Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 257

Buku 257

Ki Gede memperhatikan laporan Agung Sedayu, Ki Demang dan penunjuk jalan itu dengan seksama. Setiap yang mereka katakan telah diperhatikan dan dibayangkan oleh Ki Gede Menoreh di angan-angannya. Jalan yang rumpil dan miring. Kemudian lorong sempit, tanah persawahan yang bersusun, dan padang perdu yang terbuka.

Dibayangkan pula jalan yang lebih lebar, naik turun dibatasi oleh tanah miring berbatu padas dan tebing yang rendah. Pasukan yang menunggu di celah-celah batu padas dan di bawah tebing yang rendah itu. Sementara itu, beberapa orang berada di sisi yang miring itu dengan bongkahan-bongkahan batu padas yang siap dilunncurkan, menimpa sepasukan pengawal yang sedang menggiring tawanan menyusuri jalan yang sulit di bawahnya karena tanah yang tidak rata. Pedati-pedati yang merayap seperti siput. Sekali-sekali rodanya terperosok, sehingga beberapa orang harus membantu mendorongnya.

Agung Sedayu, Ki Demang Selagilang dan penunjuk jalan itu berhasil memberikan gambaran yang tepat kepada Ki Gede Menoreh tentang dua jalur yang dapat mereka tempuh.

“Kami tidak mengganggu persiapan mereka Ki Gede,“ berkata Agung Sedayu, “dengan demikian maka Ki Gede Kebo Lungit tidak mengetahui bahwa kita sudah melihat persiapan mereka untuk menghadang perjalanan kita.“

Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia bertanya. “Apakah kalian telah mendapatkan keputusan, jalan manakah yang lebih baik kita tempuh dalam perjalanan kembali ke Madiun?“

Agung Sedayu menjawab, “Kami belum dapat mengambil keputusan Ki Gede. Segala sesuatunya terserah kepada Ki Gede.“

“Aku mengerti. Tetapi bukankah kalian dapat memberikan pertimbangan kepadaku, sebaiknya kita menempuh jalan yang mana,“ sahut Ki Gede.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ki Gede. Menurut pertimbangan kami, sebaiknya kita menempuh jalan yang pertama. Kita akan melalui jalan yang rumit, tetapi hanya sedikit. Kemudian kita akan sampai ke daerah persawahan dan padang perdu yang terbuka. Di tempat itu, kita akan mendapat kesempatan yang sama dengan lawan jika mereka datang menyerang. Meskipun di daerah persawahan sekalipun, yang tanahnya bersusun. Tetapi kita tidak akan terjebak di satu bagian jalan yang seakan-akan dapat dipotong di kedua ujungnya oleh dua buah tikungan, sementara sisi-sisi jalan membatasi gerak pasukan kita. Sisi yang miring berbatu-batu padas dan di sisi lain tebing, yang meskipun rendah tetapi cukup curam. Namun di jalan yang pertama kita tidak akan dapat membawa pedati-pedati yang ditarik lembu. Tetapi kita dapat mempergunakan kuda-kuda beban untuk membawa barang-barang terpenting kita.“

Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Sejenak ia berpikir, namun kemudian katanya, “Aku sependapat dengan jalan pikiranmu. Kita akan menempuh jalur jalan pertama. Tetapi usahakan agar para tawanan dapat melewati daerah yang rumpil itu dalam keadaan mereka sebagai tawanan. Kemudian bagaimana dengan mereka yang terluka parah sehingga tidak dapat berjalan sendiri? Apakah mungkin orang-orang yang membawa tandu dapat lewat?“

“Ya Ki Gede,“ jawab Agung Sedayu, “ketika kami melihat-lihat tempat itu, maka kami berpendapat bahwa orang-orang yang membawa tandu akan dapat lewat meskipun agak sulit. Tetapi tidak akan terlalu berbahaya.“

“Baiklah,“ berkata Ki Gede, “yang penting adalah bahwa kita tidak akan terjebak dalam kesulitan tanpa dapat berbuat apa-apa. Jika kita disergap di sepotong jalan yang mampu di sumbat di kedua ujung pangkalnya, maka kita akan tidak berdaya menyaksikan kawan-kawan kita dibantai oleh lawan, termasuk para tawanan kita yang akan dipersenjatai.“

“Ya Ki Gede. Sementara itu di jalan yang lain, kita akan mendapat kesempatan yang sama dengan orang-orang yang akan menyergap kita,“ sahut Agung Sedayu.

“Apapun yang terjadi, bahkan seandainya seluruh pasukan kita hancur sekalipun, asal kita mendapat kesempatan untuk mengadakan perlawanan dan mampu berbuat sebagaimana lawan melakukannya. Berbeda dengan jika kita harus berlari-larian dan mencari perlindungan jika gumpalan-gumpalan batu padas menimpa kepala kita,“ gumam Ki Gede.

Dengan demikian, maka sudah jelas bagi Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang, apa yang harus mereka lakukan. Persiapan serta pengarahan bagi mereka yang akan membenahi barang-barang yang akan mereka bawa.

Tetapi Agung Sedayu dan Ki Demang, sependapat, bahwa mereka harus mengaburkan perhitungan lawan dengan mempersiapkan pedati-pedati yang seakan-akan mereka bawa ke Madiun.

“Orang-orang yang mengawasi padepokan ini harus mendapatkan kesimpulan yang keliru,“ berkata Agung Sedayu.

Dengan keputusan itu, maka segala persiapan dilakukan. Tetapi orang-orang yang ada di padepokan itu sendiri masih belum tahu, jalan manakah yang akan mereka pilih dengan pasti di saat terakhir, meskipun mereka dapat menduga-duga justru karena persiapan yang mereka lakukan, sesuai dengan pengarahan para pemimpinnya.

Ki Gede Menoreh setelah berbicara dengan Ki Demang Selagilang dan Agung Sedayu, telah memutuskan untuk meninggalkan padepokan itu dua hari kemudian.

Waktu yang ditentukan oleh Ki Gede Menoreh memang batas yang memungkinkan. Lebih dari dua hari lagi, maka pasukan pengawal di padepokan itu akan mengalami kekurangan perbekalan. Meskipun masih ada beberapa jenis tanaman yang dapat mereka ambil, namun perbekalan yang ada sudah tidak memenuhi syarat lagi.

Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang telah membuat rencana yang lebih terperinci dari penarikan pasukan itu untuk kembali ke Madiun dengan membawa para tawanan. Meskipun mereka tidak berhasil menangkap Ki Gede Kebo Lungit, namun tugas mereka untuk menghancurkan kekuatan yang akan dapat membahayakan Madiun telah dapat mereka selesikan dengan baik.

Sesuai dengan perintah Ki Gede Menoreh, maka pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu akan meninggalkan padepokan itu menjelang fajar dua hari lagi. Mereka akan menempuh jalan yang diharapkan tidak diduga oleh Ki Gede Kebo Lungit.

Ki Gede Menoreh memang berusaha untuk menghindari pertempuran, lebih-lebih lagi jebakan, di saat mereka kembali ke Madiun. Korban telah cukup banyak. Namun jika saat-saat pasukan Ki Gede Kebo Lungit dengan bantuan gerombolan yang manapun juga mengganggu perjalanan mereka, maka sudah tentu pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu tidak akan mengelak.

Di sisa hari sebelum mereka berangkat, maka segala persiapan telah dilakukan. Beberapa perlengkapan yang tidak diperlukan telah dimasukkan ke dalam pedati yang tidak akan mereka bawa. Agung Sedayu yang memiliki jangkauan pandangan dan pendengaran yang sangat jauh, mengetahui bahwa dua orang telah berusaha melihat persiapan pasukan pengawal itu. Namun Agung Sedayu dengan sengaja membiarkan mereka. Mereka tentu memperhitungkan bahwa pasukan itu akan tetap menempuh jalan yang mereka persiapkan sebagai jebakan itu, jika mereka melihat pedati-pedati pun telah dikemasi.

Sebenarnyalah Ki Gede Kebo Lungit sama sekali tidak menduga bahwa pasukan pengawal yang menduduki padepokannya akan mengambil jalan lain. Ki Gede Kebo Lungit bahkan telah memerintahkan untuk menambah batu-batu padas yang siap untuk diluncurkan.

Ketika malam tiba, maka Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang telah memerintahkan pasukannya untuk beristirahat sebanyak-banyaknya. Kecuali yang bertugas, sejak senja lewat, semuanya harus tidur. Besok mereka akan menempuh perjalanan panjang yang mungkin akan memerlukan tenaga yang sangat besar. Sedangkan yang bertuga spun harus memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk beristirahat, jika pengganti mereka sudah siap.

Sementara itu Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang bersama penunjuk jalan itu telah sekali lagi melihat jalan yang akan mereka lewati besok.

Ternyata tidak ada tanda-tanda yang akan dapat menyulitkan perjalanan mereka, sehingga mereka tidak perlu merubah rencana perjalanan mereka.

Lewat tengah malam Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang serta penunjuk jalan itu telah berada di padepokan. Mereka pun memerlukan mempergunakan waktu yang ada untuk beristirahat.

Glagah Putih yang sempat mendekati Agung Sedayu mendapat banyak keterangan tentang jalan yang akan mereka lalui besok.

“Sekarang beristirahatlah,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “aku pun akan beristirahat pula. Besok kita akan menempuh perjalanan yang berat.“

Glagah Putih mengangguk-angguk. Iapun kemudian telah pergi ke bangunan induk padepokan itu dan tidur di ruang depan di dalam bangunan induk itu. Beberapa pengawal bertugas menjaga bangunan induk itu dengan ketat di luar. Banyak kemungkinan dapat terjadi. Apalagi di bangunan induk itu beristirahat Ki Gede Menoreh, yang meskipun sudah baik, tetapi tentu belum pulih kembali.

Ternyata malam itu tidak terjadi sesuatu. Di dini hari, padepokan itu telah menjadi sibuk. Para pengawal yang akan menempuh perjalanan harus makan dan minum secukupnya. Bahkan para petugas telah berusaha untuk membawa makanan yang telah masak untuk bekal di perjalanan.

Ketika semuanya sudah siap, maka Agung Sedayu berusaha untuk menghilangkan jejak. Bersama beberapa orang ia melihat-lihat keadaan di sekeliling padepokan. Ternyata Agung Sedayu sempat mengusir dua orang pengawas yang dikirim oleh Ki Gede Kebo Lungit.

Namun nampaknya kedua orang itu sudah merasa puas dengan pengamatannya. Mereka menganggap bahwa pasukan pengawal di padepokan itu akan segera meninggalkan padepokan melalui jalan yang telah mereka persiapkan untuk menjebak iring-iringan itu. Beberapa pedati agaknya memang sudah terisi penuh dengan barang-barang yang mereka duga akan dibawa serta ke Madiun. Tetapi ketika pasukan itu kemudian berangkat, maka pedati-pedati itu ternyata tidak dibawa.

Sebelum fajar, maka iring-iringan yang panjang telah meninggalkan padepokan itu. Pasukan pengawal Tanah Perdikan dan Pegunungan Sewu berjalan di antara para tawanan yang saling menyekat. Dengan terpaksa sekali, maka para tawanan yang dianggap berbahaya memang harus diikat tangannya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Mereka pun mendapat pengawalan khusus dan dipisahkan dari kawan-kawannya yang dianggap sudah kehilangan keberanian sama sekali untuk berbuat sesuatu.

Namun Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang telah memperingatkan kepada para pengawal, bahwa kemungkinan buruk akan dapat terjadi di perjalanan. Jika sekelompok orang dengan serta menyergap mereka dan sempat memberikan senjata kepada para tawanan, maka keadaannya akan berbahaya.

Sementara itu Ki Demang Selagilang dan Agung Sedayu telah membagi pasukannya menjadi dua bagian. Sebagian ialah pasukan yang dipersiapkan untuk menghadapi setiap serangan dari siapapun juga, sedang yang lain harus dengan cepat menguasai para tawanan apabila mereka sempat menjadi liar.

Demikianlah, pasukan yang khusus dipersiapkan telah berjalan di paling depan. Kemudian berjalan para pengawal yang bersenjata jarak jauh. Mereka membawa busur dan anak panah dalam endong yang tergantung di lambung. Baru kemudian para pengawal yang dalam kelompok-kelompok kecil siap bergerak kemanapun.

Di belakang mereka berjalan para tawanan yang setiap kali diseling dengan para pengawal. Namun demikian, di sebelah-menyebelah iring-iringan itu juga berjalan para pengawal yang siap menghadapi segala kemungkinan.

Di ujung belakang, maka para pengawal dari Pegunungan Sewu telah membagi diri pula. Di ujung paling belakang adalah para pengawal dari Pegunungan Sewu yang bersenjata jarak jauh. Mereka tidak saja membawa busur dan anak panah, tetapi ada di antara mereka yang bersenjata bandil.

Di tengah-tengah iring-iringan itu, para petugas di bagian perlengkapan dan perbekalan berjalan dengan mengiringi kuda-kuda beban mereka.

Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang yang telah melihat jalan yang akan mereka tempuh sebelumnya, sebenarnya hanya merasa cemas saat iring-iringan itu berjalan di daerah yang sulit dan rumpil. Jalan yang sempit dan miring. Turun naik dan bahkan agak licin.

Karena itu, ketika iring-iringan itu mendekati tempat itu, Agung Sedayu telah membawa pasukan khusus mendahului seluruh iring-iringan itu dan langsung dipimpinnya sendiri.

Glagah Putih yang akan menyertainya telah diperintahkannya untuk selalu dekat dengan Ki Gede Menoreh.

Dengan kelompok kecilnya, Agung Sedayu mendahului meniti bagian jalan yang sempit itu pada saat matahari mulai naik. Tanah mulai dihangatkan oleh cahaya matahari pagi, sehingga embun pun mulai menguap ke udara.

Pasukan kecil itu merayap perlahan-lahan. Para pengawal di dalam kelompok kecil itu berloncatan di antara bebatuan. Kemudian bagaikan meniti titian yang sempit. Mereka kemudian berjalan di atas tanah miring yang memang agak licin.

Ternyata lintasan yang tidak terlalu panjang itu harus ditempuh untuk waktu-waktu yang tidak terlalu panjang itu harus ditempuh untuk waktu yang agak lama, sehingga Agung Sedayu kemudian dapat membayangkan bahwa iring-iringan yang panjang, yang di antaranya terdapat beberapa orang tawanan yang terikat tangannya itu, memerlukan waktu yang cukup lama.

Ketika kelompok kecil itu kemudian telah melampaui jalan yang rumpil itu, maka barulah dengan hati-hati iring-iringan yang panjang itu mulai memasuki lintasan yang sulit itu.

Namun para pengawal yang sudah terlatih itu seorang demi seorang telah melampaui lintasan yang sulit itu, Bahkan beberapa orang yang membawa tandu untuk mengusung kawan-kawan mereka yang terluka pun lewat pula. Demikian pula para tawanan, bahkan yang tangannya terikat.

Agung Sedayu dan kelompoknya telah berjaga-jaga dengan hati-hati. Kelompok itu telah mengawasi lingkungan itu dengan saksama. Jika Ki Gede Kebo Lungit mengetahui bahwa pasukan pengawal telah memilih jalan itu, maka daerah yang paling lemah adalah daerah yang sedang dilalui itu.

Namun meskipun lambat, akhirnya iring-iringan itu berhasil dengan selamat melalui lintasan yang sempit dan rumpil itu. Yang terakhir melintas adalah sekelompok pasukan Pegunungan Sewu yang paling trampil.

Demikian orang terakhir lewat, maka setiap hati pun menjadi lapang. Kuda-kuda beban yang ada di dalam iring-iringan itu pun sempat melintas dengan selamat.

Namun ternyata lintasan yang pendek itu dilalui sampai saatnya matahari mendekati puncaknya. Panasnya sudah terasa menyengat kulit.

Ki Gede pun kemudian telah memberikan aba-aba agar iring-iringan itu kemudian meneruskan perjalanan. Yang ada di depan mereka adalah padang perdu dan tanah persawahan yang bersusun dengan baik. Kemudian padang perdu pula yang terbuka. Meskipun tanah itu tidak rata, tetapi pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu tidak akan dapat dijebak oleh lawan.

Demikian pula untuk seterusnya. Mereka tidak akan melewati jalan yang di kedua sisinya dibatasi oleh dinding yang miring serta tebing yang rendah. Jika mereka kemudian memasuki jalan yang agak sempit, namun di sebelah-menyebelah jalan itu adalah tanah yang juga terbuka, meskipun berbatu-batu padas dan penuh dengan gerumbul-gerumbul perdu.

Dengan demikian maka pasukan itu akan dapat bertempur pada arena yang luas dan tidak tersumbat di ujung-ujungnya, jika potongan iring-iringan itu mendapat sergapan dari lambung.

Namun ketika iring-iringan itu mulai dengan perjalanan, maka dua orang pengawas yang dikirim oleh Ki Gede Kebo Lungit dan Wira Bledeg telah mendapat firasat buruk. Ketika matahari naik semakin tinggi, keduanya tidak segera melihat iring-iringan pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu lewat lorong di hadapan mereka.

Karena itu, maka kedua orang itu telah memberanikan diri mendekati padepokan yang telah diduduki oleh pasukan Mataram itu.

Ternyata keduanya terkejut bukan buatan. Mereka menemukan padepokan itu telah kosong. Tetapi mereka mendapatkan pedati-pedati yang penuh dengan muatan serta lembu-lembu yang siap di pasang masih ada di padepokan itu.

