Website Cerita Silat Indomandarin Ready For Sale

 
Jilid 08

CI KAY TAYSU dan Ci leng taysu demikian cepat terjun ke dalam barisan Lo han tin dan bekerja keras untuk menotok roboh semua muridnya yang gila itu satu per satu.

Menanti suasana telah pulih kembali dalam ketenangan, dengan perasaan lega Ciangbunjin dari Siau lim pay itu baru tertawa sedih kepada Tiang pek lojin katanya : "Sekarang apa yang hendak kau lakukan?”

“Lohu hendak masuk ke dalam kuil dan mencari jejak Thi Eng khi"

Seandainya Siau lim si benar-benar digeledah oleh Tiang pek lojin, maka bukan saja nama besarnya akan musnah dari dunia persilatan, mungkin keadaannya akan jauh lebih parah daripada keadaan yang dialami partai Thian liong pay.

Akibat tersebut tentu saja dipahami baik oleh Ci long siansu maupun Tiang pek lo¬jin, sebab itu suatu pertarungan baru tampaknya segera akan berlangsung.

Disaat yang amat kritis itulah, mendadak terdengar Pek leng siancu So Bwe leng menjerit lengking.

Ketika Tiang pek lojin sekalian berpaling, tampaklah sesosok bayangan manusia sedang melarikan Pek leng siancu So Bwe leng dari tempat itu ……..

Dengan gusar Boan san siang koay, dua orang anak buah Tiang pek lojin membentak keras, kemudian segera melakukan pengejaran dari belakang …..

Tiang pek lojin sebagai seorang jago kawakan dari dunia persilatan juga cukup mengerti bahwa penculik itu bukan manusia sembarangan, sekalipun telah dikejar anak buahnya, urusan tak akan bisa dibereskan.

Maka buru-buru serunya kepada ketua dari Siau lim pay. "Anggap saja kau lagi beruntung hari ini, kita berjumpa lagi dilain

waktu!"

Kemudian kepada para jago dari luar perbatasan, serunya : “Kalian kembali dulu ke kota Teng hong untuk menunggu

perintah!” Ketika selesai mengucapkan perkataan itu tubuhnya telah melayang melewati dinding pekarangan......

Jauh memandang ke sana, ia saksikan Boan san siang koay dan orang yang di kejarnya itu telah berada dua tiga puluh kaki jauhnya dari tempat semula.

Tiang pek lojin memang benar benar memiliki kepandaian yang melampaui orang lain, dalam sekali lompatan tubuhnya telah berada sepuluh kaki jauhnya dari tempat semula, kemudian dalam beberapa pula lom¬patan kemudian telah berhasil melampaui Boan san siang koay.

Akan tetapi jaraknya dengan orang yang menculik Pek leng siancu masih terpaut empat lima kaki.

Saat itu jalan darah ditubuh Pek leng siancu So Bwe leng telah tertotok, ketika menyaksikan kakeknya melakukan pengejaran, kecuali mengucurkan air mata karena girang tak sepatah katapun bisa diucapkan.

Gerakan tubuh Tiang pek lojin benar-benar sangat cepat ibaratnya anak panah yang terlepas dari busurnya, dalam waktu singkat ia telah berhasil mendekati sampai dua kaki.

Tapi dikala Tiang pek lojin hendak menerjang lebih kedepan itulah mendadak orang yang dikejar tersebut membalikkan tangannya sambil melepaskan setitik cahaya putih ke belakang.

Dengan cekatan Tiang pek lojin menyambar cahaya putih tersebut terasa benda itu sangat enteng sewaktu diperhatikan lebih teliti ternyata isinya adalah selembar kertas.

Tanpa menghentikan gerak tubuhnya, Ti¬ang pek lojin melanjutkan pengejarannya lebih ke depan.

Tampaknya orang yang berada didepan itu ada maksud untuk membiarkan musuhnya mendekat, tapi begitu musuh tinggal satu dua kaki dari badannya, selembar kertas segera disambitkan ke belakang.

Lalu menggunakan gerakan tadi, ia merendahkan badan dan mempercepat gerak larinya sehingga meninggalkan Tiang pek lojin jauh dibelakang sana.

Tiang pek lojin menggertak giginya kencang-kencang, dengan mengerahkan tenaganya sebesar dua belas bagian, dia mempercepat pula gerakan tubuhnya untuk melesat lebih kedepan.

Gerakan tubuh orang yang berlarian di depan itu kian lama kian bertambah cepat, bukan saja Tiang pek lojin tidak berhasil mendekatinya lagi, malahan selisih jarak mereka kian lama kian bertambah besar.

Dua sosok bayangan manusia bagaikan dua titik bintang meluncur ditengah pegunungan dengan kecepatan tinggi, puluhan li kemudian mendadak orang itu membelokkan badannya menuju ke arah tanah pegunungan Tay si san, tapi baru melewati beberapa tikungan, bayangan tubuhnya tahu-tahu sudah lenyap tak berbekas.

Sejak terjun di dunia persilatan pada puluhan tahun berselang kecuali kalah ditangan Keng thian giok cu Thi Keng, belum pernah Tiang pek lojin kalah ditangan orang lain.

Siapa tahu sekarang dia harus menghadapi seseorang yang lihay sekali ilmu meringankan tubuhnya, kejadian ini boleh dibilang benar- benar merupakan suatu pukulan baginya.

Diapun menyadari sekalipun dicari juga tak ada gunanya, sebab musuh telah hilang tak berbekas, akhirnya dengan mendongkol dia periksa kertas-kertas ditangannya.

Ternyata diatas kertas itu hanya tercantum dua patah kata yakni: "Menunggu janji!"

Dilihat dari sini dapat diketahui bahwa tindakannya menculik Pek leng siancu merupakan suatu tindakan yang diputuskan secara mendadak, dan bukan merupakan tindakan yang terencana, oleh karena belum dapat menentukan langkah berikutnya, terpaksa dia mempersilahkan Tiang pek lojin untuk "menunggu janji"

Setelah membaca tulisan itu. Tiang pek lojin menghela napas panjang, ia mulai bertanya pada diri sendiri :

“Mengapa aku harus mencari penyakit buat diri sendiri?"

Jelas lantaran cucu kesayangannya diculik orang, dia menjadi menyesal sekali atas tindakannya memasuki daratan Tionggoan.

Tapi ingatan tersebut hanya sebentar melintas didalam benaknya, menyusul kemudian dengan sinar mata yang mencorong cahaya tajam serta mengepal sepasang tangannya kencang-kencang dia berseru :

"Tidak! Aku tak boleh kehilangan orang ini didaratan Tionggoan!"

Selesai berkata, dengan langkah lebar dia lantas berjalan balik melalui jalan semula.

Sementara itu dengan napas terengah-engah Boan san siang koay telah menyusul ke sana, ketika menyaksikan Tiang pek lojin pulang seorang diri, mereka segera memahami perasaan orang tua itu, maka tak sepatah katapun yang diucapkan.

Dua bersaudara Cia yang berjulukan Boan san siang koay ini terhitung jago-jago lihay yang nama besarnya hanya sedikit dibawah Tiang Pek lojin, atau dengan perkataan lain mereka masih terhitung jagoan ternama diluar perbatasan.

Selama ini sikap Tiang pek lojin terhadap mereka juga teramat sungkan, maka setelah menyaksikan keadaan mereka itu, sambil tertawa getir dia lantas berkata lebih dulu :

"Saudaraku, hari ini kita benar-benar jatuh kecundang ditangan orang lain!”

"Siaute berdua tak ada gunanya, cuma membuat toako risau saja!" kata Cia Lok cepat-cepat dengan rikuh. Tiang pek lojin segera tertawa nyaring.

"Haaahhh.... haaahhh.... haaahhh mana bisa kusalahkan kalian

berdua? Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang itu memang luar biasa hebatnya, mari kita pulang dulu untuk membicarakan persoalan ini lebih lanjut."

Dalam perjalanan pulang, dengan murung bercampur kesal Tiang pek lojin berkeluh kembali :

"Aaaai tidak kusangka Bwe leng si bocah inilah yang harus menderita lebih dulu!"

Buru buru Ji koay Cia Leng menghibur :

"Bwe leng sibocah perempuan ini binal tapi cerdik, aku kuatir bukan dia yang bakal menderita, sebaliknya orang itu sendirilah yang bakal dibuat pusing kepala!”

Terbayang kembali kebinalan cucu kesayangannya, tanpa terasa sekulum senyuman menghiasi ujung bibirnya, dia manggut- manggut.

"Yaa, semoga saja bocah ini tidak memalukan kita semua!" katanya.

Demikianlah, oleh karena keadaan yang dihadapi. untuk beberapa saat lamanya tak mungkin bagi Tiang pek lojin sekalian untuk meninggalkan propinsi Hoo-lam, maka merekapun berdiam di kuil Tiong gak bio dibukit Tay si san.

Dengan cepat kuil Tiong gak bio dirubah menjadi basis pertahanan para jago dari luar perbatasan untuk melampiaskan dendamnya terhadap orang-orang Tionggoan.

Sementara itu, pihak Siau lim si juga tidak terima setelah menderita kekalahan to¬tal itu, kecuali mengutus orang untuk menghubungi pihak Bu tong pay, merekapun membagi surat undangan Enghiong tiap kepada segenap umat persilatan untuk bersiap-siap melangsungkan pertarungan seru melawan Tiang pek lojin. Para jago luar perbatasan di bawah pimpinan So Ping gwan yang ada diluar perbatasan, seperti rencana semula serombongan demi serombongan berdatangan ke kuil Tiong gak-bio dan bergabung dengan rekan-rekannya, ini membuat kekuatan dari Tiang pek lojin kian hari kian bertambah besar.....

Selain daripada itu, terdapat pula para jago daratan Tionggoan yang tidak puas dengan kenyataan, atau simpatik terhadap Tiang pek lojin tidak sedikit pula diantara mereka yang bergabung dengan pihak jago-jago dari luar perbatasan.

Maka kuil Tiong gak bio berubah menjadi pusat kekuatan orang- orang persilatan di dunia ini, peristiwa tersebut pun menggemparkan seluruh kolong langit.

Sebagai pihak lawan, kuil Siau lim si pun berubah menjadi pusat himpunan para jago dari pelbagai perguruan besar.

Tentu saja, situasi semacam ini bukan sesuatu yang bisa dibentuk dalam satu dua hari saja, tapi keadaan setelah satu tahun. Tiang pek lojin berusaha keras untuk mengembangkan kekuatan sendiri, diapun menyebar orang keempat penjuru dunia untuk mencari jejak Pek leng siancu So Bwe leng.

Oleh karena pelbagai alasan inilah sekalipun antara pihak Tiong gak bio dengan kuil siau lim si terjadi perang dingin, pertempuran berdarah belum pernah sampai terjadi.

Yang lebih aneh lagi adalah surat yang diterima Tiang pek lojin ketika Pek leng siancu So Bwe leng terculik tempo hari, tulisan 'menunggu janji’ tersebut ternyata tetap merupakan "menunggu janji", sama sekali tiada kabar berita yang baru.

Tentu saja selama masa tersebut juga merupakan suatu masa lenyapnya Thi Eng khi dari dunia persilatan.

Padahal kalau dibicarakan sebenarnya, pertikaian antara jago- jago luar perbatasan dengan daratan Tionggoan hanya dibebaskan oleh hilangnya Thi Eng khi, jadi seandainya Thi Eng khi bisa muncul kembali dalam dunia persilatan siapa benar siapa salahpun segera akan terbukti.

Sebab itulah baik pihak Siau lim dan Bu tong, maupun pihak Tiang pek lojin seringkali murung dan kesal karena Thi Eng khi tidak berhasil ditemukan.

Terutama sekali pihak Siau lim dan Bu tong pay, semua harapan mereka hampir boleh dibilang tertumpu diatas pundak Thi Eng khi, mereka beranggapan asal Thi Eng khi sudah munculkan diri, maka Tiang pek lojin tidak akan mempunyai alasan lagi untuk bercokol didalam daratan Tionggoan.

Maka kedua partai besar itu segera mengutus orang-orangnya untuk mencari jejak Thi Eng khi, ketika gagal menemukan jejak pemuda itu, mereka mengalihkan perhatiannya pada sisa anggota Thian liong pay dengan harapan bisa menemukah beberapa buah berita tentang jejak sianak muda itu.

Kejadian aneh memang seringkali bisa dijumpai dikolong langit, selama hampir dua puluh tahun lamanya, anak murid Thian liong pay tercerai berai dalam dunia persilatan, dicemooh orang, dihina dan dipandang hina orang, tak seorangpun yang memperdulikan nasib mereka.

Tapi sekarang, dikala semua orang mencari mereka, ternyata seorang manusiapun tidak berhasil ditemukan.

Hal ini bukan berarti anak murid Thian liong pay sudah punah dari dunia persilatan adalah disebabkan murid Thian liong pay sudah tak berani muncul kembali didalam dunia persilatan.

Sebab setiap kali ada orang berhasil menemukan seorang anggota Thian liong pay, secara tiba-tiba saja orang itu lenyap tak berbekas tak ketahuan rimbanya, bayangkan saja bagaimana mungkin anak murid Thian liong pay berani munculkan dirinya lagi didepan dunia persilatan? Maka mereka semakin merasakan kejamnya dunia, meski jagat itu luas namun sudah tiada tempat berpijak lagi bagi mereka, demi menyelamatkan diri, mau tak mau terpaksa mereka harus menyembunyikan diri agar jangan sampai tertimpa bencana.

Dengan punahnya anak murid Thian liong pay, orangpun mulai mengalihkan perhatiannya pada Thian he tit it keh di kota Huay im, dalam anggapan mereka su¬dah tentu Thian liong ngo siang ada di rumah.

Tapi laporan yang kemudian diterima pihak Siau lim pay dan Bu tong pay adalah kosongnya rumah yang dinamakan rumah nomor satu dikolong langit itu. Thian liong ngo siang seakan akan ikut musnah pula da¬ri dunia ini.

Orang menjadi curiga bercampur kecewa semua orang bertanya- tanya kenapa Thian liong pay bisa lenyap dengan begitu saja?

Dalam suasana yang serba kalut inilah, tiba-tiba di puncak Wong soat hong dibukit Wu san berdirilah sebuah organisasi yang dinamakan Ban seng kiong, cuma kemunculannya tidak terlalu diperhatikan orang, sebab segenap perhatian orang telah tertarik oleh ketegangan yang berlangsung antara pihak Siau lim si dengan pihak Tiong gak bio.

Maka Ban seng kiong pun muncul dari celah perhatian orang, dengan cepat kekuasaan mereka membentang dari wilayah Kang- lam sampai ke Kangpak.

Siapakah pemilik dari istana Ban seng kiong? Tak seorangpun yang tahu dan tak seorangpun yang menyelidiki, sebab sekalipun ada yang melakukan penyelidikan juga belum tentu bisa memperoleh kabar berita apa-apa.

Ketegangan antara Siau lim si dan Tiong gak bio tak mungkin bisa dibiarkan berlangsung terus, akhirnya suatu bentrokan kekerasan sudah pasti akan terjadi. Maka Tiang pek lojin telah mengirirn sepucuk surat tantangan kepada pihak Siau lim si untuk melangsungkan penyelesaian atas pertikaian mereka pada dua bulan mendatang, tepatnya bulan delapan tanggal lima belas…..

Ketika berita ini tersiar dalam dunia persilatan, seluruh dunia terasa menjadi gempar.

Para jago persilatan berdatangan dari empat arah delapan penjuru dan bersama-sama berangkat menuju ke bukit. Tiong san.

Hari itu, di depan loteng penerima tamu yang paling besar dan paling baik di kota Kho cong, tiba-tiba muncul seorang gadis baju merah yang menggembol pedang serta seorang lelaki bermuka merah yang menyelipkan sebuah kampaknya di pinggang.

Gadis berbaju merah itu mempunyai tubuh yang kecil mungil dan berparas muka cantik jelita.

Sebaliknya lelaki bermuka hitam itu berbadan kekar dan tegap.

Ketika kedua orang itu melakukan perjalanan bersama, terlihat sesuatu ketidak serasian yang menyolok sekali.

Sepasang kawan yang tak serasi ini berdiri agak lama ditengah jalan sambil mengawasi loteng Ing peng loo tersebut, kemudian lelaki bermuka hitam itu menegur :

''Hei, pelayan, dalam kota Kho cong ini, rumah penginapan manakah yang termasuk rumah penginapan terbaik?”

Suaranya keras bagaikan geledek dan sangat menggetarkan perasaan setiap orang.

Pelayan itu cepat-cepat lari menghampiri lelaki itu dan sambil munduk-munduk sahutnya :

“Toaya, tepat sekali bila kau bertanya kepada hamba, siapa lagi yang tidak tahu kalau rumah penginapan paling besar dan paling baik di kota Kho cong ini adalah lng peng loo? Apakah kau ingin kamar kelas satu? Silahkan masuk, silahkan masuk!" Lelaki bermuka hitam itu tidak memperdulikan ucapan pelayan itu, dengan merendahkan suaranya dia berbisik kepada si nona berbaju merah yang berada disisinya :

"Nona, bagaimana pendapatmu tentang tempat ini?"

Nona berbaju merah itu tidak menjawab, hanya mengangguk lirih, gayanya sangat sok.

Saat itulah lelaki bermuka hitam itu baru berseru dengan suara kasar dan keras :

"Semua penginapan akan toaya borong!"

"Tapi, dalam penginapan kami seluruhnya terdapat tiga puluh enam buah kamar, kau..."

Maksudnya hanya berdua saja masa memerlukan kamar sebanyak itu?

Belum lagi pelayan itu menyelesaikan kata-katanya, lelaki bermuka hitam itu sudah melototkan matanya besar-besar, dengan sinar mata setajam sembilu dia menatap wajah pelayan itu lekat- lekat, kemudian tukasnya :

“Kau kuatir toaya tak sanggup membayar?”

Dari sakunya dia mengeluarkan sekeping emas yang memancarkan cahaya kuning yang amat menyilaukan mata.

Seketika itu juga sepasang mata pelayan itu terbelalak lebar- lebat, cepat dia membungkukkan badan dan mengambil emas tersebut, lalu setelah dijilat teriaknya sambil melompat.

"Emas! Emas! Betul-betul emas murni!"

Menyaksikan sikap serta tingkah laku dari pelayan itu, lelaki bermuka hitam tadi segera tertawa seram, dengan gaya lebih sok dan suara yang kasar teriaknya : “Anggap saja emas itu sebagai uang muka, semua kamar di penginapan ini toaya borong! Setiap orang yang berada di penginapan ini pun harus diusir keluar!"

Waktu itu sang pelayan sedang memegang emas murni itu sambil melamun, tapi setelah mendengar ucapan tersebut, dia baru tersentak bangun dari mimpinya.

Sebagai pedagang tentu saja ada peraturan sebagai pedagang, tentunya dia tak berani menyalahi tamu yang datang lebih duluan, maka sambil meringis katanya :

"Toaya……… toaya…. hamba … hamba … akan berusaha untuk menjaga ketenangan disini, begitu toh boleh bukan?"

Kembali lelaki bermuka hitam itu melototkan matanya bulat-bulat, serunya :

"Pokoknya toaya hanya tahu akan memborong semua kamar yang ada dirumah penginapan ini, cepat bawa nona melihat kamar, siapa tak mau pindah, suruh dia datang mencariku!"

Sesungguhnya ucapan tersebut boleh dibilang terlalu mencari menangnya sendiri.

Seketika itu juga terdengar ada orang tidak puas, sambil tertawa dingin serunya :

“Dunia saat ini sudah berubah menjadi dunia apa? Benar-benar manusia tak tahu diri!”

“Siapa itu?" bentak lelaki bermuka hitam itu dengan seramnya, “cepat menggelinding keluar!"

Dari dalam rumah penginapan itu segera berjalan keluar seorang sastrawan berusia pertengahan, sambil tertawa dia menjawab :

"Setan jelek dari mana yang berani berkoak-koak disini……."

Sikapnya jumawa sekali, kepalanya mendongakkan keatas dan sama sekali tak pandang sebelah matapun kepada orang lain. Setibanya di depan pintu penginapan, dia baru mengalihkan sorot matanya ke wajah orang itu …..

Kontan saja kata-kata makian selanjutnya tidak mampu dia lanjutkan lagi, dengan badan gemetar dan kata-kata yang tersendat- sendat serunya :

“Ooh…. Rupanya Hek…. Hek bin bu pah (manusia bengis bermuka hitam) Cu tayhiap, siau….. siauseng Oh Thian tak tahu kalau kau …… kau yang datang ….. harap sudi dimaafkan!”

Hek bin bu pah Cu Thi gou segera mengayunkan ujung bajunya dan melemparkan sastrawan berusia setengah umur itu ketengah jalan, kemudian bentaknya dengan suara keras :

“Enyah kau dari sini, hari ni aku orang she Cu tidak punya kegembiraan untuk mengumbar amarah denganmu!”

Cepat-cepat sastrawan setengah umur itu mengiakan berulang kali, dengan menggelinding sambil merangkak dia segera melarikan diri dari tempat itu.

Sastrawan setengah umur itu sebenarnya merupakan seorang jago persilatan yang tersohor dalam dunia persilatan, orang menyebutnya sebagai Im yang sam (kipas im yang) Oh Thian, kalau dibandingkan dengan hek bin bu pah meski kalah setingkat, tapi setelah dia melarikan diri terbirit-birit siapa lagi yang berani membangkang?

Maka serentak semua orang berseru:

"Dia adalah Hek bin bu pah Cu tayhiap!"

Maka satu demi satu pun mereka pindah dari rumah penginapan tersebut secara sukarela.

Sudah semenjak sepuluh tahun berselang Hek bin bu pah Cu Thi gou terjun ke arena persilatan, belum lagi umurnya mencapai tiga puluh tahun, namanya sudah menggetarkan seluruh dunia persilatan, siapapun menaruh tiga bagian rasa jeri kepadanya. Tak lama, dari ujung jalan sebelah depan sana terdengarlah suara roda kereta yang bergema datang.

Dengan cepat Hek bin bu pah Cu Thi gou serta nona berbaju merah itu membereskan pakaiannya dan berdiri keren disitu sambil menunjukkan sikap hendak menyambut kedatangan tamu.

Sebuah kereta besar berwarna hijau, didampingi dua puluh empat orang nona berbaju merah serta dua puluh orang lelaki berbaju ringkas berhenti didepan pintu penginapan.

Tirai kereta disingkap dan pelan-pelan berjalan keluar seorang gadis berbaju hijau.

Tiba-tiba saja semua orang merasakan matanya menjadi silau, lalu seruan tertahan berkumandang dari sekitar sana.

“Oooh cantik benar!"

Gadis berbaju hijau itu bukan cuma cantik saja bahkan dari sekujur badannya seakan-akan memancar semacam daya hidup yang segar, daya hidup tersebut bisa membuat seorang kakek tua renta yang loyopun segera merasakan dirinya jauh lebih muda berapa tahun setelah melihatnya.....

Tapi kalau dilihat dari gayanya sewaktu turun dari kereta, dengan cepat mendatangkan pula kesan bahwa nona itu masih kecil dan belum tahu urusan, dengan langkah yang santai dia melompat masuk kedalam rumah penginapan tersebut.

Seorang nona berbaju merah segera menghampirinya sambil berbisik :

"Kiongcu, kalau jalan jangan terlalu tergesa-gesa, jangan sampai dilihat orang lain sebagai suatu lelucon!”

Nona berbaju merah itu hanya bisa menggelengkan kepalanya berulang kali sambil menghela napas panjang, dengan cepat dia membawa nona berbaju hijau itu menelusuri serambi dan menuju kehalaman belakang. Dihalaman belakang sana terdapat tiga buah bangunan yang mungil, bunga yang indah tumbuh dimana-mana, suasana amat tenang dan nyaman.

Setelah berada dalam bangunan mungil itu nona berbaju hijau itu baru buru-buru melepaskan selembar topeng kulit manusia, kemudian sambil menghembuskan napas panjang keluhnya :

"Benar-benar menyesakkan napas!"

Paras muka si nona berbaju hijau itu setelah melepaskan topengnya ternyata tiga bagian lebih cantik daripada sewaktu mengenakan topeng kulit manusia, cuma sayang masih terlampau bersifat kekanak-kanakan…..

Yaa, siapa yang menyangka kalau seorang gadis secantik itu justru harus mengenakan selembar topeng kulit manusia, kejadian ini benar-benar mengherankan sekali.

Ketika dilihatnya nona berbaju hijau itu melepaskan topengnya, dengan terkejut nona berbaju merah itu berseru :

“Kiongcu, mengapa kau tak mau menuruti pesan dari sancu?”

Nona berbaju hijau itu segera berkerut kening, kemudian sambil melototkan matanya yang jeli, dia menegur :

“Cun lan, sesungguhnya kau yang menjadi kiongcu atau aku kiongcunya…..?”

Nona berbaju merah yang bernama Cun lan itu segera tertawa tersipu-sipu, buru-buru sahutnya dengan hormat :

“Budak tidak berani!”

Ternyata dia tak lebih cuma seorang dayang.

Gadis berbaju hijau itu sedikitpun tidak mengendorkan desakannya, kembali dia berkata :

“Kalau memang begitu, mengapa kau selalu mengurusi diriku?” “Sebab Lo sancu yang berpesan demikian!” jawab Cun lan sambil mengeraskan kepala. Nona berbaju hijau itu segera tertawa dingin tiada hentinya :

“Jangan lupa dengan ucapan Lo sancu yang lain, sekarang kau adalah seorang kiong li (dayang keraton) dariku.”

“Itu…. itu ”

“Apa ini itu? Sedari kapankah kalian pernah menyaksikan Lo sancu memaksaku?”

Cun lan si nona berbaju merah ini sudah beberapa lama mengikuti nona berbaju hijau itu tentu saja diapun cukup mengetahui akan wataknya yang keras kepala, bila lagi sewot maka Lo sancu yang ditakuti setiap orang pun akan dibuat pusing kepalanya, apalagi orang lain.

Yaa, kalau lagi salah melompat, tugas semacam ini benar-benar salah dibuatnya, kalau salah kepada orang tuan putri, maka sang tuan putri pasti marah-marah, kalau menurut kehendak sang tuan putri, maka lo sancu marah hakekatnya serba salah dibuatnya.

Teringat sampai disitu, tak tahan lagi nona berbaju merah itu menghela napas panjang.

Ketika dilihatnya wajah Cun Lan yang mengenaskan itu nona berbaju hijau itu menjadi iba sendiri, katanya kemudian dengan suara yang lebih lembut :

“Cun Lan, tahukah kau bila topeng kulit manusia ini lagi menempel dimuka, begitu rapatnya dia menempel dimukaku sampai kulitpun turut menjadi gatal, tahukah kau betapa sengsaranya aku waktu itu? Tempat ini toh tak ada orang lain, kenapa tidak kulepaskan sebentar agar mukaku terasa segar? Toh disini tak bakal terlihat orang? Jangan kuatir ….”

Ketika Cun Lan menyaksikan ucapan nonanya jauh lebih lembut, buru-buru diapun tertawa seraya berkata : "Budak hanya bermaksud untuk mengingatkan Kiongcu saja, daripada nantinya sampai dimarahi Lo sancu, asal Kiongcu tahu diri, budakpun merasa berlega hati. "

Sambil berkata dia lantas berjalan keluar dari ruangan, lalu kembali gumamnya :

"Sekarang juga budak akan menyuruh mereka memperketat penjagaannya disini, daripada ada orang luar yang iseng masuk kemari dan mengganggu ketenangan Kiong¬cu."

Menanti Cun Lan sudah pergi, nona berbaju hijau baru memasang telinga untuk memperhatikan keadaan disekitarnya, keti¬ka yakin kalau disitu tiada orang lagi, dengan kening berkerut dan mendepakkan kakinya berulang kali, dia berseru dengan gemas

:

“Suatu ketika, aku pasti akan menyuruh kau tahu akan kelihayanku.”

Menyusul kemudian diapun menghela napas pedih. "Aaai……… tapi sekarang aku benar-benar tak berdaya!"

Sambil berkata mendadak ia kenakan kembali topeng kulit manusianya sambil membentak:

"Siapa diatas atap?"

Dari atas atap rumah berhembus lewat segulung angin menyusul kemudian terdengar seseorang berkata sambil tertawa cengar cengir.

“Siauseng adalah Pek hoa lengcu (lelaki romantis setangkai bunga) Thio Kian, khusus datang kemari untuk menghibur hati no¬na yang lagi kesepianl"

Bayangan manusia berkelebat lewat, didepan pintu telah bertambah dengan seorang sastrawan tampan yang berusia tiga puluhan tahunan, sikapnya amat santai dan wajahnya tampan sambil menggoyangkan sebuah kipas putih yang panjangnya delapan jengkal dia mengawasi wajah nona berbaja hijau itu sambil tertawa nyengir.

Nona berbaju hijau itu sama sekali tidak kaget, bagaikan bersua dengan teman lama saja, katanya seraya tertawa hambar :

"Tentunya kau datang dari atas atap bukan? Apakah tidak mengagetkan para penjaga disekitar rumah? Aku lihat, ilmu meringankan tubuh yang kau miliki hebat juga!"

Pek hoa lengcu Thio Khian adalah seorang raja iblis yang banyak merusak kehormatan orang, selain hatinya kejam, cara kerjanya juga sangat brutal. Tapi karena ilmu silat yang dimilikinya sangat lihay, maka tidak seorangpun yang berani mengapa-apakan dirinya.

Maka ketika didepan pintu tadi ia menyaksikan kecantikan sinona berbaju hijau didepan pintu penginapan tadi, timbullah niatnya untuk melalap kehormatan gadis tersebut, meski dia tahu Hek bin bu pah lihay, namun masih tidak diremehkan olehnya, diam-diam diapun menyelinap masuk ke ruang belakang.

Ketenangan yang ditunjukkan gadis berbaju hijau itu segera membuat lelaki ini menjadi sangsi, dia berhenti sebentar didepan pintu, kemudian baru masuk kedalam ruangan.

Kembali nona berbaju hijau itu tertawa merdu, katanya kemudian

:

“Kau tidak takut terhadap Hek bin bu pah Cu Thi gou?”

“Huuuh….. kalau cuma manusia macam Hek bin bu pah mah siauseng tak akan memandang sebelah matapun!” jawab Pek hoa lengcu Thio Kian sambil mengangkat kepala.

Kemudian dengan langkah lebar, dia masuk ke dalam ruangan. Gadis berbaju hijau itu tertawa cekikikan.

“Berapa sih umurmu tahun ini? Aku lihat kau lebih cocok kalau kupanggil lo siauseng,” godanya. Selama hidup belum pernah Pek hoa lengcu Thio Kian berjumpa dengan seorang ga¬dis bernyali besar seperti ini, kontan saja mukanya berubah menjadi merah padam karena jengah.

Tiba-tiba paras muka nona berbaju hijau itu berubah menjadi dingin bagaikan es, ka¬tanya lagi :

“Tahukah kau siapakah Kiongcumu ini?”

Mendengar disinggungnya kata “Kiongcu” Pek hoa lengcu Thio Kian segera meningkatkan kewaspadaannya, dia bertekad untuk tidak banyak bicara dan bawa kabur lebih dulu baru bicara kemudian.

Maka sambil tertawa dingin, dia lantas menerjang kearah nona berbaju hijau itu sambil berseru :

“Peduli amat siapa dirimu!”

Dengan suatu gerakan yang cepat bagaikan sambaran kilat, dia segera mencengkeram pergelangan tangan kiri nona berbaju hijau itu.

Serangan itu datangnya amat cepat dan dahsyat, tapi nona berbaju hijau itu masih tetap tenang saja, sambil tertawa merdu dia berputar kesamping seraya bertekuk pinggang tahu-tahu serangan Sui tiong lau gwat (mendayung rembulan dari air) dari Pek hoa lengcu Thio Kian tersebut telah dihindari.

Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pek hoa lengcu Thio Kian sebenarnya sudah merupakan suatu kepandaian yang hebat dalam dunia persilata, namun dia tak sempat menyaksikan gerakan apakah yang digunakan gadis berbaju hijau itu untuk menghindarkan diri dari jurus maut Sui tiong lau gwat yang selama ini tak pernah meleset itu.

Setelah tertegun sejenak, jurus serangan keduapun segera siap- siap dilancarkan.

Mendadak gadis berbaju hiaju itu menggoyangkan tangannya berulang kali seraya berseru : “Tunggu sebentar! Tunggu sebentar! Kalau ingin turun tangan, lebih baik dibicarakan dulu sebaik-baiknya.”

“Apa maksudmu?” tegur Pek hoa lengcu Thio Kian dengan suara berat dan dalam.

Ternyata dia benar-benar mengurungkan niatnya untuk melancarkan serangan.

Nona berbaju hijau itu segera tertawa cekikikan, ujarnya : “Mari kita bertaruh! Dalam lima jurus serangan nanti bila kau

berhasil menangkap diriku maka aku tak akan mengusik mereka dan diam-diam ikut kau pergi.”

“Bagus jika toaya tidak berhasil menangkapmu dalam lima jurus, tanpa banyak bicara aku akan angkat kaki dari sini dan selanjutnya tak akan mengganggu dirimu lagi."

“Kalau begitu mah termasuk taruhan apa?" seru nona berbaju hijau itu sambil menarik kembali senyumannya, “kau tak boleh angkat kaki dengan begitu saja."

“Memangnya aku harus menyerah kalah dan membiarkan diriku dibelenggu?" Tanya Pek hoa lengcu Thio Kian sambil memancarkan sinar buas dari balik matanya.

Senyuman manis segera menghiasi ujung bibir nona berbaju hijau itu, sahutnya :

“Dalam lima gebrakan nanti, bila kau tidak berhasil menangkap diriku, cukup bila kau bersedia membantuku untuk memberikan semacam benda kepada seseorang."

Pek hoa lengcu Thio Kian masih belum memahami permainan busuk apakah yang sedang dipersiapkan gadis berbaju hijau itu, karena taruhan tersebut sudah jelas lebih menguntungkan pihaknya.

Dia adalah seorang manusia bengis yang sudah terbiasa melakukan kejahatan, sudah barang tentu diapun segan untuk mempercayai perkataan orang dengan begitu saja, setelah sangsi beberapa saat lamanya diapun lantas berkata :

"Kalau cuma menghadiahkan sebuah benda kepada seseorang, rasanya kau sendiripun sanggup untuk melakukannya, mengapa kau harus bertaruh denganku?"

"Mau bertaruh atau tidak terserah padamu sendiri, akupun enggan untuk banyak ribut denganmu," kata si nona berbaju hijau itu sambil berkerut kening, "asal aku berteriak, sudah pasti ada orang yang akan menggantikan diriku untuk bertarung denganmu, silahkan saja mempertimbangkan sendiri untung-ruginya!"

Pek hoa lengcu Thio Kian benar-benar tidak habis mengerti tentang maksud hati ga¬dis berbaju hijau itu tapi daripada kehilangan kedua-duanya, maka tak ada salahnya untuk dicoba.

Maka diapun mengangguk berulang-kali.

"Baik, kita tetapkan dengan sepatah kata itu!"' katanya. “Kalau begitu, kau boleh mulai turun tangan!"

Pek hoa lengcu Thio Kian tidak banyak berbicara lagi, sepasang tangannya segera diayunkan berulang kali melancarkan serangan berantai dengan jurus Luan cian bwe hoa (menggunting bunga Bwe secara ngawur), Hun im ki gwat (memisah awan mengambil rembulan), Kim cok wan (serat emas membelenggu pergelangan tangan) Liu seng kan gwat (binatang lewat mengejar rembulan) dan Sui tiong lau gwat (mendayung rembulan dalam air).

Nona berbaju hijau itupun segera mengembangkan pula gerakan tubuhnya untuk mengahadapi serangan tersebut, dalam waktu singkat seluruh ruangan tersebut sudah dipenuhi oleh bayangan hijau.

Begitulah tanpa menimbulkan sedikit suarapun, kedua orang itu terlibat dalam suatu pertarungan yang amat sengit. Ruangan itu sesungguhnya tidak terlampau luas, tapi makin bertarung Pek hoa Lengcu Thio Kian merasakan hatinya semakin terperanjat sebab walaupun tempat itu sempit, dia tak mampu menowel seujung rambut nona berbaju hijau itu apalagi memegangnya.

Dikala lima jurus serangan itu baru habis dilancarkan dan tubuhnya agak terhenti sejenak, mendadak urat nadi pada pergelangan tangannya terasa menjadi kaku, ta¬hu-tahu pergelangan tangannya itu sudah kena dicengkeram oleh sinona berbaju hijau itu.

Seketika itu juga, Pek hoa lengcu Thio Kian merasakan segenap tenaga dalamnya punah tak berbekas, dengan gelisah dia lantas berseru :

“Kau...... kau..,,..."

Agaknya nona berbaju hijau itu tidak berminat untuk melukainya, terbukti ia segera lepas tangan begitu berhasil mencengkeram lengan lawannya sambil tertawa katanya kemudian,

"Jangan takut pun kiongcu tak akan melukai dirimu.”

Berbareng itu juga, tangannya yang lain telah menyusupkan semacam benda ketangan Pek hoa lengcu Thio Kian dengan nada perintah katanya :

"Cepat serahkan benda itu kepada So loyacu dikuil Tiong gak bio jangan sampai salah.”

Tampaknya kelihayan ilmu silat yang dimiliki nona berbaju hijau itu telah menimbulkan perasaan ngeri dalam hati Pek hoa lengcu Thio Kian, dia tak berani menggoda lagi dengan kata-kata yang kotor, dengan hormat katanya :

“Tolong tanya siapakah nona? Bila So loyacu menanyakannya nanti …..”

“Pun Kiongcu datang dari istana Ban seng kiong!” Pek hoa lengcu Thio Kian tak berani banyak bertanya lagi, dia segera membalikkan badan dan melompat naik keatas atap rumah.

Tapi belum lagi dia sempat pergi jauh, mendadak terdengar seseorang membentak keras :

“Bocah keparat, kau anggap kedatanganmu itu berhasil mengelabui ketajaman mata kami?”

Bagaimanapun juga Pek hoa lengcu Thio Kian termasuk seorang jago kenamaan di dalam dunia persilatan, tentu saja pengalamannya juga luas sekali, kecerdasannya boleh dibilang jauh melebihi orang biasa.

Sejak menyaksikan kepandaian silat yang dimiliki nona berbaju hijau itu, dia sudah menduga sampai dimanakah kelihayan dari pihak istana Ban seng kiong, maka mendengar suara bentakan itu, tanpa berpaling lagi dia membalikkan badannya dan melarikan diri kearah yang lain.

Sayang meski dia cepat, orang lain jauh lebih cepat lagi daripada dirinya, ketika ia mendengar segulung desingan angin tajam menyambar tiba, tahu-tahu jalan darah siau yau hiatnya menjadi kaku, tubuhnya terasa lemas dna tak ampun lagi tenaga dalamnya buyar dan tubuhnya pun terjatuh dari atas atap rumah.

Menyusul kemudian bayangan merah berkelebat lewat, tahu-tahu dia sudah dibawa masuk kembali ke dalam ruangan.

Mimpipun Pek hoa lengcu Thio Kian tidak menyangka kalau dalam dunia persilatan telah muncul begitu banyak jago persilatan yang berilmu tinggi, hingga dengan mengandalkan kepandaian yang dimiliki pun dia tak sempat melancarkan serangan balasan.

Setelah terjatuh ke tangan musuh sekarang tentu saja dia tak dapat berbuat lain kecuali memejamkan matanya dan pasrah kepada nasib. Tapi dalam hati kecilnya dia mencaci maki nona berbaju hijau itu habis-habisan, dia merasa tidak seharusnya gadis tersebut mempermainkan jiwanya dengan mempergunakan cara tersebut.

Meksi matanya terpejam rapat, telinganya dipasang baik-baik, dia siap menunggu hukuman yang bakal diputuskan oleh Ban seng kiongcu.

Mendadak dari dalam ruangan itu terdengar seseorang mendehem pelan, tapi suara itu bukan suara dari Ban seng kiongcu, maka tanpa terasa dia membuka matanya untuk mengintip.

Tampak di dalam ruangan itu telah bertambah dengan seorang kakek berkepala botak, nona berbaju hijau tadi berdiri disamping kakek botak tersebut, sedangkan si nona berbaju merah yang menentengnya masuk kedalam ruangan itu berdiri di belakangnya.

Terdengar kakek botak itu mendehem beberapa kali, kemudian setelah menghela napas katanya :

“Bwe leng kembali kau tidak menuruti perkataanku!”

Dari nada pembicaraan tersebut, Pek hoa lengcu Thio Kian dapat mendengar kalau si kakek botak tersebut sedang menegur si nona berbaju hijau itu, sekarang dia baru tahu kalau si nona berbaju hijau itu sama sekali tidak berniat untuk mempermainkan dirinya, rasa marah dan kesal yang semula mencekam perasaannya pun segera banyak berkurang.

Ketika si nona berbaju hijau itu mendengar teguran dari kakek botak, dengan wajah tidak puas dia lantas berseru :

“Coba kau katakan, kesalahan apa yang telah kulakukan? Aku toh tidak mengingkari janji.”

“Aku sudah banyak mengajarkan ilmu silat kepadamu meski tiada hubungan antara guru dan murid, tapi dalam kenyataan kita memang pernah berhubungan sebagai guru dan murid, selain itu aku adalah Lo sancu dari istana Ban seng kiong, sedang kau tak lebih cuma seorang kiongcu saja, kenapa kau berani bicara dengan nada semacam itu kepada diriku….?” Pek hoa lengcu Thio Kian yang mendengarkan pembicaraan tersebut, diam-diampun merasa geli sekali, dia merasa Lo sancu tersebut benar-benar terlalu memanjakan nona berbaju hijau tersebut, sehingga sama sekali tidak memiliki kewibawaan sebagai seseorang dari angkatan yang lebih tua........

Darimana dia bisa tahu kalau lo sancu ini adalah seorang manusia berhati keji yang tindak tanduknya busuk dan kejam, pada hakekatnya sukar untuk mengukur hatinya dari perubahan mimik wajahnya itu....

Dalam pada itu paras muka si nona ber¬baju hijau itu telah berubah menjadi sangat tak sedap dipandang mungkin karena malu menjadi naik pitam, dengan suara keras segera serunya :

"Aku toh tidak meminta kau ajarkan ilmu silat kepadaku, aku pun tak ingin menjadi seorang kiongcu atau tidak, jika kau keberatan, lebih baik kita batalkan saja perjanjian tersebut sampai disini saja....

Nada pembicaraannya ketus sekali.

Kakek botak itu sedikitpun tidak menja¬di gusar, cuma katanya dengan suara pelan :

“Aku sendiripun sudah cukup banyak dibuat kheki olehmu, kalau ingin membatalkan janji juga boleh, sekarang juga kau boleh kembali ke tempat yayamu, cuma tentu saja janjiku kepadamu juga akan segera kubatalkan pula.”

Dibalik perkataan itu terkandung pula nada ancaman.

Tiba-tiba nona berbaju hijau itu tertawa manis, ia berkata : “Walaupun kau juga tahu kalau kau sedang menggertak serta

memperalat diriku, tapi ucapan seorang kuncu lebih berat daripada sebuah bukit, setelah kululuskan tentu saja aku tak akan membatalkan secara sepihak, janji itu hanya bisa batal bila kau yang membatalkannya lebih dulu!”

Sudah jelas dia merasa rada takut, tapi dalam pembicaraan sedikitpun ia tak mau mengalah. Kakek botak itupun tidak mempersoalkannya lebih jauh dia segera mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.

“Haahhh…. Haaahhhh….. haaahhhh….. terserah apa saja yang hendak kau katakan, pokoknya begitulah watak lohu, aku tak ingin menjadi seorang yang suka ingkar janji, tampaknya kau terpaksa harus menjadi kiongcu ban seng kiong selama dua tahun, sampai waktunya lohu baru akan memenuhi kehendak hatimu!”

Pelan-pelan gadis berbaju hijau itu menundukkan kepalanya dan menghela napas panjang, di balik helaan napas tersebut entah terdapat berapa banyak penderitaan dan kesedihan.

Kakek botak itu segera memberi tanda kepada Cun Lan atau si nona berbaju merah itu, lalu katanya:

"Ambil kembali barang milik Kiongcu itu dan kembalikan kepada Kiongcu!"

Diantara ulapan tangannya tersebut dia membuat sebuah tanda rahasia…..

Dari tangan Pek hoa lengcu Thio Kian, nona berbaju merah itu mengambil kembali sebiji bunga mutiara, kemudian diserahkan kembali kepada nona berbaju hijau itu ke¬mudian sambil tertawa katanya:

“Thio Kian itu manusia macam apa? Apakah kiongcu tidak kuatir bunga mutiaramu itu ternoda?"

Nona berbaju hijau itu segera melotot sekejap ke arah Cun Lan, dengan ketakutan nona berbaju merah itu bersin beberapa kali dan segera melengos ke arah lain.

Sambil menggertak giginya kencang kencang, nona berbaju hijau itu segera mengerahkan tenaga dalamnya dan meremas bunga mutiara itu sampai hancur menjadi bubuk, kemudian tangannya diayunkan ke depan dan menyebarkan hancuran bubuk itu ke mana- mana.

Kakek botak itu segera tertawa tergelak katanya : “Besok lohu akan belikan sekuntum bunga mutiara yang lebih baik lagi untuk diberikan kepadamu.”

“Huuuh, siapa yang kesudian dengan bunga mutiara busuk itu!” dengus si nona berbaju hijau itu.

Sambil tertawa kakek botak itu segera melangkah keluar dari dalam ruangan, sambil keluar katanya :

“Pokoknya lohu berhasrat untuk berbuat demikian, mau diterima atau tidak terserah kepadamu sendiri.”

Kemudian ditengah gelak tertawa yng amat nyaring, suara langkah kakinya itu makin lama semakin menjauh.

Sepeninggal kakek botak itu, si nona berbaju hijau itu baru berseru :

“Cun Lan!”

Namun tiada jawaban yang terdengar, ketika dia menoleh, baru diketahui bahwa Cun Lan maupun Pek hoa lengcu Thio Kian sudah tidak berada disitu lagi.

Maka sambil tertawa getir, diapun bergumam :

“Bagaimanapun juga Pek hoa lengcu bukan termasuk orang baik dibiarkan hidup juga hanya mencelakai orang didunia ini saja, beginipun ada baiknya juga, jadi akupun tak usah bersusah payah lagi!”

Dia berjalan ke sisi jendela dan memandang aneka bunga yang berada di luar jendela, kemudian sambil menghela napas sedih katanya :

“Sungguh mengherankan mengapa kau menaruh perhatian khusus kepadanya, lagipula bersedia menjadi kiongcu setannya selama dua tahun? Kalau kejadian ini sampai diketahui yaya, bisa jadi dia akan mentertawakan diriku sampai giginya pun turut terlepas!” Tanpa disadari dia telah mencintai orang ini, demi orang ini dia rela untuk mengorbankan segala sesuatunya, tapi untuk sesaat dia belum berhasil menemukan apa alasannya.

Sambil menghela napas, dia membalikkan badannya, mendadak dia menjerit kaget :

“Hei, kenapa kau kembali lagi?”

Ternyata entah sedari kapan tanpa menimbulkan sedikit suarapun kakek botak tadi telah berdiri di belakangnya.

Sambil mengangkat bahu kakek botak tertawa, sahutnya :

“Lohu lupa untuk memberitahukan satu hal kepadamu, maka aku telah balik kembali, apakah kau merasa kesal lagi?”

“Ada urusan apa?”

Kakek botak itu tertawa terkekeh-kekeh.

"Lohu dan kakekmu telah mengadakan suatu perjanjian besok malam, maksudku aku hendak mengajakmu untuk menghadiri bersama, bagaimana menurut pendapatmu?"

Tentu saja nona berbaju hijau itu merasa kegirangan setengah mati, sepasang matanya terbelalak lebar-lebar sedangkan mulutnya memperdengarkan suara haah….haahh yang tiada hentinya, nampak sekali kalau hatinya merasa hatinya tidak tenang.

Terdengar kakek botak itu berkata lagi :

"Aku telah bertekad untuk membawamu pergi tapi dapatkah kau mengulangi sekali lagi perjanjian yang telah kita buat?"

Begitu menyinggung kembali soal perjanjian yang mereka lakukan, semua kegembiraan nona berbaju hijau itu seketika tersapu lenyap, bibirnya juga terbungkam dalam seribu bahasa.

Kakek botak itu segera tertawa terbahak-bahak katanya : "Loha akan mewakilimu untuk mengulangi sekali lagi!

Pertama, selama dua tahun ini, kau tak boleh berbicara sepatah katapun dengan kakekmu. Kedua, dalam dua tahun ini kau tak boleh berjumpa dengan orang lain dengan raut wajah aslimu (termasuk kakek dan kekasih hatimu).

Ketiga, selama dua tahun ini, kau tak lebih adalah Ban seng kiongcu yang harus berjuang demi nama besar istana ban seng kiong.

Keempat, dalam dua tahun ini kau tak boleh mengutarakan asal usulmu yang sebenarnya kepada siapapun.

Kelima, dalam dua tahun ini kau harus membunuh lima orang yang telah lohu tunjuk (lohu jamin kelima orang itu sama sekali tiada hubungannya dengan dirimu)!"

Mendengar sampai disitu, dengan mendongkol nona berbaju hijau itu segera berseru :

“Masih ada lagi, dalam dua tahun ini kau jamin dapat mengembalikan seorang Thi…… seorang manusia she Thi, kenapa tidak berani kau katakan?"

Kakek botak   itu   segera   tertawa   terbahak   bahak. "Haaahhh haaahh… haaahhh ….sebenarnya hendak kukatakan,

tapi kau telah mendahuluinya, mana bisa kau salahkan kepadaku?"

Menyusul kemudian dengan wajah serius dia berkata lagi : "Besok lohu hendak mengadakan pertemuan dengan kakekmu,

dan kau turut hadir dengan kedudukanmu sebagai Ban seng kiongcu. Aku harap kau jangan terlampau emosi sehingga tidak dapat mengendalikan perasaan, sebab yang bakal celaka adalah bocah she Thi itu sendiri. Hehehe.... heeehhh..heeehhh…. sekarang lohu sudah memperingatkan dirimu lebih dulu, sehingga kalau sampai terjadi sesuatu dikemudian hari, jangan kau katakan lohu tidak memberi peringatan lebih dulu!"

Selesai mengucapkan kata-kata itu, si kakek botak tersebut segera membalikkan badannya dan berlalu dari situ, meninggalkan si nona berbaju hijau itu harus memutar otak untuk mempertimbangkannya sendiri.

Apa yang sebenarnya telah terjadi? Kiranya ketika Pek leng siancu So Bwe leng sedang menikmati jalannya pertarungan antara kakeknya Tiang pek lojin melawan barisan Lo han tin dari Siau lim si, mendadak dia merasakan datangnya segulung angin tajam yang menyergap tubuhnya, belum lagi dia menjerit kaget, tahu-tahu tubuhnya sudah dikempit oleh kakek botak itu dibawa kabur.

Dalam kempitan lawan tersebut, ia dapat menyaksikan Boan san ji koay melakukan pengejaran yang ketat, lain kakeknya juga menyusul datang, sebenarnya dia ingin menjerit, tapi kakek botak tersebut telah menotok jalan darah bisunya, ini membuat gadis itu hanya bisa menyaksikan kakeknya pulang dengan perasaan yang murung ketika ia disembunyikan kakek botak diatas pohon.

Ternyata kakek botak itupun bersikap terbuka, begitu kakeknya pergi, dia lantas membebaskan totokan jalan darahnya serta mengajaknya berunding.

Pek leng siancu So Bwe leng adaiah seorang gadis yang tidak takut kepada langit tidak takut kepada bumi, tentu saja dia tak menggubris perkataan kakek itu, berulang kali dia melakukan penyerangan yang gencar terhadap kakek botak tersebut.

Sudah belasan kali dia mencoba usahanya itu, sayang tiap kali dia tak sanggup bertahan sebanyak dua gebrakan.

Kakek botak itu melayani terus serangan-serangan dari So Bwe leng sampai akhirnya gadis itu kehabisan tenaga dan tergeletak dengan perasaan tak luka.

Saat itulah tidak perduli gadis itu mau mendengarkan atau tidak, dia berbicara seorang diri, pokoknya isi pembicaraan itu pa¬da garis besarnya adalah berkisar karena bakatnya yang baik, dia hendak menerimanya menjadi murid, memberi pelajaran ilmu silat kepadanya, membantu dia dan kakeknya untuk mencarikan Thi Eng khi dan mengalahkan partai Siau lim serta partei Bu tong.

Pek leng siancu So Bwe leng sama sekali tidak menggubris ocehan kakek botak itu bahkan mendengarpun tak sudi, ini membuat si kakek botak tersebut menjadi mencak karena mendongkol.

Akhirnya kakek botak itu berhasil menemukan titik kelemahan dari Pek leng siancu, dia dapat melihat bahwa nona yang keras kepala ini selalu acuh tak acuh terhadap persoalan apapun, tapi ketika membicarakan soal Thi Eng khi dari balik sinar matanya yang jeli itu segera terpancar keluar serentetan cahaya aneh.

Sebagai seorang manusia licik yang banyak tipu muslihatnya serta memiliki pengalaman yang luas, dengan cepat ia dapat memahami apa gerangan yang telah terjadi, maka sengaja dia mengibul dengan kata-kata besarnya .

"Sesungguhnya untuk mencari jejak Thi Eng khi bukanlah suatu pekerjaan yang terlampau sulit."

Benar juga, So Bwe leng segera bertanya tanpa sadar. "Dia berada dimana?”

Dengan cepat kakek botak itu menggelengkan kepalanya berulang kali katanya :

"Aku tak dapat memberitahukan hal ini kepadamul"

Sekarang giliran Pek leng siancu So Bwe leng yang berusaha memohonnya dengan kata-kata yang lembut.

Setelah jual mahal sekian waktu, akhirnya kakek botak itu baru menerangkan bahwa Thi Eng khi telah disembunyikan disuatu tempat yang amat rahasia letaknya.

Tentu saja Pek leng siancu tidak percaya maka diapun lantas merangkai suatu cerita yang setengahnya kenyataan dan setengahnya tipuan untuk membohongi gadis tersebut.

Akhirnya gadis itu kena ditipu mentah-mentah dan mempercayainya seratus persen. Maka Pek leng siancu So Bwe leng pun segera mengeraskan hatinya untuk mengadakan suatu perjanjian dengan kakek botak itu serta menjadi kiongcu atau tuan putri dari istana Ban sen kiong.

Cuma, sering kali dia masih mengumbar wataknya hingga kakek botak itu benar-benar dibikin kehabisan daya.

Siapakah kakek botak itu? Dia bukan lain adalah teman lama kita, Huan im sin ang adanya.

Sekarang dia telah menjadi lo sancunya istana Ban sen kiong, dan selangkah demi selangkah dia sedang melaksanakan tipu muslihatnya menurut rencana yang telah dibuatnya.

Langit yang kelabu dilapisi oleh awan yang hitam, langit amat gelap dan angin berhembus kencang, pintu gerbang sebuah bangunan gedung yang setengah terbuka setengah tertutup bergoyang tiada hentinya menimbulkan suara yang keras.

Sekilas cahaya halilintar membelah angkasa dan menyinari kegelapan malam.

Dalam keadaan seperti itulah, tampak ada dua sosok bayangan manusia sedang menerobos masuk ke dalam bangunan itu de¬ngan kecepatan luar biasa.

Dulu bangunan rumah itu pernah tersohor dan dipuja oleh setiap umat persilatan tapi kini suasana amat hening, sepi dan mendatangkan suasana yang mengenaskan.

Selama setengah tahun belakangan ini, seringkali ada jago persilatan yang rombongan demi rombongan mendatangi gedung rumah itu diwaktu malam, namun setelah melakukan pemeriksaan sekejap, akhirnya dengan membawa perasaaa kecewa pergi tak berbekas.

Sekarang, kembali ada dua sosok bayangan manusia mendatangi gedung tersebut, tampaknya merekapun tak bakal mendapatkan hasil apa-apa dari tempat itu. Akan tetapi jika dilihat dari gaya mereka berdua ketika memasuki bangunan rumah tersebut, tampak seakan-akan kedua orang itu sudah mempunyai rencana matang tidak seperti orang-orang lainnya, datang dengan cepat pergipun dengan cepat.

Sesudah masuk ke halaman dalam, kedua orang itu segera menutup pintu gerbang, memasang lampu dan kemudian baru melakukan pemeriksaan langsung ke ruang dalam.

Kedua orang itu memperhatikan sekejap dinding tembok yang berwarna biru beserta tujuh buah lentera kristal yang berbentuk tujuh bintang itu, kemudian salah seorang diantaranya menghembuskan napas panjang, katanya lirih :

"Mungkin ruangan inilah yaag dimaksudkan!" Rekannya itu manggut-manggut.

"Saudara Ong harap kau bersiap sedia, siaute akan segera mencobanya………"

Orang she Ong itu segera membalikkan tangannya dan mencabut keluar sepasang gelang Kan kun cu bu cuan yang berwarna bi¬ru, setelah membuat sebuah lingkaran bunga diatas kepala, kedua gelang itu lantas dibenturkan satu sama lainnya sehingga menimbulkan suara bentrokan yang amat nyaring :

"Jangan kuatir saudara Ong,” katanya, "bukan siaute sengaja omong besar, dengan mengandalkan nama siaute sebagai Hoo lok it cuan (gelang sakti dari Hoo lok) Ang Ceng, rasanya tak nanti ada orang yang berani datang mengganggu kita!'

Rekannya segera menyambung :

“Nama besar saudara Ang memang sudah termashur sampai dimana-mana, hampir semua orang mengetahuinya, memang siaute yang terlalu banyak curiga.”

Selesai berkata dia lantas melambung di tengah udara dan meluncur kearah lentera kristal berbentuk segi tujuh yang ketiga itu, berada di tengah udara, badannya berjumplitan beberapa kali, kemudian lencana tersebut digerakkan tiga kali keatas dan empat kali kebawah.

Semua gerakan itu dilakukan hanya mengandalkan setarikan napas saja, ketika melayang turun kembali keatas tanah, wajahnya tidak merah, napasnya tidak terengah ini menunjukkan kalau ilmu meringankan tubuh yang dimiliki benar-benar telah mencapai puncak kesempurnaan.

“Bagus!” seru Hoo lok it cuan Ang Ceng dengan suara lantang, “saudara Ong, nama besarmu Thian gwa hui hong (pelangi terbang dari luar langit) memang bukan nama kosong belaka, cukup dilihat dari ilmu meringankan tubuh yang kau miliki itu, siaute sudah merasa puas sekali, tak heran kalau lo sancu menyuruh saudara Ong yang turun tangan.”

Baru selesai dia berkata, terdengar suara gemuruh yang memekikkan telinga berkumandang dari arah bawah tanah.

Kedua orang itu segera saling berpandangan sekejap, paras muka mereka berseri dan memperlihatkan luapan rasa girang yang luar biasa.

Menyusul kemudian, meja altar didepan, sana tenggelam kebawah disertai suara keras yang memekikkan telinga, ditengah gemuruh karena itulah dari bawah tanah muncul sebuah patung naga emas dengan sebuah cakar raksasanya yang dipentangkan lebar-lebar, ditengah cakar mautnya itu tersisip secarik kertas.

Tanpa terasa Thian gwa hui hong Ong Put khong memuji : "Sancu benar-benar seorang manusia yang luar biasa, apa yang

diduganya sama sekali tidak meleset, mungkin jejak dari Thian liong ngo siang bakal diketahui lewat se¬carik kertas ini."

Seraya berkata dia lantas memberi tanda dan siap mengambil kertas tersebut.

Akan tetapi sewaktu jari tangannya hampir menyentuh ditepi kertas inilah mendadak kertas itu melayang sendiri tanpa terhembus angin, kemudian setelah berputar satu lingkaran diatas kepala mereka segera meluncur keluar pintu.

Thian gwa hui hong Ong Put khong maupun Hoo lok it cuan Ang Ceng semuanya merupakan jago-jago kenamaan didalam dunia persilatan, setelah menyaksikan kejadian itu dengan cepat mereka tahu kalau ada seorang jago lihay telah merampas kertas tersebut dari tangan mereka.

Dengan gaya ular raksasa membalikkan badan Hoo lok it cuan Ang Ceng segera menggerakkan sepasang gelangnya, yang satu dipakai untuk membuka jalan sementara yang lain dipakai untuk melindungi jalan darah penting didepan dada.

Lalu sambil menyerbu ke depan, bentakny keras-keras. "Siapa?"

Thian gwa hui hong Ong Put khong juga menubruk ke depan sambil membentak keras :

"Tinggalkan kertas itu, kuampuni selembar jiwamu!"

Reaksi yang dilakukan kedua orang ini sungguh cepat seperti sambaran kilat, sekalipun demikian, mereka toh masih terlambat satu langkah, tak sempat mereka saksikan siapa gerangan orang yang menyerobot kertas tersebut.

Tanpa menghentikan gerakan tubuhnya kedua orang itu menerjang keluar ruangan tapi baru saja sampai diluar ruangan, mendadak dari belakang terdengar suara orang tertawa dingin.

“Berhenti kalian berdua!"

Thian gwa hui hong Ong Put khong serta Hoo lok it cuan Ang Ceng menjadi tertegun mereka tidak habis mengerti apa sebabnya orang itu bisa berputar ke belakangnya.

Salam hangat untuk para Cianpwee sekalian,

Setelah melalui berbagai pertimbangan, dengan berat hati kami memutuskan untuk menjual website ini. Website yang lahir dari kecintaan kami berdua, Ichsan dan Fauzan, terhadap cerita silat (cersil), yang telah menemani kami sejak masa SMP. Di tengah tren novel Jepang dan Korea yang begitu populer pada masa itu, kami tetap memilih larut dalam dunia cersil yang penuh kisah heroik dan nilai-nilai luhur.

Website ini kami bangun sebagai wadah untuk memperkenalkan dan menghadirkan kembali cerita silat kepada banyak orang. Namun, kini kami menghadapi kenyataan bahwa kami tidak lagi mampu mengelola website ini dengan baik. Saya pribadi semakin sibuk dengan pekerjaan, sementara Fauzan saat ini sedang berjuang melawan kanker darah. Kondisi kesehatannya membutuhkan fokus dan perawatan penuh untuk pemulihan.

Dengan hati yang berat, kami membuka kesempatan bagi siapa pun yang ingin mengambil alih dan melanjutkan perjalanan website ini. Jika Anda berminat, silakan hubungi saya melalui WhatsApp di 0821-8821-6087.

Bagi para Cianpwee yang ingin memberikan dukungan dalam bentuk donasi untuk proses pemulihan saudara fauzan, dengan rendah hati saya menyediakan nomor rekening berikut:

  • BCA: 7891767327 a.n. Nur Ichsan
  • Mandiri: 1740006632558 a.n. Nur Ichsan
  • BRI: 489801022888538 a.n. Nur Ichsan

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar