Jilid 4

Serang menyerang terjadi dan dalam beberapa gebrakan saja diam-diam Yap Cin mengeluh. Gadis ini gerakannya amat cepat, ginkangnya sudah amat tinggi dan ilmu silat yang dima inkan oleh kedua tangannya benar-benar aneh dan lihai sekali.

Pedang tipis itu menyambar dengan kecepatan yang tak dapat diikuti dengan mata, sedangkan selendang merah itupun tak boleh dipandang ringan, oleh karena angin sambarannya saja sudah terasa pada kulitnya. Maka ia tidak berani untuk mencoba-coba dan menyambut totokan selendang itu. Terpaksa Yap Cin mengerahkan se luruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya untuk melakukan perlawanan, akan tetapi setelah bertempur dua puluh jurus saja, ia terdesak hebat dan hanya dapat menangkis saja.

“Bangsat terkutuk mampuslah kau!” berkali-kali Lian Hong berseru dengan gemas tiap kali senjatanya menyerang. Gadis ini merasa gemas dan benci sekali sehingga set iap serangannya merupakan pukulan maut yang amat berbahaya. Hanya berkat tenaganya yang besar serta pengalamannya bertempur yang banyak sajalah maka Yap Cin masih kuasa mempertahankan diri.

Akan tetapi pada suatu saat, selendang di tangan kiri Lian Hong bergerak sedemikian rupa menotok ke arah jalan darah di pundaknya. Ketika Yap Cin mengelak ke kiri, bagaikan bermata dan hidup se lendang merah itu mengejar ke kiri dan tahu-tahu telah melibat lehernya.

“Mampuslah jahanam!” kembali Lian Hong berseru keras dan ia menarik selendangnya kuat-kuat untuk mencekik leher musuh besarnya itu. Yap Cin merasa seakan-akan lehernya dicekik oleh tangan manusia yang amat kuat sehingga lidahnya menjulur keluar dan matanya mendelik.

Untung baginya bahwa pada saat itu, kelima orang kawannya lalu menyerbu dan mengeroyok Lian Hong. Terpaksa gadis ini melepaskan selendang merahnya dari libatan pada leher musuhnya sehingga Yap Cin dapat bernapas lagi sambil meraba-raba lehernya. Kemudian enam laki-kai itu lalu mengeroyok Lian Hong.

Lima orang kawan Yap Cin itu bukanlah ahli-ahli silat biasa saja dan rata-rata mereka telah memiliki ilmu silat tinggi. Karena mereka semua mempergunakan pedang dan mengurung dengan secara teratur pula, dikepalai oleh Yap Cin yang merasa sakit hati dan marah, agak sibuk jugalah Lian Hong menghadapi mereka.

Namun dara perkasa ini sedikitpun tidak menjadi gentar. Ia tidak mau mundur setapakpun dan melakukan perlawanan dengan sengit, bahkan membalas dengan serangan-serangan ke berbagai jurusan.

Yang paling berbahaya dan terhebat serangannya di antara enam orang pengeroyoknya itu adalah Yap Cin sendiri. Si Lutung Sakti ini selain maklum bahwa ia harus membinasakan puteri Ong Han Cu yang telah ditewaskannya bersama-sama kawan-kawannya itu, juga ia merasa amat penasaran dan marah sekali.

Ia adalah seorang kang-ouw yang tenar dan telah terkenal memiliki ilmu silat yang tidak rendah apakah sekarang ia benar-benar harus jatuh dan kalah oleh seorang dara remaja? Apa lagi kalau sampai terdengar orang lain bahwa ia, Si Lutung Sakti, bersama lima orang ahli silat lain mengeroyok seorang nona berusia belasan tahun.

Ah, alangkah akan ma lunya! Karena ini Si Lutung Sakti Yap Cin lalu mengerahkan tenaganya dan menyerang dengan mati-matian. Ruyungnya menyambar-nyambar mendatangkan angin sehingga Lian Hong harus berlaku waspada dan hati- hati sekali. Sekali saja terkena hantaman ruyung di tangan Yap Cin, akan celakalah dia.

Pertempuran telah dilakukan lima puluh jurus, namun belum juga enam orang laki-laki itu dapat merobohkan Lian Hong. Mereka merasa amat penasaran dan mengurung makin rapat, menyerang dengan bertubi-tubi sehingga keadaan Lian Hong amat terdesak.

Gadis inipun tidak mempunyai kesempatan sedikitpun untuk membalas serangan enam orang lawannya karena senjata enam orang lawannya menyerang bagaikan hujan datangnya. Kalau ia mau, dengan menggunakan ginkangnya, ia akan dapat melarikan diri dari kepungan enam orang ini, akan tetapi gadis ini memiliki ketabahan dan kenekatan besar.

Biarpun ia mengerti bahwa kalau dilanjutkan pertempuran yang berat sebelah ini, ia takkan dapat menang, namun untuk meninggalkan musuh besarnya begitu saja, iapun merasa berat. Maka sambil mengerahkan tenaga dan mengumpulkan semangat, Lian Hong terus melakukan perlawanan.

Pada saat keadaan Lian Hong sudah terdesak sekali, tiba- tiba terdengar seruan keras, “Yap Cin bangsat tak tahu malu! Kau mengandalkan keroyokan enam orang untuk mengepung seorang gadis muda! Hah, orang macam kau ini tak patut hidup lagi!” Dan berbareng dengan kata-kata itu, muncullah seorang tosu tua dengan tangan kanan memegang kebutan dan tangan kiri memegang kipas.

“Suhu ....!” seru Lian Hong dengan girang sekali, akan tetapi ia segera berkata kepada suhunya. “Suhu, biarkan teecu membalas dendam ayah kepada jahanam she Yap ini dan tolong suhu usir saja lima orang anjing yang tak tahu malu ini!”

Ouwyang Sianjin tertawa bergelak dan begitu kebutannya bergerak, buyarlah kepungan itu. Seorang pembantu Yap Cin roboh terguling-guling terkena sambaran ujung kebutan dan empat orang yang lain segera mengeroyoknya, meninggalkan Yap Cin menghadapi gadis itu sendiri.

Pertempuran terbagi dua bagian dan kini keadaan menjadi terbalik. Empat orang kawan Yap Cin itu mana dapat menandingi Ouwyang Sianjin? Dengan enak dan mudahnya Ouwyang Sianjin mainkan kebutannya tanpa mempergunakan kipasnya untuk menyerang karena kipas itu bahkan digunakan untuk mengipasi tubuhnya sendiri seakan-akan pertempuran itu membuat ia merasa gerah.

Sementara itu, ketika mendengar dari Lian Hong bahwa tosu tua itu adalah suhu dari gadis perkasa ini, Yap Cin terkejut sekali. Iapun pernah mendengar dari sahabatnya, yakni Leng Kok Hosiang bahwa Ong Han Cu mempunyai seorang saudara seperguruan yang bernama Ouwyang Sianjin, seorang tosu yang lihai dan bersenjata kebutan dan kipas, maka melihat tosu ini, tahulah dia bahwa yang datang ini tentulah Ouwyang Sianjin. Untuk melarikan diri, tak mungkin lagi karena Lian Hong mengurungnya dengan pedang dan selendangnya yang lihai, maka ia lalu me lakukan perlawanan mati-matian. Namun, karena ia memang kalah gesit dan kalah lihai ilmu silatnya, ditambah pula hatinya telah gentar dan ketakutan sehingga permainan senjatanya agak kacau. Baru saja bertempur belasan jurus, selendang ditangan kiri Lian Hong berhasil melibat lengan kanannya yang memegang ruyung.

Yap Cin mencoba untuk melepaskan tangannya akan tetapi sia-sia saja dan sebelum ia dapat mengelak, pedang di tangan kanan Lian Hong telah menusuk dadanya dengan gerak tipu Benang Mas Masuk Lubang jarum, sebuah gerak tipu serangan yang amat cepat dan tepat sekali datangnya. Yap Cin menjerit ngeri dan tubuhnya terjengkang ke belakang dengan dada menyemburkan darah dan ruyungnya terlepas dari pegangan.

Setelah berhasil menewaskan musuh besarnya, Lian Hong menengok ke arah suhunya yang tadi dikeroyok oleh empat orang kaki tangan Yap Cin, akan tetapi ternyata suhunya telah berdiri menganggur karena semua lawannya telah roboh sambil merintih-rintih tak dapat bangun lagi.

Lian Hong lalu maju dan berlutut di depan suhunya sambil menangis sedih karena ia teringat akan ayahnya.

Ouwyang Sianjin mengelus-elus kepala muridnya dan berkata.

“Anak baik, sudahlah jangan kau bersedih. Ayahmu telah tewas dan karena kematiannya t idak sewajarnya, maka sudah menjadi tugas kewajibanmu untuk membalas dendam agar roh ayahmu tidak menjadi penasaran. Kau telah berhasil menewaskan Yap Cin, dan kini masih ada empat orang lagi yang harus dibalas. Akan tetapi, kau tidak boleh bertindak terburu nafsu, muridku, karena ketahuilah bahwa musuh- musuhmu bukanlah orang yang mudah dikalahkan. Apalagi Leng Kok Hosiang yang memiliki ilmu pukulan Hek-coa-tok-jiu dan Cin Lu Ek yang berjuluk Naga bermata Emas. Kau harus menggunakan kecerdikan dan jangan sampai gagal menghadapi mereka. Ketahuilah bahwa murid ayahmu, yakni sucimu yang bernama Nyo Siang Lan dan yang telah dijuluki Hwe-thian Moli, juga telah mencari musuh-musuhmu ini. Kalau kau bertemu dengan dia, boleh kau bersama-sama dia melakukan tugas berbahaya ini.”

“Teecu hanya mengharapkan petunjuk-petunjuk dari suhu,” jawab Lian Hong, setelah ia disuruh berdiri oleh suhunya itu. “Hanya seorang saja yang sudah kuketahui tempat tinggalnya, yakni Liok Kong yang berjuluk Toat-beng Sin-to. Ia tinggal di Kan-cou Propinsi Kiangsi dan kebetulan sekali pada bulan depan ia akan mengadakan pesta ulang tahunnya. Kau datanglah ke sana, akan tetapi sungguhpun permainan golok dari orang she Liok ini tak perlu kau takuti, namun di sana tentu terdapat kawan-kawannya yang menjadi tamu. Maka kau harus berlaku cerdik dan mengingat bahwa kau pandai menari, ada baiknya kalau kau menyamar sebagai seorang penari, pura-pura menjadi utusan seorang hartawan besar dan menari di depannya. Kemudian pada saat yang baik sete lah kau dapat berhadapan dengan dia, kau turun tangan!”

Demikianlah, setelah mendapat pesan dan banyak nasihat dari gurunya, Lian Hong lalu di suruh pulang ke kota raja sedangkan tosu tua itu lalu melanjutkan perjalanannya. Memang sungguh kebetulan sekali bahwa orang tua itu datang pada saat Lian Hong berada di dalam bahaya.

Sesungguhnya ketika orang tua itu mencari Yap Cin di Kam-ciu, sebagaimana sudah dituturkan di bagian depan, Yap Cin tidak berada di kota dan sedang berpesta dan berpelesir di kota lain selama setengah bulan. Tosu itu menanti di Kam-ciu sampai setengah bulan sehingga akhirnya ia menjadi kesal dan hendak menyusul orang she Yap itu. Kebetulan sekali pada hari itu, Yap Cin juga pulang dari tempat pelesir dan bertemu dengan Lian Hong.

Kedatangan Lian Hong di rumah Ciok-taijin, disambut oleh kegembiraan dan juga teguran keras, terutama sekali dari Ciok-taijin. Akan tetapi dengan muka girang Lian Hong menuturkan betapa ia telah berhasil membalas dendam ayahnya kepada seorang di antara ke lima orang musuh besar itu.

“Lian Hong, dengarkan kata-kataku dengan baik, cucuku,” kata Ciok-taijin sambil memandang tajam.

“Sungguhpun sudah menjadi kewajibanmu untuk membalas sakit hati ayahmu, akan tetapi tidak se layaknya kalau kau sebagai seorang gadis bangsawan, tunangan putera Pangeran Sim, sampai melakukan perjalanan seorang diri mencari musuh-musuhmu dan membiarkan dirimu berada di dalam bahaya maut. Bagaimana kalau sampai kau dirobohkan oleh orang-orang jahat itu? Dan bagaimana pula kalau sampai ada yang mengetahui bahwa tunangan putera Pangeran Sim melakukan perjalanan seorang diri di dunia? Kau hanya membikin kami orang-orang tua merasa susah dan gelisah, cucuku. Pembalasan sakit hati ini bukankah sedang diusahakan oleh suhumu? Kalau perlu, aku dapat mengerahkan perwira-perwira untuk mencari penjahat- penjahat itu dan menghukumnya. Tidak perlu kau pergi sendiri seperti yang telah kau lakukan itu.”

Akan tetapi, kembali watak ayahnya nampak jelas kepadanya ketika gadis itu menyahut,

“Kong-kong, gadis bangsawan maupun gadis biasa, tidak ada salahnya melakukan perjalanan seorang diri asa lkan ia dapat menjaga dirinya. Dengan kepandaian yang telah kupelajari, apakah yang kutakuti? Membalas dendam ayah, harus dilakukan oleh aku sendiri. Kong-kong sendiri menyatakan bahwa itu sudah menjadi tugas dan kewajibanku, maka bagaimana aku dapat membiarkan suhu sendiri yang pergi membalas dendam? Tidak, kong-kong. Harus aku sendiri yang melakukan pembalasan ini sebagai darma baktiku kepada mendiang ayah yang semenjak kecil belum pernah kubalas kebaikannya. Adapun tentang pertunanganku dengan pemuda putera pangeran itu, aku t idak perduli apakah ia atau orang tuanya akan suka atau tidak melihat aku pergi melakukan pembalasan terhadap para penjahat itu. Kalau mereka suka, syukurlah. Kalau tidak, juga tidak apa karena aku sudah mengambil keputusan tidak akan menikah sebelum dapat membereskan tugas pembalasan sakit hati ini!”

“Lian Hong   !” jerit ibunya.

“Ibu, apakah ibu juga akan suka melihat ayah terbunuh tanpa dapat membalas dendam? Dan pula, orang-orang kang- ouw tentu sudah maklum bahwa ayah adalah mantu dari Ciok- taijin, dan seandainya para pembunuh ayah itu tidak terhukum, bukankah itu berarti merendahkan nama kong-kong pula?”

Kemudian ketika melihat betapa kong-kongnya mendengarkan dengan penuh perhatian, ia lalu maju dan memegang tangan kong-kongnya yang amat menyayanginya itu sambil berkata,

“Kong-kong, janganlah kau khawatir. Aku dapat menjaga diri, dan apabila kong-kong tidak menghalangi, tak lama lagi ke empat orang jahat itu akan dapat kutewaskan semua. Selain itu, harap kong-kong jangan gelisah. Selain suhu yang ikut mengusahakan pembalasan dendam ini, juga seorang murid dari ayah, yang bernama Hwe-thian Moli Nyo Siang Lan, telah pula turun gunung dan mencari para penjahat itu!”

Dengan alasan-alasan ini, akhirnya Lian Hong mendapat kemenangan dan kong-kongnya sambil menarik napas panjang berkata,

“Sudahlah, lakukan apa yang kau kehendaki. Akan tetapi kau berlakulah hati-hati sekali dan jaga dirimu baik-baik. Pula, ada satu hal yang kuminta kau memperhatikan baik-baik, yakni jangan sekali-kali ada orang luar mengetahui bahwa kau adalah tunangan dari pada putera Pangeran Sim. Lakukanlah hal ini untuk menjhaga nama baikku, maukah kau, Lian Hong?” Gadis ini dengan manja lalu memeluk kakek ini dan menyatakan kesanggupannya.

Dan sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, sebulan kemudian, dengan menyamar sebagai seorang penari, Lian Hong berhasil membunuh Liok Kong di rumahnya sendiridi waktu Toat-beng-sin-to Liok Kong sedang mengadakan pesta. Kemudian setelah mengajak Hwe-thian Moli Nyo Siang Lan berlumba untuk sebanyak-banyaknya menewaskan musuh besar mereka, Lian Hong lalu kembali ke kota raja, pulang ke rumah kong-kongnya untuk menceritakan hasil usaha pembalasan dendam itu dengan girang.

Ketika Ciok-taijin mendengar bahwa kini jumlah musuh yang harus dibalas tinggal dua orang lagi dan bahwa Hwe- thian Moli juga ikut mencari musuh-musuh itu, hatinya menjadi agak lega. Ia bahkan membantu usaha cucunya dengan jalan menyuruh beberapa orang perwira sebagai penyelidik untuk mencari jejak dua orang musuh besar cucunya itu, yakni Leng Kok Hosiang dan Kim-gan-liong Cin Lu Ek.

Tentu saja Lian Hong merasa girang sekali mendapat bantuan kakeknya ini dan ia sama sekali tidak tahu bahwa diam-diam kakeknya juga memerintahkan kepada para penyelidik itu apabila telah bertemu dengan orang-orang yang dicari, supaya ditangkap atau dibunuh, dan kalau perlu boleh minta bantuan pembesar setempat. Untuk ini ia te lah memberi sebuah surat perintah kepada mereka.

(Oo-dwkz-oO)

Kita ikuti lagi perjalanan Hwe-thian Moli Nyo Siang Lan, gadis gagah perkasa yang secara berani sekali telah mengacau di dalam pesta Liok Kong dan ilmu pedangnya bahkan berhasil menundukkan Lian Hong.

Semenjak berpisah dari Lian Hong, gadis ini masih saja merasa kagum dan heran kalau ia teringat akan gadis penari yang cantik jelita itu. Bagaimanakah suhunya dapat mempunyai seorang puteri yang sebaya dengan dia tanpa pernah menceritakannya kepadanya? Siapakah isteri suhunya dan di mana tinggalnya?

Ia merasa kecewa karena Lian Hong tidak mau menceritakan keadaannya dan sebetulnya ingin sekali berkenalan dengan sumoinya itu. Ia merasa amat kagum akan kepandaian Lian Hong dan melihat gerakan ilmu pedangnya, ia tidak ragu-ragu lagi bahwa Lian Hong pernah mempelajari ilmu pedang Liong-cu kiam-hwat secara baik, hanya masih kurang matang dan tercampur dengan ilmu pedang lain. Akan tetapi ilmu silat se lendang yang dimainkan oleh gadis penari itu sungguh-sungguh hebat.

Ia tersenyum sendiri kalau teringat akan kelincahan dan kejenakaan Lian Hong, dan ia dapat menduga bahwa gadis penari itu membohong dan sengaja mempermainkannya ketika mengaku bahwa iapun mempunyai julukan Hwe-thian Sianli.

Semenjak turun gunung untuk mencari musuh yang membunuh suhunya, ia telah mengalami banyak peristiwa hebat. Setelah ia turun gunung, pertama-tama yang ia dapat ketemukan jejaknya adalah Santung taihiap Siong Tat, Pendekar Besar dari Santung.

Ia mendengar berita bahwa Siong Tat telah pergi pindah ke kota Kang-leng sebelah selatan Ibukota Cin-an. Dengan cepat ia lalu menyusul ke Kang-leng dan mudah saja ia mendapatkan alamat Santung taihiap Siong Tat karena orang she Siong inipun telah menjadi seorang hartawan besar yang membuka rumah gadai terbesar di kota Kang-leng.

Ketika ia hendak memasuki kota itu dan berada di jalan yang sunyi tiba-tiba ia melihat seorang laki-laki tua memanjat pohon sambil menangis. Tangan orang itu membawa sehelai tali. Gerakan orang ini amat mencurigakan hati Hwe-thian Moli, maka diam-diam sambil bersembunyi, gadis ini lalu mengintai.

Ternyata bahwa orang tua itu lalu menalikan tali yang dibawanya pada cabang pohon dan hendak menggantung diri. Melihat ini, tentu saja Siang Lan menjadi terkejut sekali. Ia merasa heran mengapa ada orang yang demikan putus asa sehingga mengambil keputusan pendek.

Kakek tua itu telah membuat ujung tali menjadi penjerat leher, mengalungkannya kepada lehernya dan hendak melompat turun. Akan tetapi alangkah herannya ketika tiba- tiba tali yang tergantung pada cabang itu menjadi putus dan tanpa diketahui sebabnya.

Ia memandang ke sekeliling dan melihat keadaan di situ sunyi saja. Ia berkata keras-keras. “setan penjaga tempat ini mengapa masih mau mengganggu seorang yang sengsara seperti aku? Awas, jangan mengganggu dan menghalangi maksudku, kalau aku sudah mampus dan menjadi setan penasaran pula, akan kucari kau dan kubalas perbuatanmu ini!”

Setelah berkata demikian, ia lalu menalikan talinya itu kembali pada cabang lain. Akan tetapi pada saat itu muncullah seorang gadis cantik yang tahu-tahu telah berada di bawah pohon. Orang tua ini memandang dengan mata terbelalak. Ia merasa pasti bahwa gadis cantik ini tentulah setan yang menjaga di situ, maka katanya.

“Mungkin kau adalah setan dari seorang gadis yang juga mati dalam penasaran. Maka biarlah aku mengakhiri penderitaanku di dunia ini!”

Akan tetapi gadis yang bukan lain adalah Hwe-thian Moli Nyo Siang Lan, tanpa menjawab segera melompat ke atas, menggunakan kedua tangannya menangkap tubuh kakek itu dan membawanya lompat turun kembali ke bawah pohon. “Lopek (uwak), mengapa kau begitu lemah dan bersikap seperti seorang pengecut?”

Marahlah kakek itu. “Siapa bilang aku pengecut? Aku tidak takut mati dan hendak menghabiskan nyawaku dengan tak gentar sedikitpun, dan kau masih menyebutku pengecut? Siapakah kau nona yang cantik jelita dan kasar ini?”

“Hm, menghabiskan nyawa sendiri dengan cara demikian adalah perbuatan rendah yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pengecut! Kau bilang berani mati, bukankah itu berarti bahwa kau takut untuk hidup? Lopek, bukan demikianlah cara untuk memecahkan kesulitan hidup! Kalau ada sesuatu hal yang menyulitkan keadaanmu, kau harus berusaha memecahkannya, bukan dengan cara menghabiskan nyawa dan lari dari pada kesulitan yang kau hadapi!”

Kakek yang tadinya menundukkan mukanya yang sedih itu kini memandang dengan penuh keheranan.

“Siapakah kau, nona? Siapakah kau yang semuda ini telah dapat mengeluarkan ucapan seperti itu?”

“Orang menyebutku Hwe-thian Moli, namaku Nyo Siang Lan. Sekarang lekaslah kau ceritakan kepadaku mengapa kau berlaku nekad seperti ini. Kalau kau sendiri tidak dapat memecahkan kesulitan yang kau hadapi, mungkin aku dapat menolongmu.”

Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya.   “Sulit,   sulit

....”Kemudian atas desakan Hwe-thian Moli ia lalu menuturkan keadaannya.

Kakek itu bernama Lim Bun dan hidup berdua dengan anak perempuannya di kota Kang-leng dalam keadaan miskin sebagai seorang petani yang memiliki sebidang kecil sawah. Anak perempuannya telah menjadi janda yang ditinggal mati suaminya dengan peninggalam lima orang anak yang kesemuanya lalu tinggal bersama kakek mereka, yakni Lim Bun itu. Semenjak anak perempuan dan cucu-cucunya tinggal bersamanya dan hidup mereka menjadi tanggungannya, mulai sukarlah keadaan kakek ini. Biasanya ia hanya mencari nafkah untuk dirinya sendiri oleh karena anaknya telah mendapat perlidungan dari suam inya, akan tetapi sekarang ia harus dapat mencari makan untuk tujuh mulut. Tentu saja tenaganya yang sudah tua itu tidak kuat untuk mencari nafkah sebesar ini.

Cucu-cucunya masih kecil dan yang sulung adalah seorang perempuan pula sehingga tenaga bantuannya tak banyak dapat diharapkan. Cucunya yang sulung itu telah berusia lima belas tahun dan dapat dibilang cantik juga.

Makin lama makin sukarlah keadaan Lim Bun beserta cucu- cucunya Barang-barang yang kiranya laku dijual telah lama habis dan kini hanya tinggal sawah yang kecil itu saja yang masih ada. Namun agaknya Thian masih hendak menguji keuletan manusia di dunia, dan percobaan-percobaan berat diturunkan kepada manusia untuk diderita oleh makhluk- makhluk yang diturunkan di dunia tanpa mereka kehendaki sendiri itu.

Musim kering berlangsung amat lamanya sehingga dari sebidang kecil sawah itupun tidak dapat diharapkan hasilnya. Tanahnya mengering, pecah dan retak-retak, sedikitpun tidak dapat ditumbuhi apa-apa melainkan rumput-rumput kering menguning.

Di ambang pintu kelaparan, akhirnya Lim Bun dan anak perempuannya terpaksa lari ke sebuah rumah gadai yang istimewa. Rumah gadai ini amat besar dan pemiliknya adalah Santung-taihiap Siong Tat yang amat berpengaruh dan disohorkan sebagai seorang hartawan besar yang royal. Ketika Lim Bun dengan terbongkok-bongkok memasuki rumah gadai ini, penjaga rumah gadai menanyakan apakah maksud kedatangannya. “Hamba hendak meminjam uang,” jawab Lim Bun yang merendahkan diri sedemikian rupa terhadap pegawai itu karena mengharapkan pertolongan darinya.

Pegawai rumah gadai mengerutkan dahinya.

“Minta tolong pinjam uang? Di sini tidak mminjamkan uang tanpa ada barang tanggungan. Di sini adalah rumah gadai. Apakah kau mempunyai barang tanggungan?”

“Hamba mempunyai sebidang sawah, siauwya (tuan muda).”

Disebut “siauwya” yakni sebutan yang amat menghormat dan biasanya hanya ditujukan kepada orang-orang muda yang kaya atau berpangkat, pegawai rumah gadai yang masih muda itu berseri mukanya dan tersenyum, akan tetapi dahinya tetap dikerutkan.

“Sawah? Siapakah yang menghargai sawah pada musim kering seperti ini? Lagi pula, di sini hanya menerima sesuatu yang dapat dibawa ke sini untuk disimpan sebagai tanggungan.”

“Siauwya, kasihanilah .... hamba sudah tidak mempunyai apa-apa lagi kecuali sawah itulah, semua barang sudah kami jual untuk dimakan.”

“Hm, sukar juga, pak tua!” Kemudian pegawai rumah gadai itu menggigit-gigit tangkai pitnya seperti orang sedang berpikir keras. Tiba-tiba ia memandang dan bertanya dengan suara perlahan. “Apakah kau mempunyai anak atau cucu yang masih gadis?”

Pertanyaan yang aneh ini membuat Lim Bun me lenggong, akan tetapi ia menjawab juga. “Memang hamba mempunyai seorang cucu perempuan yang masih gadis bernama Siauw Kim, akan tetapi apakah hubungannya dengan urusan ini?”

Orang muda di dalam kantor rumah gadai itu mengangguk- angguk dan tersenyum. “Kalau cucumu itu cantik, ia akan dapat dijadikan tanggungan untuk peminjaman uang. “Makin cantik, makin banyaklah kau dapat meminjam.”

“Apa ...?” Untuk beberapa lama orang tua itu memandang dengan mata terbelalak. “Kau maksudkan ... seorang gadis dapat di ....digadaikan di sini ....? Alangkah ....alangkah ”

“Sst, jangan mengeluarkan kata-kata yang tidak-tidak, lopek.”

Pegawai itu menempelkan pit pada bibirnya untuk mencegah orang tua itu berkata lancang. “Yang mengeluarkan peraturan ini adalah Siong-wangwe sendiri dan apakah buruknya itu? Orang miskin yang tidak mempunyai barang tanggungan tentu saja tak dapat meminjam uang, maka Siong-wangwe lalu mendapatkan pikiran yang amat baik ini. Dengan menggadaikan anak perempuannya, orang dapat meminjam uang dan setelah ia mempunyai uang penebus, ia dapat menebus kembali anak perempuannya. Apakah salahnya itu? Anak perempuannya akan diurus baik-baik, disuruh bekerja membersihkan halaman dan pekerjaan wanita lainnya, diberi makan cukup!”

“Akan tetapi .... mengapa diukur dari kecantikannya    ?”

Orang muda pegawai rumah gadai itu tersenyum dan menahan gelak ketawanya. “Lopek, kau seperti anak kecil saja! Bukankah semua benda di dunia ini, baik itu berjiwa atau tidak, se lalu dinilai orang karena kebagusannya? Nah, kau pulanglah dan pikirlah baik-baik, kau membiarkan sekeluargamu mati kelaparan atau datang menyerahkan cucumu untuk menjadi tanggungan di sini dan dapat meminjam uang. Kami menanggung bahwa cucumu itu takkan diganggu oleh siapapun juga dan akan dapat ditebus dalam keadaan baik dan sama sekali tidak terganggu. Akan tetapi, kalau sampai kau tidak dapat menebus pada waktunya dan waktu pembayaran itu telah habis, maka cucumu akan menjadi hak milik Siong-wangwe dan dalam hal ini tentu saja dia dapat berlaku sekehendak hatinya terhadap hak miliknya!” Lim Bun menjadi pucat dan tanpa dapat bicara lagi ia lalu pergi dari rumah gadai itu dengan langkah terhuyung-huyung. Sepanjang jalan pikirannya bekerja keras. Haruskah ia menggadaikan cucu perempuannya, Siauw Kim yang manis? Haruskah ia mengorbankan perasaan dan kehormatan gadis cucunya itu untuk menolong keluarganya? Ah, tidak, tidak! Sekali lagi tidak! Biarpun ia m iskin, ia masih mempunyai keangkuhan untuk melakukan hal itu. Sungguhpun ia harus mati kelaparan, ia tidak suka melihat cucunya itu dijadikan barang tanggungan yang tentu akan merendahkan nama baiknya, sebagai seorang anak gadis.

Akan tetapi, keangkuhan hatinya itu buyar sama sekali ketika sampai di rumah gubuknya disambut oleh tangisan- tangisan yang menyayat kalbu. Ternyata bahwa cucunya yang bungsu, yang menderita sakit panas ketika ditinggalkannya tadi, kini te lah meninggal dunia.

Di dalam kehancuran hati mereka, ibu Siauw K im dan gadis itu sendiri masih teringat kan kebutuhan uang guna pengurusan jenazah anak kecil itu dan juga untuk membeli makanan bagi anak-anak yang lain yang sudah menderita lapar semenjak kemarin.

“Bagaimana, ayah? Berhasilkah usahamu mencari pinjaman ke rumah gadai?” tanya anak perempuannya dengan suara terisak.

Lim Bun menjatuhkan diri di atas tanah karena mereka tidak mempunyai tempat duduk dari bangku lagi dan tak tertahan lagi kakek ini lalu menangis. Kemudian di antara sedu sedan dan elahan napasnya ia menceritakan tentang usul pegawai rumah gadai itu.

Mendengar betapa rumah gadai itu minta anak perempuannya untuk dijadikan barang tanggungan, nyonya itu menangis sedih. “Alangkah kejamnya!” katanya sambil memeluk anaknya yang juga menangis sedih.

“Ibu, biarlah .....biarlah aku pergi ke sana, biar aku dijadikan barang tanggungan, asal kong-kong bisa mendapatkan uang guna membeli makan untuk adik-adikku

.....” kata Siauw K im dengan gagahnya.

“Tidak, tidak ..... bagaimana kalau kita tidak dapat menebusmu kembali?” kata ibunya sedangkan Lim Bun tak dapat berkata sesuatu seperti orang kehilangan akal.

“Tentu bisa, ibu, Bukankah uang pinjaman itu sebagian besar dapat dipergunakan untuk membeli bibit padi? Musim hujan mulai tiba dan sawah kita tentu akan menghasilkan padi!”

Mendengar ucapan cucunya ini, dengan terharu Lim Bun lalu berdiri dan memegang kedua pundak Siauw K im. “Cucuku yang baik, memang hanya kaulah pada saat ini yang dapat menolong nyawa kita sekeluarga. Percayalah, Thian masih cukup adil untuk memberi berkah kepada sawah kita sehingga penghasilannya cukup untuk dipergunakan menebusmu kelak.”

(Oo-dwkz-oO)

06 Pemilik Pegadaian Anak Manusia

DEMIKIANLAH, dengan hati hancur kakek ini pada keesokan harinya mengantar cucunya ke rumah gadai itu. Ia diterima oleh pegawai rumah gadai yang tersenyum-senyum memandang gadis berusia lima belas tahun ini. Dipandangnya dari kepala sampai ke kaki, seakan-akan sedang menaksir nilai sebuah benda yang digadaikan. Kemudian ia mengangguk- angguk dan menulis pada sehelai surat gadai sambil bersungut-sungut. “Kecantikannya cukup, potongan badan boleh, hanya sayang agak kurus dan pucat!”

“Se ...... semenjak kemarin ia belum .....makan ....” kata Lim Bun dengan hati seperti diremas-remas.

“Hm, seharusnya aku hanya berani memberi lima puluh tail, akan tetapi karena kasihan, biarlah kuberi tujuh puluh tail dalam waktu dua bulan. Bunganya seperlima bagian dan harus dikembalikan paling lambat tepat pada dua bulan kemudian. Kalau dalam waktu dua bulan belum terbayar, cucumu ini menjadi hak milik Siong-wangwe.”

Kakek itu membelalakkan matanya,. “Hanya tujuh puluh tail

...? Kau hargai cucuku hanya untuk tujuh puluh ...?” Hampir saja kakek itu melempar surat gadai dan uang itu kembali ke meja pegawai rumah gadai, akan tetapi Siauw Kim lalu memegang tangan kong-kongnya dan memandangnya dengan mata mengembang air mata.

“Kong-kong, tujuh puluh tail perak sudah cukup untuk membeli benih. Kerjakanlah sawah kita baik-baik agar dapat menghasilkan uang penebusan diriku.”

Dengan mata penuh air mata yang perlahan-lahan mengalir ke pipinya yang kisut, kakek itu melihat betapa cucunya dengan muka tunduk mengikuti seorang pegawai rumah gadai masuk ke dalam, entah kemana.

Dengan tersuruk-suruk Lim Bun lalu pulang ke rumahnya. Memang sekeluarganya tertolong dari bahaya kelaparan dengan uang itu dan jenazah cucu bungsunya dapat dikubur dengan pantas. Akan tetapi, ternyata bahwa musim hujan pada waktu itu amat kikir dengan air hujannya. Hanya sedikit saja hujan turun di bagian di mana terdapat sawah kakek Lim Bun dan hujan banyak turun di bagian lain.

Untuk mengairi sawahnya, terpaksa Lim Bun mengandalkan aliran anak sungai yang dibanjiri air dari daerah lain. Ia bekerja keras dibantu oleh anak perempuannya dan cucu- cucunya yang masih kecil, mencangkul tanah yang keras dan membuat selokan untuk mengalirkan air ke dalam sawahnya. Kemudian sisa uang itu dibelikannya benih-benih padi yang disebar disawahnya.

Biarpun waktu penebusan diri Siauw Kim hanya dua bulan, akan tetapi kalau padi di sawahnya sudah berusia dua bulan dan sudah nampak gemuk-gemuk dan subur, dengan mudah ia dapat menjual padi itu kepada orang-orang kaya yang biasa membeli isi sawah sebelum panen dengan harga jauh lebih murah.

Akan tetapi, ternyata bahwa Siong Tat dan kaki tangannya benar-benar amat kejam. Melihat betapa Siauw Kim setelah mendapat makan cukup dan pakaian pantas, kelihatan cantik dan manis sekali, Siong Tat merasa sayang kalau anak perempuan itu sampai dapat tertebus oleh Lim Bun.

Diam-diam ia lalu memberi perintah kepada anak buahnya dan sebulan kemudian, ketika sawah dari Lim Bun sudah mulai nampak penuh dengan batang padi menghijau, pada suatu pagi Lim Bun dengan terkejut melihat betapa sawahnya telah rusak binasa. Semua batang padi yang masih muda itu telah dicabuti orang dan rusak sama sekali.

Lim Bun menjadi pucat dan hampir saja ia menjadi pingsan melihat keadaan sawahnya ini. Sambil berlari-lari ke sana ke mari, ia berteriak-teriak.

“Siapa yang mencabuti padiku .......? Ah, manusia mana yang demikian kejam melakukan bencana ini kepadaku ?

Siapa yang mencabuti padiku      ?”

Orang-orang lain yang bekerja di sawah mereka, melihat dengan kasihan sekali kepada kakek yang hampir menjadi gila itu. Seorang tetangga yang tahu baik keadaan Lim Bun, lalu menghampirinya dan memegang tangannya. “Kim-lopek, kalau bukan kaki tangan Siong-wangwe yang malam tadi melakukan perbuatan terkutuk ini, siapa lagi yang berani melakukannya?”

Lim Bun terbelalak memandang orang itu. “Akan tetapi mengapa? Mengapa??” Orang itu hanya mengangkat pundaj dan melanjutkan pekerjaannya setelah melempar pandang penuh iba hati kepada kakek itu.

“Bangsat kejam Siong Tat! Aku harus membuat perhitungan!” teriak kakek itu dan ia segera berlari-lari menuju rumah gedung Siong Tat. Akan tetapi, sebelum ia memasuki halaman rumah gedung itu, ia telah diusir oleh lima orang penjaga dan ia segera dilempar keluar ketika ia berkeras hendak mencari Siong-wangwe.

Lim Bun bangun lagi dan kini ia berlari ke rumah gadai yang berada di dekat rumah gedung itu. Ia berlari masuk dan ketika tiba di depan meja pegawai rumah gadai, ia berteriak keras sambil menggebrak meja.

“Kembalikan cucuku! Lepaskan Siauw Kim! Kalian telah sengaja merusak sawahku agar aku tidak dapat menebus Siauw Kim! Kalian bangsat-bangsat kurang ajar yang berhati iblis! Lepaskan Siauw Kim cucuku!”

Pegawai rumah gadai itu keluar diikuti beberapa orang tukang pukul. Tukang-tukang pukul itu hendak turun tangan terhadap kakek yang membikin ribut ini, akan tetapi pegawai itu mengangkat tangan mencegah, lalu sambil tersenyum- senyum ia berkata kepada Lim Bun.

“Kakek tua, agaknya kau sudah pikun! Kau tidak becus mengurus sawahmu, janganlah kau persalahkan itu kepada orang lain. Kau sudah menggadaikan cucumu dan waktu dua bulan masih kurang dua m inggu lagi. Kalau kiranya kau sudah tak sanggup menebus cucumu, relakanlah saja cucumu menjadi hamba sahaya Siong-wangwe karena keadaannya akan lebih senang dari pada menjadi cucumu. Nah, lihatlah, Siong-wangwe bahkan memberi tambahan tiga puluh tail perak kepadamu kalau kau tidak menebus cucumu!” Pegawai itu lalu mengeluarkan setumpuk uang perak di atas meja dihadapan kakek itu.

Akan tetapi Lim Bun menampar uang itu sehingga berdentingan jatuh di atas lantai. “Tidak sudi! Aku tidak sudi uang yang kotor ini! Lekas lepaskan cucuku, kalau tidak aku akan melaporkan kepada tikoan!”

Kini pegawai itu memberi tanda dengan matanya dan dua orang tukang pukul lalu melangkah maju, memegang lengan kakek itu dan sekali ayun saja tubuh kakek itu melayang keluar dari rumah itu. Lim Bun memekik dan tubuhnya jatuh berdebuk di atas tanah. Untung bagi kakek tua ini bahwa ia terjatuh dengan tubuh belakang lebih dulu, kalau kepalanya yang jatuh lebih dulu, banyak kemungkinan ia akan tewas. Namun karena ia sudah tua dan lemah, kejatuhannya itu cukup membuat ia sampai lama tak dapat bangun. Beberapa orang yang menaruh hati kasihan lalu menolongnya bangun.

Sambil menangis dan memaki-maki, Lim Bun langsung menuju ke rumah pembesar kota itu menghadap melaporkan keadaannya. Akan tetapi setelah tikwan itu memeriksa surat gadai, di situ ia membaca tulisan yang menyatakan bahwa anak perempuan Siauw K im telah dijual sebagai budak kepada Siong-wangwe seharga seratus tail perak. Kakek itu ternyata buta huruf dan tak dapat membaca surat penjualan yang disangkanya surat gadai biasa ini.

“Orang tua, kau telah menjual anakmu dengan suka rela dan sah, mengapa sekarang kau hendak mungkir janji dan hendak membuat ribut? Tidak tahukah kau bahwa Siong- wangwe adalah seorang sopan dan mulia hatinya? Untuk kekurang ajaranmu ini seharusnya kau dihukum dengan lima puluh kali sambukan pada punggungmu, akan tetapi mengingat bahwa kau sudah tua dan mungkin otakmu agak miring, kau hanya diberi hukuman peringatan sepuluh kali cambukan!”

Hakim yang bijaksana dan adil bagi orang-orang hartawan ini lalu membuat perintah kepada algojonya yang cepat merobek baju kakek itu, menendang lututnya sehingga kakek itu roboh tertelungkup dan menghantam punggung kakek itu sepuluh kali dengan cambukan yang besar.

Kakek itu tentu saja menangis menggerung-gerung karena sakitnya. Kulit punggungnya pecah dan berdarah, namun sakit di dalam hatinya masih jauh lebih besar dari pada sakit pada punggungnya. Ia lalu diusir seperti anjing dan dengan terhuyung-huyung dan terpincang-pincang kakek ini lalu keluar dari rumah pengadilan itu.

Bagaimana ia dapat menyampaikan warta ini kepada anaknya dan cucu-cucunya di rumah? Kakek ini menjadi bingung sekali dan ia lalu mengambil keputusan nekat. Bunuh diri!

(Oo-dwkz-oO)

Mendengar penuturan kakek Lim Bun yang telah berputus asa dan hendak membunuh diri itu, Hwe-thian Moli menjadi marah sekali. Sepasang alisnya yang hitam dan bagus bentuknya itu berkerut dan sepasang matanya memancarkan cahaya berkilat.

“Keparat jahanam!” sambil menggigit bibir saking gemasnya ia memaki, kemudian ia bertanya kepada kakek itu. “Lim-lopek, sudah banyakkah terjadi penggadaian manusia itu?”

Lim Bun menghela napas. “Setelah kutanya-tanyakan kepada beberapa orang, memang sudah banyak jumlahnya anak perempuan yang digadaikan seperti halnya cucuku Siauw Kim itu. Akan tetapi siapakah orangnya yang berani melawan Santung-taihiap Siong Tat yang selain kaya raya dan berkepandaian tinggi, juga agaknya dilindungi oleh pembesar setempat?”

“Kurang ajar! Akulah yang berani melawannya, lopek. Jangan kau kuatir. Pulanglah dengan tenang dan tunggulah saja. Hari ini juga akan kubawa pulang cucumu Siauw Kim!” Setelah berkata demikian, Hwe-thian Moli Nyo Siang Lan lalu merogoh saku bajunya dan memberi beberapa potong uang perak kepada kakek itu.

Lim Bun menerima pemberian itu dengan amat berterima kasih, akan tetapi ia masih ragu-ragu apakah gadis muda cantik jelita ini akan sanggup menghadapi Siong Tat. “Lihiap,” katanya dengan suara terharu, “kau amat berbudi dan gagah perkasa. Akan tetapi kau seorang diri dan Siong Tat mempunyai banyak sekali kaki tangan. Kalau kau sampai mendapat celaka di tangan mereka yang kejam, bukankah dosaku akan makin bertambah?”

“Jangan pikirkan hal ini, lopek. Kau percayalah saja kepadaku. Kalau perlu, semua kaki tangan jahanam itu akan kubunuh mampus dan pembesar keparat itupun akan mendapat bagiannya!” Sebelum kakek itu dapat berkata sesuatu, tubuh nona itu berkelebat dan lenyap dari depan matanya.

Tentu saja Lim Bun merasa terkejut sekali dan hampir saja ia t idak percaya akan pandangan matanya. Mimpikah dia tadi? Akan tetapi tidak, karena uang perak beberapa potong itu masih berada ditangannya. Mungkin ia bukan manusia, pikirnya, akan tetapi seorang dewi. Kakek itu lalu berlutut dan untuk beberapa lama mulutnya berkemak-kemik membaca doa menghaturkan terima kasih.

Dengan hati penuh dibakar api kemarahan, Siang Lan mempergunakan ilmu berlari cepat memasuki kota Kang-leng. Mudah saja ia mendapat keterangan di mana adanya rumah gadai dari Siong-wangwe dan melihat rumah gadai yang besar dan terjaga oleh lima orang yang tinggi besar, ia segera berjalan masuk dengan langkah lebar. Para penjaga itu memandang kepadanya dengan senyum menyeringai sebagaimana biasanya laki-laki mata keranjang melihat wanita cantik.

“Aduh, nona manis!” seru seorang di antara mereka yang termuda sambil senyum-senyum, “Kau hendak menggadaikan apakah? Kalau kau perlu uang, biarlah aku saja yang memberi pinjam kepadamu. Mari kau ikut aku pulang ke rumahku, maukah?”

Mendengar ucapan ini, kemarahan di dalam dada Siang Lan meluap-luap. Ia berhenti bertindak dan memandang kepada lima orang penjaga itu dengan mata mengancam akan tetapi mulutnya tersenyum.

“Aku memang mau menggadaikan sesuatu di rumah gadai ini.”

“Menggadaikan apakah nona?” tanya penjaga itu sambil melangkah maju. “Hati-hati jangan sampai kau terlihat oleh Siong-wangwe, lebih baik kau turut kepadaku dan segala kebutuhanmu akan kucukupi. Mari nona manis. Marilah ”

tangan penjaga itu secara krang ajar diulurkan kepadanya hendak memegang lengannya.

“Kaulah yang hendak kugadaikan!” tiba-tiba Siang Lan menggerakkan tangannya dan sebelum penjaga yang mata keranjang itu dapat mengelakkan diri, ia telah terkena tiam- hwat (totokan) dari Siang Lan. Saking gemasnya Siang Lan telah menotok dengan tenaga kuat sekali sehingga penjaga itu roboh dalam keadaan kaku dan mata mendelik.

Empat orang penjaga lain yang melihat kawan mereka dirobohkan oleh seorang gadis cantik, menjadi terkejut dan segera maju menyerbu untuk menangkap Siang Lan. Mereka masih memandang ringan dan tidak mempergunakan senjata, hanya mengulurkan tangan untuk menangkap gadis itu. Akan tetapi, begitu tubuh Siang Lan bergerak dan kedua kaki tangannya bekerja, empat tubuh penjaga itu terlempar ke sana ke mari dibarengi teriakan ngeri. Mereka terbanting roboh tanpa dapat bangun kembali.

Peristiwa ini terjadi di pintu gerbang rumah gadai itu, di dekat jalan raya sehingga banyak orang yang menyaksikan. Orang-orang ini menjadi terheran-heran melihat betapa seorang gadis muda yang cantik berani mengamuk dan mengacaukan rumah gadai Siong-wangwe, bahkan kini telah merobohkan lima orang penjaga yang biasanya amat ditakuti dan lebih galak dari pada lima ekor anjing penjaga itu. Hal ini amat menarik perhatian dan sebentar saja banyaklah orang berkerumun di tempat itu.

Akan tetapi Siang Lan tidak memperdulikan semua orang itu, lalu ia membungkukdan menjambak rambut penjaga mata keranjang tadi, lalu diseretnya menghampiri rumah gadai. Beberapa orang menjadi makin tertarik dan memberanikan diri untuk ikut masuk dan melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Mereka melihat gadis muda itu membawa tubuh penjaga sampai di depan meja pegawai rumah gadai yang bangun berdiri dari kursinya dan memandang dengan mata terbelalak.

“Kau siapa dan apakah maksud kedatanganmu?” tanya pegawai itu dengan hati kebat-kebit. Ia telah melihat bahwa yang diseret masuk itu adalah seorang penjaga, akan tetapi tentu saja ia tidak berani menegur karena ia adalah seorang ahli menulis surat gadai saja.

Siang Lan tertawa menghina ketika mendengar pertanyaan

ini.

“Apakah matamu buta? Aku datang hendak menggadaikan

orang. Inilah dia!” Ia lalu menjambak rambut penjaga yang tubuhnya kaku dan mata mendelik itu, diangkatnya dan dilemparkannya ke atas meja besar di depan pegawai itu. Tentu saja pegawai itu menjadi pucat ketakutan dan tubuhnya menggigil. Ia merasa ngeri melihat penjaga itu matanya mendelik dan tubuhnya kaku seperti patung.

“Ti... Tidak ..... di sini tidak menerima penggadaian orang

....” katanya gagap.

“Ah, tidak menerima, ya? Kalau anak gadis dari kakek Lim yang bernama Siauw Kim, bukankah itu orang juga? Awas, jangan kau main-main!” bentak Siang lan. “Hayo lekas tulis surat gadainya! Dan aku m inta benda busuk ini dihargai seratus ribu uang emas!”

Pegawai itu melongo dan wajahnya menjadi makin pucat. Ia maklum bahwa wanita gagah ini tentu datang hendak membikin ribut, maka ia menjadi serba salah. Ia memandang kepada kawan-kawannya yang juga sudah berkumpul di belakangnya dan ia berkata kepada mereka,

“Mengapa kalian diam saja? Lihiap ini hendak menggadaikan orang dan minta seratus ribu. Di mana kita ada uang sebanyak itu? Mana Tang-kauwsu dan Li-kauwsu? Mengapa tidak lekas memberi laporan kepada Siong-wangwe supaya membawa uang itu kemari?”

Siang Lan maklum bahwa orang ini hendak mencari bala bantuan, akan tetapi ia tidak perduli dan bahkan membentak. “Hayo lekas tulis surat gadainya!”

Pegawai itu makin ketakutan dan gelisah akan tetapi melihat kawan-kawannya lari ke belakang, ia menjadi lega karena tak lama lagi tentu datang bala bantuan. Ia memaksa mulutnya tersenyum dan menjawab,

“Sabarlah nona. Kita sedang berurusan dengan uang yang besar jumlahnya. Apakah tidak lebih baik nona duduk dulu? Ini.... benda yang kau gadaikan ini ........ia terlalu besar. ” Ia

menunjukkan kepada tubuh penjaga yang melintang di atas mejanya. “Terlalu besar, ya?” tiba-tiba Siang Lan mencabut pedangnya sehingga sinar pedang yang tajam berkilau menyilaukan mata. Dengan sedikit gerakan pedangnya ke arah kepala penjaga itu, putuslah sebelah telinga penjaga mata keranjang itu dan Hwe-thian Moli lalu melemparkan tubuh itu ke atas lantai. Ia menunjuk ke arah daun telinga yang kini berada di atas meja lalu berkata.

“Nah biarlah kau terima daun telinganya saja, supaya lebih kecil dan mudah disimpan.”

Penjaga itu makin ketakutan dan semua orang yang menonton diam-diam merasa terkejut juga. Nona ini datang mencari perkara, pikir mereka dengan hati berdebar-debar. Memang sesungguhnya telah lama penduduk Kang-leng menderita di bawah kekejaman Siong Tat dan kaki tangannya dan sekarang melihat seorang gadis gagah sengaja datang mengacaukan rumah gadai ini, tentu saja mereka tertarik sekali dan diam-diam berpihak kepada gadis ini.

“Hayo lekas keluarkan uang dan tulis surat gadainya!” kembali Siang Lan berseru mengancam.

“A .....Aku ti .... tidak bisa .....” pegawai itu berkata hampir menangis saking takutnya.

“Bangsat hina dina! Kalau menerima penggadaian seorang gadis, kau bisa menawar dan membuat suratnya, ya? Bagus, orang macam kau ini tidak patut memegang pit dan menulis lagi!” Dua kali pedang di tangan Siang Lan berkelebat dan pegawai itu berteriak ngeri lalu terhuyung-huyung roboh dengan kedua tangan berdarah, Ternyata bahwa sepuluh buah jarinya tinggal setengahnya saja sehingga kalau sudah sembuh, biarpun ia masih dapat melakukan pekerjaan kasar lainnya, jangan harap akan dapat menggerakkan alat tulis yang halus.

Pada saat itu, dari belakang berlari mendatangi dua orang yang berpakaian seperti guru silat dan di belakangnya masih nampak tujuh orang penjaga yang bertubuh tinggi besar dan berwajah kejam. Dua orang ini adalah Tang-kauwsu dan Li- kauwsu, dua orang guru silat yang menjadi kepala penjaga di situ. O leh karena dua orang guru silat ini telah memiliki ilmu silat yang tinggi juga, maka Siong Tat mengangkat mereka sebagai kepala penjaga dan menyerahkan segala urusan kekerasan kepada mereka dan murid-murid mereka yang menjadi penjaga.

Ketika melihat seorang penjaga rebah di atas lantai dalam keadaan kaku dan sebelah telinganya putus sedangkan pegawai rumah gadai itu masih mengaduh-aduh di bawah meja tulisnya, Tang-kauwsu dan Li-kauwsu lalu mencabut golok mereka.

“Dari mana datangnya gadis liar yang membuat ribut?” tanya Tang-kauwsu dengan mata mendelik marah.

Melihat dua orang guru silat dan tujuh orang penjaga itu, Siang Lan tersenyum mengejek dan berdiri sambil bertolak pinggang,. Tangan kanannya yang memegang pedang ditudingkan ke arah mereka, lalu berkata,

“Ah, tidak tahunya di sini banyak terdapat anjing penjaga! Pantas saja orang-orang menjadi takut. He, anjing-anjing buduk pemakan sampah, lekas kau suruh jahanam yang bernama Siong Tat keluar. Aku hendak menebus dan mengambil barang yang dulu kugadaikan padanya!”

Li-kauwsu yang lebih tua dan banyak pengalaman, ketika melihat sikap gadis ini dan melirik keluar melihat betapa empat orang penjaga lainnya juga rebah di atas tanah, maklum bahwa gadis ini bukanlah orang biasa.

Ia menjura kepada Siang Lan dan berkata, “Nona, seungguhnya ada keperluan apakah maka nona datang di sini dan apakah sebabnya nona mengadakan keributan ini? Kalau ada kesalahan di pihak kawan kami, hendaknya urusan ini dirundingkan dengan baik-baik sebagaimana layaknya kita orang-orang kang-ouw berurusan.”

“Anjing tua, kau telah menjadi anjing penjaga dari jahanam Siong Tat, masih dapat bicara tentang peraturan kang-ouw? Sungguh menjemukan! Dengarlah, dulu aku telah menggadaikan kepala dari manusia she Siong itu kepadanya dan karena telah terlalu lama ia memakai kepala itu, kini hendak kuminta kembali!”

Mendengar ucapan ini, tidak saja kedua orang kauwsu dan kawan-kawannya yang menjadi terkejut, bahkan para penduduk yang menonton di situpun menjadi kaget sekali. Alangkah beraninya nona cantik ini menghina Siong-wangwe yang berjuluk Santung-taihiap.

Tang-kauwsu yang mendengar ucapan ini tidak dapat menahan kemarahannya lagi, maka sambil berseru keras ia lalu maju menyerbu dengan goloknya. Li-kauwsu terpaksa juga maju pula menyerang dengan goloknya, diikuti oleh tujuh orang kawan mereka sehingga sebentar saja Siang Lan terkurung oleh sembilan orang.

Para penonton menjadi terkejut dan mundur ke tempat yang aman dengan hati kebat-kebit, karena bagaimanakah seorang gadis jelita seperti itu dapat menghadapi keroyokan sembilan orang ahli-ahli s ilat kaki tangan Siong-wangwe?

Akan tetapi kekhawatiran hati para penonton itu terganti oleh kekagetan dan kekaguman. Begitu melihat dirinya dikeroyok, Siang Lan lalu berseru panjang dan pedangnya berkelebat cepat sekali sehingga yang nampak hanyalah gulungan sinar yang menyilaukan mata. Gerakan ini disusul dengan jeritan dan robohnya dua tubuh penjaga yang telah kena terbabat pundaknya.

Tang-kauwsu dan Li-kauwsu terkejut sekali. Tak mereka sangka bahwa gadis ini selihai itu. Mereka lalu mengurung makin rapat dan menyerang dengan betubi-tubi. Siang Lan memutar pedangnya dan dengan mainkan ilmu pedang Liong- cu kiam-hwat, jangankan baru pengeroyok yang kini tinggal tujuh orang jum lahnya, biar ditambah sepuluh lagi ia masih sanggup menghadapinya.

Di antara para pengeroyok itu, yang tertinggi ilm u kepandaiannya hanyalah Tang-kauwsu dan Li-kauwsu saja, terutama Li-kauwsu agak kuat ilmu goloknya. Namun kini menghadapi ilmu pedang dari Siang Lan, mereka itu hanya merupakan segerombolan anak-anak kecil yang mengeroyok seorang dewasa. Jeritan susul menyusul ketika Siang Lan menggunakan pedangnya bersilat dengan gerak tipu Halilinta Menyambar-nyambar di Hujan Lebat. Kembali empat orang telah dapat digulingkan sekali gus sehingga pengeroyoknya tinggal tang-kauwsu, Li-kauwsu dan seorang penjaga lagi.

“A-siok, lekas beritahukan kepada taihiap!” seru Tang- kauwsu kepada penjaga yang seorang itu sambil memutar goloknya menahan gerakan pedang Siang Lan yang luar biasa.

“Bukan dia yang harus melaporkan kepada jahanam she Siong!” Siang Lan berseru dan begitu pedangnya meluncur cepat, tubuh penjaga itupun terguling roboh.

“Sekarang giliranmu!” bentak Siang Lan kepada Tang- kauwsu sambil menusuk dengan gerakan Lai-liong-sin-jiauw (Naga Mas Menggeliat). Gerakan ini amat sukar ditangkis, karena jalannya pedang tidak lurus dari depan dan dilakukan dengan kecepatan yang tak terduga. Tang-kauwsu mencoba untuk mengelak, sedangkan Li-kauwsu tentu saja tak tinggal diam dan mencoba untuk menolong kawannya dengan serangan kilat dari belakang gadis lihai itu.

Akan tetapi, dengan ringan sekali Siang Lan lalu mengangkat kaki kanannya memutar sedikit tubuhnya dan sebelum golok di tangan Li-kauwsu mengenai tubuhnya, guru silat she Li itu menjerit kesakitan dan goloknya terlepas dari pegangan karena pergelangan tangannya telah terkena tendangan Kim-hong-twi. Adapun serangan pedang Hwe-thian Moli ke arah Tang-kauwsu itu masih diteruskan, dan akhirnya Tang-kauwsu memekik kesakitan. Goloknya terpental dan jatuh ke atas lantai, di susul oleh tubuhnya yang terhuyung- huyung dan kemudian roboh pula tak sadarkan diri. Sebelah lengannya, yakni yang sebelah kanan, telah terbabat putus oleh pedang si gadis itu.

“Nah, kau beritahukanlah kepada majikanmu!” kata Siang Lan kepada guru silat she Li yang masih memegangi tangan kanannya. Siang Lan sengaja mengampuni guru silat ini oleh karena ia melihat guru s ilat ini lebih pantas sikapnya dari pada yang lain. Akan tetapi sebelum Li-kauwsu pergi, tiba-tiba terdengar suara ketawa menyeramkan dari sebelah dalam.

“ha, ha, ha kedua kauwsu dan kawan-kawanmu yang demikian banyak jumlahnya tak dapat mengalahkan seekor kucing betina liar ini? Sungguh memalukan!”

Ternyata yang keluar itu adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, berwajah tampan dan gagah, akan tetapi matanya bersinar liar, ganas, dan cabul. Pakaiannya gagah sekali, seperti pakaian seorang pendekar silat, akan tetapi terbuat dari pada sutera halus yang berkembang di sana sini dan memakai pita benang emas. Di pinggangnya tergantung sarung pedang dengan dua gagang pedang, tanda bahwa orang ini biasa menggunakan siangkiam (sepasang pedang).

“Li-kauwsu,” kata orang itu kepada guru silat yang masih memegangi lengan kanan dengan muka sakit, “lekas singkirkan gentong-gentong nasi yang tiada gunanya ini ke belakang!”

Li-kauwsu dengan bantuan kawan-kawannya yang tidak ikut mengeroyok dan tidak menjadi kurban keganasan Hwe- thian Moli, lalu menggotong tubuh para penjaga itu ke belakang sehingga lantai itu kini menjadi bersih, hanya masih nampak darah berceceran di sana-sini. Sementara itu para penonton ketika melihat betapa kini Santung taihiap Siong Tat sendiri yang keluar, menjadi ketakutan dan segera keluar dari pekarangan rumah gadai itu, dan hanya menonton dari pinggir jalan.

“Sayang, sayang ......!” kata Siong Tat menyembunyikan kemarahannya di balik senyumnya yang menarik. “Kucing yang begini bagus bulunya ternyata amat liar dan ganas. Eh, boca, siapakah kau dan mengapa kau datang mengacaukan tempatku?”

Semenjak tadi Siang Lan memandang kepada Siong Tat dengan mata tajam. Inikah musuh suhunya? Kebenciannya meluap-luap dan ia menjawab singkat. “Siong Tat manusia busuk! Agar jangan mati penasaran, ketahuilah bahwa aku adalah Hwe-thian Moli Nyo Siang Lan!”

Siong Tat belum pernah mendengar nama julukan yang menyeramkan ini karena memang Hwe-thian Moli belum lama beraksi di dunia kang-ouw. Sebagai seorang yang berpengalaman dalam kalangan kang-ouw, dan memiliki kepandaian tinggi, tentu saja ia t idak gentar mendengar nama julukan sehebat itu. Ia bahkan tertawa menghina.

“Hwe-thian Moli? Sungguh julukan yang tidak patut bagimu yang begini cantik! Hwe-thian Moli, sebenarnya apakah maksud kedatanganmu ini?”

“Kau belum mendengar? Aku datang untuk menebus barang yang kugadaikan di s ini.”

“Barang apakah yang kau maksudkan?” Siong Tat bertanya heran.

“Apalagi kalau bukan kepalamu!”

“Kurang ajar!” seru Siong Tat sambil mencabut keluar sepasang pedangnya, akan tetapi ia masih tersenyum. “Kau kurang ajar dan lucu. Sejak kapankah kau menggadaikan kepalaku? Dan mana surat gadainya?” Ia hendak bersikap lucu agar tidak kalah hati, karena ia maklum bahwa menghadapi seorang lawan yang tangguh tidak boleh menurutkan nafsu hati dan marah.

“Sejak kau menjadi kaya raya, dan surat gadainya adalah nyawa dari suhuku Pat-jiu kiam-ong Ong Han Cu!”

Kini terkejutlah Siong Tat demi mendengar bahwa gadis cantik yang ganas ini adalah murid dari Ong Han Cu. Akan tetapi ia masih dapat menyembunyikan rasa takutnya.

“Ah, jadi kau adalah murid setan tua itu? Pantas saja kau begitu ganas. Jadi kau datang karena kau merasa rindu kepada suhumu dan hendak menyusul ke neraka? Baik, baik! Mari kuantar kau menjumpai suhumu.”

Dan tiba-tiba saja, tanpa peringatan lebih dulu, Santung Taihiap Siong Tat menubruk maju dengan sepasang pedangnya. Kedua pedang ini digerakkan dengan cepat dan berbareng, melakukan dua macam serangan. Dengan merobah kedudukan kakinya dan setengah berjongkok, tiba- tiba ia menusukkan pedang di tangan kiri ke arah ulu hati lawannya dan pedang kanan membabat kedua kaki. Inilah gerak tipu yang disebut Pengembala Menyabit Rumput yang lihai dan berbahaya sekali.

Biarpun diserang dengan tiba-tiba tanpa peringatan, Siang lan yang selalu bersikap waspada tidak menjadi gugup karenanya. Ia pergunakan ginkangnya yang sudah sempurna untuk mengenjot kedua kakinya sehingga tubuhnya mumbul ke atas dan tusukan pedang kiri lawannya itu ditangkis dengan pedangnya yang diputar ke bawah.

“Siuuut!” pedang kiri Siong Tat menyambar ke bawa kaki gadis itu dengan cepat dan mengeluarkan angin, kemudian disusul oleh bunyai nyaring “traaang!” ketika pedang kanannya terbentur oleh tangkisan pedang Siang Lan.

Melihat kegesitan lawan, Siong Tat tak berani memandang ringan dan ia mempergunakan kesempatan ketika tubuh gadis itu masih berada di atas, cepat menyusul serangannya dengan kedua pedangnya diguntingkan dari kiri ke kanan. Dan babatan pedang ke arah tubuh ini adalah sebuah serangan yang sungguh-sungguh berbahaya sekali karena tubuh Siang lan masih belum turun ke bawah.

Akan tetapi, gadis perkasa itu tidak menjadi gentar. Dengan cepat ia memukul pedangnya ke kanan, yakni ke arah pedang kiri lawan yang datang lebih dulu, dibarengi dengan pengerahan tenaga ginkangnya. Ketika kedua pedang bertemu, ia meminjam tenaga pertemuan ini dan melemparkan tubuhnya ke belakang berjungkir balik beberapa kali dalam bentuk poksai (salto) yang indah dan ia telah berhasil menggunakan ilmu lompat Kim-tiauw-hoan-sin (Rajawali Emas membalikkan Tubuh) dengan baik sekali. Karena gerakannya yang cepat ini, maka ia berhasil melepaskan diri dari sambaran pedang kanan lawannya yang tadi menyusul cepat.

Kalau Siong Tat merasa kagum melihat kelihaian ginkang dari lawannya, adalah Siang lan juga terkejut melihat kelihaian ilmu pedang dari Santung Taihiap ini. Gadis ini maklum bahwa ia menghadapi lawan yang tangguh, maka ia berlaku hati-hati sekali dan sebelum lawannya sempat menyerang lagi, ia te lah mendahului dan menyerbu dengan gerakan-gerakan ilmu pedang Liong-cu kiam-hwat yang selain cepat, juga kuat dan tidak terduga perubahannya.

Siong Tat memang amat takut kepada Pat-jiu kiam-ong Ong Han Cu dan maklum bahwa ilmu pedang dari Raja Pedang Bertangan Delapan itu amat tinggi. Kalau tidak takut, tidak nanti ia ikut bersekutu menjatuhkan pendekar itu dengan curang sekali.

Sungguhpun ia takut terhadap ilmu pedang Liong-cu kiam- hwat, namun melihat usia murid Raja pedang yang masih mudah ini, ia berbesar hati. Apalagi karena dua serangannya yang pertama tadi membuat ia menang kedudukan, maka hatinya makin tabah. Akan tetapi, setelah kini ia menghadapi gadis itu yang mulai mainkan ilmu pedangnya, diam-diam ia merasa terkejut sekali. Ia melihat betapa pedang gadis ini berkelebatan bagaikan kilat menyambar dan gulungan sinar pedang ini demikian kuat dan menyilaukan matanya. Tak pernah disangkanya bahwa ilmu pedang Liong-cu kiam-hwat ternyata dapat dima inkan dengan cara yang begini dahsyat dan ganasnya.

Baru bertempur belasan jurus saja, kepalanya telah menjadi pening karena matanya harus mengikuti gerakan pedang yang benar-benar aneh dan sukar diduga perubahannya. Setiap tusukan atau babatan pedang lawannya terjadi demikian tiba-tiba sehingga ia hanya mempunyai sedikit waktu untuk mempertahankan diri dan sukar sekali untuk dapat membalas.

Ia menggertak gigi dan melakukan perlawanan sengit, mengerahkan seluruh kepandaiannya dan mengeluarkan semua tipu-tipu yang didapat dalam pengalamannya bertempur selama puluhan tahun ini. Memang sukar sekali dipercaya bahwa seorang gadis yang baru dua atau tida tahun turun gunung dapat mendesak seorang pendekar seperti Santung Taihiap Siong Tat. Ini hanya dapat terjadi karena memang ilmu pedang Liong-cu kiam-hwat luar biasa sekali. Apalagi pedang yang dipergunakan oleh Hwe-thian Moli adalah pedang mestika dan digerakkan dengan tenaga lweekang yang tinggi pula.

Pertempuran berjalan sengit sampai lima puluh jurus dan akhirnya Siong Tat harus mengakui keunggulan musuh besarnya.

Pada saat ia menyerang dengan gerak tipu Harimau Lapar Menubruk Kelinci, yakni pedang di kedua tangannya berbareng membacok ke depan sebelum lawannya dapat menyerang, Siang Lan menggunakan gerakan yang benar- benar mengagumkan dan tidak terduga-duga. Gadis ini menggunakan ilmu tendang K im-liong-twi dengan kaki kirinya, memapaki tangan kanan lawan bahkan mendahului pedang lawan dengan tendangan ke arah pergelangan tangan kanan lawannya, kemudian pedangnya sendiri dari sebelah dalam lalu dibenturkan kepada pedang kiri lawan dan dari tenaga benturan ini pedangnya diteruskan menusuk ke depan.

(Oo-dwkz-oO)

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar