Buku 316
“Aku sependapat,” sahut Ki Gede. Namun katanya kemudian, “Meskipun demikian, tidak ada salahnya jika kita memperhitungkan berbagai macam kemungkinan.”
“Ya, Kakang. Menurut pendapatku, para petugas sandi kita akan mengamati persiapan Ki Saba Lintang lebih cermat lagi, meskipun kita tidak akan tunduk kepada ketentuannya”
“Ya. Aku minta Angger Glagah Putih nanti menyampaikannya kepada Ki Lurah.”
“Baik, Ki Gede. Aku akan minta Kakang Agung Sedayu untuk menghadap Ki Gede.”
“Aku menunggu, Ngger.”
Dengan demikian, maka Glagah Putih, Sabungsari dan Sayoga pun segera mohon diri.
Di sore hari ketika Ki Lurah Agung Sedayu kembali dari barak, setelah beristirahat sejenak, maka Glagah Putih pun telah menemuinya untuk memberitahukan apa yang telah terjadi di rumah Ki Gede.
Agung Sedayu mendengarkan laporan Glagah Putih itu dengan seksama. Sambil mengangguk-angguk, Agung Sedayu kemudian berdesis, “Jadi sedikitnya kita masih mempunyai waktu tiga hari lagi.”
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun mengangguk. Katanya, “Ya, Kakang. Ki Saba Lintang memberi waktu tiga hari kepada Ki Gede untuk mengambil keputusan. Tetapi mungkin Ki Saba Lintang justru ingin menyesatkan Ki Gede. Tiga hari itu bukan kesempatan yang sebenarnya.”
“Aku setuju jalan pikiranmu, Glagah Putih. Menilik laporan para petugas sandi. Ki Saba Lintang tidak akan menunggu tiga hari lagi. Karena itu, yang tiga hari itu justru harus diwaspadai,”
“Jadi, menurut Kakang?”
“Ada beberapa kemungkinan. Mungkin Ki Saba Lintang bersungguh-sungguh. Ia memberi waktu tiga hari kepada Ki Gede. Tetapi mungkin yang tiga hari itu sengaja diucapkan untuk membuat pasukan di Tanah Perdikan ini lengah, sehingga serangan itu justru akan datang segera. Kemungkinan lain, Ki Saba Lintang memang ingin mengguncang kemantapan Ki Gede. Ia akan menunggu, tetapi tidak akan genap tiga hari. Jika hari pertama lewat, maka hari kedua pasukannya akan datang menyerang, sementara kita memperhitungkan bahwa serangannya akan datang tiga hari kemudian.”
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Kesimpulannya, sejak esok kita harus benar-benar sudah bersiap.”
“Ya,” jawab Agung Sedayu.
“Malam nanti Ki Gede menunggu Kakang.”
“Ya. Aku akan menghadap.”
Sebenarnyalah setelah makan malam, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah pergi ke rumah Ki Gede, ditemui oleh Ki Gede sendiri, Ki Argajaya dan Prastawa
Ternyata Ki Gede pun sependapat dengan Agung Sedayu, bahwa peringatan tiga hari itu justru akan menyesatkan.
“Kita akan siap menyambut serangan itu kapan saja. Malam ini perintah itu harus sudah sampai ke semua pimpinan pasukan, yang akan menyebarkan ke setiap kelompok. Demikian pula pasukan cadangan yang berada di padukuhan-padukuhan. Perempuan dan anak-anak harus di tempatkan di tempat yang sudah dipersiapkan. Mungkin di banjar, mungkin di rumah Ki Bekel atau di tempat-tempat lain yang terbaik. Para pengawal yang tergabung dalam pasukan cadangan juga harus bersiap untuk mengamankan mereka.”
Malam itu, para penghubung berkuda telah berpacu menemui para pemimpin pasukan yang berada di garis pertahanan pertama. Sementara penghubung yang lain telah menemui para pemimpin pengawal yang berada di padukuhan-padukuhan serta para bekel, untuk menyampaikan pesan Ki Gede.
Perhitungan Ki Gede dan Agung Sedayu serta para pemimpin yang lain itu ternyata sesuai dengan laporan para petugas sandi. Beberapa orang petugas sandi malam itu juga melaporkan bahwa ada peningkatan kegiatan di perkemahan-perkemahan dari pasukan Ki Saba Lintang.
Dalam pada itu, di keesokan harinya Agung Sedayu berangkat ke baraknya lebih pagi dari kebiasaannya. Demikian ia sampai di barak, maka ia pun telah mengirimkan penghubung ke tiga pertahanan utama, untuk menghubungi para pemimpin Pasukan Khusus serta para prajurit dari Ganjar. Perintahnya sama dengan perintah yang disampaikan Ki Gede lewat para penghubungnya.
Pada hari yang pertama, memang tidak ada gerakan yang besar dari pasukan Ki Saba Lintang. Baik yang ada di Krendetan, di Pucang Kerep dan yang berada di sisi utara. Tetapi pasukan-pasukan itu telah berada dalam kesiagaan tertinggi, sehingga akan dapat bergerak setiap saat.
Dalam pada itu, beberapa orang berilmu tinggi yang berada di Tanah Perdikan Menoreh telah membagi diri pula. Mereka akan berada di tiga pertahanan utama. Namun segala sesuatunya akan disesuaikan dengan keadaan, tergantung pada susunan kekuatan lawan. Karena itu, maka bagi mereka yang berilmu tinggi yang berkumpul di rumah Agung Sedayu itu telah disiapkan kuda, yang membawa ke medan yang memerlukan.
Namun untuk sementara, Glagah Putih dan Sabungsari akan berada di sisi selatan, bersama Ki Sura Panggah, Senapati prajurit Mataram yang memimpin pasukan dari Ganjur. Sedangkan untuk menghadapi pasukan yang berada di Pucang Kerep, Agung Sedayu akan ditemani oleh Ki Wijil dan Nyi Wijil. Sedangkan di sisi utara, Prastawa akan memimpin pasukannya bersama Ki Jayaraga dan Sayoga. Sementara itu, Ki Jayaraga sama sekali tidak berkeberatan jika Empu Wisanata akan bersamanya bertahan di sisi utara. Menurut Ki Jayaraga, Empu Wisanata sudah tidak pantas untuk selalu dicurigai. Namun demikian, Ki Jayaraga berkata kepada Agung Sedayu, “Bagaimanapun juga, aku akan mengawasinya.”
“Terima kasih, Ki Jayaraga,” sahut Agung Sedayu.
Dalam pada itu, Sekar Mirah, Rara Wulan dan Nyi Dwani akan berada di padukuhan induk. Jika terjadi penyusupan langsung memasuki padukuhan induk, mereka akan terjun ke medan sebagaimana yang pernah terjadi.
Di samping itu, Sekar Mirah dan Rara Wulan akan memimpin beberapa orang perempuan Tanah Perdikan Menoreh untuk menyediakan makan bagi para pengawal dan prajurit.
Namun untuk menyediakan makan bagi pasukan pertahanan Tanah Perdikan menoreh itu tidak hanya diselenggarakan di padukuhan induk. Tetapi juga diselenggarakan di padukuhan yang akan menjadi landasan pertahanan di hadapan kekuatan lawan.
Ternyata perempuan-perempuan Tanah Perdikan Menoreh, sebagaimana anak-anak muda dan laki-laki, mempunyai keberanian yang tinggi untuk membantu mempertahankan Tanah Perdikan, sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
Pada hari itu juga, Ki Sura Panggah, Agung Sedayu dan Prastawa telah berada di tempat mereka masing-masing. Dengan seksama mereka mengikuti gerak pasukan Ki Saba Lintang, yang agaknya dengan sengaja memamerkan kekuatan mereka. Namun pasukan pertahanan Tanah Perdikan Menoreh justru berusaha merahasiakan kekuatan mereka, sehingga lawan tidak tahu pasti seberapa jauh kemampuan pasukan pertahanan di Tanah Perdikan Menoreh.
Meskipun demikian, para petugas sandi yang disebarkan oleh Ki Saba Lintang dapat juga memperkirakan kekuatan gabungan pasukan pengawal Tanah Perdikan dengan prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh. Namun satu hal yang luput dari penglihatan para petugas sandi adalah kedatangan pasukan kuat dari Ganjur secara berangsur-angsur di Tanah Perdikan Menoreh.
Ketika hari pertama lewat, maka memang timbul dugaan bahwa Ki Saba Lintang memang benar-benar memberi waktu tiga hari kepada Ki Gede untuk mengambil keputusan, apakah ia bersedia bekerja bersama dengan Ki Saba Lintang atau tidak.
Demikian pula pada hari kedua. Ki Saba Lintang masih belum menggerakkan pasukannya untuk menyerang Tanah Perdikan. Yang nampak hanyalah meningkatnya kegiatan, serta kelompok-kelompok kecil yang meronda wilayah yang terbentang di antara dua kekuatan yang sudah siap untuk bertempur.
“Masih ada satu hari lagi,” berkata Ki Argajaya kepada Ki Gede, yang selalu mengikuti laporan dari para petugas sandi dan para penghubung.
“Ya. Besok adalah hari ketiga. Kesempatan terakhir yang diberikan kepada Tanah Perdikan ini untuk menentukan sikap. Baru setelah itu mereka akan bergerak. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Ki Lurah Agung Sedayu, mereka justru mengharapkan hari ketiga adalah saat kita menjadi lengah. Mereka akan memanfaatkan hari itu untuk memberikan pukulan yang menentukan.”
“Kita perlu memperingatkan pasukan yang berada di garis pertahanan.”
“Terutama kepada Prastawa,” berkata Ki Gede, “meskipun Prastawa akan didampingi oleh Ki Jayaraga yang memiliki pengalaman yang sangat luas. Tetapi agaknya Ki Jayaraga tidak akan setiap kali memberinya peringatan, karena justru Prastawa-lah yang memimpin pasukan di sisi utara itu.”
“Namun dalam keadaan yang gawat, Ki Jayaraga akan bersedia menegur Prastawa. Meskipun demikian, tidak ada salahnya agar ia berhati-hati di hari ketiga, karena Ki Saba Lintang justru akan dapat memanfaatkan hari itu untuk merunduk.”
Tetapi justru sebelum wayah sepi wong, dua orang penghubung telah datang menghadap Ki Gede untuk memberikan laporan bahwa pasukan Ki Saba Lintang sudah mulai bergerak.
Meskipun hal itu sudah diduga, tetapi hati Ki Gede tergetar juga. Bukan karena Ki Gede menjadi gentar. Tetapi apapun alasannya, perang selalu membawa bencana. Kematian, kerusakan, penderitaan dan semacamnya.
Namun Ki Gede tidak dapat mengelak, Ki Gede dan orang-orang Tanah Perdikan tidak akan dapat menyerahkan Tanah Perdikan itu. Apapun yang terjadi, Tanah Perdikan itu harus dipertahankannya.
Malam itu juga, Ki Gede telah memerintahkan para penghubung untuk menyampaikan perintahnya, sebagai orang yang disepakati memimpin pertahanan. Meskipun Ki Gede menduga bahwa laporan serupa telah didengar oleh para pemimpin pasukan, tetapi secara resmi Ki Gede telah menyampaikan perintahnya.
Perintah serupa telah diberikan kepada para pengawal cadangan yang berada di padukuhan-padukuhan. Kepada pemimpin petugas sandi dan kepada pemimpin pasukan berkuda.
Ki Gede juga telah memerintahkan dua orang penghubung untuk menemui Ki Tumenggung Wirayuda di barak Pasukan Khusus.
Malam itu getar persiapan perang telah mengguncang Tanah Perdikan. Para pemimpin pasukan pun telah memanggil para pemimpin kelompok untuk mengatur mengulangi tatanan pertahanan di pasukan masing-masing.
“Biarlah para pengawal dan prajurit tetap beristirahat. Lewat tengah malam mereka baru akan menempati garis pertahanan yang sudah direncanakan. Biarlah mereka tidak menjadi terlalu letih sebelum pertempuran yang sebenarnya dimulai. Kecuali jika keadaan memaksa, sesuai dengan keadaan medan masing-masing.”
Perintah itu ternyata sesuai dengan sikap para pemimpin kelompok di setiap pasukan. Bagaimanapun juga, tenaga para pengawal dan prajurit harus diperhitungkan. Pertempuran dapat berlangsung sehari penuh.
Sementara itu, di padukuhan yang ditentukan, justru perempuan-perempuan Tanah Perdikan-lah yang menjadi sibuk. Mereka menyalakan perapian untuk menyiapkan makan bagi para pengawal dan prajurit yang akan memasuki medan esok.
Sebenarnyalah, pasukan Ki Saba Lintang telah bergerak. Mereka telah meninggalkan perkemahan mereka. Baik pasukan yang ada di Krendetan, di Pucang Kerep dan yang berada di dekat tempuran di sisi utara. Perhitungan para pemimpin Tanah Perdikan memang tepat. Ki Saba Lintang memang berharap bahwa Tanah Perdikan baru akan benar-benar bersiap setelah hari ketiga.
Setelah hari kedua lewat, Ki Saba Lintang menganggap bahwa Ki Gede tidak akan menerima tawarannya. Karena itu, justru pada saat pasukan Tanah Perdikan lengah, Ki Saba Lintang menjatuhkan perintah untuk menyerang.
“Bukankah masih ada waktu satu hari lagi?” bertanya salah seorang yang ikut menemui Ki Gede di Tanah Perdikan Menoreh.
“Jangan bodoh,” geram orang yang perutnya buncit, “Ki Gede adalah orang yang berkepala batu. Jangan mengharap Ki Gede dapat mengerti langkah terbaik bagi masa depan Tanah Perdikan. Kita harus merebutnya dengan kekerasan. Jika kita menunggu tiga hari, maka Tanah Perdikan itu sudah benar-benar siap menyambut kedatangan kita. Tetapi besok mereka tentu masih tidur nyenyak untuk menunggu setelah hari ketiga.”
Orang yang mendapat penjelasan itu mengangguk-angguk. Sementara Ki Saba Lintang sendiri berkata, “Kita harus memberikan pukulan yang menentukan. Syukur jika besok kita dapat memecahkan pertahanan Tanah Perdikan dan mengoyak seluruh kekuatan yang dipersiapkan. Jika kita besok sempat menggapai padukuhan induk, apakah pasukan yang berada di Krendetan, atau yang berada di Pucang Kerep atau yang menyerang dari utara, maka Tanah Perdikan itu tidak akan pernah dapat bangkit kembali.”
“Tidak ada yang perlu dicemaskan di Tanah Perdikan,” berkata orang yang berjenggot pendek keputih-putihan itu.
Dalam pada itu, pasukan Ki Saba Lintang telah bergerak mendekati perbatasan. Mereka berhenti di pemberhentian yang sudah disiapkan sebelumnya untuk beristirahat.
Menurut kesimpulan para petugas sandi, Ki Saba Lintang akan menyerang sesaat menjelang fajar.
“Apakah kau pasti?” bertanya Ki Gede kepada seorang petugas sandi yang datang melapor lewat tengah malam.
“Ya, Ki Gede.”
“Bagaimana menurut pendapatmu, jika mereka akan beristirahat sehari sebelum mereka memasuki perbatasan?”
“Tempat pemberhentian mereka sangat darurat Ki Gede. Mereka tentu memperhitungkan bahwa tempat itu bukan tempat yang baik untuk bertahan, seandainya pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang tiba-tiba justru datang menyerang.”
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Untuk sementara kita simpulkan bahwa mereka akan menyerang serentak esok pagi. Aku akan memberikan perintah-perintah berikutnya kepada semua pemimpin pasukan. Meskipun para pemimpin pasukan itu harus menyesuaikan dengan keadaan medan yang mereka hadapi.”
Sebenarnyalah para pemimpin pasukan telah mengambil kesimpulan yang sama, bahwa pasukan Ki Saba Lintang itu akan menyerang besok menjelang fajar.
Sementara itu, terasa malam beringsut sangat lamban. Beberapa orang yang bertugas rasa-rasanya tidak telaten lagi menunggu fajar.
Namun bagi perempuan-perempuan yang sibuk di dapur, malam rasa-rasanya cepat sekali bergerak. Karena itu, mereka pun menjadi tergesa-gesa menyiapkan makan bagi mereka yang akan berangkat ke medan.
Di dini hari, pasukan Tanah Perdikan Menoreh pun mulai disiapkan. Yang tidur nyenyak telah dibangunkan. Para pemimpin kelompok pun kemudian mengumpulkan kelompoknya, untuk memberikan perintah-perintah dan pesan-pesan sebelum mereka turun ke medan.
“Kalian harus bangun sepenuhnya. Jangan mendengarkan sambil tidur,” berkata salah seorang pemimpin kelompok yang melihat seorang di antara para pengawal yang matanya masih terpejam.
Sambil mendengarkan pesan-pesan dari pemimpin kelompoknya, para pengawal dan para prajurit pun dipersilakan untuk makan. Beberapa orang perempuan membawa nasi bungkus di dalam bakul-bakul yang besar dan dibagi-bagi kepada para pengawal dan para prajurit.
“Jangan ada yang terlampaui,” pesan Nyi Bekel yang memimpin perempuan-perempuan yang menyediakan makan bagi para prajurit di padukuhan-padukuhan.
Dalam pada itu, di tempat pemberhentiannya, pasukan yang akan menyerang Tanah Perdikan itu pun telah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Mereka pun telah makan dan minum sepuas-puasnya pula. Mereka pun menyadari, bahwa pertempuran akan dapat berlangsung sehari penuh. Kesempatan mereka untuk makan dan minum menjadi sangat sempit jika mereka sudah memasuki pertempuran, karena mereka akan lebih banyak menghiraukan nyawa mereka daripada sekedar perut mereka. Namun dengan perut lapar, maka tenaga mereka yang mereka pergunakan untuk melindungi nyawa mereka pun menjadi susut.
