Jilid 24
"HAAAHHH.... haaahhh.... haaahhh. bagus, aku tak akan bertanya, aku bilang tak akan
bertanya tak akan bertanya. tapi, bolehkah kuajukan pertanyaan yang paling akhir ?"
"Tanyalah !"
"Tahukah kau, apa sebabnya aku sampai datang kemari sekarang?" Kwik Tay-lok berpikir sebentar kemudian tertawa tergelak:
"Aku lihat kau ini benar-benar sangat aneh, masa mau apa dirinya datang kemaripun tidak diketahui oleh dirinya sendiri dan sebaliknya malah di tanyakan kepadaku, aku toh bukan ular dalam perutmu, mana aku bisa tahu ?"
Kim Toa-say seakan-akan tidak mendengar sama sekali terhadap apa yang dikatakannya itu, sinar matanya tertuju pada mangkok kosong yang berada di tangannya, sedang mukanya menunjukkan mimik wajah seperti setiap saat sudah siap akan menangis saja.
Lewat lama kemudian, pelan-pelan dia baru berkata:
"Selama berada di rumah aku telah melatih ilmu peluru berantaiku selama belasan tahun, dalam anggapanku kepandaian tersebut pasti bisa kugunakan untuk menghadapi Ong Hu-lui, siapa tahu jangankan orangnya, hanya anaknya saja tak mampu kuhadapi, aku..... aku. "
Mendadak dia melompat bangun, seolah-olah juga ingin turut menerjang keluar, mencari tempat yang tak ada orangnya dan menangis tersedu-sedu....
"Tunggu sebentar !" tiba-tiba Kwik Tay-lok berpekik keras.
"Apa lagi yang harus kutunggu ?" seru Kim Toa-say dengan mata melotot besar. "Apakah harus menunggu sampai kehilangan, muka untuk kesekian kalinya?"
Sambil menuding ke arah peluru emas yang berada di dalam mangkuk di atas meja, Kwik Tay- lok berseru:
"Kalau kau ingin pergi, maka lebih baik bawa serta barang-barangmu itu. "
Isi mangkuk tersebut sebenarnya adalah Ang-sio-bak, tapi sekarang dia telah mempergunakannya sebagai tempat peluru emasnya.
"Mengapa aku harus membawanya pergi?" seru Kim Toa say. "Bukankah barang-barang tersebut milikmu ?"
"Siapa bilang milikku ? Kenapa tidak kau tanyakan kepada benda-benda tersebut, apakah dia she Kim ?"
Kwik Tay-lok menjadi tertegun.
Tiba-tiba Kim Toa-say tertawa tergelak lagi, katanya lebih jauh:
"Benda-benda itu bukan Ang-sio-bak, juga bukan bakso, mau dimakan tak bisa, mau di gigit tak kuat, siapa yang menyukai benda semacam ini, dialah si cucu kura-kura ?"
"Apakah selanjutnya kau tak akan menggunakan peluru berantai lagi untuk menghadapi orang
?"
"Siapa yang memakai peluru berantai di kemudian hari, siapa pula cucu kura-kura !"
Setelah tertawa tergelak, dengan sempoyongan dia menerjang keluar dari situ, ketika tiba di depan pintu, mendadak dia berpaling sambil berseru lagi:
"Tahukah kau, apa sebabnya dahulu aku suka menggunakan peluru emas untuk menghajar orang ?"
"Tidak tahu."
"Karena emas adalah benda yang paling disukai setiap orang, bila menggunakan emas untuk memukul orang, orang lain pasti ingin menyambutnya untuk dilihat, dengan demikian mereka akan lupa untuk menghindarkan diri, untuk menyambut benda itu sudah barang tentu akan jauh lebih sulit daripada untuk menghindarinya, apalagi emas dapat membuat pandangan mata orang menjadi silau, oleh sebab itu barang siapa menggunakan emas sebagai senjata rahasianya, dia akan memperoleh keuntungan yang cukup besar didalam hal ini."
"Sekarang, mengapa kau tak akan mempergunakannya lagi ?" Kim Toay-say berpikir sebentar, kemudian sahutnya:
"Sebab siapa ingin mencari keuntungan, dia akan rugi, sedang rugilah baru merupakan suatu keberuntungan."
"Tampaknya kau belum lagi mabuk, ucapanmu masih terdengar jelas sekali." kata Kwik Tay- lok sambil tertawa.
Kontan saja Kim Toa-say melotot besar.
"Tentu saja aku belum mabuk, siapa bilang aku sudah mabuk, siapa pula si cucu kura-kura." Akhirnya Kim Toa-say telah pergi.
Dia memang tampak sedikitpun tidak mabuk, cuma mabuknya sudah mencapai delapan sembilan bagian saja.
Bagaimana dengan Kwik Tay-lok !
Dia sedang mengawasi peluru emas di mangkuk dengan tertegun, lama kemudian dia baru menghela napas sambil bergumam:
"Benda-benda yang berada di dunia ini memang aneh sekali, dikala kau sedang membutuhkannya, dia tak mau datang, namun dikala kau sudah tidak membutuhkannya, ia justru datang setumpuk, bayangkan saja tobat tidak ?"
Seandainya kau berdiam di suatu tempat yang terpencil.
Seandainya ditengah malam buta ada orang datang mengetuk pintumu dan berkata dengan sungkan:
"Aku lelah haus, dan lagi sudah jauh dari tempat penginapan, aku ingin menginap semalam saja di sini dan minta air minum."
Maka asal kau masih terhitung manusia, tentu kau akan berkata:
"Silahkan masuk !"
Kwik Tay-lok juga terhitung seorang manusia.
Biasanya dia memang periang, suka menerima tamu, apalagi bila sedang minum arak, maka keriangannya sepuluh kali lipat lebih besar dari pada dihari-hari biasa.
Sekarang dia sedang minum arak, tidak sedikit arak yang sedang diteguknya.
Tak lama setelah Kim Toa-say pergi, dia mendengar ada orang mengetuk pintu, maka diapun berebut keluar untuk membukakan pintu.
Orang yang mengetuk pintu itu sedang berkata kepadanya dengan amat sopan:
"Aku lelah lagi haus dan lagi jauh dari rumah penginapan, bolehkah aku menginap semalam di sini dan minta air seteguk ?"
Semestinya Kwik Tay-lok akan mengucapkan:
"Silahkan masuk".
Tapi justru kedua patah kata tersebut tak sanggup diutarakan keluar.
Setelah berjumpa dengan orang itu, tenggorokannya seakan-akan tersumbat secara tiba-tiba, pada hakekatnya tak sepatah katapun yang sanggup diucapkan.
Orang yang datang mengetuk pintu adalah seorang manusia berbaju hitam....
Orang itu memakai baju serba hitam, celana hitam sepatu hitam, wajahnya juga ditutup dengan secarik kain berwarna hitam, hanya sepasang matanya yang kelihatan bersinar terang, di belakang tubuhnya juga tersoren sebilah pedang panjang.
Sebilah pedang panjang yang mencapai lima depa lebih. Di depan pintu tiada cahaya lentera.
Dengan tenangnya orang itu berdiri di sana seakan-akan ciptaan dari kegelapan saja.
Begitu berjumpa dengan orang itu, pengaruh arak di tubuh Kwik Tay-lok segera menjadi terang tiga bagian.
Apalagi setelah menyaksikan pedang yang tersoren di punggung orang itu, pengaruh arak nya semakin hilang.
Hampir saja dia tak tahan untuk menjerit tertahan. "Lamkiong Cho!"
Sesungguhnya macam apakah manusia yang bernama Lamkiong Cho tersebut, ia sama sekali belum pernah melihatnya.
Tapi orang ini sudah pasti bukan penyaruan dari Bwee Ji-ka.
Walaupun dandanannya bahkan sampai pedang yang digembolnya persis seperti dandanan Bwee Ji-ka ketika sedang munculkan diri bersama si tongkat di depan warung makannya Moay Lo- kong tempo hari.
Akan tetapi Kwik Tay-lok tahu dengan pasti bahwa orang ini bukan Bwee Ji-ka.
Hal ini bukannya dikarenakan dia lebih tinggi sedikit atau lebih kurus sedikit daripada Bwee Ji- ka. sebetulnya karena apa, Kwik Tay-lok sendiripun merasa tidak begitu jelas.
Ketika Bwee Ji-ka mengenakan baju berwarna hitam tersebut, seakan-akan membawa semacam hawa pembunuhan yang mengerikan dan mendirikan bulu roma orang.
Sebaliknya orang ini tidak memilikinya.
Dia tidak memiliki hawa pembunuhan, juga tidak memiliki hawa kehidupan, bahkan hawa apapun tidak dimilikinya, sepertinya kendatipun kau tendang tubuhnya, dia tak akan memperlihatkan reaksi apa-apa.
Tapi Kwik Tay-lok berani menjamin, entah siapa saja itu orangnya tak akan berani menyentuh seujung jari tangannyapun.
Biji matanya hitam dan jeli, tiada perbedaan khusus bila dibandingkan dengan orang-orang yang belajar ilmu silat pada umumnya.
Tapi entah apa sebabnya asal dia memandangmu sekejap maka kau akan segera merasakan sekujur badannya menjadi tak sedap.
Waktu itu dia sedang memperhatikan Kwik Tay-lok.
Kwik Tay-lokpun segera merasakan sekujur badannya menjadi tak sedap, seperti orang yang baru mendusin dari pengaruh araknya setelah mabuk kepayang sehari semalam lamanya, peluh dingin membasahi telapak tangannya kepala seperti pusing tujuh keliling sehingga kalau bisa dia ingin memenggalnya dengan pisau.
Orang berbaju hitam itu sedang memandang ke arahnya, jelas masih menantikan jawabannya, jelas masih menantikan jawabannya.
Kwik Tay-lok sendiri seakan-akan sudah menjawab pertanyaan itu.
Orang berbaju hitam itu tidak berkata apa-apa lagi, mendadak dia membalikan badan dan pelan-pelan berjalan.
Langkah kakinya persis seperti pula orang yang lain, hanya saja dia berjalan dengan luar biasa lambannya, setiap maju melangkah, dia selalu memperhatikan ujung kakinya lebih dahulu,
seakan-akan kuatir kalau langkah kakinya menginjak di tempat yang kosong dan terjungkal ke dalam percobaan, tapi lagaknya mirip pula seseorang yang takut menginjak mati seekor semut.
Kalau dilihat dari caranya berjalan, mungkin sampai besok sorepun tak nanti bisa menuruni bukit tersebut.
Tiba-tiba Kwik Tay-lok tak kuat menahan diri lagi, dia lantas berseru lantang:
"Tunggu sebentar !"
"Tak usah di tunggu lagi" jawab orang berbaju hitam itu tanpa berpaling lagi. "Kenapa ?"
"Kalau toh tempat ini kurang leluasa, aku pun tak berani memaksanya lebih lanjut." Selesai mengucapkan perkataan itu, dia tak lebih baru berjalan dua langkah saja. Sambil tertawa Kwik Tay-lok lantas berkata.
"Siapa bilang kalau tempat ini kurang leluasa ? Delapan ratus li disekitar tempat ini tak akan ada tempat yang suka menerima tamu seperti tempat ini, silahkan masuk, silahkan masuk !"
Orang berbaju hitam itu masih ragu-ragu, lewat lama kemudian pelan-pelan dia baru berpaling.
Kwik Tay-lok kembali menunggu cukup lama, setelah itu dia baru balik kembali ke depan pintu gerbang, katanya:
"Kau menyuruh aku masuk ke dalam?"
Diapun berbicara dengan suara yang sangat lamban, penggunaan kata-katapun amat sedikit, kalau orang lain harus membutuhkan sepuluh patah kata untuk menyelesaikan serangkai perkataan, maka dia paling banter hanya menggunakan enam tujuh patah kata saja.
"Betul, silahkan masuk " kata Kwik Tay lok. "Tidak menyesal ?"
Kwik Tay-lok segera tertawa:
"Mengapa aku harus menyesal? jangankan kau hanya menginap semalam saja di sini, sekalipun ingin berdiam selama tiga atau lima bulanpun, kami tetap akan menyambutmu dengan segala senang hati."
Kembali keriangan dan kehangatannya muncul kembali di wajah pemuda ini. "Terima kasih."
Akhirnya dia masuk ke dalam halaman dengan langkah pelan, sorot matanya hanya memperhatikan jalanan yang terbentang di hadapannya, tempat yang lain hampir tidak diperhatikannya sama sekali.
Yan Jit dan Ong Tiong sedang mengawasi orang itu dari balik jendela, mimik wajah kedua orang inipun sama-sama memperlihatkan rasa kaget bercampur tercengang.
Orang berbaju hitam itu berjalan menelusuri serambi panjang dan berhenti.
"Silahkan masuk untuk minum arak barang dua cawan!" kata Kwik Tay-lok sambil tertawa. "Tidak !"
"Kau tak pernah minum arak?" "Kadangkala minum."
"Kapan baru minum?" "Sehabis membunuh orang."
Kwik Tay-lok menjadi tertegun, segera gumamnya:
"Kalau begitu, lebih baik kau tak usah minum arak saja."
Kemudian dia sendiripun merasa geli sekali setelah membayangkan kembali perkataannya itu.
Kwik sianseng ternyata menganjurkan orang jangan minum arak, baru pertama kali ini dia berbuat demikian.
Orang berbaju hitam itu berdiri didalam serambi dan tidak bergerak lagi.
"Dibagian belakang sana terdapat kamar tamu, kalau memang tak ingin minum arak, silahkan masuk ke dalam." kata Kwik Tay-lok.
"Tidak usah."
"Tidak usah ?" seru Kwik Tay-lok lagi agak tertegun, "tak usah apa maksudmu ?" "Tak usah menuju ke kamar tamu."
"Masa kau ingin tidur di sini ?" "Benar !"
Agaknya dia merasa segan untuk mengajak Kwik Tay-lok berbicara lagi, pelan-pelan dia memejamkan matanya dan bersandar di atas sebuah tiang di depan ruang serambi.
Tak tahan Kwik Tay-bok berseru lagi:
"Kalau memang kau ingin tidur di sini, kenapa tidak berbaring di lantai. ?"
"Tidak usah."
"Tidak usah berbaring ?" "Benar."
"Apakah kau. kau hendak tidur sambil berdiri?"
"Benar."
Kwik Tay-lok tak bisa berbicara lagi, kalau dilihat dari perubahan mimik wajahnya itu maka seakan-akan dia sedang menyaksikan seekor kuda yang pandai berbicara....
"Kuda tak bisa berbicara !"
"Tapi hanya kuda yang tidur berdiri." "Apakah dia seekor kuda ?"
"Bukan."
"Menurut pendapatmu siapakah orang itu." "Lamkiong Cho !"
Yan Jit manggut-manggut, baru pertama kali ini dia menyetujui dengan pendapat dari Kwik Tay-lok.
Orang berbaju hitam itu bersandar di atas tiang penyanggah ditengah serambi, dia seakan- akan betul-betul sudah tertidur, tubuhnya seakan-akan pula tonggak kayu penyanggah tersebut, mana lurus, tegak, dingin, kaku, tanpa reaksi dan tanpa perasaan.
Kwik Tay-Iok menghela napas, katanya:
"Andaikata orang ini bukan Lamkiong Cho, di dunia ini mungkin tiada orang lain lagi yang dinamakan Lamkiong Cho."
Tiba-tiba Ong Tiong berkata:
"Entah dia itu kuda juga boleh, Lamkiong Cho juga boleh, kedua-duanya tiada sangkut paut apapun dengan kita."
"Ada !" kata Kwik Tay-lok. "Hubungan apa?"
"Manusia seperti Lamkiong Cho, tak mungkin dia akan kemari, jika tanpa suatu tujuan." "Kenapa dia tak boleh kemari?"
"Kenapa pula dia harus kemari ?"
"Setiap macam manusia, bila malam sudah tiba, ia pasti akan mencari tempat untuk tidur." "Jadi kau menganggap dia datang untuk tidur ?"
"Sekarangpun dia sedang tidur."
"Tidur macam begini bisa dilakukannya di tempat manapun juga, mengapa ia justru datang kemari dan tidur di sini ?"
"Terlepas apakah tujuan kedatangannya, tapi yang jelas pada saat ini ia sedang tidur, maka dari itu. "
"Maka dari itu kenapa ?"
"Maka dari itu kitapun harus pergi tidur." Inilah keputusan yang diambilnya.
Maka dari itu diapun pergi tidur.
Bila Ong Tiong sudah mengatakan akan pergi tidur, maka apapun yang kau suruh dia lakukan, tak mungkin akan dia lakukan dengan begitu saja....
Namun Kwik Tay-lok masih berdiri di depan jendela dan mengawasi orang baju hitam. "Mengapa kau tidak pergi tidur ?" Yan Jit segera menegur.
"Aku ingin tahu, apakah dia benar-benar bisa tidur, bisa tidur berapa lama ?" Sambil menggigit bibir Yan Jit berseru:
"Tapi kamar ini toh kamarku, aku hendak tidur."
"Tidur saja di situ, aku toh tak akan membangunkan dirimu." "Tidak bisa."
"Kenapa tidak bisa ?"
"Bila ada orang lain didalam kamarku, aku tidak bisa tidur." Kwik Tay-lok segera tertawa.
"Bila kau mempunyai bini di kemudian hari, apakah kau juga akan mempersilahkan dirinya untuk tidur didalam kamar lain ?"
Paras muka Yan Jit kelihatan agak memerah, dengan mata mendelik dia membentak: "Dari mana kau bisa tahu kalau aku pasti akan mempunyai bini ?"
"Sebab di dunia ini hanya terdapat dua macam manusia yang tak akan mempunyai bini." "Dua macam manusia apa saja ?"
"Pertama adalah hwesio dan kedua adalah seorang banci yang laki tidak laki, perempuan tidak perempuan, tentunya kau tidak termasuk kedua macam jenis manusia itu bukan?"
Yan Jit kelihatan agak merah, lalu serunya:
"Sekalipun aku akan mencari bini, juga tak akan mencari seorang lelaki busuk macam kau."
Sebenarnya dia merasa agak marah, tapi entah mengapa, sebelum ucapan itu selesai di ucapkan, paras mukanya malah sudah berubah menjadi memerah lebih dulu.
Mendadak Kwik Tay-lok menarik tangannya sambil berbisik:
"Coba kau lihat, apakah yang berada di atas dinding itu ?"
Baru saja Yan Jit akan melepaskan diri dari cekalannya, ia telah menyaksikan ada sebuah batok kepala yang menongol keluar dari balik dinding di seberang sana.
Malam sudah semakin kelam.
Iapun tidak sempat melihat jelas bagaimanakah tampang wajah orang itu, hanya terasa olehnya ada sepasang mata yang tajam dan bersinar terang sedang celingukan kesana kemari.
Untung saja di dalam ruangan tak ada lampunya, maka orang itupun tidak sempat melihat mereka.
Sesudah celingukan sekejap di sekeliling tempat itu, mendadak dia menarik kembali kepalanya.
Kwik Tay-lok segera tertawa dingin bisiknya:
"Coba kau lihat, dugaanku tak salah bukan, selain orang ini tidak mengandung maksud baik, lagi pula bukan hanya dia seorang yang datang kemari."
"Kau anggap dia datang lebih dulu ke tempat ini sebagai seorang mata-mata ?" "Sudah pasti begitu."
Meskipun orang berbaju hitam itu masih berdiri di sana, namun tubuhnya sama sekali tak berkutik, namun Yan Jit pun tanpa terasa di bikin terpesona untuk mengawasinya.
Belum juga ada suatu gerakan apapun.
Semakin tiada suatu pergerakan, kadangkala hal mana justru merupakan suatu ancaman yang mengerikan.
Sekalipun Yan Jit benar-benar ingin tidur mungkin dia akan melupakan keinginannya itu sekarang.
Entah berapa saat kemudian, mendadak terdengar Kwik Tay-lok bergumam seorang diri: "Heran, heran, sungguh mengherankan."
"Apanya yang mengherankan ?"
"Kenapa badanmu sama sekali tidak bau busuk ?"
Sekarang Yan Jit baru merasa kalau dia berdiri begitu dekatnya dengan Kwik Tay-lok sehingga hampir saja bersandar di dalam rangkulan Kwik Tay-lok.
Untung saja didalam kamar tiada cahaya lampu, sehingga tak terlihat bagaimanakah mimik wajahnya ketika itu.
Dengan cepat dia mundur dua langkah, kemudian katanya sambil menggigit bibir: "Dapatkah aku tidak bau busuk ?"
"Tidak dapat" "Kenapa ?"
"Sebab aku tidak pernah melihat kau mandi, juga tak pernah menyaksikan kau berganti pakaian, semestinya badanmu baunya busuk setengah mati"
"Takut?"
"Kentut lebih busuk lagi baunya" serta Kwik Tay-lok sambil tertawa.
Dengan gemas Yan Jit melotot sekejap ke arahnya, dia seperti ingin sekali menampar wajahnya, untung saja pada saat itu terlihat ada sesosok bayangan manusia yang berke-lebat lewat di luar dinding pekarangan de-ngan suatu gerakan yang enteng dan cepat.
Tentu saja orang itu tidak bisa melayang sedemikian cepatnya, tapi kenyataannya dia sangat enteng, sekali melompat tiga kaki bisa dilampaui, sewaktu mencapai di atas tanah, juga tidak menimbulkan suara barang sedikitpun juga.
Bukan saja badannya sangat enteng, diapun luar biasa kurus kecilnya, sehingga pada hakekatnya tidak jauh berbeda dengan perawakan tubuh seorang bocah.
Namun di atas wajahnya telah tumbuh jenggot yang cukup panjang, bahkan hampir bersatu dengan rambutnya yang awut-awutan tak karuan, sebagian besar wajahnya tertutup semua sehingga hanya kelihatan sepasang matanya yang jauh lebih licik dari pada sepasang mata rase tua.
Dia celingukan kembali di sekeliling tempat itu, akhirnya sorot mata tersebut terhenti di atas wajah manusia berbaju hitam itu.
Si orang berbaju hitam itu masih juga belum bergerak, sepasang matanya juga sama sekali tidak dipentangkan.
Mendadak kakek ceking tadi menggerakkan tangannya memberi tanda, dari luar dinding pekarangan segera melayang masuk kembali tiga sosok bayangan manusia.
Ketiga orang ini mempunyai perawakan badan yang tinggi besar, namun ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya tidak lemah, ketiga orang itu semuanya mengenakan pakaian ringkas berwarna hitam gelap, ditangan masing-masingpun menggembol senjata tajam.
Orang pertama menggunakan senjata Poan-koan-pit, orang kedua menggunakan pedang berbentuk busur, sedang orang ketiga menggunakan tombak berantai panjang, sebaliknya si kakek ceking itu menggunakan sepasang senjata gelang..
Ke empat macam senjata itu merupakan senjata-senjata luar biasa yang tajam dan sukar untuk digunakan.
Biasanya orang yang bisa menggunakan senjata rahasia aneh semacam itu pasti memiliki ilmu silat yang luar biasa..
Namun orang berbaju hitam itu masih berdiri tak berkutik di situ, bahkan sedikit reaksi pun tak ada.
Sikap ke empat orang itu menjadi tegang sekali, sepasang matanya mengawasi tubuh orang berbaju hitam itu tanpa berkedip, kemudian selangkah demi selangkah dia maju mendekatinya, jelas setiap saat mereka mungkin akan melancarkan serangan mematikan yang akan merenggut selembar jiwanya.
Kwik Tay-lok memandang sekejap ke arah Yan Jit, katanya: "Ternyata mereka tidak berasal dari satu aliran yang sama" Yan Jit segera manggut-manggut.
Kedua orang itu sama-sama tak berkutik ditempat persembunyiannya, sementara dalam hatinya mempunyai tekad yang sama, mereka ingin tahu bagaimana caranya ke empat orang pencoleng tersebut menghadapi si orang berbaju hitam yang misterius tersebut.
Siapa tahu pada saat itulah pintu gerbang dibuka orang.
Sebetulnya Kwik Tay-lok masih ingat dengan jelas kalau pintu gerbang itu sudah dikunci dari dalam, sekarang entah apa sebabnya ternyata bisa membuka sendiri tanpa menimbulkan sedikit suarapun.
Seseorang yang menggunakan jubah panjang berwarna hijau, sambil menggoyangkan kipasnya sambil berjalan masuk ke dalam.
Ia mengenakan baju yang amat mewah dan perlente, sikapnya amat santai, sikapnya persis seperti seorang kongcu yang gemar pelesiran.
Akan tetapi, ketika Kwik Tay-lok memperhatikan raut wajahnya itu, dia menjadi terperanjat sekali.
Pada hakekatnya raut wajah kongcu tersebut bukan raut wajah seorang manusia, bahkan topeng setan yang berada dalam kuil kaum Lhama di wilayah Tibet pun tak akan menakutkan seperti wajah orang ini.
Sebab raut wajah tersebut benar-benar merupakan selembar wajah yang hidup, lagi pula muka itu sama sekali tidak berperasaan.
Semacam raut wajah yang membikin orang menjadi terkesiap dan ngeri setelah melihatnya apalagi berada di tengah kegelapan malam seperti sekarang ini.
Andaikata Kwik Tay-lok tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, ia tak akan percaya kalau di dunia ini terdapat seorang manusia yang memiliki raut wajah sedemikian buruk dan menakutkannya.
Sampai detik itu, ternyata ke empat orang manusia bersenjata aneh itu masih belum merasakan kehadiran seorang manusia lagi ditempat itu.
Langkah kaki dari orang berbaju hijau itu enteng sekali sehingga seakan-akan tidak menempel di atas permukaan tanah, dengan enteng sekali dia melayang ke belakang punggung orang yang bersenjata poan-koan-pit itu, lalu menjawil bahu orang itu dengan kipasnya.
Seperti seekor kelinci yang kena di panah, dengan terperanjat orang itu melejit ke udara karena kaget, kemudian berjumpalitan beberapa kali dan melayang turun disamping kakek ceking tersebut.
Sekarang mereka baru tahu kalau ada seorang manusia berbaju hijau telah muncul di tempat itu, rasa kaget bercampur ngeri dengan cepat menghiasi raut wajah mereka.
Kwik Tay-lok dan Yan Jit kembali saling berpandangan mata. "Ternyata orang-orang itu bukan berasal dari satu aliran yang sama"
Orang-orang itu seperti lagi memerankan suatu sandiwara bisu saja, tiada seorang manusiapun yang bersuara, tapi segala sesuatunya berlangsung amat misterius dan merangsang perasaan.
Orang berbaju hijau itu masih menggoyangkan kipasnya, sedang sikap yang amat santai.
Sedang ke empat orang manusia bersenjata aneh itu kelihatan semakin menegang, senjata tajam yang mereka pegangpun digenggam semakin kencang.
Tiba-tiba orang berbaju hijau itu menggunakan kipasnya kemudian ke arah mereka lalu, menuding pula keluar pintu.
Artinya mereka dipersilahkan untuk meninggalkan tempat itu.
Ke empat orang manusia yang bersenjata aneh itu saling berpandangan sekejap, kakek itu menggertak bibirnya lalu menggelengkan kepalanya, sedangkan gelangnya dipakai untuk menuding ke arah gedung tersebut, lalu menuding pula ke arah diri sendiri.
Artinya: "Tempat ini merupakan wilayah operasi kami, kami tak akan keluar dari sini." Tiba-tiba manusia berbaju hijau itu tertawa.
Siapa saja tak mungkin akan bisa menyaksikan senyuman semacam ini. .
Siapa saja yang menyaksikan senyuman semacam itu, maka bulu kuduknya pasti berdiri semua.
Ke empat orang bersenjata aneh itu mulai menggerakkan langkah kakinya dan berdiri menjadi satu, peluh dingin membasahi seluruh tubuh mereka....
Sekali lagi orang berbaju hijau itu menuding ke arah senjata mereka seakan-akan sedang berkata:
"Lebih baik kalian maju bersama saja !"
Ke empat orang itu saling berpandangan sekali lagi seperti telah bersiap sedia untuk turun tangan, tapi pada saat itulah si orang berbaju hijau itu tahu-tahu sudah berada di hadapan mereka.
Dengan mempergunakan kipasnya dia mengetuk kepala orang yang bersenjata tombak berantai itu dengan pelan.
Ketukan tersebut kelihatannya tidak terlalu keras.
Akan tetapi orang itu segera roboh terkapar di atas tanah dengan tubuh yang lemas sekali, sebuah batok kepalanya yang besar dan keras kini sudah hancur berantakan, darah dan isi benak berhamburan kemana-mana tampak mengerikan sekali dalam kegelapan malam yang mencekam.
Ketika orang itu roboh terkapar, si orang yang bersenjata pedang berbentuk busur telah melepaskan sebuah tusukan kilat ke arah dada orang berbaju hijau itu.
Serangan pedangnya itu enteng, gesit, licin, buas dan cepat.
Tapi sayang orang berbaju hijau itu bergerak jauh lebih cepat lagi.
Tahu-tahu tangannya digerakkan ke depan, kemudian terdengar "Kreek !" dan selanjutnya terdengar suara "Kreek !" sekali lagi.
"Triiing...!" Pedang berbentuk busur itu sudah patah dan terjatuh ke tanah, sedangkan tulang pergelangan tangannya juga kena diremuk sehingga tinggal selapis kulit saja.
Sebenarnya dia masih berdiri tegak ditempat itu, akan tetapi setelah menyaksikan keadaan dari tangannya itu, mendadak ia jatuh tak sadarkan diri.
Semua kejadian itu berlangsung dalam sekejap mata.
Dalam pada itu kedua orang itu lainnya sudah dibikin ketakutan setengah mati sehingga paras mukanya berubah menjadi pucat pias seperti mayat, sepasang kaki menggigil keras tiada hentinya.
Untung saja kakek itu masih sanggup untuk menahan diri, mendadak dia membungkukkan badannya di hadapan orang berbaju hijau itu, kemudian menuding ke luar pintu dengan senjata gelangnya.
Siapapun dapat melihat kalau dia sudah menyerah kalah dan bersiap-siap untuk meninggalkan tempat itu.
Orang berbaju hijau itu segera tertawa, kemudian manggut-manggut berulang kali.
Kedua orang itu segera menggotong mayat kedua orang rekannya dan buru-buru keluar dari situ dengan langkah lebar.
Siapa tahu, baru saja mereka tiba di luar pintu, orang berbaju hijau itu sudah berkelebat ke depan dan tahu-tahu telah tiba di luar pintu.
Apa yang kemudian terjadi di luar pintu tidak sempat dilihat oleh Kwik Tay-lok, dia hanya mendengar dua kali jeritan ngeri yang menyayat hati bergema memecahkan keheningan.
Menyusul kemudian ada dua macam benda yang di lempar masuk dari luar pintu, itulah sepasang senjata poan-koan-pit serta sepasang senjata gelang baja.
Tapi senjata poan-koan-pit tersebut telah patah menjadi empat bagian, sedangkan gelang baja itupun sudah melengkung tak karuan bentuknya, sehingga sama sekali tidak berbentuk gelang lagi.
Kwik Tay-Iok segera menghembuskan napas dingin, ia lantas berpaling memandang Yan Jit. Yan Jit sendiripun menunjukkan perasaan kaget bercampur ngeri yang amat tebal.
Bukan saja orang berbaju hijau itu memiliki ilmu silat yang luar biasa lihaynya, diapun seorang gembong iblis berhati sesat yang buas keji dan tidak berperi-kemanusiaan.
Yang paling menakutkan adalah caranya membunuh orang, pada hakekatnya seperti orang lagi memotong sayur saja.
Setiap orang yang sempat menyaksikan caranya membunuh orang, tak ingin mengucurkan keringat dinginpun tak bisa.
Tapi orang berbaju hitam itu masih tetap berdiri tak berkutik ditempat semula, sekalipun pembunuhan kejam sedang berlangsung di depan matanya, namun sama sekali tiada reaksi apapun darinya.
Seakan-akan kendatipun semua orang yang ada di dunia ini mati semua pun, dia tak akan memperlihatkan reaksi apapun.
Sementara itu, si orang berbaju hijau itu sudah berjalan masuk kembali ke dalam halaman dalam dengan langkah yang santai, kipasnya digoyangkan pelan-pelan, sikapnya yang begitu tenang seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu apapun di sana.
Bila orang yang bisa melihat kalau barusan saja dia habis membunuh empat orang sekaligus maka hal ini merupakan suatu kejadian yang aneh sekali.
Dengan sengaja tak sengaja dia melirik sekejap ke arah daun jendela dimana Kwik Tay-lok sekalian berada, namun langkahnya masih dilanjutkan langsung menuju ke hadapan orang berbaju hitam itu.
Di depan beranda terdapat beberapa sap undak-undakan batu.
Ia naik sampai undak-undakan tingkat ke dua, lalu berhenti dan mengawasi orang berbaju hitam itu tanpa berkedip.
Mendadak Kwik Tay-lok menyaksikan orang berbaju hitam itu entah sedari kapan telah membuka sepasang matanya, waktu itu diapun sedang mengawasi wajahnya:
Kedua orang itupun saling berpandangan tanpa berkedip, tampaknya memang agak aneh dan menggelikan.
Akan tetapi Kwik Tay-lok sama sekali tidak merasa geli, malahan telapak tangannya sudah basah oleh keringat.
Bukan telapak tangan saja, bahkan sekujur badannya telah bermandikan keringat dingin. Kembali lewat beberapa saat lamanya mendadak orang berbaju hijau itu berkata: "Barusan si burung jahat Khong Tong telah membawa saudara-saudaranya berkunjung
kemari"
Inilah untuk pertama kalinya dia berbicara, ternyata bukan saja sikapnya amat santai dan romantis, nada suaranya juga kedengaran enak didengar....
Asal tidak memperhatikan raut wajahnya, tapi hanya mendengar suaranya dan melihat gayanya, dia benar-benar seorang kongcu yang amat menarik hati.
"Hm !" orang berbaju hitam itu mendengus.
"Aku kuatir mereka telah mengganggu impianmu yang indah, maka dari itu telah ku usir orang- orang itu."
"Hmm !"
"Apakah kau sudah tahu kalau mereka akan datang kemari, maka sengaja mendahuluinya untuk menunggu kedatangan mereka di sini?"
"Mereka masih belum pantas !"
"Benar, orang-orang itu memang belum pantas untuk menyuruhmu turun tangan sendiri, tapi siapa yang sedang kau nantikan ?"
"Kui kongcu !"
Orang berbaju hijau itu segera tertawa.
"Aaah. tak kusangka kau begitu memandang tinggi diriku, hal ini benar-benar merupakan
suatu kebanggaan bagi kami."
Ternyata orang ini bernama Kongcu setan.
Kwik Tay-lok merasa nama tersebut memang cocok sekali dengan kenyataannya. Tapi siapa pula orang berbaju hitam ini?
Apakah dia adalah Lamkiong Cho ?
Kenapa dia harus menantikan kedatangan Kui-kongcu tersebut di tempat ini ? Terdengar si Kongcu setan berkata lagi:
"Kalau toh kau bisa menantikan kedatanganku di sini, apakah kau sudah mengetahui pula maksud kedatanganku ?"
"Hm !"
"Dulu kita pernah saling bersua, kedua belah pihak selalu teramat sungkan." "Kau memang sungkan."
"Benar, aku tentu saja bersikap sungkan kepadamu." kata kongcu setan sambil tertawa.
"Tapi kau justru pernah memberi kesulitan bagiku." "Hmm !"
"Kali ini aku berharap kita bisa berjumpa dengan sungkan dan berpisah lagi dengan sungkan." "Hmm !"
"Aku hanya ingin mengajukan beberapa buah pertanyaan saja kepada tuan rumah di sini, kemudian segera pergi."
"Tidak boleh !"
"Hanya menanyakan dua patah kata ?" "Tidak boleh ?"
Ternyata sikap Kui kongcu masih juga amat sungkan, katanya kemudian sambil tersenyum: "Kenapa tidak boleh, apakah kau adalah sahabatnya tuan rumah gedung ini ?"
"Bukan."
""Tentu saja bukan." seru Kui-kongcu sambil tertawa, "kau seperti juga aku, selamanya tak pernah mempunyai teman."
"Hmm !"
"Kalau toh mereka bukan temanmu, kenapa kau harus mencampuri urusan ini ?" "Sebab aku telah mengurusinya !"
Mencorong sinar tajam dari balik mata Kui kongcu, serunya kembali: "Apakah kaupun mempunyai tujuan yang sama dengan diriku." "Hmm !"
"Uang milik Cui-mia-hu apakah berada di sini atau tidak masih merupakan suatu tanda tanya besar, mengapa belum apa-apa kita harus ribut lebih dahulu ?"
"Enyah kau dari sini !"
"Aku tak akan enyah dari sini." Kui kongcu masih juga tertawa. "Kalau tidak enyah berarti mampus !"
"Siapa hidup siapa mati masih suatu tanda tanya besar, kenapa pula kau mesti turun tangan ?"
Tampaknya dia sama sekali tidak mempunyai kobaran api amarah dalam hatinya, selalu bersikap acuh tak acuh dan seenaknya sendiri.
Entah siapa pun yang memandang sikapnya itu, tak akan dijumpai sikap seorang yang siap melancarkan serangan.
Tapi Kwik Tay-lok serta Yan Jit yang berada di balik jendela sebelah sana mendadak berseru hampir bersama:
"Coba lihat, orang itu hendak turun tangan."
Betul juga, belum habis perkataan itu diucapkan, Kui-kongcu benar-benar telah melancarkan serangan.
Tapi pada saat yang bersamaan pula, orang berbaju hitam itu sudah mengangkat tangannya dan menggenggam gagang pedang di atas bahunya.
Kedua belah tangannya yang terangkat ke atas menyebabkan pertahanan tubuh bagian depannya menjadi sama sekali terbuka lebar, seperti sebuah kota benteng tanpa penjagaan yang siap menantikan serbuan pasukan musuh.
Senjata kipas milik Kui kongcu itu sebenarnya menggunakan jurus Poan-koan-pit untuk menotok jalan darah Hian-ki-hiat di atas dada lawan, tapi pada saat itulah mendadak kipas
tersebut direntangkan, kemudian dengan menggeser ke samping, langsung menusuk tenggorokan dari arah bawah perut.
Perubahan semacam itu tampaknya saja seperti tiada sesuatu keistimewaan apapun, padahal diantara gerakan tersebut justru terjadi perubahan yang drastis sekali, selain arah sasaran, jurus serangan mengalami perubahan besar, malah senjata kipas yang digunakanpun seakan-akan telah berubah menjadi sejenis senjata yang lain.
Tindakan tersebut membuat serangan yang semula berupa totokan menjadi suatu sapuan kilat, serangan yang mengarah suatu tempatpun berubah menjadi suatu sapuan. Sedemikian sempurna dan luar biasanya perubahan itu membuat pihak lawan sama sekali tidak menduganya.
Waktu itu si orang berbaju hitam itu masih bersandar di atas tonggak penyanggah, tempat itu pada dasarnya merupakan suatu sudut mati yang tak mungkin bisa dipakai untuk berkelit.
Apalagi sepasang tangannya terangkat ke atas semua sehingga pertahanan bagian depannya sama sekali terbuka, asal orang yang mengerti akan ilmu silat, sudah pasti tak akan memilih posisi seperti itu, apalagi memilih gaya pertahanan semacam itu.
Pedangnya enam depa panjangnya, dalam keadaan demikian mustahil ia sanggup untuk mencabut keseluruhannya.
Bagi orang lain, mungkin hal mana sulit untuk dilakukan sebagaimana mestinya. Namun orang berbaju hitam itu benar-benar memiliki kelebihan yang luar biasa.
Bila seseorang sampai memilih suatu posisi yang begitu jelek serta suatu gaya serangan yang begitu jelek untuk bertarung melawan orang, bila ia bukan seorang manusia tolol, itu berarti dia mempunyai suatu cara istimewa untuk menghadapinya.
Sewaktu kipas Kui kongcu menyambar ke depan, tiba-tiba orang berbaju hitam itu memutar badannya dengan merubah posisinya berhadapan dengan tonggak penyanggah, seakan-akan dia hendak berpelukan dengan tonggak tersebut.
Walaupun serangan pertama yang amat dahsyat tersebut berhasil dihindari, tapi sekarang justru punggungnya malah sama sekali terbuka.
Cara semacam ini boleh dibilang luar biasa bodohnya.
Jangankan orang lain, bahkan Kui kongcu sendiripun dibikin tertegun oleh sikap musuhnya itu.
Sejak terjun ke arena dunia persilatan sampai sekarang, paling tidak sudah dua tiga ratus kali dia bertarung melawan orang, tentu saja diantara kawanan jago yang pernah dihadapinya terdiri dari beraneka ragam manusia, ada yang lihay, ada pula yang tidak lihay.
Tapi manusia bodoh semacam itu, boleh dibilang baru dijumpai untuk pertama kalinya.
Siapa tahu, pada saat itulah mendadak orang berbaju hitam itu mendorong tonggak kayu itu sekuat tenaga, sepasang kakinya pun bersamaan waktunya di jejakkan ke atas tonggak kayu, bagian perutnya ditarik ke belakang sementara pinggulnya menonjol ke belakang.
Secepat sambaran kilat orang itu menyusup ke belakang, seluruh badannya tiba-tiba terpatah menjadi dua bagian sehingga bagian kaki dan tangannya menjadi menempel satu sama lainnya.
Pada saat itulah cahaya pedang berkelebat lewat.
Sebilah pedang yang enam depa panjangnya itu tahu-tahu sudah diloloskan dari dalam sarungnya.
Cara meloloskan pedang semacam itu bukan cuma aneh saja, bahkan terasa luar biasa sekali.
Ketika Kui kongcu berputar badan siap melancarkan sergapan, mendadak ia menemukan ujung pedang lawan telah tertujukan di atas dadanya.
Sekujur badan orang berbaju hitam itu hampir semuanya berada di belakang pedang itu, bahkan setitik tempat kosongpun tidak ditemukan..
Suatu cara yang terbodoh secara tiba-tiba saja berubah menjadi suatu cara yang jitu dan mematikan.
Secara tiba-tiba pula Kui Kongcu menemukan bahwa ia sama sekali tidak memiliki kesempatan lagi untuk melancarkan serangan balasan.
Terpaksa dia harus mundur, badannya berkelebat dan mundur ke belakang tonggak kayu itu.
Tonggak kayu itu berbentuk bulat, sedang pedang si orang berbaju hitam itu amat panjang, tak mungkin ia akan mengitari tonggak kayu tersebut untuk mengejar dirinya.
Asal dia menempelkan badannya di belakang tonggak kayu itu, maka tak mungkin pedang si orang berbaju hitam itu dapat menusuk tubuhnya.
Dengan demikian diapun bisa menunggu kesempatan kedua untuk melancarkan serangan yang mematikan.
Itulah taktik mencari kemenangan ditengah kekalahan, suatu taktik mencari hidup di tengah kematian, biasanya taktik semacam itu luar biasa sekali hasilnya.
Kui Kongcu menempelkan badannya di atas tonggak kayu sambil menunggu orang berbaju hitam itu memutar ke hadapannya.
Akan tetapi orang berbaju hitam yang berada di ujung tonggak lain sama sekali tidak memberikan reaksi apapun juga.
Apakah dia pun sedang menunggu kesempatan ?
Diam-diam Kui kongcu menghembuskan napas lega, ia tidak takut menunggu, tidak takut mengulur waktu, pokoknya sekarang dia sudah berada pada posisi yang tak terkalahkan.
Bila orang berbaju hitam itu ingin melancarkan serangan, maka dia harus memutar satu lingkaran besar, sedangkan ia sendiri asal menempel di atas tonggak kayu dengan membuat suatu geseran kecil saja maka serangan akan bisa dihindari.
Lagi pula dalam penggunaan tenaga, selisih diantara mereka hampir mencapai tiga empat kali lipat.
Maka tak akan menunggu terlampau lama lagi, kekuatan tubuh orang berbaju hitam itu pasti akan bertambah lemah, itu berarti kesempatan baginya telah tiba.
Perhitungan tersebut sudah dia susun dengan rapi dan sangat jelas, maka dari itu dia pun merasa lega sekali.
Mendadak ia mendengar suara ketukan pelan di belakang tonggak kayu itu, seperti ada burung sedang mematuk dahan kayu.
Ia sama sekali tidak memperhatikannya dengan serius...
Tapi, pada saat itulah mendadak dia merasakan punggungnya menjadi dingin sekali.
Menanti dia merasakan keadaan yang tidak menguntungkan, tahu-tahu sebuah benda yang keras, dingin, dan kaku telah menembusi punggungnya.
Menyusul kemudian dia menyaksikan ada semacam benda yang menembusi ke luar dari depan dadanya.
Itulah ujung pedang yang bersinar hitam.
Darah segar meleleh keluar dari ujung pedang tersebut dan membasahi seluruh permukaan tanah.
Bila secara tiba-tiba kau menyaksikan ada sebuah ujung pedang menembus keluar dari dadamu, bagaimanakah perasaanmu ketika itu?
Perasaan tersebut jarang sekali ada yang bisa ikut merasakannya.
Ketika menyaksikan ujung pedang tersebut, mimik wajah Kui kongcu seakan-akan menjadi kaget bercampur tercengang, tapi seperti pula sedang menyaksikan suatu kejadian yang sangat aneh dan menarik hati.
Dengan termangu-mangu ditatapnya benda itu tak berkedip, kemudian secara tiba-tiba wajahnya berubah menjadi kaku, mengejang keras dan diliputi perasaan ngeri, mulutnya terbuka lebar seperti hendak berteriak dengan sepenuh tenaga.
Namun tiada suara yang bisa keluar lagi, secara tiba-tiba sekujur badannya menjadi dingin dan kaku.
Hampir seluruhnya menjadi beku.
Dilihat dari kejauhan sana, seperti lagi termenung sambil mengawasi ujung pedang yang menembusi dadanya.
Darah kental masih meleleh keluar tiada hentinya dari ujung pedang tersebut. Menetesnya makin lambat, makin lama semakin lambat.
Orangnya masih tetap mempertahankan posisi semula semacam posisi yang tak dapat dilukiskan keseraman serta kengeriannya.
Yan Jit melengos ke arah lain, ia tak tega untuk memandangnya lebih jauh.
Kwik Tay-lok sendiri, walaupun sepasang matanya terbelalak lebar-lebar, padahal dia sendiripun tidak menyaksikan apa-apa.
Adegan seram yang terjadi barusan telah membuatnya menjadi tertegun dan seperti kehilangan sukma.
Dengan jelas sekali dia menyaksikan orang berbaju hitam itu menghimpun tenaganya lalu menusuk tonggak kayu itu dengan pedangnya.
Diapun menyaksikan dengan amat jelas, ujung pedang itu menembusi tonggak kayu dan tiba- tiba tembus sampai di depan dada Kui kongcu.
Ia benar-benar tidak percaya kalau apa yang disaksikannya itu merupakan suatu kenyataan.
Kedengarannya mungkin susah untuk dipercaya, tapi bila kau menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, maka hal mana justru sukar untuk dipercayai.
Pedang apakah itu? Dan ilmu pedang apa pula yang dipergunakannya ? Kwik Tay-lok menghela napas panjang.
Menanti matanya dapat melihat benda lagi, ia saksikan entah sedari kapan orang berbaju hitam itu telah mencabut keluar pedangnya.
Tapi tubuh Kui kongcu masih berada di ujung pedangnya.
Waktu itu orang berbaju hitam tersebut sedang menggunakan ujung pedangnya untuk menahan mayat Kui kongcu dan pelan-pelan berjalan keluar dari sana.
Seorang manusia berbaju hitam yang tidak terlihat raut wajahnya menggembol sebilah pedang yang panjangnya enam depa.
Mata pedang tersebut bersinar hitam dan membawa sesosok mayat manusia berbaju hijau yang telah menjadi kaku.
Udara malam amat bersih, suasana dalam ruangan amat hening.
Seandainya apa yang tertera di depan mata hanya suatu lukisan belaka, maka siapa saja yang menyaksikan lukisan tersebut sudah pasti akan merasakan bulu kuduknya pada bangun berdiri.
Apalagi semua peristiwa tersebut bukan hanya suatu lukisan belaka.
Tiba-tiba Kwik Tay-lok merasa kedinginan, ia ingin mencari sebuah mantel untuk menutupi badannya.
Dia hanya berharap apa yang terjadi pada malam ini tak lebih hanya suatu impian buruk belaka.
Sekarang, ia telah mendusin dari impian tersebut.
Orang berbaju hitam itu telah pergi, di dalam halaman tiada seorang manusiapun. Masih tetap di dalam halaman yang sama dan malam yang sama pula.
Kwik Tay-lok menghela napas panjang, gumamnya:
"Bila orang-orang yang datang berkunjung sekarang bisa mengetahui apa yang baru terjadi ditempat ini, aku akan memujinya setinggi langit. "
Tiba-tiba Ong Tiong bertanya:
"Apa sih yang telah terjadi di sini ?" "Masa kau tidak tahu ?"
"Tidak tahu."
"Apakah tadi tak pernah terjadi sesuatu peristiwa ditempat ini. ?"
"Tidak ada."
Kwik Tay-lok segera tertawa, serunya:
"Benar, apa yang sudah lewat biarkan lewat, memang tak ada bedanya antara apa yang telah terjadi dan apa yang belum terjadi"
"Tepat sekali jawabanmu itu."
"Oleh karena itu, lebih baik kau tak usah banyak memikirkannya, banyak memikirkannya malah justru akan mendatangkan banyak kesulitan buat diri sendiri"
"Lagi-lagi jawabanmu tepat sekali"
"Kali ini tidak benar!" tiba-tiba Yan Jit menyela.
"Karena bagaimanapun kau berusaha untuk tidak memikirkan persoalan itu, dalam hatimu pasti akan terjadi rasa masgul"
"Kemasgulan apa?"
Yan Jit menghela napas panjang.
"Aaaai. sekarang aku belum dapat melihatnya, juga belum bisa menemukan, oleh karena itu
baru tahu kalau hal ini sudah pasti merupakan suatu kemasgulan yang teramat besar.
Tiba-tiba mereka serentak menutup mulutnya rapat-rapat.
Karena pada waktu itu, si orang berbaju hitam itu sudah masuk kembali ke dalam halaman, menaiki undak-undakan batu dan berdiri kembali di depan tonggak kayu.
Pedang yang berada dipunggungnya telah di sorenkan kembali. Tak tahan Kwik Tay-lok segera berseru:
"Aku akan pergi bertanya kepadanya !"
Tidak menanti orang lain buka suara, dia telah melompat keluar dari jendela dan menerjang ke muka...
Orang berbaju hitam itu sudah bersandar kembali di atas tonggak kayu, memejamkan matanya seperti telah tertidur kembali.
Sengaja Kwik Tay-Iok mendehem keras, mendehem sedemikian kerasnya sehingga tenggorokan tersebut benar-benar terasa agak gatal.
Saat itulah si orang berbaju hitam itu baru membuka matanya dan memandang ke arahnya dengan pandangan dingin.
"Tampaknya kau harus cepat-cepat pergi mencari seorang tabib untuk menyembuhkan batukmu itu" katanya dingin.
Kwik Tay-lok tertawa paksa, katanya:
"Aku tak usah mencari tabib, sebab aku sendiripun mempunyai obat yang paling mujarab untuk menyembuhkan penyakit batuk."
"Oooh. "