Jilid 04
"Waktu itu kami pun berniat terus kabur, tetapi sekonyong- konyong telah muncul lagi seorang wanita muda, Hian-hong menyebutnya sebagai Ang-koh, waktu Hian-hong hendak mengejar kami, gadis itu malah mencegahnya, karena itu juga kami baru bisa pulang dengan selamat dan hingga kini kami tetap tidak mengerti akan hal itu."
"Bukankah gadis itu mengenakan pakaian kuning gading dan berangkin merah, di pinggir gelungnya tersunting setangkai bunga Giok-lan (cempaka)?" tanya Hong-ko.
"Ya, betul! Bagaimana kau bisa mengetahui?" sahut Yan Ie- lam suami isteri dengan terheran-heran.
Hong-ko lantas menceritakan pengalamannya bagaimana setelah dapat memperoleh Pi-hwe-tju, mutiara anti api, ia kembali dengan menumpang perahu, tetapi tanpa sengaja telah mengintip rahasia dalam kapal sebelah perahunya
Kedua suami isteri itu menjadi girang mengetahui kawan mereka sudah mendapatkan sebutir mutiara idaman mereka, mereka teringat juga bahwa Tosu dan kakek yang Hong-ko lihat dalam kapal itu tentu adalah mereka yang semaiam menyerbu Mo-dji-tje.
Mereka coba menerka siapa gerangan gerombolan orang itu, namun tiada seorang pun di antara mereka yang bisa mengutarakan pendapat yang tepat, lebih-lebih siapa adanya si gadis itu.
Begitulah maka Hong-ko lantas ikut Yan Ie-lam berdua kembali ke Pek-hoa-ho. Mengenai gadis yang menjadi pertanyaan mereka itu, oleh perkumpulan agama Pek-lian-kau disebut Ang-koh, usianya tak lebih dari dua puluh tahun, tetapi kepandaiannya sudah tinggi sekali, ia adalah murid dari Bu-tong-pay, kemudian berguru pada tiga tokoh utama dari Khong-tong-pay, kini ia sedang bertugas berkeliling untuk menyebarkan ajaran agama mereka.
Sewaktu ia sampai di Tay-beng-hu. sebuah kota besar di Hopak, seorang imam dari Pek-lian-kau di tempat itu yang bernama Liok-ni Tjindjin memberitahukan padanya tentang selentingan bahwa Tjhi Djin-ho diam-diam mengirim mutiara mestika pada Tam Ting-siang, oleh karena itu lantas ia mengumpulkan begundalnya dengan maksud hendak memperoleh mutiara mestika itu, untuk kelak dipersembahkan kepada ketua agama mereka, Ong Bing.
Tetapi belakangan waktu diselidiki lagi, ia mengetahui bahwa Tjhi Djin-ho minta pengawalan beberapa Kiam-khek dari Khong-tong-pay yang masih terhitung seperguruan mereka, maka Ang-koh menjadi ragu-ragu dan tak berani sembarangan turun tangan
Akhirnya ia mendapat laporan lagi bahwa Tjin-tju-goan yang dicari-cari itu dikawal oleh seorang pemuda yang menggendong 'pedang perjalanan' dari Go-bi-pay. Oleh sebab itu, maka ia terus menguntit, namun masih agak terlambat dari Yan le-lam dan kawan-kawan
Malam-malam ia menyelidik ke Pek-hoa-ho seperti apa yang telah dikisahkan di depan ini. Waktu itu walaupun orang- orang kosen di dalam ruangan tidak sedikit tetapi karena mereka sedang asyik menyelidiki barang-barang yang dibawa oleh Teng Hong-ko, hingga tiada yang sadar bahwa mereka kedatangan tamu yang tak diundang. Peristiwa itu tidak membawa hasil bagi Ang-ko, namun sekilas ia dapat melihat wajah Hong-ko, yang seperti sudah sangat ia kenal.
Sekembalinya ia menjadi tak habis pikir cara bagaimana Hong-ko bisa berkecimpung di antara benggolan kaum Liok- lim itu, juga ia belum mengetahui bahwa Hong-ko pun anak murid dari Go-bi-pay pula.
Justru kali ini ia menuju ke utara untuk menjalankan tugas, selang beberapa hari Liok-ni Tjindjin melaporkan padanya bahwa sebutir di antara mutiara-mutiara mestika itu sudah jatuh di tangan kaum Liok-lim dari Mo-dji-tje.
Rupanya ia tertarik oleh laporan itu, maka ia mengirim seorang jagoan dari Pek-lian-kau untuk mencari tahu kebenaran laporan tersebut, orang yang ia kirim adalah 'Go- mo Li" atau orang she Li bulu angsa, mungkin karena kemahirannya dalam ilmu mengentengkan tubuh sungguh luar biasa, laksana seenteng bulu angsa, maka ia dijuluki serupa itu sampai nama aslinya sendiri terlupakan.
Go-mo Li terhitung tingkatan tua dari Ko-yang-pay dan seperguruan dengan "Sip-tiat-hong' Ie Djan. ilmu silatnya tinggi, belasan tahun yang lalu ia adalah begal tunggal yang berkeliaran di sekitar Tiang-kang, belakangan ia baru memasuki Pek-lian-kau dan diberi pangkat sebagai Tjiangkun' atau jenderal, kini ia mengiringi Ang-koh membikin pergerakan untuk agama mereka ke berbagai tempat.
Ketika Gui Djing-si dengan akal bulusnya menggondol lari 'Ting-hong-tju', mutiara anti angin, Go-mo Li dan Ang-koh sebenarnya pun sudah bersembunyi di sekitar markas Mo-dji- tje, begitu ia mengetahui Gui Djing-si kabur dengan menggondol mutiara mestika, segera pula mereka menguntit di belakangnya.
Memang Gui Djing-si lagi apes, maka di tengah jalan ia sudah dicegat oleh Ang-koh dan hanya dengan tiga kali gebrakan saja imam celaka itu sudah tak berdaya dan menyerahkan mutiaranya yang ia dapat dari mengakali orang.
Siapa tahu bahwa belalang menangkap tonggeret dikuntit burung gereja di belakangnya, malam itu juga Gui Djing-si dibawa Bun Sui-le pergi mencari padanya hingga akibatnya terjadilah pertarungan ramài seperti apa yang telah diceritakan di depan.
Pertarungan yang tidak sampai tuntas itu disebabkan Ang- koh ada janji dengan Hian-hong Totiang, maka ia tidak ingin bertempur terus, sebaliknya Bun Sui-le kuatir kalau si gadis itu masih mempunyai kawan yang mengumpet di sekitar situ, maka ia pun tidak mengejar, ia hanya balik masuk ke dalam rumah gubuk dimana tadi Ang-koh tinggal untuk memeriksanya, tanpa disengaja ia menemukan sebuah pening besi, barang ini ialah apa yang disebut 'Thian-hu' oleh orang Pek-lian-kau, ialah barang yang hanya dimiliki oleh pemimpin dari agama liar itu, barang itu gunanya untuk menunjukkan kedudukan pemegangnya di antara sesama anggota agama.
Oleh karena kehilangan pening besi yang sangat penting itu, maka belakangan Ang-koh mengumpulkan Liok-ni Tjindjin dan Go-mo Li untuk mengadakan rapat di atas kapal yang mempunyai ruangan susun itu, dengan tugas supaya mereka mencari kembali 'Thian-hu' yang hilang itu.
Mengenai janji pertemuan antara Ang-koh dengan Tjian- pwe seperguruan mereka, Hian-hong Totiang, hal ini disebabkan karena ia mendengar di samping Ie Djan dan kawan-kawan yang dikirim untuk mengawal mutiara mestika, diam-diam Hian hong Totiang diundang pula sebagai pelindungnya.
Ang-koh tidak gentar terhadap le Djan dan kawan-kawan, namun ia jeri kepada Hian-hong Totiang, oleh sebab itu ia berjanji untuk bertemu dengannya, maksudnya ialah memohon Hian-hong supaya jangan ikut campur tangan. Namun Hian-hong yang sudah mempunyai kedudukan baik dalam kalangan persilatan, ia tidak ingin melakukan perbuatan yang mengingkari peraturan Kangouw, malam itu ia tidak pergi menemui Ang-koh menurut apa yang telah dijanjikan, sebaliknya ia memerintahkan le Djan berangkat setengah hari lebih ga-sik, sudah itu baru ia menyusul untuk memapak Ang- koh dengan maksud menasehatinya jangan turun tangan.
Tak ia duga, begitu iring-iringan kereta sampai di hutan Tjo, mereka sudah kena diingusi oleh Teng Hong-ko dan kawan-kawan, hingga kereta nomor tujuh kena dilarikan.
Apabila kemudian Hian-hong Totiang pun sampai di hutan itu, namun Hong-ko sudah telanjur kabur.
Sedang Giok-bin-yao-hou waktu nampak Hian-hong, segera ia mengenali kaum Tjianpwe yang telah datang, karena gurunya dengan Hian-hong mempunyai hubungan baik, ia pun mengetahui kelihaian Hian-hong, maka seketika itu juga ia lantas angkat kaki, sedang Hian-hong pun tidak mengejarnya, bahkan ia mengaku pada le Djan sebagai seperguruannya.
Kala itu masih ketinggalan Yan Ie-lam suami isteri yang masih belum bisa meloloskan diri, sedang Hian-hong berniat meringkus mereka untuk memberi pertanggung-jawabannya kepada Tjhi Djin-ho, tak terduga sekejap itu Ang-koh pun muncul.
Sebenarnya gadis itu lagi mendongkol karena imam tua itu tidak menepati janji pertemuan mereka, waktu bertemu ia sudah dapat menduga imam di depannya ini tentu ialah Hian- hong Totiang, berbareng itu ia pun mengetahui kereta ;udah dilarikan orang, maka makin mengkal hatinya. Karena itu juga, maka sewaktu ia melihat Hian-hong hendak mengejar Yan Ie- lam berdua, lantas ia sengaja membikin susah imam tua itu, ia minta agar mereka berdua itu dilepaskan pergi.
Dengan tindakannya itu pertama-tama ia hendak membiarkan Hian-hong kehilangan keretanya tanpa ada seorang pun penjahat yang ditangkapnya, dengan demikian sulitlah baginya mempertanggung-jawabkannya. Kedua, karena pada malam itu di Pek-hoa-ho ia sudah mendapat kabar bahwa Yan Ie-lam adalah wakil pemimpin dari Ang-ting- kau di Soatang yang memuja Tjosu yang sama dengan Pek- lian-kau. maka sekalian ia memberikan jasa baiknya terlebih dahulu.
Yan le-lam sendiri yang bisa lolos dengan gampang, ia pun merasa terheran-heran oleh sebab itu.
Sebenarnya Ang-koh bermaksud agar muatiara mestika yang kedua pun bisa sekalian diperolehnya, tak ia duga rencananya gagal bahkan pening besi 'Thian-hu' yang ia bekal malah hilang, oleh karena itu ia lalu mengumpulkan pemimpin Pek-lian-kau setempat untuk merundingkan bagaimana menangkap Giok-bin-yao-hou untuk memperoleh kembali 'Thian-hu' miliknya, dengan begitu ia tidak sampai mendapat teguran dari Kau-tju atau ketua agama mereka.
Liok-ni Tjindjin dan Go-mo Li yang mendapat tugas melaksanakan penangkapan itu, mereka mendapatkan kabar bahwa Giok-bin-yao-hou sudah kabur menuju ke Mo-dji-tje, maka kedua orang itu lantas mengerahkan pengikut-pengikut mereka dari berbagai kalangan dan berbondong-bondong mengeluruk ke Mo-dji-tje, hingga akibatnya Liok Ing, Mo Djit dan banyak lain-lainnya dibunuh habis.
Waktu itu sebenarnya Giok-bin-yao-hou justru sampai di luar markas Mo-dji-tje, tetapi begitu menampak pasukan besar yang membanjir, seketika itu juga ia kabur, oleh sebab itulah Go-mo L i menubruk tempat kosong.
Begitulah kisah mengenai si gadis, Ang-koh. Sementara itu, Teng Hong-ko yang ikut Yan Ie-lam berdua kembali ke Pek- hoa-ho, untuk beberapa lama ia tinggal di tempat ini.
Pada suatu pagi hari. Teng Hong-ko berjalan-jalan ke bukit di sebelah belakang kediaman mereka. Waktu itu kabut pagi baru saja buyar, burung-burung ramai berkicauan, ia memandang ke arah Pek-hoa-ho atau sungai bunga putih, air sungai yang bening laksana cermin dihiasi oleh sinar sang surya yang menyorot kemerah-merahan, mulai menjulang ke angkasa raya di sebelah timur, sinar matahari yang menyorot menembus gumpalan awan membuat bumi yang luas menuju ke suasana yang ramai saja.
Selagi Hong-ko menikmati pemandangan alam yang cantik indah itu, tiba-tiba ia melihat di tepi sungai sedang berdiri seorang gadis dengan potongan langsing menarik laksana bidadari dari kayangan.
Gadis itu berdiri mungkur, agaknya masih belum mengetahui bahwa dirinya sedang diincar orang di atas bukit, terlihat ia sedang berjongkok dan dengan mencerminkan diri di air sungai ia tengah menyisir rambutnya yang hitam gombyok, sepasang tangannya tertampak sebatas pergelangan tangan, putih laksana salju dan memakai dua gelang, pinggangnya yang ramping menggiurkan membikin hati Hong-ko berdebar dan jantungnya berdenyut.
"Di perkampungan ini yang tinggal semuanya laki-laki yang tegap gagah, darimana bisa terdapat seorang gadis secantik ini?" begitu ia berpikir dan bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Tengah ia terpesona, tiba-tiba gadis tadi kebetulan menoleh, waktu ia lihat Hong-ko sedang memandang padanya, ia bersuara kaget. Mengetahui perbuatannya sudah kepergok orang, lekas Hong-ko turun kembali dari bukit itu dan sedianya hendak terus pulang.
Tak ia duga, tiba-tiba bayangan orang berkelebat, dalam sekejap saja gadis tadi ternyata sudah berdiri di hadapannya.
"Eh. kau mengintai orang lagi menyisir, begitu saja kau lantas hendak mengeluyur pergi?" tegur gadis itu dengan suara merdu.
Bun Sui-le mengajak Hong-ko ke tepi sungai. Hong-ko jadi terperanjat ketika tahu-tahu orang sudah berada di depannya.
Apabila kemudian ia menegasi, maka ia menjadi terkesima.
Gadis itu berkulit putih bersih dan cahaya mukanya terang, kedua matanya jeli bersinar tajam. Tersorot oleh sinar matanya itu, seketika ia seperti terpengaruh dan tak berani memandang terus ke arah gadis itu.
Hong-ko insyaf gadis ini pasti ahli silat juga, maka ia tak berani sembarangan.
"Harap nona suka memaafkan," katanya lekas. "Tjayhe (aku, kata-kata yang merendah) tadi tidak lain sedang berjalan-jalan, sesungguhnya tidak sengaja hendak mengintai nona sedang menyisir."
Dalam pada itu, rupanya gadis itupun sedang mengamat- amati padanya.
"Siapakah saudara, sudah dua hari aku di sini, mengapa masih belum pernah berjumpa dengan kau?" tanyanya tiba- tiba sambil melangkah maju.
Atas pertanyaan itu. seketika Hong-ko menjadi bingung dan tak dapat menjawab.
"Ehm, mengapa tak kau jawab?" terdengar gadis itu mendesak pula.
"Tjayhe bernama Siau Kim-kong, baru kemarin datang ke sini bersama Yan-toako!" terpaksa Hong-ko menyahut.
"Oh, kiranya adalah Teng Hong-ko Hengte, beruntung sekali kita bisa bertemu" tiba-tiba gadis itu berkata dengan tertawa.
Begitu wajar tertawanya, sedikitpun tiada tanda dibuat- buat dan genit, seperti sebagai tanda sambutan baik terhadap Hong-ko. Belum pernah ada kesempatan Hong-ko bergaul dengan lawan jenisnya, oleh karenanya kini ia menjadi kikuk dan serba salah karena kebohongannya terbongkar. Tetapi pandangan mata gadis itu ternyata semakin tajam menatap Hong-ko, hingga pe
138
muda itu menunduk makin dalam karena kikuknya.
"Teng-hengte, katanya kau adalah seorang lelaki yang luar biasa, mengapa menampak aku menjadi begitu malu-malu, apa kau takut padaku?" tiba-tiba gadis itu menjawil lengan bajunya. "Aku bernama Bun Sui-le, marilah kita omong-omong sambil duduk di atas batu besar di tepi sungai itu."
Mendengar siapa orang dihadapannya ini, Hong-ko menjadi terkejut.
"Eh. kiranya dia inilah yang bernama Giok-bin-yao-hou Bun Sui-le, mengapa ia bisa datang di Pek-hoa-ho sini?" begitulah Hong-ko berpikir. "Kabarnya ia adalah seorang kepala begal di daerah utara Siamsay, tetapi melihat orangnya, siapa bisa percaya dia ini seorang iblis wanita yang membunuh orang tanpa berkedip!"
"Kiranya adalah Bun-tjetju." katanya kemudian sembari memberi hormat. "Harap maafkan aku yang kurang hormat, kapankah Tjetju datang ke sini?"
"Hari itu kau melarikan kereta di luar hutan, wanita yang berkedok itu bukankah diriku!" sahut Giok-bin-yao-hou sembari berjalan menuju ke tepi sungai. "Belakangan aku menuju ke Mo-dji-tje dengan tujuan untuk mencari pemimpin dari Liong-bun-pang, tak tahunya Mo-dji-tje sudah kena diobrak-abrik oleh gerombolan Pek-lian-kau, baru setelah itu aku menuju ke sini untuk memberi kabar, tidak terduga Tju- kat Beng dan kawan-kawan siang-siang sudah datang lebih dulu daripadaku." Mendengar keterangan itu, barulah Hong-ko tahu bahwa wanita berkedok yang memakai cambuk bukan lain ialah Giok- bin-yao-hou, apabila hari itu tidak berkat dia menahan 'Sip- tiat-' >ng' le Djan, maka tidak mungkin dengan begitu gampang dirinya bisa melarikan kereta, karenanya dalam hati lantas timbul perasaan terima kasih
Sementara itu Bun Sui-le sudah duduk di bawah pohon Liu yang rindang sedang Hong ko duduk sambil bersandar pada batu padas.
"Hari itu berkat bantuan Tjetju, Tjayhe masih belum sempat menghaturkan terima kasih, sungguh menyesal sekali," ujar Hong-ko padanya.
"Saudara telah memperoleh sebutir mutiara mereka, betu!
Dukan?" dengan tertawa Bun Sui-le menyahut.
Terkejut sekali Hong-ko, kali ini ia berhasil merampas Pi- hwe-tju dari dalam semangka, yang mengetahuinya melulu Yan le-lam suami isteri, tak ia duga Liok-lim wanita mi ternyata sudah mendapat tahu juga, melihat orang memang lihai, maka lekas Hong-ko coba mengalihkan pembicaraannya, la tak berani menyinggung soal Po-tju lagi.
Agaknya Bun Sui-le pun mengetahui pikiran orang, maka ia pun tidak bertanya lebih jauh.
Setelah mereka berdua bercakap-cakap sejenak, tiba-tiba Hong-ko teringat sesuatu.
"Bun-tjetju, Tjayhe tempo hari lewat Un-ho (Terusan besar) kebetulan mengintai sebuah kapal sebelah, ternyata ada seorang gadis yang berusia masih muda sekali, ada orang menyebut padanya Ang-koh, apakah Tjetju mengetahui asal- usul gadis itu?" tanyanya.
Atas pertanyaan orang itu, Bun Sui-le memandang si pemuda. "Apakah kau merasa heran karena gadis itu? Tetapi sungguh tidak kecil asal-usulnya!" sahutnya kemudian.
Habis berkata, ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah benda terus diserahkan pada Hong-ko.
"Coba kau lihat," sambungnya lagi. "Barang ini ialah apa yang kaum Pek-lian-kau sebut 'Thian-hu'. bahkan adalah semacam tanda pengenal dari pemimpin mereka, gadis yang kau lihat itu oleh anggota Pek-lian-kau di sekitar Tiang-kang dipanggil sebagai 'Sian-koh" (nona dewi), kedudukannya dalam perkumpulan agama mereka sangat tinggi, aku harap kau tidak akan bertemu dia lagi."
Apa yang disebut 'Thian-hu" itu tidak lebih hanya sebuah pening besi yang terukir dengan mantera-mantem. warnanya ki hitam-hitaman dan mengkilap terkena sinar matahari.
Saat itu pikiran Hong-ko sedang melayang, mehiynnjj jmili ke masa anak-anak, yakni kepada kawan ciliknya. IV k Ini' dji Waktu perpisahan mereka yang terakhir, ia ikut ayahnya hn-,i bung dengan 'Thong-thian-kiu-tju' Ong Bing, ayah ling dji, IVi Ting-djoan menjabat Kun-su atau kepala staf dalam pcrkuiupul an Pek-lian-kau, kalau begitu, tampaknya bukan mustahil "m koh ini ialah Pek Eng-dji adanya.
Menampak pemuda itu sedang melamun tanpa menghirau kan sekitarnya, Bun Sui-le tersenyum.
"Lagi apakah kau? Apakah sedang mengenangkan v.uli-, itu?" godanya.
Karena banyolan orang, Hong-ko menjadi jengah, miik.i nya berubah merah.
"Tjetju jangan menertawakan aku." lekas ia menjawab "Tadi Tjayhe mendengar Tjetju bilang jangan ketemukan dia aku lalu berpikir, apakah ia itu betul mempunyai tiga kepala dan bertangan enam?" Ketika sedang asyik mereka berbicara, tiba-tiba mereka di kagetkan oleh seruan yang datang dari belakang mereka, "Baru-, sekali, baru kamu berkenalan sudah begitu asyik!"
Kiranya yang membentak dari belakang itu ialah It-tun Ki su Si Liang.
Kali ini kedatangan Giok-bin-yao-hou Bun Sui-le ialah untuk menemui pemimpin dari Liong-bun-pang Tju-kal Heng dan lain-lain benggolan dari sekitar Tjwan-siam, oleh karena itu Si Liang menyediakan sebuah kamar tersendiri pada «buah rumah di luar perkampungan mereka.
Bun Sui-le terhitung tokoh nomor satu atau dua dari lunr golan kaum Liok-lim di daerah barat-laut, keganasannya d m ki pandaiannya siapa saja tenfu jeri padanya, maka tiada yang b rani ayal menghadapinya.
Kedatangan Hong-ko kemarin dengan terburu-buru, ia masih belum sempat berkenalan dengan Giok-bin-yao-hou, kini kena digoda oleh perkataan Si Liang, keduanya menjadi jengah.
"Ki-su, kau begini sembrono, sampai apa yang hendak aku tanyakan pada Teng-hengte menjadi terputus oleh karena kau," ujar Bun Sui-le.
Melihat orang berkata dengan sikap wajar. Si Liang tak berani menggoda lagi.
Maka lekas ia berkata, "Yan-tayhiap ada di dalam. Ia sedang mencari Teng-hengte!"
Kemudian mereka bertiga lalu bersama-sama kembali ke dalam perkampungan.
Begitulah, dalam dua hari ini begitu ada waktu senggang, segera Bun Sui-le mencari Teng Hong-ko, kadang-kadang membicarakan ilmu silat, kesemuanya Bun Sui-le jauh lebih mengerti dan lebih banyak pengalaman, bahkan kiam-hoatnya yang tunggal 'Thian-mo-kiam-hoat' adalah ajaran tunggal dari Thian-san-pay.
"Bun-tjetju, mengapa tempo hari Hian-hong Totiang mengaku kau sebagai seperguruannya?" tanya Hong-ko.
"Cerita itu cukup panjang," sahut Bun Sui-le. "Selamanya belum pernah aku menceritakan hal itu kepada orang lain. Teng-hengte harus berjanji pegang rahasia, baru aku bisa memberitahukan padamu."
"Tjetju adalah ahli Thian-san-kiam-hoat. terhadap pintu perguruan mengapa harus secara sembunyi-sembunyi begitu?" ujar Hong-ko dengan tak mengerti.
Atas perkataan orang itu, muka Bun Sui-le berubah merah "Itulah sebabnya aku hendak merahasiakannya," katanya
kemudian dengan menunduk. "Orang-orang Kangouw sekarang ini tiada yang mengetahui asal-usulku, sebabnya ialah selamanya belum pernah aku memberitahukan pada orang."
Ia mendekati Hong-ko, dengan pandangan matanya yang menarik dan mengandung kasih ia melanjutkan pula.
"Teng-hengte, harap jangan kau katakan pada orang lain, aku sebenarnya she Lian, Bun Sui-le hanya nama sesudah aku berkelana, guruku ialah Hong-lui Tjindjin, belakangan ia telah bertirakat ke Thian-san, dengan Ang-ie Lihiap mereka menjadi sahabat kekal dalam dunia persilatan dan sama-sama berdiam di atas gunung itu, hanya yang seorang di sebelah utara dan yang lain di selatan, guruku berdiam di Hong-lui-koan sebelah selatan, ia telah mendapatkan ajaran persahabatan 'Thian-mo- kiam-hoat' yang tunggal dari Ang-ie Lihiap dan kemudian diturunkan pula padaku, dengan pesan harus memegang teguh dan taat pada larangan perguruan."
"Tak terduga, sesudah aku turun gunung, aku menemukan musuh yang pernah membunuh orang tuaku, seketika itu juga aku melanggar pantangan perguruan dan balas membunuh mereka hingga akhirnya aku hendak digerebek oleh kawanan pemimpin liok lim didaerah barat laut, dengan sekaligus pula akhirnya aku dapat mengalahkan mereka semua. Waktu itu 'Hoat-giam-ong' Mo Djit berlawanan dengan aku, tetapi ia kena aku bekuk namun tidak kubunuh, hanya aku mengusir dia dari sarangnya di Djit-hong-san, dengan begitu aku lantas merebut sarangnya itu dan jadilah aku kepala bandit dari Liok- lim. Karena aku takut menodai nama peguruan, oleh sebab itu aku tidak berani mengunjukkan asal-usul diriku yang sebenarnya, aku mengaku pada orang sebagai anak murid Khong-tong-pay."
Setelah mengetahui riwayat hidupnya yang ringkas, Hong- ko merasa wanita ini walaupun melakukan pekerjaan membunuh dan merampok, tetapi ia sedikitnya masih sadar bahwa perbuatan itu bukan pada tempatnya, terhadap perguruannya ia masih menaruh hormat dan takut pula, orang bilang dia begitu kejamnya, namun mungkin masih dapat diinsyafkan untuk meninggalkan pekerjaan Liok-lim yang tak bersih itu.
Maka lantas ia buka suara pula. "Kiranya Tjetju berasal dari Thian-san-pay," katanya. "Tetapi kini tersesat di dalam kalangan Liok-lim, pantas kau menyembunyikan perguruan dan tak mau berterus terang, Tjayhe sungguh ikut menyayangkan diri Tjetju!"
"Betulkah kau ikut menaruh simpati padaku?" tiba-tiba Bun Sui-le bertanya. "Belum pernah aku mendengar orang berkata begitu padaku, mereka selamanya tersenyum dan mengum- pak padaku, hanya saudara seorang betul-betul adalah sahabatku!"
"Meskipun Tjayhe lebih muda dari kau, namun masih paham juga akan kebenaran dari orang-orang dunia persilatan." kata Hong-ko juga. "Tjetju bersedia mengikat persahabatan dengan aku, sudah tentu di luar harapanku." "Betulkah perkataanmu?" dengan girang Bun Sui-le menggenggam tangan si pemuda. "Berapa usiamu tahun ini? Tampaknya kau masih harus panggil Tjitji padaku!"
Kini Hong-ko tidak kikuk seperti dua hari yang lalu, ia hanya merasa tindak-tanduknya dan senyumannya menarik dan suka padanya, maka ia harap bisa lebih banyak berdekatan dengan dia.
Sesudah Hong-ko menerangkan umurnya, ternyata Bun Sui-le tiga tahun lebih tua dari dia.
"Tjitji!" begitulah ia berseru pada Bun Sui-le.
Bukan main rasa girang Bun Sui-le, sinar matanya kemalu- maluan tetapi mukanya berseri-seri.
"Hiante, selanjurnya harap kau lebih berdekatan dengan aku, apabila yang aku perbuat salah, jika kau yang menegurnya bagaimanapun aku tak mungkin gusar," sahurnya. "Terus terang saja, kalau bukan kau, Hiante, siang- siang aku sudah akan merampas kabur Po-tju yang ada dalam sakumu itu."
Karena perkataan terakhir itu, Hong-ko jadi terperanjat.
Melihat wajahnya yang berubah, Bun Sui-le dapat menduga isi hatinya.
"Tak usah kau kuatir," ia menghibur. "Apa kau masih tidak percaya padaku?"
Dalam saat demikian ini, Hong-ko tidak ingin mengaku bahwa dalam sakunya tersimpan sebutir mutiara, tetapi tak berani pula ia mencoba berdusta, karena itu seketika ia jadi me-lenggong.
Nampak sikap orang itu, Bun Sui-le tertawa cekikikan. "Lihat sikapmu yang malu-malu seperti anak perempuan saja, coba kau lihat apa ini yang ada dalam tanganku!" ujarnya kemudian. Sesudah itu ia segera merogoh ke saku bajunya, kemudian ia membuka genggaman tangannya, maka sekejap sinar gemerlapan mencorot menyilaukan pandangan mata, di tengah telapak tangannya ternyata adalah sebutir mutiara mestika.
Bukan main terkejutnya Hong-ko, lekas ia meraba ke sakunya, namun mutiaranya ternyata sudah lenyap, ia menjadi bingung sejak kapan dan cara bagaimana mutiara itu bisa berpindah tangan, saking gugupnya ia menjadi merah padam dan memandang orang dengan melongo.
"Hiante, kini sudah kau ketahui bahwa aku sungguh baik hati terhadapmu," terdengar Bun Sui-le buka suara dengan lagu suara yang enak didengar. "Mutiara yang harganya tak ternilai ini baiknya kau simpan baik-baik, jangan sampai diketahui orang lain, mereka tidak mungkin sama seperti aku bisa mengembalikan pada pemiliknya!"
Cepat saja Hong-ko menerima Po-tju itu. dengan pelahan- lahan ia memanggil, "Tjitji yang baik!"
Sebenarnya ia hendak mengucapkan beberapa patah kata untuk menyatakan rasa terima kasihnya, tetapi entah mengapa hatinya bergoncang keras, ia tak mampu mengucapkannya.
Sementara itu, tiba-tiba muka Bun Sui-le berubah menjadi muram durja.
"Hiante," katanya. "Malam ini juga aku sudah harus meninggalkan Pek-hoa-ho, entah kapan baru kita bisa bersua kembali!"
Sambil berkata, tenggorokannya menjadi sesak, suaranya pun berubah berat.
Hong-ko masih mengira orang lagi berguyon padanya. "Apa yang sudah kau katakan," tanyanya. "Jangan kau
dustai aku, kita belum merundingkan baik-baik apa yang hendak kita bicarakan di sini, apa mungkin mereka membiarkan kau berangkat tergesa-gesa?"
Ternyata Hong-ko tidak tahu bahwa beberapa hari ini, para benggolan telah mendapat kabar bahwa sebabnya gerombolan Pek-lian-kau mengobrak-abrik Mo-dji-tje tujuannya sebenarnya ialah hendak mencari Giok-bin-yao-hou buat bikin perhitungan, karena ia membawa kabur pening besi, 'Thian- hu', benda ini adalah tanda pengenal dari pemimpin Pek-lian- kau, maka Ang-koh semula hendak mengeluruk sendiri ke
Pek-hoa-ho buat mencari Bun Sui-le, tetapi sementara itu telah mendapat laporan bahwa Tjhi Djin-ho masih berdiam di Hoa-san dan Tjin-tju-goan atau topi bertabur mutiara tak lama lagi akan dibawa ke Soatang oleh dua pendekar dari Khong- tong pay.
Karena itu Si Liang mengumpulkan para pemimpin untuk berunding, ia mendapatkan satu akal 'It-tjio-dji-niau' atau satu batu dua burung, terangnya sekali tepuk dua lalat, ialah dengan meminta agar Giok-bin-yao-hou suka mengintai ke Hoa-san, markas yang berada di Djit-hong-san di sekitar pegunungan Hok-gu-san, terhadap tempat-tempat itu ia tentu sangat paham sekali, dengan begitu bila ia sudah meninggalkan Pek-hoa-ho, seumpama Ang-koh mengeluruk datang, boleh dengan alasan Bun Sui-le tidak ada di tempat mereka, dengan begitu baru bisa menghindarkan permusuhan dengan kaum Pek-lian-kau. kedua kalau Bun Sui-le sudah berhasil mengintai gerak-gerik Tjhi Djin-ho, segera mereka akan berangkat buat mencegat Tjin-tju-goan.
Dengan cara mengatur kaum Liok-lim Tjwan-siam ini sebenarnya melanggar kejujuran dan setia kawan dalam kalangan Kangouw, karena 'Hoat-giam-ong' Mo Djit dan 'Pek- bin-hou' Liok Ing tempo hari justru tewas di tangan Liok-ni Tjindjin. seharusnya mereka berusaha membalaskan sakit hati kawan-kawan mereka, namun mereka ternyata berbuat sebaliknya. Tetapi begitu menyebut Pek-lian-kau, di antara mereka sudah banyak yang jeri terhadap pengaruh dari agama liar itu, ditambah keterangan Yan Ie-Iam yang mengisahkan pengalamannya bahwa kepandaian Ang-koh begitu hebat, sampai Hian-hong Totiang dari Khong-tong-pay harus mengalah padanya, maka tiada yang berani coba-coba mengusiknya, mereka lebih suka mempedayai Bun Sui-le pergi dari tempatnya, untuk menghindarkan permusuhan dengan Ang-koh.
Sudah tentu Bun Sui-le memahami maksud tujuan mereka, semula ia sudah hendak mengumbar kegusarannya, tetapi setelah dipikir lagi kalau sampai bentrok dengan kawanan pemimpin Liok-lim ini juga tiada manfaat baginya, akhirnya ia memutuskan berangkat dari situ untuk bertindak lebih jauh.
Sesudah Bun Sui-le menceritakan rahasia di belakang layar itu, tak tertahan lagi Hong-ko menjadi penasaran, timbul ketidakadilannya.
"Ini usul siapa, hanya seorang pemimpin wanita dari satu agama liar, mengapa harus begitu takut padanya!" dengan gemas ia berkata.
Namun Bun Sui-le sudah menahannya.
"Hiante tak perlu gusar," ujarnya. "Kali ini adalah Yan le- lam yang mengundang kedatangan berbagai pemimpin Liok- lim itu, kini mereka berdua tak berani berlawanan dengan Pek- lian-kau, siapa lagi yang berani coba-coba mengusiknya. Tapi aku pun mengetahui kesukaran mereka, karena mereka suami isteri adalah pemimpin dari Ang-ting-hwe di Soatang."
Atas perkataan orang itu, tampak Hong-ko terdiam. "Kabarnya Kau-tju dari Ang-ting-kau pun berasal dari Pek-
lian-kau," terdengar Bun Sui-le melanjutkan lagi. "Dengan sendirinya mereka dipesan agar jangan bermusuhan dengan Pek-lian-kau. Hanya saja Tju-kat Beng dan kawan-kawan dengan mata kepala sendiri mengetahui saudaranya sendiri dari daerah Tjwan-siam dibunuh orang, mereka sama sekali tidak tergerak perasaannya, sungguh keterlaluan!"
Setelah menceritakan hal itu, dengan rasa masih gemas Bun Sui-le kembali ke kamarnya.
Malam itu juga, Teng Hong-ko yang tidur di atas sebuah loteng kecil, dari jendela memandang air sungai, sinar sang dewi malam yang mencorot terang membikin air sungai menjadi berkilauan.
Selagi ia layap-layap hendak tertidur, mendadak ada angin mendesir kencang dari luar jendela, menyusul itu dengan cepat sekali melompat masuk seorang.
Tanpa ayal Hong-ko segera melompat bangun, ia menyambar pedangnya terus dilolos.
Namun bila kemudian ia menegasi, ternyata yang melompat masuk itu bukan lain ialah Bun Sui-le, jarinya menutup bibirnya dengan maksud agar Hong-ko jangan buka suara.
Lekas Hong-ko menutup rapat daun jendela.
"Le-tjitji, sudah jauh malam, ada keperluan apakah?" tanyanya kemudian dengan bisik-bisik.
"Lekas kau berpakaian dan ikut aku berangkat!" kata Bun Sui-le. "Tju-kat Beng dan Liu Ut berdua sudah mengetahui bahwa kau telah berhasil merampas sebutir mutiara, dengan segera mereka akan naik ke sini untuk bikin perhitungan padamu, kau harus berhati-hati!"
Hong-ko menjadi terkejut atas berita itu, karena soal perampasan Po-tju itu adalah Yan Ie-lam suami isteri yang suruh ia menutup rahasia.
Sementara itu Bun Sui-le mendesak pula.
"Lekas, kalau terlambat mereka pasti akan datang, lekas kau berangkat bersama aku!" pintanya. Seketika itu Hong-ko ternyata tak sanggup mengambil ke- putusan, ia bergegas menggendong buntalannya.
"Kita menuju kemana? Apa mereka tidak mengejar?" tanyanya di samping telinga orang.
"Lekas ikut aku!" begitulah Bun Sui-le menjawab dengan singkat.
Sesudah itu mereka mendorong daun jendela terus melompat keluar.
Di luar sinar bulan purnama, lekas mereka mengitar ke belakang perkampungan, mereka mendaki bukit di belakang.
Dengan ilmu entengi tubuhnya, Bun Sui-le menggandeng tangan Hong-ko terus berlari menuju ke atas. Pada malam hari mereka seperti dua ekor burung garuda yang terbang cepat, se-dikitpun tanpa menerbitkan suara.
Melihat kepandaian berlari cepat dengan enteng Bun Sui-le masih di atas dirinya, diam-diam Hong-ko merasa kagum.
Tidak berselang lama, mereka sudah sampai di dataran atas bukit, di depan mereka penuh puncak yang sandar- menyandar, baru setelah itu Bun Sui-le melepaskan cekatannya, ia masih terus membawa Hong-ko berlari menuju ke barat secepat terbang.
Setelah lewat sekira dua jam, mereka sudah meninggalkan Pek-hoa-ho sejauh belasan li.
Saat itu fajar sudah hampir menyingsing, untuk melepaskan lelah mereka mengaso di bawah pohon yang rindang.
"Tjitji, apakah kau hendak ke Hoa-san untuk mengintai gerak-gerik Tjhi Djin-ho?" tanya Hong-ko.
Atas pertanyaan itu, Bun Sui-le mengangguk membenarkan. "Kita telah bercapek-capek lari kian kemari untuk membegal Tjin-tju-goan, kini hanya kau yang mendapatkan sebutir mutiara, sebutir lainnya sudah jatuh di tangan Ang- koh," katanya kemudian. "Kalau kita bisa menuju ke Kim-so- koan di Hoa-san untuk merebut sekalian sebutir Po-tju yang masih ketinggalan itu dari Tjhi Djin-ho, barulah perjalanan kita tidak sia-sia."
Akan tetapi Hong-ko ragu-ragu dengan ucapan orang. "Tjitji," katanya. "Aku kuatir beberapa Kiam-khek dari
Khong-tong-pay yang tinggal di Hoa-san, kesemuanya termasuk orang-orang yang tidak lemah, hanya dengan kekuatan kita berdua, mungkin masih belum mampu memperoleh mestika itu."
"Mengapa Hiante mengunggulkan kepandaian orang lain dan merendahkan kepintaran sendiri," sahut Bun Sui-le, "Hendaklah diketahui bahwa Tjitjimu ialah anak murid dari Thian-san-pay dan Hiante adalah jagoan dari Go-bi-pay, apakah kita harus takut mereka?"
Tengah mereka berbicara, tertampak di bawah gunung ada sedikit sinar api, mereka menduga tentu adalah tempat tinggal orang, maka lantas mereka turun dengan pelahan bermaksud meminta sedikit air untuk menghilangkan rasa haus.
Tak tahunya, setelah dekat baru mereka ketahui adalah sebuah kuil yang dikelilingi dengan pagar tembok yang kemerah-merahan, di tengahnya berderet dua pendopo pemujaan dan masih ada sebuah ruangan patung Buddha.
Dari jauh mereka sudah mendengar suara-suara kentongan yang ditabuh, tentu Nikoh yang berdiam dalam kuil itu sedang beribadat pagi.
Bun Sui-le yang sudah banyak berpengalaman, ia mengerti pantangan Kangouw : "Ketemukan kelenteng masuk sembahyang, berjumpa dengan kuil jangan masuk". Sebabnya ialah 'am-theng' atau kuil pemujaan bagi kaum Nikoh tak bisa dibandingkan dengan kuil tempat Hwesio, ada rahasia yang tak ingin orang luar mengetahuinya, apalagi kuil Nikoh yang berada di tempat terpencil seperti ini. kalau Nikoh- nya tidak memiliki sedikit kepandaian, mana berani dan tahan terhadap gangguan penjahat dan pencuri.
Oleh karena itu diam-diam ia menyuruh Hong-ko membikin enteng tindakannya, mereka tidak mengetok pintu depan, tetapi mengitar ke belakang kuil, mereka melayang naik ke atas pagar tembok.
Mereka melihat di atas ruangan susun pemujaan masih ada sinar pelita yang kelap-kelip menyala, dengan gerakan 'Pek- ho-djiong-siau" atau bangau putih menjulang ke angkasa, mereka meloncat menuju ke pagar kayu pada loteng pemujaan itu, di situ Terdapat sebuah jendela bundar, dengan berjinjit-jinjit mereka mendekati jendela itu dan mengintai ke dalam.
Demi melihat ke dalam, seketika itu juga Hong-ko menjadi tercengang.
Ternyata yang duduk di dalamnya bukan lain ialah gadis yang tempo hari dijumpainya di atas kapal yang beruangan susun dulu itu, romannya rada mirip dengan Pek Eng-dji yang ia kenangkan siang dan malam.
Dalam pada itu Bun Sui-le pun sudah mengenali siapa orangnya, ia menoleh dan mengedipi Hong-ko, terus menuding pula ke dalam.
Ketika kemudian Hong-ko melongok lagi, maka terlihat olehnya dari sebelah dalam telah masuk pula seorang Nikoh setengah umur memakai jubah longgar berbelah samping, tindakannya antap, matanya bersinar, gampang orang mengetahui ia adalah seorang padri yang memiliki ilmu silat.
Melihat kedatangan Nikoh itu, gadis yang disebut Ang-koh berbangkit menyambutnya. "Oh, Subo telah kembali!" ia menyapa.
"Sejak sore kemarin sudah kembali, karena Sian-koh tertidur, maka tak berani aku membikin ribut!" sahut padri wanita itu.
"Apakah Biau-hoat Tjindjin dari Ang-ting-hwe ada balasannya?" tanya si gadis pula.
"Ada." sahut si Nikoh sembari duduk. "Ia bilang semuanya menurut."
Tiba-tiba Ang-koh berbangkit mendekati si Nikoh. "Apa si Liu Ut itu ada kabar balasan yang dibawakan
padamu?" dengan suara rendah ia bertanya lagi.
Mendengar nama Liu Ut, salah seorang benggolan yang ikut hadir di Pek-hoa-ho, Hong-ko menjadi tergerak hatinya.
"Sian-koh. Liu-thotju telah menerima obat tidur itu, ia berjanji malam ini juga merobohkan Giok-bin-yao-hou dan membiarkan Sian-koh melenyapkan jiwanya," terdengar Nikoh itu menyahut pula.
Atas jawaban itu Ang-koh tersenyum.
"Bagus, malam nanti harap Supoh membikin perjalanan bersama aku ke Pek-hoa-ho!" ujarnya dengan mantap.
Sampai di sini Giok-bin-yao-hou tak bisa menguasai diri lagi, api amarahnya memuncak, dengan sekali dupak ia bikin terpentang daun jendela, menyusul itu dari luar terus ia membentak, "Perempuan siluman dari Pek-lian-kau! Bun Sui-le ada di sini, lekas keluar buat menerima kematianmu!"
Habis berkata senjatanya pun segera ia lolos terus melompat maju.
Karena kejadian yang sekonyong-konyong itu, Hong-ko menjadi kaget, lekas ia mendekam di pinggiran talang rumah. Dalam pada itu, sinar api di dalam loteng tadi dengan cepat pun sudah padam hingga keadaan menjadi sunyi sepi sejenak. Hong-ko mengerti keadaan sunyi itu tidak lebih hanya pendahuluan dari akan datangnya hujan angin badai.
Ketika ia memandang lagi, ia lihat daun jendela sudah rusak didepak Bun Sui-le tadi, sedang di dalam loteng tadi gelap gulita tak tampak satu bayangan pun.
Mendadak ia mendengar ada suara angin mendesir, menyusul mana dua sinar mengkilap menyambar keluar dari kegelapan itu terus menuju ke muka Bun Sui-le.
Tetapi segera sudah terlihat ia melompat ke samping sambil pedangnya menyampuk, seketika itu juga terdengar suara jatuhnya logam yang gemerincing.
Dalam sekejap itu, sesosok bayangan hitam laksana anak panah pun sudah melayang keluar dari jendela, berbareng itu terlihat sinar padang berkelebat, dengan gerakan 'Lak-gwe- hui-siang' atau salju bertebaran di bulan enam, ujung pedangnya dengan membawa titik-titik putih yang gemerdep mengurung ke atas kepala Bun Sui-le.
Orang yang melayang keluar ini kemudian dapat dikenali Bun Sui-le, bukan lain ialah Ang-koh itulah.
Giok-bin-yao-hiu sudah banyak berpengalaman dalam pertempuran besar, oleh sebab itu begitu melihat am-gi atau senjata gelap menyambar, ia insyaf segera juga orangnya pasti menyusul sampai juga, maka tak berani ia ayal, Thian- mo-kiam-hoat telah ia keluarkan, dengan tipu-tipu serangan dari Thian-san-pay itu ia menangkis serangan musuh tadi hingga menerbitkan suara karena beradunya senjata.
Serangan yang pertama tak berhasil, Ang-koh bergeser ke samping dan menyusul menikam pula dengan gerak tipu 'Thio- fiang-hian-eh' atau Thio Liang mempersembahkan sepatu. Bun Sui-le tak berani gegabah, lekas ia melangkah maju dan senjatanya memutar, dengan sedikit menekuk lutut ia menangkis pula pedang lawan.
Begitulah silih berganti kedua orang itu saling rangsek di atas genteng rumah, saking serunya pertarungan mereka hingga membikin Hong-ko ikut berdebar-debar.
Tidak berselang lama, mereka ternyata sudah bergebrak beberapa puluh jurus, dalam pada itu dari dalam loteng tiba- tiba melayang keluar pula sesosok bayangan hitam.
"Perempuan liar darimanakah berani datang kemari membikin kacau rumah sunyi ini, sungguh seperti nyamuk menubruk api, cari mampus sendiri!" terdengar orang itu membentak.
Menyusul itu, tangannya bergerak, secepat kilat sebelah tangannya menghantam Bun Sui-le.
Mendengar berkesiurnya angin, Giok-bin-yao-hou mengetahui datangnya serangan, ia membalikkan pedangnya untuk menyambut tangan orang.
Sudah tentu bayangan orang yang bukan lain adalah Nikoh tadi, tidak berani mengadu tangannya dengan senjata tajam, ia menekan ke bawah tangannya terus mendadak menonjok lagi ke pinggang lawan.
Sementara itu Bun Sui-le sedang memutar senjatanya menyambut pedang Ang-koh, dengan demikian ia harus menghadapi keroyokan dua orang yang menyerang dari dua jurusan.
Menyaksikan keadaan berbahaya itu diam-diam Hong-ko menguatirkan keselamatannya.
Namun belum sampai ia bertindak, ia lihat dengan tepat Bun Sui-le membalik, berbareng itu secepat kilat sebelah kakinya menendang. Nikoh itu pun sama sekali tidak menyangka lawannya ternyata bisa begitu lihai, cepat ia harus menarik kembali serangannya tadi namun ilmu tendangan Bun Sui-le cukup terkenal dan disegani, dengan menyambarnya satu bintik putih, kaitan tajam di ujung sepatunya sudah berhasil mampir di jubah Nikoh itu hingga segera terkait robek lebar.
Masih mujur bagi Nikoh itu yang cepat bisa menarik kembali serangannya tadi, kalau tidak, lengannya akan kena digasak oleh serangan tadi.
Rupanya Ang-koh sangat terkejut oleh tipu serangan yang luar biasa itu hingga kawannya kena dipecundangi, lekas ia kencangkan pedangnya untuk memaksa Bun Sui-le tak sempat mendesak si Nikoh lebih jauh.
Kini Nikoh atau Hwesio wanita itu pun tak berani sembrono lagi, ia merobek sekalian lengan bajunya yang terkait robek tadi, sudah itu pada waktu Bun Sui-le sedang menyambut serangan senjata dari kawannya, tak ayal lagi segera ia mengeluarkan pukulan 'Liok-hap-tjio' yang membagi dari dua jurusan kanan dan kiri untuk menggempur Bun Sui-le dari samping.
Karena keroyokan ini, mau lak mau Giok-bin-yao-hou merasa kerepotan juga oleh beberapa kali pukulan si Nikoh.
Dalam sekejap saja kembali belasan jurus telah lewat, dengan satu lawan dua Giok-bin-yao-hou sudah mulai merasakan agak payah, dalam hati ia rada mengomeli Hong- kos mengapa tidak tampil maju membantu padanya.
Sementara itu tiba-tiba Ang-koh merubah permainan kiam- hoat-nya, ia unjukkan serangan-serangan yang mematikan dari perguruannya, mendadak ia membabat dari samping atas terus ke bawah.
Lekas Bun Sui-le menggeser pergi berbareng pedangnya membalik, dengan gerakan 'Pi-bun-ku-khek' atau menutup pintu menolak tetamu, seketika ia dapat menahan senjata lawan.
Kesehatannya tidak berhenti sampai di situ saja, ia membarengi pula balas menyerang, secepat kilat pedangnya pun ia tusukkan, akan tetapi karena itu ia sendiri pun tak terjaga pula.
Nikoh tadi cukup cepat, ia melayang maju, 'Oh-tiap-tjio' atau pukulan kupu-kupu, ia hantamkan secepat angin, dalam keadaan demikian terpaksa Bun Sui-le harus menarik pedangnya buat membela diri.
Akan tetapi juga pada saat sekejap itu, menyusul pedang Ang-koh pun sudah berkelebat, ujung senjata itu telah menutul ke mukanya.
Diancam bahaya itu, tampaknya Bun Sui-le sudah tidak mungkin bisa menghindarkan diri lagi.
Tak terduga, pada saat itu tiba-tiba terdengar mendesirnya angin, menyusul tangan Ang-koh tergetar pergi dan dengan sekali jeritan ia roboh menggeletak.
Melihat Ang-koh mendadak seperti terkena oleh senjata rahasia dan roboh terguling, selagi Bun Sui-le berniat melompat maju buat menambahi lagi dengan sekali bacokan, namun tiba-tiba Ang-koh meloncat bangun dengan gerakan 'Le-he-pak-ting' atau ikan lele meletik, sembari memegangi tangannya yang agaknya terluka, ia mencelat masuk ke dalam loteng kembali.
Ketika itu dari tempat gelap melayang keluar pula sesosok bayangan hitam, terus menarik tubuh Bun Sui-le untuk kemudian bersama-sama lantas kabur pergi, orang ini bukan lain ialah Teng Hong-ko.
Si Nikoh tadi berdiri di atas emperan rumah dengan jelas menyaksikan mereka berdua kabur dan menghilang dalam malam gelap, ia pun tak berani mencoba mengudak. Sesudah berlari agak jauh Teng Hong-ko dan Bun Sui-le melambatkan tindakan mereka.
Setelah bertanya, barulah Bun Sui-le mengetahui bahwa tadi Hong-ko yang telah menyambitkan pelor besinya dari tempat gelap hingga mengenai tangan Ang-koh.
Pelor besi yang ia gunakan itu adalah baja hitam yang susah tertampak jelas di malam gelap, ditambah lagi caranya menyambit begitu cepat, Ang-koh yang tak pernah menduga bahwa masih bersembunyi seseorang, lagi pula terlalu bernapsu buat memperoleh kemenangan hingga akhirnya tulang tangannya kena ditimpuk dan roboh, namun segera ia dapat melompat bangun kembali dan berlari masuk ke dalam rumah
Begitulah, maka berterima kasih sekali Bun Sui-le terhadap bantuan Hong-ko tadi, kalau tidak, pasti kini ia sudah mandi darah menjadi pecundang kedua musuhnya tadi.
Dalam pada itu, Bun Sui-le menjadi jelas bahwa kini di antara para benggolan di Pek-hoa-ho, Liu Ut, pemimpin dari Ang-hoa-hwe telah bersekongkol dengan Ang-koh hendak merobohkannya dengan obat tidur, untuk mendapatkan kembali pening yang disebut Thian-hu' itu.
Sepanjang malam mereka melanjutkan perjalanan hingga tibanya pagi hari, menuju ke daerah Holam.
Di perjalanan mereka menyamar sebagai suami isteri penjual silat dan akhirnya mereka memasuki daerah Siamsay.
Meski mereka berkumpul bersama, namun Teng Hong-ko adalah seorang laki-laki jujur, Bun Sui-le memang menyukainya dalam-dalam, maka masing-masing tetap saling menjunjung tinggi sopan santun, di malam hari mereka pun tidur terpisah.
Akan tetapi dalam soal perasaan masing-masing sudah banyak bertambah saling pengertian, hingga diam-diam dalam hati Hong-ko pelahan sudah terukir bayangan Giok-bin-yao- hou yang tak mungkin dilenyapkan.
Setelah mereka melewati Tjong-kwan, tak lama lagi mereka sudah nampak Thay-hoa-san dengan megahnya berdiri di depan mereka.
Thay-hoa-san atau singkatnya Hoa-san adalah satu di antara lima pegunungan ternama, gunung yang banyak dengan puncak-puncak yang menjulang tinggi ke langit, awan yang bergumpal-gumpal mengitari tengah gunung itu, memang betul-betul suatu pegunungan ternama dan tempat tersohor.
Di atas gunung banyak bangunan rumah biara kenamaan, antara lain dapat disebut 'Kiu-thian-kiong', 'Tjin-bu-tian', 'Kim- thian-kiong', 'Tjui-hun-kiong', kesemuanya ini sudah terkenal sebagai rumah yang biasa dipakai bagi kaum pertapaan dan orang yang suka bertirakat. (Nama-nama rumah biara tersebut di atas hingga kini masih terpelihara dengan baik dan banyak dikunjungi oleh kaum turis di Tiongkok).
Setelah mereka berdua sampai di daerah kabupaten Hoa- im-koan, di depan mereka menjulang tinggi tiga puncak gunung yang megah dan dapat terlihat dengan jelas.
"Baiknya kita mencari suatu tempat di kaki gunung buat tempat tinggal kita, setelah kita selidiki jelas keadaan di atas gunung baru kemudian kita berangkat mengeluruk ke sana," ujar Giok-bin-yao-hou pada kawannya.
Hari itu juga mereka sampai di kaki gunung sebelah utara, kebetulan mereka bisa mendapatkan sebuah rumah pemujaan kampungan yang terbuat dari bata, dalam rumah itu hanya tinggal seorang kakek yang biasanya mengurusi orang yang hendak bersembahyang.
Kepada orang tua itu Hong-ko memberikan sekantong gandum, dan sebagai timbal baliknya ia memohon diperkenankan mempergunakan tempat berteduh di belakang rumah itu.
Melihat mereka berdua adalah orang perantauan, kakek itu tanpa sangsi lantas menerima dengan baik.
Di situ mereka tinggal dua hari, di waktu siang hari mereka keluar untuk mencari tahu, hingga akhirnya mereka mengetahui bahwa Tjui-hun-kiong yang menjadi sasaran mereka berada di puncak selatan.
Untuk menuju ke sana harus melalui 'Djian-djiok-tjeng' atau puncak tiang bendera seribu kaki, terus 'Pek-djiok-kiam' atau selat pegunungan seratus kaki, kemudian naik ke "Lo-kun-le- kau' atau Lo-kun meluku selokan, dari situ sudah tertampak Tjin-bu-tian, dan kemudan dari situ pula membelok ke puncak sebelah selatan.
Di tempat-tempat tadi kesemuanya adalah tebing yang curam, tinggi lagi panjang, kalau dilihat dari jauh laksana seutas tambang panjang yang melurus melambai dari langit saja.
Sesudah itu, melewati 'Djong-liong-nia' atau bukit naga tua, baru kemudian sampai di Kim-so-kwan. tempat ini adalah mulut bukit tersebut, dari atas sini sudah tertampak Tjui-hun- kiong, ialah rumah biara yang berbentuk istana yang menjadi tempat tujuan mereka. Begitulah setelah mereka dapat menyelidiki jalanan yang menuju ke Kim-so-kwan, pada malamnya mereka bertukar pakaian hitam peranti jalan malam dan setelah be-benah seperlunya, segera mereka berangkat mendaki Hoa-san.
Di antara malam yang gelap remang-remang itu, seperti dua binatang rase yang berkeliaran di hutan sunyi, mereka berlari secepat terbang menerobos di antara hutan belukar dan semak yang lebat. Berkat kepandaian entengi tubuh mereka yang tinggi, tidak sampai dua jam mereka sudah mendaki sampai di atas bukit naga tua itu.
Angin malam pegunungan Djong-liong-nia, bukit naga tua, sementara itu menderu-deru, dari jauh mereka memandang Tjui-hun-kiong seperti istana dewa yang dibangun di atas Kim- so-kwan.
Sedang mereka memandang sekitarnya, tiba-tiba mereka melihat sesosok bayangan orang sejurusan dengan mereka sedang mendatangi secepat terbang.
Agar tidak sampai ketahuan orang, lekas mereka mendekam ke bawah.
Bayangan itu melayang datang tidak tertampak seberapa cepat, namun dalam sekejap saja tahu-tahu sudah melewati dua bukit terus menuju ke Tjui-hun-kiong, gerakannya begitu enteng dan gesit naik turun seperti capung menutul ke permukaan air saja. hanya sebentar saja ia sudah menghilang di antara lautan mega yang mengelilingi puncak gunung itu.
Menunggu setelah orang menghilang, barulah Bun Sui-le membawa Hong-ko melompat keluar.
"Orang tadi pasti seorang tokoh kenamaan dari Bu-lim, hanya melihat cara ia menggunakan entengi tubuh saja sudah tertampak kepandaiannya sudah sampai di puncak kesempurnaan, kita harus berhati-hati dengan jejak kita agar tidak sampai kepergok!" pesan Bun Sui-le dengan bisik-bisik pada temannya.
Mereka lalu menyusul ke jurusan orang tadi, tak lama kemudian mereka sudah sampai pada sebuah tebing, di bawah tebing berdirilah istana Tjui-hun-kiong. Sayup-sayup mereka mendengar suara bunyi genta, mereka mengerti tentu para Tosu atau imam di dalam kuil itu sedang beribadat malam. Di bawah pandangan mata mereka, deretan istana Tjui- hun-kiong itu memang megah dan besar sekali, tidak mengecewakan apabila disebut kuil kuno yang bagus dari gunung yang tersohor itu.
"Bayangan tadi rupanya seperti datang untuk menyelidik juga, kiranya bukan begundal Tjhi Djin-ho!" ujar Bun Sui-le dengan suara pelahan.
Dalam pada itu, mereka melihat pada sebuah loteng di tingkat atas dari bangunan tinggi itu, sinar lampu menyala hingga bayangan orang di dalam ruangan tertampak jelas di daun jendela.
Dari bayangan orang-orang itu, tampak ada seorang yang berdandan secara pembesar pemerintah Djing, memakai topi kebesaran berekor seutas bulu, tampaknya ia seorang pembesar militer. Di sampingnya terlihat pula dua bayangan serupa Tosu yang sedang membungkuk hormat pada pembesar tadi.
"Menurut pandanganmu, mungkinkah pembesar militer ini adalah Tjhi Djin-ho?" tanya Bun Sui-le pada kawannya.
"Agaknya mungkin juga," sahut Hong-ko. "Tjhi Djing-ho tidak lebih hanya seorang kepala opas di bawah Tjelam Sun- bu, topi kebesarannya tidak nanti memakai ekor bulu, menurut pandanganku, ia ini tentu seorang pembesar tingkatan 'Sam-bin' (bin, sebutan untuk tingkatan pangkat zaman feodal, sam-bin = pangkat tingkatan tiga), entah betul tidak pendapatku itu!"
Agar bisa menyelami seluk-beluk sebenarnya di dalam rumah biara itu, mereka lantas melayang turun dari tebing itu terus menancapkan kaki mereka di atas wuwungan belakang istana itu.
Di bawah wuwungan itu terdapat kamar-kamar tempat tinggal para imam dan rapat berjajar, di sampingnya sebuah los panjang yang ramai dengan orang yang hilir mudik. Kemudian mereka mendekam di tepi emperan buat mengintip ke bawah, mereka melihat dua orang Siautotong (imam cilik) yang bermuka putih bersih sedang mendatangi.
"Tjosuya sudah marah-marah, mengapa 'Liong-tje-tek' yang telah dia suruh kamu membikin hingga kini masih belum kamu antarkan, apa kamu tidak tahu bahwa Kui-tjongping sudah datang?" terdengar kedua Totong itu berseru mendamprat dengan berlagak.
Menyusul itu nampak seorang imam tua mengantar ke dalam sebuah nampan yang berisi ceret teh dengan empat cangkir dari porselin.
Sementara itu kedua Totong telah pergi ke dapur pula dan menegur.
"Hai! Kamu lekas sediakan santapan ke kamar tamu, beberapa pengikut Kui-tjongping sedang menanti dahar di sana!" serunya lagi.
Tahulah kini Bun Sui-le berdua bahwa pembesar negeri itu bukan lain ialah Tjongping atau komandan militer kota Limtjing, Kui Ping-boan.
Kui Ping-boan memimpin pasukan yang terlatih dengan baik dari Pat-ki, ia terhitung pula salah seorang kepercayaan Perdana Menteri Nilan.
Kemudian mereka melayang melewati los panjang tadi, mereka melihat di depan loteng yang tinggi sana terdapat sebatang pohon tua yang lebat sekali, cocok untuk tempat persembunyian mereka, maka tanpa ayal lagi mereka lantas mengenjot naik menongkrong di atas pohon itu, justru di belakang loteng itu terbuka sebuah jendela, hingga untuk memandang ke dalam bisa terlihat dengan jelas sekali.
Ketika itu di dalam ruangan sedang duduk seorang pembesar militer, mereka menduga tentu bukan lain adalah Limtjing-tjongping Kui Ping-boan. Di samping pembesar itu terdapat dua orang pula, kesemuanya berdandan sebagai imam, usia mereka di antara empat puluhan tahun, mereka sedang melayani pembesar itu dengan sangat menghormat.
Karena dari pucuk pohon dimana mereka menyembunyikan diri terlalu jauh jaraknya, maka suara pembicaraan dalam ruangan loteng itu tidak bisa mereka dengar.
Agar bisa mengetahui dengan jelas apa yang sedang dipercakapkan, Bun Sui-le memberi tanda pada Hong-ko dengan maksud agar ia ini tak usah ikut, lalu ia melayang turun ke atas emperan dan loteng yang tinggi itu, terus menggelantungkan setengah tubuhnya ke bawah untuk mengintip.
Tiba-tiba ia mendengar suara tangga berbunyi keletekan, sesudah itu naik pula seorang dengan dandanan sebagai Bu- su atau jagoan, usianya mendekati setengah abad tetapi langkahnya sebat enteng.
Ketika sudah berhadapan dengan Kui Ping-boan, orang itu terus menekuk lutut memberi hormat
"Hamba Tjhi Djin-ho menghadap Tjongping-taydjin!" tuturnya.
Pembesar yang duduk itu hanya sedikit membungkuk sebagai balasan.
"Tjhi-pothau, silakan berbangkit," sahutnya. "Memang aku justru ada sesuatu hendak bertanya padamu!"
Tjhi Djin-ho lantas berbangkit dan berdiri tegak di samping. "Tjhi-pothau apa sudah menerima surat Tam-taydjin?"
terdengar Kui Ping-boan bertanya pula. "Kali ini ada perintah dari Nilan-tjaysiang (Perdana Menteri) menyuruh aku mengunjungi Hoa-san ini buat menemui Tjiwi-totiang ini untuk merundingkan cara mempersembahkan Tjin-tju-goan kepada kerajaan, dengan begitu supaya barang mestika itu tidak terjatuh lagi ke dalam tangan kawanan penjahat."
Atas pertanyaan orang itu, terdengar Tjhi Djin-ho berulang- ulang mengiakan.
"Lapor pada Kui-taydjin," katanya kemudian. "Topi mestika Tjin-tju-goan itu sudah lama Tam-taydjin berniat mempersembahkan kepada pemerintah, tak terduga karena sedikit bocor, tiga buah mutiara mestika di atas topi itu sudah hilang dua butir, baru sesudah itu Tam-taydjin melapor pada Nilan-tjaysiang dar minta dikirim jagoan dari kerajaan, kemudian bersama Hian-hong Totiang mengantarkannya ke kotaraja, hamba sudah menerima surat dari Tam-taydjin, itulah apa yang ia pesankan."
Kui Ping-boan mengangguk-angguk menyatakan bagus, kemudian ia berkata pula, "Jagoan yang dikirim dari ibukota dalam beberapa hari sudah bisa sampai, hal ini biar aku nanti yang memberitahukan lagi padamu!"
Belum habis suara perkataannya, pada saat itu juga tiba- tiba kain kerai kuning di dalam loteng itu melambai, menyusul mana dua sinar putih menyambar menembus kain kuning itu.
Giok-bin-yao-hou yang menggelantungkan dirinya sedang mengintip, ia dapat menyaksikan dengan jelas sekali bahwa kedua sinar putih itu secepat kilat menyambar ke arah Kui Ping-boan.
"Ada pembunuh!" segera terdengar Tjhi Djin-ho berteriak. Sehabis itu ia berniat menyeret Kui Ping-boan buat berkelit ke samping.
Namun terlambat, di antara suara jeritan ngeri, Kui Ping- boan telah roboh terguling.
Giok-bin-yao-hou mengetahui gelagat jelek, dengan sekali lompat ia turun ke bawah, sementara itu sinar lampu di dalam ruangan loteng mendadak sirap. Teng Hong-ko yang masih hijau, dalam keadaan demikian ini ia masih bercokol di atas pohon tak mau kabur, karena itu Bun Sui-le menjadi gugup.
"Lekas lari!" ia meneriaki kawannya itu dengan bahasa rahasia.
Baru setelah itu terlihat Hong-ko melompat turun dari pohon, akan tetapi sudah terlambat, dua bayangan orang melayang keluar dari dalam loteng, yang pertama bukan lain ialah 'Hek-swe-sin' atau malaikat maut hitam, Tjhi Djin-ho, sedang yang lain ialah seorang di antara kedua imam di atas loteng itu, begitu keluar, senjata mereka lantas menusuk.
Mengerti bahaya apa yang bakal ia hadapi, segera juga Bun Sui-le menyiapkan pedangnya di tangan.
Ketika ia menengok Hong-ko, dia membalik berniat kabur, tetapi senjatanya masih belum ia lolos, sedangkan pedang si imam sementara itu sudah menyambar membabat kakinya.
Kuatir kalau kawannya kena dicelakai, terpaksa Bun Sui-le harus membalik dengan gerakan 'Liu-sing-hui-tui' atau bintang kemukus meluncur jatuh, ia menerjang ke pihak lawan, lebih dulu ia menyampuk pergi pedang Tjhi Djin-ho, lantas ia me- rangsek maju dan ujung senjatanya menotok ke punggung si imam.
Dengan tidak menghiraukan keselamatannya sendiri, ia menerjang mati-matian, yang ia ingat hanya supaya bisa menghindarkan Hong-ko dari ancaman maut.
Mendengar di belakangnya ada angin berkesiur, lekas si imam itu menarik pedangnya dan menangkis ke belakang, keruan saja kedua senjata lantas saling bentur hingga mencipratkan lelatu api.
Segera juga Bun Sui-le, si rase bermuka ayu, ini merasakan kesehatan si imam itu dan tenaganya pun tidak kecil, ia insyaf telah berhadapan dengan tokoh cabang atas Khong-tong-pay. Pada saat itu juga Hong-ko melolos pedangnya, ketika ia melihat Tjhi Djin-ho dari samping hendak membokong Bun Sui-le, tanpa ayal lagi segera ia melangkah maju dan
mendahului ke tengah, dengan gerakan 'Ya-tjhe-tam-hay' atau setan dayang menyelidik ke laut, ia menangkis pergi senjata Tjhi Djin-ho dan dengan begitu mereka berdua pun saling bertempur di sebelah lain.
Sesudah bergebrak beberapa jurus dengan imam itu, Bun Sui-le dapat merasakan lihainya tipu serangan orang yang memang terdiri dari kiam-hoat hebat Khong-tong-pay, maka ia pun tak berani gegabah, segera ia mainkan 'Thian-mo-kiam- hoat' yang ia pelajari dari Thian-san-pay, sinar pedangnya menggon-cang pergi datang dan bergulung-gulung di muka lawannya.
Namun Tosu itu cukup tangkas juga, pedangnya ia putar secepat angin, sedang langkahnya pun tidak menjadi kacau, ia menyambut setiap serangan Bun Sui-le yang lihai itu.
Nyata mereka sama-sama kuat dan menemukan tandingan yang sembabat.
Di pihak sana, Hong-ko setelah beberapa jurus melawan Tjhi Djin-ho, ia pun dapat melihat ilmu pedang sang lawan memang berbahaya, begitu cepat ia berputar ditambah perubahan-perubahan dari gerak tubuhnya yang memakai perhitungan, kadang di kala cepatnya ia berputar, kakinya bisa ikut maju pula menendang, hingga mau tidak mau Hong-ko harus mencurahkan sepenuh kemahirannya untuk melawannya.
Kiranya yang Tjhi Djin-ho yakinkan itu adalah 'Pat-sian- kiam', tipu serangannya memang sangat aneh dan tiap-tiap serangannya ganas pula.
Ketika Hong-ko sedikit berjongkok terus menikam dengan pedangnya, tiba-tiba ia lihat lawannya itu memasang kuda- kuda dengan kaki bersilang, sedang ujung senjatanya melurus ke bawah, kemudian pelahan saja dengan gerakan 'Hwe-liong- tiam-tjui' atau ular naga bermain air, ia dapat mengesampingkan serangan pedang orang.
Lekas Hong-ko melangkah mundur, menyusul mana ia tusukan pula pedangnya ke dada lawannya.
Dengan cepat lawannya mendadak menggeser kuda- kudanya, dengan sedikit mengegos terus ia menangkis pula serangan musuh, sedang jari tangan kirinya bersiap melengkung di belakang kepalanya, memang sudah ia siapkan untuk menyerang secara kejam, kini dengan 'Dji-liong-tjing- tju' atau dua naga berebut mutiara, kedua jarinya dia arahkan ke muka Hong-ko dengan maksud hendak mencukil biji matanya, serangannya begitu cepat laksana bintang meluncur.
Di sebelah sana, sekilas Giok-bin-yao-hou dapat melihat pedang Hong-ko sedang ditangkis pergi, untuk menolong diri Hong-ko dari jari lawan, dengan melompat ke belakang sudah tak keburu lagi, ia menjadi kuatir akan keselamatannya hingga ia ikut berkeringat dingin.
Namun Hong-ko bukan anak murid dan Go-bi-pay kalau ia gampang diselomoti orang, ia cukup gesit, begitu melihat jari Tjhi Djin-ho menyelonong tiba, segera ia sedikit mengegos dan berjongkok, sedang tangan kirinya dengan gerakan 'Pa- ong-ki-teng' atau Tjoh Pa-ong mengangkat wajan, dalam sekejap saja ia berhasil menyangga pergi.
Setelah itu tangannya yang lain menarik senjatanya terus balik hendak memotong kedua kaki Tjhi Djin-ho, karena itu dengan tepat ancaman bahaya tadi dapat ia elakkan dengan baik.
Melihat Hong-ko ternyata cekatan, kepandaiannya terang diperoleh dengan melatih diri secara matang sekali, Tjhi Djin- ho insyaf tidak gampang untuk memperoleh kemenangan secara terburu-buru. maka lantas ia bersuit, habis itu dari atas loteng terlihat melompat keluar pula seorang Tosu, terus menuju ke arah Teng Hong-ko.
Baru saja Giok-bin-yao-hou merasa lega karena Hong-ko dapat menghindarkan serangan berbahaya dari Tjhi Djin-ho tadi, tiba-tiba ia lihat dari atas loteng melayang keluar pula seorang yang hendak mengembut pemuda itu, ia menjadi kuatir, lekas ia pura-pura memberi tusukan, sesudah mana ia berniat menarik dirinya ke dekat Hong-ko buat membantu padanya sejajar melawan musuh.
Tak ia duga, imam yang bergebrak dengan dia itu rupanya sudah dapat menaksir apa maunya, maka beruntun ia menggencarkan serangan senjatanya, terus mencegat jalan mundurnya.
Karena harus menangkis, sedang kepandaiannya dengan imam itu memangnya sama kuat, maka seketika Bun Sui-le tak mampu melepaskan diri dari rangsekannya.
la mencoba melirik pada Hong-ko, ia lihat pemuda ini sedang melayani kedua musuhnya dengan sepenuh tenaga, pedangnya diputar sedemikian cepatnya, namun lama kelamaan rupanya ia pun kewalahan juga.
Imam yang keluar belakangan itu bukan lain adalah seorang di antara kedua imam di atas loteng tadi, sudah tentu ilmu silatnya pun tidak lemah.
Karenanya Bun Sui-le menjadi gugup.
Dalam pada itu imam yang menjadi lawannya itu mengeluarkan serangan cepat dengan tipu 'Tjiam-liong-djip- hay' atau naga mendekam masuk ke laut, ujung pedangnya menyambar dengan gaya huruf S'.
Lekas Bun Sui-le melangkah mundur, sedang ujung pedangnya melurus ke bawah kemudian lantas membalik ke atas dengan gerakan 'Sian-li-san-hoa' atau bidadari menyebar bunga, keruan saja kedua pedang kembali beradu dan menerbitkan suara nyaring dan mencipratkan lelatu api.
Ia mengerti bahwa imam itu memang sengaja memanteknya, supaya tidak bisa pergi membantu kawannya, karena itu ia menjadi semakin gugup.
"Kena!" tiba-tiba terdengar imam yang ada di depan Hong- ko berseru.
Menyusul mana secercah bintik terang menyambar menusuk, sedang Tjhi Djin-ho pun menindih ke bawah pedang Hong-ko supaya pemuda ini tak mampu balas menyerang.
Hong-ko mengetahui bahwa ketika itu dari muka belakang ada serangan, maka segera ia menarik senjatanya dan melompat pergi, dengan begitu ia baru bisa menghindarkan serangan berbahaya itu, tetapi imam tua ternyata tidak tinggal diam, senjatanya pun menyusul pula.
Dengan sedikit memutar tubuh, Hong-ko tiba-tiba mengge- raki tangannya, dengan gerakan 'Hwe-thau-bong-gwat' atau berpaling memandang rembulan, senjatanya mendadak ia tusukkan dari samping.
Namun imam tua itu pun cukup awas, dengan aneka gerak pedangnya ia menyampuk pergi pedang yang ditusukkan itu.
Dengan tipu serangan pedangnya itu, sebenarnya Hong-ko hanya memancing musuh belaka, sementara i'u dari dalam tangannya sudah tergenggam penuh seraupan pelor besi, tanpa ayal lagi segera ia menghamburkannya.
Dengan sekali jeritan, ternyata Tjhi Djin-ho roboh terguling. Berbareng itu Hong-ko pun menangkis pergi pedang si
^niarn yang lagi ditusukkan tadi, ketika melihat Tjhi Djin-ho roboh terguling, girang sekali hatinya.
Waktu itu, tiba-tiba dari depan istana kuil telah muncul pula dua bayangan orang, secepat terbang sedang mendatangi. "Apakah Kui-taydjin ada di sini!" terdengar mereka berseka.
Dalam pada itu, Tjhi Djin-ho yang terguling, ternyata hanya terluka tulang pundaknya, maka dengan cepat ia dapat melompat bangkit pula, waktu mendengar seruan orang, ia segera menjawab.
"Kui-taydjin sudah kena dibokong oleh kedua penjahat ini, lekas kalian membantu membekuk kedua anjing laki- perempuan
ini!"
Karena jawaban itu, sebelum sampai mereka sudah mencabut senjatanya lebih dulu terus menerjang datang dengan cepat.
Nyata mereka berdandan sebagai jagoan dari kerajaan, usia mereka pun tidak dari empat puluh tahun.
Tanpa berkata-kata lagi yang seorang segera memapaki Hong-ko dan beruntun melontarkan dua kali serangan. Sedang seorang lainnya menerjang Bun Sui-le.
Ketika melihat wanita itu, segera ia berseru pula. "Hian-thian Totiang! Dia ini adalah Li-tjhat (penjahat
wanita) dari Tay-san-kwan itu, malam ini jangan sampai ia
dapat lolos!"
Setelah itu pedangnya bergerak, dari samping segera ia ikut mengeroyok.
Begitu melihat cara gerakan musuh yang baru datang ini, segera Bun Sui-le mengerti kembali bertambah pula seorang lawan tangguh, maka dalam hati ia semakin kuatir.
Sementara itu tiba-tiba terdengar di sebelah sana Hong-ko berteriak, pedangnya seperti kena dipukul jatuh oleh si imam tadi. Sedang jagoan dari kerajaan yang baru datang itu mengambil kesempatan baik itu untuk menyapu dengan kakinya.
Ketika Hong-ko berniat melompat naik buat menghindari serampangan kaki orang, tahu-tahu tangan si imam dengan gerakan Kim-na-djiu yang lihai dan susah dielakkan telah sampai di atas kepalanya. Dengan sekali totok, dua jarinya menjojoh ke belakang kepala Hong-ko di tempat 'Ling-tay-hiat' hingga seketika itu juga seluruh tubuhnya kaku kesemutan, imam tua itu tidak menghentikan gerakannya, ia terus mengangkat tubuh Hong-ko dan dibawa lari masuk ke dalam rumah biara itu.
Mengetahui bahwa Hong-ko kena ditangkap musuh, bukan main rasa terkejut Giok-bin-yao-hou.
Selagi perasaannya sedang bimbang, mendadak jagoan kerajaan itu menusuk hingga hampir saja ia pun kena dipecundangi.
Beruntung Ginkangnya cukup tinggi dan sempurna, dengan menurutkan kakinya ia pun melompat miring ke samping, sementara itu senjata si imam pun membabat lagi.
Dalam keadaan terdesak, terpaksa Bui Sui-ie harus menerjang mati-matian, ia keluarkan tendangannya yang istimewa, imam tua itu tidak pernah menyangka bahwa pada ujung sepatunya terdapat kaitan baja yang lihai. Ia hanya merasakan tangannya tergetar, pedangnya kena ditendang pergi, sedang sebelah kakinya yang lain menyelonong sampai di depannya pula, keruan saja ia menjadi kaget.
Sekonyong-konyong terdengar suara memberebet, lengan baju Hian-thian Todjin yang panjang lebar ternyata sudah terobek panjang.
Kiranya pada waktu kaki Giok-bin-yao-hou beterbangan menendang tadi, kaitan tajam di ujung sepatunya dapat membentur pedang Hian-thian terus masih menyelonong mengarah ke tenggorokannya secepat kilat.
Sudah tentu Hian-thian sama sekali tidak pernah menduga bahwa Giok-bin-yao-hou masih menyimpan kepandaian tunggalnya itu, dalam sekejap itu ia menjadi kaget, masih beruntung ia tergolong tokoh tingkat tinggi dari Khong-tong- pay, dalam keadaan terancam bahaya ia masih bisa berlaku tenang, lekas ia keluarkan kepandaiannya Kim-na-djiu, yakni cara mencekal dan menawan.
Kuatir kalau kakinya yang putih halus dan kecil mungil betul-betul kena dicekal tangan orang, dengan cepat Giok-bin- yao-hou memutar kakinya ke samping lain, hingga karena itu lengan baju Hian-thian kena terobek.
Walaupun serangannya tidak membawa hasil yang diharapkan, namun sudah cukup membikin kaget imam tua itu hingga ia mengeluarkan keringat dingin.
Jagoan yang datang dari kerajaan tadi, ketika mendadak melihat si imam sempoyongan, ia kuatir kawannya ini kena dipecundangi orang, lekas ia maju buat memayangnya.
Kesempatan itu digunakan Giok-bin-yao-hou buat melompat keluar dari Tjui-hun-kiong secepat terbang, dari jauh tertampak ia naik turun bergerak beberapa kali terus menghilang dalam kegelapan.
Hian-thian Todjin dan kawan-kawan pun tidak mengejar, ketika mereka berpaling, terlihat Tjhi Djin-ho yang kena ditembak remuk tulang pundaknya sedang merintih kesakitan hingga menekuk pinggang.
Masih beruntung juga bagi pihak mereka bisa berhasil menangkap seorang penjahat.
Kemudian mereka kembali ke atas loteng tadi buat memeriksa keadaan Limtjing Tjongping Kui Ping-boan, ternyata pembesar itu menggelongsor roboh bermandi darah, di dadanya tertampak menancap sebuilah pisau terbang dan napasnya sudah terputus.
Melihat kejadian itu, kedua jagoan yang dikirim dari kerajaan tadi berubah air mukanya.
"Kedatangan kami ialah hendak menemui Kui-taydjin, mengapa dia bisa kena terbunuh?" tanya mereka dengan suara terputus-putus.
Dengan muka muram Tjhi Djin-ho coba menceritakan apa yang terjadi tadi.
"Hui-to ini adalah dari golongan Djing-liong-pang, apakah mungkin Bun Sui-le, si perempuan busuk itu yang membunuhnya?" kata kedua bayangkara itu dengan heran setelah memeriksa pisau belati yang mereka cabut keluar dari dada Kui Ping-boan.
"Kalian Si-wei-ya (tuan bayangkara) berdua, menurut pandangan kami pembunuh ini dilakukan oleh orang lain," ujar Hian-thian berbareng imam rekannya, Hian-ang.
"Ketika pisau ini menyambar masuk tadi. segera juga kami mengejar keluar, kami melihat ada sesosok bayangan secepat angin menghilang ke tempat jauh, belakangan baru tertampak pula Giok-bin-yao-hou dan seorang pemuda mengumpet di belakang loteng sana, mungkin pembunuh itu datangnya bersama mereka."
Sementara itu Tjhi Djin-ho sudah selesai membalut lukanya.
"Kini kita sudah dapat menangkap seorang di antara mereka, biar sebentar lagi kita memeriksa dia segera pula bisa kita ketahui semuanya." katanya dengan masih gemas.
"Kini kita lebih penting memindahkan jenazah Kui-taydjin kembali ke tempat kedudukannya terlebih dahulu, di samping itu lekas kita melaporkan pada pemerintah, urusan memeriksa penjahat itu, boleh sampai besok pagi saja," ujar jagoan dari kera-jaan tadi.
Kedua jagoan yang dikirim dari kerajaan itu memangnya adalah bayangkara kelas satu dari Kaisar Khong-hi, yang seorang bernama Tui-hun-djiu' Njo Djun dan yang lainnya ialah Siau-song-sin' Li Ngo.
Cara bagaimana mereka bisa dikirim ke Hoa-san sini, hal ini harus diurut dari diri Soatang Sunbu Tam Ting-siang.
Semula gebernur Soatang itu memerintahkan Tjhi Djin-ho mengirim topi bertabur mutiara itu kembali ke Tjelam, niatnya untuk dipersembahkan kepada Nilan-tjaysiang untuk terus disampaikan kepada Sri baginda, tak terduga dua kali pula Tjhi Djin-ho kehilangan Po-tju atau mutiara mestika, karena itu ia insyaf, hanya dengan kepandaian Tjhi Djin-ho tak mungkin ia mampu mencari kembali mutiara-mutiara yang hilang itu.
Pembesar itu berpikir, dalam kerajaan terdapat banyak sekali orang kosen sedang topi mestika itu memangnya akan dihaturkan kepada pemerintah mengapa tidak melaporkan saja pada Nilan-tjaysiang dan minta padanya mengirimkan beberapa orang pandai dari kerajaan untuk membantu, sekalian untuk mencari mutiara-mutiara yang hilang itu. Jika berhasil, tentu dengan lengkap topi mestika itu bisa dihaturkan ke hadapan Sri Baginda Khong-hi.
Setelah mengambil keputusan itu, lantas ia pun mengirim orang kepercayaannya menemui Perdana Menteri Nilan dan melaporkan sekitar kejadian kehilangan Po-tju atau mutiara mestika itu oleh Tjhi Djin-ho.
Mendapat laporan itu, Nilan-tjaysiang menjadi sangat murka, ia pikir penjahat-penjahat dari Kangouw ini betul-betul bernyali besar, sampai barang milik pemerintah pun berani dirampoknya.
Ketika kemudian ia menghadap Kaisar Khong-hi, ia melaporkan juga peristiwa itu, Khong-hi lantas menyumh Perdana Menteri itu memilih dua orang jagoan kosen dari dalam kerajaan untuk dikirim ke Limtjing untuk menemui Kui Ping-boan sebagai pejabat militer di tempat itu, lebih dulu supaya Tjin-tju-goan yang masih ada itu dikirim ke kotaraja, habis itu baru mencari pula mutiara-mutiara yang hilang itu.
Tak terduga, karena tugas itu Kui Ping-boan sampai di Tjui- hun-kiong, segera pula ia menghantarkan nyawanya.
Keruan saja. seorang pembesar negeri terbunuh dengan sendirinya tempat kejadian itu menjadi kalang kabut, karena itu Teng Hong-ko yang tertangkap untuk sementara belum sempat diperiksa.
Dalam pada itu Giok-bin-yao-hou Bun Sui-le yang berhasil lolos keluar dari Tjui-hun-kiong, segera juga ia angkat langkah seribu dengan kepandaiannya ilmu mengentengkan tubuh dan tems berlari di malam gelap, ia terus menuju ke jumsan