seekor kucing yang manja.
“Paman bersusah payah mencari saya sebetulnya ada keperluan apakah, paman?” tanya Sin Lee yang merasa heran karena dia tidak merasa mempunyai urusan dengan mereka. “Ayah, aku pergi dulu...!” tba-tiba gadis itu berkata dan tanpa menanti jawaban, dia lalu berlari kecil meninggalkan mereka berdua.
Sin Lee memandang dengan heran dan melihat gadis itu berhenti jauh dari situ, di bawah sebatang pohon. Dia memandang guru silat itu dan bertanya lagi, “Sebetulnya ada urusan apakah, paman?”
“Sebelum aku bicara, bolehkah aku mengetahui namamu, orang muda?” “Tentu saja, paman. Namaku Liu Sin Lee.”
“Begini, Sin Lee, hemm... apakah engkau sudah berkeluarga? Sudah menikah maksudku?”
Sin Lee membelalakkan matanya dan menggeleng kepala. “Belum, paman. Akan tetapi apa hubungannya...”
Gan Kong tertawa. “Ha-ha, jangan heran, Sin Lee. Terus terang saja, kalau engkau belum mempunyai isteri, aku... kami berdua anakku, telah sepakat untuk mengajukan usul kepadamu. Aku ingin agar engkau suka menerima puteriku Lian Si sebagai isterimu. Bagaimana pendapatmu?”
Sin Lee tertegun dan kedua pipinya menjadi kemerahan. Jelasnya, guru silat ini menawarkan puterinya untuk menjadi isterinya!
Sama sekali tak pernah disangkanya. Gan Kauwsu akan membicarakan urusan perjodohan. Kalau dia tahu tentu tadipun dia sudah pergi tidak menemui mereka.
“Bagaimana, Sin Lee? Ketahuilah, puteriku sudah setuju dan mengingat sikapmu kemarin ketika engkau memberi setangkai bunga merah kepadanya, kami yakin bahwa engkau tentu juga menyetujuinya.”
“Paman, harap jangan kecil hati. Urusan perjodohan tak dapat kuputuskan begitu saja selain saya sendiri belum berminat untuk menikah, juga hal itu haruslah ditentukan oleh ayah-ibuku. Oleh karena itu, harap paman tidak melanjutkan pembicaraan tentang masalah perjodohan.”
“Akan tetapi... anakku...” kata guru silat itu dengan wajah berubah kecewa dan muram.
“Biar saya yang akan memberitahu kepadanya, paman.” Kata Sin Lee dan tanpa menunggu jawaban dia segera berlari cepat menghampiri Lian Si yang masih berdiri di bawah pohon. Melihat pemuda itu datang menghampirinya, Lian Si menyambut dengan senyum malu tersipu.
Sin Lee berdiri di depan gadis itu dan melihat bunga di rambut gadis itu sudah mulai layu, dia mengambil bunga di kancing bajunya dan menyodorkannya kepada Lian Si. “Nona terimalah bunga ini sebagai tanda persahabatanku.”
Dengan pandang mata penuh pertanyaan Lian Si menerima bunga itu dan Sin Lee melanjutkan. “Ayahmu telah bicara kepadaku tentang perjodohan, akan tetapi pada saat ini aku sama sekali belum berminat untuk mengikat diriku dengan sebuah pernikahan. Maafkan aku, nona. Bukan aku menolak, melainkan sekarang belum tiba saatnya bagiku untuk memilih jodohku. Apalagi orang tuaku berada di tempat jauh. Harap jangan marah. Gadis seperti nona akan dapat menemukan jodoh yang jauh lebih baik dariku. Selamat tinggal.” Diapun tidak memberi kesempatan kepada gadis itu untuk membuka mulut karena dia sudah meloncat pergi seperti terbang cepatnya.
Lian Si masih berdiri termangu dengan bunga merah di tangannya. Pandang matanya kosong memandang ke arah perginya Sin Lee, dan ia termenung dengan hati sedih.
“Lian Si...” panggilan ayahnya yang sudah berada di dekatnya menariknya kembali dari dunia lamunan dan ia menubruk ayahnya.
“Ayah...!” Gadis itu menangis di pundak ayahnya.
Gan Kauwsu menepuk-nepuk pundak puterinya. “Sudahlah, Lian Si. Hentikan tangismu. Perjodohan tidak bis terjadi atas keinginan sepihak saja. Dan jodoh berada di tangan Tuhan.” Dia menghibur. Setelah Lian Si menumpahkan kekecewaannya melalui air matanya, ayah dan anak itu melanjutkan perjalanan dengan langkah lesu.
Sin Lee mendaki bukit Bu tong. Dia mendengar bahwa Bu-tong pai mengadakan pesta ulang tahun dan mengundang para tokoh kang-ouw. Mengingat bahwa ayahnya adalah seorang murid Bu-tong-pai dan dia sendiri juga mempelajari ilmu silat Bu tong pai dan ayah angkatnya itu, maka dia tertarik dan mengambil keputusan untuk mengunjungi dan menghadiri pesta perayaan di Bu tong san itu.
Ketika Sin Lee tiba di ruangan depand yang luas dari Bu tong pai, ternyata di sana telah berkumpul banyak tamu. Bukan saja para tokoh kang-ouw dan perkumpulan-perkumpulan besar yang hadir, juga ada beberapa orang berpakaian sebagai Panglima hadir. Mereka ini mewakili pemerintah dan datang dari kota terdekat. Bu tong pai memang merupakan satu di antara partai-partai besar yang mempunyai hubungan baik dengan pemerintah.
Sin Lee diterima dengan baik oleh para murid Bu tong pai yang bertugas menerima para tamu dan dianggap mewakili undangan seperti para tamu lainnya. Sin Lee menyusup di antara para tamu dan ketika dia ikut antri untuk memberi selamat kepada Beng Sian Tosu, ketua Bu tong, tiba-tiba seorang perwira yang berpakaian gemerlapan berseru kepada pengawalnya. “Benar, kau tidak salah lihat?”
Pengawal itu berkata lantang, “Benar, ciangkun, dialah yang dulu menyerang Ouw-taijin bersama orang- orang Beng-kauw. Dia adalah seorang Beng-kauw!”
Tentu saja keributan dan disebutnya Beng-kauw itu menimbulkan gaduh. Beng Sian Tosu yang sedang menerima ucapan selamat itupun mendengar dan dia melangkah turun dari tangga, menghampiri perwira itu.
“Lu-ciangkun, apakah yang terjadi di sini?”
Akan tetapi perwira she Lu itu agaknya khawatir kalau buruannya melarikan diri, maka dia menyiapkan pengawal dan kawan-kawannya. “Tangkap pemberontak ini!” Dan dengan pedang terhunus dia dan para pengawal sudah maju hendak menyerang Sin Lee.
“Tahan...!” Bentak Beng Sian Tosu dengan penuh wibawa. “Lu-ciangkun, apa artinya ini? Ciangkun dan semua yang hadir adalah tamu-tamu kami, tidak boleh bertindak sembarangan, dan juga semua tamu adalah tanggung jawab kami untuk melindunginya. Kalau terjadi apa-apa di sini, yang berhak adalah tuan rumah, bukan tamunya.
Ucapan yang tegas dan keras ini membuat para Panglima dan anak buah mereka mundur kembali, akan tetapi Lu ciangkun yang tinggi besar itu membantah. “Pangcu, apakah Bu-tong-pai yang terhormat sekarang berganti haluan dan akan membela Beng-kauw yang sesat?”
Ketua Bu-tong-pai itu mengerutkan alisnya dan memandang tajam kepada perwira itu. “Lu-ciangkun apa maksud kata-katamu itu?”
“Pemuda ini!” Dia adalah orang Beng-kauw pernah bersama tokoh-tokoh Beng-kauw lainnya menyerang seorang pembesar she Ouw di Nanking!”
Beng Sian Tosu terkejut dan memandang kepada Sin Lee dengan penuh perhatian. “Engkau orang Beng- kauw?” tanyanya penuh wibawa.
Sin Lee menggeleng kepala. “Bukan, locianpwe,” katanya tegas.
“Dia bohong! Seorang pengawalku dulu bekerja pada Ouw taijin dan dia ini yang menjadi saksi,” kata Lu- ciangkun. Pengawal itu dengan muka pucat, membenarkan ucapan atasannya.
“Dialah yang dulu menyerang Ouw-taijin, bersama seorang gadis dan dua orang laki-laki Beng-kauw lainnya,” katanya.
“Orang muda, kalau benar engkau orang Beng-kauw terpaksa kami akan mengusirmu dari sini,” kata Beng Sian Tosu. “Jangan khawatir, selama di sini dan menjadi tamu kami, takkan ada seorangpun boleh mengganggumu. Akan tetapi setelah keluar dari daerah kami, kami tidak mempunyai urusan lagi dengan kamu. Nah, kalau engkau benar orang Beng-kauw, cepat angkat kaki dari sini, kami tidak mengundang orang Beng-kauw!”
“Locianpwe, sungguhpun aku tidak tahu mengapa Beng-kauw dimusuhi, akan tetapi aku bukanlah orang Beng-kauw, Ouw-taijin adalah seorang pembesar korup yang menyalah gunakan kekuasaannya, menindas rakyat, dengan ancaman kerja paksa dia menangkapi gadis-gadis cantik dari dusun-dusun. Kalau aku bertindak menghajar pembesar korup yang merusak nama dan wibawa kerajaan, salahkah itu? Aku bukan Beng-kauw seperti yang dituduhkan perwira ini!”
“Nah, Lu-ciangkun. Pemuda ini sudah menyangkal. Dan saksimu adalah pengawalmu sendiri, hal itu belum dapat dijadikan kepastian bahwa pemuda ini benar orang Beng-kauw. Kecuali ada orang luar di antara tamu yang menjadi saksi.” Tidak ada di antara tamu yang maju menjadi saksi karena mereka memang tidak mengenal Sin Lee.
Tiba-tiba Lu-ciangkun yang merasa penasaran lalu berkata kepada Sin Lee, “Orang muda, kalau engkau memang bukan orang Beng-kauw, engkau tentu berani menghadapi tantanganku untuk mengadu ilmu silat agar semua menyaksikan bahwa engkau memang bukan murid Beng-kauw.”
Sin Lee tersenyum dan kini perhatian semua orang ditujukan kepadanya. Terdengar suara seseorang di antara para tamu, “Pendekar Bunga Merah! Dia Pendekar Bunga Merah!” Memang di kancing baju pemuda itu seperti biasa, terdapat setangkai bunga merah yang dipetiknya dalam perjalanan naik bukit Bu-tong tadi. Sin Lee tersenyum. Kiranya beberapa kali perbuatannya yang menolong rakyat jelata telah memberinya julukan Pendekar Bunga Merah. Dia tersenyum.
“Baiklah, Lu-ciangkun. Aku menerima tantanganmu, hanya untuk menunjukkan bahwa aku bukan orang Beng-kauw.”
Semua orang mundur untuk memberi ruangan kepada dua orang yang hendak mengadu ilmu itu. Ruangan itu memang cukup luas dan setelah semua orang mundur, dua orang itu saling berhadapan seperti dua ekor ayam yang hendak berlaga. Sin Lee nampak pendek dibandingkan dengan lawannya yang tinggi besar dan kekar.
“Kami tidak menghendaki pertumpahan darah,” kata Beng Sian Tosu “di hari baik ini kami tidak boleh terjadi keributan di sini. Karena itu, kami harap kalian tidak mempergunakan senjata dan pertandingan ini sekedar menguji ilmu belaka.”
“Baik, pangcu,” kata Lu-ciangkun.
“Saya tidak akan melanggar peraturan yang dikeluarkan Bu-tong-pai.” Kata pula Sin Lee, “Lu-ciangkun, mulailah, aku sudah siap siaga.
Lu-ciangkun yang berusaha untuk membongkar rahasia Sin Lee dan memaksa pemuda itu mengeluarkan ilmu silat Beng-kauw untuk membela diri, segera menerjang dengan cepat dan kuat. Dia memang seorang Panglima yang terkenal memiliki ilmu silat tangguh, maka serangan-serangannya berbahaya sekali. Semua orang memandang penuh perhatian, ingin mengetahui bagaimana pemuda itu akan membela diri. Melihat serangan yang hebat dari Panglima itu, mau tidak mau pemuda itu harus mengeluarkan ilmu simpanannya dan kalau dia murid Beng-kauw, akan segera dapat terbukti dari gerakannya.
Akan tetapi begitu pemuda itu bergerak, Beng Sian Tosu tertegun dan para murid Bu-tong-pai bereru melihat Sin Lee meloncat ke atas untuk mengelakkan terjangan Lu-ciangkan. “Heii, itu adalah Yan-cu coan- in (Burung Walet Menembus Awan)...”
Terkaman itu luput dan ketika tubuh Sin Lee turun, Lu-ciangkun sudah menyerang lagi dengan pukulan kedua tangannya dari atas dan bawah. Sin Lee bergerak ke depan dan menangkis dengan kedua tangan pula, lalu membalas dengan pukulan tangan miring, kembali terdengar seruan orang-orang Bu-tong-pai, “Kim-liong-hian-jiaw (Naga Emas Mengulur Kuku)...!”
Setelah kedua orang bertanding seru, berkali-kali para tokoh Bu-tong-pai berseru menyebut nama jurus yang dimainkan Sin Lee. Bahkan Beng Sian Tosu sendiri kini tidak meragukan bahwa Sin Lee adalah murid Bu-tong-pai, bukan orang Beng-kauw. Gerakannya itu seratus prosen ilmu silat Bu-tong-pai, bahkan dimainkan dengan gerakan yang luar biasa cepatnya. Hal ini adalah karena ilmu silat yang dipelajari Sin Lee dari ayah angkatnya memang berdasarkan Bu-tong-pai walaupun dia juga mempelajari banyak macam ilmu dari aliran lain, dan ilmu-ilmu silatnya menjadi makin mantap dan gerakannya menjadi luar biasa setelah dia menerima gemblengan dari Ciu-sian Lo-kai. Kini, untuk membuktikan bawa dia sama sekali bukan anggota Beng-kauw, Sin Lee sengaja memainkan ilmu silat Butong-pai. Setelah lewat dua puluh jurus, Lu-ciangkun mulai terdesk dan semua jurus yang dikeluarkan Sin Lee adalah jurus Bu-tong-pai asli. Ramailah sorak pujian para anggota Bu-tong-pai melihat ini dan ketika desakannya membuat Lu ciangkun mundur, Sin Lee mendorong dengan tangannya sambil mengerahkan tenanga sinkang dan Lu-ciangkun terhuyung-huyunng dan hampir saja terjengkang. Akan tetapi, Sin Lee tidak mendesak terus, melainkan berdiri tegak.
“Bagaimana Lu-ciangkun? Apakah engkau sudah yakin bahwa aku bukan anggota Beng-kauw?”
Lu-ciangkun terbelalak. Dia tadi merasa betapa dadanya terdorong dan ada sesuatu yang mengenai dadanya. Ketika dia memandang ternyata di saku baju Panglimanya sudah terselip setangkai bunga merah. Semua orang berseru kagum dan Lu-ciangkun yang merasa penasaran dan malu, merenggut bunga merah itu dari bajunya dan dengan gemas dia meremas bunga itu sampai hancur.
Dia lalu memberi hormat kepada ketua Bu-tong-pai, “Pangcu, kami telah salah sangka dan dikalahkan seorang murid Bu-tong-pai. Selamat tinggal!” Dia lalu keluar dari tempat itu diikuti oleh para rekan dan pengikutnya. Beng Sian Tosu menghela napas panjang. Lalu dia menghampiri Sin Lee, mengamati orang muda itu dari kepala sampai ke kaki.
“Orang muda, dari mana engkau mempelajari ilmu silat Bu-tong-pai?” suaranya menuntut jawaban pasti. “Locianpwe, saya mempelajarinya dari ayah saya sendiri.” Jawab Sin Lee sejujurnya.
“Siapa nama ayahmu?” “Ayah bernama Liu Siong KI.”
Ketua Bu tong pai nampak terkejut dan gembira sekali. “Ah, sute (adik seperguruan) Liu Siong Ki itu ayahmu? Kalau begitu engkau masih keponakan seperguruan kami sendiri. Orang muda, siapa namamu?”
“Nama saya Liu Sin Lee, locianpwe.”
“Jangan sebut aku locianpwe, aku adalah supekmu (uwa gurumu)!” “Baik, supek.”
“Mari, mari kita duduk kembali. Cu wi (saudara sekalian), silahkan duduk kembali. Orang muda ini adalah keluarga Bu-tong-pai sendiri dan maafkan sedikit keributan yang terjadi tadi.”
Sin Lee diterima sebagai keluarga Bu-tong-pai dan dia dihujani pertanyaan tentang ayah angkat atau ayah tirinya yang juga gurunya itu. Tentu saja Sin Lee tidak menceritakan bahwa Liu Siong Ki bukan ayah kandungya.
Setelah pesta bubar, Sin Lee masih tinggal di Bu tong pai selama tiga hari karena supeknya selalu menahannya.
“Ayahmu memang sejak muda suka mempelajari ilmu lain di samping ilmu silat Bu-tong-pai. Dan melihat gerakanmu tadi, agaknya ayahmu memperoleh kemajuan pesat. Ada sedikit perbedaan dalam gerakanmu dan terutama dalam hal kecepatan dan tenaga, engkau jauh lebih kuat dari pada murid Bu-tong-pai manapun.”
“Ah, supek terlalu memuji,” kata Sin Lee merendah lalu mengubah bahan percakapan. Mereka bercakap- cakap di ruangan baca perkumpulan itu, berdua saja karena ketua Bu-tong-pai ini ingin mendengar segalanya tentang sutenya yang sudah puluhan tahun tidak dijumpainya. Dan Sin Lee sudah menceritakan semua tentang ayahnya yang kini tinggal di antara suku Oirat, bahkan menikah dengan puteri kepala suku Oirat atau Wala. Akan tetapi, ketua Bu-tong-pai itu ternyata seorang yang bijaksana. Mendengar keponakan itu peranakan suku Oirat, yaitu termasuk bangsa Mongol, dia bersikap biasa saja.
“Supek, saya masih tertarik sekali akan sikap supek yang agaknya membenci Beng-kauw sehingga ketika tempo hari mendengar tuduhan bahwa saya orang Beng-kauw, supek hendak mengusir saya. Kenapa supek membenci Beng-kauw?” Beng Sian Tosu mengerutkan alisnya, “Ah, apa anehnya itu? Beng-kauw adalah sebuah perkumpulan sesat dan orang-orangnya tidak segan melakukan segala macam kejahatan. Semua orang dunia persilatan, golongan bersih, membencinya.”
“Bagaimana kalau ternyata Beng-kauw sekarang tidak lagi menjadi perkumpulan sesat, tidak ada lagi orang Beng-kauw melakukan kejahatan? Apakah masih juga dibencinya?”
“Tentu saja tidak, kalau memang betul terbukti orang Beng-kauw tidak ada yang melakukan kejahatan. Akan tetapi mengapa engkau bicara tentang Beng-kauw, Sin Lee?”
“Karena saya tahu, supek, bahwa selama ini Beng-kauw dikuasai oleh seorang bekas pendeta Lama yang bernama Bouw Sang Cinjin. Orang inilah yang menguasai Beng-kauw dan anak buahnya melakukan segala macam kejahatan. Akan tetapi sekarang, Bouw Sang Cinjin telah terusir, dan Beng-kauw dipimpin seorang ketua lain yang tentu akan membawa Beng-kauw ke jalan benar.”
“Hemm, Sin Lee. Bagaimana engkau bisa mengetahui semua tentang Beng-kauw?”
“Karena saya ikut pula mengusir Bouw Sang Cinjin dan membersihkan Beng-kauw dari pengaruh dan kekuasaan orang-orang jahat, supek. Dan yang menjadi ketuanya sekarang ada sumoi saya sendiri.”
“Apa...??” Murid ayahmu menjadi ketua Beng-kauw? Berarti murid Bu-tong-pai menjadi ketua Beng- kauw...??”
“Harap supek tidak salah sangka. Sumoi saya itu bukan murid ayah. Hendaknya supek ketahui bahwa saya pernah menerima gemblengan dari Ciu-sian Lo-kai, nah sumoi juga murid dari suhu Ciu-sian Lo-kai Ong Su itu.”
Beng Sian Tosu mengangguk-angguk. “Siancai, jadi engkau telah menjadi murid Ciu-sian Lo-kai? Pantas, gerakan ilmu silatmu demikian cepat dan kuat. Coba ceritakan tentang engkau dan sumoimu itu membersihkan Beng-kauw.”
Kepada supeknya, Sin Lee menceritakan segalanya, tentang bagaimana dia dan sumoinya itu menentang pembesar Ouw bersama dua orang Beng-kauw yang gagah perkasa, kemudian betapa mereka melakukan pembersihan dalam tubuh perkumpulan Beng-kauw. Mengingat bahwa mendiang ayah gadis itu adalah seorang tokoh Beng-kauw.
“Saya hanya membantu sumoi, supek. Melihat bahwa sumoi bermaksud membersihkan Beng-kauw dan membawa Beng-kauw ke jalan benar, tentu saja dengan senang hati saya membantu.”
“Siancai... kalau ada orang kang-ouw mendengar akan hal ini, tentu mereka akan menaruh curiga kepadamu, Sin Lee. Akan tetapi, aku percaya kepadamu dan kita lihat saja nanti perkembangannya. Mudah-mudahan Beng-kauw benar-benar akan mencuci bersih namanya sehingga dapat berhubungan baik dengan semua golongan bersih di dunia persilatan.”
Sin Lee merasa girang mendengar ini dan yakinlah dia bahwa kakak seperguruan dari ayah tirinya ini adalah seorang yang bijaksana. Pada hari keempat dia berpamit dan meninggalkan Bu-tong-san.
Dalam perjalanannya, Sin Lee melihat banyak sekali kesengsaraan melanda kehidupan rakyat jelata dan dia selalu menjulurkan tangan menolong mereka yang terhimpit, menentang mereka yang mengail di air keruh, yaitu mereka yang mempergunakan kesempatan selagi rakyat hidup menderita itu untuk mengeruk keuntungan bagi diri sendiri sebanyaknya. Dia tidak pernah meninggalkan nama, hanya meninggalkan setangkai bunga merah sehingga semakin terkenal nama julukan Pendekar Bunga Merah yang diberikan oleh rakyat jelata dan kemudian tersebar di dunia kang-ouw. Pendekar Bunga Merah yang selalu menolong rakyat yang sengsara, menentang pembesar lalim dan hartawan kkir pemeras rakyat.
Daerah pegunungan kapur di daerah Nanyang dilanda musim kering yang berkepanjangan. Rakyat di sekitar daerah itu kekurangan pangan. Tanah sudah berbulan-bulan tidak menghasilkan sesuatu. Dalam keadaan seperti itu para tuan tanah dan lintah darat melepas umpan; memberi hutang kepada para petani. Dengan bunga besar maka hutang itu akan menggembung sehingga tak mungkin terbayar kembali dan kalau sudah begini, kalau hutang itu menjadi beberapa kali lipat besarnya maka dengan ancaman- ancaman yang dilakukan tukang-tukang pukul mereka, terpaksa para petani melepas sawahnya, atau bahkan anak gadisnya, sebagai pembayar hutang! Dengan demikian para tuan tanah dan lintah darat itu dapat membeli sawah ladang atau gadis muda dengan harga yang murah sekali.
Di sepanjang jalan di daerah ini Sin Lee melihat tubuh yang kurus-kurus, mata cekung yang nampak sayu, pakaian kumal dan rambut kusut.
Pada pagi hari itu, pagi yang cerah, terlalu cerah bagi penghuni daerah yang kekeringan itu yang selalu menanti datangnya mendung dan hujan, Sin Lee berjalan seorang diri di bawah terik matahari. Di depan terdapat sebuah dusun dan dia melewati sawah ladang yang luas kering gundul. Menyedihkan sekali.
Tiba-tiba dia mendengar suara orang berkeluh kesah dan meratap dan menangis. Dia merasa heran dan menoleh ke kiri. Di sana, di tengah ladang gundul itu, dia melihat seorang laki-laki yang kurus kerempeng sedang mencangkul-mencangkuli tanah kering itu denga penuh semangat sambil meratap.
“Semua makanan datang dari tanah... ahh, semua datang dari tanah...” Dia berhenti mencangkul lalu mencari-cari di antara tanah yang terbongkar itu, seolah mengharapkan mendapatkan makanan dari situ.
“Ya Tuhan... semua tumbuh-tumbuhan hidaup dari tanah..., kalau tanah menghasilkan segala macam makanan, kenapa tanah tidak dapat dimakan...?”
Orang itu menemukan segumpal tanah lalu... mulai makan tanah itu! Orang itu sudah menjadi gila karena kelaparan, pikir Sin Lee dengan hati yang penuh haru. Dia lalu memasuki ladang itu dan menghampiri orang yang makan tanah dengan lahapnya. Ketika melihat Sin Lee datang menghampirinya, orang yang usianya sekitar lima puluh tahun itu lalu menyodorkan gumpalan tanah dan berkata kepada Sin Lee, “Orang muda, engkau tentu juga lapar seperti kami. Nih, makanlah, agar engkau tidak mati kelaparan.”
Sin Lee merasa jantungnya seperti diremas. Biarpun gila, jelas bahwa orang ini mempunyai watak yang baik. Yang dimiliki hanya tanah, namun masih menawarkan ‘makanan’ itu kepada orang lain yang disangka kelaparan! Padahal, banyak sekali orang kaya yang hidup berlebihan, enggan membagi sedikit saja dari hartanya yang banyauk untuk menolong mereka yang kelaparan, bahkan mencemooh mereka yang kelaparan itu dan mengatakan mereka malas, sudah sepatutnya kalau kelaparan.
Hartaa benda memang dapat membuat orang menjadi lupa bahwa dirinya adalah seorang manusia yang memiliki akal budi, memiliki hati dan perasaan sehingga sepantasnya kalau memiliki perikemanusiaan. Harta benda kadang membuat mereka lupa diri dan menjadi budak dari hartanya, merasa takut kalau hartanya berkurang, bahkan mendatangkan angkara murka untuk membuat hartanya bertambah bear, dengan cara dan jalan apapun.
Penduduk dusun memang berpikiran sederhana sekali, bahkan mendekati bodoh dan memerlukan bimbingan. Orang dusun itu kurang luas pengetahuannya, pandangannyapun sempit sehingga mereka tidak memperkembangkan atau memperluas usahanya kalau menemui kesulitan di dusunnya. Bahkan banyak yang sampai mati kelaparanpun tidak beranjak dari dusunnya.
Sin Lee ikut berjongkok di dekat orang itu. “Paman, ingatlah paman. Yang kaumakan itu adalah tanah, bukan makanan. Mari, paman, mari pulang, dan aku mempunyai sedikit uang yang boleh paman ambil untuk membeli makanan.”
“Ini memang tanah, dan apa salahnya makan tanah? Semua makanan, semua tumbuh-tumbuhan bukankah dari tanah asalnya. Tanah mengandung semua kehidupan itu, karenanya tentu dapat dimakan untuk menyambung hidup!” kata orang itu dan melanjutkan makan.
Sin Lee tertarik, lalu mengambil sedikit tanah dari gumpalan itu dan memasukkan ke mulutnya. Dia terbelalak. Bukan tidak enak rasanya! Seperti roti kering yang tidak ada rasanya. Tidak asin tidak manis, akan tetapi juga tidak pahit atau getir. Tanpa rasa dan karenanya, tentu saja dapat dimakan. Ketika dia teringat akan keadaannya, makan tanah bersama seorang dusun yang pakaiannya kumal, dia tertegun, “Apakah kita berdua sudah gila?”
Orang itu menghentikan makannya, lalu menangis. “Tidak, orang muda, aku tidak gila... walaupun sudah sepantasnya kalau aku menjadi gila. Rumah sudah tidak ada makanan sedikitpun selama beberapa hari ini, dan hutangku sudah bertumpuk sehingga tidak akan bisa memperoleh pinjaman lagi. Bahkan hari ini orang-orangnya Chi wan-gwe akan datang menagih, tentu aku akan dipukuli atau... ah, aku mengkhawatirkan sekali kedua orang anak perempuanku. Chi wan-gwe sudah lama mengincar mereka, akan tetapi aku tidak sudi! Aku tidak sudi menyerahkan dua orang anak perempuanku untuk pembayar hutang!” Dia meratap pula sambil menangis.
Sin Lee bangkit berdiri, memegang tangan orang itu dan menariknya bangkit. “Kalau begitu, mari kuantar pulang, paman. Bagaimana paman dapat meninggalkan dua orang puteri paman sendiri saja di rumah?”
Tapi... orang-orangnya Chi wan-gwe tentu mencariku...”
“Jangan takut. Aku yang akan menghadapi mereka nanti.” Kata Sin Lee dan agaknya baru sekarang orang itu melihat bunga merah di lubang kancing baju pemuda itu. Dia terbelalak penuh harapan dan menuding ke arah kembang di dada itu.
“Kau... kau... Pendekar Bunga Merah...?
Sin Lee tersenyum. “Orang-orang menyebutku begitu. Mari, jangan takut, paman.”
Kini orang itu tidak ragu-ragu lagi dan berjalan di sam ping Sin Lee. Agaknya makanan tanah tadi memulihkan tenaganya dan dapat berjalan cukup cepat. Harapannya akan dapat tertolong timbul setelah dia melihat kembang merah di dada pemuda itu. Dia sudah mendengar berita akan munculnya seorang pendekar memakai bunga merah di dadanya, yang kabarnya suka menolong rakyat yang sedang menderita sengsara.
Ketika mereka memasuki dusun itu, Sin Lee melihat bahwa kehidupan di situ memang miskin sekali. Rumah-rumah yang mirip gubuk dan sawah, orang-orang kurus kering dengan pakaian yang kumal, mata yang cekung dan tidak bersinar lagi.
Ketika mereka tiba di dekat rumah orang setengah tua itu, Sin Lee mendengar suara tangis wanita dan ribut-ribut. Melihat ini, orang itu lalu gemetar seluruh tubuhnya dan berbisik, “Celaka, mereka sudah datang... ah anak-anakku...”
Sin Lee menjadi marah sekali ketika melihat belasan orang sedang menarik-narik tangan dua orang gadis berusia belasan tahun. Dua orang gadis itu meronta dan menangis. Mereka berusia sekitar lima belas dan tujuh belas tahun, juga kurus dan walaupun pakaian mereka kumal, masih dapat terlihat kulit mereka yang putih bersih dan wajah mereka yang cukup manis. Tahulah Sin Lee bahwa dua orang gadis itu sedang dipaksa untuk ikut oleh belasan orang tukang pukul hartawan Chi sebagai pembayar hutang.
“Keparat...!” Dia berseru dan tubuhnya sudah melesat ke depan, dan begitu kaki tangannya bergerak, empat orang yang menyeret dua orang gadis itu terpental dan terjengkang!
Belasan orang tukang pukul itu terkejut sekali dan seorang berjenggot panjang yang menjadi pimpinan segera menghadapi Sin Lee sambil membentak, “Manusia lancang, siapa engkau berani mencampuri urusan kami. Dua orang gadis ini adalah sebagai pembayar hutang, kenapa engkau berani menghalangi kami membawa mereka?”
Sin Lee tersenyum mengejek. “Siapa aku tidak penting, akan tetapi kalian hendak memaksa dua orang gadis untuk dijadikan pembayaran hutang. Ini sungguh tidak masuk akah. Jelas bahwa dua orang gadis itu tidak suka, juga orang tuanya tidak ingin memberikan mereka sebagai pembayar hutang!” Dia menuding ke arah dua orang gadis ang kini sudah menghampiri ayah mereka dan mereka bertiga saling berpelukan dengan wajah ketakutan.
“Dia... dia Pendekar Bunga Merah...!” Tiba-tiba seorang di antara belasan tukang pukul itu menudingkan telunjuknya ke arah bunga di dada Sin Lee. Mereka semua terkejut dan nampak jerih. Akan tetapi si jenggot panjang yang mengandalkan banyak kawan dan melihat bahwa pemuda itu nampak tidak menakutkan, segera mencabut goloknya dan berkata, “Orang muda, baik engkau Pendekar Bunga Merah atau bukan, kami hanya menjalankan tugas. Orang ini mempunyai hutang bertumpuk kepada majikan kami dan karena dia tidak mampu membayar atau menyerahkan kembali sebagian dari hutangnya, dua orang anak perempuannya harus diserahkan untuk membayar hutang.”
“Kalian kembali sajalah dan katakan kepada Chi wan-gwe majikan kalian itu bahwa dia tidak boleh memaksa anak gadis orang dan katakan bahwa aku akan datang menemuinya di rumahnya!”
“Kalau begitu engkau mencari penyakit. Kawan-kawan, hajar pemuda sombong itu. Belasan orang itu lalu mengepung Sin Lee dengan senjata di tangan. Sikap mereka bengis dan mengancam sehingga dua orang gadis dan ayahnya menjadi semakin ketakutan. Juga para penghuni dusun itu, yang sudah mengenal kekejaman para tukang pukul, melarikan diri bersembunyi ke dalam rumah masing-masing. Mereka yang agak pemberani hanya menolong dari jauh saja sambil bersembunyi.
Sin Lee merasa dongkol juga. Jelas bahwa para tukang pukul ini sudah biasa mengandalkan kekerasan untuk melaksanakan kehendak mereka atau kehendak majikan mereka. Mereka mengandalkan kekerasan dan pengeroyokan. Tadinya dia ingin mereka itu kembali dan tidak menganggu lagi penduduk dusun itu akan tetapi dia malah dikeroyok. Orang-orang ini memang patut mendapat hajaran agar kelak tidak terlalu mengandalkan kekerasan lagi terhadap orang-orang lemah. Maka, begitu mereka bergerak mengeroyok, Sin Lee lalu menerjang mereka. Sambaran senjata itu dielakkan dengan mudah dan begitu kaki tangannya bergerak, orang-orang itu seperti diterjang badai mengamuk dan merekapun terpelanting ke kanan kiri dengan patah tulang, salah urat, atau benjol-benjol pada kepala mereka. Dalam waktu singkat, empat belas orang itu sudah jatuh semua, senjata mereka terlempar entah ke mana dan mereka hanya dapat bangkit kembali dengan susah payah sambil mengaduh-aduh kesakitan.