Maling Budiman Berpedang Perak Jilid 3

Jilid 03

Nyonya Yo hendak berlutut menghaturkan terima kasih, akan tetapi Tan Hong segera mencegahnya. Kemudian ia lalu ikut nyonya Yo mengambil ketiga orang anaknya yang kecilkecil dan kurus kering itu, lalu diantarkannya nyonya itu ke Seng-koan. Di kota ini Tan Hong menyerahkan nyonya Yo bersama ketiga orang anaknya kepada Panitia yang dipimpin oleh Seng-koan Sam-eng, dan setelah menuturkan keadaan nyonya janda itu serta menyatakan bahwa kepandaian silat nyonya ini cukup tinggi, akhirnya nyonya Yo diperbantukan kepada Panitia itu dan mendapat jaminan hidup yang lumayan.

Seselesainya pemuda yang menolong jiwanya dan ketiga orang anaknya menyerahkan kepada panitia korban banjir itu di Seng-koan ia segera berlalu meninggalkan kota itu untuk melanjutkan perjalanannya.

***

Tan Hong teringat akan janjinya kepada To Tek Hosiang, tokoh persilatan Houw-sanpai yang pernah dikalahkannya dulu dan yang menantangnya agar ia suka datang berpibu di kelentengnya, yakni kuil Kim-ci-tang di kota Wi-ciu. Kebetulan sekali hari itu adalah tepat pada hari perjanjiannya, maka ia lalu cepat-cepat menuju ke kota Wi-ciu.

Di dalam hati Tan Hong tidak suka sekali-kali mencari permusuhan dengan orangorang dari dunia kang-ouw, akan tetapi sebagai seorang ksatria, ia harus memegang teguh jamjinya. Ia maklum bahwa To Tek Hosiang masih belum mau mengalah, maka sebagai seorang pemuda yang menghargai orang tua, apalagi orang tua itu adalah seorang hwesio dan tokoh ternama di dunia persilatan, ia harus datang memenuhi janjinya. Ia dapat menduga pula bahwa kali ini hwesio itu tentu berusaha hendak menebus kekalahannya yang dulu, akan tetapi Tan Hong tidak perduli. Pemuda yatim piatu yang hidup seorang diri di dunia ini memang tidak khawatir akan dirinya terhadap segala macam bahaya yang bakal menimpa dirinya.

Kelenteng Kim-ci-tang adalah sebuah kelenteng yang besar dan mempunyai ruangan yang amat luas. Kebetulan sekali ketika Tan Hong tiba di kuil tersebut, hari itu banyak sekali tamu-tamu memenuhi ruang depan kelenteng dan para hwesio penyambut para tamu sibuk menyediakan segala macam keperluan sembahyang. Kepenuhan kelenteng ini ada hubungannya dengan bencana banjir yang mengamuk di mana-mana hingga orang-orang pada datang minta berkah dan bersembahyang di kelenteng itu. Orang- orang hartawan bersembahyang untuk minta perlindungan bagi keselamatan sekeluarganya. Ada pula yang minta supaya sanak keluarganya yang tinggal di daerah banjir mendapat perlindungan, dan banyak pula yang lainnya hanya datang umtuk minta jodoh, minta peruntungan baik dan sebagainya. Memang, di manapun juga, selalu dunia ini penuh dengan kebutuhan dan permintaan manusia yang tak ada batasnya dan tak pula puas-puasnya!

Melihat banyaknya para tamu yang datang, Tan Hong menjadi ragu-ragu. Ia merasa kurang baik kalau mengganggu ketenteraman mereka itu dengan maksudnya mengadu kepandaian, karena hal ini akan mendatangkan sangkaan, bahwa ia sengaja datang hendak mangacaukan suasana yang aman tenteram itu. Apakah To Tek Hosiang sudah lupa akan janjinya? Diam-diam ia merasa girang juga, karena iapun tidak ada nafsu untuk bertempur memperbesar rasa permusuhan.

Tan Hong lalu mengikuti orang-orang yang bersembahyang dan agar jangan menimbulkan curiga pada para hwesio penyambut tamu, iapun membeli hiosoa (dupa) dan bersembahyang pula, sungguhpun ia menyalakan hiosoa dan mengangkat-angkatnya itu hanya sekedar memberi hormat belaka.

Akan tetapi, setelah ia selesai bersembahyang dan keluar dari ruang sembahyang, tiba-tiba saja To Tek Hosiang telah berdiri di depannya dan berkata, “Ha, Gin-kiam Gi-to, ternyata kau benar-benar menepati janji!”

Tan Hong segera mengangkat tangannya sambil tersenyum, “Losuhu, apakah selama ini kau baik-baik saja? Kukira kau telah lupa akan janji kita.”

Berubah air muka To Tek Hosiang mendengar hal ini. “Tan-sicu (tuan she Tan yang gagah), seorang laki-laki, sekali mengeluarkan janji, selamanya takkan lupa. Sayang sekali hari ini tak kusangka-sangka tamu datang begini banyak, maka terpaksa pinceng tak dapat melayanimu. Kalau kau tidak berkeberatan, harap kau datang nanti malam dan pinceng tentu telah bersedia untuk menyambut dan melayanimu.”

Tan Hong tertawa. “Losuhu, benar-benarkah kau masih berhati muda dan masih suka berkelahi? Baiklah, aku hanya memenuhi keinginanmu saja.” Tiba-tiba pemuda ini tak mau berbicara lagi, karena ia melihat bahwa di situ ada beberapa orang yang memandang ke arah mereka dengan tajam. To Tek Hosiang lalu menjura memberi hormat kepada Tan Hong dan berkata, “Sahabatku yang baik. Pinceng menanti kedatanganmu nanti malam.” Setelah berkata demikian, To Tek Hosiang lalu mengundurkan diri ke ruang dalam, sedangkan Tan Hong-pun lalu menuju keluar. Tiba-tiba pemuda itu menyelinap di antara para pengunjung dan menyembunyikan dirinya di belakang tubuh orang-orang lain, karena pada saat itu ia melihat dua orang pengunjung yang membuat hatinya berdebar-debar. Mereka ini tidak lain ialah Siok Lan dan ayahnya! Tan Hong merasa heran kepada dirinya sendiri, mengapa ketika ia melihat nona itu beserta ayahnya, hatinya secara mendadak menjadi berdebar-debar dan ia menjadi malu, hingga tak berani memperlihatkan mukanya! Ia berbuat begitu, karena ia sadar bahwa pakaiannya sangat buruk dan memalukan, maka secara diam-diam ia mengintai dan memandang ke arah Siok Lan dengan mata berseri dari jauh. Alangkah cantiknya gadis itu, hingga ia serasa melihat seorang bidadari yang baru saja turun dari kahyangan. Ketika ia mengetahui betapa banyak mata laki-laki lain, pengunjung kuil itu, juga tertuju kepada Siok Lan dengan kagumnya, timbullah rasa kurang senang di hatinya!

“Haaa, apakah aku sudah gila?” bisiknya dalam hati dan ketika ia melihat Siok Lan dan ayahnya masuk ke ruang sembahyang, ia lalu melangkah keluar. Akan tetapi, ketika ia hendak meninggalkan kelenteng itu, kakinya terasa amat berat. Sebetulnya hatinyalah yang terasa berat, berat untuk meninggalkan gadis itu. Kemudian diam-diam Tan Hong lalu bersembunyi di belakang sebatang pohon yang tumbuh di kelenteng itu, pura-pura beristirahat dan duduk menyandar pada sebatang pohon. Tetapi sebenarnya ia memperhatikan pintu kelenteng dengan penuh perhatian, melihat kalau-kalau Siok Lan dan ayahnya keluar dari situ.

Sejurus lamanya ia menanti dengan sabar, dan akhirnya ia melihat nona itu keluar dari pintu kelenteng sambil berbisik-bisik dengan ayahnya, entah apa yang sedang dibicarakannya. Mereka berdua keluar dari kelenteng dan terus berjalan menuju ke utara, Tan Hong diamdiam mengikuti mereka dari belakang untuk mengetahui ke mana kedua orang itu hendak pergi. Ternyata bahwa Siok Lan dan ayahnya tinggal di sebuah rumah penginapan yang tak jauh dari kelenteng itu. Tan Hong benar-benar seperti orang yang tidak waras otaknya. Sehari itu, ia berdiri saja di satu tempat yang tak jauh dari rumah penginapan itu dan memandang ke arah hotel dengan penuh harap melihat gadis itu kalau-kalau keluar. Akan tetapi ia kecewa, karena Siok Lan dan ayahnya Lo Cin Ki si Garuda Sakti, sampai sore tidak muncul-muncul keluar dari hotel itu.

Tan Hong terpaksa meninggalkan tempat itu, karena ia harus pergi ke kelenteng Kimci-teng untuk memenuhi janjinya dengan To Tek Hosiang. Ia mengambil keputusan, apabila malam nanti urusannya dengan To Tek Hosiang telah beres, ia akan mengunjungi susioknya itu.

Hari telah mulai gelap dan ketika Tan Hong meninggalkan tempat itu hendak menuju ke kelenteng, tiba- tiba dari atas pohon di mana ia tadi berdiri terdengar suara laki-laki yang parau menegur, “Sahabat, berhenti dulu!”

Tan Hong terkejut dan bersiap sedia. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa di atas pohon itu ada orang. Orang itu melompat turun dan ternyata yang melompat turun dari atas pohon itu adalah seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka hitam. Biarpun tubuhnya tinggi besar dan gerakannya lamban, akan tetapi sepasang matanya membayangkan kecerdikan dan ketika ia melompat turun tadi, Tan Hong dapat menduga bahwa orang itu memiliki kepandaian tinggi.

Tan Hong berhenti dan menghadapi orang tinggi besar itu. “Sahabat, bukankah kau Gin-kiam Gi-to?” tegur si muka hitam itu.

Tan Hong tercengang mendengar pertanyaan ini, akan tetapi ia tidak mau menyangkal. “Bagaimana kau bisa tahu?” tanya Tan Hong.

Si muka hitam tertawa dan ketika ia tertawa, maka mukanya yang hitam itu nampak menarik dan gagah. “Mudah saja. Kau mempunyai gerakan yang menyatakan bahwa kau pandai ilmu silat, sedangkan pedang yang berada di punggungmu itu bergagang perak. Pakaianmu juga serba hitam seperti biasanya pakaian seorang ya-heng- jin (orang pejalan malam). Siapa lagi selain seorang pencuri berilmu tinggi yang memiliki pedang perak yang bernama Gin-kiam Gi-to?”

Tan Hong merasa kagum juga akan kejituan orang ini, maka ia lalu berseru, “Ah, kau benar-benar orang luar biasa, kawan. Apakah kau ini seorang penyelidik atau penjaga keamanan?” pertanyaan ini diucapkannya dengan tenang, menandakan bahwa ia sama sekali tidak takut.

“Bukan! Aku hanya merasa heran sekali, mengapa Gin- kiam Gi-to yang namanya tersohor sebagai seorang gagah, ternyata kini diam-diam mengintai seorang gadis cantik seperti lakunya seorang bangsat rendah! Ayoh kau ikut aku pergi kepada gadis itu untuk minta maaf!”

Merahlah muka Tan Hong mendengar celaan ini. Ia harus datang kepada Siok Lan untuk minta maaf?

“Kau ngigau! Siapa sudi menuruti permintaanmu yang bukan-bukan itu?”

Si muka hitam tertawa lagi dan tiba-tiba ia mencabut pedangnya. “Jangan kau banyak tingkah! Orang lain boleh takut kepadamu, akan tetapi aku Hek-bin-mo (Setan Muka Hitam) Ong Kai tidak nanti takut kepadamu! Apakah kau harus ikut aku pergi menemui gadis itu atau pedangku akan bicara?”

“Sudahlah, aku tidak mempunyai banyak waktu untuk bertengkar dengan segala iblis muka hitam!” kata Tan Hong, lalu ia membalikkan tubuhnya dan lari cepat. Akan tetapi Ong Kai juga melompat dan berseru, “Baik, pedangku akan bicara. Awas serangan!” teriaknya dan ia mengirim tusukan dengan pedangnya. Tan Hong berlaku waspada, dan iapun sudah mencabut gin-kiamnya dan segera menangkis. Terkejut juga ia ketika merasa betapa tenaga si muka hitam itu benar-benar kuat dan mengejutkan. Si muka hitam tertawa lagi dan terus menyerang dengan sengit. Ilmu pedangnya sungguh hebat, segalanya ini di luar dugaan Tan Hong. Diam-diam Tan Hong mengeluh, karena sebelum ia menghadapi To Tek Hosiang, ternyata sekarang bertemu dengan seorang lawan yang tangguh, kukwai (aneh), lihai dan mempunyai maksud yang bukanbukan! Terpaksa ia melayani dan mengerahkan tenaganya dengan maksud menjatuhkan pedang lawan. Akan tetapi, gerakan Ong Kai benar-benar di luar terkaannya dan untuk beberapa lama keduanya bertempur seru dalam keadaan seimbang.

Tiba-tiba dari jauh terdengar suara suitan nyaring yang terdengar jelas sampai ke tempat itu. Mendengar suara suitan yang tidak mempunyai arti apa-apa bagi Tan Hong ini, si muka hitam menghela napas dan berkata, “Sayang sekali! Baru saja enak-enak bertempur denga lawan yang menyenangkan, suhu telah memanggilku! Sudahlah, maling! Kali ini aku mengampunimu, akan tetapi lain kali kalau aku melihat kau mengintai gadis-gadis lain nanti, awas, aku takkan berhenti berusaha untuk dapat merobohkanmu!”

“Iblis Muka Hitam yang bodoh!” Tan Hong memaki gemas, akan tetapi si muka hitam sudah melompat jauh meninggalkannya. Tan Hong tidak mau mengejar, karena ia harus pergi ke tempat To Tek Hosiang. Diam-diam ia kagum juga melihat ketangkasan dan kehebatan si muka hitam itu, dan ingin sekali mengetahui siapakah suhunya yang tadi bersuit memberi tanda panggilan. Alangkah anehnya orang-orang di kalangan kang-ouw, dan alangkah banyaknya orang-orang pandai di dunia ini! Peristiwa tadi memberi pelajaran lagi bagi Tan Hong, bahwa orang-orang yang berkepandaian tinggi sungguh banyak jumlahnya di dunia ini.

Ketika Tan Hong tiba di kuil Kim-ci-tang, hari telah mulai gelap, akan tetapi di ruang depan kuil itu nampak terang karena dipasangi lampu beberapa buah. Agaknya di situ ada tamu, karena di meja besar duduk empat orang hwesio bercakap-cakap. Ternyata bahwa To Tek Hosiang sedang menghadapi tiga orang hwesio lain yang gemuk- gemuk dan berpakaian mewah, ternyata jubah yang dipakai hwesio terbuat daripada sutera halus! Dari luar Tan Hong dapat melihat betapa sikap To Tek Hosiang hormat sekali terhadap ketiga orang tamunya yang nampaknyapun lemah- lembut dan sikapnya seperrti hwesio-hwesio yang berilmu tinggi dan sopan-santun.

Oleh karena ini, tan Hong tidak mau mengganggu dan berdiri di tempat gelap. Akan tetapi, To Tek Hosiang yang mempunyai pandangan dan pendengaran tajam, telah dapat melihatnya, maka hwesio ini lalu menghadap ke arah Tan Hong dan berkata, “Selamat datang, Tan-sicu. Silahkan masuk!”

Tan Hong lalu masuk dan menjura kepada To Tek Hosiang sambil berkata, “Maafkan apabila aku mengganggu, agaknya losuhu masih sibuk melayani tamu.”

“Tidak apa, tidak apa! Tamu-tamu ini adalah orang- orang segolongan dengan pinceng.” Kemudian To Tek Hosiang berkata kepada ketiga tamunya, “Mohon dimaafkan, karena pinceng terpaksa meninggalkan sam-wi sebentar untuk melayani pemuda ini menyelesaikan perhitungannya dengan pinceng, dan malam ini juga kami hendak main-main sedikit guna menambah pengertian dalam ilmu silat.” Ketiga hwesio yang menjadi tamu itu sangat senang mendengar ini. “Kebetulan sekali, sudah lama pinceng tidak melihat pertunjukan silat. Silahkan, To Tek suhu, kami bertiga bahkan lebih senang melihat pertunjukan silat daripada pertunjukan lain.”

Setelah mendapat persetujuan ketiga orang tamunya To Tek Hosiang lalu menghadapi Tan Hong dan berkata, “Tan-sicu, marilah kita sekarang main-main sebentar untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Harap kau berlaku murah kepada seorang hwesio tua!” katanya sambil tersenyum.

“Losuhu, aku yang muda minta pengajaran.”

To Tek Hosiang lalu mengambil toyanya yang telah disediakan di satu sudut, Tan Hong lalu mencabut pedangnya dan bersiap dengan waspada.

Sebelum mereka bertanding, seorang di antara ketiga tamu itu bertanya kepada To Tek Hosiang, “Siapakah sebenarnya anak muda yang gagah ini?”

To Tek Hosiang tertawa lalu memperkenalkan, “Inilah Gin-kiam Gi-to yang terkenal di mana-mana dan mempunyai ilmu pedang yang tinggi.”

Hwesio itu mengangguk-angguk dan dari mata ketiga orang tamu ini memancarlah cahaya berkilat yang ganjil dan bersinar-sinar akan tetapi Tan Hong tidak sempat memperhatikan karena pada saat itu To Tek Hosiang yang sudah siap dengan toyamya lalu berseru, “Tan-sicu, awaslah terhadap toyaku!” Hwesio itu lalu maju menggerakkan toyanya dalam sebuah serangan yang hebat. Mula-mula To Tek Hosiang menggunakan gerakan Ouwliong-cut-tong atau Naga Hitam Keluar Gua, yakni sebuah gerakan ilmu toya dari cabang Siauwlim, akan tetapi ketika Tan Hong dapat mengelak dengan cepat, ia lalu memutar toyanya dan menyerang dengan menyapu ke arah paha pemuda itu dalam tipu Hing-sau chian-kun atau Menyerampang Bersih Ribuan Prajurit. Tan Hong memperlihatkan kelincahannya dan untuk menghindarkan diri dari serampangan yang hebat ini ia melompat ke atas dengan cepat dan ringannya. Ketika tubuhnya melayang turun, ia balas menyerang dengan tipu Chong-eng-kim-touw atau Garuda Menyambar Kelinci. To Tek Hosiang menangkis cepat, akan tetapi Tan Hong lalu merobah serangannya, menarik kembali pedangnya dan maju menyerang lagi dengan gerak tipu Pek-hong-koan-jit atau Bianglala Putih Menutup Matahari. Akan tetapi To Tek Hosiang juga dapat menangkis dengan tepatnya.

Demikianlah, kedua lawan ini mengeluarkan ilmu silat masing-masing dan berusaha mengalahkan lawan secepat mungkin. To Tek Hosiang yang maklum akan kehebatan Tan Hong, hendak mendahuluinya dan segera memutar toyanya dan memainkan ilmu silat toya asli dari partai silatnya yakni Houw-san-pai. Tan Hong tidak kurang waspada, maka iapun lalu mengeluarkan ilmu pedang warisan suhunya, yakni ilmu pedang dari Bok-san-pai. Makin lama mereka bertempur, makin hebatlah gerakan senjata mereka hingga yang kelihatan hanya sinar pedang yang berkilauan bagaikan seekor burung garuda menyambar, sedangkan toya To Tek Hosiang-pun mengamuk bagaikan seekor naga yang ganas.

Berkali-kali ketiga orang hwesio gemuk yang menjadi tamu itu memuji, “Bagus, bagus!”

Namun betapapun hebat To Tek Hosiang yang telah bersiap sedia dan setiap hari melatih ilmu toyanya khusus untuk digunakan menghadapi Tan Hong, namun pemuda itu masih menang setingkat. Perlahan-lahan ia mulai mendesak dan sinar toya To Tek Hosiang makin lemah dan makin mengecil, sedangkan pedang peraknya makin menyambar dengan ganas dan garang.

Pada saat itu, tiba-tiba menyambar angin yang dahsyat diiringi suara keras, To Tek Suhu mundurlah dan biarkan pinceng menghadapi pemuda maling ini!”

Ternyata yang datang melompat ke tengah lapangan pertandingan adalah seorang hwesio gemuk, yakni seorang di antara tiga tamu tadi. To Tek Hosiang terkejut sekali, karena sama sekali ia tak pernah menyangka bahwa ketiga tamunya yang datang dari barat ini memiliki ilmu silat yang tinggi. Ia hanya berdiri di pinggir dan memandang dengan heran. Ia bersyukur karena ia telah tertolong. Ia maklum bahwa kalau pertandingan tadi diteruskan, akhirnya dia pasti akan kalah dan roboh untuk kedua kalinya oleh pemuda itu.

Tangan kiri hwesio gemuk itu memegang sebatang hudtim (kebutan pertapa) dan ia berdiri menghadapi Tan Hong dengan mulut menyeringai. Lagak hwesio ini sungguh menyebalkan, karena mirip dengan lagak seorang pemuda tengik yang menganggap dirinya sendiri yang gagah dan tampan!

“Losuhu, kau siapa dan apa sebabnya maka kau datang- datang hendak mengajak aku bertempur?” tanya Tan Hong.

“Ha, ha, ha, Gin-kiam Gi-to! Sudah lama pinceng mendengar namamu yang besar, hingga suara itu bergema di empat penjuru membuat telingaku menjadi bising dan sakit. Pinceng adalah Beng Kong Hwesio, dan kedua suhengku yang duduk itu adalah Bhok Kong Hwesio dan Kim Kong Hwesio. Barangkali nama ini belum pernah kau dengar, maka akan lebih muda dikenal kiranya apabila pinceng sebutkan bahwa kami bertiga disebut orang Pekhoa Sam-sian atau Tiga Dewa dari Pek-hoa-san!” Kini bukan saja Tan Hong yang terkejut, bahkan To Tek Hosiang sendiripun sangat terkejut karena nama Tiga Dewa dari Pek-hoa-san ini amat terkenal sebagai tokoh-tokoh dan pendiri-pendiri cabang persilatan Pek-hoa-san-pai yang termasyur itu! Tadi ketika datang, ketiga tamu To Tek Hosiang itu hanya memperkenalkan nama-nama mereka, sama sekali tidak disangkanya bahwa ia mendapat kehormatan menerima tamu-tamu yang terdiri dari tokoh- tokoh persilatan yang telah masuk golongan tertinggi itu!

Biarpun Tan Hong maklum bahwa tokoh-tokoh Pek-hoa- san ini menurut suhunya dulu adalah orang-orang yang berilmu silat tinggi, akan tetapi suhunya pernah menyatakan bahwa mereka bertiga itu bukanlah orang baik- baik, maka pemuda ini sedikitpun tidak memperlihatkan rasa gentar. Ia bahkan tersenyum dan berkata dengan tenang.

“Ah, kiranya Pek-hoa Sam-sian yang kuhadapi! Lalu apakah kehendakmu?”

kembali Beng Kong Hwesio tertawa gelak-gelak. “Sudah pinceng katakan tadi bahwa telah lama pinceng mendengar nama Maling Budiman Berpedang Perak yang kesohor. Dan kebetulan sekali, kami bertiga paling benci dengan segala macam maling, baik yang besar maupun yang kecil. Maka sekarang, setelah pinceng berhadapan dengan seorang maling, biarlah pinceng mewakili To Tek Hosiang untuk menangkapnya dan menyerahkannya kepada yang berwajib!”

“Hwesio gundul jangan kau sombong!” Tan Hong berseru marah sambil menggerakkan pedangnya.

“Bagus, bagus! Mainkanlah pedangmu, hendak kulihat sampai di mana kehebatan ilmu pedang dari Bok-san-pai!” Tan Hong tercengang juga mendengar bahwa hwesio ini telah mengenal ilmu pedangnya, akan tetapi dengan hati- hati ia terus menyerang sambil mengerahkan tenaga serta kepandaiannya. Benar saja, ilmu silat Beng Kong Hwesio benar-benar luar biasa, kebutannya digerakkan dengan cepat dan bulu-bulu yang halus dari kebutan itu menyambar-nyambar dan tak boleh dipandang ringan karena bulu-bulu yang halus ini berkat tenaga lwekangnya yang tinggi, merupakan senjata yang sangat berbahaya. Sedangkan tangan kanan hwesio itu memainkan ujung lengan bajunya yang panjang, lebar dan berujung kecil pula. Ujung lengan baju ini tak kurang berbahayanya, karena digerakkan untuk menotok jalan darah lawan dengan gerakan tetap dan kuat sekali! Ketika serangannya yang bertubi-tubi itu dapat dihindarkan oleh lawannya yang masih muda, Beng Kong Hwesio merasa sangat kesal. Ia berseru keras dan kedua tangannya memainkan kebutan dengan ujung lengan baju dengan lebih hebat! Kedua senjata istimewa itu mengurung dan menyerang Tan Hong dari kiri kanan dan dari atas dan bawah dengan gencar, dan setiap sambarannya membawa hawa maut!

Akan tetapi, selain memiliki dasar ilmu silat tinggi, Tan Hong adalah seorang pemuda yang berhati tabah dan bersikap tenang serta waspada. Ia maklum bahwa ilmu silatnya masih kalah jika dibandingkan dengan kepandaian lawannya dan ia mungkin tidak mempunyai kesempatan untuk balas menyerang. Akan tetapi dengan keuletan yang mengagumkan, ia mempertahankan diri dengan seluruh tenaga dan kepandaiannya hingga setelah bertempur seratus jurus lebih, belum juga hwesio itu dapat merobohkannya! Hal ini tentu saja membuat Beng Kong Hwesio merasa gemas dan marah, tapi kagum juga. Belum pernah ia mendapat lawan semuda ini yang memiliki daya tahan selama itu! Pada saat itu, tiba-tiba dari atas genteng melayang turun tiga bayangan orang dan orang terdepan membentak dengan nyaring, “Pek-hoa Sam-sian! Bagus sekali, akhirnya kami dapat juga menemukan kalian!”

Tiga bayangan orang itu melayang turun dengan gerakan yang gesit dan ringan seperti tiga ekor burung. Serentak Bhok Kong Hwesio dan Kim Hong Hwesio bangun dari duduknya dan mencabut senjata mereka, masing-masing bersenjatakan sebatang kebutan yang berbulu merah!

Biarpun sedang bertanding dan didesak oleh lawannya, akan tetapi Beng Kong Hwesio dapat memperhatikan ketiga orang yang datang itu, Tan Hong dapat juga melirik sekejap dan alangkah terkejutnya ketika ia melihat dengan jelas, bahwa yang datang itu tidak lain ialah Lo Cin Ki atau yang dijuluki Jian-jiauw-sin-eng si Garuda Sakti Berkuku Seribu, yakni susioknya (paman gurunya) sendiri, nona Lo Siok Lan, dan si muka hitam Ong Kai yang sore tadi pernah bertempur dengannya!

Melihat bahwa yang bertempur melawan seorang di antara Pek-hoa Sam-sian adalah pemuda yang sore tadi bertempur dengannya, Ong Kai lalu maju menerjang dengan pedang di tangan dan berkata, “Eh, Maling Budiman, kau juga bertempur melawan mereka? Jangan takut, kini kita bersatu menghadapi mereka dan aku akan membantumu!”

Akan tetapi, serbuan si muka hitam ini lalu disambut oleh To Tek Hosiang, karena hwesio ini berpikir bahwa sudah selayaknya ia membela para tamunya, apalagi karena tamutamunya itu adalah tokoh-tokoh besar dari Pek-hoa- san! Ia berpikir bahwa orang-orang yang datang membantu Maling Budiman ini tentulah golongan maling atau perampok juga. Apalagi melihat Ong Kai yang tinggi besar, kasar dan bermuka hitam, tak salah lagi, orang ini tentulah kepala perampok yang buas dan ganas. Ia lalu memutar toyanya dan membentak, Bangsat pemaling dan perampok hina dina! Jangan kau kotorkan kelentengku yang suci ini!”

Ong Kai tercengang dan mengurungkan niatnya membantu Tan Hong. Ia pandang To Tek Hosiang dengan sepasang matanya yang bundar lebar, lalu bertanya, “Eh, eh, ini ada lagi kepala gundul yang berkedok agama! Baik, baik kau mampuslah di tanganku agar segera masuk ke neraka!” Maka ia lalu menyerang To Tek Hosiang kembali dengan sengit dan keduanya lalu bertempur seru!

Sementara itu, Lo Cin Ki melompat maju dan berhadapan dengan Bhok Kong Hwesio dan Kim Kong Hwesio, lalu menuding dengan pedangnya, “Hwesio gadungan! Serahkan nyawa kalian untuk menebus dosa yang telah kaulakukan terhadap keponakan Lie-sio-cia!”

“Ha, ha, ha! Jadi inikah si Garuda Sakti Berkuku Seribu? Kau mengantarkan jiwa tuamu! Apakah kau sudah bosan hidup?” Sambil berkata demikian, Kim Hong Hwesio lalu maju menyerbu, disambut dengan sengit oleh Lo Cin Ki.

Lo Cin Ki adalah seorang tokoh Bok-san-pai yang memiliki ilmu silat yang tinggi sekali serta bertenaga besar, maka begitu kebutan Kim Kong Hwesio bertemu dengan pedang si Garuda Sakti, hwesio itu terhuyung ke belakang! Bukan kepalang kagetnya, karena tak pernah diduganya bahwa tenaga orang tua itu melebihi tenaganya sendiri! Semetara itu, ketika Bhok Kong Hwesio melihat betapa suhengnya tak dapat merobohkan Lo Cin Ki, malah jelas sekali nampak olehnya bahwa suhengnya kalah tenaga. Ia lalu ikut maju menyerbu dan mengeroyok jago tua dari Bok-san itu! Sebetulnya, kalau saja Bok-san-pai tidak lebih mengutamakan ilmu pengobatan dan khusus memajukan ilmu silatnya, cabang persilatan ini akan memperoleh kemajuan besar, karena memang dasar-dasar persilatan Bok-san-pai kuat dan sempurna sekali. Akan tetapi Lo Cin Ki lebih suka mempelajari secara mendalam ilmu pengobatan, maka dalam hal silat, boleh dibilang ia hanya mencapai tingkat delapan bagian saja. Namun kepandaian ini agaknya cukup untuk mengimbangi kedua pengeroyoknya itu!

Ketika Lo Siok Lan melihat betapa ayahnya dikeroyok, walaupun ia maklum bahwa kepandaian kedua hwesio gemuk itu jauh lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri, ia lalu membentak, “Bangsat gundul curang! Jangan maju mengeroyok ayahku!” Gadis yang tabah inipun lalu menggerakkan pedangnya hendak membantu ayahnya, akan tetapi si Garuda Sakti berseru, “Jangan Lan-ji! Kaubantu saja suhengmu Tan Hong yang terdesak oleh iblis gundul itu!” Ternyata, biarpun ia sendiri terdesak, jago tua ini masih ingat kepada orang lain dan minta puterinya membantu Tan Hong!

Biarpun dengan hati ragu-ragu, namun gadis itu tidak berani membantah perintah ayahnya. Ketika ia memandang, benar saja bahwa keadaan Tan Hong amat terdesak, sungguhpun pemuda itu telah memainkan pedangnya sedemikian rupa merupakan sebuah benteng baja yang kuat sekali, hingga andaikata disiram airpun takkan membasahi tubuhnya yang terlindung sedemikian rapatnya oleh gerakan pedang! Tanpa mengeluarkan suara apaapa. Siok Lan lalu memutar pedangnya menyerbu dan menahan serangan Beng Kong Hwesio. Hwesio ini terkejut juga, melihat gerakan nona ini tidak kalah hebatnya daripada gerakan Tan Hong yang baginya sukar sekali untuk dirobohkan. Sebaliknya, ketika Tan Hong melihat betapa nona impiannya itu datang membantunya, timbullah semangatnya. Ia serasa dalam mimpi karena saat itu ia dapat bertempur melawan musuh bersama nona yang menjadi idamannya itu!

Dalam kegirangannya, Tan Hong beberapa kali mengerling dan memandang nona itu hingga Siok Lan menjadi tertekan oleh serbuan Beng Kong Hwesio yang mengamuk padanya, karena gerakan Tan Hong menjadi terlambat.

“Ayoh, kauseranglah dia! Mengapa ... lelah?” tegur gadis itu tanpa melihat Tan Hong, namun ia merasa betapa pemuda itu gerakannya agak mengendur.

Tan Hong terkejut dan bagaikan baru sadar dari mimpi ketika mendengar teguran ini. Wajahnya berubah merah karena malu kepada diri sendiri. Ia lalu menggertakkan giginya dan maju dengan semangat berapi-api! Kini keadaan menjadi berbalik. Beng Kong Hwesio yang menghadapi Tan Hong seorang diri saja hanya menang sedikit, tetapi tidak sanggup merobohkannya, kini menghadapi keroyokan Tan Hong dan Siok Lan yang memiliki kepandaian setingkat dengan Tan Hong, tentu saja sangat terdesak dan tak lama kemudian tubuhnya sudah mandi keringat dan napasnya terengah-engah!

Sementara itu, To Tek Hosiang yang menghadapi Ong Kai bertempur dengan seru pula, karena kepandaian si muka hitam inipun hebat pula dan setingkat dengan To Tek Hosiang! Mereka saling serang dengan mati-matian, akan tetapi sebegitu jauh belum terlihat siapa yang akan menang di antara mereka. Melihat pertempuran hebat ini di ruang kelentengnya itu, diam-diam To Tek Hosiang menjadi ragu- ragu dan bingung. Apalagi ketika tadi ia mendengar nama orang tua itu yang disebut si Garuda Sakti, ia menjadi tambah ragu-ragu karena sepanjang pendengarannya, nama ini adalah nama seorang tokoh persilatan yang termasyur sebagai seorang pendekar tua pembela keadilan! Tadinya ia bermaksud mengukur kepandaian Tan Hong si Maling Budiman, tapi sekarang ia telah terlibat dalam pertempuran antara mati dan hidup yang belum diketahui sebab- sebabnya. Oleh karena inilah maka ia berkelahi sambil mundur dan mendekati Tan Hong untuk mengajukan pertanyaan!

Pada saat itu, Beng Kong Hwesio sudah sangat terdesak, akhirnya dengan sebuah tendangan kilat dari Tan Hong yang berhasil mengenai tepat pada tulang kakinya menyebabkan hwesio ini serta-merta roboh terguling. Siok Lan dengan gemas sekali lalu menubruk maju dan menusuk dengan pedangnya! Tan Hong terkejut melihat niat Siok Lan ini, maka cepat-cepat ia memegang tangan nona itu dan berkata, “Nona ... sumoi ... ! jangan sembarangan membunuh!”

Siok Lan merenggutkan tangannya dengan gemas. “Kau tahu apa? Ketiga hwesio cabul ini telah menculik dan membunuh piauwmoi-ku (adik perempuan misan)!” Sambil berkata demikian, gadis ini dengan marah sekali melanjutkan serangannya dan pedangnya menancap ke dada Beng Kong Hwesio. Dan sejurus kemudian terdengar pekik nyaring Beng Kong Hwesio dan ia tewas pada saat itu juga!

Mendengar keterangan gadis ini, Tan Hong terkejut sekali hingga ia berdiri diam tak kuasa mencegah gadis itu membunuh Beng Kong Hwesio, sedangkan To Tek Hosiang ketika mendengar keterangan inipun lalu melompat ke belakang dan berseru, “Tahan dulu! Pinceng tidak tahu bahwa mereka ini hwesio-hwesio jahat!” Si muka hitam yang dalam keadaan masih marah hendak menyerbu terus, akan tetapi Siok Lan berseru, “Tahan ... ! Suheng!” Sungguh heran, si muka hitam yang tinggi besar ini segera menghentikan serangannya, demikian taat dan tunduk ia rupanya terhadap dara itu.

Akan tetapi, pada saat itu terdengar keluhan Lo Cin Ki dan ketika mereka semua memandang, ternyata dalam satu benturan nekad, Lo Cin Ki telah berhasil memukul pundak Bhok Kong Hwesio membuat ia terhuyung ke belakang, akan tetapi sebaliknya, ujung kebutan Kim Kong Hwesio- pun telah menghantam ke belakang dan mengeluarkan darah dari mulutnya!

“Ayah ... !” Siok lan memburu dan memeluk ayahnya, sedangkan Kim Kong Hwesio yang melihat Beng Kong Hwesio sudah tewas dan Bhok Kong Hwesio juga terluka pada pundaknya, secepatnya ia mengangkat tubuh Beng Kong Hwesio yang sudah menjadi mayat itu, lalu mengajak Bhok Kong Hwesio pergi dari tempat itu. Ia berpikir sia-sia saja untuk terus melawan, karena biarpun Lo Cin Ki telah menderita luka berat, akan tetapi di situ masih ada tiga orang muda yang hebat itu, bahkan ada pula To Tek Hosiang yang agaknya hendak membalik dan membantu mereka!

Tan Hong dan Ong Kai hendak mengejar, tetapi karena Siok Lan sedang sibuk menangisi ayahnya, maka mereka berdua tidak berdaya dan merasa tidak sanggup menghadapi Kim Kong dan Bhok Kong hwesio sekalipun ia telah luka, tetapi masih kelihatan gesit dan kuat jua.

Ong Kai yang bertubuh tinggi besar lalu mengangkat tubuh suhunya dan atas petunjuk To Tek Hosiang yang tadi bertempur mati-matian dengannya, jago tua yang terluka itu dibawa masuk ke dalam sebuah kamar di kuil itu. Ternyata bahwa Lo Cin Ki telah mendapat luka yang berbahaya di dalam tubuhnya. Pukulan ujung hudtim itu buruk sekali akibatnya, karena pukulan ini telah mematahkan dua buah tulang iga di dada Lo Cin Ki dan menggoncangkan paru-parunya! Untung Siok Lan juga telah mempelajari ilmu pengobatan, maka setelah memeriksa luka di dada ayahnya yang masih pingsan itu, gadis ini dengan jari-jari tangannya yang halus, tapi cekatan itu lalu menyambung tulang-tulang yang patah dan menggunakan obat gosok dan obat minum yang dimasukkannya ke dalam mulut ayahnya.

Pada keesokan harinya, setelah berkali-kali diminumkan obat, jago tua itu siuman dari pingsannya. Selama ia masih pingsan, semua orang, termasuk juga To Tek Hosiang, diam saja dan tak berani berkata apa-apa, sedangkan Tan Hong dan Ong Kai hanya saling pandang dan menghela napas. Mengapa Tan Hong tidak pergi dari tempat itu? Ia merasa tak sampai hati meninggalkan Siok Lan, sekalipun gadis itu tak sepatah katapun mau berbicara dengannya.

Akan tetapi setelah ayahnya siuman kembali, wajah gadis itu tampak berseri, lalu ia berkata kepada Tan Hong, “Tan-suheng, kiam-hoatmu sungguh hebat!”

Merahlah muka Tan Hong mendengar pujian ini. “Ah ...

! Sumoi, kepandaianku masih belum dapat dibandingkan dengan kepandaianmu yang tinggi itu!”

Sementara itu, setelah Lo Cin Ki siuman, ia lalu menggunakan jari-jari tangannya meraba dadanya. Ia menarik napas panjang ketika ia mengetahui bahwa dua tulang iganya patah, akan tetapi ia memuji kecekatan puterinya yang telah melakukan penyambungan tulang iganya dengan sempurna. Ketika semua orang datang ke kamar, untuk menjenguknya, ia menghela napas dan berkata kepada Tan Hong, “Tan hong! Untung kau telah lebih dulu turun tangan, kalau tidak, mungkin kerugian besar yang akan kita derita.”

Tan Hong mengeluarkan ucapan merendah diri untuk sebagai jawaban atas pujian susioknya ini padanya, sedangkan To Tek Hosiang buru-buru tunduk memberi hormat kepada Lo Cin Ki sambil berkata, “Lo-enghiong, maafkan pinceng yang telah sesat dan telah pula membantu orang-orang jahat. Percayalah, hal ini pinceng lakukan tanpa pinceng sadari, bahkan sampai sekarangpun pinceng masih bingung dan tidak tahu duduk perkara sebenarnya.”

Oleh karena ia tahu bahwa apabila ia banyak berkata- kata, maka hal ini akan mengganggu kesehatannya, Lo Cin Ki lalu mendesak muridnya untuk menceritakan hal yang telah terjadi sehingga mereka datang mencari Pek-hoa Sam- sian untuk membalas dendam.

Ong Kai lalu bercerita yang didengarkan oleh Tan Hong dan To Tek Hosiang dengan penuh perhatian.

***

Ong Kai adalah murid tunggal dari Lo Cin Ki si Garuda Sakti Berkuku Seribu yang telah menamatkan pelajarannya dan bekerja sebagai seorang piauwsu di kota Lui-koan-bun. Ia adalah seorang pemuda yang biarpun beradat kasar, akan tetapi ia mempunyai kecerdikan luar biasa. Sayang sekali, bakatnya dalam hal ilmu silat kurang baik, maka biarpun telah lama ia belajar silat, paling banyak ia hanya dapat mewarisi setengah bagian saja dari kepandaian suhunya, bahkan ia masih kalah oleh Siok Lan.

Lo Cin Ki mempunyai seorang adik perempuan yang telah menjadi janda dan adiknya ini mempunyai seorang anak gadis yang cukup cantik dan halus budi bahasanya. Gadis ini bernama Kiu Hwa dan semenjak kecil menjadi sahabat baik Siok Lan yang lebih tua setahun daripadanya. Siok Lan berbakat baik dalam ilmu silat, sebaliknya Kiu Hwa tidak suka belajar silat, ia lebih suka menjadi seorang gadis yang lemah-lembut. Dan dalam hal kepandaian tangan, ia jauh lebih pandai daripada Siok Lan.

Lo Cin Ki tahu, sekalipun mukanya hitam, akan tetapi hatinya tetap suci bersih. Ia mengusulkan kepada adiknya untuk mengambil Ong Kai si muka hitam itu jadi iparnya. Demikianlah, tak lama kemudian pemuda ini dipertunangkan dengan Kui Hwa.

Beberapa hari yang lalu datanglah malapetaka menimpa diri Kiu Hwa. Pada suatu malam, kota Lui-koan-bun didatangi oleh tiga orang penjahat besar, yang tidak lain ialah Pekhoa Sam-sian, tiga hwesio gemuk berbatin kotor itu. Di sepanjang jalan mereka ini melakukan perbuatan- perbuatan yang keji yaitu, mengganggu anak bini orang.

Walaupun Kiu Hwa adalah seorang gadis lemah-lembut, akan tetapi memiliki kenekatan besar. Melihat ketiga orang hwesio biadab itu berniat jahat terhadap dirinya, ketika ia diculik dan dibawa ke sebuah kelenteng rusak di luar kota. Gadis ini mendapat kesempatan untuk mencabut tusuk kondenya yang terbuat daripada perak yang tajam seperti pisau belati itu dari rambutnya. Dengan nekad Kiu Hwa lalu memasukkan benda tajam itu ke tenggorokannya hingga ia tewas pada saat itu juga!

Saat itu Ong Kai sedang berada di luar kota karena sedang menjalankan tugasnya mengawal barang-barang. Ketika pada keesokan harinya ia kembali ke rumah dan mendengar tunangannya diculik orang, bukan main marah dan geramnya. Pemuda ini lalu melakukan penyelidikan di rumah tunangannya di mana calon ibu mertuanya didapati sedang menangis sedih dan berkali-kali ia jatuh pingsan memikirkan nasib gadisnya. Oleh karena tidak melihat tanda-tanda yang mendatangkan curiga dalam kamar tunangannya itu, Ong Kai dapat menduga bahwa yang melakukan penculikan tentu seorang penjahat berilmu tinggi, maka ia terus melakukan penyelidikan. Kebetulan sekali ketika tiga orang hwesio biadab itu sedang membawa lari Kiu Hwa yang dalam keadaan meronta-ronta, terlihat oleh seorang petani di luar kota, akan tetapi karena takutnya, petani itu menyembunyikan diri di balik pohon. Dari petani inilah Ong Kai tahu bahwa orang yang melarikan tunangannya itu adalah tiga orang hwesio gemuk. Ia segera melakukan pengejaran sampai ke kuil tua itu. Dan alangkah hancur rasa hatinya ketika mendapatkan tunangannya rebah di lantai kuil dalam keadaan telah tak bernyawa lagi.

Sebaliknya, di dalam kesedihannya, Ong Kai merasa bangga dan lega juga melihat kematian tunangan yang dicintainya itu adalah karena membunuh diri dengan tusuk konde! Dalam menangisi jenazah Kiu Hwa, dalam hatinya Ong kai memuji kesucian gadis ini dan bersumpah hendak membalas dendam dan mencari ketiga orang hwesio gemuk itu.

Ong Kai yang cerdik itu lalu melakukan pengejaran dan penyelidikan. Untung baginya bahwa Pek-hoa sam-sian adalah tokoh-tokoh persilatan yang mempunyai adat sombong dan menganggap bahwa di dunia ini tidak ada orang yang berani melawan mereka. Karena kesombongannya inilah, ketiga orang hwesio gemuk ini sama sekali tidak ada niat untuk menyembunyikan diri atau berusaha agar jejak mereka nanti tidak diikuti dan dicari orang. Secara terang-terangan mereka berjalan di jalan umum melanjutkan perjalanan mereka hingga akhirnya mereka sampai di Wi-ciu.

Ong Kai tentu dengan mudah saja dapat mengikuti jejak ketiga orang hwesio gemuk itu, dan ketika melihat mereka masuk di kota Wi-ciu, dengan cepat Ong Kai lalu menuju ke rumah suhunya yang berada tak jauh dari kota Wi-ciu itu.

Tak terkira marah hatinya Lo Cin Ki dan Lo Siok Lan mendengarkan bencana yang menimpa diri Kiu Hwa, maka tidak ayal lagi ayah dan anak ini melakukan penyelidikan ke Wi-ciu untuk membalas dendam. Oleh karena inilah maka Tan Hong sampai melihat Siok Lan dan ayahnya berkunjung ke kelenteng Kim-ci-tang, di mana gadis dan ayahnya itu sedang menyelidiki keadaan kelenteng. Dan ini pulalah sebabnya mengapa Tan Hong dapat bertemu dengan ong Kai yang tadinya mencurigainya.

Setelah mendengar penuturan Ong kai sambil mengalirkan air mata karena teringat akan tunangannya itu, Tan Hong menjadi terharu sekali.

“Saudara Ong kai, jangan kau khawatir. Biarpun aku bodoh, akan tetapi aku bersumpah hendak membantumu mencari dan membinasakan dua orang iblis yang masih hidup itu!”

Juga To tek Hosiang menyatakan penyesalannya mengapa matanya seakan-akan telah buta, tidak melihat dan membedakan mana orang jahat dan mana yang baik. Berkali-kali hwesio ini menyebut nama dewata, karena heran dan terkejut mendengarkan kejahatan dan kekejian yang dilakukan oleh tiga orang hwesio yang berkepandaian tinggi dan yang terkenal sebagai tokoh-tokoh dunia persilatan itu! Ketika mereka menengok keadaan Lo Cin Ki lagi, orang tua ini berkata dengan suara menyesal kepada Ong Kai, “Ong Kai ... ! Sungguh menyesal aku, sebab kurang hati- hati hingga aku dapat dilukai oleh Kim Kong Hwesio! Dan menurut pemeriksaanku, lukaku ini sedikitnya dalam waktu satu bulan baru bisa sembuh dan pulih kembali seperti sediakala. Aku menyesalkan juga, Ong Kai, karena luka ini menghalangiku untuk membantumu menangkap dan menewaskan musuh-musuh besar kita itu,” Lo Cin Ki menarik napas dalam-dalam.

“Tidak apa, suhu. Biarlah teecu sendiri yang akan pergi berhadapan dengan mereka!” kata Ong kai dengan kesal dengan menggertakkan giginya.

“Ong-suheng, mengapa kau berkata begitu? Jangan khawatir, aku akan mewakili ayah membantumu!” kata Siok Lan dengan perkasanya.

“Dan akupun bersedia setiap detik menjadi pembantumu, saudara Ong!” kata Tan Hong dengan muka berseri.

“Baik sekali, kalian anak-anak muda memiliki semangat demikian besar,” kata Lo Cin Ki dengan girangnya. “Memang, sudah seharusnya demikianlah watak dan sikap orangorang ksatria, pantang mundur menghadapi bahaya besar dalam membela kebenaran. Dan dengan adanya kalian bertiga, apabila maju bersama, kurasa takkan sangat berat menghadapi dua orang hwesio iblis itu. “

Ong Kai tidak berani membantah, lalu kemudian ia memandang wajah Tan Hong dengan ragu-ragu. Mengapa pemuda maling ini dibawa-bawa? Bukankah pemuda inipun menuntut penghidupan yang tidak layak? Lo Cin Ki agaknya dapat menduga apa yang dipikirkan oleh muridnya, maka ia lalu berkata, “Ong Kai, ketahuilah. Tan Hong ini adalah Gin-kiam Gi-to yang biarpun menjadi maling, akan tetapi bukan untuk diri sendiri. Untuk melakukan kebajikan dengan jalan apa yang akan diambil seseorang, dapat dipilihnya menurut pertimbangannya sendiri. Pokoknya asalkan berdasarkan kebenaran dan kebaikan, maka jalan itu adalah jalan satu-satunya yang dianggap baik. Lagi pula, agaknya kau belum tahu bahwa Tan Hong ini sebenarnya masih suhengmu sendiri!”

Terbelalak kedua mata Ong Kai memandang gurunya yang segera tersenyum, “Bukankah kau pernah mendengar ceritaku tentang suhengku yang bernama Cin Cin Tojin? Nah, pemuda ini adalah murid tunggal Cin Cin Tojin!”

Ong Kai yang berwatak jujur itu menjadi bertambah girang mendengar hal ini, “Ah! Pantas saja ilmu kepandaianmu lebih tinggi dari kepandaianku! Rupanya kau murid Cin Cin Supek. Pantas, pantas! Tan-suheng, kalau demikian, kita adalah masih sekeluarga dan tentu saja kau harus ikut membantuku!”

Tan Hong tersenyum dan merasa girang melihat kejujuran pemuda muka hitam yang mengalami kesedihan ditinggalkan mati oleh tunangannya dalam keadaan menyedihkan itu. Diam-diam ia lalu bertekad untuk membalas sakit hatinya itu.

Demikianlah setelah mendapat doa restu dari Lo Cin Ki, ketiga anak muda itu, Ong Kai, Tan Hong dan Siok Lan berangkat untuk mengejar Bhok Kong Hwesio dan kim Kong Hwesio ke mana saja.

***

Kali ini, karena maklum bahwa musuh-musuh mereka yang hebat itu tentu takkan membiarkan mereka melarikan diri begitu saja. Bhok Kong dan Kim Kong Hwesio melarikan diri dengan cara bersembunyi dan diam-diam. Mereka berdua juga merasa sakit hati sekali. Setelah mengubur jenazah Beng Kong Hwesio di sebuah hutan mereka berjanji dalam hati akan membalaskan sakit hati sute mereka ini. Akan tetapi, kedua hwesio ini maklum bahwa mereka takkan dapat melawan Lo Cin Ki dan pembantu-pembantunya yang gesit dan cekatan itu. Maka keduanya lalu mengambil keputusan untuk kembali ke Pek- hoa-san dan mencari daya upaya untuk menjaga kedatangan musuh dan sekalian membasmi mereka.

Mereka lalu mengambil jalan memutar dan mencari seorang kawan mereka yang bernama Ti Bong Hosiang, seorang hwesio perantau yang memiliki kepandaian tinggi dan jauh lebih lihai daripada mereka sendiri. Mereka bermaksud untuk mengajak kawan ini naik ke Pek-hoa-san bersama beberapa orang kawan lain untuk memperkuat kedudukan mereka sambil menjaga kedatangan Lo Cin Ki dan pembantu-pembantunya.

Sementara itu Tan Hong, Ong Kai dan Siok Lan mencari jejak mereka sambil bertanya-tanya sepanjang jalan. Tiap kali mendengar cerita orang tentang dua orang hwesio gemuk, mereka lalu pergi menyelidik dan mengejar. Akan tetapi hasilnya nihil belaka, karena kedua musuh besar yang dicari-carinya itu telah pergi lagi tanpa meninggalkan jejak. Memang tidak mudah untuk mengejar dua orang musuh yang berkepandaian tinggi dan yang telah berlaku hati-hati dan melarikan diri secara sembunyi-sembunyi. Maka tak lama kemudian, ketiga orang anak muda itu telah kehilangan jejak kedua musuhnya hingga Ong Kai menjadi tambah sakit hati. Pemuda muka hitam ini merasa tidak sabar dan kalau mungkin, menurut hatinya, ingin sekali ia segera bertemu dan menyabung jiwa dengan pembunuh- pembunuh tunangannya yang tercinta itu! Melihat kemurungan Ong Kai, Siok Lan menghibur, “Ong-suheng! Sudahlah, jangan kau bersedih terus, ingat, kesedihan yang berlarut-larut dapat merusak kesehatan, justeru pada waktu ini kau harus dapat menjaga kesehatanmu untuk dapat menunaikan tugasmu membalas dendam!” Kata-kata Siok Lan ini membangkitkan semangat Ong Kai.

“Aku telah bersumpah untuk membunuh kedua iblis itu!” katanya dengan geram.

“Ucapan sumoi tadi benar, Ong-sute. Memang tak perlu kau terlalu berduka cita, sebaliknya yang terpenting ialah kita bersama mencari daya upaya dan jalan bagaimana kita bisa menyusul dan mendapatkan tempat persembunyian mereka itu,” kata Tan Hong.

“Tak dinyana bahwa selain kejam dan jahat, mereka itupun pengecut sekali. Tidak tahu malu, namanya saja besar sebagai tokoh-tokoh Pek-hoa-san, tetapi menghadapi musuh, mereka lari dan bersembunyi!” Ong Kai berkata dengan gemas yang meluap-luap.

Mendengar nama bukit ini, tiba-tiba wajah Tan Hong berseri. “Ah ... ! Benar juga! Tentu mereka itu telah lari kembali ke Pek-hoa-san! Mari kita mengejar ke sana! Tahukah kalian di mana Pek-hoa-san itu?”

Kedua kawannya menyatakan tidak tahu, maka mereka lalu mulai mencari keterangan di mana adanya Bukit Pek- hoa-san. Dari para penduduk yang sering mengadakan perantauan mereka mendapat keterangan bahwa Pek-hoa- san adalah sebuah bukit di barat yang letaknya jauh juga dari tempat itu. Sesudah mereka mendapat keterangan, hari ini juga mereka lalu memulai perjalanan, mereka ke barat untuk mencari musuh-musuh mereka di sarang kedua hwesio itu. Malam hari itu mereka bermalam di sebuah rumah penginapan. Tan Hong sekamar dengan Ong Kai, sedangkan Siok Lan mengambil kamar terpisah seorang diri.

Pada waktu itu, bekas-bekas kerusakan yang diakibatkan oleh bencana banjir masih terasa sekali, maka Tan Hong tidak melupakan pekerjaannya yang telah biasa ia lakukan. Ia lalu berpamitan dengan Siok Lan dan Ong Kai untuk pergi sebentar mencuri uang dari rumah para hartawan, lalu kemudian membagi-bagikannya kepada penderita korban banjir.

Ong Kai berkata, “Aah, aku tidak perduli akan segala pekerjaan mencuri ini! Kalau ini memang sudah menjadi tugasmu untuk menolong sesama manusia yang menderita sengsara, silahkan kaupergi, Tan-suheng. Akan tetapi berhati-hatilah.”

Tan Hong tersenyum. “Biarlah kau tinggal di kamar saja, sute. Memang pekerjaan ini adalah pekerjaanku sendiri yang tak dapat kutinggalkan. Semalam saja aku tidak melakukan pekerjaan ini, aku merasa seakan-akan berhutang kepada rakyat dusun yang menderita dan sengsara yang perlu ditolong. Nah! Sute, dan kau juga sumoi, tinggallah baik-baik di sini, aku akan pergi malam ini dan besok pagi-pagi aku tentu telah kembali ke sini untuk melanjutkan perjalanan kita.”

Ketika Tan Hong telah melayang naik ke atas genteng untuk melakukan pekerjannya sebagai Maling Budiman, tiba-tiba dari bawah melompat pula bayangan orang yang gerakannya tidak kalah gesitnya. Tan Hong menengok dan ternyata bahwa yang mengejarnya adalah Siok Lan sendiri!

“Sumoi, mengapa kau menyusul?” tanyanya. “Tan-suheng, perkenalkanlah aku ikut denganmu. Aku menjadi tertarik dan ingin sekali menyaksikan hasil pekerjaanmu. Aku ingin menambah pengalamanku.”

“Eh ... eh ... ! Kau ingin belajar menjadi ... maling?” Tan Hong menggoda, akan tetapi hatinya girang bukan alang kepalang karena ditemani oleh sumoinya yang telah merebut hati sanubarinya itu.

Wajah Siok Lan memerah. “Suheng! Jangan kau memperolok-olokkanku! Dulu aku masih belum mengerti betul tentang sifat pekerjaanmu ini, bahkan sekarangpun aku masih belum tahu jelas. Oleh karena itu sekarang aku hendak menyaksikan sendiri dan kemudian barulah aku dapat memutuskan apakah pekerjaanmu ini baik atau tidak. “

Di dalam hatinya Tan Hong berkata seorang diri, “Hmm! Jadi kau hendak ... mengujiku? Baik ... nona manis! Akan kaulihat nanti bahwa aku Tan Hong bukanlah seorang jahat.” Akan tetapi kepada Siok Lan ia hanya tersenyum dan berkata, “Baiklah sumoi, akan tetapi apakah kau sudah memberi tahu kepada Ong-sute? Jangan-jangan nanti ia mencarimu dan merasa khawatir bila ia tidak mendapatkan kau berada di dalam kamarmu.”

“Perlu apa memberi tahu orang lain? Segala sesuatu yang kulakukan tak perlu harus mendapat izin dulu dari siapapun juga!”

Diam-diam Tan Hong merasa heran juga melihat kekerasan hati gadis ini, akan tetapi ia tidak berkata apa- apa, hanya mengajaknya. “Marilah kita berangkat, sumoi. Dan jangan lupa, kalau berada di rumah yang kita jadikan sasaran, harap kau suka menutupi mukamu dengan saputangan agar tak mudah dikenal orang.” Siok Lan hendak membantah dan menyatakan bahwa perbuatan ini bersifat penakut, akan tetapi Tan Hong mendahuluinya dan berkata, “Ingat, sumoi! Pada saat ini kita adalah maling, dan tahukah kau apa kewajiban maling? Yakni, seorang maling harus mengambil barang atau uang orang dengan diam-diam dan menjaga sedapat mungkin agar jangan sampai dikenal mukanya!”

Siok Lan tak dapat membantah lagi, lalu mangangguk sambil tersenyum pula. Mereka lalu melompat pergi dan penduduk kota itu tentu akan geger dan ribut apabila mereka mengetahui bahwa di saat itu diatas genteng- genteng rumah mereka terdapat dua sosok bayangan hitam yang gerakannya gesit sekali, yakni sepasang Maling Budiman sedang menjalankan tugasnya!

Dengan matanya yang tajam Tan Hong mencari-cari rumah-rumah gedung yang besar dan yang tak salah lagi menjadi tempat kediaman seorang hartawan, baik ia seorang pedagang maupun seorang pembesar. Akhirnya ia melihat sebuah gedung yang mempunyai wuwungan tinggi. Gedung ini besar sekali, temboknya tebal dan disekeliling tembok tebal dan tinggi berwarna hijau. Tan Hong memberi tanda kepada Siok Lan dan keduanya lalu menggunakan ilmu loncat mereka dan bagaikan dua ekor burung kepinis mereka melayang masuk ke dalam taman itu.

“Sumoi, ikuti saja aku,” Bisik Tan Hong yang segera maju menghampiri gedung itu dengan jalan menyusup di antara tumbuh-tumbuhan di dalam taman. Hati Siok Lan berdebardebar juga karena selama hidupnya baru kali ini ia bertindak dengan jalan sembunyi dan menyusup-nyusup sebagai lakunya seorang maling tulen! Ia merasa heran sekali karena dadanya berdebar gembira dan ia teringat akan masa kanak-kanak dulu ketika dengan Kiu Hwa ia bermain kejar-kejaran dan sembunyi-sembunyian. Pada saat itu iapun merasa girang dan dadanya berdebar gembira seperti sekarang ini, rasa gembira dan berdebar yang ditimbulkan oleh rasa takut kalau-kalau dilihat orang! Ia ikut menyusup-nyusup di belakang Tan Hong dan kagum melihat betapa Tan Hong bergerak demikian gesit dan cepat, tetapi amat hati-hati hingga daun-daun kering yang terpijak oleh pemuda itu seakan-akan tak mengeluarkan suara! Iapun lalu berjalan dengan ujung kakinya agar tidak menimbulkan suara berisik.

Dari balik batang pohon, Tan Hong mengintai ke sekeliling gedung itu. Setelah merasa pasti bahwa di situ aman dan tidak ada orang, ia lalu memberi isyarat kepada sumoinya dan dengan cepat sekali tubuhnya melayang ke atas genteng gedung itu. Siok Lan lalu ikut melompat. Kembali ia mendapatkan Tan Hong mendekam di atas wuwungan bagaikan seorang sedang bersembunyi. Iapun ikut mendekam pula dan keduanya lalu memandang ke sekeliling dengan mata tajam. Ketika tak disengaja mereka saling pandang, hampir Siok Lan tak dapat menahan ketawanya, demikian pula Tan Hong. Entah mengapa, mereka merasa gembira dan geli, merasa bahwa mereka kembali ke masa kanak-kanak dan sedang bermainmain sembunyi untuk dicari oleh kawan lain.

Setelah mencari letak kamar besar di dalam gedung itu, Tan Hong lalu membuka genteng dengan cepat kemudian mereka lalu mengintai ke dalam. Dengan hati ingin tahu sekali, Siok Lan-pun mengincar ke dalam kamar.

Tan Hong dan Siok Lan yang mengintai di atas genteng melihat sebuah kamar besar yang mewah dan indah. Di dalam kamar itu duduk seorang setengah tua bersama isterinya. Mereka ini adalah pemilik rumah dan mereka sedang sibuk bekerja. Yang kali-laki menulis dalam sebuah buku, mencatat-catat dan yang perempuan sedang menghitung uang emas yang bertumpuk-tumpuk di atas meja!

Melihat betapa Tan Hong diam saja tak bergerak, gadis itu menjadi heran dan memberi isyarat dengan tangannya sambil menuding ke bawah. Akan tetapi Tan Hong menggelengkan kepala, bahkan lalu berdiri menjauhi tempat itu sambil memberi tanda kepada Siok Lan supaya ikut. Setelah mereka berada agak jauh dari kamar itu, Tan Hong berkata, “Kita tak dapat bertindak sekarang, mereka masih sibuk dan belum pergi tidur, “ katanya perlahan.

Siok Lan merasa heran sekali. “Mengapa kau takuti mereka suheng? Bukankah mereka itu orang-orang lemah yang mudah saja disingkirkan?”

Sekali lagi Tan Hong menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau masih belum memahami sifat pekerjaanku ini, sumoi. Ingatlah bahwa aku adalah seorang maling, bukan seorang perampok yang mengambil barang orang dengan kekerasan dan menggunakan senjata. Aku hanya mengambil uang orang tanpa diketahui oleh pemiliknya.”

Siok Lan tidak puas mendengar keterangan ini. “Kalau kau tidak mau terlihat oleh mereka, bukankah ada jalan lain yang lebih mudah? Mengapa harus menanti sampai mereka tidur?” Bagaimana kalau mereka semalam ini tidak tidur?”

“Kita harus menanti di atas genteng.”

“Apa ... ? Menanti di sini sampai mereka tidur dan membiarkan diri kedinginan di atas genteng menjadi korban tiupan angin malam yang dingin ini? Alangkah bodohnya!”

Tan Hong tersenyum. “Memang pekerjaan ini memerlukan kesabaran besar, sumoi. Atau, barangkali kau mempunyai cara lain yang lebih sempurna?” Siok Lan merasa bahwa sekarang iapun telah menjadi kawanan maling yang merundingkan cara bagaimana untuk mencuri barang orang lain! Ia merasa mendapat kegembiraan luar biasa dalam pekerjaan baru yang tadinya dianggap hina ini.

“Mengapa kita tidak membuat mereka tidak berdaya tanpa terlihat? Dengan menggunakan tiam-hwat (ilmu menotok urat) yang dilakukan dengan sambitan benda keras, kita mudah saja membuat mereka tak berdaya!”

Tan Hong mengangguk-angguk dan menganggap bahwa usul ini baik juga. Memang kalau ia mau, mudah saja ia membikin kedua orang di dalam kamar itu tidak berdaya tanpa mereka sempat melihat dirinya. Ia lalu bermufakat dan keduanya lalu turun mencari beberapa buah kerikil yang halus, kemudian keduanya melompat pula ke atas dan mengintai dari atas genteng.

Kedua suami isteri hartawan yang tidak mendengar sesuatu dan tak pernah menyangka akan datangnya bahaya itu masih sibuk bekerja, yang perempuan menghitung- hitung uang, yang laki-laki mencatatkan besarnya hasil yang mereka dapat dalam perdagangan mereka. Tiba-tiba dari atas genteng, melalui lubang yang dibuat oleh Tan Hong, dua butir batu kecil melayang cepat dan dengan tepat dua butir batu kecil itu menotok jalan darah di leher suami isteri hartawan itu. Tanpa dapat mengeluarkan suara apa- apa, keduanya menjadi lemas dan pingsan di tempat masing-masing!

-oo0dw0oo- 

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar