Bab 08. Menentukan Pilihan

Tiap manusia pada suatu saat akan menghadapi perasaan bimbang. Sebenarnya bimbang bukan sesuatu yang

menakutkan, yang paling menakutkan justru tidak menentukan pilihan di saat bimbang, sebab sekali kau telah mengambil keputusan, perasaan bimbang akan lenyap dengan sendirinya, tinggal kau laksanakan apa yang telah kau putuskan itu

Bu-ki juga manusia, tentu ada saat baginya untuk merasa bimbang, apalagi berada di depan simpang tiga, perasaan bimbang semakin mencekam perasaan hatinya. Jalan mana yang harus ia pilih? Kalau belok ke kiri, dia akan tiba di Benteng Sangkoan Jin yang saat ini dijaga oleh Kwik Koan-kun.

Jika belok ke kanan, dia akan sampai di lembah Boanliong- kok yang dijaga oleh Si Kiong. Sebaliknya jika ia berjalan lurus akan tiba di benteng yang dijaga Sugong Siau-hong. Kalau menurut aturan, seharusnya Bu-ki berjalan lurus, tapi yang dimaksud menurut aturan itu aturan siapa? Apakah aturan yang dibuat lantaran Wi Hong-nio sempat mencuri dengar perdebatan dua bersaudara Tong? Tepatkah berita hasil mencuri dengar itu? Tidak mungkinkah hanya sebuah jebakan?

Yang harus ditebak Bu-ki saat itu sebenarnya adalah masalah Tong Ou mau menyerang mana? Kalau berdasarkan jarak, maka lembah Boanliong-kok adalah tempat terdekat, menurut aturan mestinya Tong Ou menyerang lembah itu lebih dulu, apalagi Bu-ki sudah meninggalkan Benteng Keluarga Tong dan Keluarga Tong tampaknya sama sekali belum melakukan persiapan untuk melancarkan serangan. Jika Tong Ou ingin menyerang tempat yang lebih jauh mestinya mereka sudah berangkat jauh sebelum keberangkatan Bu-ki.

Tentu saja bisa jadi Tong Ou sudah melakukan persiapan jauh hari sebelumnya atau mungkin Keluarga Tong tak usah mengirim pasukannya karena di luar sudah ada banyak pasukan yang siap melakukan penyerangan. Sebenarnya Bu-ki sama sekali tidak percaya pada Tong Ou. Mustahil ada orang yang mau melepaskan musuhnya baru kemudian melancarkan serangan, apalagi ada kejadian yang begitu kebetulan ketika Wi Hong-nio sempat mencuri dengar berita penyerangan terhadap Tayhong-tong.

Mana mungkin merundingkan masalah serahasia itu secara begitu gegabah hingga kedengaran orang luar?

Kemungkinan besar berita penyerangan itu hanya berita palsu, berita itu hanya umpan agar Bu-ki masuk perangkap. Bu-ki mengambil keputusan untuk tidak pergi ke benteng Tayhong-tong. Haruskah dia pergi ke lembah Boanliong-kok? Ia merasa tempat ini yang paling mungkin diserang lebih dulu.

Bu-ki sudah menarik tali kudanya untuk belok ke kanan, tapi baru berjalan berapa langkah tiba-tiba ia berhenti, ia ingat akan Sangkoan Jin. Ke arah mana pun Tong Ou melancarkan serangan, Sangkoan Jin pasti akan mendampinginya, dia pasti berusaha untuk mengirim kabar tempat yang akan diserang supaya pihak Tayhong- tong bersiap-siap, betapapun sulitnya, dia percaya Sangkoan Jin pasti akan berusaha mengirim peringatan.

Selain itu masih ada satu hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu seandainya Sangkoan Jin berhasil mengirim peringatan dini hingga serangan yang dilancarkan Tong Ou mendapat perlawanan sengit atau bahkan gagal total, sudah pasti Tong Ou akan mencurigai Sangkoan Jin sebagai pembocor berita karena tidak ada orang lain lagi yang tahu sasaran penyerangannya. Atau seandainya berita itu diketahui orang-orang Tayhong-tong yang telah disuap Tong Ou, mereka pasti akan melaporkan kejadian itu sehingga Tong Ou tahu bahwa Sangkoan Jin yang membocorkan rahasia.

Sesudah dipikir pikir lagi, akhirnya Bu-ki memutuskan untuk tidak pergi ke mana pun, dia memilih untuk melenyapkan diri saja agar orang-orang Keluarga Tong tidak tahu ke mana perginya, dengan demikian seandainya berita serbuan itu bocor, Tong Ou akan mencurigai dia sebagai pembocor rahasia itu. Tong Ou pasti akan menduga dialah yang menyampaikan peringatan dini itu hingga pihak Tayhong-tong sempat melakukan persiapan.

Jika dirinya yang dicurigai, dengan sendirinya Sangkoan Jin akan terhindar dari kecurigaan. Tapi... bagaimana seandainya Sangkoan Jin tidak mengirim peringatan dini?

Bu-ki tidak menguatirkan hal ini, sebab dia tahu pertempuran ini adalah pertempuran besar yang akan menentukan mati hidupnya Tayhong-tong dan Keluarga Tong, tak mungkin Sangkoan Jin hanya berpeluk tangan belaka.

Diputuskannya untuk tidak pergi ke mana pun, ia memeriksa bekalnya dan tahu ia masih bisa bertahan lima hari, maka ia pun turun dari kudanya, lalu sambil menuntun kudanya ia menuju ke atas bukit.

Ooo)))(((ooo

Bagi Sangkoan Jin, ada saatnya juga ia merasa bimbang bercampur kuatir, tapi perasaan itu hanya sebentar saja, dengan kecerdasan serta pengalamannya selama ini, dengan cepat ia dapat mengendalikan diri serta segera mengambil keputusan. Tadinya ia merasa bimbang, haruskah ia mengirim peringatan dini kepada Si Kiong yang berada di Boanliong-kok? Hanya sejenak dan ia mengambil keputusan.

Sewaktu berbicara dengan Tong Ou tadi, waktu sudah menunjukkan menjelang sore hari dan pembicaraan baru selesai setelah jatuhnya senja. Waktu itu matahari sudah condong ke langit barat ketika ia meninggalkan tempat tinggalnya menuju ke tengah kota. Tiba di sebuah warung makan, ia pun segera mengambil tempat duduk. Di warung itu ada enam buah meja dan saat itu tepat waktu makan malam, tak heran kalau semua meja sudah ditempati orang.

Tempat duduknya pun baru saja dipakai orang. Ia memesan semangkok mie dan daging sapi, angsio daging sapi yang pedas sekali hingga saking pedasnya, sambil makan tak hentinya ia mengusap keringat yang jatuh bercucuran. Dia makan dengan sangat lambat, setiap utas mie seakan-akan harus dikunyah sampai lumat baru ditelan, oleh karena itu sewaktu ia selesai menghabiskan mienya, tamu-tamu lain sudah bubar. Di antara tamu yang baru datang, hanya satu yang kebetulan duduk semeja dengannya.

Tamu yang baru datang itu memakai baju berwarna abu- abu, wajahnya penuh cambang, tampang yang kasar. Cara makannya pun kasar sekali, mie semangkok besar dilahapnya sambil mengeluarkan suara berkecipak yang keras. Sangkoan Jin sudah bangkit berdiri siap membayar rekeningnya ketika melihat cara makan orang berbaju abu-abu itu. Dia memandang sekejap ke arah tauke warung lalu sambil tertawa menggeleng kepalanya berulang- ulang baru kemudian ia mengeluarkan uang dan dibayarkan ke pemilik warung.

Tiba-tiba terdengar orang berbaju abu-abu itu berteriak keras, “Aduh, celaka!”

Tanpa sadar Sangkoan Jin dan pemilik warung berpaling ke arahnya.

Tampak orang berbaju abu-abu itu sedang meraba-raba sekujur tubuhnya berulang kali, lalu teriaknya lagi, “Aduh celaka, aku lupa membawa uang!”

“Tampaknya kau datang dari tempat jauh ya?” tegur Sangkoan Jin sambil tertawa.

“Benar!” sahut orang berbaju abu-abu itu, “aku pedagang kain baru datang kemari dan tinggal di penginapan Ya-lay. Tauke, bagaimana kalau aku balik dulu ke rumah penginapan untuk mengambil uang?”

Sebelum pemilik warung bakmi itu menjawab, Sangkoan Jin telah berkata duluan, “Tidak usah, biar aku saja yang bayarkan!”

Kembali ia mengeluarkan sekeping uang dan diserahkan kepada pemilik warung itu.

Kemudian sambil menghampiri orang berbaju abu-abu itu, katanya, “Aku rasa kau tak usah buru-buru kembali ke rumah penginapan, hari Peh-cun hampir tiba, suasana di kota ramai sekali, ini ambillah uangku untuk digunakan dulu, besok baru kau kembalikan kepadaku, atau kau bisa serahkan uangnya kepada tauke ini, aku sering datang kemari!”

Kembali dia mengambil sekeping goanpo dan dilemparkan ke tangan orang berbaju abu-abu itu, lalu setelah tersenyum kepada pemilik warung, ia pergi meninggalkan tempat itu.

“Orang itu baik sekali,” puji orang berbaju abu-abu itu sambil memegang goanpo pemberiannya, “'tauke, apa dia adalah orang paling kaya di kota ini?”

“Oh bukan,” jawab pemilik warung mie, “dia adalah tamu kehormatan dari Benteng Keluarga Tong, dia punya nama besar yang amat tersohor, lebih baik tak usah kusebutkan daripada nanti setelah mendengar kau jatuh pingsan.”

“Baiklah,” kata orang berbaju abu-abu itu sambil mengangguk, “tidak tahu namanya juga tak mengapa, paling banter besok aku ganti mentraktirnya makan.”

“Besok belum tentu dia datang kemari.”

“Tidak apa-apa, aku akan meninggalkan uang lebih di tempatmu.”

“Terserah...”

Sambil menyimpan goanpo pemberian itu, kembali orang berbaju abu-abu itu berkata, “Tauke, sekarang aku mau mencari pipi licin dulu, sampai ketemu besok, melihat nasibmu yang lagi mujur, besok aku pasti akan kemari lagi untuk makan sampai kenyang.”

Habis berkata ia segera meninggalkan warung makan menuju ke keramaian kota. Ia berjalan lurus ke depan tanpa berpaling, padahal ia tahu ada orang sedang membuntutinya. Sejak ia duduk di warung sambil makan mie tadi ia sudah merasa ada seseorang mengawasi gerak-geriknya.

Orang-orang Keluarga Tong memang selalu menaruh perhatian khusus terhadap setiap orang asing yang muncul di kota itu. Sejak awal orang berbaju abu-abu itu sudah mengetahui hal ini, ia justru merasa kuatir jika tidak ada yang mengikuti.

Ia sengaja menuju ke rumah pelacuran yang paling ternama di kota itu, Li-cun-wan, lalu memanggil beberapa orang nona untuk menemaninya minum arak. Setelah lewat satu jam ia baru balik ke rumah penginapan. Setelah berada di kamarnya, barulah ia mengeluarkan beberapa keping perak hancur serta berapa biji goanpoo. Ternyata ia membawa uang!

Dia keluarkan goanpo pemberian Sangkoan Jin tadi, lalu mematahkan goanpo itu pada kedua ujungnya. Ketika goanpo itu patah menjadi dua bagian, dari dalam patahan itu muncul selembar kertas yang tipis sekali.

Setelah mengeluarkan kertas tipis itu, tanpa diperiksa lagi isinya dia mengeluarkan sebuah peti dari dalam buntalannya dan ketika peti selebar satu kaki itu dibuka, tampaklah sebuah kurungan bambu kecil, kurungan bambu itu berisi tiga ekor burung merpati. Saat itulah kertas tadi dibukanya, ternyata gulungan kertas itu terbagi jadi tiga bagian yang dilipat jadi satu.

Orang berbaju abu-abu itu tidak melihat isi surat itu, ia membagi surat itu jadi tiga kemudian mengikatkan pada kaki ketiga ekor burung merpati itu. Itulah tugas orang itu, ia sangat ahli dalam melatih burung merpati yang bisa terbang di waktu malam. Sejak rencana Harimau Kemala Putih dilaksanakan, ia selalu muncul dengan identitas yang berbeda-beda, sepuluh hari sekali dia muncul di situ. Tiap kali pasti makan mie disitu sambil menunggu berita dan sekarang ini adalah pertama kali ia menerima berita.

Orang ini she Gi bernama Pek-bin (Seratus Wajah) dan sangat mahir berganti wajah, dia sahabat sehidup semati Sangkoan Jin, sejak awal tahun ia mendapat pesan dari sahabat karibnya itu untuk membawa burung-burung merpati yang bisa terbang langsung ke Boanliong-kok, benteng Hong-po serta benteng Sangkoan Jin ke dalam Benteng Keluarga Tong.

Selesai mengikat ketiga helai kertas itu di kaki masing- masing burung merpati, Gi Pek-bin memasukkan burung-burung itu ke dalam sakunya lalu berjalan keluar dari dalam kamar langsung menuju ke warung mie.

Begitu bertemu dengan pemilik warung mie, Gi Pek-bin menyerahkan uangnya dan kemudian berkata, “Tolong sampaikan uang ini kepada tuan yang telah membayari aku kemarin.”

“Dikembalikan besok juga tidak apa-apa,” sahut si penjual mie sambil tertawa lebar, “kenapa mesti repot-repot kemari sekarang? Besok saja datang lagi!”

“Besok tidak bisa, karena pagi-pagi aku sudah pergi.” “Oh, tidak tinggal beberapa hari lagi?”

Setelah memeriksa uang yang diterimanya, ia berkata lagi, “Uangmu ini terlalu banyak...” “Sisanya untukmu, anggap saja sebagai uang lelah!” Pemilik warung itu gembira setengah mati, serunya, “Terima kasih banyak atas pemberianmu, bagaimana kalau kau cicipi dulu nasi gorengku? Tanggung kau akan ketagihan!”

“Baiklah!”

Selesai menghabiskan sepiring nasi goreng, Gi Pek-bin meninggalkan warung bakmi itu dengan riang, dia gembira karena ternyata orang yang menguntitnya sudah tidak kelihatan lagi dan ia tahu sebabnya. Pemilik warung makan itu adalah mata-mata Keluarga Tong yang khusus ditugaskan untuk mengawasi tamu-tamu asing. Yang tidak diketahuinya adalah dengan cara apa tauke bakmi itu menyampaikan beritanya kepada si penguntit hingga orang itu tidak mengikutinya lagi.

Kalau seorang tamu sudah memutuskan akan pergi dari kota itu esok pagi, memang tak ada alasan untuk menguntitnya lagi.

Apalagi penampilan Gi Pek-bin begitu sempurna, tak ada gerak-gerik yang patut dicurigai.

Dengan langkah santai ia berjalan kembali ke rumah penginapan, sepanjang jalan dia mencoba memeriksa sekelilingnya, apakah masih ada yang menguntitnya atau tidak. Ketika yakin di sekelilingnya tidak ada orang, dari dalam sakunya segera ia keluarkan ketiga ekor burung merpati itu.

Merpati-merpati itu memang sudah dilatih secara khusus sehingga selama berada dalam sakunya, burung-burung itu sama sekali tak bersuara, bergerak pun tidak. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun ia melepas ketiga ekor burung merpati itu, burung- burung itu tak bersuara karena mereka dilemparkan ke tengah udara.

Untuk meyakinkan bahwa burung-burungnya telah pergi, Gi Pek-bin memasang telinga untuk mendengarkan dengan cermat.

Setelah yakin burung-burung itu terbang tinggi, dengan senyuman puas ia meneruskan langkahnya kembali ke rumah penginapan.

Ooo)))(((ooo

Tong Ou biasanya selalu berpenampilan tenang, tapi saat ini mulai nampak gelisah, ia berjalan bolak-balik dalam kamarnya tanpa mengerti apa yang harus diperbuatnya, ia benar-benar sangat gelisah. Dia patut gelisah, karena secara tiba-tiba rencana besarnya mengalami perubahan yang sama sekali di luar dugaan.

Perubahan di luar dugaan ini ditimbulkan oleh Tio Bu-ki.

Sore tadi, menurut laporan mata-mata yang sampai di tangannya, mereka tidak berhasil menemukan jejak Tio Bu-ki di sepanjang perjalanan menuju ke lembah Boanliong-kok. Waktu menerima laporan itu Tong Ou masih berbesar hati, karena dia beranggapan bahwa kemungkinan besar Tio Bu-ki akan masuk perangkap dengan langsung menuju ke benteng Hong-po. Tapi sesaat kemudian, laporan dari mata-mata yang lain diterimanya, ternyata sepanjang jalan menuju ke benteng Hong-po pun tidak ditemukan jejak Tio Bu-ki.

Menurut perkiraan Tong Ou, dengan menggunakan Wi Hong-nio sebagai umpan, kemungkinan besar Tio Bu-ki akan terjebak, sebab berita yang disampaikan oleh Wi Hong-nio pada mulanya pasti sulit dipercayai pemuda itu. Tapi setelah dia

mengembangkan perhitungannya, pemuda itu pasti menduga bahwa berdasarkan keli¬cikan Keluarga Tong, maka jika mereka berkata tak akan menyerang benteng Hong-po, justru sangat mungkin benteng Hong-po lah yang akan diserang paling dulu. Dengan begitu, pada akhirnya Tio Bu-ki akan berangkat menuju ke benteng Hong-po.

Tapi setelah datangnya laporan dari kedua mata-matanya yang menyampaikan bahwa selain jalan yang menuju benteng Hong- po, di kedua jalan lain mereka tidak menjumpai jejak Bu-ki, dia pun berpendapat bahwa Bu-ki pasti sudah termakan oleh kecerdasannya sendiri hingga dia memilih datang ke benteng Hong-po.

Cara kerja Tong Ou selalu amat berhati-hati dan jauh dari sembrono, ia baru mau melakukan tindakan apabila sudah yakin seratus persen, maka saat ini dia masih harus menunggu lagi, menunggu datangnya laporan dari mata-mata yang dikirim ke benteng Hong. Akhirnya laporan itu diterimanya, tapi isi laporan itu membuat Tong Ou terkejut dan tidak habis mengerti.

Sepanjang jalan menuju ke benteng Hong-po, ternyata tidak juga dijumpai jejak dari Tio Bu-ki! Ke mana perginya Bu-ki?

Tong Ou memutar otaknya memikirkan persoalan ini, namun sampai akhirnya pun ia tak berhasil menemukan jawabnya.

Sejak awal ia sudah membuat banyak pengandaian, kalau Tio Bu-ki tidak masuk perangkap dan pindah ke tujuan yang lain, dia percaya dengan bantuan mata-matanya, ia bisa segera mengubah rencananya. Tapi sekarang semua berita menyatakan Tio Bu-ki tiba- tiba lenyap tak berbekas. Ini benar-benar membuatnya pusing tujuh keliling.

Sebenarnya Tong Ou tidak begitu peduli Tio Bu-ki pergi ke arah mana, sebenarnya ia hanya hendak mengetahui tujuan yang dipilih

Tio Bu-ki untuk mengukur sejauh mana kesetiaan Sangkoan Jin padanya. Tong Ou sudah tahu, kalau dia hendak menyerang lembah Boanliong-kok, seandainya Tio Bu-ki langsung menuju ke benteng Hong-po maka dia akan pura-pura menyerang lembah Boanliong-kok, padahal tujuan serangan yang sesungguhnya adalah benteng Sangkoan Jin. Ia pura-pura menyerang lembah Boanliong- kok sekedar ingin tahu sampai di mana kesiapan orang-orang di lembah itu menghadapi serangannya.

Jika persiapan orang-orang Boanliong-kok ternyata sangat kuat, maka Sangkoan Jin tak bisa terlepas dari kecurigaan sebagai orang yang telah membocorkan rencana itu. Sebaliknya jika lembah itu tak ada persiapan, dia akan langsung merebut Boanliong-kok, sedangkan Sangkoan Jin semakin bisa dipercaya. Semua itu tentu saja menurut perhitungan Tong Ou!

Di luar dugaan, mimpi pun dia tak menyangka bakal kehilangan jejak Tio Bu-ki secara tiba-tiba. Tentu saja peran Tio Bu- ki dalam rencana ini sesungguhnya tidak terlalu penting, ia sengaja melepas pemuda itu hanya untuk menambah keasyikannya saja.

Tapi sekarang mereka telah kehilangan jejak Tio Bu-ki, dan urusan ini dirasakan mulai mempengaruhi situasi keseluruhan, paling tidak akan mempengaruhi penilaiannya atas Sangkoan Jin, padahal kesetiaan Sangkoan Jin pada Keluarga Tong suatu masalah yang amat penting.

“Hanya sejenak Tong Ou bimbang, ia segera mengambil keputusan untuk tetap melaksanakan rencananya sesuai semula. Maka ia memerintahkan orang untuk menyiapkan kuda dan menyampaikan kabar kepada orang-orang yang telah disuapnya dari markas Tayhong-tong agar melaksanakan perintah sesuai dengan rencana semula.

Tong Ou memang tetap Tong Ou yang ulung, sekalipun ia memutuskan untuk tetap melaksanakan rencana semulanya, namun dia juga melakukan satu tindakan persiapan lainnya, dia ingin sedia payung sebelum hujan. Payung ini disediakan bukan untuk menghadapi perubahan di luar dugaan dalam serangannya terhadap Tayhong-tong, tapi khusus ditujukan untuk menghadapi Sangkoan Jin.

Ia segera mengundang datang Tong Hoa dan memerintahkan kepadanya untuk mulai melancarkan aksinya terhadap Wi Hong-nio. Semua kejadian ini berlangsung pada senja hari tanggal dua bulan lima.

Bulan lima tanggal tiga, hari sudah senja, matahari tampak surut di langit barat sementara gelap malam turun dari angkasa.

Ketika terjaga dari tidurnya Wi Hong-nio menyaksikan pantulan cahaya keemas-emasan yang memancar masuk melalui daun jendela dan rasa riang serta segar timbul menyelimuti hatinya. Begitulah sifat gadis ini, asal bisa tidur dan tidurnya nyenyak, ketika terjaga dari tidurnya dan bisa menyaksikan pemandangan alam yang begitu indah terpampang di luar jendela, ia lalu merasa begitu bahagia dan gembira.

Sambil duduk di tepi pembaringan, ia mulai berpikir, “Suasana senja hari begitu indah, aku seharusnya keluar dari kamar dan menikmatinya!”

Maka ia pun turun dari ranjang dan membuka pintu kamar.

Dengan mendadak Wi Hong-nio tertegun. Ia menyaksikan munculnya seseorang tepat di hadapannya, orang yang tampaknya sudah dari tadi menunggu di situ dengan senyuman menghias wajahnya.

Orang itu mempunyai mata dan hidung sempurna, wajah yang tampan, hanya sayang ketampanannya cenderung kebanci- bancian. Begitu nampak orang ini, Wi Hong-nio segera teringat pada kata-kata Tong Ou, dia segera tahu orang ini.

Dia memang Tong Hoa, tuan muda hidung belang yang gemar menguber pipi licin.

Senyum yang menghias wajah Tong Hoa seakan senyuman yang alami, seakan sejak lahir ia sudah membawa senyum itu. Ia mengawasi wajah Wi Hong-nio sambil tertawa, katanya, “Namaku Tong Hoa!”

“Aku tahu!” jawab Wi Hong-nio cepat.

Perempuan itu hanya memandangnya sekejap dan hanya menjawab sekecap, kemudian sorot matanya segera dialihkan ke luar, meman¬dang kegelapan senja yang mulai muncul di langit. Tong Hoa segera menggerakkan kepalanya menghalangi pandangan mata Wi Hong-nio, dia seperti hendak memaksa gadis itu untuk melihat wajahnya saja dan menikmati senyumnya.

“Kegelapan malam tak bagus dilihat!” serunya. Wi Hong-nio melengak.

“Suasana senja hari begini indah, kenapa kau bilang tak

bagus?”

“Seindah-indahnya senja tak akan seindah wajahmu,

wajahmu jauh lebih enak dipandang,” sahut Tong Hoa.

Merah jengah Wi Hong-nio mendengar pujian itu, pipinya bersemu merah seperti tomat yang segar.

“Coba lihat!” kembali Tong Hoa berseru setelah mengawasi pipinya yang merah dengan pandangan tolol, “kau nampak begitu cantik... begitu menawan hati!”

Paras muka Wi Hong-nio semakin merah, merah padam karena jengah. Sementara Tong Hoa berdiri mematung, senyum tololnya semakin melebar, ia berdiri termangu-mangu seperti orang yang kehilangan sukma.

Sementara itu warna senja mulai memudar, kegelapan malam pun menyelimuti seluruh jagad. Tong Hoa bertepuk tangan dua kali, dua orang dayang dengan membawa lampu lampion muncul dari sudut lorong di ujung hala¬man.

Dengan nada seperti opera, kembali Tong Hoa berkata, “Malam sudah menjelang, jalan mulai guram dan tak nampak jelas, aku takut kau kurang hati-hati hingga jatuh, maka kusuruh dua orang dayang untuk menuntunmu berjalan.”

Wi Hong-nio ingin tertawa, ia merasa orang itu lucu sekali, tapi ia tak sampai tertawa terbuka, katanya, “Buat apa kau suruh dayang menuntunku berjalan? Siapa bilang aku mau pergi dari sini?”

“Oh, kalau memang tak mau keluar, mari kita masuk ke dalam kamar saja!” sahut Tong Hoa sambil berganti gaya.

Ia segera berpaling dan serunya kepada salah satu dayang itu, “Siau-tiap, cepat masuk dan pasang lampu!”

Siau-tiap menyahut dan segera masuk ke dalam kamar. “Aku paling benci dilayani orang!” sentak Wi Hong-nio cepat. “Waaah tidak bisa!” sahut Tong Hoa masih tertawa nyengir.

“Di samping nona cantik kalau tak ada dayangnya, sama seperti jenderal tanpa serdadu, pasti kurang sedap dipandang. Mari kuperkenalkan kepada dua orang dayang itu, yang ini bernama Siau- tiap sedang yang satu lagi bernama Siau-oh, Oh-tiap kupu-kupu. Mereka ditugaskan di sini untuk melayani segala keperluanmu, walaupun tidak terbiasa, kau harus mulai belajar membiasakan diri!”

Tiba-tiba Wi Hong-nio merasa bahwa Tong Hoa ternyata seorang pemuda yang kelewat cerewet, suka banyak bicara seperti yang diucapkannya barusan. Sebenarnya ia ingin menarik muka dan menunjukkan rasa tak senangnya, tapi tiba-tiba ia teringat sesuatu, senyum manis segera menghiasi wajahnya.

Dalam pikirannya ia ingin memperalat Tong Hoa, bila ia bias membuat Tong Hoa tergila-gila kepadanya, ia bisa memanfaatkan posisinya di Benteng Keluarga Tong untuk kelak membantunya pergi meninggalkan tempat itu.

Berpikir begini, ia pun menyahut sambil tertawa, “Baiklah, bagaimanapun satu kebiasaan harus dilakukan secara pelan-pelan...”

“Nah, begitu baru benar!” teriak Tong Hoa kegirangan, sambil berteriak ia bertepuk tangan berulang kali.

Sementara itu lampu dalam kamar telah disulut, Siau-tiap sudah keluar dari dalam ruangan dan berdiri di samping Siau-oh.

Kepada kedua orang dayang itu, Tong Hoa segera memerintahkan, “Sekarang siapkan hidangan malam di dalam kamar!” Kemudian sambil berpaling ke arah Wi Hong-nio, terusnya, “Apakah aku bisa mendapat kehormatan untuk makan malam bersamamu?”

“Mungkinkah bagiku untuk menolak?” sahut Wi Hong-nio.

Tong Hoa segera tertawa, tertawa lebar dan penuh rasa gembira. Sambil tertawa ia pun memberi tanda mempersilahkan Wi Hong-nio untuk masuk kembali ke dalam kamar tidurnya. Malam semakin menyelimuti seluruh jagad, beberapa titik cahaya bintang mulai memancarkan sinar kebiru-biruan dari balik kegelapan awan.

Hidangan malam telah disiapkan, sayurnya terdiri dari beberapa macam masakan Sucoan dengan warna dan rasanya yang khas, serba merah dan serba pedas.

“Kau sudah terbiasa dengan masakan yang pedas?” tanya Tong Hoa kemudian.

“Ya, aku memang senang dengan hidangan yang pedas.” “Kalau kebanyakan makan hidangan yang pedas,

tenggorokan dan lidah kita gampang mengering, kau tahu arak apa yang paling tepat untuk menemani hidangan-hidangan pedas itu?”

“Arak apa?” tanya Hong-nio. “Arak anggur salju dari Persia! Kau pernah mencicipi?” “Belum pernah,” Wi Hong-nio menggeleng, “malah

mendengar pun baru pertama kali ini.”

“Kalau begitu segera kau akan mencicipinya!”

Baru selesai dia berkata, Siau-tiap sudah berjalan masuk sambil membawa sebuah baki kayu yang di atasnya ada botol porselen dengan mulut sangat besar, sementara di dalam botol porselen itu masih ada sebuah botol porselen lain yang lebih kecil dan ramping bentuknya.

Tong Hoa segera menjelaskan, “Botol besar itu berisi butiran es batu, sementara isi dari botol kecil itu adalah arak anggur yang khusus didatangkan dari negeri Persia.”

Siau-tiap menuang penuh dua cawan arak di hadapannya. “Mari, aku menghormati secawan arak untukmu!” kata Tong

Hoa kemudian sambil mengangkat cawannya.

Wi Hong-nio mencoba mencicipi arak itu satu tegukan. “Bagaimana? Enak bukan?” tanya Tong Hoa kemudian. “Tidak, tidak enak, rasanya manis agak masam, persis

seperti manisan kiam-bwee.”

“Rasa dingin es tepat untuk menghilangkan rasa pedas dan kering yang kita rasakan di mulut. Kau tahu, minuman ini adalah simpanan Keluarga Tong kami!”

“Oh, artinya satu penghormatan untukku!” kata Wi Hong-nio sambil tertawa.

“Asal kau senang, Keluarga Tong kami masih menyimpan banyak sekali barang mestika serta barang langka lainnya, kau boleh menikmatinya setiap saat.”

“Sungguh?”

“Tentu saja sungguh! Kau tahu, sudah lama aku kagum dan terpesona padamu!”

Wi Hong-nio tidak menjawab, ia meneruskan santapannya dengan kepala tertunduk, arak membuat pipinya semakin bersemu merah. Dengan termangu Tong Hoa mengawasi wajahnya, seakan dia sudah dibuat tolol oleh kecantikan wajah gadis itu.

Tidak mendengar pemuda itu melanjutkan perkataannya, Wi Hong-nio kembali angkat wajahnya sambil menengok ke arah pemuda itu.

“Ooh. kau memang amat cantik,” puji Tong Hoa semakin

termangu. Wi Hong-nio segera tertawa, wajahnya berbunga-bunga karena gembira.

Kembali Tong Hoa berkata, “Setengah tahun lalu, aku pernah melihatmu secara tidak sengaja di tempat kira-kira tiga li dari Benteng Keluarga Tong. Saat itu aku sudah merasa bahwa kecantikanmu melebihi bidadari dari kahyangan, dalam hati aku selalu berpikir bila suatu ketika aku bisa bertemu lagi dengan kau....

Dan aah, tak kusangka. setelah bertemu sekarang, terbukti

kecantikanmu beribu kali lebih memikat ketimbang bayanganku semula!”

Wi Hong-nio agak muak mendengar rayuan gombal seperti itu, namun perasaan ini tidak diungkapkannya karena ia masih punya tujuan lain. Karena itu dengan senyum masih menghias bibirnya ia berbisik, “Terima kasih banyak atas pujianmu!”

“Aku bukan sedang memuji, aku hanya mengatakan apa yang memang kulihat.”

Wi Hong-nio tidak bicara lagi, rasa muak dalam hatinya pelan-pelan ikut lenyap. Dia belum pernah mendengar ada lelaki yang memuji kecantikan wajahnya dengan cara begini, Tio Bu-ki pun tidak, pujaan hatinya itu hanya mengungkap perasaan hatinya melalui pancaran sinar mata.

Tapi Tong Hoa, lelaki yang berada di hadapannya kini justru berani mengungkap perasaan hatinya secara blak-blakan, kata- katanya begitu mendayu-dayu dan sedap didengar, ini membuat Wi Hong-nio mulai terharu dibuatnya, ia mulai menaruh kesan baik pada lelaki ini.

Kembali Tong Hoa berkata, “Selama setengah tahun lebih, berarti ada duaratusan siang dan malam, aku selalu membayangkan dan merindukan pujaan hatiku itu, sekarang ternyata nasibku baik, aku bahkan bisa bersantap satu meja dengannya, coba bayangkan, betapa gembiranya perasaan hatiku kini! Mari, kita bersulang secawan arak lagi!”

Wi Hong-nio tak dapat mengendalikan perasaan hatinya, tanpa sadar dia angkat cawan dan menghabiskan isinya.

“Sekarang, tentunya kau sudah paham akan perasaan hatiku bukan?” tanya Tong Hoa sambil meletakkan kembali cawan araknya.

Wi Hong-nio tidak menjawab, tentu saja dia sangat paham. Tapi paham kembali paham, jangan lagi perasaan hatinya kini hanya ada Tio Bu-ki, sekalipun tak ada pemuda tersebut, mana mungkin ia bisa menanggapi cinta yang diucapkan seorang lelaki macam Tong Hoa? Bagaimana pula dia bisa menjawab pertanyaan semacam itu?

Kembali Tong Hoa berjanji, “Aku bersedia melakukan apa saja demi kau!”

Wi Hong Nio merasa amat gembira, janji tersebut membuat perasaan hatinya lega, sebab dia memang berharap Tong Hoa tersulut emosinya karena luapan rasa cintanya, begitu emosi sehingga tanpa memikirkan apa akibatnya ia bersedia membawanya pergi meninggalkan Benteng Keluarga Tong.

“Melakukan pekerjaan apa pun?” Wi Hong-nio menegaskan. “Benar, perbuatan apa pun!” jawaban Tong Hoa begitu

tegas dan tandas.

“Bagaimana misalnya kusuruh kau pergi mati?” tanya Wi Hong-nio dengan nada bergurau.

Tong Hoa agak melengak, tapi cepat jawabnya, “Tentu saja aku tak boleh berbuat begitu!”

“Kenapa? Bukankah kau berjanji akan melakukan perbuatan dan pekerjaan apa pun demi aku?”

“Tentu saja terkecuali pergi mati, karena jika aku mati maka aku tak bisa bertemu kau lagi, aku tak akan melakukan perbuatan yang membuatku tak bisa berjumpa lagi denganmu.”

“Berarti janjimu hanya janji gombal, hanya ingin menipuku, membuatku senang?”

“Tidak... bukan begitu, aku harus memperbaiki kata-kataku tadi, aku berjanji akan melakukan pekerjaan dan perbuatan apa pun demi kau, asal aku bisa selalu berkumpul dan bersamamu.”

“Sungguh?” desak Hong-nio sekali lagi. “Yaa, sungguh!”

“Seandainya ada orang berusaha menghalangimu untuk bertemu aku atau berusaha mengekang kebebasanku, apa yang akan kau lakukan?”

“Aku akan mengusirnya!”

“Kalau dia ngotot tak mau pergi?” “Akan kuhabisi nyawanya!”

“Bagaimana kalau orang itu anggota Keluarga Tong?” Tong Hoa tidak menjawab, dia hanya mengawasi wajah Wi

Hong-nio dengan termangu-mangu.

“Jadi kau tidak berani?” ejek Wi Hong-nio.

“Tidak ada perbuatan yang tak berani kulakukan!” “Lalu mengapa kau tidak berani menjawab pertanyaanku?” “Mengapa aku harus membunuh sanak keluargaku sendiri?”

Tong Hoa balik bertanya.

“Kau sendiri yang berkata akan membunuhnya!”

“Masa ada anggota Keluarga Tong kami yang menghalangi kebebasanmu?”

“Ada.”

“Siapa?”

“Tong Ou!”

“Toa-piauko? Mana mungkin?”

“Bukankah dia yang menahanku di Benteng Keluarga Tong?” “Betul, tapi ia berbuat demikian demi aku!”

“Demi kau?”

“Benar, dia tahu aku sangat menyukaimu maka sengaja menahanmu di sini.”

Wi Hong-nio tidak berbicara lagi, sebab dia tahu kenyataannya bukanlah seperti itu. Bukankah Tong Ou berkata kepadanya bahwa sehabis berjumpa Bu-ki, dia akan mengijinkan satu orang di antara mereka berdua untuk meninggalkan Benteng Keluarga Tong?

Seandainya nanti dia memutuskan dia yang pergi dan bukan Bu-ki, maka kata-kata Tong Hoa jelas bohong besar. Tetapi ia segera sadar, pasti ada siasat busuk lain di balik semua ini. Kalau bukan Tong Ou telah membohongi Tong Hoa, berarti Tong Hoa-lah yang sedang berusaha membohongi dirinya.

Walaupun ia berpikir demikian, namun kecurigaannya tak diungkap, malah tanyanya kemudian, “Sekalipun tujuan Tong Ou menahanku memang demi kau, tapi bagaimana jika aku tetap menganggapnya berusaha menghalangi kebebasanku?”

“Dari sudut mana kau merasa tidak bebas?”

“Bahwa aku tidak boleh meninggalkan Benteng Keluarga Tong!” “Siapa bilang?” “Tong Ou!”

“Aaah, tidak mungkin! Begini saja, nanti malam kutanyakan lagi kepadanya.”

“Bagaimana kalau dia membohongimu?”

“Tidak mungkin, ke mana pun kau hendak pergi, aku pasti akan mengantarmu!” “Kalau Tong Ou tidak mengijinkan?”

“Kalau dia benar-benar tidak mengijinkan, kita pergi dari sini secara diam-diam.”

“Sungguh?”

“Asal kau ijinkan aku selalu mendampingimu, aku bersedia mengantarmu pergi ke mana saja yang kau suka!”

“Termasuk pergi ke Tayhong-tong?” “Kau ingin pulang ke Tayhong-tong?”

“Tentu saja! Siapa yang tidak ingin pulang ketempat tinggalnya sejak kecil?”

“Aku tidak berharap kau pergi ke situ...” “Kenapa? Kau takut?”

“Tidak, aku tidak takut, Tayhong-tong tak pernah kupandang sebelah mata pun!”

“Lalu mengapa kau tidak berharap aku pulang ke sana?” “Karena di Tayhong-tong ada seseorang.”

“Bu-ki yang kau maksud?”

Tong Hoa segera menunjukkan sikap cemburunya dan sambil tertawa getir menyahut, “Benar, aku tidak berharap kau bisa bertemu lagi dengannya.”

“Tapi kalaupun aku pulang belum tentu aku akan bertemu dengannya!”

“Bagaimana seandainya bertemu?” “Masa kau tak berani bertaruh?”

“Aku tidak pernah mau melakukan tindakan yang aku tidak

yakin!”

“Baiklah, kalau begitu kita tak perlu bicara lagi.”

Tong Hoa tidak bicara lagi, dia minum arak seorang diri.

Sekaligus dia habiskan lima cawan arak anggur sebelum bangkit berdiri dan mohon pamit dari tempat itu.

“Tidurlah, aku akan mohon diri dulu,” katanya.

Habis berkata, ia memberi tanda kepada Siau-Ou dan Siau- tiap, kemudian mereka bertiga meninggalkan tempat itu.

Ooo)))(((ooo

Wi Hong-nio amat gelisah, ia duduk seorang diri di depan jendela, memandang kegelapan malam sambil termangu-mangu. Ia sadar bahwa penampilannya tadi sangat buruk, tidak seharusnya dia mendesak Tong Hoa dengan kata-kata seperti itu.

Seharusnya dia menggunakan bujukan yang lemah-lembut untuk mempengaruhi hatinya dulu, sesudah terpikat dan mabuk cinta, barulah permintaan diajukan sedikit demi sedikit. Cara semacam itulah yang seharusnya ia lakukan!

Dalam pandangannya, Tong Hoa tak lebih hanya seorang pemuda romantis yang jatuh cinta kepadanya sejak pandangan pertama dan baginya sekedar cinta sepihak. Wi Hong-nio tidak punya perasaan apa pun padanya bahkan ia tidak menunjukkan perhatian sedikit pun. Berhadapan dengan gadis yang belum tentu membalas cintanya, mana mungkin pemuda itu mau mengabulkan semua permintaannya dengan begitu saja?

Setelah lama merenung, akhirnya pelan-pelan Wi Hong-nio dapat mengendalikan hatinya. Ia mulai menemukan jalan yang harus ditempuhnya dan ia lalu memutuskan sikap selanjutnya.

Dia menganggap malam ini akan tidur lebih awal hingga besok bisa tampil dengan wajah yang lebih segar, kemudian dengan mengenakan topeng, pura-pura membalas cinta pemuda itu, dia akan balas merayu Tong Hoa dan menarik simpatinya. Setelah membuat keputusan ia merasa hatinya lebih lega, maka ia pun bisa tidur dengan nyenyak.

Ooo)))(((ooo

Pada malam yang sama, Tio Bu-ki sedang merasa sulit untuk memejamkan matanya. Dia ingin segera tidur, tapi berbagai pikiran berkecamuk dalam benaknya, membuat dia gelisah dan tak tenang.

Dia tidak tahu apakah Sangkoan Jin telah mengirim kabar ke semua cabang Tayhong-tong agar mereka dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan besar-besaran pihak Benteng Keluarga Tong. Ia sadar bahwa hal ini merupakan pertaruhan besar, pertaruhan besar yang menyangkut masa depan serta hidup-matinya Tayhong-tong.

Dalam pertaruhan ini, Bu-ki sadar kalau dia harus segera memasang taruhannya. Sampai sekarang, Tio Bu-ki tetap belum memahami sikap paman Siangkoannya itu, bahkan sikapnya terhadap rencana Harimau Kema¬la Putih. Bagaimana mungkin dia bisa memahami tokoh-tokoh lain di Tayhong-tong? Karena tidak bisa memahami semua itu, pemuda ini merasa amat risau, bingung dan gelisah. Semula dia mengira bahwa Sangkoan Jin pasti akan berupaya untuk menyampaikan berita itu ke semua cabang Tayhong-tong. Tapi sekarang, tiba-tiba saja, ia mulai ragu dan bimbang, apa jadinya kalau Sangkoan Jin lebih mementingkan keselamatan dirinya sendiri, atau gagal menemukan orang yang bisa membawa berita tersebut ke semua cabang Tayhong-tong?

Andaikata gara-gara hal ini anggota Tayhong-tong sampai dibuat kalang-kabut oleh datangnya serangan dari Keluarga Tong, atau bahkan banyak yang mati atau tcrluka parah, apakah dia yang harus memikul tanggung-jawab ini?

Ia merasa sudah waktunya untuk mengambil keputusan, dia harus menyampaikan kabar tersebut ke salah satu pos jaga Tayhong-tong, sekalipun jika akhirnya terbukti bukan tempat itu yang diserang Keluarga Tong, paling tidak dia tak akan merasa menyesal karena hanya berpeluk tangan belaka.

Ia sadar, terus bersembunyi di atas bukit adalah keputusan yang salah, tidak seharusnya ia mempertaruhkan keselamatan jiwa para anggota Tayhong-tong dengan menggantungkan diri pada Sangkoan Jin seorang. Tio Bu-ki menengadah, memandang sejenak kegelapan malam yang telah menyelimuti angkasa, dia sadar, seandainya keputusan yang diambilnya keliru, tak akan ada harapan lagi untuk merubahnya, sebab sudah tidak ada waktu lagi untuk itu.

Pada saat itulah mendadak ia mendengar suara gemersik seperti suara burung yang terbang rendah bergerak menuju ke arahnya. Dengan satu gerakan cepat ia mematahkan ranting pohon, kemu¬dian langsung ditimpukkan ke arah datangnya suara sambaran itu.

Serangan itu amat cepat dan tepat, sekejap lalu terdengar suara benturan bergema di udara, disusul suara seperti sesuatu menumbuk batang pohon dan jatuh ke tanah. Bu-ki tidak langsung menghampiri tempat itu, ia memasang telinga dan mencoba mendengarkan keadaan di sekelilingnya. Ia harus yakin di situ tidak ada orang lain sebelum memunculkan diri dari tempat persembunyiannya.

Suasana amat hening, kecuali hembusan angin malam yang lembut, tak terdengar suara apa pun. Lama sekali ia berdiri mematung, ia kuatir benda yang menyambar ke arahnya tadi adalah suara sambitan senjata rahasia yang sengaja dilepas seseorang.

Sepeminuman teh lewat tanpa terlihat suatu gerakan apa pun, suasana tetap hening, sepi dan senyap. Bu-ki mulai menduga, jangan-jangan benda yang ditimpuknya tadi benar-benar hanya seekor burung yang sedang terbang rendah. Pelan-pelan ia mulai bergerak mendekati tempat itu, kemudian mencoba memungutnya dari tanah.

Di tengah kegelapan malam, ia merasa benda yang dipungutnya benar-benar seekor burung dan ketika diperiksa lebih teliti, ternyata burung itu seekor merpati. Burung merpati?

Pemuda itu segera teringat pada merpati pos. Mungkinkah merpati ini adalah merpati pos yang dilepas orang-orang Keluarga Tong untuk menyampaikan berita?

Cepat-cepat diperiksanya kaki burung merpati itu dan benar saja, segulung kertas kecil terikat erat pada kaki burung merpati itu.

Buru-buru dia merogoh ke dalam saku dan mengeluarkan korek api, lalu di bawah terang cahayanya dia membuka lipatan kertas itu dan memeriksa isinya. Yang kemudian dilihatnya membuat anak muda itu terkesiap seketika.

“Aduh celaka!” pekiknya di hati.

Dia segera mengenali isi surat itu, yaitu tanda rahasia yang sering dipakai Tayhong-tong untuk menyampaikan berita.

Di balik lembaran kertas itu tidak ada tulisan apa pun, tapi kertas tersebut dilipat dengan suatu lipatan khusus, yaitu selembar kertas yang ditempeli kertas kecil lain berbentuk hati. Tanda rahasia ini berarti bahwa seluruh anggota Tayhong-tong harus waspada dan lebih hati-hati. Lipatan yang kecil menandakan bahwa jangka waktu untuk berhati-hati adalah satu-dua hari kemudian. Bila delapan sampai sepuluh hari lagi, lipatan kertas itu akan lebih besar lagi.

Dia tahu, merpati ini pasti dilepaskan oleh Sangkoan Jin untuk memperingatkan anggota-anggota Tayhong-tong. Namun sekarang merpati itu sudah mati tersambit. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Mungkinkah Sangkoan Jin hanya melepaskan seekor merpati? Merpati itu sebenarnya dikirim ke mana?

Tio Bu-ki menyesal, mengapa ia tidak lebih berhati-hati? Mengapa ia tidak menduga kalau burung itu adalah seekor burung merpati pos? Mengapa dia mengira sebagai sambitan senjata rahasia?

Nasi sudah menjadi bubur, menyesal pun tak ada gunanya, yang penting sekarang adalah bagaimana mengatasi kesalahan ini. Tapi... apa yang harus diperbuatnya untuk memperbaiki kesalahan itu?

Ooo)))(((ooo

Pada malam yang sama, Sangkoan Jin bisa tidur sangat nyenyak. Sebelum berangkat tidur, ia pergi menengok sebentar putri tunggalnya.

Dia tidak tahu bahwa sejak terluka karena harus menyelamatkan jiwa ayahnya, gadis itu lalu berubah menjadi lebih pendiam, kelincahan dan keriangannya di masa lalu sama sekali sudah lenyap. Meskipun luka luar yang dideritanya berangsur sembuh, namun rasa risau dan murung yang menyelimuti perasaannya kian hari kian bertambah dalam.

Sangkoan Jin sama sekali tidak mempertimbangkan hal ini, saat itu pikiran dan perhatiannya, kecuali pada luka-luka putrinya, hampir semuanya terpusat pada penyelidikan atas Benteng Keluarga Tong serta mengawasi segala tindakan yang akan dilakukan oleh Keluarga Tong pada Tayhong-tong.

Jangankan perasaan putrinya, ia bahkan tidak bertanya kepada Tong Ou apakah Tio Bu-ki jadi dibebaskan atau tidak. Bukannya ia tak mau tahu tentang nasib putra tunggal saudara angkatnya ini tentu saja ia menguatirkan keselamatan jiwanya tapi bila dibandingkan dengan mati-hidupnya Tayhong-tong, ia merasa urusan itu tidak seberapa penting.

Ia harus berusaha sebaik mungkin merahasiakan identitasnya, hanya dengan demikian ia bisa dikatakan berjuang demi Tayhong-tong. Asal berita berita penting bisa dikirim ke luar, ia sudah merasa tenteram. Ia percaya bahkan yakin, berita yang dikirimnya pasti dapat diterima anggota Tayhong-tong.

Ooo)))(((ooo Malam bertambah larut, kegelapan semakin dalam menyelimuti angkasa.

Ketika Sangkoan Jin dan Wi Hong-nio sudah tertidur nyenyak, ketika Tio Bu-ki yang berada dalam hutan sedang ragu dan menyesal atas kecerobohan sendiri, saat itu Tong Hoa sedang berunding dengan TongOu.

“Ternyata Wi Hong-nio betul-betul ingin meninggalkan Benteng Keluarga Tong,” lapor Tong Hoa.

“Kau yakin bisa mendampinginya ke mana pun dia pergi?” “Sangat yakin, semalam aku telah menggunakan siasat

rayuan maut, aku percaya mulai besok dia pasti akan bersikap lebih baik kepadaku!”

“Kau mesti lebih hati-hati,” pesan Tong Ou kemudian, “sebab langkah berikut kita kemungkinan besar sangat tergantung pada keberhasilanmu.”

“Aku tahu.”

Tong Ou bangkit dan berjalan ke lemari, mengeluarkan sebuah kotak dari dalamnya. Kotak itu lalu diletakkan di atas meja dan katanya lagi, “Kuserahkan kotak ini kepadamu, bawalah selalu ke mana pun kau pergi, karena setiap saat kau bakal membutuhkannya.”

“Apa isi kotak ini?” “Bukalah sendiri!”

Tong Hoa membuka penutup kotak itu lalu dengan sangat hati-hati mengeluarkan sebuah benda dari dalamnya. Benda itu adalah sebuah patung berukir terbuat dari batu kemala putih, sebuah patung berukiran naga sedang mementang cakar tajamnya, Naga Kemala Putih.

“Ukiran naga yang sangat indah!” puji Tong Hoa.

“Ya, naga itu diukir di batu kemala, patung itu bernama Naga Kemala Putih!” jelas Tong Ou.

Ukiran Naga Kemala Putih itu tidak terlalu besar, ukurannya hanya sedikit lebih besar dari telapak tangan, tapi ukirannya sangat bagus dan sempurna, seperti seekor naga yang siap terbang ke angkasa.

Tong Ou mengambil kembali patung naga itu dari tangan Tong Hoa, lalu sambil menuding ke arah mulut naga itu ia berkata lagi, “Mulut naga ini memang sengaja dibuat terbuka lebar, di balik mulut ini ada ruang kosong, kau bisa memasukkan kertas ke dalamnya.”

“Maksudmu, semua rencana kita akan menggunakan mulut ukiran naga itu?”

“Yang benar kita menggunakan perut naga yang kosong.” “Kenapa kita harus menggunakan Naga Kemala Putih ini?” “Sebab benda ini hadiah dari Sangkoan Jin, menurut

Sangkoan Jin benda ini adalah benda kuno yang paling disayang Tio Kian semasa hidupnya dulu.”

“Akan kusimpan dengan sangat hati-hati,” janji Tong Hoa.

Tong Ou manggut-manggut, lalu katanya lagi, “Sebelum digunakan, kau harus mendatangi dusun tempat tinggal Tio Kian, di dusun itu ada toko yang menjual alat tulis, pemilik toko itu bernama Pek Giok-ki.”

“Aku tahu, taukenya bernama Pek Giok-ki.”

“Betul, Pek Giok-ki paling mahir tulis menulis, bukan saja tulisannya sangat indah, dia pun sangat pandai meniru gaya tulisan orang.”

“Ya, bagaimanapun juga aku mesti menunggu kabarmu, biarlah sampai waktunya baru kucari dia dan minta dia menulis sesuai dengan rencanamu.”

“Benar. Kepadanya kau boleh membeberkan indentitas

aslimu.”

“Jadi dia termasuk salah seorang yang kita suap untuk

mendukung kita?”

“Yaa, tiap tahun kita membayarnya limaribu tahil perak.” “Waah, dengan uang sebanyak itu, berarti dia tidak perlu

buka toko lagi!”

“Jika rencana Naga Kemala Putih kita berhasil dijalankan, selanjutnya memang dia tak perlu buka toko lagi.”

“Kenapa? Masa kita harus terus membayarnya lagi setelah dia menuliskannya buat kita?”

“Tidak. Ketika ia selesai menulis, kau harus membunuhnya!” “Membunuhnya untuk melenyapkan bukti?”

“Benar, orang yang bisa kita suap berarti bisa juga disuap pihak lain, untuk ini kita harus waspada dan lebih baik sedia payung sebelum hujan.”

“Sangat masuk di akal!” puji Tong Hoa. Tong Ou tertawa tergelak. “Jika tidak masuk di akal, masa Keluarga Tong kita bisa menancapkan kaki begitu lama di dalam dunia persilatan?”

Tong Hoa ikut tertawa, suara tertawanya penuh rasa bangga dan puas. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk pintu. Siapa yang berani mengetuk pintu di tengah malam buta begini? Mungkinkah sudah terjadi sesuatu yang gawat dan penting?

Buru-buru Tong Ou memerintah Tong Hoa untuk menyimpan Naga Kemala Putih itu ke dalam sakunya, kemudian baru membuka pintu. Orang yang berada di luar pintu adalah Tong Koat, di tangan TongKoat-terlihat seekor burung merpati. Setelah menutup kembali pintu ruangan, Tong Koat menyerahkan merpati itu ke tangan Tong Ou.

Merpati itu masih hidup, ia meronta-ronta hendak melepaskan diri dari genggaman Tong Ou.

Dengan sangat teliti Tong Ou membentangkan sayap merpati itu dan memeriksanya satu per satu, kemudian berkata, “Merpati ini bukan burung merpati pos milik kita!”

“Betul,” Tong Koat mengiakan, “merpati ini dirontokkan oleh penjaga kita yang bertugas tujuh belas li di luar kota, mereka mengirim balik dengan menggunakan kuda cepat.”

“Jadi milik siapa?” tanya Tong Ou.

“Belum terlacak, sampai sekarang belum pernah dijumpai burung merpati semacam ini.”

“Apa mungkin merpati pos milik Tayhong-tong?” “Tayhong-tong tidak pernah menggunakan merpati pos

semacam ini.”

“Apakah sudah diselidiki merpati ini terbang dari mana dan kira-kira akan terbang ke mana?”

“Menurut laporan, merpati ini kemungkinan besar terbang dari Benteng Keluarga Tong, hanya tidak jelas akan terbang ke arah mana.”

“Merpati pos yang mampu terbang malam? Suatu cara pengiriman berita yang sangat hebat!” puji Tong Ou tanpa terasa. “Kira-kira jagoan mana dalam dunia persilatan yang mampu melatih burung merpati semacam ini?”

“Belum pernah ada yang tahu,” jawab Tong Koat, “aku sudah mengirim orang untuk minta pendapat Pek Siau-seng, mungkin besok pagi sudah ada beritanya.” “Apakah belakangan ada orang asing yang berkunjung ke Benteng Keluarga Tong?”

“Hari ini tidak ada, tapi tiga hari berselang ada.” “Tiga hari berselang? Berarti orang itu sudah tiga hari

tinggal di sini?”

“Dia seorang pedagang kain, waktu mendaftar di losmen menggunakan nama Go Yong, tinggal di penginapan Ya-lay. Baru saja aku mengirim petugas untuk menanyai orang itu.”

Sementara pembicaraan masih berlangsung, Tong Ou telah melepaskan kertas yang terikat di kaki burung merpati itu dan meme¬riksa isinya. Ia melihat isi surat itu hanya sebuah tanda yang berbentuk hati.

Tong Koat kembali menjelaskan, “Toako, kertas itu sudah diperiksa, itu adalah kertas tulis yang umum dipakai semua orang, bahan kertas semacam ini bisa didapat di semua tempat.”

“Apa arti tanda hati di dalam surat ini? Masa surat pernyataan cinta?” tanya Tong Ou.

“Aaah tidak mungkin, mana ada orang yang mau bersusah- payah melatih merpati pos yang bisa terbang malam hanya untuk menyampaikan perasaan cinta?”

“Waah, itu ide yang sangat bagus!” timbrung Tong Hoa pula, “lain kali aku mesti meniru cara ini, rasanya perempuan yang kuburu pasti akan terharu bila dirayu dengan cara begini...”

“Aku yakin tanda hati ini pasti bukan berarti cinta, tentu punya makna lain yang lebih dalam,” tandas Tong Ou.

Tong Hoa mulai memperhatikan lambang hati itu dengan lebih seksama, tiba-tiba katanya, “Hati ini tidak terlalu besar dan tidak besar berarti kecil, hati yang kecil melambangkan kehati- hatian. Mungkinkah surat itu peringatan agar orang lebih berhati- hati?”

“Ehmm, mungkin sekali begitu!”

Selanjutnya, ketiga orang itu pun diam dalam keheningan, yang ada dalam pikiran mereka sekarang sama. Semua sedang berpikir siapa yang telah melepaskan burung merpati itu dari dalam Benteng Keluarga Tong? Mungkinkah merpati itu hendak memberi kabar kepada Tayhong-tong agar siap sedia dan lebih berhati-hati? Mung¬kinkah merpati itu membawa berita kalau Keluarga Tong akan menye¬rang mereka? “Apa mungkin hasil perbuatan Tio Bu-ki?” tiba-tiba Tong Koat bertanya.

“Masa dia membawa burung merpati?” Tong Ou balik bertanya. “Kalau bukan dia, lantas siapa?”

“Lebih baik kita bicarakan lagi setelah berita dari penginapan Ya-lay kita terima.”

Lentera yang menerangi rumah penginapan Ya-lay sudah mulai redup, kecuali sebuah lentera yang masih bersinar di ruang tengah, suasana di sekelilingnya gelap gulita. Tauke rumah penginapan itu duduk di belakang meja, tampaknya ia sudah tertidur sangat nyenyak.

Dua orang utusan Tong Ou itu sama sekali tidak membangunkan sang tauke, mereka langsung naik ke lantai dua, belok ke kanan dan tiba di muka kamar nomor tiga. Tanpa mengetuk pintu atau berbasa-basi lagi, salah seorang di antaranya menendang roboh pintu kamar, sementara rekannya menyerbu ke dalam kamar.

Tampaknya'orang itu sangat hapal dengan isi ruangan itu, begitu menyerbu ke dalam, ia langsung menghampiri pembaringan dan menotok. Kecuali ketika menendang pintu kamar tadi, mereka tidak mengeluarkan suara apa-apa lagi, orang yang sedang tertidur itu pun berhasil ditotok jalan darahnya. Begitu berhasil menotok jalan darah orang itu, dia langsung mendukung badannya dan diangkut keluar.

Gerakan tubuh kedua orang itu cepat sekali, tak selang berapa saat, mereka telah sampai di Benteng Keluarga Tong.

Tong Koat segera membuka pintu dan begitu masuk, kedua orang itu membaringkan orang yang telah ditotok jalan darahnya itu ke atas meja. Salah seorang di antara mereka berkata, “Go Yong telah tertangkap!”

Belum sempat Tong Koat memuji kecepatan kerja kedua orang anak buahnya itu, ia mendadak berdiri tertegun. Sesaat kemudian Tong Ou, Tong Hoa serta kedua orang itu pun ikut termangu-mangu.

Rupanya mereka menjumpai Go Yong yang baru ditangkap itu telah berubah jadi mayat. Orang itu sudah mati!

“Apa yang terjadi?” teriak Tong Koat dengan tiba-tiba. Orang yang tadi menotok jalan darah Go Yong jadi melengak, untuk sesaat dia hanya berdiri tergugu dan tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.

“Jangan-jangan sudah mampus dari tadi?” orang yang menendang pintu itu menimpali.

Tong Ou tidak berbicara apa-apa, dia menghampiri mayat Go Yong dan meraba sejenak kening mayat itu, kemudian katanya, “Benar, paling tidak ia sudah mati satu jam berselang!”

Pada saat itu barulah semua yang hadir melihat adanya warna hitam lebam yang di tubuh mayat itu, warna khas mayat yang sudah mati lebih dari satu jam.

Tong Hoa merentangkan mulut mayat itu dan memeriksa giginya, setelah itu katanya lagi, “Benar, giginya juga telah menghitam”

“Berarti dia mampus terkena jarum beracun Tawon Harimau kita?” seru Tong Koat terkejut.

“Siapa saja dari Keluarga Tong kita yang menggunakan jarum beracun Hau-hong-ciam?”

Dengan suara lirih Tong Koat segera menyebutkan sejumlah nama, tapi Tong Ou gelengkan kepalanya berulang-ulang sambil berkata tak mungkin, karena orang-orang yang disebut namanya itu sedang tidak berada di Benteng Keluarga Tong, mereka sedang bertugas di luar. Yang tersisa tinggal mereka tiga bersaudara.

Beberapa saat lamanya Tong Ou termangu, bingung dan tidak tahu menemukan jawabnya.

Lama sekali Tong Ou membungkam diri, akhirnya dia baru berkata kepada dua orang anak buahnya, “Coba kalian pergi lagi ke rumah penginapan Ya-lay dan bawa kemari taukenya!”

Sepeninggal dua orang itu, Tong Ou baru berkata lagi kepada Tong Koat, “Coba periksa sekali lagi, apakah kita pernah kehilangan jarum Tawon Harimau?”

Dengan cepat Tong Koat sudah muncul kembali sambil membawa beberapa jilid buku, setelah membalik beberapa halaman dan meneliti catatan yang tertulis, ia berseru, “Aaah, pernah!”

“Siapa yang kehilangan jarum beracun?” “Li Bun-ting!”

“Kapan? Di mana?” kembali Tong Ou bertanya. “Bulan satu tahun ini di Hoolam!”

“Kenapa bisa hilang?” “Dia melepaskan dua batang jarum Hou-hong-ciam ketika hendak membunuh Gi Pek-bin, tapi serangan tersebut berhasil dipatahkan Gi Pek-bin dengan menggunakan sebuah kantung kain.”

“Gi Pek-bin? Raja berganti wajah Gi Pek-bin?” Tong Ou menegaskan.

“Benar, menurut laporan, ilmu merubah wajah yang dia miliki sangat hebat dan sempurna, tampaknya setiap saat dia selalu membawa ratusan lembar kulit wajah yang bisa digunakannya kapan pun.”

“Kenapa kita mesti berusaha membunuh orang itu?” “Kami mendapat laporan, konon Gi Pek-bin telah disuap

pihak Tayhong-tong untuk berpihak kepada mereka. Oleh karena orang ini sangat berbahaya dan menakutkan, kami putuskan lebih baik dibi¬kin mampus saja daripada membiarkannya bekerja untuk Tayhong-tong!”

“Yaa, betul sekali ucapan itu,” Tong Hoa mengangguk, “coba bayangkan saja, kalau satu orang memiliki ratusan lembar topeng muka yang bisa digunakan untuk berganti rupa setiap saat, siapa yang bisa menyelidiki identitasnya? Hal semacam ini memang sangat menakutkan.”

“Siapa yang mengambil keputusan untuk membunuhnya?” kembali Tong Ou bertanya.

“Waktu itu kau tidak ada di tempat, tentu saja aku yang memutuskan,” jawab Tong Koat cepat.

“Apa Lo- cocong tahu?”

“Tidak! Bagaimana? Jadi aku salah mengambil keputusan?” “Betul, seandainya waktu itu kau minta persetujuan dari Lo-

cocong, aku yakin dia pasti akan melarang!”

“Kenapa melarang?” seru Tong Koat tidak puas.

“Untuk menghadapi manusia macam ini, seharusnya kita justru membujuk atau merajainya agar dia mau berbalik memihak kita. Membunuh adalah pilihan yang salah, sebab bila kau gagal membunuhnya, dia akan semakin berbakti untuk lawan. Aku yakin saat ini dia pasti akan mati-matian bekerja untuk kepentingan Tayhong-tong.”

Tong Koat bungkam seribu bahasa, sebab dia merasa ucapan toakonya sangat beralasan dan masuk akal, dia mulai menyadari kekeliruan yang telah dilakukannya. Sementara itu Tong Ou tidak memedulikan lagi sikap Tong Koat, ia berjalan menghampiri jenasah itu lalu dengan tangan kirinya mengangkat kepala mayat tadi dan tangan kanannya mulai meraba sekeliling wajah, tengkuk dan belakang kepala mayat itu.

Beberapa saat kemudian, tiba-tiba dia mencengkeram tengkuk sebelah kiri mayat tadi, lalu dengan sangat perlahan tapi penuh tenaga dia merobek sesuatu dari wajah mayat itu. Sementara itu Tong Koat berdua juga sudah melihat bahwa wajah orang mati itu mengenakan selembar topeng kulit manusia.

Satu ingatan segera melintas dalam benaknya, dia teringat akan sebuah nama yang punya hubungan erat dengan mayat itu. Gi Pek-bin, Gi berwajah seratus.

Tampaknya orang itu dibunuh oleh Gi Pek-bin dan selesai membunuh, ia mengenakan selembar topeng kulit manusia di wajah mayat itu.

Sementara itu Tong Ou sudah melepaskan seluruh topeng kulit manusia yang dikenakan mayat itu, sekarang terlihatlah paras muka orang itu berwarna hitam gelap, tak heran kalau Tong Ou sekalian tidak tahu kalau orang ini sebenarnya telah mati keracunan. Rupanya wajah orang itu tertutup selembar kulit manusia sehingga warna hitam yang muncul di wajah asli mayat itu sama sekali tak kelihatan.

Di saat Tong Ou bertiga masih berdiri tertegun sambil mengawasi mayat yang telah menghitam itu, dua orang yang diutus menjemput tauke rumah penginapan Ya-lay telah tiba di situ. Begitu melihat wajah mayat yang membujur kaku itu, paras muka si tauke rumah penginapan segera berubah hebat, dia berdiri mema¬tung tanpa sanggup mengucapkan sepatah kata pun.

“Siapakah orang itu?” Tong Ou segera menegur. “Dia... dia... adalah Li Jin-tiong, tapi...” jawab tauke itu

gelagapan dan gemetar keras.

“Tapi kau melihat dia sudah meninggalkan rumah penginapan sejak tadi, bukan begitu?” Tong Ou menimpali.

“Dari... dari mana kau bisa tahu?” tanya si tauke keheranan. Tong Ou mendengus dingin.

“Hmm, masih belum jelaskah kau? Ketika orang yang mengaku bernama Go Yong itu mendaftar di rumah penginapanmu itu, bukankah dia muncul dengan mengenakan topeng ini?” Sambil menggoyangkan topeng kulit manusia tersebut kembali Tong Ou berkata, “Dia adalah Gi Pek-bin, ketika dia selesai bertugas di tempat ini maka dibunuhnya Li Jin-tiong yang menginap di kamar sebelah, kemudian topeng kulit manusia yang semula dipakainya sengaja dia lepaskan dan dikenakan pada wajah orang itu. Dengan begitu semua orang mengira Go Yong telah mati, padahal secara diam-diam dia telah mengenakan topeng wajah yang mirip dengan Li Jin-tiong untuk meninggalkan rumah penginapan Ya- lay dan kabur dari Benteng Keluarga Tong!”

Pucat pias wajah si tauke sehabis mendengar penjelasan itu, gumamnya dengan nada bergetar, “Orang ini... orang ini benar- benar menakutkan...”

Tong Ou berpaling ke arah Tong Koat, mendadak tanyanya, “Go Yong pergi ke mana saja?”

Secara ringkas Tong Koat melaporkan semua yang diketahuinya.

Lama sekali Tong Ou berpikir, dia mencoba mengupas masalah demi masalah dengan seksama, kemudian katanya, “Aku rasa masalahnya timbul kalau bukan di warung bakmi tentu ketika keluar dari rumah pelacuran Li-cun-wan. Aku curiga merpati yang berhasil kita tangkap ini adalah burung merpati yang dilepas olehnya.”

Sambil berkata dia menuding bangkai burung merpati yang tergeletak di meja.

Waktu itu Tong Koat sedang membolak-balik buku catatan, tiba-tiba teriaknya lantang, “Aaah, betul, catatan mengenai Gi Pek- bin mengatakan bahwa dia sangat suka memelihara burung merpati!”

Tong Ou manggut-manggut, ujarnya, “Ketika berada di warung bakmi, orang yang pernah berhubungan dengan Gi Pek-bin adalah Sangkoan Jin, sementara ketika berada di rumah pelacuran Li-cun-wan, dia berhubungan dengan...”

“Dia bernama Siau-ping,” sela Tong Koat.

“Siau-ping dibesarkan dalam kalangan kita, rasanya tidak cocok untuk dicurigai.”

“Jangan-jangan Sangkoan Jin?”

“Mana-mungkin?” seru Tong Koat, “waktu itu dia hanya menyerahkan sekeping goanpo!” “Siapa tahu di balik goanpo itu terdapat sesuatu yang aneh?” kata Tong Hoa.

“Mungkin saja, coba kau panggil...”

Mendadak Tong Ou berhenti berbicara, kemudian menoleh dan memandang sekejap ke arah tauke rumah penginapan Ya-lay serta ke kedua pembunuh gelap itu.

Tong Koat segera mengerti maksud kakaknya, cepat dia berseru, “Di sini sudah tidak ada urusanmu lagi, kalian boleh pergi!”

Tiga orang itu segera berpamitan dan meninggalkan tempat

itu.

Setelah ketiga orang itu lenyap dari pandangan, Tong Ou

baru berkata lagi, “Segera panggil Cing-cing kemari.” “Panggil Cing-cing? Buat apa?*

“Aku akan menggunakan kecantikan wajahnya untuk menyelidiki Sangkoan Jin, aku ingin tahu masih ada rahasia apa lagi yang tidak kita ketahui.”

Setelah berpisah dengan kedua orang pembunuh gelap itu, si tauke rumah penginapan Ya-lay kembali ke ruang kerjanya seorang diri, dia berjalan menuju ke meja tempat tadi ia tidur lalu duduk dan mengeluarkan buku tamu. Di situ ia menandai dengan lingkaran kecil pada nama Go Yong. Segera sesudahnya ia keluar meninggalkan rumah penginapan lagi. Ia bergerak cepat meninggalkan Benteng Keluarga Tong, rupanya ingin pergi dari situ sebelum fajar menyingsing.

Ketika sudah berada di luar wilayah Benteng Keluarga Tong, si tauke baru melakukan hal yang sama seperti yang tadi dilakukan Tong Ou, ia melepas selembar topeng kulit manusia dari wajahnya. Ia tertawa, tertawa sangat dingin. Ternyata si tauke ini adalah Gi Pek-bin!

Fajar belum menyingsing, kegelapan malam masih memenuhi langit ketika terlihat sesosok manusia berkerudung menyelinap masuk ke dalam rumah penginapan Ya-lay. Langsung ia menuju ke meja kasir dan mengeluarkan buku catatan tamu. Setelah memeriksa sekejap nama Go Yong yang diberi tanda lingkaran itu, kemudian dengan sama cepatnya ia pergi meninggalkan tempat itu.

Ilmu meringankan tubuh orang berkerudung ini amat hebat, dia pun nampaknya hapal betul dengan seluk-beluk kebun bunga Keluarga Tong. Menyusuri sudut-sudut halaman yang gelap, dengan satu gerakan lincah orang itu sudah menyelinap masuk ke dalam sebuah kamar.

Ketika sudah di dalam kamar dan sedang melepaskan kain keru¬dung hitam yang menutupi wajahnya, baru kelihatan bahwa orang itu adalah Sangkoan Jin. Baru saja Sangkoan Jin melepaskan kain kerudung dan meletak¬kannya di meja, tiba-tiba terdengar pintu kamar diketuk orang.

Mula-mula ia nampak terperanjat sebab saat itu masih tengah malam buta, lagipula baru saja dia kembali dari rumah penginapan Ya-lay. Mungkinkah jejak serta gerak geriknya sudah ketahuan orang-orang Keluarga Tong?

Dengan gerakan refleks dia mengambil kembali kain kerudung hitamnya. Belum sempat ia berpikir mau disembunyikan di mana, tiba-tiba satu ingatan melintas di dalam benaknya, jangan- jangan orang yang mengetuk pintu adalah Cing-cing? “Siapa?” ia segera menegur.

“Aku!”

Ternyata dugaannya tidak salah, itu suara Cing-cing. Cing- cing adalah gadis yang dikenal Sangkoan Jin sejak ia bergabung dalam Benteng Keluarga Tong. Selama ini hubungan mereka sangat mesra dan Cing-cing sering melayani hasrat syahwatnya, maka kehadirannya di tengah malam buta seperti ini bukan kejadian yang aneh dalam pikirannya.

Sesudah tahu bahwa yang datang adalah Cing-cing, Sangkoan Jin merasa lega. Ia masukkan kain kerudung hitam itu ke dalam sakunya kemudian membuka pintu. Baru saja pintu dibuka, Cing-cing sudah menubruk ke dalam pelukannya, kemudian sambil mendesis lirih ia menempelkan wajahnya ke wajah Sangkoaan Jin.

Menghadapi perlakuan seperti ini Sangkoan Jin tertawa, dia balas memeluk erat gadis itu dan kemudian membopongnya ke atas ranjang. Tak lama kemudian dua tubuh yang telanjang bulat telah saling menempel satu sama lain seperti permen karet...

Ooo)))(((ooo

Fajar sudah menyingsing, cahaya terang benderang telah memenuhi langit, namun Tio Bu-ki masih berdiri termangu sambil mengawasi batang pohon di hadapannya. Dia masih bimbang, masih resah. Dia menyesal mengapa tindakannya kurang berhati-hati hingga membunuh burung merpati yang justru membawa surat peringatan untuk para anggota Tayhong-tong.

Ia tidak tahu bagaimana caranya memperbaiki kesalahan yang telah diperbuatnya itu. Lama sekali dia berpikir, memutar otak dan mencari akal... Akhirnya dia mengambil satu keputusan. Untuk mencapai lembah Boanliong-kok dibutuhkan perjalanan satu hari penuh. Artinya jika berangkat sekarang juga, dia baru akan sampai keesokan harinya dan saat itu sudah tiba hari Peh-cun. Dapat diduga semua orang tentu sedang mabuk-mabukan atau dengan perkataan lain, penjagaan pasti sangat kendor.

Berpikir sampai di sini Tio Bu-ki terkesiap dan buru-buru melompat turun dari atas pohon, melompat naik ke atas pelana kuda dan melarikannya langsung ke lembah Boanliong-kok.

Pada fajar yang sama. Tong Ou, Tong Koat maupun Tong Hoa belum tidur barang sekejap pun, mereka bertiga masih di dalam kamar sambil membicarakan masalah merpati pos serta urusan Gi Pek-bin.

Melihat fajar mulai menyingsing di ufuk timur, tiba-tiba Tong Ou berkata kepada Tong Koat, “Aku bermaksud untuk mengubah rencana penyerbuan.”

“Kenapa?”

“Terlalu banyak kejadian di luar dugaan, aku takut terjadi perubahan yang tidak menguntungkan.”

“Lalu apa rencanamu?”

“Segera kirim surat perintah lewat merpati pos, perintahkan mereka segera melancarkan serangan dari tiga jurusan!”

Tampaknya dia telah menyiapkan tiga kelompok pasukan yang bersembunyi di sekeliling markas besar Tayhong-tong sambil menunggu perintah dari Keluarga Tong untuk melancarkan serangan. Semula ia berniat datang bersama Tong Koat ke medan pertempuran dan memimpin sendiri penyerbuan itu. Tapi sekarang tiba-tiba saja dia berubah pikiran, bukan saja batal ikut serta, ia bahkan mempercepat waktu penyerangan.

Dia memang sengaja membocorkan rahasia penyerbuannya dan waktu penyerangan yang katanya akan dilakukan tepat di hari Peh-cun. Sebenarnya dia bergerak sangat lambat, ia berniat melancarkan serangan baru dua hari setelah lewat Peh-cun. Dalam pikirannya, sekalipun ada yang menyampaikan berita sehingga penjagaan diperketat, tetapi jika musuh sudah melakukan penjagaan terus-menerus selama dua hari dua malam dan tidak ada serangan datang, orang akan beranggapan bahwa berita itu salah. Dengan sendirinya penjagaan akan kendor kembali dan keadaan seperti ini adalah kesempatan terbaik baginya untuk menyerang.

Tapi sekarang ia memutuskan untuk mengubah rencana penyerangannya. Tiba-tiba saja ia merasakan datangnya satu tekanan yang besar, yaitu lenyapnya Tio Bu-ki dan masih ditambah munculnya Gi Pek-bin. Itulah sebabnya ia memerintahkan Tong Koat untuk mengirim perintah penyerbuan, agar ketiga pasukan yang telah disiapkan selama ini melancarkan serangan besar.

Ooo)))(((ooo

Hubungan yang dilakukan penuh napsu dan penuh luapan cinta membuat Sangkoan Lian letih sekali. Ia segera jatuh tertidur, tidur sangat nyenyak dan semua kewaspadaannya lenyap. Tidurnya yang begitu nyenyak membuat Cing-cing mengawasinya berapa kejap. Dia memang datang dengan tugas, dia khusus melayani Sangkoan Lian atas perintah Tong Koat, dia pun ditugasi untuk mengawasi semua gerak-gerik orang itu, termasuk igauannya sewaktu tidur.

Dia turun dari ranjang dan memungut pakaiannya dari lantai, juga pakaian Sangkoan Jin. Kemudian dengan hati-hati sekali dia memeriksa saku baju itu. Dikeluarkannya secarik kain hitam, dia tahu kain itu dipakai untuk menutup wajah. Sebentar kemudian dia juga mengeluarkan sebuah kantung kain yang sangat kecil. Kantung itu boleh dibilang terjahit rapi dan menjadi satu dengan pakaian dalamnya, dulu ia tak pernah melihat benda ini, tak disangka hari ini dia menemukannya.

Ketika kantung itu dibuka, tampak isinya adalah selembar kertas yang sangat tipis. Di atas kertas itu tak ada tulisan apa-apa, yang tampak hanya sebuah lipatan berbentuk hati kecil. Tentu saja Cing-cing tak tahu apa gunanya lipatan kertas itu, tapi dia yakin benda ini pasti sangat penting. Mengapa Sangkoan Jin harus menyimpannya di dalam kantung kecil yang dijahit pada pakaian dalamnya?

Buru-buru ia memasukkan kembali kertas itu ke dalam kantung lalu dikembalikan pada asalnya, setelah itu dia baru menuju ke depan cermin dan mulai berdandan. Selesai berdandan ia tak kuasa untuk tidak balik lagi ke tepi ranjang dan mengawasi wajah Sangkoan Jin dengan termangu.

Mendadak ia menjatuhkan diri ke dada Sangkoan Jin dengan penuh nafsu, lalu dibelainya wajah orang itu dengan penuh kasih sayang. Sangkoan Jin masih tertidur lelap, biarpun matanya masih terpejam namun tangan kanannya telah bergerak menggenggam tangan kecil Cing-cing yang sedang membelai wajahnya.

Gerakan itu sebenarnya sangat biasa, tetapi sekarang membuat Cing-cing terharu, perasaannya bergejolak keras. Ia tidak bisa membantah bahwa Sangkoan Jin adalah orang yang bisa mendatangkan kegembiraan baginya. Dulu, ia sudah sering melakukan tugas semacam ini, tapi tak sekali pun merasakan kegembiraan dan kebahagiaan seperti saat bersama Sangkoan Jin sekarang.

Tampaknya Sangkoan Jin dapat merasakan tubuh Cing-cing yang gemetar keras, mendadak ia membuka sedikit matanya dan menepuk tangannya sambil menegur, “Ada apa denganmu?”

Cing-cing segera sadar akan kesalahannya, buru-buru ia menarik kembali badannya, berdiri dan menyahut, “Ah tidak apa- apa, aku harus pergi!”

Sangkoan Jin seperti tidak merasakan ada yang tak biasa, ia hanya mengiakan lirih. Tiap kali Cing-cing datang berkunjung, ia selalu pergi sebelum fajar menyingsing, kali ini pun tak jauh berbeda. Itu sebabnya ia kembali tidur nyenyak.

Sekali lagi Cing-cing mengawasi wajah Sangkoan Jin, kemudian baru pergi meninggalkan tempat itu. Sepeninggal dari kamar tidur Sangkoan Jin, dia berjalan sangat lambat karena tempat yang ditujunya sekarang adalah tempat di mana

Tong Ou dan Tong Koat sedang menunggu. Sambil berjalan tiada hentinya ia berpikir, haruskah dia laporkan semua yang telah dilihatnya tadi kepada Tong Ou sekalian? Haruskah dia melaporkan lipatan kertas yang ia temukan di balik pakaian dalam itu?

Ketika menemukan kain hitam penutup wajah itu sesungguhnya dia sudah tahu apa yang terjadi. Semalam ia sudah mendatangi kamar Sangkoan Jin sebelumnya, tapi ia tak menemukannya di kamar. Belum sempat ia mengambil keputusan haruskah melaporkan semua kejadian tersebut kepada Tong Ou, dirinya telah sampai di depan pintu. Sekarang ia tak bisa berpikir lagi sebab sudah tak ada waktu untuk bersangsi lagi. Ketika tiba di depan pintu, pasti ada orang yang akan muncul dari dalam kamar. Dalam keadaan begini, jika dia ragu dan tidak mengetuk pintu, orang yang ada di dalam kamar pasti akan curiga. Maka tanpa menghentikan langkahnya dia menuju ke kamar dan segera mengetuk pintu.

“Masuk!” terdengar Tong Koat berseru.

Cing-cing mendorong pintu berjalan masuk, pertentangan batin masih berkecamuk dalam hatinya. Terlepas apa pun keputusan yang bakal diambil, dia tak pernah menghentikan langkahnya, ia tahu begitu masuk ke dalam kamar, Tong Ou pasti akan mengajukan banyak pertanyaan.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar