Buku 229
Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Segalanya terserah kepada Kakang. Tetapi aku merasa gembira jika kesempatan itu diberikan kepadaku.“
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Syukurlah bahwa kau bersedia melakukannya. Mudah-mudahan akan memberikan arti bagi jalur-jalur ilmu yang kau pelajari.“
Agung Sedayu pun kemudian berkata pula, “Baiklah. Jika kita kelak kembali ke Tanah Perdikan, maka aku akan mulai dengan memberikan dasar-dasar ilmu itu. Tetapi sudah barang tentu bahwa yang aku lakukan atasmu berbeda sekali dengan apa yang harus kita lakukan terhadap mereka yang benar-benar baru mulai. Bagimu, apa yang seharusnya dipelajari dalam waktu setahun akan dapat kau cakup dalam waktu sebulan, karena kau tidak perlu lagi mengadakan latihan-latihan olah tubuh dan penguasaannya. Jalur nadimu telah masak, dan kau sudah menguasai gerak-gerak dasar seluruhnya.“
Glagah Putih mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Kakang. Apapun yang harus aku lakukan, akan aku lakukan. Juga kewajiban-kewajiban yang kemudian akan dibebankan kepadaku dalam hubungan pewarisan dan pengembangan ilmu.“
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kita akan melakukannya. Namun bukan berarti bahwa tugas-tugas kita yang lain akan terhambat. Selain itu, sudah barang tentu aku juga harus berbicara dengan Ki Jayaraga.“
Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa niat sebagaimana dikatakan oleh kakak sepupunya itu merupakan tanggung jawab yang lain yang akan dibebankan di pundaknya. Tetapi Glagah Putih tidak merasa keberatan. Ia sudah terbiasa bekerja keras untuk beberapa kepentingan yang menyangkut sesamanya. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka ia memang harus berbicara dengan gurunya yang seorang lagi, Ki Jayaraga.
Demikianlah maka untuk beberapa saat, mereka masih berada di tepi blumbang. Mereka melihat seorang cantrik yang menangkap beberapa ekor ikan yang sudah cukup besar untuk lauk mereka nanti. Sedangkan cantrik yang lain sedang memanjat sebatang pohon nangka untuk mengambil buahnya yang masih muda.
Namun beberapa saat kemudian, mereka bertiga telah meninggalkan blumbang itu untuk menyusuri kebun sayuran di bagian belakang padepokan itu. Namun akhirnya, mereka telah sampai di belakang sanggar yang sepi. Sanggar yang menjadi agak jarang dipergunakan sejak Kiai Gringsing sakit.
Namun tiba-tiba saja rasanya mereka ingin melihat-lihat lagi isi sanggar itu. Sejalan dengan keinginan Agung Sedayu untuk mewariskan ilmu dari jalur perguruan Kiai Gringsing kepada Glagah Putih. Karena itu, maka hampir di luar sadar mereka telah melangkah ke pintu sanggar itu.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Semalam ia telah melepaskan sesak dadanya dengan melakukan latihan yang agak berlebihan. Namun ternyata Agung Sedayu tidak memasuki sanggar itu. Iapun kemudian mengajak Sekar Mirah dan Glagah Putih kembali ke bangunan induk untuk duduk-duduk dan berbincang dengan para cantrik yang sedang beristirahat.
Demikianlah, hari itu Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih masih berada di padepokan kecil Kiai Gringsing. Namun menjelang senja mereka masih berkesempatan untuk menengok Untara suami istri dan anaknya yang menjadi semakin nakal.
Dari Untara, Agung Sedayu mendengar, bahwa keadaan justru menjadi semakin buram. Hubungan antara Mataram dan Madiun tidak bertambah jernih.
“Memang ada orang-orang yang dengan sengaja mengeruhkan hubungan itu,“ berkata Untara.
“Sejak semula hal itu sudah disadari oleh Panembahan Senapati,“ berkata Agung Sedayu. Lalu, “Jika Panembahan Madiun juga menyadari akan hal itu, maka bukankah mereka akan dapat saling mengekang diri?“
“Agaknya memang demikian. Tetapi meninggalnya Pangeran Benawa merupakan peluang baru yang dapat menambah keruhnya hubungan itu,“ berkata Untara. Lalu, “Karena itu, kita semuanya harus berhati-hati. Sebagaimana Mataram mengirimkan beberapa orang petugas sandi untuk melihat-lihat keadaan Madiun, maka tentu banyak pula petugas sandi dari Madiun yang berada di Mataram.“
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ternyata Untara sudah mendapat banyak keterangan tentang gerakan Panembahan Madiun. Karena itu pula-lah maka Untara telah membuat banyak persiapan-persiapan yang bila setiap saat terjadi sesuatu, pasukannya tidak akan mengecewakan. Namun dalam pada itu, Untara pun berpesan kepada adiknya, jika mereka kembali ke Tanah Perdikan, mereka harus berhati-hati di perjalanan.
“Mungkin ada orang yang mengenalmu, bahwa kau banyak berbuat bagi Panembahan Senapati,“ berkata Untara, “atau ada orang yang tahu, bahwa kau adalah murid Kiai Gringsing. Salah seorang di antara mereka yang ikut memperkuat kedudukan Mataram. Bahkan tidak mustahil bahwa padepokan Kiai Gringsing akan menjadi sasaran, sebagaimana usaha Panembahan Senapati memotong ranting-ranting yang tumbuh di batang yang kuat, Madiun.”
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi kemudian iapun berkata, “Agak berbeda Kakang. Jika Mataran memotong ranting-ranting kekuatan Madiun antara lain Nagaraga, maka padepokan itu benar-benar berdiri sendiri. Sementara itu, padepokan Kiai Gringsing terlalu dekat dengan kekuatan Mataram yang Kakang pimpin di sini. Sehingga jika orang-orang Madiun dengan tanpa perhitungan menyerang Padepokan Kiai Gringsing, maka berarti mereka menyerang kekuatan pasukan Mataram di sini.“
Tetapi Untara menggeleng. Katanya, “Belum tentu. Orang-orang Madiun akan dapat menyusup dengan diam-diam ke dalam padepokan. Apalagi di saat Kiai Gringsing sedang sakit seperti sekarang ini.“
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kemungkinan itu memang ada.“
Untuk beberapa saat Agung Sedayu masih berbincang dengan Untara. Namun ketika malam mulai turun dan udara menjadi kelam, maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih itu pun minta diri.
Di sepanjang jalan menuju ke padepokan kecil, Agung Sedayu justru mulai membicarakan pesan Untara, agar padepokan kecil itu menjadi berhati-hati.
”Jika mereka tahu bahwa Kiai Gringsing sedang sakit,“ berkata Agung Sedayu.
“Aku tiba-tiba saja menjadi berdebar-debar,“ berkata Sekar Mirah, “seandainya aku tidak mendengar pesan Kakang Untara, aku kira aku tidak pernah memikirkannya.”
“Kemungkinan itu memang ada,“ berkata Agung Sedayu, “besok sebelum kita berangkat ke Sangkal Putung, aku akan minta Kakang Untara ikut mengamati padepokan itu, atau meletakkan satu dua orang prajuritnya ikut mengawasi, sebelum Paman Widura datang.”
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, “Kiai Gringsing memerlukan kawan yang pantas. Jika terjadi sebagaimana yang dikatakan Kakang Untara, maka Kiai Gringsing akan mengalami kesulitan, Justru orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi, akan mendapat kesulitan di padepokannya sendiri di saat ia sedang sakit. Masih belum ada para cantrik yang pantas untuk menahan kekuatan yang memang sudah dipersiapkan.“ Agung Sedayu pun mengangguk-angguk. Katanya, “Sayang, kita tidak dapat menemaninya untuk waktu yang lama. Apalagi kita pun mengetahui bahwa usaha orang-orang Madiun telah merambah sampai ke Tanah Perdikan Menoreh. Untunglah bahwa para pengawal di Tanah Perdikan sudah memiliki tingkat kemampuan yang dapat dibanggakan. Sementara itu, Ki Jayaraga masih juga bersedia untuk tetap berada di Tanah Perdikan.“
“Kita memang tidak dapat meninggalkan Tanah Perdikan terlalu lama.“ berkata Glagah Putih kemudian, “tetapi bagaimana jika kita berada di padepokan sampai Kiai Gringsing sembuh benar?“
“Kiai Gringsing sudah terlalu tua,“ berkata Agung Sedayu, “seandainya ia sembuh dari sakitnya, namun tentu sudah ada beberapa kekurangan pada unsur wadagnya, sebagai pendukung ilmu-ilmunya. Tetapi jika Paman Widura sudah berada di padepokan, maka rasa-rasanya kita menjadi tenang.“
“Sepekan lagi,“ berkata Glagah Putih.
“Ya. Sepekan lagi,“ berkata Agung Sedayu pula.
Ketiganya pun kemudian justru terdiam oleh angan-angan mereka masing-masing. Ketiga orang itu memasuki regol padepokan di saat malam sudah menjadi semakin sunyi. Para cantrik telah berada di bilik masing-masing, selain yang bertugas di pendapa.
Karena itu, ketika regol terbuka perlahan-lahan karena di dorong dari luar, dua orang cantrik yang ada di pendapa telah bangkit dan berjalan turun ke halaman. Namun mereka pun segera melihat bahwa yang datang adalah Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih.
“Marilah, silahkan,“ desis salah seorang di antara kedua cantrik itu.
“Guru sudah tidur?“ bertanya Agung Sedayu.
“Belum. Guru masih menunggu,“ jawab cantrik.
“Guru menunggu?“ bertanya Agung Sedayu, “Dimana?“
“Guru ada di dalam biliknya. Tetapi tadi sudah berpesan, jika kalian datang, diminta untuk menemuinya di dalam bilik,“ jawab cantrik itu.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Diantar oleh salah seorang dari kedua cantrik itu, mereka langsung menuju ke bilik Kiai Gringsing. Ternyata Kiai Gringsing memang belum tidur. Karena itu iapun kemudian telah mempersilahkan Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih untuk masuk.
“Marilah,“ Kiai Gringsing mempersilahkan, “jika kalian masih belum berniat untuk beristirahat, kita akan berbicara tentang apa saja, Agung Sedayu. Mumpung kau bermalam di sini dengan istrimu dan Glagah Putih. Rasa-rasanya sayang jika kita tidur sore hari.“
Agung Sedayu tersenyum. Namun iapun mempersilahkan gurunya, “Silahkan Guru sambil berbaring saja.“
“Ah, tidak. Aku sudah terlalu lama berbaring. Aku ingin duduk,“ jawab Kiai Gringsing yang sudah duduk di bibir pembaringannya.
“Tetapi Guru akan menjadi terlalu letih nanti,“ berkata Agung Sedayu kemudian.
Kiai Gringsing menggeleng. Katanya, “Tidak. Justru aku sudah letih berbaring.“ Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu iapun bertanya, “Kau bertemu dengan Untara dan keluarganya?“
“Ya Guru. Kami sempat berbincang-bincang agak panjang,” jawab Agung Sedayu.
“Syukurlah. Nampaknya karena pesan Panembahan Senapati itu, Untara telah menjadi lebih sibuk dengan pasukannya. Tetapi ia dapat menjaga ketenangan lingkungan, karena kesiagaannya tidak memberikan kesan yang menggelisahkan,“ berkata Kiai Gringsing. Lalu, “Peronda-perondanya sering lewat di depan padepokan ini pula. Kadang-kadang sampai empat orang dari pasukan berkudanya yang terkenal itu.“
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Iapun kemudian menyampaikan pesan-pesan Untara pula, agar padepokan kecil itu menjadi semakin berhati-hati.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Jika yang berkata begitu adalah Untara, maka aku kira bukannya tidak beralasan. Karena itu, mumpung kau di sini Agung Sedayu, kau dapat membantu mengatur para cantrik yang ada. Kau memang harus melihat kemampuan mereka yang baru selapis. Dengan demikian, berdasarkan tataran kemampuan mereka yang baru selapis, kau dapat mengatur kesiagaan yang sebaik-baiknya.“
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Agung Sedayu. Sebenarnya ada pesan yang penting yang harus aku sampaikan kepadamu. Karena itu, kapanpun kau kembali malam ini dari Jati Anom, aku pasti menunggu.“
Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih justru menjadi berdebar-debar. Sementara itu Kiai Gringsing berkata pula, “Pesan itu pernah disinggung oleh Untara beberapa waktu yang lalu, ketika ia singgah di padepokan ini. Sebenarnyalah kami juga sudah mengatur diri, betapapun lemahnya padepokan ini. Tetapi aku tidak terlalu gelisah, karena belum ada tanda-tanda yang nampak bahwa padepokan kecil ini mendapat perhatian. Namun sejak kemarin, para cantrik telah memberikan laporan khusus tentang hal itu.“
Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Nampaknya memang telah terjadi perkembangan di saat-saat terakhir.
Sementara itu Kiai Gringsing pun berkata, “Agung Sedayu. Baru menjelang senja ini seorang cantrik telah melaporkan sesuatu yang agaknya cukup menarik perhatian.“
Agung Sedayu menjadi semakin bersungguh-sungguh. Namun kemudian Kiai Gringsing pun telah minta kepada Glagah Putih untuk memanggil seorang cantrik yang dimaksud oleh Kiai Gringsing itu.
Sejenak kemudian cantrik itu telah menghadap. Kiai Gringsing yang nampak masih lemah itu pun kemudian berkata, “Cantrik. Coba katakan sekali lagi, apa yang kau laporkan kepadaku tadi, agar Agung Sedayu sebagai murid tertua padepokan ini dapat mendengar.“
Cantrik itu, mengangguk kecil. Kemudian iapun mulai melaporkan sekali lagi agar Agung Sedayu dapat mendengarnya. Katanya, “Kakang Agung Sedayu, aku melihat tiga orang yang berkeliaran di sebelah padepokan ini. Agaknya mereka memang mencurigakan. Untunglah bahwa aku saat itu sedang bekeja di sawah, sehingga orang itu nampaknya tidak mencurigai aku. Tetapi justru karena itu, maka aku tidak berhenti bekerja meskipun senja turun. Aku telah berpura-pura memperbaiki saluran air agar aku dapat tetap berada di sawah. Sebenarnyalah bahwa menjelang gelap, lima orang telah lewat di jalan depan regol padepokan itu. Menurut dugaanku, di antara mereka terdapat ketiga orang yang telah aku lihat sebelumnya.“
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Memang agaknya orang itu mempunyai maksud tertentu atas padepokan ini.“
“Agaknya memang demikian Kakang. Sementara itu, kami telah menyiapkan sebuah kentongan yang besar, yang akan dapat didengar dari gardu penjagaan di lapis luar penjagaan pasukan Kakang Untara di Jati Anom. Menurut pesan para prajurit Mataram, maka jika diperlukan bantuan, kentongan itu supaya dibunyikan dengan nada yang telah ditentukan,“ berkata cantrik itu.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, maka kalian supaya berhati-hati.“ Lalu katanya kepada Kiai Gringsing, “Jika demikian Guru, apakah penjagaan yang dilakukan hanya di pendapa sudah memadai?“
“Dua orang cantrik yang ada di pendapa itu diharapkan akan dapat mengamati seluruh halaman di depan. Sementara itu, di setiap barak, telah ditetapkan bahwa di antara para cantrik harus ada yang berjaga-jaga,“ jawab Kiai Gringsing.
Namun Agung Sedayu masih bertanya, “Dimanakah kentongan yang besar itu dipasang?“
“Di barak sebelah sanggar. Barak yang terbesar yang dihuni oleh sejumlah cantrik yang sudah dipersiapkan untuk memberikan isyarat jika diperlukan,“ jawab Kiai Gringsing.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Agaknya padepokan itu harus menyadari kelemahannya, sehingga segala sesuatunya dilakukan di tempat tertutup. Meskipun dengan demikian para cantrik itu tidak akan dapat melihat pada sasaran yang lebih luas. Namun agaknya menurut perhitungan Kiai Gringsing, para cantrik masih terlalu berbahaya jika mereka berjaga-jaga di luar, karena jika datang orang-orang berilmu tinggi, maka mereka justru akan dengan cepat menjadi korban pertama.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu pun kemudian bertanya, “Tetapi Guru kemarin tidak mengatakan keadaan seperti ini. Jika Guru mengatakannya, mungkin Adi Swandaru tidak akan tergesa-gesa pulang meninggalkan tempat ini.“
“Sampai kemarin kami tidak menganggap bahwa akan ada ancaman yang sungguh-sungguh. Adalah tidak bijaksana jika aku menyuguhi tamu-tamuku dengan kegelisahan dan bahkan ketegangan. Namun karena agaknya sore ini persoalannya berkembang semakin gawat, maka terpaksa aku memberitahukan hal ini kepadamu,“ jawab Kiai Gringsing.
Agung Sedayu mengangguk-angguk pula. Sementara Kiai Gringsing berkata, “Nah, Agung Sedayu. Kau adalah muridku yang tertua. Karena itu, selagi kau ada di sini, tolong, lihatlah kesiagaan para cantrik. Laporan yang terakhir memang perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh. Tidak mustahil bahwa apa yang dikatakan oleh Angger Untara sesuai dengan uraiannya atas peristiwa terakhir itu akan terjadi atas padepokan ini. Mungkin padepokan kecil ini dianggap salah satu pilar kekuatan Mataram, sehingga padepokan ini akan menjadi sasaran pertama sebagaimana Tanah Perdikan Menoreh Jika Tanah Perdikan Menoreh dimulai dengan usaha memisahkan rakyat Tanah Perdikan itu dari keutuhan Mataram dengan berbagai macam cara, maka mereka menganggap bahwa padepokan kecil ini akan dengan mudah dihapuskan begitu saja.”
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Guru. Aku akan melihat-lihat barak para cantrik.“
“Pergilah. Mudah-mudahan mereka tidak mengecewakan,“ berkata Kiai Gringsing.
Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih pun kemudian meninggalkan bilik Kiai Gringsing. Dari cantrik yang memberikan laporan tentang orang-orang yang mencurigakan itu, Agung Sedayu mendengar keterangan yang lebih terperinci, sehingga Agung Sedayupun menjadi semakin yakin, bahwa bahaya memang sedang mengancam padepokan kecil itu.
Bahkan kepada Sekar Mirah ia berkata, “Apakah dalam keadaan seperti ini kita akan meninggalkan Guru yang sedang sakit itu besok?“
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Namun akhirnya ia berkata, “Memang rasa-rasanya kita tidak sampai hati untuk beringsut dari tempat ini. Tetapi apakah Ki Widura tidak dapat datang lebih cepat dari sepekan? “
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Iapun mengerti, bahwa Sekar Mirah ingin pula segera berada di Sangkal Putung. Sebagai seorang yang berada cukup jauh dari rumah orang tuanya, maka sudah barang tentu Sekar Mirah ingin untuk berada di rumah itu untuk waktu yang cukup.
Karena itu, maka Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Besok kita akan menghubungi lagi. Persoalan yang menjadi terasa gawat baru dilaporkan malam ini, sehingga kesempatan pertama yang dapat kita lakukan adalah besok pagi. Mungkin Ki Widura dapat datang ke padepokan ini lebih cepat, sehingga kita pun akan segera dapat ke Sangkal, Putung.”
Sekar Mirah mengangguk kecil. Tetapi ia berkata, “Kita akan menunggu sampai Paman Widura sempat berada di padepokan ini.”
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Mereka bertiga bersama seorang cantrik pun kemudian telah memasuki barak demi barak. Barak-barak kecil yang berisi hanya sekitar empat orang itu memang telah mengatur diri. Seorang di antara mereka berjaga-jaga berganti-ganti. Sementara itu di dalam barak-barak kecil itu terdapat sebuah kentongan kecil pula.
“Baiklah,“ berkata Agung Sedayu, “kalian tentu sudah mendengar bahwa di ujung malam ini, beberapa orang yang mencurigakan telah berkeliaran di sekitar padepokan ini. Karena itulah maka kalian harus berhati-hati. Aku kira tidak ada salahnya orang berhati-hati, meskipun seandainya tidak terjadi apa-apa. Karena itu, yang kebetulan bertugas berjaga-jaga jangan asal tidak tidur saja. Tetapi ia harus memperhatikan keadaan di sekeliling barak ini. Jika ada hal-hal yang mencurigakan, ia harus segera membangunkan kawan-kawannya.“
Para cantrik itu pun mengangguk-angguk. Sementara Agung Sedayu berkata selanjutnya, “Kalian kecilkan saja lampu minyak di ajug-ajug itu. Usahakan agar kalian tidak berada di bawah cahaya lampu itu. Sebaiknya kalian ada di dalam bayangan yang gelap. Dengan demikian maka kalian tidak akan mudah diintip dari luar, seandainya ada orang-orang yang berilmu memasuki padepokan ini dan mampu menyerap bunyi sentuhannya, sehingga kalian tidak mendengarnya.”
Petunjuk-petunjuk Agung Sedayu itu merupakan petunjuk yang berharga dari para cantrik. Mereka pun merasa bahwa saudara tertuanya itu sempat memperhatikan mereka. Dalam keadaan yang gawat itu, sementara guru mereka sedang sakit, mereka memang memerlukan seseorang untuk bersandar. Dengan kehadiran Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih di barak-barak mereka, rasa-rasanya keberanian dan ketabahan hati mereka pun menjadi berkembang. Yang terakhir, Agung Sedayu, Glagah Putih dan Sekar Mirah telah memasuki barak yang terbesar, barak yang digunakan untuk menyimpan kentongan yang besar, yang suaranya akan didengar dari gardu penjagaan di lapis luar dari prajurit Mataram di Jati Anom. Ternyata barak itu benar-benar telah dipersiapkan dengan baik.
Sebuah ruang khusus bagi kentongan yang besar itu dindingnya telah dibuka di bagian atas, diganti dengan jeruji-jeruji yang rapat. Dengan demikian suara kentongan itu tidak akan melingkar-lingkar di dalam bilik itu saja, tetapi dapat lepas keluar menggapai gardu prajurit Mataram di Jati Anom sebagaimana dikehendaki.
Agung Sedayu menganggap bahwa persiapan telah dilakukan dengan baik. Namun sebagai murid tertua dari padepokan kecil itu, rasa-rasanya hatinya menjadi sakit. Sebuah padepokan yang dipimpin oleh Kiai Gringsing, seorang yang memiliki ilmu yang sulit dicari duanya, terpaksa harus menggantungkan keselamatan padepokannya kepada bantuan orang lain.
Kenyataan itu benar-benar telah membuat jantung Agung Sedayu berdebar semakin cepat. Seandainya ia tidak memiliki tanggung jawab yang besar di Tanah Perdikan, juga dalam masa yang gawat seperti yang dirasakan di padepokan itu, maka ia tentu sudah menyatakan diri untuk tinggal di padepokan.
Karena itu, maka harapan satu-satunya memang ada pada Ki Widura. Jika Ki Widura ada di padepokan itu, maka keadaannya tentu akan berbeda. Seandainya padepokan itu masih juga harus mengharapkan bantuan orang lain, tetapi di dalam dirinya sendiri terdapat kekuatan yang pantas. Apalagi selama Kiai Gringsing masih sakit. Bahkan setelah sembuh pun keadaannya tentu sudah berbeda.
Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba saja Agung Sedayu bertanya kepada para cantrik, “Siapa yang tertua di antara kalian?“
Seorang di antara mereka melangkah mendekat. Katanya, “Di barak ini aku-lah yang dianggap cantrik tertua.”
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia mengenal cantrik itu sejak lama. Ketika ia datang ke padepokan itu sebelumnya, cantrik itu-pun telah berada di padepokan itu pula. Namun sebenarnyalah Agung Sedayu belum mengetahui tingkat kemampuannya.
Karena itu, maka iapun kemudian berkata, “Marilah. Dua di antara kalian akan ikut aku ke sanggar.“
Dua orang yang dianggap tertua di barak itu memang agak heran mendengar ajakan Agung Sedayu. Tetapi dua orang di antara merekapun kemudian telah mengikutinya ke sanggar.
Di bawah sinar lampu minyak yang redup, Agung Sedayu kemudian berkata, “Bersiaplah. Kita akan berlatih sebentar. Aku ingin tahu sampai dimana tingkat kemampuan kalian.“
Para cantrik itu saling berpandangan sejenak. Namun mereka pun kemudian telah mempersiapkan diri. Mereka kemudian menyadari bahwa saudara tertua mereka ingin membuat takaran tentang kemampuan mereka.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu pun telah berlatih bersama kedua orang cantrik itu. Agung Sedayu memang mulai dari tataran awal, yang semakin lama semakin ditingkatkan. Ternyata bahwa para cantrik itu sudah menguasai gerak-gerak dasar dari ilmu yang diwariskan oleh perguruan Kiai Gringsing.
Bahkan ketika Agung Sedayu meningkatkan lagi ilmunya sesuai dengan jalur perguruan Kiai Gringsing, maka para cantrik itu mampu mengikutinya dengan baik. Mereka memang sudah mulai merambah pada pelepasan tenaga cadangan dalam tata gerak mereka, sehingga gerak mereka menjadi lebih cepat, lebih tangkas dan lebih kuat dari gerak kewadagan mereka sewajarnya.
Agung Sedayu yang mengamati kemampuan para cantrik itu mengangguk-angguk kecil. Namun ia telah mempercepat geraknya, dan bahkan meningkatkan tenaga cadangari yang dipergunakan untuk mencoba kemampuan para cantrik itu. Sehingga akhirnya pada satu tataran, Agung Sedayu harus menghentikan peningkatan ilmunya, karena sudah sampai pada tingkat tertinggi dari kemampuan para cantrik itu. Tetapi Agung Sedayu tidak segera berhenti. Bahkan kemudian ia telah mengisi tata geraknya dengan unsur-unsur dari cabang perguruan yang lain.
Para cantrik itu mula-mula memang menjadi agak bingung menghadapi tata gerak yang berubah. Namun Agung Sedayu pun kemudian berkata lantang, “Hati-hati. Tidak semua orang berlandaskan ilmu yang sama. Jika kau hanya mampu menghadapi ilmu yang sama dengan ilmu kalian sendiri, maka kalian hanya mampu berkelahi dengan sesama saudara.“
Kedua orang cantrik itu tidak menjawab. Tetapi mereka pun menjadi semakin berhati-hati. Dengan kemampuan yang ada pada mereka, maka para cantrik pun telah melawan Agung Sedayu yang kemudian justru mempergunakan ilmu yang lain.
“Kenapa kalian menjadi bingung?“ bertanya Agung Sedayu sambil menyerang.
“Karena perubahan tata gerak Kakang,“ jawab salah seorang di antara para cantrik.
Agung Sedayu tersenyum. Namun ia justru menyerang semakin cepat.
Ternyata setelah beberapa saat mereka berlatih, para cantrik itu menjadi semakin mapan meskipun Agung Sedayu tidak lagi mempergunakan ilmu yang sama. Kebingungan yang terjadi sesaat hanyalah karena perubahan tata gerak pada Agung Sedayu yang tidak diduga lebih dahulu oleh para cantrik itu. Jika semula Agung Sedayu mempergunakan ilmu sebagaimana mereka pergunakan, tiba-tiba saja ada unsur gerak yang terasa asing.
Beberapa saat kemudian, maka Agung Sedayu pun berkata kepada mereka, “Cepat, pergunakan senjata yang paling kalian kuasai.“
Kedua cantrik itu berloncatan surut. Namun untuk sesaat mereka masih termangu-mangu, sehingga Agung Sedayu pun harus mengulanginya, “Ambil senjata. Aku ingin melihat kemampuan kalian bermain dengan senjata. Aku tidak tahu senjata apa yang paling kalian kuasai, karena aku sejak permulaan telah mempergunakan cambuk yang diberikan oleh Guru.“
Kedua cantrik itu pun kemudian telah berloncatan menggapai senjata yang tersangkut di dinding. Seorang di antaranya mempergunakan pedang, sedang yang lain menggenggam sepasang trisula.
Agung Sedayu pun kemudian telah mengambil sebatang tongkat besi pula yang tersangkut pada dinding sanggar. Dengan tongkat itu ia akan berlatih dengan kedua cantrik itu.
Beberapa saat kemudian, maka mereka pun telah mulai. Ternyata kedua cantrik itu sudah memiliki ilmu yang mapan hagi senjata masing-masing. Dengan ilmu pedang yang trampil serta penguasaan sepasang trisula di tangannya, kedua cantrik itu telah berlatih melawan tongkat besi Agung. Sedayu yang berputar dengan cepat, sekali terayun dan kemudian mematuk. Bagi Agung Sedayu, kemampuan kedua cantrik itu sudah cukup bagi pemula. Bahkan kedua cantrik itu sudah mencapai tataran yang lebih tinggi. Dengan demikian, maka para cantrik itu tidak akan sekedar menjadi beban di padepokan itu. Mereka akan dapat ikut serta membantu mempertahankan padepokan itu apabila memang diperlukan.
Setelah berlatih beberapa saat, maka Agung Sedayu pun menghentikan latihan itu. Iapun kemudian bertanya kepada kedua cantrik itu, apakah para cantrik yang lain mempunyai tataran yang sama dengan mereka.
“Tidak Kakang,“ jawab salah seorang di antara mereka, “ada beberapa orang yang masih baru. Mereka baru menyelesaikan landasan yang paling dasar, meskipun sudah pula mempelajari penggunaan senjata. Sedangkan sebagian besar memiliki tataran sebagaimana kami berdua. Namun ada empat orang saudara kami yang memiliki beberapa kelebihan, meskipun mereka bukan yang tertua di antara kami. Empat orang yang memang terpilih dengan teliti karena bakat yang tersimpan di dalam dirinya, sehingga mereka mendapat perhatian khusus dari Guru.“
“Apakah mereka mendapatkan senjata khusus ciri perguruan Kiai Gringsing? Maksudku, apakah mereka juga bersenjata cambuk sebagaimana Guru?“ bertanya Agung Sedayu.
Cantrik itu menggeleng. Katanya, “Guru memang mulai memperkenalkan senjata jenis lentur, khususnya cambuk. Tetapi menurut Guru, cambuk yang memang temurun dari perguruannya hanya ada dua, yang kemudian diberikan kepada murid utamanya. Kakang Agung Sedayu dan Kakang Swandaru. Tetapi Guru yakin bahwa Guru akan dapat membuatnya pula. Mungkin pada suatu saat Guru akan membuat dan diberikan kepada keempat orang saudara kami, atau bahkan lebih dari itu, meskipun nilai kegunaannya tidak sama dengan yang dimiliki oleh murid utamanya.“
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah, Aku sudah dapat menjajagi kekuatan yang ada di padepokan ini. Nah, jika demikian, kita harus bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi di sini. Mungkin malam ini, mungkin besok, atau kapanpun.“
Para cantrik itu mengangguk-angguk. Sementara itu Agung Sedayu pun berkata, “Menurut pendapatku, dua orang cantrik di pendapa itu memerlukan dua orang kawan lagi.“
“Mereka adalah orang-orang yang aku katakan mempunyai kelebihan dari para cantrik yang lain,“ berkata cantrik itu, “mereka bergantian dengan dua orang yang memiliki tataran yang sama.“
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Marilah kita kembali ke barakmu. Kita akan menentukan empat orang yang akan berada di pendapa bergantian, sehingga yang ada di pendapa seluruhnya akan berjumlah empat orang setiap giliran.“
Cantrik itu pun mengangguk-angguk. Sementara itu mereka pun telah keluar dari sanggar dan kembali ke barak yang terbesar itu. Di barak itu, Agung Sedayu telah menentukan empat orang cantrik yang harus bergantian berada di pendapa, mengawani dua orang cantrik yang bertugas bergantian.
Agung Sedayu-lah yang kemudian membawa para cantrik ke pendapa untuk diperbantukan kepada dua orang yang bertugas. Dengan demikian maka ruang pengamatan mereka pun menjadi semakin luas.
“Berhati-hatilah,“ pesan Agung Sedayu kepada mereka, “jangan menunggu sampai terlambat. Setiap persoalan yang timbul harus cepat mendapat penanganan. Laporan seorang di antara para cantrik tentang orang-orang yang mencurigakan itu harus mendapat perhatian dengan sungguh-sungguh.“
Para cantrik itu mengangguk-angguk. Mereka memang tidak dapat mengabaikan kemungkinan yang dapat terjadi malam itu, karena sikap beberapa orang yang mencurigakan di sekitar padepokan itu.
Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun segera kembali ke dalam bilik mereka, sementara Glagah Putih pun kembali pula ke dalam biliknya, di antara beberapa orang cantrik pula.
Dalam pada itu, maka padepokan itu semakin lama memang menjadi semakin sepi. Beberapa orang cantrik pun telah tertidur nyenyak. Bahkan Glagah Putih yang beberapa saat sebelumnya masih berbicara dengan seorang cantrik, telah menjadi lelap pula.
Di pendapa, empat orang cantrik yang bertugas, duduk di dua kelompok yang terpisah. Masing-masing mempunyai ruang perhatian yang berbeda, meskipun mereka sempat juga berbincang tentang beberapa hal. Namun berempat mereka merasa beban tugas mereka menjadi berkurang.
