Jilid 29
“MENGERTIKAH kau akan arti dari perkataan itu?” “Aku mengerti!”
“Kalau begitu, lakukanlah bagiku untuk membunuh Tio Bu ki yang berada dihadapanmu sekarang!”
Ucapan tersebut diutarakan olehnya dengan enteng, santai dan lembut, sama sekali tidak terbawa oleh kobaran napsu atau emosi.
Tapi siapa pun tahu jika Tong koat sudah ingin membunuh seseorang, maka orang itu sudah pasti akan mati.
Baginya, membunuh orang bukan suatu perbuatan yang terlalu serius, entah yang dibunuhnya itu benar atau salah, baginya hal tersebut bukan masalah.
TIba tiba Bu ki pun bertanya padanya “Masih ingatkah kau dengan sepatah kata ini?” “Perkataan apa?”
“Selamanya aku tak pernah membunuh orang dengan cuma cuma!” “Aku masih ingat!”
“Aku rasa kau tentunya juga mengerti akan maksud dari perkataan ini bukan?”
“Itulah sebabnya aku tidak ingin menyuruh kau membunuh orang dengan cuma cuma” Dia masih tertawa, tertawanya sangat riang dan gembira sekali.
Dia telah mengeluarkan setumpuk uang kertas dari sakunya, lalu berkata: “Walaupun dua ratus embilan puluh laksa tahil merupakan suatu jumlah yang sangat besar, namun kalau cuma sepu8luh laksa tahil mah aku masih punya!”
Jarang sekali ada orang yang menggembol uang sebesar sepuluh laksa tahil didalam sakunya apalagi dibawa kemana mana, tapi dia ternyata membawanya.
Tampaknya setiap saat dia telah menyiapkan diri untuk menyuruh Bu ki membunuh orang.
Uang kertas tersebut adalah uang kertas keluaran dari rumah Sam toa che ceng di san see, uang kertas semacam ini selalu paling bernilai dan dipercaya orang, etnah kemana mana uang kertas tersebut bisa dianggap sebagai emas murni dan uang kontan.
Dan sekarang, setumpukkan uang kertas yang berada dihadapannya persis berjumlah sepuluh laksa tahil.
Bu ki telah menerimanya dan sedang menghitung selembar demi selembar... Paras mukanya sama sekali tidak berubah, tangannya juga tidak gemetar.
Tangannya itu tampak mantap, tenang dan bertenaga, itulah sepasang tangan seorang pembunuh yang berpengalaman, hanya tangan pembunuh berpengalaman saja yang tak akan menggigil bila akan membunuh orang.
Tapi, bagaimana mungkin ia bisa membunuh ornag itu?
Orang itu adalah anggota paling setia dari Tay hong tong, juga merupakan orang yang paling dekat dengan adiknya Cian Cian. Orang ini bisa muncul dibenteng keluarga Tong, tak bisa disangkal lagi sudah pasti lantaran melacaki jejaknya.
Orang itu bukan Tio Bu ki, dirinya sendirilah baru orang sesungguhnya hendak dibunuh Tong Koat.
Bayangkan saja, mana ia tega untuk turun tangan membunuh orang itu?
Tapi sekarang, peranan yang sedang dibawakan olehnya adalah seorang pembunuh berdarah tinggi yang membunuh orang karena upah sepuluh laksa tahil perak.
Kini, sepuluh laksa tahil perak tersebut sudah berada didalam genggamannya.
Bila ia masih belum juga turun tangan, sudah pasti Tong Koat akan mencurigakannya, otomatis rahasia penyaruannya juga bakal terbongkar.
Jika rahasia penyamarannya terbongkar, bukan saja ia tak bisa menolong Ci Peng, dirinya sendiripun pasti akan tewas.
Selama Sangkoan Jin masih hidup, ia mana boleh mati? Tapi mana mungkin dia tega untuk membunuh orang itu?
Paras muka Ci Peng yang pucat pias seperti mayat sudah dibasahi oleh keringat dingin.
Selamanya belum pernah dia bertatap muka langsung dengan Bu ki apakah hal ini dikarenakan ia telah berhasil menebak diri Bu ki?
Tentu saja dia sendiripun tak ingin mati, sekalipun dia tak ingin menghianati Bu-ki tapi bila Bu ki hendak membunuhnya nanti, dapatkah ia berubah pikiran.
Bu ki tidak membawa pedang.
Tapi Tong Koat tidak melupakan hal ini dia telah menitahkan kepada Tong san kut untuk menghadiahkan sebilah pedang kepada Bu ki.
Sebilah pedang sepanjang tiga jengkal enam inci, sekalipun bukan pedang mestika namun penempaannya cukup bagus dan indah. Pedang tersebut sudah pasti dapat membunuh orang sampai mati.
Sekarang pedang itu sudah berada ditangan Bu-ki tangannya sudah menggenggam gagang pedang tersebut, tangannya masih tetap tenang dan mentap.
Tong Koat sedang mengawasi tangannya yang menggenggam pedang itu, CI Peng juga sedang menatap tangannya. Setiap orang sedang menatap tangannya. apa yang harus dilekukannya sekarang? Mencabut pedang? atau jangan?
*****
SIAPA LAGI YANG AKAN MENGHANTAR KEMATIAN?
Bu-ki telah mencabut pedangnya. “Criiing. ?” pedang itu sudah lolos dari sarungnya.
Bu ki terpaksa mencabut pedang karena dia sudah tiada pilihan lagi sekalipun ia rela penyamarannya diketahui, juga sama saja tak akan berhasil menolong Ci Peng.
Tapi ia toh bisa membunuh Tong Koat kemusian bersama Ci Peng menerjang keluar dari situ. Meski tindakannya ini kelewat bahaya toh tak ada salahnya untuk dicoba.
Haruskah dia berbuat demikian? atau harus mengorbankan Ci-Peng? Demi keberhasilan usahanya apalah artinya mengorbankan seseorang.
Tapi bagaimana mungkin ia bisa melawan suara hatinya?.
Maka terpaksa ia harus mencoba, mencoba untuk menyerempet bahaya.
Asal hari ini bisa lolos dari situ, dikemudian hari pasti masih ada kesempatan lain. Oleh sebab itu serangan yang dilancarkan ini tak boleh sampai gagal.
Mata pedang itu mana tipis lagi tajam. Gagang pedang maupun ujung pedang mempunyai berat yang sama dan dibuat sangat sesuai dan beraturan, tak mungkin tukang besi biasa dapat menempa pedang semacam itu.
Ia percaya pedang itu sudah pasti hasil tempaan dari ahli pembuat senjata rahasia dari benteng keluarga Tong, bahan yang digunakan pun sisa baja mereka sewaktu membuat senjata rahasia.
Menggunakan pedang keluarga Tong untuk membunuh jago keluarga Tong, kejadian semacam itu memang benar benar merupakan suatu kejadian yang paling menggembirakan dunia ini.
Ia telah bersiap sedia untuk turun tangan. “Tunggu sebentar!” tiba tiba Ci Peng berseru.
“Apalagi yang ingin kau katakan?”tanya Tong Koat. “Aku tiada perkataan apa apa yang bisa dikatakan lagi, aku hanya ingin membantumu untuk menghemat uang sebesar sepuluh laksa tahil perak”
“Oooh. !”
“Aku pandai membunuh orang, lagipula gratis kalau ingin membunuh orang mengapa harus mencarinya?”
“Apakah kau menyuruh aku mencarimu?”
“Kalau disuruh membunuh orang lain mungkin aku tidak yakin,tapi kalau disurun membunuh aku sendiri, aku tanggung tiada orang lain yang lebih cepat dari pada diriku sendiri.
Apakah dia telah merasakan pula penderitaan dari Bu ki? Maka bertekad untuk mengorbankan diri?.
