Jilid 02
Sadarlah adik Purbaya.”
“Eh, Oh…” Purbaya bangkit dengan mengeluh. “Dimana kita berada sekarang?” “Ohh, Hyang Jagad Dewa Bathara… Kita berhasil adik Purbaya! Oh, Ini… Ini adalah
tanah Pasundan. Oh, aku… Aku mengenal alamnya serta semilir anginnya. Oh, kita berhasil!”
“Oh, segala puji aku ucapkan pada-Mu wahai Hyang Agung junjunganku. Oh, dimanakah sekarang kita ini? Apakah ini wilayah Karang Sedana?”
“Ya, hamba kira demikian tuanku. Bukankah saat menerapkan aji Halimunan kita memintanya demikian?! Tapi kenapa kita tiba disini dalam keadaan tidak sadarkan diri?”
Terdengar keriuhan menuju ke tempat dua remaja berada.
“Lihatlah itu. Beberapa orang sedang terlibat pertikaian. Mereka menuju ke arah kita. Mari kita tunggu saja di semak sana.”
“Oh, anggota tongkat merah. Heeh, lihat itu adik Purbaya… para prajurit yang mengejarnya adalah prajurit Karang Sedana. Apa yang telah terjadi dengan mereka?”
“Kita akan menyelidikinya.”
“Oh, kakang kesini. Kita akan bersembunyi di semak itu.”
“Setan! Awas! Awas kalian nanti. Kami akan mengumpulkan kekuatan untuk membalaskan dendam ini.”
“Ah,… ah… sebenarnya apa yang terjadi kakang? Mengapa tiba-tiba saja para prajurit Karang Sedana menggebrak kelompok kita?”
“Entahlah. Aku tidak tahu. Kita akan mendapatkan keterangan nanti dari pimpinan cabang kita. Ayolah mari kita tinggalkan tempat ini, sebelum mereka kembali lagi mencari kita.”
“Paman berdua, bisakah kami bicara?” “Eh! Eh… siapakah engkau?”
“Adik Batang, bukankah… bukankah itu tuanku Purbaya?”
“Haah?! Eh iya! Iya kakang. Benar. Sepertinya memang beliau beserta dengan putri Cempaka. Iya!”
“Bisakah paman datang kemari? Dibalik semak ini jauh lebih aman. Banyak hal yang ingin saya bicarakan.”
“Ohh, Ehm,… apakah… apakah kami berdua saat ini telah berhadapan dengan prabu Purbaya, penguasa Karang Sedana pada saat yang lalu?” “Apa kata paman? Penguasa Karang Sedana pada saat yang lalu? Memangnya apa yang terjadi dengan keraton Karang Sedana? Prabu Purbaya junjunganku masih tetap penguasa Karang Sedana!”
“Ah, aku memang telah menyerahkan kekuasaan pada paman Raka Parungpang untuk memerintah selama aku tidak berada di tanah Pasundan.”
“Oh hohohoh, tuanku. Ketiwasan tuanku,… ketiwasan. Karang Sedana sudah luluh. Karang Sedana sebagaimana yang tuan tinggalkan sudah tidak ada lagi. Yang saat ini… yang saat ini ada,.. hanyalah sebuah tirani angkara murka tuanku.”
Dada raden Purbaya dan Cempaka berdesir. Walaupun ia sudah mendapatkan gambaran tentang hal yang terjadi di Karang Sedana, tapi kali ini menghadapi langsung isak tangis hambanya, tubuhnya bergetar.
(24)
Pada kisah yang lalu diceritakan, kerajaan Karang Sedana dan beberapa kerajaan lain di tanah Pasundan sudah berada dibawah pengaruh resi Amistha. Raka Parungpang yang semula bekerja sama dengan resi Amistha untuk merebut Karang Sedana, kini memerintah keraton itu bagaikan boneka yang tidak berarti. Dan pada akhir kisah yang lalu diceritakan bahwa raden Purbaya dan Cempaka yang menerapkan ajian Halimunan ditengah samudera di wilayah Cina tiba di Karang Sedana dan berjumpa dengan dua orang pengemis tongkat merah yang tengah diburu oleh prajurit Karang Sedana.
“Celaka tuanku. Ketiwasan,… ketiwasan. Karang Sedana sudah luluh tuanku. Karang Sedana sebagaimana yang tuan tinggalkan dahulu sudah tidak ada lagi. Yang ada kini adalah tirani angkara murka.”
“Oh, seberapa jauhkah kekuatan resi Amistha kini, sehingga paman Raka Parungpang tidak berani menghadapinya?”
“Saya tidak mengerti, apa yang sesungguhnya tengah terjadi di dalam istana Karang Sedana. Tapi yang jelas, tuanku Raka Parungpang sedikitpun tidak berani mengambil tindakan. Pajak yang dibebankan pada rakyat Karang Sedana naik menjadi tiga kali lipat dari biasanya. Dan,… Ah, bahkan menurut pimpinan pusat tongkat merah, aki Parang Pungkur, pajak yang menggila seperti itu adalah atas anjuran dari tuanku Purbaya.”
“Heeh? Aki Parang Pungkur berkata begitu?” Cempaka bertanya sengit.
“Ohh, Pi… pimpinan kami mendapat keterangan itu langsung dari tuan Raka Parungpang sendiri beberapa waktu yang lalu.”
“Ahh, kita datang saja ke keraton sekarang.” “Tidak. Kita tidak boleh tergesa-gesa. Kita harus mengetahui dulu dengan jelas, apa yang sebenarnya terjadi dengan keraton Karang Sedana.”
“Ooh, apa yang akan kita lakukan sekarang tuanku?”
“Kita akan mencoba mencari kakek Parang Pungkur. Dapatkah paman menunjukkan bagaimana caranya kami dapat bertemu?”
“Ah, aki Parang Pungkur saat ini berada di sekitar wilayah Galuh guna mengumpulkan tenaga untuk menghadang kekuatan resi Amistha. Dan besok di kota raja akan ada pertemuan para pendekar.”
“Ah, di kota raja?! Kota raja Karang Sedana maksud paman?”
“Ah, benar tuanku. Mereka akan berkumpul di kuil Syiwa Agung sebelah barat kota
raja.”
Tiba-tiba terdengar derap kuda mendekati tempat mereka berbicara. “Oh! mereka datang kembali kakang.”
“Tenang sajalah disini. Mereka tidak akan melihat kehadiran kalian disini.”
“Sebagian dari kalian boleh kembali, dan enam orang membantuku terus mencari. Tuan Raka mengharapkan setidak-tidaknya dua puluh anggota tongkat merah dapat kita tangkap hari ini. Dua orang buruan kita tadi harus kita dapatkan hari ini juga. Menyebar! Dua buruan kita pasti tidak jauh dari tempat ini. Diluar daerah ini sudah terkepung dengan para prajurit. Jika mereka memang kesana, keduanya sudah dapat diringkus oleh kelompok prajurit lainnya. Nah, menyebarlah kalian!”
“Hmm, ki Mandaraka…”
“Iya, ki Mandaraka. Apa yang akan kita lakukan? Kita akan menemuinya?”
“Aku kira, jangan tuanku. Kita akan mengejutkannya. Dan jika sampai berita tentang kehadiran kita diketahui oleh resi Amistha, tentu urusannya akan menjadi runyam. Resi itu akan mempersiapkan diri lebih jauh lagi.”
“Ya, kau benar kak Cempaka. Selama ini resi Amistha tidak berani mengganggu kita secara langsung. Itu karena dia merasa gentar dengan kekuatan suci yang bersamayam dalam tubuh kita.”
“Jadi, ah… apa yang akan kita lakukan sekarang?” “Kita akan pergi meninggalkan tempat ini.”
“Oh, paman berdua… kami akan segera meninggalkan tempat ini. Kalian jagalah
diri baik-baik”
“Iya raden.”
“Ah, tuan akan meninggalkan kami berdua di tempat ini? Bukankah tuan dapat membantu menyelamatkan saya dan mengusir mereka, tuan? Oh, tolonglah kami tuanku Purbaya. Tolonglah…” “Kami tidak akan menjumpai mereka untuk saat ini. Tetapi kami akan berusaha menolong kalian. Pergunakanlah kesempatan saat mana mereka menjauhi tempat ini. Ah, awas! Mereka sudah mulai mendekati tempat ini.”
“Kita akan mencobanya kembali, adik Purbaya.”
“Ya. Mereka sudah semakin dekat. Sekaranglah saatnya, mari! Huppp!”
“Ah, itu disana kakang!”
“Kejaaarrr! Tangkaaap!!! Ayo cepat dua orang itu tangkap! Ayo! Ayo! Ayo!”
Segera saja prajurit-prajurit Karang Sedana dibawah pimpinan ki Mandaraka meluruk cepat dua sosok bayangan yang berlari ke arah semak-semak yang tidak jauh dari tempat mereka dan bersembunyi tidak bergerak-gerak lagi. Sementara itu enam orang prajurit Karang Sedana sudah tiba di tempat tersebut.
“Kepung ayo cepaat!”
“Dua duanya harus kita serahkan pada tuan Raka Parungpang.”
“Ayo, keluarlah! Apalagi yang kalian tunggu, hah?! Ataukah kalian ingin kami membabat semak-semak ini sekaligus membelah tubuh kalian? Haahh! Ayo keluarlah!”
“Kita babat saja!”
“Tunggu, tunggu dulu! Kemarikan tombakmu. Kau pakailah pedangmu saja. Hmm, aku akan melihat sepertinya…”
“Hah!? Hilang?! Kenapa tidak ada gerak sedikitpun di dedaunan semak-semak itu, hah?! Jika memang ada dua orang bersembunyi di gerumbul semak itu, aku kira pasti setidak-tidaknya telingaku dari jarak dua tombak seperti ini dapat mendengar napasnya, atau geraknya yang gelisah itu. Huaah! Setan, apakah aku tadi melihat dua bayangan setan, hah?! Hiyaaatt!!”
Ki Mandaraka yang merasa sesak dadanya dengan perasaan takut, gelisah dan penasaran berteriak keras sambil melempar tombaknya ke arah gerumbul semak yang tidak terlalu luas.
“Ah?! Tidak ada gerakan apapun? Apakah mereka sudah lari? Tapi bagaimana itu mungkin? Gerumbul semak ini terputus oleh tanah rumput yang berpasir cukup lapang.”
“Ah, kita tebas saja gerumbul ini kakang Mandaraka.”
“Dua iblis itu sudah lenyap menghilang. Hah! Tidak ada sesuatupun di dalam gerumbul semak itu.”
“Bagaimana mungkin, saya lihat dia masuk kemari. Kita tebas saja, hayo! Hayo!”
Ki Mandaraka membiarkan saja enam orang prajuritnya yang mulai menjadi tidak sabaran itu menerjang semak belukar, membabat dan membacok sana sini. Sementara itu beberapa ratus tombak dari tempat tersebut… “Oh, kita berhasil adik Purbaya. Kita terpisah jauh dari para prajurit yang mengejar dua pengemis tadi.”
“Aji Halimunan, benar-benar merupakan sikap kedewataan, seperti yang dikatakan kekuatan agung itu. Aku benar-benar berterima kasih atas limpahan aji yang tiada tara ini.”
“Hei, itu… itu ada dua orang berkuda menuju kemari.”
“Oh, mereka sudah melihat kita. Biarlah, kita tunggu saja. Ku kira dia tidak akan mengenali kita dengan pakaian seperti ini. Dan lagi mereka bukanlah prajurit Karang Sedana.”
“Siapakah kalian berdua ini, heh?! Rupanya kalian adalah dua orang pribumi.
Mengapa kalian mengenakan pakaian seperti itu?”
“Kami adalah dua orang pembantu dari saudagar cina dari kota Palasari di Galuh.
Ada apakah tuan datang pada kami?”
“Hmm, kami datang dari tempat yang jauh. Dari dataran tinggi parahyangan. Kami datang hendak berjumpa dengan penguasa Karang Sedana yang telah mengundang kami. Dapatkah engkau menunjukkan jalan ke arah istana Karang Sedana?”
“Kota raja terletak di sebelah barat sana. Tuan berdua sudah menuju ke arah yang tepat. Tuan akan tiba di kota raja setelah melalui dua buah desa.”
“Ah, terima kasih anak muda. Engkau harus berhati-hati menjaga kekasihmu yang cantik itu. Keadaan di sekitar tempat ini kulihat tidak begitu aman.”
“Terima kasih tuan, kami akan perhatikan nasihat tuan.” “Ah, mari kakang kita lanjutkan perjalanan kita.”
“Hiyyah! Hiyyahh! Hiyyahh!” dua kuda mereka meringkik lalu berderap meninggalkan tempat itu.
“Hmm, penguasa Karang Sedana? Oh, siapakah yang tengah dicarinya? Paman Raka Parungpang ataukah resi Amistha?”
“Entahlah. Kita akan dapat mengetahuinya segera. Sekarang apa yang sebaiknya kita lakukan? Mencari aki Parang Pungkur berkeliling, mencari kakek Mamang Kuraya, ataukah kita ke padepokan Goa Larang mencari berita situasi di Karang Sedana?”
“Kukira ada baiknya kita menunggu besok saja. Kita gunakan waktu yang ada saat ini untuk mencoba memecahkan aji Banyu Agung yang hingga saat ini belum juga dapat kita kuasai.”
“Yah, mungkin nanti pada saatnya. Entah itu besok atau lusa kita memerlukannya.
Sebaiknya sekarang kita mencari tempat yang sunyi di tegalan sana.” “Iya, baiklah. Huupp!”
“Kira-kira, maksud dari kata-kata itu… tujuh ada pada tiga, enam ada pada dua, lima ada pada satu. Eeh… eeh bagaimana kak?”
“Entahlah,… Huup! Haitt! Haiit!! Hiyyah!” “Jurus kesatu,… Jurus kedua,… Jurus ketiga…”
“Jurus-jurusnya yang walaupun cukup baik, tetapi tidak terlalu luar biasa. Tidak bisa diandalkan.”
“Coba,… coba kau teruskan lagi gerakanmu. Teruskan jurus berikutnya.”
“Hhh… baiklah. Hup! Hait! Hup! Hiyaat! Hiyaat! Jurus kelima. Jurus keenam. Jurus ketujuh. Bagaimana? Ada yang dapat engkau temukan adik Purbaya?”
“Sepertinya, eh… sepertinya ada sesuatu dalam jurus-jurus itu yang luar biasa.
Tapi, ah entahlah. Oh, ada yang mengintai kita.”
“Iya… Kisanak, untuk apa kalian bersembunyi menonton kami berlatih. Keluarlah!
Jangan merunduk dibalik batu seperti seekor kadal busuk.”
“Huahahahaha! Ternyata mata kakangku Danyang Berem tidak salah. Kalian adalah dua orang remaja yang tidak dapat dipandang enteng. Kalian sangat menarik perhatian kakangku. Karena itu kakangku Danyang Berem menunda urusan kami dengan penguasa Karang Sedana. Hmm, siapakah sebenarnya kalian?”
“Bukankah sudah kami jelaskan tadi? Bahwa kami adalah dua pembantu seorang saudagar cina dari Palasari di Galuh.”
“Hmmm, hahahahaha. Janganlah main-main dengan kami anak muda. Aku ini adalah Danyang Keling. Kami berdua di dataran tinggi Parahyangan dikenal sebagai dua bersaudara yang sangat disegani. Heheheh, Siapakah kalian ini sesungguhnya?”
“Ah, baiklah. Sebelum kami menjawab pertanyaan kalian, aku minta kalian menjawab dahulu pertanyaanku. Untuk apakah kalian bertemu dengan penguasa Karang Sedana?”
“Hmmm, kalian benar-benar anak muda yang bernyali harimau. Adik Danyang Keling, cobalah gebrak anak itu. Aku ingin tahu sampai dimana kemampuannya.”
“Heheheheheheh, aku memang sudah tidak sabaran ketika mengitip dan melihat gerakan anak dara itu cukup lincah. Agaknya aku telah salah alamat memberikan nasihat kepada kalian untuk berhati-hati. Haah… sekarang jagalah serangan pertamaku ini, Hup! Haittt! Hiyaah!”
“Awas, kak Cempaka. Jangan mencari perkara.”
“Apa maksudnya kekasihmu berkata begitu? Apakah maksudnya agar engkau tidak meneruskan perlawanan ini?”
“Hahaha, kau salah paman. Maksudnya adalah agar aku jangan sampai membuatmu cedera.”
“Hah, kau sudah berhasil menghindarkan dua gebrakanku. Sekarang jagalah seranganku. Kau hebat sekali nona muda.”
“Luar biasa, kau hebat sekali. Kau… kau semakin merangsang aku untuk lebih jauh mengeluarkan aji-aji andalanku”
“Jangan terlalu banyak bicara Keling. Aku khawatir kau justru tidak akan mampu mengalahkannya.”
“Kakang terlalu menghinaku!”
“Kau cobalah, aku melihat gerak dari gadis itu jauh lebih cepat darimu, dan tenaganya pun jauh lebih mantap darimu.”
“Huh! Baiklah akan aku tunjukkan padamu kakang. Bahwa aku dapat membuatnya jatuh dan merangkak di bawah kakiku hanya dalam waktu tidak lebih dari dua puluh jurus! Huupp!!!”
“Maafkan aku nona jika engkau harus ku kalahkan dengan luka yang cukup parah.
Aku sudah terlanjur terikat keharusan mengalahkanmu.”
“Maaf tuan Danyang Keling, jika aku yang akan menyelesaikan pertarungan ini dalam dua puluh jurus.”
(25)
Pada kisah yang lalu diceritakan, Cempaka tengah terlibat pertarungan dengan Danyang Keling. Sementara Danyang Berem saudaranya memperhatikan pertarungan itu tanpa membantunya. Bahkan sampai saat Danyang Keling adiknya berhasil dilempar oleh Cempaka.
“Maafkan aku tuan Danyang Keling, jika pukulanku terlalu keras. Aku melakukan itu semata-mata karena ingin pertarungan ini tidak lebih dari dua puluh jurus.” “Engkau kira, engkau sudah dapat mengalahkan aku nona muda? Aku masih memiliki satu jurus pamungkas.”
“Mundurlah engkau Danyang Keling. Jangan memaksakan dirimu untuk mengadu nyawa dengannya. Biarlah aku yang akan memberikan hajaran padanya.”
“Tuan Danyang Berem, sebaiknya kita sudahi saja pertarungan yang tidak ada artinya ini.”
“Hehehehehe, mana bisa. Semuanya sudah terlanjur. Kami meninggalkan pertapaan kami semata-mata adalah untuk mengatasi kemelut yang terjadi di Karang Sedana. Dan sekarang, jika sampai dua orang muda saja kami tidak dapat menunjukkan kekuatan kami, bagaimana kami ada muka untuk menghadap penguasa Karang Sedana? Dan menyatakan janji untuk mengatasi kemelut di tanah ini?”
“Uh, kemelut? Apakah disini tengah terjadi kemelut? Pergolakan?”
“Aku tidak tau. Tetapi penguasa Karang Sedana mengundang kami dan meminta bantuan kami.”
“Tapi, apakah tuan mengetahui siapakah penguasa Karang Sedana yang mengundang Tuan?”
“Ah, kenapa jadi banyak bicara dengan mereka kakang Danyang Berem? Jika kakang memang dapat membalaskan kekalahanku dengannya tanpa jurus pamungkas, buktikanlah!”
“Baiklah, kau akan segera melihatnya. Hup!”
“Nah, maafkan anak muda. Aku akan membalaskan dulu sakit hatiku. Baru jika ada yang ingin kau bicarakan, dapat kau bicarakan. Aku sebenarnya sudah mulai tertarik dengan kalian. Jagalah aji Lingkaran Maut ini. Huupp!!”
Danyang Berem mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Dan kemudian segulung angin yang kuat berputar-putar disekitar tubuhnya. Lingkaran Angin Maut yang kini digelarkan oleh Danyang Berem jauh lebih hebat jika dibandingkan dengan yang telah digelarkan oleh adiknya, Danyang Keling.
“Kepandaian Danyang Berem tidak dapat kubuat main-main. Pimpinan pengemis tongkat merah pun belum tentu dapat mengalahkannya dengan muda. Ah, aku akan menghadapinya dengan aji Kincir Metu tingkatan terakhir.” pikir Purbaya. “Aku harus segera menyelesaikan pertarungan ini dan mencari tempat yang sepi untuk mempelajari aji Banyu Agung. Cepat atau lambat aku pasti akan berhadapan dengan resi Amistha.”
“Haiitt! Heyaaahh! Awas tuan Danyang Berem berhati-hatilah! Hupp! Heaahhh!” “Uhukk! Buaaghh!! Eeuh…”
“Hait! Hiyahh! Ayolah kakang Danyang Berem. Kita hadapi bersama dua anak muda itu dengan ilmu pamungkas kita. Danyang bersaudara pantang mendapat malu!”
“Ah, tunggu! Tunggu adik Danyang Keling. Tunggu dulu, ada yang ingin aku tanyakan dengan anak muda itu. Ah, anak muda… apakah aku baru saja kau buat tak berdaya dengan aji Kincir Metu dari Goa Larang?”
“Benar tuan Danyang, ini adalah aji Kincir Metu. Nah, sekarang bagaimanakah?” “Ooh…”
“Apakah tuan Danyang mau menjawab pertanyaan saya tadi? Siapakah penguasa yang akan tuan temui di sana?”
“Ah, ayolah kakang. Kita hancur leburkan pemuda yang sombong ini.”
“Ahh tunggu dulu, tunggu dulu adik Danyang Keling. Sepertinya kita telah salah menumbuk orang. Jika aku tidak salah, ajian yang membuatku terjungkal tadi adalah Kincir Metu. Euh, bagaimana anak muda. Apakah tidak salah dugaanku itu?”
“Benar tuan Danyang Berem. Aku mempergunakan aji Kincir Metu untuk menghadapi seranganmu yang sangat dahsyat tadi.”
“Ah hahahaha, hahahahaha. Haahh, jika begitu aku telah salah menumbuk orang.
Hmm, apakah hubunganmu dengan resi Wanayasa, anak muda?”
“Aah, tidak mungkin kakang Danyang Berem! Kepandaian kakang tidak berada disebelah bawah resi Wanayasa. Bagaimana mungkin ajian tadi adalah Kincir Metu? Resi Wanayasa sendiri tidak akan mampu mengalahkan kakang!”
“Aku mempelajari ajian Kincir Metu tingkatan terakhir ini dari kakek Mamang Kuraya. Apakah tuan-tuan mengenal mereka? Kakekku dan eyang resi Wanayasa adalah guruku.”
“Oh, hahahahaha. Anak muda, resi Wanayasa adalah sahabatku saat mudanya. Tetapi lebih dari tiga puluh tahun yang lalu aku menghilang jauh dibalik dataran tinggi Parahyangan untuk mempelajari satu jenis ilmu pamungkas. Dan, hahahaha… tidak nyana, aku malah bertemu dengan muridnya sekarang. Heheheheh, Apakah kedatangan kalian kemari untuk membantu Karang Sedana mengatasi kemelut yang terjadi di sini? Uohohoho, iya iya iya. Apakah kalian tidak berdusta dengan cerita tadi, bahwa kalian adalah pembantu dari saudagar …”
“Tidak! Paman Danyang Berem, Paman Danyang Keling… eh, kami berdusta. Kami memakai pakaian ini adalah karena terpaksa. Dan tidak memiliki pakaian lainnya saat ini.” potong raden Purbaya.
“Hmm, lalu bagaimanakah dengan pertanyaan kami tadi Paman?” melihat situasi mulai mereda, Cempaka buka suara. “Emmm, siapa penguasa Karang Sedana yang mengundang?”
“Di desa kecil tempatku mengasingkan diri, sesekali juga pernah terdengar tentang sebuah kerajaan Karang Sedana yang diperintah oleh seorang raja yang adil, yaitu prabu Aji Konda. Yang kemudian diteruskan oleh puteranya. Nah, muridku Legawa mengabdi kepada beliau. Dan lima hari yang lalu, seorang utusan dari muridku itu memaksa aku untuk datang kemari. Membantu mereka mengatasi kemelut di sini.”
Raden Purbaya menarik nafas dalam-dalam. Dia tidak memberi komentar apapun atas cerita Danyang Berem. Dia hanya menoleh dan menatap dalam-dalam pada Cempaka.
Setelah beberapa saat menarik nafas dalam-dalam, Cempaka pun mendekati Danyang Berem dan Danyang Keling.
“Umm, ah… paman Danyang Berem dan Danyang Keling. Umm, ah… sesungguhnyalah pemuda yang kini berada dihadapan paman adalah penguasa Karang Sedana yang sesungguhnya,… Prabu Purbaya…”
“Ha! Kau… kau… prabu Purbaya?! Tapi eh… mengapa bisa begini?”
“Aku telah meninggalkan tanah Pasundan lebih dari satu purnama. Dan aku pun tidak mengerti apa yang telah terjadi. Tetapi dari suara-suara disekitar kota raja yang saya dapatkan, resi Amistha telah mengambil alih istana Karang Sedana. Dan, ah… agaknya murid paman saat ini mengabdi padanya. Karena beberapa waktu yang lalu, semasa saya menjabat di dalam istana itu, kami belum mengenal nama itu.”
“Umm, lalu sekarang apa yang akan paman berdua lakukan?”
“Hmmm! Datang ke istana itu dan menyeret Legawa muridku dan memberikan hukuman karena telah mengabdi pada pemberontak hina dan nista, tuanku!”
“Tunggu dulu paman, tunggu dulu. Sebaiknya paman jangan terburu nafsu dalam bertindak. Resi Amistha tidak dapat kita hadapi secara sembarangan. Kepandaiannya sangatlah tinggi. Sebaiknya,… ah paman menunggu esok hari. Kita bicarakan masalah ini dengan para pendekar lainnya.”
“Ahh, iya aku harus percaya dengan semua kata-katamu. Jika emm, kalian berdua sudah mengakui kehebatan mereka. Hmm, akupun harus mau mengerti.”
“Terima kasih paman. Jika begitu kami tunggu paman berdua di…”
“Di kuil Syiwa Agung di sebelah barat kota raja. Paman dapat menemukan kuil itu dengan mudah. Semua penduduk kota raja mengetahuinya.”
“Hmm, mmm baiklah kita akan bertemu lagi besok di sana tuanku. Mmm, marilah adik Danyang Keling.”
“Ah, permisi. Hamba permisi tuanku Purbaya. Selamat tinggal.”
“Lalu sekarang apa yang sebaiknya kita lakukan lagi? Tempat ini rupanya bukanlah tempat yang tepat bagi kita untuk mempelajari dan memecahkan rahasia dari aji Banyu Agung itu adik Purbaya. Emm, sebaiknya kita mencari tempat yang sunyi adik Purbaya.”
“Yah, kita tidak boleh membuang-buang waktu. Ayo kita ke hutan perbatasan Karang Sedana dengan Galuh. Hupp!”
Raden Purbaya melesat menuju arah utara. Cempaka mengikutinya dari belakang dan beberapa saat kemudian… “Hiyaiittt, hupp! Hiyaah! Jurus kelima!”
“Cukup! Cukup Kak. Semakin aku paksakan kok semakin buntu.”
“Apakah arti tujuh ada pada tiga, ohh… itu semacam… penggabungan gerak atau jurus itu?! Ya… Jurus tujuh dan jurus tiga. Begitu bukan?”
“Ah, penggabungan jurus tujuh dengan jurus tiga. Lalu enam ada pada dua merupakan penggabungan jurus enam dan jurus dua. Begitu maksudmu?”
“Ah, iya dan jurus lima digabungkan dengan jurus satu.”
“Lalu bagaimana selanjutnya? Apa yang akan kita lakukan dengan jurus keempat?
Agaknya bukan begitu maksudnya kak.”
“Haahhh… oh, ataukah mungkin Banyu Agung ini mempunyai hubungan dengan aji-aji sebelumnya. Dengan Aji Penolak Bala. Ah, mari coba kita hubungkan dengan Banyu Agung. Aku akan memainkan aji Penolak Bala. Engkau boleh menyerangku dengan seluruh kepandaianmu. Dan perhatikan juga segala gerakan yang aku lakukan. Ehmm, apakah mungkin ada hubungannya dengan aji Banyu Agung.”
“Baiklah, bersiaplah!”
Raden Purbaya segera saja menerjang Cempaka dengan pukulan-pukulan cepatnya. Cempaka hanya memerlukan waktu sekejap saja untuk menerapkan aji Penolak Bala, memasrahkan dirinya pada Hyang Maha Agung. Seketika itu juga tubuhnya bagaikan sehelai kapas bergerak kesana kemari menghindari setiap serangan raden Purbaya yang datang menerpanya. Gerakan kakinya bagaikan ada yang mengatur bergerak kesana kemari.
“Bagaimana adik Purbaya apakah ada sesuatu yang dapat menolongmu memecahkan rahasia aji Banyu Agung?”
“Tidak, tidak ada yang dapat aku temukan. Ah aku tidak dapat berpikir banyak Kak. Semua perhatianku setiba di tanah Pasundan ini sudah tertuju pada keraton Karang Sedana. Rasanya tidak ada salahnya jika sekarang saja kita satroni keraton Karang Sedana.”
“Iya, walaupun kita belum berhasil menguasai aji Banyu Agung kita masih akan dapat menjaga diri kita dengan aji Penolak Bala dan aji Halimunan. Ohh, sebaiknya kita segera cari ganti pakaian dan kemudian kita akan coba menyatroni istana Karang Sedana.”
Sementara itu di istana Karang Sedana,…
“Hahahahahahahahaha, untuk apa kau katakan, heh? Untuk apa?” “Iya…” “Hahahahahah!!”
“Saya benar-benar tidak mengerti tujuan tuan Amistha menangkapi para pengemis tongkat merah itu…”
“Hohohohoho, untuk apa lagi? Ya tentu saja untuk ku gantung! Untuk ku gantung di alun-alun Karang Sedana, Hee. Hehehehehehe. Aku akan memanggil Parang Pungkur, ketuanya yang usil huh! Sukur jika dia datang juga bersama teman-teman yang lainnya. Hahahahaha”
“Begitukah? Tetapi… kenapa tiba-tiba tuan bersikap seperti itu?”
“Huh! Orang-orang yang kusebar hingga saat ini belum dapat mencium dimana Parang Pungkur berada. Dan juga apa yang saat ini tengah dilakukannya. Mhhh! Aku khawatir saat ini secara sembunyi-sembunyi dia tengah melakukan sebuah persiapan yang serius, sebuah persiapan yang matang untuk mengganggu ketentramanku. Karena itu, aku justru memilih lebih dahulu mengganggunya dan memaksanya keluar. Hiehahahahah! Kita akan menggantung enam belas pengemis tongkat merah besok siang di alun-alun.”
“Ampun tuan resi, diluar ada dua orang tamu yang ingin bertemu dengan tuan Legawa.”
“Oh, itu pasti guruku tuan resi. Mereka telah datang.”
“Hmm?! Hahahaha, bagus. Hahaha, bagus sekali. Kebetulan, aku ingin sekali bertemu dengannya. Heh, suruh mereka masuk!”
“Baik tuanku, akan segera hamba sampaikan kepada mereka”
“Hmmm, kedua orang itu datang pada saat yang tepat. Dan hahahah, mudah- mudahan saja mereka berdua tidaklah mengecewakan diriku… Hmm. Oh, itu mereka berdua datang.”
(26)
Pada kisah yang lalu diceritakan, raden Purbaya dan Cempaka belum mampu untuk memecahkan rahasia dari aji Banyu Agung yang terdapat dalam warangka kujang pusaka. Juga diceritakan tentang Danyang Bersaudara yang ternyata adalah sahabat baik dari resi Amistha Wanayasa pada masa mudanya. Dan pada akhir kisah yang lalu diceritakan tentang kedatangan Danyang bersaudara ke istana Karang Sedana.
“Ah, itu dua orang gurumu datang. Mereka datang pada saat yang tepat. Mudah mudahan saja mereka tidak mengecewakan aku. Hmm.”
“Hmm, eeh… Mhh, eh… guru… engkau datang pada saat yang tepat. Eeh, ini… ini adalah tuan Amistha, penguasa Karang Sedana.”
“Hmm?! Ini penguasa Karang Sedana?! Mengapa aku tidak melihat ada mahkota di kepalanya? Jangan berolok-olok Legawa, katakan saja siapa sesungguhnya laki-laki ini!” “Ummm, eeh… Eehh, eee… Dia,…Dia benar-benar penguasa Karang Sedana, guru. Bahkan penguasa lima negara di sekitar Pasundan ini. Dan untuk masing-masing kerajaan kekuasaannya diserahkan kepada orang lain untuk mewakilinya.”
“Hmmm, aku melihat dari sikap tuan berdua adalah hendak mencari perkara. Dengarlah, aku mengundang tuan baik-baik. Karena itu marilah kita bekerja sama. Tuan akan mendapatkan imbalan yang jauh lebih bernilai dari pekerjaan yang nanti kalian lakukan. Hmm, hehehehe”
“Baiklah, lalu apakah yang harus kami lakukan?”
“Seperti yang dikatakan dalam surat undangan, bahwa untuk mengamankan daerah ini dari ancaman para pengacau.”
“Ah aneh, tetapi kami tidak melihat adanya kekacauan di sekitar kota raja. Eh hanya keributan kecil. Dan itupun asalnya dari prajurit Karang Sedana sendiri. Pengejaran terhadap para pengemis tongkat merah.”
“Hm?! Hahahaha benar, itulah salah satu tugas yang akan kita hadapi besok atau pun lusa. Aku akan menggantung mereka, para pengacau di wilayah Karang Sedana!”
“Hmm?! Pengemis-pengemis itu perusuh di kawasan ini?”
“Iya! Kita akan menggantung, dan menunggu datangnya pimpinan mereka untuk kemudian menangkapnya.”
“Mmm, eh lalu apakah sekarang aku sekarang tidak perlu untuk menghadap pada penguasa Karang Sedana ini, prabu Purbaya?”
“Heeeh?! Prabu Purbaya? Ohhh, guru mengenal nama itu? Darimanakah guru mendapat tahu, penguasa Karang Sedana ini bernama prabu Purbaya?”
“Mhhh, prabu Purbaya sudah lama sekali menyerahkan kekuasaannya pada Raka Parungpang. Dan dia kini telah lenyap entah kemana. Hehehehe, jangalah sebut namanya lagi di sini, he?! Hehehehehe”
“Ah, hahahahaha. Baiklah aku tidak akan menyebut namanya lagi di sini. Tapi satu hal yang harus kau ketahui tuan Amistha. Kedatanganku kemari adalah untuk menyeret anak muridku!” ini?” “Ehh! Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa guru tiba-tiba saja bersikap seperti “Pulang! Hanya itu yang kami minta darimu Legawa. Kembali ke pertapaan.”
“Ah! Tidak! Aku tidak akan kembali ke pertapaan. Aku tidak akan kembali ke tempat sunyi seperti itu. Di sini adalah duniaku, di sini adalah tempatku. Guru tidak bisa memerintah aku seperti itu.”
“Apakah kau ingin aku membuat malu dirimu disini, hmm?”
“Cukup! Semula kami menganggap kalian adalah tamu kami. Tetapi semakin lama sikap kalian semakin menjemukan. Karena itu saat ini sekalipun kalian pamit ingin kembali, aku sudah tidak lagi mengijinkan. Hmmhh!! Berlututlah! Berlutut dan mohonlah maaf padaku! Ayo berlutut!”
“Eh, hey… gila! Kekuatan apa ini? Oww lututku… lututku gemetar. Ah rasanya aku tak tahan lagi untuk berdiri. Ah… ah… aku harus, harus menguasai kekuatan hitam ini.”
Danyang Berem mengeluarkan suara yang amat keras berusaha menguak lepas dari kekuatan hitam resi Amistha yang mencekamnya. Dan sesaat setelah dia berhasil lepas, pukulan Lingkaran Angin Maut mendering menerpa resi Amistha yang masih memusatkan pikirannya pada kekuatan hitamnya.
“Guru! Jangan!”
“Hahahahaha, rupanya hanya sekian saja kehebatannya. Hahahahahaha.”
Keributan di serambi istana membuat para pengawal dalam dan para prajurit penjaga yang berada di sekitar tempat itu berdatangan dan mengepung tempat tersebut.
“Tunggu! Jangan ada yang bertindak pada mereka. Mereka adalah bagianku. Kalian tunggu dan diam saja di situ. Kalian boleh saksikan apa yang akan kuperbuat pada mereka. Hmmm, hehehehe…. Jangan salah mengira, aku masih cukup kuat untuk membuat kalian berdua merangkak. Hmm? Hahahahahaa.”
“Hmm, bagus. Kau memang hebat tuan Amistha dapat menahan pukulan Lingkaran Angin Mautku yang mempergunakan tujuh bagian tenagaku.”
“Hohohoho, sekalipun seluruh tenagamu heh! Seluruh tenaga kalian tidak akan ada artinya bagi aku, resi Amistha. Heh! Huupp…”
“Ooh, aji apakah ini kakang Danyang Berem? Sepertinya masih merupakan aji hitam…”
“Oh, entahlah. Aku tidak dapat membedakan mana bentuk asli dan juga bentuk semu diantara lima bentuk itu. Ah, awas bentuk itu sudah siap untuk menyerang.”
“Agaknya kelima bentuk ini memiliki tenaga dan kekuatan yang tidak berbeda.” “Ah, agaknya benar kata anak muda itu. Iblis ini sangat sukar kita tundukkan. Ah,
mari kita musnahkan dengan aji pamungkas dari Lingkaran Angin Maut!” Danyang bersaudara itu mulai mempersiapkan aji pamungkas mereka. Karena di arena serambi kiri istana Karang Sedana menjadi semakin tegang. Tetapi belum kekuatan dari Danyang bersaudara yang mulai terungkap itu dibenturkan…
“Setan! Ada apa lagi itu? Legawa bereskan pengacau itu! Biarkan aku selesaikan dua guru mu ini.”
“Baik tuan Amistha!”
“Mau kemana kau setan pengganggu?! Biarlah aku beri hajaran pada pengacau yang baru tiba ini.”
“Hoooo! Legawa! Ajaklah kawan-kawanmu itu untuk meringkus gurumu itu! Aku akan meringkus bayangan setan itu.”
Baru saja para tokoh dalam keraton Karang Sedana menerjang Danyang bersaudara, tiba- tiba muncul sebuah bayangan hitam lain yang kembali menerjang ke tengah arena pertempuran itu.
“Paman berdua, tinggalkanlah tempat ini segera. Tenaga paman masih kami perlukan.”
“Ah? Ehmm… kau. Tapi, ah… Legawa murid kami itu…?!”
“Tinggalkan! Murid paman itu dapat diselesaikan pada saat saat yang lain. Kami harap paman tidak mengganggu rencana yang telah kami susun.”
“Ah, baiklah. Mari adik Danyang Keling, kita tinggalkan tempat ini. Hup!!”
“Awas kau Legawa, aku pasti mengambilmu dari tempat ini. Dan memberikan hukuman bagimu yang sepantasnya. Hupp!”
“Jangan biarkan dia lolos! Legawaa!!”
“Kau tidak usah mengurus mereka. Uruslah diriku ini. Haaiiittt, heyaahhh!” “Setan! Ah, siapakah manusia bertopeng ini? <susah terdengar>
“Kami tidak ada waktu untuk melayani kalian semua disini!”
“Heh! Jangan harap kau bisa lolos dari tempat ini dengan begitu saja!”
Resi Amistha mengejar bayangan hitam yang membuatnya penasaran itu. Melompat naik ke atas atap bangunan istana, tetapi setibanya di atas dia tidak menemukan buruannya.
“Oh?! Dimana pengacau itu? Mengapa tiba-tiba saja dia menghilang? Ah? Tidak mungkin! Pastilah dia masih bersembunyi disekitar sini. Hupp!”
Resi Amistha kemudian melesat turun, kemudian naik lagi. Berkali-kali dia berputar ke setiap bagian dari sudut istana itu untuk mencari buruannya. Akan tetapi …
“Iblis! Apakah aku menghadapi iblis di siang hari seperti ini, hah? Hmm, aku akan melihat seorang lagi kawannya. Heuupp!”
“Itu dia, seorang lagi pengacau itu masih berada di tempat ini. Hemm,… Aku akan mengepung dan menangkapnya. Mustahil jika dia dapat melepaskan diri dariku. Heupp! Hiyaattt!”
“Rupanya, adik Purbaya telah meninggalkan istana ini. Aku akan segera pergi ke tempat yang telah kami tentukan. Hupp! Haiitt! Hiaayyattt!”
“Kau tidak akan dapat lolos, pengacau! Hai kalian, serang jika dia mencoba menerobos!”
“Baik tuanku!”
“Ayo, buat lingkaran! Persiapkan anak panah kalian. Serang pengacau itu saat dia mencoba lari!”
“Tidak ada jalan lagi, aku harus segera meninggalkan tempat ini dengan aji Halimunan dari hadapan mereka.”
“Haah!!? Iblisss! Pengacau itu rupanya bukanlah manusia. Dia telah menghilang dari hadapan kita.”
<obrolan nya sulit diikuti>
“Hah, Legawa kau ikut aku! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu. Bubarkan segera para prajurit itu Ki Jantuk.”
“Ah, baik tuanku.”
“Hmm, siapakah kira-kira dua bayangan tadi Jantuk Legawa? Apakah ada hubungannya dengan dua orang gurumu?”
“Eeuh,… eh. Saya tidak tau tuan resi. Sepanjang pengetahuan saya, guru Danyang bersaudara tidak mempunyai hubungan dengan dua orang seperti tadi. Guru saya terlalu tinggi hati dan selalu menganggap diri mereka adalah yang terhebat. Dan selama saya menemani dua orang guru saya, mereka tidak pernah bercerita tentang dua orang sahabatnya yang mempunyai kepandaian seperti itu.”
“Ahh, gila. Kedatangannya ke istanaku hari ini apakah ada hubungannya denganku untuk selanjutnya? Apakah mungkin dia akan menjadi duri bagi kekuasaanku?” Amistha menggeram, “Apapun yang akan terjadi, rencana kita akan tetap berjalan. Kita akan menggantung enam belas pengemis besok di alun-alun!”
“Eeh, tapi apakah tidak mungkin dua sosok tadi adalah iblis dalam arti yang sesungguhnya? Ee… eee… karena bagaimana bisa tuanku,… dia… dia menghilang benar- benar di hadapan kita? Dan lagi, seujung rambutnya pun kami tidak berhasil menyentuh tubuhnya dalam pertempuran tadi”
“Ahhh, iya. Iya, aku kira dia adalah iblis dalam artian yang sesungguhnya.” “Heh, kau pergilah keluar Legawa. Aku akan beristirahat.” “Baiklah tuanku. Hamba permisi…”
“Mudah-mudahan saja, yang aku temui tadi adalah iblis dalam artian yang sesungguhnya...”
Resi Amistha yang mulai dilanda oleh kebimbangan mencoba untuk memejamkan matanya, tetapi matanya tidak juga dapat dipejamkan. Berbagai hal yang menakutkan mulai terlintas dalam pikirannya.
(27)
Pada kisah yang lalu diceritakan, istana Karang Sedana yang dikuasai kekuatan baru dari resi Amistha disatroni oleh Danyang bersaudara. Ketika mendapat kesulitan didalam istana Karang Sedana, tiba-tiba muncul dua orang yang menggunakan pakaian hitam dan juga penutup wajah berwarna hitam. Dalam kekacauan yang dibuatnya, Danyang bersaudara berhasil melarikan diri. Sementara itu dua orang yang mengenakan penutup wajah menghilang dari hadapan sekian banyak pengepungnya. Hal mana membuat resi Amistha cemas dan gelisah.
“Ahh, siapakah sesungguhnya dua orang tadi? Apakah mereka itu benar-benar manusia? Hmmpph, tetapi bagaimana mungkin dia dapat menghilang dari hadapanku dan sekian banyak orang? Ahh, apakah itu sejenis ilmu atau aji Halimunan? Huhh, setan benar! Aku tidak gentar sekalipun dua orang tadi berdiri di pihak lawanku. Aku tidak gentar! Ahahahahahahaa, resi Amistha tidak akan mungkin dapat dikalahkannya ehehehehh. Dengan aji Rawa Rontek tidak akan ada satu kekuatanpun yang akan dapat mengalahkan aku. Hehehehe, tidak akan ada satu kekuatanpun yang akan dapat membunuh aku. Hmm! Huahahaha. Besok hukuman itu akan tetap aku laksanakan di alun-alun.”
“Bu! Bu! Buka pintunya. Ini aku datang, bu”
“Iya, sebentar pak. Jangan keras-keras ketuknya.” “Ooh, lama sekali engkau membukanya Bu!”
“Aku kan berada di dapur, Pak. Aku mendengar engkau mengetuk pintu. Eh, tetapi aku masih harus mengangkat sayur yang sudah mendidih dan mulai tumpah ke perapian kita. Heeh, apa lagi itu yang kau bawa?”
“Aku ke rumah si Pandu.”
“Pandu siapa pak? Untuk apa engkau ke sana?”
“Hehehehe, kamu ini bagaimana Bu? Pandu siapa? Dan lagi melihat ayam ini, masakkan engkau masih juga bertanya Pandu siapa, Bu… Bu? Iya Pandu itu pedagang ayam. Aku ke rumahnya membeli dua ayam untuk tambahan masakan kita malam ini, Bu.” “Haa? Kau ingin aku memasaknya sekarang? Aah, bukannya kita sudah menyiapkan ikan bakar? Sayur santan dan juga lalapan rebus.”
“Aah, tetapi tidak ada salahnya jika kita menambahnya dengan ayam goreng atau ayam bakar. Dua anak muda itu sudah terlalu banyak memberikan uang pada kita, Bu. Dan segala yang kita sediakan ini, serta dua potong pakaian yang kita belikan masih belum ada artinya dengan uang yang diberikan pada kita. Haah, dua keping uang emas, Bu! Serta beberapa keping uang perak. Haaa, ini! Ini lihat, Bu. Hee. Ahh, dua keping uang perak ini pun tidak akan habis kita gunakan untuk makan besar selama beberapa hari bersama dua tetangga kita. Haa, apa lagi ini Bu… Ini. Uang emas ini, Bu.”
“Hooh!?”
“Sudahlah, cepat! Masak saja ayam ini. Dan biarlah aku akan memotong ayam ini dan membersihkan bulunya,” sang suami kemudian hendak beranjak keluar rumah untuk memotong ayam yang dibawanya. Ayam itu berkotek-kotek agak riuh. Belum sempat dia keluar, dia berbalik dan bertanya kembali pada istrinya, “Oh iya, dimana dia sekarang, Bu? Sudah kembali?”
“Eeh, sudah sejak tadi. Sejak kau keluar dari rumah ini.”
Pintu terbuka, Cempaka masuk dan tersenyum ke arah kedua pemilik rumah itu.
“Ah, ada apak Pak? Bu? Saya mendengar Bapak dan Ibu sibuk sekali. Sudahlah tidak perlu repot-repot. Kami hanya beristirahat semalaman saja di rumah Bapak dan Ibu.”
“Eeh, eeh, ini Nak. Bapak, baru saja membeli dua ekor ayam untuk menambah lauk malam ini.”
“Haduuh, kenapa jadi seperti itu. Ah, sudahlah Bu. Tidak usah ayam itu dipotong. Biarkan saja. Kami dapat makan seadanya walaupun itu sekedar nasi putih saja. Bahkan singkong ataupun ubi dapat kami jadikan pengisi perut kami.”
“Naah, apa itu Pak? Bukankah aku sudah katakan, makanan yang kami sediakan sudah lebih dari cukup. Kami mengambil enam ekor ikan emas yang cukup besar, sayur santan kami buat untuk makan malam ini. Bahkan lalap dan telur rebus juga sudah tersedia.”
“Aduuh, itu juga sudah banyak sekali. Oh, apakah sudah siap makanan itu?”
“Oh, ehehh ehehh, sudah Nona. Dan sebentar lagi akan kami siapkan di balai-balai itu. Eeh, apakah teman Nona sedang tidur?”
“Oh, eh tidak Bu. Dia sedang bersemadhi. Hmm, jika begitu saya akan membangunkannya. Perut ini sudah lapar sekali.”
“Eehehehhh, baiklah jika begitu. Eh, ibu siapkan segera ya.”
“Heh Bu, Bu, heeh tadi apa kata nona itu? Eh, sedang apa anak muda temannya itu? Semedhi?”
“Iya, semedhi.”
“Hooh?! Eh Bu, apa itu semedhi itu, Bu? Hmm, semedhi…” “Heeh, semedhi itu adalah semacam olah kejiwaan pada Hyang Agung. Suatu sikap dari kalangan satria dan brahma.”
“Ohh, ooh jika begitu tentu anak muda itu pastilah seorang pendekar ya, Bu? Ya Iya? Eh tidak, nah lalu apa maksudnya tadi sore minta kita mencarikan pakaian hitam? Untuk apa pakaian itu, Bu? Hee?!”
“Yaa sudahlah, jangan mengajak aku bicara saja. Bukannya membantu, malah mengganggu. Uang kamu terima tapi curiga jalan terus. Eeh, dasar kakek-kakek tidak tahu diri.” omel istrinya.
“Eh, Itu apa lagi? Kenapa ayam itu kau bawa ke dapur sini. Cepat, ikat dibelakang saja.” Sang istri kembali mengomel, “Nah! Nah! Lihat itu dia membuang kotoran di sini. Eeh, bawa cepat ke sana, Kek!”
“Baik, baik Bu. Baik.”
“Hmm, sudah siap semuanya. Hehehe. Sekarang aku akan mengetuk pintu kamar mereka.”
Belum sempat nenek pemilik rumah mengetuk kamar yang ditempati Cempaka, terdengar pintu depan rumah diketuk orang.
“Siapa lagi itu? Kok gila amat mengetuk pintunya, si kakek gila apa ini? Heh, tunggu! Itukah engkau pak?”
“Lah? Lah? Aku kok disalahkan? Aku ada di belakang.” “Habis, siapa tamu gila ini?”
“Biar aku saja yang melihatnya, kebetulan si pati ini ada dipinggangku!” “Eh! Eh! Eh pak! Mau apa pakai cabut golok segala?”
“Heh! Bukakan pintu ini! Aku ingin menumpang tidur!”
“Heeh! Geblek! Gendeng! Benar-benar tamu tidak tahu diuntung! Uh!” “Ee.. eh, ee eh pak. Masukkan golokmu itu. Mau apa engkau hah?”
Ditengah-tengah kecemasan melanda diri kakek dan nenek tua itu, raden Purbaya yang tengah beristirahat di dalam kamar bersama Cempaka keluar menjenguk ribut-ribut yang terjadi di ruang tengah pondok tempatnya menginap.
“Ada apakah, Pak, Bu?”
“Eeh, ini… ini. Heh, itu. Dengar tuan. Ada tamu gila yang tidak kami undang.”
“Haai! Bukakan pintu, aku ingin bermalam! Apakah di rumah ini tidak ada penghuninya?”
“Bukakanlah pintu itu, Pak. Tapi sarungkan dulu golok itu.”
“Ooh, ba… ba… baik. Baik.” tergagap kakek tua itu kemudian menyarungkan golok yang tadinya hendak digunakan untuk memotong ayam.
“Heeeh! Kenapa lama sekali membukanya? Aku Barung. Ingin menumpang tidur malam ini. Di luar nyamuk-nyamuk kebun menggangguku.” “Oh, ah apa ini? Hmm? Ooh rupanya kalian tengah bersiap-siap untuk makan malam. Ah, kebetulan sekali aku juga merasa lapar.”
“Tunggu, jangan sentuh dahulu makanan itu!”
“Eh? eheh, kenapa? Apakah aku tidak boleh mendapatkan bagian makanan ini?”
“Ah, Tuan… Siapakah tuan ini sebenarnya? Seorang tamu? Jika tuan memang seorang tamu, bersikaplah sebagai seorang tamu yang baik. Jika tuan ingin memohon tumpangan menginap ataupun makan, katakanlah itu secara baik-baik. Saya kira tuan bukanlah seorang perampok gila yang nyasar ke pondok ini.”
“Ehehehe, yah. Iya iya, aku bukanlah seorang perampok gila yang nyasar kemari, hmm?! Hehehe, tapi sikapmu hebat sekali nona cantik. Hmm, ah bagaimana aku harus menyebutnya, engkau ini nona ataukah nyonya? Eh, mungkin engkau bersama dengan anak muda itu adalah pasangan suami istri. Aah, jika begitu kau juga harus menjaga sikapmu dengan sebaik-baiknya. Bagaimana jika kau salah bertindak dan bertemu dengan perampok gila? Sikapmu itu akan menjadi bumerang. Bukankah sayang sekali, padahal kalian baru saja menikah.”
“Aah, sudahlah. Jangan panjang-panjang mengoceh. Sekarang kau boleh bicara langsung saja dengan pemilik pondok ini, dan katakan maksudmu secara baik-baik. Apakah mereka akan mengijinkannya.”
“Aah, jika saja kau ini adalah seorang anggota dari keluarga ini, keluarga pondok ini, aku tidak akan tersinggung nona. Tetapi engkau yang juga seorang tamu bisa bersikap seperti ini,.. eh benar-benar aku tidak bisa menerimanya.”
“Ah, bagaimana Bu? Pak? Apakah kalian bisa menerima laki-laki ini untuk menginap dan makan disini?”
“Eeh, itu semuanya adalah terserah Nona. Semua ini kami sediakan untuk kalian berdua. Dan, dan uangnya pun nona yang memberi.”
“Baiklah, jika begitu saya yang memutuskan saja. Silakan… silakan duduk Tuan dan mari kita makan bersama-sama.” berkata raden Purbaya.
“Ah ahahaha hahaha, ini baru sikap yang bijaksana, hmm. Hehehe. Ah baiklah, ah mengingat sikap dari suamimu ini, aku menyudahi saja semua ganjalan hatiku ini. Hehehe”
“Ayolah Kak, naiklah kau ke tengah balai-balai itu. Mari Pak, Bu. Balai-balai ini cukup besar. Kita makan bersama-sama.”
“Ah, biarlah kami… kami sudah makan tadi. Eh, kalian… kalian makan sajalah. Huh, kami berdua akan menunggu di belakang.” “Silakan tuan.”
“Hooh, perut sudah terisi penuh. Eh, sebentar lagi mataku ini pasti akan terpejam.
Ah, aku akan bermalam di sini.”
“Hei, kakek, nenek! Kemarilah sebentar.”
“Eh, ada apa Tuan?”
“Dengar aku akan menginap malam ini di rumahmu. Nah, ini aku berikan padamu uang. Terimalah, uang itu lebih dari cukup untuk membayar kamar di sebuah penginapan.”
“Oh, Eeh, tapi… kami,… kami tidak lagi mempunyai kamar. Rumah ini hanya mempunyai sebuah kamar yang besar dan sebuah lagi kamar yang kecil, tuan.”
“Nah, berikanlah padaku kamar yang besar itu untuk semalam.”
“Oh, tidak. Tidak bisa tuan. Kamar itu sudah ditempati oleh dua tamu kami yang pertama.”
“Heeh?!”
“Hmm, jika tuan ingin menginap, mungkin mereka tidak keberatan hanya di balai- balai ini.”
“Hei, di balai-balai ini? Aku ki Barung kau suruh tidur di balai-balai ini? Ah, benar- benar keterlaluan. Seharusnya kalian penduduk Karang Sedana berterima kasih padaku ini yang baru datang untuk…” Belum sempat ki Barung menyelesaikan sesumbarnya, kembali terdengar pintu depan rumah itu digedor-gedor dengan keras.
“Hoi! Buka! Buka pintu ini. Kami prajurit Karang Sedana, hendak melakukan pemeriksaan.”
“Lho, pak?”
“Hehehehe, kalian semua masuk saja ke dalam kamar. Biar aku yang menyelesaikan mereka. Ah, aku telah membunuh salah seorang dari kawan mereka. Masuklah!”
Cempaka segera saja menggamit raden Purbaya untuk masuk ke dalam kamar. Demikian juga dengan kakek dan nenek pemilik pondok itu, masuk ke dalam kamarnya dengan tubuh yang gemetaran. Sementara itu ki Barung lelaki kasar dengan tubuh yang tinggi besar menuju pintu yang semakin keras diketuk para prajurit Karang Sedana.
“Tunggu!”
“Ahahahah, ahahaha, selamat! Bertemu lagi.” “Hmm, akhirnya dapat kami temukan juga jejakmu pengacau! Hari ini jangan harap kau bisa lolos dari kepungan kami. Hmm!”
“Ini dia pengacau itu tuan Legawa”
“Sungguh berani, Heheh, Karang Sedana yang kali ini bukanlah yang dahulu. Kau tidak dapat berbuat dan bertingkah sekehendak hatimu. Kepung tempat ini ki Salaka. Aku tidak ingin laki-laki ini mempergunakan kegelapan malam untuk lari menyelamatkan diri.”
“Hooi, pasukan! Ayo kepung tempat ini rapat-rapat. Pengacau dan pembunuh teman kita ini tidak boleh lolos. Dan tidak boleh kita biarkan.”
“Ayo, ayo.”
“Hahaha, mundurlah sedikit. Mundurlah. Jangan sampai perkelahian kita ini merusak pondok kakek dan nenek tua. Hahaha. Eh kisanak, kau tidak mengenakan pakaian prajurit. Agaknya kau adalah tokoh andalan Karang Sedana. Antek dari resi asing itu.”
“Memang iya, mampuslah kau pengacau.”
“Sial, agaknya lawanku ini bukanlah lawan sembarangan.”
Ki Legawa terus menyerang Ki Barung dengan serangan kilat yang tidak putus-putusnya. Hal mana yang membuat ki Barung menjadi kerepotan.
(28)
Pada kisah yang lalu diceritakan, di sebuah pondok kecil di sebuah desa raden Purbaya dan Cempaka bermalam sambil bersembunyi menantikan hari pertemuan pendekar esok hari di kuil Shiwa Agung di kota raja Karang Sedana. Juga diceritakan hadirnya seorang laki-laki kasar yang bernama Ki Barung yang ternyata merupakan buronan prajurit Karang Sedana.
“Heheheh… hahaha… ehaahahaha! Mundurlah sedikit, mundurlah! Jangan sampai perkelahian kita merusak pondok kakek dan nenek tua. Eh, kau tidak mengenakan pakaian keprajuritan tuan Legawa. Agaknya kau adalah bukan prajurit biasa, Hmm?! Kau pasti adalah prajurit khusus yang merupakan tokoh andalan dari Karang Sedana. Antek dari resi asing.”
“Huaahh! Apapun bicaramu malam ini, kau harus kami tangkap! Dan tiang gantungan adalah bagianmu esok hari!”
“Haeeh?! Besok? Besok hari kematianku?! Ahahahah… Ahahahahah… Hahahah! Esok adalah hari Respita bulan Aspini, Haeeh?! Hari baik sekali. Hari baik, jika aku mati besok. Hahahaha! Aku rela mati pada bulan dan hari yang suci itu. Tetapi tentu saja, kematianku harus diiringi dengan kematianmu dan juga kematian resi asing itu. Hahaha!” “Setan!! Mampus kau pengacau gila! Haaaittt!”
“Kau hebat sekali tuan Legawa! Heh, berapakah bayaranmu satu bulannya? Hmm, nah hampir saja kau membunuhku dengan serangan ganasmu. Bukankah hari ini hari budha, respita baru besok hari. Kenapa engkau ingin membunuhku sekarang?”
“Diamlah, jangan banyak bicara. Sebentar lagi kau akan ku ringkus, hidup atau
mati!”
“Gila, hebat sekali kepandaian lawanku ini”
“Heh, mau lari ke mana kau? Kau tidak akan dapat lolos lagi dari tanganku malam ini juga”
“Heh, bagaimana engkau ini, hah?! Katanya esok hari adalah hari kematianku!?” “Mampus kau pengacau gila!”
“Ayo mengocehlah lagi, sebelum kau mampus. Aku tidak bisa menunggu dan melihatmu. Hari ini juga aku akan melenyapkanmu. Hiyaaat!!”
“Tunggu dulu, tunggu! Tunggu…” “Apa lagi?”
“Ahh… Sebelum aku mati,… hehehe, aku ingin memberikan sisa uangku ini.
Beberapa keping uang perak pada pemilik pondok ini. Ya kakek dan nenek tua itu.” “Ah, setan! Nyawa sudah di ambang pintu, kau masih juga hendak bergurau?!”
Ki Legawa yang menjadi geram dengan tingkah Ki Barung segera saja mengangkat tangannya, dan kemudian menghamburkan serangan yang sangat dahsyat. Ki Barung, laki-laki kasar kelihatan sudah mulai pasrah. Sedikitpun dia tidak berusaha menghindar dari serangan maut itu. Sambil tersenyum dia menunggu datangnya serangan itu. Akan tetapi…
“Heit, hiyaaa!”
“Uaarrghh, Oh,… oh engkau lagi rupanya iblis! Siapakah engkau ini sesungguhnya?”
“Hehehehehe, siapakah aku engkau tidak perlu tahu. Aku datang hanya ingin mengusik tahta Karang Sedana yang kini tengah dikuasai oleh resi asing itu.” “Wuah! Pengecut! Jika kau seorang yang berani bersikap ksatria dan bertanggung jawab bukalah cadar hitammu itu. Dan datanglah kembali ke istana Karang Sedana. Tuan Amistha menunggu kedatanganmu!”
“Eh, paman pergilah. Tinggalkan tempat ini. Biar saya yang menjaganya. Menjaga antek-antek resi asing itu.”
“Bersiaplah! Bersiaplah kalian semua. Jangan biarkan dua pengacau itu melarikan diri. Serang! Dan gempur mereka dengan anak panah!”
“Heeh, benar-benar kalian sendiri yang mencari mati!“
“Huh, tempat ini cukup gelap untuk dapat melihat gerakan setiap serangan licik mereka. Huh, tidak ada jalan lain, aku akan melempar mereka dengan kekuatan saktiku.”
“Cepatlah paman tinggalkan tempat ini, sebaiknya paman tidak kembali lagi kemari!” seru Cempaka.
“Uhh, baiklah. Terima kasih tuan penolong. Selamat tinggal…”
“Eh, uh… Setan ini benar-benar tidak dapat kuhadapi sendiri. Oh, tuan resi sendiri mendapatkan kesulitan. Iya, kesulitan menghadapinya. Baiklah…” dengan dada sesak Ki Legawa memutuskan untuk menghindar dari sosok bercadar hitam dihadapannya, setelah dia mengingat bahwa resi Amistha pun tidak mudah menghadapinya.
“Baiklah kau menang lagi pengecut cadar hitam. Tapi satu saat, pimpinan kami resi Amistha akan menghancurkan dirimu berikut kesombonganmu dengan aji Rawa Rontek nya. Ayo… kita tinggalkan tempat ini!” Ki Legawa berseru sesumbar pada sosok hitam di hadapannya, kemudian dia berlari ke arah kuda dan memerintahkan anak buahnya segera meninggalkan tempat itu. Derap belasan kuda tergesa-gesa menjauhi pondok itu.
“Bagaimana adik Purbaya, apakah kita tinggalkan saja tempat ini? Atau kita tetap bermalam di sini?”
“Kita bermalam di sini saja. Aku kira prajurit itu tidak akan kembali ke tempat ini. Karena dia mengira tidak akan mendapat apapun di pondok ini. Buruannya Ki Barung telah pergi entah ke mana.”
“Ooh, ternyata Ki Barung adalah salah satu tokoh undangannya Ki Parang Pungkur untuk menentang kekuatan resi Amistha di Karang Sedana ini.” Menyadari hal itu, Cempaka menghela napas. Walaupun hatinya sangat kesal atas kekasaran laki-laki itu, tapi mau tak mau dia menghargai kesetiaan tokoh tersebut pada Karang Sedana.
“Ah, sudahlah. Sebaiknya kita tidur saja.”
“Emhh, ya. Baiklah. Tetapi saya harap, kau juga dapat tidur adik Purbaya. Jangan lagi pikirkan aji Banyu Agung itu untuk sementara.”
“Ah, baiklah. Kau tidurlah di balai-balai itu. Biar aku bersemedhi di bangku ini.”
“Oh, tidak! Tidak mungkin begitu! Eh,… engkau yang harus tidur di balai-balai itu, biar saya yang di bangku itu.”
“Ah, apakah kita akan ribut kembali?!”
“Ooh, tetapi… bagaimana mungkin saya tidur di balai-balai itu, dan tuan justru tidur… ah, hanya bersemedhi di bangku itu?!...”
“Ah…” “Atau…”
“Ya. Kita tidak usah bertengkar. Balai-balai ini cukup besar untuk tidur dua orang… jika engkau tidak keberatan…”
“Ah,… Emmh, silakan…”
Malam semakin larut, dua remaja yang teramat letih bergulat dengan bahaya sejak dari lautan sekitar wilayah Cina hingga tiba di tanah Pasundan, tak dapat lagi menahan kantuknya. Mereka pulas terlena oleh kesunyian musik malam hari serta semilir udara sejuk di kaki gunung Ciremai.
Dalam lelapnya, sepasang remaja itu bermimpi. Mereka merasakan tubuh mereka melayang bersama-sama ke tempat yang jauh. Ke tempat yang tidak dikenalnya. Tempat yang indah dan mempesona. Tempat yang dipenuhi bunga-bunga yang harum, telaga dan sungai yang sukar untuk dilukiskan dengan kata-kata keindahannya.
“Heiii, oh… tempat apakah ini adik Purbaya? Begitu indahnya! Oh, aku suka sekali tempat ini. Haii, lihatlah itu adik Purbaya… burung-burung berkicau di dedahanan yang rendah, dan heii, lihatlah itu… Oh, agaknya semua burung yang ada di sini, semua berpasangan.”
“Ya, indah sekali… Ah, lihat itu! Di sebelah sana, di pinggir telaga… ada dua orang tengah duduk berdampingan. Kita kesana…” “Oh, jangan! Jangan ganggu mereka adik Purbaya. Agaknya mereka adalah sepasang kekasih yang tengah memadu kasih. Dan,… heiii itu juga di sana! Lihatlah, ada sepasang kekasih lainnya… Oh, itu lagi. Heii, lihat! Disana juga ada adik Purbaya.”
“Oh, tempat apakah ini? Banyak sekali pasangan remaja yang tengah memadu kasih. Wajah mereka nampak begitu ceria. Begitu bergembira. Tidak hanya laki-laki dan wanita, tetapi burung-burung juga saling berpasangan.”
Kemudian kedua remaja itu kembali merasakan tubuhnya melayang jauh ke tengah daratan yang indah. Daratan yang bagaikan nirwana. Mereka melayang terus sampai akhirnya mereka sampai ke sebuah istana kecil.
“Kukira sebaiknya kita masuk saja ke istana itu. Kita coba lihat, apalagi yang kita temukan di sana. Oh, anak tangga ini dipenuhi aneka bunga yang berserakan. Oh harumnya tempat ini bagaikan istana Dewa!”
“Ayolah, kita teruskan saja naik ke atas.”
“Hmm, sepertinya istana indah ini tidak berpenghuni. Ah, coba… kau bukalah pintunya adik Purbaya.”
“Baik, kak…”
“Oh! Adik Purbaya, lihatlah itu…”
“Lihatlah itu,… bukankah disana lelaki agung yang bersemayam di dalam tubuhmu?”
“Oh,… sang Hyang Wishnu! Dan itu, bukankah wanita agung yang bersemayam di dalam tubuhmu, Kak?”
“Iyaa,… Nyai Pohaci. Oh, apa yang terjadi dengan mereka adik Purbaya?”
“Entahlah, aku juga tidak mengerti. Mengapa tubuh Hyang Wishnu terikat dengan bunga. Dan agaknya dia sedikitpun tidak berdaya untuk bergerak melepaskan diri.”
“Iya, begitu juga Nyai Pohaci… tubuhnya terikat dengan bunga. Dan dia juga tidak kuasa melepaskan dirinya.”
“Mereka terikat saling terpisah…”
“Oh, iya… Betapa menyedihkan, mereka terpisah… sementara di sekeliling mereka semua makhluk saling memadu cinta.” “Aku akan menolong melepaskan ikatan itu…”
“Oh, iya… kita harus menolongnya. Kau melepaskan ikatan bunga yang membuat Hyang Wishnu tidak berdaya, dan aku akan melepaskan ikatan Nyai Pohaci.”
Dengan tanpa ragu-ragu, mereka kemudian melepaskan ikatan Hyang Wishnu dan Nyai Pohaci. Setelah terbebas dari ikatan bunga yang membelenggunya, Hyang Wishnu mendekati Nyai Pohaci. Merekapun saling pandang penuh arti.