Bab 11. Melarikan Diri
Tengah malam. Awan gelap menyelimuti sepenuh angkasa, tampaknya hujan deras akan turun setiap saat. Tong Hoa mengenakan pakaian ketat berwarna hitam dengan sebilah pedang tersoren di punggungnya. Dia membawakan satu perangkat baju hitam juga untuk Wi Hong-nio agar dikenakannya. Dengan berpakaian seperti itu akan lebih mudah untuk menyelinap keluar dari tempat itu.
Wi Hong-nio menurut dan mengenakan baju hitam itu, kemudian dia pun menyandang sebilah pedang di punggungnya.
“Bukankah kau tidak mengerti ilmu silat?” tegur Tong Hoa ketika melihat dandanannya itu.
“Dulu memang tidak bisa, tapi belakangan aku mulai belajar sedikit ilmu pedang.”
Mendengar jawaban tersebut, tanpa terasa Tong Hoa berpikir, “Belajar golok butuh lima tahun, belajar pedang butuh sepuluh tahun, kalau baru belajar sebentar sudah berani memanggul pedang, apa tidak merasa sedikit tak tahu diri?”
Tentu saja ingatan tersebut tidak sampai diutarakan keluar, hanya ucapnya, “Tapi membawa pedang akan sangat melelahkan...”
“Tidak apa-apa,” sahut Wi Hong-nio, “dengan membawa pedang, aku merasa sedikit lebih tenang dan aman.”
Kembali Tong Hoa berpikir, “Ah... sudahlah, toh yang disebut melarikan diri hanya sandiwara belaka, mau berjalan lebih lambat juga tidak jadi masalah...”
Maka dia tidak membujuk lebih jauh, hanya pesannya, “Andaikata nanti terjadi sesuatu, cepatlah menyingkir ke samping dan jangan mengeluarkan suara.”
“Aku tahu.”
“Baik, mari kita segera berangkat.”
Mereka berjalan sangat lambat, berjalan sangat hati-hati, setiap kali tiba di sebuah tikungan jalan, Tong Hoa selalu menyelinap maju lebih dulu untuk mengintai apakah ada penjaga yang berjaga di situ. Tingkah lakunya sangat sungguh-sungguh, seolah-olah dia memang sedang melarikan diri.
Setelah meninggalkan jantung wilayah Keluarga Tong... kebun tempat tinggal, mereka berdua bergerak menuju ke kebun luas di luar tempat tinggal. Tempat itu merupakan hutan yang luas, di hutan itu pula Tio Bu-ki nyaris menemui ajalnya andaikata tidak diselamatkan orang-orang Bilek-tong tempo hari.
Wi Hong-nio tidak tahu akan hal ini, juga dia tidak tahu bahwa di balik hutan itu penuh dengan penjaga dan jebakan. Jangankan berilmu cetek, biarpun memiliki ilmu silat yang lebih hebat pun jangan harap bisa melewati tempat itu dengan mudah. Dia hanya merasa hutan itu menyeramkan, mendatangkan perasaan bergidik, apalagi di tengah malam buta dengan angin yang berhembus kencang, suasana terasa lebih mengerikan dan mencekam perasaan.
Saat ini Wi Hong-nio merasakan satu-satunya perasaan aman datang dari genggaman tangan Tong Hoa, genggaman yang hangat dan kencang.
Sepanjang perjalanan Tong Hoa selalu mengajaknya menelusuri jalan yang gelap sambil menggandeng tangannya. Tangan Tong Hoa bukannya menjadi dingin dan kaku lantaran tegang, sebaliknya justru terasa hangat yang luar biasa, kehangatan yang membuat Wi Hong-nio memperoleh kembali rasa percaya dirinya.
Mereka berjalan dengan menyusur di sepanjang tepi pepohonan. Kurang lebih tigapuluh kaki kemudian, ketika mereka baru saja meninggalkan sisi sebatang pohon, mendadak dari atas pohon meloncat turun dua sosok manusia berbaju hitam.
“Siapa di situ?” hardik orang berbaju hitam itu lantang. Buru-buru Tong Hoa menarik tangan Wi Hong-nio agar menempel tubuhnya lebih dekat, lalu sambil memeluk bahu kiri
perempuan itu sahutnya, “Aku, Tong Hoa!”
“Sudah larut malam, mau apa kalian kemari?”
“Malam ini sangat indah dan tenang, bukankah saat paling tepat untuk berjalan santai sambil berbincang-bincang?” sahut Tong Hoa sambil menggerakkan tangan kanannya yang mendadak dihantamkan ke dada kanan orang itu.
Bersamaan dengan dilepaskannya pukulan, dia dorong tubuh Wi Hong-nio ke samping sambil bentaknya nyaring, “Menyingkir!”
Dengan cepat pukulan itu meluncur ke depan dan menghajar dada orang itu dengan telak. Tanpa sempat menjerit kesakitan, orang itu memuntahkan darah segar kemudian roboh terkapar ke belakang.
Melihat itu, orang berbaju hitam yang ada di sebelah kiri segera menggetarkan pedangnya, langsung menusuk tubuh Tong Hoa. Meminjam sisa tenaga pantulan dari pukulan yang dilepaskan tadi Tong Hoa mundur selangkah, tusukan pedang yang datang dari sisi kiri pun mengenai tempat kosong.
Begitu mundur Tong Hoa segera menjejakkan sepasang kakinya dan melambung ke udara, dia terkam orang berpedang itu sambil melepaskan sebuah pukulan lagi, langsung dihantamkan ke dada kiri orangku.
Orang itu segera menggeser tubuhnya dua langkah ke kanan, sesudah lolos dari serangan, pedangnya secepat kilat membentuk garis lingkaran kecil untuk mengurung serangan Tong Hoa, lalu dengan mengubah babatan jadi tusukan, dia mengancam kening.
Dengan gesit Tong Hoa menghindar ke samping, berkelit dari tusukan itu. Tapi gerak serangan itu mendadak berubah dari tusukan menjadi bacokan, “wesss” langsung membabat baju bagian kiri yang dia kenakan.
Tong Hoa mendengus dingin, di saat pedang lawan membabat ujung bajunya, secepat kilat telapak tangan kanannya membabat keluar, “ploook!” sebuah bacokan telak menghajar dada kiri orang itu.
Tak ampun lelaki berbaju hitam itu muntah darah segar dan... “blaaam!” tubuhnya roboh terkapar ke belakang.
Buru-buru Wi Hong-nio memburu ke depan sambil menegur penuh rasa kuatir, “Kau terluka?”
Tong Hoa tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya segera berseru, “Ayo cepat, kita segera tinggalkan tempat ini!”
Ia menarik tangan perempuan itu dan kabur dengan menelusuri tepi pepohonan yang lebat.
Setelah tiba di ujung hutan, Tong Hoa baru menghentikan larinya sambil menarik napas panjang.
“Kau terluka?” kembali Wi Hong-nio bertanya dengan nada
kuatir.
Saat itulah Tong Hoa baru menundukkan kepalanya untuk
memeriksa. Wi Hong-nio turut mendekat sambil memeriksa, tapi ia segera menjerit kaget.
Ternyata baju sebelah kiri Tong Hoa telah basah oleh noda darah, bahkan darah masih mengalir keluar dengan derasnya, jelas luka yang dideritanya tidak ringan.
“Ah, tidak apa-apa, kau tak perlu kuatir,” sahut Tong Hoa kemudian sambil tertawa.
“Tidak apa-apa?” seru Wi Hong-nio, “Begitu banyak darah yang mengalir keluar, mana mungkin tidak apa-apa?” “Tidak sakit, sama sekali tidak sakit, paling hanya sedikit luka lecet,” ujar Tong Hoa lagi sambil berusaha menekan mulut lukanya yang berdarah.
Tentu saja dia tidak merasa sakit karena segala sesuatunya hanya pura-pura, semuanya palsu, termasuk darah yang berceceran pun bukan darah asli. Satu-satunya yang benar dan asli hanya pakaiannya yang robek karena sambaran pedang tadi.
Sudah barang tentu Wi Hong-nio tidak tahu rahasia di balik sandiwara itu, dia beranggapan semua kejadian tadi sungguh- sungguh, maka dengan nada sangat cemas kembali ia berseru, “Bagaimana sekarang? Ayoh kita cari tempat untuk merawat dulu lukamu itu!”
Tong Hoa merobek bajunya yang tersayat itu kemudian dililitkan ke atas lengannya yang terluka, setelah membuat ikatan, dia baru menjawab, “Tidak apa-apa, yang penting kita harus segera pergi meninggalkan tempat ini!”
“Benar tidak apa-apa?”
“Benar!” sahut Tong Hoa, setelah berhenti sejenak tambahnya, “andaikata lukaku amat parah, bagaimana dengan kau?”
“Kita pun tak usah pergi meninggalkan tempat ini, kita rawat dulu lukamu baru kemudian membuat rencana lain.”
Mendengar jawaban tersebut Tong Hoa tertawa, tertawa penuh kepuasan. Dia merasa telah berhasil memancing rasa simpati Wi Hong-nio terhadap dirinya.
“Ai... sejujurnya aku pun merasa kasihan menipu perempuan polos seperti ini,” demikian Tong Hoa berpikir sambil menghela napas. Tapi dalam hati kecilnya, “Apa mau dikata, ia justru jatuh ke tangan kami orang-orang Keluarga Tong!”
Walau berpikir begitu, di luarnya kembali ia bertanya, “Seandainya kita balik dan ketahuan?”
“Lemparkan saja semua tanggung jawab kepadaku!” jawab Wi Hong-nio tanpa berpikir panjang.
“Kau anggap orang-orang Keluarga Tong percaya pada pengakuanmu?” seru Tong Hoa tertawa.
Seketika itu juga Wi Hong-nio bungkam. Sebab dia hanya tahu berpikir menuruti suara hati sendiri, tentu saja dia tak bisa membayangkan apa yang dipikirkan orang lain.
Menyaksikan hal ini, Tong Hoa kembali berkata, “Sudah, jangan bodoh, aku sudah berjanji akan membawamu pergi, apa pun yang terjadi aku akan tetap berusaha hingga berhasil, mari kita segera lanjutkan perjalanan kita!”
Habis berkata, dia menarik tangan perempuan itu dan melanjutkan kembali perjalanannya.
Tiba di ujung hutan tampaklah pintu gerbang Benteng Keluarga Tong terpampang di depan mata, saat itu pintu dalam keadaan tertutup rapat, dua orang penjaga sedang berjaga di depan benteng.
Dengan suara lirih Tong Hoa berbisik, “Waktu aku meledakkan Peklek-tong dengan bahan peledak nanti, harap kau bersembunyi agak jauh. Begitu meledak, kau segera lari menghampiri aku karena waktu itu aku akan membukakan pintu untukmu. Ingat! Segala sesuatunya harus dilakukan dengan cepat!”
Wi Hong-nio manggut-manggut tanda mengerti, maka dengan berlagak amat tegang perlahan-lahan Tong Hoa berjalan mendekati pintu gerbang.
Melihat ada orang berjalan mendekat, dua orang penjaga pintu itu segera menghardik, “Siapa di situ?”
“Aku, Tong Hoa!”
Sambil menjawab Tong Hoa mempercepat langkahnya menerobos lewat dari pintu.
Tampaknya kedua orang penjaga itu seperti ingin menanyakan sesuatu, baru saja mereka membuka mulutnya, obat peledak di tangan Tong Hoa sudah dilemparkan ke depan.
“Blaaam!” ledakan keras menggelegar di angkasa, debu dan pasir segera memenuhi pandangan, membuat Wi Hong-nio tak bisa melihat apa-apa.
Biar begitu, dia menuruti pesan Tong Hoa tadi, begitu pintu gerbang terbuka, dia segera berlari menerobos pintu gerbang.
Di tengah gulungan asap yang tebal, dalam waktu singkat ia sudah tiba di depan pintu gerbang, ia melihat Tong Hoa sedang menggapai ke arahnya. Mempercepat larinya, ia lari ke samping Tong Hoa untuk kemudian bersama-sama kabur keluar dari pintu benteng.
Menanti Tong Hoa menutup kembali pintu gerbang benteng, dengan napas tersengal, barulah ia berkata lagi kepada Wi Hong-nio, “Kembali kita berhasil meloloskan diri dari satu pos rintangan!”
Sebetulnya Wi Hong-nio mengira setelah berhasil kabur dari pintu kota, berarti mereka sudah selamat. Tetapi begitu mendengar Tong Hoa berkata kalau mereka kembali lolos dari satu pos penting, artinya masih ada rintangan berikut yang mesti dilewati, tak kuasa lagi ia bertanya, “Jadi kita belum aman?”
“Kita baru aman setelah melewati sebuah rintangan lagi!” “Apakah lebih gampang untuk melewati rintangan itu?” “Lebih gampang? Lebih susah malah!”
Bagai diguyur sebaskom air dingin di kepalanya, untuk sesaat Wi Hong-nio berdiri tertegun. Baginya, pengalaman yang baru saja ia alami sudah sangat menyeramkan, seperti mengalami mimpi buruk. Ketika mendengar harus menghadapi rintangan lain yang lebih berat, jantungnya berdetak keras, ototnya pada mengejang lantaran tegang.
Dengan susah payah baru saja ia berhasil kabur dari pintu benteng dan sebentar lagi harus bersiap menghadapi ancaman baru, tak heran jika ia merasa amat gugup.
Menyaksikan perubahan wajah perempuan itu, Tong Hoa segera menghibur, “Kau tak perlu gugup, siapa tahu rintangan berikut dapat kita lewati dengan lebih mudah.”
“Kenapa?” tanya Wi Hong-nio keheranan.
“Sampai di tempat ini, boleh dibilang aku hapal sekali dengan keadaan dan lingkungannya. Tapi pada rintangan berikut kita mesti menghadapi empat orang, untunglah keempat orang penjaga itu sahabat karibku, siapa tahu dengan bujuk rayu dan sedikit berbohong, mereka mau percaya alasanku dan membiarkan kita lewat tanpa susah payah!”
“Kau yakin kita akan bertemu dengan mereka berempat?” “Sangat yakin!”
“Kenapa? Memangnya tak ada jalan lain kecuali jalan itu?” “Tidak ada, untuk meninggalkan Benteng Keluarga Tong,
siapa pun harus melewati jalan ini. Kecuali jalan ini, tempat ini dikelilingi tebing curam dan jurang yang sangat dalam.”
Tak terasa kembali Wi Hong-nio memperlihatkan perasaan waswas dan kuatirnya yang sangat mendalam.
Buru-buru Tong Hoa menghibur, “Kau tak perlu kuatir, kelihatannya perubahan cuaca yang akan terjadi hari ini akan menguntungkan kita!”
“Apa hubungannya dengan perubahan cuaca?” “Besar sekali,” Tong Hoa menerangkan, “keempat orang itu bukan atas kemauan sendiri berjaga di jalan tembus itu, mereka sedang menjalankan perintah.”
“Menjalankan perintah? Perintah siapa?”
“Tentu saja perintah dari Keluarga Tong. Menurut peraturan yang berlaku di sini, bila mereka menemukan ada orang yang patut dicurigai meninggalkan benteng, maka mereka segera akan melepaskan kembang api sebagai tanda bahaya, warna kembang api balasan yang dilepas dari dalam benteng merupakan jawaban yang harus mereka lakukan, warna tertentu pertanda orang itu hanya cukup dihalau dan warna lain menandakan orang itu harus dibunuh!”
“Kungfu mereka sangat tangguh?” “Tangguh sekali!”
“Kau sanggup mengalahkan mereka?” “Tidak!”
“Kalau begitu lebih baik kita balik saja, buat apa mesti menyerempet bahaya?”
“Tidak, kita harus mencoba untuk mengadu untung.” “Mengadu untung?”
“Benar, cuaca hari ini amat jelek, tidak cocok untuk melepaskan kembang api. Bahkan kalau mereka paksakan untuk meluncurkan kembang api pun belum tentu bunga apinya terlihat dari dalam benteng dan selama pihak Keluarga Tong tidak melihat ada tanda kembang api, berarti besar kesempatan kita untuk berhasil!”
“Sungguh?”
“Sungguh! Coba lihat,” Tong Hoa segera merentangkan telapak tangannya, “Coba lihat, apa yang ada di telapak tanganku ini?” Wi Hong-nio bukan hanya dapat menyaksikan, dia malah ikut merasakan.
Air hujan. Ternyata hujan mulai turun.
Dalam keadaan demikian, sebodoh apa pun Wi Hong-nio juga mengerti apa yang akan terjadi. Begitu hujan turun, apalagi hujan lebat, mustahillah kembang api bisa meledak di udara. Jelas saat ini merupakan kesempatan yang sangat baik bagi mereka.
Tiba-tiba ia saksikan wajah murung dan sedih menyelimuti wajah Tong Hoa. Melihat itu Wi Hong-nio segera menegur, “Ada apa lagi? Kenapa kau mendadak sedih dan murung? Bukankah kesempatan telah tiba?”
“Aku kuatir, kalau hujan turun semakin deras, kita mau berteduh di mana?”
Tak kuasa lagi Wi Hong-nio tertawa cekikikan. “Apa perlunya berteduh dari air hujan? Bukankah melarikan diri jauh lebih penting?”
“Tidak, berteduh dari hujan lebih penting!”
“Kenapa? Biar kehujanan pun belum tentu kita akan jatuh sakit.” “Aku bukannya takut sakit.” “Lalu apa yang kau takuti?”
“Aku kuatir keempat penjaga di depan curiga pada tingkah laku kita berdua!
“Apa yang mereka curigai?”
“Adakah orang keluar kota di tengah malam yang sedang hujan lebat?”
“Rasanya memang tidak ada!”
Wi Hong-nio tahu, tubuh mereka tidak boleh berbekas hujan, akibatnya tidak jauh berbeda dengan melepaskan kembang api di tengah malam buta.
Itulah sebabnya ia segera bertanya, “Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?”
Tetesan air huj an sudah makin membesar, kalau dilihat keadaannya, kemungkinan besar hujan akan turun semakin deras.
Pembicaraan ini mereka lakukan sambil tetap menelusuri jalan perbukitan, kini permukaan jalan mulai berlumpur dan semakin licin, untuk berjalan orang harus berjalan sangat hati-hati.
Tiba-tiba Tong Hoa berhenti, bisiknya, “Mari kita berjalan menuju ke atas sana!”
Ia menuding ke arah jalan setapak yang tidak terlalu kentara di sisi kiri jalan. Jalan itu dipenuhi rumput ilalang dan semak berduri, walau begitu, jelas pernah ada orang yang melewati tempat itu.
“Apakah di atas sana ada tempat untuk berteduh?” “Mestinya ada. Kalau aku tidak salah ingat, di atas itu
terdapat sebuah kuil Dewa Gunung yang sudah bobrok.” “Berarti kau pernah datang kemari?” tanya Wi Hong-nio
lebih jauh sambil berpegangan pada bahu Tong Hoa. “Belum, belum pernah!”
Setelah berjalan kira-kira sepembakaran sebatang hio, air hujan yang sangat deras telah membuat mereka berdua basah kuyup.
“Ah, ternyata benar, lihat ke sana!” mendadak Tong Hoa berseru.
Tanpa berteriak pun Wi Hong-nio juga telah melihat sebuah bangunan kayu yang gelap gulita berdiri lebih kurang sepuluh tombak di depan.
Mereka mempercepat langkahnya ke sana, ketika Tong Hoa mendorong pintu dengan sekuat tenaga, pintu kuil pun segera terbuka. Kedua orang itu langsung masuk ke dalam ruangan dan Tong Hoa membuat api unggun.
Ruangan kuil luas tapi kering, biarpun sudah bobrok, tapi tidak nampak ada bagian ruangan yang bocor. Bukan saja tidak basah, di sudut ruangan ada setumpuk kayu bakar. Tong Hoa berteriak kegirangan, ia segera memburu ke sana, memindahkan papan kayu ke tengah, lalu dengan pedangnya dia memotong- motong kayu itu menjadi kecil-kecil, setelah itu baru menyulut api untuk membuat api unggun.
Tak lama kemudian api unggun telah menyala. Mereka duduk di sisi api, menggunakan tangannya untuk membesut air dan mengeringkan pakaian mereka yang basah kuyup.
Lebih kurang setengah jam kemudian, pakaian yang mereka kenakan mulai mengering, Tong Hoa segera bangkit lagi untuk mengambil kayu, membelahnya jadi kecil-kecil dan menambahkan ke dalam onggokan api unggun.
“Kemarilah, duduklah dekat dinding,” katanya kepada Wi Hong-nio.
“Kenapa?”
“Kau bisa duduk lebih dekat di sini.”
Wi Hong-nio sangat terharu menyaksikan perhatian yang ditunjukkan pemuda itu, ia tersenyum dan segera bergeser duduk di sisi dinding.
Sementara itu hujan semakin deras diikuti suara guntur yang menggelegar, hembusan angin yang kencang dan kilatan petir membuat suasana amat menakutkan. Tiba tiba Wi Hong-nio bangkit berdiri. “Kenapa kau? Takut dengan guntur?” Tong Hoa segera menegur.
“Tidak, tiba-tiba saja aku ingat sesuatu,” sahut perempuan itu. “Urusan apa?”
“Kita harus segera meninggalkan tempat ini!” “Kenapa?”
“Saat ini hujan turun sangat deras disertai guntur dan petir, bukankah keadaan ini merupakan kesempatan yang paling baik untuk melarikan diri?”
“Dari mana kau bisa berpendapat begitu?”
“Bukankah kau pernah berkata bahwa ada empat orang yang menjaga jalan tembus ini? Dalam cuaca seperti ini, masa mereka tidak mencari tempat untuk berteduh dari hujan?”
“Tidak mungkin.” Jawaban Tong Hoa tegas dan meyakinkan. “Kenapa?”
“Sebab tugas ini adalah tanggung jawab mereka berempat.” “Tanggung jawab bisa dimengerti, tetapi dalam cuaca
seperti ini, masa mereka akan bertahan basah kuyup dan membiarkan badannya tertimpa air hujan serta resiko disambar petir?”
“Kalau sampai tersambar petir, itu sudah resiko mereka!” “Benarkah begitu?”
“Kalau orang lain mungkin aku tidak berani menjamin, tapi aku tahu pasti mengenai mereka berempat, dugaanku tak bakal salah!”
“Jadi menurutmu, mereka tetap akan berdiri di alam terbuka meski dalam keadaan hujan badai?”
“Ya!”
“Dari mana kau bisa tahu?”
“Tak usah dipikir lebih jauh pun segalanya sudah jelas.
Cuaca seperti ini merupakan kesempatan emas bagi mereka yang ingin melarikan diri, siapa pun orangnya, mereka pasti akan memanfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya. Keempat penjaga itu bukan orang bodoh, sudah tentu makin buruk cuacanya, makin tinggi mereka tingkatkan kewaspadaan dan penjagaannya!”
“Oh ya?”
“Semua ini adalah aturan rumah tangga yang ditetapkan Keluarga Tong. Tentu saja tidak semua anggota Keluarga Tong pada generasi sekarang akan taat pada peraturan itu, tapi bagi mereka dari generasi lalu akan tetap berpegang teguh pada peraturan.”
“Jadi keempat orang itu termasuk orang dari generasi lampau?”
“Betul, mereka adalah pengikut ayah Tong Ou, kesetiaannya pada Keluarga Tong tak perlu diragukan lagi. Mereka amat taat dan setia kepada tugas dan tanggung jawabnya.”
“Siapakah mereka itu?”
“Mereka adalah anak yatim piatu yang dibesarkan oleh Keluarga Tong, sejak kecil mereka sudah dididik ilmu silat oleh ayah Tong Ou. Mereka diberi nama Tong Hong, Tong Bwee, Tong Sang dan Tong Bian.”
Secara ringkas dia menceritakan asal-usul keempat orang itu beserta kehebatan ilmu silatnya. Ia juga menceritakan bahwa pada malam sebelumnya mereka berhasil menangkap Tong Sip-jit.
Selesai mendengar penuturan itu, sambil menjulurkan lidahnya, Wi Hong-nio bergumam, “Wah, tak kusangka mereka sehebat itu! Apakah kita sanggup menghindari mereka berempat?”
“Sulit, sulit sekali!” rasa sedih melintas di wajah Tong Hoa, “Biarpun begitu, kita harus tetap mencobanya.”
“Kurasa kita tak punya harapan,” bisik Wi Hong-nio sambil menggeleng.
“Apa dasarnya kau berpendapat begitu?”
“Bukankah kita sudah membunuh beberapa orang sewaktu keluar dari benteng? Bayangkan saja, peristiwa itu pasti sudah membuat geger seisi Benteng Keluarga Tong! Mereka pasti sudah mengirim peringatan kepada Tong Hong sekalian.”
“Perkataanmu memang benar. Hanya saja tak seorang pun tahu bahwa mereka dibunuh kita berdua!”
“Artinya kita masih punya harapan?”
Ingin sekali Tong Hoa memberitahunya bahwa harapan terbuka lebar. Untung saja ucapan tersebut segera ditelannya kembali karena mendadak ia teringat bahwa Wi Hong-nio cerdas dan perasa. Ia tak ingin membongkar rahasia sendiri melalui kata-kata yang tak terkendali.
Kalau saja perempuan itu sampai menaruh curiga, pelaksanaan rencana Naga Kemala Putih akan mengalami banyak hambatan dan kesulitan. Saat itu segulung angin kencang berhembus masuk melalui celah dinding yang berlubang, hembusan angin membuat daun jendela bergoncang keras dan menimbulkan suara nyaring.
Tong Hoa bangkit menghampiri jendela untuk menutup jendela itu lebih kencang, tapi hasilnya sebaliknya, daun jendela malah terlepas dan jatuh ke lantai.
Dengan perasaan jengah bercampur malu dia melemparkan sekulum senyuman ke arah perempuan itu. Kini jendela sudah terlepas, angin dan hujan yang berhembus masuk pun makin kencang, ini menandakan di luar badai sedang mengamuk.
Di seberang jendela adalah meja altar, di atas dinding belakang meja altar tergantung selembar lukisan dewa.
Angin kencang tiba-tiba menghempaskan lukisan di dinding itu, membuatnya menghantam dinding berulang kali dengan menimbulkan suara nyaring. Menyusul kemudian hembusan angin yang lebih kencang membuat lukisan itu rontok ke lantai.
Waktu itu Tong Hoa baru saja berhasil menutup kembali daun jendela yang rusak, hembusan angin pun seketika terbendung.
Ketika ia berpaling ke arah lukisan yang jatuh ke lantai itu, mendadak dia berseru tertahan.
Sebetulnya Wi Hong-nio pun sudah menaruh perhatian pada dinding bekas tempat lukisan itu tergantung. Seruan tertahan Tong Hoa membuat perempuan ini memperhatikan dengan lebih seksama.
Ia segera bangkit berdiri dan menghampiri kawannya.
Rupanya di dinding bekas menggantung lukisan itu ada tempelan tanah liat yang jelas kelihatan belum lama ditempelkan ke situ.
Dengan pedangnya Tong Hoa mencoba mengetuk dinding itu, seketika bergema suara pantulan yang nyaring.
Tong Hoa melirik Wi Hong-nio sekejap, lalu dengan sekuat tenaga digempurnya tempelan tanah liat itu, segera saja tempelan tanah itu berguguran dan muncul sebuah lubang. Ketika ia menggali lebih ke dalam maka tampaklah sebuah lubang besar yang cukup untuk dilalui oleh tubuh orang dewasa.
Cepat-cepat dia mengambil sebatang kayu dari onggokan api unggun sebagai penerangan, kemudian sekali lagi menengok ke balik gua itu. Seketika mereka berdua dibuat tertegun, kaget bercampur keheranan.
Lubang gua itu jelas buatan orang, selain rata dan teratur, permukaan tanahnya menjorok jauh ke bawah sana. “Apakah kita perlu memeriksanya?” tanya Tong Hoa kemudian.
“Tentu saja,” Wi Hong-nio mengangguk, “siapa tahu Thian memberi petunjuk kepada kita dan lorong ini merupakan jalan rahasia yang berhubungan dengan dunia luar.”
Padahal sejak awal Tong Hoa sudah tahu bahwa lorong rahasia itu menuju ke mana. Dia langsung menerobos masuk terlebih dulu, disusul Wi Hong-nio di belakangnya.
Setelah merangkak kira-kira tigapuluh kaki, tibalah mereka di dasar lorong. Ternyata ruangan itu jauh lebih lebar, cukup digunakan seseorang untuk berdiri, maka mereka berdua pun bangkit berdiri sambil memeriksa sekelilingnya.
Menyaksikan gua itu merupakan sebuah gua alam yang besar, Wi Hong-nio sangat girang, serunya lagi, “Entah lorong gua ini tembus sampai ke mana?”
“Aku tahu,” sahut Tong Hoa seakan baru teringat akan sesuatu.
“Apa yang kau ketahui?”
“Aku tahu gua ini menembus ke mana. Sewaktu masih kecil dulu pernah kudengar orang bercerita bahwa dalam Benteng Keluarga Tong ada sebuah lorong rahasia, tapi kemudian demi keamanan, lorong rahasia itu ditutup.”
“Kenapa harus ditutup?”
“Sebab bila semakin banyak yang tahu, suatu ketika rahasia ini pasti akan bocor. Jika kemudian dimanfaatkan musuh, bukankah urusan jadi berabe?”
“Kenapa tidak mengirim saja berapa orang jago untuk menjaganya?”
“Menggunakan penjaga banyak kelemahannya, pertama kau harus mempunyai jagoan yang bisa dipercaya. Kedua, kungfu yang orang itu harus tinggi, tapi yang paling menakutkan justru bila orang itu berkhianat atau dibeli pihak lawan, akibatnya bisa sangat mengerikan!”
Mereka berbicara sambil menelusuri lorong rahasia itu. Setelah berbelok beberapa tikungan, lorong itu berubah menjadi lurus dan menjorok ke bawah. Dengan sangat hati-hati mereka menuruni lorong itu, sekitar setengah jam kemudian terlihat cahaya terang muncul di ujung sana. Mereka segera mempercepat langkahnya menuju ke arah sumber cahaya itu, dan benar saja, cahaya fajar lamat-lamat tampak memancar masuk ke dalam lorong rahasia itu.
Tak lama kemudian mereka menemui semak belukar yang sangat rapat dan tebal. Jelas di balik semak itu adalah jalan keluar dari lorong.
Tong Hoa segera meloloskan pedangnya, sembari menyibak semak yang tebal, dia berjalan di depan.
Waktu itu hujan telah berhenti, suasana remang keabu- abuan meliputi seluruh langit. Setelah keluar dari gua rahasia itu, Wi Hong-nio baru menyadari bahwa mereka sudah berada di belakang bukit. Ketika berpaling ke belakang, ia mendapatkan tebing yang tegak lurus dan amat curam menjulang.
“Tebing ini adalah tebing penghalang yang kumaksudkan tadi,” Tong Hoa menjelaskan.
“Berarti kita sudah turun gunung?” seru Wi Hong-nio kegirangan.
“Betul,” pemuda itu mengangguk, “kita sudah berada di bawah gunung, bahkan tak usah melalui penjagaan keempat jago itu!”
“Bagus sekali!” pekik Wi Hong-nio sambil bertepuk tangan.
Tong Hoa ikut tertawa. Dia tertawa bukan karena berhasil lolos dari Benteng Keluarga Tong, ia mentertawakan kebodohan Wi Hong-nio, tertawa karena berhasil membohongi perempuan itu.
Sayang Wi Hong-nio sama sekali tidak menyadarinya.
Sementara itu Tong Hoa telah berkata lagi setelah memeriksa sekeliling tempat itu sebentar, “Aku rasa tidak sulit untuk menuruni bukit ini. Setibanya di kaki bukit dan berjalan satu-dua jam lagi, kita akan tiba di sebuah kota kecil, kita bisa beristirahat di sana.”
Wi Hong-nio sama sekali tidak memperhatikan perkataan itu, sebab dia sedang sibuk menghapalkan keadaan daerah sekitarnya.
Ia berencana, bila bertemu lagi dengan Bu-ki nanti, rahasia lorong ini akan diberitahukan kepadanya...
Berpikir sampai di situ, tanpa terasa perasaan sedih kembali menyelimuti hatinya. Sebagian lantaran dia teringat akan Bu-ki, sebagian lagi karena dia harus memperalat Tong Hoa untuk melarikan diri dari Benteng Keluarga Tong. Hal yang dulu-dulu tak nanti dia sudi perbuat! Tapi sekarang, dia telah melakukannya bahkan tanpa sengaja mendapat tahu tentang rahasia besar di balik lorong itu, dia merasa sedih karena rahasia tersebut terpaksa akan diberitahukan ke pihak Tayhong-tong agar bisa dipergunakan untuk kepentingan mereka. Kenyataan memang selalu kejam, tak heran jika dia merasa amat sedih.
Begitulah, dengan membawa rasa sedih dia mengintil di belakang Tong Hoa menuruni bukit itu. Tong Hoa tampaknya menangkap perasaan sedih perempuan itu, namun tak sepatah kata pun yang dia ucapkan. Ketika tiba di kota kecil, waktu sudah menunjukkan tengah hari, mereka pun segera menangsal perutnya yang lapar.
“Sekarang, pergilah tidur sebentar,” ujar Tong Hoa, “kita lanjutkan perjalanan kita menjelang malam nanti.” Wi Hong-nio manggut-manggut.
“Tapi kita harus kabur ke mana? Sampai di mana kita baru aman dari pengejaran?”
“Kini, Benteng Keluarga Tong telah berhasil merampas tiga markas besar Tayhong-tong, pengaruh serta kekuatan mereka kian kuat dan kian bertambah luas, aku rasa kita butuh menempuh perjalanan selama empat-lima hari lagi sebelum benar-benar mencapai tempat yang aman.”
“Maksudmu lolos dari lingkaran pengaruh Tayhong-tong?” “Betul, kalau tidak, setiap saat kemungkinan besar kita bisa
tertangkap lagi!”
Wi Hong-nio tidak berbicara lagi, dia tahu cemas atau panik tak akan menyelesaikan masalah, dalam keadaan seperti ini, apa yang bisa dilakukan adalah menjalaninya setapak demi setapak.