“Gila orang-orang Mataram,“ geram kedua orang itu, “mereka tentu mencari jalan lain.“

Kawannya menggeretakkan giginya. Katanya dengan nada berat, “Kita lihat jejaknya.“

Kedua orang itu pun kemudian bergerak cepat, melihat jejak para pengawal yang meninggalkan padepokan itu.

Ternyata dugaan mereka tepat. Iring-iringan yang telah meninggalkan padepokan itu telah memilih jalan yang tidak mereka perhitungkan sebelumnya.

“Kita harus segera memberikan laporan,“ desis seorang diantara mereka.

“Ya. Kita harus memberikan laporan,“ sahut yang lain.

“Tetapi kita akan terlambat. Pasukan itu tentu sudah menjadi terlalu jauh,“ berkata orang yang pertama.

“Tidak. Kita masih mempunyai kesempatan. Mereka akan terlambat di lintasan sempit yang rumpil. Iring-iringan yang harus membawa tawanan dengan tangan terikat serta orang-orang yang harus dibawa dengan tandu itu tentu memerlukan waktu yang lama untuk melawan lintasan itu,“ sahut yang lain.

Orang yang pertama mengangguk-angguk. Katanya, “Jika kita berjalan cepat, mungkin masih ada waktu. Tetapi semuanya tergantung kepada Wira Bledeg. Apakah Wira Bledeg bersedia menyergap pasukan Mataram itu di tempat yang terbuka, sehingga pasukan itu akan mempunyai kesempatan yang luas untuk membela diri.”

“Tetapi di iring-iringan itu terdapat sepasukan tawanan yang akan bangkit untuk bergerak dari dalam. Mereka akan berbuat sesuatu. Kita hanya menyalakan api. Setelah itu biarlah api itu berkobar, membakar pasukan Mataram seberapapun yang dapat dicapai. Jika kemudian para tawanan itu tumpas, Ki Gede Kebo Lungit tidak peduli.”

Orang yang pertama mengangguk-angguk pula. Dengan mantap iapun berkata, “Marilah. Kita harus bergerak lebih cepat dari pasukan yang telah meninggalkan padepokan ini.”

Demikianlah kedua orang itu telah berlari-lari menempuh jalan yang turun naik dan berbelok-belok. Nafas mereka pun menjadi terengah-engah, sementara itu keduanya masih juga berdebar-debar karena keduanya mungkin saja dianggap bersalah.

Ki Gede Kebo Lungit yang bersembunyi di balik sebuah gerumbul yang agak lebat bersama Wira Bledeg segera mendapat laporan tentang kedatangan kedua orang itu.

“Suruh orang itu kemari,“ perintah Ki Gede Kebo Lungit.

Kedua orang yang nafasnya hampir putus itu pun segera menghadap. Dengan kalimat yang patah-patah keduanya melaporkan apa yang dilihatnya. Keduanya juga memberitahukan bahwa keduanya telah datang ke padepokan yang sudah kosong, pedati-pedati yang sudah siap berangkat serta penuh dengan alat-alat. Lembu yang siap untuk dipasang. Namun yang ternyata masih tetap berada di padepokan. Kemudian mereka telah mencoba untuk melihat jejak dari iring-iringan pasukan itu. Akhirnya mereka memastikan bahwa iring-iringan itu tidak akan mengambil jalan yang sudah mereka siapkan dengan berbagai macam jebakan itu.

“Gila,“ geram Ki Gede Kebo Lungit, “apakah kau berkata sebenarnya?“

“Ya Ki Gede, kami berdua telah meyakini,“ sahut salah seorang dari mereka.

Ki Gede Kebo Lungit benar-benar tertipu. Dengan suara bergetar ia bertanya, “Jadi mereka membenahi pedati-pedati itu?“

“Ya Ki Gede. Seakan-akan pedati-pedati itu memang akan mereka bawa ke luar dari padepokan itu. Jika demikian, memang tidak ada jalan lain selain jalan ini,“ desis seorang yang lain.

Kemarahan Ki Gede Kebo Lungit bagaikan meledak di dadanya. Dengan geram ia berteriak, “Apakah kita masih mempunyai waktu untuk memotong perjalanan mereka?“

“Masih Ki Gede. Tetapi tidak di titik yang paling lemah. Agaknya mereka telah melewati lintasan pendek, namun yang rumit itu.“ jawab salah seorang dari keduanya.

“Aku tidak peduli dimanapun!“ Ki Gede Kebo Lungit masih berteriak, “pokoknya kita harus membakar perasaan para tawanan agar mereka menjadi gila dan bertempur membabi buta melawan para pengawal yang menjaganya. Biar saja mereka mati sampai orang terakhir. Tetapi dalam benturan kekerasan itu tentu ada orang-orang Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu yang akan mati.“

“Jadi, apakah Ki Gede menghendaki agar kita menghadang mereka?“ bertanya Wira Bledeg.

“Aku sudah mengatakannya! Kenapa kau masih bertanya?“ Ki Gede Kebo Lungit masih berteriak.

Ki Wira Bledeg yang sudah mengenal tabiat Ki Gede Kebo Lungit tidak bertanya lagi. Iapun segera meneriakkan aba-aba yang disambut oleh para pemimpin Kelompoknya.

Sejenak kemudian beberapa orang telah berkumpul untuk mendengarkan perintah Ki Gede Kebo Lungit. Saat itu juga mereka harus membawa pasukan mereka ke tempat yang belum mereka persiapkan sebelumnya.

“Mereka akan turun ke jalan ini pula beberapa ratus patok dari tempat itu,“ berkata Ki Gede Kebo Lungit, “tempat itu adalah tempat yang paling lemah yang dapat kita capai, karena mereka tentu sudah melewati lintasan sempit yang sulit itu.“

“Apakah kita harus pergi ke titik potong yang beberapa ratus patok dari sini itu?“ bertanya seorang pemimpin kelompok.

“Ya. Sasaran kalian tetap. Berusaha memberi kesempatan kepada para tawanan untuk bertempur. Setelah itu, terserah kepada kalian. Apakah kalian akan menyingkir atau ikut membantai orang-orang Mataram itu,“ berkata Ki Gede Kebo Lungit.

Demikianlah maka pasukan kecil itu dengan tergesa-gesa telah meninggalkan tempat itu. Beberapa orang yang merasa kecewa telah mendorong gumpalan-gumpalan batu padas sehingga berguling turun dengan suara gemuruh menimpa jalan di bawah dinding padas yang miring itu. Tetapi batu-batu itu sama sekali tidak menimpa seorangpun, karena pasukan yang mereka tunggu ternyata tidak akan melewati jalan itu.

Sejenak kemudian dengan tergesa-gesa pasukan itu telah menuju ke titik temu antara lorong sempit di padang terbuka dengan jalan yang dipergunakan oleh pasukan kecil itu.

“Satu-satunya tempat yang paling baik untuk menyergap. Jika kita datang lebih dahulu, kita dapat berusaha untuk bersembunyi dan dengan tiba-tiba menyergap mereka,“ berkata Ki Gede Kebo Lungit.

Wira Bledeg tidak menyahut. Tetapi tempat itu bukan tempat sempit seperti jalan yang mereka lalui. Tempat itu adalah tempat yang terbuka, meskipun berbatu-batu padas. Pertempuran akan dapat terjadi pada garis perang yang, panjang sehingga pasukan pengawal akan dapat bergerak leluasa.

Tetapi jika Wira Bledeg berhasil menyergap dengan tiba-tiba sehingga mencapai para tawanan, maka api yang mereka nyalakan itu akan berkobar dan membakar pasukan pengawal yang membawa para tawanan itu.

Beberapa saat kemudian, maka Wira Bledeg dan Ki Gede Kebo Lungit telah mendekati sasaran yang mereka tuju. Karena itu, maka Wira Bledeg pun telah memberikan isyarat agar iring-iringan itu berhenti sejenak untuk melihat keadaan.

“Aku akan mendahului, Ki Gede,“ berkata Wira Bledeg.

“Baik. Hati-hati. Orang-orang Mataram itu ternyata adalah iblis-iblis yang licik,“ Sahut Ki Gede Kebo Lungit.

Wira Bledeg dan beberapa orang terpercaya telah mendahului untuk melihat apakah iring-iringan dari padepokan itu telah lewat. Menurut perhitungan Wira Bledeg, maka mereka akan datang mendahuluinya, karena iring-iringan pasukan dari padepokan itu harus berjalan melingkar, sehingga jaraknya akan menjadi jauh lebih panjang.

Ternyata perhitungan Wira Bledeg itu benar. Mereka belum melihat jejak iring-iringan yang lewat. Sehingga karena itu, maka Wira Bledeg telah memerintahkan dua orangnya untuk menghubungi Ki Gede.

Tetapi waktu mereka terlalu sempit. Dengan demikian, maka dua orang pengikut Wira Bldeg itu dengan cepat telah menghubungi Ki Gede Kebo Lungit, agar seluruh iring-iringan itu maju dengan segera.

Dalam waktu singkat. Wira Bledeg telah mempersiapkan orang-orangnya. Mereka bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul perdu dan di celah-celah batu padas di dekat lorong yang memotong jalan yang semula diperhitungkan akan dilalui iring-iringan dari padepokan itu. Sebagian bersembunyi di balik onggokan bebatuan dan rumpun-rumpun ilalang.

Tetapi tempat persembunyian yang mereka siapkan dengan tergesa-gesa itu tidak sebaik jebakan yang telah mereka persiapkan dalam waktu yang cukup lama. Bahkan gumpalan-gumpalan batu padas yang siap diluncurkan.

Sebenarnyalah selisih waktu mereka memang tidak lama. Seperti Wira Bledeg, maka para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu pun mempunyai perhitungan yang cermat. Merekapun mengira, bahwa Ki Gede Kebo Lungit akan dengan tergesa-gesa memindahkan tempat yang akan dipergunakannya untuk menjebak iring-iringan itu. Agung Sedayu pun berpendapat, bahwa mereka mempunyai sedikit waktu lebih dari iring-iringan pasukannya yang harus melingkar-lingkar.

Sementara itu, Agung Sedayu masih harus tetap berjalan di depan. Meskipun mereka telah melampaui lintasan yang berbahaya itu, namun Agung Sedayu masih harus tetap berhati-hati, karena kemungkinan-kemungkinan yang tidak terduga akan dapat terjadi.

Dengan kemampuannya mempergunakan ilmu Sapta Pandulu, maka Agung Sedayu yang masih berada di tempat yang agak jauh dari persembunyian orang-orang yang menghadangnya, ternyata mampu melihat seseorang yang bergeser dari belakang sebuah gerumbul perdu ke gerumbul yang lain.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia telah memerintahkan salah seorang penghubung untuk memberikan laporan kepada Ki Gede. Perintah khusus bagi Glagah Putih adalah jangan terpisah dari Ki Gede.

Penghubung itu pun segera melaksanakan tugasnya. Dilaporkannya kepada Ki Gede apa yang telah dilihat oleh Agung Sedayu serta semua pesan-pesannya, serta perintah khusus bagi Glagah Putih.

Ki Gede mengangguk-angguk. Penghubung itu pun telah diperintahkan pula langsung menemui Ki Demang Selagilang.

Dalam pada itu Prastawa pun segera memerintahkan untuk menghubungi para pemimpin kelompok. Masing-masing harus ada pada tugasnya. Pasukan yang mencegat perjalanan mereka itu tentu akan berusaha untuk berhubungan dengan para tawanan. Mereka akan membakar hati para tawanan untuk bertempur habis-habisan.

Karena itu, maka mereka yang bertugas untuk mencegah mereka berhubungan dengan para tawanan harus segera menempatkan diri. Sementara itu, mereka yang bertugas untuk menguasai para tawanan pun harus bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

“Kita harus menguasai keadaan, apapun yang terjadi,“ perintah Prastawa kepada para pemimpin kelompok.

Namun dalam pada itu, laporan Agung Sedayu lewat penghubung itu sama sekali tidak berpengaruh atas gerak maju seluruh iring-iringan. Agung Sedayu dan sekelompok pengawal masih tetap berjalan di paling depan. Namun jarak antara kelompok khusus yang dipimpin Agung Sedayu itu dengan seluruh pasukan menjadi semakin dekat.

Sementara itu, orang-orang yang menunggu di balik gerumbul-gerumbul perdu, di balik batu-batu padas dan rumpun ilalang, telah pula melihat iring-irngan yang datang.

Namun Wira Bledeg justru menjadi ragu-ragu. Ternyata yang akan dihadapi adalah satu kekuatan yang sangat besar. Apakah orang-orangnya yang sedikit itu akan mampu memecahkan pertahanan para pengawal dan mencapai para tawanan? Sementara itu mereka belum tahu, dimana para tawanan itu ditempatkan.

Tetapi seperti Ki Gede Kebo Lungit, maka Wira Bledeg memang berharap bahwa ia hanya akan menyalakan api saja, sementara iring-iringan itu telah membawa minyak di dalamnya.

Tanpa mendapat perintah lagi, orang-orang Wira Bledeg dan sisa pengikut Ki Gede Kebo Lungit itu pun telah bersiap. Orang-orang Wira Bledeg adalah orang-orang yang terbiasa melakukan pekerjaan tanpa perlu mendapat perintah langsung di setiap kali mereka melakukannya.

Ki Gede Kebo Lungit pun menggeram melihat pasukan yang mendatang itu. Ketika ia melihat Wira Bledeg yang ada di dekatnya menjadi tegang, iapun berkata, “Jangan cemas. Orang-orangmu adalah orang-orang yang terbiasa melakukan kekerasan tanpa harus mempertimbangkan tata krama peperangan. Karena itu, maka orang-orang Mataram itu tentu kan terkejut.“

“Tetapi jumlah kita terlalu sedikit dibandingkan dengan seluruh pasukan itu,“ jawab Wira Bledeg.

“Kau gila. Separuh dari iring-iringan itu adalah tawanan,“ jawab Ki Gede Kebo Lungit.

Wira Bledeg hanya mengangguk-angguk saja. Namun ia masih saja menganggap kekuatan yang akan dihadapi adalah kekuatan yang besar.

Hampir di luar sadarnya Wira Bledeg memperhatikan orang-orangnya yang ada di belakang pohon-pohon perdu, rumpun-rumpun ilalang dan batu-batu padas.

“Orang-orangku juga cukup banyak,“ gumam Ki Wira Bledeg untuk membesarkan hatinya sendiri.

Namun kemudian ia mengeluh, “Tetapi sisa-sisa orang Kebo Lungit sama sekali tidak akan berdaya menghadapi pasukan itu.“

Ketika iring-iringan itu menjadi semakin dekat, maka Wira Bledeg pun mengumpat melihat sekelompok pengawal yang berada di depan iring-iringan itu. Sekelompok pengawal yang tentu orang-orang pilihan.

“Betapa sombongnya orang-orang yang berjalan di depan pasukan itu,“ berkata Wira Bledeg.

Dengan demikian maka Wira Bledeg terpaksa berpikir. Orang-orangnya tidak boleh terlibat dalam pertempuran melawan kelompok yang terpisah itu seluruhnya. Yang lain harus tetap berlindung dan menyergap iring-iringan itu.

Tetapi Wira Bledeg tidak sempat memberikan perintah kepada orang-orangnya, kecuali jika mereka justru sudah mulai bertempur.

Beberapa saat kemudian, sekelompok pengawal yang dipimpin oleh Agung Sedayu telah memasuki lingkaran sasaran orang-orang Wira Bledeg. Namun orang-orang Wira Bledeg masih belum beranjak dari tempatnya.

Bahkan kemudian Wira Bledeg berbisik kepada Ki Gede Kebo Lungit, “Perintahkan orang-orangmu menyergap. Orang-orangku akan menembus para pengawal dan mencapai para tawanan.“

Ki Gede Kebo Lungit mengangguk-angguk. Iapun kemudian memberi isyarat kepada kepercayaannya yang masih sempat menyertainya untuk memberikan perintah.

“Sebut nama perguruanmu, agar orang-orang Wira Bledeg tidak ikut melibatkan diri,“ perintah Ki Gede Kebo Lungit.

Orang itu termangu-mangu. Namun Ki Gede Kebo Lungit memandangnya dengan mata yang memancarkan kemarahan, “Cepat!“ Tetapi ia tidak dapat beteriak karena iring-iringan itu menjadi semakin dekat. Orang-orang Wira Bledeg akan menyergap induk pasukan.

Barulah orang itu menyadari. Karena itu, ketika sekelompok pengawal menjadi semakin dekat, maka orang itu tiba-tiba saja bangkit berdiri sambil berteriak, “He, orang-orang padepokan Kebo Lungit, hancurkan kelompok ini!“

Sisa-sisa pengikut Ki Gede Kebo Lungit segera berloncatan dari balik gerumbul-gerumbul liar. Dengan garagnya mereka menyerang sambil berteriak-teriak kasar. Agung Sedayu dan para pengawal yang menyerangnya sama sekali tidak terkejut karenanya. Mereka sudah mengira bahwa mereka akan disergap di tempat itu, sebelum mereka turun ke jalan yang lebih besar. Tetapi lorong sempit itu tidak dibatasi oleh dinding-dinding yang sulit di tembus, sehingga di tempat terbuka itu para pengawal dapat bertempur dengan garis perang yang melebar, meskipun harus berada di medan yang berbatu-batu dan batu-batu padas yang teronggok di sana-sini. Pohon-pohon perdu liar dan rumpun-rumpun ilalang. Namun di tempat itu kedua belah pihak mempunyai kesempatan yang sama. Pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu tidak akan terjebak di tempat yang bagaikan terkurung, sementara batu-batu padas berguguran menimpa kepala mereka.

Dalam pada itu, para pengikut Wira Bledeg memang menjadi ragu-ragu. Mereka belum melihat Wira Bledeg sendiri bangkit dan ikut menyerang. Yang mereka lihat adalah sisa-sisa pengikut Ki Gede Kebo Lungit.

Namun orang-orang yang berpengalaman itup un segera tanggap. Tugas mereka adalah menyerang lambung iring-iringan itu tepat pada barisan para tawanan.

Sementara Agung Sedayu dan kelompoknya bertempur, maka iring-iringan itu berjalan terus. Iring-iringan itu seakan-akan tidak mempedulikan pertempuran yang berlangsung. Namun agaknya para pengawal dengan cepat mampu mendesak mereka.

Yang tertegun adalah Agung Sedayu. la tidak melihat Ki Gede Kebo Lungit ada di antara mereka. Karena itu. maka Agung Sedayu pun segera memerintahkan kepercayaannya untuk memimpin kelompok itu.

“Jika Ki Gede Kebo Lungit hadir di sini, beri aku isyarat dengan suitan tiga kali berturut-turut,“ pesan Agung Sedayu, “aku akan mengawasi iring-iringan itu berjalan melalui lingkaran sasaran mereka. Aku yakin, masih ada orang lain yang bersembunyi.“

Pemimpin kelompok pengawal khusus itu pun mengangguk. Ia menyadari tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Namun itu adalah salah satu dari kewajiban yang harus dipikulnya.

Sejenak kemudian maka Agung Sedayu pun telah berdiri di garis perjalanan iring-iringan yang memasuki lingkaran sasaran. Tetapi orang-orang Wira Bledeg tidak segera menyerang mereka. Sementara itu para pengikut Ki Gede Kebo Lungit yang tersisa telah bertempur menebar. Mereka memang memancing para pengawal untuk berkisar dari garis perjalanan iring-iringan itu.

Namun orang-orang Wira Bledeg itu tidak dapat bersembunyi dari penglihatan Agung Sedayu. Meskipun mereka berusaha untuk berada di belakang gerumbul-gerumbul perdu yang rimbun, rumpun-rumpun ilalang atau di belakang batu-batu padas, namun Agung Sedayu telah melihat sebagian dari mereka.

Karena itu, maka iapun menjadi semakin berhati-hati. Ia yakin para pengawal akan mampu mengatasi kesulitan jika orang-orang itu menyerang, Kecuali jika Ki Gede Kebo Lungit sendiri turun ke medan.

Prastawa yang memimpin pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah menjadi tegang. Ujung pasukannya telah sampai ke lingkungan yang diberitahukan oleh Agung Sedayu menjadi lingkungan yang berbahaya. Karena itu, maka iapun telah memberikan isyarat kepada para pengawal yang ada di ujung pasukannya untuk berhati-hati. Apalagi Ki Gede sendiri masih belum pulih benar. Kekuatannya masih belum kembali sebagaimana sebelumnya, meskipun tangannya sudah mampu menggenggam tombak pendeknya.

Di sebelahnya berjalan Glagah Putih yang juga menjadi tegang. Seakan-akan ia telah mendapat perintah dari Agung Sedayu untuk mempertanggungjawabkan keselamatan Ki Gede.

Namun para pengawal yang diserahi tugas untuk menjaga para tawanan itulah yang menjadi lebih tegang. Mereka menyadari bahwa mereka akan menjadi sasaran utama serangan yang tentu masih bakal datang.

Sebenarnyalah, ketika Wira Bledeg telah melihat beberapa orang tawanan dalam iring-iringan itu, maka ia mulai bersiap-siap. Sementara itu sisa-sisa pengikut Ki Gede Kebo Lungit masih juga bertempur melawan kelompok khusus pengawal yang semula dipimpin oleh Agung Sedayu.

Namun Agung Sedayu masih saja berdiri tegak memperhatikan iring-iringan yang berjalan maju itu, yang sebentar kemudian akan menuruni jalan yang agak lebih lebar dari lorong-lorong yang mereka lalui. Namun karena lorong sempit itu berada di tempat terbuka, meskipun sedikit sulit, namun iring-iringan itu dapat mempergunakan padang perdu yang berbatu-batu itu untuk dilewati para pengawal yang menjaga para tawanan.

Dalam pada itu, pasukan Wira Bledeg memang sudah bersiap untuk menyergap. Namun sekali lagi Wira Bledeg mengumpat, “Licik orang-orang Mataram. Mereka menempatkan para tawanan terpisah-pisah.“

Tetapi itu sama sekali tidak akan mengendorkan tekad Wira Bledeg untuk menyalakan api dalam iring-iringan pasukan yang datang dari padepokan itu.

Sementara itu Agung Sedayu yang masih belum melihat Ki Gede Kebo Lungit masih saja merasa tegang. Orang itu akan dapat muncul kapan saja ia inginkan dan di tempat yang mungkin tidak diduga-duga sebelumnya.

Tetapi yang kemudian muncul lebih dahulu ternyata adalah Wira Bledeg. Ternyata suaranya memang seperti guruh ketika ia meneriakkan aba-aba kepada orang-orangnya. Bukan saja gemuruh mengumandang di lereng Gunung Itu, tetapi juga mengandung tenaga yang mirip kekuatan ilmu Gelap Ngampar. Agaknya karena itulah maka ia disebut Wira Bledeg.

Perintah Wira Bledeg cukup tegas, tanpa banyak kata-kata. Yang keluar dari mulutnya hanya perintah. “Sekarang!”

Suara itu bagaikan berputar-putar. Mengguncang setiap dada, terutama orang-orang yang ada di dalam iring-iringan dari padepokan itu, kemudian menusuk ke pusat jantung.

Pada saat yang demikian, maka orang-orang Wira Bledeg pun telah berloncatan dari persembunyiannya. Dari balik gundukan batu-batu padas. Dengan garangnya mereka telah menyerang para pengawal yang menjaga para tawanan yang ada di dalam iring-iringan.

Ternyata kekuatan mereka di luar dugaan. Orang-orang Wira Bledeg cukup banyak. Sementara mereka tidak memencar dan menyerang di beberapa bagian dari iring-iringan itu. Namun mereka hanya membagi kekuatan mereka menjadi dua kelompok, seperti yang memang telah mereka rencanakan.

Kedua orang yang memimpin kelompok-kelompok itu telah membawa kelompok mereka ke sasaran. Seperti Wira Bledeg, maka kedua pemimpin itu juga mengetahui bahwa para tawanan telah terbagi dan disekat oleh para pengawal.

Dalam pada itu, serangan orang-orang Wira Bledeg itu memang cukup mendebarkan. Dua kekuatan yang sangat besar itu telah menghantam dinding pasukan pengawal.

Para pengawal yang memang telah bersiap itu pun telah membentur kekuatan yang sangat luar biasa itu, meskipun hanya ada dua titik sasaran. Demikian dahsyatnya serangan itu, serta gerak yang cepat dan deras, maka para pengawal memang mengalami kesulitan.

Sementara itu, para pengawal di sebelah-menyebelah telah berkerut pula, untuk bersama-sama bertahan. Tetapi ujung dari kedua kelompok kekuatan itu ternyata memang hampir tidak terlawan.

Sebenarnyalah kedua kelompok kekuatan para pengikut Wira Bledeg itu benar-benar sulit untuk ditahan. Keduanya menusuk seperti lembing yang dilontarkan oleh kekuatan yang tidak tertahan.

Ternyata yang ada di ujung kekuatan di kelompok yang satu adalah Wira Bledeg sendiri. Sedangkan yang ada di kelompok lain adalah orang kedua dari kekuatan Wira Bledeg.

Agung Sedayu memang menjadi termangu-mangu. Ada niatnya untuk meloncat, ikut menahan kekuatan yang besar itu. Namun ia masih saja mengingat Ki Gede Kebo Lungit yang tentu ada di tempat itu pula. Jika ia terlibat dalam pertempuran itu, dan tiba-tiba saja Ki Gede Kebo Lungit muncul, maka Ki Gede Kebo Lungit itu pun akan dapat membantai para pengawal.

Namun dalam pada itu, maka dengan cepat para pengawal telah menuju ke dua titik sasaran para pengikut Ki Wira Bledeg. Mereka bukan orang-orang yang berilmu tinggi. Tetapi mereka adalah orang-orang yang dengan liar telah menyerang lambung iring-iringan yang berjalan maju itu.

Ternyata usaha Wira Bledeg itu berhasil. Tanpa menghiraukan berapa banyaknya korban yang jatuh, akhirnya orang-orang Wira Bledeg memang dapat menembus lapisan pertahanan para pengawal. Beberapa orang telah dapat mencapai para tawanan. Dan bahkan mereka dengan cepat telah memotong tali-tali pengikat sambil meneriakkan aba-aba, “Atas perintah Ki Gede Kebo Lungit, bangkitlah! Lebih baik mati daripada menjadi tawanan.“

Orang-orang, Wira Bledeg itu telah sempat memberikan senjata kepada para tawanan yang telah mereka capai.

Satu kegagalan dari para pengawal Tanah Perdikan yang kemudian sangat terasa pengaruhnya. Para tawanan yang telah menerima senjata itu pun memang menjadi gila. Mereka mengamuk tanpa memperhitungkan apapun lagi. Dengan senjata yang mereka terima maka mereka telah berusaha untuk menyerang para pengawal.

Semula para pengawal memang masih berusaha untuk mengawasi mereka. Mereka meneriakkan aba-aba untuk menenangkan keadaan. Namun mereka seakan-akan tidak lagi berhadapan dengan para tawanan mereka. Tetapi mereka seakan-akan telah berhadapan dengan iblis-iblis liar dan sedang kehilangan akal.

Dua kelompok pengikut Wira Bledeg telah dapat mencapai dua kelompok tawanan yang kemudian menjadi gila itu. Pertempuran telah mulai menyala di dalam iring-ringan. Dengan bangkitnya dua kelompok tawanan, maka beberapa orang Wira Bledeg mampu menghubungi kelompok-kelompok tawanan yang lain, yang telah bergolak pula.

Para pengawal dari Tanah Perdikan itu pun cepat bergerak. Sekelompok pengawal telah memisahkan diri dan menggiring para tawanan ke padang yang terbuka, dipagari dengan ujung-ujung senjata. Sementara itu dengan isyarat, maka para pengawal dari Pegunungan Sewu pun telah bergerak pula.

Dengan cepat pasukan pengawal telah berusaha mengepung arena pertempuran itu, agar para tawanan yang menjadi gila dan orang-orang Wira Bledeg tidak dapat lolos.

Namun dalam kekalutan yang terjadi itu, maka sulit bagi para pengawal untuk dengan cepat menguasai keadaan. Para tawanan yang tidak sempat dihubungi para pengikut Wira Bledeg pun mulai bergolak. Apalagi mereka yang tidak terikat. Bahkan beberapa orang dengan tanpa perhitungan telah berusaha merebut senjata para pengawal.

Usaha itu, memang telah membangkitkan keributan pula. Meskipun para pengawal berusaha cepat menguasai para tawanan, namun beberapa orang memang sempat menumbuhkan keributan sehingga korban pun makin berjatuhan.

Dalam keributan itu, sesuai dengan rencana, maka para pengikut Wira Bledeg dan sisa-sisa orang-orang Ki Gede Kebo Lungit tidak bertahan terlalu lama. Mereka memanfaatkan keadaan yang belum mapan untuk menarik diri. Sebelum kepungan para pengawal menjadi rapat, maka orang-orang itu telah berusaha keluar dari arena.

Para pengawal memang tidak menduga bahwa hal itu akan terjadi. Tiba-tiba saja mereka melihat kelompok-kelompok itu telah meloncat meninggalkan arena dan melarikan diri ke padang terbuka.

Tetapi para pengawal tidak membiarkannya. Para pengawal yang merasa gagal membentengi para tawanan itu menjadi marah. Terutama mereka yang telah bertempur dengan para pengikut Ki Gede Kebo Lungit yang tersisa.

Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan para pengawal dari Pegunungan Sewu adalah pengawal-pengawal yang untuk beberapa lama berada di peperangan. Sejak mereka memasuki kota Madiun, kemudian di padepokan Ki Gede Kebo Lungit, sehingga kemudian saat-saat mereka kembali ke Madiun, telah sangat mempengaruhi jiwa mereka. Beberapa orang kawan bahkan sahabat-sahabat yang terdekat telah terbunuh. Karena itu, maka darah mereka pun dengan cepat pula telah mendidih.

Ketika para tawanan itu tiba-tiba mengamuk serta menjatuhkan beberapa korban lagi, maka para pengawal pun sebagian telah kehilangan pengamatan diri. Seperti juga para tawanan, maka mereka pun seakan-akan tidak lagi mempunyai perhitungan. Senjata mereka adalah satu-satunya tempat untuk menumpahkan gejolak jantung mereka.

Dalam pada itu, Wira Bledeg yang merasa dirinya berhasil, ternyata masih juga harus melihat kenyataan yang lain.

Para pengawal tidak begitu saja melepaskannya meninggalkan medan. Meskipun terjadi pergolakan yang sengit karena para tawanan yang bangkit untuk mengadakan perlawanan, namun sebagian para pengawal sama sekali tidak membiarkan orang-orang yang telah menuangkan lumpur ke wajah para pengawal itu untuk lari.

Agung Sedayu ternyata menjadi sangat marah. Ia telah menghindari jebakan yang dipasang oleh Ki Gede Kebo Lungit. Ia pun menyadari sepenuhnya bahwa iring-iringannya akan melewati sekelompok orang yang akan mengacaukan iring-iringan itu dengan berusaha membakar harga diri para tawanan. Namun ternyata pasukannya masih juga gagal mempertahankan dinding yang membetengi para tawanan itu.

Kemarahan itu ternyata telah meledak. Agung Sedayu sendiri ternyata telah ikut mengejar orang-orang yang melarikan diri. Yang menjadi sasarannya adalah orang yang memegang pimpinan dari sekelompok orang itu, yang ternyata bukan Ki Gede Kebo Lungit.

Sementara itu, Agung Sedayu mempercayakan keselamatan Ki Gede Menoreh kepada Glagah Putih dan beberapa orang pengawal yang terpercaya. Ki Gede Menoreh sendiri bukannya tidak berdaya sama sekali. Keadaannya sudah berangsur baik, sehingga ia akan dapat menjaga dirinya sendiri, sementara Glagah Putih akan mampu menahan Ki Gede Kebo Lungit berbareng dengan beberapa orang pengawal pilihan.

Wira Bledeg memang menjadi berdebar-debar. Ia mengira bahwa kekalutan yang terjadi akan merampas semua perhatian para pengawal. Namun ternyata sebagian dari para pengawal itu telah mengejar mereka.

Ketika Wira Bledeg kemudian melihat bahwa pengawal yang mengejar mereka tidak terlalu banyak, maka iapun telah menjadi berbesar hati. Ia justru akan dapat menambah korban di antara para pengawal.

“Aku akan menghancurkan mereka sampai lumat,“ geram Wira Bledeg yang kemudian justru memberi isyarat kepada para pengikutnya untuk memberikan perlawanan.

“Jangan dikenai senjata di punggung! Bersiaplah untuk membunuh!“ teriak Wira Bledeg.

Terdengar siutan nyaring. Beberapa orang pengikutnya telah memberi isyarat kepada kawan-kawannya yang memang agak memencar untuk berhenti dan bersama-sama menghadapi para pengawal yang mengejar mereka.

Para pengawal sama sekali tidak sempat menghitung lagi, dengan berapa orang mereka mengejar. Kemarahan benar-benar telah membakar jantung mereka, sehingga penalaran mereka tidak sempat berjalan wajar. Bahkan seandainya pengawal itu datang seorang diripun, ia tidak akan surut.

Sejenak kemudian, para pengawal yang mengejar Wira Bledeg itu telah saling berhadapan dengan orang-orang yang dikejarnya, yang ternyata berhenti menyongsong mereka. Tetapi para pengawal tidak sempat berhenti untuk memperhitungkan kekuatan mereka. Dendam telah membara di dalam dada mereka, sehingga mereka tidak lagi berpijak kepada paugeran yang manapun juga.

Wira Bledeg yang mempunyai pengalaman yang sangat luas itu memang terkejut melihat sikap para prajurit. Ia sadar, bahwa para prajurit itu telah dicengkam oleh kemarahan yang sangat. Karena itu, maka iapun harus membangkitkan tekad orang-orangnya agar tidak menjadi gentar.

Karena itu, maka Wira Bledeg itupun berteriak, “Jangan biarkan seorangpun di antara mereka yang tinggal hidup!”

Tetapi para pengawal tidak menunggu apapun lagi. Mereka justru berteriak gemuruh sahut menyahut. Senjata-senjata mereka beracu-acu penuh lontaran kemarahan yang meluap-luap. Mereka seakan-akan tidak mendengar teriakan Wira Bledeg yang memang dapat menggugah kegarangan orang-orangnya.

Sejenak kemudian, pertempuran pun telah terjadi. Kedua belah pihak tidak lagi sempat mengendalikan diri. Para pengikut Wira Bledeg memang terbiasa untuk melakukan apa saja menurut keinginan mereka.

Sementara itu para pengawal yang biasanya masih harus dikekang oleh berbagai macam paugeran perang, ketika terlepas dari ikatan itu oleh perasaan yang meledak, ternyata tidak kalah garangnya dari para pengikut Wira Bledeg.

Agung Sedayu yang marah karena sikap licik Ki Gede Kebo Lungit, serta kegagalannya melindungi para tawanan, telah berada di medan itu pula. Untuk beberapa saat Agung Sedayu masih menunggu. Betapapun kemarahannya membakar jantung, namun Agung Sedayu masih sempat membuat pertimbangan-pertimbangan yang mapan.

Tetapi setelah menunggu beberapa saat dan Agung Sedayu tidak melihat Ki Gede Kebo Lungit tampil, maka ia mulai mengamati pertempuran itu dengan seksama.

Namun ternyata Agung Sedayu memang harus menekan dadanya yang bergejolak. Ia sempat melupakan kemarahannya sejenak, ketika ia melihat pertempuran yang menjadi sangat garang dan kasar. Kedua belah pihak bertempur sambil berteriak dan mengumpat.

Tetapi Agung Sedayu terkejut ketika ia melihat pemimpin dari sekelompok orang yang telah menyergap iring-iringan itu telah melibatkan dirinya dan dengan kasar membantai pengawal yang telah berani menyerangnya. Demikian mudahnya ia mengalahkan lawan-lawannya, sehingga Agung Sedayu menyadari bahwa orang itu tentu berilmu tinggi.

Karena itu maka Agung Sedayu tidak menunggu lebih lama lagi, sebelum orang itu memakan korban semakin banyak dari antara para pengawal.

Kehadiran Agung Sedayu memang mengejutkan orang itu. Orang yang berwajah garang itu mnggenggam, “He Anak Muda. Apakah kau juga ingin mati?“

“Kau sudah terlalu banyak membunuh,“ geram Agung Sedayu, “karena itu, aku datang untuk menghentikanmu.”

“Anak iblis. Kau sebaiknya mengetahui bahwa kau berhadapan dengan Wira Bledeg. Orang yang tentu pernah kau dengar namanya, karena namaku juga ditakuti di Mataram.“

“Semua itu akan berakhir sampai di sini,“ desis Agung Sedayu.

Wira Bledeg tertawa. Katanya, “Jangan menyesali diri bahwa kau telah bertemu dengan Wira Bledeg. Meskipun kau berhasil menghindari jebakan kami, tetapi kami tetap mampu menyalakan api pada minyak yang telah kau bawa sendiri.“

“Aku mengucapkan selamat atas kemenanganmu itu,“ jawab Agung Sedayu, “tetapi kemenanganmu ini adalah kemenanganmu yang terakhir.“

Wira Bledeg mengerutkan keningnya. Dengan geram ia kemudian berkata, “Ternyata kau iri melihat kawan-kawanmu yang telah terbantai di sini. Marilah, jika kau ingin cepat mati, mulailah.“

Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Iapun kemudian telah bergerak beberapa langkah maju. Sementara itu, Wira Bledeg telah bersiap pula menghadapi lawannya yang masih muda itu.

Namun agaknya iapun berniat untuk dengan secepatnya membunuh Agung Sedayu. Karena itu, maka Wira Bledeg itu telah mulai menggerakkan kapaknya yang bertangkai panjang.

Agung Sedayu mengerutkan dahinya ketika ia melihat bahwa di lambung Wira Bledeg juga terselip pedang pendek. Sedangkan sebuah pisau belati berada di lambungnya yang lain. Di lehernya melingkar rantai baja yang agaknya dapat dipergunakan sebagai senjata pula.

Dengan berbagai senjata yang dibawanya, maka Agung Sedayu menilai bahwa orang itu memiliki kemampuan bermain senjata dengan sangat baik. Bahkan segala macam senjata.

Menghadapi orang itu, Agung Sedayu tidak mau kehilangan kesempatan. Karena itu, maka iapun segera mempersiapkan cambuknya. Demikian kapak lawannya mulai berputar, inaka ujung cambuk Agung Sedayupun mulai bergetar.

Dalam pada itu, maka para pengawal dan para pengikut Wira Bledeg masih saja bertempur dengan kasarnya. Tidak ada orang yang berpikir untuk menundukkan lawannya. Tetapi setiap orang berniat untuk membunuh lawannya.

Dengan demikian maka pertempuran itu pun merupakan pertempuran yang paling kasar yang pernah dilakukan oleh para pengawal dari Tanah Perdikan yang sangat marah itu.

Sementara itu, kapak Wira Bledeg pun telah berdesing. Sabetan mata kapaknya bagaikan meinggalkan pantulan cahaya matahari yang lengkung seperti pelangi.

Agung Sedayu memang terkejut karenanya. Ayunan kapak itu tentu demikian cepatnya membelah udara. Tetapi kapak itu tidak menyentuh tubuh Agung Sedayu.

Ketika kapak itu kemudian terayun kembali, maka Agung Sedayu bergeser surut. Demikian kapak itu menyambar sejengkal di depan dadanya, maka Agung Sedayu telah mengerahkan cambuknya.

Agung Sedayu memang belum bersungguh-sungguh. Ia sekedar menggapai kedua kaki Wira Bledeg. Namun Wira Bledeg itu pun telah meloncat sehingga ujung cambuk Agung Sedayu pun tidak mengenainya.

Namun Wira Bledeg yang ingin cepat menyelesaikan. Agung Sedayu telah sekali lagi menyerangnya. Mata kapak itu langsung mengarah ke leher anak muda itu.

Tetapi ternyata Wira Bledeg terkejut ketika ia melihat Agung Sedayu yang memiliki ilmu yang dapat membuat tubuhnya seakan-akan jauh menjadi lebih ringan itu, bagaikan terbang beberapa langkah surut.

Namun Wira Bleldeg tidak melepaskannya. Dengan loncatan panjang ia berusaha memburu lawannya yang masih muda itu. Tetapi langkahnya justru telah tertahan. Cambuk Agung Sedayu tidak sekedar bergetar. Tetapi sebuah ledakan yang keras telah mengejutkan Wira Bledeg.

Wira Bledeg terkejut bukan kepalang. Jerat itu begitu kuatnya mencekam pergelangannya. Bahkan kemudian satu tarikan yang keras sekali telah merenggut kapaknya dari tangannya. “Setan kau,“ geram Wira Bledeg, “kau telah membuat aku terkejut. Tetapi permainan cambuk seperti itu dilakukan anak-anak di tempat tinggalku. Mereka naik kuda-kuda yang dibuatnya dari pelepah pisang. Namun kemudian ledakan cambuk mereka jauh lebih keras dan lebih menggetarkan jantung daripada bunyi cambukmu.”

Belum lagi Wira Bledeg mengatupkan bibirnya. Agung Sedayu telah menghentakkan cambuknya sekali lagi. Tidak lagi meledak dan mengejutkan telinga. Suaranya jauh lebih lambat dari ledakan sebelumnya. Namun di luar sadarnya Wira Bledeg berkata, “Jadi kau bersungguh-sungguh? Tetapi bagaimanapun juga aku sama sekali tidak gentar terhadap cambukmu itu.“

Agung Sedayu tidak menjawab. Pertempuran yang sengit di sekitarnya telah mendorongnya untuk segera menyelesaikan lawannya, sebagaimana yang ingin dilakukan oleh Wira Bledeg.

Dengan demikian, maka sejenak kemudian pertempuran pun telah berlangsung lagi dengan cepatnya. Kemampuan Wira Bledeg dalam ilmu senjata memang mengagumkan. Tetapi berhadapan dengan Agung Sedayu yang telah mewarisi ilmu cambuk sampai ke puncaknya, maka Wira Bledeg ternyata telah mengalami kesulitan.

Beberapa kali ujung cambuk Agung Sedayu menggelepar. Getarannya seakan-akan telah mengguncang isi dadanya. Namun ayunan kapak Wira Bledeg itu pun seakan-akan menjadi semakin dekat pula dari tubuhnya.

Bahkan dengan putaran yang rumit, maka seakan-akan begitu tiba-tiba saja pangkal tangkai kapak yang bersalut timah itu hampir saja merontokkan iganya. Namun Agung Sedayu sempat meloncat beberapa langkah surut. Untunglah bahwa Agung Sedayu memiliki kemampuan meringankan tubuhnya, sehingga dengan sekali loncat maka tubuhnya melayang seperti kapas yang terhembus angin. Dengan demikian maka salut timah di pangkal tangkainya itu hanya sempat menyentuh dadanya saja.

Tetapi sentuhan itu benar-benar telah menyinggung perasaan Agung Sedayu yang memang sedang marah dan gelisah. Karena itu, sentuhan itu ternyata telah menghancurkan harapan Wira Bledeg untuk dapat menghindari kemarahan Agung Sedayu.

Demikian Agung Sedayu meloncat surut karena sentuhan pangkal tangkai kapak Wira Bledeg, maka tangannya yang memegang cambuk itu telah bergetar. Arus ilmu cambuknya yang mendekati sempurna itu telah mengaliri telapak tangannya.

Karena itu, maka ketika Wira Bledeg menyerangnya dengan ilmu kapaknya yang matang, adalah di luar dugaannya, bahwa tiba-tiba saja ujung cambuk Agung Sedayu telah berputar, menggeliat menyambar keningnya. Namun ketika lawannya menghindar, tiba-tiba cambuknyatelah terjulur dan  dengan satu putaran yang cepat telah mengalir dari pangkal sampai ke ujung cambuk itu, menjerat pergelangan tangannya.

Wira Bledeg terkejut bukan kepalang. Jerat itu begitu kuatnya mencengkam pergelangannya. Bahkan kemudian satu tarikan yang keras sekali telah merenggut kapaknya dari tangannya.

Wira Bledeg menggeram. Ia adalah orang yang memiliki kekuatan yang belum pernah mendapatkan tandingan. Namun ia tidak berdaya melawan tarikan ujung cambuk yang menjerat tangannya dan merenggut kapaknya.

Kapak Wira Bledeg itu pun telah terlempar beberapa langkah dan jatuh di rumpun ilalang. Sementara itu, bahkan kulit tangannya telah terkelupas di beberapa tempat.

Wira Bledeg mengumpat keras-keras. Meskipun pergelangan tangannya terasa pedih, tetapi Wira Bledeg sama sekali tidak berniat bergeser surut.

Karena itu, maka untuk menghadapi Agung Sedayu kemudian, Wira Bledeg telah menarik pedangnya sekaligus pisau belatinya. Dengan demikian maka kedua tangannya telah menggenggam senjata yang akan dapat berbahaya bagi Agung Sedayu.

Sejenak kemudian, maka Wira Bledeg pun telah berloncatan untuk dapat menembus pertahanan ujung cambuk Agung Sedayu. Namun ia sama sekali tidak mendapat kesempatan. Ujung cambuk Agung Sedayu justru semakin lama menjadi semakin garang. Ketika Wira Bledeg terdesak, sehingga seakan-akan tidak mempunyai kesempatan lagi untuk menghindari serangan Agung Sedayu, maka tiba-tiba saja Wira Bledeg telah melemparkan pisau belatinya dengan tangan kirinya.

Agung Sedayu terkejut. Ia tidak mengira bahwa lawannya akan melepaskan senjatanya. Bahkan lontaran pisau belati itu demikian derasnya mengarah ke dadanya, di luar perhitungannya.

Agung Sedayu yang memiliki kemampuan memperingan tubuhnya itu telah melenting ke samping. Pisau belati itu hampir saja melukainya. Meskipun tidak mengoyak kulitnya, tetapi pisau itu telah sempat merobek lengan bajunya.

Agung Sedayu memang menjadi berdebar-debar, di samping kemarahannya yang semakin memanasi dadanya. Karena itu, maka sejenak kemudian cambuk Agung Sedayu pun menjadi semakin cepat menggelepar. Bukan saja semakin cepat, tetapi terasa getarannya semakin mencengkam jantung lawannya.

Ketika Agung Sedayu sempat memperhatikan pertempuran di sekitarnya, maka arus darahnya seakan-akan menjadi semakin cepat mengalir. Ia melihat korban berjatuhan dari kedua belah pihak yang bagaikan menjadi gila itu.

Namun Agung Sedayu tidak sempat berbuat banyak karena ia masih terikat dengan lawannya. Namun ketika ia melihat dua orang pengawal terlempar bersama-sama hampir menimpa dirinya dan kemudian terbanting jatuh untuk tidak bangkit lagi, maka Agung Sedayu tidak lagi dapat mengekang diri. Ia sadar, bahwa para pengawal yang menjadi korban pertempuran yang gila itu terjadi tidak saja di sekitarnya. Tetapi para tawanan yang kemudian bangkit dan mengadakan perlawanan itu tentu akan menjadi lebih gila lagi.

Karena itu, maka hampir di luar sadarnya, maka Agung Sedayu telah meningkatkan kemampuannya. Meskipun ia tidak sampai ke puncak kemampuannya itu dan melontarkan inti getaran ilmu cambuknya, namun dengan kecepatan yang tidak teratasi oleh Wira Bledeg, ujung cambuk Agung Sedayu telah melingkar di lambungnya.

Ketika Agung Sedayu menghentakkan cambuknya itu, maka Wira Bledeg telah terputar sekali. Tetapi ternyata bahwa Wira Bledeg tidak mampu menyesuaikan diri dengan serangan cambuk Agung Sedayu. Ia tidak berusaha berputar searah dengan tarikan cambuk Agung Sedayu. Tetapi kesombongannya telah membuatnya justru bertahan. Ia ingin menunjukkan bahwa ia memiliki kekuatan melampaui kekuatan Agung Sedayu.

Namun ternyata langkah yang diambilnya itu telah menghancurkan dirinya sendiri. Justru karena ia bertahan dengan kekuatan yang sangat besar, namun sementara itu tarikan ujung cambuk Agung Sedayu pun merupakan kekuatan yang sulit terlawan, maka ternyata bahwa kulit Wira Bledeg-lah yang telah terkelupas. Karah-karah baja pada ujung cambuk Agung Sedayu telah menyayat kulit dan bahkan daging Wira Bledeg.

Terdengar Wira Bledeg itu berteriak nyaring. Getaran suaranya yang memiliki kemampuan ilmu Gelap Ngampar itu telah mengguncang isi dada Agung Sedayu. Tetapi daya tahan Agung Sedayu ternyata masih mempu mengatasinya. Sehingga karena itu, maka Agung Sedayu masih tetap berdiri tegak sambil menggenggam tangkai cambuknya.

Dalam pada itu, lambung Wira Bledeg telah koyak melingkar. Luka itu adalah luka yang sangat parah, sehingga darahnya bagaikan diperas dari dalam tubuhnya.

Beberapa saat ia masih bertahan. Namun akibatnya Wira Bledeg itu pun telah kehilangan kekuatannya, sama sekali karena darahnya yang terlalu banyak keluar lewat luka-lukanya.

Akhirnya tubuh itu terguncang dan jatuh terjerembab di atas tanah berbatu-batu padas.

Agung Sedayu berdiri termangu-mangu sejenak. Namun kematian Wira Bledeg itu ternyata sangat berpengaruh atas orang-orangnya yang tersisa. Namun para pengawal Tanah Perdikan benar-benar telah kehilangan kekang diri, sehingga dengan demikian maka pertempuran yang terjadi adalah pertempuran yang paling ganas yang pernah terjadi.

Agung Sedayu pun kemudian berdiri termangu-mangu. Ia masih melihat kelompok-kelompok pengawal yang bertempur. Namun beberapa saat kemudian, maka Agung Sedayu menyadari kedudukannya. Karena itu, maka iapun telah berusaha untuk berbuat sesuatu.

Namun tidak banyak yang dapat dilakukan oleh Agung Sedayu. Yang dapat dilakukannya hanyalah mencegah para pengawal yang bersamanya mengejar orang-orang Wira Bledeg itu untuk tidak mengejar lagi sisa-sisa lawannya yang melarikan diri.

Tetapi Agung Sedayu seakan-akan tidak didengarkan lagi suaranya, meskipun ia telah berteriak-teriak.

Pertempuran itu akhirnya memang berhenti. Namun yang nampak di bekas medan itu benar-benar telah menggetarkan setiap jantung.

Dengan kepala tunduk dan langkah yang lesu, Agung Sedayu kembali ke iring-iringan pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Kidul yang masih terhenti. Jantungnya terasa berdebar semakin cepat ketika ia melihat Ki Gede Menoreh berdiri tegak di sebelah Glagah Putih dan Ki Demang Selagilang.

Beberapa langkah di depan mereka, Prastawa berdiri termangu-mangu. Pedangnya masih basah oleh darah.

Kehadiran Agung Sedayu telah melengkapi suasana yang tegang di bekas arena pertempuran itu.

“Sebagaimana kau lihat Agung Sedayu,“ desis Ki Gede.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang beberapa orang pemimpin kelompok yang ada di sekitarnya, maka mereka pun telah menundukkan kepalanya.

“Kita semuanya bagaikan kerasukan iblis,“ berkata Ki Gede, “kita telah kehilangan pribadi kita masing-masing.“

Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya, “Ya Ki Gede.“

“Sekarang, inilah yang terjadi,“ berkata Ki Gede.

Agung Sedayu memang agak ragu mengangkat wajahnya. Tetapi mau tidak mau ia harus menyaksikan keadaan di seluruh bekas medan pertempuran itu.

Ternyata bahwa kemarahan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu tidak dapat dikekang. Sementara para tawanan yang sempat bangkit telah menjadi seakan-akan gila.

Karena itu, maka pertempuran yang baru saja terjadi adalah bencana yang paling pahit yang telah terjadi. Peperangan memang selamanya mempunyai akibat yang sangat buruk. Tetapi pertempuran yang baru saja terjadi itu adalah pertempuran yang paling buruk.

