Jilid 30
KALI ini burung garuda itu tidak dapat mengelakkan serangan tersebut, hingga tubuhnya terbelah menjadi dua potong.
Kakek penjinak garuda sangat marah, bentaknya dengan suara keras:
"Bocah, kau sungguh berani mati! Hari in i harus mengganti jiwa burung kesayanganku!"
Pemuda baju kelabu segera maju dan berkata kepada gurunya:
"Suhu, harap jangan marah, biarlah teecu yang membereskan bocah ini!"
Kakek penjinak garuda menotok dengan tangannya hingga pemuda itu terdorong setombak lebih.
"Siapa suruh kau campur tangan? Lekas mundur!" katanya marah.
Tanpa menunggu orang tua itu turun tangan, Ho Hay Hong menggunakan pedangnya lebih dulu menyerang seekor burung garuda yang masih hidup.
Kakek penjinak garuda dengan cepat mengerakkan tangannya, hingga pedang itu jatuh ketanah.
Secepat kilat kakek itu menyambar pedang dan berkata sambil tertaw a terbahak-bahak:
"Bocah! Kau gunakan pedang ini membunuh burungku? Hahaha"
Sambil tertaw a ia menyambitkan pedangnya kearah Ho Hay Hong, mulutnya berkata.
"Aku juga hendak menggunakan pedang ini untuk mengambil kepalamu!" Ho Hay Hong tidak berani berlaku gegabah, dengan cara memutar ia mengelakkan serangan pedang tersebut.
Tetapi pedang itu mendadak membalik, tidak menyerang dirinya, sebaliknya meluncur kearah Tiat Chiu Khim.
Ho Hay Hong lompat meleset ketengah udara, dengan tinju tangan kirinya yang menggempur gagang pedang, hingga pedang itu jatuh ketanah. Tetapi sebelum ia berhasil memperbaiki posisinya, Kakek penjinak garuda berada dihadapannya.
Ho Hay Hong terkejut untuk sesaat ia berdiri tertegun.
Si Kakek tidak lantas menyerang, melainkan mengebutkan lengan jubahnya, hingga Ho Hay Hong terpental mundur.
Setelah itu, barulah ia mengangkat tangannya hendak melancarkan serangannya.
Wajah Tiat Chiu Khim pucat seketika, lalu tidak ingat orang lagi.
Sebelum pukulan tangan Kakek penjinak garuda jatuh keatas diri wanita malang itu, mendadak muncul seorang pertengahan umur berpakaian pelajar lompat keluar dari kalangan penonton seraya berseru:
"Kakek penjinak garuda! Apa kau masih mengenali diriku?"
Kakek penjinak garuda membatalkan serangannya, ia berpaling memandang orang itu kemudian berdiri terpaku. Ho Hay Hong yang terhindar dari bahaya maut, buru- buru lompat mundur. Ketika ia menampak siapa orangnya yang muncul secara tiba-tiba itu, sesaat juga berdiri tertegun.
Kiranya orang itu adalah Tee Soan-kiam Tok Bu Gouw.
Pada saat itu, sepasang matanya yang sayu memandang Kakek Penjinak garuda dengan penuh kemarahan. Bagai orang yang pintar, segera dapat mengerti bahwa pandangan mata Tok Bu Gouw itu ada mengandung permusuhan hebat.
Tok Bu Gouw didaerah utara merupakan orang kuat yang sangat disegani, tetapi didaerah selatan sedikit sekali orang yang mengenalnya. Namun dengan perbuatannya yang berani menantang kakek Penjinak garuda, itu saja sudah cukup membuat kagum para penonton.
"Oh, kiranya kau!" demikian kata-kata permulaan yang meluncur keluar dari mulut si Kakek Penjinak garuda kepada penantang barunya, kemudian tertaw a terbahak- bahak.
"Bagus, bagus!" sambungnya. "Kecuali perempuan hina yang sudah mampus, sekarang sang suami jahanam dan anaknya yang durhaka! sudah berkumpul disini, haha! Kalian berdua hidup didunia juga tidak ada gunanya, lebih baik mati saja !"
Kata-kata itu mengejutkan semua penonton, sebab mereka tidak mengerti duduknya perkara.
Tee soan-kiam sudah meloloskan pedangnya. Wajahnya yang murung, mendadak beringas. Sambil tertaw a dingin ia berkata. ”Kakek penjinak garuda! Tahukah kau bahwa selama beberapa puluh tahun aku hampir mati penasaran memikirkan permusuhan kita? Hari ini ada kesempatan bertemu disini, in ilah waktunya yang paling baik untuk membereskan permusuhan antara kita. Sekarang jangan banyak bicara keluarkanlah ilmu kepandaian garuda Saktimu, aku ingin melihat, apakah ilmumu yang menggemparkan rimba persilatan itu mampu menundukkan aku siorang she Tok atau tidak?"
"Orang she Ho, aku tahu ilmu pedang Tee Soan- kiammu sangat lihay, tetapi aku kakek penjinak garuda adalah anak keturunan dewa, dalam dunia Kang-ouw dewasa ini, belum pernah ada orang yang mengalahkan aku, Ha! Ha! Ha." berkata Kakek penjinak garuda dingin.
Mendengar perkataan itu, dalam terkejutnya Ho Hay Hong lantas timbul rasa curiganya, ia lalu berpikir: ”Tee- soan hong ini benar benar seorang she Ho, kalau begitu apa yang di ucapkan tanpa sengaja oleh gadis baju ungu dahulu, semua benar adanya.”
Sudah lama memang Ho Hay Hong mencurigakan asal usul dari Tee soan-hong mengapa It-Jie Hui kiam selalu mengalah terhadapnya?
Mengapa Tee soan-kiam selalu membela dan melindungi dirinya? Semua ini sudah pasti bukan tidak ada sebabnya! Tetapi ia masih belum tahu benar hubungan apa antara ia dengan Tee-soan hong. Dan apa sebabnya pula dari utara datang kemari? Jikalau belum direncanakan lebih dulu dengan masak-masak, tidak mungkin bisa secara begitu kebetulan. Menggunakan kesempatan itu ia melirik kepada kekasihnya yang saat itu telah memejamkan matanya dan ditunjang oleh pemuda baju kelabu.
Karena gadis itu masih dalam keada pingsan. Ia tidak usah merasa khawatir akan diserang oleh Kakek penjinak garuda. Sebab bagaimanapun ganasnya si Kakek itu, tidak berani turun tangan terhadap seorang perempuan yang tidak berdaya.
Apalagi dibawah sorotan mata orang banyak, bagaimanapun juga orang tua itu tentu masih hendak pertahankan kedudukan di mukanya.
Dan ketika ia melongok kearah si kakek yang tua itu sudah mulai bertempur dengan Tee-soan kiam dengan hebatnya.
Ia segera dapat mengenali bahwa si kakek itu menggunakan ilmu Silat Kun-hiap Samkay untuk melawan Tee-soan kiam, sedangkan Tee-soan kiam menggunakan ilmu pedangnya Tee soan-kiam yang merupakan kebanggaannya.
Dalam waktu sangat singkat dua orang itu sudah bertempur sepuluh jurus lebih, diluar dugaan semua orang. Tee soan-kiam sedikitpun tak ada tanda-tanda akan kalah.
Ho Hay Hong mulai merasa heran, sebab ia kenal baik kepandaian ilmu Tok Bu Gouw. Menurut perhitungannya, seharusnya sudah lama kalah, entah darimana datangnya kekuatan tenaga yang menunjangnya sehingga ia dapat bertahan sekian lama?
Tetapi dengan cepat ia segera dapat menyadari sebab-sebabnya. Ternyata ilmu pedang yang dipelajari oleh Tok Bu Gouw, ialah ilmu pedang Tee soan-kiam, memang ditujukan untuk menandingi ilmu garuda Sakti Kakek penjinak garuda.
Meskipun dalam ukuran kekuatan tenaga dalam, Tee soan-kiam masih selisih jauh dengan Kakek penjinak garuda, tetapi dengan ilmu pedangnya yang selalu ditujukan kebagian bawah musuh, memaksa Kakek penjinak garuda harus peras keringat.
Ketika pertempuran berjalan tiga puluh jurus, Kakek penjinak garuda sudah berada atas angin. Tee-soan-kiam telah berusaha melawan mati-matian, tetapi karena kekuatan tenaga dalamnya masih kalah jauh, susah baginya untuk bertarung lebih lama lagi.
Sejak diutara kesan Ho Hay Hong terhadap Tee-soan kiam tidak begitu baik. Sebetulnya tidak ingin ia membantu, tetapi karena mengingat jago pedang Tee- soan-kiam itu datang justru untuk menolong jiw anya, bagaimanapun juga ia tidak dapat berpeluk tangan lebih jauh. Maka ia lalu lompat melesat turun kedalam arena.
Ia melancarkan serangannya dari samping tetapi Kakek penjinak garuda yang diserang malah tertaw a terbahak-bahak. Seolah-olah tidak menghiraukan serangannya. Didalam mata jago tua itu, hendak mengambil jiwa dua orang itu sesungguhnya tidak terlalu susah baginya.
Tetapi, suara kakek itu mendadak berhenti, kiranya ia sudah mengetahui bahwa kekuatan tenaga dalamnya sudah banyak kurang. Ia mengerti karena tadi ia membantu Ho Hay Hong secara menggelap, hingga kekuatan tenaga dalamnya terhambur terlalu banyak. Hal itu sesungguhnya sangat berbahaya bagi dirinya. Apalagi ia kini harus menghadapi dua musuh tangguh sekaligus. Ia sebetulnya boleh minta bantuan muridnya, tetapi ia tidak mau berbuat demikian. Sebagai seorang keras kepala, ia hendak menyelesaikan dua lawannya dengan tangan sendiri.
Ketika pemuda baju kelabu mendekati dirinya bahkan disentaknya, supaya menyingkir jauh-jauh.
Dalam jurus ke empat mendadak terdengar suara hebat yang memekikan telinga.
Tiga orang yang bertempur telah memisahkan diri masing-masing. Tee Soan-kiam berdiri tegak bagaikan patung dengan mata beringas menatap wajah Kakek penjinak garuda, pedang di tangannya sudah terlempar jatuh ditanah, mulutnya mengeluarkan darah.
Ho Hay Hong wajahnya pucat pasi, rambutnya awut- awutan, bibirnya juga mengeluarkan darah. Lambang emas kebesarannya sudah jatuh ditanah dan disimpan oleh anak buahnya.
Kakek penjinak garuda terus tertaw a terbahak-bahak, tetapi suara tertaw anya sudah tidak begitu nyaring seperti tadi.
Siapa yang menang? Siapa yang kalah? Tiada seorangpun yang berani memberi keputusan.
Keheningan hanya berlangsung sejenak saja, pemuda baju kelabu agaknya tidak bisa tinggal d iam lagi. dengan cepat lompat kehadapan Tee-soan-kiam dan menyerang dengan pedang nya. Perbuatannya itu sudah melanggar perint ah gurunya, maka seketika itu wajah Kakek penjinak garuda lantas berubah.
Pemuda baju kelabu itu berlaga ganas, ia menyerang hebat kepada lawannya, hingga Tee soan-kiam terus mundur dalam keadaan tidak berdaya.
Tampak Tee-soan-kiam sudah hampir mati diujung pedang muridnya. Kakek penjinak garuda membentak dengan suara keras:
"Minggir ! Berani kau melanggar perint ah ku ?"
Mata pemuda baju kelabu nampak marah membara, ia dapat lihat bahwa gurunya sudah kehabisan tenaga, hingga tidak mudah lagi menjatuhkan lawannya, ia juga kenal baik adat gurunya yang keras kepala dan suka membaw a kemauan sendiri, sekalipun dalam keadaan bahaya, juga tidak mengijinkan orang lain campur tangan.
Disamping itu, ia juga ingat budi gurunya maka diam- diam telah mengambil keputusan hendak membela gurunya supaya jangan kehilangan muka, biar ia harus korbankan, jiw anya sendiri sekalipun.
Oleh karena itu, maka ia tidak menurut perint ah gurunya, pedangnya digunakan, untuk menotok jalan darah Tee-soan-kiam.
Kakek penjinak garuda makin marah, dengan tiba-tiba dan tanpa mengeluarkan suara, tangannya menyerang muridnya yang dianggapnya berani membangkang
Tak ampun lagi pemuda baju kelabu itu lantas roboh sambil menjerit dan menyemburkan darah dari mulutnya. Tetapi ketika ia menoleh dan mengetahui bahwa orang yang menyerang dirinya adalah gurunya sendiri, lalu berkata dengan suara nyaring:
"Suhu, maafkan dosa muridmu yang telah membangkang perint ahmu."
Ia tidak melanjutkan kata-katanya dengan airmata bercucuran dan memandang gurunya sejenak, kembali menyerang lawannya.
Kakek penjinak garuda yang menyaksikan perbuatan muridnya, lalu berkata sambil menghela napas panjang:
"Murid durhaka! Aku telah mendidik kau begitu banyak tahun, pada akhirnya tokh masih tetap membangkang perint ahku. Apa boleh buat, dihadapan para tokoh rimba persilatan, aku harus menghukum dulu kau yang mendurhakai perguruan!"
Dihadapan mata orang banyak, Kakek penjinak garuda sudah tentu harus melaksanakan ucapannya. Demikianlah pemuda baju kelabu itu harus mengorbankan jiw anya untuk mempertahankan prestise gurunya.
Setelah menghukum mati muridnya, Kakek penjinak garuda teringat hubungan dengan muridnya, hingga tanpa disadari airmatanya mengalir keluar.
Dalam suasana sunyi, kesedihan telah mencekam hati semua orang. Dalam keadaan demikian, entah dari mana datangnya kekuatan tenaga. Tee-soan-kiam yang sudah hampir kehabisan tenaga mendadak mengeluarkan suara bentakan keras, kemudian lompat dan bagaikan anak panah terlepas dari busurnya menyerbu Kakek penjinak garuda. Perbuatan Tee-soan-kiam yang nekad segera menggemparkan Semua penonton.
Kakek penjinak garuda juga agak terkejut, tetapi tangannya dengan cepat bergerak menyerang lawannya.
Tee-soan-kiam tidak menyingkir, dengan kepalanya ia menyeruduk dada Kakek penjinak garuda.
Ketika kepalanya beradu dengan dada kakek penjinak garuda, hanya terdengar suara benturan keras, lalu disusul oleh suara jeritan Tee Soan-kiam. Dengan sisa tenaganya, dua tangannya menyerang dengan berbareng.
Kakek penjinak garuda mengeluarkan suara tertahan, kakinya menendang hingga Tee-soan kiam melesat sejauh satu tombak lebih.
Kejadian secara tiba-tiba itu sangat mengejutkan Ho Hay Hong. Ketika ia membuka matanya, Kakek penjinak garuda sudah pucat Wajahnya dan mundur terhuyung- huyung.
Ia tidak dapat menduga apa sebabnya Tee soan-kiam berlaku begitu bodoh? Karena perbuatannya itu berarti mengantarkan jiwanya sendiri.
Sementara itu Tee-soan-kiam yang jatuh ditanah, terus dalam keadaan tidak berkutik. Meskipun kepalanya masih utuh, tetapi dalamnya mungkin sudah remuk hancur bekas serangan Kakek penjinak garuda, hanya tinggal napasnya yang masih belum putus.
Karena kematian Tee-soan-kiam itu di anggapnya hendak membela dirinya, maka Ho Hay Hong buru-buru menghampiri. Ketika ia memeriksa keadaannya, wajahnya pucat seketika.
Dari mulutnya mengeluarkan suara rint ihan dan serentetan kata kata yang sangat lemah:
"Anak, ayahmu selama itu merasa malu terhadap dirimu, untung,,., sebelum ayahmu masih dapat melakukan sesuatu untuk menolong jiw amu. Aih, hati hati yang sudah lalu bagaikan impian, selamat tinggal anakku semoga kau berhasil dalam hidupmu."
Dengan bibir tersungging senyuman ia menghembuskan napasnya yang penghabisan.
Ho Hay Hong yang menyaksikan kematian ayahnya, dengan mata beringas memandang Kakek penjinak garuda, serasa ingin sekali telan hidup-hidup musuh besarnya itu.
Sinar mata Kakek penjinak garuda perlahan-lahan tampak sayu, tangannya mengurut-urut dadanya mengatur pernapasannya. Serangan nekad Tee-soan- kiam tadi, ternyata telah melukai dadanya. Tetapi ia adalah seorang tua keras kepala, meskipun sudah tahu bahwa kekuatan tenaganya sudah hilang terlalu banyak, tetapi masih tetap membandel. Ketika Ho Hay Hong menghampiri, ia masih maju menyongsong sambil tertaw a terbahak-bahak.
Ho Hay Hong memandang dengan seksama, dalam hati mengerti bahwa orang tua itu keadaannya benar- benar sudah payah. Tanpa berkata apa-apa ia lau menyerang dengan sengit. Pada waktu itu, ia seolah-olah sudah melupakan jiw anya sendiri, dalam anggapannya, musuh besarnya itu sudah seperti lawan biasa, yang t idak menakutkan lagi.
Oleh karena terjadi kejadian demikian, maka kepercayaan terhadap diri sendiri jadi semakin tebal.
Pe rtempuran berlangsung sudah tiga puluh jurus. Kakek penjinak garuda yang merupakan seorang terkuat dalam rimba persilatan ternyata tidak bisa menjatuhkan satu lawan yang masih amat muda belia itu, sudah tentu sangat mendongkol. Mulutnya berkaok-kaok, rambut dan jenggotnya pada berdiri.
Ketika pertempuran berlangsung lima puluh jurus, Kakek penjinak garuda mendadak nampak begitu murka dengan mengeluarkan suara pekikan nyaring ia melancarkan serangannya dengan kedua tangan.
Serangannya itu demikian hebat, sehingga keadaan disekitarnya seolah-olah tersapu oleh angin puyuh yang sedang mengamuk.
Ho Hay Hong sedikitpun tidak takut. Dengan satu tangannya menyambuti serangan hebat itu.
Setelah terdengar suara benturan nyaring, ia lantas jatuh tak ingat diri.
Entah berapa lama sang waktu telah berlalu, Ho Hay Hong yang rebah ditanah dalam keadaan pingsan telah dikejutkan oleh suara lonceng kuil dibelakang bukit. Ia segera membuka matanya dan memandang keadaan sekelilingnya yang ternyata sudah sunyi senyap. Kakek penjinak garuda sudah tidak nampak lagi bayangannya, Tiat Chiu Khim juga tidak ada lagi disitu., Disamping dirinya adalah jenazah Tee-soan-kiam.
Tidak jauh dari situ terdapat banyak mayat manusia bergelimpangan yang tidak dikenalnya siapa-siapa
Ia segera dapat menduga mereka itu pasti adalah orang-orang golongan rimba hijau daerah utara, yang binasa ditangan Kakek penjinak garuda sewaktu mereka mau berusaha menolong dirinya ketika dia berada dalam keadaan pingsan.
Diantara begitu banyak mayat orang she Siauw dalam tangan orang tersebut masih menggenggam kencang lambang emas kepunyaannya.
Pedang pusaka garuda sakti juga sudah tidak ada tetapi ia mengerti pedang itu pasti sudah dibawa oleh Kakek penjinak garuda.
Dengan hati sedih ia memandang matahari senja yang mulai terbenam kebarat, sedih hatinya memikirkan nasib kekasihnya yang terjatuh di tangan kakek penjinak garuda. Ia merasa marah terhadap Kakek itu, tetapi apa daya?
Dengan sangat hati-hati ia mengubur semua jenazah orang-orang yang pernah membantunya, kemudian meninggalkan tempat itu dengan air mata berlinang.
Ia tidak mencari orang untuk minta keterangan, dengan hati penuh penasaran ditinggalkannya danau Keng liong-tie.
Satu jam kemudian, tibalah ia disuatu kota dekat danau itu. Ia berjalan tanpa tujuan. Mendadak teringat diri Lie Hui yang sedang menantikan kedatangannya. Ia telah lolos dari lubang jarum Lie Hui pasti akan merasa girang bisa bertemu lagi dengan gurunya.
Ia mencari rumah penginapan. Belum lagi melangkah masuk, sudah disambut oleh seorang pelayan dengan laku sangat terhormat.
"Aku tidak mau menginap, aku hanya hendak mencari seseorang kaw an," katanya sambil menggoyangkan tangan dan kemudian memetakan bentuk dan perawakan tubuh Lie Hui.
Wajah pelayan itu berubah seketika, dan sikapnya menunjukkan perasaan takutnya.
"Tuan, silahkan tuan cari d ilain tempat saja, karena dalam rumah penginapan ini tidak ada orang yang tuan cari itu." pelayan itu memberi keterangan dengan wajah ketakutan.
Dari sikap pelayan itu Ho Hay Hong mengerti pasti telah terjadi sesuatu atas diri Lie Hui, maka dengan cepat menyambar bahu pelayan itu seraya berkata sambil tertaw a dingin: "Hai. apa sebetulnya yang telah terjadi? kalau kau bermabukan secara terus terang. Jikalau t idak, aku tidak akan mengampuni jiw amu!" Ia menekan keras bahu pelayan itu, hingga berkaok-kaok kesakitan.
"Hamba benar-benar tidak tahu, harap sukalah tuan maafkan hamba." pelayan itu mulai merint ih-rint ih.
"Kau mau memberi keterangan atau tidak terserah padamu sendiri!" kata Ho Hay Hong marah. Ia menekan lebih keras lagi, hingga pelayan itu menangis dan minta ampun seraya meratap:
"Tuan, ampunilah diri hamba, benar-benar hamba tidak tahu menahu mengenai urusannya, harap tuan minta keterangan pada Poh loya."
"Siapa itu Poh loya?"
"Poh loya adalah guru silat dalam rumah belajar silat dikota ini Tetapi harap tuan jangan memberitahukan kalau hal ini keluar dari mulut hamba, jikalau t idak"
"Dimana ia tinggal?"
Pelayan itu baru mau angkat tangan buat memberi petunjuk, mendadak dengan wajah ketakutan memandang kejalan, tubuhnya nampak menggigil.
Cepat Ho Hay Hong berpaling, Tertampak olehnya seorang lelaki tua bertubuh tegap dengan sinar mata marah berdiri sejarak kira-kira satu tombak diluar pintu. Melihat sikap ketakutan sipelayan, ia segera mau menduga bahwa lelaki tua itu pastilah orang yang dinamakan Poh loya oleh pelayan tersebut.
Otaknya dikerjakan dengan cepat, dengan cara bagaimana harus menghadapi lelaki tua itu, mendadak ia tertaw a dan berkata:
"Ha! Ha! Ha! Poh lao, tak kusangka baru tiga tahun tidak bertemu, ternyata kau berada disini. Haha! Dasar ada jodoh, dimana saja kita bisa bertemu. Mari kita minum sepuas-puasnya!"
Ia maju menghampiri sambil mengulurkan tangannya dengan sikap sangat mesra menjabat tangan orang she Poh itu. Orang tua she Poh itu sejenak merasa heran, lama baru berkata:
"Saudara siapa? Mengapa aku tidak kenal?"
Meskipun mulutnya berkata demikian, namun ia tidak menolak angsuran tangan Ho Hay Hong.
"Haha! Poh loya benar-benar seorang pelupa. Masa siaot ee Sudah tidak kau kenal lagi? Mungkin selama ini Poh loya sudah terlalu banyak kawan baru, sehingga melupakan kawan lama!" berkata Ho Hay Hong sambil tertaw a.
"Ow, ow! Kau hiantee, aku benar-benar sudah tua, benar-benar telah menjadi seorang pelupa. Mari, mari. Kita duduk dirumah, kita boleh minum sambil ngobrol sepuas-puasnya."
Meskipun dimulut ia berkata demikian, tetapi otaknya terus dikerjakan, mengingat-ingat siapa kiranya pemuda didepan matanya ini. Tetapi karena sahabatnya terlalu banyak, kejadian serupa itu kadang-kadang memang bisa saja terjadi, maka ia juga tidak heran lagi.
Berdiam sejenak, ia berkata lagi sambil tertaw a.
"Eh, hiantee, Mengapa kau agak berubah? Lama t idak ketemu, kau sekarang ternyata lebih ganteng dan lebih gagah. Apa belakangan ini kepandaianmu mendapat banyak kemajuan?"
Sampai disitu, Ho Hay Hong terpaksa membatalkan maksudnya hendak menundukkan orang tua itu, maka ia lalu pura-pura tertaw a dan berkata: "Poh laoko jangan tertaw akan siaot ee. Siapa yang tidak tahu bahwa dirumah perguruanmu ini terdapat banyak orang pandai yang namanya tersohor ?"
"Astaga, aku tidak sangka kau sekarang juga pandai bicara. Haha! Tak usah banyak bicara mari kita mengobrol dirumah saja. Belakangan ini hiantee mendapat kemajuan atau tidak."
"Kemajuan?" Ho Hay Hong tercengang tetapi ia segera mengerti bahwa itu adalah istilah dalam pergaulan maka lalu berkata sambil tertaw a:
"Laoko jangan bicarakan soal itu lagi. siaotee seorang bodoh, bagaimana dapat dibandingkan denganmu ?"
Dua orang itu berlalu dari rumah penginapan sambil mengobrol disepanjang jalan.
Ditengah jalan, Poh loya mendadak ingat sesuatu, ia merandak dan bertanya:
"Hiantee, kau. bukankah kau ini Tang siang Sucu ?" Ho Hay Hong terkejut, ia diam saja.
Sementara itu nada orang she Poh itu juga lantas
berubah:
"Haha, hiante! Kau terlalu merendah, siapa tidak tahu kau ditanah Lam-kiang mendapati kedudukan tinggi? Arak setiap hari tersedia, perempuan cantik tinggal pilih saja. Kau benar-benar sudah menikmati kebahagian orang hidup. Dibandingkan denganmu, laokomu ini kalah jauh sekali !"
Ho Hay Hong sebenarnya merasa benci kepada orang tua itu, tetapi diluarnya tetap berlaku ramah. "Poh laoko, mengapa kau sampai berkata demikian? Walaupun siaotee ada sedikit kemajuan, tokh tidak melupakan kau, laoko."
Poh loya tertawa, kemudian berkata dengan sikap sungguh-sungguh:
"Hiantee kabarnya kau belum lama in i telah kebentrok dengan Ing-siu yang sudah lama tidak ada kabar beritanya. Apakah itu benar?"
Ho Hay Hong kembali dikejutkan oleh pertanyaan ini. Karena khaw atir orang she Poh itu sudah mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya, maka diam-diam sudah siap sedia, namun masih mencoba menutupi sambil berkata.
"Janganlah bicarakan soal itu lagi, laoko! semua adalah S iaotee yang tolol, bisa sampai kebentrok dengan iblis itu!"
"Muridnya Ing-siu, pemuda yang dinamakan Long- gee-mo itu, pernah juga bertemu muka sekali denganku, juga pernah kami bertanding dengan ilmu silat."
Belum habis kata-katanya, mendadak melancarkan satu serangan terhadap Ho Hay Hong hingga anak muda ini terkejut bukan main.
Ia mengira orang she Poh itu benar-benar sudah mengetahui rahasianya, maka buru-buru geser mundur kakinya. Dua tangannya bergerak secara reflek dengan kecepatan bagaikan kilat mengarah empat bagian jalan darah ditubuh orang tua itu.
Orang she Poh itu berseru kaget, sama sekali tak pernah menduga serangan Ho Hay Hong bisa demikian hebat, terpaksa ia melindungi jiwanya lebih dulu. Dengan jalan bergulingan ditanah ia menggelinding sejauh beberapa tombak baru berhenti dan berseru:
"Hiantee, tidak kecewa kau menjadi muridnya Lam- kiang Tay-bong. Beberapa gerakanmu itu tadi saja, sudah cukup membuat aku kewalahan!"
Ia menghela napas panjang dan berkata pula: "Kepandaian ilmu silat muridnya Ing-siu sudah pernah
aku uji, ternyata tidak lebih tinggi dari kepandaianmu. Hanya tak usah khawatir, Kalau ada urusan hanya muridnya Long-gee-mo itu saja yang mewakili."
Ho Hay Hong sudah mengerti maksud orang She Poh itu, maka lalu berkata sambil tertawa dingin:
"Tentang Long-gee-mo, aku juga sudah bertempur beberapa kali dengannya. Masih mujur dalam pertempuran antara kami, selalu aku yang menang!"
"Aku kira itu bukannya mujur," kata Poh loya merasakan perasaan kagumnya. "Kepandaian hiantee memang jauh lebih tinggi dari padanya.
Dengan perasaan agak lega Ho Hay Hong berkata: "Poh toako, dengan terus-terang. kedatanganku
kemari menengok kau, Sebetulnya dengan maksud hendak menanyakan seseorang"
"Siapa?" Poh loya rupanya kaget.
Ho Hay Hong pura-pura marah dan berkata:
"Hanya seorang bocah saja, denganku ada
permusuhan dalam sebagai pembunuh sahabatku. Siaotee sudah bersumpah selama hidup ini harus dapat mencincang dulu tubuhnya baru bisa merasa puas."
Sehabis berkata, ia lalu menjelaskan bentuk tubuh ciri- ciri khas dan usia Lie Hui.
"Oh, kiranya dia!" Poh loya nampak lebih terkejut.
Dengan menekan perasaan girangnya Ho Hay Hong berkata:
"Siapa? Dimana dia berada?" Ia berhenti sejenak dan pura pura marah. "Kali ini apabila Siaotee bisa membalas dendam sakit hati sahabatku, sudah tentu tidak akan melupakan budi laoko."
"Hiantee, kau harus tahu bahwa bocah itu adalah taw anan penting dari golonganku, laokomu ini hanya sebagai hiocu saja, sama sekali tidak berhak menyerahkan dirinya kepadamu!" Poh loya menggeleng- gelengkan kepala.
Kini barulah Ho Hay Hong tahu bahwa orang she Poh ini adalah merupakan salah seorang anggauta kuku berbisa. Diluarnya ia pura-pura berlaku kecewa, katanya sambil menghela napas:
"Kalau begitu, jadinya toako tidak sudi membantu siaot ee?"
"Bukan begitu, hiantee! Jangankan hubungan kita sudah begitu erat, dengan kedudukanmu sebagai muridnya Lam-kiang Tay-bong saja, sudah cukup untuk dianggap oleh golongan kami sebagai orang sendiri. Biar bagaimana juga harus diberi muka. Hanya , hanya."
"Hanya apa? Apakah laoko masih merasa ragu-ragu?" tanya Ho Hay Hong heran. "Dengan terus-terang. anakku yang tidak berguna itu telah jatuh cinta padanya, sehingga aku merasa serba salah."
"Apa?"
"Hiantee, bocah itu sebetulnya seorang gadis yang menyaru ! Apakah kau belum tahu? Aku sesungguhnya sangat menyesal dahulu terlalu memanjakan anakku, sehingga dia sekarang tidak mau dengar nasehatku. Kau pikir, toako ini hanya mempunyai seorang anak lelaki saja, maka aku anggap sebagai jiw aku sendiri, meskipun langit rubuh, aku juga memikirkan keselamatannya lebih dulu. Bagaimana aku harus berbuat?"
Bukan kepalang terkejutnya Ho Hay Hong, sungguh tidak menyangka bahwa Lie Hui adalah seorang gadis. Ia coba membayangkan lagi sikap kemalu-maluan gadis itu, karena waktu itu pikirannya sendiri sedang risau hingga kurang perhatian.
Setelah berpikir sejenak, ia berkata dengan sikap serius.
"Tapi laoko, kau harus ingat bahwa gadis itu adalah musuhmu." Tidak mungkin ia boleh bercintaan dengan anakmu. Lagipula, pemimpin atau orang-orang golonganmu juga tidak mungkin mau mengijinkan anakmu kawin dengan tawanannya. Berdasarkan atas in i, perkaw inan itu susah membaw a bahagia bagi kedua fihak. Maka kau harus mengambil keputusan tegas, sekalipun putus hubungan dengan anakmu, juga lebih baik daripada mengambil menantu musuh ! Aku pikir, biarlah sekali in i anakmu merasa kecewa!" Ketika ia melihat Poh loya mulai tertarik mendengar omongannya, ia lalu berkata pula:
"Sebaliknya, apabila perkawinan itu tetap dilangsungkan, kau nanti akan menanam bencana besar. Karena keturunannya pasti akan mengandung darah permusuhan, kau adalah salah satu anggauta golongan Kuku berbisa, juga sulit untuk."
Belum habis kata-katanya, Poh loya membelalak memotong.
"Sudah, sudah! Jangan lagi kau teruskan hiantee."
Ho Hay Hong dapat menduga bahwa orang tua itu mulai merasa jeri, maka lalu berkata pula:
"Sebagai sahabat siaotee merasa perlu menasehatkan: Urusan semacam ini, siaotee kira sebaiknya supaya kau pikir dulu masak-masak. Jangan lantaran cintamu kepada anak, sehingga menimbulkan bencana besar dikemudian hari!"
Poh loya menundukkan kepala. Meskipun mulutnya bungkam, tetapi dalam hati sudah mempunyai rencana.
Sementara itu dua orang itu sudah tiba didepan pintu rumah perguruan Kang-lam Bu-koan yang dahulunya sangat mewah, tetapi kini keadaannya sudah mulai rusak disana-sini.
Diatas pintu yang terbuat dari bahan logam itu terpancang papan yang terdapat empat baris tulisan terdiri dari huruf-huruf besar-POH LAY BU KOAN yang masih baru.
Dari situ Ho Hay Hong segera mendapat tahu bahwa orang she Poh itu adalah Poh Lay. Tak lama kemudian pintu terbuka, dari dalam muncul dua pemuda berpakaian ringkas. Begitu melihat Poh Lay, dua pemuda itu segera memberi hormat sebagaimana layaknya.
Poh Lay ajak Ho Hay Hong masuk. Ketika melalui lapangan pekarangan yang luas, disitu ada sepuluh lebih murid-murid Poh Lay sedang melatih ilmu silat.
Poh Lay segera memerint ahkan para muridnya berhenti dan berkata kepada Ho Hay Hong sambil tersenyum:
"Anak-anak yang tidak berguna ini sudah belajar cukup lama tetapi masih belum bisa apa-apa. Kalau hiantee ada waktu sekarang sudikah kiranya memberi petunjuk seperlunya, aku kira sangat berguna bagi mereka."
Sebelum Ho Hay Hong menjawab, nampak dua pelayan wanita membaw akan teh. Karena ingat akan tujuannya sendiri, Ho Hay Hong tidak mau membuang waktu, maka lalu menjawab:
"Laoko, taw anan wanitamu itu kau sekap dimana? Sudikah kau ajak siaote melihat sendiri? Siapa tahu kalau bukan dia!"
Berkata sampai disitu, ia pura-pura tertawa bangga dan berkata pula:
"Biar bagaimana, aku harap perjalananku ini tidak cuma-cuma, supaya arw ah sahabatku itu bisa tentram."
Poh Lay agaknya masih keberatan, katanya sambil menghela napas: "Hiantee, aku tidak berani merintangi maksudmu yang hendak menuntut balas denda buat sahabatmu. Hanya bagaimana dengan nasib anakku nanti? Sudah demikian mendalam cintanya terhadap perempuan itu, mungkin akan berakibat buruk buat dia pula."
"Poh laoko, dahulu kau begitu gagah berani dan tegas dalam bertindak. Mengapa sekarang jadi demikian lembek? Apakah kau tidak dapat memikirkan apa akibatnya mempunyai menantu anak seorang musuh? Tahukah kau bagaimana kau hendak berbuat seandainya urusan ini diketahui oleh golonganmu ?"
Digertak demikian, akhirnya Poh Lay menyerah.
"Hiantee benar. Baiklah, biar aku nanti ajak kau melihat. Hanya, kalau bertemu dengan anakku, aku minta janganlah kau unjuk sikap keras."
Ho Hay Hong menganggukkan kepala. Poh Lay lalu mengajaknya berjalan melalui lorong yang berliku-liku dan gelap sekali. Akhirnya tibalah mereka didepan sebuah kamar tahanan yang dikurung oleh terali besi yang kokoh kuat.
Dekat kamar tahanan, ada berdiri seorang pemuda berpakaian mewah dengan menundukkan kepala dan menarik napas berulang-ulang.
"Itulah anakku,!" berkata Poh Lay dengan suara pelahan.
Ho Hay Hong menganggukkan kepala tanda mengerti. Matanya lalu beralih kedalam kamar, segera tampak olehnya seorang gadis berbaju putih sedang duduk bersila. Gadis itu tubuhnya langsing, rambutnya aw ut-awutan. Ketika mendengar suara tindakan kaki orang segera bangkit dan berkata dengan suara gusar:
”Manusia rendah! mencelakakan diri orang dengan akal t ipu busuk, apakah itu perbuatan orang gagah? Hm! Kalau memang berani bunuhlah nonamu, perlu apa kau sekap aku disini?"
Ho Hay Hong merasa sedih menyaksikan muridnya dalam keadaan demikian, ia pikir tidak mau menarik perhatiannya dulu, maka berdiri diam disamping.
Lie Hui yang sedang mengumpat caci Poh Lay mendadak tercengang, melihat adanya Ho Hay Hong disamping orang she Poh itu, bibirnya bergerak-gerak hendak memanggil, tetapi Ho Hay Hong segera memberi isyarat dengan matanya, hingga gadis itu membatalkan maksudnya.
Ho Hay Hong berpaling dan berkata kepada Poh Lay: "Apakah perempuan ini?", Ia pura-pura marah dan
berkata pula: "Aku sungguh girang bisa menuntut balas
sahabatku, hahahaha !"
Lie Hui terkejut mendengar ucapan itu, ia tidak percaya bisa salah mata.
Ia mengingat-ingat lagi, wajah Ho Hay Hong dengan cermat, tidak salah lagi dia adalah itu pemuda yang menjadi gurunya, Tetapi ia tidak mengerti mengapa suhunya bisa sampai berkata demikian?
Ho Hay Hong yang menyaksikan gadis itu, dihati merasa geli, katanya: "Poh laoko, budi kebaikanmu ini tidak dapat siaotee lupakan dikemudian hari aku pasti akan membalas budimu ini."
Poh Lay tidak senang mendengar perkataan itu sebaliknya merasa sangat berduka. Matanya diam-diam telah mencuri pandang kepada anaknya.
Benar seperti apa yang orang she Poh itu duga, ketika Ho Hay Hong hendak membuka mulut lagi, pemuda tersebut mendadak mengeluarkan suara bentakan keras, kepalanya dipalingkan kelain arah dan berkata kepada Ho Hay Hong dengan suara bengis:
"Siapa berani mengganggu seujung rambutnya saja, akan aku cincang dia sampai menjadi berkeping-keping."
Herannya, Poh Lay sebagai ayah, terhadap anak rupanya takut sekali. Ketika melihat anaknya marah, ia membujuk dengan suara lemah lembut:
"Ciu-jie, dia adalah paman Ho! Tang-siang Sucu yang sering ayah sebut-sebut itu."
Mendengar perkataan Poh Lay, gadis baju putih itu menundukkan kepala, agak merasa kecewa. Sedangkan Ho Hay Hong diam-diam merasa geli, tetapi ia tidak mau segera membuka kedok, karena hal itu bisa membahayakan diri nona itu.
Pemuda anaknya Poh Lay itu agaknya masih marah katanya:
"Tidak peduli siapa dia! Barang siapa yang berani mengganggu nona itu, aku akan menghadapinya tanpa ragu-ragu!" Kemudian dengan nada memintanya bertanya kepada Lie Hui:
"Nona, jawablah dengan sejujurnya. Kau suka menikah denganku atau tidak?"
Muka Lie Hui tampak merah, matanya mengerling kearah Ho Hay Hong, kemudian menggelengkan kepala, tanda tidak mau menerima permint aan pemuda itu.
Sipemuda yang menyaksikan keadaan demikian, wajahnya berubah seketika. Kepalanya, menunduk, sedang mulutnya menggumam: "Aaah, kau tidak suka ataukah tidak mau? Apakah kau benar-benar hendak menjadi setan tanpa kepala?"
Poh Lay menyaksikan semua itu tanpa bicara apa-apa, agaknya- takut menyinggung perasaan anaknya.
Sebaliknya dengan Ho Hay Hong, ia tidak mau perdulikan kesedihan pemuda itu, katanya dengan terus terang:
"Setiap orang mempunyai cita-cita sendiri yang tidak boleh dipaksa, apalagi perempuan ini adalah musuh sahabatku. Hai, kau jangan merindukan bidadari dalam rembulan !"
Begitu pemuda tersebut mendengar ucapan Ho Hay Hong, seketika lantas meluap hawa amarahnya, ia menghunus pedangnya dan berkata sambil menuding Ho Hay Hong:
"Tang-Siang Sucu! Kau berani mengoceh tidak karuan, lihat aku bisa mengampuni dirimu atau tidak?"
Pedangnya lalu bergerak, menyerang Ho Hay Hong dengan beruntun beberapa kali. Ho Hay Hong lompat mundur dua langkah, berkata dengan suara gusar:
"Hai ! Berani kau menyerang aku? Sungguh besar nyalimu."
Ia sengaja memandang Poh Lay dengan sinar mata gusar, seolah-olah hendak paksa si ayah turun tangan melarang anaknya.
Poh Lay ketakutan setengah mati. Benar saja ia membentak dengan suara keras:
"Ciu-jie, dia adalah pamanmu! Dia pamanmu Tang- siang Sucu! Jangan!"
Tetapi pemuda itu tidak menghiraukan lagi, dengan beruntun tiga kali menyerang Ho Hay Hong secara ganas.
Ho Hay Hong pura-pura berlaku tidak senang, katanya:
"Poh laoko! Kalau kau tidak sanggup mengajar anakmu, siaot ee terpaksa akan turun tangan!"
Dengan kepandaiannya yang luar biasa ia melayani pemuda itu, hingga dalam waktu singkat pemuda tersebut sudah terdesak mundur.
Wajah pemuda tersebut berubah, ia segera balas menyerang dengan sengit.
Dengan tenang Ho Hay Hong menghadapi setiap serangan pemuda yang sudah kalap itu.
Setelah sepuluh jurus berlalu pemuda itu mulai keteter. Ia nampaknya sangat penasaran, karena merasa dirinya dipermainkan lalu mengambil keputusan nekad hendak adu jiwa dengan Ho Hay Hong.
Sambil tertawa terbahak-bahak Ho Hay Hong pentang lima jari tangannya, kemudian terdengar Suara "trang" amat nyaring, pedang di tangan anak muda itu terlepas dan jatuh ditanah.
Dengan mulut bungkam ia mengaw asi pedangnya ditanah, wajahnya pucat, kemudian berkata:
"Tang siang Sucu terima kasih atas kebaikanmu! Aku tidak akan lupakan in i untuk selama-lamanya. Bagaimanapun juga atas hinaanmu ini aku nanti akan menuntut balas. Sampai ketemu lagi!"
Sehabis berkata demikian, ia memungut pedangnya dan berlalu tanpa menoleh lagi. Poh Lay segera berseru:
"Ciu-jie, Ciu-jie! Jangan pergi, dengar dulu keterangan ayah."
Pemuda itu sedikitpun tidak menghiraukan. Dalam keadaan marah, perkataan ayahnya sedikitpun tidak digubrisnya.
Poh Lay yang sangat cinta kepada anak lelaki satu- satunya, tidak tega melihat kedukaan anaknya, maka segera memburu.
Ho Hay Hong sangat girang, ia anggap ini adalah kesempatan satu-satunya yang paling baik baginya, maka segera mengerahkan kekuatan tenaganya, membuka terali besi yang mengurung diri Lie Hui.
Lie Hui dengan cepat menubruk Ho Hay Hong dengan berkata: "Dugaanku ternyata tidak salah, kau adalah suhu!"
Ho Hay Hong tersenyum, sambil mengusap-usap rambutnya Lie Hui ia berkata:
"Anak sudah begini besar masih sangat aleman, apa kau t idak malu?"
Belum habis kata-katanya, sudah dipotong oleh Lie Hui:
"Suhu, jangan kata begitu lagi. Aku tidak senang! Sejak kau pergi ke danau Kang-liong-tie, setiap malam hampir aku tidak bisa tidur, aku selalu pergi keluar kota menunggu kedatanganmu. Diluar dugaanku aku telah terjebak dalam akal muslihat mereka !"
"Kau benar-benar hebat! Selama in i aku masih anggap kau lelaki, tidak tahunya satu anak perempuan. berandalan." kata Ho Hay Hong sambil tertaw a.
Pipinya merah, Lie Hui menundukkan kepala. Lama ia baru berkata pula:
"Suhu jangan menggoda saja, kita harus lekas keluar dari sini !"
Ia berdiam sejenak, kemudian berkata lagi dengan perasaan kagum.
"Suhu, kau sungguh hebat. Asal aku bisa memiliki kepandaianmu separuhnya saja, aku sudah merasa puas."
"Lie Hui, asal kau mau belajar dengan tekun, aku pasti akan menurunkan semua kepandaianku padamu, supaya kau bisa mendapat sedikit muka dikalangan Kang-Ouw dan menuntut balas dendam kepada semua musuh- musuhLie Hui, aku telah membuat keputusan mengambil kau sebagai muridku, ini berarti aku akan mewariskan semua kepandaianku padamu. Aku harap kau tidak mengecewakan pengharapanku! Sementara suhumu sendiri, untuk selanjutnya akan meninggalkan penghidupan dunia Kang-ouw, tidak akan mengurusi urusan duniawi lagi" kata Ho Hay Hong.
Lie Hui terkejut, katanya: "Suhu, mengapa suhu berpikiran demikian?"
"Kau tidak mengerti!" jawab Ho Hay Hong sambil tersenyum getir.
Lie Hui menggelengkan kepala dan berkata dengan penuh rasa simpatik.
"Suhu, kau masih muda, urusan apa yang menyebabkan kau menjadi putus harapan?"
Ho Hay Hong tidak bisa menjawab, hanya berkata sambil tersenyum pahit:
"Tetapi pikiranku t idak muda lagi."
Lie Hui tercengang, setengah mengerti setengah tidak, ia menghela napas. Ia masih hendak menanya lagi, tetapi sudah didahului oleh Ho Hay Hong:
"Jangan tanya lagi! Kalau sekarang kita tidak lekas pergi, sebentar kita akan mendapat banyak kesulitan."
Sambil menarik tangan Lie Hui hendak berlalu. Tetapi Lie Hui berteriak. Ketika Ho Hay Hong menegasi, ia baru tahu bahwa kaki Lie Hui yang putih masih terbelenggu oleh rantai besi."
Ho Hay Hong tertaw a dingin. Ia lalu mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya, dengan satu kali gentak rantai besar yang membelenggu kaki Lie Hui telah putus. Bukan kepalang girangnya rasa hati Lie Hui. Selagi ia hendak menyatakan terima kasih, mendadak tampak wajah Ho Hay Hong yang diliputi oleh kedukaan. Diam- diam ia merasa heran, apakah gerangan yang mengganggu pikiran suhunya yang masih muda itu ?
Gadis itu bulak-balik berpikir, tanpa disadarinya ia jadi turut berduka, sehingga mengalirkan airmata.
Ho Hay Hong merasa heran, tanyanya. "Kau kenapa? Apa kau merasa sakit?"
Lie Hui merasa malu, mukanya merah mendadak.
Dalam gugupnya ia hanya dapat menjaw ab sekenanya: "Tidak, tidak suhu jangan khaw atir!
"Ilmu meringankan tubuhmu masih kurang sempurna, aku khaw atir menghambat waktu, biarlah aku bawa kau kabur."
Lie Hui menurut, ia menghampiri Ho Hay Hong. Oleh Ho Hay Hong segera dikempitnya tubuh Lie Hui yang kecil dan dibawa kabur dari kamar tahanan.
Secepat kilat Ho Hay Hong menggendong Lie Hui dari rumah perguruannya itu.
Ditengah jalan ia agak ragu-ragu sejenak, tetapi akhirnya ia lari menuju kearah barat. Ia masih mengharap bisa menemukan gadis baju ungu ditengah jalan, selain daripada itu ia juga bisa sekalian menyambangi kuburan Tang-siang Sucu.
Ia teringat pula nasib Tiat Chiu Khim, lalu menghela napas perlahan. Perubahan sikap itu segera diketahui oleh Lie Hui tanyanya dengan suara lirih.
"Suhu kenapa kau bersedih" Muka Ho Hay Hong dirasakan panas, dengan cepat menjaw ab:
"Kau tahu apa? Sudah jangan banyak pikiran!"
Tanpa menghiraukan bagaimana perasaan muridnya, Ho Hay Hong melanjutkan perjalanannya.
Akhirnya t ibalah ditempat kuburan Tang-siang Sucu ia dapat menemukan kuburan itu, karena disitu terdapat sebuah gundukan tanah dan ada sebuah batu nisannya yang tertuliskan, Makam Ho-Hay Thian.
Ho Hay Hong menangis didepan kuburan.
Lie Hui melihat nama diatas batu nisan itu hanya berbeda satu hurup dengan nama suhunya, jelas orang itu ada hubungan erat dengan suhunya, maka lalu bertanya:
"Suhu, siapakah Ho Hay Thian itu?" "Kakakku!" jawab Ho Hay Hong singkat. "Ow! Dia meninggal dunia karena sakit apa?"
"Bukan karena penyakit, ia terbunuh oleh musuhnya!" jawab Ho Hay Hong sambil tertaw a getir. "Semasa hidup kelakuannya kurang baik, tetapi bagaimanapun juga dia adalah saudaraku. Mungkin kau juga sudah pernah dengar nama julukannya? Dia adalah Tang siang Sucu."
Lie-hui terkejut mendengar nama itu. "Ah, suhu! Dia tokh seorang jahat?" Sehabis berkata baru sadar bahwa ucapannya itu tidak tepat, maka buru-buru dirubahnya:
"Suhu, seorang yang sudah mati, habislah kesalahannya. Suhu jangan terlalu berduka, supaya arwah empek juga merasa tentram,"
"Dia sudah mati, tetapi musuhnya juga sudah kubunuh. Satu jiw a ditukar dengan satu Jiwa, t idak perlu aku berduka!" kata Ho Hay Hong, dengan menekan perasaan sedihnya, ia tertaw a getir dan berkata pula:
"Apalagi, musuh itu adalah si Ing siu yang namanya sangat terkenal dan pernah menggemparkan dunia rimba persilatan sejak beberapa puluh tahun berselang. Sekarang Ing siu sudah binasa, saudaraku tentunya juga sudah merasa puas!"
Mendadak ia merasa gemas terhadap Lam kiang Tay- bong jago dari daerah Lam-kiang itu jelas seorang pengecut yang takut menghadapi kenyataan. Melihat muridnya dibunuh orang, juga t idak berusaha menuntut balas.
"Oh, pertempuran didanau Keng liong-tie itu apakah suhu lakukan melulu, buat menuntut balas sakit hati empek?"
"Ya, Tuhan telah melindungi aku, Sehingga aku berhasil membinasakan satu musuh terkuat dalam dunia!"
Ho Hay Hong mendadak teringat kepada keselamatan diri Tiat Chiu Khim. Karena gadis itu beberapa kali telah menolong jiw anya, dan kini entah bagaimana nasibnya? Maka ia telah mengambil keputusan, setelah membaw a Lie Hui ketempat yang aman, hendak pergi lagi ke kampung setan.
"Lie Hui, apakah kau pernah dengar kejadian yang aneh didalam kampung setan?"
Mendadak ia merasa berat meninggalkan gadis piatu itu, dalam keadaan demikian, ia merasa serba salah. Ia tahu bahwa dirinya sendiri sangat penting bagi gadis itu, terlepas soal mempelajari ilmu silat padanya untuk bekal penuntutan balas dendam sakit hatinya, dalam dunia yang luas in i, ia hidup sebatang kara tiada sanak kadang yang dapat ditumpangi olehnya. Maka jikalau tidak dibimbing dengan benar, adalah sangat berbahaya bagi hari depannya.
Sebaliknya dengan Lie Hui sendiri, ia tidak tahu apa yang jadi buah pikiran suhunya, ketika ditanya tentang kampung setan, matanya terbuka lebar dan berkata dengan heran:
"Suhu, untuk apa kau sebutkan nama tempat itu?"
Dari Sikap gadis itu Ho Hay Hong sudah dapat menduga bahwa gadis itu tentunya sudah pernah mendengar kabar segala kejadian dikampung setan yang sangat misterius itu.
"Aku pikir hendak ajak kau kesana, apakah kau tidak takut?" demikian ia bertanya.
Pe rtanyaannya itu sebetulnya hanya suatu percobaan saja, maka ia perhatikan sikap muridnya. Sebab dari sikap itu dapat diukur sampai dimana keberaniannya.
Sejenak Lie Hui nampak terkejut, tet api kemudian lalu berkata sambil tertaw a: "Benarkah? Suhu!" "Apa kau tidak takut?"
"Aku sebetulnya paling takut terhadap setan, tetapi ada suhu disampingku, apapun aku tidak takut."
"Aku merasa berbesar hati atas kepercayaanmu. Oleh karena itu, maka aku juga berani memastikan bahwa kau sebenarnya memiliki bakat baik untuk dididik! Tak lama lagi. kau akan menggantikan kedudukanku, dengan menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran, kau boleh berkelana didunia Kang ouw. Bantulah fihak yang lemah dan basmilah orang-orang kuat yang berbuat sewenang- wenang. Tahukah?"
Lie Hui angkat muka, airmatanya berlinang-linang, tetapi masih bisa tertaw a.
"Suhu jangan khaw atir, aku tidak akan mengecewakan pengharapanmu!"
Ho Hay Hong menganggukan kepala, ia tertaw a puas.
Untuk pertama kali Lie Hui menyaksikan Ho Hay Hong tertaw a demikian puas, hingga ia sendiri juga tertaw a gembira.
"Baiklah kalau begitu mari kita berangkat sekarang juga!" Kata Ho Hay Hong.
Mendadak ia terdengar suara apa-apa, dengan cepat segera berpaling.
-oo0dw0oo-