Jilid 06
“Jauh-jauh datang kemari, apa sebenarnya tujuanmu?”
Huan im sin ang memutar sepasang biji matanya, lalu mendengus :
"Hmm! Masih seperti kata-kataku semula, kau harus belajar ilmu silat bersama lohu!"
"Kau anggap mungkinkah aku dapat meluluskan permintaanmu itu?" teriak Thi Eng khi.
"Kalau kau tidak meluluskan, maka kubunuh dirimu!"
"Aku tahu, sudah pasti kau tak akan melepaskan diriku, cuma selain itu tentunya kau masih ada rencana yang lain bukan?
Terkejut sekali Huan im siu ang setelah mendengar perkataan itu, bentaknya :
“Darimana kau bisa berkata demikian?'' Thi Eng khi mendengus dingin.
"Hmm, aku tahu kalau kau datang bersama seseorang yang menyaru sebagai orang tosu, dengan kemampuan yang kau miliki, apa perlunya membawa seorang pembantu untuk membunuhku? Dan lagi, kalau ingin turun tangan juga kau tak usah melakukannya diluar perbatasan! Hmm. Coba pikirlah kalau kau tiada tujuan lain kenapa berbuat demikian?"
Ketika rahasianya ditebak secara jitu. Huan im sin ang segera merasa bahwa kecerdasan Thi Eng khi benar benar mengerikan sekali, hawa napsu membunuh segera menyelimuti wajahnya.
"Bocah keparat, kau memang kelewat pintar, orang pintar semacam kau tak boleh dibiarkan hidup terus, tapi memandang diatas kecerdikanmu itu, boleh saja kuterangkan duduk persoalan sebelum membikin mampus dirimu." Setelah berhenti sebentar, dengan senyuman licik menghiasi bibirnya, ia melanjutkan :
"Dirumah makan bukit Wu san kutemui kau masih hidup segar bugar, bahkan tanda terluka pun tak ada, waktu itu timbul rasa heran dalam hati, sebetulnya ingin kutanyai keadaan yang sesungguhnya kemudian baru menghadiahkan sebuah pukulan, tapi kemudian ketika kulihat kau berangkat keluar perbatasan untuk mencari So lojin, niatku itu segera kuurungkan..."
"Rencana busuk apa yang kau dapatkan?" "Heeehhh...heeehhh ..heeehhh... sekarang rencanaku telah
dilaksanakan, kau si bocah keparat juga bakal mampus, tentu saja lohu akan terangkan semuanya kepadamu!"
"Hmm, omongan manusia sesat semacam kau belum tentu benar, akupun belum tentu akan mendengarkan obrolanmu itu!"
“Heeehhh..... heeehhh.... heehhh….. menggunakan kesempatan selama kunjunganmu keperbatasan untuk mencari So lojin, aku telah melepaskan api didalam dunia persilatan… Soal ini, kau bersedia untuk mendengarkan tidak?"
Thi Eng khi menjadi tertegun, lalu ujarnya :
"Hmmm, apakah ucapanmu itu bukan hanya mengigau belaka?“
"Igauan? Hmmm, apakah kau lupa bahwa lohu masih mempunyai seorang rekan yang lain?"
"Benar, dia ada dimana sekarang?"
"Hmmm...hmmm... tentu saja dia masih ada urusan yang harus diselesaikan, lohu bertugas memancingmu datang kemari, sedangkan dia akan masuk ke dalam kamarmu dan menggunakan Pek giok pay dari partai Siau lim serta Thi kiam leng dari partai Bu tong untuk membuat dua buah bekas diatas meja baca!”
Setelah mendengar perkataan itu, Thi Eng khi baru merasa amat terkejut, segera-teriaknya : "Sungguh?"
“Haaahhh....haaahhh....haaahhh " Huan im sin ang Cuma
tertawa terbahak-bahak.
Thi Eng khi menjadi naik pitam, teriaknya lagi :
"Iblis keparat, kalau ingin mencari urusan denganku, cari saja langsung kepadaku, mengapa mesti menfitnah orang lain?”
Sahut Huan im sin ang sambil tertawa bangga : "Partai Siau lim dan partai Bu tong mentang-mentang
menganggap dirinya partai lurus, dimana saja mereka selalu unjukkan sikap angkuh, Hmm! Lohu paling benci de¬ngan gaya semacam itu, maka sengaja kucarikan sedikit keramaian buat mereka agar bertarung dengan So lo jin! Haaah....haaah ....
haaahhh akibat dari pertarungan ini maka suatu pertempuran
sengit antara jago diluar perbatasan dan daratan Tionggoan pasti akan segera berkobar!“
Mimpipun Thi Eng khi tidak menyangka kalau iblis tua ini sedemikian kejinya, lama sekali ia berdiri tertegun saking mendongkolnya, lama sekali akhirnya dia baru berkata dengan gemas :
"Iblis laknat kalau melihat tampangmu mah tidak mirip orang edan, sebenarnya apa tujuanmu menerbitkan badai dalam dunia persilatan?"
Mendengar ucapan itu, mendadak sekujur badan Huan im sin ang gemetar keras, sahutnya sambil menggertak gigi.
"Lohu bernama Ui Sam ciat, kemunculanku sekarang adalah untuk membasmi seluruh dunia persilatan guna membalas dendam bagi kematian toakoku Ui It peng!”
Berbicara sampai disitu, mendadak dengan wajah mengerikan, ia membentak keras :
“Bocah keparat, sudah puas bukan? Sekarang, serahkan selembar nyawa anjingmu itu!“ Weess ! Sebuah pukulan dahsyat segera dilontarkan ke atas
tubuh Thi Eng khi.
Dengan latihan yang amat tekun, ilmu Sian thian bu khek ji gi sin kang yang dimiliki Thi Eng khi sebenarnya sudah mancapai puncak kesempurnaan, apalagi ketika mendapat pengobatan dari Huang oh siansu, terpengaruh oleh tenaga Pek hui tiau yang tayhoat yang digunakan hwesio tersebut, keempat macam obat mustika yang mengeram dalam tubuhnya telah dibaurkan oleh tenaga itu sehingga akibatnya tenaga dalam yang dimiliki pemuda itu memperoleh kemajuan yang makin hebat.
Selain itu, setelah memperoleh dua kali pengalaman di Ki hian san ceng maupun Bong soat hong, dia tahu bahwa ilmu silat amat penting bagi seseorang yang berkelana dalam dunia persilatan. Oleh sebab itu, setiap kali ada kesempatan, dia selalu memperdalam pelajaran ilmu silat yang diajarkan Thian liong ngo siang kepadanya, yakni tiga jurus telapak tangna, tiga jurus ilmu jari, tiga jurus ilmu pedang dan tiga jurus ilmu pukulan.
Selama beberapa bulan ini, boleh dibilang dia memiliki kematangan yang cukup menyakinkan didalam kedua belas jurus ilmu silat perguruannya itu, otomatis kedahsyatannya juga luar biasa.
Sebaliknya Huan im sing ang masih menganggap pemuda itu seperti dulu, dalam serangan yang pertama ini, dia tak lebih hanya menggunakan tenaga sebesar tiga bagian.
Dalam perkiraan Thi Eng khi waktu itu dia pasti akan tewas oleh serangan lawannya yang begitu dahsyat dalam benci dan gusarnya, sambil menggertak gigi, dia bertekad akan menggunakan segenap tenaga dalam yang dimilikinya, sekalipun tak bisa mati bersama, paling tidak dia ingin melukai iblis tua itu.
Maka buru buru dia merendahkan pinggangnya ke bawah, lalu sepasang telapak tangannya didorong ke depan untuk menyambut datangnya serangan itu. Iblis tua itu tertawa sinis, baru saja dia hendak mengejek, tiba tiba diketahui keadaan tidak beres, segera bentaknya :
"Bocah keparat, ternyata kau berani menyembunyikan kekuatanmu yang sebenarnya"
Untuk menambah kekuatannya ditengah jalan jelas tak sempat maka tak bisa dihindari lagi, suatu bentrokan kekerasan segera terjadi ditempat itu.
"Blaaamm. !" ditengah ledakan keras, ternyata Thi Eng-khi
berhasil menang diatas angin.
Berhasil dengan serangannya yang pertama, Thi Eng khi tak berani berayal lagi, segera bentaknya:
"Iblis tua sambut pula sebuah pukulanku ini!“
Sebuah pukulan yang amat dahsyat segera dilontarkan kedepan, deruan angin pukulan makin kencang, sudah jelas kekuatannya jauh diatas serangan yang pertama tadi.
Waktu itu Huan im sin ang masih berdiri tertegun, dalam keadaan gugup ia tak sem¬pat menghimpun tenaga lagi, untuk ke dua kalinya dia kena didesak sehingga mundur setengah langkah.
Sekarang Huan im sin ang baru tahu kalau dia sudah salah menilai kekuatan musuhnya, dalam keadaan gusar yang memuncak, tak kuasa lagi dia tertawa seram.
Dengan wajah menyeramkan, dia membentak keras:
“Bocah keparat, sudah saatnya bagimu untuk pulang ke rumah nenekmu "
Telapak tangan kirinya segera diayunkan ke depan, bersamaan waktunya lengan kanan juga diangkat menyentilkan serangan ilmu jari segulung desingan angin tajam diikuti pukulan gencar langsung meluncur ke tubuh Thi Eng khi. Si anak muda itu tak menyangka kalau musuhnya sangat lihay, setelah beberapa kali berhasil lolos dengan selamat, disangkanya kepandaian yang dimiliki Huan im sin ang tak lebih cuma begitu saja.
Meski dia juga melihat kalau Huan im sin ang melancarkan ilmu pukulan dan ilmu jari hampir bersamaan waktunya, ia tidak gentar, sepasang tangannya segera didorong kemuka untuk menyongsong datangnya ancaman tersebut.
Ternyata keadaannya kali ini jauh berbeda tenaga pukulan lawan terasa bagaikan gulungan ombak dahsyat ditengah samudra yang melanda tiba, segenap kekuatan yang dipancarkan olehnya kena didesak ke kedua belah samping, berbareng itu juga segulung desingan angin tajam langsung berputar dan meluncur kearahnya.
Menyadari kalau gelagat tidak menguntungkan, si pemuda bermaksud untuk berkelit, sayang keadaan sudah terlambat dan ia merasa tidak bertenaga lagi.
Kontan saja sekujur badannya terasa bergetar keras, tenggorokannya terasa anyir, tubuhnya segera terlempar sejauh dua kaki lebih dan nyaris terjatuh ke dalam jurang.
Untung saja dalam saat-saat terakhir serangan jari lawan masih sanggup ditangkis oleh angin pukulannya sehingga kehilangan sasaran dan tak sampai menghajar jalan darah Ji kan hiat ditubuhnya.
Tapi sekalipun begitu toh ia terluka parah, darah segar muncrat keluar dari mulutnya dan untuk sesaat tak sanggup bangkit berdiri.
Berbaring diatas tanah, pemuda itu merasakan kepalanya pusing dan matanya berkunang-kunang, dia tidak tahu kalau tubuhnya sudah menempel di tepi jurang.
Dengan suara gelisah Huan im sin ang segera berteriak : “Hati-hati pinggirmu adalah jurang yang sangat dalam.“ Huan im sin ang bisa berteriak demikian, bukan lantaran ia gelisah karena menguatirkan keselamatan pemuda itu.
Sesungguhnya dia tak ingin kesalahan yang pernah diperbuatnya itu sampai terulang kembali, ia bertekad untuk membunuh Thi Eng khi tepat di depan matanya sehingga buktinya ada.
Padahal Thi Eng khi sedang berbaring di tepi jurang, ini membuatnya tak sanggup turun tangan , sebab sekali bertindak salah hingga tubuh Thi Eng khi jatuh ke dalam jurang bisa jadi peristiwa di puncak Bong soat hong di bukit Wu san akan terulang kembali.
Sesungguhnya tujuan orang ini boleh dibilang sangat keji, siapa tahu masih mendingan seandainya dia tidak berteriak, akibat dari teriakan tersebut, keadaan bertambah runyam.
Thi Eng khi sendiripun pada mulanya merasa bingung dan tidak habis mengerti setelah mendengar teriakan itu, dia merasa tindakan dari iblis tua itu seakan akan sangat bertentangan sekali dengan tujuan yang sebenarnya, tapi sejenak kernudian ia lantas memahami maksud serta tujuan yang sebenarnya dari iblis tua itu.
Kontan saja hawa amarahnya berkobar, dengan dingin dia berkata:
"Aku sudah mempunyai perhitungan sendiri, tak perlu kau risaukan!"
Sembari berkata dia malah melejit dan bergeser makin mendekat sisi tebing jurang tersebut.
Iblis tua itu menjadi sangat rikuh dan serba salah, telapak tangannya sudah diangkat keatas siap diayunkan, tapi dahinya segera berkerut dan telapak tangan itu terhenti di tengah jalan.
Selang sesaat kemudian, ia menurunkan kembali lengannya, kemudian setelah tertawa seram katanya: “Jadi kau anggap setelah berbuat demikian maka kau bisa lolos dari kematian? Heeehhhh…. Heeehhh…. Heeehhhh….. lohu akan mencoba untuk saling bertahan dengan dirimu!”
Ketika itu Thi Eng khi berada diatas sebuah batu datar ditepi tebing jurang, sekalipun tak mungkin menerima sergapan dari musuhnya,namun berada dalam pengawasan orang terus menerus memang bukan sesuatu yang aneh dirasakan.
Maka darahnya mendidih setelah mendengar ucapan dari iblis tua itu, segera katanya dengan marah :
“Iblis laknat! Walaupun aku tak bisa lolos da¬ri tanganmu hari ini, tapi kaupun jangan harap bisa membalaskan dendam bagi kematian kakakmu! Kau anggap dengan kekuatanmu seorang mampu untuk memusuhi seluruh umat persilatan di dunia ini?”
Iblis tua itu tertawa seram, dia mengangkat tangannya keatas dan berkata dengan santai :
"Dengan mengandalkan cap sa tay poo (tiga belas pangeran) yang berada di bawah pimpinanku pun seluruh dunia persilatan dapat kukuasai, buat apa lohu mesti turun tangan sendiri!”
Sekalipun posisinya sudah berada dalam keadaan terancam, namun Thi Eng khi sama sekali tidak melepaskan kesempatan untuk menyelidiki keadaan lawan, maka dengan wajah santai sekali tidak berubah, katanya dengan dingin:
"Siapa yang dimaksudkan dengan Cap sa tay poo itu? Belum pernah kudengar tentang nama tersebut, hei, jangan mencoba untuk main gertak sambal!“
Kembali iblis tua itu tertawa seram.
"Heeehhh... heeehh....heeehhh buat apa kau musti
memancing dengan kata-kata yang memanaskan hati? Sekalipun lohu tidak becus juga tak akan membohongi manusia yang hampir mampus seperti kau! Cap sa Tay poo yang berada dibawah pimpinan lohu terdiri dari pelbagai anggota dalam partai besar dunia persilatan. mereka adalah Ci nian taysu dari Siau lim pay, It tin totiang dari Bu tong pay, Put wi sianseng dari Hoa san pay, To kak thi koay (Kaki tunggal bertoya besi) dari Kay pang, Lak bin wangwe (hartawan berwajah enam dari keluarga Tong, Siau bin kim kong (malaikat raksasa berwajah senyum) dari Cing sia pay, It ci kiam (pedang satu huruf) dari Tiong lam pay, Tho hoa soh li (gadis suci bunga tho) dari pulau Soh sim to, Giok ciang lo sat (iblis wanita bertoya kemala) dari Ciang hong wan, ditambah lagi dengan Hui hong kiam (pedang angin berpusing) Lok yap bian hong (hembusan angin daun berguguran) dan Hek bin bu pah (raja lalim bermuka hitam) sekalian tiga belas orang"
Selesai mendengar nama-nama tersebut, Thi Eng khi diam diam merasa terperanjat sekali. Sebab kenyataannya ke tiga belas orang itu masing-masing tersembunyi didalam setiap partai besar, sebagai musuh da¬lam selimut sesungguhnya mereka benar benar menakutkan sekali.
Sebagai seorang pemuda berjiwa ksatria, sekalipun jiwanya berada diujung tanduk. Dan berbahaya sekali, apalagi soal dunia persilatan sama sekali tak ada sangkut paut dengan dirinya, tapi ia tetap merasa murung dan gelisah.
Setelah berpikir keras sekian lama mendadak satu ingatan melintas didalam benaknya.
la lantas mengawasi iblis tua itu sambil berlagak seakan akan tak pernah terjadi sesuatu apapun, sementara tangannya yang lain disembunyikan dibalik punggung dan mengerahkan tenaganya untuk mengukir nama-nama yang telah didengar tadi diatas batu cadas.
Sebagai pemuda yang cerdas dan cekatan dalam waktu singkat nama serta asal usul dari ketiga belas pangeran Cap sa tay poo itu sudah selesai terukir diatas batu.
Mendadak timbul satu persoalan dalam benaknya, maka sambil melanjutkan tulisannya. dia bertanya lagi :
"Iblis laknat! Kalau memang Cap sa tay poo itu disisipkan ke dalam partai-partai besar, sekalipun ilmu silat mereka lebih lihaypun tak akan lebih hebat daripada ciangbunjinnya sendiri, mana mungkin mereka sanggup untuk melakukan pemberontakan?" Iblis tua itu segera tertawa seram.
"Heeehhh……… heeehhh……… heeehhh tentu saja lohu
telah mewariskan kepandaian lain kepadanya "
Mendadak ia seperti merasakan sesuatu, matanya yang buas segera berputar, kemudian bentaknya:
"Bocah keparat, apa yang sedang kau lakukan?"
Ditengah bentakan keras, sebuah pukulan dahsyat segera dilontarkan kedepan.
Waktu itu Thi Eng khi sedang menulis nama dan asal usulnya, ketika merasa gelagat tidak beres, dia menjadi terkejut sekali untuk membalas jelas tak bertenaga lagi, terpaksa dia melejit dan menggelinding masuk kedalam jurang.
Dengan cepat Iblis tua itu menyusul ketepi jurang, ketika melongok kebawah dan menyaksikan kabut tebal menyelimuti dasar jurang tersebut, tanpa terasa dia mendongakkan kepalanya dan kembali tertawa rerbahak bahak dengan bangganya.
"Haaahh......haaahh. haaahhh jurang ini begini dalam,
sekalipun nasibmu sangat mujur pun lohu tidak percaya kalau kau bisa selamat dari musibah ini!"
Seraya berkata ia membalikkan badannya ketika melihat tulisan diatas batu paras mukanya agak berubah, tapi sejenak kemudian timbul rasa sayang diatas wajahnya.
“Aaai. betul-betul sayang sekali,“ gumannya, “bakat yang
begitu bagus tak bisa lohu pergunakan, jangan salahkan kalau lohu terpaksa harus mengambil tindakan keji. “
Dengan uring-uringan dia lantas berlalu dari situ.
Thi Eng khi tak sudi mati ditangan iblis keji tersebut, maka sewaktu menyaksikan sapuan kilat dari Huan im sin ang menyambar datang, buru-buru dia maju kedepan dan menggelinding masuk kedalam jurang.
Pemuda itu memang seorang manusia yang berotak cerdas, sekalipun ia merasa perbuatannya terjun kedalam jurang telah menyia-nyiakan harapan ibunya, tapi ia sama sekali tidak takut, sebab dia merasa yakin kalau jiwanya tentu melayang.
Malahan ketika mendengar suara deruan angin dan menyaksikan pemandangan disekelilingnya
yang meluncur lewat sangat cepat timbul suatu kesan yang menarik dalam hatinya.
Setelah melewati kabut yang amat tebal pemandangan disekelilingnya menjadi lebih terbuka, dasar lembahpun tampak jelas sekali.
Hutan pohon Bwe yang lebat dengan bunga yang harum, mendatangkan suatu pemandangan yang indah menawan.
Sambil tertawa pikirnya kemudian:
"Tempat ini benar-benar merupakan suatu. tempat yang paling ideal untuk mengubur jenasahku…. !"
Belum habis ingatan tersebut melintas lewat dalam benaknya, mendadak dijumpai ada seorang kakek berambut putih sedang duduk bersila tepat dibawahnya.
Kakek itu duduk tak berkutik sambil menundukkan kepalanya kalau dilihat dari keadaannya, mungkin ia sedang bersemedi.
Terbayang kembali akan akibat yang ditimbulkan dari tubuhnya yang terjatuh ke bawab itu, Thi Eng khi merasakan hatinya tergetar keras, buru-buru dia menggerakkan keempat anggota badannya menggeserkan badannya lebih kesamping, daripada sebelum meninggal dia musti menyusahkan pula orang lain
Siapa tahu meski badannya sudah berusaha untuk bergeser ke samping, tapi kenyataannya entah disebabkan daya luncur tubuhnya terlampau cepat atau karena persoalan lain, usahanya itu sama sekali tidak mendatangkan hasil apa apa.
Dalam keadaan demikian, ia cuma bisa membenci akan ketidakbecusan dirinya, terpaksa dengan sekuat tenaga dia berteriak keras:
"Hei lotiang yang berada dibawah. cepat menyingkir ! Siauseng terjatuh kebawah cepat minggir! Cepat minggir! Cepat -cepat minggir!"
Agaknya kakek dibawah itu seorang yang tuli, sekalipun ia sudah berteriak sampai serak tenggorokan, ternyata sama sekali tiada reaksi apapun.
Padahal pada waktu Thi Eng khi berada lebih kurang sepuluh kaki saja dari dasar lembah,
Ia lantas berseru tertahan dan memejamkan matanya rapat-rapat dalam detik tersebut pelbagai ingatan berkecamuk didalam benaknya, ia merasa waktu yang amat singkat itu bagaikan beratus ratus tahun lamanya mungkin inilah pengalamannya menjelang kematian, cuma sayang ia sudah tak dapat memberitahukan kepada orang lain lagi.
"Kraaakk………!" ia merasakan tubuhnya seperti menyentuh sesuatu benda, satu ingatan segera melintas dalam benaknya :
“Aduuuuh habis riwayatku!''
Dia mengira jiwanya pasti akan melayang meninggalkan raganya.
Padahal ia sudah dirangkul oleh kakek berambut perak didasar lembah itu dan sama sekali tidak menderita luka apa-apa.
Hanya mengandalkan sepasang tangannya, ternyata kakek berambut perak itu sanggup menahan tubuh Thi Eng khi yang terjatuh dari ketinggian ratusan kaki, dari sini dapat diketahui bahwa tenaga dalam yang dimilikinya boleh dibilang luar biasa lihaynya. Setelah menyambut tubuh Thi Eng khi ke dalam pelukannya, kakek itu tertawa terbahak-bahak.
“Haaahhhh……….. haaahhhh haaahhhhh…… mana lohu
bisa berpeluk tangan belaka menyaksikan kau terancam bahaya ? “
Seraya berkata dia lantas menundukkan kepalanya memperhatikan pemuda yang berada dalam pelukannya itu, tapi selang sesaat kemudian sekujur badannya bergetar keras, ia agak tidak percaya kalau di dunia ini terdapat orang dengan bakat yang begitu bagus.
Dengan cepat dia mengucak matanya dengan tangan kiri, kemudian dengan sinar mata berkilat ditatapnya wajah Thi Eng khi lekat-lekat.
Makin dilihat ia merasa hatinya semakin bergetar, perasaannya juga semakin emosi dengan wajah kalut bercampur girang dia melemparkan tubuh pemuda itu ke tanah kemudian lompat bangun dan menari-nari seperti orang kalap.
Setelah mencapai permukaan tanah, Thi Eng khi segera merasakan hatinya bergetar kera, apalagi teringat kejadian yang baru dialaminya, buru-buru ia membuka matanya lebar-lebar.
Ketika dilihatnya keadaan si kakek Yang lebih mirip orang gila itu, dia seperti terkesima kemudian menggigit tangan sendiri keras- keras.
Mungkin karena terlalu keras gigitannya menjadi tak tahan sehingga menjerit kesakitan.
Sesungguhnya kakek itu tidak gila, cuma karena sudah lama hidup mengasingkan diri maka perubahan sikapnya menjadi sangat kentera.
Diapun tersadar kembali ketika mendengar jerit kesakitan dari anak muda itu ketika mengetahui kalau ia sudah bertindak kelewat batas dengan wajah memerah karena jengah katanya : "Nak, parahkah luka yang kau derita?"
"Oooh tidak" sahut Thi Eng khi sambil tertawa getir, "aku cuma menggigit diriku sendiri."
Setelah agak tertegun, kakek itu segera memahami apa yang terjadi, katanya lagi sambil tertawa : “Oooh jadi kau mengira
dirimu sudah mati?"
Paras muka Thi Eng khi berubah makin memerah terpaksa dia manggut-manggut.
Kakek itu segera menarik tangan kanan Thi Eng khi dan menempelkan ketiga jari tangannya diatas nadi pemuda itu, kemudian katanya :
"Hei pemuda, kalau sedang berjalan masti berhati-hati, untung kau bertemu dengan aku hari ini, coba kalau tidak. mana mungkin kau bisa bernyawa lagi? Coba kuperiksa apakah isi perutmu sudah terluka atau tidak ?"
Tiba tiba dia berkerut kening, kemudian sambil menarik kembali tangannya dia berseru :
"Oooh rupanya kau dihajar orang!"
“Tidak!" sahut Thi Eng khi sambil menggeleng, "aku sendiri yang melompat kebawah, cuma.."
Kakek itu segera menghela napas panjang ujarnya :
"Lukamu tidak parah, asal bersemedi sebentar keadaan lukamu itu akan sembuh kembali seperti sedia kala. Bagi seorang lelaki sejati, tidak boleh mempunyai ingatan untuk mengambil keputusan pendek, jika berjumpa lagi dengan urusan dikemudian hari, kau mesti perkeras hatimu, hati mesti tabah untuk menghadapi kenyataan, dengan begitu baru tidak menyia-nyiakan pendidikan dan budi kebaikan orang tuamu. Sesungguhnya persoalan apakah yang membuat pikiranmu menjadi sempit?“
Sikap si kakek yang sok memberi nasehat itu hanya membuat Thi Eng khi menyengir pahit. Padahal banyak hal yang berkecamuk dalam benaknya, oleh karena ia tak bisa memberi penjelasan lebih jauh, terpaksa sambil tertawa getir katanya :
“Terima kasih banyak lotiang atas petunjukmu, cuma, sulit buatku untuk menjelaskan persoalan ini hanya dengan sepatah kata saja “
"Anak muda, jika kau sudah tahu salah dan mau berubah. Hal itu bagus sekali" kata si kakek dengan wajah lembut, "urusan yang lewat tak perlu disinggung lagi, sekarang lohu akan membantumu untuk menyembuhkan luka yang kau derita. Kau sendiri berusahalah untuk membantu dari dalam!"
Selesai berkata telapak tangannya segera ditempelkan diatas punggung Thi Eng khi.
Sianak muda itu menurut dan segera menghimpun tenaga dalamnya dan mengerahkan tenaga Sian thian bu khek ji gi sin kang untuk mengelilingi seluruh badannya.
Mendadak bagaikan dipagut ular beracun, si kakek itu menarik kembali tangannya, kemudian dengan wajah sungguh-sungguh katanya :
“Nak, aku lihat Sian thian bu khek ji gi sin kang yang kau miliki sudah mencapai puncak kesempurnaan, apakah kau adalah anak murid perguruan Thian liong pay?“
Menyusul kemudian tertawa terbahak-bahak, sambungnya : “Haaahhh.... haaahhhh.... haaahhhh kau memakai baju
berwarna biru, pinggangmu menyoren pedang Thian liong kim kiam sudah pasti bukan anggota Thian liong pay saja, lohu sungguh tolol sekali, aku cuma melihat garis mukamu belaka dengan melupakan dandananmu, bukankah hal ini lucu sekali.“
Mendengar perkataan itu, Thi Eng khi segera berpikir : “Thian liong pay benar-benar bukan bernama kosong belaka,
bahkan seorang kakek yang lama mengasingkan diri di luar perbatasanpun mengetahui nama Thian liong pay “
Berpikir demikian, ia lantas menjawab dengan gembira: "Boanpwe adalah ciangbunjin angkatan ke sebelas dari partai Thian liong pay!"
“Oooh....ooh……."
Sesudah termenung beberapa saat lamanya, kakek itu baru berkata lebih jauh :
“Tahukah kau tentang manusia yang bernama Keng thian giok cu Thi keng ….”
"Dia orang tua adalah mendiang kakek boanpwe!"
"Lantas siapa pula namamu?" tanya kakek itu cepat-cepat. "Boanpwe bernama Thi Eng Khi!"
Selapis rasa kaget dan tercengang melintas diatas wajah kakek itu, pikirannya terasa sangat kalut dan pelbagai macam perasaan berkecamuk dalam benaknya, ia sendiri pun tak tahu bagaimana perasaannya waktu itu………..
Akhirnya dia menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca dan hampir saja air matanya jatuh berlinang.
Ternyata kakek itu tak lain adalah kakek Thi Eng khi sendiri, orang menyebut sebagai Keng thian giok cu dan merupakan ciangbunjin angkatan ke sembilan dari Thian liong pay.
Dua puluh tahun berselang, ketika ia menemukan bahwa putra kesayangannya yang merupakan satu-satunya ahli waris dari Thian liong pay mencukur rambut menjadi pendeta karena kematian sahabatnya, meski dihati merasa seribu kali “menolak” tapi untuk menghormati keinginan putranya, terpaksa dia menghela napas dan meninggalkan putra kesayangannya itu….
Dalam sedihnya dia menjadi putus asa dan segera berkelana jauh keluar perbatasan, dan mengunjungi gua Thian liong tong thian yang merupakan pusat dari tempat berdirinya partai Thian liong pay di masa lalu. Berhubung gua Thian liong tong thian merupakan tempat berdirinya partai Thian liong dan merupakan tempat bersemayannya ciangbunjin-ciangbunjin partai Thian liong pay angkatan sebelumnya, maka tempat itu sangat dirahasiakan sekali letaknya, setiap ciangbunjin dari tiap generasi hanya mendapat tahu tempat tersebut dari ciangbunjin angkatan sebelumnya.
Setelah masuk ke dalam gua Thian liong tong thian, Thi Keng menuruti peraturan perguruannya bersembahyang didepan cousunya dan mengembalikan Thian liong pit kip kedalam gua itu, kemudian menyampaikan pula perintahnya untuk menutup perguruan Thian liong pay.
Dia sendiripun berdiam di gua Thian liong tong thian untuk menebus dosanya yang telah memutuskan keturunan dalam partai Thian liong.
Ketika Thi Keng meninggalkan partai Thian liong pay, Thi Eng khi belum dilahirkan di dunia ini, sudag barang tentu diapun tidak mengetahui bagaimanakah bakat serta watak pemuda tersebut, itulah sebabnya ketika menyampaikan perintah untuk menutup partai, diapun melarang putra-putri Thi Tiong giok untuk mempelajari ilmu silat.
Seandainya dimasa itu Thi Keng tidak cepat-cepat menurunkan perintahnya, tapi menunda setahun lagi, sehingga dia berkesempatan menyaksikan kelahiran Thi Eng khi, sudah barang tentu dunia persilatanpun tak akan mengalami keadaan seperti sekarang ini.
Ketika Thi Keng menyaksikan cucu Kesayangan ternyata bertubuh tegap berbakat bagus dan berwajah tampan, bahkan jauh melebihi putranya sendiri Thi Tiong giok apalagi terbayang kembali akan tindakannya yang gegabah di masa muda dulu, rasa malu dan sesal segera muncul didalam hatinya.
Oleh sebab itu, dia merasa malu sekali untuk mengakui asal- usulnya sendiri. Thi Eng khi segera mengedipkan matanya menyaksikan sikap kakek itu seperti sangat tidak tenang, tegurnya kemudian :
“Lotiang, apakah kau kenal dengan kakekku?“
Sekuat tenaga Keng thian giok cu Thi Keng mengendalikan pergolakan emosi didalam hatinya, lalu menggeleng.
“Lohu dengan kakekmu cuma kenal begitu saja, kami tidak bersahabat kental!“
Thi Eng khi tak pernah jumpa dengan kakeknya, dia hanya pernah melihat wajahnya lewat lukisan yang dibuat pada empat puluh tahun berselang, tentu saja raut wajah dulu dan sekarang jauh sekali perbedaannya.
Oleh karena itu, Thi Eng khi sama sekali tidak mengetahui kalau kakek yang berada di hadapannya kakeknya sendiri.
Begitulah, dengan sikap yang amat menghormati ujarnya : “Locianpwe, apakah kau bersedia untuk memberitahukan
namamu, agar bisa boanpwe ingat terus di dalam hati?“
Keng thian giok cu Thi Keng mengerdipkan matanya lalu tertawa getir, sahutnya :
“Aaaah aku mah orang liar yang sudah lama melupakan
namaku, sebut saja aku sebagai Bu beng kongkong.“ Kemudian tanyanya :
“Usia lohu sudah mendekati seratus tahun, tentunya tidak menjadi soal bukan kalau kau mesti menyebut kongkong kepadaku?“
Diam-diam Thi Eng khi merasa keheranan, pikirnya :
“Aneh kenapa orang inipun seseorang yang lupa dengan nama sendiri? Keadaannya tak jauh berbeda dengan hwesio setengah umur yang pernah kujumpai di bukit Wu san.“
Berpikir sampai disitu, diapun tidak bertanya lagi, dengan hormat panggilnya :
"Bu Beng kongkong!" Keng thian giok cu Thi Kerg tertawa terkekeh-kekeh, kemudian duduk ditanah, kepada Thi Eng khi serunya :
"Nak, duduklah kemari Bu beng kongkong ada persoalan hendak ditanyakan kepadamu"
Thi Eng khi menurut dan duduk didepan kakek tersebut, lalu ujarnya sambil tertawa :
“Beberapa bulan berselang, boanpwe masih bukan seorang anggota persilatan karena itu pengetahuanku mengenai urusan dunia persilatan masih cetek sekali. Mungkin aku akan membuat kongkong menjadi kecewa.“
Keng thian giok cu Thi Keng tertawa lebar :
“Aaah, tidak menjadi soal apa yang kutanyakan kepadamu pasti kau ketahui!”
Setelah berhenti sebentar, diapun bertanya lagi :
“Sejak kapan kau menjabat sebagai ketua dari partai Thian liong pay?“
“Bulan delapan tanggal sembilan belas tahun berselang sampai sekarang baru sekitar sepuluh bulan.“
Keng thian giok cu Thi Keng manggut-manggut.
“Kalau begitu coba ceritakanlah keadaan partaimu semenjak ditinggalkan kakekmu!”
Thi Eng khi menjadi sangsi untuk beberapa saat lamanya tapi setelah termenung dan berpikir beberapa saat, akhirnya diputuskan untuk menceritakan semua yang diketahui olehnya.
Sebab ia merasa Bu beng kongkong adalah seorang kakek yang berwajah lembut serta jujur, sudah pasti dia bukan orang jahat, apalagi dia telah melepaskan budi kepadanya, tidak sepantasnya kalau dia merahasiakan sesuatu kepadanya. Ketika ia selesai bercerita Keng thian giok cu Thi Keng kembali mengajukan beberapa pertanyaan sekitar hal-hal yang tidak dipahami olehnya, dengan cepat pemuda itu merasa bahwa Bu beng kongkong sesungguhnya adalah seorang kakek yang teliti sekali.
Persoalan apapun dia tanyakan, bila menjumpai hal-hal yang tidak dimengerti, dia selalu menyelidiki sampai menjadi terang semua duduknya persoalan.
Ia cuma merasa heran dengan watak Bu beng kongkong yang aneh dan istimewa itu, tapi tidak menaruh perhatian bahwa berulang kali secara diam-diam Bu beng kongkong telah membesut air matanya.
Ketika Keng thian giok cu Thi Keng mendapat tahu keadaan yang sebenarnya, ia merasa sedih juga menyesal sekali, sambil memejamkan mata ia termenung sampai lama sekali.
Kemudian sambil mendongakkan kepalanya dan menatap wajah Thi Eng khi dengan sinar mata yang tajam, serunya dalam-dalam:
"Lohu bertekad untuk mewariskan segenap kepandaian yang kumiliki kepadamu agar kau bisa mencapai kebahagiaan bagi umat manusia didunia ini agar bisa mengangkat nama Thian liong pay hingga jaya diseluruh kolong langit!"
Thi Eng khi pernah menderita kerugian besar karena dipaksa belajar ilmu silat. maka hatinya menjadi tak senang hati setelah mendengar perkataan itu, apalagi setelah mendengar ucapan si kakek yang mengatakan bahwa "agar bisa mengangkat nama Thian liong pay hingga jaya diseluruh kolong langit" itu dia merasa ucapan tersebut mencurigakan sekali....
Karenanya, sambil membusungkan dada ia lantas berkata : “Boanpwe pernah brsumpah, sebelum belajar ilmu sakti yang
tercantum di dalam kitab pusaka Thian liong pit kip, aku tak akan belajar ilmu silat aliran lain, maksud baik Bu beng kongkong biarlah boanpwe terima di dalam hati saja!”
Mula-mula Keng thian giok cu Thi Keng agak tertegun, menyusul kemudian diapun manggut-manggut berulang kali. “Seandainya kau tidak berhasil menemukan kembali kitab pusaka Thian liong pit kip tersebut apa yang hendak kau lakukan?”
“Andaikata kitab pusaka Thian liong pit kip tersebut tidak berhasil kutemukan maka sepanjang hidup aku tak akan membicarakan soal ilmu silat lagi, aku akan menghabisi nyawaku untuk menebusi dosaku ini terhadap perguruan!”
Mendengar perkataan itu, air mata jatuh bercucuran membasahi wajah Keng thian giok cu Thi Keng.
“Nak, kau keliru besar," katanya “ketahuilah bahwa ilmu silat yang ada di dunia ini berasal dari satu sumber, sekalipun terdapat banyak aliran perguruan di dunia ini tapi sumber dari kepandaian mereka sesungguhnya adalah satu. Apalagi sebagai seorang manusia yang bercita-cita luhur, kau harus mempunyai pandangan yang terbuka serta jiwa yang besar, dengan begitu masalah besar baru bisa diselesaikan, aku lihat watak keras kepalamu itu perlu diperbaiki dan bila perlu dilenyapkan sama sekali ….”
Sesungguhnya Thi Eng khi bukan seorang yang keras kepala, dia bisa mengambil ketetapan begitu lantaran dia mempunyai kesulitan yang tak dapat dikatakan kepada orang lain, sebagai seorang ketua yang bertanggung jawab untuk membangun kembali nama baik partai Thian liong pay didunia ini, sudah barang tentu dia enggan memperjuangkan cita-citanya tersebut dengan mempergunakan ilmu silat dari aliran lain.
Dengan cepat dia menggelengkan kepalanya berulang kali, lalu berkata :
“Nasehat dari Bu beng kongkong pasti akan kuperhatikan dengan seksama, boanpwe merasa berterima kasih atas perhatiannya ini, cuma mengenai belajar silat sesungguhnya bukan keras kepala yang menyebabkan boanpwe berkeputusan demikian adalah karena soal lain yang menyebabkan boanpwe terpaksa harus berbuat begini, harap kau sudi untuk memakluminya.” Terdorong oleh pergolakan emosi, Keng thian giok cu Thi Keng tak bisa mengendalikan diri lagi, dia lantas mendongakkan kepalanya dan berpekik nyaring.
Tenaga dalam yang dimilikinya memang amat sempurna, begitu suara pekikannya bergema diudara, tampak pohon bwe disekitar tempat itu bergoncang keras seperti terhembus angin, kabut tebal di angkasa pun seakan-akan terhembus buyar kemana-mana.
Diam-diam Thi Eng khi terkejut sekali setelah menyaksikan kesempurnaan tenaga dalam yang dimiliki Bu beng kongkong, tapi wajahnya sama sekali tidak berubah, menahan sekulum senyuman sempat menghiasi wajahnya…..
Tiba-tiba Keng thian giok cu Thi Keng memperlihatkan wajah gusar, dari sakunya dia mengeluarkan sejilid kitab kecil berwarna kuning dan diberikan ke tangan Thi Eng khi, kemudian ujarnya dengan suara yang dingin seperti es :
"Tempat ini merupakan suatu jurang terpencil dengan empat penjuru dikeliling dinding curam, bila kau tidak mempelajari ilmu silat dari lohu ini, jangan harap kau bisa keluar dari tempat ini. Hidup juga kau sendiri, mati juga kau sendiri, setahun kemudian lohu akan datang lagi untuk menengok dirimu, nah. Baik-baiklah menyesuaikan diri!"
Seusai berkata. tidak melihat dengan gerakan apakah dia melompat, tahu-tahu tubuhnya sudah melambung di tengah udara kemudian lenyap tak berbekas dari pandangan mata.
Thi Eng khi segera mendongakkan kepalanya dan berteriak keras
:
“Aku Thi Eng khi adalah seorang lelaki sejati, aku tak sudi
menerima ancamanmu itu, setahun kemudian silahkan saja datang kemari, coba kau buktikan sendiri apakah aku akan berusaha meloloskan diri dengan mengandalkan kepandaian silatmu itu!“
Sementara itu, Keng Thian giok cu Thi Keng telah berada di dalam sebuah gua kecil di tebing terjal tersebut, dengan air mata bercucuran dia mengangguk berulang kali, gumamnya : “Nak, kau memang cucu yaya yang paling baik, kau terlalu baik, yaya merasa gembira sekali.“
Thi Eng khi duduk kembali sejenak ditempat semula, lalu berdiri dan memasukkan kitab kecil itu kedalam sakunya.
Oleh karena dia sedang mendongkol maka kitab tersebutu sama sekali tidak diperiksa isinya, bahkan memandang sekejappun tidak.
Menyusul kemudian, diapun melakuka pemeriksaan yang seksama disekeliling dinding tebing itu dengan harapan bisa menemukan tempat untuk berteduh, sehingga ia bisa menggunakan kesempatan yang sangat baik itu untuk berlatih tekun ilmu Sian thian bu khek ji gi sin kang yang dimilikinya itu.
Tapi sayang usahanya itu sia-sia belaka sekalipun seluruh dasar jurang sudah diperiksa, ia tidak berhasil menemukan tempat yang bisa dipakai untuk berteduh, karena itu selama beberapa malam berikutnya terpaksa ia musti menginap di udara terbuka.
Kemudian ia menemukan pada dinding tebing sebelah timur, lebih kurang tiga kaki dari permukaan tanah terdapat dua batang pohon siong yang berdaun lebat, tempat itu bisa dipakai untuk tempat berteduh.
Sayangnya, kendatipun tenaga dalam yang dimilikinya sudah teramat sempurna, namun ia tidak mengerti bagaimana caranya mempergunakan ilmu meringankan tubuh, itulah sebabnya sekalipun dinding tebing itu cuma tiga kaki, namun sulit baginya untuk merangkak ke atas.
Untung saja kecerdasannya luar biasa, setelah berpikir sebentar, ia segera memperoleh suatu ide yang bagus sekali.
Dengan cepat pedang Thian liong kim kiam yang tersoren dipinggangnya dicabut keluar, setelah itu dengan mempergunakan pedang Thian liong kim kiam itu sebagai tempat berpegangan, selangkah-selangkah dia mendaki keatas tebing itu, tak lama kemudian tibalah pemuda tersebut dibawah pohon siong tadi. Setibanya dibawah pohon siong tersebut, mendadak ia menemukan sebuah gua batu di belakang pohon tadi, diatas gua terpancang sebuah papan nama yang bertuliskan empat huruf besar, tulisan itu berbunyi demikian :
“THIAN-LIONG-TONG-THIAN“
Timbul perasaan heran didalam hatinya, tanpa berpikir panjang lagi ia lantas berjalan menuju kedalam gua.
Mulut gua itu amat sempit dan cuma bisa dilewati satu orang saja, akan tetapi setelah berada dalam gua itu maka dijumpainya ruangan didalam sana luas sekali, lagi pula suasana terang benderang, tidak diketahui darimanakah datangnya cahaya penerangan tersebut.
Saat itu Thi Eng khi sudah tidak berminat lagi untuk menyelidiki persoalan-persoalan yang tidak penting, sebab dia sudah tertarik perhatiannya oleh dua belah pintu gerbang yang memancarkan cahaya keemasan-emasan didasar gua tersebut.
Didepan pintu gerbang terdapat sebuah lapisan batu kemala putih yang tinggi tebal dan memancarkan cahaya berkilauan, orang harus berdiri diatas lapisan batu kemala putih itu sebelum mencapai gelang pintu.
Thi Eng khi melompat naik keatas lapis¬an batu kemala putih itu kemudian menggetarkan gelang pintu itu beberapa kali, akan tetapi pintu tersebut sama sekali tidak bergeming barang sedikitpun juga, kenyataan ini membuat hatinya merasa terkejut bercampur keheranan, ia tidak habis mengerti apa gerangan yang sebenarnya telah terjadi.
Sekuat tenaga dia berusaha untuk mendorong pintu gerbang itu, tapi hasilnya nihil sebab pintu gerbang tersebut sama sekali ti¬dak bergeming barang sedikitpun juga.
Ketika usaha itu dicoba beberapa kali lagi tanpa hasil, akhirnya pemuda itu menjadi putus asa. Tanpa sengaja tiba-tiba matanya memandang ke lapisan "batu kemala putih yang diinjaknya itu, lamat-lamat terbaca olehnya beberapa kalimat yang tertera diatas lapisan batu kemala tersebut.
Tulisan tersebut berbunyi demikian :
“Tempat ini adalah gua Thian liong tong thian, selain anak murid Thian liong pay dilarang masuk ke dalam gua ini. Untuk masuk kedalam gua, silahkan mengerahkan ilmu Sian thian bu khek ji gi sin kang sebanyak tiga kali kelilingan badan pintu ter¬sebut otomatis akan membuka dengan sendirinya."
Selesai membaca beberapa huruf tulisan tersebut, Thi Eng khi merasa terperanjat sekali, dengan cepat dua ingatan melintas di dalam benaknya :
Pertama, gua ini sudah pasti mempunyai hubungan yang erat sekali dengan partai Thian liong pay.
Kedua Bu beng kongkong mungkin seka¬li adalah anggota Thian liong pay, tapi siapakah dia?
Teringat akan Bu beng kongkong, diapun teringat pula dengan kitab kecil berwarna kuning yang berada dalam sakunya, itu dia beranggapan bahwa kitab kecil tersebut mungkin dapat mengungkapkan jawaban siapa gerangan kakek yang bernama Bu beng kongkong tersebut.
Dengan cepat dia mengeluarkan kitab kecil tersebut dari dalam sakunya dan dilihat dengan seksama.
Yaa, ampun! Apa yang telah terjadi?
Tampak kitab itu sangat mungil dan indah bentuknya, pada halaman yang terdepan tertera empat huruf besar yang indah sekali. tulisan itu berbunyi :
“THIAN LIONG PIT KIP” Sekujur badan Thi Eng khi gemetar keras dengan cepat dia lari keluar dari dalam gua tersebut, kemudian sambil menggertakkan giginya menahan pergolakan emosi, gumamnya :
“Yaya! Yaya! Rupanya kau orang tua adalah yaya!”
Dia menerjang keluar dari dalam gua dengan perasaan bimbang dan tak menentu, dia lupa kalau diluar gua itu terbentang jurang yang tiga kaki dalamnya.
Karena kurang berhati-hati, kakinya segera menginjak ditempat kosong, tak ampun tubuhnya terjerumus pula kedasar jurang itu.
Untung saja tenaga dalam yang dimiliki cukup sempurna sehingga tubuhnya sama sekali tidak terluka, sambil merangkak bangun, dia mendongakkan kepalanya dan berteriak keras :
"Yaya! Yaya! Kenapa kau tak mau mengenali dirimu dihadapan Eng ji ?“
Angin gunung berhembus lewat dari atap, puncak membawa awan putih bercampur kabut yang tebal, suara teriakan dari Thi Eng khi tersebut hampir boleh dibilang sama sekali tertelan.
Puluhan tahun menanggung rindu, ternyata tidak mendatangkan hasil apa-apa, saking sedihnya pemuda itu jatuh tak sadarkan diri.
Entah berapa lama sudah lewat, sambil gemetar keras Thi Eng khi tersadar kembali dari pingsannya.
Dengan perasaan apa boleh buat, terpaksa pemuda itu mendaki kembali ke atas bukit dan masuk kembali ke dalam gua Thian liong tong thian, ia bermaksud untuk mendalami ilmu yang tercantum dalam kitab pusaka Thian liong pit kip tersebut di dalam gua itu.
Ketika melangkah diatas lapisan batu ke¬mala putih itu dia mengerahkan tenaga Sian thian bu khek ji gi sin kangnya untuk mengelilingi seluruh badan, segera terasalah segulung hawa dingin yang menyebarkan memancar masuk lewat dasar kakinya dan menyebar keseluruh anggota tubuhnya, tak sampai satu lingkaran tubuh dia sudah merasakan tubuhnya seakan-akan menyatu dengan lapisan batu kemala putih itu.
Setelah mengitari tubuhnya tiga kali, pintu gerbang berwarna emas yang semula tertutup rapat mendadak terbuka lebar dengan menimbulkan suara yang amat nyaring.
Thi Eng khi ragu-ragu sejenak, kemudian diapun melangkah masuk kedalam ruangan.
Sebuah lorong batu yang lebarnya puluhan kaki terbentang jauh ke dalam sana, tiada cahaya lentera dalam lorong itu, akan tetapi suasananya terang benderang bagaikan disiang hari saja.
Dengan langkah lebar Thi Eng khi berjalan masuk kedalam lorong itu, diujung lo¬rong merupakan sebuah ruang istana yang terbuat dari batu kemala hijau, didepan ruangan tergantung sebuah papan nama yang bertuliskan:
"KUI TIN HU"
Setelah memasuki ruangan, ditengah ruangan tersebut terlihatlah seorang siucay berusia pertengahan yang memakai baju berwarna biru sedang duduk bersila, sebelah kanan tampak dua belas buah gundukan tanah beralas batu kemala yang membentuk naga melingkar, diatasnya duduk empat orang kakek berbaju biru, disebelah kiri pun tampak dua belas lapisan batu kemala berbentuk naga melingkar tapi hanya ditempati oleh tiga orang kakek berbaju biru.
Di tengah ruangan terdapat sebuah meja bundar yang antik sekali, diatas meja tampak sebuah tempat dupa yang berwarna hitam pekat, entah terbuat dari bahan apa? Asap tipis mengepul keluar dari dalam pendupaan itu dan menyebar ke seluruh ruangan sehingga mendatangkan perasaan segar dan nyaman bagi siapapun.
Thi Eng khi tahu bahwa beberapa orang kakek itu sudah pasti adalah para angkatan tua dari Thian liong pay, maka sambil memperingan langkahnya ia maju kedepan, setelah itu sambil memberi hormat katanya : “Tecu Thi Eng khi ciangbunjin dari angkatan sebelas menghunjuk hormat buat para Cousu!“
Dengan hidmat, dia memberi hormat sebanyak tiga kali kepada kakek-kakek itu, tapi sampai lama sekali belum ada juga yang menjawab ataupun menggubris.
Thi Eng khi tak berani bangkit berdiri, diam-diam ia mencoba untuk melirik ke depan tampak ke delapan kakek itu tetap duduk sambil memejamkan mata , mukanya serius agaknya seperti lagi semedi, maka dengan lantang serunya lagi :
“Tecu Thi Eng khi menghunjuk hormat buat para Cousu!“ Belum juga kedengaran suara jawaban.
Baru saja timbul rasa heran dalam hatinya, tiba-tiba ia menemukan sebuah tugu peringatan terpancang dibelakang orang- orang itu, diatas batu peringatan tadi tertera beberapa huruf yang garis besarnya menerangkan bahwa istana Kui tin hu merupakan tempat bersemayan dari para ciangbunjin partai Thian liong generasi yang lalu.
Setelah membaca tulisan itu, Thi Eng khi baru mengerti rupanya beberapa orang cousu itu sudah berpulang ke alam baka.
Ketika dihitung, ternyata jumlah orang yang ada dalam ruangan itu hanya delapan orang, ini membuktikan kalau kakeknya tak ada disana, kalau tidak, kakeknya sebagai ciangbunjin angkatan ke sembilan tentu saja merupakan orang yang ke sembilan dalam ruangan tersebut.
Dari sini maka terbuktilah sudah bahwa kakek yang menghadiahkan kitab pusaka Thian liong pit kip kepadanya itu tak lain adalah kakeknya.
Setelah melakukan pemeriksaan sekejap ia tak berani berdiam terlalu lama disana, pelan-pelan pemuda itu menuruni ruang tengah, menelusuri lorong batu dan melangkah keluar dari pintu gerbang. Baru saja kakinya menginjak diatas lapisan batu kemala putih itu, pintu gerbang di belakangnya menutup sendiri secara otomatis.
Suasana disekeliling tempat itu amat sepi hening dan tak kedengaran sedikit suarapun tapi ia tidak merasa kesepian, bukan saja kitab pusaka Thian liong pit kip milik perguruannya telah ditemukan kembali, selain itu dia pun tahu kalau kakeknya masih hidup didunia ini.
Dengan tenang diapun duduk diluar gua itu, mengeluarkan kitab pusaka Thian liong pit kip dan mulai mempelajarinya dengan seksama.
Disebelah barat kota Teng hong dalam bilangan propinsi Hoo lam terdapat sebuah bukit yang bernama bukit Siong san, disebelah utara tanah perbukitan itu berdiri sebuah bangunan kuil yang sangat besar dan megah, itulah kuil Siau lim si yang termashur namanya diseluruh dunia persilatan.
Suatu hari, ketiga mendekati waktu senja, dari atas jalan raya dibawah bukit muncul dua ekor kuda tinggi besar yang dilarikan ke arah kuil dengan kecepatan tinggi.
Kedua ekor kuda itu merupakan kuda jenis utara yang tinggi besar, dalam sekejap mata kuda-kuda itu sudah sampai tiba di depan kuil.
Diiringi suara ringkikan panjang, kedua ekor kuda itu segera mengangkat kaki depannya ke atas sambil menghentikan larinya.
Seorang gadis cantik segera melenjit keudara, alau dari tengah udara ia menyambar tali les kuda lain yang ditunggangi seorang kakek, kemudian melayang turun keatas tanah.
Gerak gerik gadis itu lincah dan gesit sekali, begitu mencapai permukaan tanah, dia berpaling dan tertawa, seakan-akan tak pernah mengalami sesuatu hal, ujarnya :
“Paman Ting, kau tunggu saja diatas kudamu!“ Tak usah disinggung lagi, kedua orang itu bukan lain adalah cucu kesayangan Tiang pek lojin (It tek ang) So Seng pak yakni Pek leng siancu So Bwe leng serta lotoa dari Tiang pek sam nio (tiga burung dari bukit Tiang pek) Tam co toa beng (rajawali sakti bersayap tunggal) Ting Tian yu.
Setelah Tiang pek lojin So Seng pak menyaksikan Thi Eng khi keturunan dari sahabat karibnya yang sedang bertamu dalam bentengnya diculik orang, dalam gusarnya dia segera memimpin para jago dari luar perbatasan untuk menyerbu ke daratan Tionggoan, menurut bukti yang ada, maka pertama-tama dia mendatangi kuil Siau lim si lebih dahulu.
Dia adalah pemimpin dari luar perbatasan, tentu saja kegagahannya jauh berbeda dengan orang lain, sebelum melakukan sesuatu tindakan, dikirimnya kartu pemberitahuan lebih dulu, kemudian baru mendatangi tempat itu untuk melakukan suatu penyelesaian.
So Bwe leng yaag manja dan suka keramaian berhasil membujuk kakeknya untuk mengirim dirinya sebagai utusan, ditemani oleh Tam ci toa beng berangkatlah mereka menuju ke kuil Siau lim ci.
Dasar masih muda dan lagi binal, begitu melompat turun dari kudanya, seperti seekor kupu-kupu langsung melompati tujuh belas buah undak-undakan batu dan menyer¬bu masuk keruang tengah.
Pada saat itulah, dari dalam kuil melompat keluar dua orang pendeta berusia pertengahan, sambil menghadang dihadapannya, mereka menegur :
”Omitohud, tempat ini adalah tempat suci sang Buddha, harap nona berhenti!"
Meski tak senang hati, Pek leng siancu So Bwe leng enggan menumbuk kedua orang hwesio tersebut, terpaksa dengan kening berkerut katanya :
“Aku hendak mencari hwesio gede dari kuil ini untuk membincang-bincang... !" Ucapan tersebut amat tak sedap didengar, kontan saja paras muka salah seorang pendeta yang kurang tebal imamnya berubah hebat, sambil memperkeras suaranya, dia berseru :
“Peraturan kuil kami menetapkan bahwa setiap orang perempuan dilarang masuk ke dalam ruangan, jika li sicu ada urusan sampaikan saja kepada siauceng!“
Dengn kening berkerut Pek leng siancu So Bwe leng segera tertawa dingin :
“Heehhh.... heeehhh... heeehhhh apa sih hebatnya dengan
suatu kuil kecil di tempat tercokolnya kawanan hwesio cilik? Andaikata kau tidak berbicara begitu, mungkin nona masih bisa diajak berunding, tapi sekarang, aku bersikeras hendak melihatnya!“
Sehabis berkata, sepasang telapak tangannya direntangkan dan melepaskan pukulan.
“Blaaammmm. !“ dua orang hwesio itu masing-masing mundur
sejauh tiga langkah lebih.
Menggunakan kesempatan itu, dengan cekatan dia menerobos masuk ke ruang tengan, kemudian sambil bertolak pinggang dan tertawa tergelak tiada hentinya dia berseru :
"Sekarang aku sudah masuk ke dalam, mau apa kalian?"
Kedua orang hwesio ini adalah murid angkatan kedua dari kuil Siau lim si, yang seorang bernama Bu ki, yang lain bernama Bu wan, kepandaian silat yang dimilikinya terhitung tangguh sekali di dalam dunia persilatan, siapa tahu mereka kena dipecundangi oleh seorang nona yang masih sangat muda, hal ini segera dianggapnya sebagai suatu peristiwa yang amat memalukan.
Serentak kedua orang itu membentak keras dan siap menerjang ke depan untuk melakukan sergapan lagi.
Tapi saat itulah suatu bentakan menggeledek menggema dari dalam ruangan kuil :
"Bu ki, Bu wan, jangan kurangajar!" Sesosok bayangan manusia berkelebat lewat, dan muncullah seorang hwesio gemuk pendek yang berusia lima puluh tahunan.
Bu ki hwesio dan Bu wan hwesio segera menghentikan gerakan tubuhnya, kemudian sambil merangkap tangannya di depan dada ia berseru :
“Tecu “
Pek leng siancu So Bwe leng kembali tertawa cekikikan, serunya dengan merdu :
“Aaah tak menjadi soal, memukul hwesio di dalam kuil
hwesio, itu baru berarti namanya! Tak usah sungkan-sungkan, kalian bertiga boleh maju bersama-sama.“
Hwesio gemuk pendek inijauh lebih tinggi kedudukannya daripada Bu ki hwesio dan Bu wan hwesio, sudah barang tentu imamnya juga jauh lebih tebal, ketika dengar perkataan itu, dia tidak merasa gusar, malah katanya sambil tertawa :
“Anak murid kalangan Buddha tak akan melukai orang secara sembarangan, li sicu pandai benar bergurau!"
Pek leng siancu So Bwe leng memutar biji matanya sebentar, lalu katanya dengan lantang:
"Kalau begitu, kau tak akan menghalangi nonamu masuk ke dalam kuil bukan?"
Hwesio gemuk pendek itu merupakan mu¬rid angkatan pertama dari kuil Siau lim si, dia menjabat sebagai kepala penerimaan tamu dari kuil tersebut, orang persilatan menyebut sebagai Thi ciang ceng (pendeta toya baja) Go Tong hwesio.
Hwesio ini bukan saja pengalamannya luas, pengetahuannya juga matang, ia sudah pandai menilai kemampuan orang.
Dari setiap gerakan yang dilakukan oleh Pek leng siancu So Bwe leng, ia sudah tahu kalau gadis yang masih muda usia ini sesungguhnya memiliki ilmu silat yang jauh diatas kepandaiannya. Dengan nama besar kuil Siau lim si yang begitu tersohor dalam dunia persilatanpun tak sampai mengkederkan hatinya, bahkan dengan begitu beraninya datang mencari gara-gara, dari sini dapat diketahui kalau di belakang sinona pasti terdapat tulang punggung lain yang menunjang dirinya.
Diapun sadar, kendatipun dengan kekuatan yang dimiliki mereka bertiga, menahan gadis itu bukan suatu pekerjaan yang sukar tapi tindakan semacam itu sudah jelas bukan suatu tindakan yang bisa menyelesaikan masalahnya, malahan bisa jadi akan mendatangkan kesulitan yang lebih besar lagi bagi kuilnya.
Apalagi pada detik itu dia masih belum memahami maksud kedatangan sinona tersebut, maka Go to hwesio mengambil keputusan untuk menahan diri dan tidak mengambil tindakan secara gegabah.
Siau lim si bisa mempunyai sejarah yang panjang didalam dunia persilatan bukan lantaran mereka memperolehnya karena mujur, tapi dalam ilmu silat mereka memang betul-betul memiliki kemampuan yang lain daripada yang lain.
Demikianlah dengan senyuman masih menghiasi ujung bibirnya, Go tong hwesio berkata:
“Seandainya li-sicu datang kemari untuk menyembah kepada Buddha, sudah barang tentu akan pinceng sambut dengan segala kehormatan!”
Pek leng siancu So Bwe leng rneski binal orangnya tapi ia masih polos dan suci bersih, tadi dia sengaja mengacau karena menganggap Thi Eng khi benar-benar sudah ditawan oleh pihak Siau lim si, maka sebelum mengutarakan maksud kedatangannya, ia berniat memberi sedikit pelajaran kepada mereka.
Tapi, setelah dilihatnya hwesio itu sama sekali tidak gusar, bahkan tenang-tenang saja ia menjadi rikuh sendiri untuk melanjutkan perbuatannya, maka sambil tertawa katanya: “Kau si hwesio masih terhitung seorang yang jujur, nonamu tak ingin membuat kekacauan tanpa sebab, maka memandang diatas wajahmu, nona akan menyampaikan maksud kedatanganku itu!"
Sekalipun sikapnya sudah jauh lebih lembut namun ucapannya masih tak sedap kedengarannya.
Gotong hwesio cuma bisa tertawa diwajah, mendongkol didalam hati, katanya kemudian :
“Harap li sicu bersedia memberi petunjuk!”
Pek leng siancu So Bwe leng segera mengebaskan ujung bajunya kedepan, serentetan cahaya putih dengan kecepatan luar biasa meluncur ke tengah ruangan.
“Tiga hari kemudian, kakekku akan berkunjung sendiri kemari untuk menyambangi hwesio tua kuil kalian!” serunya dengan serius.
“Kakek nona adalah “
Sambil menarik, Pek leng siancu SO Bwe leng segera menukas : "Tanda pengenalnya disitu, buat apa kau musti banyak bertanya
lagi?"
Seusai berkata, dia lantas mambalikkan badannya dan meluncur keluar dari dalam ruangan.
Bu ki hwesio dan Bu wan hwesio segara membungkukkan badannya memberi hormat katanya:
"Lapor susiok, perlukan kita menghadang jalan perginya?"
"Biarkanlah ia pergi!" jawab Go tong hwesio sambil mengulapkan tangannya.
Dia lantas melompat ke atas dan meluncur ke tiang penglari dari ruangan tersebut sewaktu melayang turun kembali ke atas tanah, ditangannya telah bertambah dengan sebuah benda persegi enam berbentuk bunga salju yang terbuat dari perak putih dan besarnya cuma beberapa inci. Bu ki hwesio maupun Bu wan hwesio tak bisa menebak tanda pengenal dari siapakah benda berbentuk bunga salju yang terbuat dari perak putih itu, baru saja akan bertanya, Go tong hwesio dengan wajah hijau membesi telah berseru :
"Tiang pek lojin, bagus sekali perbuatanmu!”
Dia membalikkan badannya dan melompat masuk keruangan belakang.
CIANGBUNJIN dari partai Siau lim duduk diruang tengah dalam kamar semedinya, di sekelilingnya duduk keempat orang Kim kong dari Siau lim pay yakni Ci kay taysu, Ci hui taysu, Ci leng taysu dan Ci-nian taysu.
Disamping ruang berdiri Thi ciang ceng (pendeta toya baja) Go tong hwesio, ia telah melaporkan tentang tantangan dari Tiang pek lojin dan menantikan perintah dari ketuanya.
Ketua dari Siau lim pay duduk tenang dengan mata terpejam, setelah termenung beberapa saat lamanya, mendadak ia membuka matanya lebar-lebar dan menatap wajahnya Ci kay taysu dengan sinar mata berkilat tajam. Katanya dengan suara dalam :
"Ci kay sute, menurut pendapatmu apa maksud kedatangan Tiang pek lojin kemari?”
Dengan perasaan tidak habis mengerti Ci kay taysu menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Tecu bodoh dan tak bisa menebaknya!”