Tang Koat segera tertawa terbanak bahak, “Haaahhh,..haaahhh....haaahhh. bagus, bagus sekali”serunya keras.
Tiba tiba ia turun tangan, mempergunakan kedua jari tangannya yang putih, gemuk dan pendek itu untuk menjepit ujung pedang ditangan Bu ki.....
Serangannya itu selain cepat juga tepat. Manusia yang tampaknya jauh lebih bodoh dari pada kuda nil ini ternyata memiliki gerakan tubuh yang jauh lebih hebat dari pada kepandaian siapa saja.
Bila Bu ki melancarkan serangannya tadi dan ingin menembusi tenggorokkannya dalam sekali tusukan, rasanya hal ini tak mungkin bakal terjadi..........
Sekarang Bu ki sudah tak dapat turun tangan lagi, suatu keberuntungankah baginya? Ataukah suatu ketidak beruntungan?.
Tong Koat sedang menatapnya dengan sepasang matanya yang tersenyum dan sipit itu. lalu katanya:
“Aku rasa kau sudah pasti tak akan berebut dagangan dengan seseorang yang hampir mati bukan?”
Terpaksa Bu ki harus mengendorkan tangannya.
Tong Koat menenteng pedang itu pelan-pelan mengangsurkan gagang pedangnya itu kehadapan Ci Peng. Pelan pelan Ci Peng mengulurkan pula tangannya untuk menerima la masih belum juga memandang ke arah Bu ki, walau hanya sekejappun, sedangkan paras mukanya sendiri juga telah berubah menjadi sangat tenang.
Sebab dia sudah mengambil keputusan.
Dia yakin keputusan yang diambilnya itu benar, dia pun yakin pengorbanannya berharga. Ujung jari tangan Ci Peng telah menyentuh-gagang pedang itu.
Bu ki tidak menghalangi. pun tak dapat menghalangi, sebab keputusannya telah bulat, apa yang diinginkan sudah terkabul,sam pai matipun ia tidak menyesal.
Tak disangka ternyata Tong goat tidak membiarkan dia mati.
Tong koat menggetarkan tangannya pelan, sebilah pedang yang panjangnya tiga jengkal dua inci itu mendadak terputus menjadi dua bagian.
Tenaga yang dipergunakan adalah tenaga dingin.
Tcnaga Im-keng yang dilatihnya jauh lebih hebat dari pada apa yang berhasil diraih oleh Tong Giok.
Ci Peng tampak amat terkejut segera tegurnya:
“Hei, mau apa kau?”
“Tiba tiba aku berpendapat bahwa
“Pedang ini boleh patah, namun kau tak boleh mati” “Mengapa secara tiba tiba kau berubah pikiran?”
Tong Koat tertawa, sambil memicingkan matanya dia menyahut:
“Jalan pemikiranku memang setiap saat mudah berubah, lagipula perubahan itu bisa berubah jauh lebih cepat dari siapa saja.”
“Mengapa aku tak boleh mati?”
“Karena kau lebih berguna semasa masih hidup daripada setelah mati ”
“Apa gunanya?” “Paling tidak aku bisa menggunakan kau sebagai umpan untuk memancing ikan!” Reaksi dari Ci Peng tidak terhitung pelan, dengan cepat ia dapat memahami maksudnya.
Ikan yang hendak dipancingnya itu sudah pasti Cian Cian, bila menggunakan Ci Peng sebagai umpan, tak bisa disangkal lagi Cian Cian pasti masuk perangkap.
Tubuh Ci Peng telah melayang diudara menubruk ke arah Tong Koat....
Kemudian menemukan satu hal....
Tiba tiba ia menemukan bahwa kemampuan ilmu silat yang dimilikinya ternyata masih selisih jauh bila dibandingkan dengan apa yang dibayangkan semula.
Dia selalu beranggapan bahwa seseorang belum tentu harus menggantungkan pada ilmu silat untuk mencapai keberhasilan, kecerdasan, ketenangan dan jodoh lebih penting daripada ilmu silat.
Sekarang dia baru tahu kalau anggapannya itu keliru.
Sebab pekerjaan yang dilakukannya adalah pekerjaan semacam ini, dalam lingkaran kehidupannya, bukan saja ilmu silat merupakan kunci terutama dalam kehidupannya, bahkan merupakan akar dari hidupnya didunia ini.
Bila kau adalah seorang pedagang, maka kau tak bakal meninggalkan siepoamu, bila kau adalah seorang sastrawan, maka kau tak dapa melepaskan penamu.
Karena itulah akar daripada kehidupanmu.
Bila kau teledor dalam hal ini, entah bagaimanapun cerdasmu, entah bagaimana banyaknya rejekimu, akhirnya toh tetap akan gagal.
Sekarang Ci Peng telah menyadari akan hal itu, akhirnya memahami akan teori tersebut, itulah pelajaran yang diperolehnya dari suatu pengalaman yang penuh penderitaan.
Baru saja tubuhnya menerjang ke depan, jari tangan Tong Koat yang gemuk dan putih itu sudah menghantam diatas jalan darahnya.
Dikala badannya roboh, kebetulan dia mendengar Tong Koat sedang berkata,
“Bila aku tidak mengijinkan kau mati, sekalipun kau ingin mati juga tidak gampang untuk terwujud”. Halaman itu amat rindang, sebab dalam halaman itu tumbuh banyak pepohonan.
Tong Koat berdiri dibawah sebatang pohon yang daunnya lebat, entah pohon waru? Atau pohon flamboyan? Atau pohon Pak?
Terhadap jenis pepohonan, Bu ki tidak begitu tahu, tapi kalau soal manusia, tidak sedikit yang dia ketahui.
Walaupun dia tak tahu pohon apakah pohon itu, tapi dia tahu manusia macam apakah manusia yang berada disitu.
Tak bisa disangkal lagi orang itu adalah orang paling menakutkan yang penah dijumpainya sepanjang hidup.
Belum pernah dia bayangkan kalau orang ini memiliki ilmu silat yang begitu tinggi dengan gerakan tubuh yang begitu cepat.
Kesemuanya itu masih bukan termasuk hal hal yang paling menakutkan dari Tong Koat. Yang paling menakutkan justru adalah perubahannya.
Setiap saat jalan pemikirannya selaliu berubah, membuat orang lain selamanya tak dapat menebak apa yang sesungguhnya sedang dia pikirkan didalam hati.
Orang inipun setiap saat setiap waktu turut berubah, ada kalanya amat cerdik, ada kalanya bersikap kekanak kanakan, ada kalanya berhati bajik, ada kalanya berhati kejam.
Ada kalanya perbuatan yang dia lakukan jauh lebih menggelikan daripada perbuatan yang dilakukan oleh seorang lemah ingatan, ada kalanya perbuatan yang dia lakukan justru membuat orang menangis pun tak mampu menangis
Sekarang, Ci Peng sudah terjatuh ke tangannya, dengan perangai dari Cian Cian bila dia tahu akan kabar berita Ci Peng, sudah pasti dia akan menyerbu ke dalam benteng keluarga Tong untuk menyelamatkan jiwanya....
Siapakah yang mampu dia selamatkan?
Setibanya dalam benteng keluarga Tong, mungkin satu satunya pekerjaan yang dia lakukan adalah menunggu orang lain menjirat lehernya dengan tali.
Bu ki berharap bisa menolong Ci Peng sebelum ia berhasil mendengar kabar berita tersebut.
Andaikata dia adalah seorang manusia sakti yang berkepala tiga berlengan enam, mungkin saja hal ini dapat ia lakukan. Cuma sayang dia bukan.
Lembaran uang kertas itu semuanya masih baru.
Walaupun kebanyakan orang gemuk badannya agak kotor, agak malas. Tong Koat adalah terkecuali dari kebiasaan tersebut.