Untuk mengatasinya, baik orang-orang Tanah Perdikan Menoreh maupun orang-orang yang datang menyerang itu telah menyediakan makan yang dapat mereka makan sambil berlari-lari di medan.
Ketika langit mulai dibayangi cahaya fajar, maka pasukan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu benar-benar mulai bergerak. Mereka sudah tidak menunggu lagi isyarat dari pimpinan tertinggi mereka. Mereka sudah sepakat, demikian langit menjadi terang, maka pasukan mereka pun harus segera bergerak.
Yang mendapat perintah khusus untuk berusaha menembus pertahanan pasukan Tanah Perdikan adalah pasukan yang datang dari sisi utara. Pasukan yang semula dipersiapkan di tempuran antara Kali Elo dan Kali Praga, ternyata terdiri dari beberapa kelompok yang terkuat. Ki Saba Lintang memperhitungkan bahwa prajurit Mataram dari Pasukan Khusus berada di sisi selatan Tanah Perdikan, sehingga pertahanan di sisi selatan akan menjadi lebih kuat dari pertahanan di sisi utara. Karena itu, maka beban khusus untuk menembus memasuki Tanah Perdikan adalah pasukan yang akan datang dari arah utara.
Jarak ancang-ancang dari sisi utara memang agak panjang. Tetapi pasukan dari sisi utara itu telah berangkat lebih awal, sehingga mereka sempat beristirahat di tempat pemberhentian yang sudah dipersiapkan lebih dahulu.
Ketika kemudian langit menjadi merah, maka pasukan itu pun segera bersiap untuk menyergap pasukan Tanah Perdikan Menoreh.
“Mereka menganggap bahwa masih ada waktu sehari lagi,” berkata pemimpin pasukan dari orang-orang yang berusaha membangunkan kembali perguruan Kedung Jati yang berada di sisi utara itu.
Namun seorang petugas sandi telah memberi laporan kepada pemimpin itu, “Nampaknya orang-orang Tanah Perdikan juga sudah bersiap.”
“Mereka bersiap sejak beberapa hari yang lalu. Tetapi mereka tentu tidak menduga bahwa hari ini kita benar-benar akan memberikan pukulan yang menentukan. Mereka tentu baru mempersiapkan pasukan mereka malam nanti, sehingga baru besok mereka berada dalam kesiagaan tertinggi serta dalam kekuatan yang penuh.”
Petugas sandi itu termangu-mangu. Namun ia pun berkata, “Tetapi nampaknya mereka sudah siap di perbatasan.”
“Bukankah sejak beberapa hari yang lalu mereka selalu mengirimkan peronda-peronda dalam kelompok-kelompok yang agak besar ke perbatasan?”
“Tetapi kali ini segelar sepapan.”
Pemimpin itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kami akan berhati-hati.”
“Mungkin petugas-petugas sandi mereka melihat gerakan kita sejak kemarin siang.”
“Tentu. Tetapi mereka tentu memperhitungkan bahwa kita masih akan beristirahat semalam lagi di sini, karena waktu yang diberikan Ki Saba Lintang kepada Ki Gede dibatasi sampai esok.”
Petugas sandi itu mengangguk-angguk. Dengan demikian, Ki Saba Lintang telah menyerang dengan licik di saat Tanah Perdikan diperhitungkan sedang lengah.
Tetapi memang itulah dasar perhitungan Ki Saba Lintang dan kawan-kawannya, yang memimpin gerakan untuk menguasai Tanah Perdikan Menoreh.
Para pemimpin dari pasukan yang sudah siap menerkam Tanah Perdikan dari sisi utara itu menjadi berdebar-debar. Mereka sadar bahwa mereka akan memasuki satu daerah yang memiliki kekuatan yang besar serta pengalaman bertempur yang luas.
Namun para pemimpin dari pasukan yang berada di sisi utara itu pun sangat yakin akan kekuatan mereka. Jumlah mereka pun cukup banyak. Di antara mereka terdapat prajurit Pajang, Demak, Pati, serta beberapa perguruan yang termasuk disegani.
Seorang yang berkumis lebat dan berambut panjang terurai, justru di bawah ikat kepalanya yang dipakai sekenanya saja, dipercaya oleh Ki Saba Lintang untuk memimpin pasukan dari sisi utara itu. Orang yang menyebut dirinya Ki Sima Sikara itu adalah seorang yang berilmu tinggi. Wajahnya yang keras seperti batu padas, tubuhnya yang tinggi tegap berdada bidang dan berambut lebat di dadanya itu, membuat Ki Sima Sikara seorang pemimpin yang ditakuti begitu melihat ujudnya, sebelum menjajagi ilmunya.
Di samping Ki Sima Sikara, masih ada lagi beberapa orang kepercayaannya yang akan bersama-sama memimpin pasukan yang besar menuju ke selatan.
Pasukan yang dipimpin oleh Ki Sima Sikara itulah yang mendapat tugas khusus dari Ki Saba Lintang untuk menembus pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Bila mungkin, mereka diperintahkan untuk mencapai padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Sebenarnyalah bahwa pasukan Ki Sima Sikara adalah bagian yang terkuat dari pasukan Ki Saba Lintang.
Dalam pada itu, langit pun menjadi semakin terang. Karena itu, Ki Sikara pun telah memanggil para pemimpin pasukannya serta para pemimpin kelompok untuk berkumpul.
Dengan singkat Ki Sima Sikara pun memberikan beberapa petunjuk terakhir bagi seluruh pasukannya, lewat para pemimpin kelompoknya.
Demikianlah, sebelum matahari terbit, pasukan Ki Sima Sikara telah mulai bergerak dari tempat pemberhentiannya. Ki Sima Sikara berniat untuk mengejutkan pasukan Tanah Perdikan sebelum matahari terbit.
Namun Ki Sima Sikara itu telah menghentikan pasukannya ketika dilihatnya panah api yang terbang tinggi di udara. Kemudian disusul beberapa panah sendaren yang meraung di angkasa.
“Apakah artinya isyarat itu?” desis Ki Sima Sikara.
Beberapa orang yang ada di sekitarnya menggelengkan kepalanya. Seorang di antara mereka berkata, “Itu bukan isyarat petugas sandi kita.”
“Aku sudah tahu!” Ki Sima Sikara membentak, “Justru karena bukan isyarat dari kita, maka aku bertanya, apa artinya?”
Orang-orang yang ada di sekitarnya terdiam. Beberapa orang hampir saja mengumpatinya. Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang sangat bodoh, karena tentu tidak seorang pun di antara mereka yang mengetahui arti dari isyarat itu.
Tetapi niat itu mereka urungkan. Dalam keadaan seperti itu, Ki Sima Sikara akan mudah sekali menjadi marah.
Namun Ki Sima Sikara itu sendiri-lah yang kemudian menjawab, “Tentu isyarat dari para petugas sandi Tanah Perdikan yang memberitahukan gerakan kita. Tetapi mereka tidak akan dapat banyak bergerak, karena pasukan mereka seutuhnya tentu baru akan bersiap hari berikutnya.”
Karena itu, maka Ki Sima Sikara pun telah memerintahkan pasukannya untuk bergerak selanjutnya.
Namun perjalanan Ki Sima Sikara tertahan lagi ketika seorang petugas sandi memberikan laporan, “Ki Sima Sikara. Ternyata Tanah Perdikan Menoreh telah menyiapkan pasukannya yang kuat di perbatasan. Mereka telah siap menahan pasukan ini dengan kekuatan segelar sepapan. Mereka turun ke medan dengan kelengkapan yang utuh. Rontek, umbul-umbul, kelebet dan tunggul.”
“Gila!” teriak Ki Sima Sikara, “Tentu ada pengkhianat di antara kita!”
“Petugas sandi mereka adalah petugas sandi pilihan. Tanpa pengkhianatan pun, mereka dapat membaca rencana kita.”
“Omong kosong!” geram Ki Sima Sikara, “Tetapi apapun yang mereka lakukan, kami akan menghancurkan mereka.”
“Tetapi kita harus berhati-hati.”
Ki Sima Sikara pun kemudian telah memerintahkan pasukannya untuk bergerak lagi. Ia sudah bertekad untuk menghancurkan pasukan Tanah Perdikan Menoreh, kemudian menusuk sampai ke jantung padukuhan induknya.
Dalam pada itu, langit pun menjadi semakin terang. Ki Sima Sikara pun kemudian telah memerintahkan pasukannya menebar. Mereka akan bertempur di medan yang luas.
Namun dalam keremangan fajar, mereka telah melihat di kejauhan pasukan Tanah Perdikan itu menyongsong mereka. Bayangan pasukan yang bergerak maju dengan segala macam pertanda. Rontek, umbul-umbul, kelebet serta tunggulnya. Beberapa pertanda yang lain semakin membuat pasukan Tanah Perdikan Menoreh itu tampak berwibawa.
Ki Sima Sikara menghentikan pasukannya. Dari kejauhan ia melihat pasukan Tanah Perdikan Menoreh itu pun berhenti pula
Tetapi Ki Sima Sikara itu berkata kepada orang yang berdiri di sekitarnya, “Pertanda kebesaran itu bukan pertanda kesiagaan mereka. Mereka sudah mempersiapkan pertanda kebesaran itu sejak satu atau dua pekan sebelumnya. Ketika mereka mendapat laporan bahwa pasukan kita bergerak, maka mereka pun segera menggerakkan pasukan seadanya, namun sambil membawa segala macam pertanda kebesaran itu, sekedar untuk membesarkan hati mereka.”
Orang-orang yang ada di sekitar Ki Sima Sikara itu pun mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Sima Sikara itu pun kemudian telah meneriakkan perihlah kepada pasukannya untuk memasang gelar.
Beberapa kelompok di antara pasukannya sebenarnya merasa tidak perlu dengan segala macam gelar. Tetapi karena ada di antara mereka adalah bekas prajurit, maka terjadi pula pergeseran di dalam pasukan Ki Sima Sikara.
Tetapi karena pasukan itu terdiri dari berbagai macam kelompok yang tidak sejalan, maka gelar yang mereka siapkan itu pun merupakan gelar yang tidak utuh. Yang terjadi hanya sekedar kerangka gelar yang menebar, meskipun Ki Sima Sikara memerintahkan pasukannya untuk membuat gelar Garuda Nglayang.
Namun dalam pada itu, pasukan Tanah Perdikan Menoreh justru telah membuat gelar utuh. Pasukan pengawal terpilih telah di tempatkan di induk gelar Wulan Tumanggal. Sementara itu di kedua ujung sebelah-menyebelah adalah para prajurit dari Pasukan Khusus serta para prajurit dari Ganjur yang diletakkan di sisi utara.
Untuk beberapa saat pasukan Tanah Perdikan itu berhenti. Mereka mengamati gerak pasukan lawan yang menyusun gelar. Namun gelar pasukan yang akan menyerang Tanah Perdikan Menoreh itu tidak jelas. Meskipun demikian, gelar itu tetap dianggap sangat berbahaya.
Sebenarnyalah para bekas prajurit yang berada di dalam pasukan yang akan menyerang Tanah Perdikan Menoreh itu berusaha untuk mewujudkan sebuah gelar. Tetapi mereka merasa sangat terganggu dengan sikap orang-orang yang tidak berniat untuk mewujudkan gelar yang utuh. Karena itu, maka kelompok-kelompok prajurit itu pun telah berusaha untuk menyusun kelompok-kelompok yang akan bertempur dalam satu kesatuan sebagaimana di dalam satu gelar. Seorang pemimpin dari sebuah padepokan yang melihat kelompok-kelompok yang menyusun diri dalam satu kesatuan itu berkata, “Kita bertempur sungguh-sungguh. Bukan sekedar bermain surkulon. Jika kita memasuki pertempuran, berarti kita harus yakin akan diri kita sendiri. Kita tidak akan tergantung kepada orang lain.”
Tetapi seorang Lurah prajurit yang terlibat di dalam pasukan Ki Saba Lintang itu berkata, “Kami bukan orang-orang liar yang bertempur tidak beraturan. Meskipun kami bukan prajurit lagi, tetapi kami tetap menunjukkan kemampuan kami bertempur dalam satu kesatuan yang utuh.”
Dalam pada itu, terdengar suara bende yang bertalu-talu. Suara bende yang dipukul oleh petugas di belakang pasukan Tanah Perdikan Menoreh.
Prastawa yang memegang pimpinan seluruh pasukan di sisi utara itu pun telah bersiap untuk memberikan aba-aba.
Sementara itu, para pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus serta para prajurit dari Ganjur berusaha menyesuaikan diri dengan kepemimpinan Prastawa yang muda itu.
Namun pengalaman Prastawa yang cukup banyak itu tidak ubahnya pengalaman seorang prajurit. Karena itu, maka caranya memimpin pasukan serta aba-aba yang diberikannya, dapat dimengerti dengan baik dan sesuai dengan ketentuan bagi para prajurit.
Bende yang pertama itu pun kemudian telah berhenti. Para pengawal dan prajurit telah mempersiapkan dirinya. Mereka meneliti perlengkapan mereka, sehingga tidak akan mengecewakan nanti di medan pertempuran. Senjata utama mereka, serta pisau belati yang terselip di setiap di pinggang para pengawal dan prajurit, telah dipersiapkan sebaik-baiknya. Mereka yang membawa pedang dan perisai telah meyakinkan bahwa perisainya tidak akan terlempar, sedang hulu pedangnya tidak akan terlepas. Yang membawa tombak pendek yakin bahwa jenis landean tombaknya tidak akan mudah patah, serta mata tombaknya tidak mudah terlepas. Yang bersenjata jenis yang lain pun telah meyakini senjata mereka masing-masing, bahwa tidak akan mengecewakan nanti dalam pertempuran.
Sejenak kemudian, bende itu pun telah meraung-raung lagi. Bende yang kedua mengisyaratkan agar semua orang dalam pasukan itu siap untuk bergerak maju, menempuh lawan yang sudah berada di hadapan hidung mereka.
Demikianlah, pasukan Tanah Perdikan itu sudah berada dalam kesiagaan penuh. Jika suara bende terdengar ketiga kalinya, maka mereka pun akan bergerak maju menyongsong lawan.
Tetapi Prastawa masih menunggu sesaat. Sementara langit pun menjadi semakin terang. Rontek, umbul-umbul, kelebet dan tunggulnya semakin nampak jelas bentuk dan warnanya yang menantang.
Ki Sima Sikara pun mengetahui bahwa pasukan Tanah Perdikan Menoreh sudah siap untuk bergerak. Ki Sima Sikara tidak ingin orang-orang Tanah Perdikan itu bergerak lebih dahulu. Karena itu, maka Ki Sima Sikara itu pun segera meneriakkan aba-aba bagi pasukannya untuk bergerak.
Perintah Ki Sima Sikara itu pun telah disahut oleh setiap pemimpin kelompok. Sambung bersambung, sehingga akhirnya sampai ke ujung sayap kanan dan sayap kiri.
Derap kaki pun telah terdengar. Hiruk-pikuk gerak maju itu pun segera disambut dengan sorak yang gemuruh. Orang-orang yang berada di dalam pasukan yang dipimpin oleh Ki Sima Sikara itu pun bergerak dengan cepat maju, seirama dengan teriakan-teriakan mereka yang seakan-akan mengguncang langit.
Namun bagaimanapun juga, pertanda kebesaran yang dibawa oleh pasukan Tanah Perdikan Menoreh itu menggetarkan hati para prajurit yang berada di bawah pimpinan Ki Sima Sikara. Ketika mereka berada di lingkungan keprajuritan, maka pertanda kebesaran, terutama tunggul-tunggul pasukan dan kelompok-kelompok prajurit, rasa-rasanya telah memberikan pengaruh terhadap ketahanan jiwani semua prajurit di dalam kelompok itu.
Tetapi kini mereka tidak membawa pertanda kebesaran apapun. Yang membawa pertanda kebesaran itu adalah lawan mereka. Meskipun demikian, sorak yang gemuruh itu telah mempengaruhi jiwa mereka pula, menggantikan berbagai macam pertanda kebesaran. Karena itu, jiwa mereka akhirnya bergelora pula ketika mereka berlari-lari menempuh pasukan Tanah Perdikan. Untuk beberapa lama, di dalam dada mereka telah dijejalkan dendam yang semakin lama terasa semakin membara. Dendam kepada Mataram, di bawah pimpinan anak seorang pidak-pedarakan yang bernama Panembahan Senapati.
Tetapi untuk mencapai Mataram, mereka memerlukan landasan yang kokoh. Untuk itulah mereka harus merebut Tanah Perdikan Menoreh. Di atas Tanah Perdikan itulah nanti mereka akan menyusun kekuatan yang lebih besar untuk sampai ke Mataram.
Ketika Prastawa melihat pasukan lawan mulai bergerak, maka ia pun memberikan isyarat, sehingga suara bende pun telah berkumandang memenuhi udara di atas medan pertempuran, yang sebentar lagi akan menjadi ajang pembantaian.
Demikian bende itu berbunyi, maka pasukan yang telah menyusun gelar itu pun mulai bergerak. Semakin lama semakin cepat. Tombak pun sudah merunduk. Selapis pasukan segera berada di depan pertanda kebesaran. Namun tunggul tempat mengikatkan kelebet pun segera telah merunduk pula. Betapapun juga ujung tunggul-tunggul yang berwarna kuning keemasan itu adalah sejenis senjata yang sangat berbahaya. Dalam keadaan yang terpaksa, maka tunggul-tunggul itu akan menjadi sama berbahayanya dengan sebatang tombak.
Dalam pada itu, cahaya matahari mulai memancar di langit. Cahayanya yang kekuningan menimpa rerumputan hijau yang basah oleh embun.
Namun sebentar lagi, ara-ara itu akan segera dibasahi oleh darah yang mengucur dari luka.
Kedua pasukan yang kuat bergerak semakin lama menjadi semakin dekat. Pasukan Tanah Perdikan nampak lebih tertata dalam gelar yang utuh, sementara pasukan yang dipimpin oleh Ki Sima Sikara itu hanya mewujudkan kerangka gelar yang kasar. Bahkan beberapa orang telah mencuat mendahului kelompok-kelompoknya dengan berbagai macam jenis senjata di tangan.
Kelompok-kelompok yang berada di pasukan Ki Sima Sikara masih saja bersorak-sorak dan berteriak-teriak. Sementara orang-orang yang berada di pasukan Tanah Perdikan Menoreh mulai membidikkan senjata mereka. Ujung-ujung tombak mulai mengarah ke sasaran yang dipilihnya.
Pada saat matahari terbit, kedua pasukan itu telah berbenturan. Gelar pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah menyesuaikan diri dengan tebaran gelar lawannya, sehingga ujung-ujung gelar pasukan Tanah Perdikan Menoreh itu pun langsung menusuk sayap-sayap gelar pasukan lawannya.
Teriakan-teriakan segera mereda. Yang terdengar kemudian adalah dentang senjata beradu.
Para bekas prajurit yang tergabung dalam pasukan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang yang berada di ujung sayap pasukan, segera menyadari bahwa mereka berhadapan dengan pasukan yang telah mendapat tempaan dan pengalaman keprajuritan, atau bahkan mereka memang sekelompok prajurit yang diperbantukan pada para pengawal Tanah Perdikan.
Namun sebenarnyalah para pengawal Tanah Perdikan Menoreh sendiri juga bertempur tidak ubahnya dengan sikap dan tatanan perang gelar yang diterapkan oleh prajurit.
Demikianlah, pertempuran itu pun segera menyala membakar padang perdu yang agak luas itu. Senjata pun terayun-ayun saling beradu. Teriakan-teriakan dan umpatan-umpatan masih saja terdengar di sela-sela dentang senjata.
Kedua belah pihak pun kemudian telah meningkatkan kemampuan mereka. Mereka masing-masing berusaha untuk melindungi diri mereka dari ujung senjata lawan.
Dalam pertempuran yang terjadi kemudian, para pengawal Tanah Perdikan serta para prajurit yang tergabung dalam pasukan Tanah Perdikan telah bertempur dalam gelar yang utuh. Mereka bertempur dalam satu kesatuan. Mereka saling membantu. Yang satu mempedulikan keadaan yang lain.
Bahkan para prajurit kadang-kadang sengaja membuat geseran-geseran kelompok yang satu dengan yang lain. Gerak yang kadang-kadang berputar, namun kadang-kadang geseran menyudut, sehingga membuat lawan mereka menjadi bingung.
Para bekas prajurit yang tergabung dalam pasukan Ki Sima Sikara itu berusaha untuk mengimbanginya. Tetapi mereka tidak bergerak dalam gelar yang utuh, sehingga kemungkinan gerak mereka dalam kebersamaan memang sangat terbatas.
Sementara itu, kelompok-kelompok yang tergabung dalam pasukan Ki Sima Sikara itu bertempur dengan mengandalkan kemampuan mereka seorang-seorang, atau dalam pasangan-pasangan yang khusus sebagaimana mereka lakukan dalam tugas-tugas mereka.
Sebenarnyalah, bahwa mula-mula para pengawal Tanah Perdikan mengalami kesulitan menghadapi lawan-lawan mereka yang seakan-akan bertempur dengan liar. Namun pengalaman mereka yang luas telah menempatkan mereka pada kedudukan yang lebih mapan. Justru dalam kerja sama yang baik, mereka mampu menahan keliaran lawan-lawan mereka.
Apalagi para pengawal Tanah Perdikan Menoreh serta para prajurit telah mendapat tempaan bukan saja dalam perang gelar, tetapi secara pribadi mereka pun telah mendapat latihan-latihan yang cukup berat. Karena itu, kemampuan mereka dalam olah kanuragan secara pribadi serta kemampuan mereka bertempur dalam perang gelar, telah membuat para pengawal Tanah Perdikan serta prajurit mampu mengatasi serangan lawan dalam tatanan perang yang berbeda-beda.
Sementara itu, di medan pertempuran yang lain, pertempuran pun telah berkobar pula.
Pasukan Ki Saba Lintang yang berada di Pucang Kerep pun telah menyerang pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang dipimpin oleh Agung Sedayu. Sebenarnyalah bahwa pasukan Ki Saba Lintang di Pucang Kerep juga tidak menduga bahwa pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah siap menyongsong mereka dengan kekuatan yang penuh.
Namun pasukan yang berlandasan di Pucang Kerep, yang dipimpin langsung oleh Ki Saba Lintang itu, telah meyakini kekuatan mereka, sehingga mereka pun yakin bahwa mereka akan dapat mengoyak pertahanan pasukan Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi ketika kedua pasukan itu berbenturan, maka Ki Saba Lintang mulai menjadi berdebar-debar. Ternyata pasukan Tanah Perdikan merupakan pasukan yang kuat. Apalagi para prajurit dan pengawal yang bertempur di bawah pimpinan Agung Sedayu itu memiliki kebanggaan atas pasukannya, ketika mereka turun dengan pertanda kebesaran pasukan mereka.
Agung Sedayu pun telah menyusun gelar yang utuh untuk menghadapi pasukan Ki Saba Lintang. Namun Ki Saba Lintang pun telah menyusun gelar yang utuh pula. Ternyata pasukan Ki Saba Lintang yang menyusun landasan di Pucang Kerep itu jauh lebih teratur dan tertib dibandingkan dengan pasukan yang berada di sisi utara, meskipun jumlah pasukan yang menyerang Tanah Perdikan Menoreh dari utara itu jumlahnya lebih banyak.
Bahkan Ki Saba Lintang berharap bahwa orang-orang yang bertempur menurut gaya mereka masing-masing itu akan dapat mempengaruhi pertahanan pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Ki Saba Lintang berharap, bahwa para pengawal yang terbiasa bertempur dalam gelar itu akan menjadi bingung menghadapi gaya perang yang tidak terbiasa mereka jumpai di pertempuran.
Sementara itu, pertempuran antara pasukan yang dipimpin langsung oleh Agung Sedayu dengan pasukan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu pun berlangsung dengan sengit. Sejalan dengan perjalanan matahari yang merangkak di langit, maka panasnya api pertempuran itu pun menjadi semakin menyala, membakar awan tipis yang mengalir di wajah langit yang biru.
Di sisi selatan Tanah Perdikan, pasukan Tanah Perdikan yang dipimpin oleh Ki Sura Panggah justru telah bergerak keluar perbatasan Tanah Perdikan Menoreh. Mereka bergerak sebelum fajar. Ki Sura Panggah telah memerintahkan pasukannya merunduk di balik gerumbul-gerumbul perdu. Di belakang pepohonan dan di belakang gumuk-gumuk kecil. Pasukan Ki Sura Panggah justru telah menyembunyikan semua tanda kebesaran yang telah mereka bawa.
Dengan sabar Ki Sura Panggah menunggu. Baru ketika langit sudah menjadi sedikit terang, pasukan yang menyerang Tanah Perdikan Menoreh di sisi selatan bergerak maju mendekati perbatasan.
Meskipun jumlah mereka terhitung paling sedikit dibanding dengan jumlah pasukan yang disusun di Pucang Kerep dan di sisi utara Tanah Perdikan, namun orang-orang yang berada di dalam pasukan itu adalah orang-orang terpilih.
Ki Saba Lintang memperhitungkan bahwa pasukan yang ada di sisi selatan itu akan bertemu dengan para prajurit dari Pasukan Khusus. Karena itu, maka pasukan itu memang sudah dipersiapkan untuk menghadapi Pasukan Khusus itu, dengan jumlah orang yang diperhitungkan lebih banyak dari para prajurit dari Pasukan Khusus itu.
Tetapi ternyata bahwa Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan itu telah dibagi menjadi tiga dan sekelompok pasukan cadangan. Sedangkan yang berada di pasukan Tanah Perdikan di sisi selatan itu, selain dari Pasukan Khusus juga para pengawal dan prajurit dari Ganjur.
Ki Sura Panggah yang memimpin pasukan di sisi selatan itu membiarkan pasukan lawan bergerak lebih dekat. Ternyata pasukan yang datang menyerang Tanah Perdikan itu juga tidak memasang gelar. Mereka berusaha memasuki Tanah Perdikan dalam kelompok-kelompok yang menebar.
Ketika kelompok-kelompok itu kemudian telah memasuki lingkungan medan yang sudah dipersiapkan oleh Ki Sura Panggah, maka Ki Sura Panggah pun telah memberi isyarat kepada dua orang penghubung untuk melepaskan anak panah sendaren.
Sejenak kemudian, dua anak panah sendaren telah meluncur ke langit. Suaranya meraung memenuhi udara di atas medan.
Dengan demikian maka dengan serentak pasukan Tanah Perdikan Menoreh itu telah bergerak. Mereka berloncatan dari balik-balik gerumbul, dari balik semak-semak dan dari balik batu-batu padas.
Sergapan yang tiba-tiba itu memang sangat mengejutkan. Tetapi pasukan yang datang menyerang Tanah Perdikan itu tidak sempat membuat pertimbangan-pertimbangan. Mereka harus segera memberikan perlawanan.
Dengan demikian, maka pertempuran di sisi selatan itu pun telah menebar. Bukan perang gelar yang bertempur dalam satu kesatuan yang utuh, saling mempengaruhi dari ujung sayap kiri sampai ke ujung sayap kanan. Tetapi pasukan yang bertempur di sisi selatan itu mempunyai cara yang khusus.
Para prajurit dari Pasukan Khusus memang sudah terlatih untuk terjun ke medan dalam bentuk apapun. Sementara itu, para prajurit dari Ganjur pun telah mendapat latihan untuk melakukan perang brubuh, yang biasanya diuapkan dalam perang dengan gelar Emprit Neba. Sementara itu, para pengawal Tanah Perdikan telah berpengalaman pula dalam perang brubuh. Mereka membentuk kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari tiga atau empat orang, untuk menghadapi lawan-lawan yang terbiasa bertempur seorang-seorang.
Kelompok-kelompok kecil itu bergerak dengan tangkasnya. Kadang-kadang kelompok yang terdiri dari empat orang terpecah masing-masing dua orang. Namun tiba-tiba pecahan-pecahan kecil itu telah bergayut kembali, sambil mengurung satu dua orang lawan dalam kepungan.
Pertempuran yang terjadi di sisi selatan itu pun menjadi semakin lama semakin sengit. Di medan yang bagaikan membara itu tidak nampak garis batas antara kedua pasukan yang sedang bertempur itu.
Orang-orang yang tergabung dalam pasukan Ki Saba Lintang yang berpangkalan di Krendetan itu bertempur dengan garangnya. Mereka adalah orang-orang pilihan. Sebagian di antara mereka adalah prajurit-prajurit dari pasukan khusus dari Pati. Sedangkan yang lain adalah para cantrik dari perguruan-perguruan yang ingin bergabung dan menyusun sebuah perguruan yang besar, yang akan disebut sebagai kelanjutan perguruan Kedung Jati.
Pertempuran seperti itulah yang memang mereka kehendaki. Seandainya pasukan Tanah Perdikan Menoreh bertahan dalam gelar, maka mereka pun akan berusaha untuk memecah gelar itu dalam pecahan-pecahan kecil seperti itu. Tetapi justru karena pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah menyergap mereka dan memasuki medan dengan cara yang mereka inginkan, maka mereka justru menjadi terkejut karenanya.
Bagaimanapun juga sergapan yang tiba-tiba dari pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah mengguncang kekuatan mereka. Beberapa kelompok justru telah terdesak mundur. Namun sejenak kemudian mereka telah menjadi mapan.
Meskipun demikian, benturan yang tiba-tiba itu telah menyusut kekuatan para penyerang itu, betapapun kecilnya.
Beberapa orang di antara mereka yang tergabung dalam pasukan yang menyerang Tanah Perdikan di sisi selatan itu telah terluka. Tetapi mereka pun telah berhasil melukai beberapa orang lawan pula.
Ki Sura Panggah yang memimpin pasukan Tanah Perdikan itu pun telah turun langsung ke medan pertempuran. Dengan garangnya, Ki Sura Panggah itu telah memutar pedangnya. Cahaya matahari yang memanjat langit semakin tinggi, berkilat-kilat terpantul pada daun pedangnya yang mengkilap.
Glagah Putih dan Sabungsari yang berada di dalam pasukan Mataram yang dipimpin oleh Ki Sura Panggah itu pun telah berada di medan pula. Keduanya telah bertempur di antara para pengawal Tanah Perdikan. Dengan demikian, para pengawal pun menjadi berbesar hati ketika mereka melihat Glagah Putih dan Sabungsari mendesak lawan-lawan mereka.
Di bagian lain, para prajurit dari Pasukan Khusus telah membuat lawan-lawan mereka goyah. Pasukan Khusus yang ditempa dalam perang gelar maupun secara pribadi itu telah menunjukkan tingkat kemampuan mereka yang tinggi, sedangkan para prajurit dari Ganjur pun ternyata memiliki kemampuan yang memadai. Sedangkan para pengawal Tanah Perdikan dengan kelompok-kelompok kecilnya kadang-kadang justru telah membuat lawan-lawan mereka menjadi bingung.
Semakin tinggi matahari merayap di langit, pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak memencar di tempat yang bertebaran. Sulit untuk dapat segera mengetahui, manakah dari kedua belah pihak yang berhasil mendesak
Glagah Putih dan Sabungsari yang bertempur di antara para pengawal Tanah Perdikan telah membuat lawan-lawan mereka menjadi goyah. Meskipun Glagah Putih masih belum mempergunakan ikat pinggangnya, namun pedangnya yang berputaran telah menggetarkan hati lawan-lawannya..
Sedangkan Sabungsari bertempur seperti banteng terluka. Mereka yang mencoba menghentikannya, telah terlempar dari arena dengan luka yang menganga di tubuhnya.
Ki Sura Panggah sendiri bertempur dengan garangnya. Dengan sengaja ia telah berhadapan dengan pimpinan pasukan yang datang menyerang Tanah Perdikan itu. Seorang yang bertubuh tinggi tegap, berkumis tebal menyilang di atas bibirnya.
Dengan geram orang berkumis melintang itu bertanya, “Kau siapa yang telah berani dengan sengaja menghadapi aku?”
“Namaku, Sura Panggah, Ki Sanak. Apakah kau yang memimpin pasukan yang mencoba menyerang Tanah Perdikan Menoreh di sisi selatan ini?”
“Ya. Namaku Pringgareja. Aku adalah bekas senapati perang dari Pati.”
“Benar kau bekas prajurit Pati?”
“Ya. Apakah kau juga seorang prajurit?”
Ki Sura Panggah tertawa. Katanya, “Aku adalah salah seorang pemimpin pengawal Tanah Perdikan ini. Apakah ujudku mirip seorang prajurit?”
“Aku tidak peduli apakah kau seorang prajurit atau bukan. Tugasku adalah menghancurkan pasukan Tanah Perdikan di sisi selatan ini. Menurut perhitungan kami, yang akan mempertahankan Tanah Perdikan di arah ini adalah para prajurit dari Pasukan Khusus.”
“Prajurit Mataram dari Pasukan Khusus tidak terlibat dalam pertempuran ini. Segala sesuatunya diserahkan kepada Tanah Perdikan Menoreh sendiri. Tetapi kekuatan Tanah Perdikan ini sudah cukup memadai. Kami mempunyai kemampuan dan pengalaman yang sama dengan para prajurit Mataram. Bahkan para prajurit dari Pasukan Khusus.”
Orang yang menyebut dirinya Ki Pringgareja itu menggeram. Katanya, “Omong kosong! Sebelum matahari turun ke barat, kami akan menyapu bersih pasukan Tanah Perdikan Menoreh.”
“Jika kau benar-benar bekas seorang prajurit, kau tidak akan berkata seperti itu. Atau kau sengaja membohongi dirimu sendiri?”
“Persetan kau!”
“Seharusnya kau mengakui, bahwa orang-orangmu tidak mampu mendesak para pengawal Tanah Perdikan.”
“Kau tidak mampu menerjemahkan peristiwa yang digelar di hadapanmu sekarang ini. Nah, aku beri kau kesempatan untuk melihat, apa yang telah terjadi.”
“Tidak perlu,” jawab Ki Sura Panggah, “aku telah dapat menebak apa yang bakal terjadi. Orang-orangmu akan dilumatkan oleh para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.”
Ki Pringgareja meloncat sambil berteriak nyaring. Pedangnya terjulur lurus mengarah ke dada Ki Sura Panggah. Tetapi dengan tangkasnya Ki Sura Panggah pun mengelak.
Ki Pringgareja tidak melepaskan lawannya. Ia pun meloncat memburu. Namun ayunan pedang Ki Sura Panggah telah menghentikannya. Bahkan Ki Pringgareja itu harus meloncat surut.
Para prajurit dan Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh serta para prajurit dari Ganjur memang tidak mengenakan pakaian keprajuritan mereka. Mereka bertempur sebagai rakyat Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan mereka tidak mengenakan ciri-ciri pengawal Tanah Perdikan.
Sebenarnyalah pertempuran di sisi selatan itu pun berlangsung dengan sangat serunya. Tidak seorangpun yang sempat beristirahat barang sekejappun. Setiap orang harus memeras tenaga melindungi nyawanya
Glagah Putih dan Sabungsari bertempur semakin lama semakin garang. Namun langkah Sabungsari mulai tertahan. Seorang berjanggut putih mendekatinya sambil berdesis, “Tunggu Anak Muda. Kau mengamuk dengan garangnya. Apakah kau juga orang Tanah Perdikan Menoreh?”
Sabungsari tertegun sejenak. Dipandanginya wajah orang berjanggut putih itu. Nampaknya umurnya memang sudah lewat tengah abad. Tetapi agaknya ia masih seorang yang perkasa di medan perang.
“Aku adalah pengawal Tanah Perdikan ini, Ki Sanak,” jawab Sabungsari.
“Bukan main. Ternyata bukan sekedar cerita orang saja bahwa di Tanah Perdikan ini terdapat orang-orang berilmu tinggi. Di medan yang sempit ini saja aku telah melihat salah seorang di antara mereka. Meskipun aku yakin bahwa kau tentu bukan Agung Sedayu, karena Agung Sedayu adalah Lurah prajurit dari Pasukan Khusus.”
“Kau benar, Ki Sanak Aku memang bukan Agung Sedayu. Aku sama sekali tidak dapat diperbandingkan dengan Agung Sedayu.”
Orang itu mengerutkan dahinya. Dengan nada berat ia pun berkata, “Jika kau yang demikian garangnya masih tidak dapat diperbandingkan dengan Agung Sedayu, seberapa tinggi ilmu Agung Sedayu itu? Apakah ilmunya sundul langit?”
“Ya. Ilmu Agung Sedayu memang sundul langit.”
Orang itu tertawa. Katanya, “Kau nampaknya seorang yang suka bergurau. Aku senang bertemu dengan kau di medan yang garang ini. Meskipun perang yang terjadi di sini bukan perang yang besar sebagaimana perang Baratayuda, tetapi pertempuran yang terjadi di sini adalah pertempuran habis-habisan. Setiap orang akan diuji kemampuannya. Taruhannya adalah nyawa mereka.”
“Ya. Aku sependapat. Pertempuran di sini adalah pertempuran yang sebenarnya. Nah, kita akan menjadi bagian dari pertempuran yang sengit ini.”
“Bagus,” orang berjanggut putih itu mengangguk-angguk. Katanya, “Kau adalah orang yang luar biasa. Kau hadapi medan ini dengan sadar bahwa nyawamu setiap saat akan dapat melayang.”
“Bukankah setiap orang yang turun ke medan harus menyadari akan kemungkinan itu?”
“Siapa namamu?” bertanya orang berjanggut putih itu.
“Apakah itu penting?”
Orang itu tertawa. Katanya, “Memang bodoh untuk mempertanyakan nama di medan seperti ini. Tetapi aku akan memberitahukan namaku meskipun kau tidak bertanya, agar kau tahu di saat menjelang kematianmu, siapakah yang telah membunuhmu.”
Sabungsari tidak menjawab. Sementara orang itu berkata selanjutnya, “Senang atau tidak senang, kau akan mendengar namaku, Ki Setra Puguh. Mungkin namaku kurang baik atau tidak memberikan kesan apa-apa.”
“Kenapa kau tidak membuat sebuah nama yang memberikan kesan tertentu?”
“Aku pernah mempergunakan gelar Garuda Kurdaka. Tetapi ternyata aku lebih mantap mempergunakan namaku sendiri. Ki Setra Puguh. Bukankah kau juga belum pernah mendengar nama Garuda Kurdaka?”
Sabungsari menggeleng. Katanya, “Aku memang belum pernah mendengar nama itu.”
“Lupakan, panggil aku Ki Setra Puguh.”
“Baik, Ki Setra Puguh. Ternyata aku masih sempat menyebut namamu.”
“Aku memang berharap lawan-lawanku sempat menyebut namaku sebelum mereka aku bantai. Baik di pertempuran seperti ini, atau di mana saja aku sempat bertemu dengan musuh.”
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Ia sempat melihat pertempuran yang membara di sekitamya. Suara dentang senjata beradu, berbaur dengan teriakan-teriakan marah serta umpatan-umpatan kasar. Namun juga terdengar teriakan serta rintihan kesakitan.
“Nah, sekarang bersiaplah. Aku akan membunuhmu.”
“Aku sudah siap, Ki Setra Puguh. Kau akan membunuh aku, atau aku akan membunuhmu.”
Ki Setra Puguh itu tertawa lagi. Katanya, “Jangan begitu Ki Sanak. Jangan pernah sedikitpun berharap untuk dapat memenangkan pertempuran melawan aku. Aku mempunyai ilmu yang tidak terbatas. Mungkin jika aku sempat bertemu dengan Ki Lurah Agung Sedayu, aku akan mendapat kepuasan tertinggi selama aku berpetualang dalam dunia olah kanuragan. Aku akan dapat membunuh setelah aku benar-benar bertempur dengan mengerahkan ilmuku sampai tuntas. Tetapi selain Ki Lurah Agung Sedayu, agaknya tidak ada orang yang dapat memberikan kepuasan kepadaku.”
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Betapapun tinggi ilmumu, tetapi kau harus tahu bahwa aku akan bertempur melawanmu, Ki Setra Puguh.”
“Baik. Baik. Kita akan mulai. Aku tidak akan membuat seseorang yang sebentar lagi akan mati harus mengalami perasaan kecewa sekali.”
Sabungsari pun bergeser selangkah surut. Orang berjanggut putih itu pun kemudian menarik sebilah keris yang besar, melampaui ukuran keris kebanyakan.
“Keris ini keris pusaka, Ki Sanak. Keris ini sudah pernah menghisap darah lebih dari seratus orang berilmu tinggi. Di pertempuran ini aku berharap dapat menambah jumlah orang berilmu tinggi yang mati oleh kerisku ini. Sementara itu, orang kebanyakan yang tidak aku hitung sebagai orang berilmu tinggi, jumlahnya tidak terhitung lagi. Di pertempuran ini, setelah aku membunuhmu, sedikitnya aku harus membunuh lima puluh orang hari ini. Mungkin di medan pertempuran yang lain, besok aku masih mendapat kesempatan untuk bertemu lagi dengan orang berilmu tinggi dan lima puluh pengawal kebanyakan.”
“Jadi kau sudah cukup banyak membunuh orang, Ki Setra Puguh?”
“Cukuplah untuk sekedar berbangga diri. Bahkan Ki Macan Ambal yang namanya ditakuti oleh banyak orang itu pun darahnya telah dihisap oleh kerisku ini.”
“Ki Setra Puguh. Jika benar kau berilmu sangat tinggi, kenapa kau bersedia merunduk dan menjadi pengikut Ki Saba Lintang?”
“Pertanyaan yang sangat bagus, Ki Sanak.”
Sabungsari mengerutkan dahinya. Terdengar tidak terlalu jauh teriakan ngeri seorang yang tertembus ujung tombak. Tetapi Sabungsari tidak menggeser perhatiannya dari orang yang menyebut namanya Ki Setra Puguh itu. Menurut tanggapan Sabungsari, Ki Setra Puguh memang seorang yang berilmu tinggi.
“Ki Sanak,” berkata orang itu, “Ki Saba Lintang adalah orang yang paling dungu yang pernah aku kenal. Karena itu, aku senang bekerja sama dengan orang itu. Ia tidak tahu apa sebenarnya yang diinginkannya sendiri. Sedangkan aku sadar, apa yang akan aku capai.”
“Apa yang akan kau capai?” bertanya Sabungsari.
Orang itu tertawa. Katanya, “Apakah kau sengaja memperpanjang pembicaraan ini untuk mengulur waktu, sehingga kau mendapat kesempatan mendapat bantuan?”
Tetapi Sabungsari pun tertawa pula sambil menjawab, “Siapa yang akan sempat membantu aku dalam pertempuran seperti ini?”
Ki Setra Puguh justru berhenti tertawa. Sabungsari benar-benar tidak merasa gentar. Bahkan orang itu masih dapat tertawa pula.
Karena itu, maka Ki Setra Puguh itu mulai menggerakkan kerisnya sambil berkata, “Kita sudah cukup lama berbicara. Bersiaplah!”
Sabungsari justru bergeser surut. Tetapi pedangnya pun telah teracu.
Ki Setra Puguh menjulurkan kerisnya sambil berkata, “Apakah kau tidak mempunyai senjata yang lebih baik?”
“Tidak,” jawab Sabungsari, “tetapi dengan senjata yang jelek ini aku dapat menyelesaikan musuh-musuhku yang paling ganas sekalipun. Aku tidak tahu sudah berapa orang berilmu tinggi yang terbunuh oleh pedangku ini. Tentu lebih dari seratus, jika kerismu saja sudah membunuh seratus orang berilmu tinggi.”
“Setan kau!” geram Ki Setra Puguh.
“Apapun sebutan yang kau berikan, aku tidak berkeberatan.”
Tetapi Sabungsari terkejut. Tiba-tiba saja Ki Setra Puguh itu meloncat sambil mengayunkan kerisnya. Hampir saja keris itu menggores dadanya. Namun Sabungsari sempat bergeser surut. Bahkan tiba-tiba pula pedangnya telah terjulur ke arah perut Ki Setra Puguh.
Ternyata Ki Setra Puguh juga terkejut. Karena itu, Ki Setra Puguh harus meloncat untuk menghindari ujung pedang itu.
Demikianlah, keduanya pun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Senjata mereka pun berputaran dengan cepat. Keduanya saling menyerang dan saling menghindar.
Glagah Putih yang bertempur tidak terlalu jauh dari Sabungsari sempat melihat bahwa Sabungsari agaknya telah mendapat lawan seorang yang berilmu tinggi. Sementara Glagah Putih bertempur melawan empat orang, yang menurut Glagah Putih mereka adalah bekas prajurit yang bergabung dengan pasukan Ki Saba Lintang.
Ternyata bahwa empat orang itu harus memeras kemampuan mereka menghadapi Glagah Putih yang bertempur dengan pedang di tangannya.
Namun bagaimanapun juga keempat orang itu menghentakkan kemampuan mereka, tetapi mereka tidak mampu menundukkan Glagah Putih yang bertempur dengan cepatnya. Sambil berloncatan Glagah Putih memutar pedangnya. Kemudian mengayunkannya dengan cepat. Namun sejenak kemudian pedangnya itu telah mematuk dengan derasnya.
Keempat orang lawannya semakin lama justru semakin mengalami kesulitan. Tetapi mereka telah mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk mengurung Glagah Putih dalam sebuah putaran yang rapat.
Sambil berloncatan, Glagah Putih itu pun sempat bertanya, “Apakah kalian bekas prajurit? Aku melihat keseragaman tatanan gerak kalian. Senjata kalian dan kepatuhan kalian pada kerja sama yang mapan.”
“Ternyata matamu-lah yang juling,” jawab salah seorang dari mereka, “kami sama sekali bukan bekas prajurit.”
“Kenapa harus ingkar?
“Buat apa kami ingkar jika kami memang bekas prajurit?”
Glagah Putih tidak sempat menyahut karena serangan dua orang di antara lawannya itu datang bersamaan. Namun ketika orang ketiga mencoba memotong geraknya, dengan tangkas Glagah Putih menangkis sambil berputar, tiba-tiba saja ujung pedangnya telah menyambar orang keempat yang justru sedang menunggu kesempatan menyerang.
Orang itu terkejut. Tetapi ternyata ia masih sempat meloncat menghindari. Namun demikian, sebuah goresan tipis telah menyentuh lengannya,
Orang yang tergores lengannya itu menggeram marah. Sementara Glagah Putih telah berloncatan menghindari serangan-serangan berikutnya.
Di sekitarnya, pertempuran pun menjadi semakin sengit. Beberapa orang telah menitikkan darah. Sementara matahari telah menjadi semakin tinggi menggapai puncak langit.
Di medan yang lain, pertempuran menjadi semakin seru pula. Keringat dan darah sudah mulai menetes pula membasahi bumi di perbatasan Tanah Perdikan Menoreh itu.
Sementara itu, pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang membendung arus serangan dari pasukan Ki Saba Lintang yang berada di Pucang Kerep, telah bertempur dalam gelar yang utuh. Karena itu, maka kedua pasukan itu telah berbenturan dengan garis perang yang agak jelas. Meskipun garis perang itu kadang-kadang bergeser setapak-setapak. Sekali mendesak ke arah pasukan Tanah Perdikan Menoreh, namun sekali mendesak pasukan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu.
Meskipun matahari kemudian sudah mencapai puncak langit, namun masih belum tampak pasukan yang manakah yang akan memenangkan pertempuran itu. Kedua pasukan itu saling mendesak. Para prajurit dan pasukan Tanah Perdikan Menoreh harus mengerahkan kemampuan mereka untuk mempertahankan diri. Ternyata pasukan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu jumlahnya lebih banyak dari pasukan gabungan Tanah Perdikan Menoreh. Hanya karena kemampuan dan pengalaman mereka yang tinggi sajalah mereka masih tetap dapat bertahan.
Di induk pasukannya, Ki Saba Lintang yang memegang pimpinan tertinggi telah meneriakkan beberapa aba-aba untuk menghentakkan pasukannya mendesak pasukan Tanah Perdikan Menoreh.
Namun usaha mereka menjadi sia-sia. Dua orang Senapati pengapit yang bertempur di sebelah menyebelah Ki Saba Lintang, tidak mampu memecahkan pertahanan di induk pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang dipimpin langsung oleh Agung Sedayu.
Di induk pasukan itu Agung Sedayu berusaha untuk menahan Ki Saba Lintang yang bertempur sambil mengayun-ayunkan tongkat baja putihnya. Sementara itu dua orang Senapati pengapit Ki Saba Lintang itu tertahan oleh para pengawal Agung Sedayu dari Pasukan Khusus yang berada di bawah pimpinannya.
Dalam pada itu, Agung Sedayu yang bertempur melawan Ki Saba Lintang yang dibantu oleh dua orang pengawal khususnya, masih berlangsung dengan sengitnya. Dengan mengandalkan jumlah yang lebih banyak, Ki Saba Lintang berusaha untuk segera memecah pertahanan pasukan Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi ujung-ujung sayap pasukan Tanah Perdikan Menoreh semakin lama justru semakin mendesak pasukan lawan.
Ternyata di sayap kiri pasukan Tanah Perdikan Menoreh, telah bertempur di antara para prajurit dan para pengawal, Ki Wijil yang berilmu tinggi. Sedangkan Nyi Wijil berada di ujung sayap kanan.
Di induk pasukan, Agung Sedayu ternyata harus meningkatkan ilmunya untuk mengatasi ketiga orang lawannya. Tongkat baja putih di tangan Ki Saba Lintang terayun-ayun mengerikan, sementara kedua orang pengawalnya yang juga berilmu tinggi itu pun mampu bergerak dengan cepatnya.
Untuk mengatasi serangan-serangan mereka yang datang beruntun itulah, maka cambuk Agung Sedayu berputar semakin cepat. Sekali-kali cambuk itu meledak dengan kerasnya, sehingga bukit-bukit pun bagaikan berguncang.
Tetapi Ki Saba Lintang sendiri tahu, bahwa jika cambuk Agung Sedayu itu meledak-ledak, Agung Sedayu masih belum sampai pada puncak ilmu cambuknya. Tetapi ledakan cambuk itu ternyata pengaruhnya besar sekali pada pengikutnya. Bahkan bagi seluruh medan pertempuran itu.
Setiap kali cambuk Agung Sedayu itu meledak, maka jantung para pengikut Ki Saba Lintang itu bagaikan bergetar di dalam dada mereka.
Sementara itu, Ki Wijil di sayap kiri dan Nyi Wijil di sayap kanan telah menggetarkan lawan-lawan mereka. Ketika panas matahari terasa semakin menyengat, Ki Wijil dan Nyi Wijil pun telah meningkatkan kemampuan mereka. Orang-orang yang kebetulan menghadapi mereka telah tersingkir dari arena. Meskipun keduanya bukan pembunuh yang tidak berjantung, tetapi dalam pertempuran yang sengit, senjata mereka telah merenggut nyawa.
Pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Keseimbangan pun mulai berubah. Pasukan Tanah Perdikan yang jumlahnya lebih sedikit, semakin lama mereka justru mampu semakin mendesak lawan. Jumlah lawan yang semula lebih banyak itu ternyata menjadi semakin susut. Meskipun para prajurit dan pengawal Tanah Perdikan ada juga yang tidak lagi mampu bertempur oleh luka di tubuh mereka, bahkan ada juga di antara mereka yang gugur, namun pasukan lawan mereka ternyata lebih cepat menyusut.
Karena itulah, maka perlahan-lahan pasukan yang dipimpin langsung Ki Saba Lintang itu bergeser mundur. Semakin lama semakin jauh dari garis benturan kedua kekuatan itu.
Meskipun demikian pertempuran itu masih berlangsung terus. Meskipun pasukan Ki Saba Lintang terdesak mundur, namun mereka masih tetap tidak meninggalkan medan pertempuran.
Berbeda dengan pasukan yang dipimpin oleh Agung Sedayu itu. Pasukan yang berada di sisi utara, ternyata menghadapi lawan yang sangat berat. Pasukan yang dipimpin oleh Ki Sima Sikara itu memang dipersiapkan untuk menusuk Tanah Perdikan sampai ke padukuhan induk. Karena itu, maka kekuatan mereka pun cukup meyakinkan.
Meskipun demikian, ketika matahari sudah mulai turun, pasukan yang dipimpin oleh Ki Sima Sikara masih belum mampu memecahkan pertahanan pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Seandainya mereka berhasil memecahkan pertahanan Tanah Perdikan Menoreh, mereka tidak akan sempat bergerak sampai ke padukuhan induk.
Dalam pada itu, Ki Jayaraga, Sayoga dan Empu Wisanata yang diterjunkan di medan pertempuran, telah bertempur bersama para prajurit dan pengawal Tanah Perdikan. Ternyata mereka telah menghadapi lawan yang bertempur dalam kelompok-kelompok kecil. Ki Jayaraga ternyata harus berhadapan dengan dua orang berilmu tinggi. Dua orang berilmu tinggi, namun masing-masing merasa bahwa mereka tidak akan mampu menghadapi Ki Jayaraga seorang diri. Berdua mereka menduga bahwa mereka akan dapat menyelesaikan Ki Jayaraga dalam waktu singkat. Namun ternyata bahwa mereka telah membentur kemampuan Ki Jayaraga yang sangat tinggi, sehingga setelah bertempur beberapa lama, mereka masih belum dapat mengalahkannya.
Sementara itu, Sayoga yang bertempur di antara para pengawal, telah melihat seorang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan yang bertempur dengan garangnya. Seorang pengawal yang lengah telah terlempar dari arena pertempuran dengan luka di pundaknya.
Orang bertubuh tinggi itu meloncat memburunya. Namun ketika parang di tangannya terayun dengan derasnya ke arah ubun-ubun pengawal yang sudah tidak berdaya untuk melawan itu, ia menjadi terkejut sekali. Parangnya tiba-tiba saja telah membentur sebilah pedang. Ketika pedang itu berputar, parang itu terasa bagaikan terhisap. Hampir saja parang itu terlepas dari tangannya.
Orang itu meloncat mundur. Dilihatnya seorang anak muda berdiri di hadapannya.
“Siapa kau?” geram orang itu.
“Namaku Sayoga,” jawab anak muda yang telah membentur parang orang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu.
“Kenapa kau campuri urusanku dengan orang itu?”
“He, kau aneh,” jawab Sayoga. Kemudian katanya, “Kita berada di medan pertempuran. Pertempuran ini urusan kita semuanya.”
“Persetan!” geram orang itu.
Tiba-tiba tangannya menebas dengan cepatnya. Ujung parang itu hampir saja menggores dada Sayoga. Namun Sayoga masih sempat mengelak dengan bergeser selangkah ke samping. Bahkan Sayoga masih sempat berkata kepada orang yang terluka itu, “Minggirlah! Kau harus segera mendapat perawatan.”
“Tikus itu akan mati.”
Sayoga tidak menjawab. Tetapi ia-lah yang kemudian meloncat menyerang dengan menjulurkan senjatanya.
Pertempuran antara keduanya pun segera berlangsung dengan sengitnya. Orang bertubuh tinggi itu menggeram dengan marahnya. Serangan-serangannya sama sekali tidak mampu menyentuh tubuh Sayoga. Bahkan senjata Sayoga-lah yang terasa mulai menyentuh pakaiannya.
Di sisi lain, seorang yang berkepala botak telah mendekati Empu Wisanata. Dengan nada tinggi ia bertanya, “He, Empu. Kenapa kau berkhianat dan bahkan ikut bertempur bersama orang-orang Tanah Perdikan?”
“Apakah aku berkhianat?” Empu Wisanata itu justru bertanya.
“Tentu saja, dan nampaknya Empu telah menemukan kehidupan yang Empu inginkan”
“Jadi menurut kau, aku telah berkhianat karena aku menemukan jalan yang lebih baik dari jalanku yang pernah aku tempuh sebelumnya, karena aku sekedar ingin melindungi anakku.”
Orang berkepala botak itu tertawa. Katanya, “Jangan mengigau Empu. Aku tahu bahwa kau tentu mendapat tawaran yang lebih tinggi dari orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.”
“Tawaran apa?”
“Tawaran apalagi? Katakan, kenapa kau dan anakmu perempuan itu bergabung dengan Ki Saba Lintang? Uang? Harapan? Atau apalagi? Dan sekarang yang kau cari itu ditawarkan pula oleh orang-orang Tanah Perdikan. Bahkan tawaran itu lebih tinggi dari yang kau harapkan dari Ki Saba Lintang.”
Empu Wisanata tertawa pendek. Katanya, “Terserah saja bagaimana kau mengartikan sikapku. Tetapi sekarang aku berniat melawan kekuasaan Ki Saba Lintang dan orang-orang yang bergabung bersamanya.”
“Empu,” berkata orang berkepala botak itu, “Empu sudah mengenal aku sebagaimana aku mengenal Empu. Karena itu, maka tinggal siapakah yang menjadi lengah, akan tersungkur di pertempuran ini.”
Empu Wisanata mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita akan menguji, siapakah sebenarnya yang terbaik di antara kita.”
Ketika orang berkepala botak itu kemudian menyerangnya, maka Empu Wisanata telah bersiap sepenuhnya. Karena itu dengan tangkasnya ia pun meloncat menghindar.
Namun serang-serangan orang itu pun kemudian datang beruntun susul menyusul.
Meskipun demikian Empu Wisanata sama sekali tidak terdesak karenanya. Meskipun Empu Wisanata harus meningkatkan kemampuannya, namun ia masih dapat menyelamatkan diri dari serangan-serangan yang membadai itu. Bahkan kemudian Empu Wisanata-lah yang meloncat menyerang. Namun serangannya juga tidak menyentuh sasaran.
Pertempuran di antara keduanya semakin lama menjadi semakin sengit.
Sementara itu, pasukan yang sangat kuat itu ternyata telah mampu mendesak pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Perlahan-lahan garis pertempuran pun bergeser, sehingga semakin lama semakin dalam memasuki perbatasan Tanah Perdikan.
Sebenarnyalah bahwa pasukan Tanah Perdikan Menoreh di sisi utara itu memang terdesak. Kekuatan lawan yang besar, ternyata sulit untuk dibendung. Sementara itu orang-orang berilmu tinggi yang ada di pertahanan sebelah utara itu terikat dalam pertempuran yang garang.
Prastawa yang memimpin pasukan itu menjadi sangat marah. Tetapi ia tidak dapat berbuat sendiri. Bagaimanapun juga Prastawa harus memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dalam pasukannya. Tekanan pasukan lawan itu memang terasa sangat berat menekan pasukannya.
Seorang penghubung berkuda dengan cepat melaporkan keadaan itu kepada Ki Gede, yang dengan cepat telah menanggapinya pula. Ia pun segera memerintahkan penghubung itu untuk membawa sekelompok pasukan cadangan,
“Aku akan membawa pasukan itu,” berkata Ki Argajaya.
“Kau tetap di sini Argajaya,” berkata Ki Gede.
“Tetapi keadaan itu menjadi sangat gawat.”
Ki Gede termangu-mangu sejenak. Ki Argajaya sudah terlalu lama tidak terlibat dalam kegiatan apapun, termasuk kegiatan para pengawal. Karena itu, tentu ada kecanggungan apabila ia langsung terjun ke medan yang garang.
Namun Ki Argajaya itu pun berkata selanjutnya, “Aku akan sangat berhati-hati, Kakang. Aku ingin melihat-lihat saja apa yang terjadi di medan. Sudah lama sekali aku tidak melihat medan pertempuran.”
Ki Gede memang tidak dapat mencegahnya. Karena itu, maka katanya, “Berhati-hatilah. Kau tidak perlu terjun langsung di medan pertempuran itu. Yang kita lakukan hari ini adalah sekedar bertahan, agar pasukan kita tidak pecah. Jika perlu, tarik pasukan itu perlahan-lahan. Perintahkan para pengawal yang berjaga-jaga di padukuhan terdekat untuk bergabung. Kita harus bertahan sampai malam turun.”
Sejenak kemudian, sekelompok pasukan berkuda telah mendahului ke medan di sisi utara di bawah pimpinan langsung Ki Argajaya. Sementara itu kelompok pasukan cadangan di padukuhan terdekat untuk sementara akan ditarik ke medan.
Di padukuhan terdekat, pasukan berkuda itu telah meninggalkan kuda-kuda mereka. Dua kelompok pasukan cadangan dari dua padukuhan telah diperintahkan untuk turun ke medan. Jumlah mereka memang tidak terlalu banyak. Tetapi bersama sekelompok pasukan berkuda, kekuatan mereka akan dapat mempengaruhi medan.
Pasukan yang segar yang dipimpin oleh Ki Argajaya itu langsung turun di induk pasukan. Dengan kekuatan baru, mereka menghentak kekuatan lawan.
Prastawa yang mulai gelisah, terkejut melihat kehadiran ayahnya. Dengan serta-merta ia pun bertanya, “Kenapa Ayah turun ke medan?”
“Aku hanya akan melihat-lihat saja, Prastawa. Sudah terlalu lama aku terpisah dari suasana seperti ini.”
“Medan ini terlalu garang, Ayah.”
Ki Argajaya tersenyum. Katanya, “Aku akan berhati-hati, Prastawa. Tetapi seperti yang aku katakan, aku hanya sekedar melihat-lihat,”
Keduanya tidak sempat berbicara terlalu panjang. Pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Lima orang pengawal pilihan yang bersama-sama Prastawa bertempur di induk pasukan itu, masih berusaha membatasi ruang gerak Ki Sima Sikara. Namun para pengawal Ki Sima Sikara tidak membiarkan mereka, sehingga pertempuran pun menjadi semakin garang. Beberapa orang pengawal yang sempat membebaskan diri, berusaha membantu kelima orang pengawal pilihan yang mengalami kesulitan itu,
Namun kedatangan kelompok-kelompok pengawal yang baru, termasuk pasukan pengawal berkuda itu, benar-benar telah mengguncang medan, terutama di induk pasukan. Dengan cepat mereka mendesak induk pasukan lawan itu.
Ki Sima Sikara yang menjadi sangat marah, tiba-tiba terkejut melihat seorang yang baru saja dilihatnya hadir di medan.
“Ayah,” desis Prastawa.
Tetapi Ki Argajaya tidak menghiraukannya. Sejenak kemudian, ia pun telah berhadapan dengan Ki Sima Sikara.
Ki Sima Sikara tidak bertanya apapun juga. Dengan garangnya Ki Sima Sikara langsung menyerang Ki Argajaya.
Ternyata Ki Argajaya tidak berubah. Ia masih tetap tangkas. Dengan cepat ia mengelak dan bahkan membalas menyerang,
Prastawa tidak membiarkan ayahnya bertempur sendiri menghadapi Ki Sima Sikara, yang semula dihadapinya dengan sebuah kelompok kecil para pengawal pilihan. Karena itu, maka Prastawa pun telah melibatkan diri pula dalam pertempuran itu.
Ternyata guncangan yang terjadi di induk pasukan itu, telah merambat sampai ke ujung-ujung sayap, Ketika induk pasukan yang dipimpin Ki Sima Sikara itu tertahan, maka medan itu pun tidak bergeser lagi. Pasukan yang menyerang Tanah Perdikan itu tidak lagi mendesak pasukan Tanah Perdikan semakin dalam.
Dalam pada itu, pertempuran di sisi selatan menjadi semakin liar. Tetapi perlahan-lahan pasukan Tanah Perdikan Menoreh mampu menguasai medan. Glagah Putih tidak lagi mampu dibendung. Beberapa orang yang bertempur melawannya tidak mampu membatasi geraknya. Empat orang lawannya benar-benar mengalami kesulitan. Seorang demi seorang, mereka telah terlempar dari lingkungan pertempuran.
Dengan demikian, Glagah Putih pun segera memasuki putaran pertempuran yang lain pula. Namun tidak seorangpun yang mampu menahan Glagah Putih.
Dalam pada itu, Ki Sura Panggah yang bertempur melawan Ki Pringgareja masih berlangsung dengan sengitnya. Ternyata keduanya adalah prajurit-prajurit pilihan. Masing-masing telah meningkatkan kemampuan mereka sampai ke puncak. Namun masih belum nampak tanda-tanda, siapakah yang akan memenangkan pertempuran itu.
Meskipun demikian, keduanya masih tetap memperhatikan pertempuran di sekitarnya. Beberapa kali terdengar teriakan-teriakan yang merupakan isyarat dari para pemimpin kelompok. Isyarat-isyarat sandi yang hanya diketahui oleh pihak masing-masing. .
Ketika matahari mulai turun, pasukan yang dipimpin oleh Ki Pringgareja itu menjadi semakin sulit. Beberapa orang telah terkapar tidak berdaya, sementara yang lain harus bertarung habis-habisan. Sebagian lagi, dengan darah yang mengucur dari luka, terpaksa masih harus bertempur terus untuk mempertahankan nyawa mereka.
Ki Pringgareja tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Karena itu, ia harus mengambil langkah tertentu agar orang-orangnya tidak dibantai sampai habis oleh orang-orang Tanah Perdikan. Dalam pertempuran yang liar dan garang itu, setiap orang tidak lagi mampu mengendalikan dirinya.
Karena itu, maka yang terdengar kemudian adalah satu isyarat yang diteriakkan oleh Ki Pringgareja. Seperti isyarat-isyarat yang pernah menggetarkan udara di atas medan, tidak seorangpun di antara orang-orang Tanah Perdikan yang tahu arti dari isyarat itu.
Sebenarnya bahwa Ki Pringgareja telah mengambil keputusan untuk menarik pasukannya. Isyarat-isyarat dari setiap pemimpin kelompok telah memantapkan keputusan Ki Pringgareja itu.
Demikianlah, pertempuran di sisi selatan itu rasa-rasanya menjadi goyah. Gerakan-gerakan yang aneh telah dilakukan oleh orang-orang dalam pasukan yang dipimpin oleh Ki Pringgareja itu.
Namun sejenak kemudian, orang-orang itu pun telah bergerak serentak meninggalkan medan. Mereka melarikan diri berpencaran dalam kelompok-kelompok kecil. Namun kelompok-kelompok itu kadang-kadang telah berbaur dan berpencar lagi.
Ki Sura Panggah telah memerintahkan kepada semua orang di dalam pasukannya untuk tidak mengejar lawannya.
“Mereka sangat licik,” berkata Ki Sura Panggah, “kita akan dapat terjebak. Melihat cara mereka menarik diri, maka agaknya mereka mempunyai perangkap yang di luar dugaan kita.”
Sabungsari ternyata juga tidak mengejar lawannya yang melarikan diri dan berbaur dengan orang-orang lain di dalam pasukan yang dipimpin oleh Ki Pringgareja itu.
Ki Sura Panggah pun kemudian telah memanggil semua pemimpin kelompok untuk mendapatkan penjelasannya. Para pemimpin kelompok harus memberikan penjelasan, sehingga meredakan kekecewaan kelompok mereka yang ingin mengejar dan menghancurkan lawan mereka sampai lumat.
“Kita selamatkan kawan-kawan kita yang masih mungkin diselamatkan,” berkata Ki Sura Panggah, “yang lain, membawa kawan-kawan kita yang gugur di pertempuran.”
“Bagaimana dengan lawan-lawan kita?” bertanya seorang pemimpin kelompok.
“Yang masih hidup akan kita bawa. Kita akan berusaha untuk menolong mereka.”
Para pemimpin kelompok itu pun kemudian telah memerintahkan anak buahnya untuk mengelilingi medan. Mereka sejauh mungkin mencari kawan-kawan mereka yang tidak berkumpul kembali ke dalam kelompoknya. Baik yang gugur, lebih-lebih lagi yang masih hidup, yang harus dengan cepat mendapat pertolongan.
Para tabib dan mereka yang memiliki pengetahuan pengobatan pun telah dikerahkan untuk membantu merawat orang-orang yang terluka.
Sementara itu, para penghubung telah menyampaikan laporan kepada Ki Gede, bahwa pasukan di sisi selatan telah berhasil mengusir pasukan yang menyerang Tanah Perdikan itu. Sedangkan yang lain telah menghubungi tempat persediaan minuman dan makanan, untuk mengirimkan terutama minuman ke medan.
Bersamaan dengan kedatangan penghubung dari sisi selatan yang melaporkan keberhasilan pasukan Tanah Perdikan Menoreh, maka seorang penghubung dari sisi utara pun telah menghadap pula.
“Bagaimana keadaan pasukan Prastawa?” bertanya Ki Gede dengan wajah tegang.
“Pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah berhasil menahan gerak maju pasukan yang datang menyerang itu, Ki Gede.”
“Apakah keadaan menjadi lebih baik?”
“Setidak-tidaknya pasukan kita tidak bergeser mundur lebih jauh lagi.”
“Apakah pasukan itu dapat bertahan sampai senja?”
“Nampaknya demikian, Ki Gede. Kami akan melaporkan setiap perkembangan berikutnya.”
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu penghubung yang datang dari medan di bagian selatan Tanah Perdikan itu pun telah melaporkan perkembangan terakhir serta keberhasilan pasukan Tanah Perdikan Menoreh menghalau pasukan yang dipimpin oleh Ki Pringgareja itu.
“Kita wajib mengucap syukur,” berkata Ki Gede, “mudah-mudahan di medan yang lain, pasukan Tanah Perdikan Menoreh juga berhasil menguasai medan.”
Sebenarnyalah pertempuran yang terjadi untuk menahan pasukan yang dipimpin langsung oleh Ki Saba Lintang, telah berhasil mendesak pasukan penyerang itu. Agung Sedayu membawa pasukannya perlahan-lahan bergerak maju. Semakin lama semakin jauh.
Meskipun demikian, Ki Saba Lintang masih tetap berusaha dengan mengerahkan segala kekuatan yang mungkin ditumpahkan dalam pertempuran itu.
Sedangkan pertempuran di medan yang berada di batas utara Tanah Perdikan itu masih sangat menenggangkan. Kedatangan beberapa kelompok pasukan pengawal cadangan serta pasukan pengawal berkuda, memang dapat menahan gerak maju pasukan yang dipimpin oleh Ki Sima Sikara. Namun pasukan Tanah Perdikan itu masih belum mampu mendesak kembali pasukan lawan yang telah berada agak jauh di belakang perbatasan.
Namun dalam pada itu, matahari pun semakin lama menjadi semakin rendah. Kedua belah pihak yang bertempur rasa-rasanya sudah kehabisan tenaga.
Karena itu, ketika langit menjadi muram, maka terdengar isyarat dari pasukan Tanah Perdikan Menoreh untuk menghentikan pertempuran. Di sisi utara, suara bende pun terdengar berkumandang menggetarkan udara menjelang senja
Meskipun demikian, pasukan Tanah Perdikan itu tidak dengan serta-merta meninggalkan medan. Mereka tidak sedang menarik pasukannya karena tekanan kekuatan lawan. Tetapi menjelang senja, maka pertempuran memang harus dihentikan.
Ternyata bahwa orang-orang yang berada di dalam pasukan yang dipimpin oleh Ki Sima Sikara itu pun telah menjadi letih pula. Ki Sima Sikara sendiri rasa-rasanya telah kehabisan tenaga untuk bertempur melawan Ki Argajaya, yang bertempur bersama-sama dengan Prastawa dalam kelompok pengawalnya
Dalam pada itu, Ki Jayaraga, Seyoga dan Empu Wisanata pun harus menghentikan pertempuran mereka pula. Meskipun mereka masih sanggup untuk bertempur sehari semalam, tetapi mereka harus mematuhi isyarat yang diberikan oleh pemimpin mereka, sehingga mereka pun harus menghentikan pertempuran.
Dalam pada itu, senja pun telah menyelimuti seluruh Tanah Perdikan Menoreh. Langit pun menjadi buram. Sisa-sisa cahaya matahari masih nampak tersangkut di bibir mega yang bergerak dihembus angin laut dari selatan.
Para prajurit dan pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah mundur dari medan pertempuran. Agung Sedayu telah memerintahkan pasukannya untuk beristirahat. Hanya beberapa orang dari pasukan cadangan yang berada di padukuhan-padukuhan untuk mengumpulkan orang-orang yang terluka dan gugur di medan pertempuran. Agung Sedayu telah memerintahkan setiap pemimpin kelompok untuk memberikan laporan tentang anggota kelompoknya. Yang terluka, yang gugur dan yang hilang.
Di sisi utara, pertempuran telah berhenti. Ternyata Ki Sima Sikara telah membawa pasukannya mundur ke perkemahan yang telah dipersiapkan dekat perbatasan. Mereka tidak perlu kembali ke dekat tempuran, yang terlalu jauh dari medan.
Dalam pada itu, Prastawa pun telah memerintahkan berkumpul semua pemimpin kelompok, mereka yang memimpin sayap-sayap pasukan yang maju ke medan dalam gelar yang utuh, serta mereka yang dianggap penting.
“Kita akan menilai, apa yang telah terjadi di medan hari ini,” berkata Prastawa.
Para pemimpin kelompok serta orang-orang terpenting dalam pasukan Tanah Perdikan yang dipimpin oleh Prastawa itu masih nampak letih. Keringat masih membasahi pakaian mereka. Bahkan mereka yang tubuhnya tergores senjata, baru sempat memampatkan darahnya, tetapi mereka masih belum sempat mengobati lukanya.
“Kita tuntaskan tugas kita hari ini. Baru kita akan beristirahat sepuasnya malam ini sampai menjelang fajar,” berkata Prastawa.
Para pemimpin yang di antaranya jauh lebih tua daripadanya, ternyata tunduk kepada perintahnya, sebagaimana tatanan dalam lingkungan keprajuritan
Ki Argajaya yang datang ke medan membawa beberapa kelompok pasukan cadangan, telah hadir pula dalam pertemuan itu.
Dalam pertemuan itu Prastawa telah menguraikan kelemahan-kelemahan yang terdapat di dalam pasukannya, sehingga pasukannya harus bergeser mundur beberapa puluh patok di belakang perbatasan
“Untunglah bahwa bantuan datang pada waktunya, sehingga pasukan kita tidak terpecah bercerai-cerai, sehingga pasukan lawan tidak sempat menggapai padukuhan terdekat yang sudah tinggal beberapa ratus langkah saja dari medan.”
Dengan lantang Prastawa itu berkata, “Besok mereka akan datang lagi. Kita harus mampu bertahan dan bahkan mengusirnya. Aku berharap bahwa sayap-sayap pasukan kita yang akan turun dalam gelar yang utuh mampu menyusun gelar, karena tidak ada keterikatan di antara kelompok-kelompok yang tergabung dalam pasukan mereka. Menghadapi lawan yang kasar dan bahkan liar seperti yang dilakukan kelompok-kelompok di dalam pasukan lawan, kita harus mempergunakan cara yang khusus, sehingga kita tidak justru kehilangan pijakan.”
Tidak seorangpun yang menyahut. Tetapi beberapa orang pemimpin kelompok, yang di antaranya adalah para prajurit dari Ganjur dan Pasukan Khusus, agak kurang sependapat. Mereka sudah berusaha sebaik-baiknya. Tetapi lawan memang sangat kuat.
Untunglah dalam pertemuan itu ada Ki Argajaya, yang kemudian melengkapi pendapat Prastawa.
“Aku menguatkan pendapat Prastawa yang memegang kendali pemimpin di medan ini,” berkata Ki Argajaya. Namun kemudian ia pun berkata selanjutnya, “Namun aku masih ingin melengkapi pendapatnya. Sebenarnyalah bahwa kita sudah melakukan upaya yang mungkin dapat kita jangkau. Tetapi jumlah lawan memang terlalu banyak. Di antara mereka adalah orang-orang yang sama sekali tidak mau tahu tentang tatanan dan apalagi unggah-ungguh pertempuran. Meskipun kita sedang berperang, namun kita harus mengikuti tatanan yang berlaku. Nah, lawan kita adalah orang-orang yang sama sekali tidak mengenal atau sama sekali tidak mau mengenal, tatanan itu, sehingga kadang-kadang kita terkejut karenanya. Tetapi jika sekali lagi kita berhadapan dengan mereka, maka keadaannya tentu akan berbeda. Kita sudah mengenal mereka, dan kita pun akan mengenal apa yang harus kita lakukan.”
Para pemimpin yang hadir itu pun mengangguk-angguk. Ternyata Ki Argajaya seakan-akan sudah membetulkan sikap Prastawa yang masih muda itu.
Prastawa sendiri mengangguk-angguk pula mendengarkan uraian ayahnya itu. Justru karena itu, maka suaranya pun mulai merendah, “Kita akan bersiap menjelang fajar. Kita akan menyongsong lawan bersama pasukan cadangan yang sudah ada di dalam pasukan kita.”
Ki Argajaya pun menambahkannya, “Mungkin lawan kita juga mulai menurunkan pasukan cadangannya.”
Peringatan itu ternyata penting. Ki Argajaya menghendaki setiap orang di dalam pasukan Tanah Perdikan itu harus meningkatkan kemampuan mereka sampai ke puncak.
Namun dalam pada itu, seorang penghubung telah datang menemui Prastawa. Perintah dari Ki Gede, semua pimpinan pasukan dipanggil menghadap, termasuk Ki Argajaya.
Dengan demikian, maka Prastawa pun telah meninggalkan pasukannya bersama Ki Argajaya. Sementara it Prastawa telah memerintahkan beberapa orang untuk meneliti bekas medan yang telah bergeser itu. Mereka harus menemukan kawan-kawan mereka yang gugur dan terluka yang tertinggal di medan.
Sejenak kemudian, Prastawa dan Ki Argajaya telah berpacu menuju ke padukuhan induk bersama beberapa orang pengawal. Ketika mereka sampai di rumah Ki Gede, Agung Sedayu dan Ki Sura Panggah juga telah berada di pendapa itu pula.
Bersama-sama para pemimpin pasukan, Ki Gede dan Ki Argajaya menilai pertempuran dalam keseluruhan.
“Kami berterima kasih kepada Ki Sura Panggah dan pasukannya yang telah berhasil menghalau mereka di sore hari,” berkata Ki Gede. Namun kemudian diteruskannya, “Juga kepada Ki Lurah Agung Sedayu dan Prastawa, yang bertahan sampai senja turun. Dengan demikian, lawan-lawan kita pada hari ini tidak berhasil mengoyak pertahanan kita.”
“Tekanan terberat dialami oleh pasukan kita yang bertahan di daerah utara Tanah Perdikan ini,” berkata Ki Argajaya.
“Aku ingin mendengar laporannya langsung dari pimpinan pasukannya,” berkata Ki Gede kemudian.
Prastawa pun kemudian telah memberikan laporan sesuai dengan kenyataan yang dihadapinya di sisi utara.
Karena itulah, maka Ki Gede pun telah memberikan perintah kepada pasukan cadangan untuk sebagian lagi diperbantukan di sisi utara.
“Jumlah pasukan yang ada di sisi utara memang harus ditambah. Pimpinan pasukan di sisi utara itu tentu melihat kelemahan itu. Aku yakin bahwa mereka akan menambah jumlah pasukan mereka, untuk dapat memecahkan pertahanan di sisi utara itu.”
Pendapat itu sesuai dengan pendapat Ki Argajaya. Pasukan yang berada di sisi utara itu memang harus ditambah.
Namun Agung Sedayu pun kemudian juga mengusulkan kepada Ki Gede untuk menambah pasukan di sisi selatan. Setelah mereka mendapatkan kemenangan di hari ini, mungkin pasukan lawan akan melepaskan dendamnya kepada pasukan yang dipimpin oleh Ki Sura Panggah itu.
“Aku akan memerintahkan pasukan cadangan di barak untuk berada di medan.”
“Apakah termasuk pasukan cadangan dari Ganjur?” bertanya Ki Sura Panggah.
“Tidak. Kita masih tetap memperhitungkan kelompok-kelompok yang dapat saja disusupkan oleh Ki Saba Lintang.”
Pembicaraan di rumah Ki Gede itu tidak berlangsung terlalu lama. Ki Gede menyadari bahwa mereka tentu sangat letih, sementara itu masih banyak yang harus mereka lakukan. Karena itu, setelah ditemukan beberapa kesepakatan, maka pertemuan pun segera diakhiri.
Di medan perang, prajurit dan pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah membagi tugas sebaik-baiknya. Sebagian masih berada di medan untuk mencari kawan-kawan mereka yang terluka dan yang gugur di pertempuran. Yang lain membantu merawat kawan-kawan mereka yang terluka, sedangkan yang lain lagi melakukan pengawasan. Namun pada dasarnya setiap orang harus mendapat kesempatan untuk beristirahat secukupnya.
Namun menjelang tengah malam, seorang petugas sandi yang mengawasi pasukan Ki Saba Lintang yang sebelumnya membuat persiapan dan ancang-ancang dari Pucang Kerep, dan yang kemudian menarik diri ke perkemahan yang mereka buat sekedarnya, telah melaporkan bahwa mereka tidak melihat persiapan khusus untuk menyerang kembali pada hari berikutnya.
“Awasi mereka terus,” perintah Agung Sedayu, “jangan salah mengartikan sikap lawan. Jika kau terkecoh, maka akibatnya dapat menjadi pahit sekali bagi pasukan ini.”
Petugas itu mengangguk sambil menjawab, “Baik, Ki Lurah.”
Dalam pada itu, sebenarnyalah Ki Saba Lintang juga mengadakan pertemuan dengan para pemimpin pasukannya. Seorang yang disebutnya Ki Darpatenaya pun berkata, “Aku sudah mengatakan, bahwa kita jangan tergesa-gesa. Kalian mencoba untuk memanfaatkan hari ketiga untuk merunduk pasukan Tanah Perdikan Menoreh, yang aku yakin bahwa mereka bertempur bersama-sama prajurit dari Pasukan Khusus. Sementara pasukan yang telah membuat ancang-ancang dari Pucang Kerep telah didesak oleh pasukan Tanah Perdikan yang dipimpin langsung oleh Ki Lurah Agung Sedayu, yang sehari-hari menjabat sebagai pemimpin Pasukan Khusus di Tanah Perdikan ini. Sedangkan pasukan yang bertempur di sisi utara seharusnya mampu memecahkan pasukan Tanah Perdikan, menghancurkannya dan menduduki salah satu padukuhan sebagai landasan untuk bergerak maju ke padukuhan induk. Tetapi pasukan itu pun telah gagal. Mereka akhirnya tertahan, sehingga terpaksa kembali pada perkemahan darurat itu lagi.”
Ki Saba Lintang mengangguk-angguk. Katanya, “Ada yang luput dari pengamatan kita. Ternyata pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah siap sepenuhnya, meskipun mereka masih mempunyai satu hari lagi.”
“Mereka bukan orang-orang bodoh,” berkata Ki Darpatenaya, “sayang aku tidak dapat ikut dalam pembicaraan di saat terakhir kalian akan mulai. Nah, sekarang aku pun memperingatkan kalian lagi. Jangan tergesa-gesa.”
“Maksud Ki Darpatenaya?” berkata Ki Saba Lintang.
“Kalian tidak perlu bergerak lagi esok pagi.”
“Kenapa?”
“Kalian harus benar-benar bersiap. Kalian tidak boleh gagal lagi seperti hari ini. Berapa orang harus kau korbankan tanpa hasil apapun juga?”
“Tetapi para pengawal Tanah Perdikan juga menyusut. Banyak di antara mereka yang terbunuh di medan.”
“Bertanyalah kepada Ki Pringgareja. Apa yang telah terjadi dengan pasukannya,” berkata Ki Darpatenaya. ”Bertanyalah kepada dirimu sendiri. Apalagi seseorang telah memberitahukan kepadaku, bahwa ia telah melihat Srigunting Kuning di medan. Jika pada saat ini masih nampak Srigunting Kuning, tentu Srigunting Kuning yang putih. Bukan Srigunting Kuning yang hitam, meskipun ciri-cirinya hampir bersamaan.”
Ki Saba Lintang mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Pasukanku telah dikacaukan oleh seorang perempuan dengan ciri-ciri Srigunting Kuning.”
“Sementara itu Ki Lurah Agung Sedayu masih belum meningkatkan ilmunya sampai ke puncak. Orang-orangmu yang bodoh menjadi terkejut dan gemetar mendengar ledakan cambuk Ki Lurah, sebagaimana diceritakan oleh pengawalmu. Kebodohan itu telah membuat pasukanmu kacau.”
“Aku sudah memberitahukan, bahwa mereka tidak perlu takut mendengar ledakan cambuk Agung Sedayu yang bagaikan meruntuhkan perbukitan. Justru itu pertanda bahwa ia masih belum meningkatkan ilmunya sampai ke puncak.”
Namun seorang yang berkumis tipis berdesis, “Kami tidak menjadi gemetar karena ledakan cambuk yang bagaikan mengguncang langit itu. Justru karena kami tahu bahwa ledakan itu masih belum merupakan puncak ilmunya. Karena itu kami justru membayangkan, bahwa sebelum Ki Lurah sampai ke puncak ilmunya, getar cambuknya sudah mengguncang langit.”
“Kau memang dungu!” bentak Ki Darpatenaya, “Dalam puncak ilmunya cambuk itu tidak akan meledak-ledak lagi. Bahkan seakan-akan berdesis pun tidak.”
“Itulah yang kami cemaskan. Tanpa mendengar dan merasakan getar apapun juga, tahu-tahu leher kami sudah terkoyak dan bahkan nyaris putus.”
Ki Darpatenaya menggeram sambil menarik baju orang itu, “Getar itu akan dapat menghentikan jantungmu. Tetapi jika kau memang menjadi ketakutan, kau tidak usah pergi ke medan. Aku dapat membunuhmu sekarang. Dan kau akan terbebas dari perasaan takut itu.”
“Jangan!” pinta orang itu dengan tubuh gemetar, “Aku tidak bermaksud untuk menghindari pertempuran itu. Aku hanya ingin memperingatkan bahwa kita akan berhadapan dengan kekuatan yang sangat besar.”
“Aku sudah tahu. Ki Saba Lintang sudah tahu, semua orang sudah tahu.”
“Aku tahu bahwa aku tidak akan berhadapan dengan Agung Sedayu. Aku justru mencemaskan orang yang akan menjadi lawannya, jika ia akan mengerahkan puncak kemampuannya.”
“Setan kau! Kau kira peringatan yang kau berikan itu akan berarti?”
Orang itu tidak menjawab. Sementara Ki Darpatenaya melepaskan baju orang itu. Namun orang itu didorongnya hingga jatuh telentang.
Pertemuan itu akhirnya memutuskan bahwa pasukan Ki Saba Lintang tidak akan bergerak di keesokan harinya. Mereka harus menyusun kembali segala kekuatan yang ada. Jika mereka kemudian bergerak, maka mereka harus dapat menghancurkan pasukan Tanah Perdikan Menoreh.
“Kalian sudah tahu, seberapa besar kekuatan Tanah Perdikan. Aku kira Tanah Perdikan Menoreh sudah mengerahkan segenap kekuatannya, sehingga jika saatnya kita menyerang dengan mengerahkan segenap kekuatan, maka pertahanan Tanah Perdikan akan dapat kita pecahkan.”
Ki Saba Lintang mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita mempunyai waktu yang panjang untuk menyusun kembali kekuatan, esok pagi.”
“Semua orang harus pergi ke medan. Mereka yang berada di dapur, mereka yang ditugaskan untuk merawat orang-orang yang terluka, mereka yang mengurus perlengkapan dan semua orang. Setidak-tidaknya setelah tugas mereka masing-masing mereka selesaikan, maka mereka harus turun ke medan. Orang-orang yang datang bersamaku pun akan ikut turun ke medan pula.”
“Ya,” sahut Ki Saba Lintang, “aku mengerti. Mereka akan merupakan dukungan kekuatan yang cukup besar.”
“Jika serangan kita gagal lagi, maka kedudukan kita akan menjadi semakin sulit. Harapan kita menjadi semakin kabur.”
“Kita akan berhasil,” geram Ki Saba Lintang.
“Kita harus benar-benar bekerja keras. Kita harus mampu setidak-tidaknya menduduki sebagian besar wilayah Tanah Perdikan Menoreh. Selanjutnya, sebagian yang lain akan dengan mudah kita tundukkan. Apalagi jika kita dapat langsung menguasai padukuhan induk,” berkata Ki Darpatenaya.
Kesepakatan itu pun kemudian segera tersebar. Ketika para pemimpin pasukan kembali ke daerah tugas masing-masing, maka perintah untuk menunda serangan itu pun telah disampaikan kepada semua orang.
Karena itu, orang-orang yang masih saja dicekam oleh ketegangan perang itu sempat beristirahat. Mereka dapat tidur dengan nyenyak tanpa dikejar-kejar oleh waktu. Mereka tidak usah bangun menjelang fajar dan dengan tergesa-gesa makan sekenyang-kenyangnya sebelum memasuki gelar perang.
Suasana itu ternyata sempat ditangkap oleh para petugas sandi dari Tanah Perdikan Menoreh. Apalagi para petugas sandi dari barak Pasukan Khusus. Mereka memperkuat laporan sebelumnya, bahwa pasukan Ki Saba Lintang di semua medan tidak akan segera menyerang.
“Besok mereka tidak akan datang,” lapor salah seorang petugas sandi kepada Agung Sedayu.
“Kau yakin?” bertanya Agung Sedayu.
“Aku yakin,” jawab orang itu.
“Baiklah. Tetapi hal ini jangan disampaikan kepada para prajurit dan para pengawal. Biarlah mereka mempersiapkan diri. Jika ternyata serangan itu benar-benar tidak datang, mereka akan sempat beristirahat sehari semalam lagi.”
Petugas sandi itu mengangguk sambil menjawab, “Ya, Ki Lurah.”
Sebenarnyalah para prajurit dan pengawal Tanah Perdikan yang dipimpin oleh Agung Sedayu itu tidak diberi tahu, bahwa lawan tidak mempersiapkan serangan pada keesokan harinya.
Suasana yang sama telah ditangkap pula orang para petugas sandi di sisi selatan dan utara. Namun kebijaksanaan pimpinan pasukan ternyata tidak sama. Prastawa tidak merahasiakan laporan itu. Tetapi ia masih memerintahkan agar para prajurit dan pengawal bersiap-siap jika ada perubahan keadaan.
Demikian pula Ki Sura Panggah. Ki Sura Panggah juga membiarkan orang-orangnya mengetahui bahwa agaknya lawan akan menunda serangannya.
Sementara itu, baru ketika cahaya fajar mulai membayang di langit, serta tidak ada tanda-tanda serangan yang bakal datang, Agung Sedayu memastikan bahwa serangan lawan memang ditunda. Karena itu, ia pun telah memanggil para pemimpin kelompok yang telah bersiap-siap untuk memasuki gelar.
Namun ternyata Ki Sura Panggah telah mengambil satu langkah yang mengejutkan. Setelah berbicara dengan Glagah Putih dan Sabungsari agak lama, maka Ki Sura Panggah telah memerintahkan dua orang penghubung berkuda untuk menghadap Ki Gede.
Ki Gede memang agak terkejut. Ki Gede sudah mendapat laporan bahwa agaknya Ki Saba Lintang tidak menggerakkan pasukannya hari itu. Namun kedua orang penghubung itu telah membawa berita yang lain.
Hari itu Ki Sura Panggah telah mengambil langkah terpisah dari pasukan Tanah Perdikan yang lain, setelah berbicara dengan Glagah Putih dan Sabungsari.
Para prajurit dan pengawal yang berada di bawah pimpinan Ki Sura Panggah, yang merasa bahwa mereka akan dapat beristirahat cukup lama, memang agak ragu ketika mereka melihat para petugas di dapur tetap menyalakan api di dini hari.
Menjelang fajar, selagi mereka masih tidur nyenyak, Ki Sura Panggah, Glagah Putih dan Sabungsari telah memerintahkan kepada setiap pemimpin kelompok untuk bersiap.
“Apa yang akan terjadi?” bertanya salah seorang di antara mereka.
“Bersiaplah,” jawab Glagah Putih.
Sementara itu, Ki Gede yang menerima dua orang penghubung yang diperintahkan oleh Ki Sura Panggah, telah memerintahkan para penghubung yang ada di padukuhan induk untuk menghubungi Agung Sedayu dan Prastawa.
“Aku perintahkan kepada mereka untuk menyesuaikan diri.”
Demikianlah, sejenak kemudian Ki Sura Panggah justru membawa pasukannya merayap mendekati perkemaahan lawan yang telah dikoyaknya dalam pertempuran yang berlangsung di hari sebelumnya.
Pasukan yang masih belum sempat memperbaiki kedudukannya. Meskipun Ki Saba Lintang sudah mendapat laporan selengkapnya, namun Ki Saba Lintang masih belum sempat mempersiapkan pasukan yang telah dicerai-beraikan oleh pasukan Ki Sura Panggah itu.
“Gila!” geram salah seorang pengawal yang masih mengantuk, “Aku kira aku akan dapat beristirahat dan tidur sehari suntuk.”
“Kau memang pemalas,” sahut kawannya, “kita tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini.”
Kawannya tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk kecil.
Sebenarnyalah Ki Sura Panggah telah mengambil kebijaksanaan bersama Glagah Putih dan Sabungsari, justru menyerang perkemahan lawan. Mereka berpendapat, bahwa jika mereka menginjak kepala ular, sebaiknya sampai ular itu mati. Jika ular itu masih hidup, maka dendam ular itu tidak akan berkeputusan sepanjang umurnya.
“Jika mereka berkesempatan untuk menyusun diri esok, maka mereka akan menjadi sangat berbahaya,” berkata Glagah Putih.
“Ya. Karena itu, maka kita akan menginjak kepalanya sampai hancur, hari ini.”
Demikianlah, pasukan yang dipimpin Ki Sura Panggah, diperkuat oleh pasukan cadangan dari Pasukan Khusus yang memang sudah dipersiapkan, telah mendekati perkemahan lawan. Meskipun ada kelompok-kelompok yang berjaga-jaga, namun sebagian besar di antara mereka merasa mendapat kesempatan untuk beristirahat.
Ketika fajar membayang, pada saat Agung Sedayu mengumumkan kepada setiap pemimpin kelompok bahwa agaknya lawan tidak akan datang menyerang hari itu, pasukan Ki Sura Panggah sudah mendekati perkemahan lawan.
Pada saat itu pula Agung Sedayu menerima penghubung yang dikirim oleh Ki Gede, bahwa Ki Sura Panggah, Glagah Putih dan Sabungsari telah mengambil kebijaksanaan tersendiri,
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ia pun segera memanggil semua pemimpin kelompok. Pasukannya yang baru saja merasakan segarnya udara menjelang pagi hari, harus segera bersiap menghadapi segala kemungkinan.
“Mungkin Ki Saba Lintang mengambil sikap yang lain setelah ia mendapat laporan dari pasukannya yang berada di sisi selatan Tanah Perdikan ini,” berkata Agung Sedayu.
Dengan demikian maka seluruh kekuatan di dalam pasukan yang dipimpin Agung Sedayu itu telah bersiap. Agung Sedayu telah mengirimkan kelompok-kelompok khusus untuk mengamati keadaan, sementara beberapa orang petugas sandi harus mengamati kesiagaan lawan.
Yang tidak kalah sibuknya adalah Prastawa. Sambil memerintahkan penghubungnya memanggil semua pemimpin kelompok untuk mendapat penjelasan, ia pun berdesis, “Glagah Putih memang gila. Ini tentu gagasan Glagah Putih dan Sabungsari.”
Tetapi Prastawa memang mengagumi kelincahan gagasan anak muda sepupu Agung Sedayu itu. Meskipun Glagah Putih itu lebih muda dari Prastawa sendiri, namun Prastawa harus mengakui bahwa daya tanggap serta penalaran Glagah Putih jauh lebih tinggi daripadanya. Jika Prastawa bekerja keras dan bersungguh-sungguh, ia memerlukan waktu bertahun-tahun untuk mendekati tataran kemampuan Glagah Putih itu.
Dalam pada itu, pasukan yang dipimpin oleh Ki Sura Panggah itu sudah menjadi semakin dekat. Mereka bergerak sekelompok demi sekelompok untuk menghindari pengawasan lawan.
Namun sekelompok di antara mereka terkejut ketika tiba-tiba saja di hadapan mereka muncul empat orang yang nampaknya sedang meronda.
Pemimpin kelompok itu pun bertindak dengan cepat. Dengan isyarat ia memerintahkan anak buahnya untuk menyergap peronda itu.
Dalam keadaan yang paling gawat di medan perang, kelompok itu tidak mempunyai pilihan lain. Mereka pun serentak mengacukan senjata-senjata mereka.
Tiga orang di antara para peronda itu tidak mampu mengelakkan serangan itu. Dalam keadaan luka yang cukup parah, ketiganya menjadi tidak berdaya sama sekali. Namun seorang di antara mereka berhasil melarikan diri.
“Setan!” geram pemimpin kelompok itu. Lalu katanya kepada seorang anak buahnya, “Berikan laporan kepada Ki Sura Panggah! Bukankah kau tahu kedudukannya?”
Orang itu tidak bertanya lebih lanjut. Ia pun segera berlari menemui Ki Sura Panggah.
Ketika ia mendengar laporan bahwa salah satu kelompoknya telah dilihat oleh para peronda, dan bahkan seorang di antara peronda itu berhasil lolos, maka Ki Sura Panggah itu pun segera mengambil sikap.
“Kembalilah ke kelompokmu!”
Demikian orang itu berlari kembali ke kelompoknya, maka Ki Sura Panggah pun memerintahkan seorang penghubung yang menyertainya untuk melontarkan anak panah sendaren.
Hampir tepat pada saat matahari terbit, terdengar tiga buah anak panah sendaren meraung di udara, berturut-turut menuju ke tiga penjuru.
Para prajurit dan pengawal yang ada di dalam pasukan yang dipimpin oleh Ki Sura Panggah itu memang agak terkejut. Perintah itu mereka rasakan datang terlalu cepat.
Namun mereka pun menyadari, bahwa agaknya Ki Sura Panggah telah menjumpai peristiwa yang darurat.
Sejenak kemudian, kelompok-kelompok yang menyebar itu telah berlari-larian menyergap pasukan yang dipimpin oleh Ki Pringgareja.
Ki Pringgareja sendiri terkejut ketika seorang anak buahnya datang berlari-lari dengan wajah yang pucat diantar oleh dua orang pengawalnya.
“Ada apa?” bertanya Ki Pringgareja.
“Ki Lurah. Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh datang menyerang.”
“Jangan mengigau!” berkata Ki Pringgareja.
“Aku sedang meronda ketika aku melihat sekelompok di antara mereka.”
Wajah Ki Pringgareja menjadi tegang. Apalagi ketika kemudian datang lagi beberapa orang dari arah yang berbeda.
“Kami mendengar anak panah sendaren di udara.”
“Bunyikan isyarat! Cepat!” perintah Ki Pringgareja, “Orang-orang Tanah Perdikan memang gila.”
Sejenak kemudian, perkemahan Ki Pringgareja itu telah dipenuhi oleh suara kentongan-kentongan kecil dalam irama titir.
Isyarat itu memang sangat mengejutkan. Justru pada saat orang-orang di perkemahan itu merasa mendapat kesempatan untuk beristirahat. Hari itu mereka memperhitungkan akan mendapat kekuatan baru yang cukup untuk menghancurkan pertahanan Tanah Perdikan di sisi selatan itu. Namun tiba-tiba mereka menghadapi serangan yang tidak diduga.
Dengan tergesa-gesa setiap orang di dalam perkemahan itu pun segera bersiap. Tidak hanya mereka yang ditunjuk untuk ikut serta dalam serangan yang sudah mereka lakukan atau yang akan mereka lakukan kemudian. Tetapi setiap orang, termasuk mereka yang bertugas di dapur, menjaga persediaan bahan pangan, serta mereka yang mengurus segala macam perlengkapan.
Ki Pringgareja sendiri telah meneriakkan aba-aba bagi pasukannya yang terkejut itu. Ia tidak sempat mengumpulkan para pemimpin kelompok untuk memberikan perintah-perintahnya. Namun perintah itu telah diteriakkannya langsung. Para pemimpin kelompok yang mendengarnya telah mengulangi perintah itu, sehingga akhirnya di dengar oleh setiap orang di dalam pasukannya
Ki Pringgareja yang berpengalaman itu tahu pasti, bahwa serangan yang datang seperti dilakukan oleh pasukan Tanah Perdikan itu tentu tidak sekedar dari satu jurusan. Karena itu, maka Ki Pringgareja pun telah memperingatkan pasukannya agar berhati-hati.
“Jangan kehilangan akal! Lihat, darimana saja datangnya serangan.”
Pasukan Ki Pringgareja memang terdiri dari orang-orang yang berpengalaman. Setelah pasukan mereka pecah dalam perang di hari sebelumnya, mereka mendapat gambaran kekuatan dan kemampuan lawan, sehingga karena itu maka mereka pun menyadari bahwa mereka harus bertempur habis-habisan dengan persiapan yang kurang memadai. Namun karena mereka berada di perkemahan, maka jumlah mereka akan menjadi lebih banyak, karena setiap orang dapat mereka kerahkan.
Sejenak kemudian, orang-orang yang. berada di perkemahan itu pun telah berloncatan menyongsong serangan yang datang seperti banjir bandang.
Dalam pada itu, Ki Gede telah mengirimkan beberapa orang penghubung untuk memantau pertempuran yang akan terjadi di sisi selatan Tanah Perdikan Menoreh itu. Setiap saat yang dianggap penting, mereka harus memberikan laporan, agar Ki Gede dapat mengambil tindakan secepatnya jika diperlukan.
Namun ternyata bahwa Agung Sedayu pun menaruh perhatian khusus terhadap sikap Ki Sura Panggah, yang tentu sudah dibicarakan dengan Glagah Putih dan Sabungsari. Selain mengirimkan dua orang penghubung berkuda ke selatan, Agung Sedayu pun mengirimkan beberapa petugas sandi untuk mengawasi, apakah ada gerak pasukan Ki Saba Lintang. Mungkin Ki Saba Lintang akan menyerang pertahanan Agung Sedayu dengan tiba-tiba pula. Tetapi mungkin juga Ki Saba Lintang mengirimkan pasukannya ke selatan, untuk membantu pasukannya yang diserang dengan tiba-tiba oleh Ki Sura Panggah.
Sebenarnyalah Ki Saba Lintang ingin mengirimkan pasukannya untuk membantu Ki Sura Panggah. Tetapi Ki Darpatenaya telah mencegahnya. Katanya, “Biarlah Pringgareja bertempur habis-habisan. Seandainya pasukannya dilumatkan oleh orang-orang Tanah Perdikan, namun orang-orang Tanah Perdikan yang menghadapinya tentu akan menjadi parah pula. Besok kita akan membalas. Kita persiapkan pasukan kita sebaik-baiknya. Kita akan melumatkan pertahanan pasukan Tanah Perdikan yang ada di hadapan kita dan pasukan Tanah Perdikan yang ada di bagian utara, yang akan menghadapi pasukan Sima Sikara.”
Ternyata Ki Saba Lintang sependapat. Diurungkannya niatnya untuk membantu Ki Pringgareja. Ki Saba Lintang hanya mengirimkan dua orang penghubung untuk mengikuti penghubung yang dikirim Ki Pringgareja, untuk memberikan laporan tentang keadaan pasukannya di sisi selatan itu.
Sementara itu, pasukan yang dipimpin oleh Ki Sura Panggah telah berbenturan dengan pasukan Ki Pringgareja. Benturan yang keras antara dua pasukan yang terdiri dari orang-orang yang telah mempunyai pengalaman yang luas itu, telah menyalakan api pertempuran yang sangat seru.
Pasukan Ki Pringgareja yang telah mengalami kesulitan dalam pertempuran sebelumnya itu, menjadi lebih berhati-hati. Tetapi dendam yang menyala di jantung mereka telah membuat mereka semakin geram. Sementara itu, semua orang yang ada di perkemahan itu telah dikerahkan pula. Mereka tinggalkan tugas-tugas mereka yang lain. Tugas mereka di dapur, tugas mereka mengurusi perbekalan, tugas mereka memelihara peralatan dan senjata, serta tugas-tugas mereka yang lain. Semua orang telah turun ke medan pertempuran melawan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.
Ki Pringgareja sendiri segera turun ke medan pertempuran. Ia sama sekali tidak mengekang diri lagi. Senjatanya berputaran dengan garangnya.
Namun Ki Sura Panggah tidak membiarkan orang-orangnya dicerai-beraikan oleh Ki Pringgareja Dengan tangkasnya Ki Sura Panggah pun kemudian telah bersiap untuk menghadapinya
Sejenak kemudian, keduanya pun telah berhadapan. Dengan geram Ki Pringgareja pun berkata, “Jadi inikah sifat dan watak para pengawal Tanah Perdikan Menoreh?”
“Kenapa?” bertanya Ki Sura Panggah.
“Kalian hanya berani merunduk. Kenapa kalian tidak berani beradu dada?”
“Jadi, apakah yang telah kami lakukan? Bukankah pasukan kita telah berbenturan? Apalagi?”
“Tetapi hari ini seharusnya tidak ada pertempuran. Kau tahu bahwa kami berniat beristirahat hari ini. Justru kalian telah merunduk dan menikam kami dengan diam-diam.”
“Siapa yang menentukan, apakah hari ini akan ada pertempuran atau tidak?”
“Kami sengaja tidak menyerang hari ini,” sahut Ki Pringgareja
“Apakah hanya kau yang berhak menyerang, sedangkan pasukan Tanah Perdikan hanya dapat bertahan?”
“Kami-lah yang datang menyerang Tanah Perdikan Menoreh.”
“Kau memang lucu, Ki Sanak. Tetapi apapun namanya, kami telah datang menyerang. Ketika kami mempersiapkan diri di medan, kami tidak menjumpai lawan kami. Karena itu maka kami telah mencarinya, dan menemukan kalian di sini”
“Tetapi kau akan menyesal bahwa kau telah masuk ke dalam sarang serigala. Kau dan orang-orangmu akan dicincang habis di sini.”
Ki Sura Panggah mulai memutar senjatanya. Katanya, “Jangan takabur, Ki Sanak. Aku datang dengan pasukan yang berpengalaman. Karena itu, kita akan melihat siapakah yang akan memenangkan pertempuran ini.’
Ki Pringgareja tidak menunggu lebih lama lagi. Senjatanya pun segera terayun mendatar menggapai dada Ki Sura Panggah.
Namun Ki Sura Panggah telah bersiap sepenuhnya. Karena itu, maka dengan cepat ia pun meloncat mengelakkan serangan itu. Bahkan senjatanya-lah yang kemudian terjulur ke arah jantung.
Demikianlah, keduanya pun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit Demikian pula setiap orang dalam kedua pasukan yang sedang bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuan mereka itu.
Orang-orang yang berada di dalam pasukan Ki Pringgareja adalah orang-orang yang mendendam. Bukan sekedar kekalahan mereka di hari sebelumnya. Bukan pula karena mereka telah disergap justru saat mereka sedang teristirahat. Tetapi mereka mendendam sejak mereka berangkat ke perkemahan mereka. Bahkan sebelumnya, orang-orang yang bergabung dalam pasukan Ki Saba Lintang sebagian besar memang orang-orang yang melihat satu kemungkinan yang terbuka dengan memanfaatkan orang-orang yang mendendam itu.
Karena itu, maka orang-orang yang berada di dalam pasukan Ki Pringgareja, apakah ia bekas seorang prajurit, atau seorang yang berasal dari sebuah perguruan, atau bahkan bekas para perampok sekalipun, telah bertempur habis-habisan. Mereka memang berniat untuk menghancurkan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Namun ada pula di antara mereka yang sama sekali tidak mengerti, kenapa mereka harus berperang. Namun orang-orang yang demikian, sebenarnyalah orang-orang yang melihat secercah harapan, meskipun mereka tidak tahu pasti apa yang ada di seberang pertempuran yang besar itu, apabila mereka dapat memenangkannya.
Namun lawan dari mereka yang mendendam itu adalah para prajurit dari Pasukan Khusus, meskipun mereka tidak mempergunakan ciri-ciri dan kelengkapan seorang prajurit. Demikian pula para prajurit yang datang dari Ganjur. Sebagian lagi adalah para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang terbaik, karena mereka harus dapat mengimbangi para prajurit.
Dengan demikian, maka pertempuran itu benar-benar merupakan pertempuran yang sengit. Setelah sehari sebelumnya mereka sempat bertempur, maka seakan-akan mereka telah melakukan penjajagan.
Ki Pringgareja harus mengerahkan kemampuannya untuk mengimbangi Ki Sura Panggah. Senjata mereka pun terayun-ayun menggetarkan. Sekali-kali Ki Pringgareja sempat mendesak Ki Sura Panggah beberapa langkah, sehingga seakan-akan Ki Pringgareja telah menguasai lawannya. Namun sejenak kemudian, yang terjadi adalah sebaliknya. Ki Pringgareja harus berloncatan surut menghindari serangan-serangan Ki Sura Panggah yang datang membadai.
Sementara itu, pertempuran menebar ke daerah yang luas. Kelompok demi kelompok saling berhadapan, seorang dengan seorang. Kadang-kadang mereka harus berkejaran dan saling memburu. Namun mungkin mereka justru terperosok ke sekelompok lawan yang sedang bergeser.
Sabungsari yang menyadari keadaan pertempuran itu pun telah meninggalkan ikatannya. Ia sadar bahwa sehari sebelumnya ia telah bertemu dengan seorang yang berilmu tinggi, yang mengaku bernama Ki Setra Puguh. Jika orang itu masih berkeliaran di medan, maka ia merupakan orang yang sangat berbahaya bagi prajurit dan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Mereka harus melawan orang itu dalam kelompok-kelompok. Tetapi jika orang itu diikuti oleh beberapa orang dari pasukan Ki Pringgareja itu, maka kelompok-kelompok itu akan segera mengalami kesulitan.
Karena itu, maka Sabungsari pun segera berloncatan di sela-sela pertempuran yang menjadi semakin sengit.
Sebenarnyalah bahwa orang yang menyebut diri Ki Setra Puguh itu masih ada di antara pasukan yang dipimpin oleh Ki Pringgareja. Orang yang agaknya memiliki ilmu yang tinggi itu sedang bertempur dengan garangnya. Sambil berloncatan, Ki Setra Puguh telah mengayun-ayunkan senjatanya. Setiap kali seorang telah terlempar dari arena pertempuran.
Sabungsari tidak menunggu lebih lama lagi. Ia tidak mau melihat korban yang bertambah-tambah oleh ujung senjata Ki Setra Puguh. Sebilah keris yang besar, yang disebutnya sebagai keris pusaka itu.
Karena itu, Sabungsari pun segera berloncatan mendekati orang yang sedang mengayun-ayunkan kerisnya itu.
Ki Setra Puguh terkejut melihat seseorang dengan tiba-tiba saja telah berdiri di hadapannya, sambil berkata kepada kawan-kawannya, “Minggirlah! Biarlah aku yang menghadapinya.”
Sekelompok lawan Ki Setra Puguh pun segera menyibak. Namun mereka pun segera telah terlibat dalam pertempuran melawan orang yang telah menyerang mereka dengan serta-merta.
Ki Setra Puguh memandang Sabungsari dengan tajamnya. Dari matanya seakan-akan telah memancar api kemarahan yang menyala di dadanya.
“Kau datang lagi, Ki Sanak.”
“Ya. Kita harus menyelesaikan pertempuran di antara kita. Kenapa kemarin kau meninggalkan gelanggang?”
“Aku tidak bertempur sendiri di medan ini. Aku berada di medan di bawah pimpinan seseorang. Jika orang itu memerintahkan pasukan untuk meninggalkan medan, maka aku tidak dapat berbuat lain. Jika aku tidak pergi, maka keadaan akan sangat berbahaya bagiku. Aku akan dapat meng-hadapi seluruh pasukan Tanah Perdikan Menoreh”
“Karena itu, aku datang menemuimu di sini. Kita akan menuntaskan pertempuran itu.”
“Sudah aku katakan. Aku terikat pada seorang pemimpin. Aku dapat mengerti jika kau tinggalkan medan ini, seandainya pimpinanmu memberikan perintah.”
Sabungsari mengangguk sambil menjawab, “Kau benar, Ki Setra Puguh. Marilah kita sekarang mencoba untuk menyelesaikan pertempuran di antara kita.”
Ki Setra Puguh mengangguk kecil sambil menjawab, “Kau memang terlalu sombong. Baiklah. Kali ini kerisku akan menghisap darah orang berilmu tinggi dari Tanah Perdikan Menoreh.”
Sabungsari tidak menjawab. Tetapi ia sudah mempersiapkan pedangnya untuk melawan keris Ki Setra Puguh yang besar, lebih besar dari keris kebanyakan.
Ki Setra Puguh pun kemudian telah mengacungkan kerisnya. Sambil bergeser ia mulai menggerakkan kerisnya yang disebutnya keris pusaka, yang diyakininya akan dapat membunuh lawannya itu.
Tetapi Sabungsari pun telah memutar pedangnya pula.
Ketika Ki Setra Puguh itu meloncat sambil mengayunkan kerisnya, maka Sabungsari telah meloncat ke samping sambil menjulurkan pedangnya ke arah dada.
Ki Setra Puguh dengan kekuatan yang sangat besar telah membenturkan kerisnya. Demikian kerasnya, sehingga terasa tangan Sabungsari menjadi panas.
Sabungsari menarik pedangnya. Menggeliat, kemudian menebas mendatar. Namun Ki Setra Puguh dengan cepat mengelak.
Tetapi benturan yang telah terjadi telah memperingatkan Sabungsari, bahwa lawannya memang seorang yang bukan saja berilmu tinggi, tetapi mempunyai tenaga yang sangat besar.
Pertempuran selanjutnya adalah pertempuran yang sangat seru. Ternyata Ki Setra Puguh sempat menjadi heran, bahwa lawannya yang masih terhitung muda itu masih mampu bertahan. Meskipun Ki Setra Puguh telah meningkatkan ilmunya lebih tinggi, namun ia masih belum berhasil mendesak Sabungsari.
Ternyata Sabungsari memiliki banyak kelebihan dari para pengawal yang lain. Meskipun mereka bertempur seorang melawan seorang, tetapi orang yang terhitung masih muda itu tidak segera terlempar dari medan dengan luka yang menganga di dadanya. Semakin lama bahkan semakin meyakinkan Ki Setra Puguh, bahwa lawannya itu mampu mengimbangi kemampuannya.
Dengan demikian Ki Setra Puguh telah semakin meningkatkan ilmunya. Serangan-serangannya pun menjadi semakin cepat dan semakin garang. Namun perlawanan Sabungsari pun semakin menggelisahkannya pula.
Dalam pada itu, pertempuran masih berlangsung di mana-mana. Tersebar dan berpencar. Tetapi sergapan yang mengejutkan itu telah mempengaruhi perlawanan orang-orang di dalam pasukan Ki Pringgareja, yang sama sekali tidak menduga bahwa justru serangan datang pagi itu, pada saat mereka merasa mendapat kesempatan untuk beristirahat.
Di bagian lain, Glagah Putih benar-benar tidak terlawan. Meskipun Glagah Putih masih belum mempergunakan ikat pinggangnya, namun lawan-lawannya tidak sempat bertempur lebih dari sepenginang. Bahkan kelompok-kelompok yang menghadapinya tidak mampu menghentikannya. Apalagi para pengawal di sekitar Glagah Putih tidak membiarkan Glagah Putih menghadapi lawan terlalu banyak.
Namun di lingkaran pertempuran lain, tidak jauh dari perkemahan pasukan Ki Pringgareja itu, telah turun tiga orang yang bertubuh pendek. Bulu-bulu kulitnya seakan-akan lebih lebat dari bulu-bulu kulit orang kebanyakan.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ketiga orang itu belum dilihatnya dalam pertempuran sebelumnya.
Sebenarnyalah ketiga orang itu memang baru datang. Seorang di antara mereka pun berteriak, “He, apa yang terjadi? Di mana Ki Pringgareja?”
Terdengar seorang yang menyahut, “Ki Pringgareja ada di medan sebelah kanan! Orang-orang Tanah Perdikan telah menyerang perkemahan kami dengan licik!”
“Setan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh! Kenapa tidak seorang pun yang memberitahukan kepadaku?”
“Sudah dikirim laporan ke induk pasukan di bawah pimpinan Ki Saba Lintang!”
“Aku belum bertemu Saba Lintang sejak sepekan yang lalu. Aku datang ke Krendetan pagi tadi, dan aku mendapat laporan bahwa kalian ada di sini.”
Tidak ada lagi yang menjawab. Pertempuran pun berlangsung semakin sengit.
Ketiga orang itu termangu-mangu sejenak. Namun seorang di antara mereka berteriak, “Edan orang-orang Tanah Perdikan! Kita akan membantai mereka sampai orang yang terakhir.”
Tetapi sebelum mereka berloncatan ke medan, Glagah Putih telah mendekati mereka sambil berkata, “Jika kalian memang tidak terlibat, sebaiknya kalian tidak melibatkan diri.”
“Siapa kau, he?”
“Aku salah seorang pengawal Tanah Perdikan.”
“Berani benar kau menemui kami yang masih berkumpul genap tiga orang.”
“Kenapa?” bertanya Glagah Putih, “Kelompok-kelompok yang ada di medan ini juga ada yang terdiri dari tiga orang.”
“Kau belum mengenal kami?”
Glagah Putih menggeleng. Tetapi ia pun kemudian berkata, “Kau belum mengenal aku pula.”
Wajah ketiga orang itu menjadi tegang. Namun seorang di antara mereka berkata, “Siapa yang akan mengenal namamu? Nama pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Namamu sama sekali tidak berarti bagi dunia kanuragan.”
“Apakah namamu cukup berarti?” bertanya Glagah Putih.
“Setan kau!” geram yang lain, “Dengar! Kami-lah yang disebut Rewanda Lantip. Sebutan yang sebenarnya membuat telingaku merah. Tetapi kami tidak berkeberatan disebut tiga ekor kera berotak tajam, meskipun sebenarnya kami mempunyai nama kami masing-masing. Namun sebutan Rewanda Lantip membuat setiap orang menjadi ketakutan.”
“Oh. Jadi kalian-lah yang disebut Rewanda Lantip?”
“Nah, bukankah kau sudah pernah mendengar nama itu?”
Tetapi Glagah Putih menggeleng. Katanya, “Belum. Baru kali ini aku mendengar sebutan itu.”
“Setan kau!” geram salah seorang dari mereka, “Sekarang kau mau apa? Apakah kau ingin membunuh diri?”
“Tidak,” jawab Glagah Putih, “aku sama sekali tidak ingin membunuh diri. Tetapi aku ingin membunuh kalian.”
Tiga orang itu tiba-tiba saja telah saling mengambil jarak. Mulut mereka menyeringai, menunjukkan gigi mereka yang besar dan agaknya sangat kuat.
“Kau akan mati. Tubuhmu akan tersayat-sayat. Kau tidak akan dapat dikenali lagi.”
Glagah Putih memandang ketiga orang itu berganti-ganti. Wajah mereka memang nampak mengerikan.
Namun Glagah Putih pun kemudian telah mempersiapkan diri. Ia sadar bahwa ia akan berhadapan dengan tiga orang yang mirip yang satu dengan yang lain. Mirip dalam bentuk mereka yang agak khusus.
Ujud ketiga orang itu agaknya telah sangat menarik perhatian Glagah Putih, sehingga ketika orang-orang itu mulai bergeser, Glagah Putih justru bertanya, “Kenapa ujud kalian hampir sama? Padahal ujud kalian agak berbeda dengan kebanyakan orang.”
“Iblis kau!” geram yang berdiri di tengah, “Tetapi sebelum mati, kau boleh mengetahui, bahwa kami adalah tiga orang yang lahir sebagai kembar tiga. Tubuh kami memang lebih kecil dari kebanyakan orang, sejak kami dilahirkan. Tetapi jika kau berani bertanya tentang bulu-bulu tubuh kami yang lebat, maka mulutmu akan kukoyakkan.”
Glagah Putih justru tertawa Katanya, “Kau memang aneh. Kau sendiri-lah yang mengatakan tentang bulu-bulumu yang lebat. Aku sama sekali tidak ingin bertanya, karena aku tahu bahwa hal tidak akan kau kehendaki. Tetapi sebenarnyalah kelebatan bulu-bulu kalian masih dalam batas wajar. Tetanggaku juga ada yang memiliki bulu-bulu selebat bulu-bulu kalian. Bahkan lebih dari itu.”
“Persetan!” geram orang yang disebut Rewanda Lantip itu.
Glagah Putih itu sudah akan bertanya lagi, tetapi seorang di antara lawan-lawannya itu sudah mulai menyerangnya. Tangannya terjulur mencoba menggapai wajah Glagah Putih. Namun Glagah Putih sempat bergeser ke samping, sehingga tangan orang itu tidak menyentuhnya.
Namun seorang yang lain dengan cepat telah meloncat dengan cepatnya sambil menjulurkan tangannya menerkam lehernya.
Glagah Putih meloncat mundur. Tata gerak ketiga orang itu memang agak lain. Mirip dengan gerak tangan seekor kera, sementara keduanya kakinya agak merendah.
Glagah Putih memang harus berhati-hati. Ia sudah pernah mengenal unsur-unsur gerak yang mirip dengan gerak seekor kera. Namun gerak itu bukan sekedar gerak-gerak naluriah. Orang-orang itu tentu menguasai unsur-unsur gerak itu dengan perhitungan yang mapan sebagai unsur gerak oleh kanuragan.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian ketiga orang yang disebut Rewanda Lantip itu pun segera menyerang berganti-ganti. Namun kadang-kadang ketiganya menyerang bersama-sama dari tiga arah.
Tetapi Glagah Putih bergerak dengan cepat pula. Pedangnya berputaran. Sekali terayun dengan cepatnya. Namun kemudian sambil meloncat ke samping, Glagah Putih menjulurkan pedangnya. Tetapi ketika serangan kemudian datang dari depan, maka Glagah Putih pun telah menebas ke arah leher lawannya.