Jilid 8 (Tamat)
Dua orang itu ambruk tewas seketika, hek-sha-mo terkejut, namun sebagai senior dia tidak mau kalah mental, dia terus merangsak maju dengan mengerahkan segenap kekuatannya, tiga pembantunya juga terus maju, pertempuran yang semakin longgar itu semakin seru dan luar biasa, dan dua puluh jurus kemudian, dua orang pembantu hek-sha-mo kembali ambruk tanpa nyawa, hek-sha-mo dengan amarah meluap terus merangsak maju, senjata rahasianya yang berupa bintang besi beracun di sebar untuk mendesak liang-jin, namun dia tetap tidak berhasil karena gin-kang lawannya ini jayh di atasnya, sehingga tiga puluh jurus kemudian hek-sha-mo terpuruk
“buk….bret,,,tuk….” pembantu terakhir hek-sha-mo terlempar dua tombak dihantam tendangan liang-jin, dan serangan susulan berikutnya mengarah hek-shamo yang kelimpungan, sehingga ia tidak kuasa menghindar saat daun kipas merobek lehernya dan totolan moupit menghantam ubun-ubunya.
Tanpa bersambat hek-sha-mo tewas, dan tinggallah seorang pembantunya meringis sambil muntah darah, semua itu di disaksikan si botak dan enam orang anak buahnya, hati mereka makin taku dan tanpa pikir panjang mereka lari tunggang langgang keluar dari hutan untuk menyelamatkan diri, Han-liang-jin tidak menggubris mereka, dia menatap lawannya yang terluka parah.
“kalau kamu tidak cepat mendapat pengobatan, maka kamu akan celaka, jadi sebaiknya pergilah dari sini dan cari tabib.” ujar liang-jin, orang itu menatap heran pada liang-jin, ia serasa tidak percaya dengan pendengarannya
“apa lagi yang kamu tunggu, segeralah pergi!” bentak liang-jin, orang itu dengan sisa tenaga berdiri dan tersaruk-saruk melangkah meninggalkan hutan.
Han-liang-jin menggali sebuah lubang besar, lalu menguburkan mayat hek-sha-mo dan jasad anak buahnya, setelah itu liang-jin keluar dari hutan dan menaiki kembali kudanya, dengan sekali bedal kuda itu berlari kencang meninggalkan hutan ular yang perlahan mulai redup oleh kegelapan malam, hutan yang dulunya ditakuiti penduduk kota lijiang kini lengang tidak bertuan.
Malam itu cerah di hiasi bulan purnama yang terang, dan juga taburan bintang gemintang, bwee-hoa duduk bersandar pada sebuah pohon, sementara yu-liang menyalakan api tidak jauh dari tempat bwee- hoa, khu-wei-lun tidak tampak, karena sedang mencari binatang buruan, sebagaimana kita ketahui bahwa tadinya tiga orang itu berada di kota Bao, dan tiga minggu setelah melakukan perjalanan bersama ketiganya kemalaman disebuah hutan.
Yu-liang yang banyak bicara membuat perjalanan itu terkesan lambat, namun khu-wei-lun dan bwee-hoa dengan sabar meladeni sikap yu-liang tersebut, ada saja yang menjadi bahan cerita yu-liang, dan khu-wei- lun tahu bahwa dibalik itu semua tiada lain untuk mencari perhatian bwee-hoa, sumoinya yang cantik memang penuh daya tarik, jadi jamak jika pemuda yang dekat dengan bwee-hoa ada keinginan menarik perhatiannya.
“mau bertaruh tidak hoa-moi?” ujar yu-liang memecah kesunyian malam “eh..apa maksud yu-twako dengan bertaruh?”
“kira-kira binatang apa yang akan didapatkan khu-twako malam ini.” “hihihi…yu-twako ada-ada saja.”
“yah sekedar iseng saja, daripada diam menunggu.” “apa twako, muda merasa jenuh?”
“yah melihat situasi dan kondisinya hoa-moi.”
“kondisi bagaimana yang mmebuat yu-twako mudah jenuh?”
“kondisi menyebalkan, atau membosankan, atau hal-hal yang tidak menyenangkan.” “kondisi saat ini, kondisi apakah yang dirasakan yu-twako?”
“saat ini sangat menyenangkan menurutku hoa-moi, kalau menurutmu hoa-moi, apa yang kamu rasakan saat ini?” “aku merasakan biasa saja yu-twako, tidak senang dan juga tidak susah”
“bagaimana bisa demimian hoa-mei, bukankah setiap situasi akan memberikan dampak ke pada hati, mungkin senang atau sedih, mungkin gelisah atau mungkin nyaman, masa tidak senang dan tidak juga susah, hoa-moi.”
“tidak sepenuhnya benar seperti apa yu-twako katakan, karena ada situasi dimana hati stabil dan tidak cendrung pada dua pilihan.”
“situasi yang bagaimanakah itu hoa-moi?”
“situasi ketika waspada, hati yang waspada itu stabil, tidak cendrung kemana-mana.” “hmh….artinya boleh aku katakan bahwa hoa-moi waspada pada malam ini?”
“yah demikianlah yu-twako, sikap waspada adalah sesuatu yang baik dan patut dipersikapi dalam keadaan dan situasi apapun.”
“jadi jmenurut hoa-moi, jika aku merasa senang pada situasi ini, aku berarti tidak waspada, begitukah?” “benar, karena twako sudah memiliki kecendrungan antara dua pilihan itu, jadi artinya tidak waspada.”
“bolehkah aku katakan bahwa hoa-moi tidak pernah merasa bahagia? karena bahagia adalah pilihan dari kecendrungan, bukan?”
“twako salah, bahagia bukan pilihan kecendrungan, dan malah sebaliknya bahagia adalah milik orang yang waspada.”
“heh, bukankah orang senang sama saja dengan orang bahagia?” “bukan, twako, senang dan bahagia itu berbeda.”
“hmh….bedanya dimana hoa-moi?” tanya yu-liang makin penasaran
“senang orientasinya hanya berkutat pada rasa, sama halnya dengan susah, sementara bahagia meliputi rasa, jiwa dan pikiran.”
“baiklah, jadi malam ini, apakah hoa-moi bahagia?” “benar yu-twako, aku bahagia.”
“kenapa malam ini hoa-moi bahagia?” “karena aku tidak merasa senang dan susah.”
“hmh….”desah yu-liang sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal
“kenapa yu-twako, sepertinya engkau merasa susah, dan bukankah baru sebentar tadi yu-twako merasa senang?” yu-liang tercenung tidak bisa berkata apa-apa
“hoa-moi, sepertinya orang tidak akan bisa mencinta kalau diikutkan dengan pemahaman yang kamu sampaikan.”
“kenapa yu-twako berkata demikian?”
“karena cinta itu perasaan yang akan berakhir senang atau susah.”
“Kenapa cinta harus berakhir senang kalau ada bahagia, kenapa cinta harus berakhir susah kalau ada bahagia, bukankah begitu Yu-twako? jadi waspadalah supaya kamu bahagia.”
“wah asik betul ngobrolnya.” sela wei-lun yang datang dengan seekor kijang yang sudah dikulit “hihihi…suheng rupanya, wah kita makan besar malam ini suheng.”
“benar sumoi, nah…kamu pangganglah dan aku tidak sabar untuk menikmati daging baker dengan racikan bumbumu yang sedap.”
“hihihih…mana..kesinikan twako, biar aku baker sesuai dengan seleramu suheng.” sahut bwee-hoa, dan mengambil kijang itu dari tangan tangan wei-lun, lalu dengan bwee-hoa dengan cekatan meracik bumbu, dan mengoleskan pada daging kijang yang sudah dipotong menjadi enam bagian, setelah racikan bumbu merata, bwee-hoa pun membakarnya di atas bara api.
Aroma daging bakar yang membetik selera segera menyebar disekitar tempat itu, “khu-twako! bagaimana pendapatmu tentang cinta?”
“hehehe…kenapa kamu tanyakan hal itu Yu-te?”
“kita berdua termasuk laki-kaki yang mungkin sulit mendapatkan cinta, karena sampai sekarang kita belum mendapat pasangan, walhal kita sudah berumur, bagaimana pendapat khu-twako?””
“langkah, pertemuan, rezeki dan maut adalah rahasia yang tidak ada seorang pun manusia mengetahuinya, jadi karena kita tidak mengetahuinya, maka kita wajib berusaha sekuat daya dan upaya.”
“benar apa yang dikatakan Khu-twako, kita sudah berusaha, tapi kadang ironisnya hidup kita mencintai seseorang, tapi orang itu tidak mencintai kita, dan kadang satu saat seseorang mencintai kita, tapi kita malah tidak mencintainya.”
“tidak dipungkiri memang, hal seperti yang yu-te katakan benar adanya.” “menurut khu-twako kenapa bisa demikian?”
“karena dipicu tentang pemahaman cinta yang sempit.” “cinta yang sempit? bagaimana maksud twako?”
“cinta yang sempit itu adalah cinta yang hanya mengandalkan rasa suka dan rasa indah.” “bukankah cinta harus memang demikian khu-twako?”
“belum tentu yu-te, karena suka maka cinta, karena indah maka cinta, pemahaman ini baru berupa kulit daripada yang namanya cinta.”
“jika demikian bagaimanakah pemahaman cinta yang mendalam?”
“cinta yang mendalam adalah cinta yang bersandar pada maslahat dan mamfaat.” “maksudnya bagaimana twako?”
“cinta yang berazaskan maslahat dan mamfat adalah cinta yang melihat aspek kebaikan-kebaikan yang ada, sekaligus menimbulkan guna mamfaat bagi diri dan alam sekitarnya.”
“bagaimana aplikasi pemahaman tersebut jika kita mau mencintai wanita?”
“cintailah wanita itu dengan melihat kebaikan dirinya, kebaikan diri itu berupa jasmani dan rohani, cintailah wanita itu yang memberikan mamfaat bagi anda, mamfaat itu adalah maafaat jasmani dan rohani, dengan mencintainya jasmani anda sehat dan kuat, dengan mencintainya rohani anda sehat dan kuat.”
“perempuan itu sudah memilki seperti apa yang twako katakan, maka kita mencintainya, dan wanita itu juga memiliki cara pandang seperti yang twako katakan, tapi toh cinta tidak juga bertaut, itu bagaimana twako?”
“apa yang kamu rasakan jika cinta tidak bertaut Yu-te?” “eh…tentunya kecewa dong twako.”
“jika demikian, Yu-te tidak mencintai wanita itu, karena cinta itu menyehatkan batin, bukan sebaliknya merapuhkan batin dengan kecewa, dan wanita itu sudah pasti melihat bahwa Yu-te tidak mencintainya.”
“ck…ck….susah kalau begitu.” decak Yu-liang sambil memijit keningnya karena kepalanya puyeng mencerna penjelasan Khu-wei-lun.
“daripada pusing sebaiknya kita makan, bukankah sudah matang sumoi!?”
“sudah suheng, marilah kita makan!” sahut Bwee-hoa, lalu ketiganya pun makan dengan lahap, Yu-liang tidak dapat menikmati lezatnya daging bakar itu, karena pikirannya lelah dan hatinya lemas tidak berdaya, wanita didekatnya ini terasa amat sulit untuk dijangkau.
Setelah makan, mereka pun istirahat dan tidur, dan keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan, dan sejak obrolan yang terjadi malam itu, yu-liang jadi berubah, dia lebih banyak diam, dia tidak seceria pada waktu memulai perjalanan bersama itu, sehingga ketika mereka sampai di kota kecil kenlung
“twako, mungkin kita akan berpisah dikota ini.” “eh..kenapa demikian Yu-te?”
“kota shijajuang hanya seminggu lagi dari sini, dan kita tidak tahu tepatnya keberadaan coa-hiat-kwibo di shijajuang. jadi sebaiknya saya mulai penyelidikan dari kota ini, sekaligus mencari informasi tujuan choa- hiat-kwibo di shijajuang.”
“demikian juga akan lebih bagus Yu-te, dan boleh jadi ketika sampai di shijajuang kami kehilangan jejaknya, tapi dengan hasil penyelididkan Yu-te, kemungkinan besar kita tidak kehilangan jejaknya.”
“benar, jadi sekarang saya akan berangkat duluan.” “baiklah Yu-te dan hati-hati dijalan.” sahut Khu-wei-lun “lalu kita bagaimana suheng?” tanya bwee-hoa
“kita juga akan melanjutkan perjalanan, tapi setelah makan siang.”
“baik dan itu ada sebuah kedai, kita makan disitu saja suheng.” sahut bwee-hoa, wei-lun mengangguk dan mereka pun masuk kedalam kedai makan di pinggir jalan, seorang lelaki tua melayani dan menyediakan pesanan mereka, dengan lahap keduanya makan dan minum hingga kenyang, setelah itu merekapun meninggalkan kota kenlung.
Tiga hari kemudian mereka sampai di sebuah bukit yang indah, dari atas bukit hamparan bunga kanoka yang berwarna kuning laksana hamparan permadani, sebatang sungai melengkung membelah hamparan bunga dilembah bukit itu, angin bertiup kencang membuat pakaian khu-wei-lun dan Han-bwee-hoa berkibar, keduanya saling memandang dan seulas senyum bwee-hoa mengakhiri adu pandang itu, karena bwee-hoa sudah menunduk sembari meremas jemarinya.
Suasana sore di bukit itu sangat syahdu, terlebih saat temaram senja merah menyelimuti alam “hoa-sumoi…” panggil khu-wei-lun nyaris seperti bisikan, namun sangat jelas pada pendengaran bwee- hoa, bwee-hoa sejenak mengangkat kepalanya dan menatap wajah suhengnya yang demikian lekat memandangnya.
“ada apakah suheng!?” tanya bwee-hoa lembut menggetarkan, sejak dari kota kenlung, suasana romantis menjerat kalbu dua saudara seperguruan ini, dan sepertinya bukit yang indah itu semakin memicu pendar rasa yang bergema selama ini.
“tempat ini luar biasa indahnya sumoi!”
“benar suheng, bahkan terasa nyaman didada.” “senja temaram membuat tempat ini jadi syahdu, hati makin bergetar hangat, saat menyadari betapa sosok ini tidak sendiri.”
“berpendar haru seiras gejolak menderu kalbu, nyamannya hati tidak terperi, berada dibawah naungan bayang sosok yang berarak dengan kesenjaan nan redup ini.”
“sumoi, kesyahduan alam mengharukan jiwa, batin berteriak menjerit cinta, tidak lagi dapat disimpan dalam dada, mulut berkata hati menerima apa adanya.”
“cintaku! jeritan menembus lewat pandangan mata, belum terurai hati ini bahagia, jangan biarkan sosok ini hanya mendengar puja, hangat belaian bertatahkan pelukan mesra.”
Khu-wei-lun dengan lembut meraih jemari bwee-hoa, dan dalam sekejap dua tubuh itu sudah saling mendekap dalam pekukan mesra, sejumput kecupan cinta menggetarkan sukma bwee-hoa, semakin menggelapar saat bibirnya yang ranum dilumat mesra, bwee-hoa memejamkan mata menikmati sentuhan- sentuhan suhengnya yang melelapkan, kemesraan itu semakin hangat seiring munculnya sang bulan membawa selimut malam.
“lun-ko…” desah bwee-hoa dengan sesak, wei-lun mengangkat kepalanyab dan menatap lembut dan sayang pada bwee-hoa, tatapan itu membuat bwee-hoa tersipu, sehingga ia benam kepalanya dalam pelukan kekasih hatinya, dan kemesraan itu berlanjut dengan segala pernak pernik yang membuncah dari pasangan yang saling mencinta itu.
“lun-ko..! sudah..ah..” desah bwee-hoa manja, wei-lun bengkit dan duduk, senyumnya yang hangat menghias bibirnya, lalu tangannya menarik bwee untuk duduk.
“malam ini kita lewatkan disini hoa-moi.” ujar wei-lun sambil mengumpulkan ranting kering kering
“baik koko, dan aku akan siapkan makan malam untuk kita.” sahut bwee-hoa, dua sejoli itu pun membakar dendeng daging sambil menikmati indahnya bulan dan bintang yang mengarak di angkasa, bercengkrama dan bercanda membuat malam itu semakin hangat dan ceria bagi dua hati yang mencinta.
Kota shijajuang, pagi itu diguyur hujan, orang-orang malas untuk keluar rumah, terlebih anginnya yang bertiup kencang, membuat warga lebih memilih tetap diatas ranjang dan bermalasan hangat dibawah selimut, sosok bayangan melintas dengan cepat dijalanan kota shijajuang, sosok bercaping bambu berhenti di depan sebuah rumah megah, dilihat dari tubuhnya yang sedikit bongkok menandakan bahwa orang itu adalah lelaki yang sudah ujur, dan memang benar lelaki tua sudah santar berumur, namun tatapan matanya masih tajam dan menakutkan, karena kulit wajah itu hitam.
Kakek itu adalah “hek-kai” (pengemis hitam) salah satu pentolan hek-to yang ditakuti, sebagaimana diketahui bahwa kakek ini bertugas di Taiyuan untuk menebar makar di wilayah utara, dan sejak setahun yang lalu ia sudah mengumpulkan banyak harta dan membuat warga resah dan dihantui ketakutan, hek- kwi memiliki empat pembantu dalam melancarkan misinya, mereka itu menempati kota-kota yang telah ditetapkan, yakni Taiyuan, lanzhou, hehat dan shijajuang, kakek itu berpindah-pindah untuk mengkordinasi empat pembantunya, sementara ia sendiri tinggal di “in-lim” (hutan halimun) tiga mil dari kota xiang, dan disamping empat orang yang menjadi pelakasana lapangan, hek-kwi juga mempunyai dua anggota dalam, yang bekerja dengan rahasia, dan dari dua orang inilah hek-kwi mengetahui perkembangan misi yang dijalankan empat pembantunya.
“beberapa bulan yang lalu, ia menerima laporan dari salah satu angota dalamnya yakni “eng-coan-mo” (setan pencabut nyawa) bahwa anak buahnya yang berada di taiyuan telah tewas ditangan “kim-sim-sin- sianli” dan tidak berselang lama ia juga mendapat laporan dari “hiat-ciang-kwi” (iblis tangan darah) bahwa pembantunya di lanzhou tewas ditangan “Kim-san-sin-siucai”, hingga pada suatu malam hek-kwi memanggil dua pengawalnya
“kalian berdua sehera berangkat ke hehat, untuk memperkuat kedudukan “kai-tung-kwi” (pengemis tongkat iblis), dan aku akan ke sihijajuang untuk memperkuat keadaan disana.” ujar hek-kwi.
Dua orang pembantunya segera mengangguk dan berkemas untuk melakukan perintah, setelah kedua pembantunya berangkat, maka keesokan harinya hek-kwi meninggalkan kediamannya, perjalanannya tidak tergesa-gesa, karena disetiap kota yang disinggahi hek-kwi mencermati kedaan kota, dan bahkan informasi yang berdar ia perhatikan dengan seksama, demikianlah hingga suatu hari hek-kwi singgah dikota Ling-yun, saat memasuki likoan, seorang pelayan datang sambil menyapa ramah dan menanyakan pesanan, hek-kwi dengan suara parau memesan makanan
Hek-kwi menyuap makanannya dengan lambat, dan telinganya yang tajam mendengar pembicaraan tiga orang pedagang tiga meja dibelakangnya
“sepertinya keadaan sudah berangsur normal kembali, Lu-twako!”
“benar Liu-te, dan keadaan ini berkat intruksi dari bengcu pada murid-muridnya untuk mengendalikan keadaan yang kita alami dua tahun terakhir ini.”
“apakah menurut Lu-twako, keadaan yang normal ini hanya di wilayah kita saja?”
“menurut yang saya dengar dari para piauwsu yang membawa dagangan saya, bahwa para sastrawan yang disebar oleh bengcu meliputi seluruh wilayah.”
“memang benar apa yang dikatakan oleh Lu-twako.” “benar bagaimana maksud Yang-twako?”
“bahwa benar bengcu mengadakan pembersihan diseluruh wilyah dari cengkraman para durjana penindas.”
“bagaimana Yang-te tahu?”
“karena ketika saya berada di kota lamhong, saya mendengar bahwa dedengkot durjana yang berjulukan hek-sha-mo telah tewas oleh pendekar yang berjulukan “sin-san-taihap”
“sin-san-taihap itu kan putra bengcu, Yang-te.”
“benar Lu-twako, diwilayah barat namanya sangat dielukan.”
“Jadi wilayah barat boleh dikatakan sudah pulih kembali, Yang-twako.” “begitulah kemungkinannya Liu-te.”
“saya dengar pimpinan gerombolan penjahat di Taiyuan juga telah tewas oleh kim-sim-sin-sianli.”
“cerita itu juga telah saya dengar, lu-twako, ah..semoga saja keadaan akan lebih baik dan para penjahat itu dihabisi oleh para pendekar.” sela orang she-liu dengan nada harap.
Hek-kai merasa terkejut mendengar bahwa rekannya hek-sha-mo tewas, dan hatinya makin gemas dengan pembicaraan tiga orang itu, dengan sekali kibas serangkum hawa menerpa ketiga pedagang yang sedang asik menyuap makanan
“brak…” ketiga orang itu terhempas kelantai dan meja mereka hancur berantakan, ketiganya menggelapar sambil muntah darah, dan tidak berapa lama ketiganya tewas, tujuh orang tamu yang juga ada didalam ruangan termasuk para pelayan terkejut dan pucat, mereka tidak tahu apa yang terjadi sehingga tiga orang itu terhempas kelantai dan mati mengenaskan.
Hek-kai berdiri dan tidak menggubris orang
“cianpwe! cianpwe belum membayar makanan.” seru seorang pelayan
“ini bayarannya!” bentak hek-kai sambil mengibaskan pukulan sehingga pelayan itu terlempar dan ambruk kelantai dalam keadaan tewas, para tamu makin ketakutan melihat kejadian itu, hek-kai keluar dari likoan dengan senyum angker.
Baru saja hek-kai pergi, seorang kakek sastrawan lewat didepan likoan yang dikerumuni banyak orang “ada apa sicu, apa yang terjadi?” “ah….mengerikan sekali kakek, seorang kakek hitam telah membunuh empat orang dilikoan itu.” “hmh…kearah mana pelakunya pergi?”
“dia telah pergi ke arah utara.” jawab orang itu dengan muka ngeri, dan hatinya makin berdebar setelah melihat kakek sastrawan itu menghilang dari sampingnya.
Kakek sastrawan itu adalah Kim-san-sin-siucai yang sedang memburu kakek dengan cirri yang baru saja diceritakan, sebagaimana kita ketahui bahwa kim-san-sin-siucai bersama cucunya Yap-hui-hong menangani wilayah utara, dan untuk mempercapat penanggulangan, maka Yap-kun berangkat ke Lanzhou sementara cucunya Yap-kun ke Taiyuan, sesampai dikota Lanzhou Yap-kun langsung mengadakan penyelidikan, dan dua hari kemudian ia mengetahui bahwa sarang perampok yang mencengkram kota lanzhou berada di pinggir kota belahan selatan
Dan saat Malam tiba Yap-kun mendatangi markas perampok tersebut, penjagaan di rumah bekas seorang hartawan itu dijaga ketat, Yap-kun bergerak laksana burung hantu masuk kedalam rumah, dan disebuah ruangan empat orang sedang melaporkan hasil jarahan mereka pada pimpinan mereka, namun pembicaraan itu terhenti seketika dengan kemunculan Yap-kun yang tiba-tiba
“bangsat..! seorang penyeludup masuk, cepat ringkus!” teriak pimpinan rampok, dalam sekejap ruangan itu telah menjadi ajang pertempuran segit dan menegangkan, lima orang itu mengurung dan mendesak Yap- kun, namun jago tua ini tidak gugup dan gentar, dengan tabah ia menyampok semua serangan dan memberikan perlawanan yang tidak kalah hebatnya.
Sampai seratus jurus, lima orang itu masih belum bisa mendesak Yap-kun yang memiliki jurus pertahanan yang luar biasa, lima orang itu makin gemas dan marah, sehingga mereka mempergencar serangan, setelah dua jam berkutat dalam pengeroyokan, Yap-kun mulai mendapat celah meraih kemenangan dengan tumbangnya seorang dari pengeroyoknya, pimpinan dan tiga anak buahnya terkejut, bahwa lawan tua ini masih dapat memberikan perlawanan hebat ditengah gencarnya serangan mereka, dan ketika kelengahan sesaat itu, yap-kun tidak berlama-lama, dengan pukulan sakti ia menyerang seorang yang paling dekat dengannya, orang itu menangkis
“dhuar..” suara benturan keras terjadi, orang itu terlempar satu tombak, dan
“crak..tuk…” kipas Yap-kun mengenai bahu lawannya dan disusuk jotosan gagang kipas ke ulu hati, sehingga membuat lawannya tersedak dan muntah darah dan lalu tewas.
Melihat gebrakan cepat luar biasa itu, pimpinan rampok makin marah dan menyerang dengan ganas, Yap- kun makin gesit mengerahkan sekuruh kepandaiannya untuk mengalahkan tiga lawannya, dan akhirnya satu jam kemudian, seorang dari lawannya tidak kuasa menangkis pukulan Yap-kun
“buk…” pukulan Yap-kun telak menghantam dada lawannya hingga tewas seketika karena dadanya hancur berantakan, dan tanpa menunda Yap-kun melanjutkan serangan hebat dan dalam dua puluh jurus anak buah terakhir dari pimpinan itu tewas dengan kepala remuk dihantam gagang kipas Yap-kun.
Pimpinan rampok menerjang membabi buta, namun ia sudah menjadi permainan sastrawan tua ini, beberapa ketukan dan tamparan kipas yap-kun sudah bersarang ditubuhnya, mukanya makin merah menahan perih dan ngilu disekujur tubuhnya, akhirnya ia ambruk lemas di bawah kaki Yap-kun
“katakan siapa pimpinan kalian untuk membuat makar di wilayah ini!” bentak Yap-kun, namun sang pimpinan tidak menjawab. Dan matanya berkilat karena marahnya, Yap-kun menekan memar pada wajah pimpinan itu
“katakan! kalau tidak kamu akan lebih menderita.” ancam Yap-kun, namun pimpinan itu menagkap tangan Yap-kun dan hendak memukul
“plak…buk…prak…” Yap-kun menagkis pukulan yang datang tiba-tiba, dan reflek Yap-kun menghantam dada pimpinan rampok dan kipasnya yang berlipat menghantam kepala.
Pimpinan itu tewas seketika, dan empat puluh orang anak buahnya yang mengurung ruangan itu tergetar dengan hati ciut dan kegarangan mereka terbang “kalau kalian mengatakan pimpinan kalian di wilayah ini, maka kalian tidak akan binasa.” ujar Yap-kun dengan tatapan tajam
“baik cianpwe, kami akan mengaku.” Sahut seorang dari mereka sambil berlutut, dan yang lainnya pun ikut berlutut
“katakanlah! sebelum pikiranku berubah” ancam Yap-kun “pimpinan kami di wilayah ini, adalah Hek-kai atau hek-kwi.” “hmh…bagaimana orangnya hek-kai ini?”
“hek-kai seumuran dengan cianpwe, dan wajahnya hitam.” “Hek-kai ini dimana tinggal!?”
“ka..kami tidak tahu cianpwe, karena tidak seorangpun tahu, bahkan tai-ong juga tidak tahu, kami hanya sekali bertemu dengan beliau, dan itu pun dua tahun yang lalu.”
“hmh….baik, kali ini kalian selamat, dan aku tidak akan memberi hati jika kalian masih berbuat aniaya pada orang.” ujar Yap-kun dan tubuhnya pun berkelabat dari tempat itu. Ya-kun kembali ke penginapan untuk istirahat, dan keesokan harinya ia meninggalkan kota Lanzhou untuk mencari hek-kai, dalam pencariannya itu, Yap-kun sampai ke kota Lingyun dan melihat bekas perbuatan hek-kai.
Diluar gerbang utara, Yap-kun melihat hek-kai sedang berjalan santai menapaki jalan setapak, langkahnya terhenti ketika Yap-kun muncul didepannya
“hek-kai..! tanganmu sungguh telengas menyebar maut didalam kota.” “hehehe…apakah kamu yang dijuluki kim-san-sin-siucai?”
“benar…dan aku harus menghentikan sepak terjangmu yang banyak merugikan orang-orang.”
“hehehe….tanganku juga sudah gatal ingin membunuhmu yang telah menewaskan anak buahku.” sahut hek-kai sambil menyerang dengan cepat.
Pertempuran dua jago tua itu pun berlangsung dengan seru dan menegangkan, tongkat hek-kai yang berwarna hitam mengaung pada setiap gerakan yang dikerahkan dengan kekuatan sin-kang, Yap-kun dengan kelincahan dan kekuatan penuh berusaha mengimbangi jago hitam ini, gerakan mereka sangat cepat sehingga sosok keduanya hanya berupa bayang-bayang, benturan sin-kang telah menggetarkan tempat itu, dan beberapa pohon tumbang akibat pukulan yang meleset.
Pertempuran tingkat tinggi itu masih alot dan seru, sementara siang sudah berganti malam, pertempuran berlangsung sengit dimalam yang redup hanya disaksikan keremangan malam, dan ketika malam sudah kian larut, nampak Yap-kun mulai terdesak hebat, kilatan tongkatnya demikian gencar mengurung dan memojokkan pertahanan Yap-kun
“duk..hegk..cras….ih….prak…” Yap-kun tersudut, dan sebuah sodokan menghantam lambungnya, dan pada itu juga Yap-kun melempar kipasnya sehingga melukai kening hek-kai, dan membuat hek-kai marah, sehingga tongkatnya diayun kekepala Yap-kun yang sudah lemah.
Yap-kun ambruk tewas dengan kepala pecah, sementara muka hitam hek-kai bersimbah darah dari luka dikeningnya yang robek, dengan rasa kesal dan nyeri hek-kai menendang tubuh Yap-kun hingga terlempar kelembah jalan dan berguling-guling kemudian hilang ditelan semak-semak, Hek-kai meninggalkan tempat itu sambil berlari cepat, dan ketika pagi tiba, hek-kai berhenti disebuah hutan untuk mengobati luka dikeningnya, setelah itu ia mencari binatang buruan untuk pengisi perutnya, seekor kelinci menjadi santapannya pagi itu, dan setelah kenyang ia pun melanjutkan perjalanan hingga tiga minggu kemudian ia sampai di shijajuang.
Seorang pengawal rumah keluar dengan membawa payung ditangannya, dia heran melihat orang bercaping yang berdiri didepan rumah, ketika Hek-kai mendongak “ah..ternyata cianpwe yang datang.” Serunya sambil menjura dalam
“mari..mari cianpwe!...heh..kalian bangun cianpwe datang ” teriaknya membangunkan teman-temannya yang baring tumpang tindih di ruang tengah itu, semuanya terkejut dan langsung berdiri, dan menjura dalam setelah tahu siapa yang datang, dua orang segera bergegas kedala untuk menyampaikan kedatangan Hek-kai pada pimpinan mereka.
Tidak lama kemudian seorang lelaki paruh baya, bertubuh kekar dan wajah kekuning-kuningan “selamat datang cianpwe ” sapanya dengan hormat dihadapan hek-kai yang duduk dikursi menatapnya dengan tajam
“bagaimana keadaan kalian, “hek-liong-tung” (tongkat naga hitam)!?” “kami baik-baik saja cianpwe, dan cianpwe sendiri bagaimana?” “hmh….apa tidak ada gerakan dari para pendekar di kota ini?”
“oh…memang ada cianpwe, namun kami belum bertemu dengan mereka, ada apa cianpwe?”
“pemberantasan gerakan kita ini telah menjadi misi utama “siauw-taihap”, dia telah menyebar murid- muridnya ke seluruh wilayah untuk membantu para pendekar, dan ini sangat tidak baik bagi kita.” ujar Hek- kai dengan nada pahit
“dan baru-baru ini saya mendengar kabar bahwa rekan kita di taiyuan binasa oleh Kim-sim-sin-sianli, benarkah berita itu cianpwe?
“benar, dan bukan hanya itu, di kekuatan kita di lanzhou juga telah ditumbangkan oleh, kim-san-sin-siucai, tapi hal itu sudah aku balaskan dengan membunuhnya, hanya aku prihatin bahwa gerakan kita di wilayah barat lebih teruk lagi”
“maksud cianpwe, teruk bagaimana?”
“hek-sha-mo telah tewas ditangan sin-san-taihap.”
“wah…kalau begitu kedudukan kita sangat terancam, cianpwe.” seru hek-liong-tung dengan kaget “benar, dan aku tidak tahu bagaimana kabar ditimur dan selatanjadi.”
“lalu apa yang harus kita lakukan cianpwe?”
“sebaiknya kita hentikan dulu kegiatan kita, dan melihat perkembangan selanjutnya.”
“kalau begitu tiga anak buah saya yang berada diluar kota harus diberitahu supaya menghentikan kegiatannya.”
“benar, sebaiknya hal itulah yang kamu lakukan.”
“baiklah cianpwe, dan cianpwe silahkan istirahat, sementara aku akan memberitahu tiga anak buahku.” sahut hek-liong-tung, Hek-kai kemudian bagkit dan pergi menuju kamar yang telah disediakan.
Tiga hari kemudian, seorang nenek berwajah menyeramkan dan lelaki bertubuh kekar masuk kekota shijajuang, dia adalah coa-hiat-kwibo dan ban-kin-mo, keduanya memasuki likoan
“selesai makan kamu cari tahu dimana sarang kawan-kawan kita disini!”
“baik-kwi-bo.” sahut Ban-kin-mo, dan setelah selesai makan ban-kin-mo mengadakan penyelidikan, dan tidak sulit baginya untuk mengetahui sarang golongannya di kota itu, hingga saat menjelang sore ia kembali kepenginapan
“bagaimana ban-kin-mo, apakah kamu sudah tahu dimana markas golongan kita?” “sudah kwi-bo, mereka ada di sebelah utara.”
“baik, kita kesana sekarang!” sahut kei-bo, lalu keduanya segera meninggalkan penginapan. “siapa kalian!” tanya dua orang pengawal dengan
“goblok, cepat katakan pada pimpinanmu bahwa coa-hiat-kwibo datang.” sumpah coa-hiat-kwibo sambil melangkah terus. dua pengawal itu segera berbalik masuk mendahului kedua tamu mereka untuk melaporkan pada hek-liong-tung, tidak lama hek-liong-tung datang bersama hek-kai
“eh….bagus ternyata kamu disini hek-kai, bagimana kabarmu!?”
“aku baik-baik saja kwibo, lalu kamu bagaimana, dan kenapa datang kesini?”
“aku baik-baik saja, tapi gerakan kita di timur terancam dengan kemunculan para sastrawan murid si bengcu.”
“artinya kekuatan kita ditimur juga sudah pudar?” “hmh…ya begitulah, tapi apa maksudmu dengan juga.”
“maksudnya kekuatan kita dibarat juga telah habis, dengan tewasnya hek-sha-mo ditangan Sin-san- taihap.”
“ah...celaka, saya kira engkau akan menyinggung soal kematian koai-kok-lohap.” “aih…koai-kok-lohap juga tewas, sungguh keadaan ini amat berbahaya bagi kita.” “lalu bagaimana selanjutnya menurutmu hek-kai.”
“menurut saya, sebaiknya kita kembali ke tianjin dan memperkokoh kedudukan ang-gan-kwi.” “begitu juga baik hek-kai, dan menurutmu kapan kita akan berangkat ke tianjin?
“lebih cepat lebih baik, kwibo”
“tunggulah beberapa hari barang sehari dua, baru kita berangkat.”
“baik, jika demikian menurutmu kwibo.” sahut hek-kai, lalu coa-hiat-kwibo dan pembantunya di antar kekamar oleh anak buah hek-liong-tung.
Dua hari kemudian hek-kai dan tiga orang rekannya meninggalkan markas hek-liong-tung, mereka meninggalkan kota shijajuang dari gerbang sebelah timur, namun baru saja mereka keluar dari dalam kota, seorang wanita cantik mencegat mereka yang muncul tiba-tiba dari dalam hutan, wanita itu tiada lain adalah kim-sim-sin-sianli yap-hui-hong yang kebetulan hendak memasuki kota shijajuang.
Setelah Yap-hui-hong menewaskan pimpinan pengacau dikota taiyuan, ia berangkat menuju kota hehat, perjalanan ia lakukan dengan cepat, sehingga tiga minggu kemudian ia sampai dihutan satu li dari kota hehat, suhu hari itu sangat panas, jadi dia tidak langsung masuk kedalam kota, karena melihat sumber air yang jernih, sehingga terbetik rasanya untuk mandi mendinginkan badan yang gerah, lalu ia pun turun kesungai untuk mandi, sambil bernyanyi kecil ia membersihkan badan
“hahaha….eng-coan-mo, alangkah cantiknya bidadari yang sedang mandi itu.”
“hehehe….kalau yang begini tidak boleh dilewatkan nih, terlebih wanita ini yang telah membunuh rekan kita di taiyuan.”
“ooo, jadi ini yang namanya kim-sim-sin-sianli, hahaha…hahaha…” sahut eng-coan-mo dengan seringai yang memuakkan, Yap-hui-hong terkejut dan seketika ia bersembunyi dibalik batu untuk menyembunyikan ketelanjangannya. “enyah kalian dari sini!” bentak yap-hui-hong “hehehe….bagaimana kami mau melewatkan santapan lunak ini.” “bangsat, kalian ini sangat menjijikkan, apa mau kalian!?”
“hahaha..mau kami ingin bersenang-senang dengangmu sebelum membalaskan dendam rekan kami yang telah kau bunuh di taiyuan.”
“cih..dasar manusia busuk dan pengecut, jika memang jantan biarkan aku keluar dulu, kemudian baru kita lakukan hitung-hitungan.” tantang Yap-hui-hong
“hehehe…..terserah apa katamu…dhuar….” sahut eng-coan-mo sambil mengibaskan tangan mengirimkan sebuah pukulan sakti, sehingga batu yang menyembunyikan ketelanjangan yap-hui-hong hancur, kedudukan yap-hui-hong sangat tersudut dengan ketelanjangannya itu, namun ia harus bertahan, sehingga ketika pukulan itu menghantam batu, yap-hui-hong menyelam dan menjauh secepat mungkin kearah lain.
Ketika dia muncul dari dalam air suara ketawa dua orang itu bergema dalam hutan
“ayok hiat-ciang-kwi, kamu kea rah sana dan mari kita bombandir bidadari cantik ini.” sambil ketawa hiat- ciang-kwi melayang kesisi lainnya, lalu keduanya melepas pukulan jarak jauh ke tengah sungai, dimana yap-hui-hong berada, air jernih itu tidak bisa menutupi ketelanjangannya, tubuhnya yang putih mulus membayang kepermukaan, dalam air itu hanya sampai leher yap-hui-hong, keadaan yang membuat risih itu harus ditelan yap-hui-hong, dan kali ini ia harus menutup rasa malu dan mengangkat kedua tangannya untuk menagkis dua pukulan yang mengarah padanya.
“Dhuar….blarr…” air singai bergelombang muncrat keluar bantaran sungai akibat hawa benturan tenaga sakti itu, kaki yap-hui-hong amblas kedasar sungai sebatas lutut dan dadanya bergetar hebat, dan ia harus melompat ke darat sebelum air meneggelamkannya
“heaat….” teriak yap-hui-hong sambil melompat ke sisi hiat-ciang-kwi yang terlempar satu tombak menggerus tanah, tubuhnya bergetar dan wajahnya pucat, kondisi itu memang sangat berbahaya bagi yap-hui-hong, karena dadanya yang sedang bergetar hebat dan dipaksakan mengerahkan sin-kang untuk keluar dari dasar sungai, membuat dia limbung dan tidak bisa mendarat dengan baik, tubuhnya ambruk sambil memuntahkan darah segar.
Melihat keadaan itu eng-coan-mo melompat mendekat, matanya jelalatan melihat tubuh montok Yap-hui- hong
“hehehe…..cantik dan menggairahkan.” pujinya sambil menelan ludah, lalu ia menubruk yap-hui-hong dengan bringas
“buk..hegh…buk….” dua pukulan seadanya dikerahkan oleh yap-hui-hong, namun walaupun tidak seluruh tenaga, tapi mengenai jakun dileher eng-coan-mo yang sedang birahi, akibatnya eng-coan-mo ambruk ketubuh yap-hui-hong dengan mata mendelik tewas, yap-hui-hong juga sudah payah, tenaganya hilang dan untuk kedua kalinya ia muntah darah akibat pengerahan sin-kang untuk dua pukulan yang dilancarkannya.
Yap-hui-hong memejamkan mata menahan rasa sakit didadanya, terpaksa ia mandah saja ditimpa jasad eng-coa-mo, dan kemudian Yap-hui-hong pingsan. hiat-ciang-kwi dengan mata berkilat mendekati dua tubuh yang saling tumpang tindih itu, dia menarik tubuh eng-coan-mo dari atas tubuh telanjang yap-hui- hong, tubuh putih dan lemas tergolek itu kontan menaikkan birahinya, dengan dengus nafas birahi yang menderu ia melepaskan celananya, dia telungkup meremas dada yap-hui-hong yang lemah tidak berdaya, dan dengan rakus ia menciumi tubuh telanjang yap-hui-hong, nafasnya kian sesak, lalu ia hendak memasukkan dirinya pada yap-hui-hong
“tak…..” sebuah batu sebesar jempol orang dewasa menghantam belakang kepala hiat-ciang-kwi, ia langsung ambruk pingsan. Seorang sastrawan paruh baya datang mendekat dan langsung menutupi tubuh yap-hui-hong yang pingsan, dia adalah lu-tan murid dari bengcu yang berketepatan lewat hutan itu hendak keluar dari kota hehat, ia menguburkan jasad eng-coan-mo, dan saat ia menguruk tanah, suara keluhan yap-hui-hong terdengar lemah
“moi-soso..! tetaplah baring, kemungkinan luka dalam mu parah.” ujar Lu-tan, Yap-hui-hong menatap lelaki sastrawan itu dan hatinya lega setelah melihat sal hitam yang tersampir di pundak lu-tan
“oh..si..siapakah kamu suheng!?” tanya Yap-hui-hong sambil mengingat-ingat apa yang di alaminya “aku Lu-tan moi-soso, maaf kita harus mengobatimu moi-soso!”
“benar lu-suheng, tapi ba…bagaimanakah dua iblis ini ketika suheng datang?” sahut Yap-hui-hong dengan nada cemas dan mencoba merasakan tubuhnya, namun ia tidak merasakan tubuhnya
“saya datang pada saat yang tepat moi-soso, jadi tenangkanlah dirimu, dan pengobatanmu yang paling penting sekarang.” Jawab Lu-tan bijak. mendengar Lu-tan, hati Yap-suheng sedikit lega
“baiklah suheng, terimakasih dam lakukanlah pengobatannya.”
“baik. moi-soso, kosongkanlah pikiranmu dan buka semua jalan darah, dan aku akan mengerahkan pengobatan sin-kang dari perut.”
“hmh…lakukanlah suheng!” sahut Yap-hui-hong sambil memejamkan mata.
Lu-tan menyelipkan tangannya kebawah kain penutup tubuh Yap-hui-hong, dan menempelkan telapak tangannya keperut Yap-hui-hong, pengobatan sin-kang itu pun berjalan, dada yap-hui-hong serasa hangat dan pembuluh darahnya yang kacau dia liri tenaga sin-kang, cukup lama juga pengobatan tersebut, dan ketika malam tiba, Lu-tan menghentikan pengobatan, dan Yap-hui-hong membuka matanya, keningnya penuh keringat
“bagaimana sekarang moi-soso?”
“sudah baikan lu-suheng, sekarang aku mau duduk, tapi tolong ambilkan buntalanku, suheng.” Lu-tan memberikan buntalan dan berpaling kearah lain.
Yap-hui-hong berusaha duduk walaupun tubuhnya masih lemah, ia mengenakan pakaian
“sudah lu-suheng.” serunya, lu-tan kembali berpaling kepadanya, sementara itu hiat-ciang-kwi siuman
“hehehe….aih denoknya..hmhh..hmh..hmhhhh….” hiat-ciang-kwi tertawa sendirian sambil memuji-muji dan menciumi tangannya, lalu dia berdiri dan mengulang-ulang perkataannya sambil menciumi tangannya, ia meninggalkan hutan dengan kondisi gila karena jaringan syaraf di kepalanya telah terganggu akibat benturan batu yang dilempar Lu-tan.
“apa yang terjadi padanya lu-suheng?”
“hmh….dia sudah jadi gila, karena lemparanku tadi.” “dan bagaimana dengan yang satunya lagi?”
“ia sudah tewas dan aku kuburkan di situ.”
“lu-suheng, dibuntalanku masih ada sisa dendeng daging kijang.”
“oh..begitu, baguslah..” sahut Lu-tan lalu membuat api dan membakar dendeng daging.
“apakah moi-soso hendak ke kota hehat?” tanya yap-hui-hong sambil menggigit daging dan mengunyahnya dengan perlahan
“tidak moi-soso, bahkan aku sudah tiga hari dikota hehat.” “bagaimanakah keadaan disana, apakah pimpinan gerombolan hek-to berada disana?” “benar dan aku sudah menemui mereka dan menewaskan pimpinannya.”
“syukurlah kalau begitu, lalu lu-suheng mau kemana?”
“aku hendak kekota xian, dan kamu moi-soso apakah hendak ke kota hehat?”
“benar lu-suheng, tapi lu-suheng sudah menyelesaikan gerombolan disana, jadi mungkin setelah pulih aku akan kekota shijajuang.”
“baik, sekarang istirahatlah moi-soso! dan besok kita akan masuk kedalam kota, disanalah engkau memulihkan diri.” ujar Lu-tan, Yap-hui-hong mengangguk dan ia kembali merebahkan badan.
Keesokan harinya Lu-tan menggendong adik iparnya memasuki kota hehat, Lu-tan memasuki kembali penginapan yang disewanya tiga hari yang lalu
“eh…kongcu datang lagi!?”
“benar wangwe, saya butuh dua kamar, dan kira-kira dimanakah saya mendapatkan seorang tabib untuk adik saya ini?”
“ooh lima blok dari sini ada toko obat dan pemiliknya adalah Yaw-sinse.” “terimakasih wangwe, sementara saya kesana, tolong kamar kami dipersiapkan.”
“baik..kongcu, dua kamar akan kami siapkan.” sahut pemiliki likoan, Lu-tan kembali keluar likoan menuju kediaman Yaw-sinse.
Dirumah Yaw-sinse, Yap-hui-hong menjalani pengobatan, setelah dua jam “bagaimana keadaan adik ipar saya sinse?”
“hmh…lukanya dalamnya lumayan parah kongcu, tapi tidak masalah dengan meminum obat-obat yang saya racik nanti akan memulihkannya kembali.”
“terimakasih sinse.” sahut Lu-tan lega
“baik, dan tunggulah sebentar! saya akan meramu obat-obat yang diperlukan.” Ujar Yauw-sinse sambil melangkah kedalam tokonya untuk meramu obat, seorang pelayan ikut membantunya.
“baik..kongcu, ini obat harus direbus dengan air dua gelas, sehingga tinggal setengah gelas, lakukan sampai tiga hari, dan ini juga pel untuk dimakan dua kali sehari selama satu minggu.”
“baik sinse dan terimakasih atas pertolongannya.” sahut Lu-tan sambil memberikan uang ala kadarnya, kemudian lu-tan membawa adik iparnya kembali kepenginapan, selama tiga hari ia merebus obat buat Yap-hui-hong, dan keadaan Yap-hui-hong sudah membaik dan tenaganya sudah pulih kembali, dan pada hari ketujuh
“saya sudah sehat kembali, dan bagaimana rencananya sekarang Lu-suheng!?”
“lanjutkanlah rencanamu ke shijajuang, yang tentunya akan menumpas gerombolan yang mencengkram penduduk, dan saya akan ke xiang untuk melihat keadaan disana.” jawab Lu-tan.
“begitupun baik Lu-suheng, dan kapan lu-suheng akan berangkat?”
“setelah makan siang kita akan meninggalkan kota.” jawab lu-tan sambil memesan makan siang untuk mereka, setelah makanan dihidang, keduanyapun makan dengan lahap, dan setelah itu mereka meninggalkan kota, Lu-tang keluar dari gerbang barat sementara Yap-hui-hong dari gerbang utara. Yap-hui-hong melakukan perjalanan cepat menuju kota shijajuang, sehingga ketika sampai di hutan dekat pinggir kota ia melihat rombongan hek-kai.
“hehehe…kim-sim-sin-siali, ternyata kamu datang mengantar nyawa.” seru hek-liong-tung “hmh…inikah orangnya yang telah membunuh kawan-kawan kita di taiyuan!?”
“benar cianpwe.” sahut hek-liong-tung
“bagus kalau begitu, saat ini juga ia harus mati, kalian bunuhlah perempuan tidak tahu diri ini!” ujar Hek- kai, ban-kin-mo dan hek-liong-tung menerjang setelah mendengar perintah hek-kai.
Yap-hui-hong dikeroyok dan dicecar dengan serangan-serangan kuat mematikan, Yap-hui-hong tidak gugup dan dengan tenang ia melawan kedua orang penyerangnya, gerakan kipasnya yang dahsyat di kerahkan, sehingga sampai lima puluh jurus ia belum dapat didesak apalagi untuk ditewaskan, pertempuran berlangsung alot dan seru, hingga dua jam kemudian pertempuran sepertinya masih imbang, dan hal ini membuat coa-hiat-kwibo tidak sabaran
“minggir kalian, biar aku saja yang bereskan wanita ini!” teriak coa-hiat-kwibo sambil menerjang, ban-kin- mo dan hek-liong-tung segera mundur.
Yap-hui-hong memperkuat daya pertahanan menerima serangan tongkat coa-hiat-kwibo yang ganas, kali ini yap-hui-hong memang mendapat lawan berat, dia tidak lagi dapat membalas serangan, namun walaupun demikian coa-hiat-kwibo tidak juga mudah untuk mendesaknya, sehingga sampai seratus jurus coa-hiat-kwi-bo masih belum dapat merobohkannya, sehingga kemarahan makin menjadi-jadi, ia mengeluarkan jarum-jarumya untuk membuyarkan pertahanan Yap-hui-hong, dan memang Yap-hui-hong sibuk menghindar, sehingga pertahannanya ambrol dan sebuah pukulan tongkat telak menghantam pahanya.
Yap-hui-hong ambruk dengan tulang paha remuk, dan ujung tongkat pada serangan susulan sudah mengancam kepalanya, Yap-hui-hong tak kuasa lagi menghindar, dan ia pun memejamkan mata menerima kematian, sesaat bayangan suami dan anaknya melintas
“trak….buk….hegh…” sebuah batu sebesar kelereng menghantam ujung tombak coa-hiat-kwibo sehingga tongkat itu melenceng kesamping dan membuatnya limbung dan terlempar tiga tombak kesamping setelah lambungnya telak menerima pukulan yang datang tiba-tiba.
Han-liang-jin sudah berada didekat Yap-hui-hong
“hong-moi..! kamu tidak apa-apa!?” tanya Liang-jin lembut, Yap-hui-hong segera membuka matanya, hatinya bergetar rindu mendengar panggilan itu, kegembiraannya meluap
“jin-ko…kamu datang menyelamatkanku!” seru Yap-hui-hong gembira, Liang-jin meraih jemari istrinya yang menggapainya, dan menatap tiga orang yang juga melihat kepada mereka.
“sial…dangkalan, siapa yang berani ikut campur urusan coa-hiat-kwi-bo!” teriaknya kesal sambil berdiri dan menatap tajam pada Han-liang-jin
“hmh…kalau kamu coa-hiat-kwibo, kakek hitam itu tentulah hek-kai.” sahut Han-liang-jin “betul siucai, lalu siapakah kamu!?” sela Hek-kai
“aku adalah han-liang-jin, dan kebetulan kita bertemu disini.” “apakah kamu sedang mencari-cari saya!?”
“benar, sejak hek-sha-mo tewas, aku berniat mengunjungi di utara ini.”
“apakah kamu yang berjulukan “sin-san-taihap”!?” tanya hek-kai dengan hati bergetar “benar hek-kai dan ini adalah istri saya, jadi urusan kita makin terpaut bukan?” “sialan…kamu kira aku takut berurusan denganmu!? hayo kwibo kita tewaskan putra si bengcu ini!” teriak hek-kai, lalu dua cianpwe itu menerjang han-liang-jin.
Han-liang-jin tidak menghindar, tapi bahkan menyambut kedua serangan cianpwe itu
“ih..buk…des…” coa-hiat-kwibo mundur saat kibasan kipas mengancam pundaknya sehingga ia selamat, tapi hek-kai terlempar kesamping ketika tendangan liang-jin menghantam pahanya, untugnya pahanya tidak patah, dan ia masih dapat mendarat dengan kaki setelah berjumpalitan, han-liang-jin melakukan serangan bertubi-tubi dengan rangkaian ilmu kwi-hut-san-sian yang luar biasa.
Dua pentolan hek-to itu tidak menyangka bahwa mereka akan kelabakan berhadapan dengan pendekar yang boleh dikata tergolong muda ini, mereka mengerahkan seluruh kepandaian untuk membalas serangan, namun sekali mereka menyerang, tiga sampai empat gebrakan mereka harus terdesak kembali, melihat keadaan dua cianpwe, ban-kin-mo dan hek-liong-tung maju membantu, sehingga sin-san-taihap di keroyok empat, sedikit kedua cianpwe lega karena tekanan pada mereka berkurang, namun itu tidak berlansung lama
“crak….tuk….” hek-liong-tung yang paling lemah diantara mereka langsung ambruk setelah sepuluh gebrakan, lehernya robek dan keningnya kena hantam gagang kipas, tubuhnya sesaat berkelonjotan, lalu tewas.
Han-liang-jin dengan tenang menghadapi keroyokan tiga orang lawannya yang semakin gencar, gin-kang dan sin-kang han-liang-jin mengatasi semua lawannya, hingga dua puluh jurus kemudian ban-kin-mo tumbang dengan jantung pecah, karena ulu atinya ditotol gagang kipas yang penuh hawa sin-kang, ban- kin-mo tewas seketika, dan dua cianpwe makin kelimpungan menghadapi serangan-serangan luar biasa dahsyat dari Han-liang-jin yang kosen.
Akhirnya empat puluh jurus kemudian, coa-hiat-kwibo tersudut kelimpungan
“buk…duk..” sebuah pukulan keras menghantam bahunya, dan disusul sebuah tendangan kuat menghantam dadanya, coa-hiat-kwi-bo terlempar tiga tombak, dan tubuhnya melabrak pohon hingga tumbang, ia pun mati setelah memuntahkan darah segar, hek-kai dengan hati ciut mengambil peluang untuk menjauh dan berusaha melarikan diri, memaksakan luka memar dan luka dalam yang ia derita.
Han-liang-jin tidak mengejar hek-kai, tapi ia melangkah mendekati istrinya
“koko..” seru yap-hui-hong manja dengan mata berbinar, rasa nyeri dipahanya tertutupi dengan kegembiraan bertemu kembali dengan suaminya.”
“bagimana sayang, apamu yang sakit?” tanya han-liang-jin penuh rasa sayang dan mesra “kakiku koko sepertinya remuk.” sahut yap-hui-hong manja.
“baik…kita akan mencari tabib didalam kota, tapi sebentar kita kuburkan dulu mayat tiga orang ini.” ujar Han-liang-jin, yap-hui-hong mengangguk, lalu han-liang-jin berdiri dan menggali tanah di bibir hutan, kemudian ia memasukkan tiga mayat dan menguruknya kembali dengan tanah.
Setelah itu ia mendekati istrinya dan segera menggendongnya, lalu meninggalkan tempat itu menuju kota shijajuang, sesampai didalam kota, ia menyewa sebuah kamar disebuah penginapan
“kita harus mengobati kakimu sayang.” ujar han-liang-jin lembut sambil merebahkan istrinya di ranjang, lalu sebentar ia keluar menemui pemilik likoan dan menanyakan tabib
“wangwe! dimanakah ada tabib dikota ini?”
“Bu-sinse ada dipingir kota sebelah timur kongcu!” jawab pemilik likoan
“oh..terimaksih wangwe, saya akan kesana bersama istri saya.” ujar Han-liang-jin, lalu ia kembali kedalam kamar.
“bagaimana koko, apakah ada tabib di kota ini?” “ada hong-moi, kita akan menemuinya di sebelah timur kota, marilah sayang!” sahut Han-liang-jin mesra sambil menggendong istrinya, dan keluar dari likoan.
Disebelah timur orang mengenal belaka bu-sinse, sehingga tidak sulit bagi han-liang-jin menemukannya, ketika sampai dihalaman rumah bu-sinse, seorang tukang kebun mendekatinya
“ada apakah kongcu, apakah hendak berobat!?” “benar lopek, apakah bu-sinse ada dirumah?”
“ada kongcu, sebentar akan saya sampaikan kedatangan kongcu.” sahut tukang kebun, dan tidak berapa lama bu-sinse keluar dan mengajak han-liang-jin masuk.
Bu-sinse memeriksa kaki yap-hui-hong, kemudian ia meracik obat dan membalurkannya dipaha Yap-hui- hong, kemudian paha itu dibalut dengan daun yang sudah di lulus dengan api hingga lembut dan berminyak, kemudian ia keluar
“bagaimana dengan istri saya sinse?”
“istri kongcu dapat disembuhkan, tapi membutuhkan waktu yang tidak singkat, setidaknya istri kongcu harus dirawat selama sebulan untuk menyembuhkan tulang pahanya yang remuk.”
“oh..baiklah kalau begitu sinse, dan terimakasih”
“dan kongcu harus membaluri bagian tulang yang remuk dengan bubuk ini dan daun ini dilulus dengan api sehingga ia lembut dan berminyak, kongcu lakukanlah setiap pagi, dan ini obat pelancar dan pembersih darah dimakan sekali sehari.” ujar bu-sinse, han-liang-jin mengangguk mengerti, kemudian ia kembali membawa istrinya kembali kepenginapan.
Tiga hari setelah berada dikota shijajuang, dan saat han-liang-jin turun untuk memesan makanan, ia melihat adiknya Han-bwee-hoa sedang makan
“koko…!” seru bwee-hoa dengan senyum gembira
“hoa-moi, eh….lun-suheng rupanya.” ujar han-liang-jin setelah melihat khu-wei-lun “benar jin-te, hal tak terduga kita bertemu disini, bagimana jin-te sampai di sini?”
“saya awalnya ditugaskan ayah di wilayah barat, dan setelah menewaskan hek-sha-mp aku kewilayah utara ini untuk membantu kim-san-sin-cianpwe dan istri saya, dan sykurlah aku tidak terlambat, karena hong-moi kutemukan diluar kota sedang berhadapan dengan coa-hiat-kwibo dan rombongannya.”
“lalu bagimana dengan hong-cici, dan dimanakah ia sekarang?” tanya bwee-hoa.
“ia ada diatas, kalian selesaikanlah makannya dan setelah itu ke atas dikamar nomor sembilan.” ujar han- liang-jin, lalu ia menemui pelayan dan memesan makanan, kemudian ia kembali ke atas menemui istrinya, dikamar yap-hui-hong sedang duduk dikursi sambil memadang keramain kota, dari jendela
“hong-moi, dibawah hoa-moi dan lun-suheng sedang makan, sebentar lagi mereka akan kesini.” “oh ya….mereka darimana, bukankah hoa-moi ditugaskan gak-hu ke wilayah timur?”
“nanti saja kita tanya” sahut han-liang-jin, dan tidak lama kemudian pelayan datang membawa pesanan, dan pelayan itu bersama-sama dengan bwee-hoa dan wei-lun.
Pertemuan itu amat menyenangkan, bwee-hoa memeluk kakak iparnya yang sedikit pincang, sambil han- liang-jin dan istrinya makan, mereka bercakap-cakap.
“bagaimana kamu hingga sampai kesini hoa-moi?” tanya hui-hong “saya dan lun-suheng sedang mengejar coa-hiat-kwibo yang menuju kekota ini, tapi saya dengar tadi jin-ko dan cici sudah bertemu dengannya.”
“benar hoa-moi, dan coa-hiat-kwibo dan dua rekannya sudah tewas ditangan koko, tapi hek-kai yang juga merupakan pentolan hek-to di wilayah ini melarikan diri”
“lalu koko dan cici sudah berapa hari disini?”
“kami sudah tiga hari disini hoa-moi, cicimu menurut saran tabib harus menjalani pengobatan setidaknya selama sebulan.” sela han-liang-jin.
“tidak apalah jin-ko, yang penting cici dapat pulih.” sahut bwee-hoa “lalu bagaimana rencana selanjutnya lun-suheng?” tanya han-liang-jin
“hmh…keadaan seluruh wilayah sepertinya sudah dapat ditanggulangi, dan sebelum kita kembali ke selatan, beberapa hari ini saya akan menyisir pingiran kota ini, mana tahu antek-antek hek-kai masih beroperasi.”
“ya…demikianpun bagus lun-ko..eh…suheng” sela bwee-hoa terheyak karena hatinya merasa senang bahwa kekasihnya memutuskan masih menjalankan misi pembersihan, wajahnya kontan bersemu dan han-liang-jin memandang adiknya agak heran, namun kemudian dia tersenyum.
“sepertinya perjalanan ini telah menautkan dua hati, tidak salahkan perkataan saya suheng?” “ah….cinta memang aromanya semerbak, terluas begitu saja oleh rasa senang dan bahagia.”
“hehehe….bagimana rencana suheng dalam hal ini?” tanya han-liang-jin sambil melirik adiknya yang bersembunyi dipelukan istrinya saking malunya
“tentunya aku akan melamar hoa-moi pada suhu sekembalinya kita dari sini.”
“hehe…aku ucapkan selamat pada suheng dan kamu hoa-moi, semoga sekembalinya kita dari sini, semua rencana dapat berjalan dengan baik dan lancar.” ujar han-liang-jin.
Selama tiga hari khu-wei-lun dan han-liang-jin menyisir keadaan dalam kota dan luar kota, sementara bwee-hoa dan hui-hong tinggal di penginapan, dan memang kedaan kota sudah aman dan tidak ada pergerakan dari para penjahat, han-liang-jin dan khu-wei-lun kembali ke penginapan, dan saat itu keduanya menyusuri jalanan kota, mereka melihat kerumunan orang, seorang lelaki tua tergeletak dengan kepala berdarah
“kalian ini bagimana!? memacu kuda kencang-kencang didalam kota.” teriak seorang lelaki tua “bukan salah kami lopek, orangtua ini yang tidak lihat jalan.”
“kalian memang han-piuwkiok berlaku sombong!” cerca orang tua itu kesal
“lopek, jaga bicaramu, jika tidak mau kena masalah.” bentak pimpinan rombongan.
“ya..sudahlah, mari kita bawa cu-twako ini menemui bu-sinse.” ujar orang tua itu tanpa mau berdebat lagi, dua orang pemuda mengangkat she-cu yang tertabrak kuda, rombongan itu berlalu dan orang-orang pun bubar.
“bukankah han-piauwkiok adalah milik su-kong, jin-te?”
“benar lun-suheng, mari kita ikuti orang tua yang menuju tempat bu-sinse.” sahut han-liang-jin. “lopek..kalau boleh tahu bagaimana kejadiannya sehingga orangtua itu tertabrak.” tanya liang-jin “ini jalanan dalam kota, sudah tahu banyak orang yang lalu lalang, masih juga memacu kuda.” “bagaimana pendapat lopek dengan han-piuwkiok itu?” “aduh..kongcu…han-piuawkiok itu memang buat kesal, kalian siapakah?”
“kami ini pengelana lopek, dan kebetulan melihat kerumunan orang tadi.”
“hmh…beginilah nasib orang kecil, sulit untuk mendapat keadilan, kalian tahu tidak, bahwa banyak sudah orang jika berurusan dengan han-piuwkiok akan dipenjarakan, para polisi dan penegak keadilan tahunya hanya menjilat han-piuwkiok.”
“oh..begitukah lopek!?”
“benar kongcu, jadi sebaiknya tidak berurusan dengan mereka.”
“baiklah lopek, kami permisi dulu.” sahut han-liang-jin, lalu keduanya meninggalkan orang tua itu yang sedang menunggu di teras rumah bu-sinse.
“kita mau kemana jin-te?” tanya wei-lun
“kita ketempat han-piuawkiok untuk menegur mereka.” jawab han-liang-jin, dan tidak lama kemudian mereka sampai di kantor han-piuwkiok yang besar dan megah, para piuawsu yang berjumlah seratus lebih itu sedang sibuk membongkar muat barang.
“apakah kalian mau menyewa jasa pengiriman barang?” tanya penjaga “bukan sicu, tapi kami hendak bertemu pangcu.”
“pangcu sedang istirahat kongcu, jika ada urusan boleh sampaikan pada saya, dan nanti akan aku sampaikan padanya.
“kalau boleh tahu siapakah nama han-pangcu?”
“kamu ini siapa, mau berurusan dengan pangcu, tapi tidak mengenal namanya, apakah kamu hendak berniat jahat padanya?” sela penjaga itu tajam
“aku tahu ini piuawkiok ini adalah milik kongkong saya di kota bicu, jadi katakan pada han-pangcu, nanti malam saya akan datang, saya adalah Han-liang-jin dari kota kaifeng.” ujar liang-jin, lalu keduanya berbalik.
Penjaga itu segera masuk kedalam kantor
“ada apa itu tadi?” tanya lelaki yang menjadi wakil han-pangcu “dua orang itu hendak menemui pangcu, twako.”
“memangnya siapa mereka?”
“sepertinya mereka adalah saudara pangcu, karena salah seorang dari mereka mengaku cucu dari cianpwe di kota bicu, dan nanti malam mereka akan datang lagi”
“sudah..biar aku saja nanti yang melaporkan pada pangcu.” “baik..twako.” sahut penjaga itu dan segera keluar dari kantor piuawkiok.
Malam harinya han-liang-jin dan khu-wei-lun datang lagi ke han=piauwkiok, penjaga yang tadi menanyai mereka datang mendekat
“bagiamana sicu, apakah han-pangcu sudah dapat kami temui?” “kalian tidak boleh masuk, dan pangcu memesankan untuk menyuruh kalian kembali saja, dan tidak mau berurusan dengan kalian”
“bagaimana menurutmu lun-suheng?”
“kita tidak diterima, jin-te, jadi sebaiknya kita kembali saja.”
“tapi kerabat ini telah berlaku sewenang-wenang, jadi harus ditegur.” “jika demikian, panggillah kerabat itu baik-baik!” sahut khu-wei-lun
“Han-sicu…! niat bertemu dan bicara baik-baik, tapi kenapa tamu datang ditampik, hal apa yang membuat kerabat tidak mau bertemu walau sedetik.” seru Han-liang-jin dengan pengerahan sin-kang, sehingga suara itu bergema diseluruh komplek rumah
“bangsat..! apa kamu tidak mengerti kata-kata sehingga harus saya hajar!” bentak han-bu-seng yang tiba- tiba keluar dari dalam rumah, melihat yang datang lelaki berumur tiga puluh tujuh tahun
“aku datang memang untuk menegur keras akan sikap sombong han-piauwkiok dan anggap remeh semua orang.” sahut han-liang-jin
“ayahmu saja tak akan bicara seperti itu padaku, kurangajar!” bentak han-bu-seng marah
“jika kamu merasa dituakan dengan mengatakan hal seperti itu padaku, maka berlakulah sebagai orang tua, dan jangan kekanak-kanakan.”
“jahannam betul anak ini!” bentak han-bu-seng dan langsung menyerang dengan kekuatan penuh, ia tahu benar lawannya ini memiliki isi yang tidak boleh dipandang ringan, ini adalah keponakannya yang tentunya mewarisi ilmu saudara seayahnya yang tidak dipungkiri lagi kehebatannya, jurus-jurus sakti dalam rangkaian ilmu naga sastra dikerahkan dengan hebat, han-liang-jin melayani dengan tenang, dia tahu benar bahwa ilmu warisan kongkongnya ini adalah ilmu pilihan dan raja ilmu silat selama ratusan tahun, walau ilmu ini tidak diwarisi ayahnya, namun ayahnya sangat mengenal ilmu tingkat kedelapan rangkaian ilmu ini, jadi sedikit banyaknya ia mengenal dasar-dasar ilmu yang dihadapinya saat ini.
Dengan jurus bun-lie-hoat mengimbangi jurus orang yang menjadi pamannya ini, pertarungan itu ditonton para piuawsu, pertempuran tingkat tinggi yang luar biasa dan mengagumkan bagi orang yang menyaksikan, khu-wei-lun juga merasa tercengang dengan kehebatan ilmu yang dikeluarkan saudara se ayah dari suhunya ini, gerakannya mengandung keiindahan dan kokoh, pertarungan itu laksana dua naga yang sedang bertarung, dua ratus jurus sudah berlalu, hal ini membuat han-bu-seng gemas dan marah, sehingga ia mencabut pedangnya, dan ilmu pedang yang tidak menemui tanding itupun dikerahkan.
Kali ini han-liang-jin harus meningkatkan kadar sin-kang dan gin-kangnya, sehingga ilmu bun-lie-hoat makin hebat, sebenarnya jika dari awal han-liang-jin mengerahkan bun-sian-sin-kang, pamannya ini pasti keteter dibawah seratus jurus, demikian juga jika han-liang-jin mengerahkan bun-ing-hong, sudah pasti pamannya ini kewalahan, namun han-liang-jin tidak melakukannya, karena ia hanya ingin menegur pamannya ini, bukan untuk mencelekai, dan kini ilmu pedang luar biasa ini dikeluarkan, maka ia harus jauh lebih kuat dan cepat dari pamannya ini.
Dengan kibasan kipasnya, han-liang-jin mementalkan serangan yang tidak dielakkan, dan bergerak cepat sambil mendesak han-bu-seng, melihat ilmu yang sama juga yang dikeluarkan han-liang-jin, namun kali ini luar biasa cepat sehingga membuat dia kehilangan lawan, dan kadang jemarinya kesemutan karena pedangnya terpental dihantam tenaga sakti, semua kemampuannya telah dikeluarkan, namun ilmu pedang luar biasa ini kalah kuat dan kalah cepat dibanding gerakan han-liang-jin.
Tahulah han-bu-seng, jika keponakannya ini mau, dia ini sudah kalah sejak dari tadi, lalu han-bu-seng berhenti dengan nafas ngos-ngosan
“apakah kamu mau menghinaku dengan mengalah menghadapiku?”
“terpaksa aku mengalah, karena ingat engkau adalah orang tua bagiku, dan bukankah aku akan engkau dicaci kurangajar jika aku mengalahkanmu!?” “bangsat, bicaramu tidak ada sopan sedikitpun!”
“hanya makian yang keluar dari mulutmu padaku, bagaimana aku harus bersopan?” “aku adalah pamanmu tahu!” bentak han-bu-seng
“nah…paman, maafkan anak jika berlaku tidak sopan.” ujar han-liang-jin sambil berlutut, khu-wei-lun pun ikut berlutut.
“huh…kenapa kalian kesini!?”
“paman! sikap para piauwsu menganggap enteng pada warga, dan saya dengar juga sari warga bahwa paman sering menelantarkan keadilan warga dimata hokum, sikap itu sungguh tidak baik paman.”
“lancing benar kamu, jadi maksudmu datang kesini untuk menegur sikapku?”
“benar paman, soal lancang tidaknya kita tilik pada benar salahnya, tidak ada kejanggalan yang muda menunjukkan kebenaran pada yang tua.”
“apa yang kulakukan tidak usah kamu ikut campur, dan aku tidak butuh nasehat dari mulutmu yang banyak bacot itu.”
“aku tidak tahu kenapa paman sangat membenci saya ataupun mungkin keluarga saya, tapi sikap paman telah banyak menganiaya orang lemah, maka lebih daripada patut aku harus mengingatkan paman, tentang hal yang menyangkut orang banyak ini.”
Kamu mau apa denganku liang-jin!” bentak han-bu-seng
“dengan terpaksa aku harus menghajar paman, jika tidak bisa di ajak bicara baik-baik.” “anak jahannam, berani kamu padaku!” bentak han-bu-seng kesal dan marah
“plak..ih…plak….ih..hghh” han-liang-jin dengan luar biasa cepat telah menampar kedua pipi han-liang-jin
“maaf paman, paman terlalu memaksa saya.” ujar han-liang-jin, han-bu-seng meringis kesakitan, kedua pipinya bengkak membiru, hatinya sangat marah dan malu, sehingga ia tidak bisa berkata-kata
“cukuplah hari ini, paman, aku masih berada disini untuk melihat sepak terjang paman dan para piuawsu.” ujar han-liang-jin, lalu ia melangkah pergi dan diikuti oleh khu-wei-lun, dengan hati mengkal han-bu-seng masuk kembali kedalam, para piauwsu bubar sambil berbisik-bisik.
“bagaimana pertemuan koko dengan pangcu han-piauwkiok, dan siapakah pangcunya koko?” “pangcu adalah paman kita, mungkin yang bungsu dari keluarga kita di bicu.”
“berarti bu-seng siok, jin-ko.”
“itukah nama paman kita itu? aku tidak ingat namanya.”
“benar, jika menurut koko, yang disini itu yang bungsu, lalu apa yang terjadi?” “terpaksa aku menamparnya dua kali.”
“aih..kenapa sampai demikian, koko?”
“seng-siok ini tidak bisa diajak bicara baik-baik, dari mulutnya hanya makian saja yang keluar.”
“hmh….sudahlah jin-te, semoga saja mentalnya terpukul dengan apa yang kamu lakukan, sehingga ia bisa merubah sikap.”
“semoga saja lun-suheng.” sahut han-liang-jin, kemudian khu-wei-lun masuk kedalam kamarnya, begitu juga dengan han-liang-jin, dan merekapun istirahat, dan keesokan harinya, han-bwee-hoa dan khu-wei-lun berpisah dengan han-liang-jin dan istri, keduanya hendak kembali ke selatan.
“hat-hatilah dijalan lun-suheng, dan kami akan segera menyusul, setelah hong-moi pulih.”
“baik jin-te, kalian juga hati-hatilah, semoga moi-soso cepat sembuh.” sahut khu-wei-lun, bwee-hoa berpamitan pada kakak iparnya, mukanya bersemu merah keluar dari kamar, karena digodain habis oleh yap-hui-hong.
Kongciak-kok pagi itu sangat cerah, dibelakang bangunan nampak han-kwi-ong dan kedua adiknya sedang bersiulian, sudah lebih dua tahun mereka mendawamkan siulian tersebut, yang jadi penunjuk siulian ini adalah han-bun-liong yang berumur dua puluh satu tahun, ia sendiri sudah mencapai tingkat sempurna, dan selama dua tahun itu, kwi-ong dan ok-liang merasakan sin-kang mereka mulai berlipat ganda, artinya sepertiga sin-kang ajaran ang-gan-kwi sudah mereka kuasai, demikian juga gin-kangnya.
Menjelang sore hari lembah merak kedatangan tamu, tamu itu adalah han-fei-lun “anda ini siapa?” tanya penjaga dengan ketus.
“saya han-fei-lun sicu, dan siapakah penghuni rumah ini?” “apa urusan denganmu menanyakan penghuni rumah!?”
“kenapa lagakmu seperti itu sicu, apakah majikanmu yang menyuruh seperti itu?” “sialan….enyah kamu dari sini, sebelum kamu dihabisi majikan saya.”
“a-gui siapa yang datang mengacau!?” seru suara seorang wanita yang tiba-tiba keluar, han-fei-lun menatap wanita itu.”
“Selamat berjumpa lagi siang-mou, jadi kamukah penghuni rumah ini?” “hihihi…ternyata siauw-taihap yang datang, ada apa kamu datang kesini?” “siapa yang datang cing-moi, siuaw-taihap?” sela suara lelaki tua bermata buta “benar kui-ko, apa yang harus kita lakukan padanya?”
“kenapa kamu datang kesini siuaw-taihap?” tanya tan-kui
“saya hendak menyelidiki tempat ini, karena kabar yang yang saya dengar rencana makar hek-to dibicarakan disini.”
“hehehe….memang benar siuaw-taihap, lalu kamu mau apa setelah memastikannya?” “jadi apakah makar ini ide pemikiranmu ang-gan-kwi?”
“boleh dikatakan begitu, dan tidak lama lagi kamu akan tewas siauw-taihap.” “urusan mati dan hidup, bukan urusanmu ang-gan-kwi, jadi janganlah sesumbar.”
“hehehe..hehehe….kuaakui bahwa kamu memang berani siauw-taihap, tapi kali ini kamu seperti ular mendatangi penggebuk.”
“siapakah yang datang suhu?” sela han-bun-liong yang muncul tiba-tiba “hehehe….hehehe….liong-ji, musuh kita telah datang, maka coba kamu gebuk.” “baik-suhu, bersiaplah menghadapi kematiamu siuaw-taihap.”
“sebentar dulu han-bun-liong, siang-mou benarkah ini anakmu dengan ayahku?” “hihihi….benar sekali siauw-taihap, hanya itukah yang ingin kamu ketahui sebelum kematianmu datang?”
“benar, nah…mulailah liong-te, aku sudah siap.” sahut han-fei-lun, bergetar juga hati han-bun-liong melihat ketenangan dan kewibaan orang yang menjadi saudara tertuanya ini, lalu dia pun menyerang dengan ilmu bun-liong-hoat warisan ayahnya, melihat gerakan itu, han-fei-lun mengerahkan bun-lie-hoat, dan pertarungan luar biasa dahsyat pun terjadi, keduanya sama-sama kuat dan cepat, benturan tenaga sakti membuat hangar bingar tempat itu, dengan cepat seratus jurus telah berlangsung dan malam pun sudah tiba, lembah itu bergetar karena hebatnya pertarungan tingkat tinggi itu, tan-kui mengerakkan kepalanya untuk mengukiti jalannya pertandingan, sementara li-cing sudah merasa pusing tidak sanggup menatap lama-lama pertarungan hebat itu.
Han-fei-lun merasa bahwa adiknya ini sangat luar biasa, dan memang kali ini dia benar-benar bertemu lawan yang seimbang, untungnya han-fei-lun mengetahu gerak dasar ilmu dari han-bun-liong, hanya inilah menjadi keuntungan bagi han-fei-lun disamping pengalaman tempur yang lebih banyak, dan itu sudah lebih dari cukup untuk mengintai peluang, dan setelah seratus jurus lagi berlalu, han-fei-lun merubah gerakannya dengan mengerahkan ilmu ciptaannya “bun-sian-minling-ci” (jari titah dewa sastra) dan sungguh luar biasa akibatnya, baru saja sepuluh jurus, han-bun-liong terdesak hebat,
“tuk…tuk…hoak…” dua totolan jari han-fei-lun bersarang di pundak dan dada kiri han-bun-liong.
Han-bun-liong bersalto menjauh, dan han-fei-lun tidak mengejar bahkan berhenti untuk memberikan nafas pada adiknya, wajah han-bun-liong pucat pias, rongga dadanya sedikit terguncang, merasakan hal itu tan- kui jadi marah.
“serang lagi liong-ji…!” perintahnya sambil memukul dengan kekuatan sin-kang penuh, han-fei-lun mengelak dan mengejar tan-kui, tan-kui kelabakan, karena perkiraannya meleset, tan-kui memperkirakan han-fei-lun akan mengadu sin-kang dengannya, sehingga mudah bagi han-bun-liong merobohkannya, karena sedikit banyaknya adu sin-kang itu jika terjadi akan melemahkan kedudukan han-fei-lun, tapi serangan bukan saja dielakkan, bahkan ia menjadi sasaran serangan dahsyat han-fei-lun, ia mencoba mengelak dan dan menangkis, tapi hanya enam gebrakan
“tuk…crok…eghk…tuk..tuk….” ilmu “bun-sian-minling-ci” kembali menunjukkan kehebatannya, tan-kui ambruk tewas seketika, pelipisnya kena totol, bawah dagunya tembus dihantam dua jari han-fei-lun, dan tidak hanya, totolan ketiga menghantam dada kiri meremukkan jantungnya, dan disusul totolan keempat menghantam bawah perutnya, han-bun-liong dan siang-mou-bi-kwi terpana melihat tan-kui ambruk tewas, memang perhitungan bengcu kosen ini luar biasa, dia dapat membaca pemikiran tan-kui yang memancingnya, karena memang dia akan tewas ditangan han-bun-liong, jika ia memapaki sin-kang tan-kui yan ia tahu seimbang, dengan mengelak dan menyerang dengan cepat, dan beberapa detik itu membuat tan-kui terkejut dan lengah, dan keadan itu menjadi peluang baik bagi han-fei-lun, ilmu ciptaannya yang luar biasa adalah intisari dari ilmu bun-liong-hoat tingkat kedelapan yakni “mingling-xie-bun-sian” (dewa sastra menulis titah) yang dipadu dengan inti “in-hua-bun-pit” (pena sastra melukis mega) warisan suhunya lam-sian, dan han-fei-lun yakin bahwa bun-liong tidak akan memukulnya jika ia bertarung jarak dekat dengan tan-kui, dan perkiraannya tepat dengan hasil gemilang, sehingga tan-kui tewas dalam tujuh gebrakan.
“liong-te, suhumu sudah tewas, apakah kamu bersikeras melawanku!?”
“hmh…kali ini kamu menang siuaw-taihap, tapi tunggulah selama tiga tahun lagi, saya akan datang untuk menagih nyawamu.”
“siang-mou, kenapa kalian meracuni hati bun-liong!?” tanya han-fei-lun dengan mata berkilat menatap li- cing
“itu bukan urusanmu siauw-taihap, sudah jamak hek-to dan pek-to tidak seirama, kenapa kamu masih bertanya?”
“apakah kamu demikian pengecut sehingga mengabaikan tantanganku, siaw-taihap?” sela han-bun-liong
“kamu tidak mengerti apa yang kamu lakukan liong-te, sia-sialah kamu sebagai manusia, tapi tidak punya pikiran untuk menimbang.” “aku tidak butuh khotbahmu, siuaw-taihap, katakan saja jika kamu tidak berani menjawab tantangan saya, dan bunuhlah saya sekarang.”
“dengan sikapmu yang congkak dan kata-katamu yang culas, ingin memancing kemarahanku, kamu tidak akan berhasil liong-te, sebaliknya aku kasihan padamu, aku ini adalah saudara tuamu, walau bagimanapun kamu ingkari dengan menantang-nantangku, dan kamu siang-mou, betapa aku ingin menghormatimu dengan kenyataan ini, tapi dengan kenyataan ini pula engkau memang telah menunjukkan kerendahan martabatmu.”
“hihihihi…apa kamu hendak berkhotbah didepan kami siauw-taihap, atau bagaimana?”
“dia pandai sekali menyembunyikan kemarahannya ibu, dengan melepaskan kekesalannya dengan kata- kata.”
“hihihi……dua kerabat durjana tidak tahu diri, diberi hati tidak intropeksi, inilah hasil binaan ibu yang tidak berbudi, anaknya bangga dibodoh-bodohi.” sela suara melantunkan syair, dan han-sian-hui sudah berdiri disamping han-fei-lun.”
“bagaimana kabar lun-ko?”
“koko, baik-baik saja hui-moi, apa tugas yang keberikan telah kamu selesaikan sehingga datang kesini?”
“sudah lun-ko, dan anteknya kerabat durjana ini sudah tewas, mana lagi dua temanmu yang sudah dipersiapkan melawan lun-ko?” sahut sian-hui, dan matanya menatap tajam pada han-bun-liong.
“apakah maksudmu hui-moi?”
“lun-ko, untuk menewaskanmu, disamping orang bebal ini, masih ada dua orang lagi, kenapa keduanya tidak muncul? heh saudaraku yang bebal, mana dua kawanmu?”
Tubuh han-bun-liong menggigil karena sanking marahnya, melihat wanita muda yang baru datang ini menyebutnya bebal
“sialan..jangan mengumbar bacot didepanku!”
“hihih..kamu ini siapa? apa kamu begitu pengecutnya sehingga tidak mau mengakui, bahwa kamu akan mengeroyok lun-ko tiga tahun akan datang, halah…ternyata kamu tidak hanya bebal tapi juga sangat pengeciut?”
“bangsat…! memang benar kami akan mengeroyoknya, apakah dia berani menghadapi kami!?”
“hihihi….orang pengecut kok mengagulkan keberanian, apa kamu tidak malu, cara kamu menantang sudah menunjukkan betapa pengecutnya dirimu, mari lun-ko, sebal aku melihat kerabat durjana yang pengecut tidak ketulungan ini
“heh..nona! aku menantangmu satu lawan satu, berani!?”
“hihihi….memalukan kerabat yang tidak tahu diri ini, aku ini perempuan dan termasuk keluargamu yang paling bungsu, disamping pengecut, kamu juga tidak tahu malu yah.”
“jangan banyak bacot, ayok kita bertarung!”
“sudahlah hui-moi, mari kita tinggalkan tempat ini!” sela han-fei-lun sambil menarik tangan adiknya, han- bun-liong menghentak kaki saking marahnya, air matanya berderai karena merasa terhina, entah bagaimana kata-kata sian-hui yang demikian pedas membuat hatinya diremas-remas berdarah.
“sepertinya, kamu mendengar apa yang kami bicarakan hui-moi?”
“benar lun-ko, saya sampai saat lun-ko mendesak kakek itu, dan mendengar semua pembicaraan lun-ko dengan mereka.”
“pantas, kalau begitu.” sahut han-fei-lun, lalu mereka menancap gas dan berlomba, perjalanan kembali kekaifeng dilakukan han-fei-lun dengan cepat, tidak seperti ketika berangkat, perjalanannya santai, karena dia sering singgah ditiap kota dan desa yang dilaluinya, kadang sampai sebulan dia menetap di satu kota untuk melihat keadaan, bahkan tidak jarang, para pendekar yang bertemu dengannya mengajak ia untuk singgah beberapa hari.
Ketika mereka sampai dikota kaifeng, bwee-hoa sudah dua minggu sampai, tiga hari kemudian hari kemudian han-linag-jin bersama menantunya tiba, dan yang paling menggembirakan dua minggu kemudian khu-wei-lun dan kedua orang tuanya datang kekaifeng untuk melamar han-bwee-hoa, jalinan itu disambut baik oleh han-fei-lun dan keluarga, dan sebulan kemudian pernikahan khu-wei-lun dan bwee-hoa dilaksanakan, kota kaifeng kembali dibanjiri kalangan kangowu untuk menghadiri pesta pernikahan putri sang bengcu.
Dan tentunya yang paling bahagia adalah kedua mempelai, bwee-hoa dengan wajah bersemu merah baring di atas ranjang, noemal hatinya merasa berdebar saat suaminya tersayang mendekati dirinya dengan berjuta hasrat, khu-wei-lun tidak dapat melukiskan betapa bahagia dirinya, luar biasa besar anugrah thian yang diperolehnya, dia cinta dan dicintai istrinya yang merupakan gadis pilihan yang tak bercacat lahir dan batin, dengan hati bergetar ia meraba dan membelai istrinya yang bersemu merah, namun malam pengantin tidak membutuhkan waktu lama untuk mengikuti irama, perlahan tapi pasti gairah dan sayang itu berpadu melantun sesuai ritme nafas yang berhembus, mengalir tanpa halangan, yang ada hanya nikmat kuar biasa, lelah yang membahagiakan tidak terlukiskan…..
>>>>> T A M A T <<<<<
lanjutan : “Kong-ciak-kok-bi-siucai” (sastrawan cantik dari lembah merak)