Dia bersih sekali, bahkan kebersihannya dijaga kelewat batas.
Lelaki yang tidak suka perempuan tampaknya memiliki kebiasaan tersebut, mereka selalu beranggapan perbuatan yang dilakukan antara pria dan wanita itu merupakan suatu perbuatan yang menjijikan.
Pelan pelan Bu ki berjalan menghampirinya dan menyerahkan tumpukan uang kertas itu kepada Tong Koat.
“Kau tak usah mengembalikannya kepadaku” kata Tong Koat.
“Selamanya aku tak pernah membunuh orang secara gratis, akupun tak pernah menerima bayaran yang tanpa sebab”
“Orang yang hendak kubunuh bukan cuma Tio Kongcu seorang” “Kau hendak menyuruh aku membunuh siapa lagi?”
Tong Koat segera tertawa, katanya:
“Sebetulnya kau harus memasang tarip setengah harga untuk orang yang hendak ku suruh kau bunuh itu?”
“Kenapa?”
“Sebab kaupun membenci dirinya, diapun membenci dirimu, bila kau tidak membunuhnya, maka dialah yang akan membunuhmu”
“Kau maksudkan Siau Poo?” “Kecuali dia, siapa lagi?”
Kejadian ini benar benar merupakan suatu peristiwa yang sama sekali diluar dugaan. Siapapun tidak mengira kalau Tong Koat bakal menyuruh orang untuk membunuh Siau Poo, tapi siapapun tak akan menampik. Siau Poo memang seseorang yang tidak menyenangkan Seandainya manusia semacam ini mati terbunuh, siapapun tak akan mengucurkan air mata baginya.
Lebih lebih Bu ki.
Andaikata kemarin Tong Koat menyuruhnya membunuh Siau Poo, dia tak akan merasa sedih atau serba salah.
Tapi sekarang, keadaannya sudah jauh berbeda.
Dia sudah tahu kalau Siau Poo adalah “See-si”, juga merupakan satu satunya orang yang dapat dipercaya.
Mendadak dia menemukan bahwa orang yang setiap saat harus dibunuhnya atas perintah Tong Koat, adalah orang orang yang sebenarnya tak bisa ia bunuh.
Sayang sekali, ia justru tak dapat menampik permintaannya itu.
“Tentunya kau tidak mengira bukan, kalau aku bakal menyuruh kau untuk membunuhnya?” demikian Tong Koat berkata
“Yaa, aku benar benar tidak menyangka, aku masih mengira kalian bersahabat, bahkan bersahabat sangat akrab”
“Arak yang wangi bisa berubah menjadi kecut, teman baik pun ada kalanya juga dapat berubah menjadi jelek”
“Kenapa?”
“Karena aku tidak suka seorang teman yang tidak mempunyai hidup” Sambil memicingkan matanya dia tertawa lebar, lalu tanya lagi: “Apakah kau beranggapan bahwa alasan ini masih kurang cukup baik?” “Yaa, betul, agaknya masih belum cukup!” Bu ki membenarkan. “Bagiku alasan tersebut sudah lebih dari cukup”
“Kenapa?”
“Dulu aku suka kepadanya karena dia memiliki selembar wajah yang sangat bagus. Perkataannya itu terlampau menyolok dan terang terangan. Bagaimanapun bagusnya selembar wajah apabila ia kehilangan hidungnya, tentu saja akan hilang kebagusannya itu.
Tentu saja dia tak ingin berjumpa dengan manusia semacam itu lagi, lebih lebih tak ingin berhubungan dengan orang seperti itu.
Sesungguhnya alasan ini memang sudah lebih dari cukup. Tiba tiba Tong Koat tertawa, kemudian katanya:
“Seingatku, setiap kali hendak membunuh orang kau hanya bertanyan adakah sepuluh laksa tahil perak yang bisa diraih, tak pernah kau menanyakan tentang alasannya”
“Aku tak lebih hanya ingin tahu benarkah kau hendak membunuhnya atau tidak” “Seandainya aku benar benar ingin membunuhnya, bagaimana dengan kau. ?”
“Asal ada uang yang bisa ku peroleh, tentu saja tawaran itu takkan kutampik” Tong Koat segera tersenyum, katanya kemudian:
“Kalau begitu transaksi ini kita putuskan demikian saja, kau bakal untung besar, bahkan untung secara gampang!”
Mau tak mau Bu ki harus mengakuinya, diapun mengangguk.
“Yaa, untuk membunuhnya memang bukan suatu pekerjaan yang terlalu sulit” “Bagaimana kalau kuberi waktu selama tiga hari?”
“Kau menginginkan dia mati kapan?” Paling baik kalau tidak melebihi tiga hari!
“Kalau begitu, dia tak akan bisa hidup sampai pagi hari hari keempat ” Bu ki menegaskan
dengan dingin.
“Aku tahu, kau pasti tak akan membuat kecewa hatiku!” kata tong Koat sambil tertawa. “Tapi akupun masih ada beberapa syarat”
“Apa syaratmu?” “Bagaimana juga aku toh tak bisa duduk dikamar melulu menunggu sampai dia menghantarkan diri untuk dibunuh”
“Apa yang kau inginkan?”
“Paling tidak kau harus memberitahukan kepada penjaga penjagamu yang ada disekitar tempat ini, agar memberi ijin kepadaku untuk bergerak lebih leluasa lagi disini”
“Kalau soal ini mah, sudah barang tentu pasti akan kulakukan ”
Dia tertawa lebih riang lagi serunya kembali:
“Sekarang, agaknya kita sudah sampai waktunya untuk bersantap malam lagi, apakah kita dapat pergi bersantap?”
“Sekarang, walaupun napsu makanku kurang baik, paling tidak aku masih bisa menemanimu untuk makan sedikit”
“Kalau begitu bagus sekali!”
*****
Malam itu amat sunyi, udara bersih dan udara segar.
Hari ini pun lewat dengan begitu saja tanpa melakukan apa apa, kecuali perut yang kenyang karena terlalu banyak masakan ayam, itik, daging yang dimasak beraneka macam, pada hakekatnya Bu ki tidak berhasil menemukan apa apa.
Bukan saja tidak berhasil menemukan apa apa, bahkan muncul pula pelbagai persoalan baru, Ci Peng, siau Poo semuanya adalah persoalannya yang cukup pelik.
Sekarang, walaupun gerak geriknya jauh lebih bebas daripada sediakala, namun dia semakin tak berani gegabah, setelah dia mengajukan syarat itu, sudah pasti Tong Koat akan semakin menaruh perhatian terhadap dirinya.
Sudah pasti Tong Koat tak akan membiarkan seorang asing yang belum diketahui dengan pasti akan asal usulnya, masuk keluar didalam wilayah daerah terlarangnya secara leluasa.
Ia bersedia mengabulkan syarat dari Bu ki itu mungkin hanya bersifat untuk menyelidik saja.
Tampaknya setiap perbuatan yang dia lakukan semuanya mengandung makna yang mendalam. Mau tak mau Bu ki harus bertindak lebih berhati hati lagi. Sekarang batas waktunya tinggal empat hari lagi, Bu ki cuma bisa berbaring diatas pembaringan sambil memandang langit langit dengan terpesona.
Dia ingin tidur senyenyak nyenyaknya, sebab dengan tidur bukan saja dapat mengembalikan kesegaran tubuhnya, juga dapat mengendorkan syaratnya yang menegang.
Sayang dia justru tak dapat tidur, semakin ingin tidur, ia semakin tak bisa tidur. Banyak lagi kejadian lalu didunia ini yang begitu keadaannya.
Tempat itu selamanya selalu tenang bila malam telah menjelang tiba, amat jarang masih kedengaran suara lain.
Tapi sekarang dari luar jendela kedengaran suara nyaring, seperti ada orang sedang berteriak, seperti pula ada orang sedang lari. Pada saat Bu ki sudah bersiap siap hendak mengurungkan niatnya untuk tidur, dan tidak jadi berbaring, suara itu lenyap kembali, namun dikala ia hampir terlelap tidur suara tersebut sekali lagi bergema.
Ia merasa geli sekali, yaa, dalam keadaan apa boleh buat, selain tertawa apa pula yang bisa dia lakukan?
Diapun merasa keheranan, suara itu berasal dari dalam hutan diluar jendela itu, seakan akan kedatangan mata mata lagi yang telah mengejutkan para penjaga.
Kali ini dia sedang tidur diranjang, apakah dalam Benteng keluarga Tong benar benar ada orang lain yang datang sebagai mata mata.
Tak tahan dia memakai mantel dan melongok lewat jendela, betul juga dalam hutan tampat bayangan manusia berkelebat serta kilatan cahaya api kecuali dia, siapa lagi yang menjadi mata mata? Siapa lagi yang berani menyusup masuk kedaerah terlarangnya orang orang keluarga Tong?
Perduli siapa saja yang berani datang kesitu sama artinya dengan menghantar kematian diri sendiri
***** ORANG YANG MENGGANTUNG DIRI
Cahaya api masih berkilauan, tapi suara bentakan kian lama kian bertambah lirih.
Pada saat itulah, mendadak Bu ki mendengar lagi suara lain, suara itu berasal dari balik dedaunan ditengah sebuah pohon, bukan suara dedaunan yang terhembus angin, melainkan suara rantai yang saling beradu. Mana mungkin didalam pohon bisa terdapat suara rantai yang saling beradu? Bu ki segera teringat dengan rantai yang ada ditangan dan kaki Lui Ceng-thian.
Cahaya api berkedip ditempat kejauhan, dia sudah menyusup keluar lewat jendela, menyusup ke balik dedaunan diatas pohon yang lain.
Jarak antara kedua batang pohon itu sangat dekat.
Walaupun ia dapat menemukan orang yang bersembunyi dibalik dedaunan tersebut, namun ia telah melihat sebuah tangan.
Itulah sebuah tangan yang berantai.
Sebuah tangan yang kurus, panjang, bertenaga, mantap bercuci bersih dan berkuku pendek yang digunting dengan rapi.
Itulah tangan dari Lui Ceng thian.
Dengan cepat Bu ki menyusup kedepan dan mencengkeram urat nadi ditangan itu, menahan getaran rantai yang berada diatas pergelangan tangan tersebut.
Ternyata Lui Ceng thian tidak meronta, dia hanya bertanya. “Siapa?”
“Aku!”
Meski hanya sepatah kata, namun Lui Ceng thian segera mengenali suara siapakah itu kembali dia berkata
“Aku tahu sudah pasti adalah dirimu!”
Bu ki segera tertawa dingin, katanya
“Kalau bukan aku, sekarang sudah pasti kau bakal mampus”
“Tapi sejak permulaan aku sudah tahu itu kau, aku tahu kau berdiam di bangunan loteng kecil seberang sana, aku telah mendengar suaramu ketika membuka jendela tadi”
Ketajaman pendengarannya memang mengagumkan sekali: “Aku juga mendengar suara gerakan tubuhmu ketika meluncur kemari, itulah sebabnya kujulurkan tangannya, adapun sengaja menggoyangkan rantai tanganku dengan harapan kau bisa mendengar suara tersebut”
“Mengapa kau datang mencariku? Kau mana boleh melakukan perbuatan semacam ini?” “Aku harus datang kemari mencarimu!”
Diantara kerlipan cahaya bintang yang bertaburan diangkasa dan menyinari mukanya, tampat mimik muka yang sebetulnya kaku tanpa emosi itu, kini sudah berubah menjadi amat gelisah:
“Bagaimanapun juga, aku harus menemukan kau sampai dapat!” “Apakah sudah ada orang yang telah menemukan dirimu?” “Tidak, aku bertindak cukup berhati hati”
“Apakah para penjaga disekitar tempat ini telah dikejutkan?” “Yang telah mereka temukan adalah seseorang yang lain” “Siapa?”
“Seseorang yang menggantung diri” “Menggantung diri?”
“Justru karena ada orang yang menggantung diri didalam hutan itu sehingga mengejutkan para penjaga disekitar tempat ini, maka aku baru mendapat kesempatan untuk ngeloyor kemari”
“Siapaka orang itu” “Aku kurang jelas”
Setelah menghela napas serunya:
“Aku hanya tahu, orang yang ingin menggantung diri didalam benteng keluarga Tong ini bukan hanya dia seorang”
“Mengapa kau bersikeras datang kemari untuk mencari diriku?” kembali Bu ki bertanya. Tangan Lui Ceng thian berubah menjadi dingin seperti es, sahutnya agak gemetar: “Karena Mi Ci telah datang” “Mi Ci?”
“Mi Ci adalah bekas biniku dulu!”
“Darimana kau bisa tahu kalau dia telah datang?”
“Sebab hari ini, ada orang menghantarkan segenggam rambutnya kepadaku. !”
Saban hari pasti ada keranjang yang dikerek kebawah lubang, keranjang itu berisi makanan dan minuman.
Hari ini, selain isi keranjang itu adalah sepotong ayam, sepuluh biji bakpao dan sebotol besar air, terdapat pula seuntai rambut.
Meskipun aku tak dapat melihat, tapi aku dapat merasa bahwa rambut dalam genggamanku itu adalah rambutnya Mi Ci, demikian Lui Ceng thian menerangkan.
Benda yang dibuat olehnya adalah semacam senjata rahasia yang paling berbahaya didunia ini, sedikit teledor atau kurang berhati hati, bisa jadi mengakibatkan suatu ledakan dahsyat.
Ia sudah menjadi seorang buta, dia hanya mengandalkan ketajaman perasaan rabaannya untuk menentukan segala sesuatunya.
Sudah barang tentu, rabaan tangannya itu amat sensitip dan tajam sekali. “Aku tak bisa mengacuhkan dengan begitu saja”
“Haah?”
“Rupanya mereka sudah tahu kalau aku sengaja mengulur ulur waktu, maka kali ini aku hanya diberi batas waktu selama sepuluh hari”
“Batas waktu apa?”
“Mereka berdiri waktu sepuluh hari kepadaku untuk menyelesaikan tugas yang telah diserahkan kepadaku”
“Seandainya kau tak sanggup untuk melaksanakan?”
“Maka merekapun akan setiap hari mengirim semacam benda milik Mi Ci kepadaku!” Mi Ci adalah istrinya, sudah banyak tahun mereka hidup bersama, yang dirabanya setiap hari bukan cuma rambutnya saja.
Rambut yang dibelainya itu entah sudah dilakukan berapa kali, sudah barang tentu dia dapat merasakannya.
Teringat sampai kesitu, tiba tiba timbul perasaan kejut dalam hati Bu ki, tak tahan ia lantas berkata:
“Kalau toh orangnya saja sudah kau tinggalkan, apa artinya dengan segenggam rambut?” Suaranya telah berubah hebat:
“Hari pertama, mereka memberikan segenggam rambut kepadaku, hari kedua mungkin mereka akan serahkan sepotong jari tangan, hari ketiga batang hidung atau telinganya...”
Hari keempat akan mengirimkan apa? Hari kelima akan mengirim apa? Ia tak berani menyatakannya, bahkan Bu ki pun tak berani memikirkannya.....
“Ketika aku pergi meninggalkan dia, aku memang punya kesulitan yang tak bisa diterangkan kepada orang lain, meskipun orang lain belum tentu akan memahaminya, tapi dia tak mungkin tak akan mengerti”
“Oooh. ?”
