Jilid 08
Tiba-tiba mereka melihat seorang pemuda keluar dari pintu diikuti oleh tiga orang ketua mereka. Semua anggauta Pek-lian-kauw terkejut dan siap siaga ketika enambelas orang rekan mereka itu mengatakan bahwa itulah pemuda yang telah menjatuhkan mereka tadi. Semua anggauta Pek-lian-kauw mencabut senjata, menanti perintah.
Akan tetapi Kam Ki yang tiba di pekarangan lebih dulu, segera berseru kepada para anggauta. “Para anggauta Pek-lian-kauw, dengarlah!” serunya lantang karena didorong tenaga sakti yang kuat. “Tiga orang pimpinan kalian telah bersepakat dengan aku untuk bertanding. Mereka bertiga akan mengeroyok aku dan kalau aku kalah dan mati, sudahlah lupakan saja. Akan tetapi kalau aku yang menang, mereka sudah berjanji akan mengangkat aku menjadi ketua Pek-lian-kauw cabang ini dan mereka bertiga menjadi pembantuku. Kalian semua kuperingatkan agar jangan ada yang campur tangan hendak mengeroyok aku karena sjapa yang bergerak, akan kubunuh! Apakah kalian semua setuju? Yang tidak setuju boleh maju!”
Semua anggauta Pek-lian-kauw diam dan tidak ada yang berani maju karena tiga orang ketua mereka tidak memberi isyarat kepada mereka untuk maju. Akan tetapi dua orang di antara mereka yang terkenal jagoan, agaknya hendak mencari muka kepada tiga orang pimpinan mereka. Dengan golok di tangan mereka maju.
“Kami akan membunuhmu, orang muda!” teriak mereka sambil mengacungkan golok.
Kam Ki berkemak-kemik menggunakan ilmu sihirnya, lalu menudingkan telunjuknya ke arah dua orang itu dan membentak dengan suara yang mengandung getaran dan wibawa amat kuat.
“Kalian berdua boleh saling bunuh! Cepat lakukan!”
Kemudian terjadilah hal yang mengherankan dan mengejutkan semua orang. Dua orang murid Pek-lian- kauw itu kini menggerakkan golok mereka dan saling serang dengan sungguh-sungguh! Pek-lian-kauw terkenal sebagai perkumpulan yang tidak asing, dengan segala ilmu sihir dan racun. Maka, melihat betapa dua orang anggauta itu demikian mudah terjatuh ke bawah pengaruh bentakan pemuda itu, tiga orang pimpinan Pek-lian-kauw juga terkejut sekali.
Ang-bin Moko, ketua pertama cabang Pek-lian-kauw itu yang bermuka merah, terkejut melihat dua orang anggautanya kini saling serang menggunakan golok dengan mati-matian. Dia cepat mengerahkan tenaga sihirnya untuk memunahkan kekuatan sihir yang menguasai dua orang anggautanya sehingga mereka saling menyerang untuk membunuh itu.
“Kalian berdua, hentikan perkelahian itu! Aku, Ang-bin Moko ketua kalian, memerintahkan agar kalian berhenti berkelahi dan mundur!”
Akan tetapi bentakan nyaring Ang-bin Moko itu seperti lalunya angin saja, lewat tanpa bekas dan dua orang itu masih saling serang dengan mati-matian. Akhirnya, keduanya berseru kesakitan dan keduanya roboh terpelanting, masing-masing menderita luka parah oleh bacokan golok! “Masih adakah yang tidak setuju dan hendak mengeroyok aku?” Kam Ki berseru lantang, terdengar oleh semua anggauta Pek-lian-kauw yang berada di situ. Kini tidak ada seorangpun berani maju menentang.
“Thio Kam Ki, engkau berani membunuh dua orang anggauta kami!” bentak Ang-bin Moko.
Kam Ki tersenyum. “Anggauta Pek-lian-kauw sepatutnya menaati perintah pimpinannya. Kalian bertiga sudah berjanji untuk pi-bu (mengadu kepandaian silat) melawan aku, akan tetapi dua orang itu hendak maju mengeroyok. Maka mereka berdua selayaknya dihajar agar para anggauta lainnya tidak berani membangkang terhadap keputusan yang diambil pemimpin mereka. Sudahlah, mari kita mulai pertandingan ini. Aku sudah siap!”
Tiga orang ketua cabang Pek-lian-kauw itu mengepung Kam Ki. Mereka sudah mencabut pedang dan kini mereka siap mengeroyok pemuda itu dengan membentuk Sha-kak-kiam-tin (Barisan Pedang Segi Tiga). Ang-bin Moko berdiri di depan Kam Ki, Pek-bin Moko di sebelah kanannya dan Hek-bin Moko di sebelah kirinya. Mereka melintangkan pedang di depan dada dan tangan kiri menuding ke depan dengan dua jari, yaitu jari penunjuk dan jari tengah.
Melihat pemuda itu masih berdiri santai dan sama sekali tidak membawa senjata apapun, Ang-bin Moko merasa tidak enak. Mereka bertiga terkenal sebagai orang-orang yang tangguh, bagaimana sekarang hendak mengeroyok seorang pemuda yang bertangan kosong padahal mereka bertiga menggunakan pedang? Tentu kebesaran mereka merosot dalam pandangan para anak buah mereka yang berkumpul semua di pekarangan itu dan menyaksikan pertandingan yang akan dimulai.
“Thio Kam Ki, keluarkan senjatamu dan bersiaplah. Kami akan segera menyerangmu!” bentak Ang-bin Moko.
Kam Ki tersenyum mengejek. “Tingkat kepandaian kalian bertiga masih jauh terlampau rendah bagiku, untuk apa aku menggunakan senjata? Senjataku adalah kedua pasang kaki tanganku yang cukup untuk mengalahkan kalian dan pedang kalian. Nah, mulailah, aku telah siap!”
Semua orang merasa heran melihat Kam Ki yang berkata siap itu sama sekali tidak memasang kuda-kuda seperti orang yang hendak menggunakan ilmu silat untuk bertanding. Dia berdiri santai saja, kedua tangan tergantung di kanan kiri tubuhnya, sama sekali tidak tampak membuat persiapan.
Tiga orang pemimpin Pek-lian-kauw itu menjadi marah sekali. Sikap dan kata-kata pemuda itu benar- benar amat memandang rendah kepada mereka!
“Bocah sombong! Engkau mencari kematianmu sendiri!” Setelah berkata demikian, Ang-bin Moko memberi isyarat kepada dua orang rekannya. Tiga orang itu lalu menggerakkan golok mereka, diputar- putar di atas kepala sehingga berubah menjadi sinar bergulung-gulung kemudian sinar-sinar tiga batang golok itu meluncur cepat ketika mereka menerjang ke arah tubuh Kam Ki.
Thio Kam Ki sama sekali bukan sekadar membual ketika tadi mengatakan bahwa tingkat kepandaian tiga orang lawannya itu masih jauh di bawah tingkatnya. Hal ini diketahuinya benar setelah tadi dia menghadapi Hek-bin Moko. Biar ada lima orang atau lebih setingkat Hek-bin Moko mengeroyoknya, dia tentu akan mampu mengalahkan mereka. Apalagi hanya tiga orang! Biarpun mereka bergerak menyerang dengan cepat dan kuat, tubuh Kam Ki berkelebatan dan tiga orang itu menjadi terkejut sekali karena gerakan Kam Ki sedemikian cepatnya sehingga terkadang lenyap dari pandang mata mereka. Tiga orang ketua yang marah dan penasaran itu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian, menyerang kalang kabut.
Kam Ki memang hendak memamerkan kepandaiannya. Setelah berkelebatan di antara tiga gulungan sinar golok, membuat anggauta Pek-lian-kauw yang menonton pertandingan itu terkagum-kagum, dia memperlihatkan kepan-daiannya yang lebih mengagumkan lagi. Kini dia mulai menangkis tiga batang golok itu dengan kedua tangannya! Tangan telanjang itu begitu saja menangkisi mata golok yang tajam dan berat, dan sama sekali tidak terluka, bahkan setiap kali tangan itu menangkis, tiga orang itu merasa betapa tangan mereka terguncang dan terasa panas.
Tiba-tiba Kam Ki membuat gerakan menyerang. Dia merasa sudah cukup memamerkan kepandaiannya. “Lepaskan golok. !!” bentaknya dan kedua tangannya menyambar-nyambar tiga kali. Dengan tepat
tangannya menotok ke arah pergelangan tangan yang memegang golok.
Tiga orang itu berteriak dan golok mereka terlepas dari pegangan. Mereka terkejut dan cepat berlompatan ke belakang, lalu mereka berkumpul dan sambil berdiri berjajar, mereka mengerahkan dan menyatukan tenaga sakti lalu mendorongkan tangan mereka, menyerang Kam Ki dengan pukulan jarak jauh!
Melihat ini, Kam Ki menyambut serangan mereka dengan mendorong kedua telapak tangan ke depan. Hawa pukulan dahsyat menyambar keluar dari kedua telapak tangannya itu.
“Wuuuuttt…… blarrrrr……!” Tubuh tiga orang ketua Pek-lian-kauw itu terdorong ke belakang, terjengkang roboh bergulingan!
Masih untung bagi mereka bahwa Kam Ki tidak mengerahkan seluruh tenaganya karena kalau demikian halnya, mereka tentu tewas. Kini mereka hanya merasa dada mereka sesak karena tenaga sendiri yang dipaksa membalik.
Setelah terengah-engah sejenak, mereka merangkak bangkit dan menghampiri Kam Ki. Mereka bertiga takluk karena yakin benar bahwa pemuda ini memang memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada tingkat mereka. Mereka bertiga lalu memberi hormat dengan membungkuk dalam dan Ang-bin Moko sebagai pemimpin pertama, lalu berkata lantang sehingga terdengar oleh semua aggauta.
“Kami bertiga setuju mengangkat engkau menjadi ketua cabang Pek-lian-kauw di sini!”
Mendengar ini Kam Ki tersenyum. “Terima kasih, aku akan memimpin kalian dan menjadikan perkumpulan ini menjadi besar dan jaya!” Kemudian dia menghadapi para anggauta yang sekitar limapuluh orang itu dan berkata kepada mereka. “Apakah kalian semua setuju kalau aku, Thio Kam Ki, menjadi pangcu (ketua) kalian?”
Karena melihat tiga orang pimpinan mereka kalah dalam pertandingan dan tadi Ang-bin Moko mengakui pemuda itu sebagai ketua, semua anak buah itu berseru riuh rendah.