Namun bagi keempat orang itu, malam rasa-rasanya memang terlalu sepi. Suara malam yang bersahutan di halaman terdengar semakin ngelangut. Derik cengkerik dan suara angkup yang bagaikan keluhan yang sedih, membuat sepinya malam menjadi semakin mencengkam.
“He,“ tiba-tiba seorang cantrik berkata, “kita perlu mengguncang malam ini agar tidak terlalu sepi.“
“Apa yang akan kau lakukan?“ bertanya seorang kawannya.
“Membangunkan beberapa orang kawan di barak-barak,“ jawab cantrik itu.
“Jangan seperti orang mabuk,“ desis kawannya, “di setiap barak tentu ada kawan kita yang berjaga-jaga. Jangan ganggu yang lain.“
Sambil menarik nafas cantrik itu menjawab, “Rasa-rasanya malam ini lain dengan malam-malam sebelumnya.“
“Itulah sebabnya kita harus berhati-hati,“ jawab kawannya.
Cantrik yang merasa jemu duduk di pendapa itu pun kemudian berkata, “Aku akan turun ke halaman.“
Kawan-kawannya tidak mencegah. Bahkan seorang cantrik yang lain berkata, “Marilah. Kita melihat keadaan.“
Dua orang cantrik itu pun telah turun ke halaman. Mereka berjalan melintas dari satu sisi ke sisi halaman yang lain. Bahkan mereka pun kemudian telah menyusup ke dalam gelapnya bayangan pepohonan di halaman samping padepokan itu. Satu dorongan di dalam diri mereka telah membawa mereka justru semakin jauh ke bagian-bagian yang tersembunyi dari padepokan itu.
Namun kedua orang cantrik itu tiba-tiba tertegun ketika mereka melihat sebatang pohon yang tumbuh melekat pada dinding padepokan itu bergerak-gerak. Kedua orang cantrik itu pun dengan serta merta telah bergeser ke dalam gelap yang lebih pekat. Bahkan kemudian mereka telah berusaha untuk berada di bawah bayangan pohon perdu.
Tetapi karena jarak yang masih agak jauh, maka mereka tidak melihat dengan jelas apa yang telah terjadi. Tetapi bahwa dedaunan itu bergerak-gerak tanpa angin yang bertiup, maka hal itu agaknya pantas untuk diamati.
Dengan hati-hati kedua orang itu telah berusaha mendekat. Namun kemudian, mereka berhasil melihat meskipun tidak begitu jelas, sesosok tubuh yang meloncat dari dinding padepokan dan bergayut pada cabang sebatang pohon yang tumbuh melekat pada dinding padepokan itu. Bahkan merupakan tangga yang baik bagi mereka yang ingin turun dari dinding padepokan tanpa menimbulkan bunyi yang dapat didengar dari barak terdekat.
Kedua orang cantrik itu saling memberikan isyarat. Dengan sangat berhati-hati mereka telah bergeser di antara pepohonan perdu dan kembali ke pendapa. Bagaimanapun juga kesan debar di jantung mereka nampak pada wajah mereka, sehingga kawannya yang berada di pendapa itu pun bertanya hampir berbareng, “Kenapa dengan kalian?“
Seorang di antara kedua cantrik itu menjawab, “Ada beberapa orang memasuki padepokan ini. Mereka memanjat dinding dan turun melalui sebatang pohon sehingga tidak menimbulkan bunyi apapun. Untunglah bahwa kami sempat melihat daun-daunnya yang bergetar.”
“Kau bersungguh-sungguh?“ bertanya kawannya.
“Untuk apa aku berbohong?“ bertanya cantrik itu pula.
“Bukan sekedar hendak mengguncang malam yang sepi ini?“ kawannya mendesak.
“Jika demikian tentu tidak dengan cara ini,“ jawab cantrik itu.
Kawannya masih saja termangu-mangu. Sehingga cantrik itu pun berkata, “Kau menunggu sampai terlambat?“
“Baiklah,“ sahut kawannya, “kita bunyikan isyarat.”
Tetapi yang lain bertanya, “Berapa orang yang kau lihat?“
“Tidak jelas,“ jawab cantrik itu, “aku segera saja memberitahukan kemari, agar kita tidak terlambat bertindak.“
“Kita tidak usah membunyikan isyarat. Kita akan membangunkan para cantrik di barak induk ini. Kemudian kita akan melihat apa yang terjadi,“ berkata cantrik yang lain itu.
“Kita akan melihat langsung ke halaman?“ bertanya kawannya.
“Kita bangunkan dahulu kawan-kawan kita di barak induk ini,“ potong cantrik yang melihat beberapa orang memasuki halaman itu, “nanti kita terlambat.“
“Lakukanlah,“ berkata yang tertua diantara mereka, “aku berjaga-jaga di sini.“
Dua orang cantrik segera memasuki barak induk. Mereka telah membangunkan empat orang cantrik yang berada di bagian belakang bangunan induk itu.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang juga berada di salah satu bilik di bangunan induk itu telah terbangun pula. Tetapi mereka masih berusaha mendengarkan apa yang telah terjadi.
“Agaknya ada sesuatu yang penting,“ berkata Agung Sedayu.
Sekar Mirah mengangguk kecil. Namun iapun segera membenahi pakaiannya sambil berkata, “Mungkin ada hubungannya dengan laporan cantrik menjelang malam tadi.“
Agung Sedayu pun mengangguk-angguk. Iapun telah bersiap-siap pula. Bahkan ketika mereka mendengar langkah seorang cantrik di depan biliknya, maka Agung Sedayu pun telah membuka pintu.
“Ada apa?“ bertanya Agung Sedayu.
Cantrik yang agak tergesa-gesa itu hanya mengatakan dengan singkat tentang beberapa orang yang memasuki halaman padepokan.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kepada Sekar Mirah, “Yang dicemaskan itu telah terjadi.”
“Apa yang akan kita lakukan?“ bertanya Sekar Mirah.
“Kita menghadap Guru. Tetapi aku ingin memanggil Glagah Putih lebih dahulu. Ia berada di barak sebelah bersama para cantrik,“ berkata Agung Sedayu, “sementara itu, kau mendekatlah lebih dahulu ke bilik Guru.“
Sekar Mirah mengangguk. Iapun kemudian melangkah ke ruang dalam. Namun di depan bilik Kiai Gringsing, dua orang cantrik telah bersiap.
“Apakah Kiai Gringsing masih tidur?“ bertanya Sekar Mirah.
“Kami masih ragu-ragu untuk melihat. Persoalan yang timbul masih belum jelas,“ jawab cantrik itu.
Sekar Mirah tidak segera membuka pintu bilik itu. Ia masih menunggu Agung Sedayu dan Glagah Putih. Sementara itu, Agung Sedayu dengan sangat berhati-hati telah melintas halaman belakang yang tidak terlalu panjang sebagaimana sebuah longkangan. Ketika ia mengetuk barak di sebelah, maka seorang cantrik telah membuka pintu.
“Mana Glagah Putih?“ bertanya Agung Sedayu.
Cantrik itupun telah menunjuk ke sebuah bilik di bagian samping dari barak itu. Namun sebelum ia mengatakan sesuatu, Glagah Putih ternyata sudah keluar dari dalam bilik itu.
“Ada apa Kakang?” bertanya Glagah Putih.
Agung Sedayu pun kemudian memberitahukan apa yang dilihat oleh para cantrik yang bertugas berjaga-jaga. Lalu katanya kepada Glagah Putih, “Ikut aku.“
Glagah Putih dengan cepat membenahi diri. Kemudian iapun melangkah ke pintu sementara Agung Sedayu berpesan, “Hati-hatilah. Kalau perlu, bunyikan isyarat.“
Cantrik itu mengangguk. Sementara Agung Sedayu dan Glagah Putih telah meninggalkan barak itu setelah cantrik yang ditinggalkan itu menyelarak pintu dari dalam. Sejenak kemudian, maka Agung Sedyu telah berada di depan bilik Kiai Gringsing. Sekar Mirah dan dua orang cantrik masih tetap berjaga-jaga di depan pintu bilik itu.
Perlahan-lahan Agung Sedayu mengetuk pintu bilik Kiai Gringsing. Ternyata Agung Sedayu tidak perlu mengulanginya. Dengan suara yang dalam Kiai Gringsing berkata, “Masuklah.“
Agung Sedayu membuka pintu itu perlahan-lahan. Ketika ia melangkah masuk, maka dilihatnya Kiai Gringsing sudah duduk di bibir pembaringannya.
Agung Sedayu kemudian memberikan laporan singkat, bahwa menurut para canrik, beberapa orang telah memasuki halaman padepokan. Namun para cantrik itu belum dapat memberikan laporan yang lebih terperinci.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Aku serahkan kepadamu, Agung Sedayu.“
“Baik Guru,“ jawab Agung Sedayu, “biarlah Sekar Mirah mengawani Guru di sini. Aku dan Glagah Putih akan melihat-lihat keadaan dan membangunkan para cantrik.“
Kiai Gringsing mengangguk-angguk sambil berdesis, “Berhati-hatilah. Meskipun aku tidak merasa diriku seorang yang disegani, tetapi orang-orang yang dikirim ke padepokan ini tentu orang-orang yang terpilih. Karena itu, kau harus berusaha untuk menempatkan dirimu sebaik-baiknya.“
“Ya Guru,“ jawab Agung Sedayu, “kami akan berhati-hati.“
Demikianlah, maka Agung Sedayu pun telah minta Sekar Mirah untuk berada di dalam bilik Kiai Gringsing, sementara Agung Sedayu telah mengajak Glagah Putih untuk melihat keadaan. Adapun para cantrik di barak induk itu pun telah bersiap-siap pula untuk menghadapi segala kemungkinan.
Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak keluar dari barak induk di padepokan itu lewat pringgitan. Tetapi keduanya telah turun melalui pintu butulan. Dengan sangat berhati-hati keduanya telah mendekati lagi barak yang berada di sebelah longkangan. Kepada para cantrik yang ada di dalamnya Agung Sedayu berpesan, agar mereka bersiap menghadapi segala kemungkinan. Demikian pula maka dengan mengendap-endap keduanya telah memberitahukan hal yang serupa kepada para cantrik di barak-barak yang lain.
Karena itulah, maka para cantrik yang bertugas berjaga-jaga telah membangunkan kawan-kawan mereka untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya, karena setiap saat keadaan akan dapat meledak.
Dengan ketajaman penglihatan dan pendengaran, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih telah berusaha mendekati tempat yang ditunjukkan oleh cantrik yang telah melihat kehadiran beberapa orang yang meloncati dinding.
Ternyata Agung Sedayu berhasil melihatnya. Agaknya mereka masih belum beranjak dari bawah pohon itu. Mereka nampaknya masih sibuk membicarakan rencana yang akan mereka lakukan setelah mereka berada di dalam.
Dengan mengerahkan kemampuan ilmu Sapta Pangrungu, maka Agung Sedayu mencoba mendengarkan apa yang sedang dibicarakan oleh orang-orang yang berada di bawah pohon di dekat dinding padepokan itu. Salah seorang di antara mereka ternyata berkata, “Kita menunggu sejenak, Aku yakin, ia tidak akan lepas dari rencana ini. Ia tentu akan datang pada waktunya.“
“Sebentar lagi, malam menjadi semakin mendekati dini hari,“ berkata seorang yang lain.
“Kita tidak memerlukan waktu yang lama di sini,“ jawab orang pertama, “Kiai Gringsing sedang sakit. Betapapun tinggi ilmunya, tetapi tanpa dukungan kewadagannya maka ia tidak akan banyak memberikan perlawanan. Sementara itu, kalian akan dengan mudah menggilas para cantrik yang masih belum memiliki alas kemampuan kanuragan yang memadai. Apalagi pada saat-saat terakhir, Kiai Gringsing yang tua itu tidak mampu lagi memberikan latihan-latihan yang berarti kepada para cantriknya.“
Tidak terdengar jawaban. Agaknya mereka baru akan mulai bergerak jika orang yang mereka tunggu itu sudah datang. Orang yang agaknya dianggap menjadi penentu dalam gerakan mereka.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih melihat, bahwa jumlah orang-orang yang berkumpul di kebun belakang dari padepokan mereka itu cukup banyak. Karena itu, maka para cantrik benar-benar harus bersiap menghadapi segala kemungkinan. Agung Sedayu pun kemudian telah menggamit Glagah Putih dan memberi isyarat kepadanya untuk mengikutinya.
Ketika mereka sudah berada di jarak yang cukup, Agung Sedayu itu pun berkata, “Para cantrik harus siap menunggu selagi mereka masih belum mulai bergerak.“
“Ya,“ Glagah Putih memang sependapat, “jika para cantrik harus menunggu di dalam barak, maka pada saat-saat mereka keluar dari pintu barak, kemungkinan yang buruk dapat terjadi atas mereka, karena mereka akan dapat menyerang dan menghancurkan barak demi barak.“
“Marilah,“ berkata Agung Sedayu, “selagi ada waktu.“
Agung Sedayu dan Glagah Putih sekali lagi berkeliling dari satu barak ke barak yang lain dan memerintahkan para cantrik untuk berkumpul di longkangan, di belakang barak induk.
“Hati-hati,“ berkata Agung Sedayu kepada para cantrik di setiap barak, “mereka sudah ada di dalam lingkungan padepokan.“
Demikianlah, maka sejenak kemudian, para cantrik itupun dengan sangat hati-hati, telah meninggalkan barak masing-masing dan berkumpul di longkangan.
Dalam pada itu, maka Agung Sedayu pun telah mengatur agar para cantrik itu berada di beberapa tempat yang terpisah. Agung Sedayu telah membagi para cantrik itu berdasarkan atas kemampuan mereka masing-masing. Empat orang yang memiliki ilmu terbaik harus memimpin empat kelompok yang harus berada di empat penjuru. Empat orang cantrik bersama Sekar Mirah akan berada di barak induk, sementara Agung Sedayu dan Glagah Putih akan berada di tempat-tempat yang memerlukannya.
Namun satu hal yang selalu diingat oleh Agung Sedayu, bahwa ada seseorang yang ditunggu oleh sekelompok orang yang memasuki padepokan itu. Seorang itu tentu orang yang berilmu tinggi.
“Agaknya akan menjadi kewajibanku untuk menghadapinya,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, karena ia menyadari bahwa ia adalah orang yang bertanggung jawab di padepokan itu pada saat itu, sebagaimana diperintahkan oleh gurunya.
Namun untuk sementara Agung Sedayu telah mempercayakan barak induk itu kepada Sekar Mirah, karena bagaimanapun juga, Kiai Gringsing yang duduk di bibir pembaringannya itu tentu bukannya tidak mampu berbuat apa-apa sama sekali.
Kepada seorang cantrik yang ikut berjaga-jaga di barak induk itu Agung Sedayu telah memerintahkan untuk membunyikan isyarat, jika barak itu dimasuki oleh siapapun selain orang-orang padepokan itu.
Sementara itu, Agung Sedayu pun telah meninggalkan barak induk itu pula untuk mengamati keadaan dengan lebih cermat. Dari tempat yang tidak terlalu jauh namun tersembunyi Agung Sedayu dan Glagah Putih melihat kegelisahan di antara mereka yang memasuki padepokan itu. Namun dalam pada itu, keduanya melihat bayangan yang meluncur dari atas dinding tanpa menuruni pohon yang dapat dijadikan tangga oleh orang-orang yang masuk sebelumnya itu.
Agung Sedayu dan Glagah Putih saling berpandangan. Mereka menyadari bahwa tentu orang itulah yang ditunggu.
Kedatangan orang itu telah menggerakkan orang-orang yang berada di bawah pohon itu untuk segera mulai dengan tugas mereka. Tanpa banyak berbicara, maka orang itu telah memberikan perintah-perintah singkat.
“Waktu kita terbatas,“ katanya kemudian, “kita harus segera mulai.“
Tidak ada jawaban. Namun orang itu mulai melangkah diikuti oleh sekelompok di antara mereka. Namun yang lain telah menuju ke arah yang berbeda. Agaknya orang-orang itu akan menyerang padepokan kecil itu dari arah yang berlainan. Atau barangkali mereka menganggap bahwa menundukkan padepokan itu sama mudahnya seperti sekelompok serigala menerkam sejumlah domba-domba di dalam kandangnya.
Untunglah bahwa kelompok-kelompok itu telah mengambil jalan yang tidak terlalu dekat dengan tempat Agung Sedayu dan Glagah Putih bersembunyi. Apalagi Agung Sedayu memiliki kemampuan menyerap bunyi, sehingga kehadirannya tidak mudah diketahui oleh orang lain meskipun orang berilmu tinggi sekalipun.
Agung Sedayu-lah yang kemudian justru mengikuti kelompok-kelompok yang mulai bergerak itu. Kepada Glagah Putih diisyaratkan untuk mengikuti kelompok yang lain, sementara Agung Sedayu sendiri mengikuti kelompok yang dipimpin langsung oleh orang yang datang terakhir itu.
Demikianlah, maka ketegangan telah mencekam seisi padepokan itu, Baik mereka yang memasuki padepokan itu, maupun para cantrik yang siap menunggu di sela-sela gerumbul-gerumbul perdu. Ternyata orang-orang yang memasuki padepokan itu tidak segera mengetahui bahwa kedatangan mereka memang sudah ditunggu. Karena itu, maka dengan cepat mereka bergerak menuju ke bagian yang lain dari padepokan itu.
Glagah Putih yang mengikuti sekelompok orang yang mengambil jalan yang lain dari kelompok yang diikuti oleh Agung Sedayu, melihat bahwa kelompok itu akan melintas di antara kelompok-kelompok para cantrik yang memang sudah menunggu. Karena itu, Glagah Putih justru telah memberikan isyarat. Dilemparkannya sebuah batu ke arah para cantrik menunggu sebagaimana diatur oleh Agung Sedayu.
Bunyi batu yang gemerasak di dedaunan dan kemudian jatuh di tanah itu memang telah menarik perhatian. Tetapi bukan saja para cantrik. Orang-orang yang memasuki padepokan itu pun telah terkejut pula sehingga langkah mereka terhenti sejenak.
Glagah Putih mempergunakan kesempatan itu untuk mendahului kelompok orang-orang yang memasuki padepokan itu. Dengan menyusup di antara gerumbul-gerumbul perdu yang tumbuh di halaman samping, ia langsung menuju ke tempat yang sudah ditentukan bagi para cantrik siap menunggu.
Sekelompok orang yang memasuki padepokan itu pun telah menjadi berhati-hati. Selain gemerasak batu yang dilemparkan oleh Glagah Putih, mereka pun telah memasuki bagian dari padepokan itu yang dihuni oleh para cantrik. Beberapa barak bertebaran di antara pepohonan yang rimbun. Sementara di sebelah depan dari bagian yang dihuni itu terdapat bangunan induk dari padepokan itu.
Glagah Putih ternyata telah berada di antara para cantrik di salah satu kelompok yang memang sudah menunggu kehadiran orang-orang yang tidak dikenal itu. Demikian Glagah Putih memberikan isyarat, maka para cantrik itu pun mulai bergeser dari tempat mereka. Sebagian dari mereka tetap menunggu, sementara Glagah Putih dengan tiga orang cantrik telah melingkari sebuah barak. Ketika sekelompok orang-orang itu dengan hati-hati mendekati para cantrik, maka perintah dari pimpinan para cantrik itu pun telah mengejutkan mereka.
Sejenak kemudian, beberapa orang cantrik telah menghambur keluar dari persembunyian mereka, di sebuah longkangan yang sempit di antara dua buah barak. Tidak menunggu perintah itu diulangi, maka para cantrik pun telah menyerang orang-orang yang tidak dikenal itu.
Orang-orang yang memasuki padepokan itu terkejut. Mereka tidak mengira bahwa demikian cepatnya mereka akan disergap oleh para cantrik yang ternyata telah bersiaga.
Sejenak kemudian telah terjadi pertempuran yang seru. Namun ternyata bahwa jumlah orang-orang yang memasuki padepokan itu lebih banyak dari satu kelompok cantrik yang menunggu mereka. Glagah Putih yang bersama dengan tiga orang cantrik mengitari sebuah barak, tiba-tiba pula telah menyergap orang-orang yang memasuki padepokan itu dari punggung.
Sebenarnyalah kehadiran Glagah Putih telah mengejutkan orang-orang yang memasuki padepokan itu. Meskipun mereka belum mengenal Glagah Putih, tetapi sikap dan tata gerak Glagah Putih membuat mereka menjadi berdebar-debar.
Demikianlah, pertempuran itu pun telah meningkat semakin keras. Sebagaimana petunjuk para pemimpinnya, para cantrik harus memanfaatkan pengenalan mereka atas padepokan itu sebagai perisai. Mereka dapat berlari-larian mengitari pepohonan untuk tiba-tiba saja kembali menyerang. Mereka pun dapat memanfaatkan longkangan-longkangan yang gelap pekat dan bagian-bagian yang lain. Ternyata dengan cara itu, para cantrik sekali-sekali dapat membuat lawan-lawan mereka menjadi bingung.
Namun ternyata bahwa orang-orang yang memasuki padepokan itu pun memiliki pengalaman yang luas. Karena itu, mereka tidak segera terpancing oleh para cantrik yang berlari-larian. Mereka berusaha untuk tidak terjebak dalam arena yang sempit dan sulit. Karena itu, mereka justru bergerak mendekati bangunan induk. Namun mereka tetap bertahan di jalur arah mereka jika para cantrik menyerang.
Glagah Putih memang tidak dengan tergesa-gesa bertindak lebih jauh. Bersama para cantrik mereka telah menyerang dan kemudian berkisar ke belakang batang-batang perdu, atau masuk ke longkangan yang gelap. Tetapi orang-orang yang memasuki padepokan itu sama sekali tidak mengejar mereka. Tetapi mereka meneruskan langkah mereka ke arah yang agaknya memang sudah ditentukan. Barak induk padepokan kecil itu.
Namun ternyata bahwa kelompok itu telah membentur kekuatan para cantrik dari kelompok yang lain yang dengan serta merta telah menyergap mereka. Dengan demikian maka kekuatan mereka pun menjadi berimbang. Namun ternyata bahwa orang-orang yang memasuki padepokannya itu masih saja berusaha terus mendekati barak induk.
Tetapi mereka tidak lagi semudah sebelumnya untuk maju terus. Kekuatan para cantrik benar-benar telah mampu menghentikan mereka. Sehingga dengan demikian maka telah terjadi pertempuran yang sengit antara orang-orang yang memasuki padepokan itu melawan para cantrik.
Beberapa orang cantrik memang telah memiliki kemampuan yang mampu mengimbangi lawan-lawannya, meskipun ada juga yang mendapat kesulitan karena dasar kemampuan kanuragan mereka masih belum mapan. Tetapi ternyata bahwa para cantrik itu benar-benar telah mampu mengimbangi kekuatan orang-orang yang memasuki padepokan itu.
Namun hal itu ternyata telah membuat pemimpin kelompok orang-orang yang memasuki padepokan itu menjadi marah. Dengan lantang ia berteriak, “Minggirlah tikus-tikus kecil. Biarlah pemimpinmu, orang bercambuk itu, turun ke arena. Sudah waktunya orang itu mati, sehingga ia tidak akan dapat lagi ikut campur dalam persolalan Mataram dengan lawan-lawannya yang semakin banyak.“
Para cantrik tidak menghiraukannya. Mereka bertempur terus dengan garangnya. Tetapi pemimpin kelompok orang-orang yang tidak dikenal itu ternyata telah terjun langsung memasuki arena pertempuran. Demikian tinggi kemampuannya sehingga beberapa orang cantrik telah terkejut ketika terjadi benturan senjata. Hampir saja senjata para cantrik itu terlepas dari tangan mereka, ketika sapuan senjata pemimpin kelompok orang-orang yang belum dikenal itu menyentuh senjata para cantrik.
Untunglah bahwa Glagah Putih sempat melihat peristiwa itu. Karena itu, maka iapun telah bergerak di antara para cantrik, mendekat pemimpin kelompok lawan yang menggetarkan jantung para cantrik itu.
“Luar biasa Ki Sanak,“ berkata Glagah Putih, “kemampuanmu melampui kemampuan kawan-kawanmu.“
Orang yang sedang mengayun-ayunkan senjatanya itu tertegun. Dipandanginya Glagah Putih yang siap menghadapinya. Dari sinar obor di kejauhan, ketajaman mata orang itu melihat, betapa mudanya orang yang menyapa itu. Karena itu, maka orang itu pun bertanya, “Siapakah kau he?“
“Aku salah seorang cantrik padepokan kecil ini,“ jawab Glagah Putih.
“Kau berani dengan sombong menghadapi aku?“ bertanya orang itu.
“Kau kira aku menyombongkan diri? Tidak Ki Sanak. Bukankah kewajiban para cantrik untuk menghentikan polah tingkahmu itu?“ bertanya Glagah Putih.
“Kau lihat, bahwa kawan-kawanmu tidak ada yang berani mendekati aku lagi. Apalagi seorang diri? Jika kau datang dalam sebuah kelompok yang besar, mungkin aku masih dapat menghargaimu. Tetapi agaknya kau datang untuk membunuh diri,“ berkata orang itu.
“Jika demikian, siapakah yang sombong di antara kita? Kau atau aku?“ bertanya Glagah Putih.
“Persetan. Jangan mati terlalu muda. Pergilah!“ bentak orang itu. Lalu, “Panggil gurumu, orang bercambuk itu. Biarlah aku yang membinasakannya.“
“Bukankah seorang kawanmu dengan kelompoknya telah memilih jalan lain menuju ke bangunan induk? Aku kira bukan kau yang akan menghadapi Guru. Tetapi kawanmu yang telah kau tunggu cukup lama di bawah pohon di kebun belakang padepokan ini.“ jawab Glagah Putih.
“Jadi kau melihat kehadiran kami?“ bertanya orang itu.
“Ya. Aku telah melihat kegelisahan kalian menunggu seorang di antara kalian, yang agaknya merasa dirinya pantas menghadapi Kiai Gringsing,“ jawab Glagah Putih. “Nah, jika demikian, kau tidak usah menyebut nama Guru lagi. Kita bertemu, dan siapakah di antara kita yang akan keluar dari arena pertempuran ini dengan selamat.“
“Ternyata kau memang harus dibunuh,“ geram orang itu.
“Apapun yang akan kau lakukan, lakukanlah. Kita berada di peperangan. Setiap orang berhak untuk membunuh dan mungkin akan terbunuh. Karena itu, kita akan melihat, aku ingin mengetahui, siapakah kalian dan bekerja untuk siapa. Apapula keuntungan kalian dengan menghancurkan padepokan kecil ini?” bertanya Glagah Putih.
“Siapapun kami dan untuk siapa kami melakukannya, itu bukan urusanmu,“ berkata orang itu.
“Baik,“ jawab Glagah Putih, “jika demikian, maka kalian akan mati tanpa nama.“
“Kami-lah yang akan membinasakan kalian,“ geram orang itu.
Glagah Putih tidak menyahut lagi. Tetapi iapun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sejenak kemudian, orang yang memimpin kelompok orang-orang yang tidak dikenal itu telah menyerang Glagah Putih.
Glagah Putih meloncat menghindar. Iapun telah memegang pedang di tangannya. Ketika lawannya memburunya dengan mengacukan senjatanya lurus ke dadanya, maka Glagah Putih pun telah menangkis serangan itu.
Kedua-duanya terkejut. Pemimpin kelompok itu tidak mengira bahwa orang yang masih sangat muda itu mempunyai kekuatan yang sangat besar. Jauh melampaui kekuatan para cantrik yang pernah membenturkan senjata mereka dengan senjatanya.
“Agaknya anak itu memiliki kelebihan dari para cantrik yang lain,“ berkata orang itu di dalam hatinya.
Sementara itu, Glagah Putih terkejut. Meskipun ia sudah menduga bahwa lawannya memiliki kekuatan yang besar, namun sentuhan senjatanya itu benar-benar menunjukkan kekuatannya yang luar biasa. Tetapi Glagah Putih sama sekali tidak menjadi gentar karenanya. Apa yang terjadi itu baru merupakan sentuhan permulaan dari kemungkinan yang akan dapat berkembang menjadi jauh lebih seru.
Ternyata pemimpin kelompok itu tidak memberi banyak kesempatan kepada Glagah Putih untuk merenung. Dengan garangnya iapun segera telah menyerang kembali. Senjatanya berputaran dengan cepatnya. Namun tiba-tiba saja menebas mendatar mengarah ke dada lawannya.
Ketika Glagah Putih sempat bergeser surut selangkah, maka orang itu telah meloncat selangkah maju sambil mengacukan senjatanya ke arah leher. Tetapi Glagah Putih mampu bergerak secepat lawannya. Karena itu, maka ujung senjata itu mematuk sejengkal dari sasaran.
Glagah Putih tidak membiarkan dirinya sekedar menjadi sasaran serangan lawannya. Iapun kemudian telah menyerang pula. Dengan memukul senjata lawannya menyamping, maka dada lawannya telah terbuka. Dengan cepat Glagah Putih memutar pedangnya dan dengan loncatan menyamping, pedang itu terayun ke arah perut. Tetapi lawannya sempat bergeser surut. Pedang Glagah Putih sama sekali tidak menyentuh tubuhnya.
Demikianlah, pertempuran pun semakin lama menjadi semakin cepat. Keduanya semakin meningkatkan ilmu mereka masing-masing. Sedangkan para cantrik pun telah bertempur dengan keras pula karena lawan-lawan mereka menjadi garang. Ternyata bahwa kemampuan para cantrik tidak mencemaskan. Mereka sebagian besar telah menguasai ilmu dasar dari perguruan Kiai Gringsing. Bahkan beberapa orang di antara mereka telah mulai mampu mengembangkannya. Dua orang yang masing-masing memimpin sekelompok cantrik di padepokan itu, sebagaimana dikatakan oleh kawan-kawannya, memang memiliki kelebihan dari kemampuan rata-rata para cantrik yang lain. Mereka sempat membuat lawan-lawannya terdorong surut beberapa langkah dalam benturan-benturan yang terjadi. Bahkan kadang-kadang lawannya terpaksa mendapat bantuan dari lawan-lawannya jika cantrik itu mendesak mereka ke dalam keadaan yang sangat gawat. Dengan demikian maka pertempuran itu pun semakin lama memang menjadi semakin seru.
Orang-orang yang datang memasuki padepokan itu tidak menduga, bahwa di dalam padepokan kecil itu terdapat kekuatan yang memadai. Bahkan seorang anak muda telah mampu mengimbangi kemampuan pemimpin mereka yang mereka anggap memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Dalam pada itu, kelompok yang lain, yang dipimpin langsung oleh orang yang untuk beberapa lama ditunggu itu, bergerak melalui sisi yang lain. Mereka pun berusaha untuk sampai ke barak induk padepokan itu. Agaknya orang yang datang terakhir itulah yang mendapat tugas langsung untuk mengakhiri peranan Kiai Gringsing yang banyak membantu Mataram itu.
Namun seperti yang terjadi pada kelompok yang lain, maka para cantrik pun telah menyergap mereka dari balik gerumbul-gerumbul perdu tanaman hias di halaman samping padepokan, dan dari celah-celah barak yang bertebaran. Dua kelompok para cantrik harus bertempur menghadapi kelompok pendatang itu.
Namun Agung Sedayu terkejut melihat kekasaran orang yang datang terakhir itu. Ketika seorang cantrik menyergapnya, maka seakan-akan ia hanya mengibaskan sebelah tangannya. Namun cantrik itu terlempar beberapa langkah, jatuh berguling dan tubuhnya pun telah terdiam.
Agung Sedayu memang tersinggung. Cantrik itu adalah cantrik yang bernasib buruk. Ia tidak sempat berbuat apapun di pertempuran itu, ketika tiba-tiba saja ia berpapasan dengan orang yang dengan semena-mena mempergunakan ilmunya yang sangat tinggi.
Ketika Agung Sedayu meloncat mendekati orang itu, maka dua orang cantrik telah terlempar. Meskipun keduanya tidak menjadi separah cantrik yang pertama, namun keduanya pun harus meringkuk menepi. Untunglah beberapa orang kawannya telah membantunya, membawanya ke tempat yang gelap. Sementara dua orang cantrik yang lain telah mengusung kawannya yang pingsan menyingkir pula dari pertempuran.
Ketika empat orang cantrik yang marah meloncat mendekati orang itu, Agung Sedayu telah berada di hadapan mereka. Katanya kepada para cantrik, “Biarlah aku yang menghadapinya.“
“Anak setan,“ geram orang itu.
Ternyata semakin dekat. Agung Sedayu menjadi semakin jelas mengamati wajah orang itu. Wajah yang nampak pucat dan dalam. Tidak ada gejolak sama sekali pada wajah yang bermata sangat cekung itu. Seakan-akan yang nampak itu bukannya wajah sebenarnya. Seperti sebuah topeng yang diam tanpa perubahan kesan apapun, selain sorot mata yang memancarkan nafas kematian.
Ternyata bahwa wajah yang beku itu membuat Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Orang-orang yang berwajah demikian, menurut pengenalannya adalah orang yang memiliki kelainan jiwa. Perasaannya tentu sudah membeku sebagaimana wajahnya. Namun sebagaimana sorot matanya, hatinya pun menyimpan api. Orang-orang yang demikian akan dapat membunuh tanpa mengedipkan matanya. Tanpa getar apapun di jantungnya. Apalagi penyesalan. Karena itu, maka Agung Sedayu harus berhati-hati menghadapinya.
Dalam pada itu terdengar suara orang itu parau, “Siapakah kau yang berani dengan sadar menghadapi aku seorang diri?“
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau tentu mencari Kiai Gringsing. Aku adalah salah seorang muridnya.“
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Suruh gurumu menghadapi aku. Aku ingin membunuhnya.“
“Apa hubunganmu dengan Guru, sehingga kau akan membunuhnya?“ bertanya Agung Sedayu.
Ternyata orang itu tidak berbelit-belit. Katanya, “Gurumu tentu akan memihak Mataram yang bermusuhan dengan Madiun. Sementara itu aku berpihak kepada Madiun.“
“Bagaimana jika perselisihan antara Mataram dan Madiun dapat diselesaikan dengan baik tanpa kekerasan?“ bertanya Agung Sedayu.
“Itu bukan urusanku. Tugasku membunuh Kiai Gringsing yang dikenal sebagai Orang Bercambuk itu. Selain ia akan dapat mengganggu, ia pun seharusnya memang sudah mati karena ia sudah terlalu lama hidup,“ berkata orang itu.
“Tentang umur seseorang itu bukannya persoalan kita. Bukan pula urusanmu. Panjang atau pendek umur seseorang, adalah wewenang Yang Maha Kuasa,“ jawab Agung Sedayu.
“Omong kosong,“ geram orang berwajah beku itu, “orang-orang yang lemah akan mencari sandaran untuk menutupi kelemahannya. Aku yang yakin akan kemampuanku, sama sekali tidak mempercayainya. Aku akan mempertahankan umurku dengan membunuh lawan-lawanku. Nah, minggirlah jika kau tidak ingin mati. Aku akan membunuh gurumu.“
“Sikapku berbeda,“ jawab Agung Sedayu, “karena aku yakin, bahwa mati hidupku sudah ditentukan oleh kuasa-Nya, maka aku tidak akan minggir. Aku akan menghadapimu siapapun kau. Atau barangkali kau mau menyebut namamu atau sebutanmu? “
“Namaku Singapati. Katakan kepada gurumu, bahwa aku adalah pewaris tunggal ilmu dari Perguruan Worsukma,“ berkata orang yang bernama Singapati itu. Lalu, “Ia tentu akan menjadi gemetar, dan barangkali dengan suka rela akan menyerahkan nyawanya kepadaku.“
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia memang sudah mendengar berbagai macam perguruan yang pernah disebut oleh gurunya. Iapun pernah mendengar nama Perguruan Worsukma. Perguruan yang pada masanya memiliki nama yang menggetarkan bagi orang-orang berilmu. Gurunya pun pernah memberikan petunjuk untuk menghadapi berjenis-jenis ilmu yang memiliki kelebihan dari berbagai macam perguruan. Dan Agung Sedayu pun teringat jelas, bagaimana gurunya memberikan petunjuk untuk menghadapi ilmu dari Perguruan Worsukma.
Agung Sedayu teringat jelas betapa gurunya berpesan, agar ia tidak kehilangan pribadinya menghadapi ilmu dari perguruan Worsukma. Jika ia kehilangan pribadinya, maka ia akan tunduk pada kehendak lawannya, bahkan dipenggal kepalanya sekalipun. Dan ilmu itu tidak dapat dilawan dengan ilmu kebal. Melainkan satu keyakinan akan dirinya sendiri.
“Benar kata Guru,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, “orang-orang yang mewarisi ilmu Worsukma, yang menurut Singapati adalah pewaris tunggalnya di saat ini, tidak percaya akan kuasa Yang Maha Kuasa. Itulah sebabnya, maka aku justru tidak boleh bergeser setebal daun sekalipun dari sandaran itu. Yang Maha Kuasa. Dengan demikian, maka aku akan tetap tegak pada pribadiku dan tidak akan dapat dikuasainya.“
Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka Singapati itupun tiba-tiba telah membentaknya, “He, jika kau menjadi ketakutan, minggirlah! Aku memang ingin bertemu dengan pewaris ilmu cambuk yang terkenal itu. Namun yang sebenarnya hampa di dalamnya.“
“Guru sedang sakit,“ berkata Agung Sedayu, “atau barangkali kau sengaja datang karena kau mendengar Guru sedang sakit? Agaknya kau tidak berani berhadapan dengan Guru di saat-saat Guru siap bertempur melawan siapapun, termasuk pewaris tunggal ilmu Worsukma.” Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu tiba-tiba saja ia berkata, “Kau bukan pewaris tunggal. Aku pernah bertemu dengan orang yang memiliki ilmu yang sama dengan ilmumu. Warisan dari perguruan Worsukma. Cirinya sama dengan ciri-ciri yang ada padamu. Tidak mempercayai kuasa Yang Maha Kuasa. Sombong, dan tidak mengakui saudara-saudara seperguruannya sendiri.“
“Persetan,“ geram orang itu, “banyak orang yang mengaku pewaris ilmu dari perguruan Worsukma. Tetapi semuanya itu bohong sama sekali. Sekarang, menyerahlah, atau kau akan mati.“
“Sudah aku katakan, mati hidupku tidak ditentukan oleh siapapun. Tidak olehmu, dan bahkan tidak olehku sendiri. Tetapi oleh Penciptaku,“ jawab Agung Sedayu.
Orang itu menggeram. Satu hal lagi yang membuat Agung Sedayu berdebar-debar. Gigi orang itu seakan-akan mengintip dari sela-sela bibirnya. Satu hal yang tidak pernah disebut oleh gurunya.
“Jika orang ini menggeram, maka giginya bagaikan gigi binatang buas yang mencuat dari batas bibirnya,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Lalu, “Apakah arti dari keadaan itu?“
Tetapi memang ada kemungkinan bahwa hal itu tidak mempunyai arti apapun kecuali satu kebiasaan saja. Atau karena orang itu memang memiliki sifat-sifat binatang buas, karena ilmunya atau karena watak dan pribadinya.
Karena Agung Sedayu ternyata sama sekali tidak gentar menghadapinya, maka orang itu pun kemudian berkata, “Bersiaplah. Mungkin masih ada yang ingin kau lihat di padepokanmu ini, karena sebentar lagi kau akan mati.“
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi iapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ia tidak boleh lengah bukan saja menghadapi benturan kewadagan, tetapi orang yang mewarisi ilmu perguruan Worsukma itu akan dapat mempengaruhi nalar budinya dan bahkan menguasainya.
Sejenak kemudian maka orang itu pun mulai bergerak. Seperti kebekuan di wajahnya, maka geraknya pun bagaikan tidak disadarinya. Namun Agung Sedayu tahu pasti, bahwa orang itu adalah orang yang sangat berbahaya. Agung Sedayu memang dapat mempergunakan ilmu kebalnya jika diperlukan untuk mengatasi benturan wadagnya, tetapi ia tidak dapat mempergunakan ilmu itu untuk melawan pengaruh yang mungkin dapat menguasai jiwanya. Karena itu maka ia harus mempersiapkan perlawanan khusus untuk mengatasinya.
Tetapi agaknya orang itu ingin mencoba kemampuan dan kekuatan ilmu Agung Sedayu dengan benturan-benturan wadag. Agaknya orang itu tidak dengan serta merta mempergunakan ilmu andalan dari perguruan Worsukma yang dapat menundukkan lawannya tanpa benturan kewadagan.
Sejenak kemudian, maka orang itu mulai menggerakkan tangannya. Agung Sedayu telah menyaksikan sendiri, bagaimana kibasan tangannya mampu melemparkan dan membuat seorang cantrik langsung pingsan, sedangkan yang lain telah terlempar dan terbanting pula di tanah.
Karena itu, maka Agung Sedayu pun telah bersiap sepenuhnya. Ketika orang itu meloncat dengan satu langkah panjang sambil menerkam dengan jari-jarinya yang berkembang, maka Agung Sedayu seakan-akan telah bertemu dengan kenalan lamanya meskipun berdiri berseberangan. Wawasannya yang tajam segera mengenal gerak itu, meskipun sebelumnya ia baru mendapat keterangan dari Kiai Gringsing tentang jenis ilmu itu. Ilmu yang sangat berbahaya. Terkaman itu akan dapat mengoyak kulit dagingnya.
Namun Agung Sedayu ternyata mampu mengimbangi hentakan pertama lawannya. Demikian ia bergeser menghindari serangan lawannya, Agung Sedayu pun telah meloncat pula. Sambil merendah maka tangannya terayun mendatar. Jari-jarinya yang merapat menyambar lambung lawannya dengan telapak tangan yang menelungkup. Ketika lawannya menghindar surut, maka tangan itu pun segera berubah arah, mematuk dengan cepat menghadap ke ulu hati.
Orang itu meloncat surut. Wajahnya masih tetap membeku ketika ia bergumam, “Ternyata kau tangkas. He, apakah murid-murid Kiai Gringsing sudah mewarisi kemampuannya?”
Agung Sedayu tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja ia melenting sambil berputar, sementara kakinya-lah yang terayun deras sekali, hampir saja menyambar kepala orang yang menyebut dirinya Singapati itu.
“Anak iblis,” orang itu mengumpat. Untunglah bahwa ia masih sempat menghindar dengan merendahkan dirinya sehingga kepalanya tidak disambar oleh kaki Agung Sedayu. Gerak itu memang tidak diduganya sebelumnya.
Namun kemarahan orang itu bagaikan terangkat. Karena itu, maka iapun telah meningkatkan kemampuannya.
Dengan demikian maka pertempuran antara Agung Sedayu dan Singapati itupun menjadi semakin cepat dan keras. Ternyata bahwa Agung Sedayu memang harus mengimbangi lawannya. Meskipun tidak kasar, tetapi Agung Sedayu telah bertempur sebagaimana lawannya.
Namun dengan sengaja Agung Sedayu telah memperlihatkan unsur-unsur ilmunya yang lain, yang diwarisinya dari perguruan Ki Sadewa. Ia ingin melihat ketajaman pengamatan lawannya tentang jenis-jenis ilmu dari jalur perguruan yang pernah terkenal pada masa silam.
Ternyata orang itu telah memperhatikan unsur-unsur gerak yang diperlihatkan oleh Agung Sedayu. Sebagai seorang yang berilmu tinggi dari angkatan sebelumnya, maka ternyata orang itu menjadi heran melihat jenis unsur-unsur gerak yang nampak pada lawannya yang masih terhitung muda itu.
Karena itu, hampir di luar sadarnya, maka terdengar orang itu bertanya dengan nada datar, “Kau bukan saja murid Kiai Gringsing. Tetapi kau memiliki kemampuan ilmu dari perguruan Ki Sadewa.”
“Kau mengenal Ki Sadewa?” bertanya Agung Sedayu.
“Ia berasal dari Jati Anom ini. Aku mengenal orang-orang berilmu tinggi sebagaimana aku sendiri. Tetapi seandainya Ki Sadewa masih hidup, ia tidak akan mampu mengimbangi kemampuanku sekarang, sebagaimana Kiai Gringsing pun tidak,” berkata orang itu.
“Itulah sebabnya maka kau harus dihadapkan pada dua jenis ilmu itu, sehingga dengan demikian maka barulah kau dapat dikalahkan,” berkata Agung Sedayu.
“Persetan,” geram orang itu, “jika kau baru mengenal dasar-dasar ilmu dari seratus perguruan pun, kau tidak mampu berbuat apa-apa di hadapanku sekarang ini.”
Namun tiba-tiba orang itu terkejut ketika Agung Sedayu menyerangnya dengan tata gerak yang berbeda pula. Satu ciri dari perguruan lain, bahwa ia menyerang dengan tubuh yang menghadap hampir sepenuhnya. Serangan-serangannya bertumpu pada kakinya, namun dalam keadaan yang khusus. Satu kakinya ditarik setengah langkah ke belakang, lututnya agak merendah, sementara kedua tangannya teracu ke depan.
Orang itu nampak terkejut. Selangkah ia surut sambil berdesis, “Kau berguru juga kepada bajak laut itu?” Agung Sedayu terkejut. Tetapi ia berusaha untuk menghapus kesan itu dari wajahnya. Pengenalannya atas ilmu Ki Jayaraga telah mendorongnya untuk mengganggu lawannya dengan jenis-jenis ilmu itu. Namun ia justru terkejut ketika Singapati itu menyebutnya sebagai ilmu yang disadapnya dari seorang bajak laut.
Namun Agung Sedayu pun teringat, bahwa memang ada murid Ki Jayaraga yang kemudian menjadi bajak laut yang ditakuti. Tetapi bajak laut itu sudah tidak ada lagi.
Tetapi karena Agung Sedayu memang tidak mendalami ilmu itu, maka iapun memang tidak berniat untuk mempergunakannya, selain sekedar menunjukkan kekuatan salah satu unsur gerak dari ilmu yang dikenalnya dengan baik, karena ia mengenal Ki Jayaraga dengan baik pula. Apalagi muridnya, Glagah Putih, telah berguru pula kepada Ki Jayaraga. Sehingga Agung Sedayu bersama-sama dengan Ki Jayaraga harus menyusun ilmu di dalam diri Glagah Putih, sehingga justru akan dapat saling mengisi. Bukan saling berbenturan di dalam dirinya.
Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka Singapati itu membentaknya, “Jadi kau berguru pula kepada bajak laut itu he?”
“Tidak,” jawab Agung Sedayu, “tetapi aku sekedar pernah mempelajari ilmunya. Karena kau menganggap bahwa Ki Sadewa, Kiai Gringsing dan siapa lagi, seorang-seorang tidak akan dapat mengalahkanmu, maka sekarang mereka datang bersama-sama, bahkan bersama Ki Jayaraga, meskipun hanya sekedar ilmunya. Sementara itu, biarlah wadagku menjadi lantaran pelepasan ilmu mereka.”
“Iblis kau. Kau benar-benar seorang yang sombong. Kau merasa dirimu memiliki kemampuan tiga orang berilmu tinggi itu dan berani menghadapi aku? Kau agaknya memang belum mengenal kemampuan Perguruan Worsukma yang sesungguhnya,” geram orang itu.
Agung Sedayu tidak menjawab. Namun iapun telah benar-benar bersiap. Ilmu apapun yang akan dipergunakan oleh lawannya, maka ia harus berusaha untuk mengimbanginya.
Ternyata bahwa Singapati tidak menjadi gelisah dan cepat terbakar jantungnya. Ia masih menyerang Agung Sedayu dengan ilmu kanuragan. Meskipun semakin lama menjadi semakin meningkat, tetapi Agung Sedayu masih saja mampu mengimbanginya. Serangan dibalas dengan serangan. Sekali-sekali terjadi benturan yang keras sehingga keduanya harus bergeser surut. Ternyata bahwa Singapati tidak berhasil mengatasi kemampuan kecepatan dan kekuatan Agung Sedayu dengan lambaran tenaga cadangannya. Bagaimanapun ia mengarahkan kemampuannya, ternyata Agung Sedayu selalu dapat menghindari serangannya atau menangkisnya dengan kekuatan yang seimbang.
Tetapi bagi Singapati yang dilakukan itu seakan-akan baru merupakan sekedar menghangatkan darahnya, karena di dalam dirinya tersimpan tingkat-tingkat ilmu yang tinggi dari perguruan Worsukma, di samping ilmu puncaknya.
Dalam pada itu, pertempuran antara para cantrik dan orang-orang yang memasuki padepokan itu pun menjadi semakin seru. Ternyata kemampuan para cantrik tidak sebagaimana dibayangkan oleh para pengikut Singapati. Mereka menyangka bahwa cantrik dari padepokan kecil yang dipimpin oleh seorang yang menjadi semakin tua, lemah dan sakit-sakitan itu adalah orang-orang yang lemah pula. Namun ternyata bahwa mereka memiliki gelora perjuangan yang sangat besar untuk mempertahankan hak mereka. Didukung oleh kemampuan yang cukup besar, sehingga dengan demikian, maka para cantrik itu telah berhasil menahan gerak maju orang-orang yang datang menyerang.
Tetapi sementara itu, seorang di antara orang-orang yang datang menyerang padepokan itu telah berhasil lepas dari pertahanan para cantrik. Kemampuannya yang tinggi telah mampu menyibakkan para cantrik yang mencoba menghalanginya. Bahkan seorang di antara para cantrik itu telah terlempar jatuh dengan luka di pundaknya.
Beberapa orang cantrik memang mengejarnya. Tetapi orang itu sempat menyusup di longkangan, kemudian menyelinap gerumbul-gerumbul perdu, sehingga akhirnya ia telah berhasil mencapai pintu bangunan induk padepokan itu.
Dengan serta-merta iapun telah berlari ke pintu dan mendorong pintu itu sehingga berderak. Ternyata kekuatan orang itu terlalu besar, sehingga pintu itu bukannya sekedar terbuka, tetapi justru telah patah di tengah.
Para cantrik yang ada di ruang tengah pun segera bersiap. Mereka bersama-sama telah berusaha untuk menahan orang itu agar tidak mencapai bilik Kiai Gringsing. Namun ternyata orang itu memang mampu bergerak cepat dan kuat. Kedua cantrik yang berusaha menggapainya dengan senjata, justru harus berloncatan mundur.
Tetapi ketika seorang cantrik siap memukul isyarat, maka terdengar suara di pintu bilik yang terbuka, “Jangan. Biarlah kawan-kawanmu bertempur dengan tenang.”
Ketika orang-orang di ruang dalam itu berpaling, mereka melihat Sekar Mirah berdiri di tengah-tengah pintu sambil menggenggam tongkat baja putihnya. Sebuah tengkorak di pangkal tongkat itu nampak berkilat kekuning-kuningan.
Dengan langkah yang meyakinkan Sekar Mirah mendekati orang itu sambil berkata, “Jika tubuhku telah terkapar di sini, bunyikan tanda itu. Dua orang di antara kalian, masuklah dan layani Kiai Gringsing jika ia memerlukan minum. Biarlah Kiai Gringsing beristirahat saja di pembaringannya. Jangan diganggu dengan jenis-jenis permainan tidak berarti ini.”
Orang yang memasuki ruang dalam itu memandang tongkat Sekar Mirah dengan wajah yang tegang. Namun kemudian katanya, “Siapakah kau? Darimana kau mendapatkan tongkat itu? Apakah kau murid Macan Kepatihan, sehingga kau mendapatkan tongkat itu dari Mantahun lewat Tohpati, atau dari Sumangkar?”
“Darimana kau mengenal tongkat ini?” bertanya Sekar Mirah kemudian, “Apakah kau termasuk salah seorang di antara orang-orang Jipang yang mendendam terhadap Mataram, sehingga kini kau melibatkan diri pada pertentangan yang terjadi antara Madiun dan Mataram untuk melepaskan dendammu?”
Wajah orang itu menjadi semakin tegang. Dengan geram ia berkata, “Minggirlah. Biarkan aku bertemu dengan pemimpin padepokan ini. Jika aku berhasil membunuhnya mendahului orang lain, maka aku tentu akan mendapatkan hadiah yang pantas karena jasaku. Aku akan mendapat kedudukan yang sesuai dengan kemampuanku. Nah, kau tahu, bahwa aku akan mengorbankan siapa saja yang berusaha menghalangi aku.”
“Itukah tujuan kedatanganmu? Jika kau datang dengan niat membalas dendam aku masih dapat mengerti. Tetapi jika kau datang dan ingin membunuh seseorang hanya karena menginginkan ganjaran dalam bentuk apapun, maka kau adalah orang yang tidak pantas dihormati lagi,” berkata Sekar Mirah.
“Persetan,” geram orang itu, “kau adalah seorang perempuan. Betapapun tinggi ilmumu, namun kau tidak akan berarti apa-apa bagiku. Aku tidak percaya bahwa jalur perguruan Mantahun itu mempunyai nyawa rangkap seperti cerita orang. Ternyata Ki Patih Mantahun pun terbunuh, sebagaimana Tohpati.”
“Kau sebenarnya siapa he? Meskipun Mantahun berdiri di pihak yang salah pada waktu itu, tetapi kau tahu bahwa dengan ciri tongkat ini, aku memiliki ilmu dari jalur yang sama,” berkata Sekar Mirah, “karena itu jangan menghina ilmunya.”
“Akulah yang pantas menuduhmu sebagai sisa-sisa kekuatan Jipang, karena tongkatmu itu,” berkata orang itu, “agaknya agar aku tidak mengatakannya, maka kau telah menuduhku lebih dahulu.”
Sekar Mirah memang menjadi bingung tentang sikap orang itu. Tetapi satu hal yang pasti, bahwa ia berusaha untuk membunuh Kiai Gringsing sebagaimana dikatakannya. Karena itu, ia tidak lagi mempedulikan alasan apa yang dibawanya dan darimanakah datangnya. Yang penting, bahwa ia harus mencegahnya. Bukan karena Sekar Mirah merasa memiliki ilmu yang pantas disejajarkan dengan ilmu Kiai Grinsing, tetapi justru karena Kiai Gringsing sedang sakit, sehingga ia perlu mendapat bantuan.
Nampaknya orang yang memasuki barak induk itu juga tergesa-gesa. Agaknya ia tidak mau didahului oleh orang lain, sehingga karena itu maka iapun berkata, “Sekali lagi aku peringatkan. Minggirlah.”
Tetapi Sekar Mirah sama sekali tidak bergeser dari tempatnya. Katanya, “Kita akan bertempur di pringgitan atau di pendapa. Di sini terlalu sempit, sehingga kita tidak akan sempat mengenali kemampuan kita masing-masing yang sebenarnya.”
Orang itu menggeram. Tetapi ia tidak menghiraukannya. Dengan serta merta ia menyerang Sekar Mirah.
Tetapi Sekar Mirah memang telah bersiap. Ia bergeser selangkah surut sambil memiringkan tubuhnya. Kemudian tongkatnya telah berayun deras. Hampir saja menyentuh ke muka orang itu. Tetapi dengan tangkasnya orang itu mengelak sambil bergeser ke samping.
Namun pada pengenalan yang pertama atas ilmu perempuan yang bersenjata tongkat baja putih itu, orang yang akan membunuh Kiai Gringsing itu pun dapat menjajagi kemampuannya. Perempuan itu memang berilmu tinggi.
Karena itu, maka orang itu pun tidak ingin mengalami kegagalan. Iapun dengan serta merta telah menarik senjatanya pula. Sebilah pedang yang tajam di kedua belah sisinya. Pedang yang lurus itu nampak berkilat-kilat di bawah cahaya lampu minyak di ruang dalam.
Sementara itu, dua di antara para cantrik memang sudah berada di dalam bilik Kiai Gringsing, sementara dua yang lainnya dengan tegang mengamati pertempuran yang kemudian terjadi antara Sekar Mirah dengan orang yang ingin membunuh Kiai Gringsing itu. Namun agaknya mereka tidak berkesempatan untuk melibatkan diri ke dalam pertempuran yang menjadi semakin sulit dimengerti.
Untunglah bahwa Sekar Mirah telah berhasil meningkatkan dan memperdalam ilmunya, justru karena ia adalah istri Agung Sedayu. Latihan-latihan yang sering dilakukannya dengan suaminya, telah banyak membantunya menemukan kemungkinan-kemungkinan baru bagi perkembangan ilmunya. Ilmu yang diwarisinya dari Ki Sumangkar.
Dengan demikian maka Sekar Mirah yang pernah ikut menyumbangkan tenaga dan kemampuannya disaat-saat pembentukan Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh, dengan tangkasnya berusaha untuk mengimbangi lawannya yang dengan tergesa-gesa ingin menyelesaikannya dengan cepat. Karena itulah maka lawannya tidak lagi menahan diri, meningkatkan ilmunya selapis demi selapis. Tetapi dengan serta merta, lawannya telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada di dalam dirinya.
Tetapi ia telah membentur kemampuan ilmu yang tinggi dari seorang perempuan yang bersenjata tongkat baja putih yang diwarisinya dari Ki Sumangkar. Salah seorang yang berilmu tinggi pada masa pemerintahan Adipati Jipang, di samping Ki Patih Mantahun.
Orang itu mengumpat di dalam hati. Semula ia menduga, bahwa yang akan dilakukannya itu tidak akan mengalami banyak kesulitan. Ia mengira bahwa ia tinggal membunuh beberapa orang cantrik yang menjaga Kiai Gringsing yang sakit, kemudian menikam orang tua yang tidak berdaya itu di pembaringannya.
Namun ia sudah berhadapan dengan perempuan bertongkat itu. Karena itu, maka ia tidak mempunyai pilihan lain, bahwa ia harus menyingkirkan perempuan itu.
Karena itu maka katanya, “Perempuan yang tidak tahu diri, jika kau tidak minggir, maka kematianmu pun sama sekali bukan karena salahku.”
“Marilah,” berkata Sekar Mirah, “agaknya satu cara yang baik bagimu untuk membunuh diri.”
Kemarahan orang itu seakan-akan telah menyalakan obor-obornya. Karena itu, maka iapun telah meloncat sambil mengacukan pedangnya.
Tetapi Sekar Mirah pun telah bersiap sepenuhnya. Karena itu, maka iapun telah siap menghadapi serangan itu. Dengan tangkasnya ia telah memutar tongkatnya, sehingga telah terjadi benturan antara kedua jenis senjata itu.
Sekar Mirah pun ternyata tidak ingin mengalami kesulitan karena kelengahannya. Dengan demikian maka iapun telah mengerahkan segenap kemampuannya pula untuk melawan serangan lawannya itu.
Sebuah benturan yang keras telah terjadi. Ternyata lawan Sekar Mirah itu pun terkejut. Ia tidak mengira bahwa perempuan itu memiliki kekuatan yang mampu mengimbangi kekuatannya. Meskipun ia menyadari bahwa perempuan itu memang berilmu tinggi, namun kekuatannya benar-benar melampaui dugaannya.
Karena itu maka orang itu pun harus lebih berhati-hati. Ia tidak dapat sekedar datang untuk membunuh. Namun kemungkinan lain akan dapat terjadi. Justru ia akan terbunuh oleh perempuan yang garang itu.
Sejenak kemudian maka perkelahian yang semakin sengit pun telah terjadi. Sekar Mirah memang ingin mendesak lawannya, agar mereka tidak bertempur di ruang dalam. Bukan saja karena tempatnya yang sempit. Tetapi pertempuran itu tentu akan sangat mengganggu Kiai Gringsing yang sedang sakit.
Karena itu, maka Sekar Mirah pun telah berusaha untuk bergeser dari tempat yang memang terlalu sempit untuk bertempur dengan senjata.
Ternyata bahwa kecepatan gerak Sekar Mirah memang mengagumkan, di samping kekuatannya yang jauh lebih besar dari dugaan lawannya. Selangkah demi selangkah Sekar Mirah mendesak lawannya menjauhi pintu bilik Kiai Gringsing. Namun lawannya pun berusaha justru untuk mencapai pintu itu. Ia sadar, bahwa Kiai Gringsing agaknya ada di dalam bilik itu.
Tetapi selain Sekar Mirah, maka dua orang cantrik telah berdiri di pintu itu pula. Jika orang itu berniat untuk dengan serta merta memasuki bilik itu dengan meninggalkan Sekar Mirah, maka keduanya akan dapat menghambatnya, meskipun keduanya merasa tidak akan dapat mengimbangi kemampuan orang itu. Tetapi setidak-tidaknya mereka akan dapat memberi kesempatan Sekar Mirah mencapai orang itu dan menahannya untuk tidak memasuki bilik Kiai Gringsing.
Ternyata bahwa tidak mudah bagi Sekar Mirah untuk mendesak lawannya keluar dari ruang dalam itu. Karena itu. maka Sekar Mirah pun kemudian telah berusaha untuk memanfaatkan keadaan di dalam ruang dalam itu untuk mengawasi lawannya.
Dengan demikian maka pertempuran antara Sekar Mirah dengan orang yang berniat membunuh Kiai Gringsing itu pun menjadi semakin cepat dan keras. Keduanya telah mempergunakan seluruh kemampuan mereka.
Tetapi dengan demikian, maka orang yang mengira bahwa membunuh Kiai Gringsing adalah sama mudahnya dengan membunuh beberapa orang cantrik yang menunggunya, ternyata salah. Meskipun yang dihadapinya adalah seorang perempuan, tetapi ternyata perempuan itu memiliki kemampuan yang tidak dapat diatasinya.
Bahkan semakin lama semakin ternyata kemampuan Sekar Mirah berada selapis di atas kemampuan lawannya. Betapapun pedang orang itu berputaran, tetapi pedang itu tidak pernah mampu menembus pertahanan tongkat baja putih Sekar Mirah. Bahkan Sekar Mirah dengan sengaja telah mempergunakan kesempitan ruangan itu untuk membuat lawannya kadang-kadang kehilangan kesempatan, karena pedangnya yang tersentuh oleh barang-barang yang ada di ruang itu.
Karena itu, maka iapun berpendapat bahwa mereka akan lebih baik bertempur di tempat yang luas. Orang itu masih berharap bahwa dengan loncatan-loncatan panjang dan jarak yang renggang akan dapat memberikan keuntungan baginya, justru karena lawannya adalah seorang perempuan.
Karena itu, ketika Sekar Mirah berusaha mendesaknya, ia justru telah memancing lawannya keluar dari ruang itu.
Demikian mereka berada di pinggiran, maka rasa-rasanya lawan Sekar Mirah itu telah mendapat kesempatan bernafas sedalam-dalamnya. Dadanya tidak lagi merasa sesak oleh sesaknya ruangan.
Dengan tangkasnya orang itu telah mengambil jarak. Disilangkannya pedangnya di depan dadanya. Namun kemudian satu kakinya telah melangkah maju. Tubuhnya kemudian miring dengan lutut yang merendah, sementara pedangnya yang lurus dan tajam di kedua sisinya terjulur ke depan.
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Ilmu pedang orang itu ternyata agak berbeda dengan ilmu pedang yang sering ditemuinya. Berbeda pula dengan ilmu pedang yang pernah dipelajarinya di samping kemampuannya mempergunakan tongkat baja putihnya.
Tetapi Sekar Mirah tidak menjadi tergetar jantungnya karena ilmu itu. Sebagai seorang yang sering berbicara tentang ilmu kanuragan dan berbagai ilmu mempergunakan senjata, maka Sekar Mirah pun pernah berbicara tentang berbagai kemungkinan dari ilmu pedang. Meskipun ia belum mengenal secara khusus ilmu lawannya itu, tetapi ia mengenali sebagai unsur-unsur gerak dari sejenis ilmu pedang yang pernah dikenalinya pula.
Agaknya lawannya itu telah mengembangkan unsur itu sehingga menjadi pola dari geraknya kemudian.
Sejenak kemudian, maka orang itu pun telah meloncat menyerang. Setiap kali pedangnya ke samping, terayun mendatar dan kemudian mematuk lurus ke arah dada. Dengan demikian maka Sekar Mirah menganggap bahwa ilmu pedang lawannya itu memang ilmu yang berbeda dengan ilmu pedang pada umumnya.
Karena itulah, maka Sekar Mirah harus menjadi semakin berhati-hati. Ia harus berusaha mengenali ilmu lawannya sebaik-baiknya, kemudian berusaha menemukan kekuatan dan kelemahannya. Sehingga untuk itu maka ia harus melalui satu tataran penjajagan.
Itulah sebabnya, maka Sekar Mirah lebih banyak bergeser surut, menghindar dan dengan sangat berhati-hati menangkis serangan lawannya.
Namun kadang-kadang Sekar Mirah memang harus meloncat surut. Kedua kaki orang itu selalu pada jarak yang hampir tetap. Satu kakinya di depan, satu lagi ditarik ke belakang, sementara yang berada di depan sedikit merendah pada lututnya. Letak kedua kaki itu ternyata mampu menggerakkan tubuhnya dengan cepat dan tangkas. Sekali-sekali bergerak maju, kemudian satu dua langkah surut. Namun kemudian dengan loncatan-loncatan yang cepat ia bergeser dan berputar. Tetapi dalam waktu sekejap, orang itu telah berada dalam sikapnya kembali. Satu kakinya ditarik ke belakang, merendah pada lututnya, sedangkan pedang di tangannya terjulur lurus ke depan.
Beberapa saat lamanya, Sekar Mirah menjajagi kemampuan lawannya. Tetapi karena setiap kali Sekar Mirah meloncat surut, maka lawannya memang menyangka bahwa Sekar Mirah memang telah terdesak.
Tetapi ternyata bahwa pekerjaan itu tidak terlalu mudah dilakukan. Ternyata bahwa semakin lama Sekar Mirah tidak menjadi semakin terdesak. Justru saat-saat Sekar Mirah mulai mengenali kekuatan dan kelemahan ilmu pedang lawannya, maka iapun telah berusaha untuk dapat mengimbanginya.
Namun pengenalan itu telah membuat Sekar Mirah menduga-duga. Orang itu tentu orang dari pesisir yang berhubungan dengan orang yang datang dari luar Tanah ini dan mendapat ajaran ilmu pedang dari mereka. Karena yang dihadapinya itu bukan sekedar pengembangan unsur dalam ilmu pedang yang sudah dikenalinya, tetapi benar-benar watak dari satu ilmu tersendiri.
“Atau betapa piciknya pengenalanku atas ilmu kanuragan, sehingga aku tidak mengenalinya seandainya ilmu itu bukan berasal dari seberang,” berkata Sekar Mirah di dalam hatinya.
Namun demikian, ternyata ketajaman penggraita Sekar Mirah telah mampu memilih unsur-unsur gerak yang dikuasainya dan telah dikembangkannya itu untuk mengimbangi kegarangan ilmu pedang lawannya. Meskipun Sekar Mirah seorang perempuan, tetapi ia memiliki pengalaman yang luas. Bahkan seandainya dibandingkan dengan Swandaru, agaknya Sekar Mirah masih dapat berbangga.
Karena itulah, maka pertempuran antara Sekar Mirah dengan lawannya yang kemudian bergeser di pringgitan itu pun menjadi semakin lama semakin seru. Keduanya menjadi semakin cepat bergerak. Tongkat baja putih Sekar Mirah ternyata masih juga mampu memancing kegelisahan lawannya. Loncatan-loncatan panjang dan langkah-langkah yang cepat menghentak-hentak, membuat lawannya kadang-kadang harus meloncat surut mengambil jarak. Sehingga dengan demikian, maka bukan saja Sekar Mirah yang kadang-kadang harus meloncat satu dua langkah mundur, tetapi juga lawannya.
Dua orang cantrik yang semula berdiri di pintu bilik Kiai Gringsing telah berdiri pula di depan pintu pringgitan. Keduanya menyaksikan pertempuran itu dengan hati yang berdebar-debar. Dengan tegang keduanya mengikuti apa yang telah terjadi. Mereka tidak saja akan menghambat jika lawan Sekar Mirah itu berusaha dengan serta merta masuk ke dalam, tetapi keduanyapun mengamati keadaan jika ada orang lain yang berusaha naik ke pendapa dan membantu lawan Sekar Mirah itu.
Sementara itu, di bagian lain dari padepokan itu, dua kelompok tengah bertempur dengan sengitnya. Sekelompok orang yang memasuki padepokan itu, dan sekelompok lagi adalah cantrik-cantrik dari padepokan kecil itu. Ternyata bahwa para cantrik tidak mengecewakan. Mereka mampu menahan arus yang melanda padepokan mereka. Sementara itu, pemimpin kelompok dari orang-orang yang memasuki padepokan itu telah berhadapan dengan Glagah Putih.
Ternyata bahwa pemimpin kelompok itu tidak mampu mengatasi kecepatan gerak Glagah Putih. Betapapun orang itu berusaha menyentuh lawannya dengan ujung senjatanya, namun ternyata sulit sekali baginya menembus lingkaran putaran senjata Glagah Putih. Bahkan setiap sentuhan senjata, maka pemimpin kelompok itu merasa betapa tangannya bagaikan disengat oleh bara. Dengan susah payah pemimpin kelompok itu harus mempertahankan agar senjatanya tidak terlepas dari tangannya karena kekuatan Glagah Putih yang tidak dapat diimbanginya.
Namun semakin lama orang itu menjadi semakin berdebar-debar. Anak muda yang mengaku cantrik dari padepokan kecil itu ternyata memiliki kemampuan yang tidak dapat diimbanginya. Namun dalam pada itu, semakin terbuka pula pengenalannya atas ilmu anak muda itu. Dengan nada tinggi tiba-tiba saja orang itu berkata, “He, siapakah sebenarnya kau? Kau tidak bertempur sepenuhnya dengan ilmu dari orang bercambuk itu. Kaupun tidak bersenjata cambuk, dan ilmu bahkan unsur-unsur gerakmu menunjukkan jalur perguruan tersendiri.”
“Apa yang kau ketahui tentang ilmu dari perguruan-perguruan yang tersebar di Tanah ini? Jika kau membatasi unsur-unsur gerak dari satu perguruan, maka kau akan ketinggalan jauh,” jawab Glagah Putih.
Orang itu mengerutkan keningnya sambil bergeser mengambil jarak. Wajahnya yang tegang menjadi semakin tegang. Dengan sorot mata yang tajam ia memandang Glagah Putih yang melangkah satu-satu mendekatinya.
“Marilah,” berkata Glagah Putih, “apa yang mencegahmu?”
“Setan kau,” geram orang itu, “kau mempergunakan ilmu campur baur dari beberapa perguruan?”
“Aku meramunya menjadi satu kesatuan yang utuh. He, kau lihat beberapa unsur gerakku dari perguruan lain? Apa salahnya jika aku melakukannya? Ternyata kau tidak mampu mengatasi ilmuku itu, karena justru dengan demikian dapat memperkaya unsur-unsur gerak pada ramuanku itu sehingga mampu meningkatkan bobot kemampuanku. Kau merasakannya?” bertanya Glagah Putih.
“Kau memang terlalu sombong anak muda. Karena itu, maka kau harus mati. Kau kira dengan mengumpulkan berbagai macam ilmu dan kau susun menjadi sejenis ilmu yang baru itu akan lebih baik dari setiap jenis ilmu itu masing-masing? Ilmu-ilmu itu tidak lahir dalam satu dua malam, dari seorang perenung atau pemimpi. Tetapi tentu sudah mengalami tempaan dan perkembangan yang membuatnya mapan. Nah, jika kau mau mencoba, maka kau tentu akan mengakuinya,” berkata orang itu.
Glagah Putih tertegun. Iapun bergeser surut ketika ia melihat lawannya itu justru menyarungkan senjatanya.
“Jangan menyesal bahwa kau benar-benar akan mati muda,” berkata orang itu kemudian sambil menyilangkan tangan di dadanya.
Glagah Putih menyadari, bahwa lawannya tentu sedang membangunkan satu jenis ilmu pamungkasnya.
Karena itu, maka Glagah Putih pun tidak mau kehilangan kesempatan. Maka iapun telah bersiap, pula. Dalam waktu sejenak, iapun telah membangunkan pula kemampuan ilmunya yang mampu melontarkan serangan, bahkan yang dapat disadapnya dari inti kekuatan yang ada di sekitarnya.
Tetapi sebagaimana selalu dilakukannya, Glagah Putih tidak mempergunakannya dengan serta merta. Ia memang harus berusaha mengalahkan lawannya, agar bukan dirinya sendiri yang menjadi korban. Tetapi dengan tataran ilmu yang tidak semena-mena dipergunakannya. Hanya terhadap orang-orang yang tidak dapat diperhitungkan sebelumnya, maka Glagah Putih akan menghempaskan seluruh kekuatan yang di dalam dirinya, yang disadarinya menjadi semakin besar sejak ia menerima tumpuan alas kekuatan dari Raden Rangga, tanpa mengusik ilmu yang memang telah berada di dalam dirinya.
Dengan demikian maka Glagah Putih memang harus menjajagi lagi kemampuan ilmu puncak lawannya itu. Meskipun demikian, maka segala kemungkinan akan dapat terjadi.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian maka lawannya itu pun telah meloncat menyerang. Dengan ketajaman pengamatannya, maka Glagah Putih segera melihat, bahwa telah terdapat perubahan pada tata gerak orang itu. Ayunan tangannya bagaikan ayunan sebongkah besi baja yang sangat berat.
Glagah Putih yang telah menyarungkan pedangnya pula, dengan kecepatan yang sulit diikuti dengan tatapan mata wadag telah bergeser, sehingga ayunan tangan lawannya itu tidak menyentuhnya. Namun terasa betapa angin telah menyambar kakinya dengan derasnya.
Dengan demikian maka Glagah Putih dapat memperhitungkan betapa kuatnya ayunan tangan lawannya itu. Bahkan ilmu yang telah dibangunkannya itu tentu mampu membuat tubuh lawannya itu menjadi sekeras batu hitam. Pukulannya pun tentu akan meremukkan tulang.
Karena itu, maka orang itu sama sekali tidak memperhitungkan bahwa lawannya akan menangkis serangannya itu. Bahkan ia berusaha untuk membuat benturan-benturan yang akan dapat menghancurkan perlawanan lawannya.
Tetapi Glagah Putih mampu menempatkan diri. Bahkan ia masih sempat menduga-duga, apakah dengan demikian lawannya akan dapat menjadi kebal, sehingga seandainya ia mempergunakan pedangnya, orang itu tidak akan dapat dilukainya.
Namun Glagah Putih tidak ingin lagi menarik pedangnya. Ia akan mencoba dengan kemampuan ilmunya, apakah lawannya memang kebal. Ia akan memanfaatkan kecepatan geraknya untuk menjajagi kekuatan dan kemampuan lawannya itu.
Sejenak kemudian, maka Glagah Putih pun telah mengimbangi ilmu lawannya. Iapun telah meningkatkan perlawanannya, sehingga tata geraknya pun telah berubah pula. Geraknya menjadi semakin cepat, sehingga kakinya seakan-akan tidak lagi berjejak di atas tanah. Dalam keremangan cahaya obor di kejauhan, maka Glagah Putih itu bagaikan bayangan yang terbang mengitari arena pertempuran.
Dengan demikian, maka Glagah Putih telah mempergunakan unsur yang berlawanan dari lawannya yang seakan-akan menjadi semakin berat dan menekan bumi. Geraknya dan ayunan serangannya yang bagaikan besi baja, sementara Glagah Putih seolah-olah telah menjadi seringan kapas.
“Anak iblis,” geram lawannya yang tidak segera mampu mengenai sasaran dengan ilmunya yang garang. Tetapi serangan-serangannya pun kemudian datang beruntun. Lawannya memburunya kemana Glagah Putih bergeser tanpa harus membuat perhitungan atas serangan-serangannya itu, karena lawannya itu tidak merasa perlu menghindari benturan kekuatan.
Glagah Putih kemudian memang mencoba untuk mengetahui daya tahan lawannya. Dengan cepat, ia telah mempergunakan kesempatan yang terbuka untuk memasukkan serangannya mengenai pundak lawannya itu.
Ternyata Glagah Putih berhasil. Jari-jarinya yang merapat, berhasil mengenai pundak lawannya sebagaimana direncanakan.
Tetapi sentuhan itu telah mengejutkan Glagah Putih. Meskipun lawannya itu juga meloncat surut oleh serangan yang terasa menyakitinya, tetapi jari-jari Glagah Putihpun merasa sakit pula. Rasa-rasanya jari-jarinya akan berpatahan. Pundak lawannya itu seolah-olah berubah menjadi sekeras batu.
“Satu jenis ilmu yang berbahaya,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya, “setiap sentuhan serangan telah menyakiti penyerangnya sendiri. Dan karena itulah agaknya, maka ia tidak terlalu banyak memperhitungkan tata geraknya. Ia menyerang seperti seekor kerbau yang dungu. Namun ayunan tangannya seperti ayunan balok-balok besi. Sementara itu, tubuhnya pun menjadi sekeras batu pula. Semakin keras seseorang menyerang dan mengenainya, maka orang itu sendiri akan menjadi semakin kesakitan.”
Tetapi satu hal yang diketahui pula oleh Glagah Putih, bahwa ternyata orang itu tidak menjadi kebal. Sentuhan tangannya masih juga mampu menyakiti orang itu, meskipun jari-jarinya juga menjadi sakit.
Dengan demikian Glagah Putih menduga, bahwa ilmu orang itu menjadi hubungan atau merupakan rambatan dari ilmu Tameng Waja. Jika orang itu berhasil, maka sulit bagi lawan-lawannya untuk mengalahkannya, karena Tameng Waja mempunyai kemampuan sebagaimana ilmu kebal. Meskipun bukan berarti bahwa ilmu itu tidak dapat ditembus sama sekali. Kemampuan ilmu yang menyamai tataran ilmu Tameng Waja itu masih akan dapat menembusnya dan menghancurkannya.
Demikianlah maka pertempuran antara Glagah Putih dengan pemimpin kelompok dari orang-orang yang memasuki padepokan itu menjadi semakin seru. Orang itu benar-benar telah mempercayakan dirinya pada kemampuan ilmunya. Meskipun serangan-serangan orang itu tidak dapat mengenai lawannya, tetapi Glagah Putih pun harus membuat perhitungan sebaik-baiknya untuk menyentuhnya, agar dirinya sendiri tidak merasa sakit karenanya.
Karena itu, maka Glagah Putih tidak mengenai lawannya dengan sentuhan-sentuhan yang keras, tetapi Glagah Putih telah mempergunakan sentuhan-sentuhan yang lunak. Seakan-akan setiap kali ia hanya mendorong lawannya sehingga setiap kali lawannya itu seakan-akan telah kehilangan keseimbangannya. Tetapi ternyata bahwa dorongan-dorongan itu tidak juga berhasil menjatuhkannya, meskipun beberapa kali hal itu hampir terjadi.
Namun dalam pada itu, Glagah Putih menjadi berdebar-debar ketika ia mengamati pertempuran yang terjadi di sekitarnya. Meskipun hanya sekilas-sekilas, tetapi ia melihat bahwa ternyata lawan-lawan para cantrik itu telah bertempur semakin keras dan kasar. Bahkan kadang-kadang di luar batas-batas paugeran, sehingga sikap itu ternyata telah berpengaruh atas perlawanan para cantrik. Dalam beberapa hal para cantrik yang kurang berpengalaman itu memang mempunyai beberapa kekurangan menghadapi keadaan yang tiba-tiba saja berubah. Sehingga sikap orang-orang yang memasuki padepokan itu pun kadang-kadang membingungkan mereka.
Dengan keadaan yang demikian, maka Glagah Putih pun merasa telah berpacu pula dengan waktu. Jika keadaan para cantrik itu menjadi semakin sulit, maka korban pun tentu akan berjatuhan tanpa dapat dikekang lagi.
Karena itu, maka Glagah Putih pun merasa wajib untuk dengan segera berusaha mengatasi lawannya yang memiliki kemampuan yang tinggi itu.
Sementara itu, Agung Sedayupun tengah bertempur melawan lawannya yang wajahnya bagaikan membeku. Orang yang menyebut dirinya bernama Singapati serta memiliki ilmu yang diwarisinya dari Perguruan Worsukma itu telah meningkatkan ilmunya dari satu tingkat ke tingkat berikutnya. Namun Agung Sedayu pun telah mengimbanginya pula. Iapun telah meningkatkan ilmunya setingkat demi setingkat pula.
Dengan demikian pertempuran di antara keduanya pun menjadi semakin cepat. Keduanya bergerak semakin cepat, sementara gerak tangan dan kaki mereka pun tidak lagi dapat diikuti dengan pandangan mata wadag.
Di pringgitan, Sekar Mirah pun bertempur semakin cepat pula. Ternyata dua orang cantrik yang mengejar orang itu namun kemudian kehilangan jejaknya, telah berada di pendapa pula. Tetapi keduanya tertegun ketika mereka melihat dua orang cantrik yang lain berdiri termangu-mangu di pintu pringgitan, sementara Sekar Mirah bertempur dengan kemampuan yang mendebarkan melawan orang yang bersenjata pedang lurus bermata tajam di kedua sisinya itu.
Karena itulah maka keduanya pun untuk sementara hanya sekedar melihat saja apa yang terjadi dengan kedua orang yang bertempur itu.
Namun keduanya pun ternyata sempat menangkap isyarat dari pertempuran itu, bahwa Sekar Mirah tidak akan dapat dikalahkan oleh lawannya yang berpedang lurus itu. Beberapa kali justru Sekar Mirah-lah yang telah mendesak lawannya. Tongkat baja putihnya berputaran seperti baling-baling. Suaranya seperti desau angin yang bertiup kencang di sela-sela dedaunan.
Dalam setiap benturan, maka lawannya, selalu nampak terdorong surut meskipun hanya setapak, atau senjatanya saja-lah yang bagaikan mental dari benturan.
Dengan demikian maka kedua orang cantrik yang berusaha mengejarnya tidak lagi merasa cemas akan orang itu, sehingga keduanya pun telah meninggalkan pendapa dan berlari kembali kepada kelompok mereka yang masih bertempur dengan sengitnya.
Yang ditinggalkan di pendapa ternyata masih bertempur terus dengan sengitnya.
Dua orang cantrik yang di pintu pringgitan menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang seakan-akan berdenyut semakin cepat. Namun mereka pun melihat, bahwa Sekar Mirah berada pada kemungkinan yang lebih baik dari lawannya. Beberapa kali lawannya yang bersenjata panjang itu telah terdesak mundur, sementara pedangnya pun sulit untuk mengikuti kecepatan gerak tongkat baja putih Sekar Mirah.
Sekar Mirah pun kemudian menjadi semakin yakin pula, bahwa ilmu yang dimilikinya mampu mengatasi ilmu pedang lawannya, betapapun mula-mula ilmu itu agak asing baginya. Namun pengalamannya serta kemampuannya yang telah berkembang dapat melampaui tata gerak yang semula tidak begitu dikenalnya. Namun yang perlahan-lahan dapat dikenali kekuatan dan kelemahan itu.
Namun dalam pada itu, Sekar Mirah menjadi termangu-mangu sejenak. Hampir saja ujung pedang lawannya menyentuh tubuhnya. Untunglah bahwa ia mampu meloncat surut dengan gerak nalurinya, sehingga tubuhnya tidak terkoyak karenanya.
Dari sebelah bangunan induk di padepokan itu terdengar sorak yang bagaikan mengguncang seluruh padepokan. Kemudian disusul oleh teriakan-teriakan yang serupa dari arah lain. Seakan-akan suara-suara riuh itu semakin lama menjadi semakin dekat.
“Apakah mereka berhasil mendesak para cantrik sehingga pertempuran itu menjadi semakin dekat dengan barak induk ini?” pertanyaan itu tumbuh di hati Sekar Mirah.
Tetapi justru karena itu, maka iapun telah mengambil keputusan untuk dengan cepat menyelesaikan perlawanan orang berpedang lurus itu.
Ketika teriakan-teriakan dan sorak yang riuh itu terdengar semakin keras, maka Sekar Mirah pun telah menghentakan kemampuan ilmu yang diwarisinya dari Ki Sumangkar, dan telah dikembangkannya pula dengan tuntunan suaminya serta dilambari dengan pengalaman yang luas, maka iapun benar-benar telah menekan lawannya. Demikian sorak yang mengguntur meledak, maka keluh kesakitan orang berpedang itu tidak dapat didengarnya.
Orang berpedang lurus itu meloncat beberapa langkah surut. Ternyata tongkat baja putih Sekar Mirah telah mengenai bahu orang itu. Kulit orang itu memang tidak terluka, tetapi tulang-tulangnya terasa bagaikan berpatahan.
Sekar Mirah tidak melepaskan lawannya justru karena suara riuh itu menjadi semakin dekat. Bahkan Sekar Mirah telah menghentakkan pula kemampuannya, agar ia dapat segera membantu jika kemungkinan yang terburuk telah terjadi.
Dengan demikian maka Sekar Mirah-lah yang kemudian nampak menjadi garang. Ilmu yang diwarisinya dari Ki Sumangkar, sebagaimana ilmu yang dikuasai oleh Tohpati yang digelari Macan Kepatihan, memang satu jenis ilmu yang garang. Apalagi jenis senjata yang dipergunakannya adalah senjata yang menggetarkan jantung pula. Sedangkan kemampuan ilmunya telah berkembang pula semakin mapan.
Karena itu, ketika Sekar Mirah benar-benar mengerahkan ilmunya sampai ke puncak, maka lawannya memang tidak banyak mendapat kesempatan. Orang berpedang lurus itu justru semakin terdesak. Apalagi karena bahunya telah dikenai tongkat baja putih Sekar Mirah.
Beberapa saat kemudian, maka suara yang riuh itu rasa-rasanya memang hampir mencapai sebelah-menyebelah pendapa. Sekar Mirah memang menjadi agak gelisah. Tetapi kegelisahannya itu tidak mengaburkan pengamatannya atas tata gerak lawan. Ia memang berusaha mempercepat penyelesaian, tetapi tidak dengan tanpa perhitungan.
Ketika Sekar Mirah meloncat ke samping dengan ayunan mendatar, lawannya sempat bergerak ke arah yang berlawanan. Namun demikian ujung jari kaki Sekar Mirah menyentuh lantai, maka iapun telah melenting pula. Tongkatnya mematuk lurus ke depan ke arah dada. Tetapi lawannya masih juga sempat memiringkan tubuhnya sambil menangkis tongkat itu ke samping. Tetapi Sekar Mirah dengan cepat memutar tongkatnya. Sekali lagi ia mengayunkan mendatar dan kekuatannya yang besar telah menghantam lambung orang itu lewat tongkat besi bajanya.
Orang itu tidak sekedar meloncat mundur. Ketika ia mencoba menghindar, justru pada saat kakinya lepas dari lantai, tongkat lawannya itu mengenainya. Sehingga dengan demikian maka orang itu bagaikan dilemparkan dengan kekuatan yang sangat besar. Sekali orang itu berguling. Namun ketika ia berusaha untuk bangkit, maka ia justru telah terpeleset jatuh ke tangga pendapa.
Sekar Mirah tidak mau melepaskannya. Orang itu tidak boleh melarikan diri. Karena itu, Sekar Mirah pun dengan loncatan panjang menyusulnya. Demikian orang itu bangkit, maka tongkat Sekar Mirah telah terayun deras.
Terdengar keluh kesakitan. Namun tubuh itu pun kemudian terhuyung-huyung sejenak. Tongkat Sekar Mirah yang agak tergesa-gesa diayunkan, ternyata telah mengenai punggung orang itu agak di bawah tengkuk.
Beberapa saat orang itu memang berusaha untuk mempertahankan keseimbangannya. Namun sejenak kemudian iapun telah terjatuh menelungkup. Pedangnya tergeletak di sisinya sementara tangannya masih berusaha untuk berpegang pada hulunya.
Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Kedua orang cantrik yang berdiri di depan pintu pringgitan itu pun berlari-lari mendekat.
“Apa yang terjadi?” bertanya salah seorang di antara mereka.
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi ketika kedua orang cantrik itu menengadahkan orang itu, Sekar Mirah berpaling dan berjalan beberapa langkah menjauh. Ternyata bahwa Sekar Mirah tidak ingin menyaksikan wajah orang itu, yang membayangkan kesakitan yang sangat di saat-saat terakhir.
Namun dalam pada itu, suara sorak dan teriakan-teriakan itu pun menjadi semakin keras.
Sesaat Sekar Mirah menunggu. Namun ketika ia mendapat kesempatan untuk memperhatikan dengan sungguh-sungguh suara itu, maka agaknya pertempuran itu masih belum terlalu dekat dengan pendapa barak induk itu.
Karena itu, maka Sekar Mirah pun telah berlari ke pintu pringgitan. Sejenak ia tertegun, seakan-akan menunggu kedua orang cantrik yang masih menunggui tubuh orang yang terbaring di bawah tangga pendapa itu. Namun kemudian iapun telah masuk ke ruang dalam dan langsung menuju ke bilik Kiai Gringsing.
Dilihatnya Kiai Gringsing yang duduk di bibir pembaringannya itu tersenyum. Katanya dengan nada rendah, “Kau berhasil mengalahkan lawanmu?”
“Ya Kiai. Ternyata aku dapat menghentikan perlawanannya. Tetapi suara sorak dan teriakan-teriakan itu menjadi semakin dekat,” jawab Sekar Mirah.
“Tidak apa-apa,” jawab Kiai Gringsing masih tetap tenang, “kita percayakan saja semuanya kepada Agung Sedayu. Ia akan dapat mengatasi persoalan ini.”
Sekar Mirah mengangguk kecil. Namun Kiai Gringsing masih melihat kecemasan di wajah perempuan itu. Karena itu maka katanya, “Yakinkan dirimu.”
“Baik Kiai,” jawab Sekar Mirah.
“Nah, karena itu, jangan gelisah. Tunggu sajalah mereka di sini,” berkata Kiai Gringsing.
Sekar Mirah mengangguk pula. Dengan ragu-ragu ia berdesis, “Aku akan menunggu di sini Kiai.”
“Hati-hatilah. Jangan tergesa-gesa menanggapi keadaan,” berkata Kiai Gringsing pula.
Demikianlah, maka Sekar Mirah pun kemudian telah keluar. Dua orang cantrik masih berada di dalam bilik Kiai Gringsing. Ketika dengan hati-hati Sekar Mirah menjenguk pringgitan, maka dilihatnya dua orang cantrik yang berada di luar telah berdiri berjaga-jaga di pringgitan, sementara itu sesosok tubuh yang semula berada di bawah tangga, telah diangkat dan dibaringkan di pendapa.
Tetapi Sekar Mirah sama sekali tidak mengatakan sesuatu.
Sementara itu, pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Orang-orang yang mendatangi padepokan itu memang dengan sengaja berusaha untuk menggoncangkan ketahanan batin para cantrik yang kurang berpengalaman.
Ternyata usaha mereka memang berpengaruh. Ketika orang-orang itu bersorak-sorak dan berteriak nyaring, bahkan mengumpat-umpat dan segala macam bunyi, maka para cantrik menjadi sangat gelisah. Apalagi tata gerak orang-orang itu menjadi kasar dan liar. Mereka berlari-lari dan berusaha untuk mendesak para cantrik mendekati bangunan induk. Bahkan beberapa orang justru berusaha untuk menyusup melampaui arena pertempuran.
Namun betapapun para cantrik terpengaruh oleh keadaan itu, tetapi mereka masih berusaha untuk menahan agar orang-orang yang memasuki padepokan itu tidak mendekat barak induk. Apalagi mereka menyadari bahwa Kiai Gringsing memang sedang sakit.
Glagah Putih yang menyadari pula akan usaha orang-orang itu untuk mempengaruhi perlawanan para cantrik dari dalam diri sendiri, maka Glagah Putih pun tidak berniat untuk memperpanjang pertempuran itu. Iapun semakin meningkatkan kemampuannya sehingga tata geraknya pun menjadi semakin cepat.
Tetapi ternyata bahwa kemampuan lawannya telah menghambatnya. Glagah Putih tidak dapat menyakiti lawannya dengan tanpa memperhitungkan dirinya sendiri. Karena semakin keras ia mengenai tubuh lawannya, maka tangannya sendiri pun rasa-rasanya bagaikan menjadi patah.
Karena itu, maka Glagah Putih pun telah memilih jalan lain. Ia terpaksa mempergunakan ilmunya yang menurut perhitungannya akan dapat mengalahkan lawannya tanpa menyakiti diri sendiri. Meskipun semula Glagah Putih tidak ingin mempergunakan kemampuannya itu, namun ia memang tidak mempunyai jalan lain.
Dengan ilmunya itu maka Glagah Putih dapat menyerang lawannya tanpa menyakiti diri sendiri.
Demikianlah, ketika lawannya dengan tanpa membuat perhitungan-perhitungan yang rumit berusaha menyerang Glagah Putih, maka Glagah Putih pun telah berusaha mengambil jarak. Sentuhan orang itu akan dapat meremukkan tulang-tulangnya jika ia berhasil mengenainya.
Tetapi agaknya lawannya tidak membiarkan Glagah Putih itu melepaskan diri. Setiap loncatan yang memberikan jarak di antara mereka, dianggap oleh lawannya bahwa Glagah Putih menjadi semakin terdesak.
Namun ketika Glagah Putih mendapat satu kesempatan, maka tiba-tiba iapun telah menggerakkan tangannya menghentak ke arah lawannya.
Ternyata gerak tangan Glagah Putih itu sangat mengejutkan lawannya. Lawannya itu tidak mengira bahwa lawannya yang masih sangat muda itu, akan mampu melepaskan ilmu sebagaimana dikerahkan sebagai ilmu yang mampu menjangkau lawannya dari jarak tertentu.
Tetapi ternyata bahwa serangan itu memang telah datang menerkamnya.
Karena itu, maka dengan serta merta orang itu berusaha menghindar. Dengan loncatan panjang ia bergeser ke samping. Namun ketika serangan Glagah Putih datang pula memburunya, maka iapun telah menjatuhkan diri dan berguling beberapa kali. Dengan sigapnya orang itu pun kemudian melenting berdiri dan siap untuk meloncat menghindar, jika serangan Glagah Putih datang sekali lagi.
Serangan Glagah Putih yang tidak mengenai sasarannya telah mengejutkan mereka yang sedang bertempur, namun yang sudah bergeser semakin jauh ke arah barak induk itu.
Namun orang-orang yang memasuki padepokan itu justru berusaha semakin cepat mendesak para cantrik dengan cara yang sangat kasar. Sambil berteriak-teriak mereka bertempur dengan liar.
Sementara itu Glagah Putih menjadi semakin cemas. Ketika sekilas ia memperhatikan orang-orang yang mendesak para cantrik itu, maka tiba-tiba saja lawannya telah melancarkan serangan. Glagah Putih menghindar. Namun ternyata lengannya masih juga terasa panas. Bahkan juga di bahunya.
Glagah Putih menggeram. Ketika ia meraba bahunya, maka tangannya telah menyentuh cairan yang hangat yang meleleh dari luka. Sementara ketika ia kemudian meraba lengannya, maka terasa sesuatu berada di bawah kulitnya.
Dengan cepat Glagah Putih dapat mengetahui apa yang telah terjadi. Orang itu ternyata telah melemparkan butiran-butiran besi sebesar biji jagung. Tidak hanya satu dua, tetapi butiran-butiran besi itu telah ditaburkan dalam jumlah yang banyak. Mungkin lima atau enam sekaligus.
Karena itulah maka Glagah Putih menyadari, bahwa lawannya memang sangat berbahaya baginya. Apalagi lawannya itu telah melukainya ,dan bahkan satu di antara butiran besi itu ternyata telah mengeram di dalam lengannya.
Lengannya memang terasa nyeri jika digerakkannya. Dengan demikian, maka kemarahan Glagah Putih menjadi semakin terangkat. Dua hal yang telah memaksanya mengambil satu keputusan. Bahwa para cantrik yang menjadi bingung menghadapi kekasaran orang-orang yang menyerang padepokan itu, bahkan liar dan garang, serta bahwa lawannya itu telah melukainya.
Apalagi Glagah Putih tidak sempat membuat pertimbangan-pertimbangan lebih lanjut karena lawannya itu telah menyerangnya pula. Beberapa butir biji-biji besi itu telah menghambur dengan derasnya ke arahnya.
Glagah Putih yang marah itu sempat meloncat menghindar. Namun sesaat kemudian serangan berikutnya telah menyambarnya, sehingga karena itu maka Glagah Putih-lah yang harus meloncat, kemudian menjatuhkan dirinya berguling menghindari serangan berikutnya yang mengejarnya, karena lawannya agaknya tidak mau melepaskan kesempatan itu.
Tetapi Glagah Putih pun telah mengambil keputusan. Karena itu, tanpa meloncat bangkit ia telah menyerang lawannya dengan ilmunya yang dahsyat.
Ternyata lawannya salah menghitung gerak Glagah Putih. Ia menyangka bahwa Glagah Putih akan melenting berdiri. Ia telah siap dengan butir-butir besi di tangannya untuk dilontarkannya demikian Glagah Putih melenting. Dengan demikian maka kemungkinan Glagah Putih untuk menghindar menjadi sangat kecil. Selagi kakinya belum menyentuh tanah, maka butir-butir besi itu sudah akan menyambarnya di beberapa bagian tubuhnya.
Kesalahan itu berakibat sangat buruk bagi orang itu. Glagah Putih yang masih terbaring di tanah itu ternyata telah menghentakkan tangannya.
Seleret cahaya sakan-akan telah meluncur dari tangannya itu. Demikian cepatnya dan tidak terduga-duga, sehingga lawannya yang telah bersiap melontarkan serangannya itu terlambat menyadari apa yang telah terjadi.
Yang terdengar kemudian adalah pekik kesakitan. Orang itu terlempar beberapa langkah surut tanpa sempat melepaskan butir-butir besi di tangannya.
Pekik kesakitan itu ternyata telah menggetarkan setiap jantung dari orang-orang yang menyerang padepokan itu.
Mereka mengenali suara itu, adalah suara pemimpin kelompok mereka. Mereka yang sempat berpaling sejenak melihat bagaimana pemimpin mereka itu terlempar jatuh dan tidak segera berhasil bangkit kembali.
Kesempatan itu dipergunakan oleh para cantrik sebaik-baiknya. Di saat orang-orang itu terkejut melihat peristiwa yang, menggetarkan itu.
Yang terdengar bersorak kemudian adalah justru para cantrik. Sorak kemenangan. Bukan sekedar berpura-pura untuk mengimbangi teriakan-teriakan lawannya. Tetapi benar-benar begitu saja melonjak dari dalam hati.
Glagah Putih-lah yang kemudian termangu-mangu sejenak. Dipandanginya lawannya yang terbaring diam. Namun Glagah Putih tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Ia tahu bahwa lawannya memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa oleh ilmunya yang tinggi, yang menjadikan tubuhnya bagaikan sekeras batu. Tetapi Glagah Putih pun tahu bahwa lawannya tidak menjadi kebal karenanya. Seandainya benar dugaannya bahwa ilmu yang dimiliki itu adalah, bentuk mula dari ilmu Tameng Waja, maka ilmu itu sama sekali masih belum mapan.