Para pengawal memang sempat menyekat beberapa kelompok tawanan sehingga tidak tersentuh oleh kegilaan yang meledak. Tetapi sebagian dari para tawanan yang sempat mendapat senjata, benar-benar telah mengamuk tanpa mengekang diri. Mereka benar-benar telah kehilangan penalarannya. Apalagi mereka yang terikat sepanjang perjalanan dan sempat diputuskan tali pengikatnya. Maka mereka seakan-akan memang berusaha untuk mati daripada harus diikat kembali.

Karena itu, maka beberapa orang pengawal segera menjadi korban. Namun akibatnya, para pengawal pun telah mengamuk pula seperti para tawanan. Mereka pun telah kehilangan penalaran mereka melihat beberapa orang kawan mereka telah terbantai dengan bengisnya. 

Akibat dari pertempuran yang demikian, maka tubuh yang membeku telah terbujur malang lintang di padang terbuka yang berbatu-batu padas itu.

Bahkan sampai di jarak yang agak jauh, masih saja terdapat tubuh-tubuh yang terbaring diam dengan luka di tubuhnya.

“Kematian yang sia-sia,“ di luar sadarnya Agung Sedayu menggeram.

Ki Gede Menoreh pun kemudian melangkah maju. Dengan gejolak di jantungnya, maka Ki Gede pun kemudian duduk di atas batu padas di antara rumpun-rumpun ilalang. Dengan tatapan mata yang sayu Ki Gede memandang ke kejauhan, ke batas kaki langit yang sangat jauh.

Agung Sedayu memang menyesali apa yang telah terjadi. Tetapi semuanya terlanjur, sehingga tidak akan mungkin diulang kembali.

Dalam pada itu, selagi beberapa orang masih saja termangu-mangu, maka Ki Gede itu pun berkata, “Kita akan berhenti di sini. Kita akan menguburkan semua orang yang terbunuh. Sampai selesai. Sebelum semua dikuburkan, kita tidak akan beranjak dari tempat ini. Sementara sebelum kita berangkat, kita harus tahu pasti, berapa orang yang memerlukan bantuan untuk meneruskan perjalanan.“

Tidak ada yang menjawab. Tetapi perintah itu adalah ujud dari penyesalan yang sangat mendalam, bahwa pasukan pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu yang pimpinan sepenuhnya berada di tangannya, telah terlibat dalam satu pertempuran yang kasar, bahkan dapat disebut liar.

Sebenarnyalah para pengawal benar-benar telah kehilangan penalaran mereka, sehingga hampir semua tawanan yang memberontak telah terbunuh. Demikian pula sisa-sisa pengikut Ki Gede Kebo Lungit dan orang-orang Wira Bledeg.

Namun jumlah para pengawal yang menjadi korban juga terhitung banyak. Untunglah masih ada beberapa kelompok pengawal yang masih sempat berpikir, sehingga mereka berusaha untuk memisahkan para tawanan yang dapat mereka kuasai, sehingga para tawanan itu masih tetap hidup.

Yang kemudian dilakukan oleh para pengawal dan para tawanan yang tersisa adalah mengumpulkan mayat yang berserakan di antara batu-batu padas, di sela-sela rumpun-rumpun ilalang dan di balik gerumbul-gerumbul perdu.

Agung Sedayu yang berada di antara kesibukan para pengawal dan sisa-sisa tawanan yang masih hidup, merasakan betapa telah terjadi bencana yang sangat besar. Nilai-nilai kemanusiaan seolah-olah tidak lagi berlaku. Yang kemudian berbicara bukan lagi dikendalikan oleh budi, tetapi nafsu yang mengalir lewat ujung-ujung senjata.

Semakin banyak ia melihat, maka rasa-rasanya jantung Agung Sedayu menjadi semakin cepat berdetak. Penyesalan yang dalam menggelepar di dalam dadanya.

Ketika Glagah Putih kemudian berdiri di sampingnya, maka terdengar Agung Sedayu berdesah.

Glagah Putih tidak mengatakan sesuatu. Ia tahu, perasaan apa yang bergejolak di dalam dada kakak sepupunya. Bukan saja Agung Sedayu yang menyesali kejadian itu. Tetapi semua pemimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu. Selain korban dari antara para pengawal bertambah banyak, juga ternyata bahwa mereka telah melakukan pembunuhan tidak terkendali.

Agung Sedayu memandang ke arena tempat ia membunuh Wira Bledeg. Beberapa orang pengawal dan beberapa orang tawanan dalam pengawasan yang kuat tengah mengumpulkan orang-orang yang telah terbunuh.

Namun satu hal yang masih saja dipikirkan oleh Agung Sedayu adalah bahwa Ki Gede Kebo Lungit ternyata tidak tampil di peperangan itu. Mungkin ia memang tidak ada di sekitar arena pertempuran itu, tetapi mungkin ia memang sengaja bersembunyi dan kemudian diam-diam melarikan diri.

Yang tidak kalah pentingnya adalah para petugas yang harus menyediakan perbekalan. Mereka tidak lagi mempunyai persediaan cukup banyak. Karena itu, maka untuk persediaan makan para prajurit dan pengawal, para petugas perbekalan harus melakukan penghematan sejauh-jauhnya.

Namun para pengawal dari Tanah Perdikan dan Pegunungan Sewu menyadari sepenuhnya akan hal itu. Dengan demikian maka mereka akan menerima apa adanya. Meskipun mereka harus bekerja keras, namun pada hari itu, mereka tidak dapat makan cukup sebagaimana hari-hari sebelumnya.

Adalah kebetulan bahwa tidak terlalu jauh dari padang terbuka itu terdapat hutan bambu liar. Namun dalam hutan bambu apus dan bambu wulung itu terdapat banyak rebung yang baru tumbuh. Rebung-rebung bambu itu ternyata dapat membantu para petugas perbekalan untuk menyiapkan makan para pengawal. Sedikit nasi diganjal dengan rebung bambu yang juga dapat membuat perut kenyang. Para pengawal tidak peduli, rebung itu telah menjadi masakan jenis apapun. Asal saja terasa di dalamnya asinnya garam dan sedikit manisnya gula.

Namun para petugas perbekalan merasa sedikit lega bahwa para pengawal telah menerima dan makan masakan rebung mereka tanpa memberikan banyak keluhan.

Hari itu diwarnai dengan wajah-wajah murung dan penyesalan. Tetapi juga kerja keras menggali lubang-lubang kubur untuk kawan dan lawan. Beberapa orang tawanan telah dipekerjakan pula membantu menggali lubang-lubang buat kawan-kawan mereka yang jumlahnya sempat mendirikan bulu-bulu tengkuk.

Ketika malam turun, maka obor-obor pun terpasang. Penjagaan diperketat di seluruh penjuru. Karena setiap saat dapat saja sekelompok orang merangkak memasuki lingkungan perkemahan yang terbuka itu dan kemudian melakukan tindakan-tindakan gila sebagaimana dilakukan para tawanan, sehingga memancing para pengawal untuk melakukan hal yang sama.

Sementara itu, beberapa orang masih saja sibuk menyelesaikan tugas mereka. Namun ada pula di antara para pengawal yang sudah terbaring karena kelelahan.

Ki Gede sendiri masih saja duduk di atas batu padas. Sekali-sekali Prastawa yang cemas melihat keadaan pamannya itu mempersilahkannya untuk beristirahat. Namun Ki Gede masih selalu menjawab, “Beristirahatlah dahulu. Aku masih belum merasa letih.“

Agung Sedayu, Glagah Putih dan Ki Demang Selagilang juga telah mempersilahkannya. Namun jawabnya sama saja. Agaknya Ki Gede benar-benar menyesali peristiwa yang baru saja terjadi.

“Kita tidak dapat mencegahnya,“ berkata Agung Sedayu, “dorongan itu begitu kuat, karena kita mengalami desakan yang tidak terelakkan.“

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, Ki Demang Silagilang berkata, “Betapapun kita menyesalinya, namun kita tidak boleh terbenam dalam keadaan yang tidak berujung. Kita harus dapat menempatkan diri kita, mengatasi bencana yang mencengkam perasaan kita.“

Ki Gede mengangguk-angguk. Namun dengan nada rendah ia berkata, “Aku mengerti. Tetapi biarkan aku di sini untuk beristirahat.“

“Ki Gede memerlukan istirahat yang lebih baik daripada duduk di sini,“ berkata Ki Demang Selagilang.

“Dimana-mana sama saja. Kita akan berada di tempat yang terbuka. Embun akan membasahi kita, sementara kita akan tetap menghirup udara yang basah ke dalam dada kita.”

“Tetapi Ki Gede dapat berbaring di tempat yang lebih hangat,“ berkata Ki Demang.

“Bukankah aku dan orang-orang lain ini tidak ada bedanya? Jika kalian mencemaskan aku, kenapa kalian tidak mencemaskan orang lain, dan bahkan diri kalian sendiri?“ bertanya Ki Gede. Ki Demang Selagilang hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Agung Sedayu, Glagah Putih dan Prastawa memang tidak dapat berbuat banyak.

Karena itu, maka mereka pun telah beringsut beberapa langkah dan duduk pula di atas batu-batu padas, sementara Ki Demang Selagilang duduk tidak jauh dari Ki Gede yang masih saja merenung.

Menjelang tengah malam, barulah semua pekerjaan selesai.

Orang-orang yang letih serta basah oleh keringat dan kotor karena tanah berbatu padas yang melekat, ada yang tidak sempat mencuci tubuh mereka di parit yang mengalir di sela-sela batu-batu padas. Begitu letihnya tubuh mereka, sehingga begitu mereka selesai dengan tugas mereka, maka mereka pun langsung menjatuhkan diri di atas rerumputan.

Tetapi ketika perut mereka terasa lapar, maka mereka terpaksa untuk setidak-tidaknya mencuci tangan dan muka sebelum mereka makan.

Para pengawal dan para tawanan itu harus menerima kenyataan bahwa mereka tidak mendapat bagian nasi sehingga kenyang. Mereka hanya mendapat nasi beberapa suap. Namun kemudian mereka dipersilahkan makan rebung bambu seberapa mereka kehendaki, karena rebung bambu itu dapat diambil sebanyak diperlukan di hutan bambu yang tidak terlalu jauh dari perkemahan mereka.

Sementara itu beras yang tersisa hanya diperuntukkan esok pagi-pagi menjelang dini sebelum mereka berangkat melanjutkan perjalanan. Itupun hanya beberapa suap pula seperti yang mereka terima malam itu, yang akan mereka makan dengan rebung pula.

Beberapa orang pengawal sempat menemukan rumpun-rumpun jamur so yang berwarna kehitam-hitaman. Namun yang tidak cukup banyak untuk sekelompok pengawal, sehingga hanya beberapa orang saja yang ikut sibuk di dapur untuk memasak jamur so dengan bumbu brambang salam, dibungkus daun pisang yang mereka dapatkan tumbuh liar di padang terbuka itu, kemudian di masukkan ke dalam abu panas di bawah perapian. Pepes jamur so akan menjadikan orang-orang yang hidup di kota pun mau membeli dengan harga yang mahal. Tetapi jamur so memang jarang-jarang diketemukan dan tidak mudah untuk sengaja ditanam.

Namun orang-orang itu sedikit kecewa bahwa yang mereka makan kemudian hanya sedikit nasi dan yang terbanyak adalah rebung-rebung, sehingga mereka kurang dapat menikmati jamur so mereka.

Malam pun kemudian berlalu dengan lamban. Akhirnya Ki Gede pun bersedia untuk beristirahat dengan berbaring di atas tikar rangkap. Meskipun terasa dinginnya embun malam hari, tetapi Ki Gede sempat pula tidur beberapa saat. Demikian pula para pemimpin yang lain serta para pengawal, selain mereka yang memang bertugas.

Jauh sebelum dini, para petugas di dapur telah terbangun dan menyiapkan makan para pengawal. Beras yang sedikit yang hanya sempat dibawa dengan kuda beban, adalah butir-butir terakhir dari perbekalan mereka.

Demikianlah, menjelang fajar semuanya telah bersiap. Para pengawal sempat melihat gundukan-gundukan tanah yang merah di antara batu-batu padas, rumpun-rumpun ilalang dan gerumbul-gerumbul perdu. Mereka telah memberikan tanda pada kuburan para pengawal yang dipisahkan dari para tawanan dan para pengikut Wira Bledeg dan Ki Gede Kebo Lungit.

Namun satu hal yang harus diingat oleh Agung Sedayu dan para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu, bahwa Ki Gede Kebo Lungit masih belum tertangkap. Ia dapat saja setiap saat muncul di Tanah Perdikan Menoreh atau di Pegunungan Sewu. Namun sasaran utama Ki Gede Kebo Lungit tentu Agung Sedayu dari Tanah Perdikan Menoreh. Persoalannya kemudian tentu sudah terpisah dari persoalan antara Mataram dan Madiun, atau persoalan antara Madiun dan Padepokan Ki Gede Kebo Lungit. Persoalannya kemudian adalah dendam antara Ki Ki Gede Kebo Lungit kepada anak yang masih dianggapnya terlalu muda untuk dapat mengalahkannya. Agung Sedayu yang memiliki kemampuan ilmu cambuk yang sangat tinggi.

Ketika fajar menyingsing, maka iring-iringan itu mulai bergerak. Agung Sedayu masih berada di paling depan dengan sekelompok pengawal. Kemungkinan-kemungkinan buruk masih saja dapat terjadi.

Namun di bawah irama derap kaki para prajurit, Agung Sedayu sempat merenung.

Ia berharap bahwa peperangan yang gila itu akan dapat menjamin ketenangan hidup dan perdamaian di masa mendatang. Hendaknya Madiun tidak lagi selalu dibayangi oleh kekuatan Ki Gede Kebo Lungit yang telah dihancurkan sampai lumat. Seandainya Ki Gede Kebo Lungit berusaha bangkit, maka Madiun pun tentu sudah bangkit pula, sehingga akan mampu mengimbangi kekuatan padepokan Ki Gede Kebo Lungit.

Namun Agung Sedayu pun merasakan semacam tuduhan yang tajam pada langkah yang diambilnya. Untuk menjaga kedamaian di masa mendatang, maka harus terjadi perang yang paling gila yang pernah dialaminya.

Apakah keinginan untuk tenteram dan damai dari sesamanya itu dapat dibangun di atas landasan yang lain daripada pembunuhan? Kenapa tidak dilakukan dengan menyusupkan perasaan cinta kasih ke dalam setiap hati, sehingga tenteram dan damai itu akan terwujud? 

Namun Agung Sedayu tidak dapat menolak satu kenyataan, bahwa tidak setiap hati akan membukakan pintu bagi ketukan cinta kasih itu, meskipun selalu terdengar suara sumeling di setiap telinga, mengumandang di seluruh telakup langit dan di seluruh permukaan bumi, tentang tenteram, damai serta cinta kasih yang sejati.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Memang terlalu sulit untuk dapat mengerti kemauan sesamanya di atas bumi ini. Sehingga kadang-kadang seseorang harus melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nuraninya, yang sering tidak sejalan dengan penalarannya.

Demikianlah iring-iringan itu berjalan terus. Mereka telah menuruni jalan yang lebih lebar dan lebih rata. Mereka mulai meninggalkan padang terbuka yang berbatu-batu padas dan miring. Kadang-kadang menurun tajam. Namun kadang-kadang naik mendaki.

Ketika mereka sudah berjalan di jalan yang sedikit rata, maka iring-iringan itu menjadi semakin cepat maju. Para pemimpin Tanah Perdikan dan Pegunungan Sewu berharap bahwa mereka akan dapat mencapai Madiun meskipun malam hari.

Namun betapapun mereka menjadi semakin cepat berjalan, tetapi beberapa orang yang harus ditandu memang telah manghambat perjalanan. Tetapi orang-orang itu tidak akan dapat ditinggalkan begitu saja. Apalagi para pengawal yang terluka agak parah.

Glagah Putih yang berjalan di sebelah Ki Gede Menoreh bersama dengan Prastawa, setiap kali harus memperhatikan kedaan Ki Gede. Luka-lukanya memang sudah semakin baik. Kekuatannya pun sudah berangsur pulih. Namun goncangan perasaannya ternyata telah membuat keadaannya seakan-akan menyusut kembali. Kepalanya terasa pening dan tulang-tulangnya terasa nyeri.

Di luar sadarnya Ki Gede telah mengatakannya kepada Prastawa, yang menjadi gelisah dan berbisik pula di telinga Glagah Putih.

“Apakah Ki Gede sebaiknya dipersilahkan naik tandu?“ desis Glagah Putih.

Prastawa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Aku akan mencoba menyampaikannya.“

Namun Prastawa masih saja ragu-ragu. Ia mengerti bahwa pamannya tidak akan begitu saja menerima pendapat itu. Namun menilik keadannya, pamannya memang menjadi semakin lemah. Selain goncangan perasaan yang mencengkamnya di saat-saat terjadi pertempuran yang buas antara para pengawal dengan para pengikut Wira Bledeg, sisa-sisa pengikut Ki Gede Kebo Lungit dan para tawanan yang sempat disentuh api sehingga menyala tidak terkendali, ternyata bahwa kesehatan Ki Gede Menoreh memang masih belum pulih sepenuhnya. Perjalanan yang panjang sangat berpengaruh atas keadaannya. Sementara itu matahari yang memanjat langit semakin tinggi, panasnya bagaikan membakar kulit.

Namun iring-iringan itu berjalan terus. Kuda-kuda beban pun mulai merasa haus.

Dengan demikian, maka para pemimpin pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu kemudian merasa perlu untuk menghentikan perjalanan itu, agar para pengawal dan kuda-kuda beban yang terdapat dalam iring-iringan itu sempat beristirahat.

Ketika mereka menemukan tempat yang paling baik di tepi hutan yang sejuk karena pepohonan yang tumbuh dengan lebatnya, maka iring-iringan itu telah berhenti. Sebagian dari iring-iringan itu berada di padang perdu di pinggir hutan itu, sedangkan yang lain berlindung di bawah bayangan pohon-pohon yang berdaun lebat di pinggir hutan itu.

Para pengawal itu sama sekali tidak menjadi cemas terhadap binatang-binatang buas yang ada di dalam hutan itu. Bahkan sekelompok serigala sekalipun, karena jumlah para pengawal itu pun cukup banyak.

Selama beristirahat, maka kuda-kuda beban itu sempat minum dari sebuah parit yang berair jernih. Kemudian makan rerumputan hijau yang nampaknya begitu segar.

Namun para pengawal tidak dapat menikmati makan dan segarnya minuman, karena mereka mengerti bahwa tidak ada sebutir beras pun yang masih tersisa, kecuali rebung yang direbus dengan garam dan gula. Meskipun mereka merasa bahwa perut mereka mulai mengganggu justru saat mereka beristirahat, namun mereka harus bertahan sampai mereka memasuki barak-barak di Madiun. Mereka pun tidak dapat memperhitungkan, apakah di Madiun mereka akan segera dapat mengurangi perasaan lapar dengan cara apapun juga.

Justru karena itu, maka para pengawal itu berharap bahwa mereka segera melanjutkan saja perjalanan mereka, agar mereka dapat melupakan gejolak di dalam perut mereka.

Tetapi Prastawa menjadi semakin cemas tentang pamannya. Karena itu, ia telah berbicara dengan Agung sedayu, Glagah Putih yang selalu mendampingi Ki Gede, dan Ki Demang Selagilang.

“Apakah kita akan segera berangkat lagi, justru keadaan Ki Gede menjadi semakin kurang baik?“ bertanya Prastawa.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki Demang bertanya, “Mana yang lebih baik, kita segera sampai ke Madiun atau kita beristirahat lebih lama?“

“Ada beberapa hal yang harus kita pikirkan,“ berkata Agung Sedayu, “keadaan Ki Gede sekaligus keadaan para pengawal. Kita sudah tidak mempunyai persediaan apapun lagi bagi mereka.“

Ki Demang mengangguk-angguk. Sementara Prastawa berbeda, “Ya. Para pengawal memang sudah menjadi gelisah.“

“Bagaimana jika Ki Gede kita persilahkan naik tandu jika keadaannya memburuk lagi?“ bertanya Glagah Putih.

Yang lain mengangguk-angguk. Agaknya itu adalah satu-satunya jalan.

“Sebaiknya kakang Agung Sedayu dan Ki Demang sajalah yang menyampaikannya kepada Ki Gede,“ berkata Glagah Putih kemudian.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun harus melakukannya bersama Ki Demang.

“Apa boleh buat,“ berkata Agung Sedayu.

Ki Demang pun mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Baiklah. Aku akan mencobanya.“

Dengan demikian maka kedua orang itu pun kemudian telah menemui Ki Gede yang beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang di hutan perdu itu.

Menurut pengamatan Agung Sedayu dan Ki Demang, maka keadaan Ki Gede memang memburuk. Sementara itu tabib yang merawatnya telah berbuat segala sesuatu yang terbaik bagi Ki Gede.

Namun tabib itu pun mengerti sebagaimana Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang, bahwa peristiwa yang terjadi di padang terbuka itu telah mengejutkannya.

Ki Gede yang melihat Agung Sedayu dan Ki Demang mendekatinya itu pun segera tanggap. Mereka memang sudah cukup lama beristirahat. Karena itu, memang sudah waktunya mereka meneruskan perjalanan.

Karena itu, sebelum Agung Sedayu dan Ki Demang mengatakan sesuatu, Ki Gede telah bangkit dan duduk.

Agung Sedayu dan Ki Demang pun telah duduk di hadapan Ki Gede, yang kemudian menjadi termangu-mangu.

“Kenapa?“ bertanya Ki Gede.

“Kami memikirkan kemungkinan yang terbaik bagi Ki Gede,“ berkata Agung Sedayu.

“Aku kenapa?“ Ki Gede justru bertanya.

“Nampaknya Ki Gede menjadi sangat letih.“ desis Ki Demang.

“Aku bertambah baik,“ jawab Ki Gede.

Namun Agung Sedayu pun berkata, “Ki Gede. Menurut pengamatan kami, perjalanan yang panjang ini sangat melelahkan bagi Ki Gede yang baru saja sembuh, yang bahkan keadaannya masih belum pulih sepenuhnya.“

“Aku tidak apa-apa,“ berkata Ki Gede.

“Ki Gede,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “sebenarnya kami ingin mengusulkan, beberapa orang akan membantu Ki Gede dengan sebuah tandu. Nanti, jika keadaan Ki Gede menjadi semakin baik, maka Ki Gede akan dapat meneruskannya dengan berjalan kaki lagi.“

“Kenapa dengan sebuah tandu?“ bertanya Ki Gede, “Aku tidak apa-apa. Keadaanku terasa semakin baik. Aku akan berjalan seperti yang lain. Keadaanku pun baik sebagaimana para pengawal.“

Agung Sedayu dan Ki Demang memang sudah mengira bahwa Ki Gede akan merasa berkeberatan. Namun Agung Sedayu masih mencoba, “Tetapi para pengawal tidak dalam keadaan seperti Ki Gede. Sedangkan mereka yang terluka juga masih memerlukan bantuan tandu, yang diusung oleh kawan-kawannya.“

“Tidak,“ jawab Ki Gede tegas, “aku tidak apa-apa.”

“Bagaimana dengan kaki Ki Gede?“ bertanya Agung Sedayu.

“Kakiku tidak apa-apa,“ jawab Ki Gede.

Agung Sedayu dan Ki Demang memang tidak dapat memaksa. Sementara itu Ki Gede justru telah bangkit berdiri sambil berkata, “Kita berangkat sekarang.“ Agung Sedayu justru menarik nafas dalam-dalam. Namun perintah Ki Gede itu telah disampaikan kepada seorang penghubung, yang meneruskan perintah itu kepada semua kelompok.

Dengan demikian maka seluruh pasukanp un segera bersiap. Ki Demang pun kemudian justru telah bersiap pula untuk kembali ke pasukannya. Namun ia sempat berbisik, “Kau amati saja selama perjalanan. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia memang tidak dapat berbuat lain.

Demikianlah, maka seluruh iring-iringan itu pun segera bersiap. Agung Sedayu yang kembali ke kelompoknya berkata kepada Prastawa dan Glagah Putih, “Kita tidak dapat membujuk Ki Gede untuk berada di atas tandu. Karena itu, amati saja dalam perjalanan. Jika keadaannya memaksa, maka apa boleh buat. Kita akan sedikit memaksa Ki Gede untuk bersedia naiki ke atas tandu.“

Glagah Putih dan Prastawa mengangguk-angguk. Tetapi mereka memang sudah mengira, bahwa sulit untuk memaksa Ki Gede duduk di atas tandu dan diusung oleh para pengawal.

Beberapa saat kemudian, iring-iringan itu pun telah bergerak menyusuri jalan-jalan panjang menuju ke Madiun.

Ki Gede memang menjadi letih. Tetapi Ki Gede berjalan terus didampingi oleh Glagah Putih dan Prastawa. Tombaknya masih tetap di genggamannya, meskipun sekali-sekali justru telah dipergunakannya sebagai tongkat jika terasa kakinya bergetar.

Madiun memang menjadi semakin dekat. Sementara itu, matahari menjadi semakin rendah. Pasukan pengawal itu berjalan semakin lamban. Kulit mereka yang terbakar oleh cahaya matahari menjadi kehitam-hitaman.

Sementara itu mereka tidak lagi dapat berharap untuk mendapatkan tenaga baru. Mereka memang berhenti di sebuah belik yang airnya bersih. Mereka dapat minum sepuas-puasnya. Tetapi hanya minum air dari belik itu. Selebihnya tidak ada apa-apa lagi. Hanya kuda-kuda yang ada di dalam iring-iringan itu sajalah yang dapat makan rerumputan segar.

Namun pasukan pengawal yang berjalan dalam terik matahari itu memang memerlukan waktu untuk beristirahat. Beberapa orang di kelompok-kelompok pengawal itu telah jatuh tertidur demikian mereka menjatuhkan diri di atas rerumputan di bawah pohon-pohon rindang. Rasa-rasanya mereka tidak lagi mampu untuk meneruskan perjalanan.

Ki Gede sendiri keadaannya memang menjadi semakin kurang baik. Tetapi Ki Gede tetap pada pendiriannya. Ia tidak mau dibantu dengan sebuah tandu. Ki Gede ingin berjalan bersama para pengawal, meskipun tubuhnya menjadi sangat letih.

Untuk beberapa lama para pengawal beristirahat. Rasa-rasanya mereka sudah tidak ingin bergerak lagi. Ketika matahari turun ke balik cakrawala, maka udara menjadi semakin sejuk. Para pengawal yang beristirahat merasa semakin malas untuk bergerak lagi. Sementara itu perut mereka pun terasa semakin mengganggu.

Tetapi mereka memang tidak mempunyai pilihan lain kecuali meneruskan perjalanan menuju ke Madiun. Di Madiun mereka akan dapat berusaha untuk mendapatkan apa saja yang dapat mengurangi gangguan perut mereka.

Betapapun letihnya, namun iring-iringan pasukan itu telah melanjutkan perjalanan mendekati Kota Madiun. Kota yang telah menjadi semakin dekat itu rasa-rasanya masih terlalu jauh. Apalagi mereka yang sedang mendapat giliran untuk memanggul tandu. Rasa-rasanya tidak ada lagi minat untuk melangkahkan kaki.

Dengan demikian maka iring-iringan itu berjalan semakin lamban. Sementara Ki Gede sendiri sudah tidak dapat lagi berjalan agak cepat. Keadaannya memang tidak memungkinkan, sedang kakinya yang memang sudah cacat, terasa semakin mengganggu. Tetapi Ki Gede tetap menolak untuk diusung di atas tandu.

Tabib yang merawatnya memang telah memberikan obat khusus untuk menguatkan badan Ki Gede selama perjalanan. Bahkan obat itu diulanginya sampai tiga kali selama perjalanan. Namun obat itu hanya sekedar membantunya. Bagaimanapun juga nampak bahwa keadaan Ki Gede memang sulit.

Namun betapapun beratnya, maka iring-iringan itu pun semakin mendekati gerbang Kota Madiun. Agung Sedayu dan Ki Demang telah minta Ki Gede untuk naik kuda jika menolak untuk diusung dengan tandu. Namun rasa-rasanya saran mereka tidak didengarnya. Sejak semula ki Gede sudah menolak untuk naik kuda. Dengan cepat Ki Gede berkata, “Aku akan berjalan kaki sampai ke Madiun. Seperti para pengawal yang lain.“

Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ternyata sikap Ki Gede itu telah memberikan nafas kepada para pengawal yang juga merasa sangat letih.

Akhirnya Agung Sedayu, Ki Demang Selagilang dan para pemimpin pasukan itu, termasuk penunjuk jalan yang telati dipersiapkan sebelumnya, yang ternyata mempunyai kaitan dengan perguruan Ki Gede Kebo Lungit sehingga mempermudah tugasnya, serta para pemimpin yang lain, menyadari bahwa apa yang dilakukan oleh Ki Gede itu mempunyai arti yang sangat tinggi.

Justru karena Ki Gede yang masih belum pulih seutuhnya itu menempuh perjalanan dengan berjalan kaki betapapun letih dan lemahnya, maka para pengawal pun telah melakukannya pula dengan hati yang tetap tegar. Meskipun mereka menjadi sanngat lelah dan perut terasa lapar, namun mereka tidak mengeluh.

Mereka melihat Ki Gede yang sudah menjadi semakin tua itu pun melakukan hal yang sama. Berjalan dari padepokan Ki Gede Kebo Lungit sampai ke Madiun. Apalagi kesehatan Ki Gede Menoreh masih belum bulat utuh kembali.

Seandainya Ki Gede Menoreh tidak melakukannya, maka iring-iringan itu tentu akan mengalami hambatan lebih besar lagi. Para pengawal tentu akan mengeluh. Mereka akan kehilangan ketegaran jiwa dan merasa menjadi sangat letih. Bahkan sangat lapar, sehingga mereka akan merasa segan untuk melanjutkan perjalanan mereka.

Tetapi karena Ki Gede Menoreh yang tua dan lemah karena luka-lukanya itu berjalan juga dari padepokan Ki Gede Kebo Lungit, maka para pengawal itu pun telah melakukannya pula.

Namun Ki Gede Menoreh memang telah memaksa diri. Sebenarnya wadag Ki Gede kurang mendukung tekadnya yang besar, yang pengaruhnya telah menyentuh hati setiap pengawal yang hampir kehilangan gairah untuk menyelesaikan perjalanan mereka. Dengan memandang Ki Gede Menoreh yang lemah, maka para pengawal itu telah menguatkan dirinya berjalan sampai tujuan. Madiun.

Demikian iring-iringan itu di malam buta mendekati pintu gerbang Madiun, maka tiba-tiba saja ketika seorang berteriak bahwa mereka telah sampai ke batas kota, maka para pengawal itu telah menyahut dengan sorak yang gemuruh.

Para penghuni padukuhan di perbatasan itu telah terkejut. Beberapa orang telah menjenguk dari regol rumahnya. Ternyata mereka melihat sebuah iring-iringan yang agaknya sepasukan pengawal yang hendak memasuki pintu gerbang.

Para petugas di pintu gerbang telah menghentikan pasukan itu. Para petugas yang terdiri dari para prajurit Mataram yang memang ditinggalkan di Madiun bersama beberapa orang prajurit Madiun.

Ketika mereka melihat Agung Sedayu berdiri di hadapan mereka, maka para petugas itu pun segera mempersilahkan mereka meneruskan perjalanan memasuki Kota Madiun.

Agung Sedayu yang berjalan di paling depan telah membawa seluruh pasukan itu ke barak yang pernah dipergunakan oleh para pengawal Tanah Perdikan Menoreh sebelum mereka berangkat ke padepokan Ki Gede Kebo Lungit.

Ternyata barak itu memang belum dipergunakan. Yang ada di barak itu hanyalah beberapa orang petugas yang menjaga dan memelihara barak yang kosong itu. Sehingga dengan demikian, maka seluruh iring-iringan telah dibawa masuk ke halaman barak itu.

Lampu-lampu pun segera dipasang di tempat-tempat yang sebelumnya gelap. Obor telah menyala pula di seketheng dan di halaman belakang.

Dengan cepat Prastawa telah membagi tugas. Demikian pula para pengawal dari Pegunungan Sewu. Selebihnya, telah masuk ke ruang yang manapun, atau bahkan begitu saja berbaring di pendapa, di pringgitan dan di serambi, tanpa sehelai tikar pun.

Ki Gede Menoreh memang menjadi sangat letih. Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang telah mempersilahkan beristirahat di ruang dalam.

Semula Ki Gede memang masih ingin menunda. Ia ingin melihat keadaan seluruh pasukan yang letih itu. Namun tabib yang merawatnya pun telah sedikit memaksanya agar Ki Gede beristirahat dengan sebaik-baiknya di ruang dalam.

“Pasukan ini telah sampai ke tujuan Ki Gede,“ berkata tabib yang merawatnya.

Ki Gede pun akhirnya telah mengikuti petunjuk tabib itu, dan diikuti oleh Prastawa dan Glagah Putih masuk ke ruang dalam. Bahkan kemudian Ki Gede pun bersedia untuk berbaring di sebuah amben yang besar yang berada di ruang tengah, ditunggui oleh tabib yang merawatnya. Sementara para pemimpin yang lain telah sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Mengatur penjagaan dan menempatkan orang-orang yang terluka. Menempatkan para tawanan, dan menugaskan kepada bagian perbekalan untuk mengurus makan dan minum seluruh pasukan yang letih dan kelaparan itu.

Beberapa orang petugas telah berusaha menghubungi para petugas yang berada di kota . Memang agak sulit, karena di malam hari tidak mudah untuk bertemu dengan orang-orang yang bertanggung jawab, bukan sekedar petugas yang menunggui lumbung-lumbung padi dan beras.

Namun para petugas yang baru datang dan merasa sangat letih itu menjadi tidak sabar. Ketika dua kali ia mondar-mandir mencari orang-orang yang dapat membuka lumbung dan mengeluarkan beberapa pikul beras tidak juga diketemukan, sedangkan orang yang lain menolak untuk datang ke lumbung dan minta agar petugas yang berusaha mendapatkan beras itu datang di keesokan harinya, maka mereka telah mengambil langkah sendiri.

Beberapa orang petugas yang letih, dan bukan saja diri mereka sendiri yang menjadi lapar, tetapi seluruh pasukan telah menjadi lapar, maka mereka tidak lagi sempat membuat pertimbangan-pertimbangan lagi. Lima orang di antara mereka telah kembali ke lumbung, sedang dua orang memberikan laporan kepada Agung Sedayu tentang niat kelima orang yang pergi ke lumbung, untuk mengambil sendiri beras bagi pasukan yang letih dan lapar itu.

Agung Sedayu terkejut mendengar laporan itu. Karena itu maka dengan tergesa-gesa Agung Sedayu bersama kedua orang itu telah langsung pergi ke lumbung.

Ketika Agung Sedayu sampai ke lumbung, maka kelima orang petugas dari Tanah Perdikan yang marah itu telah menarik pedangnya mengancam tiga orang penjaga lumbung itu.

“Jika kalian tidak berani membuka pintu lumbung itu, kami akan membuka sendiri!“ bentak salah seorang dari kelima orang itu.

”Kau akan digantung di alun-alun,“ geram orang yang diancam itu.

“Aku tidak peduli! Lebih baik kami berlima digantung di alun-alun daripada seluruh pasukan kami kelaparan malam ini!“ teriak pengawal yang bertugas sebagai pemimpin di bagian perbekalan itu.

Agung Sedayu yang datang dengan tergesa-gesa sempat meredakan kemarahan pengawal itu. Dengan nada dalam Agung Sedayu bertanya kepada ketiga orang petugas yang menjaga lumbung itu, “Siapa yang bertanggung jawab atas lumbung ini ,dan berwenang mengeluarkan perintah mengeluarkan beras dari lumbung?“

“Ki Lurah Reksaboga,“ jawab petugas itu.

Agung Sedayu yang mendapat ancar-ancar letak tempat tinggal Ki Lurah Reksaboga itu pun telah berniat untuk datang kepadanya. Namun petugas perbekalan yang akan mengambil beras langsung dari Tanah Perdikan itu berkata, “Kami telah datang ke rumahnya. Tetapi Ki Lurah menolak menerima kami. Kami diminta untuk datang esok pagi.”

Kepada petugas yang menjaga lumbung, Agung Sedayu bertanya, “Ki Lurah Reksaboga itu bukankah seorang prajurit Mataram yang datang bersama Panembahan Senapati?”

“Ya,“ jawab petugas di lumbung itu.

“Dan kalian?“ bertanya Agung Sedayu.

“Kami juga,“ jawab petugas itu.

Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Jika demikian aku akan menemuinya. Mau atau tidak mau.“

“Apakah kami harus ikut bersama-sama?“ bertanya seorang di antara petugas perbekalan itu.

“Dua orang diantara kalian. Yang lain tinggal di sini,“ berkata Agung Sedayu.

Dengan tergesa-gesa Agung Sedayu bersama dua orang pengawal telah pergi ke rumah Ki Lurah Reksaboga. Namun seperti yang dikatakan oleh petugas perbekalan itu, ketika Agung Sedayu mengetuk pintu regol sebuah barak, dua orang petugas telah membukanya dan berkata, “Ki Lurah sedang beristirahat. Jangan kalian ganggu. Bukankah kalian telah datang kemari tadi dan langsung mendapat jawaban dari Ki Lurah yang marah?“

“Aku akan bertemu dengan Ki Lurah,“ berkata Agung Sedayu tanpa menghiraukan para penjaga.

“Berhenti!“ bentak penjaga itu.

“Aku akan berhenti di sini. Tetapi aku minta kalian sampaikan sekali lagi kepada Ki Lurah, bahwa aku dari Tanah Perdikan Menoreh, atas nama pasukan pengawalnya dan pasukan pengawal dari Pegunungan Sewu, ingin bertemu,“ berkata Agung Sedayu.

“Tidak. Ki Lurah akan menjadi semakin marah,“ berkata penjaga itu.

“Aku harus menemuinya, atau aku akan melakukan tindakan di luar paugeran,“ berkata Agung Sedayu yang menjadi tidak sabar pula. Betapapun ia di setiap langkah-langkahnya terkekang oleh berbagai macam pertimbangan, namun Agung Sedayu seakan-akan sedang membawa beban perasaan letih dan lapar dari sepasukan prajurit dan tawanan.

“Kau mau pergi atau kami harus melemparkan kalian keluar?“ bentak penjaga itu.

Dalam keadaan yang sangat khusus itu, jantung Agung Sedayu bagaikan tersengat api mendengar kata-kata itu. Adalah di luar sadarnya, bahwa tiba-tiba saja Agung Sedayu telah memukul penjaga itu demikian kerasnya sehingga iapun telah jatuh terguling, dan langsung menjadi pingsan.

Penjaga yang seorang lagi ternyata tak tanggung-tanggung pula. Tiba-tiba saja ia telah mendorong tombaknya lurus ke arah Agung Sedayu yang masih berdiri termangu-mangu manyaksikan orang yang terjatuh itu.

“Agung Sedayu!“ teriak seorang pengawal yang menyertainya.

Agung Sedayu sempat berpaling. Dengan tangkasnya ia telah meloncat menghindari ujung tombak itu dan tangannya telah terayun pula ke tengkuk orang itu, sehingga orang itu terdorong searah dengan garis serangannya. Dengan keras orang itu jatuh terjerembab, dan bahkan pukulan ditengkuknya itu telah membuatnya pingsan pula.

Keributan itu ternyata telah membangunkan beberapa orang prajurit yang ada di barak itu. Barak yang nampaknya khusus untuk beberapa petugas penting, karena barak itu ternyata tidak terlalu besar. Hanya ada sederet bangunan dan sebuah pendapa yang tidak terlalu besar.

Empat orang prajurit telah keluar dari ruang dalam. Demikian mereka melihat keadaan, maka merekapun langsung menarik senjata mereka.

“Siapakah kalian?“ bertanya seorang di antara mereka.

“Dimana Ki Lurah Reksaboga?“ bertanya Agung Sedayu.

“Siapa kalian?“ prajurit itu membentak.

“Aku salah seorang pimpinan dari para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Aku datang atas nama para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan dari Pegunungan Sewu,“ jawab Agung Sedayu.

“O,“ prajurit itu mengangguk-angguk, “jadi kau pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh. Mau apa kau menghadap Ki Lurah malam-malam begini?“

“Aku ingin bicara,“ jawab Agung Sedayu.

“Sekarang kalian terpaksa kami tangkap. Nampaknya kau sudah membuat keributan di sini. Aku lihat dua orang prajurit terbujur pingsan. Tentu kalian bertiga telah mengeroyoknya,“ berkata prajurit itu.

“Mereka menghalangi aku yang ingin menghadap Ki Lurah,“ jawab Agung Sedayu.

“Tutup mulutmu. Kalian hanya pengawal-pengawal dari Tanah Perdikan. Jangan berlaku sombong di sini. Kami adalah prajurit-prajurit Mataram. Kau harus mendengarkan perintah kami,“ geram prajurit itu.

“Aku akan bertemu Ki Lurah, kau dengar?“ Agung Sedayu menjadi semakin marah.

“Setan kau. Kau hanya pengawal padesan. Kau berani menentang kami, prajurit Mataram?“ prajurit itu hampir berteriak.

Agung Sedayu yang marah itu tidak menjawab. Tiba-tiba saja ia sudah mengurai cambuknya. Satu ledakan yang menggetarkan udara telah mengoyak sepinya malam.

Keempat orang prajurit itu terkejut. Di luar sadar, mereka telah bergeser mundur. Sementara Agung Sedayu berkata, “Panggil Ki Lurah, atau kalian akan pingsan seperti kawan-kawanmu itu.“

Empat orang prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun mereka pun segera berpencar dengan pedang teracu. Seorang di antara mereka berkata, “Kau tahu akibat dari perbuatanmu. Kau berani menentang prajurit Mataram.“

Agung Sedayu tidak menjawab. Kedua kawannya telah menarik senjata mereka pula. Namun cambuk Agung Sedayu telah meledak sekali lagi, sehingga suaranya seakan-akan telah mengguncang seluruh kota Madiun.

Keempat orang prajurit itu memang agak ragu-ragu untuk mendekat. Mereka mendengar ledakan cambuk itu bagaikan mendengar ledakan guntur di telinga mereka.

Selagi keempat orang itu termangu-mangu, maka Ki Lurah Reksaboga telah keluar dari dalam barak itu dengan wajah yang merah membara.

“Siapa lagi yang mencoba mengganggu aku?“ teriak Ki Lurah.

Agung Sedayu yang masih menggenggam cambuknya melangkah mendekat sambil bertanya, “Apakah kau Ki Lurah Reksaboga?“

“Ya. Aku adalah Ki Lurah Reksaboga,“ jawab orang itu. Lalu iapun telah bertanya, “Kau siapa? Apakah kau orang Tanah Perdikan Menoreh seperti orang-orang yang telah aku usir sebelumnya?“

“Ya. Aku orang Tanah Perdikan Menoreh,“ jawab Agung Sedayu.

“Kau mau apa? Sekarang kau pun harus pergi. Jika kau ingin mengurus beras bagi pasukanmu, datang besok setelah matahari naik. Aku tidak dapat melayanimu malam-malam seperti ini!“ bentak Ki Lurah.

Tetapi seorang prajuritnya berkata, “Ia tidak dapat pergi begitu saja. Orang-orang itu harus ditahan. Mereka telah membuat kedua orang prajurit yang bertugas menjadi pingsan. Mereka telah mengeroyok kedua prajurit itu.“

“Setan kau,“ geram Ki Lurah, “kau tahu arti dari perbuatanmu itu he?“

“Cukup!“ bentak Agung Sedayu, “Kami memerlukan beras. Beri perintah kepada orang-orangmu yang berada di lumbung untuk mengeluarkan beras sepuluh pikul. Aku memerlukannya malam ini. Bahkan sekarang.“

“Apakah kau sudah gila? Buat apa beras sepuluh pikul, he? Apakah kau akan memberi makan seluruh kota ini?“ teriak Ki Lurah. Lalu perintahnya kepada keempat prajurit itu. “Jika mereka memang sudah membuat onar di sini, tangkap mereka.“

Namun sekali lagi gerakan keempat orang prajurit itu terhambat oleh ledakan cambuk Agung Sedayu. Dengan lantang ia berkata, “Aku memerlukan beras. Jangan membuat kami semakin marah. Pasukan kami baru datang dari padepokan Kebo Lungit dalam keadaan parah dan lapar. Kami membawa sejumlah tawanan dan kami memerlukan beras sekarang.“

“Tangkap mereka!“ teriak Ki Lurah.

Tetapi sambil meledakkan cambuknya, Agung Sedayu berkata, “Siapa mendekat lebih dahulu, akan aku koyakkan dadanya.“

Tetapi Ki Lurah tertawa. Katanya, “Suara cambukmu yang melengking itu tidak lebih dari suara cambuk gembala di padang rumput.“ Jantung Agung Sedayu berdentang. Dengan demikian maka ia menyadari bahwa Ki Lurah itu tentu termasuk orang berilmu yang dapat menilai ledakan cambuknya. Karena itu, maka sekali lagi Agung Sedayu menghentakkan cambuknya. Tidak meledak. Bahkan hampir tidak bersuara. Tetapi getaran cambuk itu telah langsung menyusup dan mengguncang isi dada Ki Lurah Reksaboga.

Ki Lurah terkejut. Dengan demikian ia menyadari, bahwa orang bercambuk itu tentu orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu, maka ia harus berhati-hati menghadapi orang muda itu.

Bahkan dengan hati-hati Ki Lurah itu bertanya, “Apakah kau Agung Sedayu dari Tanah Perdikan Menoreh?“

“Ya,“ jawab Agung Sedayu, “kau kenal namaku? Para prajurit Mataram memang sudah banyak yang aku kenal, karena aku memang sering berada di Mataram.“

“Aku belum mengenalmu meskipun aku pernah mendengar namamu. Aku memang prajurit Mataram, tetapi aku berasal dari Pajang,“ berkata Ki Lurah Reksaboga.

“Nah, sekarang bagaimana dengan beras itu? Kau boleh pilih, Ki Lurah. Kau keluarkan sepuluh pikul beras untuk malam ini, atau kami akan mengambilnya sendiri tanpa menunggu perintahmu,“ berkata Agung Sedayu.

“Kau melanggar paugeran keprajuritan. Kau tahu akibatnya jika hal ini didengar oleh Pangeran Singasari atau Pangeran Mangkubumi,“ jawab Ki Lurah.

“Aku tahu. Tetapi aku akan mempertanggungjawabkan bukan saja kepada Pangeran Singasari atau Pangeran Mangkubumi. Tetapi aku akan mempertanggung jawabkan kepada Panembahan Senapati atau kepada Ki Patih Mandaraka,“ berkata Agung Sedayu, “juga tentang kedua orang prajurit yang pingsan itu, atau bahkan lebih dari itu, jika aku terpaksa melakukannya. Seharusnya aku mengerti bahwa aku tidak boleh berbuat seperti itu. Tetapi seharusnya Ki Lurah juga mengerti keadaan pasukanku yang baru datang dari padepokan Kebo Lungit di kaki Gunung Wilis.“

Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Tetapi kenapa sampai sepuluh pikul? Berapa orang yang akan makan?“

“Kami persilahkan Ki Lurah datang ke barak kami, atau kami bawa seluruh pasukan kami yang letih dan lapar itu kemari? Ki Lurah akan dapat menghitung ujung senjata pasukan kami, sehingga Ki Lurah akan tahu jumlah orang di dalam pasukan kami. Masih ditambah pula dengan para tawanan yang kami bawa,“ jawab Agung Sedayu. Lalu katanya pula, “Sebagian dari kami telah terluka. Bahkan ada di antaranya yang parah yang harus kami bawa dengan tandu. Sehari kami tidak sempat makan karena memang sudah tidak ada persediaan beras sama sekali. Jika malam ini kami tidak mendapat beras, maka lumbung itu akan kami bongkar. Atau jika tidak ada beras di lumbung, kami akan merampok di kota ini.“

Wajah Ki Lurah menjadi merah.Tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Iapun seorang prajurit yang pernah berada di medan perang. Jika keadaan memaksa, maka para prajurit itu akan dapat mencari jalan sendiri. Demikian pula para pengawal itu. Mereka akan dapat menjadi gila jika mereka memang kelaparan.

Karena itu, maka Ki Lurah pun kemudian berkata kepada prajurit-prajurit yang telah siap dengan senjata di tangan mereka, “Antar mereka ke lumbung. Keluarkan sepuluh pikul beras untuk mereka.“

Para prajurit itu termangu-mangu. Mereka menjadi heran bahwa Ki Lurah yang mereka kenal sebagai seorang perwira yang bersikap tegas dan bahkan sedikit keras itu terpaksa mengalah kepada sikap Agung Sedayu.

Tetapi para prajurit itu pun tidak berani berbuat lain. Apalagi yang dikatakan oleh Ki Lurah adalah perintah.

Sejenak kemudian maka dua orang pengawal telah mengantar Agung Sedayu dan kedua orang pengawal yang menyertainya ke lumbung untuk mengambil beras.

Semuanya berlangsung sebagaimana dikehendaki oleh Agung Sedayu. Namun mereka memang agak kesulitan untuk membawa beras yang sepuluh pikul.

“Jika saja kita membawa pedati-pedati kecil milik padepokan Kebo Lungit itu,“ desis salah seorang pengawal.

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Pedati-pedati itu memang kecil dan ditarik oleh seekor lembu. Namun tentu akan dapat membawa beras itu tanpa kesulitan.

Tetapi bagaimanapun juga beras itu telah dibawa. Sebagian saja. Sementara Agung Sedayu menunggui sisanya yang akan diambil kemudian.

Sementara itu, dua orang prajurit yang masih tinggal bersama Ki Lurah telah merawat kedua orang kawannya yang mulai sadar. Dengan geram seorang di antara mereka bertanya, “Kenapa Ki Lurah melepaskan mereka?“

“Setan itu akan dapat menjadi gila. Pasukannya akan benar-benar datang kemari dan melakukan hal-hal yang tidak terkendali. Mereka letih dan lapar sebagaimana dikatakan oleh Agung Sedayu,“ jawab Ki Lurah.

“Tetapi hal seperti ini akan dapat menimbulkan kebiasaan buruk, karena mereka tidak menghiraukan lagi paugeran,“ jawab prajurit itu.

“Kau kira aku akan membiarkan hal ini tanpa penyelesaian sesuai dengan pangeran?“ desis Ki Lurah itu.

Prajurit-prajuritnya itu pun mengangguk-angguk. Tetapi mereka benar-benar merasa sakit hati terhadap sikap para pengawal itu. Para pengawal yang seharusnya tunduk kepada perintah para prajurit, apalagi seorang perwira seperti Ki Lurah Reksaboga.

Namun seorang di antara para prajurit itu sempat bertanya, “Apakah Ki Lurah pernah mengenalnya?“

Ki Lurah Reksaboga itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian jawabnya, “Secara pribadi aku belum mengenalnya. Tetapi beberapa orang pernah menyebut seorang anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh dan tergabung dalam pasukan Mataram memiliki ilmu cambuk yang sangat tinggi. Anak muda itu adalah murid Orang Bercambuk yang sangat disegani. Namanya adalah Agung Sedayu.“

Prajurit itu mengangguk-angguk. Namun ia masih belum dapat menerima kenyataan, bahwa Ki Lurah telah mengalah kepada seorang pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh, yang menurut penilaian prajurit itu akan dapat menumbuhkan kebiasaan yang tidak baik.

“Besok aku akan melihat keadaan pasukan itu. Jika Agung Sedayu berbohong, maka aku pun dapat berbuat sekeras yang dilakukannya. Jika ia melawan dan mempergunakan pasukannya untuk berlindung, maka di sini masih dapat dikumpulkan prajurit Mataram yang cukup, yang ditinggalkan oleh Panembahan Senapati ke Pasuruan, ditambah dengan bekas prajurit Madiun yang ternyata dapat dibawa bekerja bersama, terutama para pengikut putri Panembahan Madiun,“ berkata Ki Lurah Reksaboga.

Dalam pada itu, ketika Ki Lurah kembali ke dalam biliknya di barak khusus itu, maka beberapa petugas dalam lingkungan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu sibuk menyiapkan makan bagi pasukan yang lapar itu. Sementara itu para pengawal terbaring silang melintang dimana saja mereka menjatuhkan dirinya, kecuali yang bertugas, termasuk mereka yang bertugas mengawasi para tawanan.

Ketika kemudian nasi masak, maka para pengawal itu pun telah terbangun dan menerima bagian masing-masing.

Beberapa orang berteriak kecewa bahwa nasi mereka sama sekali tidak disertai lauk apapun juga. Namun para pemimpin kelompok mereka memberitahukan, bahwa tidak ada kesempatan untuk mendapatkan lauk pauk. Namun ketika para petugas menanak nasi, sudah dibaurkan garam secukupnya, sehingga nasi yang tidak ada lauknya sama sekali itu sudah menjadi cukup asin.

Meskipun tanpa lauk sama sekali, namun ternyata bahwa para pengawal dan para tawanan itu telah makan dengan lahapnya. Ternyata bahwa perasaan lapar telah menjadi lauk yang lebih nikmat dari lauk apapun juga.

Setelah selesai makan dan minum minuman hangat yang masih sempat mendapat sisa gula kelapa, maka para pengawal itu kembali berbaring dan tidur nyenyak. Tetapi sebagian dari mereka harus menggantikan tugas para pengawal yang lain yang telah bertugas sebelumnya.

Rasa-rasanya mereka masih belum cukup lama beristirahat ketika, terdengar isyarat agar mereka segera bangun, membenahi diri dan bersiap-siap jika ada perintah bagi para pengawal. Sementara itu langit memang menjadi semakin cerah. Sinar matahari telah mulai memancar kekuning-kuningan.

Dalam pada itu, keadaan Ki Gede masih juga nampak lemah. Tabib yang merawatnya selalu saja menungguinya. Setiap perubahan keadaan diikutinya dengan seksama. Namun agaknya keadaan Ki Gede Menoreh menjadi semakin lama semakin baik. Apalagi setelah beristirahat cukup lama.

Prastawa di samping melakukan tugasnya, sekali-sekali juga menengok pamannya. Namun iapun menjadi semakin tenang melihat keadaannya yang semakin baik.

Agung Sedayu, Glagah Putih dan Ki Demang Selagilang sibuk mengatur para pengawal dalam tugasnya masing-masing. Melihat-lihat keadaan para tawanan serta kesiagaan para pengawal yang menjaganya.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu terkejut ketika ia melihat sekelompok prajurit memasuki regol baraknya. Seorang di antara mereka adalah Ki Lurah Reksaboga.

Agung Sedayu pun kemudian telah menemuinya. Ia telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ia akan mempertanggung jawabkan perbuatannya, semalam, jika hal itu dianggap melanggar paugeran.

Ki Lurah memang datang untuk membuktikan keterangan Agung Sedayu. Ia berniat melihat sendiri jika ada kecurangan yang telah dilakukannya. Sepuluh pikul beras cukup banyak untuk memberi makan bagi pasukan segelar sepapan. Sementara itu, yang ada di barak itu tidak lebih dari pasukan pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dan dari Pegunungan Sewu. Dengan demikian maka ia akan mempunyai bukti sebagai alasan untuk menyeret Agung Sedayu ke dalam persoalan pelanggaran paugeran dan menentang kebijaksanaan seorang perwira, yang bertugas mengatur keluar masuknya bahan-bahan di lumbung-lumbung pasukan Mataram di Madiun.

“Selamat pagi Ki Lurah,“ sapa Agung Sedayu.

Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Namun ia kemudian bertanya, “Siapakah yang memimpin pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu di barak lini?“

“Aku,“ jawab Agung sedayu pendek, “meskipun sebenarnya pimpinan tertinggi adalah Ki Gede Menoreh. Tetapi Ki Gede sedang sakit.“

Ki Lurah Reksaboga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, “Sakit apa?“

“Ki Gede telah terluka di medan perang. Sebelum ia pulih seutuhnya, ia harus berjalan dari kaki Gunung Wilis sampai ke kota ini, bersama-sama dengan seluruh pasukan,“ jawab Agung Sedayu.

Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Sementara itu ia melihat beberapa orang pengawal hilir mudik di halaman. Sedangkan yang lain duduk-duduk di serambi.

“Berapa orang pasukanmu seluruhnya?“ bertanya Ki Lurah.

“Jadi kau ingin membuktikan jumlah orang-orang kami yang makan nasi dari beras yang aku ambil semalam dari lumbung?“ bertanya Agung Sedayu.

Namun jawab Ki Lurah pun tegas, “Ya. Kau tahu itu adalah tugasku. Tugas yang dibebankan kepadaku dari pimpinan tertinggi keprajuritan Mataram. Siapa yang menentang aku sama dengan menentang perintahnya.“

“Tetapi kau bukan alat mati.Kau memiliki kebijaksanaan dalam tugasmu, tanpa melanggar paugeran. Tetapi ternyata kau masih mementingkan dirimu sendiri daripada tugasmu. Kau harus mengerti arti dari tugas yang dibebankan kepadamu. Kau harus mendukung semua gerakan prajurit dan pengawal yang tergabung dalam pasukan Mataram. Tetapi kau lebih senang bermalas-malas tidur di dalam bilikmu yang hangat daripada mendukung beban keletihan dan kelaparan pada pasukanku. Nah, apakah dengan demikian kau termasuk pelaksana yang baik, yang mengemban perintah pimpinan tertinggi keprajuritan Mataram? Apakah yang kau lakukan itu mendukung kesigapan gerak tatanan kekuatan Mataram? Jika dalam keadaan lapar dan letih, gerombolan musuh datang untuk membebaskan kawan-kawannya yang tertawan, siapa yang bertanggung jawab jika kami gagal mempertahankannya karena kami sudah tidak bertenaga lagi?“ jawab Agung Sedayu.

Ki Lurah itu termangu-mangu sejenak. Namun katanya, “Tetapi bukan berarti bahwa setiap orang dapat merampok lumbung kami.“

“Bukankah kau yang mengeluarkan perintah untuk memberikan beras itu kepadaku? Ki Lurah, lihatlah pasukan kami. Hari ini kami memerlukan beras lagi. Bukan hanya beras, tetapi dengan keperluan-keperluan lain. Aku akan melaporkan kedatangan kami kepada Senapati yang bertugas tinggal di Madiun ini. Semuanya yang sudah aku lakukan akan aku pertanggung jawabkan,” geram Agung Sedayu. Lalu katanya, “Sekarang aku persilahkan Ki Lurah melihat keadaan pasukanku.“

“Sudah cukup,“ berkata Ki Lurah.

“Belum. Ki Lurah hanya melihat orang-orang yang berkeliaran di halaman, yang jumlahnya tidak seberapa dibandingkan dengan seluruh pasukan kami,“ berkata Agung Sedayu.

“Sudah cukup,“ potong Ki Lurah.

“Belum,“ sahut Agung Sedayu, “jika Ki Lurah benar-benar ingin menilai kekuatan pasukan kami dengan benar, serta melihat keadaan kami yang sebenarnya, maka Ki Lurah tidak akan hanya berdiri saja di halaman ini.“

Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Lalu berkata Agung Sedayu pula, “Ki Lurah aku persilahkan mengikuti aku.“

Ki Lurah Reksaboga tiba-tiba saja seakan-akan di luar sadarnya telah bergerak, sementara Agung Sedayu berjalan mendahuluinya sambil berkata, “Nanti Ki Lurah kami harapkan dapat bertemu dan berbicara langsung dengan Ki Gede di ruang dalam.“

Ki Lurah tidak menjawab. Tetapi ia mengikuti Agung Sedayu. Mula-mula Agung Sedayu telah membawanya ke barak samping. Demikian mereka memasuki barak itu, maka Ki Lurah memang terkejut. Ia melihat beberapa orang pengawal yang terluka terbaring di sebuah amben yang besar. Mereka adalah para pengawal yang terluka parah.

“Nyawa mereka telah berada di ujung ubun-ubun. Jika semalam mereka tidak sempat disuapi serba sedikit, maka mereka tentu tidak akan dapat bertahan sampai siang ini,“ berkata Agung Sedayu.

Ki Lurah termangu- mangu sejenak. Ia merasakan sindiran tajam yang diucapkan oleh Agung Sedayu. Namun ia tidak dapat menolak kenyataan itu. Orang-orang itu memang sudah menjadi terlalu lemah. Di geledeg, Ki Lurah masih melihat mangkuk berisi sisa-sisa nasi yang diperuntukkan bagi yang terluka. Namun ada di antara mereka yang hanya dapat makan sedikit sekali.

“Apakah mereka makan tanpa lauk?“ bertanya Ki Lurah yang melihat bahwa di mangkuk itu hanya terdapat nasi putih saja.

“Kami tidak sempat mendapatkan lauk apapun. Semua orang yang ada di sini hanya makan nasi saja. Nasi saja,“ Agung Sedayu memberikan tekanan.

Ki Lurah tidak menyahut. Sementara Agung Sedayu telah mengajak Ki Lurah pergi dari bilik yang satu ke bilik yang lain. Beberapa orang yang tidak terluka berada di serambi, duduk-duduk sambil berbincang di antara mereka. Namun masih nampak tubuh mereka yang letih serta wajah-wajah yang buram.

Ketika mereka pergi ke barak-barak yang ada di belakang, maka Ki Lurah melihat para pengawal yang berjaga-jaga sepenuhnya.

“Di barak itu kami simpan para tawanan,“ berkata Agung Sedayu.

Ki Lurah pun telah melihat barak itu pula. Beberapa orang tawanan yang juga terluka parah, serta para tawanan yang lain yang berwajah kasar dan keras.

Terakhir Ki Lurah dibawa masuk ke ruang dalam untuk menemui Ki Gede Menoreh yang duduk di amben yang besar di ruang dalam bangunan induk barak itu. Ki Lurah pun menjadi termangu-mangu meiihat keadaan Ki Gede yang pucat. Justru karena perjalanan yang ditempuhnya, maka keadaan Ki Gede memang telah menjadi kurang baik. Wajah yang sudah mulai merah di padepokan, telah menjadi pucat kembali.

Namun Ki Gede dengan tersenyum menerima Ki Lurah Reksaboga, meskipun Ki Gede telah menerima laporan dari Agung Sedayu tentang sikapnya.

“Marilah Ki Lurah,“ berkata Ki Gede, “inilah kenyataan dari pasukan kami. Terserah kepada penilaian Ki Lurah, apakah pasukan ini pantas minta dikeluarkan beras sepuluh pikul semalam.“

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sudahlah Ki Gede. Lupakan apa yang telah terjadi. Setelah aku melihat keadaan pasukan Ki Gede, maka aku merasa bersalah. Aku minta maaf, bahwa aku telah mempersulit pengeluaran beras dari lumbung yang sebenarnya memang menjadi kewajibanku, sehingga Agung Sedayu harus memaksanya. Aku masih menghargai sikap Agung Sedayu, bahwa ia masih bersedia menemui aku dan tidak langseng memecah pintu lumbung.“

“Hal itu hampir saja terjadi,“ berkata Agung Sedayu, “para petugas di bagian perbekalan tidak sabar lagi menunggu. Untung aku mendengar laporan tentang kemarahan para petugas itu.”

“Aku dapat mengerti,“ berkata Ki Lurah, “sebenarnya aku datang untuk menuntut pertanggungan jawab. Aku juga ingin membuktikan, apakah jumlah pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan pengawal dari Pegunungan Kidul cukup memadai.“

“Bagaimana kesimpulan Ki Lurah?“ bertanya Agung Sedayu.

“Aku sudah minta maaf. Aku justru ingin bertanya, apakah sudah ada beras untuk pagi ini?“ bertanya Ki Lurah.

“Kami sudah siap untuk mengurusnya. Tetapi Ki Lurah sudah ada di sini,“ Jawab Agung Sedayu. Namun katanya kemudian, “Tetapi karena kami makan sudah jauh malam, bahkan melewati tengah malam, maka kami tidak terlalu tergesa-gesa sekarang.“

“Baiklah. Aku akan memerintahkan mengirimkan beras itu kemari. Aku mengerti, bahwa kalian benar-benar membutuhkan,“ berkata ki Lurah. “Sebenarnyalah sikapku semalam adalah karena aku agak tersinggung dibangunkan malam hari, dan bahkan dengan cara yang sangat mengejutkan.“

“Ki Lurah dapat memaklumi sekarang?“ bertanya Ki Gede.

“Ya, ya. Aku memaklumi sekarang,“ jawab Ki Lurah. Lalu katanya, “Selain itu ada unsur harga diri juga. Aku memang ingin nampak sebagaimana seorang pemimpin yang berkuasa mengambil keputusan penting, meskipun khususnya tentang membuka pintu lumbung.“

Ki Gede tersenyum. Katanya, “Kami pun dapat mengerti sikap Ki Lurah. Syukurlah, bahwa akhirnya tidak terjadi salah paham antara kita.“

“Aku juga berterima kasih, bahwa bagaimanapun juga bentuknya, namun Ki Gede dan Agung Sedayu masih menganggap aku orang yang berwenang menentukan pengeluaran beras dari lumbung. Nah, jika demikian aku akan minta diri. Pagi ini aku akan mengirimkan beras bagi pasukan di sini buat hari ini,“ kata Ki Lurah.

“Terima kasih,“ jawab Ki Gede, “kami menunggu. Sementara ini Agung Sedayu akan pergi ke perwira yang bertanggung jawab di Madiun sekarang ini, untuk memberikan laporan selengkapnya atas kedatangan kami di kota ini. Ketika kami mempergunakan barak ini, kami juga belum mendapat perintah resmi. Ketika kami datang, barak yang kami pergunakan sebelum kami berangkat ke Gunung Wilis ini masih kosong. Kami langsung saja singgah di barak ini, karena orang-orang kami sudah hampir tidak dapat berjalan lagi.“

Demikianlah, maka Ki Lurah yang telah menyaksikan sendiri keadaan pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu itu telah minta diri. Tanpa diminta lagi, maka Ki Lurah itu telah memerintahkan mengirimkan beras ke barak yang dipergunakan oleh para pengawal Tanah Perdikan dan Pegunungan Sewu, sementara Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang telah menemui seorang Tumenggung yang bertanggung jawab di bidang keprajuritan selama pasukan Mataram pergi ke Pasuruan.

Ternyata laporan Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang disambut dengan hangat oleh perwira itu. Bahkan perwira itu langsung mengucapkan selamat atas keberhasilan pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu, serta disertai pernyataan ikut berprihatin atas gugurnya para pengawal serta terjadinya pertempuran yang paling garang dan keras yang pernah dialami oleh para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu, sehingga korban yang jatuh terhitung cukup banyak. Terlebih-lebih para tawanan yang menjadi gila dan membuat para pengawal seakan-akan menjadi gila pula.

“Semuanya itu akan mendapat perhatian dari Panembahan Senapati,“ berkata Tumenggung itu.

“Terima kasih Ki Tumenggung,“ berkata Agung Sedayu, “selanjutnya kami menunggu perintah.“

“Kita menunggu kedatangan Panembahan Senapati,“ berkata Tumenggung itu, “kita tidak dapat melakukan tugas yang lain selain yang pernah diberikan oleh Panembahan Senapati sebelum Panembahan Senapati berangkat ke Timur.”

Sementara itu Agung Sedayu memang menjadi ragu-ragu untuk memberikan laporan tentang tindakannya, yang barangkali dapat dianggap kurang sepantasnya terhadap seorang perwira prajurit Mataram yang bertugas mengurus tentang perbekalan. Namun akhirnya Agung Sedayu memutuskan untuk tidak mengatakan sesuatu. Jika Ki Lurah tidak memberikan laporan, maka Agung Sedayu pun berniat untuk tidak mengatakan apa-apa tentang peristiwa itu.

Namun ketika ia kembali ke barak yang kemudian telah disahkan penggunaannya oleh pimpinan prajurit Mataram yang ada di Madiun, Agung Sedayu telah melihat persediaan beras yang cukup. Setumpuk sayuran yang dapat dimasak, serta kebutuhan-kebutuhan yang lain.

Dari petugas di dapur Agung Sedayu mendapat laporan, bahwa untuk selanjutnya sayuran akan dikirim setiap pagi secukupnya, meskipun barangkali tidak selalu baik dan memenuhi selera. Namun akan diusahakan yang paling haik dari persediaan yang ada.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sambil tersenyum ia berkata kepada Ki Demang, “Ki Lurah yang melihat keadaan pasukan kita ternyata dapat mengerti, bahwa kita telah melakukan satu perjuangan yang sangat berat di padepokan Ki Gede Kebo Lungit.“

“Iapun seorang prajurit,“ berkata Ki Demang, “ia tentu dapat membayangkan apa yang telah terjadi dengan melihat keadaan para pengawal serta para tawanan.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sudah cemas, bahwa aku harus berbantah dengan para perwira Mataram di hadapan Pangeran Singasari atau Pangeran Mangkubumi, jika mereka melaporkannya. Namun agaknya Ki Lurah itu tidak akan melaporkannya.“

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar