Jilid 7
Yap-hai-bun dan beberapa pendekar golongan tua sejak semalam sudah berada ditengah hutan, dan pagi itu para pendekar terus berdatangan, hingga saat marahari sudah berada dipuncaknya lapangan luas itu sudah berkumpul lebih seratus orang, lapangan itu telah di formasi menjadi empat bagian, disebelah selatan terdiri dari para kauwsu seluruh wilayah timur, jumlah mereka ada lima puluh orang, dibagian utara terdiri dari para pangcu baik piauwsu dan kaipang, jumlah mereka ada dua puluh tujuh orang, lalu dibagian selatan terdiri dari para pendekar, jumlah mereka ada empat puluh orang, dan dibagian timur duduk hiang-cu dan empat pembantunya sekaligus lima pendekar golongan tua.
Setelah dirasa tidak ada lagi yang datang atau ditunggu, maka Phang-ong seorang dari empat pembantu hiangcu berdiri dan membuka pertemuan
“yang saya hormati hiangcu timur, para cianpwe yang kita jadikan anutan, para hohan,kauwsu, dan pangcu yang berbahagia, selamat datang kami ucapkan ditempat yang sederhana ini! selanjutnya marilah kita buka pertemuan kita ini dengan sepatah dua patah kata dari hiangcu Yap-hai-bun!
Kepada beliau kami persilahkan!” lalu Phang-ong kembali duduk.
Yap-hai-bun berdiri dan maju kedepan,lalu menjura ke empat penjuru, kemudia dengan lantang ia berkata
“yang saya muliakan para cianpwe! yang saya hormati para sicu dan hohan semua! pertama-tama atas nama bengcu siauw- taihap menyampaikan maaf atas ketidak hadirannya pada pertemuan kita kali ini, namun walaupun demikian bengcu kita mewakilkan dirinya pada sesepuh kita cianpwe “pek-bin-seng- jin” (orangtua sakti muka putih)!” hiang-cu berbalik dan menjura pada lelaki tua bermuka putih, orangtua itu mengangguk dan mengangkat tangan, kemudian Yap-hai-bun berbalik menghadap para hadirin dan berkata
“rekan-rekan semua! tidak terasa bahwa tiga tahun sudah berlalu sejak pertemuan kita di kota Hopei, dalam rentang masa itu, saya dipercayakan oleh para hohan semua untuk menjadi hiangcu diwilayah kita ini, saya sudah menjalankan semaksimal yang saya mampu, dan tentunya kekuarangan tidak saya nafikan dan kelemahan tidak saya pungkiri, maka dari itu pada kesempatan ini saya haturkan permintaan maaf atas kekurangan dan kelemahan saya itu, kemudian hal yang tidak kalah penting adalah ucapan terimakasih saya kepada para hohan semua, terlebih kepada empat pembantu saya yang bersama-sama saya menjalankan amanah bengcu, para cianpwe, dan para hohan semua, dan hari ini kita kembali berkumpul untuk melakukan pemilihan hiangcu untuk masa kepemimpinan tiga tahun kedepan, semoga apapun yang kita dapatkan dari pertemuan ini akan membawa kita kepada harapan yang lebih baik.” setelah hiangcu menutup pembicaraanya ia kembali ketempat duduknya diiringi suara tepuk tangan bergemuruh.
Phang-ong kembali berdiri dan maju kedepan, dengan wajah cerah dan senyum ia berkata
“kita telah mendengarkan sepatah dua patah kata dari hiangcu kita, dan sekarang kita akan masuk pada acara tukar pendapat sehubungan dengan pemilihan hiangcu kali ini, silahkan kepada siapa saja yang hendak memberikan pendapat!”
“phang-sicu!” seru seorang kauwsu berumur lima puluh tahun sambil mengangkat tangan
“silahkan liang-kauwsu dari “pek-ho-bukoan” (perguruan bangau putih)!”
“kami dari golongan kauwsu sepakat! bahwa kepemimpinan Yap-hiangcu dilanjutkan lagi untuk tiga tahun kedepan, sebagimana kita pernah lakukan sembilan tahun yang lalu, pada masa kepemimpinan cianpwe “tung-pang-taihap” (pendekar
tongkat timur)!”
“bagaimana para hohan semua!? Liang-kauwsu menyampaikan bahwa Yap-hiangcu tetap kita angkat sebagai hiangcu untuk tiga tahun akan datang.”
“Phang-sicu!” seru lelaki berumur enam puluh tahun dari barisan pangcu, Phang-ong menoleh dan dengan senyum ia berkata “silahkan Gu-pangcu dari “tiok-tung-kaipang” (pengemis tongkat bambu)!”
“kami dari kaipang dan piauwsu berpendapat lain, yakni memilih hiangcu baru guna regenerasi kepemimpinan diantara. ”
“hahaha..hahaha..hihi...hi..hi. ” Gu-pangcu sontak terdiam
karena terpotong suara tawa yang memakakkan telinga, setelah suara ketawa berhenti, dua orang muncul ditengah lapangan, keduanya adalah Han-bun-liong dan Coa-kim, Yap-hiangcu dan para cianpwe segera berdiri
“siapakah kalian dan kenapa mengacau pertemuan ini!?” tanya Yap-hiangcu tegas, dengan senyum sinis Han-bun-liong melangkah mendekati Yap-hiangcu
“saya adalah “toat-beng-kiam-ong” (raja pedang pencabut nyawa)! pertemuan ini saya ambil alih! dan saya menantang duel dengan hiangcu maupun kelima cianpwe!”
“nama “toat-beng-kiam-ong” muncul saat pembunuhan keluarga Han-piauwkiok dikota Bicu! Ternyata kamulah orangnya anak muda!” ujar “tung-pang-taihap”
“hehehe..hahaha...benar sekali cianpwe! dan sekarang aku ada disini untuk menantang kalian! apakah kamu bersedia menerima tantanganku!?” tantang Han-bun-liong, “tung-pang-taihap” segera melangkah dengan lembut ia menjawab
“majulah anak muda! saya terima tantanganmu!” baru saja ia selesai bicara, Han-bun-liong sudah melompat menyerang, “tung-pang-taihap” yang sudah siap berkelit dan membalas menyerang.
Pertarungan hebat dan sengit pun terjadi, gerakan kilat dari “tung-pang-taihap” mencoba menekan pertahanan Han-bun- liong, namun lawannya kali ini bukan orang sembarangan, tapi melainkan pewaris ilmu-ilmu tingkat tinggi yang jauh diatasnya, Han-bun-liong dengan senyum sinis dan terkesan mempermainkan orangtua berumur enam puluh tahun lebih itu, setelah puas menjajaki dan memanaskan tubuhnya, Han-bun- liong dengan gerakan luar biasa mengambil alih penyerangan, “tung-pang-taihap” terkejut karena kehilangan lawan yang bergerak laksana burung kepinis, dan pada gebrakan ke lima belas
“buk..duk…hugh…” dua pukulan beruntun menghancurkan rongga dada “tung-pang-taihap” sehingga orangtua itu ambruk tewas seketika dengan mulut memuntahkan darah, para hadirin berteriak terkejut melihat keganasan luar biasa itu. “sungguh sadis perbuatanmu “toat-beng-kiam-ong”!” bentak “pek-bin-seng-jin”
“hahaha..hahha…kamu juga boleh maju menghadapiku cianpwe!” tantang Han-bun-liong dengan tawa sinis, “pek-bin- seng-jin” bergerak dan menyerang dengan cepat, Han-bun-liong kali ini tidak mau membuang waktu, pukulan “pek-bin-seng-jin” dilawan keras
“dhuar….” benturan tenaga sin-kang meletup membuat tempat itu bergetar, namun tidak hanya sampai disitu, Han-bun-liong mengejar tubuh “pek-bin-seng-jin” yang limbung “buk..buk…prak” tiga pukulan beruntun mengakhiri nyawa “pek- bin-seng-jin” yang ambruk dengan dada dan kepala remuk, tiga cianpwe dan Yap-hiangcu langsung mengurung dan menyerang Han-bun-liong.
“hahaha..hahhaa….begini baru seru!” ujar Han-bun-liong sambil tertawa seraya menangkis dan membalas serangan empat lawannya, pertempuran itu luar biasa ketat, kelima bayangan itu saling berkutat bertahan dan menyerang, tapi sekuat apapun usaha empat orang lawannya, tetap saja keempat orang itu terbentur dan terkejut menangkis serangan balik Han-bun-liong, enam puluh jurus sudah berlalu, Han-bun-liong meningkatkan daya serangnya dengan mencabut pedang pusaka ayahnya, kilat sinar hijau berkeredapan ditimpa cahaya matahari, dan gerakannya yang cepat luar biasa dalam rangkaian jurus pedang naga sastra membuat empat lawannya terdesak hebat dan mati kutu.
“cras….crak….” dua tubuh cianpwe ambruk dengan kepala terpenggal mengerikan, seorang cianpwe kepalanya putus dari lehernya, dan yang satu lagi kepelanya terbelah dua, nyawa keduanya tanpa bersambut melayang, kengerian itu membuat dua lawannya terpaku, dan Han-bun-liong dengan gerak cepat melancarkan serangan maut
“cep…plak…cras….” jantung Yap-hiangcu disate hingga tembus kepunggung, dan serangan cianpwe ditangkis dengan tangan kiri, lalu sebuah sambaran pedang menusuk pelipisnya kanan hingga tembus kepelipis kiri, cianpwe dan Yap-hiangcu ambruk tewas seketika.
Para hadirin terkesima menyaksikan hal yang hebat diluar dugaan itu, enam petinggi mereka ambruk tak bernyawa hanya dalam waktu dua jam, tatapan mata Han-bun-liong yang tajam membuat mereka tersadar namun disergap rasa nyali yang menciut
“hahaha..hahaha….kalian semua! majulah jika ingin mampus!” ancam Han-bun-liong
“apa yang kami saksikan ini sungguh diluar batas, mari kawan- kawan! kita ganyang manusia durjana ini!” teriak Gu-pangcu, serentak puluhan orang maju menyerang, namun hal itu bukan membuat Han-bun-liong kewalahan dan panic, tapi malah sebaliknya, pedangnya yang sudah ditangan Han-bun-liong berkiblat membabat kerumunan para pendekar yang menyerang, sehingga dalam lima puluh jurus, sudah puluhan orang ambruk tidak bernyawa, lapangan pertemuan itu banjir darah, jerit kematian terdengar susul menyusul seiring kilatan pedang yang mengaung.
Akhirnya saat malam menggantikan siang, tiga puluh peserta pertemuan lari menyelamatkan diri, sebagian kecil dari mereka terluka, Han-bun-liong berdiri jumawa ditengah tumpukan jasad para pendekar
“mari kita kembali kekota Nanjing, sayang!” ujar Coa-kim yang sedari tadi menonton pembantaian luar biasa dengan hati kagum, Han-bun-liong dan Coa-kim meninggalkan tempat itu dengan menyisakan pemandangan yang mengiruskan hati.
“keduanya kembali ke penginapan dimana dua orangtua ban-pi- sin-lo” dan “ban-eng-li-mo” menungu hasil aksi mereka “bagaimana hasilnya coa-kim?” tanya “ban-eng-li-mo” “hihihi…..berjalan lancar, wilayah timur ini akan berguncang, dan bui-lim senatoro wilayah akan bergetar.” jawab Coa-kim
“hmh..bagus kalau begitu, Liong-ji, lalu sekarang bagaimana tosu bau!?”
“hehehe…kok aku yang kamu tanya nenek peot, tanyakan pada liong-ji, selanjutnya ia mau berbuat apa?”
“untuk membuat nanjing laksana neraka, sebaiknya kita membuat markas disini.” sela Han-bun-liong
“dimana bagusnya markas kita, sayang?” tanya Coa-kim manja “penginapan ini besar dan sangat baik untuk markas.” jawab Han-bun-liong
“baik kalau begitu, kalian istirahatlah! biar kami yang mengurus penginapan ini!” sela ban-pi-sin-lo” Han-bun-liong masuk kedalam kamar bersama coa-kim, sementara dua orangtua itu mendatangi pemilik likoan
“loya! kalau tidak mau mampus mulai sekarang kalian angkat kaki dari sini!” ancam ban-pi-sin-lo
“a..apa maksud totiang!?” tanya pemilik likoan
“maksudnya sudah jelas! cepat angkat kaki dari sini!” jawab ban- eng-li-mo
“lo-bo! jangan lakukan itu, tempa tinggal dan usaha saya hanya likoan ini.” ujar pemilik likoan memelas
“sialan! Sudah dikasih hati malah ngeyel! prok..” umpat ban-eng- li-mo dan tongkatnya sudah meluncur dan menghantam kepala pemilik likoan hingga remuk, pemilik likoan menjerit sesaat lalu tewas.
Kejadian itu membuat lima tamu yang sedang makan terkejut dan segera berhamburan keluar untuk menyelamatkan diri, lalu kemudian kedua orangtua itu memasuki puluhan kamar yang ada dan mengusir semua tamu, setelah semua tamu pergi, kedua orangtua itu mengumpulkan para pelayan
“kalian semua dengar! mulai sekarang likoan ini adalah markas kami! dan kalian bekerja pada kami sebagai tukang masak, tukang bersih-bersih, baik taman dan seluruh ruangan, mengerti!?” ujar ban-eng-li-mo, lima belas orang yang terdiri dari lima tukang masak dan sepuluh pelayan mengangguk dengan hati bergetar ketakutan.
Keesokan harinya kota nanjing gempar, yang dimulai dengan berita tewasnya pemilik likoan, lalu berlalu lalangnya dua kakek nenek menjarah harta para hartawan dan pembesar pemerintah, lalu tiga hari kemudian kedua kakek nenek itu menangkapi wanita cantik baik yang gadis maupun yang sudah bersuami, puluhan wanita dijadikan dayang-dayang di likoan yang sudah berubah jadi markas itu, Han-bun-liong dalam jangka sebulan sudah menjadi raja kota Nanjing, lima gadis muda dan cantik menjadi teman tidurnya disamping Coa-kim. Tiga bulan kemudian warga kota Nanjing banyak yang mengungsi, karena tidak mampu dengan biaya upeti yang harus disetor pada tuan timur, warga kota memanggil Han-bun-liong dengan panggilan tuan timur, karena sebutan itulah yang digunakan oleh “ban-pi-sin-lo” dan “ban-eng-li-mo” ketika memulai aksinya dua yang lalu. Kota nanjing tidak lagi damai, warga dicengkram rasa takut dan rasa lelah yang menyesakkan.
Berita kejadian dikota nanjing cepat menyebar, tiga puluh pendekar yang menyelamatkan diri menjadi pembawa berita mengenaskan itu, sehingga diberbagai kota menjadi buah pembicaraan, seiringan dengan berita yang masih hangat itu, muncul pula berita yang menimpa wilayah utara, tepatnya dari kota Changcun, dimana para kauwsu dan pangcu dikota itu ditewaskan oleh orang yang berjulukan “pak-hek-liong” (naga hitam dari utara).
Tidak lama kemudian muncul cerita mengejutkan dari wilayah barat, tepatnya dikota xining, dimana bu-hiangcu dan empat pembantunya dibunuh oleh orang yang menamakan dirinya pendekar buta dan “see-kim-liong” (naga emas dari barat).
Dalam jangka setengah tahun bui-lim berguncang, jerit duka atas penindasan bergema, kegelisahan dan kecemasan warga terlihat dimana-mana.
Puluhan pendekar mendatangi kota kaifeng untuk bertemu dengan bengcu siauw-taihap, mereka ditemui bengcu bersama adiknya Han-sian-hui yang sudah berada dikota Kaifeng, sebagaimana kita tahu setelah meninggalkan kui-san, Han-sian- hui segera berangkat kekota kaifeng, dan tiga bulan kemudian ia sampai dirumah kakaknya Han-fei-lun, dengan rasa bahagia dan syukur Han-fei-lun dan istrinya menyambut kemunculan sang adik, Han-hujin sesugukan dan meneteskan air mata sukacita, penyambutan yang tidak biasanya ini membuat Han-sian-hui heran
“ada apa ini kakak ipar!? Ini bukan pertama kalinya saya berpergian jauh!” Han-hujin menyeka air matanya seraya menjawab
“benar adikku! hanyasanya perjalananmu kali ini menerbitkan rasa khawatir, khawatir yang menimbulkan harap-harap cemas karena berita yang kami dengar tentang dirimu.” Han-sian-hui dengan senyum menatap kakak iparnya dan bertanya lembut
“berita apa yang soso dengar tentang diriku!?
“kamu tentu tahu dengan keponakan kita Han-liu-ing, bukan?” ujar Han-hujin, Han-sian-hui mengangguk
“nah! keponakan kita itu sudah datang kemari, dan ia menceritakan bahwa kamu bertempur dengan saudara- saudaramu sehingga kamu jatuh kedasar jurang di kuisan.” “oh begitu rupanya, memang demikianlah soso, namun Thian
berkehendak lain dan menyelamatkanku dengan kehendak yang lain pula.” ujar Han-sian-hui, mendengar perkataan adiknya, Han-fei-lun yang dari tadi membiarkan istrinya mencurahkan perasaan pada adiknya kontan menegakkan punggung dari sandaran kursi seraya menatap adiknya
“maksudmu bagaimana hui-moi?” tanya Han-hujin, Han-sian-hui menatap kakaknya, lalu kemudian meraih jemari sosonya dan menjawab
“kakak! soso! Thian telah menyelamatkanku dari maut didasar jurang, dengan kehendakNya pula ayah menemui ajal setelah menjadi bantalan tubuhku.” Han-fei-lun tertunduk sementara Han-hujin kembali sesugukan mendengar berita kematian gak- hunya, Han-sian-hui tidak dapat menahan haru mendengar isak tangis kakak iparnya, sehingga ia juga menangis
Agak lama pertemuan keluarga itu hening, yang terdengar hanya isak tangis Han-hujin dan Han-sian-hui, Han-fei-lun mengusap titik air mata yang membasahi pipinya seraya berkata arif
“sian-moi! Hui-moi! tidak ada dari ciptaan ini yang tidak tunduk dihadapan kehendak Thian! oleh karena itu sangat salah jika kita larut dalam kesedihan menghiba diri, tapi benar dan tepatlah! jika kita pasrah, sabar dan ikhlas menjalani setiap kehendak Thian!” Han-sian-hui menyeka air matanya, demikian pula dengan Han-hujin.
“Hui-moi! ceritakanlah bagiaman perjalanmu setelah meninggalkan kaifeng setahun lebih yang lalu!” Han-sian-hui mengatur duduknya menghadap kakaknya lalu kemudian menjawab
“setelah aku meninggalkan kaifeng, aku menuju lembah merak sebagaimana pesan koko! tapi sesampai disana aku tidak menemukan tiga saudara kita, lalu aku memutuskan untuk menetap dilembah itu, sekarang aku meninggalkan lima keluarga yang membantuku disana, setelah enam bulan menetap di lembah merak aku menyelidiki kepergian tiga saudara kita, dan aku mendapatkan informasi bahwa Liang-ko kembali ke shinyang! lalu aku meninggalkan lembah merak menuju shinyang dan disana aku bertemu dengan kakak ipar Bao-lian, dan kakak ipar mengatakan bahwa Liang-ko menuju kota Hehat! setelah seminggu berada di shinyang, aku berangkat menuju kota hehat.
Di kota hehat tepatnya di kui-san aku menemui semua saudara kita, baik dari ibu Khu-lian-kim, dan empat ibu yang lain, dan disitu juga aku bertemu dengan keponakan kita Han-liu-ing yang ketika itu hendak dicelakakan ayahnya! dan keponakan kita Han- bouw-bian putra dari Ong-ko!”
“lalu apa penyebab pertempuran kalian?” tanya Han-fei-lun “Ong-ko tiba-tiba menyerangku setelah tahu bahwa aku yang datang adalah adik kakak.”
“bagaimana jalannya pertempuran, adikku?”
“Ong-ko dapat kurobohkan, lalu digantikan oleh Liang-ko, dan syukur pada Thian bahwa aku dapat merobohkannya, tapi aku di bokong oleh Liong-ko sehingga aku terdesak hebat dan mengambil jalan mengadu sin-kang sehinga aku terlempar dan masuk kedalam jurang.”
“lalu bagaimana dengan ayah?” tanya Han-fei-lun
“ayah! saat saya bertempur dengan Liang-ko, ayah berlindung didalam bangunan, aku tidak sadar saat terlempar, koko!” jawab Han-sian-hui, Han-fei-lun terdiam merenung, lalu kemudian ia bertanya
“lalu adikku! bagaimana kamu dapat keluar dari dasar jurang?” “selama tujuh bulan aku berada didasar jurang, koko! selama itu Thian memberiku makan keong dan siput, lalu suatu hari hujan turun sangat lebat dan salah satu tebing longsor membentuk bukit tanah sehingga aku dapat naik ke atas jurang dan kembali kedunia luar.” ujar Han-sian-hui menutup ceritanya. Keesokan harinya ketika Han-fei-lun sedang memperhatikan latihan para murid, Han-sian-hui mendekati kakaknya
“lun-ko! ada hal yang ingin kusampaikan!” ujar Han-sian-hui,
Han-fei-lun menatap adiknya dan bertanya “ada apa Hui-moi? Katakanlah!”
“ada sesuatu yang lain dari sin-kang yang kumiliki Lun-ko!” “maksudmu, sesuatu yang bagaimana, Hui-moi!?”
“maksudku sin-kang yang bisa menyedot sin-kang lawan!” jawab Han-sian-hui, Han-fei-lun tercenung dan berkata
“maksudmu kamu memikliki sin-kang yang bisa menyedot sin- kang lawan!?” Han-sian-hui menganguk, Han-fei-lun lalu berdiri dan membawa adiknya ke halaman belakang
“sekarang coba kamu siulian, Hui-moi!” perintah Han-fei-lun,
Han-sian-hui melakukan perintah kakaknya
“alirkan tenagamu itu sampai dikedua bahu!” Han-sian-hui mengepos dan menarik nafas, sehingga sin-kangnya terbentuk dan berputar dibagian perut, lalu kemudian ia arahkan tenaga itu menuju bahu, setelah adiknya melakukan yang diperintahkannya, Han-fei-lun mengkepret telapak tangan adiknya dengan jari, Han-fei-lun merasakan getaran kuat yang membuat dua jemarinya ngilu.
“sudah! hentikanlah adikku!” perintah Han-fei-lun, Han-sian-hui menghantikan gerak sin-kangnya
“bagaimana Lun-ko!? apa yang terjadi padaku?” tanya Han-sian- hui dengan rasa penasaran
“kapan engkau mengetahui keadaanmu ini Hui-moi?”
“saat aku bertempur melawan gerombolan perampok, Lun-ko!” “apa yang terjadi pada lawanmu itu?” “ketika tangannya menyentuh tanganku, tangannya langsung melekat dan sin-kangnya memberotot masuk kedalam tubuhku, aku terkejut dan langsung menghentikan tenaga sin-kangku, tangannya terkulai dan lepas, kasihan sekali lawanku itu Lun-ko, wajahnya pucat dan tubuhnya langsung lemas.”
“hmh...tenaga yang kamu peroleh itu aneh dan luarbiasa, Hui- moi! untungnya lawanmu itu sin-kangnya jauh dibawahmu, dan efeknya tidak menyulitkanmu, tapi jika sin-kang lawanmu seimbang atau lebih darimu, maka akibatnya kamu akan kewalahan sendiri menguasai rembesan sin-kang yang masuknya tentu laksana air bah.”
“lalu bagaimana Lun-ko!? aku tidak tahu kenapa dan bagaimana tenaga itu tiba-tiba ada padaku.” ujar Han-sian-hui dengan rasa hati tidak nyaman. Han-fei-lun tersenyum menawarkan hati adiknya
“tentu ada hikmat dan mamfaat dari anugrah itu adikku, jika dirunut dari ceritamu! maka kakak berkesimpulan terbitmya tenaga itu dari sebab apa yang kamu makan selama didasar jurang, siput dan keong adalah binatang lunak yang memiliki lendir yang boleh jadi mengandung daya rekat yang kuat, ditambah lagi rutinitasmu selama didasar jurang adalah berlatih.” “lalu apa yang harus kita lakukan Lun-ko?” tanya Han-sian-hui “sabarlah adikku dan tenangkan hatimu! Kakak akan mencoba memikirkannya dalam beberapa hari ini.” jawab Han-fei-lun dengan senyum lembut, Han-sian-hui merasa nyaman setelah melihat senyum kakaknya yang tenang dan lembut.
Han-sian-hui menggantikan kakaknya memperhatikan latihan para murid, karena sejak pembicaraan mereka, kakaknya sibuk memikirkan dan mencoba memecahkan apa yang dialaminya, dan sepuluh hari kemudian setelah Han-sian-hui selesai mengajar sastra pada murid, ia dipanggil kakaknya dihalaman belakang bersama kakak iparnya
“Hui-moi! mulai malam ini kamu melatih siulan yang saya namai dengan “thian-tee-siulian” (semedi langit bumi)” ujar Han-fei-lun, lalu ia memperagakan cara siulian yang harus dilakukan Han- sin-hui, setelah melihat kakaknya memeperagakan “thian-tee- siulian” Han-sian-hui mengangguk mengerti
“nah! sekarang kita kebalai-balai dibawah pohon siong itu!” ujar Han-fei-lun, lalu mereka menuju balai-balai dibawah pohon siong yang jauh dibelakang rumah Han-fei-lun, balai-balai itu dua hari yang lalu dibuat oleh Han-fei-lun untuk keperluan siulian adiknya, balai-balai itu didindingnya agak tinggi, lantainya dibagian tengah satu papan diberi lobang.
“Sian-moi! pakaikan selimut itu pada Hui-moi!” perintah Han-fei- lun pada istrinya, Han-hujin dan Han-sian-hui naik ke atas balai- balai, Han-sian-hui membuka celana, lalu Han-hujin memakaikan kain sarung menutupi tubuh bagian bawah adik iparnya, setelah itu Han-fei-lun berkata
“duduk diatas diatas papan berlobang itu dan bersikaplah seperti yang kakak peragakan tadi!” ujar Han-fei-lun, Han-sian-hui segera duduk dengan sikap kaki kiri didalam sarung ditekuk kearah paha kaki kanan yang lurus kedepan, kemudian tangan kanan memeluk perut sementara tangan kiri sejajar bahu lurus kedepan dengan telapak tangan tegak lurus menghadap kedepan.
“bagus! sekarang dengarkan! mulailah dengan menarik nafas dalam-dalam dengan hidung, dan saat menghembuskan lewat mulut dengan perlahan alirkan sin-kang ke pembuluh kaki, seimbangkan porsi sin-kang itu baik untuk kaki yang ditekuk maupun yang lurus, setelah itu tarik nafas lewat mulut dan keluarkan perlahan melalui hidung seraya mengalirkan sin-kang kepada kedua tangan, juga seimbangkan porsinya!” ujar Han-fei- lun memberi petunjuk pada adiknya.
Han-sian-hui mengikuti petunjuk kakaknya, lalu kemudian Han- fei-lun dan istrinya meninggalkan adiknya sendirian di atas balai- balai, keadaan taman itu amat hening dan gelap, Han-sian-hui menjalankan “thian-tee-siulian” dengan hati tabah, ia larut dengan siulian yang ia lakukan, sehingga malampun berganti pagi, Han-sian-hui terus melakukan siulian karena kakaknya belum datang, atau menyuruhnya berhenti, haripun sudah siang, namun kakaknya belum juga muncul, Han-sian-hui tidak lagi memikirkan apakah kakanya datang atau tidak, dia memusatkan pemikiran pada siulian yang dijalaninya, dan tidak terasa senjapun tiba, dan tidak lama kemudian Han-fei-lun datang dan menyuap kan tiga sendok bubur kemulutnya, lalu tanpa bicara Han-fei-lun kembali kedalam rumah, Han-sian-hui kembali larut dalam siulan, hanya tiga hari Han-fei-lun menyuapi adiknya, dan selebihnya adalah Han-hujin yang datang menyuapkan tiga sendok bubur sekaligus Han-hujin mebersihkan adiknya dan membuang isi pispot yang diletakkan dikolong balai-balai.
Tiga bulan kemudian saat senja tiba, Han-fei-lun bersama istrinya datang menghentikan siulian yang dijalani adiknya, Han- sian-hui membuka matanya yang kuyu, mukanya pucat pias namun senyumnya mengembang melihat kakak dan sosonya “sosomu sudah membawa makanan, dan makanlah dengan perlahan!” perintah Han-fei-lun, Han-sian-hui pun menyantap makanan yang dibawakan untuknya, setelah selesai makan Han-sian-hui diajak masuk kedalam dan diapun mandi dan membersihkan diri, malam itu Han-sian-hui disuruh langsung istirahat oleh kakaknya.
Keesokan harinya Han-sian-hui bangun dan tubuhnya terasa segar dan ringan, setelah mandi dan berganti pakaian, Han-sian- hui menemui kakak dan kakak iparnya yang sudah menunggunya di ruang makan, lalu merekapaun sarapan, setelah itu Han-fei-lun mengajak adiknya pergi kehutan, hutan tempat latihan Han-sian-hui waktu kecil.
“perhatikan gerakan kakak ini!” ujar Han-fei-lun, Han-fei-lun memperagakan gerakan yang terdiri dari tujuh jurus, setelah Han-fei-lun selesai, Han-sian-hui mengulang gerakan kakaknya, Han-fei-lun tersenyum puas dengan kesempurnaan gerak yang diperagakan adiknya.
“sekarang coba melakukan gerak tadi dengan mengerahkan sin- kang sesuai latihan nafas pada “thian-tee-siulian”!” ujar Han-fei- lun
Han-sian-hui segera melakukan perintah kakaknya, dalam sekejap hawa disekitar tempat itu menghangat, dan luar biasanya area tempat itu bergetar selama tujuh jurus itu digerakkan, kemudian Han-sian-hui merasa hawa dikedua telapak tangan dan kakinya berubah-ubah, kadang panas dan kadang dingin, dengan perasaan takjub Han-sian-hui menghentikan gerakannya, dan melihat senyum sumigrah kakaknya “Lun-ko! adik takjub luar biasa, tapi belum mengerti apa yang telah kakak ajarkan padaku!”
“dengarlah adikku! tenaga sedot yang kamu dapatkan itu sudah dibungkus dalam “thian-tee-siulian” dan terstruktur dalam ilmu yang baru kamu kuasai itu, ilmu itu aku beri nama dengan “beng- sin-ciang” (telapak sakti arwah), dan ingatlah! ketika bagian telapak tanganmu terasa dingin, maka sin-kang itu akan mengandung tenaga sedot, maka untuk menetralisir tenaga yang masuk! salurkan ke bagian kaki yang terasa dingin, dan bagian telapak tanganmu yang terasa panas, sin-kang itu mengandung tenaga dorong yang bersumber dari sin-kang yang kamu sedot.”
“lalu bagaimana ketika aku mengeluarkan ilmu-ilmu yang diajarkan kakak sebelumnya?”
“jika engkau mengeluarkan jurus selain dari jurus tadi, maka tenaga sedot itu tidak akan berfungsi, dan pesanku adikku! jika
tidak dalam keadaan darurat maka janganlah keluarkan ilmu itu!” jawab Han-fei-lun, Han-sian-hui mengangguk mengerti.
Sejak itu Han-sian-hui melatih ilmu yang baru diciptakan kakaknya sampai tiga bulan lamanya, dan ketika para pendekar datang untuk menemui kakaknya, ia ikut serta menemui para pendekar, setelah para pendekar memperkenalkan diri, Han-fei- lun menarik nafas dan berkata
“hmh….apakah kedatangan para hohan sehubungan dengan keadaan tiga wilayah yang memprihatinkan!?” tanya Han-fei-lun “benar bengcu! sungguh kami tidak tahu lagi bagaimana mengatasi tirani yang melanda saat ini.” jawab Yan-kauwsu lelaki tua berumur enam puluh tahun yang berasal dari kota Chengte. “Yan-kauwsu! saya mendengar bahwa diutara banyak kauwsu yang tewas, detailnya bagaimana?” tanya Han-fei-lun
“enam bulan yang lalu, sepuluh kauwsu bukoan yang ada di shinyang tewas dan bukoan itu ditutup paksa, lalu dua bulan berikutnya terdengar berita enam kauwsu di changchun tewas, lalu dua bulan yang lalu katanya seorang lelaki yang menamakan dirinya “pak-hek-liong” muncul di kota kami, ia mendatangi empat kauwsu lalu membunuhnya, saat kejadian itu aku masih berada di Beijing, dan sekembalinya aku ke kota Chengte, aku dapati hampir semua muridku tewas.” tutur Yan- kauwsu dengan nada sedih.
“lalu yang di wilayah barat bagaimana kejadiannya, Cia- pangcu!?” tanya Han-fei-lun pada lelaki berumur lima puluh tahun dengan kumis dan janggut tebal
“dibarat juga tirani disebar oleh orang berjulukan pendekar buta, dan “see-kim-liong” (naga emas dari barat), kedua orang ini membunuh Bu-hiang-cu dan empat pembantunya, lalu menjarah harta warga dikota xining, dan kejahatan mereka terus merebak sampai kekota Lijiang.” Jawab Cia-pangcu
“lalu hal mengenaskan saya dengar menimpa pemilihan hiangchu di Nanjing, hmh…tiga wilayah dalam cengkraman tirani selama enam bulan ini, sungguh luar biasa mengejutkan kita semua.”
“kami harap bengcu segera turun tangan menumpas penjahat- penjahat tidak berprikemanusian itu! ujar beberapa pendekar bersamaan, Han-fei-lun mengangkat tangan untuk menenangkan mereka
“sudah pasti sicu, kita tidak bisa tinggal diam melihat angkara yang berlaku saat ini.” ujar Han-fei-lun tegas, kemudian setelah makan siang para pendekar meninggalkan komplek “sin-siucai- bukoan”
Setelah makan malam Han-fei-lun berembuk dengan adiknya di ruang tengah
“bagaimana pendapatmu hui-moi!?” tanya Han-fei-lun “yang membuat masalah ini tiada lain adalah saudara kita, bagaimanapun juga, kita harus menindak mereka! dan
bagaimana caranya? aku akan ikut apa kata kakak.” jawab Han- sian-hui tegas
“perbuatan mereka memang telah melampaui batas, maka untuk itu besok berangkatlah ketimur untuk menghadapi “toat-beng- kiam-ong” sementara kakak akan kebarat menemui Han-kwi- ong, kita akan bertemu dikediamanmu di Tianjin.” ujar Han-fei- lun, Han-sian-hui mengangguk, lalu ia meninggalkan kakaknya dan masuk kedalam kamar untuk berkemas.
Keesokan harinya, Han-fei-lun dan Han-sian-hui meninggalkan kota kaifeng, Han-fei-lun menuju wilayah barat, dan adiknya ke wilayah timur, Han-fei-lun melakukan perjalanan cepat, sehingga tiga minggu kemudian ia memasuki kota lokyang, dia menginap dikota itu selama tiga hari, karena beberapa pendekar menemuinya untuk beramah tamah, setelah itu ia melanjutkan perjalanan dan seminggu kemudian ia memasuki kota xining, keadaan kota itu amat memperihatinkan.
Ketika Han-fei-lun singgah di sebuah kedai minuman, dua orang pendekar mendatanginya
“selamat datang bengcu! saya adalah Pouw-tan.” “dan saya adalah Cu-jin.” “selamat bertemu jiwi-taihap, duduklah dan mari kita minum!” sahut Han-fei-lun, kedua pendekar itu pun duduk menuruti tawaran Han-fei-lun.
“katakanlah Pouw-taihap! apa maksudnya menemui saya?” “kami merasa senang bahwa kami bertemu bengcu, tentunya bengcu datang kemari sehubungan dengan keadaan wilayah barat akhir-akhir ini,bukan?”
“benar Pouw-sicu! dan saya melihat kota ini sepi sekali, kenapa?”
“sebagian besar penduduk sudah mengungsi, bengcu!”
“oh begitu, lalu dimanakah markas pendekar buta dan “see-kim- liong”?”
“markasnya ada di sebelah selatan kota, marilah bengcu! kami akan menunjukkan pada bengcu!”
“baik,kalau begitu.” sahut Han-fei-lun, lalu mereka meninggalkan kedai miunuman menuju selatan kota.
Satu jam kemudian mereka sampai dikediaman pendekar buta, yakni bekas kediaman Bu-hiangcu, tapi rumah itu sudah tidak berpenghuni lagi
“eh….kemana perginya dua durjana itu!?” umpat Cu-jin heran “iya ya! padahal seminggu yang lalu kita masih melihat keduanya disini.” sela Pouw-tan, Han-fei-lun memeriksa seluruh ruangan, dan dia termenung
“hmh…sejak kapan keduanya tinggal disini?”
“sejak ia membunuh Bu-hiangcu, enam bulan yang lalu bengcu!” “tapi sekarang mereka tidak ada! apa yang harus kita lakukan?” sela Cu-jin
“hmh…mungkin keduanya keluar entah kemana, jadi kita kembali saja besok!” ujar Han-fei-lun, kedua pendekar itu mengangguk dan mereka meninggalkan rumah itu “sebaiknya bengcu menginap dirumahku di bagian timur kota, iyakan Cu-taihap?” ujar Pouw-tan
“terserah bengcu saja, entah dirumahku di bagian utara kota, ataupun dirumah Pouw-taihap.”
“terimakasih jiwi-taihap! tapi tidak demikian, karena sebaiknya aku menginap di likoan yang dekat sekitar tempat ini.”
“oh iya, benar apa yang dikatakan bengcu! kalau begitu kita bawa bengcu kelikoan Tan-loya.” ujar Cu-jin
“tapi likoan itu sudah tutup, Cu-taihap!”
“memang benar, tapi kan Tan-loya masih tinggal disitu, jadi kita masih bisa minta menumpang disitu.” sahut Cu-jin.
Han-fei-lun dibawa kelikoan yang hanya empat blok dari rumah bekas Bu-hiangcu, Cu-jin menggedor-gedor pintu, tidak lama kemudian seorang pelayan membuka pintu
“ada apa tuan!?” tanya pelayan dengan sikap cemas dan takut “Tan-loya adakan!?”
“ada tuan! ta..ta..tapi tuan-tuan mau apa?”
“loheng! Kami datang bukan bermaksud jahat, kami hanya hendak menumpang semalam saja disini, jadi tolong sampaikan pada Tan-loya!” jawab Cu-jin
“ba..baik tunggulah sebentar! saya akan sampaikan pada loya!” sahut pelayan itu seraya berbalik dan berjalan dengan langkah terburu-buru masuk kedalam.
Lelaki tua dengan perawakan tinggi datang menemui mereka, dengan tatapan heran ia bertanya
“ada apakah sehingga sam-wi datang ketempat saya!?” “begini Tan-loya, sebelumya kenalkan saya adalah Cu-jin dan tinggal dikota ini di bagian utara, lalu ini pouw-tan-sicu juga adalah orang sini, dan…”
“saya adalah Han-fei-lun dari kota kaifeng Tan-sicu!” potong Han-fei-lun dengan senyum ramah
“oh ternyata bengcu! silahkan masuk Han-taihap! maaf aku tadi tidak tahu” ujar Tan-loya dengan ramah setelah mengetahui keadaan tamunya
“tidak mengapa Tan-sicu, dan harap janganlah terlalu sungkan pada saya!”
“baik…baik…! lalu apa yang bisa saya bantu bengcu!?”
“saya dan jiwi-taihap ini hendak menumpang barang semalam disini.”
“oh begitu, saya harus suru dua pelayan saya untuk memebersihkan kamar!”
“tidak pelu repot-repot Tan-sicu! biar kami sendiri yang membersihkannya!”
“benar Tan-loya!” sela Cu-jin, Tan-loya dengan senyum mengangguk dan berkata
“baiklah kalau begitu! marilah saya antar kekamar taihap!” “baik dan terimakasih Tan-sicu!” sahut Han-fei-lun, kemudian mereka mengikuti Tan-loya untuk menunjukkan kamar mereka.
Pada saat malam tiba, Pouw-tan dan Cu-jin pergi melihat keberadaan pendekar buta, namun sampai larut malam, penghuninya belum kembali, lalu keduanya pulang kepenginapan
“bagaimana!? Apa pendekar buta sudah kembali?” tanya Han- fei-lun
“belum bengcu! hmh pergi kemana mereka yah!?” jawab
Pouw-tan seraya bergumam “sudahlah! kita istirahat saja, besok kita akan kembali kesana untuk melihatnya!” ujar Han-fei-lun, kedua pendekar itu mengangguk, lalu masuk kedalam kamar masing-masing.
Esok siangnya mereka kembali ketempat kediaman pendekar buta, namun rumah itu tetap kosong, sehingga Han-fei-lun mengajak kedua pendekar untuk kembali kepenginapan, keesokan harinya mereka melakukan hal yang sama hingga seminggu, namun pendekar buta belum kembali
“sepertinya keduanya telah meninggalkan kota ini.” ujar Han-fei- lun
“lalu sekarang bagaimana bengcu!?” tanya Pouw-tan
“kita kembali kepenginapan dan minta pamit pada Tan-sicu, saya akan melanjutkan perjalanan mencari jejak keduanya.” jawab Han-fei-lun, kemudian mereka kembali ketempat Tan-loya untuk pamit.
Kemanakah Han-kwi-ong dengan anaknya? kenapa mereka meninggalkan Xining? sebenarnya demikianlah siasat yang mereka jalankan, dan oleh karena itulah selama enam bulan mereka hanya berdua dirumah itu, karena mereka tidak ada rencana untuk menetap lama, mereka akan pindah jika mendengar siauw-taihap menuju tempat mereka, demikianlah yang mereka lakukan di Xining, tiga hari sebelum kedatangan Han-fei-lun, Han-bouw-bian sudah mendengar perjalanan bengcu menuju xining, lalu ia melapor pada ayahnya, dan hari itu juga mereka meninggalkan Xining menuju kota Kenlung, tapi sesampai di Kenlung, dan baru dua minggu berada dikota Kenlung, mereka mendengar Han-fei-lun menuju kota ken-lung, mereka segera meninggalkan Ken-lung menuju kota Lijiang setelah selama tiga hari membuat keonaran dikota itu dengan membunuh dan menjarah harta kepala daerah dan seorang tihu.
Han-fei-lun sampai dikota Kenlung saat upacara pemakaman Zhang-taijin, barisan polisi mengawal acara arak-arakan tersebut, warga melambai-lmabaikan tangan dari pinggir dengan hati iba dan sedih
“ada apa sicu!? siapakah yang hendak dimakamkan itu?” tanya Han-fei-lun pada seorang lelaki paruh baya
“itu jenazah Zhang-taijin kepala daerah kota ini, ah...sungguh mengenaskan kematiannya.” jawab lelaki itu
“memang bagaimana kematiannya sicu?”
“rumah Zhang-taijin dimasuki pencuri, dan pencuri itu membunuh zhang-taijin dengan menusuk kening sehingga berlubang”
“kapan kejadiannya sicu!?” tanya Han-fei-lun
“lima hari yang lalu, wah...kasihan betul.” jawab lelaki itu
Setelah iring-iringan lewat, Han-fei-lun memasuki sebuah likoan, ia menginap untuk memastikan keberadaan kedua buruannya, setelah menyelidiki keadaan kota selama seharian penuh, dan tidak adapun tanda-tanda keberadaan pendekar buta dan “see- kim-liong” maka Han-fei-lun meninggalkan kota Kenlung, ia melakukan perjalanan cepat, hingga dua minggu kemudian sampailah Han-fei-lun dikota Lijiang
Seorang pelayan menyambut kedatangan Han-fei-lun saat memasuki likoan, setelah memasan makanan, Han-fei-lun duduk dekat pintu masuk dan tatapannya kadang melihat orang yang berlalu lalang di depan likoan “apakah taihap menunggu seseorang?” tanya pelayan saat menghidangkan pesanan Han-fei-lung
“tidak sicu! tapi saya mengejar dua orang, dan salah satunya lelaki buta paruh baya.”
“oh tiga hari yang lalu tamu dengan ciri yang disebut taihap
singgah disini.”
“oh benarkah, lalu apa keduanya menginap ?”
“tidak taihap! selesai mereka makan, sepertinya mereka langsung melanjutkan perjalanan.”
“hmh…apakah tidak ada kekacauan yang terjadi, setelah keduanya singgah dikota ini?”
“rasanya tidak ada taihap!” jawab pelayan, lalu kemudian ia meninggalkan Han-fei-lun.
Han-fei-lun menyantap hidangan didepannya, ketika ia sedang makan tiba-tiba cuaca gelap dan mendung tebal berarak di atas langit kota Lijiang
“sepertinya hujan akan turun.” ujar seorang tamu pada rekan semejanya
“kita tidak akan bisa melanjutkan perjalanan, twako!” sela temannya
“dan sebaiknya kita menyewa kamar, song-te”
“baik twako! saya akan memesannya pada pelayan!” sahutnya sambil berdiri dan menemui pelayan.
Hujan turun dengan lebat, Han-fei-lun terpaksa menunda pengejarannya, dan menyewa kamar untuk menginap, seorang pelayan mengantarkannya kedalam kamar, Han-fei-lun merebahkan badan di atas ranjang dan tidak lama ia pun tertidur pulas. Keesokan harinya Han-fei-lun melanjutkan perjalanan, setelah keluar gerbang kota, ia mengerahkan ilmu berlarinya yang luar biasa sehingga tubuhnya melesat cepat, dan beberapa menit saja ia sudah jauh meninggalkan kota.
“bwee-hoa-likoan” adalah rumah makan yang tergolong besar dikota Guiyang, pengunjungnya sangat ramai, terlebih siang itu banyak pelanggan yang hendak makan siang, puluhan pelayan sibuk menyambut dan melayani para tamu, tawa dan canda para tamu, seruan perintah ini dan itu, sehingga membuat suasana hiruk pikuk terdengar disana sini, dan pada ketika itu dua orang tamu memasuki likoan, keduanya adalah Han-kwi-ong dan anaknya Han-bouw-bian, seorang pelayan dengan ramah segera menyambut keduanya
“silahkan loya dan kongcu kemeja sana!” pinta pelayan sambil menggiring keduanya kesebuah meja, Han-kwi-ong dan anaknyapun duduk
“mau pesan apa loya!?” tanya pelayan dengan hormat
“dua porsi makanan lengkap dengan lauk yang kalian miliki, lalu dua kati arak terbagus.” sahut Han-bouw-bian
“baik kongcu, sebentar pesanan akan segera kami penuhi.” ujar pelayan sembari meninggalkan mereka, dan tidak lama kenudian pesanan Han-bouw-bian pun dihidangkan dua orang pelayan, setelah makanan terhidang, ayah beranak itupun makan dengan lahap.
Setelah selesai makan keduanya masih melanjutkan dengan minum arak sambil menikmati hembusan semilir angin yang datang dari permukaan kolam buatan disamping likoan “ayah! sudah lebih satu bulan kita melarikan diri, mungkin Fei-lun sudah kehilangan jejak kita, jadi kita sudah bisa menetap beberapa lama dikota ini, bagaimana pendapat ayah?”
“hal itu tidak mungkin Bian-ji kita, karena sekali Fei-lun sudah mengincar kita, maka kita tidak akan pernah menetap disatu tempat.”
“lalu sampai kapan kita terus melarikan diri, ayah!?”
“yang jelas kita akan ke utara dan bergabung dengan siokmu Pak-hek-liong.”
“lalu apakah kita setelah ini melanjutkan perjalanan ataukah kita akan menginap barang satu malam?”
“hmh….kita menginap saja disini dan besok baru perjalanan kita lanjutkan.” Jawab ayahnya, kemudian han-bouw-bian berdiri dan melangkah kemeja kasir untuk memesan kamar.
Ayah dan anak itu diantar seorang pelayan memasuki sebuah kamar, han-kwi-ong merebahkan badan di atas ranjang
“ayah! aku keluar sebentar melihat-lihat keadaan.” Han-kwi-ong hanya mendehem menjawab anaknya, Han-bouw-bian pun keluar dan menutup pintu kamar, dan saat ia sedang menuruni tangga ia melihat beberapa pelayan dan orang tua yang duduk dikasir sedang menyambut seorang lelaki muda yang tampan, dan sepintas ia mendengar percakapan yang terjadi
“selamat datang Han-kongcu!” sambut lelaki tua itu sambil merangkap tangan diikuti beberapa pelayan
“selamat bertemu Tan-pek, kalian baik-baik saja bukan !?” sahut lelaki berumur dua puluh satu tahun yang tiada lain adalah Han- liu-tan putra dari Han-sai-ku,
“keadaan kami baik-baik saja kongcu, dan bagaimana dengan kabar Han-loya dan keluarga di Kun-ming?” “ayah dan ibu baik-baik saja Tan-pek.”
“syukurlah kalau begitu, oh ya marilah kita keruangan dalam Han-kongcu!” ujar Tan-bouw, lalu ia pun mengiringi langkah Han-liu-tan memasuki likoan.
Han-bouw-bian yang mendengar pemuda itu satu she dengan dia sedikit tertarik, lalu ia mendekati seorang pelayan paruh baya “paman! siapakah kongcu muda yang baru disambut itu?” tanya Han-bouw-bian
“oh itu adalah Han-kongcu pemilik dari likoan ini.” jawan pelayan itu dengan seulas senyum ramah
“apakah Han-kongcu tinggal dikota ini?”
“tidak kongcu! Han-kongcu dan keluarganya tingal dikota Kunming, dan sesekali saja ia datang kesini.”
“oh, begitu, baiklah paman aku hendak keluar hendak melihat- lihat suasana kota.”
“baiklah kongcu, silahkan menikmati keindahan kota Guiyang.” sahut pelayan itu , Han-bouw-bian pun keluar dari likoan.
Han-liu-tan melihat-lihat keadaan likoan bersama Tan-bouw, dan Han-liu-tan merasa puas melihat keadaan likoan milik keluarganya yang dipimpin oleh Tan-bouw. Han-liu-tan sudah berumur dua puluh satu tahun, bisnis keluarga ini sudah digelutinya sejak umur tujuh belas tahun, hal ini disebabkan sebagaimana diketahui bahwa Han-sai-ku sepulang dari selatan mendapatkan perlakuan aniaya dari paman guru dan tiga saudara seayahnya Han-kwi-ong, Han-ok-liang dan Han-bun- liong. Sejak itu yang mengurus likoan di kota kunming diserahkan pada putrinya Han-Han-ci-lan cici dari Han-liu-tan, dan empat tahun kemudian Han-ci-lan menikah dengan pemuda she Yo yang menjadi tihu dikota Guolin sebelah selatan kota kunming, Setelah Han-cilan pindah mengikuti suaminya, Han-sai-ku menyerahkan pengurusan likoan kepada Han-liu-tan yang kala itu masih berumur tujuh belas tahun.
Han-liu-tan yang terpelajar memang tidak mengecewakan orangtuanya, dia mampu mengelola bisnis keluarganya dengan baik sehingga lima tahun sudah, likoan bunga cilan tetap menuai sukses dan diminati orang banyak, dan rutinitasnya setiap tahun datang mengunjungi likoan milik keluarganya yang ada di luar kota kunming, dan salah satunya likoan dikota Guiyan.
Han-bouw-bian yang sedang berjalan-jalan tertarik melihat akrobat keliling yang sedang menjajakan kebolehannya, banyak orang berdiri melingkar menyaksikan atraksi yang dipertontonkan, Yang menarik perhatian Han-bouw-bian adalah gadis cantik yang sedang memutar lingkaran rotan dengan kakinya, tepuk tangan menyambut permainan gadis cantik tersebut, dan tidak lama para penonton melempar uang recehan dan disambut ucapan terimakasih dari lelaki paruh baya yang menjadi pimpinan rombongan.
Setelah atraksi selesai para penontonpun bubar diiringi ucapan terimakasih dari lelaki paruh baya
“terimakasih---terimakasih...lain hari kami akan datang lagi!” ujar lelaki itu sambil merangkap kedua tangan kea rah para penonton yang hendak bubar, dan ketika lelaki itu menatap Han-bouw-bian dia tersenyum ramah
“terimakasih kongcu! ” ujarnya ramah lalu berbalik memerintahkan empat angotanya mengemasi barang, dan empat orang anggota rombonganpun mengemasi barang, sementara Han-bouw-bian tetap berdiri ditempatnya, sehingga membuat pimpinan rombongan heran dan lalu bertanya
“ada apa kongcu! apakah ada yang hendak kongcu sampaikan!?” Han-bouw-bian melangkah dengan senyum sinis melewati pimpinan rombongan
“tidak ada, saya ingin bicara dengan gadis itu.” gadis yang dari tadi merasa kikuk dilihatin terus oleh Han-bouw-bian merasa kaget, pimpinan rombongan merasa ada gelagat tidak baik langsung mengejar Han-bouw-bian
“maaf kongcu! kami ini hanya orang kecil, jadi tolong kami jangan diganggu.”
“Hmh...kamu jangan banyak lagak orangtua, aku menginginkan nona itu!” mendengar nada perkataan Han-bouw-bian itu empat orang lelaki yang mengemasi barang langsung
berdiri siaga, dan hal ini mengundang senyum sinis Han-bouw- bian
“hehehe kalian ini mau apa!? bentaknya, gadis itu segera
mendekati rekan-rekannya
“sudahlah twako! kalua kongcu ini hendak bicara, silahkanlah bicara!”
“hmh….bagus…sekarang ikutlah dengan saya nona!” “tuan! Kita tidak saling mengenal, dan saya tidak mau ikut denganmu.”
“hehehe..nona cantik aku suka padamu, dan kamu mesti ikut dengan saya.”
“kongcu! tolong jaga sikapmu yang ku…..” lelaki yang menyela itu tidak dapat melanjutkan perkataannya karena sebuah tamparan sudah menghancurkan mulutnya, kepala terasa pening dan pandangannya nanar, lalu ia pun roboh pingsan
Kejadian itu menarik perhatian orang, sehingga datang mendekat, tiga anggota rombongan merangsak maju hendak membalas, namun ketiganya entah bagaimana menjerit dan lalu roboh pingsan, hal itu membuat gadis itu kaget dan marah “kongcu! siapakah kamu yang hendak memaksakan kehendak kepadaku!?”
“hehehe…nona cantik, saya adalah see-kim-liong, dan aku suka padamu.” Jawab Han-bouw-bian jumawa, orang-orang yang tadi mendekat langsung segera menyingkir setelah mendengar julukan pemuda itu, Julukan Iblis buta dan See-kim-liong yang menggemparkan bagian barat itu telah menjadi momok yang menakutkan.
Wajah gadis itu berubah pucat, demikian juga dengan pamannya pimpinan rombongan, lalu lelaki itu segera bersimpuh dihadapan Han-bouw-bian
“tuan! Maafkanlah kami yang tidak merngenal tuan, dan tolong bermurah hatilah untuk tidak menggangu keponakanku
“tidak bisa! sekali see-kim-liong menginginkan sesuatu, maka
tidak ada yang boleh menghalangi, hehehe…hehehehe….” Han- bouw-bian dengan sekali lompat telah meraih pinggang gadis itu dan berkelabat ke atas wuwungan bangunan “ah..ti..tidak…lepaskan aku…to…tolong lepaskan aku..!” “hahaha..hahaha….nona cantik aku bukannya hendak menyakitimu, bahkan aku akan memberikan kesenangan padamu.” ujar Han-bouw-bian dengan nada ceriwis
“ti..tidak tuan..kasihanilah aku..to..tolong lepaskan aku.” keluh gadis itu memelas
“lepaskan gadis itu, sicu!” teriak seorang yang tiba-tiba melayang ke atas dan mendarat dengan ringan di atas wuwungan, seorang lelaki muda yang ternyata Han-liu-tan, setelah pekerjaannya selesai dilikoan, Han-liu-tan pergi kepasar untuk membeli beberapa gulung kain bersama Tan-bouw, namun melihat banyak orang memperhatikan kesatu jurusan yakni ke atas wuwungan sebuah bangunan, maka ia pun ikut memperhatikan
“apa yang mereka lakukan disana..!?” gumam Tan-bouw, dan seorang lelaki seumuran Tan-bouw menoleh
“eh..Tan-sicu! Hendak belanjakah? Sapanya
“iya Cu-sicu, ada apa yah, kenapa dua orang itu berada disana?” “gadis itu anggota rombongan akrobatik, dan lelaki itu ternyata see-kim-liong yang menggemparkan itu.” Tan-bouw memicingkan mata untuk fokus memperhatikan, dan hatinya tersentak setelah yakin dengan orang yang dilihatnya
“eh kongcu! lelaki itu adalah tamu yang menginap di penginapan kita, ah…aku ingat sekarang, ia sepertinya tadi bersama lelaki
tua,hmh… mungkinkah lelaki temannya itu iblis buta?” she-Cu yang mendengar bisikan Tan-bouw pada Han-liu-tan menyela
“aduh..gawat kalau begitu, tempat kita telah didatangi iblis buta dan see-kim-liong, kita ketibaan bencana kali ini.” keluhnya dan saat itu Han-liu-tan segera melesat ke atas dan berdiri anteng dihadapan Han-bouw-bian
“eh..ternyata kamu kongcu! apa urusanmu naik kesini!?” tegur Han-bouw-bian sinis
“perbuatanmu sungguh tidak patut, sicu! jadi tolong lepaskan nona itu!”
“hahahaa…hahaa…mau jadi pahlawan kongcu!? hahaha…tidak kenalkah kamu siapa saya!?” Han-liu-tan dengan wajah tenang tersenyum
“aku tahu siapa dirimu, kamu adalah see-kim-liong yang akhir- akhir ini sesumbar diwilayah barat.” Han-bouw-bian marah dan matanya mendelik, ia tidak menyangka bahwa ada orang yang anggap remeh pada julukannya yang menggemparkan
“bangsat..! kamu punya apa sehingga berani berhadapan dengan saya! umpatnya marah, dengan wajah dan seulas senyum Han-liu-tan berkata
“jika kamu merasa julukanmu hebat, lepaskan gadis itu, dan kita boleh adu kebolehan.” melihat ketenangan dan mendengar perkataan bernada tantangan yang sangat meyakinkan itu membuat Han-bouw-bian naik emosi, lalu ia melemparkan wanita itu kebawah sembari menyerang Han-liu-tan dengan sebuah terkaman dahsyat, sesaat Han-liu-tan terkejut melihat gadis yang dilemparkan, dan dengan cekatan ia melesat kea rah gadis yang melayang kebawah, dan serangan Han-bouw-bian mengenai tempat kosong, tapi Han-bouw-bian tidak mau kecele dan dia menyerang han-liu-tan dengan pukulan jarak jauh, supaya niat han-liu-tan yang hendak menolong gadis itu gagal, tapi dengan gerakan indah dan jitu, Han-liu-tan memapaki serangan itu dan menggunakan tenaga dorongan Han-bouw- bian menambah daya lesatnya dan sebelah tangannya meraih tubuh gadis itu dengan tepat dan setelah tubuh gadis itu didekap, ia langsung berjumpalitan memutar tubuh dan mendarat ringan di atas tanah, orang yang melihat atraksi penyelamatan yang luar biasa itu sontak bertepuk tangan.
Han-bouw-bian makin jengkel dan melesat kebawah dengan sebuah serangan cepat laksana naga yang menukik, Han-liu-tan terkesima dengan jurus yang dikeluarkan lawannya ini, karena jurus ini amat dikenalnya yakni jurus pertama dalam rangkaian jurus “bun-sian-pat-hoat” yang bernama “ci-lou-bun-sian” (dewa sastra menunjuk jalan) maka ia dengan gerakan “in-touw-so- bun-sian” (dewa sastra menenun mega) dalam rangkaian jurus “bun-sian-pat-hoat” menawar serangan Han-bouw-bian, pertempuran hebatpun berlangsung, kelitan dan jotosan keluar dengan begitu cepat dan kuat, dan setelah tiga puluh jurus berlalu dua tenaga sin-kang berdentum
“dhuar….” suara benturan sin-kang merebak dan memekakkan telinga, Han-bouw-bian terpental ke udara dan mendarat enteng di atas tanah, sementara kaki Han-liu-tan amblas kedaklam tanah sebatas mata kaki.
Sesaat keduanya terdiam dan terkesima, keduanya sam-sama menguasai jurus yang baru saja mereka adu, Han-liu-tan sudah merasa bahwa lawannya ini ada hubungan dengannya
“siapa kamu sebenarnya, bagaimana kamu dapat menguasai in- touw-so-bun-sian!?” tanya Han-bouw-bian penasaran
“hmh..ternyata iblis buta itu adalah uwak Han-kwi-ong, apakah kamu murid dari uwak Han-kwi-ong?” Han-liu-tan balik bertanya setelah berpikir sesaat menghubungkan julukan lawannya ini dengan perkataan yang dibisikkan Tan-bouw. “sialan! ditanya malah balik bertanya, Han-kwi-ong adalah ayahku, apakah kamu anak dari Han-sai-ku!?”
“jaga mulutmu sepupu! ayahku itu adalah pamanmu!” tegur Han- liu-tan tegas, dengan senyum sinis Han-bouw-bian memasang ancang-ancang
“bagus! ternyata anak si pengecut, terima seranganku! heaaat..” Han-bouw-bian mengerahkan jurus Pai-hud-bun-sian dengan kecepatan dan kekuatan penuh, tubuhnya berputar laksana gasing, Han-liu-tan mengenal jurus keempat ini.
“Pai-hud-bun-sian” gumam Han-liu-tan, lalu dengan pengerahan gin-kang ia mengeluarkan jurus yang sama , pertarunganpun berlanjut kembali, kali ini tubuh keduanya membentuk pusaran puting beliung meliuk saling menyerang.
Orang-orang yang menyaksikan pertarungan itu berdecak kagum, kenapa tidak, dua pusaran puting beliung laksana dua naga yang saling menyerang diatas angkasa, dentuman benturan sin-kang yang bertemu membuat tempat itu hingar bingar dan bergetar, pertarungan itu sudah berjalan dua jam penuh, namun kedua saudara sepupu itu masih bersitegang adu jotos, setelah pertarungan di atas itu menemui jalan buntu, karena sama kuat, maka keduanya mengadu sin-kang sehingga keduanya terpental kebelakang dan keduanya turun menjejak bumi.
Dua sepupu itu diam sesaat, lalu kemudian bertarung lagi dengan hebat, kali ini jurus keenam dalam rangkaian jurus bun- sian-pat-hoat yakni “bun-sian-sin-lie” (tarian sakti dewa sastra) keduanya demikian cekatan dan kuat, keduanya saling berusaha mendesak dan memojokkan lawan, namun tak pelak karena keduanya memiliki tenaga dan kecepatan yang seimbang dan sama-sama mengetahui rahasia serangan dan gerak tipu yang dikeluarkan, maka pertarungan itu berjalan alot.
Dan disaat keduanya saling jotos, sebuah bayangan memasuki pertarungan hebat itu
“buk….hoak…” tubuh Han-liu-tan terlempar sambil memuntahkan darah karena sebuah pukulan hebat melanda lambungnya, dengan nafas tersegal-segal Han-liu-tang menatap penyerang gelapnya yang tiada lain adalah iblis buta
“ayah…dia itu anak Han-sai-ku!” teriak Han-bouw-bian sambil melompat menyerang dengan sebuah pukulan mematikan ke arah kepala Han-liu-tan, serangkum tenaga dahsyat menyeruak melesat kearah Han-liu-tan yang sudah lemah, Han-liu-tan hanya pasrah menerima pukulan terakhir itu, namun tiba-tiba sebuah bayangan kilat meraup tubuh Han-liu-tan sehingga pukulan itu menghantam tempat kosong
“Lun-pek…!” seru Han-liu-tan setelah melihat siapa yang mendekapnya, Han-fei-lun menurunkan Han-liu-tan sembari bertanya lembut
“kamu siapakah nak!?”
“aku Han-liu-tan putra Han-sai-ku.” jawab Han-liu-tan “hmh…kamu atur dulu pernafasanmu Tan-ji.” ujar Han-fei-lun, Han-bouw-bian terkesiap dan nyalinya ciut melihat kharisma tokoh didepannya, Han-fei-lun sejenak menatapnya, lalu dengan nada dingin menegur Han-kwi-ong yang menghadap padanya “kwi-ong…..! kamu ini kenapa demikian telengas, hah!?” sesaat hati Han-kwi-ong bergetar dan dilanda rasa kaget dan takut, namun ia mencoba menenangkan hatinya, namun suaranya tetap bergetar saat balik bertanya
“fei-lun! Kamu kenapa capek-capek datang kemari!?” mental garang Han-kwi-ong pudar dan berubah menjadi mental pengecut, hal ini karena pelarian selama sebulan dan rasa was- was yang menyelimutinya setiap saat
“aku hendak menemui kalian berdua yang dengan pongah menebar kejahatan atas nama iblis buta dan see-kim-liong, kali ini kalau kamu tidak kuhajar habis-habisan jangan anggap aku kakakmu!” bentak Han-fei-lun, mendengar nada perkataan Han- fei-lun yang geram membuat iblis buta terheyak kecut
“ayah..!kenapa ayah diam saja!?”” teriak Han-bouw-bian heran melihat sikap ayahnya yang tidak biasanya, Han-fei-lun menoleh pada Han-bouw-bian
“apakah kamu yang berjulukan see-kim-liong!?”
“benar! dan kamu ini siapa!?” bentak Han-bouw-bian mencoba menantang kharisma lelaki tua didepannya
“Bian-ji! mari kita pergi!” sela Han-kwi-ong sembari membalik badan
“berhenti kamu Kwi-ong!” bentak Han-fei-lun sembari tubuhnya melayang kedepan Han-kwi-ong, Han-kwi-ong dengan serta merta mendorong dan menyerang dengan tongkatnya, Han-fei- lun dengan cekatan berkelit dan hendak menagkap tongkat Han- kwi-ong, Han-kwi-ong tahu gelagat dan cepat menarik tongkatnya dan mencoba menjauh dengan menggelindingkan tubuh, dan setelah itu ia mulai menyerang dengan jurus kiam- bun-sian-hoat, Han-fei-lun dengan tenang menghadapi jurus pedang luar biasa ini, kipasnya dalam rangkaian “kwi-hut-san- sian” (dewa kipas penakluk iblis) dikeluarkan untuk mengimbangi sabetan tongkat yang mengawung.
Han-bouw-bian segera mencabut pedangnya dan dengan jurus yang sama dengan ayahnya menyerang Han-fei-lun, kali ini Han- fei-lun dibuat sibuk melayani keroyokan jurus pedang yang jarang tandingan itu, Han-fei-lun merubah gerakannya dengan jurus “bun-sian-minling-ci” (jari titah dewa sastra)” jurus su-hoat ini dilancarkan dengan apik dan cekatan, sehingga walaupun dikeroyok demikian rupa Han-fei-lun tidak terdesak, bahkan semakin lama Han-bouw-bian dan ayahnya semakin keteter dan tertekan, perubahan ilmu su-hoat itu demikian rumit dan membingungkan kedua lawannya, Han-bouw-bian makin kecut dan buntu, akibat terpecahnya konsentrasi Han-bouw-bian, membuat daya serangnya melemah dan ini sangat fatal, karena ketika serangan Han-fei-lun mengarah padanya dengan satu gerakan aneh dan tuk..tuk....hegg..hoak...” dada dan perut Han- bouw-bian kena totol, nafas Han-bouw-bian sesak dan perutnya berguncang, setelah muntah untuk yang kedua kalinya, Han- bouw-bian pingsan, Han-kwi-ong yang merasa bahwa anaknya telah roboh menjadi kecut dan tidak pelak serangan sakti dari Han-fei-lun tidak dapat dibendung dan ia menjerit saat sebuah totolan mengenai pelipisnya, dan tidak hanya itu tiga totolan sakti mengenai punggung dan kedua bahunya, hingga tidak bersambat Han-kwi-ong roboh pingsan.
Han-fei-lun berhenti dan melihat tubuh saudaranya yang tergeletak, dan nyatanya siang sudah berganti malam, lalu ia melangkah mendekati Han-liu-tan
“lun-pek!” seru Han-liu-tan sambil berdiri “bagaimana keadaanmu tan-ji!?”
“keadaanku sudah baikan Lun-pek, marilah Lun-pek ikut saya kepenginapan”
“tunggu dulu! kita harus membawa keduanya” ujar Han-fei-lun sembari melangkah mendekati tubuh Han-kwi-ong, lalu ia mengangkat tunuh saudaranya, Han-liu-tan segera mengangkat tubuh Han-bouw-bian dan merekapun kembali kepenginapan bunga ci-lan.
Sesampainya dipenginapan, Tan-bouw menyuruh pelayan untuk menyiapkan kamar, Han-kwi-ong dan Han-bouw-bia dibaringkan, dan tidak lama dua pelayan membawa makanan dan minuman, lalu keduanyapun makan
“Tan-ji..! bagaimana kamu sampai disini, bukankah kalian tinggal di kunming dan bagaimana kamu bisa bertempur dengan sepupumu!?”
“penginapan ini milik kita Lun-pek, jadi saya kesini hanya kunjungan tahunan, dan tadi siang saya melihat kelakuan sepupu ini tidak patut karena menggangu seorang gadis.”
“oh..demikian rupanya, jadi inikah usaha yang dirintis ayahmu!?” ujar Han-fei-lun kagum
“benar Lun-pek, lalu Lun-pek bagaimana hingga sampai kesini, dan bagaimanakah kabar pekbo dan keluarga di Kaifeng?” “pek-bomu dan keluarga yang lain baik-baik, dan ayah dan ibumu bagaimana kabarnya Tan-ji!?”
“ayah dan ibu baik-baik saja, sementara cici sudah menikah dan ikut suaminya ke Guoling
”syukurlah jika demikian dan sepertinya usaha ayahmu ini, sekarang kamukah yang menaganinya?”
“benar Lun-pek! dan Lun-pek kan tahu sendiri bagaimana kondisi ayah setelah pulang dari selatan.” Han-fei-lun manggut- manggut
“baiklah Tan-ji! pek-pek harus membersihkan diri dulu, setelah itu obrolannya kita lanjutkan.”
“baik pek-pek, marilah saya antar pek-pek pek, dan saya juga ingin mandi.” sahut Han-liu-tan, lalu keduanya meninggalkan kamar sementara dua pelayan membersihkan meja makan.
Setelah Han-fei-lun mandi dan berganti pakaian, Han-liu-tan sudah muncul dengan wajah segar berbarengan dengan Tan- bouw dan dua pelayan membawa minuman dan makanan kecil, keduanyapun kembali duduk, dan ketika Tan-bouw hendak beranjak
“Tan-pek! duduklah bersama kami, ini adalah pek-pek saya, saudara tua ayah saya, Lun-pek! ini adalah Tan-pek yang dipercayakan ayah mengelola likoan ini sejak berdiri.”
“ya..saya adalah Han-fei-lun Tan-sicu!” sela Han-fei-lun memperkenalkan diri, Tan-bouw segera menjura dan dibalas ramah oleh Han-fei-lun
“saya adalah Tan-bouw dan saya sangat senang berjumpa dengan Han-loya.”
“demikian juga dengan saya Tan-sicu, dan maafkan saya dengan situasi ini.” ujar Han-fei-lun sambil menoleh keranjang dimana dua kerabatnya terbaring, Tan-bouw mengerti apa yang dimaksud Han-fei-lun
“ah…tidak usah demikian Han-loya, situasi seperti ini sudah biasa, para tamu kelana juga sering seperti ini, dan bagaimanakah keadaan mereka?”
“iya Lun-pek, bagimanakah keadaan Ong-pek dan sepupu ini?” “sepupumu tidak terluka parah, nanti setelah siuman ia akan saya beri obat.”
“lalu luka Ong-pek bagaimana?” tanya Han-liu-tan penasaran “Ong-pek mu harus menerima kenyataan kondisinya saat ini, dia tidak akan lagi sesumbar berbuat jahat dan aniaya.” “maksudnya Ong-pek tapa daksa, begitukah Lun-pek?” Han-fei- lun mengangguk lalu berkata
“Lun-pek memang sedang memburu keduanya sejak dari xining, kelakuan Ong-pek mu harus di beri pelajaran keras.”
“iblis buta dan see-hek-liong memang telah jadi momok menakutkan di wilayah ini Han-loya, dan tidak disangka bahwa mereka ini ada hubungan dengan dekat dengan Han-loya di Kunming.” sela Tan-bouw
“yah demikianlah Tan-sicu, nasehat berkali-kali sudah diberikan, namun tidak digubris, demikianlah jika hati sudah dirasuki iri dan dengki, sukar untuk menerima kebenaran.” ujar Han-fei-lun “ugh...akh...” terdengar rintihan dari mulut Han-bouw-bian, Han- fei-lung segera berdiri dan melangkah keranjang sambil membawa secangkir air
“kamu sudah siuman nak! sekarang minumlah obat ini! bujuk Han-fei lun penuh rasa sayang, Han-fei-lun mendorong dua buah pel kemulut Han-bouw-bian dan menempelkan cangkir kemulut Han-bouw-bian, Han-bouw-bian menelan obat
“akh...aku berada dimana? Ini dimana?” keluhnya lirih sambil memegang kepalanya yang pusing, dan samar-samar ia melihat lelaki tua yang duduk di sampingnya
“akh..kamu rupanya...” keluhnya sambil berusaha duduk, dan ketika ia melihat kesamping, ia melihat ayahnya terbaring “ayah..! ke...kenapa dengan ayahku!?” teriaknya heran dan menatap wajah Han-fei-lun dengan tajam
“ayahmu pingsan Bian-ji, sekarang kamu siulian untuk mengatur nafas dan menormalkan jalan darahmu.” Han-bouw-biah hendak membentak namun tiba-tiba dadanya sesak, dan akhirnya ia menurut untuk melakukan siulian, Han-fei-lun bangkit
“Tan-ji! setelah ini sepupumu tentu lapar, jadi siapkanlah makanan!”
“baik..biar aku saja Han-kongcu!” sela Tan-bouw sambil berdiri dan melangkah lebar meninggalkan kamar, dan tidak lama seorang pelayanpun datang membawa seporsi makanan, setelah makanan dihidangkan di atas meja, Tan-bouw dan pelayan meninggalkan kamar.
Han-fei-lun dan Han-liu-tan juga keluar kedepan kamar untuk memberikan susana tenang bagi Han-bouw-bian, dan kira-kira sepeminum teh Han-fei-lun mengajak Han-liu-tan masuk kembali, dan tidak saat mereka duduk Han-bouw-bian sudah selesai dengan siulannya, matanya dibuka
“sekarang makanlah Bian-ji! ujar Han-fei-lun, Han-bouw bian memang merasa sangat lapar, lalu ia pun turun dari ranjang dan duduk dikursi makan, tanpa bicara ia pun melahap makanan yang dihidangkan.
Han-fei-lun senyum melihat sikap keponakannya yang rakus itu “pelan-pelan saja Bian-ji, sabar itu amat baik untuk diri.” Han- bou-bian berhenti sejenak, dan kemudian ia menyuap makanannya dengan perlahan
“bagaimana dengan ayahku!?” tanyanya sambil mengunyah dan menatap lekat pada Han-fei-lun “selesaikan dulu makanmu nak! baru hal lain dibicarakan!” sahut Han-fei-lun, Han-bouw-bian ingin menyela lagi, namun saat ia kembali menatap mata Han-fei-lun ia jadi tertunduk dan meneruskan makannya, ia tidak mengerti kenapa ia harus menuruti perintah orang tua dipannya ini. ia menyuap dan mengunyah makannanya dan sesekali ia menatap Han-liu-tan, namun Han-liu-tan tidak menggubris dan asyik menikmati roti kering dihadapnnya dan sesekali meminum teh.
Akhirnya Han-bouw-bian menyelesaikan makannya, sambil melap mulutnya ia berkata
“aku sudah selesai makan, apa dan bagaimana dengan ayahku
!?”
“Bian-ji! kamu tahu berhadapan dan berbicara dengan siapa?”
Han-bouw-bian terhenyak menunduk
“saya tahu berhadapan dengan siapa! kamu adalah Han-fei-lun musuh bebuyutan ayah, paman Han-ok-liang dan paman Han- bun-liong.” mendengar jawaban Han-bouw-bian yang bernada datar itu, Han-fei-lun tersenyum arif
“baiklah! Apa yang hendak kamu ketahui tentang ayahmu itu!” tanya Han-fei-lun tajam sambil menunjuk ke arah ranjang, Han- bouw-bian tercekat mendengar nada suara Han-fei-lun yang begitu menusuk dan menggetarkan hatinya, ia amat merasakan aura kejengkelan orang tua didepannya dan itu membuat ia sontak ciut dan takut.
“apakah ayahku baik-baik saja?” tanya dengan nada rendah “hmh…ayahmu tidak baik-baik saja Bian-ji, karena ayahmu disamping buta, ia juga tidak bisa lagi menggunakan kedua tangannya, karena tangannya sudah lumpuh, dan sin-kang ayahmu sudah tidak ada lagi, karena tulang punggung bagian atas sudah remuk.”
“ah….ke..kenapa pek-pek tega ber..berbuat se…seperti itu pada ayah?”
“ayahmu sudah berkali-kali kunasehati Bian-ji, dan kali ini pek- pek harus melakukannya, supaya ayahmu tidak lagi semena- mena.” jawab Han-fei-lun tegas, Han-bouw-bian tertunduk dan diam.
“bian-ji, tentunya kamu tahu bahwa apa yang kalian lakukan belakangan ini sangat menyusahkan dan menyengsarakan orang banyak, bukan!?” Han-fei-lun menatap keponakannya dan menunggu reaksinya, namun Han-bouw-bian hanya tertunduk, lalu Han-fei-lun melanjutkan
“pek-pek yakin bahwa ibumu di Huangsan telah mendidikmu tentang benar dan salah, dan alangkah naifnya jika apa yang telah dicanangkan ibumu sejak kecil hingga kamu dewasa, raib tidak berbekas akibat pengaruh ayahmu yang sesaat sehingga mengabaikan harapan baik dari ibumu! dimana pertimbanganmu anakku!?” Han-fei-lun
menatap Han-bouw-bian, Han-bouw bian mendesah lalu berkata
“tapi pek-pek, selaku anak yang berbakti bukankah harus membantu ayahnya untuk mewujudkan keinginannya?” “benar, tapi sudahkah kamu menimbang benar tidaknya keinginan ayahmu, dan apakah keinginan ayahmu ini sejalan dengan keinginan ibumu, yang juga kamu diwajibkan berbakti
padanya, pek-pek mau tanya padamu! apakah ibumu menginkan kamu menjadi orang sesat?”
“golongan ayah tidak kenal timbang menimbang sebagaimana dimaksud pek-pek.”
“lalu kamu sendiri bagaimana? apakah kamu juga tidak mau menimbang segala perkara, baik benarnya dan mamfaat mudhoratnya? kamu ini manusia yang dianugerahi Thian dengan akal pikiran yang merdeka dari dikte manusia namun tetap harus tunduk pada kehendak Thian, bagaimana Bian-ji!?”
“jelas aku punya pemikiran sendiri, pek-pek.”
“nah jika demikian apa dan bagaimana pemikiranmu tentang sepak terjang yang kalian lakuan belakangan ini? apakah tepat menurutmu?”
“memang tidak tepat pek-pek, namun ayah dan para paman mempunyai pemikiran lain, dan saya sebagai anak harus menurutinya.”
“apakah ini bakti dan sayang pada orangtua yang Bian-ji fahami? Jika demikian, ketahuilah nak! kamu sangat salah!”
“bagaimana bisa bakti yang saya lakukan salah pek-pek!?” “salah karena yang kamu lakukan pada ayahmu bukan bakti Bian-ji, tapi bahkan sebaliknya kamu telah membinasakan ayahmu sendiri.” Han-bouw bian terheyak dan menatap Han-fei- lun heran, Han-fei-lun tersenyum arif menatap keponakannya
“Bianji coba renungkan! Jelas bahwa kamu tahu apa yang dilakukan ayahmu tidak tepat, sebagaimana kamu katakan tadi, namun kamu bukannya mengingatkan tapi ikut membantu dan mendorong ayahmu lebih terperosok lebih dalam pada kesesatannya, kenapa kamu tega sekali pada ayahmu Bian-ji!?” Han-bouw-bian tercenung karena melihat kebenaran yang dikatakan pek-peknya, ternyata benar dengan keberadaanya disamping ayahnya dan karena dukungannya telah menambah motivasi bagi ayahnya untuk berbuat tidak benar, saat itu ia teringat ibunya yang penuh sengsara memperjuangkan hidup mereka sejak ayahnya meninggalkan mereka, ia teringat tujuannya merantau adalah untuk membawa ayahnya kembali kesisi ibunya, mengingat itu tidak terasa air matanya berderai.
“pek-pek… aku ternyata salah dan lupa pada keinginan ibu untuk membawa ayah kembali.”
“hmh….baguslah Bian-ji, jika tahu kamu salah, dan sudah pasti dibaliknya akan terbit usaha untu memperbaikinya, demikianlah yang dikatakan sebaik-baik manusia, ketika tahu salah dan segera memperbaiki diri.” ujar Han-fei-lun arif
“lalu apa yang harus saya lakukan pek-pek?”
“sekarang yang mesti kita lakukan adalah mengobati ayahmu, dan sepertinya akan memakan waktu, jadi karena Tan-ji sepupumu ada disini, kamu bisa minta pendapatnya!” Han- bouw-bian menatap Han-liu-tan, Han-liu-tan yang masih terkesima akan pembicaraan dan wejangan pek-peknya tidak menyangka dialihkan padanya, sehingga ia terkejut
“a..apa..pendapat!? hmh….menurutku pek-pek dan Bian-twako serta Ong-pek ikut saya ke kun-ming, dan tentunya ayah akan sangat senang, kemudian pengobatan Ong-pek akan lancar dan nyaman.” ujar Han-liu-tan dengan senyum sumigrah
“sepupumu sudah memberikan pendapat Bian-ji!” “demikian sungguh bagus, dan saya sangan mengucapkan
terimaksih pada Tan-te, dan saya harus minta maaf atas apa yang terjadi tadi siang.”
“hehehe….permintaan maafmu kuterima Bian-ko, syukurlah hal yang hampir membuat celaka itu berakhir dengan susana baik dan damai seperti ini.” “kapan rencanamu kembali ke Kun-ming Tan-ji?” “besok siang Lun-pek.”
“apa urusanmu disini sudah selesai!?”
“sudah Lun-pek, paling lama kunjunganku kesini hanya tiga hari, itupun dua hari karena plesiran saja hehehe..hehehe…” Han-fei- lun manggut-manggut sembari tersenyum
“hmh..baiklah kalau begitu, sekarang kalian istirahatlah, biar pek- pek yang menemani ayahmu Bian-ji! dan kamu Tan-ji! tolong sampaikan pada pelayan untuk mengantar bubur kesini pagi- pagi sekali”
“baik pek-pek!” sahut Han-liu-tan lalu segera berdiri dan mengajak Han-bouw-bian kekamar lain.
Setelah kedua keponakannya pergi, Han-fei-lun segera membaringkan badan di samping Han-kwi-ong yang pingsan, dan tidak lama ia pun sudah pulas dalam tidurnya, malam pun terus merangkak kian larut dan akhirnya syafak merah pun menghias langit menandakan sang fajar hendak terbit, Han-fei- lun bangkit dan bangun, saat Han-fei-lun selesai mencuci muka, Han-kwi-ong siuman, matanya nanar menatap langit-langit, dan ketika ia hendak menggerakkan kepalanya, ia meringis kesakitan.
“aduhh kepalaku…augh…” keluhnya lalu ia hendak menggerakkan tangannya unttuk memijit kepalanya, namun tangan itu tidak bergerak dan terasa nyeri, dan tiba-tiba pintu kamar diketuk seseorang, Han-fei-lun segera membuka pintu dan ternyata seorang pelayan
“saya disuruh Han-kongcu merngantar bubur dan teh kekamar ini loya.”
“ya..terimakasih sicu dan silahkan masuk!” sahut Han-fei-lun, pelayan itu segera masuk dan meletakkan dua mangkok bubur dan sepoci teh panas, setelah itu pelayan itu berpamitan untuk keluar.