“Setujuuuu……!”
Ang-bin Moko berseru kepada mereka. “Mari beri hormat kepada Thio Kam Ki, ketua kita yang baru!” Mendengar ini, semua anggauta menjatuhkan diri berlutut menghadap Kam Ki. Pemuda ini bertolak pinggang dan tersenyum gembira. Tiba-tiba saja dia mendapatkan kedudukan sebagai ketua dan dihormati banyak orang! Dia merasa bangga sekali. Sekarang dia mempunyai tempat tinggal dan banyak anak buah.
Demikianlah, sejak hari itu Kam Ki menjadi ketua cabang Pek-lian-kauw. Setelah dia menjadi pemimpin, Pek-lian-kauw semakin berani melakukan kejahatan, bahkan pernah Kam Ki memimpin tiga orang pembantunya untuk mencuri dan menguras habis harta dari gedung seorang hartawan dan seorang pembesar di kota Kong-koan. Dia memberi tugas pula kepada Pek-bin Moko dan Hek-bin Moko untuk merampok patung emas Kwan-im Pouwsat yang berada di kuil Ban-hok-si di dekat kota Ki-lok setelah dia mendengar bahwa patung itu selain terbuat dari emas, juga merupakan benda bersejarah yang amat berharga.
Pek-bin Moko dan Hek-bin Moko lalu mengajak Ban Kit, Li Hoat, dan Souw Ban Lip, tiga orang tokoh jahat yang masuk menjadi anggauta cabang Pek-lian-kauw. Lima orang ini pergi ke Kuil Ban-hok-si dan seperti telah diceritakan di bagian depan kisah ini, di kuil itu mereka dihalangi oleh Hartawan Ui, yaitu Ui Cun Lee dan dua orang puteranya, Ui Kiang dan Ui Kong yang dibantu oleh Ong Siong Li dan Lim Bwe Hwa. Seperti telah kita Ketahui, ketika melindungi Ui Kiang, Hartawan Ui tewas oleh pedang Pek-bin Moko yang tadinya ditujukan kepada Ui Kiang. Terjadilah perkelahian seru antara Ui Kong, Ong Siong Li, dan Lim Bwe Hwa melawan lima orang Pek-lian-kauw itu. Akhirnya empat orang penjahat, yaitu Hek-bin Moko, Li Hoat, Souw Ban Lip, dan Ban Kit tewas. Akan tetapi Pek-bin Moko yang membunuh Hartawan Ui dapat melarikan diri sambil menggondol patung emas Dewi Kwan Im.
Setelah Pek-bin Moko kembali ke sarang Pek-lian-kauw, Kam Ki memarahinya! “Sungguh tolol!” dia memaki marah kepada Pek-bin Moko yang hanya menundukkan mukanya. “Biarpun patung emas ini dapat kaubawa pulang, akan tetapi kita kehilangan Hek-bin Moko ditambah tiga orang lagi. Empat orang pembantuku ditukar sebuah patung emas. Ini rugi besar namanya!”
“Harap pangcu (ketua) suka memaafkan sute Pek-bin Moko,” kata Ang-bin Moko membela adik seperguruannya. “Menurut ceritanya tadi, dia dan sute Hek-bin Moko dan tiga orang pembantu bertemu dengan tiga orang pendekar yang lihai. Tentu saja hal ini tidak disangka-sangka sebelumnya.”
Kam Ki menganguk-angguk, melihat kebenaran dalam pembelaan Ang-bin Moko. “Hemm, siapakah tiga orang muda itu? Kalau engkau tahu siapa mereka dan di mana tempat tinggalnya, aku akan membunuh mereka!” Dia berkata penasaran karena dia kehilangan empat orang pembantunya yang dapat diandalkan.
“Perkelahian itu terjadi tiba-tiba di antara banyak orang yang mengunjungi kuil sehingga kami tidak mempunyai kesempatan untuk saling bertanya nama, pangcu,” kata Pek-bin Moko. “Mereka adalah seorang gadis cantik yang pandai menggunakan senjata rahasia jarum dan permainan pedangnya mengeluarkan suara seperti suara kumbang terbang. Yang dua lagi adalah dua orang pemuda tampan, yang seorang bertubuh pendek dan seorang lagi tinggi tegap.”
“Hemm, kalau tidak mengetahui namanya, bagaimana aku dapat menemukan mereka?” kata Kam Ki penasaran. “Harap pangcu tidak khawatir,” kata Ang-bin Moko.” Saya dapat memastikan bahwa tanpa mencari merekapun, pangcu akan dapat berhadapan dengan mereka. Menurut cerita sute Pek-bin Moko tadi, dia telah membunuh ayah pemuda itu. Maka, besar sekali kemungkinan mereka bertiga akan datang ke sini untuk mencari sute Pek-bin Moko. Sute Hek-bin Moko tewas dan tentu mereka akan dapat melihat baju dalam Hek-bin Moko yang bergambar bunga teratai sehingga mereka akan dapat mengetahui bahwa sute Pek-bin Moko adalah seorang dari Pek-lian-kauw. Maka, tentu mereka akan mengejar ke sini!”
“Bagus!” seru Kam Ki. “Biarkan mereka datang, akan kubinasakan mereka bertiga!”
“Akan tetapi, pangcu,” kata Pek-bin Moko, “gadis pendekar itu, ia cantik jelita seperti bidadari!”
Si muka putih ini sudah tahu akan kesukaan ketua baru itu karena setelah menjadi ketua di situ, tiada hentinya Kam Ki mengumbar nafsunya dengan wanita-wanita cantik. Dia mendapatkan mereka dengan bujukan maupun dengan paksaan, dan setelah satu dua bulan dia menjadi bosan lalu wanita itu diusirnya dan dia mencari penggantinya! Maka, mengetahui akan kesukaan ketuanya ini, Pek-bin Moko menceritakan tentang kecantikan Lim Bwe Hwa.
Wajah Kam Ki berseri. “Begitukah? Bagus, kalau begitu, setelah mereka bertiga muncul, biarlah aku sendiri yang akan menghadapi gadis itu dan menangkapnya, ha-ha-ha!”
Mulai hari itu, Kam Ki memerintahkan para anggautanya untuk siap siaga dan penjagaan dilakukan secara ketat siang malam agar segera dapat diKetahui kalau tiga orang musuh itu datang. Ang-bin Moko dan Pek-bin Moko yang me-mimpin para anggauta itu. Kam Ki sendiri santai saja karena kesombongannya membuat dia meremehkan siapa saja dan memandang rendah tiga orang yang berani memusuhi Pek-lian-kauw dan telah membunuh seorang pembantunya, yaitu Hek-bin Moko.
Pek-hwa Sianli merasa sakit hati sekali terhadap Thio Kam Ki. Sekali ini baru Pek-hwa Sianli merasakan bahwa ia benar-benar jatuh cinta kepada Thio Kam Ki. Bukan sekadar melampiaskan berahi seperti selama ini ia lakukan terhadap para pemuda lain. Ia merasa kehilangan, kesepian dan dunia kehilangan keindahannya setelah hatinya menjadi sakit karena ulah Kam Ki. Ia tahu benar bahwa Kam Ki adalah seorang perjaka yang masih hijau ketika pertama kali bertemu dengannya. Akan tetapi, baru tiga bulan saja mereka bermesraan, tiba-tiba ia memergoki pemuda itu bermain gila dengan dua orang pembantunya!
Biarpun ia telah membunuh A-kui dan A-hui, namun hatinya menjadi semakin sakit melihat Kam Ki minggat meninggalkannya. Ini berarti bahwa pemuda itu tidak cinta padanya. Dan inilah yang menyakitkan. Timbul rasa bencinya terhadap pemuda itu. Ia ingin membunuhnya, akan tetapi iapun tahu benar bahwa tidak mungkin ia dapat melakukan ini karena tingkat kepandaiannya kalah jauh dibandingkan kepandaian Kam Ki.
Kini ia tinggal seorang diri dalam pondoknya di lereng Bukit Ayam Emas itu. Kam Ki telah minggat. Dua orang pembantunya telah tewas dan dikuburkan di kebun belakang pondok. Selama belasan hari Pek- hwa Sianli duduk melamun, makan tidak enak dan tidur tidak nyenyak. Kalau ia mengenang kehadiran Kam Ki di pondok itu, hatinya dipenuhi rasa rindu dan sekaligus dendam! Nafsunya untuk mencari pemuda-pemuda kini juga hilang bersama hilangnya Kam Ki.
Pagi hari itu kembali Pek-hwa Sianli melamun. Ia duduk di atas bangku yang berada di serambi depan. Tiba-tiba ia melihat dua sosok bayangan orang berkelebat memasuki pekarangan pondok itu. Ketika ia memperhatikan, ternyata ada dua orang gadis telah berada di pekarangan dan kini berjalan menghampirinya sambil tersenyum manis. Wajah Pek-hwa Sianli yang tadinya muram, kini berubah dan bagaikan kilat sebuah gagasan memasuki pikirannya. Mereka inilah yang akan mampu membunuh Kam Ki!
Dua orang gadis itu pasti akan membuat siapa saja yang melihat mereka menjadi kagum dan heran. Kagum karena mereka berdua memang cantik manis, berusia kurang lebih sembilanbelas tahun, berpakaian ringkas dan di punggung mereka tergantung sebatang pedang. Kulit mereka putih mulus, rambut yang hitam panjang itu digelung dengan model gadis kota, pakaian mereka juga rapi walaupun tidak mewah.
Wajah bulat telur itu manis sekali, dengan sepasang mata bintang, hidung mancung dan mulut menggairahkan. Yang mengherankan orang adalah karena keduanya itu persis sama. Wajah manis yang sama, bentuk tubuh ramping dengan lekuk lengkung sempurna juga sama, bahkan pakaian juga serupa. Akan sulit bagi orang untuk dapat membedakan antara mereka!
Dua orang gadis itu memang merupakan gadis kembar. Nama mereka adalah Can Kim Siang dan Can Gin Siang dan mereka berdua adalah piauw-moi (adik misan) Pek-hwa Sianli. Sejak mereka berusia sembilan tahun, ayah ibu mereka tewas ketika terjadi perang saudara antara Kaisar Hui Ti dan Pangeran Yung Lo, paman kaisar itu sendiri, yang akhirnya dimenangkan oleh Pangeran Yung Lo yang kemudian menjadi kaisar (1403-1424). Anak kembar yang yatim piatu itu lalu diajak pergi oleh Pek-hwa Sianli yang menjadi piauw-ci (kakak misan) mereka.
Pek-hwa Sianli mendidik kedua orang adik misannya itu selama tujuh tahun dan karena kedua orang gadis kembar ini memang berbakat baik sekali, maka dalam waktu tujuh tahun boleh dibilang semua ilmu yang dikuasai Pek-hwa Sianli telah ia turunkan kepada dua orang gadis kembar itu. Kemudian, karena dua orang adik misannya itu telah menjadi gadis-gadis berusia enambelas tahun, Pek-hwa Sianli merasa tidak leluasa mempermainkan pemuda. Maka, ia lalu mengirim kedua orang adik kembarnya itu ke Hoa-san untuk berguru kepada Hoa-san Kui-bo (Biang Setan Gunung Hoa-san) yang menjadi bibi gurunya.
Nah, kini tiga tahun telah lewat dan tiba-tiba dua orang gadis kembar itu muncul di pekarangan rumahnya. Dari gerakan mereka yang demikian cepat ketika berkelebat datang, Pek-hwa Sianli menduga bahwa kini tingkat kepandaian kedua orang adik misannya itu tentu telah lebih tinggi daripada tingkatnya sendiri dan mereka berdualah yang akan mampu membalaskan sakit hatinya!
“Sian-li……” Dua orang gadis itu berseru hampir berbareng. Memang Pek-hwa Sianli sejak dulu minta kepada kedua orang adik misannya itu agar memanggil Sian-li kepadanya.
“A-kim dan A-gin……!” Pek-hwa Sianli berseru gembira dan melompat dari bangkunya menyambut mereka. Ketiganya lalu berangkulan sambil tertawa gembira. Memang ada hubungan karib di antara mereka. Kedua orang gadis kembar itu merasa berhutang budi kepada Pek-hwa Sianli.
“Aduh, kalian semakin cantik saja dan…… dan semakin mirip satu sama lain. Aku sendiri sampai tidak dapat membedakan mana A-kim dan mana A-gin. Coba kalian tersenyum lebar!”
Dua orang gadis itu tersenyum geli dan Pek-hwa Sianli juga tertawa lalu merangkul seorang di antara mereka. “Nah, sekarang aku tahu. Engkau yang A-kim dan ia itu A-gin. Betul, kan?” “Wah, pandanganmu tajam sekali, Sian-li. Bagaimana engkau dapat begitu cepat mengenal kami?” tanya A-kim.
“Mudah saja. Sejak dulu kuKetahui bahwa rahasia perbedaan di antara kalian ada pada gigi. Gigi A-kim agak gingsul (bertumpuk), akan tetapi justeru itu menambah manis!”
Memang benar. Kalau dua orang gadis kembar itu menutup mulut mereka, bahkan Pek-hwa Sianli sendiri yang mengenal mereka sejak kecil dan tinggal serumah dengan mereka selama tujuh tahun, tidak akan mampu melihat perbedaan antara mereka.
Mereka lalu diajak masuk oleh Pek-hwa Sianli dan mereka bertiga duduk di ruangan dalam. Dua orang gadis kembar itu memandang ke kanan kiri.
“Kenapa begini sepi, Sian-li?” tanya A-kim, sebutan yang digunakan Pek-hwa Sianli untuk mempersingkat nama Can Kim Siang.
“Di mana A-hui dan A-kui, Sian-li?” tanya pula A-gin atau Can Gin Siang.
Mendengar pertanyaan ini, tiba-tiba wajah Pek-hwa Sianli yang tadinya gembira itu berubah menjadi muram dan alisnya berkerut, matanya mencorong mengandung kemarahan.
“Eh, ada apakah, Sian-li?” tanya A-kim.
“Aku telah membunuh mereka dan mayat mereka kukubur di kebun belakang!”
“Kaubunuh mereka? Akan tetapi…… kenapakah?” tanya A-gin, terkejut mendengar bahwa Pek-hwa Sianli membunuh dua orang pelayan yang juga dapat dibilang murid kakak misannya itu.
Pek-hwa Sianli menghela napas panjang beberapa kali lalu memandang wajah kedua orang gadis kembar itu. Ia melihat betapa mereka itu ingin tahu sekali.
“Kalau diingat membuat hatiku terasa seperti ditusuk-tusuk. A-kim dan A-gin, aku merasa sakit hati sekali. Aku dikhianati, dibikin malu dan dihina orang tanpa aku dapat menghajarnya karena aku. aku
kalah olehnya. Ah, kalau saja kalian mau menolongku, mencari dan membunuh jahanam itu. Hanya kalian berdualah yang menjadi tumpuan harapanku untuk membalas dendam ini.”
“Sian-li, apakah yang terjadi? Ceritakan kepada kami,” kata A-kim. “Percayalah, kami berdua pasti akan membelamu.”
“Beberapa bulan yang lalu,” Pek-hwa Sianli mulai bercerita. “Aku bertemu dengan seorang laki-laki dan aku jatuh cinta padanya. Dia pandai merayuku dan berjanji akan menikah denganku. Karena terbujuk oleh rayuannya dan karena aku memang kagum dan cinta padanya, aku percaya. Dia bahkan tinggal di rumah ini selama tiga bulan. Kami telah menjadi suami isteri, hanya tinggal menanti saat yang baik untuk merayakan pernikahan kami. Akan tetapi tiba-tiba…… belasan hari yang lalu aku memergoki calon suamiku itu berjina dengan A-hui dan A-kui! Melihat pengkhianatan itu, aku menjadi marah, malu dan merasa terhina, maka aku membunuh A-hui dan A-kui! Akan tetapi ketika aku menyerang laki-laki itu, aku. kalah olehnya. Aku bahkan diejek dan dihinanya, dimaki-maki karena aku membunuh A-hui dan A-kui....... ah, dia menghinaku dan dendam di hatiku ini baru akan hapus kalau dia dapat ter-bunuh! Maka, kedatangan kalian berdua inilah yang menimbulkan harapan dalam hatiku. A-kim dan A-gin, kalian carilah laki-laki itu dan bunuhlah dia! Aku akan berterima kasih sekali kepada kalian kalau kalian mau dan dapat membunuhnya!”
A-kim dan A-gin saling pandang. Tentu saja mereka ikut bersedih dan marah mendengar cerita Pek-hwa Sianli. Biarpun mereka merasa segan mencampuri urusan cinta gagal karena tindakan serong ini, namun mereka berdua merasa berhutang budi amat besar kepada Pek-hwa Sianli sehingga rasanya keterlaluan kalau mereka tidak mau membantu Pek-hwa Sianli membalaskan sakit hatinya.
“Siapa nama laki-laki itu dan di mana dia tinggal, Sian-li?”
“Namanya Thio Kam Ki dan dia adalah murid Leng-hong Hoatsu pertapa dari Himalaya yang amat terkenal itu. Usianya sekitar duapuluh tiga tahun, tubuhnya sedang dan wajahnya tampan, pakaiannya mewah dan sikapnya ramah.”
“Dan di mana kami dapat menemukan dia?”
Pek-hwa Sianli menarik napas panjang. “Itulah yang membuat aku bingung dan sedih. Dia menurut ceritanya kepadaku, dia yatim piatu dan tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Akan tetapi aku percaya bahwa setelah tiga tahun memperdalam ilmu silat kalian pada bibi-guru Hoa-san Kui-bo, tentu kalian berdua telah menguasai ilmu-ilmu yang tinggi dan dengan kepandaianmu itu kalian dapat mencari Kam Ki sampai ketemu dan membunuhnya untuk membalaskan dendamku. Maukah kalian melakukan hal itu?”
Dua orang gadis kembar itu saling pandang lalu mengangguk. A-kim dan A-gin tinggal selama sepekan di rumah Pek-hwa Sianli, kemudian mereka meninggalkan rumah dan mulai melakukan perjalanan mencari pemuda bernama Thio Kam Ki itu. Mereka memang sudah mendapat ijin dari Hoa-san Kui-bo untuk turun gunung dan merantau.
Berbeda dengan watak Pek-hwa Sianli yang menjadi hamba nafsunya sendiri, sepasang gadis kembar ini memiliki watak yang baik karena hatinya memang memang bersih. Biarpun sejak usia sembilan tahun mereka dididik Pek-hwa selama tujuh tahun kemudian selama tiga tahun mereka dididik Hoa-san Kui-bo yang merupakan seorang datuk sesat, namun kesesatan dua orang guru mereka itu tidak menurun kepada mereka. Mereka dapat membedakan mana yang baik dan mana yang jahat dan mereka selalu berusaha untuk berbuat baik dan pantang melakukan kejahatan.
Pek Hwa Sian-li yang memiliki harta benda itu membelikan dua ekor kuda untuk mereka berdua dan memberi bekal emas dan perak yang cukup banyak untuk biaya mereka di perjalanan. Maka berangkatlah Can Kim Siang dan Can Gin Siang meninggalkan Kim-ke-san (Bukit Ayam Emas) tempat tinggal Pek-hwa Sianli itu.
Pagi hari itu udara cerah sekali. Agaknya hujan semalam suntuk telah menghabiskan semua awan mendung sehingga kini yang tertinggal di langit hanya awan-awan tipis yang tidak mampu menghalangi matahari memancarkan sinarnya yang gemilang. Sinar matahari pagi hari itu seolah mendatangkan kehidupan baru setelah semalam terjadi hujan badai yang dahsyat. Malam gelap pekat, pekat yang menyeramkan, dengan air hujan deras, kilat menyambar-nyambar, angin mengamuk. Akan tetapi pagi ini mengubah segala keburukan semalam, diganti dengan keindahan dan kenyamanan, penuh harapan. Sinar matahari menghidupkan segala sesuatu. Burung-burung yang semalam merasa dunia ini seolah kiamat, membuat mereka ketakutan karena pohon di mana mereka tinggal diguncang hujan badai, kini berceloteh gembira, sudah lupa lagi akan keburukan semalam, beterbangan berkelompok-kelompok menuju ke tempat tertentu di mana mereka tahu terdapat makanan untuk hari ini.
Tiga orang penunggang kuda agaknya juga menikmati keindahan pagi itu. Mereka menjalankan kuda dengan santai di kaki Siong-san (Bukit Siong) sebelah utara. Ketiganya masih muda-muda, seorang gadis dan dua orang pemuda.
Setelah tiba di jalan yang menuju ke lereng bukit itu, mereka menahan kuda dan memandang ke atas dengan mata mencari-cari. Akan tetapi yang tampak dari situ hanyalah pepohonan bergerombol, hutan- hutan lebat.
“Li-ko, apakah ini benar Bukit Siong yang dimaksudkan?” tanya Ui Kong, pe-muda tampan tinggi tegap itu.
Ong Siong Li, pemuda tampan bertubuh agak pendek itu mengangguk-angguk. “Tidak salah lagi, Kong-te. Aku pernah beberapa kali lewat dekat Siong-san ini, akan tetapi belum pernah mendaki ke atas.”
“Kuyakin Li-ko benar. Tempat ini memang amat baik untuk dijadikan sarang perkumpulan macam Pek- lian-kauw. Bukit ini penuh hutan lebat dan di sekitar sini tidak terdapat dusun. Daerah yang sepi begini tentu saja tepat untuk dijadikan tempat persembunyian perkumpulan sesat itu,” kata Lim Bwee Hwa.
Siong Li mengerutkan alisnya, sinar matanya meragu ketika dia memandang ke atas. “Hemm, tempat ini berbahaya. Selain penuh hutan lebat, juga perlu dipikirkan segala kemungkinan yang dapat menyulitkan kita. Aku mendengar bahwa perkumpulan Pek-lian-kauw selain memiliki pimpinan yang lihai, juga mempunyai banyak anggauta. Mungkin saja mereka mempunyai puluhan bahkan ratusan orang anggauta. Kalau kita bertiga mendatangi sarang mereka, mungkinkah kita dapat melawan pengeroyokan mereka? Pek-lian-kauw adalah perkumpuian penjahat dan pemberontak yang selalu dimusuhi pemerintah. Apakah tidak lebih baik kalau kita mencari bala bantuan, melaporkannya kepada komandan pasukan keamanan pemerintah di kota terdekat? Pasukan dapat menghadapi anak buah mereka dan kita mencari pembunuh Paman Ui Cun Lee, membasmi dia dan para pimpinan Pek-lian-kauw.”
“Aku tidak takut akan pengeroyokan mereka, Li-ko!” Bwee Hwa berkata pena-saran. “Kita harus membalas kematian Paman Ui dan dapat merampas kembali patung Kwan-im Pouw-sat!”
“Aku juga tidak takut! Untuk membalas dendam kematian ayahku, aku siap berkorban nyawa!” kata Ui Kong.
Siong Li menghela napas panjang dan berkata kepada mereka. “Hwa-moi dan Kong-te, aku juga tidak takut. Akan tetapi menghadapi musuh yang keadaannya lebih kuat dari kita karena jumlah mereka banyak, tidak cukup bermodal keberanian belaka. Kita berani, namun harus memakai perhitungan agar tidak merugikan kita sendiri.”
“Apa sih yang perlu dikhawatirkan, Li-ko? Kepandaian tosu Pek-lian-kauw bermuka putih itu tidak seberapa, kita pasti akan mampu membasmi dia dan anak buahnya!” bantah Bwee Hwa. “Benar, Li-ko. Kita bertiga cukup kuat untuk membasmi gerombolan jahat itu!” kata pula Ui Kong yang selain mendukung Bwee Hwa juga ingin menonjolkan keberaniannya untuk menarik hati Bwee Hwa.
Akhirnya Siong Li mengalah. Tentu saja dia tidak mau berbantahan dengan dua orang itu. “Baiklah kalau begitu, mari kita mendaki bukit ini. Akan tetapi kuharap kalian waspada dan berhati-hati.”
Mereka bertiga lalu menjalankan kuda melakukan pendakian bukit Siong dengan hati-hati dan kini ketiganya tidak bercakap-cakap lagi. Mereka telah tiba di wilayah sarang Pek-lian-kauw.
Tiga orang ini tidak tahu bahwa sejak tadi kedatangan mereka telah diketahui lawan! Bukit itu memang terjaga dengan ketat dan ketika mereka bertiga berhenti tadi, mereka telah terlihat oleh seorang anggauta Pek-lian-kauw dan begitu mereka bertiga mengambil jalan pendakian, jalan yang dibuat oleh Pek-lian-kauw, anggauta itu segera berlari dan melaporkan kepada pimpinannya.
Mendengar laporan ini, Kam Ki mengajak Ang-bin Moko dan Pek-bin Moko untuk melihat. Dari tempat ketinggian mereka mengamati ke bawah dan tak lama kemudian mereka dapat melihat tiga orang penunggang kuda yang sedang mendaki itu. Mereka sudah tidak begitu jauh lagi. Pandang mata Kam Ki yang tajam dapat melihat betapa seorang di antara tiga orang penunggang kuda itu adalah seorang gadis yang amat cantik.
“Itukah mereka, Pek-bin Moko?” tanyanya.
Pek-bin Moko memandang penuh perhatian dan dia segera mengenal tiga orang muda yang dulu bertempur dengan rombongannya dan telah membunuh Hek-bin Moko dan tiga orang pembantu mereka.
“Tidak salah lagi, mereka bertiga itulah yang dulu menentang kami!”
“Perintahkan murid-murid agar siap mengepung setelah mereka tiba di sini. Jangan ganggu mereka dalam perjalanan mereka ke sini karena aku ingin menangkap gadis itu dalam keadaan hidup dan tidak terluka. Kita bunuh dua orang pemuda itu setelah mereka bertiga tiba di sini,” kata Kam Ki.
Pek-bin Moko lalu cepat menyampaikan perintah itu kepada para pembantunya, kemudian dia kembali ke dalam pondok untuk menanti datangnya tiga orang musuh itu bersama Ang-bin Moko dan Kam Ki.
Bwee Hwa, Siong Li, dan Ui Kong merasa heran juga melihat bahwa mereka dapat mendaki ke atas tanpa ada rintangan sedikitpun. Mereka tahu bahwa jalan yang dapat dilalui kuda itu tentu buatan orang- orang Pek-lian-kauw. Akan tetapi mengapa perjalanan menuju ke lereng itu sama sekali tidak dapat rintangan dan keadaan di situ sunyi saja? Biarpun tampaknya perjalanan menuju ke atas itu aman saja dan agaknya tidak ada halangan apa-apa, tiga orang muda itu tetap waspada dan berhati-hati, khawatir kalau pihak musuh memasang perangkap.
Akhirnya mereka melihat perkampungan Pek-lian-kauw di atas tanah landai yang luas dekat puncak. Akan tetapi juga sekitar duapuluh lebih pondok yang berada di perkampungan itu tampak sepi. Tidak tampak ada seorangpun.
Ong Siong Li memberi isyarat kepada dua orang temannya, lalu dia melompat turun dari atas kuda dan menambatkan kudanya pada sebatang pohon yang tumbuh di luar perkampungan. Ui Kong dan Bwee Hwa mengikutinya. Kemudian mereka bertiga dengan hati-hati memasuki perkampungan. Melihat sebuah pondok terbesar di tengah perkampungan, mereka menghampiri.
Baru saja mereka memasuki pekarangan yang luas dari rumah besar itu, tiba-tiba terdengar suara gaduh dan puluhan orang anggauta Pek-lian-kauw memasuki perkampungan itu. Kiranya mereka semua bersembunyi di luar perkampungan dan setelah tiga orang itu memasuki perkampungan bagaikan tiga ekor ikan memasuki jaring, mereka semua serentak memasuki perkam-pungan dan mengepung tiga orang muda yang berada di pekarangan rumah besar itu!
Melihat puluhan orang berbondong-bondong memasuki perkampungan dan kini mengepung mereka dalam lingkaran yang lebar, tiga orang muda itu sudah mencabut pedang masing-masing dan siap menghadapi pengeroyokan. Akan tetapi ternyata puluhan orang anggauta Pek-lian-kauw itu tidak ada yang bergerak menyerang. Siong Li segera berseru ke arah mereka. Suaranya lantang dan bergema karena dia mengerahkan tenaga saktinya.
“Kami bertiga datang untuk berurusan dengan Pek-bin Moko seorang. Suruh dia keluar menemui kami karena kami tidak ingin membunuh orang-orang lain yang tidak bersalah kepada kami!”
“Ha-ha-ha-ha! Bocah-bocah sombong, kalian seperti tiga ekor anjing kecil menggonggong dan menantang dalam gua singa!” terdengar suara tawa dan muncullah Kam Ki, Ang-bin Moko dan Pek-bin Moko dari dalam rumah itu. Yang tertawa tadi adalah Pek-bin Moko dan dia melanjutkan. “Mau apakah kalian bertiga datang ke sini?”
Wajah Ui Kong sudah menjadi merah saking marahnya melihat Pek-bin Moko. Inilah orang yang telah membunuh ayahnya, maka dia lalu membentak marah.
“Tosu jahanam, engkau telah membunuh ayahku. Aku akan membunuhmu untuk membalaskan sakit hati ini!”
“Dan engkau harus mengembalikan patung Dewi Kwan Im milik kuil Ban-hok-si!” Lim Bwee Hwa juga membentak marah.
Sejak tadi Kam Ki memandang Bwee Hwa dengan sinar mata berkilat. Dia tersenyum dan diam-diam hatinya girang bukan main. Gadis yang dari jauh tampak jelita itu setelah kini berdiri di depannya ternyata cantik luar biasa. Belum pernah dia mendapatkan seorang gadis cantik dan segagah ini.
Ang-bin Moko yang kedudukannya lebih tinggi daripada Pek-bin Moko, berkata dengan nada sombong. “Heh, siapakah kalian tiga orang muda ini? Perkenalkan namamu agar jangan sampai kalian mati tanpa nama!”
Kini Siong Li kembali mewakili dua orang temannya. “Dengarlah, para pimpinan cabang Pek-lian-kauw. Nona ini adalah Ang-hong-cu (Si Tawon Merah) Lim Bwee Hwa. Pemuda ini adalah Ui Kong, putera mendiang Ui-wangwe yang dibunuh oleh Pek-bin Moko, dan aku sendiri bernama Ong Siong Li murid Thai-san-pay. Kami bertiga tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan Pek-lian-kauw, akan tetapi ketika kami bertiga melihat orang-orang Pek-lian-kauw membunuhi hwesio dan merannpok patung Dewi Kwan Im dari kuil Ban-hok-si, tentu saja kami menentang. Ui-wangwe yang tidak berdosa telah dibunuh pula. Maka kami datang untuk minta kembali patung kuil Ban-hok-si dan pertanggungan jawab Pek-bin Moko yang telah membunuh Hartawan Ui Cun Lee yang terkenal sebagai seorang dermawan di kota Ki-lok!”
Kini Kam Ki maju dan sambil memandang wajah Bwee Hwa dan tersenyum, dia berkata. “Kami sungguh kagum melihat kalian bertiga begini tabah dan berani, bagaimana pendapatmu kalau kita berbaik-baik saja, melihat betapa kalian telah dikepung limapuluh orang lebih anggauta kami?”
Bwee Hwa mengerutkan alisnya dan sambil melintangkan pedangnya di depan dada dan menudingkan dua jari tangan kirinya ke arah muka Kam Ki, ia berkata dengan ketus.
“Siapa takut kepada kalian berikut anak buah kalian? Kalau kalian demikian curang dan pengecut untuk mengeroyok kami dengan banyak anak buah, biar ditambah seratus orang lagi kami tidak akan merasa gentar!”
“He-he-he-he!” Kam Ki terkekeh dan wajahnya berseri. “Engkau hebat, nona Liem Bwee Hwa. Sikapmu yang berani memang pantas dengan julukanmu Si Tawon Merah yang siap menyerang dan menyengat! Akan tetapi kurasa julukanmu lebih pantas diubah menjadi Si Kupu-kupu Merah karena engkau begini indah, cantik jelita bagaikan seekor kupu-kupu merah. Ketahuilah, aku Thio Kam Ki yang menjadi ketua cabang Pek-lian-kauw di sini. Ang-bin Moko dan Pek-bin Moko ini adalah wakil-wakilku. Kalian kematian Ui Cun Lee, akan tetapi pihak kami kematian Hek-bin Moko dan tiga orang anak buah kami. Sebetulnya kami yang lebih menderita rugi dan sepatutnya kami yang mendendam sakit hati kepada kalian! Akan tetapi sudahlah, bagaimana pendapatmu kalau kita baik-baikan saja, nona?”
Bwee Hwa mengerutkan alisnya dan menatap wajah Kam Ki yang tampan itu dengan sinar mata penuh selidik. “Apa yang kau maksudkan?” tanyanya ketus.
“Begini, nona. Pihak kalian kematian seorang dan pihak kami kematian empat orang. Biarlah kami mengalah dan tidak ada dendam lagi di antara kami. Adapun mengenai patung Dewi Kwan Im dari Kuil Ban-hok-si itu, kami akan berbaik hati mengembalikannya kepadamu. Akan tetapi sebaliknya kalian harus membalasnya dengan kebaikan pula.”
“Kebaikan apa?” tanya Bwee Hwa, masih ketus karena ia merasa ragu apakah Ui Kong dapat menerima usul perdamaian itu karena ia tahu bahwa pemuda itu amat sakit hati terhadap Pek-bin Moko yang telah membunuh ayahnya.
“Begini. Kita berdamai saja, melupakan permusuhan kami mengembalikan pa-tung, akan tetapi kalian tinggal di sini, engkau menjadi isteriku, nona dan kedua orang ini menjadi pembantu-pembantuku. Bagaimana pendapatmu?”
Wajah Bwee Hwa menjadi merah, matanya mencorong dan ia menerjang dan menyerang Kam Ki sambil membentak. “Jahanam busuk, siapa sudi menjadi isterimu? Makan pedang ini!”
Serangan Bwee Hwa itu dahsyat sekali karena ia telah mengerahkan seluruh tenaga dan gerakannya cepat bukan main, pedangnya berkelebat meluncur ke arah leher Kam Ki bagaikan seekor tawon terbang menyerang. Akan tetapi, walaupun Kam Ki terkejut melihat dahsyatnya serangan itu dan merasa kagum, namun dia yang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi dapat mengelak dengan loncatan ke belakang dan berkata kepada Ang-bin Moko dan Pek-bin Moko. “Kalian bunuh dua orang pemuda itu!”
Dua orang pimpinan Pek-lian-kauw itu mencabut pedang mereka yang tergan-tung di punggung. Akan tetapi sebelum mereka bergerak menyerang, Ui Kong dan Siong Li sudah lebih dulu menyerang mereka. Ui Kong yang mendendam kepada Pek-bin Moko, sudah menyerang tokoh Pek-lian-kauw bermuka putih itu. Adapun Siong Li yang melihat betapa Bwee Hwa sudah menyerang pemuda tampan yang mengaku sebagai ketua cabang Pek-lian-kauw itu dan Ui Kong sudah menyerang Pek-bin Moko, lalu bergerak cepat menyerang Ang-bin Moko dengan pedangnya.
Terjadilah pertandingan tiga lawan tiga. Kalau Siong Li dan Ui Kong dilawan oleh dua orang Moko itu dengan pedang pula sehingga mereka bertanding ilmu pedang, Bwee Hwa yang menggunakan pedang dilawan oleh Kam Ki hanya dengan tangan kosong!
Ketika para anggauta Pek-lian-kauw tampak mempersempit lingkaran dan agaknya hendak membantu para pimpinan mereka, Kam Ki membentak. “Kalian mundur, tidak boleh mengeroyok!”
Para anggauta Pek-lian-kauw mundur. Tentu saja seruan ini disengaja oleh Kam Ki yang melihat bahwa dia pasti akan mampu menundukkan gadis itu dan juga dua orang pembantunya tampak seimbang dengan lawan masing-masing. Pula, dia ingin kelihatan gagah dan tidak curang dalam pandangan Bwee Hwa, gadis cantik jelita yang menjatuhkan hatinya itu.
Bwee Hwa mengamuk dan menggunakan semua kepandaiannya untuk merobohkan lawannya. Setiap serangannya merupakan serangan maut yang berbahaya. Tubuhnya lenyap dan yang tampak hanya bayangan merah berkelebatan dibungkus sinar pedang Sin-hong-kiam. Terdengar suara berdengung- dengung seperti ada ratusan ekor tawon mengamuk. Akan tetapi, tingkat kepandaian Kam Ki jauh di atas tingkatnya sehingga mudah saja bagi Kam Ki untuk menghindarkan diri dari semua serangan dengan cara mengelak atau bahkan menangkis dengan tangannya. Tangan telanjang itu berani menangkis pedang Sin-hong-kiam, hal ini membuat Bwee Hwa terkejut bukan main.
Beberapa kali tangan kirinya menyambitkan Sin-hong-ciam (Jarum Tawon Merah) kepada lawannya yang amat tangguh itu. Namun jarum-jarum itu runtuh semua disambar kebutan tangan Kam Ki! Dan mulailah Kam Ki mempermainkan Bwee Hwa. Setiap ada kesempatan, tangannya dengan nakal meraba, mengelus atau mencubit dada, punggung, dan pinggul gadis itu. Bwee Hwa menjadi marah bukan main, akan tetapi ia tidak berdaya karena memang tingkatnya kalah jauh.
Siong Li bertanding seimbang dengan Ang-bin Moko. Dia membagi perhatiannya terhadap Bwee Hwa dan alangkah marah dan khawatirnya melihat betapa gadis itu menjadi permainan Kam Ki yang ternyata amat lihai itu. Melihat gadis itu ditowel, dicubit dan dibelai, Siong Li tak dapat menahan kemarahan hatinya. Ketika dia memutar pedang mendesak Ang-bin Moko sehingga lawannya terpaksa mundur, cepat sekali Ong Siong Li melompat ke kiri dan menyerang Kam Ki untuk membantu Bwee Hwa yang jelas terdesak hebat oleh pemuda ketua Pek-lian-kauw yang amat lihai itu.
“Singgg……!” Sambil melompat Siong Li membabatkan pedangnya ke arah leher Kam Ki.
Akan tetapi dengan mudah Kam Ki menghindarkan diri dengan merendahkan tubuhnya sehingga sabetan pedang itu hanya lewat di atas kepalanya. Ang-bin Moko mengejar dan menyerang dari belakang. Siong Li membalikkan pedang menangkis. “Tranggg……!” Bunga api berpijar, akan tetapi pada saat Siong Li menangkis pedang itu, Kam Ki melakukan pukulan jarak jauh dengan telapak tangan mengeluarkan uap hitam.
“Wuuuuuttt…… dessss.......!” Hawa pukulan yang amat dahsyat melanda dada Siong Li. Pemuda ini terlempar dan muntah darah! Dia telah terkena pukulan Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun) yang amat dahsyat. Biarpun Siong Li merasakan isi dada dan perutnya seperti dibakar, dia menguatkan diri dan mencoba bangkit.
“Li-ko……!” Bwee Hwa berseru ketika melihat Siong Li terpukul roboh sedemikian hebatnya. Akan tetapi karena perhatiannya tertuju kepada Siong Li, ia menjadi lengah dan dengan mudah sekali menggerakkan tangannya, Kam Ki telah menotok jalan darah di pundak Bwee Hwa dan gadis itupun terkulai lemas. Kam Ki tertawa lalu menyambar tubuh Bwee Hwa, memondongnya dan membawa pula pedang Bwee Hwa lalu masuk ke dalam rumah besar.
Siong Li melihat bahwa Ui Kong telah berhasil merobohkan Pek-bin Moko. Tadinya mereka bertanding ramai sekali, tampaknya seimbang, akan tetapi sesungguhnya tingkat kepandaian Ui Kong masih menang sedikit sehingga ketika dia mengeluarkan jurus-jurus simpanannya dan mengerahkan seluruh tenaganya, Pek-bin Moko terdesak hebat. Pada saat Siong Li terlanda pukulan maut dari Kam Ki, Ui Kong berhasil merobek perut Pek-bin Moko dengan ujung pedangnya. Tokoh Pek-lian-kauw bermuka putih itu roboh mandi darah. Perutnya robek dan dia tidak mungkin dapat tertolong.
Ui Kong melihat Siong Li terhuyung mendekatinya. Jelas bahwa pendekar berjuluk Naga Tanduk Satu ini terluka dalam. Dia tidak melihat lagi Bwee Hwa yang tadi bertanding melawan pemuda yang mengaku sebagai ketua Pek-lian-kauw. Hati Ui Kong gelisah sekali.
“Kong-te cepat! Cepat lari dan cari bala bantuan!” Siong Li berseru.
Ui Kong meragu. “Akan tetapi…… Hwa-moi……!”
“Engkau tidak dapat menolongnya tanpa bala bantuan! Cepat lari, mungkin engkau dapat menolongnya…… cepat!!”
Siong Li menarik tangan Ui Kong dan dia sendiri membuka jalan darah, menerjang para anggauta Pek- lian-kauw yang menghalangi jalan. Ui Kong dapat melihat kebenaran ucapan Siong Li, maka diapun memutar pedangnya sehingga amukan mereka berdua membuat para anggauta berpelantingan roboh dan terbukalah jalan untuk melarikan diri.
“Cepat lari, Kong-te. Cepat cari bala bantuan!” Siong Li berseru dan merobohkan lagi dua orang anggauta Pek-lian-kauw yang mencoba menghalangi mereka.
“Tapi engkau……?” Ui Kong bingung.
“Aku akan menghalangi mereka yang hendak mengejarmu. Cepatlah!” kata Siong Li yang sudah menyambut Ang-bin Moko yang mengejar.
Ui Kong lalu berlari keluar dari perkampungan itu, menemukan kuda mereka bertiga, melepaskan ikatan dan melompat ke atas punggung kuda lalu membalapkan kuda itu menuruni lereng Bukit Siong! Hatinya seperti ditusuk-tusuk kalau dia teringat akan Bwee Hwa dan Siong Li. Dia memang telah dapat membalaskan kematian ayahnya, telah berhasil membunuh Pek-bin Moko. Akan tetapi Bwee Hwa agaknya tertawan dan Siong Li terancam maut karena tadi dia melihat bahwa kawannya itu telah menderita luka dalam yang agaknya parah.
Siong Li mengamuk, dikeroyok Ang-bin Moko dan beberapa orang anggauta Pek-lian-kauw. Bagaikan seekor harimau terluka dikeroyok segerombolan anjing srigala, dia sempat merobohkan lagi tiga orang anggauta Pek-lian-kauw. Akan tetapi luka dalam tubuhnya terasa nyeri sekali, panas dan dalam dada dan perutnya seperti ditusuk-tusuk. Tubuhnya menjadi semakin lemah dan akhirnya dia tidak kuat lagi. Dia terguling roboh dan dihujani bacokan golok dan pedang. Tewaslah Ong Siong Li, Si Naga Tanduk Satu, tewas sebagai seorang pendekar perkasa.
Sementara itu, Ui Kong membalapkan kudanya menuruni lereng bukit. Hatinya merasa gelisah sekali. Mukanya pucat dan dia merasa benci kepada dirinya sendiri. Kenapa dia melarikan diri, padahal Bwee Hwa tertawan musuh dan Siong Li terancam nyawanya? Ingin dia kembali ke atas dan mengamuk. Akan tetapi dia teringat akan kata-kata Siong Li. Dia tahu bahwa Siong Li benar. Kalau dia mengamuk seorang diri, dia pasti akan roboh dan tewas dan itu berarti Bwee Hwa tidak akan dapat ditolong lagi. Tidak, dia bukan melarikan diri karena pengecut, bukan karena takut melainkan untuk mencari bala bantuan agar dapat menyelamatkan Bwee Hwa dan kalau mungkin, menyelamatkan Siong Li pula.
Akan tetapi ke mana dia harus mencari bala bantuan? Dia tidak mengenal daerah itu, tidak seperti Siong Li yang mempunyai banyak pengalaman. Bahkan sebelum mendaki bukit, Siong Li sudah menganjurkan untuk mencari bala bantuan lebih dahulu, akan tetapi dia dan Bwee Hwa membantah dan menyatakan tidak takut sehingga akhirnya Siong Li mengalah dan mereka bertiga naik sampai ke sarang Pek-lian- kauw. Dan akibatnya menyedihkan! Dia merasa menyesal mengapa dia tidak mendukung gagasan Siong Li itu.
Ke mana dia harus mencari bala bantuan untuk menghadapi anggauta Pek-lian-kauw yang banyak itu? Dipimpin oleh orang-orang yang amat lihai? Dia teringat bahwa Siong Li mengusulkan untuk mencari bala bantuan pasukan keamanan pemerintah. Dia akan mencoba untuk mencari kota terdekat di mana terdapat pasukan keamanannya, kalau tidak ada, dia akan langsung ke kota Ki-lok. Di kota tempat kelahirannya itu, keluarganya mengenal baik para pejabat pemerintah, juga mengenal para perwira pasukan keamanan. Mereka pasti akan menolongnya.
Ui Kong membalapkan kudanya. Setibanya di kaki bukit, hampir hampir saja dia bertabrakan dengan dua orang penunggang kuda yang juga membalapkan kudanya dari depan, berpapasan dengannya. Akan tetapi ketika dia sekuat tenaga menahan kendali agar kudanya berhenti, dua orang penunggang kuda itu dengan cekatan menghindar ke samping sehingga tidak terjadi tabrakan! Betapa tangkasnya dua orang penunggang kuda itu. Karena ingin tahu, dia menoleh dan dua orang penunggang kuda itu juga menghentikan, bahkan memutar kudanya untuk memandang kepada Ui Kong.
Ui Kong terpesona, bukan hanya oleh kecantikan dua orang dara itu, melainkan lebih lagi karena persamaan antara keduanya. Wajahnya, rambutnya, pakaiannya, bentuk tubuhnya, sama benar! Melihat betapa Ui Kong selamat dan pemuda itu memandang kepada mereka dengan bengong, Can Kim Siang dan Can Gin Siang, dua orang gadis kembar itu, tersenyum dan mereka memutar kuda, melanjutkan perjalanan dengan cepat mendaki bukit.
Ui Kong mengerutkan alisnya. Hemm, tentu dua orang gadis itu merupakan orang-orang Pek-lian-kauw pula! Dan mereka itu jelas bukan gadis-gadis lemah. Begitu mahir menunggang kuda, dan di punggung mereka tergantung siang-kiam (sepasang pedang). Ah, kini keadaan cabang Pek-lian-kauw di Bukit Siong itu menjadi semakin kuat dengan datangnya dua orang gadis itu. Dia harus cepat mendapatkan bala bantuan! Kembali Ui Kong membalapkan kudanya menuju pulang ke Ki-lok. Dia ingat bahwa ketika berangkat, mereka bertiga melewati dua buah kota. Dia harapkan di dua kota itu akan bisa mendapatkan bala bantuan pasukan keamanan.
“Kim-ci (Kakak Kim), siapa ya pemuda itu? Tampaknya dia tergesa-gesa. Apakah dia anggauta Pek-lian- kauw?” tanya Can Gin Siang kepada kakak kembarnya.
“Entahlah, Gin-moi (adik Gin). Akan tetapi melihat wajah dan sikapnya, dia seperti bukan orang jahat. Akan tetapi tampak gugup dan gelisah. Wajahnya agak pucat,” kata Can Kim Siang menjawab pertanyaan adik kembarnya.
Dua orang gadis kembar itu lalu melanjutkan pendakian mereka menuju puncak bukit. Seperti kita Ketahui, Can Kim Siang dan Can Gin Siang ini adalah sepasang gadis kembar yang diutus Pek-hwa Sianli untuk mencari dan membunuh Thio Kam Ki. Mereka berdua adalah adik misan Pek-hwa Sianli yang telah menjadi yatim piatu sejak berusia sembilan tahun. Pek-hwa Sianli membawa mereka dan melatih mereka dengan ilmu silat selama tujuh tahun, kemudian mengirim mereka berguru kepada bibi gurunya, yaitu Hoa-san Kui-bo selama tiga tahun. Kini sepasang gadis kembar itu menjadi lihai dan tingkat kepandaian mereka tidak berada di bawah tingkat Pek-hwa Sianli.
Tentu saja sepasang gadis kembar ini menjadi bingung juga karena selain mereka belum pernah melihat Kam Ki, juga mereka tidak tahu ke mana perginya pemuda itu, tidak tahu harus mencari ke mana. Mereka melanjutkan perantauan mereka dan di sepanjang perjalanan itu mereka bertanya-tanya barangkali ada orang yang mengetahui di mana adanya Thio Kam Ki yang mereka cari-cari itu.
Ketika pada suatu hari mereka tiba di dusun Liok-cung, tak jauh dari Bukit Siong, mereka mendengar keluhan penduduk dusun itu bahwa baru beberapa bulan ini gerombolan yang tinggal di puncak Siong- san, yang mereka tidak tahu gerombolan apa, telah melakukan banyak gangguan, terutama sekali suka menculiki gadis-gadis cantik dari dusun-dusun di sekitar pegunungan itu.
Dua orang gadis kembar yang biarpun sejak kecil dididik oleh orang-orang sesat seperti Pek-hwa Sianli dan Hoa-san Kui-bo namun memiliki jiwa pendekar, begitu mendengar keluhan rakyat pedusunan itu segera membalapkan kuda mereka mendaki Bukit Siong. Semenjak meninggalkan Hoa-san Kui-bo, guru mereka yang tinggal di Hoa-san, sepasang gadis kembar ini selalu turun tangan menentang para penjahat dan membela mereka yang lemah tertindas. Karena itu, mendengar ada gerombolan yang suka bertindak sewenang-wenang bahkan menculik gadis-gadis dusun, mereka menjadi marah dan tanpa ragu lagi segera mendaki Bukit Siong untuk menumpas gerombolan jahat itu.
Kalau sewaktu Siong Li, Ui Kong, dan Bwee Hwa mendaki bukit itu sama sekali tidak menemui rintangan sampai mereka tiba di depan perkampungan Pek-lian kauw, hal itu adalah karena memang disengaja oleh para pimpinan Pek-lian-kauw yang hendak memancing tiga orang itu naik dan baru dikepung setelah tiba di pekarangan rumah ketua Pek-lian-kauw. Akan tetapi sekarang, ketika Can Kim Siang dan Can Gin Siang menjalankan kudanya mendaki bukit, setelah tiba di lereng tengah, tiba-tiba muncul sepuluh anggauta Pek-lian-kauw menghadang di tengah jalan.
Melihat munculnya sepuluh orang laki-laki yang bersenjata golok dan pada baju bagian dada mereka terdapat lukisan bunga teratai putih pada lingkaran dasar biru, tahulah dara kembar itu bahwa mereka tentulah anggauta gerombolan Pek-lian-kauw. Keduanya lalu melompat turun dari atas kuda dan menghadapi mereka dengan siap siaga dan waspada.
Sepuluh orang gerombolan Pek-lian-kauw itu terbelalak memandang dua orang gadis itu. Mereka merasa kagum dan heran. Kagum akan kecantikan mereka akan tetapi juga heran melihat betapa dua orang dara itu persis sama. Wajah, bentuk tubuh, pakaian, semua serupa dan tidak dapat dibedakan satu sama lain. Pemimpin kelompok itu lalu melangkah maju dan bertanya, suaranya keren karena seperti biasa terjadi pada pria umumnya, bertemu dengan wanita cantik lalu timbul sikapnya untuk berlagak.
“Hei, dua orang nona yang cantik dan gagah! Siapakah kalian dan ada keperluan apa kalian mendaki bukit ini? Kalian melanggar wilayah kami!”
Can Kim Siang yang selalu menjadi wakil pembicara di antara sepasang dara kembar itu karena ia lebih pandai bicara daripada Can Gin Siang yang pendiam, lalu menjawab lantang.
“Siapa kami tidak perlu kalian Ketahui! Kalian adalah para anggauta gerombolan Pek-lian-kauw. Minggirlah atau terpaksa kami berdua akan membunuh kalian semua!”
“Ha-ha, galak benar engkau, nona. Kami tidak akan mempergunakan kekerasan karena ketua kami tentu akan marah kalau kami melukai apalagi sampai membunuh dua orang gadis cantik jelita seperti kalian berdua. Akan tetapi karena kalian telah melanggar wilayah kami, terpaksa kami akan menangkap kalian dan kami bawa menghadap ketua kami.”
Dua orang gadis kembar itu saling pandang. Keduanya memiliki perasaan yang amat peka satu terhadap yang lain sehingga melalui pandang mata saja mereka sudah menduga pikiran masing-masing. Can Kim Siang dan adik kembarnya berpikir bahwa berdasarkan pengalaman mereka menghadapi gerombolan penjahat, untuk membasmi gerombolan penjahat haruslah seperti kalau membunuh ular. Yaitu kepalanya dulu dihancurkan dan seluruh badan dan ekornya akan tak berdaya lagi. Menghadapi gerombolan penjahat juga demikian. Kepalanya atau pemimpinnya dulu dibasmi. Kalau pemimpinnya mati, tentu para anggautanya akan menyerah.
“Memang kedatangan kami ini untuk bertemu dengan ketua kalian! Akan tetapi kami hendak bertemu dengannya sebagai orang bebas, bukan tangkapan. Kalau kalian hendak menangkap kami, terpaksa kami melawan dan membunuh kalian!” kata Can Kim Siang.
Seorang anggauta gerombolan itu mendekati sang pemimpin regu dan berbisik, “Hati-hati, twako, jangan-jangan mereka ini teman-teman ketua kita yang baru. Kalau kita ganggu dan ketua mendengarnya, kita akan celaka ”
Pemimpin itu mengangguk, lalu berkata kepada dua orang dara kembar itu. “Baiklah, mari kami antar nona berdua bertemu dengan ketua kami, bukan sebagai tawanan, melainkan sebagai tamu. Silakan, nona-nona!”
Kim Siang dan Gin Siang merasa girang. Mereka akan lebih senang kalau dapat membasmi saja pimpinan gerombolan ini, daripada harus membasmi para anggauta yang hanya menaati perintah pimpinannya. Mereka menunggang kuda mereka dan mendaki bukit, didahului oleh sepuluh orang anggauta Pek-lian- kauw itu karena dua orang dara kembar itu tidak menghendaki anak buah gerombolan itu berjalan di belakang mereka.
Setelah tiba di pintu gerbang perkampungan Pek-lian-kauw, Kim Siang dan Gin Siang turun dari atas kudanya dan mereka membiarkan anak buah Pek-lian-kauw mengurus dua ekor kuda mereka. Dengan waspada dan hati-hati dua orang dara kembar yang tabah itu mengikuti anggauta Pek-lian-kauw yang mengantar mereka sampai ke dalam pekarangan rumah besar tempat tinggal ketua Pek-lian-kauw.
Pemimpin regu tadi segera memasuki rumah besar dan ketika mendapat keterangan dari para pelayan bahwa sang ketua berada dalam kamarnya, dia segera menuju ke kamar itu dan mengetuk daun pintu kamar yang tertutup.
“Tok-tok-tok. !!”
Thio Kam Ki berada di dalam kamarnya yang luas itu. Dia duduk di tepi pembaringan dan di atas pembaringan itu Bwee Hwa rebah telentang dengan kedua kaki tangannya terbelenggu! Setelah tadi berhasil menangkap Bwee Hwa dengan menotoknya sehingga gadis itu terkulai lemas dan dipondongnya memasuki rumah, dia lalu melempar tubuh Bwee Hwa di atas pembaringan, mengikat kedua kaki tangannya, baru dia membebaskan totokan pada diri Bwee Hwa sehingga Bwee Hwa dapat bergerak kembali. Akan tetapi gadis itu tidak mampu menggerakkan kaki tangannya yang terpentang dan terikat pada kaki pembaringan. Ia teringat akan Ong Siong Li yang terluka dan terpukul roboh.
Kini ia tertawan dan mungkin Siong Li tewas, juga Ui Kong tentu tidak mampu melawan seorang diri saja. Membayangkan semua ini, Bwee Hwa memandang kepada Kam Ki yang duduk di atas kursi sambil minum arak itu dengan mata mencorong penuh kemarahan. Membayangkan Siong Li tewas, ia menjadi sedih dan marah sekali. Ong Siong Li merupakan orang yang paling baik baginya, pemuda itu merupakan penolongnya, sahabatnya yang setia, dan ia tahu pula betapa Siong Li amat mencintanya.
Iapun amat suka dan kagum kepada Siong Li, walaupun ia mencinta pemuda itu sebagai kasih sayang seseorang terhadap kakaknya. Betapa besar kasih sayang Siong Li kepadanya sehingga pemuda itu mengantar ia untuk mencari tunangannya, calon suaminya! Siong Li mengalah, mengorbankan kesenangan diri sendiri demi cintanya dan demi kebahagiaan dirinya! Ia sendiri mencinta Siong Li sebagai seorang kakak. Juga ia tidak mempunyai rasa cinta terhadap Ui Kong maupun Ui Kiang, hanya menganggap kedua kakak beradik ini sebagai sahabat-sahabat yang baik. Bagaimanapun juga, kini mengingat bahwa mungkin Siong Li tewas dan Ui Kong terancam bahaya, ia menjadi sedih sekali dan marah.
“Kamu…… jahanam busuk, manusia terkutuk! Lepaskan aku dan mari kita bertanding sampai mati!” Bwee Hwa memaki sambil memandang kepada pemuda tampan yang gerak-geriknya lembut namun yang memiliki ilmu kepandaian amat lihai itu.
Mendengar kata-kata ketus ini, Kam Ki menoleh, lalu minum sisa arak dalam cawannya dan setelah meletakkan cawan kosong di atas meja, dia tersenyum menghampiri pembaringan. Dia duduk di tepi pembaringan dan mengamati wajah dan seluruh tubuh Bwee Hwa.
Diam-diam Bwee Hwa bergidik dan merasa seluruh bulu di tubuhnya meremang. Ia merasa seolah-olah sinar mata pemuda itu menggerayangi dan membelai seluruh tubuhnya. Pandang mata itu terasa amat mengerikan baginya. Sering sudah ia melihat pandang mata seperti itu dari para pria yang bertemu dengannya, akan tetapi baru sekarang ia melihat sinar mata yang begitu penuh nafsu seperti bernyala- nyala, senyum yang tampak olehnya begitu keji dan kejam!
“Hemm, Ang-hong-cu Lim Bwee Hwa, julukan Ang-hong-cu (Si Tawon Merah) memang tepat untukmu. Engkau dapat menjadi liar dan galak seperti seekor tawon yang siap menyerang dan menyengat siapa saja, akan tetapi engkaupun dapat seperti seekor kupu-kupu yang amat cantik jelita menggairahkan. Bwee Hwa, engkau telah terjatuh ke dalam tanganku. Betapa mudahnya bagiku untuk membunuhmu, akan tetapi aku tidak tega membunuhmu, bahkan menyakitimupun aku tidak tega. Engkau begini cantik jelita, kulitmu begini mulus. Gadis seperti engkau ini pantasnya disayang dan dibelai, bukan disakiti……”
“Keparat, aku tidak membutuhkan pujian dan rayuanmu! Cepat katakan bagaimana keadaan dua orang temanku!”
“Ha-ha-ha, dua orang temanmu itu mencari kematiannya di sini. Mereka sudah mati!”
Tentu saja Bwee Hwa terkejut bukan main dan kesedihan membuat ia menjadi marah sekali. Akan tetapi karena kaki tangannya terbelenggu sehingga ia tidak mampu bergerak, ia hanya dapat memandang dengan sinar mata penuh kebencian dan berteriak-teriak.
“Jahanam busuk! Engkau kejam, engkau keparat! Hayo lepaskan aku dan kita bertanding sampai mati! Kalau engkau pengecut dan tidak berani, hayo cepat bunuh! Aku tidak takut mati!”
Kam Ki tidak marah, malah tersenyum. “Hem, dalam keadaan marah engkau malah semakin cantik menarik. Bwee Hwa, manis, jangan salahkan aku kalau dua orang itu mati. Mereka mencari kematian mereka sendiri karena berani menyerbu ke sini. Akan tetapi engkau…… aku tidak mengijinkan siapapun juga membunuhmu atau bahkan melukaimu. Aku cinta padamu, Bwee Hwa, dan aku ingin engkau menjadi isteriku dan hidup sebagai suami di sini, memimpin para anak buah. Engkau akan hidup bahagia !”
“Cukup!” Bwee Hwa membentak. “Lebih baik aku mati daripada menjadi isteri seorang penjahat busuk macam kamu!”
Biarpun mulutnya tetap tersenyum, namun dalam hatinya Kam Ki mulai merasa dongkol. “Lim Bwee Hwa, biar kau pikirkan lebih dulu permintaanku agar engkau lebih baik hidup dan menjadi isteriku di sini daripada engkau nekat mencari kematian. Aku akan mandi dulu. Nanti aku akan kembali mendengar keputusan dan jawabanmu.” Setelah berkata demikian, Kam Ki keluar dari kamar itu.
Setelah pemuda itu meninggalkan kamar, Bwee Hwa mulai menangis. Tadi ia tidak sudi memperlihatkan tangisnya di depan pemuda itu. Akan tetapi kini, setelah ditinggal sendirian, ia membayangkan kematian Ong Siong Li dan Ui Kong seperti yang dikatakan Kam Ki tadi dan ia merasa berduka sekali. Ia memang belum mempunyai perasaan cinta sebagai seorang wanita terhadap pria kepada kedua orang pemuda itu, biarpun Siong Li merupakan seorang sahabat terbaiknya yang selalu membela dan membantunya dan Ui Kong adalah salah seorang calon tunangannya karena ia harus memilih antara Ui Kong dan Ui Kiang untuk menjadi calon jodohnya seperti yang telah ditentukan mendiang ibunya. Akan tetapi ia menganggap Siong Li dan Ui Kong sebagai sahabat-sahabat yang amat baik dan ada rasa kagum dan sayang dalam hatinya terhadap mereka. Kini mereka telah tewas! Ia merasa sedih dan juga sakit hati sekali terhadap Pek-lian-kauw yang dipimpin Kam Ki, pemuda yang jahat akan tetapi juga amat lihai sekali itu. Tak lama kemudian, terpaksa Bwee Hwa menghentikan lamunannya dan menghentikan pula tangisnya walaupun ia tidak dapat menghapus air mata yang membasahi kedua pipinya karena ia mendengar langkah kaki orang memasuki ruangan itu.
Setelah orang itu datang dekat dan duduk di tepi pembaringan di mana ia diikat, ia melihat Kam Ki yang agaknya telah mandi dan kini mengenakan pakaian bersih dan indah. Juga ketika pemuda itu di tepi pembaringan, dekat sekali dengannya, ia mencium bau harum. Agaknya pemuda itu sengaja bersolek untuk menarik hatinya. Akan tetapi, kemunculan pemuda yang tampak tampan dan lembut itu bukan menarik hati Bwee Hwa, bahkan membuat ia muak dan semakin membencinya.
“Ah, adik manis, kenapa engkau menangis?” tanya Kam Ki dengan lembut dan ia mengusap air mata dari pipi Bwee Hwa. Gadis itu menggerakkan kepalanya menolak rabaan itu.
“Bwee Hwa, bagaimana, apakah engkau telah mengambil keputusan? Maukah engkau menjadi isteriku tersayang? Percayalah, aku cinta padamu.”
“Jahanam, tidak perlu merayu. Kalau mau bunuh, lakukanlah, dan jangan banyak cakap lagi!” Bwee Hwa menghardik lalu membuang muka, tidak mau memandang pemuda yang dibencinya itu.
Kesabaran mulai menyurut dari hati Kam Ki. “Dengar baik-baik, Bwee Hwa. Sekarang engkau boleh memilih satu antara dua. Pertama, engkau menurut dengan suka rela menjadi isteriku dan kita hidup berdua di sini dalam keadaan terhormat, mulia dan serba kecukupan. Kedua, kalau engkau tetap menolak, aku akan memaksamu dan memperkosamu, setelah aku bosan engkau akan kuserahkan kepada anak buah Pek-lian-kauw agar engkau mereka permainkan beramai-ramai sampai engkau mati! Nah, engkau pilih yang mana?”
Tanpa berpikir panjang untuk memilih-milih, Bwee Hwa membentak. “Aku memilih mati!” Wajah Kam Ki berubah merah. “Engkau memilih yang kedua?”
“Aku tidak sudi memilih, baik yang pertama maupun yang kedua. Aku akan membalas dendam kepadamu kalau masih hidup atau aku akan memilih mati agar arwahku dapat mengejar dan membalas dendam kepadamu, keparat!”
Kam Ki marah sekali. Akan tetapi pada saat itu, pintu kamar diketuk orang dari luar.
“Siapa berani menggangguku? Apa engkau minta mati?” bentak Kam Ki yang merasa terganggu.
“Ampun, pangcu (ketua). Saya tidak bermaksud mengganggu, akan tetapi hendak melaporkan bahwa di luar ada dua orang gadis cantik ingin bertemu dengan pangcu.” jawab kepala jaga dengan suara agak gemetar karena dia merasa ketakutan.
Mendengar bahwa ada dua orang gadis cantik ingin bertemu dengannya, kemarahan Kam Ki mereda. Dia bangkit berdiri, berkata kepada Bwee Hwa.
“Kau tunggu saja. Masih ada waktu untuk berpikir. Akan tetapi kalau aku kembali ke sini dan engkau masih keras kepala menolak untuk menjadi isteriku, aku akan melakukan pilihan kedua!” Setelah berkata demikian, Kam Ki melangkah ke pintu kamar, keluar dan menutupkan kembali daun pintu kamar itu. Kemudian, diiringkan oleh kepala jaga yang melapor itu, dia melangkah keluar.
Setelah tiba di luar, dia melihat dua orang gadis yang cantik manis berdiri dengan sikap gagah. Yang mengagumkan hatinya, dua orang gadis itu memiliki wajah, bentuk tubuh, gelung rambut dan pakaian yang persis sama, seolah dia melihat seorang gadis dan bayangannya! Dia menduga bahwa tentu dia berhadapan dengan sepasang gadis kembar yang cantik jelita dan gagah. Mereka memiliki kulit yang putih mulus kemerahan, bermata tajam jeli seperti bintang, hidung mancung dan mulut yang menggairahkan. Juga bentuk tubuh mereka amat indah. Dua orang gadis ini tidak kalah cantik dibandingkan Lim Bwee Hwa!
Sementara itu, Can Kim Siang dan Can Gin Siang, dua orang gadis kembar tercengang melihat bahwa ketua Pek-lian-kauw yang keluar menemui mereka sama sekali bukan seorang yang berpakaian pendeta berusia lanjut seperti yang mereka duga, melainkan seorang laki-laki muda yang berpakaian mewah! Pemuda berwajah tampan gagah, bersikap lembut dan senyumnya menawan.
Kam Ki merasa gembira dan dia segera mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai tanda penghormatan yang segera dibalas oleh sepasang gadis kembar itu.
Sio-cia(Nona Berdua), siapakah kalian dan ada keperluan apakah nona datang berkunjung?” tanya Kam Ki dengan suara yang lembut dan senyum memikat.
“Kami ingin bertemu dan bicara dengan ketua Pek-lian-kauw,” kata Can Kim Siang. Ia mengira bahwa pemuda itu tentu seorang anggauta pula.
Kam Ki tersenyum, “Akulah ketua Pek-lian-kauw di sini, nona.”
Dua orang gadis itu saling pandang dan Kim Siang mengerutkan alisnya lalu berkata ragu. “Akan tetapi, bukankah ketua Pek-lian-kauw seorang yang sudah berusia lanjut dan berpakaian sebagai pendeta? Kami mendengar bahwa Pek-lian-kauw adalah perkumpulan agama……”
“Ha-ha, memang tadinya begitu. Akan tetapi sekarang aku yang menjadi ketua di sini semenjak beberapa bulan yang lalu.”
“Hemm, kebetulan kalau begitu. Kami sepasang saudara Can hanya kebetulan lewat di daerah ini dan kami mendengar berita dari para penduduk pedusunan di daerah ini bahwa banyak terjadi penculikan dan perampokan yang dilakukan oleh gerombolan penjahat yang tinggal di puncak Siong-san sini. Karena yang berada di sini adalah perkumpulan Pek-lian-kauw, maka kami minta pertang-gungan jawab ketua Pek-lian-kauw. Benarkah anak buahmu yang melakukan pengacauan dan mengganggu rakyat di pedusunan daerah ini?” tanya Kim Siang sambil menatap ketua perkumpulan gerombolan penjahat.
Senyum di bibir Kam Ki melebar. Tentu saja dia tahu akan perbuatan anak buahnya itu karena dialah yang lebih dulu memilih gadis-gadis yang diculik, memilih yang dia sukai.
“Aih, nona-nona yang baik, kenapa kalian menuduh begitu? Aku ketua Pek-lian-kauw Kam Ki tidak pernah. ” Sepasang gadis kembar itu terkejut sekali sehingga Kim Siang segera memotong ucapan Kam Ki. “Siapa namamu tadi?”
“Namaku Kam Ki dan aku tidak pernah membiarkan anak buahku berbuat jahat!”
“Kam Ki? Jadi engkau inikah yang dulu berada di lereng, Bukit Ayam Emas? Engkau yang telah berjina dengan A-hui dan A-kui? Engkau tunangan Pek-hwa Sianli?” Kim Siang berseru marah.
“Eh, bagaimana engkau bisa tahu?” Kam Ki bertanya, terheran-heran dan terkejut, akan tetapi sama sekali tidak takut maka diapun tidak hendak menyangkal.
Can Kim Siang dan Can Gin Siang mencabut pedang mereka. Kedua orang gadis kembar ini bersenjata siang-kiam(sepasang pedang).
“Kam Ki, bersiaplah engkau untuk menebus dosa dan mati di tangan kami!” Kim Siang membentak, kini tidak merasa ragu untuk memenuhi permintaan piauw-ci (kakak misan) yang juga gurunya yang pertama, yaitu Pek-hwa Sianli, dan untuk membunuh Kam Ki karena ternyata bahwa pemuda itu adalah seorang penjahat, ketua Pek-lian-kauw yang suka mengganggu penduduk dusun dan menculik gadis- gadis dusun.
“Hei, nanti dulu!” kata Kam Ki, masih tenang saja karena memang dia selalu memandang rendah orang lain dan menganggap diri sendiri yang paling pandai. “Boleh saja kalau kalian hendak mencoba untuk membunuhku nanti. Akan tetapi katakan lebih dulu apa hubungannya aku bercintaan dengan Pek-hwa Sianli, dengan A-hui dan A-kui? Siapakah kalian berdua ini sebenarnya?”
“Kami adalah piauw-moi (adik misan) Pek-hwa Sianli dan ia minta kepada kami untuk membunuh engkau yang sudah mengkhianati cintanya. Kam Ki, bersiaplah untuk mati di tangan kami!”
“Ha-ha-ha!” Kam Ki tertawa. “Aku memang sudah siap, bukan untuk mati di tangan kalian, melainkan untuk bersenang-senang dengan kalian berdua!”
Tentu saja sepasang gadis kembar itu menjadi merah mukanya karena marah. Mereka berpencar ke kiri kanan, lalu dari kiri kanan mereka menyerang dengan gerakan cepat dan kuat sambil mengeluarkan bentakan nyaring.
“Haiiittttt……!!”
Kam Ki terkejut bukan main. Serangan kedua orang gadis ini benar-benar hebat dan amat berbahaya. Dia mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan mengandalkan kecepatannya untuk mengelak ke sana-sini. Akan tetapi dua pasang pedang itu membentuk empat gulungan sinar yang mengejarnya ke manapun dia berkelebat sehingga Kam Ki menjadi kewalahan juga. Sesungguhnya, tingkat kepandaiannya masih lebih tinggi daripada tingkat kepandaian sepasang gadis kembar ini. Akan tetapi karena dua orang gadis itu maju berbareng dan mereka berdua agaknya memiliki hubungan batin yang amat kuat sehingga gerakan mereka dapat dipersatukan, seolah dikendalikan oleh satu pikiran saja maka mereka merupakan lawan yang amat tangguh.