“Dia tahu kalau aku mempercayainya, kecuali aku, hanya dia yang mengetahui rahasia ini” “Rahasia apa?”
Lui Ceng thian tidak langsung menjawab pertanyaan itu, ujarnya:
“Bukannya aku takut apa apa, yang kutakuti justru bila terjadi seandainya, aku rasa setiap orang persilatan pasti memahami akan arti kata tersebut, asal orang itu pernah berkelana didalam dunia persilatan, entah apapun yang sedang dia kerjakan, sudah mundur sendiri yang dipersilahkan lebih dulu”
Bu-ki juga memahami akan hal ini. Maka Lui Ceng thian berkata lebih jauh:
“Akupun terhitung juga seorang jago kawakan, maka sebelum bersekutu dengan benteng keluarga Tong, sebuah jalan mundur telah kupersiapkan dengan sebaik baiknya” Sekalipun apa yang diucapkan tidak terlamapu jelas namun Bu ki dapat memahami maksudnya.
Sebelum tiba dibenteng keluarga Tong, dia pasti telah menyembunyikan rahasia ilmu senjata dari Pek lek tong dan harta kekayaan yang dihimpunnya selama banyak tahun disuatu tempat yang amat rahasia, selain dia sendiri hanya Mi Ci yang mengetahui rahasia tersebut.
Kata Lui Ceng thian lebih jauh:
“Kalau lagi kubutuhkan saja kita dipupuk. Coba kalau sudah berhasil, mau diapakan diriku ini? Aku yakin, jika aku berhasil membuatkan San hoa thian li bagi keluarga Tong, sudah pasti mereka tak akan biarkan aku hidup terus”
“Maka dari itu bila kau tidak berhasil, sudah pasti mereka akan membunuh Mi Ci” “Oleh sebab itu aku harus datang mencarimu, akupun hanya bisa mencari dirimu” “Kau suruh aku pergi menolongnya?”
“Aku juga tahu kalau hal ini merupakan suatu pekerjaan yang sulit untuk dilakukan tapi kau harus membantuku untuk mencarikan suatu akal yang baik”
Bu ki termenung, lewat lama, lama kemudian, tiba tiba dia bertanya: “Tahukah kau tentang seorang manusia yang bernama Sangkoan Jin?”
“Tentu saja aku tahu, tapi selamanya aku memandang remeh manusia semacam dia itu” “Kenapa?”
“Sebab dia telah menghianati Tay hong thong!” jawab Lui Ceng-thian dingin. “Bukan kah Tay-hong thong adalah musuh bebuyutanmu?” tanya Bu ki keheranan
“Soal permusuhan adalah soal lain. aku selalu berpendapat hidup sebagai seorang manusia, lebih baik pergi menjual pantat daripada menjual teman sendiri”
“Tahukah kau bahwa saat ini diapun akan menjadi menantunya keluarga Tong. ”
“Aku tahu!”
Setelah tertawa dingin, kembali ujarnya: “Sekarang dia tinggal di gedung, yakni gedung ditempat yang kutempati, aku hanya berharap dikemudian hari ia pun memperoleh akhir seperti apa yang ku alami sekarang”
Mencorong sinar terang dari balik mata Bu-ki, katanya kemudian: “Akupun berharap kau bisa melakukan sesuatu perbuatan untukku” “Perbuatan apa?”
“Tentunya kau sangat ingat bukan dengan daerah serta jalanan yang berada didalam benteng keluarga Tong? aku harap kau dapat memberitahukan kepadaku, dimanakah letak gedung itu? Terdapat berapa buah kamar? Kemungkinan Sangkoan Jin tinggal dimana? Penjagaan disepanjang jalan itu terletak dimana?”
“Kau hendak pergi mencarinya?”
“Asal kau dapat membantuku untuk melakukan pekerjaan ini, apapun yang kau minta kukerjakan, pasti akan kululuskan”
Tiba tiba Lui Ceng thian tidak berbicara lagi, mendadak wajahnya menunjukkan suatu perubahan mimik yang sangat aneh, serunya kemudian:
“Aku sudah tahu siapakah kau!” “Siapakah aku?”
“Bukankah kau she Tio? Bukankah kau adalah Tio Bu ki, putranya Tio Kian. ?”
“Perduli siapakah aku, pokoknya sekarang kita sudah menjadi teman sealiran” Kemudian sambil menggenggam tangan Lui Ceng thian kencang kencan, terusnya:
“Aku hanya ingin bertanya kepadamu, bersediakah kau melakukan pekerjaan ini bagiku?” “Aku bersedia!”
Jawabannya sama sekali tidak sangsi lanjutnya:
“Bukan saja aku dapat memberitahukan kepadamu jalan menuju ke gedung tersebut lagipula akupun dapat melukiskan sebuah peta untukmu, sekalipun aku buta, tapi masih punya tangan, sekalipun aku tak dapat melihat lagi sekarang, tapi setiap jalanan setiap pos penjagaan yang berada didalam benteng keluarga Tong masih kuingat semua dengan jelas”
“Kapan kau bisa menyerahkan peta tersebut kepadaku?” “Besok!”
Setelah berpikir sejenak, lanjutnya:
“Ada kalanya penjagaan mereka ditengah hari jauh lebih kendor dan teledor, terutama setelah makan atau sebelum makan siang, kau harus mencari kesempatan untuk datang kemari”
“Jalan bawah tanah itu masih ada?” “Tentu saja masih ada”
“Mereka akan pergi ke ruang bawah tanah untuk mencarinya”
“Tak akan ada orang yang berani mendatangi ruanganku, sekalipun kau meminjamkan nyali untuk merekapun, mereka tak akan berani”
“Mengapa?”
Sambil membusungkan dada, sahut Lui Ceng thian dengan angkuh:
“Karena aku adalah Lui Ceng thian, Tongcu angkatan ketiga belas dari Kanglam Pel lek ting, Lui Ceng thian!”
Sekarang, walaupun dia sudah tak punya apa apa, tapi dalam ruangan itu masih terdapat obat peledak yang sanggup memusnahkan banyak orang.
“Tanpa persetujuanku, siapapun tak akan berani masuk kesitu; bila ada yang nekad maka jangan harap dia bisa keluar dari sana dalam keadaan hidup”
Sesudah berhenti sebentar, dengan dingin lanjutnya:
“Sebab asal aku lagi gembira, setiap saat aku dapat mengajak mereka untuk beradu jiwa” Seekor nyamukpun tak ingin mati, apalagi manusia?
“Tapi ular mati tak kaku harimau mati meninggalkan kulit”
Dia memang memiliki kelebihan yang bisa dibanggakan, walau dalam keadaan seperti apapun, dia bukan seorang manusia yang mudah dihadapi.........
Bu ki menghembuskan napas panjang, “Baik aku pasti akan pergi mencarimu” katanya: “bila ada kesempatan, aku pasti akan pergi mencarimu”
“Aku jamin kau tak akan menyesal bila mempunyai seorang sahabat seperti aku?”
*****
Bu ki telah kembali ke kamarnya dan membaringkan diri diatas pembaringan.
Dia percaya Lui Cen thian pasti dapat kembali dengan aman dan selamat, ada sementara orang walaupun berada dalam keadaan macam apapun, dia tak akan pernah kehilangan daya kemampuannya untuk melindungi diri sendiri.
Tak bisa disangkal lagi Lui Ceng thian adalah manusia semacam ini.
Selama dia masih bisa bernapas, tak akan ada orang yang mampu merobohkan dirinya secara mudah.
Ketika fajar hampir menyingsing, akhirnya Bu ki tertidur......
Tapi ia tak bisa tidur dengan nyenyak, dalam keadaan sadar tak sadar ia seakan akan menyaksikan seseorang menggantung diri dihadapannya.
Sebenarnya dengan jelas dia melihat kalau orang itu adalah Sangkoan Jin, tapi secara tiba tiba ternyata telah berubah menjadi dirinya
*****
MERPATI BERWARNA HITAM
Bulan empat tanggal dua puluh empat, hari cerah:
Sewaktu Bu-ki tersentak bangun dari impian buruknya, matahari telah mencorong diluar jendela,
Ternyata Tong Koat telah datang, ia sedang menggerakkan tangannya yang kecil putih lagi gemuk itu untuk menyantekkan daun jendela:
Diluar jendela sana terbentang sebuah hutan yang hijau dan permai, udara amat segar lagi nyaman.
Tong Koat berpaling, ketika melihat ia telah membuka matanya, segera diacungkan jempolnya sembari memuji: “Hebat, kau memang betul betul hebat!” “Hebat?”
Tong Koat tertawa, sahutnya:
“Hebat artinya kau benar benar luar biasa, betul betul luar biasa sekali!” “Kau bilang aku hebat, kau bilang aku betul betul luar biasa sekali ?”
“Yaa, memang begitulah”
“Apa yang luar biasa dengan diriku?”
Sekali lagi Tong Koat memicingkan matanya, kemudian katanya sambil tertawa:
“Tentu saja kau luar biasa, bahkan akupun sama sekali tidak mengira kalau begitu cepatnya kau telah berhasil”
“Oooh. ?”
“Akupun tidak menyangka kalau kau akan menggunakan cara semacam itu, selain aku, tak ada yang tahu kalau kaulah yang telah membinasakan dirinya”
“Oooh. ?”
Dia benar benar tidak mengerti apa yang sesungguhnya sedang dibicarakan oleh Tong Koat.
“Sekarang aku baru tahu, aku memang tidak sia sia membayar sepuluh laksa tahilperak kepadamu” Tong Koat melanjutkan.
“Oooh. ?”
“Hayo cepat bangun, mari kita bersama sama pergi sarapan” Gelak tertawanya bertambah riang:
“Hari ini meskipun nafsu makanku kurang begitu baik, tapi kita pasti dapat bersantap dengan sebaik baiknya untuk merayakan keberhasilan ini ”
Akhirnya Bu ki tak kuasa menahan dirinya, dia lantas bertanya: “Kita hendak merayakan apa?” Tong Koat tertawa terbahak bahak,
“Haaahhh....haaahhh....haahhh. kau memang pandai sekali bermain sandiwara, tapi buat apa
kau musti berlagak semacam itu dihadapanku?”
Sambil terbahak bahak, dia lantas menepuk bahu Bu ki, lanjutnya:
“Tak usah kuatir, dihadapan orang lain aku tak akan menuduh dirimu, aku pasti akan mengatakan kalau dia mati karena menggantung diri, tapi sekarang hanya kita berdua yang mengerti, kau mengerti akupun mengerti, sekalipun ia benar benar menggantung diri, paling tidak kaulah yang membuat tali gantungan tersebut baginya”
“Kemudian kau baru masukkan tengkuknya kedalam tali gantungan tersebut?” lanjut Bu ki Tong Koat tertawa terbahak bahak.
“Haaahhh....haaahhh....haahhh. tepat sekali”
Bu ki tidak berbicara lagi:
Sekarang dia sudah memahami maksud pembicaraan Tong Koat.
Orang yang menggantung diri didalam hutan semalam, ternyata adalah Siau Poo. Tong Koat telah menganggap Siau Poo mati ditangan Bu ki.
Karena dia tahu manusia semacam Siau Poo, tak nanti akan menggantung dirinya sendiri.
Karena dia telah menyerahkan uang sebesar sepuluh laksa tahil perak kepada Bu ki untuk membunuh Siau Poo.
Orang yang ahli dalam membunuh manusia selalu akan membunuh korbannya sedemikian rupa sehingga memberi kesan kepada orang lain bahwa dia mati bukan lantaran pembunuhan.
“Bila beberapa hal ini dipersatukan padaku maka duduknya persoalan menjadi jelas dan terang benderang bagaikan batu kali dikala sungai mengering..”
Bahkan Bu ki sendiripun hampir saja menaruh curiga kalau Siau Poo telah mati ditangannya, sebab diapun percaya Siau Poo tak akan menggantung dirinya sendiri.
Sekarang dia telah tahu kalau Siau Poo mempunyai tugas rahasia yang besar, tanggung jawab yang berat, sekarang tugas berat itu belum selesai dikerjakan, mustahil dia akan menghabisi nyawanya sendiri tanpa suatu alasan. “Tapi Bu ki pribadipun sudah pasti tahu, kalau dia sama sekali tidak membunuh Siau Poo” “Lantas, siapakah yang memaksa Siau Poo untuk menggantung diri?”
“Apa sebabnya?”
Persoalan itu kembali berkecamuk didalam benak Bu ki, ia merasa bingung dan tak habis mengerti, teka teki tersebut serasa sukar untuk dipecahkan.
Sarapan pagi itu benar benar amat mewah dan lezat.
Tong Koat melahap hidangan tersebut dengan penuh kenikmatan, sudah setengah jam lebih ia bersantap, tapi sampai saat ini sumpitnya belum juga diletakkan.
Belum pernah Bu-ki menjumpai orang yang bisa menghabiskan sarapan paginya dalam jumlah sebanyak ini.
Warung teh ini seperti pula dengan warung warung teh lainnya, sudah barang tentu bukan hanya mereka berdua saja yang datang untuk sarapan pagi.
Tapi sekarang saatnya untuk sarapan telah lewat, tamu tamu yang lainpun sebagian besar telah bubar.
Akhirnya Tong Koat menurunkan kembali sumpitnya, lalu mencuci tangannya yang kecil, putih dan gemuk itu didalam sebuah baskom yang terbuat dari tembaga, kemudian menyeka mulutnya yang kecil dengan mempergunakan secarik handuk yang putih bersih.
Dia memang seorang yang suka kebersihan.
“Sekarang, apakah kita boleh pergi dari sini?” kata Bu-ki selanjutnya.
Tong Koat menggelengkan kepalanya berulang kali, tiba tiba bisiknya dengan lirih: “Tahukah kau, kenapa aku menyuruhmu pergi membunuh Siau Poo?”
“Karena kau benci kepadanya”
Tong Koat segera tertawa
“Kalau aku harus mengeluarkan uang sebesar sepuluh laksa tahil perak untuk membunuh orang lantaran rasa benci saja, sekarang mungkin aku sudah bangkrut”
Kemudian sambil merendahkan suaranya dia melanjutkan: “Aku suruh kau membunuhnya, karena dia adalah seorang mata mata!” Terperanjat Bu ki setelah mendengar perkataan itu.
“Dia adalah seorang mata mata?” serunya “masa manusia macam dia bisa menjadi mata mata?”
“Sekilas pandangan, tampaknya dia memang tidak mirip, sayang dia justru adalah seorang mata mata”
Setelah tertawa, lanjutnya:
“Seorang mata mata yang sesungguhnya, harus tampak seakan akan bukan seorang mata mata”
“Emm, betul juga!”
Kembali Tong Koat memandang kearahnya dengan sepasang mata penuh senyuman yang tajam itu.
“Misalnya kau. ”
“Kenapa dengan aku?”
“Kaupun tidak mirip seorang mata mata” katanya sambil tertawa “kalau kau dikirim sebagai seorang mata mata, maka hal ini paling cocok sekali”
Ia lantas tertawa cekikikan, suara tertawanya mirip seekor rase yang kena digebuk manusia: Bu ki pun sedang memandang kearahnya, bahkan matapun tidak berkedip, ujarnya hambar: “Jadi kau curiga akupun seorang mata-mata?”
“Terus terang, sebenarnya aku merasa agak curiga kepadamu, itulah sebabnya aku suruh kau membunuh Siau Poo”
“Oooh?”
“Mata mata yang datang kemari sebagian besar adalah orang orang Tay hong thong sebab orang lain tak mempunyai kepentingan untuk menyerempet bahaya itu. Merekapun tak akan memiliki nyali sebesar ini”
“Oooh?” “Bila kaupun seorang mata mata, kaupun anggota Tay hong thong, tak nanti kau akan membunuhnya”
“Itu mah belum tentu” kata Bu ki “Belum tentu?”
“Andaikata akupun seorang mata mata, untuk membersihkan diriku dari segala tuduhan, aku justru harus membunuhnya!”
Tong Koat tertawa terbahak bahak.
“Haaahhh......haaahhhh....haaahhhh. masuk akal, masuk akal, kau memang lebih sempurna
memikirkannya”
Setelah berhenti sebentar, katanya lagi. “Tapi ada satu hal yang belum kau pikirkan” “Soal yang mana?”
“Dia sendiri sama sekali tak tahu kalau kita telah membongkar rahasianya, kaupun tidak tahu” Bu ki mengakui akan kebenaran dari ucapan tersebut.
Mereka selalu menganggap bahwa Siau Poo cukup baik menutupi identitasnya.
“Kalau toh kalian semua tak tahu kalau kami telah mengetahui akan rahasianya, maka alasanmu itu pada hakekatnya tak bisa dipertahankan lagi ” kata Tong Koat.
Kemudian ia menjelaskan lebih lanjut:
“Oleh sebab itu bila kau adalah mata mata sekalipun telah membunuhnya juga tak akan bisa mencuci bersih dirinya sendiri, bila kau bukan mata mata, tentu saja juga tak akan tahu kalau dia adalah mata mata, maka kau baru akan membunuhnya”
Sebenarnya kesimpulan semacam ini amat rumit, harus mempunyai suatu jalan pemikiran yang tajam dan teliti baru dapat memahaminya.
Tak bisa disangkal lagi dia memang mempunyai jalan pemikiran yang amat teliti.
Cuma sayang dibalik peristiwa ini justru masih ada suatu kunci yang paling penting lainnya yang tak pernah ia sangka sama sekali. Bu ki tidak membunuh Siau Poo.
***** Lantas siapa yang telah membunuh Siau Poo? Karena apa dia dibunuh?
Peristiwa ini masih merupakan sebuah teka teki yang tak terungkapkan.
Setelah mengetahui alasan Tong Koat hendak membunuh Siau Poo, bukan saja teka teki ini tak terungkapkan, malahan justru makin membingungkan hati.
Untung saja teka teki semacam ini tak pernah akan diketahui oleh Tong Koat.
“Kalau toh kau telah membunuh Siau Poo, itu berarti kau bukan mata mata dari Tay hong tong” kembali Tong Koat berkata.
Setelah tersenyum, dia melanjutkan:
“Oleh sebab itu akupun mencarikan sebuah tugas lagi untuk kau lakukan. !”
“Tugas apa?”
Tiba tiba Tong Koat bertanya:
“Tahukah kau Sangkoan Jin adalah seorang manusia macam apa?” Mengapa ia menyinggung Sangkoan Jin secara tiba tiba?
Bu ki tidak habis mengerti, paras mukanya juga tidak berubah, sahutnya kemudian. “Aku mengetahui sedikit tentang dirinya, tapi tidak begitu jelas”
“Orang ini amat pendiam, tapi dingin, seram dan tidak berperasaan, dan lagi dia mempunyai kemampuan untuk mengingat selain apa yang pernah dilihatnya”
“Soal ini, sudah pernah kau bicarakan denganmu”
“Orang ini cuma mempunyai satu hal yang paling menakutkan” “Hal yang mana?” “Dia seakan akan tak pernah percaya kepada siapapun juga, sudah hampir setahun lamanya dia datang kemari, namun tak seorang manusiapun yang dapat mendekatinya, lebih lebih lagi tak ada orang yang bisa berkawan dengannya.
Pelan pelan Bu ki merasakan hatinya bagaikan sedang tenggelam ke bawah......
Bila orang orang dari keluarga Tong saja tak sanggup mendekati Sangkoan Jin sudah barang tentu dia lebih lebih tak mungkin bisa mendekatinya.
Bila ia tak dapat mendekati orang ini mana mungkin bisa memperoleh kesempatan untuk membalas dendam?
“Tapi orang ini memang benar benar seorang manusia berbakat alam yang amat sukar dijumpai dalam dunia persilatan” kata Tong Koat lebih jauh, “kedudukannya ditempat ini pun kian hari kian bertambah penting urusan tetek bengek yang tidak penting artinya tak sudi ia campur lagi ”
“Maka kenapa?”
“Maka dia ingin mencari orang untuk membantunya mengurusi urusan kecil yang tetek bengek itu?”
Setelah berhenti sebentar, dia melanjutkan:
“Akupun beranggapan bahwa dia memang membutuhkan seseorang untuk membantunya menyelesaikan banyak persoalan kecil itu, karenanya aku telah bersiap siap mencarikan seseorang baginya”
“Siapa yang hendak kau pilih?” “Kau!”
Paras muka Bu ki tetap dingin, kaku tanpa emosi, tapi jantungnya telah berdebar keras sekali.
Dia selalu mencari kesempatan untuk mendekati Sangkoan Jin, selalu mencari akal untuk mengunjungi tempat tinggal Sangkoan Jin.
Mimpipun tak disangka, akhirnya kesempatan sebaik ini tahu tahu terjatuh dari atas langit.
“Kau bukan anggota keluarga Tong, antara kau dengannya juga tidak mempunyai hubungan apa apa, lagipula kau cerdik dan pandai bekerja, ilmu silat yang kau miliki juga tinggi, siapa tahu dia akan menyukai dirimu. ?” ujar Tong Koat. “Bila aku dapat mendekatinya, maka akupun akan mendapat tahu hal hal lain yang tak diketahui orang, dan aku pun akan datang memberitahukan hal ini kepadamu”
Tong Koat segera tertawa terbahak bahak.
“Haahh...... haahhh..... haaahhhh. tepat sekali, memang tepat sekali”
Setelah tergeletak kembali, dia menepuk bahu anak muda itu sambil ujarnya lebih lanjut: “Aku sudah tahu kalau kau memang orang yang cerdik, cerdiknya bukan kepalang”
Bila aku benar benar seorang yang cerdik, aku takkan melakukan pekerjaan semacam ini,\. “Kenapa?”
“Seorang yang cerdik tak akan melakukan pekerjaan yang sama sekali tak bermanfaat bagi dirinya sendiri”
Pekerjaan ini tentu saja ada manfaatnya pula bagimu. “Manfaat apa?”
“Aku tahu kalau kau punya musuh besar yang selalu ingin merenggut nyawamu” Tentu saja Bu ki mengakuinya.
“Jika telah menjadi pengurusnya Sangkoan Jin, entah siapa itu musuh besarmu, kau tak perlu untuk merasa kuatir lagi” kata Tong Koat lebih lanjut.
Bu ki tidak berbicara lagi.
Padahal dalam hatinya ia sudah merasa setuju semenjak tadi, namun bila terlalu cepat ia menerima tawaran itu, sedikit banyak pasti akan menimbulkan kecurigaan orang.
“Sekalipun Sangkoan Jin orangnya licik dan berbahaya, namun jiwanya tak sempit, selama disampingnya, tak nanti tiada keuntungan yang bisa kau raih”, kata Tong Koat lagi.
Kemudian sambil memicingkan matanya dan tertawa, dia melanjutkan:
“Tentunya kau juga tahu bukan bahwa akupun bukan seseorang yang berjiwa sempit” Bu ki tak perlu berpura pura lagi..........
Segera tanyanya: “Kapan kita baru akan pergi menjumpainya?” “Kita harus menunggu lagi”
“Masih harus menunggu apa lagi?”
“Untuk mendatangi benteng keluarga Tong bukan suatu hal yang sulit, tapi untuk mendatangi “Kebun bunga” hal ini teramat sukar”
“Kebun bunga?”
Sekali lagi jantungnya berdebar keras, tentu saja dia tahu tempat macam apakah yang disebut kebun bunga itu.
Tapi dia tak bisa tidak harus bertanya.
Kebun bunga adalah tempat terlarang didalam benteng keluarga Tong, ujar Tong Koat menerangkan, “Sangkoan Jin berdiam didalam kebun bunga itu, tanpa persetujuan dari nenek moyang, akupun tak berani membawamu mengunjungi Kebun bunga”
Setelah menghela napas, lanjutnya:
“Sekarang, walaupun aku telah mempercayaimu, nenek moyang masih mengharuskan aku untuk menunggu lagi”
“Menunggu apa?” “Menunggu kabar” “Kabar apa?”
“Nenek moyang telah mengutus orang pergi kedesa kelahiranmu untuk memeriksa asal usulmu, sekarang kami sedang menantikan kabar berita mereka”
Setelah tersenyum, dia melanjutkan:
“Tapi kau tak usa kuatir. Kami tak akan menunggu terlalu lama, hari ini mungkin kabar itu sudah akan sampai”
Hari ini baru tanggal dua puluh empat, jaraknya dengan batas waktu yang ditentukan Bu ki sendiri masih ada tiga hari. “Bila orang lain yang harus melakukan pekerjaan ini, paling tidak mereka membutuhkan waktu lima enam hari, tapi kami takut kau terlalu gelisah bila menunggu terlalu lama, maka sengaja kamu suruh orang untuk melaksanakannya secara khusus, kebetulan sekali belakangan ini kamipun berhasil membeli seekor kuda jempolan dari Lau Pat yang sedang bangkrut karena hartanya habis dimeja judi, dan kebetulan pula ada orang yang mampu menunggang kuda cepat ini”
Kuda dari Lau Pat itu, bukan lain adalah kuda milik Bu ki.
Walaupun Bu ki tahu kalau kuda ini bisa lari dengan cepat, tapi mimpipun ia tak menyangka kalau kuda itu bakal terjatuh ke tangan keluarga Tong.
“Orang yang kami utus itu bukan saja memiliki gerakan tubuh yang enteng seperti walet, lagipula cerdik dan pandai bekerja”
Setelah tertawa amat nyaring, dia menambahkan:
“Oleh karena itu, aku dapat menjamin paling lambat tengah hari nanti, ia pasti sudah ada kabar yang dikirim kembali
*****
Paras muka Bu ki masih saja tidak menunjukkan perubahan apa apa.
Bila ada perubahanpun, kemungkinan besar dia sendiri juga tak tahu perubahan macam apakah itu.
Pengorbanan yang dikeluarkan olehnya siksaan yang dialami dan penderitaan yang dijalani, sekarang telah berubah menjadi sepeserpun tak ada harganya
Karena sekarang ia sudah punya waktu. Tak ada waktu berarti tiada kesempatan.
Tak ada waktu berarti segala sesuatunya akan bubar.
Kini sudah mendekati tengah hari, jaraknya dengan batas waktu yang ditetapkan sendiri tinggal satu jam lebih.
Didalam waktu satu jam yang teramat singkat ini, apa lagi yang bisa dia lakukan? Satu satunya yang bisa ia lakukan sekarang adalah menunggu kematian tiba. Seandainya berganti orang lain, mungkin dia akan segera melompat bangun menerjang keluar dan kabur dari benteng keluarga Tong.
Tapi ia tidak berbuat demikian.
Sebab dia jauh lebih sanggup menahan diri daripada siapapun, jauh lebih sabar dan tahan uji daripada orang lain.
Dia tahu menerjang keluar dari situ juga mati.
Sebelum keadaan mencapai saat yang paling kritis, dia tak akan meninggalkan setiap kesempatan yang mungkin terjadi dengan begitu saja.
Selain mereka, diatas loteng warung teh itu masih ada enam meja orang, pada setiap meja terdapat dua tiga orang.
Posisi tempat duduk dari ke enam meja itu amat strategis dan luar biasa, jaraknya dengan meja yang ditempati Bu ki tidak terlalu dekat, pun tidak terlalu jauh.
Kebetulan sekali, meja yang ditempati Bu ki itu letaknya persis ditengah tengah kerumunan ke enam buah meja tersebut.
Bila dia hendak keluar, entah kearah manapun dia akan pergi, ia musti melewati mereka.
Bila mereka hendak menghalangi Bu ki, hal tersebut sesungguhnya bukan suatu pekerjaan yang terlampau sulit.
Orang orang yang berada di keenam meja itu ada yang tua ada yang muda, tampangnya ada yang jelek adapula yang ganteng, namun mereka mempunyai satu kesamaan.
Sorot mata mereka semua memancarkan sinar tajam yang menggidikan hati, dibalik jubah panjangnya dekat bagian pinggang terdapat satu bagian tepat yang menonjol keluar.
Tak bisa disangkal lagi, orang orang yang duduk di keenam meja itu merupakan juga jago lihay dari keturunan keluarga Tong dan tak bisa disangkal pula ditirubuh mereka masing masing menggembol senjata rahasia keluarga Tong yang sanggup merenggut nyawa siapa saja.
Tiba tiba Bu ki tertawa, lalu berkata: “Nenek moyang kalian itu sungguh hebat sekali, cara kerjanya pun pasti amat teliti”
Tong Koat turut bersenyum. “Bila seorang dapat hidup mencapai tujuh puluh delapan tahun mau tak mau cara kerjanya pasti akan sangat teliti” “Tentunya orang orang itu sengaja diutus olehnya untuk mengawasi diriku bukan?”
Tong Koat tidak menyangkal. “Yaa, ornag orang yang berada di keenam buah meja itu, memang orang orang yang ditugaskan mengawasi dirimu dalam saku emreka telah siap senjata rahasia khusus yang dipersiapkan sendiri oleh nenek moyang kami”
“Waah... kalau senjata rahasia itu dipersiapkan sendiri oleh nenek moyangmu, sudah pasti senjata rahasia yang digunakan adalah barang barang pilihan?”
“Sudah barang tentu!”
Setelah berhenti sebentar kembali ujarnya: “Bukan saja dalam saku mereka membawa senjata rahasia yang begitu bertemu darah lantas merenggut nyawa, kepandaian yang mereka milikipun merupakan jago jago kelas satu dalam dunia persilatan,b ahkan beberapa orang enci tong ku juga turut dikirim kemari.
Setelah menghela napas panjang dan tertawa getir dia melanjutkan lebih jauh: “Sudah barang tentu rencana ketat semacam ini bukan muncul atas prakasaku, sebab terus terang saja kukatakan, aku sudah mempercayai dirimu sertaus persen”
“Ooooh. !”
Bu ki tidak mengucapkan apa apa, dia hanya mendesis.
“Akan tetapi, bila kau berani berbohong dihadapan nenek moyangku, bukan saja aku tak bisa menyelmatkan jiwamu, aku rasa dikolong langit dewasa inipun tak akan ada seorang manusia lagi yang bisa menyelamatkan jiwamu dari bahaya maut yaaa, tak bisa disangkal lagi, kau
pasti akan menjadi landak yang hitam hangus, hancur oleh racun yang berada diujung senjata rahasia”
“Kalau toh kau sangat percaya kepadaku, mengapa pula kau harus menguatirkan keselamatan jiwaku?” tanya Bu ki kemudian dengan suara keras.