Bagian 2 : Taring Serigala
Setiap orang yang memiliki telinga yang tajam pasti tahu bahwa dalam dunia persilatan terdapat sebuah organisasi perjudian yang amat misterius, bukan saja bersedia menerima pelbagai taruhan yang aneka jenis dan aneh, bahkan bersedia pula untuk bertaruh dengan cara apa pun.
Konon penyelengara Sarang Perjudian ini adalah seorang lo-sian-seng serta seorang lo-thay- thay, jejak mereka misterius, tenaga dalamnya sempurna, ilmu silatnya sangat tangguh, bahkan mereka memiliki sifat petualangan serta rasa ingin tahu yang luar biasa, melebihi sifat seorang bocah bandel.
Kini, semua orang baru tahu, Lo-sianseng yang mereka anggap sudah sangat tua itu ternyata tidak setua yang dibayangkan, bukan saja seringkah masih sanggup melakukan pekerjaan dan perbuatan yang mustahil dilakukan orang lain, bahkan seringkah masih bisa menarik simpatik dan rasa senang kaum gadis terhadapnya.
Orang ini bukan saja semangatnya hebat, tenaga hidupnya jauh lebih hebat dan sangat mengerikan hati. Sejauh mana ilmu silat yang dia miliki? Tidak banyak yang tahu tentang hal ini, karena kalau bisa tak bertarung, dia selalu berusaha untuk tidak turun tangan, persis seperti di saat dia bisa duduk, maka tak mungkin dia akan berdiri, selagi dapat minum arak, dia pun tak akan minum air biasa.
Orang ini tak lain adalah Pok Ing.
Bila seseorang tidak menjumpai musuh yang dapat menandinginya, hidup di dunia ini memang jadi tak berarti, tapi Pok Ing hidup dengan penuh kegembiraan, karena dia memiliki seorang lawan tangguh yang menarik hati, Kwanji dan wilayah Kwan-say, Kwan Giok-bun. "Seng-liat-hau-pa- Kwan Giok-bun" (Kwan Giok-bun yang Sanggup Merobek Harimau dan Kumbang), selagi merobek robek manusia hidup, dia dapat melakukannya bagai sedang merobek selembar kertas.
Kali ini, kembali mereka terlibat dalam sebuah pertaruhan, yang dipertaruhkan adalah sebuah gigi serigala yang penuh misteri dan penuh rahasia.
Bab 1 : Serigala di Atas Api.
Bintang malam bertaburan di atas sebuah bukit gundul, udara cerah tapi dinginnya bukan kepalang.
Seorang lelaki kekar berkepala botak seperti burung elang duduk bersandar di sisi tebing di atas sebuah batu hijau, dia mengenakan jubah hitam yang longgar dan lembut, bersepatu rumput dengan sepasang mata yang lebih terang ketimbang bintang malam, waktu itu dia sedang menatap sebuah tumpukan api unggun di hadapannya.
Di tengah jilatan lidah api tampak sebatang besi terpalang di atasnya, seekor hewan, entah sapi, entah kambing sedang dipanggang di atas api unggun itu, tampaknya sudah hampir matang, bau harum bercampur bau sangit berhembus ke empat penjuru, bahkan terendus sampai di belakang bukit sana.
Betul juga, ada orang di belakang bukit yang mengendus bau harum daging panggang itu. Terlihat seorang lelaki yang berperawakan tinggi kurus, bahkan nyaris tinggal kulit pembungkus tulang berjalan mendekat dan belakang bukit itu.
"Pok Ing!"
Dia kelihatan bukan saja tidak stabil waktu berjalan, bahkan ketika berdiri pun sama sekali tak stabil, namun suara teriakannya itu sangat jelas dan nyaring, bahkan tahu-tahu badannya sudah berada dua-tigapuluh kaki di depan api unggun itu.
Ketika melihat daging yang sedang dipanggang, sepasang matanya kontan berbinar, sinar yang memancar keluar dan matanya jauh lebih terang ketimbang cahaya bintang malam.
"Daging yang kau panggang bukan daging kambing," katanya. "Memang bukan."
Dengan kemalas-malasan Pok Ing bersandar di atas batu, menggunakan sebuah sikat yang dicelupkan ke dalam sebuah baskom yang entah berisi campuran bumbu apa, ia sikat daging di atas panggangan itu dengan cairan bumbu tersebut, setiap jengkal daging disapunya secara merata dan teliti. Ketika minyak daging menetes jatuh ke dalam kobaran api, bergemalah suara gemertak yang diiringi bau harum semerbak.
Ketika angin gunung berhembus lewat, jilatan api bertambah besar, daging pun terendus semakin harum.
"Tak ada yang mengatakan ini daging kambing, di sini pun bukan tempat untuk makan daging kambing," kata Pok Ing.
Lelaki penyakitan yang kurus kering itu mengernyitkan alis matanya yang tebal sambil tarik napas dalam-dalam, tiba-tiba iriirnik mukanya menampilkan satu perubahan yang aneh sekali.
"Itu sih daging serigala!" serunya.
"Tepat sekali!" sinar mata yang mengandung tawa terlintas dari balik mata Pok Ing, "biarpun Kwan Ji penyakitan, ternyata hidungnya sama sekali tidak sakit."
"Daging serigala kelewat kasar, tidak enak dimakan," seru Kwan Ji "Betul!"
"Aku hanya minta separuh, muka dan biji mata serigala ikut aku." Pok Ing tertawa makin lantang.
"Katanya daging serigala kekwat kasar, tidak enak dimakan, kenapa kau masih minta separuh?" "Yang akan kumakan bukan daging serigala, yang ingin kumakan adalah kenangan." "Kenangan?"
Kwan Ji membuang pandangan matanya ke tempat kejauhan, walaupun berada di balik kegelapan malam, di bawah cahaya bintang, namun pikiran dan perasaannya justru berada di suatu tempat nun jauh di sana, suatu tempat di bawah cahaya bintang malam.
"Ketika masih berada di luar perbatasan, ketika aku masih muda, dalam semalaman aku telah membantai banyak penyamun, memenggal empatpuluh enam buah batok kepala."
"Sebuah pembantaian yang hebat, sangat bagus!"
"Malam itu, aku telah membuat mata sebilah golok yang terbuat dari inti baja gumpil tak karuan, melengkung seperti gulungan kertas, tatkala lewat kentongan keempat, perutku sangat lapar, saking laparnya mungkin seekor kuda pun dapat kuhabiskan dalam sekejap."
"Sayang di sana tak ada kuda."
"Itulah sebabnya aku menangkap seekor serigala, kurobek hidup-hidup menjadi dua bagian, lalu seperti yang kau lakukan sekarang, memanggangnya di atas api unggun," ujar Kwanji lebih jauh, "tak sampai satu jam kemudian, aku telah melalap serigala itu hingga ludas tak tersisa."
"Hebat sekali cara makanmu, pasti amat memuaskan."
"Hingga hari ini, setiap kak teringat peristiwa pada malam itu, jari tanganku akan bergerak dengan sendirinya, entah karena ingin menjagal kaum bandit lagi, atau ingin menikmati daging serigala lagi."
Kembali Pok Ing tertawa.
"Daging serigala yang tersedia malam ini hanya satu, bahkan sekarang sudah matang, tapi sayangnya daging itu tak ada hubungannya sama sekali denganmu, dia tak akan mampu melahapmu, dan kau pun tak dapat melahapnya."
"Kenapa?"
"Sebab daging serigala ini milikku, dari ujung kepala hingga ke ujung ekor milikku, dari wajah serigala hingga ke pantat serigala tetap milikku." "Memangnya kau sanggup menghabiskan?" "Rasanya tidak."
"Kau tidak bersedia membaginya separuh untukku?" "Tidak"
"Sejak kapan kau jadi begitu pelit dan sangat hitungan?" "Sekarang!"
"Sekarang kenapa kau harus berubah?"
"Karena sekarang perasaan hatiku sedikit kurang enak, bahkan merasa agak tegang," sahut Pok Ing.
"Tegang'" dengan perasaan heran Kwan Ji berseru, "Pok Ing yang banyak pengalaman dalam pertarungan dan entah sudah berapa kak menyerempet bahaya juga bisa merasa tegang?"
Pok Ing menghela napas panjang.
"Setiap kak tahu kalau ada orang ingin membunuhku, aku selalu merasa amat tegang, begitu mulai tegang aku merasa mulai lapar, itulah sebabnya aku segera menangkap seekor serigala dan memanggangnya."
Kwanji ikut tertawa.
"Aku pun sama," katanya, "tiap kak merasa tegang aku mulai ingin makan, tapi sekarang kau boleh tak usah tegang lagi." "Kenapa?"
"Karena ada aku, Kwanji dari wilayah Kwan-say, setelah mendapat jatah ikut menikmati daging serigalamu, tentu saja aku tak akan membiarkan orang lain datang membunuhmu."
"Setelah makan serigalaku, kau akan mewakiliku untuk membunuh musuh?"
"Betul sekali," Kwanji tertawa keras, "makan serigala bunuh musuh, kejadian pada tigapuluh tahun berselang terulang lagi, siapa tidak merasa puas?"
"Tapi sayang yang bakal datang pada malam ini tak sampai empat-puluh enam orang," sekali lagi Pok Ing menghela napas.
Yang datang hanya empat orang.
Empat orang itu muncul dari arah yang berbeda, usianya beda, pakaiannya beda, tentu saja raut wajah mereka pun beda.
Tapi anehnya, empat orang manusia yang berbeda ternyata memiliki sebuah kesamaan yang amat istimewa.
Keempat orang itu nampak sangat tenang dan pandai membawa diri, sedikit hawa napsu dan api amarah pun tak ada.
Di tengah malam buta, di atas tebing gundul yang dingin, di daerah yang begitu sepi, liar, tak berpenghuni, kemunculan mereka yang sangat tiba-tiba ternyata membawa sikap dan lagak seperti orang yang sedang berpiknik di hari yang cerah, atau seperti orang yang datang untuk bertamu. Sebuah kemunculan yang kontras sekali dengan suasana yang sesungguhnya.
Apakah kedatangan mereka benar-benar ingin membunuh orang?
Kwan Ji telah merobek sepotong paha serigala dan mulai mengunyah dengan lahap, ketika melihat kedatangan keempat orang itu, gumamnya:
"Tigapuluh laksa limaribu tahil, tigapuluh laksa tujuhnbu limaratus tahil, tigapuluh laksa duaribu tahil, empatpuluh laksa tahil," sambil berpaling ke arah Pok Ing, tanyanya:
"Jadi semua berapa jumlahnya?"
"Seratus empatpuluh laksa empatribu limaratus tahil." "Tidak murah, tidak murah."
"Apanya yang tidak murah?"
"Empat orang itu tak ada yang murah, malah besar kemungkinan lebih mahalan sedikit ketimbang empatpuluh enam orang itu."
"Oya?"
"Untuk menyewa To-sat-kau (Anjing Penjagal) tigapuluh laksa limaribu tahil, Kim Lo-ji tigapuluh laksa tujuhribu limaratus tahil, Ong Toan tigapuluh laksa empatribu tahil, Siau Giok-jin empatpuluh laksa tahil, dari kumpulan pembunuh bayaran termahal, kini sudah ada empat orang muncul di sini."
Setelah menghela napas panjang dan gelengkan kepalanya berulang kali, terusnya: "Sungguh tak disangka ternyata ada orang yang berani mengeluarkan emas begitu banyak untuk membunuhmu"
"Emas atau perak?"
Seorang di antara empat jagoan yang muncul dan balik kegelapan itu mendadak tertawa dingin, katanya:
"Kalau cuma perak, uang sewa itu hanya pantas untuk menjagal seekor anjing."
Kwan Ji menghabiskan potongan daging paha serigala terakhir lebih dulu sebelum gelengkan kepala sambil menghela napas panjang
"Biarpun emas, kalau cuma bayaran sekecil itu masih belum pantas untuk membunuh aku." "Membunuhmu?" tanya Kim Loji, "kenapa harus membunuhmu?"
"Karena sebelum kau bunuh si elang kecil, kau harus bunuh aku duluan."
"Tidak bisa, orang itu tak bisa dibunuh," tiba-tiba Siau Giok-jin yang berdiri paling jauh berseru lantang.
"Kenapa?"
"Kalau kita bunuh dia, tak bakal ada orang mau bayar kita, biar setahil perak pun." Kwan ji segera temwa tergelak.
"Hahaha nama besar Siau popo ternyata memang bukan nama kosong belaka, transaksi
yang tidak menghasilkan uang, tak pernah mau dikerjakan."
Tiba-tiba gelak tertawanya berhenti, dengan malas-malasan dia bangkit berdiri, seluruh tubuhnya seakan hampir buyar ketika terhembus angin, tapi sepasang matanya tajam bagaikan sembilu, sembilu yang menyambar-nyambar di atas wajah Siau Giok-jin.
"Sayang sekali, biarpun kak ini kakan tidak membunuhku, aku tetap akan membunuhmu." "Kau kira membunuh itu pekerjaan yang mudah?" jengek Siau Giok-jin sambil tertawa hambar. Perkataan itu belum selesai diucapkan, sudah ada tiga orang turun tangan.
Tiga orang yang berada paling depan.
Golok, pisau kecil, pisau belati. Senjata yang digunakan ketiga orang itu hanya senjata sangat biasa, tapi semuanya merupakan senjata tajam yang dapat digunakan untuk membunuh orang.
Sikap serta gerak-gerik ketiga orang itu sebenarnya sangat tenang, tapi begitu turun tangan, kelincahan mereka tak ubahnya seperti tiga ekor ular berbisa.
Sasaran dari penyerangan mereka bertiga tetap bukan Kwan Ji, melainkan Pok Ing. Pok Ing sama sekali tak bergerak, yang bergerak adalah Kwan Ji.
Begitu Kwan Ji bergerak, golok segera kutung, pisau belati rontok ke tanah, pisau kecil sepanjang tiga depa sembilan inci pun ikut patah menjadi tigabelas bagian, dua buah lengannya yang kurus tapi kuat dan berotot itu tahu-tahu sudah dirobek dan tersayat menjadi dua bagian.
Seperti seorang nona yang gemar merobek kain sutera, atau seorang bocah cilik yang suka merobek kertas warna-warni. Kwan Ji amat gemar merobek badan manusia.
Yang dia robek bukan tiga orang yang berada di hadapannya, tapi orang yang berdiri paling jauh dari situ, Siau Giok-jin yang bernilai empatpuluh laksa tahil.
Percikan darah segar yang memancar ke empat penjuru tidak nampak menyolok di tengah kegelapan malam, justru robekan lengan yang melayang di udara kelihatan lebih seram, ngeri dan menakutkan.
Senjata tajam yang dimiliki tiga orang di depan sudah rontok, keberanian mereka sudah runtuh, hawa napsu membunuh telah punah, yang tersisa hanya tubuh mereka yang berdiri mematung.
"Plook,plook,plook "
Pok Ing yang bertepuk tangan, di tengah tiga kali tepukan tangannya, mendadak tubuhnya sudah melesat ke samping dan bergeser tiga depa dari posisi semula.
Sebab pada waktu yang amat singkat itulah, tiba-tiba muncul sebilah pedang yang berkilauan tajam, menembus masuk melalui bawah tanah.
Jika Pok Ing tidak bergerak, sambaran pedang itu pasti akan menusuk masuk melalui selangkangannya, menembusi pinggulnya dan merobek-robek isi perutnya.
Kalau harus bicara jujur, serangan semacam inilah yang disebut serangan yang benar-benar mematikan, sebetulnya serangan itu sudah diperhitungkan matang-matang, sekali dilepas pasti akan mengenai sasaran.
"Bagus," bentak Kwan ji nyaring, "serangan pedang ini berharga duapuluh laksa tahil!" Di tengah bentakan nyaring, tangan besarnya yang kurus kering dan kuning kepucat-pucatan itu sudah menangkap seseorang dari bawah tanah, bahkan membetotnya keluar.
Di antara kilatan cahaya api, dalam waktu yang amat singkat itulah lelaki penyakitan yang kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang dan nampak begitu lemah seakan setiap saat bakal hancur berkeping itu telah berubah menjadi setan iblis, malaikat buas yang datang dan jaman bahuela, begitu sadis, begitu telengas, begitu mengerikan.....
Bab 2 : Kabar Angin
Gelar : Manusia Ular. Nama asli : Tidak jelas.
Kelebihan : Menembus tanah,penyamaran, penyusupan, meloloskan diri, menyusutkan tulang, mengobat iracun, senjata rahasia, pembunuh bayaran.
Harga sewa: Dua puluh laksa tahil emas murn
Rekor : 31 kali pembunuhan gelap, berhasil 27 kali, mundur sebelum berhasil 4 kali Gagal : Belumpernah.
"Rekor semacam ini merupakan sebuah rekor yang luar biasa, dalam Sarang Perjudian pasti tersimpan catatan rekor tersebut."
"Rasanya memang ada."
"Dalam tiga tahun belakangan, konon dia sudah termasuk salah satu dari sepuluh pembunuh bayaran paling top."
"Rasanya memang begitu," Pok Ing membenarkan.
"Lantas kenapa kau tidak menanyakan hingga jelas siapa yang telah mengutus mereka untuk membunuhmu? Kenapa kau lepaskan dia?"
Kembali Pok Ing tertawa.
"Selama duapuluh tahun hidup melang melintang dalam dunia persilatan, aku pun sudah banyak melakukan pembunuhan, kalau orang lain mau membunuhku, aku rasa itu hal yang lumrah dan pantas, buat apa aku mesti urusi masalah kecil macam begitu?"
"Bagus, cukup mendengar perkataanmu itu, kau pantas diberi hadiah tiga mangkok arak putih." "Aku malas minum arak denganmu."
"Kenapa?"
"Kau makan kelewat banyak, sangat mengganggu kesenanganku minum arak," kata Pok Ing, "kau seakan selamanya tak pernah makan kenyang, memangnya kau penyakitan?"
Kwanji tertawa keras.
Seekor serigala utuh akhirnya habis dimakan dia seorang, yang tersisa kini hanya sebuah kepala serigala yang masih utuh.
Dengan menggunakan ujung sebilah pisau Kwan Ji siap mencungkil kepala serigala itu, tiba-tiba Pok Ing turun tangan secepat petir, dari dalam mulut serigala itu dia cabut keluar semacam benda, sebuah benda yang memancarkan sinar tajam di balik kegelapan malam.
"Benda apa itu?" tanya Kwanji.
"Taring, sebiji taring serigala," Pok Ing menerangkan, "wajah dan mata serigala menjadi milikmu, sedang taring serigala ini menjadi milikku."
"Kambing sejak pagi hingga malam kerjanya hanya makan rumput, serigala dari pagi hingga malam kerjanya hanya melolong, karena itu wajah serigala sama persis seperti wajah kambing, tahan lama dan mudah digigit, jelas merupakan hidangan lezat untuk teman minum arak. Begitu juga dengan mata serigala persis seperti mata kambing, tak beda rasanya."
Setelah berhenti sejenak, kembali Kwanji bertanya: "Bagaimana dengan taring serigala? Apa gunanya taring serigala? Memangnya kau akan pasang taring itu di mulutmu agar bisa menggigit orang?"
Pok Ing tidak menjawab, dia sodorkan taring serigala itu ke depan, diperlihatkan kepada Kwan
Ji. Taring yang dicabut keluar dari mulut serigala itu putih bersih bagai gading gajah, sekelilingnya dibalut dengan emas murni dengan ukiran yang indah dan menarik, di sisi lapisan emas itu terukir sebuah huruf kecil: "Siau."
Berubah paras muka Kwan Ji.
Menurut kabar angin yang beredar dalam dunia persilatan, konon Siau Cap-it-Long yang termasyhur di kolong langit di masa lalu mempunyai hubungan yang akrab dan aneh dengan kawanan serigala.
Siau Cap-it-Long adalah seorang anak yatim piatu, sejak kecil sudah hidup mengembara di tengah hutan yang terpencil, kehidupannya tak beda jauh dengan kehidupan seekor serigala, kelaparan, kesendirian, kedinginan, tak pernah merasakan simpatik, tak pernah merasakan kehangatan cinta, oleh sebab itu dia sangat memahami penderitaan dari seekor serigala.
Serigala sama seperti kambing, punya nyawa, punya kehidupan dan punya keinginan untuk tetap hidup, mempertahankan kehidupannya, mereka pun butuh makan, tapi apabila serigala sampai kehilangan taringnya, seringkali kehilangan tersebut dapat mengakibatkan mati karena kelaparan.
Oleh karena itu Siau Cap-it-Long sering pergi ke gunung yang terpencil untuk menemukan serigala-serigala kelaparan semacam itu, lalu menggunakan ilmu kedokteran yang pernah dipelajarinya dan Persia, membantu kawanan serigala itu untuk membuatkan taring-taring palsu.
Cerita semacam ini, biasanya hanya beredar sebagai dongeng-dongeng seputar Siau Cap-it- Long, dongeng yang belum terbukti kebenarannya.
Tapi sekarang Kwanji sudah tahu, ternyata kejadian tersebut bukan hanya sebuah dongeng. "Ya, taring serigala itu memang seharusnya menjadi mikkmu," sahut Kwanji, kemudian
tanyanya, "tapi bersediakah kau mengorbankan taring itu untuk orang lain?" "Tidak bersedia."
"Mungkinkah aku punya barang yang bisa ditukar dengan milikmu itu?" "Tidak ada."
"Apakah aku masih punya kesempatan atau jalan untuk merubah keputusanmu?" "Tidak ada."
Kwan Ji menghela napas panjang. Pada saat itulah tiba-tiba dari bawah bukit berkumandang suara teriakan rombongan piaukiok yang sedang lewat.
Petugas piauwkiok berteriak dengan lantang, nyaring dan keras suara:
"Si-peng-pat-bun, thian-he-thay-peng (Empat arah tenang delapan penjuru mantap, kolong langit aman sentausa)!"
Langit sudah mulai terang tanah, matahari musim semi di bulan keempat memang terasa lebih hangat dan nyaman.
Satu rombongan pengawalan barang berjalan di sebuah jalan raya nun di depan sana, menelusuri jalan yang berliku menembusi tanah perbukitan.
Enambelas orang pengawal barang dengan pakaian yang mencolok; empat orang piausu dengan baju yang cerah kuda yang gagah, duabelas buah kereta barang yang masih nampak baru, bergerak pelahan menelusuri jalanan, di mana mereka lewat, tertinggal bekas roda kereta yang sangat dalam di atas permukaan tanah, jelas barang yang diangkut kereta-kereta barang itu sangat berat dan banyak jumlahnya.
Duabelas buah kereta barang dengan duapuluh empat buah panji perusahaan berwarna kuning berukirkan empat huruf besar berwarna merah darah:
Thian he-Thay-peng
Kolong langit aman sentausa! Perkataan yang besar lagaknya!
Bila orang piauwkiok betul-betul bisa menjelajahi kolong langit tanpa menghadapi problem dan masalah, bila dunia sungguh aman dan sentausa, bukan mengawal barang namanya tapi suatu kemukjijatan.
Bila kita perhatikan congpiauwtau mereka yang berjalan paling belakang, maka kau akan semakin merasa bahwa keempat buah tulisan itu kelewat takabur dan menggelikan.
Congpiautau itu berusia tiga-empatpuluh tahunan, bobot tubuhnya seratus tiga-empatpuluh kati, tidak menunggang kuda, tidak naik kereta, bahkan tandu pun tidak, dia duduk di sebuah kursi kebesaran thay-su-i dengan ukuran dobel yang dipikul delapan orang lelaki kekar, lelaki-lelaki berotot. Dia mengenakan jubah panjang bordiran berwarna merah darah, di bagian dada serta punggungnya tersulam empat huruf besar berwarna kuning emas.
Sulaman di depan bertuliskan:
Cukat Thay-peng
Di bagian belakang bertuliskan:
Thun-heThaypeng
"Jadi orang ini adalah toa-tauke dan congpiautau dari perusahan ekspedisi Thay-peng piaukiok, Cukat Thay-peng?"
"Benar."
'Selama limabelas tahun mengawal barang, benar-benar tak pernah terjadi pembegalan barang satu kak pun?"
"Jangan lagi satu kali, setengah kak pun tak pernah." Kwanji segera menghela napas panjang. "Aaai. terus terang, tidak kulihat kepandaian macam apa yang dia miliki, malah kadangkala
aku jadi bingung sendiri, sebetulnya aku sedang berhadapan dengan seorang manusia atau seekor babi."
"Tentu saja dia manusia, malah seorang manusia dengan rejeki yang luar biasa bagusnya," ujar Pok Ing, "dia pun tidak memiliki kepandaian yang hebat atau luar biasa, hanya kebetulan bapaknya adalah Cukat Eng-kiat yang paling dihormati dan disegani dalam perusahaan piaukiok, ayah mertuanya pun kebetulan adalah Tu Toan yang berkemampuan paling hebat di kalangan
hek-to. Dan kebetulan pula mereka berdua tewas lantaran membela teman-temannya." "Orang persilatan selalu membedakan dengan jelas mana budi mana dendam, maka hutang
budi ini pun semua orang mencatat di atas rekening milik si gemuk." "Kelihatannya begitulah kejadian yang sebenarnya."
Kwan Ji mencongkel keluar sebiji mata serigala dan dihisapnya dalam mulut, persis seperti seorang bocah yang sedang menghisap gula-gula, lewat lama kemudian ia baru berkata:
"Aku rasa, setiap persoalan pasti ada pengecualiannya." "Oya?"
"Bahkan Liok Siau-hong dan Coh Liu-hiang yang begitu kosen dan perkasa di masa lampau pun pernah gagal, apalagi Cukat Thay-peng."
Dengan menggunakan sepasang mata malingnya dia tatap wajah Pok Ing lekat-lekat, kemudian sepatah demi sepatah berkata:
"Aku punya firasat, kali ini barang kawalannya tak bakal selamat tiba di tempat tujuan, kau berani bertaruh denganku?"
Pok Ing menghela napas panjang.
"Ooh, rupanya tujuanmu menguntitku terus karena ingin bertaruh denganku?" "Tentu saja," jawab Kwan Ji, "hati kaum pecundang selalu hitam, siapa sih yang tak ingin
mendapatkan kembali modalnya yang habis dalam taruhan?" "Ehmmm, cengh juga ucapanmu!"
"Kau berani bertaruh?"
"Mana ada petaruh yang tak mau bertaruh? Memangnya kau pernah melihat ada pelacur yang tak mau menerima tamu?"
Kwan Ji tertawa tergelak.
"Apa yang akan kau pertaruhkan?" tanya Pok Ing. "Kau punya apa, aku pun akan pertaruhkan apa."
"Terlepas apa pun yang akan dipertaruhkan, gigi serigala ini pasti termasuk di antaranya," kata Pok Ing kembali tertawa.
"Tentu saja begitu."
Mendadak Pok Ing melompat bangun, dengan sepasang mata malingnya yang tajam ia balas menatap Kwanji, lewat lama kemudian ia baru berkata, sepatah demi sepatah:
"Dengarkan baik-baik, dengarkan dengan penuh perhatian, kau harus mendengarkan setiap kata dengan jelas."
"Jangan kuatir, telingaku belum penyakitan." "Kau bilang akan bertaruh denganku, bertaruh kalau barang kawalan dari Cukat Thay-peng tak akan tiba di tempat tujuan, benar begitu?"
"Benar."
"Kalau itu yang mau dipertaruhkan, aku tak mau ikut." "Kenapa?"
"Sebab aku pun berpendapat demikian," sahut Pok Ing, "oleh sebab itu aku pun akan mengajakmu bertaruh, barang kawalan Cukat Thay-peng pasti akan sampai di tempat tujuan, kau berani bertaruh?"
"Aku akan bertaruh," jawab Kwanji tanpa berpikir panjang.
'Teduh apa pun yang akan dipertaruhkan, kau tetap akan bertaruh denganku?" "Benar."
"Bagaimanapun toh kak ini kau harus bertaruh denganku?" "Tepat sekali."
Rumah kecil, ranjang besar, cawan teh, makanan kecil, aneka masakan, manisan, kueh, buah- buahan, air teh, arak.
Kwan Ji, Thio Ngo, Thio Pat. Thio Ngo dan Thio Pat yang masih seperti sedia kala, kelihatan persis seperti dua biji buah pepaya.
"Aku tidak mengerti," ujar Thio Pat, "waktu itu kenapa Pok Ing malah berbalik menantangmu bertaruh?"
"Karena dia menganggap aku kelewat yakin untuk menang," sahut Kwan Ji, "lagipula untuk membegal barang kawalan Cukat Thay-peng, kelihatannya jauh lebih gampang ketimbang harus mengawal barang kawalannya."
"Jadi Pok Ing akan turun tangan sendiri untuk membegal barang kawalan itu?"
"Tentu saja tidak, bandar judi selamanya tak pernah menganggu para petaruhnya untuk berusaha meraih kemenangan, Pok Ing tak bakal melanggar aturan tersebut."
"Ya, aku rasa dia memang tak akan berbuat begitu."
"Cuma saja, pekerjaaan semacam ini biasanya selalu ada orang lain yang akan melakukannya untuk dia bahkan orang itu sudah pasti seorang ahli."
"Waktu yang tersisa sudah tak banyak, mana mungkin dia bisa menemukan seorang ahli membegal barang kawalan di seputar sana?"
"Paling tidak ia dapat menemukan satu orang."
Dua bersaudara Thio saling bertukar pandangan sekejap, perasaan heran memancar di wajah mereka, seakan mereka berdua sudah teringat siapakah orang itu.
Maka mereka pun terpaksa bertanya-
"Dapatkah kami menemukan orang untuk menghadapinya?" "Paling tidak kami pun dapat menemukan seseorang." "Siapa?"
Kwan Ji tidak langsung menjawab pertanyaan itu, hanya ujarnya hambar
"Pasti ada orang semacam itu. Sampai waktunya kalian dapat melihatnya sendiri."
Tentu saja dua bersaudara Thio tak berani bertanya lagi, namun tak urung katanya juga: "Bila masih ada orang berani mengusik barang kawalan itu, orang tersebut pastilah bukan
manusia sembarangan, bila sampai orang lain berhasil merampok barang kawalan itu, bukankah kami tetap akan kalah?"
"Tentu saja orang semacam itu pun pasti ada yang menghadapi." "Siapa?"
"Kau sangka aku ini siapa? Memangnya Kwanji dan Kwan-say adalah orang mampus?" "Ringan bagai walet Oh Kim-siu, ganas bagai harimau Kwan Giok-bun."
Tentu saja Kwan Giok-bun bukan orang mampus. Oh Kim-siu pun bukan.
Bab 3 : Wanita Cantik bak Bidadari Ujung baju itu longgar, lembut, ringan dan indah, sulaman yang menghiasi tepi baju pun terbuat dari benang emas dan bersulamkan sekuntum bunga botan, hasil sulaman seorang seniman kenamaan.
Dari balik baju terlihat sepasang tangan yang putih, lentik dan indah, tangan dengan sepuluh jari yang ramping dan putih bagaikan batu kemala.
Tangan itu sedang memetik tak senar khiem, sebuah khiem antik yang berbentuk indah dengan irama musik yang merdu.
Khiem itu terletak di atas meja, meja itu berada di tengah gardu, gardu segi enam dengan pilar yang indah dan berlatar belakang tanah perbukitan yang hijau.
Di tanah perbukitan itu tumbuh aneka ragam bebungaan, pemandangan yang sangat indah bagaikan sebuah lukisan.
Orang yang berada dalam gardu pun bagai orang dalam lukisan, bidadari dalam lukisan, membuat orang tak berani memandangnya lebih lama.
Saat itu ada seseorang sedang memandangnya, menatapnya lekat-lekat, bagaikan sebuah paku yang dipantekkan di atas batu cadas, sama sekali tak bisa digoyangkan, sama sekali tak tercabut.
Pok Ing sedang mengawasinya, sedang ia pun sedang mengawasi dua orang yang lain.
Irama khiem amat merdu, dua orang itu dengan diiringi irama khiem berjalan naik dan bawah bukit, pakaian yang mereka kenakan perlente dan mahal harganya, gerak-gerik mereka pun anggun, ketika menjumpai perempuan cantik yang sedang memetik khiem dalam gardu, wajah mereka segera menunjukkan perasaan girang.
Mereka berjalan menuju ke gardu, dengan suara lirih berbicara beberapa patah kata, tidak jelas apa yang dibicarakan tapi kemudian dengan perasaan tenang dan damai mengundurkan diri dan situ.
Menyusul kemudian datang lagi dua orang, keadaan mereka pun tak beda jauh dari dua orang yang pertama.
Tidak sampai dua peminuman teh, sudah ada empat rombongan manusia yang datang ke situ, tapi semuanya mengundurkan diri lagi secara tenang dan damai setelah berbisik-bisik. Isi pembicaraan tak diketahui siapa pun kecuali yang bersangkutan.
Sekalipun sikap mereka lembut, tenang dan penuh kedamaian, namun mendatangkan kesan agak misterius.
Siapakah rombongan manusia itu? Mau apa datang ke situ?
Siapa pula wanita cantik berenda emas itu? Apakah di antara mereka sedang dilangsungkan sebuah transaksi rahasia?
Ternyata kak ini Pok Ing tidak menunjukkan perasaan ingin tahunya, dia hanya menonton dari samping tanpa mengganggu maupun menggubris.
Menanti keempat rombongan manusia itu sudah berlalu, ketika irama musik telah berhenti, dan belakang bukit segera muncul sebuah tandu yang diiringi seorang nona berbaju hijau yang gemar tertawa, dengan cepat nona itu membimbing si wanita cantik itu naik ke tandu, sikapnya seolah sama sekali tak pernah melihat kehadiran Pok Ing di tempat tersebut.
Tak lama kemudian tandu itu sudah digotong menuju ke belakang bukit, ternyata Pok Ing ikut menguntit dari belakang.
Di balik pepohonan di belakang bukit terdapat sebuah bangunan beratap merah, jalanan beralaskan batu hijau, setelah melalui sebuah pintu berbentuk rembulan, menelusuri bebungaan, terbentanglah sebuah jalan setapak
Ujung jalan setapak itu merupakan sudut bangunan sebuah loteng kecil
Tandu itu langsung digotong melalui jalan setapak dan berhenti di depan bangunan loteng.
Ternyata Pok Ing masih mengikuti di belakangnya.
Orang yang menggotong tandu, orang yang mengiringi tandu bahkan orang yang berada dalam tandu pun tak ada yang menengok ke arahnya, seakan mereka tidak melihat akan kehadirannya.
Seakan di kolong langit sama sekali tak ada manusia semacam itu.
Orang yang berada dalam tandu telah turun dari tandunya, sambil berpegangan pada bahu si nona yang gemar tertawa berjalan masuk ke bangunan kecil dan naik ke atas loteng.
Ternyata Pok Ing masih mengikuti di belakang mereka. Aksesori dan interior dalam bangunan loteng itu sangat indah dan rapi, jelas kamar tidur seorang gadis, atau dengan perkataan lain tempat terlarang bagi kaum pria.
Ternyata Pok Ing masih mengikuti di belakang mereka, memasuki kamar tersebut.
Setibanya dalam ruangan, nona yang gemar tertawa itu pergi menimba air, menuang air teh dan menyiapkan makanan kecil, sementara gadis cantik berenda emas itu dengan santainya mencuci muka, minum teh, melepaskan sepatu, melepaskan kaus kaki dan memperlihatkan sepasang kakinya yang putih mulus.
Padahal kesemuanya itu merupakan rahasia paling pribadi seorang wanita, rahasia yang tak nanti boleh diketahui apalagi dilihat kaum pria.
Apa mau dikata Pok Ing justru berada di situ dan menyaksikan semuanya.
Sebaliknya perempuan-perempuan itu justru seakan tidak melihat kehadiran Pok Ing di situ.
Sebenarnya apa yang terjadi?
Apakah Pok Ing telah berubah jadi manusia tanpa wujud? Manusia tanpa wujud itu akhirnya buka suara, tiba-tiba saja dia bertanya kepada wanita cantik berenda emas itu: "Bersediakah kau membantuku?"
Bila perkataan yang dia ucapkan pun tak terdengar oleh wanita itu, lalu apa daya?
Terima kasih langit, terima kasih bumi, ternyata perkataan yang diucapkan manusia tanpa wujud itu terdengar juga oleh orang lain, maka perempuan cantik berenda emas itu pun segera balik bertanya:
"Kau menginginkan bantuanku? Bantuan apa?"
"Dapatkah kau mencari seorang guru kenamaan agar bisa melatihmu bermain khiem?" ujar Pok Ing, "terus terang, permainan khiem-mu seperti. "
Ia tidak melanjutkan perkataannya, sebab sepasang mata gadis itu sudah melotot besar. "Kenapa aku harus berlatih main khiem? Apa gunanya aku berlatih main khiem hingga berirama
bagus? Dimainkan untuk si botak macam kau?"
Pok Ing tertawa, perempuan itu pun tertawa, ternyata mereka berdua memang sudah kenal lama.
Bukan cuma kenal bahkan sangat mengenalnya, perempuan itu sudah beranggapan, apa pun yang ingin dia lakukan, tidak menjadi masalah bila terlihat oleh Pok Ing.
Kecuali Pok Ing, tentu saja sangat berbeda untuk lelaki lain.
Jika ada lelaki lain yang berani sembarangan melirik ke arahnya, bisa jadi setiap saat biji matanya bisa dicongkel keluar.
Memang perempuan macam itulah Oh Toa-siocia.
Tapi apa tujuannya dia bermain khiem di tengah gardu tadi? Benarkah antara dia dengan orang-orang itu terjalin sebuah hubungan transaksi rahasia?
Bab 4 : Rencana Rahasia Toa-siocia
Oh Toa-siocia amat pandai minum, semakin banyak yang diminum, sepasang matanya semakin berkilat, dia pun kelihatan makin sadar, agar orang selamanya tak pernah bisa menebak berapa usianya sekarang.
Pok Ing hanya ingat, mereka sudah hampir duabelas tahun berkenalan.
"Hari ini aku telah melakukan enam buah transaksi dengan keempat rombongan manusia itu, empat transaksi di antaranya ada hubungannya dengan seseorang." Toa siocia pun bertanya kepada Pok Ing, "coba tebak, siapakah orang itu."
"Cukat Thay-peng!" jawab Pok Ing tanpa berpikir. "Betul, patut diberi hadiah."
Toa-siocia segera turun tangan sendiri memenuhi cawan araknya dan menyaksikan Pok Ing meneguk habis isinya, kemudian ia menyuapi pula dengan sekerat daging ayam.
"Kalau dibicarakan memang sungguh aneh, Cukat Thay-peng memang seorang manusia aneh, segala tindak tanduknya seakan sangat menarik perhatian orang, sampai dia sedang kentut pun ada orang yang mempertaruhkan kentutnya bau atau tidak." Toa siocia penuhi juga cawannya dengan arak kemudian sekali teguk menghabiskan isinya, setelah menghabiskan satu cawan lagi ia baru melanjutkan, "keempat rombongan orang yang datang hari ini hampir semuanya mempertaruhkan Cukat Thay-peng, mempertaruhkan dia tinggal di mana, mempertaruhkan malam ini akan mencari perempuan atau tidak, mempertaruhkan dia akan menghabiskan berapa kati daging, mempertaruhkan apakah dia mandi atau tidak "
"Adakah yang mempertaruhkan dia berhasil menghantar barang kawalannya kak ini dengan selamat atau tidak?" tiba-tiba Pok Ing bertanya.
"Tidak ada," sahut Toa siocia, "ini pun kejadian aneh, seolah semua orang berpendapat asal barang yang dikawal olehnya, sudah pasti bisa tiba di tempat tujuan dengan selamat."
"Kali ini belum tentu berhasil," jengek Pok Ing sambil tertawa dingin.
"Belum tentu?" Toa-siocia kelihatan terperangah, "apakah kau sudah tahu kalau Jiu-to-jin-lay (Tangan Datang Barang Dicomot) Ting It-coa dan Tham-nang-ki-oh (Merogoh Saku Mengambil Barang) Kongsun Gi-dua orang perampok ulung yang belum pernah gagal bila merampok barang kawalan bermaksud mengganggu barang kawalannya kak ini?"
"Aku tidak tahu," sahut Pok Ing hambar, "sekalipun tahu juga tak ada gunanya, toh mereka tetap tak sanggup mengusik barang kawalan dari Cukat Thay-peng."
"Lantas apa yang kau ketahui?"
"Aku hanya tahu kalau ada orang lain yang kali ini pasti akan merampok barang kawalannya." "Berarti orang ini jauh lebih garang ketimbang Ting It-coa?"
"Jauh lebih garang."
"Lebih mirip setan ketimbang Kongsun Gi?" "Sepuluh kak lipat lebih setan."
Sorot mata Toa-siocia seketika ikut berbinar, bahkan jauh lebih indah dan tajam, rasa ingin tahunya seketika sudah dibangkitkan. "Sebenarnya siapakah orang itu?"
"Kau!"
"Aku?" Toa-siocia seolah amat terperanjat, "orang yang kau maksud sangat garang dan jauh lebih mirip setan itu adalah aku?"
"Betul."
"Aku akan merampok barang kawalan Cukat Thay-peng?" "Betul."
Toa-siocia meneguk habis arak dalam cawannya, kemudian meneguk secawan lagi, tambah secawan lagi dan secawan lagi, tiba-tiba ia mulai tertawa, tertawa tiada hentinya, tertawa melengking bagai bunyi keleningan di tengah hembusan angin.
"Coba bayangkan, kejadian ini pasti sangat menarik."
"Tentu saja sangat menarik," sorot mata Pok Ing pun mulai memancarkan senyuman, "pada hakekatnya menarik sekali."
Kalau tidak menarik, tak nanti Pok Ing akan minta Toa-siocia untuk melakukannya dan Toa- siocia pun belum tentu mau melakukannya.
Tapi bila kejadian itu adalah sesuatu yang menarik, biar kau larang pun dia tetap akan melakukannya.
Bab 5 : Melalap Dunia, Pertempuran Brutal Delapan Penjuru
Setiap orang berhak untuk melakukan pekerjaan yang dia anggap menarik, makan, tak disangkal merupakan salah satu hal yang menarik bagi Cukat Thay-peng.
Sekarang dia sedang makan.
Meja makannya terdiri dan enam buah meja yang dipersatukan, di atasnya dilapisi selembar kain taplak meja berwarna kuning yang masih baru dan tentu saja amat bersih.
Di atas meja itu pun sudah tersedia lebih kurang empat sampai limapuluh macam aneka hidangan masakan dan kuak, ada hidangan yang dikenal kebanyakan orang, juga diketahui terbuat dari bahan apa saja, di antaranya tentu saja termasuk aneka hidangan ayam, itik, ikan, daging dan masakan laut.
Tapi ada pula hidangan yang bukan saja tak dikenal orang lain, bahkan melihatnya pun belum pernah. Cukat Thay-peng duduk di sebuah kursi kebesaran yang dibuat khusus, paling tidak dua kaki lebih tinggi dari kursi biasa.
Dengan duduk di bangku yang tinggi, ia baru merasa nyaman karena dapat melihat ke bawah dengan lebih jelas, bila dapat melihat dengan lebih jelas maka dia pun bisa bersantap lebih gembira.
Sekarang dia sedang bersantap dalam suasana kurang gembira, bahkan terlihat agak murung dan masgul.
Apakah hidangan sebanyak itu masih belum cukup membuat seleranya bangkit dan melalapnya dengan mantap?
Di luar pintu merupakan sebuah halaman yang sangat lebar dan luas, tiba-tiba dari balik halaman berkumandang suara gelak tertawa yang amat keras, begitu keras hingga menggetarkan atap dan dinding rumah
"Bila minum sendirian tanpa lawan, tentu saja suasana kurang bergairah, bila rnakan sendirian tanpa lawan, sama saja, suasana pun kurang bergairah," gelak tertawa Kwan Ji kedengaran sangat nyaring, "bukan begitu Cukai sianseng?"
Betul tentu saja betul!
Cukat Thay-peng segera merasa semangatnya bangkit kembali, dengan wajah berseri serunya lantang: "Siapa di luar? Cepat masuk!"
Belum selesai dia berteriak, Kwanji sudah masuk, masuk dengan sangat cepat.
Dengan mata yang sipit Cukat Thay-peng mengawasi sekejap orang yang kurus kering bak kulit pembungkus tulang itu, memandangnya dari atas hingga ke bawah, dari ujung rambut hingga telapak kaki.
"Kau sanggup makan banyak? Kau sanggup melawanku bersantap?"
"Dewasa ini, paling banter hanya ada dua sampai tiga orang manusia yang mampu makan berhadapan denganmu," kata Kwan Ji tenang, "Tong toa-koanjin dari keluarga Tong di Suchuan mungkin terhitung salah satu di antaranya bukan?"
"Betul!"
Menyinggung soal Tong Toa-koan, semangat Cukat Thay-peng semakin berkobar.
"Waktu itu aku makan bersamanya hingga dua hari dua malam, betul-betul puas bersantap dengannya, membuatku tak bisa melupakannya sepanjang hidup," dia pun bertanya kepada Kwan Ji, "tapi siapakah orang kedua yang mampu makan bersamaku? Memangnya kau?"
"Betul, memang aku."
Sekali lagi Cukat Thay-peng mengawasinya dari atas hingga ke bawah, sorot matanya yang semula sipit tiba-tiba bersinar tajam, persis seperti mimik muka Yap Koh-seng ketika siap bertarung melawan Sebun Jui-soat tempo hari.
"Memangnya kau adalah Kwan Ji, Kwan Giok-bun dan Kwan-say?" "Itulah aku!"
"Konon setiap saat kau bisa makan, selamanya tak pernah kenyang, benarkah begitu?" "Benar."
Cukat Thay-peng tertawa terbahak-bahak. "Hahahaha bagus, bagus sekali, betul-betul
bagus, luar biasa."
"Mari sekarang juga kita mulai, bagaimana kalau kita makan kecil dulu?" "Baik."
Makan kecil yang mereka santap tidak terlalu banyak, yang mereka habiskan tak lebih hanya empatpuluh delapan macam hidangan yang tersedia di meja itu.
Selesai makan kecil, makan yang resmi pun dimulai.
"Hidangan utama kita hari ini disebut 'Pertempuran Brutal di Delapan Penjuru', bagaimana menurut pendapatmu?" ujar Cukat Thay-peng.
"Coba dihidangkan lebih dulu."
Semua hidangan lama yang ada di meja telah disingkirkan, kini di atas meja sudah dipasang sebuah rak kayu, rak itu tiga kaki panjangnya dan tiga kaki lebarnya
Sebuah kuali tembikar yang amat besar dihidangkan keluar dan persis diletakkan di atas rak kayu itu.
"Wouw, sebuah kuali yang amat besar!" Ketika tutup kuali dibuka, bau harum daging yang kental dan semerbak segera menyebar keluar ke angkasa, di dalam kuah terlihat daging berwarna merah dengan potongan besar-besar.
"Wouw, pertempuran brutal di delapan penjuru yang luar biasa," Kwan Ji menarik napas panjang-panjang, seakan sedang menikmati bau harum semerbak itu, "dapat kuendus, paling tidak ada delapan jenis daging yang ada di situ."
Cukat Thay-peng tertawa tergelak
"Hahahaha ternyata bukan nama kosong, betul-betul seorang ahli dalam bidangnya."
Kemudian katanya lagi:
"Untuk menikmati daging ini diperlukan cara makan yang istimewa, kalau melulu makan dagingnya saja maka ibarat kura-kura makan daun bawang, hanya menyia-nyiakan barang bagus."
"Aku mengerti," sahut Kwan Ji, "Kalau hanya makan dagingnya saja, tak akan kita rasakan nikmatnya rasa daging, kita mesti mencari hidangan lain sebagai pengiringnya"
"Benar, benar sekali."
Harus dimakan dengan cara apa baru dikatakan tepat? Mula-mula diambil sebuah pia sebesar dua kaki dan diletakkan datar di atas meja, pia itu mesti digiling sampai tipis, digiling dengan penuh tenaga, dengan begitu lapisan kulitnya baru sukar robek.
Bila pia sudah siap, ambillah sebatang daun bawang putih produksi kotaPo-ting, buang daun hijaunya, sisakan bawang putih dan letakkan di atas pia sambil disiram dengan kecap manis hasil produksi para tkaykam dan istana kaisar.
Kemudian ambillah tiga sampai empat kerat dagingyang beratnya kira-kira satu kati sampai satu setengah kati, taruh di tengah pia dan disusun jadi satu tumpukan, setelah itu tutuplah dengan kulit pia yang ada disebelah kiri, lapisi lagi dengan pia di sebelah kanan, kemudian bagian ekornya digulung menjadi satu gulungan panjang. Pegang dengan kedua tangan dan mulailah mengunyah.
Sekali gigitan melahap daun bawang bercampur kecap, gigitan berikut melahap pia, kiri satu gigitan, kanan satu gigitan kemudian tengah saru gigitan lagi.
"Waktu itu, yang kau saksikan hanya lelehan minyak yang mengalir keluar melalui ujung bibir," kata Cukat Thay-peng, "ehmm, rasanya waktu itu, sungguh luar biasa, tak ada makanan lain yang lebih nikmat daripada hidangan ini."
Makin bercerita ia semakin bersemangat, tapi Kwanji hanya menghela napas.
"Seandainya ditambah lagi dengan sedikit obat pemabuk atau sebangsa obat racun, rasanya waktu itu pasti tak akan bisa ditandingi oleh hidangan selezat apa pun," katanya.
"Obat pemabuk?"
"Jika di dalam kuali daging yang begitu besar, begitu harum dan baunya begitu sedap ditambahkan setengah kati obat pemabuk, tak nanti orang lain akan merasakannya," kata Kwanji hambar, "apalagi jika orang yang melepaskan racun adalah si Merogoh Saku Mengambil Barang-
Kongsun Gi, mungkin hanya dibutuhkan sekali suapan saja maka segalanya sudah lebih dari cukup."
"Lebih dari cukup untuk apa?"
"Lebih dari cukup waktu untuk membiarkan mereka membawa kabur seluruh kereta barangmu."
Cukat Thay-peng segera menggebrak meja keras-keras.
"Kurang ajar, sialan orang ini, sekalipun ingin merampok barang kawalanku, tidak seharusnya dia campurkan obat itu ke dalam dagingku, bukan saja membuat satu kuali daging lezat jadi mubazir, aku pun ikutan tak bisa menikmatinya."
Kalau dilihat dari lagaknya, membuat mubazir sekuah daging dosanya jauh lebih berat, jauh lebih serius ketimbang merampok barang kawalannya.
Kwan Ji segera tertawa.
"Untung saja sebelum ia sempat mencampurkan obat pemabuk itu ke dalam daging, dia telah diundang kemari terlebih dulu oleh Ngo ciangkwee dan Pat ciangkwee, bahkan komplotannya Ting sianseng pun sekalian diundang kemari." Ilmu yang dipelajari Ting It-coa bukan ilmu Eng-jiau-kang atau sebangsanya, tapi telapak tangan kanannya luar biasa besarnya, bukan cuma lebih besar dari tangan orang lain, dibandingkan dengan tangan kiri sendiri pun masih satu setengah kak lebih besar.
Konon dengan sekali genggam ia bisa menggunakan empatpuluh sembilan jenis senjata rahasia sekaligus, dengan mengandalkan tenaga pergelangan tangannya, tenaga jari tangannya, tenaga jepitannya serta tenaga pantulan dari ruas tulang kukunya, dalam waktu bersamaan ia bisa melepaskan seluruh amgi itu sekahgus, khusus menghajar tigapuluh enam buah jalan darah penting, tujuhpuluh dua jalan darah kecil serta tigabelas tempat mematikan lainnya.
Sebanknya Kongsun Gi adalah orang yang sangat jarang menggunakan tangan, yang dia pergunakan adalah bagian tubuhnya yang paling berkembang.
Dia menggunakan otak.
Sekarang, kedua orang itu nampak sangat mengenaskan, pakaian mereka tak rapi, rambut pun kelihatan kusut, padahal kedua orang ini terhitung orang yang amat memperhatikan soal penampilan, tak disangkal baru saja mereka mengalami pertempuran yang amat seru.
Orang orang yang berada di samping Thio Ngo dan Thio Pat meski di hari biasa sangat jarang dijumpai, tapi begitu turun tangan, kemampuannya sudah cukup membuat orang lain melongo.
Cukat Thay-peng masih terus menggeleng sambil menghela napas panjang lebar. "Kenapa sih kalian harus berbuat begitu? Kenapa harus mengganggu barang kawalanku?
Kenapa tidak biarkan hidupku lebih nyaman, hidup kakan pun ikut nyaman, dengan begitu bukankah kolong langit aman dan penuh kedamaian?" katanya sambil menghela napas, "kenapa kakan mesti mengusik Kwan Giok-bun si manusia apes ini?"
Suara Ting It-coa sangat parau, biji matanya penuk garis merah, dia melotot ke arah Kwanji tanpa berkedip.
"Siapa yang mengira Kwan Ji dari Kwan-say sudah menj adi budaknya perusahaan ekspedisi?
Siapa yang menyangka?"
"Terus terang, bahkan aku sendiri pun tidak menyangka, tapi dalam kehidupan seorang manusia, terkadang memang perlu melakukan berapa pekerjaan yang diri sendiri pun tak menyangka akan melakukannya."
"Cengli! Masuk di akal," kata Cukat Thay-peng segera, "kalau cengli berarti ada daging untuk dimakan, mari makan daging kecap, daging masak wijen, semuanya ada, ayo kita makan bersama-sama."
Kwanji tertawa tergelak.
"Tentu saja semuanya karus dimakan, harus dihabiskan."
Baru saja dia mempelajari cara paling tepat untuk makan aneka daging, kekuatannya sekarang ia sudah mulai tak sabaran.
Melihat dia mulai makan daging, tiba-tiba mimik maka Kongsun Gi memperlihatkan perubahan yang sangat aneh.
Selama ini dia termasuk orang yang tak gampang berubah muka, jarang sekali kau bisa melihat perubahan di wajahnya, tapi sekarang sikapnya seolah secara tiba-tiba menyaksikan dari lubang hidung Kwan Ji tumbuh sekuntum bunga.
Pada saat itulah Ting It-coa sudah turun tangan.
Di saat Kwan Ji, Cukat Thay-peng dan dua bersaudara Thio mengunyah potongan daging yang pertama, tangan raksasanya sudah melancarkan Boan-thian-hoa-yu (Seluruh Angkasa Hujan Bunga).
Bunga bukan bunga, hujan bukan hujan, tapi setiap bunga hujan dapat membunuh manusia dalam waktu sekejap.
Dalam hal ini semua orang mengerti, semua orang paham.
Selama malang melintang dalam dunia persilatan, Ting It-coa selalu menganggap barang yang dikawal orang lain seperti barang milik diri sendiri, begitu ingin segera diambilnya, di mana ia datang, barang pun melayang, tentu saja ia berbuat begitu karena dia memiliki prinsip yang baku.
Dalam hal ini, Kwan Ji sekalian bukannya tidak mengerti.
Tapi yang aneh sekarang adalah meski Ting It-coa yang menggetarkan sungai telaga karena kehebatan senjata rahasianya telah melepaskan senjata amgi-nya, ternyata mereka hanya mengawasi dengan mata melotot, tak ada yang berusaha menangkis, tak ada yang berusaha menghindar.
Tangan Kwan Ji kelihatan seolah sedikit diangkat ke atas, tapi sama sekali tidak diangkat keseluruhan. Tampaknya ribuan batang senjata rahasia yang mematikan itu segera akan menembusi bagian tubuh mereka yang mematikan.
Tiba-tiba terlihat sesosok bayangan manusia berkelebat lewat, berkelebat bagai seekor burung walet, sementara dari ujung bajunya memercikkan cahaya keemas-emasan.
Ujung baju itu terbang menari, tubuh pun melayang bagai burung walet.
Di tengah suara gelak tertawa yang merdu bagai suara keleningan, seluruh hujan bunga itu hilang lenyap tak berbekas.
Kedengaran seseorang berseru:
"Tujuh kali tujuh empatpuluh sembilan macam senjata rahasia biar Oh Kim-siu terima, sementara empat nyawa manusia biar Oh Kim-siu kembalikan."
Bab 6 : Kesimpulan
Di bawah pohon yang rindang di depan bangunan loteng, nun jauh di ujung jalan setapak telah disiapkan sebuah meja yang penuh berisi cawan arak, arak anggur dan Persia yang sudah direndam dalam air es, manis rasanya tapi membawa sedikit bau harum yang tawar dan aneh.
Tamunya adalah Kwanji, Thio Ngo, Thio Pat, Kongsun Gi, Ting It-coa, Cukat Thay-peng serta Pok Ing yang setengahnya berstatus tamu dan setengahnya lagi berstatus tuan rumah.
Sementara tuan rumah wanita adalah seorang perempuan berwajah cantik dengan baju bersulam benang emas, sama kuningnya dengan . tumpukan emas murni yang berada di dalam kereta kawalan.
Ternyata kereta kawalan dari Thian-he-thay-peng (Aman Tenteram di Kolong Langit) pun ada saatnya menjadi tidak thay-peng.
Terhadap peristiwa ini, apa pendapat dari semua orang? Kongsun Gi berkata:
"Aku benar-benar merasa sangat keheranan, seolah-olah semua orang beranggapan bahwa di kolong langit dewasa ini hanya aku seorang yang bisa mencampuri racun di dalam masakan daging."
"Obat pemabuk itu sudah pasti tak akan lebih enteng daripada milik Kongsun Gi," sambung Ting It-coa, "baru terendus sedikit baunya, gerak-gerikku sudah sangat melamban."
"Masih untung gerakanmu jadi lambat," kata Oh Kim-siu, "oleh sebab itu kita semua baru merasakan kedamaian sekarang."
"Aku tak ada komentar," ucap Thio Ngo.
"Ringan bagai burung walet Oh Kim-siu betul-betul wanita luar biasa," Thio Pat menambahkan. "Bagaimanapun juga, akhirnya dunia menjadi tenteram dan damai kembali," seru Cukat Thay-
peng, "aku sudah perintahkan orang untuk mempersiapkan satu kuali daging lagi, sekarang telah dinaikkan ke atas anglo."
"Daging masakanku kak ini harus kucicipi sepuasnya," kata Kwan Ji tiba-tiba. Perkataan itu seketika membuat semua orang terperanjat.
Kwan Giok-bun yang selalu tinggi hati dan jumawa, kak ini menderita kekalahan total, tak nyana dalam keadaan begini dia masih punya selera untuk makan daging.
.........Sebenarnya orang ini adalah Kwanji sesungguhnya atau bukan?
Sudah cukup lama Pok Ing mengamatinya, dan kini dia baru buka suara, katanya: "Dalam taruhan kak ini aku sama sekali tidak ikut campur, selama aku menjadi bandar
pertarukan, tak nanti aku akan turut campur."
Kemudian setelah berhenti sejenak dengan wajah serius tambahnya: "Inilah peraturanku, kau seharusnya percaya kepadaku."
"Aku percaya kepadamu," sahut Kwanji, "aku selalu mempercayaimu." "Sekarang barang kawalan milik Cukat Thay-peng sudah dirampok, uang kawalan sudah berada dalam wilayah kekuasaan Oh toa-siocia." Pok Ing bertanya kepada Kwan Ji, "apakah sekarang kau sudah mengaku kalah?"
"Belum."
"Kau belum kalah?"
"Tentu saja belum kalah," Kwanji memandang wajah Pok Ing, pandangan penuh senyuman, "kali ini yang kalah justru kau!"
Begitu perkataan dari Kwan Ji diutarakan, sekali lagi semua orang merasa terkesiap.
Kwan Giok-bun yang selalu menganggap setiap ucapannya berat bagai bukit, apakah kali ini ingin ingkar janji? Jelas kejadian seperti ini tak mungkin terjadi.
"Dalam pertaruhan Si Ti-ing melawan Liu Ceng-ho tempo hari, kita sebelah kiri juga kalah, sebelah kanan pun kalah juga, seluruhnya kekalahan kita berjumlah sepuluh juta tahil, di antaranya ada dua juta tigaratus ribu tahil dibayar dengan uang kertas yang diterbitkan kamar uang Thay-tong."
"Betul, sudah kuperiksa dan kuterima uang tersebut."
"Sungguh tak disangka, kamar uang Thay-tong yang begitu berjaya dan kuat sumber dananya telah bangkrut secara tiba-tiba, semua uang kertas yang kita bayarkan pun dalam waktu semalam saja telah berubah jadi kertas sampah yang tak ada nilainya," kata Kwan Ji, "meskipun saat ini berita tersebut belum sampai tersiar keluar, tapi kita sudah mengetahui akan kenyataan ini."
Setelah berhenti sejenak, terusnya:
"Rumah uang Thay-thong boleh bangkrut, Dewa Rejeki tak boleh bangkrut, maka seketika itu juga kami siapkan uang sebesar dua juta tigaratus tahil emas dan minta Thay-peng piaukiok untuk menghantarnya ke Sarang Perjudian dan mengganti uang kertas dan rumah uang Thay-tong yang sudah tak berlaku itu."
Bicara sampai di sini, suara Kwan Ji kedengaran seakan jauh lebih muda.
"Uang dalam kereta piauwkiok ini sesungguhnya memang akan dikirim ke pusat Sarang Perjudian, oleh sebab itu aku lebih suka bersantai menikmati daging dalam kuah dengan membiarkan kalian angkut sendiri uang emas tersebut sampai di sini, bukankah tempat ini pun merupakan salah satu kantor cabang rumah perjudian? Berarti kami telah berhasil menghantar barang kawalan ini tiba di tempat tujuan dengan selamat."
Sambil tersenyum ia berpaling ke arah Pok Ing dan tambahnya: "Maka dari itu yang kalah taruhan kali ini adalah kau, bukan aku." Cukat Thay-peng tertawa terkekeh-kekeh.
"Kalau ada Cukat Thay-peng, dijamin dunia pasti akan thay peng (aman), kalian semua harus ingat baik-baik perkataan ini," katanya santai.
Kwanji segera mengulurkan tangannya, baru saja tangannya disodorkan ke depan, gigi serigala sudah berada dalam tangannya.
Tapi dia justru sengaja menghembuskan napas panjang, sambil memandang ke arah Pok Ing ujarnya.
"Setiap orang pasti ada saatnya untuk kalah, sekalipun harus merasakan jadi seorang pecundang, aku harap jangan kelewat bersedih hati."
"Benar!"
Bab 7 : Penutup
Tampaknya Pok Ing tidak terlalu sedih, malah dia masih punya selera untuk minum arak bahkan minum dengan amat santai dan riang gembira.
Orang ini benar-benar seorang lelaki sejati, lelaki yang punya penampilan gagah, benar-benar seorang lelaki yang mampu menerima kenyataan, biar kalah namun tidak sedih.
Oh Kim-siu mengangkat ujung bajunya tinggi-tinggi, memperlihatkan sepasang lengannya yang putik mulus, kemudian sambil mengerling ke arah Pok Ing, katanya:
"Kekkatannya siasat yang kau persiapkan kali ini pun berbasil dengan sukses." "Siasat?" Pok Ing seakan tidak paham dengan perkataan itu, "siasat apa? "Meskipun di satu sisi kau menderita kalah hingga kehilangan gigi serigala palsu yang kau beli dengan uang sebesar delapanpuluh lima tahil perak, namun di pihak lain paling tidak kau berhasil memenangkan jumlah yang tiga-limaratus kali lebih banyak."
"Di sisi yang mana?"
"Tentu saja di sisi Cukat Thay-peng si monyet gendut itu."
"Kalau monyet bisa segemuk dia, berarti dia pasti sudah menjadi siluman, mana mungkin aku bisa mengunggukli siluman monyet gemuk?"
"Kau pasti sudah beritahu kepadanya kalau Kwan Ji akan membantunya menghantar uang kiriman itu selamat tiba di tempat tujuan, dan dia pasti sengaja tak percaya, sengaja mengajakmu bertaruh, padahal dalam hati kecilnya dia lebih rela menderita kalah."
"Kenapa?"
"Sebab jika dia kalah maka uang kawalannya akan tiba di tempat tujuan dengan selamat, Cukat Thay-peng pun akan tetap thian-he-thay-peng, selamat dan aman selalu," Oh Kim-siu tertawa terkekeh-kekeh, "oleh sebab itu pemenang yang sesungguhnya dalam pertaruhan kali ini adalah kau.”
Pok Ing tersenyum.
"Bagaimanapun juga, aku toh sudah membiarkan Kwan Ji menang satu kali, paling tidak membiarkan dia merasa bahwa dirinya berhasil unggul satu kali."
Bulan sabit yang terang benderang, cawan emas yang berkilauan, Pok Ing menghirup seteguk arak anggurnya yang manis kemudian menghembuskan napas lega. Gumamnya:
"Walaupun menjadi seorang pemenang bukan sesuatu yang luar biasa, paling tidak jauh lebih nyaman ketimbang jadi seorang pecundang!"