Website Cerita Silat Indomandarin Ready For Sale

 
Jilid 13

MENYUSUL kemudian tampak sesosok bayangan putih meluncur masuk ke dalam ruangan ketika tubuhnya masih berada ditengah udara, tangannya telah menyambar tubuh Yap Siu ling yang dibawanya mundur beberapa langkah, kemudian dia baru melayang turun dihadapannya.

Yap Siu ling hanya merasakan pandangan matanya menjadi silau, tahu tahu sesosok bayangan punggung telah menghalangi pandangan matanya.

Dia tak sempat melihaf jelas paras muka penolongnya, akan tetapi kalau dilihat dari bayangan punggungnya tak sulit untuk diketahui bahwa penolongnya juga seorang perempuan.

“Siapa gerangan orang ini?“ baru saja ingatan tersebut melintas dalam benaknya tiba tiba terdengar Ciu Tin tin berteriak dengan penuh kegembiraan :

“Ibu !“

Tubuhnya segera meluncur kedepan dan melayang turun disamping kanan perempuan berbaju putih itu, kemudian berdiri berjajar disisinya.

Ternyata orang yang baru saja rnenampakkan diri itu tak lain adalah ibunya Ciu Tin tin, istri Gin ih kiam kek Ciu Cu giok, dua puluh tahun berselang perempuan ini termashur dalam dunia persilaian sebagai Cay hong sian ci (Dewi cantik burung hong) Liok Sun hoa.

Mengetahui kalau orang yang datang adalah ibu Ciu Tin tin, Yap Siu ling segera menghembuskan napas panjang, sebab dari mulut Ciu Tin tin dia sudah mengetahui akan kemampuan dari perempuan ini.

Hek bin bu pa To Thi gou yang harus bertarung melawan Ciu Tin tin tadi meski merasa punya kemampuan untuk meraih kemenangan namun diapun mengerti bahwa hal ini hanya bisa berlangsung setelah bertarung sebanyak seratus gebrakan kemudian. Maka dikala mengetahui kalau perempuan yang datang ini adalah ibunya Ciu Tin tin, apalagi menyaksikan kepandaian silatnya begitu lihay tanpa terasa kewaspadaannya ditingkatkan, ia segera memberi tanda agar ketiga orang lelaki itu balik kesisi tubuhnya.

Dengan demikian maka posisinya sekarang menjadi tiga melawan empat.

Sebenarnya Cay hong sian ci Liok Sun hoa adalah seorang perempuan setengah umur akan tetapi paras mukanya justru mirip seorang nona yang baru berusia dua puluh lima enam tahunan, wajahnya yang cantik diliputi oleh hawa dingin yang kaku.

Saat itu dia sedang melotot gusar ke arah Hek bin bu pa To Thi gou sambil membentak gusar.

“Mengapa kalian belum juga menggelinding pergi dari sini!“

Hek bin bu pa To Thi gou segera tertawa terbahak babak. “Haaahh…. Haaahh….. haaahh…. Hanya mengandalkan sepatah

kata saja, apakah kau kira sudah dapat membuat kami kabur ketakutan?”

Ciu Tin tin segera mendekati telinga ibunya sambil berbisik : “Ilmu silat yang dimiliki Hek bin bu pa paling lihay diantara

beberapa orang ini asal ibu dapat menaklukkan dirinya, niscaya yang lainpun akan menuruti perkataan kita.”

Cay hong sian ci Liok Sun hoa manggut manggut, dia lantas mengayunkan pedangnya menotok jalan darah Hian ki hiat ditubuh Hek bin bu pa, setelah itu bentaknya :

“Lebih baik kau enyah lebih dulu!"

"Aah, belum tentu!" jawab Hek bin bu pa To Thi gou cepat. Sambil berdiri dengan tangan sebelah diangkat ke atas, hawa murninya segera dihimpun menjadi satu, kemudian dilancarkannya sebuah pukulan ke arah mana datangnya ancaman tersebut.

Darimana dia bisa tahu kalau ilmu jari Liok hoa ci yang dimiliki Cay hong sian ci Liok Sun hoa merupakan salah satu kepandaian andalannya di masa lalu, tentu saja dengan mengandalkan kemampuan pukulannya mustahil serangan tersebut bisa ditahan.

Tapi dia bersikeras juga untuk menyambut ancaman tersebut dengan keras lawan keras, kalau tidak dipecundangi boleh dibilang mujur sekali nasibnya.

Begitulah, tatkala serangannya telah dilancarkan, telapak tangannya segera bergetar keras, kekuatan jari tangan Cay hong sian ci ternyata berhasil menembusi pertahanannya itu.

“Aduuuh celaka!" diam diam ia berpekik.

Buru buru badannya berputar kekanan untuk menghindarkan diri, walaupun begitu toh bahu kirinya termakan juga oleh serangan dahsyat dari Cay hong sian ci, Liok Sun hoa tersebut.

Kontan saja sekujur badannya menjadi kaku walaupun tak sampai terluka parah toh tenaga serangannya punah tak berbekas, untuk sesaat dia tak mampu untuk menghimpun kembali tenaganya.

Cay hong sian ci Liok Sun hoa sama sekali tidak memberi kesempatan kepada Hek bin bu pak To Thi gou untuk menghimpun kembali tenaganya, sepasang ujung bajunya segera dikebaskan kedepan dengan jurus Cay siu hui im (ujung baju menyapu awan). Gulungan angin pukulan yang maha dahsyat dengan cepat mementalkan tubuh Hek bin bu pa sehingga mencelat keluar rumah.

Itulah bayangan yang tampak oleh Thi Eng khi mencelat keluar dari rumah gubuk tersebut.

Sementara Thi Eng khi dengan menggunakan pedang emasnya secara beruntun melancarkan serangan dengan jurus Cun han cah tian (udara dingin mengembang kejagad) serta Jin yan sia hui (burung walet terbang miring) untuk mendesak Yan san lak kiat dan berusaha menjebolkan suatu titik kelemahan.

Menghadapi ancaman mana, Yan san lak kiat segera tertawa terkekeh kekeh.

"Heeehhh..... heeehhh...... heeehhh Thi sauhiap, kau terlalu

memandang remeh kami enam bersaudara.“

Enam sosok bayangan manusia bagaikan gerakan ular lincah, dengan cepat mengurung tubuh Thi Eng khi rapat rapat.

Walaupun Thi Eng khi telah mempelajari ilmu silat aliran Thian liong pay yang maha dahsyat serta tenaga dalam yang sempurna hasil perpaduan empat macam obat mestika, bagaimanapun juga pengalamannya masih cetek dan kepandaian itu baru dipelajarinya belum lama, otomatis kekuatan yang dapat dipancarkan juga amat terbatas sekali.

Alhasil, dia hanya mampu bertarung seimbang melawan Yan san lak kiat, sedang untuk menembusi kepungan tersebut sulitnya bukan kepalang.

Walaupun demikian, hal mana sudah cukup menggusarkan Yan san lak kiat, sebab dengan nama besar enam jagoan dari bukit Yan san yang begitu termashur dalam dunia persilatan ternyata tak mampu membereskan seorang bocah muda yang belum ternama, bagaimanapun juga kejadian ini benar benar merupakan suatu kejadian yang amat memalukan.

Perlu diketahui, semenjak terjun ke dalam dunia persilatan, dengan kekuatan hubungan mereka berenam, belum pernah ada orang yang sanggup bertahan sebanyak dua puluh gerakan ditangan mereka. Oleh sebab itu, nama besar Yan san lak kiat makin lama semakin tenar, selama berkelana didalam dunia persilatan, belum pernah ada yang berani melawan mereka. Tapi kenyataannya sekarang, mereka tak berhasil merobohkan Thi Eng khi, seorang pemuda ingusan.

Dalam kejut dan gelisahnya, ke enam orang itu segera menghimpun tenaga dalamnya hingga mencapai tingkatan yang semaksimal mungkin, serangan kekuatan merekapun makin berlipat ganda.

Lama kelamaan, akhirnya Thi Eng khi mulai menunjukkan tanda tanda tak sanggup untuk menahan diri.

Dipihak lain, walaupun Hek bin bu pa To Thi gou berhasil dilemparkan keluar dari dalam rumah gubuk tadi, namun mereka tidak berhasil mengusir tiga orang lainnya malah sebaliknya mengundang lebih banyak jagoan yang menyerbu kedalam rumah gubuk itu.

Suatu pertarungan sengit yang amat menggetarkan hatipun segera berlangsung disitu.

Cay hong sian ci Liok Sun hoa dan Ciu Tin tin yang memiliki kepandaian silat tinggi, berhubung harus melindungi pula keselamatan Yap Siu ling maka kemampuan mereka tak mampu dikembangkan sehebat mungkin, keadaanpun menjadi seimbang dan sama kuat.

Cay hong sian ci Liok Sun hoa sesungguhnya tidak kenal dengan Yap Siu ling, juga tidak tahu maksud serta tujuan Ciu Tin tin terhadap keluarga Thi, kali ini dia turun ke dunia persilatan karena hendak mencari jejak putrinya yang sudah lama pergi men¬cari ayahnya tanpa kembali.

Mental perak merupakan ciri khas yang mudah dikenal, itulah sebabnya sepanjang jalan mengejar kemari, secara kebetulan dia telah menemukan peristiwa tersebut.

Dia cukup mengetahui akan watak putrinya yang amat memandang serius suatu masalah yang sedang dihadapinya, maka tatkala dilihatnya anak gadisnya membelai Yap Siu ling mati matian, dia tak sempat bertanya lagi, dia tahu putrinya pasti mempunyai alasan yang kuat maka sikapnya menjadi menaruh perhatian pula terhadap Yap Siu ling.

Walaupun tenaga dalamnya tinggi akan tetapi setelah muncul beban didepan mata, kekuatannya menjadi tak berkembang, sekalipun kekalahan bisa dihindari, untuk mengundurkan musuh bukan suatu yang gampang.

Dalam pada itu, Thi Eng khi tampaknya sudah tidak tahan dan segera akan menderita kekalahan dan dibekuk, mendadak tampak Sin kou Tio Yan kim terpeleset kesamping dan sepasang senjata kaitannya tanpa sebab terjatuh ketanah menyusul kemudian sambil melompat mundur dia menggoncangkan lengannya kencang kencang sambil membentak keras.

Menyusul kemudian Im to Tio Yan ci turut melompat mundur pula sambil berkoak-koak.

Melihat kejadian ini, sisa empat orang dari Yan san lak kiat tersebut menjadi amat terperanjat, mereka lantas tahu kalau ada orang yang secara diam diam telah membantu Thi Eng khi.

Sebaliknya Thi Eng khi segera merasakan semangatnya berkobar kembali, sambil berpekik tiada hentinya dia menyerang semakin menghebat, dalam waktu singkat ke empat orang jago itu sudah kena didesaknya sehingga kalang kabut tak karuan.

Sin kou Tio Yan kim yang sudah tak mampu untuk melanjutkan pertarungan itu segera memeriksa sekejap situasi dalam arena, begitu menyadari kalau kekalahan lebih besar daripada kemenangan. Dia lantas berpekik nyaring tiada hentinya, enam sosok bayangan rranusia dengan kecepatan luar biasa segera mengundurkan diri dari sana.

Berbareng itu juga, kawanan lelaki yang mengurung disekitar rumah gubuk itu mengundurkan diri dari arena, dalam waktu singkat bayangan tubuh mereka sudah lenyap tak berbekas. Menanti Thi Eng khi memburu ke depan pintu rumah, waktu itu Yap Siu ling beserta Cay hong sian ci Liok Sun hoa serta Tin tin sedang memburu keluar dari dalam ruangan.

Melihat ibunya sehat sehat saja, Thi Eng khi segera berteriak keras :

“Oooh ibu!“

Ibu dan anak berdua segera saling berangkulan.

“Nak, kau tidak apa apa bukan?” tanya Yap Siu ling kemudian dengan suara lirih.

“Ibu, kau juga tidak terluka?” tanya Thi Eng khi pula dengan perasaan bergolak.

Mereka berdua hanya menanyakan keadaan masing masing sehingga untuk sesaat menjadi lupa dengan Ciu Tin tin serta ibunya.

Dalam pada itu, Cay hong sian ci Liok Sun hoa telah memperhatikan sekejap diri Thi Eng khi, lalu memandang pula ke arah putrinya yang sedang berdiri terpesona, dengan cepat ia menjadi sadar kembali apa gerangan yang telah terjadi.

Diam diam ia menjadi gembira sekali, sebab sudah diketahui olehnya mengapa selama setahun lamanya putri kesayangannya ini tidak pulang ke rumah.....

Tanpa terasa diawasinya pemuda itu, makin teliti makin dilihat semakin senang sehingga untuk beberapa saat lamanya ia menjadi termangu mangu belaka.....

Lewat lama kemudian, Ciu Tin tin baru menghembuskan napas panjang, sambil menarik ujung baju ibunya dia berkata :

“Ibu, mari kita pergi saja!”

“Mengapa?” tanya Cay hong sian ci Liok Sun hoa agak tertegun. Saking sedihnya dua titik air mata jatuh berlinang membasahi wajah Ciu Tin tin.

“Ibu!” katanya kemudian, “setelah meninggalkan tempat ini nanti akan keberitahukan kepadamu!”

Cay hong sian ci Liok Sun hoa ingin menyapa Yap Siu ling, tapi kembali dicegah oleh Ciu Tin tin :

“Ibu lebih baik kita pergi tanpa memberitahukan kepada mereka lagi. ”

Kemudian ditariknya perempuan itu meninggalkan ruangan dan lenyap dibalik kegelapan sana. Menanti Thi Eng khi berdua teringat kalau disampingnya masih ada tamu, bayangan kedua orang itu sudah lenyap tak berbekas.

Yap Siu ling segera mengomel :

“Nak, coba kau lihat, Ciu pek bo telah menyelamatkan jiwa ibumu,tapi kita hanya ribut untuk berbicara sendiri dan lupa menyapa tamu, perbuatan semacam ini benar benar merupakan suatu perbuatan yang kurang sopan!“

“Mereka ibu dan anakpun sudah lama tak bersua muka, siapa tahu mereka sengaja menyingkir untuk berbincang bincang sendiri?“

“Nak, cepat cari mereka berdua untuk datang, aku akan persiapkan hidangan malam sekalian menambah dengan beberapa macam sayur, sebentar kau harus menghormati enci Tin dengan dua cawan arak sebagai tanda rasa terima kasihmu atas bantuan ibu dan anak berdua.“

Kemudian sambil tersenyum dia berjalan masuk keruangan dalam.

Thi Eng khi segera melakukan pencarian disekeliling tempat itu ketika tidak menjumpai jejak kedua orang tersebut, terpaksa dia pulang kerumah dengan tangan hampa. Baru saja dia sampai didepan pintu, tiba tiba dari arah jalan bukit tampak sesosok bayangan manusia berlari mendekat.

Pada saat itu, Thi Eng khi sedang diliputi oleh rasa gusar dan mendongkol, sambil rnendengus dingin ia lantas menerjang kearah bayangan manusia itu sambil membentak:

“Anjing sialan, kau anggap apa aku benar be¬nar mudah dipermainkan? Lihat serangan!“

Tenaga dalamnya segera dihimpun dan melepaskan sebuah pukulan kearah orang itu dengan tenaga sebesar delapan bagian, dari sini dapat diketahui kalau dia benar benar sudah diliputi oleh hawa amarah sehingga kalau bisa ingin membinasakan orang itu dalam sekali pukulan.

Tak terlukiskan betapa dahsyatnya serangan Thi Eng khi yang telah disertakan tenaga sebesar delapan bagian itu, dimana desingan angin tajam menyambar lewat, orang itu tak kuasa menahan ancaman tersebut.

Kontan saja seluruh tubuhnya mencelat sejauh beberapa kaki dan muntah darah segar.

Menyusul serangan itu, Thi Eng khi segera melompat ke hadapan orang itu, sekarang dia baru melihat jelas paras muka pendatang tadi, kemarahannya makin memuncak.

“Pengemis berkaki tunggal,“ teriaknja, “seandainya aku tidak memandang diatas wajah Cu loko, tak akan kubiarkan kau pergi dari sini dengan selamat, apa maksudmu lagi pada saat ini? Andaikata kau tidak menjelaskan kepadaku, jangan harap bisa pergi lagi dari sini dalam keadaan hidup“

Orang yang baru saja munculkan diri itu tak lain adalah To kak thi koay (kaki tunggal bertongkat baja) Li Goan gwee, kakak seperguruan dari pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po.

Walaupun ilmu silat yang dimilikinya termasuk jago kelas satu didalam dunia persilatan, akan tetapi dia masih bukan tandingan dari Thi Eng khi, apalagi diserang dengan tenaga sebesar delapan bagian dan dikala badannya melambung diudara, tak heran kalau luka yang dideritanya amat parah sehingga tak sanggup untuk menjawab.

Sesungguhnya dia bukanlah salah satu di antara Cap sah tay poo seperti apa yang dikatakan oleh Huan im sin ang. Ketika Huan im sin ang menyebut nama dari ketiga belas orang Tay poo ketika berada diluar perbatasan tempo dulu, ada separuh diantara memang benar benar merupakan anggota dari tiga belas pangerannya tapi ada pula diantaranya yang cuma bualannya belaka untuk membesar besarkan kemampuannya.

Sebab pada waktu itu meski dia berhasrat untuk membentuk Cap sah tay poo namun jumlahnya belum komplit.

Tentu saja, orang orang yang disebutkan oleh Huan im sin ang tersebut merupakan orang orang yang diincarnya, cuma kemudian kenyataan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan sehingga tujuannya tidak tercapai.

Kini, To kak thi koay telah dianggap Thi Eng khi sebagai salah seorang diantara tiga belas pangerannya Huan im sin ang, boleh dibilang kejadian ini amat mengeneskan pengemis tua itu.

Setelah memperoleh caci maki dari Thi Eng khi pada pagi harinya tadi, dengan penuh rasa mendongkol dia mengundurkan diri dari sana, boleh dibilang kesannya terhadap Thi Eng khi jelek sekali, kalau bisa dia ingin segera berangkat pulang dan menegur adik seperguruannya yang punya mata tak berbiji sehingga salah memilih teman.

Siapa tahu justru dia menyaksikan Huan im sin ang menyusun rencana untuk menculik Yap Siu ling dan menguasai Thi Eng khi.

Sebagai seorang lelaki sejati yang berjiwa pendekar, dengan cepat ia melupakan semua sikap kasar Thi Eng khi terhadap dirinya dan balik kesana dengan harapan bisa membantu Thi Eng khi untuk menghalau musuh tangguh. Siapa tahu dia telah datang terlambat sehingga tindakannya itu menambah kesalahan paham Thi Eng khi terhadapnya. Itulah sebabnya pula, dia sampai terhajar terluka parah.

Pada saat itu, rasa sedihnya tak terlukiskan dengan kata kata, sebab dia sama sekali tidak tanu kalau Thi Eng khi telah menaruh kesalahan paham atas dirinya. Dia menganggap Thi Eng khi tak lebih hanyalah seorang manusia kasar yang tak tahu diri.

Tak heran kalau kesannya terhadap pemuda inipun semakin jelek.

Masih mendingan kalau hanya memukul saja, ternyata Thi Eng khi mencaci maki pu¬la dirinya, ini semua membuat hatinya meledak ledak saking mendongkolnya dalam gusarnya dia membungkam diri dalam seribu bahasa, dia mau melihat apa yang hendak dilakukan Thi Eng khi terhadap dirinya.

Tatkala Thi Eng khi menyaksikan To kak thi koay Li Goan gwee memandangnya dengan wajah menghina, bahkan tak rnengucapkan sepatah katapun, kontan saja hawa amarahnya semakin memuncak teriaknya :

“Jika kau masih membungkam terus, jangan salahkan kalau aku tak akan sungkan sungkan lagi.“

Jari tangannya segera ditegangkan seperti tombak, kemudian siap disodokan ke bawah.

To kak thi koay Li Goan gwee mendengus dingin, jengeknya : “Apa yang hendak kau lakukan,lakukan saja kepadaku, anggap

saja aku sipengemis tua telah salah melihat orang!" Thi Eng khi segera mendengus dingin.

“Hmmm... jangan dianggap aku Thi Eng khi masih berusia muda maka bisa ditipu seenaknya, kau sendirilah baru orang yang tak bermata.” Jari tangannya segera disodok kedepan, segulung desingan angin tajam segera menyebar kearah jalan darah Hian ki hiat di tubuh To kak thi koay Li Goan gwee agaknya dia memang berniat untuk memberikan sedikit pelajaran kepada pengemis tua tersebut.

To kak thi koay Li Goan hanya melototi wajah Thi Eng khi, kemudian tertawa pedih. Tampak serangan tersebut segera akan menerjang ke tubuh To kak thi koay, pada saat itulah tiba tiba Thi Eng khi menemukan sikap gagah dan pantang menyerah yang terpancar dari wajah pengemis tersebut.

Tercekat hatinya setelah menyaksikan hal ini, dia kuatir apa yang dilakukannya sekarang kelewat batas.

Tapi golok sudah keburu diloloskan, apalagi hatinya terpengaruh oleh emosi walaupun timbul ingatan tersebut, serangannya sama sekali tidak dibatalkan.

Siapa tahu pada saat itulah dari samping arena meluncur datang segulung angin pukulan yang menghantam serangan dari Thi Eng khi tersebut, kemudian dengan cepatnya membawa tubuh To kak thi koay menyingkir ke samping.

Thi Eng khi segera membalikkan badan sambil menerjang ke arah sebatang pohon, bentaknya :

“Siapa disitu?”

Pohon itu berada lebih kurang dua kaki jauhnya dihadapan Thi Eng khi, baru saja pemuda itu melompat kedepan, dari atas po¬hon telah melayang turun seorang pendeta berkerudung.

“Thi sauhiap, tenaga dalammu telah memperoleh kemajuan yang amat besar, sekarang boleh dibilang sudah cukup untuk menjagoi dunia persilatan, entah masih kenali teman lama tidak?” tegurnya.

Didengar dari ucapan itu, bisa diketahui kalau pendeta tersebut merasa sangat tidak puas. Buru buru Thi Eng khi mengerahkan ilmu bobot seribu untuk melayang turun ke tempat semula, lalu serunya agak tertegun :

“Kalau memang kau adalah temanku, kenapa “

Akan tetapi bicara sampai disitu, satu ingatan segera terlintas kedalam benaknya, dengan cepat dia mengetahui siapa gerangan pendeta tersebut. Sebab semenjak dia terjun kedalam dunia persilatan, hanya dua orang pendeta saja yang bisa dianggap sebagai rekan lamanya.

Yang seorang adalah Ci kay taysu yang dikenalnya dalam perkampungan Ki hian san ceng, sedangkan yang lain adalah Huang oh taysu, ayah Ciu Tin tin.

Kalau Ci kay taysu berperawakan tinggi besar maka mustahil dia adalah pendeta berkerudung dihadapannya sekarang itu berarti satu satunya kemungkinan adalah Huang oh siansu.

Terhadap Ciu Tin tin dia memang sudah menaruh rasa menyesal, maka terhadap Huang oh siansupun tak berani bertindak kurang hormat, setelah mundur selangkah katanya.

“Ternyata siansu yang telah berkunjung kemari, terimalah hormat dari boanpwe.“

Seraya berkata dia lantas menjura sementara dalam hatinya diam diam ia berpikir.

“Setelah menjadi pendeta, masa dia ma¬sih memiliki kesulitan yang tak bisa diketahui orang? Kalau tidak, kenapa dia mengenakan kain kerudung untuk menutupi wajahnya?”

Sementara itu Huang oh siansu telah mengulapkan tangannya sembari berkata :

“Kalau memang Thi sauhiap ingat dengan pinceng, apakah kau pun bersedia memberi muka kepadaku?”

Thi Eng khi memandang sekejap kearah To kak thi koay Li Goan gwee, kemudian ujarnya: “Apakah Siansu meminta agar boanpwe melepaskan sampan masyarakat ini…?”

Mendengar dirinya dimaki sebagai “sampah masyarakat”, kontan saja To kak thi koay mencak mencak kegusaran, bentaknya :

“Sudah puluhan tahun lamanya lohu berkelana dalam dunia persilatan, belum pernah satu kalipun kulakukan perbuatan yang biadab atau melanggar kebenaran, kau masih berusia muda, kenapa sudah menfitnah orang seenaknya sendiri?”

“Kau adalah salah seorang dari cap sah tay poo nya Huan im sin ang, perbuatan ini sudah merusak nama baik Kay pang, orang lain memang tak tahu, tapi aku telah mendengar hal ini dari mulut Huan im sin ang sendiri, memangnya aku sengaja memfitnahmu?”

To kak thi koay Li Goan gwee semakin gusar lagi setelah mendengar tuduhan tersebut sampai sekujur tubuhnya gemetar keras, dengan suara yang tak jelas katanya :

“Kau…. Kau…..”

Dia ingin mengucapkan sesuatu, namun tak tahu apa yang musti diutarakan keluar. Baru saja Thi Eng khi bermaksud untuk membongkar rencana busuk seperti apa yang diduganya semula, Huang oh siansu telah menggoyangkan tangannya berulang kali sambil mencegah.

“Omintohud! Thi sauhiap, kau sudah ditipu oleh Huan im sin ang, pinceng berani jamin, Li tayhiap bukanlah salah seorang diantara Cap sa tay poo!"

Thi Eng khi masih belum mau percaya, gumamnya : “Soal ini…. Soal ini …. “

“Kalau kulihat dari wajah sauhiap, tampaknya kau sudah percaya penuh dengan apa yang dikatakan Huan im sin ang, aaai ….. “

Helaan napas panjang itu mencakup sisa perkataan yang belum terungkapkan. Walaupun ucapan tersebut tidak dilanjutkan, akan tetapi peluh telah jatuh bercucuran membasahi tubuh Thi Eng khi, ia cukup memahami kekecewaan Huang oh siansu terhadap dirinya.

Tanpa terasa dia lantas berpikir :

“Huang oh siansu adalah seorang manusia yang jujur dan saleh, kalau tidak kupercayai perkataannya, apakah harus percaya dengan perkataan Huan im sin ang? Andaikata Huan im sin ang benar benar berniat jelek, bukankah aku telah diperalat olehnya tanpa sadar?”

Tiba tiba satu ingatan melintas dalam benaknya, diapun berpikir lebih jauh :

“Andaikata To kak thi koay benar benar adalah salah satu dari Cap sah tay poo pimpinan Huan im sin ang, masa Huan im sin ang bisa bertindak bodoh dengan mengutusnya lagi untuk menipu diriku? Hanya berdasarkar hal ini saja sudah lebih dari cukup yang membuktikan kalau aku telah terkecoh olehnya.”

Pada dasarnya pemuda itu memang seorang lelaki sejati yang berjiwa besar, setelah memahami hal itu, paras mukanya berubah menjadi serius, cepat dia memburu ke hadapan To kak thi koay sambil berkata seraya menjura :

“Thi Eng khi telah termakan oleh hasutan manusia laknat yang mengatakan engkoh tua sebagai salah satu dari tiga belas pangeran, harap engkoh tua suka memandang diatas wajah Cu lo koko untuk memaafkan kesilapan siaute ini.”

Agaknya To kak thi koay Li Goan gwee sama sekali tidak menyangka kalau Thi Eng khi adalah seorang yang berani mengakui kesalahan sendiri, berani berbuat berani pula bertanggung jawab, sikap gagah semacam ini makin jarang ditemui dalam dunia persilatan ini.

Maka sambil tertawa terbahak babak dia menarik tangan Thi Eng khi seraya berkata :

“Aaaah, mana, mana! Kalau tidak saling bertarung mana bisa saling berkenalan? Harap saudara cilik jangan memikirkan persoalan ini didalam hati, kalau harus disalahkan maka harus salahkan aku si pengemis yang sudah berkelana setengah abad ini masih tidak berhasil menyaksikan keanehan pada sikapmu itu, haaahh....

haahhh.... haaahhh aduh!”

Karena tak tahan dengan penderitaan yang dialaminya, dia lantas berteriak kesakitan, peluh sebesar kacang kedelai jatuh bercucuran dengan amat derasnya.

Dengan cepat Thi Eng khi membimbingnya bangun, kemudian dengan nada menyesal dia berkata :

“Engkoh tua, parahkah luka yang kau derita?“

“Aaah, tidak menjadi soal,” sahut To kak thi koay sambil meluruskan pinggangnya, “aku si pengemis tua masih sanggup untuk mempertahankan diri.“

Walaupun dimulut dia berkata demikian, sekujur badannya masih tetap bergetar keras.

Buru buru Thi Eng khi menempelkan telapak tangannya diatas punggung pengemis tua itu lalu katanya :

“Biar siaute membantu engkoh tua untuk menyembuhkan luka!“

Segulung aliran hawa panas dengan cepat menyusup masuk kedalam tubuh To kak thi koay, lebih kurang setengah pertanak nasi kemudian, Thi Eng khi baru menarik kembali tangannya.

Sekali lagi pengemis tua itu tertawa terbahak bahak. “Haaahh....haaahh...haaahh sungguh amat sempurna tenaga

dalam yang saudara cilik miliki, berkat bantuanmu aku sipengemis tua telah memperoleh kesembuhan total!“

Setelah saling merendah dari lawan kedua orang itupun menjadi sahabat karib.

Ketika Huang oh siansu menyaksikan Thi Eng khi dapat membaiki kesalahannya, dia menjadi gembira sekali, meski demikian katanya pula dengan wajah bersungguh sungguh : “Hanya suatu kesalahan yang kecil sekali bisa mengakibatkan dunia persilatan menjadi kacau balau, aku harap kejadian pada hari ini dianggap sebagai suatu pelajaran untuk sauhiap, semoga saja mulai sekarang kau bisa berpikir tiga kali lebih dulu sebelum bertindak, jangan bertindak lantaran emosi, mencelakai orang sama dengan mencelakai diri sendiri, perlu kau ketahui memberi selangkah jalan mundur buat orang lain berarti rnelakukan suatu kebaikan.

Thian menghendaki umatnya hidup rukun daripada orang jahat dibunuh lebih baik nasehatilah agar bertobat, entah bagaimanakah pendapat Thi sauhiap dengan ucapan pinceng ini?“

“Boanpwe mengucapkan banyak terima kasih atas nasehat dari siansu, sepanjang hidup akan kucamkan baik baik nasehat itu,“ jawab anak muda itu dengan wajah bersungguh sungguh.

Huang oh siansu segera manggut manggut.

“Kalau begitu lolap akan mohon diri lebih dulu!“ katanya kemudian.

Tanpa menggerakkan tubuhnya tahu tahu dia sudah berada lebih kurang beberapa kaki jauhnya dari tempat semula.

Siapa tahu, pada saat itulah mendadak terdengar seseorang membentak gusar : “Kau...kau.. berhenti kau!"

Huang oh siansu berjalan lagi sejauh beberapa kaki dengan langkah lamban, kemudian baru berhenti, agaknya dia berniat untuk balik kembali.

Sementara itu Yap Siu ling telah melangkah keluar dari dalam rumah, kemudian dengan sorot mata yang amat tajam mengawasi Huang oh siansu tanpa berkedip. Tiga orang enam buah mata bersama sama tertuju ke tubuh Huang oh siansu.....

Mendadak Huang oh siansu menggelengkan kepalanya berulang kali, kemudian sepasang bahunya bergerak, agaknya dia ada maksud untuk pergi meninggalkan tempat itu. Buru buru Thi Eng khi maju ke depan, lalu setelah memberi hormat ka¬tanya :

“Ibuku berharap siansu suka berhenti sejenak!“

Huang oh siansu membungkam diri dalam seribu bahasa walaupun wajahnya berkerudung hitam sehingga tidak nampak perubahan mimik wajahnya, namun tak sulit untuk diduga kalau ia merasa amat tak tenang dengan situasi yang terbentang didepan matanya sekarang.

“Siancu!“ kembali Thi Eng khi berseru, “ibuku adalah seorang yang dapat membedakan antara jahat dan benar, harap siansu pun bersedia untuk menjumpainya.“

Huang oh siancu masih tetap membungkam dalam seribu bahasa, agaknya dia merasa ragu untuk rnengambil keputusan apakah harus tetap tinggal atau pergi dari situ.

Terdengar suara Yap Siu ling telah berkumandang lagi dari belakang diiringi helaan napas panjang :

“Aaai... dari nada suaramu dan potongan badanmu, aku sudah tahu siapakah dirimu itu, kalau kulihat dari keraguanmu, hal mana menunjukkan kalau rasa cintamu belum putus, aku kini sudah tidak memikirkan apa apa lagi.“

Mendadak ia berhenti sejenak, kemudian serunya kepada Thi Eng khi :

“Eng ji! Minggir, beri jalan untuk sian¬su “

“Baik!“ jawab Thi Eng khi dengan perasaan bingung. Kemudian setelah menyingkir dan memberi hormat katanya :

“Boanpwe menghantar kepergian siansu!”

Huang oh siansu rupanya belum dapat melupakan diri sendiri, tampak sekujur badannya gemetar keras, mendadak kain kerudungnya terlepas sehingga tampak raut wajahnya yang tampan.

Sambil memandang ke arah Thi Eng khi ia berkata sembari tertawa getir : “Nak, mari kita kesana!”

Sebutan ’nak’ tersebut membuat Thi Eng khi tertegun, dia menjadi tidak habis mengerti dan berdiri tertegun.

Mendadak ia merasa pergelangan tangannya menjadi kencang, tahu tahu ia sudah diseret oleh Huang oh siansu kembali ketempat semula.

Dengan kebingungan dia memperhatikan sekeliling tempat itu, tampak ibunya sedang berdiri dengan air mata berlinang, namun tidak terdengar suara isak tangisnya yang jelas ditahan dengan sepenuh tenaga.

Huang oh siansu sendiripun menatap ibunya dengan pandangan tajam, diatas wajahnya yang saleh itu telah memancarkan cahaya kemerah merahan..

Pelbagai ingatan segera berkecamuk dalam benak Thi Eng khi, akhirnya dia menjadi sadar dan segera berseru tertahan :

“Aaaah…..!”

Seruan setelah itu dengan cepat menyadarkan kembali Huang oh siansu dan Yap Siu ling dari lamunannya. Dengan perasaan terkesiap Huang oh siansu dan Yap Siu ling sama sama berusaha menahan gejolak perasaan masing masing.

“Omitohud!“ bisik Huang oh siansu kemudian, “lolap adalah orang yang telah melupakan diri, harap hujin suka memaklumi.“

Yap Siu ling segera menyeka air matanya dengan ujung baju kemudian ujarnya sambil menahan isak tangisnya :

“Eng ji, cepat kau jumpai ayahmu yang telah menjadi pendeta.“

Thi Eng khi segera menjatuhkan diri berlutut serunya : “Ooh... ayah, kau benar benar tega!“ Huang oh siansu mengebaskan ujung bajunya sambil membangunkan Thi Eng khi, tanpa terasa dua titik air mata jatuh berlinang membasahi pipinya, ia berkata :

“Gin ih lan san (baju perak baju biru) telah mati bersama, Tin tin sudah kehilangan kasih sayang ayahnya, nak, apakah kaupun masih boleh mempunyai ayah?“

Thi Eng khi merasakan hatinya terkesiap, serunya kemudian : “Maafkanlah ananda bila telah salah berbicara!”

Huang oh Siansu segera mengalihkan sorot matanya ke wajah To kak thi koay, kemudian katanya sambil tersenyum :

“Siauseng tak bisa melupakan diri, harap Li tayhiap jangan mentertawakan ”

To kak thi koay Li Goan gwee adalah seorang yang sama sekali berada diluar garis, dia tidak tahu akan perselisihan antara Gin ih kiam kek Ciu Cu giok dengan Lan san cu tok Thi Tiong giok, dia lebih lebih tidak memahami arti dari pembicaraan ketiga orang itu, namun ada satu hal yang dipahaminya, yakni Huang oh siansu yang berada dihadapannya sekarang adalah sahabat karibnya pula, yakni Lan san cu tok Thi tiong giok yang amat tersohor itu.

To kak thi koay Li Goan gwee adalah seorang yang berjiwa besar, setelah tertegun sejenak, ia segera tertawa terbabak bahak.

“Haaahh.... haahhh.... haaahh aku si pengemis tua bagaikan

baru sadar dari impian saja, sungguh tak kusangka kalau Thi tayhiap bisa mencukur rambut menjadi pendeta, apakan dibalik berita yang tersiar pada dua puluh tahun berselang, masih terdapat banyak rahasia lain yang tersembunyi?”

Huang oh siansu segera manggut manggut.

“Pinceng merasa menyesal sekali, lebih baik tak usah dibicarakan lagi. ” katanya.

Orang lain tidak berbicara, tentu saja To kak thi koay Li Goan gwee merasa sungkan bertanya, selain itu sebagai seorang kenamaan, bila harus menanyakan rahasia orang lain, hal itu merupakan suatu perbuatan yang tidak sopan, sudah barang tentu To kak thi koay tak ingin melakukan perbuatan seperti itu.

Rupanya dia tahu kalau tempat itu tak bisa didiami lebih lama lagi, maka sambil menjura katanya kemudian.

“Saat bertemunya ayah dan anak merupakan saat paling bahagia, aku si pengemis tua tak ingin mengganggu lebih lama lagi, maaf kalau aku hendak mohon diri lebih dulu!”

Dia segera menjejakkan kakinya ke tanah dan melompat pergi dari situ.

Huang oh siansu memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian katanya tiba-tiba:

“Tin tin sekarang berada dimana?”

Thi Eng khi segera merasakan kepalanya menjadi kaku, ia tertunduk rendah rendah dan tak mampu menjawab barang sepatah katapun.

Sebenarnya Yap Siu ling munculkan diri dari dalam ruangan karena berhasil menemukan surat yang ditinggalkan Ciu Tin tin. Dia keluar karena hendak menegur Thi Eng khi, sungguh tak disangka secara kebetulan telah bertemu dengan suaminya dan berhasil menyingkap wajah Huang oh siansu yang sebenarnya, kejut dan girang segera berkecamuk bersama rasa sedih yang amat tebal.

la merasa terkejut dan girang karena Thi Tiong giok belum mati, bahkan telah datang kembali. Tapi diapun amat sedih karena Thi Tiong giok begitu tega menjadi seorang hwesio, itu berarti dia tetap akan kehilangan dirinya untuk selamanya. Mengenai hal ini, dia merasa tak dapat menerimanya dengan begitu saja, itulah sebabnya dia merasa seperti kehilangan semangat.

Menanti Huang oh siansu menyinggung soal Ciu Tin tin, dia baru teringat dengan kertas yang masih berada dalam genggamannya itu, kepada Thi Eng khi segera teriaknya : “Nak, kau telah berbuat suatu kesalahan besar, bagaimana tanggung jawabmu nanti terhadap enci Tin? Coba kau lihat, inilah surat yang ditinggalkan enci Tin mu!“

Thi Eng khi merasa menyesal sekali dia segera membuka kertas surat itu dan membacanya :

“Pek bo yang terhormat,

Titli tak dapat berdiri disini lagi, dari pada mempengaruhi perasaan adik Eng untuk itu aku minta maaf yang sebesar besamya untuk ayahku dan diriku sendiri.

Keponakan : Ciu Tin tin.

Belum habis Thi Eng khi membaca tulisan itu, air matanya sudah jatuh bercucuran.

Setelah orangnya tidak ada, dia baru merasakan bahwa Ciu Tin tin adalah seorang gadis yang menyenangkan dan patut dihormati, selain itu rasa cinta yang selama ini tertanam dalam hatinya turut bergolak pula dengan hebatnya.

Huang oh siansu merasa kurang leluasa untuk menegur Thi Eng khi, dia hanya menggelengkan kepalanya berulang kali sambil menghela napas panjang.

“Setelah kepergian Tin tin, pinceng semakin merasa malu terhadap sobat lamaku di alam baka!”

Dengan cepat Thi Eng khi berseru :

“Sekarang juga ananda akan berangkat untuk menyusul enci Tin, seandainya ia tak dapat memaafkan ananda, anandapun merasa tak punya muka lagi untuk berjumpa dengan kalian orang tua berdua.”

“Anak Eng, kau harus ingat," kata Yap Siu ling dengan sedih, "keluarga Thi serta partai Thian liong tak bisa kekurangan dirimu.“

Huang oh siansu dengan sepasang mata yang memancarkar sinar tajam menatap pula wajah Thi Eng khi tanpa berkedip katanya dengan wajah serius : "Tugas berat untuk membangun kembali Thian liong pay berada ditanganmu, aku harap kau jangan melupakan tugasmu. Selain itu, bulan delapan tanggal limabelas nanti, pertemuan dibukit Siong san akan diselenggarakan, persoalan ini timbul gara gara kau, itulah sebabnya kau berkewajiban untuk melerai pertikaian itu, aku ha¬rap kau suka berpikir tiga kali lebih dulu sebelum bertindak………!''

Untuk sesaat lamanya Thi Eng khi menjadi amat terharu sehingga menundukkan kepalanya dengan wajah malu dan mulut terbungkam dalam seribu bahasa....

Setelah menasehati Thi Eng khi, nada suara Huang oh siansu pun menjadi lebih lunak katanya lembut :

“Besok, kau harus segera melanjutkan perjalanan menuju ke bukit Siong san… selesaikan kesalahan paham itu sebaik-baiknya!"

Thi Eng khi teringat kembali dengan ibunya, bila dia harus pergi, bukankan ibunya akan sendirian? dengan perasaan kuatir, katanya dengan nada sedih :

"Ananda merasa amat kuatir membiarkan ibu berada disini seorang diri!"

Besok pagi keempat orang susiokmu akan sampai disini dan bersama ibumu akan kembali ke Huay im untuk mengumpulkan semua anggota Thian liong pay dan membangun kejayaan partai, tak usah kuatir, pergilah dengan hati tenang!"

Tiba tiba Thi Eng khi teringat kembali dengan luka Jit sat ci dari keempat susioknya yang telah disembuhkan orang, timbal kecurigaan dalam hatinya, dia lantas bertanya :

“Apakah kau orang tua yang telah menyembuhkan luka yang diderita keempat orang susiok?”

Huang oh siancu menghela napas panjang .

“Aaai. aku sudah menjadi seorang pendeta, namun pikiranku

masih tertinggal dirumah, aku benar benar telah menyia-nyiakan ajaran Buddha ” Tak bisa disangkal lagi, memang semuanya itu merupakan hasil perbuatannya...

Thi Eng khi sendiripun cukup menyadari ayahnya masuk menjadi pendeta karena dia merasa menyesal terhadap kematian Gin ih kiam kek. Tapi setelah menjadi pendeta, diapun merasa sedih karenaThian liong pay menjadi kehilangan pamornya lantaran kehilangan dia. 

Membayangkan semua pengalaman pedih yang dialaminya, tanpa terasa Thi Eng khi ikut merasa bersedih hati.

Waktu itu rembulan telah berada diawang awang, tiga sosok bayangan manusia berdiri ditempat masing masing tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Akhirnya Huang oh siansu merangkap tangannya didepan dada sambil berkata :

“Harap hujin baik baik menjaga diri, sianceng ingin mohon diri lebih dahulu!"

Yap Siu ling menjadi sedih sekali, bisiknya :

"Kau... kau... kau... kau akan ..“

Mendadak ia merasa amat terperanjat sebab berada dihadapan suaminya yang telah menjadi pendeta memang tidak sepantasnya mengucapkan kata semacam itu lagi, teringat sikapnya tersebut, ia tertunduk dengan wajah memerah karena jengah, tak sepatah katapun sanggup diutarakan lagi.

“Ayah, kau tak boleh pergi!“ pekik Thi Eng khi sedih.

Sekuat tenaga Huang oh siansu berusaha untuk mengendalikan perasaannya, lalu dengan dingin dia berkata :

"Anak dungu, ayahmu sudah menjadi seorang pendeta, kalian tak usah banyak berbicara lagi!" Seusai berkata dia lantas melompat pergi sejauh puluhan kaki lebih dan lenyap dibalik kegelapan sana.

Yap Siu ling dan Thi Eng khi berdua musti amat sedih atas kepergian pendeta itu, namun mereka cukup mengetahui akan batas batas yang ada, maka terhadap kepergian Huang oh siansu sama sekali tidak menghalanginya....

Keesokan harinya, betul juga, keempat susioknya telah muncul kembali disana. Perjumpaan ini sangat mengharukan semua orang.

Tengah hari sudah tiba namun Thi Eng khi belum juga ada niat untuk melanjutkan perjalanan, akhirnya Yap Siu ling yang mendesaknya berulang kali sehingga akhirnya harus memohon diri kepada ibu dan keempat orang susioknya untuk berangkat ke bukit Siong san. 

Tujuannya kali ini adalah bukit Siong san, itu berarti dia harus melewati kembali Kang im, teringat kembali pemandangan sewaktu dia dan Ciu Tin tin berjalan bersama ditepi sungai kemarin, kembali hatinya merasa sedih.

Waktu itu mereka berdua saling menyebut saudara dan akrab sekali hubungannya sungguh tak disangka hanya selisih satu hari saja, gadis cantik itu entah sudah kemana, karena sedih tanpa terasa langkahnya sudah semakin lambat.

Ditengah jalan raya tak jauh dari situlah To kak thi koay Li Goan gwee menyaksikan Thi Eng khi sedang berjalan mendekati kearahnya.

Waktu itu Thi Eng khi mempunyai urusan, ketajaman mata dan pendengarannya boleh dibilang tidak berfungsi, sekalipun Tok kak thi koay Li Goan gwee berdiri dite¬ngah jalan ternyata pemuda itu sama sekali tidak memperhatikannya.

Menanti Thi Eng khi sudah berada dihadapannya, pengemis tua berkaki tunggal itu baru tertawa terbahak bahak sambil menegur : ''Saudara cilik, karena urusan apa kau seperti kehilangan semangat?“

Teguran ini membuat Thi Eng khi amat terperanjat dan mundur tiga kaki kebelakang, menanti dia mendapat tahu kalau orang itu adalah To kak thi koay Li Goan gwee, sambil tertawa jengah sahutnya :

“Oooh tidak apa, tidak apa apa "

"Haaahhh.... haaahhh.... haaahhh aku lihat tentunya

disebabkan kepergian nona Ciu bukan?“ tegur To kak thi koay Li Go¬an gwee sambil tertawa tergelak.

Thi Eng khi menjadi agak tertegun.

“Darimana kau bisa tahu kalau enci Ciu telah pergi?" dia balik bertanya dengan keheranan.

“Kemarin sewaktu aku balik kemari, anak murid Kay pang telah datang melapor dan mengatakan telah melihat nona Ciu serta seorang perempuan cantik setengah umur sedang berlarian menelusuri sungai, menurut laporan anggota kami itu nona Ciu seperti nampak agak sedih, sepanjang jalan dia hanya menghela napas panjang pendek dan amat tidak senang hati, untung saja perempuan cantik setengah umur itu menghiburnya terus menerus sehingga dia tak sampai menangis.”

Thi Eng khi semakin sedih setelah mendengar perkataan itu, katanya tersipu sipu :

“Tak usah dikatakan lagi, kesemaunya itu adalah gara gara siaute yang telah membuatnya bersedih hati.”

“Kalau begitu kau datang kemari untuk mengejarnya?” "Tidak,” Thi Eng khi menggeleng, "siaute mendapat perintah

untuk berangkat kebukit Siong san terpaksa masalah tentang nona Ciu harus disingkirkan lebih dulu.” Setelah berhenti sebentar, mendadak dia seperti teringat akan sesuatu, dengan cepat ujarnya :

"Siaute mempunyai suatu permintaan yang tidak pantas, entah engkoh tua bersedia untuk mengabulkannya atau tidak?"

Berkilat sepasang mata To kak thi koay Li Goan gwee setelah mendengar perkataan itu.

"Bila ada kesempatan buat aku si pengemis tua menyumbang tenaga, dengan senang hati engkoh tua akan melaksanakannya," Ia menyahut cepat.

Jawaban ini hangat dan simpatik sekali. Tanpa terasa Thi Eng khi jadi teringat kembali dengan sikap kasarnya semalan, bukan cuma mencemooh saja bahkan menghajarnya pula sampai terluka padahal orang itu amat ramah sekali sikapnya, rasa malu dan menyesal menyelimuti pula benaknya.

Setelah menghela napas, katanya :

“Engkoh tua amat gagah dan ringan tangan, siaute benar benar merasa menyesal sekali.”

“Saudara cilik, lebih baik tak usah membawa pokok persoalan ke masalah yang lain,” teriak To kak thi koay Li Goan gwee cepat cepat,"begitu kau membawa pembicaraan

ke soal lain, aku jadi tak jelas mendengarnya. Ada urusan apa sih? Cepat katakan saja berterus terang!"

Terpaksa sambil tebalkan muka Thi Eng khi berkata :

"Sudah lama aku dengar orang berkata, konon anak buah Kay pang tersebar sampai di seluruh penjuru langit, ketajaman mata dan pendengarannya mengagumkan dan tiada tara didunia, karena itu siaute mohon bantuan engkoh tua untuk memberitahukan kepada semua anggota untuk setiap saat mengawasi gerak gerik nona Ciu, kemudian menyampaikannya kepada siaute, atas bantuan ini siaute akan merasa amat berterima kasih sekali."

“Aaaah itu mah soal kecil, serahkan saja kepada engkoh

tuamu," kata To kak thi koay Li goan gwee sambil menepuk dada. Sambil tertawa Thi Eng khi segera menyampaikan rasa terima kasihnya yang tak terkirakan.

Kembali To kak thi koay Li Goan gwee berkata :

"Saudara cilik hendak pergi ke bukit Siong san, apakah kau tahu memotong jalan?"

Sambil tertawa getir Thi Eng khi menggeleng.

"Siaute merasa asing sekali dengan daerah disekitar tempat ini, terpaksa sebagian jalan dilewati aku harus bertanya bagian jalan yang lain kepada orang."

“Kebetulan sekali aku si pengemis tua juga hendak berangkat ke bukit Siong san untuk

memberi laporan, bagaimana andaikata saudara cilik melakukan perjalanan bersama aku si pengemis tua?"

Thi Eng khi menjadi girang setengah mati, sahutnya cepat cepat : “Itulah yang siaute harapkan, terima kasih banyak atas kebaikan

engkoh tua "

To kak thi koay Li Goan gwee segera menggape seorang pengemis cilik dan menyampaikan pesan beberapa patah kata, kemudian bersama Thi Eng khi menembus kota Kang im dan langsung berangkat menuju ke bukit Siong san.

Dengan adanya si pengemis tua itu sebagai penunjuk jalan, perjalanan yang ditempuh kedua orang itu menjadi lebih cepat lagi, sepanjang jalan mereka jarang sekali berhenti sehingga tak selang beberapa waktu kemudian mereka sudah memasuki wilayah Hoolam.

Suatu hari sampailah mereka disebuah kota yang tidak terlalu kecil juga tidak terlalu besar, kota itu bernama Ciu keh ko.

Sebagaimana dihari hari sebelumnya, pengemis tua itu tak pernah tinggal bersama Thi Eng khi, dia disambut oleh para anggota partainya. Sedangkan Thi Eng khi segera mencari rumah penginapan untuk beristirahat.

Rumah penginapan itu bisa ditinggali enam orang tamu, tapi hari ini rupanya agak sepi, sebab dalam rumah penginapan itu, kecuali Thi Eng khi, hanya ada seorang ka¬kek peramal yang sudah buta matanya.

Ketika Thi Eng khi masuk kedalam rumah penginapan, kakek buta itu segera tertawa kepadanya sehingga tampaklah sepasang giginya yang putih dan bersih. Thi Eng khi tidak memperhatikan gigi dari kakek buta itu namun dia merasa heran dengan senyuman terhadap dirinya itu, sebab dia adalah seorang yang buta, kenapa bisa melihat orang? Kalau tidak melihat, kenapa tertawa?

Sementara dia masih termenung, kakek buta itu telah berkata lebih dahulu.

"Kek koan, kau hendak meramalkan nasib?" Kembali Thi Eng khi berpikir :

"Kakek buta ini pasti sudah mendengar suara langkah kakiku, maka dianggapnya aku datang untuk melihat nasib..."

Setelah berpikir demikian, otomatis rasa curiganya menjadi lebih tawar banyak sekali.

Maka sahutnya pula dengan cepat :

"Aku datang untuk mencari kamar!"

"Kalau ingin mencari kamar, hal ini lebih baik lagi, kita memang sama sama menginap ditempat ini, toh tak ada urusan la¬in?

Bagaimana kalau aku si buta mempersembahkan sebuah ramalan tanpa membayar?"

Ketika Thi Eng khi menyaksikan waktu masih pagi, diapun lantas duduk disamping mejanya seraya berkata :

"Kalau begitu merepotkan losianseng!” Menyusul kemudian dia menyebutkan tanggal, bulan, hari dan jam kelahirannya. Kakek buta itu menghitungnya beberapa waktu, kemudian dengan wajah membesi katanya agak tergagap :

"Soal ini... soal ini..."

“Nasibku memang tidak baik, sudahlah, tak perlu diramalkan lagi!" kata Thi Eng khi sambil tertawa nyaring.

Seraya berkata dia lantas bangkit berdiri dan siap berlalu dari tempat itu. Dengan cepat kakek buta itu merentangkan bambu hitamnya sambil berseru dengan gelisah :

“Harap tunggu sebentar kek koan, walaupun nasib tuan sukar diduga, namun dari gelak tertawa tadi bisa diketahui kalau kau memiliki gejala hoki dan terhormat, entah bolehkah kek koan mengijinkan aku si buta untuk meraba tulangmu?"

Thi Eng khi benar benar dibuat serba rikuh untuk menampik, terpaksa dia mengabulkan permintaan orang.

Akan tetapi ketika telapak tangan si buta itu menempel diatas badannya, mendadak timbul kewaspadaan didalam hatinya, diam diam hawa murni sian thian bu khek ji gi sin kang miliknya dikerahkan untuk melindungi semua jalan darah penting disekujur tubuhnya.

Kakek buta itu meraba tubuh Thi Eng khi beberapa saat lamanya, ketika Thi Eng khi menyaksikan gerakan mana seakan akan tidak mendekati jalan darah didalam tubuhnya dia menjadi keheranan bercampur geli, pikirnya cepat :

"Aku benar benar melakukan tindakan yang bodoh, kenapa badanku musti dibiarkan dia raba? Aku "

Belum habis ingatan tersebut melintas dalam benaknya, mendadak dia merasakan telapak tangan kakek buta itu menekan keatas tubuhnya, menyusul kemudian terasa ada sebuah benda yang menembusi jalan darah Hong wi hiat dipunggungnya.

Thi Eng khi memiliki tenaga dalam yang sempurna, ditambah lagi dengan perlindungan hawa sian thian bu khek ji gi sin kang pada waktu itu dia hanya tersenyum belaka ingin diketahui olehnya apakah sibuta itu benar benar berniat melukai orang. Selain daripada itu, hawa murninya segera dihimpun bersiap sedia melakukan gerakan untuk merobohkan lawan.

Benda yang berada dalam telapak tangan kakek buta itu mulai menyentuh kulit badan Thi Eng khi akan tetapi tidak ditusukkan kedalam atau menusuknya kuat kuat. Secara beruntun dia hanya menusuknya sebanyak tiga kali saja.

Thi Eng khi tidak habis mengerti permainan setan apakah yang sedang dilakukan kakek buta itu terhadap dirinya, sebelum dia hendak buka suara, kakek buta itu sudah berseru sambil tertawa.

“Kek koan memiliki tulang yang bagus dan tiada duanya didunia ini, kali ini aku si buta benar benar dibuat kebingungan.”

Belum habis perkataan itu diutarakan, Thi Eng khi segera merasakan telapak tangan kakek buta itu kembali menekan jalan darahnya. Tahu tahu benda tersebut sudah menembusi pelindungan hawa khikang Sian thian bu khek ji gi sin kang disekeliling tubuhnya, kemudian menusuk masuk ke dalam dan menyusup ke dalam organ tubuhnya.

Sekarang Thi Eng khi baru menyadari akan datangnya ancaman bahaya maut, dengan wajah berubah hebat dia segera berpekik keras didalam hati kecilnya :

"Aduh... celaka!"

Tanpa membuang waktu lagi dia membalikkan tubuhnya sambil melancarkan sebuah pukulan kencang ke arah tubuh si kakek buta tersebut. Siapa tahu, tatkala telapak tangannya menghajar diatas tubuh kakek buta itu, hanya kedengaran suara benturan yang amat nyaring belaka.

"Plaaaak...!” diiringi suara yang nyaring telapak tangan itu menghantam tubuh si kakek buta, namun sama sekali tidak menimbulkan luka atau akibat apapun. Ternyata hawa murni yang berhasil dihimpunnya tadi kini sudah lenyap tak berbekas, seolah olah sebuah bola yang tahu tahu ditusuk dengan sebuah jarum, kontan bola itu menjadi kempes.

Sementara si anak muda itu merasa terperanjat, si buta itu sudah memutar balikkan biji matanya sehingga kelihatan kembali bola matanya yang hitam, sambil menatap pemuda itu dengan pandangan tajam, dia tertawa terkekeh dengan seramnya.

"Heeehhh.... heeehhh.... heeehhh... Tong thian si kut ciam (jarum tajam penebus tulang) merupakan senjata yang khusus untuk menghancurkan hawa murni orang, bocah keparat, kau tertipu kali ini!"

Cay hong sian ci Liok Sun hoa ditarik putri kesayangannya berangkat meninggalkan Yap Siu ling dan Thi Eng khi, ketika dilihatnya perjalanan dilakukan semakin lama semakin cepat dan sama sekali tiada maksud untuk berhenti, rasa heran dan tercengang segera menyelimuti wajahnya.

Kepada putrinya yang amat murung itu dia menegur :

“Nak, kau ada persoalan apa? Sekarang boleh kau sampaikan kepadaku?“

Ketika itu pikiran maupun perasaan Ciu Tin tin sedang kalut sekali, pengalamannya selama setahun berkecamuk didalam benaknya, dia tak tahu harus berkisah dari mana lebih dahulu.

Akhirnya dia merasakan hatinya menjadi kecut dan titik air mata bagaikan layang layang putus berderai membasahi pipinya, dia berhenti ditepi jaian dan tidak melanjutkan perjalanannya lagi.

Dengan cepat Cay hong sian ci Liok Sun hoa memeluk putrinya dengan penuh kasih sayang, kemudian tegurnya dengan gelisah :

“Nak, kejadian apakah yang telah kau alami? Cepat katakan kepadaku, tak usah disembunyikan didalam hati lagi, apabila disimpan terus badanmu bisa sakit dan aku akan semakin sedih!" Perasaan Ciu Tin tin pada saat ini ibaratnya kuda yang terlepas dari talinya, dia tak sanggup mengendalikan diri lagi, sambil menubruk kedalam pelukan ibunya dia berseru:

"Oooh... ibu!"

Hanya sepatah kata saja yaag dapat dia ucapkan. Sambil membelai rambut putrinya yang halus dengan penuh kasih sayang, Cay hong sian ci Liok Sun hoa membiarkan ia menangis sepuasnya kemudian sambil mengangkat wajahnya dia berkata sambil menghela napas panjang :

“Nak, apakah kau sedang bercekcok de¬ngan bocah dari keluarga Thi itu ?"

Bagaimanapun juga perasaan seorang ibu memang jauh lebih tajam, ternyata Cay hong san ci Liok Sun hoa berhasil menebaknya dengan jitu.

Ciu Tin tin segera mengangguk, lalu menggeleng lagi, dengan suara yang begitu lirih sehingga hanya ibunya saja yang mendengar, dia berbisik kembali :

"Tidak! Dia sama sekali tidak senang kepadaku....uuuh....uuuh...

." kembali dia menangis tersedu-sedu.

Mendengar perkataan itu, Cay hong sian ci Liok Sun hoa mengerutkan dahinya rapat-rapat, kemudian serunya dengan gusar :

“Kurangajar, dengan wajah anakku yang begini cantik, sekalipun belum bisa dikatakan tiada keduanya didunia ini, belum tentu bisa dijumpai berapa orang lagi, bocah muda itu benar benar punya mata tak berbiji, tidak bisa dibiarkan terus, ibu harus bertanya kepadanya, sebenarnya dia mempunyai maksud dan tujuan apa?“

Walaupun berkata demikian, padahal dia sama sekali tidak berniat untuk benar benar pergi menegur Thi Eng khi, apa yang diucapkan tak lebih hanya ingin mengurangi rasa kesal yang sedang mencekam perasaan putrinya belaka.

Menyusul kemudian, Cay hong sian ci Liok Sun hoa menghela napas panjang dan berkata lagi : “Berbicara tentang bocah dari keluarga Thi itu baik soal wajah maupun soal ilmu silat semuanya memang bagus sekali bila kau bisa memperoleh seorang lelaki macam dia sebagai suami, tentu bahagia hidupmu, dengan begitu ibupun bisa mempertanggung jawabkan diri kepada ayahmu yang tak berperasaan itu! Cepat katakan kepadaku, persoalan apakah yang sedang melibatkan kalian berdua, agar ibu pun bisa turut memikirkan dan berusaha untuk memecahkannya!“

Ciu Tin tin segera menyeka air mati yang membasahi pipinya, lalu berkata agak lersipu:

“Dia orangnya baik sekali, cuma sedikit agak tidak mengerti soal kasih sayang.“

Cay hong sian ci Liok Sun hoa segera menghembuskan napas panjang, katanya sambil tertawa ringan:

"Nak, kau benar benar mengejutkan ibu kalau hanya persoalan sekecil ini, masa dengan kecerdasan otakmu juga tak dapat mengatasinya. Nak, bukankah ibu seringkali memberitahukan kepadamu dalam menghadapi persoalan apapun harus dikerjakan baik baik, harus punya kesabaran, jangan gampang putus asa, sekali gagal coba kedua kalinya, gagal lagi coba untuk ketiga kalinya, dengan begitu lama kelamaan apa yang kau harapkan sudah pasti akan tercapai. "

Dengan sedih Ciu Tin tin berkata :

“Sesungguhnya antara keluarga Ciu dan keluarga Thi mereka terdapat suatu persoalan yang sukar untuk dihilangkan dengan begitu saja. Itulah sebabnya ananda tak tahu apa yang harus dilakukan!“

Cay hong sian ci Liok Sun hoa sama sekali tidak tahu kalau Ciu Tin tin telah menganggap Lan in cu tok Thi Tiong giok sebagai ayahnya, dia mengira anak gadisnya berkenalan dengan Thi Eng khi sewaktu mencari ayahnya dan mereka saling jatuh cinta.

Itulah sebabnya dia menjadi agak bingung mendengar perkataan itu, ujarnya :

"Bukankah ayah si bocah dari keluarga Thi adalah Thi Tiong giok?“ Ciu Tin tin mengangguk.

“Yaa benar, memang dia orang tua!"

Kembali Cay hong sian ci Liok Sun hoa tertawa,

"Apa jeleknya? Dahulu ayahmu dan Thi Tiong giok adalah sahabat yang paling akrab, asal ibu mau menampilkan diri, persoalan apapun pasti akan beres dengan sendirinya!”

Sampai sekarang, Ciu Tin tin baru ingat kalau dia belum menceritakan kisahnya di mana berhasil menemukan jejak ayahnya kepada ibunya, teringat soal ayah, semua kemurungan segera hilang lenyap tak berbekas, sebagai gantinya sekulum senyuman menghiasi wajah gadis itu.

“Ibu, ananda akan menyampaikan sebuah kabar gembira kepadamu!" serunya kemudian

Cai hong sian ci Liok Sun hoa mengira Ciu Tin tin melantur dan mengalami perubahan sikap sehingga bicaranya semakin tak karuan.

Dengan kening berkenyit serunya :

"Nak, sampai dimana pembicaraanmu itu kau bawa?”

Ciu Tin tin ada maksud untuk membuat ibunya terkejut, dengan cepat dia berseru :

"Aku berhasil menemukan ayah!“

Betul juga, ucapan tersebut segera membuat Cay hong sian ci Liok Sun hoa menjadi girang setengah mati, dia segera mencengkeram bahu Ciu Tin tin sambil menegaskan.

"Nak, apa kau bilang?“

"Ananda telah berhasil menemukan ayah!" ulang Ciu Tin tin lagi dengan wajah berseri. Agaknya Cay hong sian ci Liok Sun hoa tidak kuat menghadapi berita gembira ini.. seketika itu juga dia merasakan kepalanya menjadi pening, badannya menjadi lemas dan gontai tiada hentinya.

“Aaaah..aaahh... ternyata dia masih hidup, ternyata dia masih hidup..." gumamnya tak henti.

“Ananda memang pantas ditegur, seharusnya berita gembira ini musti disampaikan cepat cepat kepadamu, tidak membuat ibu menjadi susah dan harus keluar rumah mencari diriku,“ kata Ciu Tin tin lagi sambil memayang tubuh ibunya.

Cay hong sian ci Liok Sun hoa menggelengkan kepalanya berulang kali, dengan pikiran yang jauh lebih jernih dia berkata :

“Benarkah itu nak? Persoalan besar seperti ini kenapa tidak kau sampaikan dulu kepada ibu?"

Mendadak kemurungan menyelimuti kembali wajah Ciu Tin tin, katanya lebih jauh :

“Oleh karena persoalan dari ayah mempunyai sangkut paut dengan keluarga Thi, sedangkan keluarga Thi sedang menghadapi suatu musibah besar, maka ananda harus menuruti keinginan ayah untuk secara diam diam melindungi keselamatan keluarga Thi, itulah sebabnya pula akupun tak punya waktu untuk pulang ke rumah dan menyampaikan kabar berita ini kepada kau orang tua.“

“Apakah sudah kau tanyakan kepada ayahmu, kenapa selama dua puluh tahun lamanya dia tak pernah pulang rumah?“ tanya Cay hong sian ci Liok Sun hoa lagi...

Ciu Tin tin menerangkan lebih dahulu soal pertarungan antara Thi Tiong giok de¬ngan ayahnya, kemudian dia baru menambahkan :

"Oleh karena ayah merasa menyesal sekali atas terjadinya peristiwa ini, rnaka beliaupun memutuskan untuk menjadi seorang hwesio. Ketika ananda berjumpa dengannya waktu itu, dia masih belum dapat melupakan peristiwa itu.”

Cay hong sian ci Liok Sun hoa termenung dengan sedih, kemudian katanya pelan : “Apa yang dilakukan ayahmu memang benar, ibu tak dapat menyalahkan dirinya.”

Benar benar tak disangka kalau Cay hong sian ci Liok Sun hoapun merupakan seorang perempuan yang berpandangan luas dan berlapang dada. Menyusul kemudian, dia bertanya lagi :

"Apakah keluarga Thi sudah mengetahui akan persoalan ini?"

Ciu Tin tin mengangguk :

"Ya, mereka sudah mengetahui akan hal ini dan mereka bersedia untuk memaafkan ayah!”

Cay hong sian ci Liok Sun hoa memuji :

“Ibu dan anak dari keluarga Thi itu memang seorang yang mengagumkan, kalau memang begitu apakah yang menjadi pangkal persoalanmu sekarang?”

Salam hangat untuk para Cianpwee sekalian,

Setelah melalui berbagai pertimbangan, dengan berat hati kami memutuskan untuk menjual website ini. Website yang lahir dari kecintaan kami berdua, Ichsan dan Fauzan, terhadap cerita silat (cersil), yang telah menemani kami sejak masa SMP. Di tengah tren novel Jepang dan Korea yang begitu populer pada masa itu, kami tetap memilih larut dalam dunia cersil yang penuh kisah heroik dan nilai-nilai luhur.

Website ini kami bangun sebagai wadah untuk memperkenalkan dan menghadirkan kembali cerita silat kepada banyak orang. Namun, kini kami menghadapi kenyataan bahwa kami tidak lagi mampu mengelola website ini dengan baik. Saya pribadi semakin sibuk dengan pekerjaan, sementara Fauzan saat ini sedang berjuang melawan kanker darah. Kondisi kesehatannya membutuhkan fokus dan perawatan penuh untuk pemulihan.

Dengan hati yang berat, kami membuka kesempatan bagi siapa pun yang ingin mengambil alih dan melanjutkan perjalanan website ini. Jika Anda berminat, silakan hubungi saya melalui WhatsApp di 0821-8821-6087.

Bagi para Cianpwee yang ingin memberikan dukungan dalam bentuk donasi untuk proses pemulihan saudara fauzan, dengan rendah hati saya menyediakan nomor rekening berikut:

  • BCA: 7891767327 a.n. Nur Ichsan
  • Mandiri: 1740006632558 a.n. Nur Ichsan
  • BRI: 489801022888538 a.n. Nur Ichsan

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar