Bab 10. Sedih
Terharu memang suatu perasaan yang aneh dan menarik.
Ada orang yang terharu karena menyaksikan keindahan musim semi, ada orang terharu mengawasi daun berguguran di musim gugur.
Bahkan ada orang terharu melihat air hujan turun rintik-rintik. Perasaan terharu seperti ini belum pernah singgah dalam kehi¬dupan Bu-ki, sepanjang hidupnya ia tak pernah merasa terharu, apalagi sedih hati.
Ketika menikah dengan Hong-nio dan dia harus segera pergi meninggalkannya, ketika berpisah, dia sama sekali tidak merasa terharu atau duka, sebaliknya dia merasa begitu ringan, begitu lepas. Ini bukan karena rasa cinta terhadap istrinya terlalu tipis, dia menganggap semua kejadian itu hanya bagian dari perjalanan hidup seseorang, jadi tak berguna untuk terharu, apalagi sedih. Ketika ayahnya terbunuh, dia pun tidak merasa sedih, yang ada hanya sakit hati. Semua pekerjaan atau peristiwa pasti ada pertama kalinya, begitu juga soal sedih dan terharu, Tio Bu-ki pun tak bisa menghindar dari hal ini
Dihadapkan dengan mayat bergelimpangan di mana-mana, menyaksikan dinding benteng yang hancur berantakan, melihat ceceran darah kering yang menodai setiap sudut ruangan, mau tak mau Tio Bu-ki harus merasa terharu, merasa amat sedih, sebab mayat yang bergelimpangan di mana-mana itu tak lain adalah mayat saudara-saudaranya, anggota Tayhong-tong.
Siapa yang tidak sedih menyaksikan rumahnya, markasnya, negerinya, hancur berantakan karena perbuatan musuh besarnya? Mungkin ada manusia yang tak mudah sedih, seorang pertapa yang telah meninggalkan urusan duniawi.
Sayang Tio Bu-ki bukan pertapa, bukan pendeta. Boanliong- kok adalah rumahnya, negerinya, semua yang ada di situ adalah sahabatnya, saudaranya. Ya. Siapa yang tidak terharu? Siapa yang tidak duka menyaksikan semua itu?
Ooo)))(((ooo
Bulan lima tanggal empat, besok adalah hari Peh-cun, saat menikmati bakcang. Sayang saudara-saudara dari lembah Boanliong- kok tak sempat lagi mencicipi lezatnya hidangan itu.
Melangkah masuk ke dalam benteng, rasa sedih Tio Bu-ki bertam¬bah tebal dan berat. Ia dapat menyaksikan rumput hijau di depan rumah telah berubah menjadi merah darah, daun-daun bambu yang tergantung di sisi rumah, daun yang telah disiapkan untuk membuat bakcang, kini ternoda pula oleh percikan darah.
Tio Bu-ki nyaris tak bisa menahan diri untuk muntah, tapi ia berusaha mengendalikan diri. Dia memaksa isi perutnya yang sudah hampir keluar dari tenggorokan untuk ditelan kembali. Ia tak sanggup lagi menyaksikan pemandangan menyedihkan yang terbentang di depan matanya. Sambil memutar badan ia lari secepat-cepatnya, lari meninggalkan tempat itu. Dia berlari, lari
terus hingga napasnya tersengal-sengal, hingga napasnya sesak dan hampir tak mampu bernapas.
Sambil berpegangan pada sebuah pohon besar, ia berdiri dengan napas tersengal-sengal, isi perutnya terasa bergolak makin keras. Kali ini ia tak sanggup lagi menahan diri, seluruh isi perutnya tumpah keluar.
Kemudian dia berlari lagi, lari di bawah sinar matahari senja yang berwarna merah, semerah darah yang berceceran di seluruh permukaan bumi.
Rasa sedih yang luar biasa berubah menjadi sakit hati dan marah. Dia ingin sekali berteriak sekeras-kerasnya, namun tak sepatah pun suara yang keluar.
“Tong Ou, wahai Tong Ou. mengapa kau membohongiku?
Mengapa kau bilang penyerbuan baru dilakukan di hari Peh-cun?”
Hawa amarah yang menggelora dalam dadanya membuat dia hampir tak bisa mengendalikan diri, dia ingin sekali kembali ke Benteng Keluarga Tong, mencari Tong Ou dan membuat perhitungan berdarah dengannya. Tapi ia tidak berbuat begitu, dia tahu tindakan gegabah semacam ini bisa berakhir fatal. Dia mencoba menenangkan diri, mencoba berpikir lebih jernih.
Akhirnya setelah termenung beberapa waktu lamanya, ia berjalan kembali ke lembah Boanliong-kok, masuk ke rumah dan mengambil pacul serta sekop.
Di bawah sinar rembulan ia mulai menggali liang kubur di atas bukit, satu paculan demi satu paculan...
Entah berapa lama waktu sudah berjalan, entah seberapa dalam dia sudah menggali, seluruh tubuhnya telah basah kuyup, sepasang tangannya mulai linu dan sakit, otot-ototnya terasa mengejang keras. Tapi ia tidak memperdulikan itu semua, ia seakan tak tahu waktu, tak tahu lelah, galian demi galian dikerjakan terus tanpa henti.
Kemudian sesosok demi sesosok semua mayat itu diturunkan ke dalam liang, lalu dia menimbunnya dengan tanah hingga rata.
Ketika semua pekerjaan telah selesai, baru ia memotong sebatang pohon, menjadikannya selembar papan dan dengan menggunakan sebilah pisau diukirnya beberapa huruf sebagai nisan:
“Di sinilah saudara-saudaraku dari Tayhong-tong beristirahat.”
Setelah lama mengamati kuburan itu, dia baru membalikkan badan, melompat naik ke atas kuda dan melarikannya kencang- kencang meninggalkan tempat itu. Tio Bu-ki tak ingin beristirahat, yang berkecamuk dalam benaknya kini hanya bagaimana caranya tiba di markas besar Tayhong-po secepat mungkin.
Dia boleh saja melupakan lelah, namun kuda ada saatnya untuk lelah juga. Mau tak mau Tio Bu-ki harus beristirahat mengikuti kuda tunggangannya, ketika sang kuda minum, dia ikut minum, ketika sang kuda merumput, dia juga menangsal perut dengan rangsum keringnya.
Tengah hari kedua, akhirnya dengan wajah penuh debu tibalah dia di markas besar Tayhong-po.
Untuk kedua kalinya perasaan sedih harus bergolak kembali dalam dadanya. Pemandangan menyedihkan yang serupa sekali lagi terpampang di depan matanya. Mengawasi semua ini dia hanya bisa duduk terpaku di atas pelana, sama sekali tak bergerak.
Lama kemudian ia baru melompat turun dari kudanya, tanpa sadar tangannya meraih cangkul dan sekop yang ada di atas pelana.
Dia tak mengira bahwa alat yang dibawa tanpa sengaja itu sekarang harus digunakan lagi untuk membereskan kejadian yang sama.
Dia tak mengira kehadirannya kali ini hanya menjadi tukang kubur, khusus untuk mengubur mayat saudara-saudaranya.
Tak terasa pikirannya mulai melayang ke Benteng Siangkoan, benteng tempat tinggal Sangkoan Jin.
Apakah keadaan di sana juga tidak berbeda dengan pemandangan di sini?
Tong Ou berkata akan menyerang satu di antara ketiga tempat itu, nyatanya sekarang dia telah menyerang ketiga tempat itu sekaligus.
“Hebat betul bangsat ini,” Tio Bu-ki mulai berpikir dengan kepala lebih dingin, “Entah apa lagi langkah berikut Tong Ou?
Sebelum melaksanakan pertarungan melawanku, mungkinkah dia akan menyerang markas-markas lain Tayhong-tong?”
Sambil masih berpikir, dia sudah masuk pintu gerbang benteng Tayhong-po. Setelah mengambil cangkul dan sekop dia kembali mulai menggali untuk mempersiapkan liang kubur bersama.
Sambil menggali, dia mulai berpikir, apa yang harus dilakukan selanjutnya? Menuju ke benteng Siangkoan atau langsung pulang ke rumahnya? Membayangkan rumahnya sendiri, rasa sedih dan pedih segera berkecamuk dalam hatinya.
Selesai mengubur mayat rekan-rekannya, ia menuju ke gudang arak, mengambil satu guci dan meneguknya dengan lahap.
Habis satu guci, dia membuka guci yang lain dan meneguk lagi dengan lahap, dia menenggak terus arak dalam guci hingga kelopak matanya terasa berat, tak mampu dipentang lagi dan akhirnya roboh tertidur.
Hidangan lezat, arak wangi, perjamuan pesta yang diselenggarakan dalam Benteng Keluarga Tong malam itu sangat meriah dan penuh kegembiraan.
Di sekeliling meja hanya duduk empat orang: Tong Ou, Tong Koat, Lo-cocong dan Sangkoan Jin.
Wajah keempat orang itu penuh dengan senyum, mereka saling memberi selamat, saling mengangkat cawan dan menenggak habis isinya.
Tentu saja ada alasan kuat bagi mereka untuk bergembira. Sebab sekarang adalah malam tanggal empat bulan lima, merpati pos pertama telah kembali dari lembah Boanliong-kok membawa kabar gembira.
Dengan pandangan mata yang sangat teliti Tong Ou memperhatikan senyuman yang menghiasi wajah Sangkoan Jin. Dia berharap bisa membedakan senyuman itu adalah senyum kegembiraan yang benar-benar muncul dari lubuk hatinya atau senyum kegembiraan yang dibuat-buat.
Sayang ia tak berhasil menemukan perbedaan itu. Dengan sendirinya dia pun tak yakin apakah Tong Sip-jit memang satu komplotan dengan Sangkoan Jin, atau dia memang sengaja memfitnah menjelang kematiannya.
Sangkoan Jin sendiri meski belum tahu kalau Tong Sip-jit telah mati, tetapi dia mempertaruhkan rasa percaya dirinya yang besar dan bakat serta kemampuannya bersandiwara. Dia percaya semua orang yang hadir tertipu oleh senyumannya, mengira dia benar-benar merasa sangat gembira.
Padahal di hati kecilnya yang paling dalam ia merasa amat sedih, amat sakit hati.
Latihannya selama bertahun-tahun, pergaulannya yang panjang dengan berbagai jenis manusia membuat dia mahir bersandiwara. Dia bisa menampilkan sisi yang berbeda, antara tampilan wajah dengan apa yang sedang dipikirkannya.
Maka ketika merpati pos kedua datang memberitakan tentang hancurnya markas besar Tayhong-tong, Sangkoan Jin justru tertawa makin keras, tertawa makin gembira. Dia seolah-olah sudah menjadi bagian dari Benteng Keluarga Tong, ikut bergembira karena keberhasilannya menghancurkan Tayhong-tong.
Bukan cuma tertawa gembira, dia bahkan bisa menjilat pantat dengan berkata kepada Tong Ou.
“Tong toa-kongcu memang hebat mengatur strategi perang, bisa memilih saat menjelang Pehcun untuk melan carkan serangannya. Mana mungkin orang-orang Tayhong-tong bisa menduga sampai ke situ? Ha ha ha ha... aku percaya berita gembira tentang runtuhnya benteng Siangkoan segera akan kita terima!” Tong Ou tertawa terbahak-bahak.
“Ha ha ha ha... Siangkoan-sianseng kelewat memuji.
Padahal dalam satu hal aku merasa bersalah kepadamu.” “Mengenai apa?”
“Bukankah aku sempat berunding denganmu tentang akan melancarkan serangan pada hari Peh-cun?”
“Ah, itu bukanlah langkah yang keliru, aku percaya Tong toa-kongcu punya pandangan yang jauh ke depan. Siapa tahu bila penyerangan dilakukan besok, kerugian pihak kita akan lebih banyak!”
“Ya, aku pun berpendapat begitu, maka serangan kulancarkan lebih awal. Maaf kalau tidak kurundingkan dahulu dengan Siangkoan-sianseng!”
“Kau terlalu memujiku, dalam hal semacam ini aku justru harus banyak mendengar petunjuk dan perintahmu.”
Kedua orang itu saling bertukar pandangan sekejap, kemudian mendongakkan kepala dan tertawa tergelak-gelak.
Di hati kecilnya Tong Ou merasa amat bangga, merasa sangat puas dengan apa yang telah dilakukannya. Setelah menenggak satu cawan arak, ia kembali melanjutkan, “Bila berita tentang runtuhnya Benteng Siangkoan tiba nanti, tahukah Siangkoan-sianseng, apa yang akan kulakukan?”
“Apakah itu?”
“Akan kuhadiahkan Benteng Siangkoan untukmu!” “Aaah? Sungguh?” “Tentu saja sungguh-sungguh!”
“Mengapa?” Sangkoan Jin kelihatan sedikit keras, bukan merasa gembira tetapi karena luapan amarah, “Aku baru keluar dari tempat itu, mengapa sekarang harus balik lagi ke sana?”
“Siangkoan-sianseng jangan salah paham, kedudukanmu di Benteng Siangkoan-po pada masa Tayhong-tong sudah pasti amat berbeda Siangkoan-po di masa Keluarga Tong yang berkuasa...”
Sangkoan Jin tidak bertanya apa-apa lagi, dia hanya mengawasi wajah Tong Ou tanpa berkedip, menunggu ia menyelesaikan perkataannya.
“Aku menitikberatkan pertarungan di Benteng Siangkoan-po, karena itu aku mohon Siangkoan-sianseng mau ke sana untuk memegang komando sambil mengatur semua persiapan dan strategi dalam menghadapi pertarungan akbar ini!”
Sangkoan Jin tertawa, tertawa begitu riang, begitu gembira.
Sambil mengangkat cawan katanya kepada Tong Ou, “Mari aku menghaturkan secawan arak untukmu! Sejak bergabung dengan Benteng Keluarga Tong, hari seperti inilah yang selalu aku nantikan, aku memang berharap bisa langsung terlibat dalam kegiatan pembasmian Tayhong-tong!”
“Mengapa kau begitu membenci Tayhong-tong?” sela Lo- cocong tiba-tiba, “Sejak bergabung dengan kami aku belum pernah menanyakan hal ini padamu.”
“Mengapa?” Sangkoan Jin mendengus keras-keras, “Bayangkan saja, ketika membangun Tayhong-tong, jasa siapakah yang paling besar? Kau tahu itu?”
Sorot matanya dialihkan ke wajah Tong Koat. “Tentu saja jasa Siangkoan-sianseng!” jawab Tong Koat cepat. “Betul,” ujar Sangkoan Jin lebih jauh, “tapi kenyataannya, kenapa kedudukanku hanya seimbang dengan posisi Tio Kian dan Sugong Siau-hong?
Dalam berbagai pertempuran besar maupun kecil, hanya aku dan para tongcu yang melakukannya, sementara Tio Kian dan Sugong Siau-hong hanya duduk-duduk di benteng menjaga keamanan. Atas dasar apa mereka justru duduk berimbang denganku?”
“Ya, itu tidak adil namanya!” seru Tong Koat menimpali. “Sudah terlalu lama aku harus menahan diri, menerima semua ketidakadilan ini!” semakin berbicara Sangkoan Jin semakin bersemangat dan nada suaranya makin keras. Kembali seorang pengawal masuk membawa selembar kertas yang dibawa pulang merpati pos, surat itu lalu diserahkan kepada Tong Ou. Selesai membaca surat itu Tong Ou, menyerahkannya kepada Lo-cocong.
Sambil tertawa Lo-cocong membaca isi surat itu, kemudian ia menyerahkan surat tadi ke tangan Sangkoan Jin sembari berkata, “Kuucapkan selamat untukmu, akhirnya apa yang kau impikan terwujud juga!”
Sangkoan Jin ikut tertawa, ia tidak membaca isi surat tersebut karena sudah menduga kalau isinya hanya pemberitahuan bahwa Benteng Siangkoan-po telah jatuh. Dia tertawa dengan penuh kegembiraan, namun di hati kecilnya ia amat menderita, amat tersiksa, merasa teramat sedih.
Dari sekian banyak orang yang berada dalam Benteng Keluarga Tong, hanya satu orang yang secara terang-terangan mengutarakan perasaan sedihnya atas berita gembira itu. Dia tak lain adalah Wi Hong-nio.
Ooo)))(((ooo
Tong Hoa adalah orang yang mendapat perintah untuk melaksanakan rencana Naga Kemala Putih. Langkah pertama yang harus dijalankan dalam rencana besar itu adalah memperoleh kepercayaan Wi Hong-nio.
Oleh karena itu sejak sore hari dia sudah berada bersama Wi Hong-nio dan tentu saja menemaninya juga makan malam.
Berita tentang keberhasilan mereka menghancurkan semua benteng pertahanan Tayhong-tong tersiar keluar setelah disampaikan ke tangan Lo-cocong. Hampir semua anggota Benteng Keluarga Tong mendengar dan mengetahui kabar itu.
Sewaktu berada di dapur itulah Siau-tiap mendengar kabar berita itu, tak heran kalau dia pun menyampaikan kabar itu sewaktu menghidangkan makan malam.
Tong Hoa yang mendengar berita itu tentu merasa gembira sekali, namun ketika dilihatnya paras muka Wi Hong-nio menampakkan perasaan sedih yang mendalam, dia serta merta ikut menampilkan perasaan sedih dan duka juga.
“Kau seharusnya gembira mendengar berita ini,” tegur Wi Hong-nio tanpa sadar. “Aku tahu.”
“Lalu, kenapa kau ikut bermuram durja?”
“Karena melihat wajahmu, aku dapat merasakan pula perasaan hatimu.”
Wi Hong-nio jadi sangat terharu setelah mendengar perkataan itu, untuk sesaat dia tak tahu apa yang harus diucapkannya.
“Hei, kenapa kau?” kembali Tong Hoa menegur.
Setelah termenung beberapa saat barulah Wi Hong-nio menyahut, “Ternyata kau seorang yang sangat baik...”
Tong Hoa tersenyum. “Aku memang orang baik, bahkan aku punya kabar yang lebih baik lagi untukmu...”
“Apakah itu?”
“Mengajakmu pergi meninggalkan tempat ini!” “Sungguh?”
“Sungguh!”
“Kau tidak takut menyerempet bahaya?” “Apa pun tidak kutakuti!”
Wi Hong-nio benar-benar terharu, ditatapnya wajah Tong Hoa sesaat dengan penuh arti.
“Malam ini juga akan kuajak kau pergi meninggalkan tempat ini,” ujar Tong Hoa lagi sambil tersenyum.
“Malam ini juga? Apa tidak terlalu tergesa-gesa?” “Tidak, tidak mungkin.”
“Kenapa?”
“Sebab aku telah mempersiapkan rencana ini seharian penuh.” “Oh ya?”
“Sejak tadi malam sampai sekarang, aku terus menerus memikirkan persoalanmu. Kupikir, untuk menyatakan kedalaman cintaku kepadamu, aku mesti melakukan sesuatu dan kuambil satu keputusan yang cepat.”
Saking terharunya hampir saja air mata jatuh bercucuran membasahi wajah Wi Hong-nio.
Melihat sikap gadis itu, Tong Hoa sadar kalau perkataannya telah membuat perempuan itu terharu. Dia semakin sadar, dengan watak Wi Hong-nio seperti itu, tidak sulit baginya untuk melaksanakan rencana Naga Kemala Putih. Maka katanya lebih jauh, “Oleh sebab itu telah kuputuskan untuk membawamu kabur dari sini. Kau mesti tahu, membawamu kabur dari sini adalah kesalahan dengan dosa yang amat besar bagiku.”
“Aku mengerti.”
“Seandainya usaha kita untuk kabur mengalami kegagalan, itu artinya aku harus menghadapi kematian.”
“Aku mengerti, seandainya mereka tidak membunuhku, aku pasti akan mengingatmu sepanjang hidupku.”
“Sebaliknya jika usaha kita melarikan diri berhasil, selama hidup pun aku akan hidup dalam penderitaan, karena orang-orang Keluarga Tong akan mencap diriku sebagai pengkhianat, sebagai buronan yang wajib ditangkap dan dibunuh.”
“Kau sudah berpikir sampai ke sana?”
“Sudah. Seluruh anggota Keluarga Tong dari atas hingga ke bawah hampir semuanya tahu bahwa aku tergila-gila kepadamu. Jika kau pergi dari sini, mana mungkin aku tidak tahu?”
“Jadi kau lelap akan mengajakku pergi dari sini?” “Benar!”
“Tapi aku tidak bisa menjamin di kemudian hari akan tetap bersikap baik kepadamu.”
“Aku tahu. Aku memang orang yang gampang puas bila diberi sedikit kebaikan. Selama aku diberi kesempatan untuk selalu bisa melihat wajahmu, aku tidak mengharapkan yang lain.”
Kini perasaan terharu sudah lenyap dari hati Wi Hong-nio, sebagai gantinya ia merasa kasihan, iba pada pemuda itu.
Tiba-tiba dari hati kecilnya muncul pula perasaan sedih, bukan sedih karena kehancuran Tayhong-tong, tapi sedih karena mendadak ia teringat pada Tio Bu-ki. Perasaannya saat itu tepat sama seperti perasaan Tong Hoa, asal bisa bersama Bu-ki setiap saat, dia pun tidak mempunyai permintaan lainnya.
Tapi, banyak kejadian di dunia ini memang sukar terpenuhi sesuai dengan kehendak hati. Jangankan selalu bisa bersama, mau bertemu saja susahnya setengah mati!
Melihat perasaan pedih yang menyelimuti wajah Wi Hong- nio, tanpa terasa Tong Hoa menegur lagi, “Kau kenapa?”
Wi Hong-nio tertawa getir, jawabnya terus terang, “Tiba-tiba saja aku teringat pada Bu-ki!” Tong Hoa tak berkata apa-apa, namun dalam hati kecilnya timbul rasa hormat yang tinggi kepada perempuan ini. Diam-diam muncul perasaan sedih dan menyesal yang tak terhingga karena dia harus menipu seorang wanita polos yang baik hati dan berbudi luhur seperti ini.
Namun perasaan menyesal itu hanya melintas sekilas, dengan cepat ia tampil kembali dengan wajah dinginnya, wajah kaku ciri khas orang-orang Keluarga Tong.
“Huss, jangan sembarangan bicara!” serunya, “Cepat bersantap dan istirahat secukupnya, karena malam nanti kita akan berangkat,”
“Berangkat jam berapa?” “Lewat tengah malam.” “Kenapa harus waktu itu?”
“Karena saat itu adalah waktu orang tertidur nyenyak, waktu orang merasa paling mengantuk. Selewatnya orang akan merasa segar kembali dan dengan sendirinya kewaspadaan mereka pun meningkat kembali.”
“Apakah orang-orang Benteng Keluarga Tong selalu seperti itu?” “Benar.”
Maka Wi Hong-nio segera menghabiskan nasinya dengan lahap, malah dia makan agak banyak karena dia tahu ia harus makan cukup kenyang agar ia mendapatkan kondisi tubuh yang segar dan tenaga yang kuat untuk melarikan diri.
Selesai bersantap, sebelum meninggalkan tempat itu Tong Hoa berpesan lagi, “Tengah malam nanti aku akan datang membangunkanmu.”
“Baik.”