Website Cerita Silat Indomandarin Ready For Sale

Jilid 09

Tui-beng-poan-koan mengangguk, lalu tanya pula, “Dan sekarang kotak hitam itu telah jatuh di tangan Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan?”

It-hiong membenarkan.

“Kau kira apa isi kotak hitam itu?” tanya Tui-beng-poan-koan pula.

“Entah, aku tidak tahu,” It-hiong menggeleng.

Tui-beng-poan-koan berpikir sejenak, katanya kemudian, “Pada waktu sebelum aku mengundurkan diri pernah juga kudengar di Cap-pek-pan-nia muncul sekawanan bandit, melihat gelagatnya sekarang, gembong kawanan bandit itu pasti seorang tokoh luar biasa, agaknya dia telah menggantikan kedudukan Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam sebagai pimpinan dunia hitam.”

“Soalnya terletak pada kotak itu apakah miliknya atau Si Hin juga merampasnya dari orang lain dan akan dibawa pulang ke Cap-pek-pan-nia?” ujar It-hiong.

“Dengan sendirinya Si Hin dapat merampasnya dari orang lain,” kata Tui-beng-poan-koan. “Cuma, bagaimana kepandaian Si Hin menurut pendapatmu?”

“Waktu kutemukan dia keadaannya sudah kempas-kempis, cuma dinilai dari lawannya, agaknya dia bukan seorang tokoh kelas tinggi,” tutur It-hiong. Bekernyit kening Tui-beng-poan-koan, katanya, “Aneh jika begitu. Padahal kalau peti hitam itu dapat menimbulkan incaran tokoh kelas tinggi seperti Miau-lolo dan lain-lain, ini menandakan isi peti pasti benda pusaka yang tak ternilai harganya. Mengapa benda sepenting itu hanya Si Hin saja yang ditugaskan merampasnya oleh pimpinannya?”

“Bisa jadi perampasan peti itu oleh Si Hin bukan atas perintah gembong iblis itu melainkan diperolehnya secara tidak sengaja,” tukas Bun-hiong.

Tui-beng-poan-koan menggeleng, “Tidak mungkin, jarak Cap- pek-pan-nia dengan Kim-tan ada ribuan li jauhnya, jika Si Hin orang dari Cap-pek-pan-nia, tanpa mendapat tugas tidak nanti dia meninggalkan pangkalannya sejauh itu.”

“Soal ini untuk sementara tidak perlu kita urus,” ujar It-hiong. “Jika Cianpwe menghendaki kutangkap kembali Oh Beng-ay, sekarang anak perempuan itu sudah kubawa kemari, silakan untuk diambil sesuatu tindakan.”

“Tidak perlu bertindak apa-apa kepadanya, biarkan dia tinggal saja di sini,” kata Tui-beng-poan-koan tak acuh.

It-hiong melenggong, tanyanya, “Tapi engkau menyuruhku menawannya ke sini kan ada sebabnya?”

“Dengan sendirinya ada sebabnya,” jawab Tui-beng-poan- koan. “Soalnya penyakit kakiku makin lama makin berat dan hampir tidak sanggup berjalan lagi, maka kuperlu pelayan seorang perempuan.”

“Hanya itu alasannya?” kembali It-hiong melenggong.

“Itulah salah satu alasannya,” ujar Tui-beng-poan-koan. “Alasan yang lain, biarlah kuberi tahukan lain kali saja.” It-hiong tahu alasan yang lain merupakan alasan pokok, tapi orang tidak mau menjelaskan, hal ini membuatnya kecewa, katanya, “Masa tidak dapat dijelaskan sekarang?”

“Tidak boleh,” sahut Tui-beng-poan-koan.

“Nanti kalau dia sudah sadar, cara bagaimana kuberi penjelasan kepadanya?” tanya It-hiong pula.

“Katakan engkau tidak tega menyaksikan dia terjerumus di tempat kotor itu maka menolongnya ke sini, supaya dia bisa hidup layak dan tenteram,” kata si kakek.

“Kemudian?” tanya It-hiong.

“Kemudian boleh kau tinggalkan tempat ini, pergilah merampas kembali peti hitam itu, sebab ingin kulihat sesungguhnya apa isi peti itu sehingga menjadi incaran tokoh sebanyak ini,” kata Tui-beng-poan-koan.

“Wah, dunia seluas ini, ke mana dapat kutemukan Hiat-pit- siucay Hui Giok-koan?” gumam It-hiong.

“Coba ke kamar tulisku, ambilkan kitab jejak tokoh ternama dunia persilatan yang terletak di pojok atas rak buku itu,” kata Tui-beng-poan-koan.

“Apakah dalam kitab itu tercatat juga seluk-beluk dan jejak Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan?” It-hiong menegas.

“Ya, tercatat lengkap,” jawab si kakek.

Tanpa bicara lagi It-hiong lantas menuju ke kamar tulis orang dan mengambil sejilid kitab yang tebal, sesudah kembali di ruangan depan, ia mulai membalik-balik halaman kitab itu. Tidak lama dapatlah ditemukan halaman yang terdapat keterangan mengenai Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan, katanya, “Aha, sudah kutemukan.”

“Coba baca,” pinta Tui-beng-poan-koan.

Dengan suara lantang It-hiong lantas membaca, “Hiat-pit- siucay Hui Giok-koan, semula adalah murid Kong-tong-pay, lantaran kelakuan buruk dipecat dari perguruan. Kemudian bergabung dengan Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam dan komplotannya, bercokol di Kiu-liong-san dan melakukan berbagai kejahatan. Senjata andalannya berbentuk Boan- koan-pit, wataknya kejam, tamak dan licin, tapi sok intelek, suka bergaul dengan kaum cendikia, gemar makan pesut, setiap tahun pada musim semi suka berkunjung ke pantai Tengciu untuk makan daging pesut ”

Mendengar sampai di sini Tui-beng-poan-koan lantas memberi tanda, “Sudah, sudah, jangan baca lagi. Sekarang segera kau berangkat ke Tengciu dan pasti dapat menemukan dia.”

It-hiong menaruh kitab itu di meja, katanya, “Sekarang dia sudah mendapatkan kotak hitam itu, mungkin dia takkan pergi ke Tengciu lagi, sebab ”

“Tidak, dia pasti ke sana,” potong Tui-beng-poan-koan. “Dan kalau tidak kutemukan dia?” tanya It-hiong.

“Jika begitu boleh kau kembali lagi ke sini dan akan kuatur suatu akal lain bagimu, kutanggung kotak itu pasti dapat kau temukan,” kata si kakek.

“Kapan harus kuberangkat?” tanya It-hiong. “Boleh berangkat besok pagi saja,” jawab Tui-beng-poan- koan.

“Dan aku bagaimana?” tanya Bun-hiong mendadak, “Cayhe sangat ingin berbuat sesuatu bagimu, konon ada berapa perkara lama yang aneh belum engkau pecahkan, bilamana engkau tidak menolak, sungguh aku siap bekerja bagimu.”

“Boleh sih boleh,” ucap Tui-beng-poan-koan sambil berpikir, “cuma urusan apa pun yang kau kerjakan bagiku selamanya aku tidak memberi imbalan, untuk ini perlu kujelaskan sebelumnya.”

Bun-hiong tertawa, “Biarpun engkau mau membayar kepadaku juga takkan kuterima. Tentu Cianpwe tahu, ayahku adalah hartawan terkemuka di kota Kim-tan, masa aku khawatir kekurangan uang?

“Selain tidak kuberi imbalan, terkadang, bahkan sering kumaki-maki, apakah kau tahan dan bisa menerima?”

“Tidak menjadi soal,” kata Bun-hiong. “Aku memang sangat jarang dicaci maki orang serupa Cianpwe tadi, kalau terkadang dicaci maki orang akan terasa nikmat malah.”

“Hehe, dasar!” Tui-beng-poan-koan tertawa geli.

“Ya, pada dasarnya aku ini memang berwatak begitu,” Bun- hiong angkat pundak.

Setelah berpikir, Tui-beng-poan-koan mengangguk, katanya, “Baik, lain hari akan kuberi suatu tugas bagimu. Cuma ingat, tugas ini sangat mungkin membahayakan jiwamu.”

“Semakin berbahaya semakin menarik bagiku,” ujar Bun- hiong. Tui-beng-poan-koan tersenyum, ia berpaling kepada It-hiong dan berkata, “Nah, sekarang boleh kau bikin sadar dia, tapi jangan kau ungkat tentang dia adalah adik Oh Kiam-lam, hendaknya kalian tetap menganggap dia sebagai Giok-nio.”

It-hiong mengangguk dan mengiakan, lalu ia masuk ke belakang dan mengambil semangkuk air jernih untuk menyiram muka Oh Beng-ay.

Hanya sebentar saja nona itu lantas bergerak dan siuman.

Sambil bersuara kemalasan perlahan Beng-ay membentang matanya, dengan melenggong ia pandang Tui-beng-poan- koan dan Pang Bun-hiong. Sejenak kemudian barulah pikirannya sadar benar, lalu berucap dengan bingung, “Meng

... mengapa aku berada di sini?”

“Aku yang mengantarmu ke sini,” kata It-hiong dengan tersenyum.

Tersembul rasa takut pada wajah Oh Beng-ay, katanya pula, “Tempat apakah ini!”

“Bok-kan-san,” tutur It-hiong.

“Hah, Bok-kan-san?!” Beng-ay menegas dengan mata terbelalak lebar.

“Betul,” It-hiong mengangguk dengan tersenyum. “Tempat ini jauh lebih indah untuk pesiar daripada Bok-jiu-oh.”

Beng-ay berdiri, katanya dengan terkesiap, “Kau bilang membawaku pesiar ke Bok-jiu-oh, kenapa sampai di Bok-kan- san sini?” “Seketika pendirianku berubah, yaitu karena ingin kubebaskan dirimu dari neraka dunia itu, maka kubawa engkau ke sini,” kata It-hiong dengan tertawa.

Beng-ay termangu-mangu sejenak, tiba-tiba ia berteriak, “Ah, aku ingat!”

“Ingat apa?” tanya It-hiong.

“Waktu di dalam kereta engkau memberi air minum padaku, kau bilang di dalam air minum terdapat obat tidur.”

“Memang betul,” kata It-hiong.

“Hm, apa artinya perbuatanmu ini?” tanya Beng-ay dengan marah.

“Soalnya aku khawatir engkau tidak mau,” ujar It-hiong tertawa.

“Omong kosong,” omel Beng-ay sambil mengentak kaki. “Lekas membawaku pulang!”

It-hiong tidak menanggapi, ia tunjuk Tui-beng-poan-koan dan berkata, “Ini guruku, lekas memberi hormat.”

Beng-ay hanya melenggong saja tanpa bergerak. “Ayo lekas,” desak It-hiong.

Dengan mulut menjengkit dan ogah-ogahan Beng-ay memberi hormat sekadarnya, lalu berkaok pula, “Aku mau pulang, ayo lekas kau bawaku pulang!”

Mendadak It-hiong menariknya menuju ke suatu kamar sambil berkata, “Marilah, boleh kita bicara di dalam kamar saja!” “He, apa maksudmu?!” teriak Beng-ay sambil memberontak. “Tidak, aku tidak mau!”

Akan tetapi It-hiong terlampau kuat baginya, betapa pun dia meronta tetap sukar melepaskan diri dari pegangan It-hiong dan akhirnya tetap diseret masuk ke kamar.

Setelah menutup pintu kamar segera It-hiong memeluknya erat-erat.

Beng-ay meronta lagi sekuatnya sambil menjerit, “Tidak, kau mau apa? Lekas ... lekas lepaskan! Auhh ”

Ia ingin berteriak lagi, tapi mulutnya keburu tersumbat oleh mulut It-hiong.

Kembali ia meronta lagi beberapa kali, lalu sekujur badannya lemas lunglai, berubah menjadi lunak dan pasrah.

Ciuman It-hiong membuat Beng-ay lupa daratan dan serupa mabuk, kemudian dilepaskannya dan mendesis, “Kau bilang ingin kembali ke masyarakat baik-baik bukan?”

“Ehmm ” si nona mengangguk.

“Juga pernah kau tanya padaku mau padamu atau tidak, bukan?”

“Ehmm ” kembali Beng-ay bersuara samar-samar.

“Dan sekarang aku mau padamu, apa pula yang ingin kau katakan?”

“Ti tidak ada.” “Jika begitu harus kau tinggal di sini dengan menurut.” “Baiklah.”

Melihat usahanya berhasil dengan baik, lalu It-hiong mendorong si nona agar duduk di kursi, dipesannya supaya Beng-ay istirahat sendiri di situ, lalu ditinggal keluar.

Bun-hiong tersenyum dan menegurnya, “Sudah kau taklukkan dia?”

“Ya,” It-hiong mengangguk. “Hebat benar,” puji Bun-hiong. “Ah, biasa,” ujar It-hiong.

Tui-beng-poan-koan berdehem, lalu berkata dengan kereng, “Awas, jangan kau bikin susah dia, meski dia telantar, tapi pada dasarnya dia bukan perempuan bermoral rendah.”

“Ya, kutahu,” jawab It-hiong.

“Dia bisa menanak nasi tidak?” tanya Tui-beng-poan-koan pula.

“Kukira bisa,” jawab It-hiong.

“Jika begitu suruh dia menanak nasi, aku sudah lapar,” kata si kakek.

It-hiong mengiakan dengan hormat.

Besoknya Liong It-hiong meninggalkan Bok-kan-san lagi, seorang diri ia berangkat ke utara menuju Tengciu. Pada pagi hari ketiga Pang Bun-hiong juga meninggalkan Bok- kan-san dengan mengemban suatu tugas, ia menuju ke selatan.

Tugas yang diberikan Tui-beng-poan-koan kepadanya adalah menyuruh dia menyebarkan desas-desus bahwa adik perempuan Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam yang bernama Oh Beng-ay telah diculik oleh Kiu-bwe-hou (rase ekor sembilan) Kongsun Siau-hui, berita ini harus disebarkan merata ke daerah Kanglam.

Apa maksud tujuannya tidak dijelaskan oleh Tui-beng-poan- koan.

Dan orang macam apakah Kongsun Siau-hui itu?

Pertanyaan ini juga tidak dijawab oleh Tui-beng-poan-koan, ia hanya memberi petunjuk kepada Pang Bun-hiong, bilamana ada orang memaksa dia menjelaskan di mana jejak Kiu-bwe- hou Kongsun Siau-hui, maka boleh mengaku bahwa Kongsun Siau-hui berdiam di atas Ma-cik-san di tepi Thay-oh.

Pang Bun-hiong tidak tahu sebab apa Tui-beng-poan-koan menyuruhnya berbuat demikian, cuma lamat-lamat dapat dirasakannya permainan menarik segera akan naik pentas.

Dengan sendirinya ia pun tahu tugas ini sangat berbahaya dan penuh risiko, namun dia tidak takut, ia memang suka menyerempet bahaya, suka bertualang, dirasakannya tindakan demikian adalah semacam kenikmatan.

Suatu hari ia sampai di kota Hauhong, dengan 80 tahil perak ia beli seekor kuda bagus, lalu melanjutkan perjalanan ke selatan provinsi Anhui.

Dua hari kemudian, untuk pertama kalinya sampailah dia di suatu kota besar, yaitu Huiciu.

Bagi kaum terpelajar, Huiciu adalah tempat ternama, sebab penduduk kota ini terkenal mahir membuat bak, yaitu batu tinta hitam.

Pang Bun-hiong adalah pemuda serbapandai, baik ilmu silat maupun kesusastraan, maka terhadap bak keluaran Huiciu juga sangat tertarik. Setiba di kota ini, langsung ia mendatangi sebuah toko alat tulis yang paling besar dan paling terkenal, ia beli beberapa potong bak ukuran besar dan berkualitas terbaik. Lalu menyusuri jalan raya dan bermaksud mencari sebuah restoran.

Karena tujuan perjalanan ini adalah menyiarkan berita, maka ia anggap perlu mencari sebuah restoran yang paling ramai dan biasa disinggahi tamu yang datang ke kota ini.

Setelah melintasi dua jalan raya, dilihatnya di depan ada sebuah restoran dengan merek “Cip-eng-lau” (restoran tempat berkumpulnya kaum kesatria).

Bun-hiong sangat senang, pikirnya, “Ini dia, dari namanya saja dapat diduga restoran ini pasti tempat berkumpulnya para kesatria, biarlah kumasuk ke situ.”

Segera ia menghampiri restoran itu, kuda ditambat, lalu masuk ke situ, cepat pelayan menyambutnya naik ke loteng.

Karena dekat tengah hari, restoran itu sudah hampir penuh terisi tetamu yang ingin makan siang.

Bun-hiong berhenti sejenak di ujung tangga, dipandangnya sekejap, terlihat tetamu di situ hampir seluruhnya adalah kaum saudagar, di antaranya cuma satu-dua orang saja serupa orang persilatan. Dengan sendirinya ia rada kecewa. Tapi sudah telanjur naik ke atas loteng, tidaklah enak hati jika segera mengundurkan diri, terpaksa ia pilih sebuah tempat duduk di samping meja seorang tamu lain yang berdandan serupa orang persilatan.

Ia memesan arak dan hidangan, kemudian ia coba melirik tamu yang duduk di meja sebelah yang mirip orang persilatan itu, dilihatnya usia orang antara 40-an, pakai ikat kepala kain hijau, perawakannya kekar, meski wajahnya tidak begitu menarik, namun kelihatan kereng dan gagah, malahan di samping meja tertaruh sebuah bungkusan panjang, isinya serupa sebilah golok.

Mau tak mau tergerak juga hatinya, ia membatin, “Orang ini besar kemungkinan orang persilatan, harus kucari akal untuk omong-omong dengan dia.”

Sedang berpikir, kebetulan pelayan membawakan minuman pendahuluan, yaitu secangkir teh panas.

Tiba-tiba Bun-hiong mendapat akal, ia angkat cangkir teh itu dengan lagak hendak minum, lalu pura-pura tangan kepanasan dan berteriak kaget, cangkir teh itu dilemparkan ke samping kaki lelaki sebelah.

“Brak,” cangkir pecah, teh panas juga menciprat kaki orang itu.

Dengan sendirinya lelaki itu kurang senang, omelnya, “Main gila apa?”

“O, maaf, maaf! Tehnya terlalu panas, tanganku keselomot dan tidak sanggup memegangi cangkirnya, apakah kaki Anda terkena air panas?” cepat Bun-hiong minta maaf. Dengan ketus lelaki itu hanya mendengus saja, lalu menikmati hidangannya lagi, tampaknya urusan tak mau ditarik panjang setelah Bun-hiong minta maaf.

Dengan cengar-cengir Bun-hiong sengaja tanya lagi, “Eh, apakah kaki Anda terbakar?”

Lelaki itu hanya menggeleng saja.

Waktu itu pelayan datang membersihkan cangkir yang pecah, Bun-hiong lantas menggerundel, “He, pelayan, kenapa kau beri teh sepanas itu? Kan tidak perlu menyeduh teh dengan air mendidih begitu?”

Lelaki setengah baya itu tertawa geli mendengar omelan Bun- hiong itu.

Segera Bun-hiong membalas dengan tertawa, katanya, “Betul kan ucapanku? Menyeduh teh kan tidak perlu pakai air mendidih begitu? Sungguh aneh cara kerja restoran ini?”

Dengan tertawa lelaki itu menanggapi, “Teh yang baru diseduh dengan sendirinya panas.”

“Tapi seharusnya dibiarkan dingin dulu baru disajikan kepada tamu,” ujar Bun-hiong. “Air mendidih begitu mana dapat diminum?!”

“Kurasakan teh tadi tidak terlalu panas,” kata lelaki itu.

“Ah, masa, kurasakan panas sekali,” ucap Bun-hiong. “Hawa panas begini juga tidak cocok minum teh panas, biasanya aku pun tidak suka minuman panas Eh, saudara ini seperti

sudah pernah kulihat, entah di mana?”

“Apa ya?” jawab lelaki setengah baya itu dengan tersenyum. “Betul, tentu kita pernah bertemu di mana,” kata Bun-hiong dengan sungguh-sungguh. “Siapakah nama Anda yang terhormat?”

“Cayhe she Thio bernama Hou,” jawab lelaki setengah baja itu.

“Ah, kiranya Thio-heng adanya,” ucap Bun-hiong sambil memberi hormat. “Aku she Pang bernama Bun-hiong, mohon banyak memberi petunjuk.”

Serentak orang itu mengangkat kepala dan menatap Bun- hiong dengan tajam dan menegas, “Namamu Pang Bun- hiong?”

“Betul,” jawab Bun-hiong.

Kembali orang itu mengawasi dia sejenak, habis itu lantas tertawa lebar dan berkata, “Haha, namamu serupa dengan seseorang.”

Bun-hiong memperlihatkan rasa tertarik, tanyanya, “Namaku sama dengan nama siapa?”

“Sama dengan seorang pendekar muda, namanya juga Pang Bun-hiong dan berjuluk Hou-hiap,” tutur orang itu.

“Hahaha, apakah Thio-heng pernah melihat Hou-hiap Pang Bun-hiong?” tanya Bun-hiong dengan tergelak.

“Belum, belum pernah,” orang itu menggeleng kepala.

“Jika begitu, kan seharusnya Thio-heng menduga bukan mustahil aku adalah Hou-hiap Pang Bun-hiong sendiri?” “Memangnya engkau Hou-hiap Pang Bun-hiong asli?” orang itu menegas dengan terkesiap sambil mengamat-amati Bun-hiong lagi.

“Ya, aku inilah orangnya,” ujar Bun-hiong dengan tertawa. “Benar?” orang itu melenggong.

“Kalau palsu uang kembali,” kata Bun-hiong tergelak.

Lekas orang itu memberi hormat dan berseru, “Aha, selamat bertemu. Tak tersangka engkau Hou-hiap Pang Bun-hiong yang termasyhur, maaf jika aku kurang hormat.”

“Terima kasih,” sahut Bun-hiong.

“Bila tidak keberatan, bagaimana kalau kita minum bersama satu meja?” ajak lelaki alias Thio Hou itu.

“Bagus sekali!” seru Bun-hiong dengan gembira.

Segera ia suruh pelayan memindahkan sendok dan sumpitnya ke meja Thio Hou lalu duduk di depannya.

Thio Hou menuangkan arak secawan penuh, menyusul ia pun menuang penuh cawan sendiri, katanya sambil angkat cawan, “Mari, kuhormati Anda satu cawan!”

Bun-hiong mengucapkan terima kasih dan menghabiskan secawan arak, lalu ia berpaling dan mendesak pelayan, “He, pelayan, lekas bawakan hidangan yang kupesan!”

“Baik, segera datang!” sahut pelayan.

“Mari, mari, makan dulu hidanganku ini,” kata Thio Hou. “Baik, sekarang kumakan hidanganmu, sebentar engkau pun makan hidanganku,” ujar Bun-hiong, tanpa sungkan lagi segera ia angkat sumpit dan makan minum.

Agaknya Thio Hou sangat menyukai kelugasan Bun-hiong, katanya dengan tertawa, “Sungguh tak kusangka dapat bertemu denganmu di sini, engkau ternyata berbeda daripada Hou-hiap yang pernah kubayangkan.”

“Memangnya bagaimana pribadiku menurut bayangan pikiran Thio-heng?” tanya Bun-hiong.

“Kupikir engkau tentu bertubuh pendek gemuk, muka penuh berewok, mata besar,” tutur Thio Hou.

“Begitu bayangan Thio-heng, tentu disebabkan karena julukanku memakai ‘Hou’ bukan?” kata Bun-hiong dengan tertawa.

“Ya, memang begitulah,” ujar Thio Hou.

“Tapi nama Thio-heng sendiri kan juga pakai ‘Hou’, namun tampaknya engkau toh tidak serupa harimau?”

Orang itu terbahak-bahak.

Dalam pada itu pelayan sudah mengantarkan hidangan, segera kedua orang makan-minum terlebih asyik lagi dan berulang-ulang saling mengangkat cawan.

“Bilamana tidak salah penglihatanku, Thio-heng ini tentu juga orang persilatan,” kata Bun-hiong dengan tertawa.

“Betul, sering juga kuberkecimpung di dunia Kangouw, tapi aku tetap seorang Bu-beng-siau-cut (prajurit tak bernama atau keroco), dibandingkan Hou-hiap tentu selisih terlampau jauh.”

“Ah, jangan bilang begitu. Kuyakin Thio-heng pasti cukup ternama di dunia Kangouw, justru akulah yang kurang pengalaman dan tidak kenal padamu.”

“Tidak, Cayhe memang benar seorang keroco belaka, bahwa sekarang dapat berkenalan dengan Hou-hiap, sungguh sangat beruntung bagiku.”

“Tampang tanya, Thio-heng ini keluaran perguruan mana?” tanya Bun-hiong.

“Ah, Cayhe bukan anak murid perguruan ternama, tidak perlu kukatakan, hanya bikin malu saja,” jawab Thio Hou.

“Wah, Thio-heng sungguh seorang yang rendah hati,” ujar Bun-hiong. “Eh, di mana Thio-heng bekerja?”

“Ah, bekerja apa, paling-paling berkeluyuran kian kemari saja.” ujar Thio Hou.

Kembali Bun-hiong mengangkat cawan lagi dengan dia, lalu berkata pula dengan nada menyesal, “Padahal, nama seorang menonjol atau tidak kan juga sama saja. Terkadang orang yang namanya terlampau menonjol malah tidak baik, seperti kata peribahasa, manusia takut ternama dan babi takut gemuk. Orang yang terlalu terkenal justru akan mati terlebih cepat.”

“Ah, juga tidak pasti begitu,” kata Thio Hou.

“Kebanyakan begitu,” seru Bun-hiong dengan suara yang sengaja dikeraskan. “Misalnya saja tokoh kalangan hitam, selama berpuluh tahun yang lalu, nama Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam kan cerlang-cemerlang ibarat sang surya memancarkan cahayanya di tengah langit. Kedudukannya di dunia Kangouw sungguh tidak ada bandingannya. Namun pada akhirnya dia kan juga dibunuh orang?”

Thio Hou mengangguk-angguk.

Maka Bun-hiong menyambung pula, “Yang harus disesalkan, selama masih hidup hubungan baik terpelihara, kalau sudah mati segera ditinggalkan. Sesudah Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam mati, nasib adik perempuannya, Oh Beng-ay kan pantas menimbulkan simpati orang?”

“He, kenapa dengan adik perempuannya?” tanya Thio Hou dengan melengak.

“Sangat menyedihkan, dia terjerumus ke dunia pelacuran,” tutur Bun-hiong.

“Aneh juga,” kata Thio Hou. “Bukankah Oh Kiam-lam juga punya beberapa saudara angkat? Mengapa mereka tidak memerhatikan adik perempuan Oh Kiam-lam dan membiarkan dia telantar?”

“Makanya tadi kubilang selama masih hidup hubungan baik manusia tetap terpelihara, bilamana orangnya sudah mati, segala sesuatu lantas berpisah dan tidak mau tahu lagi, begitulah maksudku.”

“Sungguh kasihan,” ujar Thio Hou. “Meski Oh Kiam-lam bukan tokoh golongan baik, paling sedikit dia juga seorang gembong kalangan hitam yang pernah jaya, tak tersangka sesudah dia mati perempuannya bisa terjerumus sejauh ini.”

“Tapi masih ada lagi kemalangan lain yang lebih hebat,” tukas Bun-hiong. “Oo, apakah adik perempuannya itu juga mati?” tanya Thio Hou.

Bun-hiong menggeleng, “Tidak, dia tidak mati, hanya dibawa lari orang.”

“Siapa yang membawa lari dia?” tanya Thio Hou penuh minat.

“Kejadian itu kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri,” tutur Bun-hiong. “Hari itu kebetulan kucari kesenangan ke Boan- wan-jun di kota Kim-leng, kulihat seorang menyeretnya keluar dan menculik dia dengan sebuah kereta. Sebelum berangkat penculiknya sempat meninggalkan nama, ia mengaku sebagai Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui.”

“Hahh, kiranya dia?!” seru Thio Hou dengan air muka berubah rada pucat.

Melihat sikap orang tentu tahu siapa Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui, segera ia tanya, “Thio-heng kenal Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui?”

“Tidak, tidak kenal,” jawab Thio Hou sambil menggeleng. “Cuma kutahu siapa dia, yaitu seorang tokoh yang sangat ditakuti. Konon dia bermusuhan dengan Oh Kiam-lam, sekali ini dia menculik adik perempuan Oh Kiam-lam, tentu tujuannya ingin melampiaskan rasa dendamnya.”

“Sesungguhnya ada permusuhan apa antara dia dengan Oh Kiam-lam?” tanya Bun-hiong.

“Wah, aku sendiri tidak jelas urusan ini,” jawab Thio Hou. “Aku cuma tahu permusuhan antara mereka sangat mendalam, cuma ... Oh Kiam-lam kan sudah mati empat lima tahun, sebenarnya tidak pantai dia melampiaskan dendamnya terhadap nona Oh yang tidak berdosa itu. Betapa pun perbuatannya itu agak rendah dan pengecut.” “Memang,” kata Bun-hiong.

“Tapi persoalannya juga harus ditinjau kembali,” ujar Thio Hou. “Pribadi Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui itu memang begitulah, licin, licik dan juga kejam, sedikit disakiti hatinya pasti menuntut balas. Orang yang bersalah padanya pasti akan disikatnya hingga habis-habisan.”

“Entah akan diapakan nona Oh yang diculiknya itu!” tanya Bun-hiong.

“Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui terkenal sebagai iblis perusak orang perempuan,” tutur Thio Hou, “maka dapat dipastikan nona Oh akan diperkosa sepuasnya, habis itu baru membunuhnya.”

“Wah, perbuatannya itu terlampau tidak kenal perikemanusiaan,” ujar Bun-hiong. “Kudengar nona Oh itu masih perawan suci bersih.”

“Entah, aku tidak tahu hal ini,” kata Thio Hou. “Dan entah saudara angkat Oh Kiam-lam seperti Ang-liu-soh Ban Sam- hian daun lain-lain mengetahui tidak kejadian ini?”

Bun-hiong berlagak tidak tahu dan bertanya, “Ang-liu-soh Ban Sam-hian itu orang macam apa?”

“Dia terhitung saudara angkat Oh Kiam-lam yang paling lihai,” tutur Thio Hou.

“Apakah dia mau menolong nona Oh jika mendapat sabar tentang kejadian ini?” tanya Bun-hiong pula.

“Ya, hal ini memang tidak dapat dipastikan. Konon sebelum Oh Kiam-lam terbunuh, di antara sesama saudara angkat mereka sudah sering cekcok ”

“Mengapa cekcok di antara mereka?” tanya Bun-hiong.

“Entah,” jawab Thio Hou. “Besar kemungkinan karena pembagian rezeki yang tidak merata sehingga menimbulkan pertengkaran antara mereka sendiri. Terbunuhnya Oh Kiam- lam sangat mungkin juga ”

“Juga perbuatan saudara-saudara angkatnya?” sela Bun- hiong.

“Ya, ini hanya dugaanku saja,” Thio Hou mengangguk. “Ilmu silat Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui sangat tinggi, aku

merasa bukan tandingannya, kalau tidak, tentu akan kutolong nona Oh yang pantas dikasihani itu.”

“Kau tahu di mana tempat tinggal Kiu-bwe-hou?” tanya Thio Hou.

Bun-hiong mengangguk, “Ya, tahu, waktu itu telah kubuntuti dia dan mengetahui sarangnya.”

Cepat Thio Hou menegas, “Di mana?”

“Wah, maaf, tidak dapat kukatakan,” Bun-hiong menggeleng sambil tertawa.

“Sebab apa?”

“Soalnya aku tidak berani menyalahi dia.”

“Dari mana dia tahu engkau yang menyiarkan tempat tinggalnya? Apa alangannya kau katakan kepadaku?” “Tidak, jangan,” kembali Bun-hiong menggeleng. “Bilamana sampai diketahuinya, wah, bisa banyak mendatangkan kesulitan bagiku.”

“Engkau berjuluk Pendekar Harimau, kenapa engkau juga takut urusan?” tanya Thio Hou dengan tertawa.

Bun-hiong menyengir, jawabnya, “Di hadapan Kiu-bwe-hou, aku bukan lagi harimau tapi kucing.”

“Hahaha!” Thio Hou tergelak, “Biarpun Kiu-bwe-hou menakutkan, tapi engkau kan pendekar ternama, seorang pendekar harus membela kebenaran dan menumpas kejahatan.”

“Namun, soalnya terletak pada nona Oh itu ada harganya untuk ditolong atau tidak,” ujar Bun-hiong. “Kakaknya kan terkenal bukan manusia baik-baik, nona Oh itu sendiri melacur. Kan tidak perlu aku mengambil risiko ini hanya untuk membela seorang nona dari jenis ini?”

“Boleh kau katakan tempat tinggal Kiu-bwe-hou kepadaku, aku yang akan menolong dia,” kata Thio Hou.

“Thio-heng yakin mampu mengalahkan Kiu-bwe-hou?” tanya Bun-hiong.

“Dapat kuajak beberapa kawan untuk membantu,” ujar Thio Hou.

“Ah, tidak. Betapa lihai kepandaian Kiu-bwe-hou kan cukup diketahui Thio-heng, tidak boleh kubikin susah padamu mengantar nyawa secara sia-sia.”

“Ai, engkau ini terlampau banyak pertimbangan,” kata Thio Hou. “Kan tidak harus kugebrak dengan dia, masih banyak jalan lain untuk menolong nona Oh, misalnya dapat kubawa lari dia secara diam-diam.”

“Tidak, tidak mungkin, tidak semudah itu,” Bun-hiong menggeleng.

“Asalkan aku bertindak dengan hati-hati, mungkin akan berhasil.”

“Memangnya ada hubungan apa antara Thio-heng dengan Oh Kiam-lam sehingga sukarela hendak menolong Oh Beng-ay tanpa pikirkan keselamatan sendiri?”

“Tidak ada hubungan apa-apa,” jawab Thio Hou. “Aku cuma merana nona Oh itu pantas dikasihani, siapa pun harus mengulurkan tangan untuk menolongnya.”

“Jika tidak ada sesuatu hubungan, kukira engkau tidak perlu menyerempet bahaya,” ujar Bun-hiong. “Banyak campur urusan hanya banyak menimbulkan kesulitan, marilah kita jangan banyak ikut campur urusan orang lain tapi banyak minum arak saja. Nah, mari minum lagi secawan!”

Thio Hou mengadu cawan lagi dengan dia, lalu bertanya mengenai urusan lain, “Eh, ada keperluan apa Anda datang ke Huiciu sini?”

“Tidak ada urusan apa pun,” jawab Bun-hiong. “Aku biasa melancong kian kemari, sekali ini kupesiar ke Kanglam dan kebetulan mampir ke sini.”

“Ke mana lagi kota berikutnya yang akan kau tuju?” tanya Thio Hou.

“Hiuleng, lalu putar balik ke timur, ke Soatang, tamasya ke Liong-hou-san, kemudian mengunjungi juga Kiu-liong-san,” tutur Bun-hiong.

“Wah, senang benar,” ujar Thio Hou.

“Hidupku ada dua macam hobi,” kata Bun-hiong. “Pertama adalah perempuan, kedua adalah pesiar.”

“Pesiar sendirian tidak terasa kesepian?” tanya Thio Hou. “Tidak,” jawab Bun-hiong.

“Sayang aku masih ada urusan, kalau tidak, boleh juga mengiringimu pesiar,” kata Thio Hou. “Sesungguhnya aku juga gemar melancong.”

“Lantas Thio-heng hendak pergi ke mana?” tanya Bun-hiong.

“Ada seorang teman tinggal di daerah utara, bulan yang lalu kuterima suratnya, katanya ada sebuah Piaukiok mencari tambahan tenaga, maka ingin kupergi ke sana untuk mengadu untung.”

“Oo, kiranya begitu ”

Setelah kedua orang mengobrol lagi sebentar, sesudah kenyang makan minum, Thio Hou mendahului membayar rekening, lalu meninggalkan restoran itu.

Rupanya Thio Hou juga menunggang kuda, ketika melihat mereka mau berangkat, cepat pelayan membawakan kuda mereka.

Setelah memegang tali kendali kudanya, Bun-hiong berkata kepada Thio Hou, “Kita baru saja berkenalan dan segera membikin Thio-heng merogoh saku, sungguh tidak enak hati rasanya.”

“Ah, soal kecil, buat apa dipikir,” ujar Thio Hou dengan lugas.

“Rasanya kita sama cocok satu dengan yang lain, semoga kita berjumpa lagi kelak,” ucap Bun-hiong.

“Anda adalah pendekar ternama, kalau sudi bergaul dengan kaum keroco seperti diriku, bolehlah kita bersahabat, kelak tentu akan kucari Anda bila datang ke Kim-tan.”

“Aha, pasti akan kusambut dengan gembira,” seru Bun-hiong. “Sampai bertemu!”

Begitulah keduanya lantas mencemplak ke atas kuda masing- masing dan mengucapkan salam perpisahan, lalu seorang menuju ke utara dan yang lain ke selatan.

Langsung Bun-hiong meninggalkan kota Huiciu dan melanjutkan perjalanan ke selatan. Setelah mengalami penyebaran desas-desus sekali ini telah disadarinya sesuatu, yaitu bahwa sebabnya Tui-beng-poan-koan menyuruhnya menyebarkan berita tentang Oh Beng-ay diculik Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui, tujuannya adalah ingin memancing seorang untuk tampil menolong Oh Beng-ay, pada saat orang yang dimaksud itu muncul, barulah akan ditangkapnya.

Dapat diduganya pula orang yang hendak ditangkap Tui-beng- poan-koan pasti juga ada hubungan erat dengan Oh Beng-ay, kalau tidak tentu Tui-beng-poan-koan takkan menggunakan Oh Beng-ay sebagai umpan untuk memancingnya keluar.

Lantas siapakah gerangan orang yang hendak dipancingnya itu?

Sebab apa pula Tui-beng-poan-koan hendak menangkapnya? Pang Bun-hiong tidak sanggup memecahkan berbagai pertanyaan ini, ia cuma tahu tindakan Tui-beng-poan-koan To Po-sit ini pasti tidak keliru, sebab ia sangat kagum dan hormat kepadanya, ia yakin To Po-sit, adalah orang yang berdiri di sisi “kebenaran”, apa yang diaturnya itu adalah semacam gempuran terhadap yang “jahat”, jika dirinya dapat ikut serta dalam usaha membongkar perkara ini rasanya sangat besar artinya.

Karena pikiran ini, ia merasa sangat gembira. Ia larikan kudanya dengan santai, menjelang magrib barulah ia sampai di kota Yugoan, ia berputar sekeliling di dalam kota dan tidak ditemukan seorang persilatan pun, akhirnya ia mencari sebuah hotel untuk bermalam.

Esok paginya ia melanjutkan lagi perjalanan ke selatan.

Lewat tengah hari ia sampai di suatu tanah ladang yang luas, sejauh mata memandang tidak tampak sesuatu apa pun, dia berkepandaian tinggi dan bernyali besar, keadaan begitu tidak menjadi soal baginya, malahan sembari berjalan ia sambil berdendang.

Kira-kira beberapa puluh li lagi, sampailah ia di suatu hutan lebat yang kelihatan seram, hutan yang terletak di kaki gunung.

Sedang mengayun langkah dengan santai, mendadak dari dalam hutan lebat itu ada suara suitan, menyusul lantas melompat keluar dua orang lelaki kekar.

Wajah kedua lelaki kekar ini tampak bengis menakutkan, dada terbuka dan perut rada buncit, keduanya sama membawa golok mengilat, sekali pandang saja segera orang tahu mereka pasti kawanan begal. Begitu melompat ke tengah jalan, segera mereka bersikap garang untuk menakut-nakuti, bentaknya, “Berhenti! Ingin hidup atau minta mati? Jika ingin hidup lekas serahkan harta bendamu.”

Bun-hiong menahan kudanya, jawabnya dengan tertawa, “Eh, kedua Hohan (orang gagah) jangan marah, biarlah kuberikan semua harta yang kubawa.”

Sembari bicara ia lantas menanggalkan ransel yang dibawanya terus dilemparkan kepada mereka.

Padahal isi ransel itu cuma beberapa potong baju saja dan tidak ada harta benda segala, bobotnya tidak lebih dari sepuluh kati.

Akan tetapi Bun-hiong melemparkannya dengan mengerahkan tenaga dalam, keruan hal ini membuat salah seorang lelaki itu kewalahan, begitu dia menangkap ransel itu dengan kedua tangannya, kontan ia merasakan seperti menangkap benda berbobot ribuan kati, seketika sebelah lengannya keseleo, malahan ransel itu terus menumbuk dadanya dengan keras, “brak”, tulang iga patah dua-tiga serupa digenjot oleh benda beribu kati beratnya.

Belum lagi orang itu tempat menjerit tahu-tahu sudah roboh terjungkal dan tak bernyawa lagi.

Keruan kawannya terperanjat dan juga ketakutan setengah mati seperti melihat setan, ia menjerit terus membalik tubuh dan kabur terbirit-birit.

Dengan sendirinya Bun-hiong tidak tinggal diam, ia membentak, “Jangan lari!” Sebelah tangan terayun, setitik cahaya perak segera menyambar ke punggung lelaki kekar yang sedang merat itu.

Yang disambitkan Bun-hiong sekali ini adalah sepotong uang perak, namun benda kecil ini sudah tidak sanggup lagi diterima oleh lelaki kekar itu, ingin menghindar saja tidak bisa, ia pun menjerit dan roboh terguling.

Cuma ia tidak mati, lukanya juga tidak parah, namun sakitnya membuatnya meringis dan mengerang.

Bun-hiong terus melompat maju, kepala orang itu diinjaknya, ditanyainya dengan tertawa, “Nah, apakah sekarang kau minta harta benda lagi dariku?”

“O, tidak, tidak lagi,” seru lelaki kekar itu. “Ampun Tuan!”

“Kalian ini kaum begal atau anak buah kawanan bandit di atas gunung ini?” tanya Bun-hiong.

“Kami hanya anak buah yang melaksanakan tugas saja,” kata orang itu. “Kami ditugaskan memungut biaya jalan di sini, mohon ampun!”

“Tempat apakah ini?” tanya Bun-hiong. “Hoay-giok-san,” jawab orang itu.

“Apakah sarang kalian berada di atas gunung ini?” tanya Bun- hiong pula.

“Betul,” jawab orang itu gemetar. “Siapa pemimpin kalian?”

“Jik-hoat-kui (si setan berambut pirang) Pit Tiang-siu,” tutur orang itu.

“Seluruhnya ada berapa orang yang bersarang di atas gunung?”

“Cuma seratus lebih.”

Bun-hiong menarik kakinya yang menginjak kepala orang itu, katanya, “Bangun!”

Lelaki itu hanya merangkak dan tidak berani bangun, ia memohon dengan ketakutan, “Mohon ampun, Toaya, mata hamba lamur sehingga tidak kenal kegagahan Toaya, lain kali pasti tidak berani lagi.”

“Tidak kubunuhmu, boleh lekas bangun!” kata Bun-hiong.

Tentu saja orang itu kegirangan, cepat ia menyembah dan mengucapkan terima kasih atas pengampunan Bun-hiong, lalu merangkak bangun.

Bun-hiong menunjuk mayat orang pertama tadi, katanya, “Lemparkan dia ke dalam hutan sana.”

Dengan sendirinya orang itu tidak berani membangkang,  cepat ia mengangkat jenazah kawannya dan diusung ke dalam hutan.

Sambil menuntun kudanya Bun-hiong ikut masuk ke dalam hutan.

Melihat orang mengikutinya, lelaki itu sangat takut, baru beberapa langkah ia lantas berhenti dan bertanya, “Dilempar

... dilempar ke mana?”

“Terserah, di mana pun boleh,” ucap Bun-hiong. “Asalkan agak jauh dari jalan umum, supaya baunya tidak terendus orang lalu.”

Orang itu berjalan pula beberapa langkah, lalu menaruh mayat kawannya di bawah pohon, katanya dengan tergegap, “Biarlah kutaruh, di ... di sini saja, be ... besok akan kudatang lagi dengan ... dengan membawa cangkul untuk ... untuk menggali liang kubur baginya.”

“Baiklah,” kata Bun-hiong. “Eh, siapa namamu, hah?”

“Hamba bernama Kiau Si,” jawab orang itu dengan hormat.

Bun-hiong menyodorkan tali kendali kudanya dan berkata, “Bawakan kudaku!”

Orang itu merasa bingung dan sangsi, dengan gelagapan ia tanya, “Maksud ... maksud Toaya hendak ”

“Bertamu ke sarang kalian di atas gunung,” tukas Bun-hiong dengan tertawa.

Lelaki itu terperanjat, “Hahh, masa Toaya bermaksud mengubrak-abrik Thian-eng-ceh (sarang elang langit) kami?”

“Tidak pasti,” ujar Bun-hiong dengan tersenyum. “Asalkan Cecu kalian cukup ramah tamah kepadaku, dengan sendirinya takkan kuganggu. Nah, ayolah berangkat!”

Orang itu tidak berani membantah, terpaksa ia terima tali kendali kuda dan menuntunnya menuju ke atas gunung.

Bun-hiong ikut dari belakang sambil memandang kian kemari, pemandangan pegunungan ini ternyata cukup indah.

“Apakah jauh?” tanyanya kemudian. “Makan waktu berapa lama?”

“Ah, tidak jauh, tidak sampai setengah jam akan tiba di atas,” jawab orang itu.

“Kecuali Jik-hoat-kui Pit Tiang-siu, apakah masih ada tokoh lain yang menonjol di sarang kalian?” tanya Bun-hiong.

“Masih ada lagi istri Cecu kami, namanya Hoa Sam-nio berjuluk Oh-bi-kui (mawar hitam) dan Jicecu (wakil pemimpin) Tok-pi-kau (kera tangan satu) Kiong Tay-goan.”

“Apakah kalian sering melakukan pembegalan?” tanya Bun- hiong pula.

“O, tidak,” cepat orang itu menjawab, “hanya pada waktu kekurangan perbekalan saja barulah kami turun dari gunung untuk minta bantuan kepada penduduk di sekitar sini, pula kami selama ini tidak pernah membunuh orang.”

“Hm, omong kosong,” jengek Bun-hiong dengan tertawa.

“Betul, hamba tidak bohong,” orang itu berusaha meyakinkan Bun-hiong. “Jika kaum bandit umumnya suka bertindak kejam, Thian-eng-ceh kami justru tergolong penyamun yang memerhatikan perikemanusiaan. Kami tidak main bunuh, tidak suka membakar rumah, sebaliknya kami malah sering menolong orang miskin.”

“Haha, kaum bandit suka menolong orang miskin? Wah, sungguh berita besar,” ucap Bun-hiong dengan tertawa ejek.

“Tapi ... tapi memang begitulah,” orang itu bertutur lagi, “seperti hamba, bulan yang lalu pernah kubantu seorang nenek sengsara dengan 20 tahil perak dan ” “Ah, sudahlah, kalau sudah kukatakan takkan kubunuhmu tentu kutepati janjiku, tidak perlu mengoceh macam-macam urusan untuk minta belas kasihanku,” kata Bun-hiong.

Orang itu serupa kena ditampar mukanya, ia tidak berani nyanyap lagi.

Dengan menuntun kuda ia terus mendaki ke atas gunung, tidak lama kemudian sampailah di kaki sebuah puncak, ia tuding ke atas puncak dan berkata, “Itu, di sana letak Thian- eng-ceh kami.”

“Oo, terus saja ke atas,” kata Bun-hiong.

Orang itu mengiakan, lalu mendahului menuju ke atas puncak melalui sebuah jalan tanjakan.

Jalan ini lebarnya cuma empat-lima kaki, satu meter lebih, melingkar dan berbelok menjulur ke atas puncak. Pepohonan yang berbaris di kedua tepi jalan serupa pagar sehingga menambah keindahan pemandangan.

Belum seberapa jauh, mendadak lelaki itu menoleh dan bertanya, “Mohon tanya, siapakah nama Toaya yang mulai?”

“Untuk apa kau tanya namaku?” jawab Bun-hiong kurang senang.

“Maklumlah, bilamana naik lagi ke atas harus melalui belasan pos penjagaan,” tutu orang itu, “Kalau kita tidak memberitahukan nama, sebelum tiba di tempat penjagaan akan segera dihujani anak panah.”

“Aku tidak takut dipanah,” ujar Bun-hiong dengan tertawa. “Tentu saja Toaya tidak takut, tapi hamba bisa mati konyol,” ujar orang itu sambil menyengir. “Bilamana mereka melihat hamba membawa kemari orang yang tidak dikenal, tentu hamba akan dipanah mati sekaligus.”

“Baiklah,” kota Bun-hiong dengan tertawa. “Bila ditanya mereka nanti, katakan saja Hou-hiap Pang Bun-hiong datang bertamu ke sini.”

Orang itu tampak terperanjat, serunya, “Hah, jadi Anda ini Hou-hiap yang termasyhur di dunia persilatan itu?”

Bun-hiong manggut-manggut.

Orang itu menarik napas dingin, katanya, “Pantas Anda sedemikian lihai, kiranya engkau adalah Hou-hiap Pang Bun- hiong yang termasyhur.”

Belum lenyap suaranya, sekonyong-konyong dari balik hutan sana ada orang berteriak menegur, “Hai, Kiau Si, siapa itu yang datang bersamamu?”

Hanya terdengar suaranya dan tidak kelihatan orang yang bicara, nyata penegur itu bersembunyi di suatu tempat yang tertutup rapat.

Cepat Kiau Si berhenti melangkah dan menjawab, “O, yang kubawa ini ialah Hou-hiap Pang Bun-hiong, beliau ingin bertemu dengan Cecu kita.”

Pengintai yang tidak kelihatan itu bertanya pula, “Apa maksud kedatangannya?”

“Tidak ... tidak bermaksud jahat,” jawab Kiau Si.

“Baiklah, boleh naik ke atas,” seru pengintai tersembunyi itu. Setelah mendapat izin barulah Kiau Si berani beranjak lagi ke atas.

Selanjutnya masih melalui lagi lima pos penjaga yang tidak kelihatan, sesudah ditegur lagi baru boleh melanjutkan perjalanan, setelah melintasi pinggang puncak gunung lantas tidak ada pos jaga lagi.

“Tadi kau bilang sepanjang jalan ada belasan pos penjagaan, kenapa hanya enam pos saja yang menegurmu?” tanya Bun- hiong.

“Ya, ini menandakan Cecu kami sudah menerima laporan, maka telah memberi perintah agar engkau diizinkan naik ke atas, sebab itulah pos jaga lain tidak perlu memeriksa dan bertanya lagi.”

“O, kiranya begitu.”

Dan setelah melingkar lagi beberapa kali, sampailah mereka di puncak gunung.

Puncak gunung ini sangat luas, sepanjang mata memandang terlihat di luar sarang bandit itu dilingkari pagar kayu yang tinggi, setiap kayu pagar itu panjang dan besar dan ujung atas pagar kayu itu dibuat runcing.

Bangunan pintu gerbangnya juga kelihatan kukuh dan megah, bentuknya serupa loteng benteng. Kedua sayap pintunya terbuat dari besi dan di atas pintu bergantung sebuah pigura besar dengan tulisan “Thian-eng-ceh”.

Karena pagar kayu itu sangat tinggi sehingga tidak kelihatan keadaan di balik sarang bandit itu.

Meski keadaan sarang bandit itu tidak terlihat, namun beberapa gembongnya menurut perkiraan Bun-hiong sudah muncul.

Mereka terdiri dari dua lelaki dan seorang perempuan, ketiganya berdiri berjajar di atas panggung gerbang.

Lelaki yang berdiri di tengah itu berusia mendekati 50-an, rambutnya berwarna merah kekuning-kuningan, mukanya jelek dan bengis serupa setan, jelas dia inilah kepala banditnya yang bernama Pit Tiang-siu dan berjuluk Jik-hoat- kui alias setan berambut pirang.

Perempuan yang berdiri di sebelah kanannya berusia 30 tahun lebih, warna kulitnya kehitam-hitaman, kelihatan cantik manis, agaknya dia inilah istri Pit Tiang-siu yang bernama Hoa Sam- nio dan berjuluk Oh-bi-kui atau si mawar hitam.

Dan yang berdiri di sisi kiri adalah seorang lelaki berumur 40- an, mukanya kurus tirus, kedua matanya kecil, lengan baju kiri tampak kosong dan berkibar tertiup angin, jelas lengan kirinya buntung, tidak perlu dijelaskan lagi dia ini pasti wakil Pit

Tiang-siu yang bernama Kiong Tay-goan dan berjuluk Tok-pi- kau alias si kera berlengan satu.

Mereka bertiga berdiri berjajar di atas panggung pintu gerbang, serupa panglima perang yang siap menghadapi pertempuran.

Kiau Si terus mendekati panggung gerbang, lalu bertekuk lutut dan menyembah, serunya, “Lapor Cecu, inilah Hou-hiap Pang Bun-hiong, dia ... dia ”

Sama sekali Jik-hoat-kui Pit Tiang-siu tidak menghiraukan Kiau Si, kedua matanya yang besar itu menatap Pang Bun-hiong dengan mencorong, tercetus suaranya yang aneh serupa serigala menyalak, “Apakah benar Anda ini Hou-hiap Pang Bun-hiong?”

Suaranya melengking tajam dan menusuk telinga, sedikit pun tidak berbau suara manusia.

Bun-hiong mengepal kedua tangan sebagai tanda hormat, jawabnya dengan tersenyum, “Aku ini memang Pang Bun- hiong adanya!”

Dengan sikap pongah Jik-hoat-kui Pit Tiang-siu bertanya, “Lantas ada keperluan apa kau cari diriku?”

“Ah, tiada lain, ingin kuminta maaf kepada Pit-cecu,” jawab Bun-hiong dengan tersenyum.

“Minta maaf?” Pit Tiang-siu terkekeh. “Hehe, memangnya apa artinya?”

“Begini,” tutur Bun-hiong. “Tadi waktu kulalu di kaki gunung, mendadak dua anak buah kalian muncul hendak membegalku, karena tidak kuketahui mereka adalah anak buah Pit-cecu, seranganku agak keras sedikit sehingga salah seorang di antaranya telanjur kupukul mati. Hatiku merasa tidak tenteram, maka kudatang minta maaf ke sini.”

Jik-hoat-kui Pit Tiang-siu tertawa lebar sehingga kelihatan kedua baris giginya yang serupa taring, suara tertawanya juga melengking seram, katanya, “Hehe, kukira engkau tidak perlu sungkan, ada keperluan apa hendaknya bicara terus terang saja.”

“Sama sekali tidak ada maksudku hendak bermusuhan dengan Pit-cecu,” kata Bun-hiong pula. “Apabila Pit-cecu dapat menerima permintaan maafku, maka bolehlah kita bersahabat, hanya begitu saja dan tidak ada lain.” Tentu saja Jik-hoat-kui tidak percaya, ia tertawa dingin, “Hehe, baiklah, kuterima permintaan maafmu, sekarang bolehlah kau turun ke bawah gunung.”

“Eh, masa Pit-cecu memandang rendah diriku sedemikian rupa?” tanya Bun-hiong dengan tertawa.

Tersembul nafsu membunuh pada wajah Jik-hoat-kui, jengeknya, “Hm, memangnya apa kehendakmu?”

“Bilamana Pit-cecu benar menganggap aku ini seorang sahabat, seharusnya kan menyilakan aku mampir dan duduk sebentar di tempatmu ini,” ujar Bun-hiong.

“Hahaha!” mendadak Jik-hoat-kui terbahak. “Bicara kian kemari sekian lamanya, kiranya kedatanganmu memang bukan untuk minta maaf segala.”

“Ai, rupanya Pit-cecu telah salah paham,” kata Bun-hiong. “Kan sudah kukatakan, sama sekali tiada maksudku hendak bermusuhan dengan kalian, asal saja kalian tidak memandangku sebagai musuh, maka kujamin pasti takkan mengganggu sebatang rumput pun di tempat kalian ini.”

“Jika begitu, untuk apa kau minta masuk ke tempatku?” tanya Jik-hoat-kui.

“Ada dua maksud tujuanku,” jawab Bun-hiong. “Pertama, seperti sudah kukatakan, ingin kuminta maaf kepada Pit-cecu. Kedua, ingin kuganggu beberapa cawan arak kepada Pit-cecu. Bicara terus terang, sudah seharian aku menempuh perjalanan dan sama sekali belum makan apa pun, saat ini perutku lagi kelaparan.”

“Dan tidak ada maksud lain?” Jik-hoat-kui menegas sambil menatap tajam. “Ya, sama sekali tidak ada,” jawab Bun-hiong. “Kalau dusta!” Jik-hoat-kui menegas.

“Jika begitu, anggaplah diriku ini manusia rendah yang tidak dapat dipercaya,” ucap Bun-hiong.

Jik-hoat-kui kelihatan masih ragu, ia berpaling dan tanya sang istri, si mawar hitam Hoa Sam-nio, “Bagaimana istriku, biarkan dia masuk atau tidak?”

Oh-bi-kui Hoa Sam-nio tertawa mengikik, jawabnya, “Hihi, sudah tentu, kan semua orang di empat penjuru lautan ini adalah saudara, jika Pang-siauhiap sudah menyatakan tidak ada permusuhan dengan kita, sepantasnya kita memenuhi kewajiban sebagai tuan rumah.”

Suaranya nyaring merdu dan enak didengar, penuh daya pikat.

Agaknya Jik-hoat-kui Pit Tiang-siu selalu menuruti setiap perkataan sang istri, segera ia berseru, “Hai, anak-anak, lekas buka pintu dan menyambut tamu!”

Habis berkata mereka terus turun dari panggung.

Dengan gembira Bun-hiong lantas melangkah ke dalam tanpa gentar sedikit pun.

Jik-hoat-kui menyongsongnya dan mengucapkan “mari”, lalu membalik tubuh dan mendahului menuju ke markasnya.

Kompleks perumahan sarang bandit ini seluruhnya meliputi 50-60 buah rumah, di bagian tengah ada tanah lapang yang luas, lebih ke depan lagi adalah sebuah bangunan besar serupa istana.

Sesudah Bun-hiong ikut mereka melintasi lapangan luas itu barulah terlihat jelas gedung besar itu adalah ruang pendopo markas besar sarang bandit ini.

Jik-hoat-kui bertiga menyilakan Bun-hiong masuk ke ruang pendopo, lalu saling memberi hormat dan ambil tempat duduk, segera seorang anak buah menyuguhkan air teh.

Bun-hiong bersikap gagah berani, tanpa gentar kalau-kalau di dalam teh diberi racun, sekali minum ia habiskan isi cangkir.

Oh-bi-kui Hoa Sam-nio tertawa mengikik, katanya, “Hihi,  tabah benar Pang-siauhiap ini, engkau tidak takut di dalam teh ditaruhi racun?”

“Hahaha, takut apa?” seru Bun-hiong dengan terbahak. “Kutahu kalian bukanlah orang rendah yang suka meracun orang, kenapa kutakut?

“Bagus, melulu berdasarkan ucapan Pang-siauhiap ini saja sudah pantas kami anggap dirimu sebagai sahabat,” kata Oh- bi-kui dengan tertawa. Lalu ia berpaling kepada Jik-hoat-kui dan berkata pula, “Eh, suamiku, lekas beri perintah, suruh menyiapkan satu meja perjamuan, kita harus memberi selamat datang kepada Pang-siauhiap.”

Jik-hoat-kui Pit Tiang-siu mengiakan, segera ia berteriak, “Mana orangnya?!”

Serentak seorang anak buahnya berlari masuk dan memberi hormat, “Hamba siap!”

“Nah, lekas sediakan satu meja perjamuan yang paling lengkap,” seru Jik-hoat-kui alias si setan rambut merah. Anak buahnya mengiakan dan cepat mengundurkan diri.

“Ai, Pit-cecu terlampau menghormati diriku,” kata Bun-hiong dengan tertawa. “Sebenarnya aku cuma ingin mengisi perut sekadarnya saja, makan seadanya sudah cukup.”

“Mana boleh,” kata Jik-hoat-kui. “Pang-siauhiap adalah tokoh dunia persilatan yang termasyhur, hari ini engkau sudi berkunjung ke tempat kami, inilah suatu kehormatan besar bagi Thian-eng-ceh kami, mana boleh kami sambut secara sembarangan?”

Pang Bun-hiong tertawa, lalu ia berpaling dan memberi hormat kepada Kiong Tay-goan, katanya, “Dan yang ini tentunya Jicecu Kiong-tayhiap adanya?”

Tok-pi-kau Kiong Tay-goan, si kera berlengan satu, membalas hormat, ucapnya dengan suaranya yang aneh, “Terima kasih, selanjutnya masih berharap Pang-siauhiap suka sering memberi petunjuk.”

Selagi bicara, kedua matanya terus berkedip-kedip, lagaknya serupa benar seekor kera.

Bun-hiong lantas memberi hormat pula kepada Jik-hoat-kui dan berkata, “Secara sembrono tadi kusalah pukul mati seorang saudara kira, untuk itu kuharap Pit-cecu suka memaafkan.”

“Ah, tidak menjadi soal,” jawab Jik-hoat-kui. “Mereka sendiri yang buta melek, Pang-siauhiap yang termasyhur juga tidak dikenalnya, pantas juga dia mampus di tangan Pang-siauhiap.”

Ia berhenti sejenak, lalu bertanya, “Eh, hari ini Pang-siauhiap lalu di pegunungan kami ini, entah Pang-siauhiap hendak menuju ke mana?”

“O, karena iseng, maka ingin kupesiar ke daerah selatan, tempat tujuan tertentu sih tidak ada,” jawab Bun-hiong.

“Wah, suasana dunia persilatan di daerah selatan beberapa tahun terakhir ini agak kurang tenang,” ujar Jik-hoat-kui.

“O, kenapa bisa begitu?” tanya Bun-hiong.

“Soalnya sejak Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam dibunuh orang di luar kota Tiang-an, beberapa saudara angkatnya lantas saling bertengkar sendiri sebab masing-masing tidak mau tunduk di bawah perintah yang lain, akhirnya terpecah belah dan setiap orang menduduki suatu pangkalan sendiri-sendiri, lebih dari itu malahan mereka tetap cekcok saja mengenai daerah kekuasaannya, bahkan sering terjadi pertengkaran dengan kekerasan.”

“Oo, masa sampai terjadi sejauh itu?” ujar Bun-hiong.

“Memang betul,” bata Jik-hoat-kui. “Jarak tempat kami ini terlebih jauh daripada pangkalan mereka, maka selama ini tidak sampai terlibat dalam persengketaan mereka. Namun belum lama ini Ang-liu-soh Ban Sam-hian telah mengutus orangnya ke sini dan minta kami menggabungkan diri dan tunduk di bawah perintahnya.”

“Lantas bagaimana, Pit-cecu menerima permintaannya?” tanya Bun-hiong.

“Ai, apa boleh buat, umpama menolak juga tidak bisa,” kata Jik-hoat-kui dengan menghela napas. “Kekuatan kami seluruhnya cuma seratus jiwa letih, betapa pun bukan tandingan mereka, bila kami tolak, mungkin segera akan tertimpa malapetaka.” “Tadinya tempat kalian ini berada di bawah perintah siapa!” tanya Bun-hiong pula.

“Sebelum Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam terbunuh, setiap tahun kami selalu memberi upeti lima ribu tahil perak kepadanya sehingga praktiknya kami berada di bawah perlindungannya,” tutur Jik-hoat-kui. “Sesudah dia mati, kami mengira sudah bebas, siapa tahu Ang-liu-soh Ban Sam-hian toh tidak mau melepaskan diri kami.”

“Kabarnya pada waktu hidupnya Oh Kiam-lam membawahi 72 sarang berandal daerah selatan, sekarang ke-72 sarang berandal itu telah dibagi-bagi, di bawah pengaruh Ang-liu-soh Ban Sam-hian bertujuh.”

“Betul, memang begitu. Konon kekuatan Ban Sam-hian terhitung paling besar, seorang diri menguasai 17 sarang, jika ditambah lagi Thian-eng-ceh kami akan jadilah 18 pangkalan.”

“Dan bagaimana dengan saudara-saudara angkatnya yang lain?” tanya Bun-hiong.

“Cian-in-jiu Loh Bok-kong menguasai 13 sarang, In-tiong-yan Pokyang Thian memerintah sepuluh sarang, Kim-ci-pa Song Goan-po juga sepuluh, Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan cuma menguasai sembilan tempat, sedangkan Tok-gan-bu-siang Ong Siang menduduki tujuh tempat dan si tembong Seng It- hong cuma mendapatkan lima.”

“In-tiong-yan Pokyang Thian sudah terbunuh oleh Hiat-pit- siucay Hui Giok-koan, selanjutnya kesepuluh pangkalan yang dikuasainya mungkin akan jatuh ke tangan Hui Giok-koan.”

Jik-hoat-kui terkejut, “Hah, kau bilang Pokyang Thian telah dibunuh oleh Hui Giok-koan?” “Betul,” Bun-hiong mengangguk.

“Aneh,” ucap Jik-hoat-kui dengan heran, “mengapa tidak kudengar berita ini?”

“Hal ini baru terjadi belum lama berselang, kusaksikan sendiri dengan Liong-hiap Liong It-hiong,” tutur Bun-hiong.

“Sesungguhnya apa yang terjadi? Mengapa saling bunuh di antara mereka?” tanya Jik-hoat-kui.

“Lantaran berebut sebuah kotak hitam,” tutur Bun-hiong. “Apakah Pit-cecu tidak pernah dengar peristiwa mengenai kotak hitam itu?”

“Tidak pernah, kotak hitam macam apa?” tanya Jik-hoat-kui.

Selagi Bun-hiong hendak menjelaskan, tiba-tiba datang dua anak buah memberitahukan bahwa meja perjamuan sudah siap.

Segera Jik-hoat-kui berdiri dan berkata, “Mari kita makan- minum sambil melanjutkan pembicaraan.”

Maka mereka berempat lantas meninggalkan ruang pendopo dan menuju ke ruang makan yang terpajang dengan indah, terlihat satu meja penuh hidangan sudah siap, di samping berdiri dua pelayan perempuan sehingga suasana serupa di rumah orang hartawan.

Kini Jik-hoat-kui sudah tidak punya rasa permusuhan lagi terhadap Pang Bun-hiong, dengan ramah ia menyilakan Bun- hiong duduk di tempat paling terhormat. Di bawah layanan kedua gadis pelayan mereka berempat lantas makan minum sambil mengobrol. Setelah minum dua tiga cawan arak, Oh-bi-kui Hoa Sam-nio membuka pembicaraan, “Pang-siauhiap, tadi kau bilang mereka saling berebut kotak hitam, sesungguhnya barang macam apakah kotak hitam itu?”

“Yaitu sebuah peti hitam yang terbuat dengan sangat bagus, apa isi peti itu tidak kuketahui,” tutur Bun-hiong. “Persoalannya dimulai diri seorang yang bernama Si Hin ”

Begitulah lantas diuraikannya secara ringkas sejak Liong It- hiong mendapat pesan dari Si Hin yang sekarat itu, cuma urusan yang menyangkut Oh Beng-ay tidak diceritakannya, sebab tujuannya menyebarkan isu, dengan sendirinya kejadian yang sebenarnya tidak diucapkannya.

Jik-hoat-kui terheran-heran setelah mendengar kisah itu, katanya, “Wah, jika begitu, isi peti hitam itu pasti benda mestika yang sangat berharga, kalau tidak masakah sampai menimbulkan incaran orang sebanyak itu?”

“Ya, memang begitulah,” kata Bun-hiong.

“Belum lama berselang memang kudengar juga bahwa akhir- akhir ini di daerah utara muncul seorang tokoh misterius, katanya hanya dalam waktu beberapa bulan saja tokoh misterius ini sudah menguasai dunia Lok-lim (rimba hijau, istilah lain bagi kaum bandit) dan jadilah dia pemimpin besar 36 sarang bandit di lima provinsi daerah utara. Cuma belum diketahui siapa tokoh misterius itu, masa bisa begitu lihai?”

“Betul, sekarang dia bercokol di Cap-pek-pan-nia,” tukas Bun- hiong. “Tampaknya dalam waktu tidak lama lagi semua orang akan tahu siapa gerangannya. Seorang gembong dunia Lok- lim yang begitu hebat tidak ada alasan menyembunyikan she dan namanya.” “Ya, betul,” Jik-hoat-kui mengangguk.

“Apakah kotak hitam itu milik tokoh misterius itu?” tanya si mawar hitam Hoa Sam-nio.

“Kukira bukan, jika miliknya, mustahil sampai jatuh di dunia Kangouw?” ujar Bun-hiong. “Maka menurut pendapatku, kotak itu hanya barang yang dikehendakinya, atau dengan lain perkataan, kotak itu dirampas oleh Si Hin dari tangan seseorang dan hendak diantar ke Cap-pek-pan-nia, namun di tengah jalan ia kepergok dan kotak itu hendak dirampas orang, dia tidak mampu melawannya dan terluka parah, terpaksa ia serahkan peti itu kepada Liong It-hiong dan minta dia mengantar peti itu ke Cap-pek-pan-nia.”

“Dan sekarang apakah Liong-hiap benar-benar hendak mengantarkan peti itu ke Cap-pek-pan-nia?” tanya Jik-hoat- kui.

“Betul,” jawab Bun-hiong. “Cuma sekarang kotak hitam itu telah jatuh ke tangan Hiat-pit-siucay sehingga dia gagal memenuhi permintaan Si Hin.”

“Ah, kupaham sekarang,” ucap Jik-hoat-kui tiba-tiba dengan tertawa.

“O, Pit-cecu paham apa?” tanya Bun-hiong dengan melengak.

“Kedatangan Pang-siauhiap ini bermaksud membantu Liong- hiap menemukan kembali kotak hitam itu, begitu bukan?” tanya Jik-hoat-kui dengan tertawa.

Bun-hiong pikir umpama menyangkal juga takkan dipercaya, maka ia mengangguk dan berkata, “Betul, apabila Pit-cecu tahu di mana beradanya Hiat-pit-siucay, mohon suka memberitahukan padaku.”

“Konon sembilan pangkalan di daerah Anhui dan Ohlam kini telah dikuasai oleh Hui Giok-koan, jika Pang-siauhiap hendak mencarinya boleh ke tempat-tempat itu, tentu akan menemukan dia.”

“Dia bercokol di pegunungan mana?” tanya Bun-hiong.

“Aku pun tidak terlalu jelas, sangat mungkin dia berdiam di Hek-liong-ceh, sebab di antara kesembilan pangkalan yang didudukinya, Hek-liong-ceh terhitung yang terbesar.”

Bun-hiong mengangguk, “Bagus, jika begitu segera kupergi ke Hek-liong-ceh, banyak terima kasih atas petunjuk Pit-cecu.”

“Ah, soal kecil,” ujar Jik-hoat-kui, “Cuma kuharap jangan Pang-siauhiap bilang akulah yang memberi info ini, sebab aku tidak berani berurusan dengan dia.”

“Tidak, Pit-cecu jangan khawatir,” kata Bun-hiong tertawa.

Salam hangat untuk para Cianpwee sekalian,

Setelah melalui berbagai pertimbangan, dengan berat hati kami memutuskan untuk menjual website ini. Website yang lahir dari kecintaan kami berdua, Ichsan dan Fauzan, terhadap cerita silat (cersil), yang telah menemani kami sejak masa SMP. Di tengah tren novel Jepang dan Korea yang begitu populer pada masa itu, kami tetap memilih larut dalam dunia cersil yang penuh kisah heroik dan nilai-nilai luhur.

Website ini kami bangun sebagai wadah untuk memperkenalkan dan menghadirkan kembali cerita silat kepada banyak orang. Namun, kini kami menghadapi kenyataan bahwa kami tidak lagi mampu mengelola website ini dengan baik. Saya pribadi semakin sibuk dengan pekerjaan, sementara Fauzan saat ini sedang berjuang melawan kanker darah. Kondisi kesehatannya membutuhkan fokus dan perawatan penuh untuk pemulihan.

Dengan hati yang berat, kami membuka kesempatan bagi siapa pun yang ingin mengambil alih dan melanjutkan perjalanan website ini. Jika Anda berminat, silakan hubungi saya melalui WhatsApp di 0821-8821-6087.

Bagi para Cianpwee yang ingin memberikan dukungan dalam bentuk donasi untuk proses pemulihan saudara fauzan, dengan rendah hati saya menyediakan nomor rekening berikut:

  • BCA: 7891767327 a.n. Nur Ichsan
  • Mandiri: 1740006632558 a.n. Nur Ichsan
  • BRI: 489801022888538 a.n. Nur Ichsan

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar