Jilid 07
PELAN-PELAN KWIK TAY-LOK berpaling dan menatap wajah Lim Tay-peng lekat- lekat.
Paras muka Lim Tay-peng amat tenang, sedikitpun tanpa perubahan emosi apapun. "Tadi kau telah berjumpa dengannya?" tanya Kwik Tay-lok lagi.
"Yaa !"
Tiba-tiba pemuda itu tertawa, serunya lagi:
"Lantas mengapa kau tidak membunuhnya tadi?"
Paras muka Lim Tay-peng masih belum menunjukkan perubahan apa-apa, seakan-akan wajahnya seperti menggunakan sebuah topeng saja.
Topeng berwarna hijau membesi, sehingga tampaknya agak menakutkan sekali. "Karena aku telah membunuhnya!" akhirnya sepatah demi sepatah dia menjawab.
Poci arak yang kosong itu telah diisi dengan arak baru, sebab Ong Tiong telah berpesan: "Jika menjumpai poci arak kami kosong, cepat penuhi dengan segera !"
Ternyata pelayan-pelayan dari rumah makan Kui-goan-koan tersebut amat menurut sekali dengan perkataan Ong Tiong.
Setiap orang membelalakkan matanya lebar-lebar untuk memperhatikan poci arak itu. Tiba-tiba Kwik Tay-lok tertawa lebar katanya:
"Arak bukan diminum dengan mata, mengapa harus dilihat terus dengan mata melotot?" "Sebab mulutku sedang repot!" jawab Yan Jit.
"Repot apa?"
"Repot untuk menelan kembali kata-kataku yang sudah keluar lewat tenggorokan."
Tamu sudah mulai berdatangan, tempat itupun sudah tidak leluasa lagi untuk digunakan sebagai tempat berbicara.
Kwik Tay-lok mengangkat cawan araknya untuk meneguk setegukan, lalu sambil meletakkannya kembali ke meja, dia berkata:
"Kwik toa-sauya memang jarang sekali bisa mentraktir orang. "
"Yaa, anggap saja kau yang beruntung kali ini, hayo kita pergi dari sini !"
Lim Tay-peng yang pertama-tama bangkit berdiri, ternyata Ong Tiong juga ikut bangkit. Kwik Tay-lok telah menyodorkan tangannya ke depan matanya.
Ong Tiong memandang sekejap ke arahnya lalu bertanya:
"Hey, apa yang ingin kau lakukan? Apakah hendak suruh aku untuk meramalkan nasibmu ?"
Kwik Tay-lok tertawa paksa, sahutnya:
"Tak usah diramalkan lagi, aku juga tahu kalau nasibku sudah ditakdirkan miskin sepanjang waktu, yang lebih payah lagi adalah aku cuma ingin mentraktir orang, tapi uang dalam saku rasanya sudah terbang semua meninggalkan tempat."
"Ooooh. rupanya kau hendak meminjam uang kepadaku untuk membayar rekening?"
Kwik Tay-lok mendehem beberapa kali. lalu berkata:
"Tahukah kau, semalam aku telah melakukan suatu pekerjaan yang amat menghamburkan uang ?"
Sebenarnya Ong Tiong ingin tertawa, tapi setelah memandang sekejap ke arah Lim Tay-peng, dia menghela napas panjang, katanya:
"Kau sudah salah mencari orang !"
"Jadi uangmu juga habis ?" seru Kwik Tay-lok dengan wajah tertegun. "Ehm. !"
"Uang. uangmu habis dimana ?"
"Semalam akupun telah melakukan suatu perbuatan yang sangat menghamburkan uang." "Apa yang telah kau lakukan?"
"Apakah di dunia ini ada pekerjaan lain yang jauh lebih menghamburkan uang daripada berjudi
?"
"Apa? Kau telah habis berjudi ? Kalah kepada siapa ?" "Dengan pelayan dari rumah makan ini."
Kwik Tay-lok tertegun untuk beberapa saat lamanya, kemudian tak tahan lagi dia tertawa tergelak.
"Haaahhh....haaahhh... haaahhh... tak heran kalau mereka begitu tunduk kepadamu, sudah barang tentu pelayan-pelayan ini selalu akan melayani orang yang setor uang kepada mereka dengan munduk-munduk, apalagi jangankan orang lain, sekalipun uang itu kau kalahkan di tanganku, akupun bisa melayanimu dengan baik"
"Tapi yang kalah bertarung bukan cuma aku seorang." "Lantas siapa lagi ?"
Ong Tiong memandang sekejap ke arah Lim Tay-peng, kemudian memandang juga ke arah Yan Jit.
Kwik Tay-lok segera melompat bangun, teriaknya: "Apakah uang kalian sudah kalah semua di meja judi ?"
Tak seorangpun menjawab, membungkam berarti membenarkan.
Kwik Tay-lok segera menjatuhkan diri duduk di kursi, kemudian tertawa getir, serunya: "Kalau begitu, bukankah pelayan-pelayan itu telah menjadi kaya mendadak?" "Merekapun tak bakal kaya, cepat atau lambat mereka bakal kalah ditangan orang lain." Pelan-pelan Kwik Tay-lok mengangguk, lalu gumamnya:
"Benar, apa yang datangnya terlalu mudah biasanya juga akan pergi dengan gampang." "Itulah sebabnya kita harus menyumbangkan sedikit derma bakti kita bagi masyarakat." "Mendarma baktikan apa ?"
"Biar uang itu mengalir lebih cepat, biar pasaran kota menjadi bertambah ramai, dengan begitu masyarakatnya baru akan maju dengan cepat."
Kwik Tay-lok berpikir sebentar, kemudian tertawa getir.
"Tampaknya apa yang kau katakan itu masuk diakal juga !" gumamnya. "Itulah sebabnya kau juga tak perlu bersedih hati."
"Kenapa, aku musti bersedih hati? Aku toh tidak kalah. "
"Maaf, kamilah yang telah membawa uangmu masuk meja judi dan akhirnya ludas pula ditangan mereka."
Kwik Tay-lok tertegun. Sebelum dia sempat mengucapkan sesuatu, Ong Tiong berkata lagi: "Sekalipun pousat tanah liat dalam kuil bobrok harus menemani orang tidur, dia pun tak akan
menarik ongkos."
Pelan-pelan sepasang mata Kwik Tay-lok berubah menjadi bundar, serunya tertahan:
"Jadi kalian sudah tahu semua....? Jadi kalian telah bersekongkol. ? Kalau begitu si pencopet
yang mencopet uangku adalah "
Tiba-tiba ia menuding hidung Yan Jit sambil berteriak keras:
"Kau !"
Kwik Tay-lok segera meraih kerah bajunya dan dicengkeram keras-keras, sambil menggigit bibir teriaknya:
"Mengapa kau lakukan perbuatan semacam ini?"
Yan Jit tidak menjawab, wajahnya tiba-tiba berubah menjadi agak semu merah. "Sesungguhnya ia berbuat demikian demi kebaikanmu" kata Ong Tiong hambar, "dia tak ingin
temannya kejangkitan penyakit sipilis!"
Pelan-pelan Kwik Tay-lok melepaskan cengkeramannya, lalu duduk di atas bangku, sambil meraba kepala sendiri gumamnya:
"Ooh Thian. ooh Thian, mengapa kau membiarkan aku bertemu dengan orang-orang
semacam ini?"
Tiba-tiba ia melompat bangun kemudian sambil menggigit bibir jeritnya melengking: "Kalau kalian sudah tahu bila kantong kita berempat sudah ludas semua, mengapa masih
makan minum sepuasnya di sini ?"
"Agar kau senang !"
"Agar aku senang?" Kwik Tay-lok tidak tahan lagi untuk menjerit sekeras-kerasnya.
"Tentu saja, bila seseorang sedang mengadakan pesta, dia pasti luar biasa senang, bukan begitu ?"
"Yaa, yaa, yaa... aku memang sangat gembira, aku betul-betul gembira sekali maknya....
saking gembiranya aku betul-betul ingin bunuh diri?" teriak Kwik Tay-lok sambil memegang kepalanya agar tidak turut berputar lantaran pening.
Tiba-tiba seorang pelayan berjalan menghampiri mereka, kemudian katanya dengan ramah: "Ong toako, kau tak usah risau karena soal rekening, rekening kalian sudah ada yang
membayar."
Kwik Tay-lok segera menghela napas panjang.
"Aaaai. sungguh tak kusangka di sini masih ada seorang yang punya liangsim juga!"
Pelayan itu merah padam pipinya, sambil tertawa ia berseru:
"Sebenarnya aku ingin sekali membayarkan rekening Ong toako, sayang ada orang yang berebut untuk membayar rekening itu lebih dahulu."
"Siapakah orang itu ?" tanya Ong Tiong. "Itu dia yang duduk di ujung sana !"
Sambil berkata dia lantas menunjuk ke depan sana, siapa tahu dengan cepat ia menjadi tertegun.
Sayur dan arak masih berada di atas meja, malah masih utuh, tapi orangnya sudah lenyap tak berbekas.
Kwik Tay-lok berjalan dipaling belakang, baru berjalan beberapa langkah ia berpaling lagi, kemudian ditepuk-tepuknya bahu si pelayan yang menghantar mereka turun ke loteng. itu seraya, berkata:
"Ada satu persoalan aku ingin bertanya kepadamu !" "Tanya saja !"
"Kau sudah menang begitu banyak, apa yang hendak kau lakukan dengan uang tersebut?"
"Aku tidak bermaksud menggunakannya!"
Kwik Tay-lok mengawasinya dengan mata melotot, seolah-olah ia bertemu dengan seorang malaikat suci.
Tiba-tiba pelayan itu tertawa, katanya lagi:
"Aku bermaksud menggunakannya sebagai pokok, aku ingin menang lebih banyak lagi, sebab belakangan ini nasibku agak mujur"
Kwik Tay-lok masih melotot ke arahnya, tiba-tiba ia tertawa tergelak, tertawa terpingkal-pingkal sampai hampir saja jatuh terguling dari atas loteng.
Sambil tertawa tergelak dia menepuk bahu pelayan itu seraya serunya:
"Suatu ide yang amat bagus, suatu ide yang sangat bagus, justru karena ada manusia- manusia semacam kau, umat manusia baru bisa maju, aku mewakili semua orang di dunia ini mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepadamu"
"Mengapa berterima kasih kepadaku ?" pelayan itu masih bertanya. Tapi dengan langkah lebar Kwik Tay-lok sudah turun dari loteng itu.
Menghela napaslah pelayan tersebut, sambil menggelengkan kepalanya ia bergumam: "Tampaknya beberapa orang ini bukan cuma penjudi, bahkan otaknya rada sinting"
Dulu ada seorang yang sangat pintar pernah mengucapkan sepatah kata yang amat pintar juga:
"Bila dianggap seseorang sebagai orang sinting, sesungguhnya hal ini merupakan suatu kejadian yang menggembirakan, bahkan jauh lebih menggembirakan daripada dianggap sebagai seorang enghiong atau Nabi sekalipun. !"
Pelayan itu bukan seorang yang cerdik, tentu saja tak pernah mendengar perkataan semacam itu, sekalipun pernah mendengar juga tak akan mengerti.
Sesungguhnya teori dari ucapan tersebut amat jarang yang dapat memahaminya. Di dunia ini terdapat dua macam manusia.
Semacam adalah orang yang selamanya berbuat dengan teratur dan tahu peraturan, pekerjaan apapun yang mereka lakukan selamanya bisa ditebak orang dan bisa pula dimengerti orang.
Berbeda sekali dengan manusia dari jenis yang lain, mereka paling suka melakukan segala macam perbuatan yang sok rahasia dan sok misterius, bukan saja orang lain tidak memahami apa yang mereka lakukan, bahkan mereka sendiripun mungkin juga tidak mengerti.
Ong Tiong adalah manusia seperti ini. Lim Tay-peng juga.
Tapi di dunia ini ternyata masih ada semacam benda yang jauh lebih rahasia dan misterius dari pada manusia macam ini.
Benda tersebut tak lain adalah uang.
Dikala kau tak ingin uang, kadangkala tanpa alasan dan tanpa diketahui dari mana datangnya, ia akan muncul sendiri.
Tapi bila kau sedang membutuhkan sekali, kadangkala bahkan bayangannyapun tidak kelihatan.
Bagaimana rasanya membunuh orang ?
Mungkin jarang sekali ada yang tahu jawabannya!
Dari sepuluh ribu orang, belum tentu kau bisa menentukan seorang saja diantaranya yang pernah membunuh orang.
Ada orang bilang begini:
"Perduli membunuh orang itu bagaimana rasanya, paling tidak pasti jauh lebih aneka daripada dibunuh orang"
Orang yang mengucapkan kata-kata seperti ini, sudah pasti merupakan orang yang tak pernah membunuh orang.
Ada pula yang berkata begini:
"Rasanya waktu membunuh orang jauh lebih menakutkan daripada sewaktu mati"
Orang yang mengucapkan kata-kata tersebut, sekalipun dia belum pernah membunuh orang, paling tidak itu sudah lebih dekat dengannya.
"Pernahkah kau membunuh orang ?" "Dengan cara apa kau membunuhnya?" "Mengapa kau membunuhnya?"
Lim Tay-peng selalu menantikan tiga pernyataan tersebut dari rekan-rekannya. Tapi tak seorangpun yang bertanya.
Ong Tiong, Yan Jit, Kwik Tay-lok, tiga orang itu seakan-akan telah bersepakat untuk tidak mengajukan sebuah pertanyaanpun.
Sepanjang jalan, tiga orang itu pada hakekatnya tak pernah membuka suara.
Jarak antara kota Sian-sin dengan kota San-sin sesungguhnya tidak terlalu jauh, tapi disaat tidak berbicara, jarak yang dekatpun akan terasa amat jauh.
Sepanjang perjalanan pulang, Kwik Tay lok membawakan senandung lagu yang lirih, mungkin iramanya sudah lama beredar dalam masyarakat, tapi syairnya adalah gubahan dia sendiri.
Sebab kecuali manusia semacam dia, tak mungkin ada orang yang bisa menggubah syair semacam itu.
"Sewaktu datang sok gaya, sewaktu pulang badan lemas. Sewaktu datang kantong padat berisi, sewaktu pulang saku kering kerontang, Sewaktu datang. "
"Hey, nyanyian apa sih yang sedang kau bawakan?" tiba-tiba Yan Jit menegur.
"Lagu ini bernama pergi-datang, yaa pergi yaa datang, sebentar pergi sebentar datang. "
Tiba-tiba Yan Jit menirukan gayanya dan membawakan pula sebait lagu yang berirama sama. "Yang terlepas tidak tembus, yang tembus tidak dilepas, lepas tembus, satu lepas satu
tembus."
"Hey, apa pula yang dilepas ?" tanya Kwik Tay-lok.
"Kentut anjingmu. Lagu ini dinamakan melepas kentut anjing !" Kwik Tay-lok segera menarik muka, serunya:
"Kau tak usah menyindir aku, dulu ada orang yang mohon kepadaku untuk menyanyipun aku masih segan untuk menyanyi."
"Yaa, aku tahu, manusia-manusia mana saja yang berbuat demikian !" kata Ong Tiong sambil manggut-manggut, gayanya seakan-akan dia betul-betul tahu.
"Manusia macam apa saja sih ?" tanya Yan Jit sambil mengerdipkan matanya yang jeli. "Itu, orang-orang yang tuli!"
Kwik Tay-lok ingin menarik muka, tapi ia sendiri tak tahan untuk tertawa geli. Tiba-tiba Lim Tay-peng tertawa dingin, katanya:
"Orang tuli paling tidak jauh lebih baik daripada manusia-manusia yang berlagak bisu dan tuli". "Siapa yang berlagak bisu dan tuli?"
"Kau !" seru Lim Tay-peng mendongkol.
Setelah menuding wajah ketiga orang itu satu-persatu, dia berkata lebih jauh:
"Padahal dalam hati kalian ada pertanyaan yang diajukan, mengapa tidak diutarakannya keluar ?"
"Bukannya tidak ditanyakan, adalah tak perlu dinyatakan maka kami tidak bertanya" Ong Tiong menerangkan.
"Kenapa tak perlu ditanyakan?"
"Manusia semacam itu daripada dibiarkan hidup memang lebih baik kalau dibikin mati."
"Betul, betul, makin banyak manusia semacam itu yang mampus semakin baik untuk kita" sambung Kwik Tay-lok.
Setelah menepuk bahu Lim Tay-peng, katanya lagi sambil tertawa:
"Kalau toh kau tidak pernah salah membunuh, mengapa kami musti menanyakannya?" Sambil menggigit bibir tiba-tiba Lim Tay peng berkata lagi:
"Kalian pernah membunuh orang ?"
Kwik Tay-lok memandang Ong Tiong, sedang Ong Tiong memandang ke arah Yan Jit. Yan Jit segera tertawa getir, katanya:
"Aku tak pernah membunuh orang, aku hanya sering dibunuh orang"
Tiba-tiba Lim Tay-peng melompat ke sisi jalan raya, baru tiba di belakang pohon sudah terdengar suara isak tangis yang amat sedih.
Yan Jit segera memandang ke arah Kwik Tay-lok, sedangkan Kwik Tay-lok memandang ke arah Ong Tiong.
"Dulu ia pasti belum pernah membunuh orang !" kata Ong Tiong. Kwik Tay-lok manggut-manggut tanda membenarkan.
"Yaa, kali ini pasti untuk pertama kalinya dia membunuh orang."
"Aaai. ternyata rasanya membunuh orang jauh lebih tersiksa" kata Yan Jit sambil menghela
napas panjang.
"Yaa, ketika Lamkiong Cho tahu kalau-kalau ia sedang dikuntit, disangkanya ia sudah mengetahui rahasia hitam makan hitamnya, maka ia lantas turun tangan lebih dulu ingin membunuhnya melenyapkan saksi hidup." kata Ong Tiong.
"Siapa tahu sebelum ia membunuh orang, dirinya malah kena dibunuh lebih dulu" Kwik Tay-lok menambahkan.
"Tapi aku lihat ilmu silat yang dimiliki Lim Tay-peng agaknya jauh lebih hebat daripada kepandaian kita, malah lebih kuat ketimbang Lamkiong Cho."
"Aaai. itulah yang dinamakan menilai orang jangan menilai dari wajahnya, dalamnya lautan
sukar diukur, ketika bertemu dengannya dulu, aku masih mengira dia adalah seorang lelaki yang untuk memegang ayampun tak mampu"
Ia belum juga berhenti, "Siapa yang membunuh orang lain tak sanggup, meski ia sudah berhasil membunuh orang, namun sesungguhnya tak ingin membunuh siapapun" kata Yan Jit.
"Bagaimana kalau kita hiburnya agar jangan menangis ?" "Jangan !" cegah Ong Tiong.
"Mengapa ?"
"Meskipun menangis tidak lebih baik dari tertawa, tapi bila seseorang bisa menangis sepuasnyapun tak menjadi soal"
Kwik Tay-lok segera menghela napas panjang, katanya:
"Kalau aku mah lebih suka tertawa dari pada musti menangis, sebab bila sedang tertawa paling tidak kita tidak usah bersembunyi di belakang pohon. "
Yan Jit juga menghela napas panjang.
"Ya, sewaktu kau sedang tertawa, paling tidak kaupun tak usah kuatir ditonton orang banyak."
Bila kau takut ada orang yang datang menonton keramaian, maka semakin banyak orang yang datang menonton keramaian itu.
Sekarang langit belum lagi gelap, banyak orang yang masih berlalu-lalang di jalan raya itu, sekarang ada diantara mereka yang menghentikan perjalanannya dan melongok kemari, malah ada diantara mereka yang sudah datang menghampiri mereka.
Kwik Tay-lok segera menyeka keringatnya dan tertawa getir, bisiknya lirih:
"Aku cuma berharap agar orang jangan menaruh curiga kalau dia menangis lantaran dianiaya kita bertiga!"
Memang tak ada orang yang "curiga" karena mereka sudah merasa yakin pasti begitulah kejadiannya.
Menyaksikan sorot mata orang-orang itu, tanpa terasa Yan Jit ikut menyeka keringat yang membasahi tubuhnya, ia berkata:
"Cepatlah mencari akal untuk membujuknya agar cepat pergi meninggalkan tempat ini". Kwik Tay-lok segera tertawa getir.
"Aku tidak memiliki kepandaian sebesar itu, paling banter aku cuma bisa menggalikan sebuah lubang."
"Menggali lubang buat apa ?"
"Untuk tempat persembunyian, agar tidak dipelototi orang sebanyak ini. !"
"Kalau begitu galilah agak besar!" Dengan gemas Kwik Tay-lok berkata:
"Seandainya kalian kalah sedikit saja dan uang tak sampai ludas semua, paling tidak kita masih bisa menyewa kereta, agar dia duduk di dalam kereta dan menangis sepuasnya"
Baru saja ia selesai berkata, benar-benar saja ada sebuah kereta kuda yang sangat indah lewat dari samping dan berhenti tepat di hadapan mereka.
Yan Jit segera mengerling sekejap ke arah Ong Tiong, kemudian bisiknya:
"Permainan kita yang terakhir tadi memang tidak seharusnya dilangsungkan, kalau toh kalah melulu, janganlah kita punya pikiran untuk berusaha mencari balik kekalahan kita"
"Bila orang yang berjudi tidak ingin mencari balik modal kekalahannya, mungkin orang yang menggantungkan makannya dari berjudi sudah mati kelaparan sejak dulu, tentunya kau tak ingin menyaksikan ada orang mati karena kelaparan bukan?"
Sang kusir kereta kuda itu tiba-tiba melompat turun dari keretanya, tiba di hadapan mereka katanya sambil tertawa paksa:
"Yang manakah yang bernama Kwik toaya?" "Siapa mencari aku? Mau apa mencari aku?"
"Silahkan Kwik toaya naik kereta ?" kata kusir itu dengan hormat. "Aku tidak suka naik kereta, aku lebih suka berjalan kaki"
Kusir itu segera tertawa paksa, katanya:
"Kereta ini adalah teman Kwik toaya yang sengaja mencarternya, uang carter sudah dibayar lunas"
"Siapa yang mencarter?" tanya Kwik Tay lok tertegun. Kusir itu segera tertawa:
"Orang itu adalah teman Kwik toaya, jika Kwik toaya sendiripun tidak kenal, dari mana siaujin bisa kenal?"
Kwik Tay-lok berpikir sejenak, tiba-tiba ia mengangguk.
"Yaa, aku sudah teringat sekarang siapa gerangan orang itu, dia adalah anak angkatku!"
Setelah naik ke dalam kereta, Lim Tay-peng berhenti menangis, cuma ia masih duduk di sudut kereta sambil termangu-mangu.
Kwik Tay-lok juga tertegun.
"Kau benar-benar punya anak angkat?" tidak tahan Yan Jit bertanya. Kwik Tay-lok segera tertawa getir.
"Yaa, aku memang punya seorang anak angkat yang macam setan. Sialan, aku yang kepingin menjadi anak angkat orang saja, orang lain masih menganggap aku terlalu miskin, mana ada orang yang mau menjadi anak angkatku. ?"
"Lantas siapakah yang mencarterkan kereta untuk kita?" tanya Yan Jit dengan kening berkerut. "Delapan puluh persen pastilah orang yang telah membayarkan rekening untuk kita sewaktu
ada dirumah makan Kui- goan-koan tadi" "Apakah kau telah melihat tampang orang"
"Aaai... !" Kwik Tay-lok menghela napas panjang, "waktu itu orang lain tidak melihat kepadaku sudah terima kasih kepada langit terima kasih kepada bumi, mana berani aku melihat kepada orang lain?"
Jika seseorang harus membayar rekening dan kebetulan sakunya lagi tongpes, dia memang tak berani mendongakkan kepalanya.
"Dan kau ?" tanya Yan Jit.
Ia tidak bertanya pada Lim Tay-peng, yang ditanya adalah Ong Tiong.
Tentu saja pada waktu itu Lim Tay-peng tidak mempunyai perhatian untuk memperhatikan orang lain.
Ong Tiong segera tertawa, katanya:
"Ketika itu aku hanya memusatkan semua perhatianku untuk memperhatikan perubahan mimik wajah Kwik Toa-sau, belum pernah kujumpai wajahnya begitu menawan daripada ketika itu."
Kontan saja Kwik Tay-lok melotot sekejap ke arahnya dengan gemas dan mendongkol: "Aku hanya merasa sayang mengapa tak sempat menyaksikan mimik wajahmu ketika,
uangmu ludas di meja judi tadi, waktu itu mimik wajahmu tentu juga menarik se-kali"
Maka Yan Jit mulai tertegun, dia sendiripun tak sempat menjumpai si pembayar rekening itu. "Kusir itu mencari Kwik Toaso, itu berarti orang tersebut sudah pasti adalah temannya" kata
Ong Tiong.
Kwik Tay-lok menghela napas panjang.
"Aaai... aku tidak memiliki teman sesosial itu, diantara teman-temanku kaulah yang paling sosial"
"Aku sangat sosial ?"
"Paling tidak kau masih punya rumah, meskipun orang lain muak terhadap rumahmu itu, tapi rumah toh tetap adalah rumahmu."
"Kalau kau senang, biarlah kuhadiahkan untukmu saja" kata Ong Tiong hambar. "Aku tidak mau"
"Kenapa tidak mau?"
Kwik Tay-lok tertawa lebar.
"Sekarang aku tak punya apa-apa, sakupun tong-pes, tanpa beban dalam saku dan benak berarti aku bisa luntang lantung semauku, tidak seperti kalian, masih harus kuatir karena urusan lain, apalagi mereka yang berduit, mau pergi takut, takut kalau uangnya dirumah dibongkar orang."
"Ong lotoa mungkin masih kuatir sebab dia masih punya rumah, sedang aku ? Apa yang musti kukuatirkan ?" sela Yan Jit.
Kwik Tay-lok memperhatikannya dari atas sampai ke bawah, kemudian katanya sambil tertawa:
"Paling tidak kau masih punya baju baru sewaktu bekerja sedikit banyak kau akan kuatir kalau baju barumu itu robek atau kotor, waktu hendak duduk juga tak urung memeriksa dulu apakah lantai ada lumpurnya atau tidak, sedang aku? Tak pernah urusan semacam itu memenuhi benakku, tentu saja aku lebih bebas daripada dirimu".
"Benarkah di dunia ini tak ada yang kau pikirkan? Tak ada urusan yang kau murungkan?" kata Yan Jit sambil menatapnya tajam-tajam.
Tiba-tiba Kwik Tay-lok tidak berbicara lagi, agaknya dari balik sorot mata itu terpancar sinar kesedihan.
Tiba-tiba Yan Jit menemukan bahwa orang ini mungkin tidak seriang dan secerah wajahnya bila berada di depan mata orang, mungkin diapun mempunyai persoalan yang menyedihkan hatinya, hanya saja kesedihan tersebut berhasil dia simpan secara baik-baik, sehingga tak pernah orang lain mengetahuinya.
Ia cuma memperlihatkan kegembiraannya di hadapan orang, agar orang lain ikut merasakan pula kegembiraannya. Tak pernah membagikan kesedihan dan kemurungannya kepada orang lain agar direnungkan bersama.
Yan Jit menatapnya tajam-tajam, mendadak sepasang biji matanya memancarkan cahaya yang lebih jeli.
Semakin lama ia bergaul dengan Kwik Tay-lok, ia semakin merasa bahwa Kwik Tay-lok sesungguhnya adalah seorang yang menyenangkan.
Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba Ong Tiong menghela napas panjang, katanya: "Kita sudah hampir tiba, sudah hampir tiba di rumah"
Dibalik helaan napasnya itu kedengaran nada riang gembira dan kepuasannya. Melongok lewat jendela kereta, mereka dapat melihat bukit kecil nun jauh di sana. Kwik Tay-lok juga tak tahan untuk menghela napas panjang, katanya:
"Aaai... agaknya perduli sarang emas atau sarang perak, tak sebuahpun yang bisa menang nyamannya dari pada sarang anjing mu itu !"
"Sarang anjingku?" seru Ong Tiong dengan mata melotot. Kwik Tay-lok segera tertawa lebar.
"Maksudku, sarang anjing kita ?"
Senja telah menjelang tiba, sinar matahari sore telah tenggelam dibalik bukit.
Angin masih berhembus lembut, burung masih berkicau dan jangkrik masih mengorek, perpaduan suara tersebut menciptakan serangkaian irama yang amat merdu, ibaratnya bisikan sang kekasih di sisi telingamu.
Bau harum semerbak dari aneka bunga yang tumbuh disekitar sana menambah pula semaraknya suasana, begitu harum semerbak bagaikan harumnya tubuh kekasih.
Kwik Tay-lok menarik napas panjang-panjang, kemudian sambil tertawa katanya. "Sekarang aku baru tahu kalau miskinpun sesungguhnya merupakan suatu kejadian yang
menarik"
"Kejadian menarik ?"
"Dari sekian banyak orang kaya, berapakah diantara mereka yang bisa menikmati keindahan alam seperti ini ? Berapa pula yang bisa menghirup bau harumnya uang ? Mereka cuma bisa menghirup bau busuknya uang yang sudah kumal"
Yan Jit ikut tertawa.
Tiba-tiba Kwik Tay-lok menemukan bahwa tertawa orang itu lebih cerah dari pada sinar matahari senja, tak tahan dia berseru:
"Sekarang aku baru merasakan bahwa kau sama sekali tidak jelek, cuma kadangkala rada dekil !"
Kali ini Yan Jit tidak membantah, malah sebaliknya menundukkan kepalanya rendah-rendah.
Sebetulnya ia memang bukan seorang yang suka dipermainkan orang seenaknya, apakah ada sesuatu yang telah membuat sikapnya berubah?
Sinar matahari senjakah? Apakah embusan angin lembut? Atau mungkin senyuman Kwik Tay- lok yang cerah?
"Punya uang juga bukan suatu keadaan yang terlalu jelek," tiba-tiba Ong Tiong ikut berkata. "Bagaimana dengan miskin?"
"Miskin juga tidak jelek!" "Lantas apa yang jelek?"
Tak ada yang jelek, baik-buruknya tergantung pada si manusia itu sendiri, pandaikah dia menikmati keadaan yang sedang dihadapinya.
Kwik Tay-lok mencoba untuk meresapi kata-katanya itu, mendadak ia merasa hatinya sangat bahagia dan puas.
Dia puas karena ia masih bisa hidup sampai kini. Dia masih hidup karena itu masih bisa menikmati kehidupan, kehidupan yang sangat indah sekali. Itulah sebabnya, janganlah kau sekali- kali murung karena punya uang, lebih tak boleh murung lagi bila kau sedang miskin.
Asal kau pandai menikmati keadaan, maka kehidupanmu di dunia ini baru terasa tidak sia-sia. Sehingga andai kata kau mati pada suatu hari, kau bisa mati dengan hati gembira. Sebab paling tidak kehidupanmu jauh lebih menyenangkan daripada kehidupan orang lain, sekalipun orang yang kaya raya pun.
Kereta itu tak dapat naik ke atas bukit maka mereka pun naik ke atas bukit dengan berjalan kaki. Mereka berjalan pelan sekali. Karena mereka tahu bagaimanapun pelannya kau berjalan, akhirnya toh akan sampai di tempat tujuan.
Lambat laun udara semakin gelap, tapi mereka tak akan kuatir, sebab mereka tahu sehabis gelap akan terbit terang. Oleh karena itu hati mereka selalu diliputi oleh riang gembira, bahkan Lim Tay-peng sendiripun ikut menjadi cerah.
Akhirnya mereka dapat melihat rumah tinggal milik Ong Tiong itu, meskipun hanya sebuah rumah yang kuno dan bobrok, tapi di bawah sorot matahari senja yang masih sempat mengintip dari balik bukit itu, rumah itu tampak lebih indah daripada sebuah keraton.
Setiap orang tentu memiliki istana yang amat indah, istana yang indah itu ada dalam hati setiap orang. Aneh, justru ada sementara orang yang tak berhasil menemukannya.
Wajah Ong Tiong yang kaku sudah mulai menjadi lembut kembali, tiba-tiba sambil tertawa ia bertanya:
"Coba tebaklah, apa yang akan kulakukan setibanya di rumah nanti ?"
"Naik keranjang dan tidur !" jawab Kwik Tay-lok dan Yan Jit hampir berbareng. "Tepat sekali! "
Tapi dalam kehidupan manusia ini, seringkali bisa juga terjadi hal-hal di luar dugaan.
Ketika mereka dalam rumah tersebut, tiba-tiba sudah menyaksikan sinar lampu yang memancar keluar dari balik jendela.
Mula-mula dari balik jendela yang tepat menghadap ke arah mereka, kemudian dari setiap balik jendela lainnya.
Mereka mulai tertegun, tak tahan Yan Jit berseru:
"Dalam rumah ada orang!"
"Mungkin temanmu yang datang menjengukmu ?" tanya Kwik Tay-lok pula.
"Sebenarnya kemungkinan selalu ada, tapi semenjak aku menjual kursi yang terakhir, tiba-tiba semua temanku lenyap tak berbekas."
Setelah tertawa-tawa, terusnya:
"Mungkin mereka semalas aku, kuatir setelah tiba di sini lantas tak ada tempat untuk duduk !"
Senyuman yang hambar itu merupakan perlambang akan bagaimana mendalamnya dia memahami perasaan orang, itulah sebabnya ia tak pernah mengajukan permohonan yang terlalu besar kepada orang lain.
Ketika ia memberikan sesuatu kepada orang, tak pernah terlintas dalam benaknya untuk menantikan balas jasa. mungkin itulah merupakan salah satu alasan mengapa ia bisa hidup
jauh lebih menyenangkan daripada siapapun.
"Lantas, siapa yang memasang lampu-lampu itu?" tanya Yan Jit sambil mengerutkan dahi.
"Buat apa kita musti menebak secara sembarangan?" kata Kwik Tay-lok sambil tertawa, "asal kita masuk ke dalam ruangan toh segala sesuatunya akan menjadi jelas ?"
Sebetulnya sikap tersebut memang merupakan suatu sikap yang amat tepat, tapi kali ini ternyata keliru.
Sekalipun mereka sudah masuk ke dalam, toh tetap tidak tahu. Dalam ruangan itu tak ada orangnya.
Lampu lentera yang ada di sana seakan-akan menyulut sendiri.
Lampu tersebut merupakan sebuah lentera tembaga yang memancarkan cahaya berwarna ke emas-emasan.
Lentera tembaga yang masih baru itu berada di atas meja kecil, meja itu berada di atas permadani dari persia, dan disamping lentera ada bunga segar.....
Pokoknya benda apapun dapat ditemukan di sana.
Semua benda yang dapat kau lihat dalam sebuah kamar, sekarang dapat kau temukan pula di sana.
Tempat itu seakan-akan baru saja mengalami suatu peristiwa yang sangat ajaib.
Satu-satunya yang tidak mengalami perubahan adalah ranjang besar milik Ong Tiong.
Tapi di atas ranjang itupun terdapat sebuah selimut baru, selimut dengan sulaman bunga besar.
Kwik Tay-lok yang berdiri di depan pintu hampir melompat keluar sepasang biji matanya dengan wajah tercengang dia bergumam seorang diri:
"Jangan-jangan kita sudah salah masuk rumah orang ?" Yan Jit segera tertawa getir.
"Tidak, tak bakal salah masuk, ditempat lain tak akan kau jumpai pembaringan dengan ukuran sebesar ini."
"Aaaai. tampaknya tempat ini seperti baru dikunjungi dewa, entah dewanya itu dewa lelaki
atau perempuan ?"
"Waah. tampaknya Ong lotoa kita ini adalah seorang anak berbakti, dia telah membuat haru
dewa-dewi di langit sehingga melimpahkan segala sesuatunya kepada dia."
"Aaaah. mungkin yang dicari dewi itu adalah aku, sebab aku juga seorang anak yang
berbakti." sambung Kwik Tay-lok cepat.
"Kau bukan anak yang berbakti, kau muka seorang tolol" seru Yan Jit cepat.
Walaupun dimulut mereka berkata demikian, namun dalam hati kecil masing-masing juga mengerti. Pasti ada orang yang menghantar barang-barang itu ke sana, besar kemungkinan orang
itu adalah orang yang telah membayarkan rekening mereka sewaktu ada dirumah makan Kui- goan-koan tadi.
Mereka berkata demikian tak lebih hanya bermaksud untuk menutupi perasaan tak tenang dan curiga yang mencekam mereka semua.
Sebab semua orang tak bisa menebak siapa gerangan orang itu ? Mengapa ia berbuat demikian ?
Ong Tiong berjalan menghampiri pembaringannya dengan langkah pelan, kemudian melepaskan sepatunya dan dengan cepat membaringkan diri.
Dalam melakukan pekerjaan apapun, dia selalu melaksanakannya dengan lamban dan sopan, sedikitpun tidak kelihatan terburu napsu, hanya sewaktu membaringkan diri di atas ranjang, dia melakukannya dengan cepat bahkan cepat sekali.
"Apakah kau akan tidur dengan begitu saja?" tanya Kwik Tay-lok sambil mengerutkan dahinya. Ong Tiong menguap lebar-lebar sebagai tanda atas jawabannya.
"Tahukah kau siapa yang telah menghantar barang-barang itu kemari...?" tanya Kwik Tay-lok lagi.
"Tidak tahu! Aku hanya tahu jika sudah lelah harus tidur ?"
Barang-barang itu mau pemberian dari dewa juga boleh, pemberian setan juga tidak mengapa, pokoknya dia tak ambil perduli, sekalipun semua dewi dan setan berdatangan semua, mereka juga tak akan menyuruhnya tidak tidur.
Asal matanya sudah dipejamkan, seakan-akan dia segera akan tertidur. Kwik Tay-lok menghela napas panjang, katanya:
"Berbicara sesungguhnya, aku benar-benar merasa amat kagum kepadanya."
"Akan kuperiksa ke halaman belakang sana, mungkin orangnya masih berada di situ," kata Yan Jit pula sambil menggigit bibir.
Di belakang sana memang terdapat sederetan ruang itulah tempat yang pernah ditinggali Swan-bwe-tong tempo hari.
Dalam gedung bangunan ini, selain ruang utama dan ruang tengah, masih terdapat tujuh delapan buah kamar lagi, kecuali ruangan yang dipakai Ong Tiong untuk tidur sekarang, dalam tiga buah kamar yang lainpun masing-masing tersedia pula sebuah pembaringan yang empuk dan nyaman.
Kembali Kwik Tay-lok bergumam:
"Heran, ternyata mereka masih tahu kalau yang tinggal di sini berempat, sungguh teliti amat jalan pemikirannya"
Tiba-tiba terdengar Yan Jit berteriak-teriak dari halaman belakang sana:
"Kalian cepat kemari, kalian cepat kemari, di sini ada.... ada sebuah.... sebuah. "
Sebuah apa? Ternyata dia tidak melanjutkan.
Kwik Tay-lok yang pertama-tama menerjang ke luar, disusul kemudian oleh Lim Tay-peng.
Halaman belakang amat bersih dan rajin, entah sedari kapan di sana tahu-tahu sudah tumbuh beberapa batang pohon bambu dan segerombol bunga matahari, waktu itu Yan Jit sedang berdiri diantara bunga aneka warna itu sambil memandang sesuatu benda dengan wajah termangu.
Ternyata benda yang sedang dipandang itu adalah sebuah peti mati. Sebuah peti mati yang masih baru.
Di ujung peti mati itu seperti tertera sebaris tulisan, ketika diamati ternyata tulisan itu berbunyi begini:
"Peti jenazah dari Lamkiong Cho"
Mendadak sekujur badan Lim Tay-peng menjadi dingin seperti es, mukanya pucat pasi, bibirnya juga ikut berubah menjadi kebiru-biruan.
Kwik Tay-lok agak bergidik juga hatinya setelah menyaksikan kejadian itu, tak tahan dia lantas bertanya:
"Dimanakah kau membunuhnya?" "Di... di luar. "
"Di luar mana ?"
"Di luar rumah tinggalnya".
"Setelah kau membunuhnya, apakah jenazah itu kau pendam ke dalam tanah?" Sambil menggigit bibir, Lim Tay-peng menggelengkan kepalanya berulang kali. Kwik Tay-lok segera menghela napas panjang.
"Aaaai. ! Rupanya kau cuma tahu membunuh, tak tahu cara mengubur jenazahnya"
Lim Tay-peng semakin pucat, wajahnya seperti orang mau menangis, mengenaskan sekali. "Maklumlah", kata Yan Jit sambil menghela napas, "barang siapa belum pernah membunuh
orang, tak urung hatinya akan gugup juga dikala ia membunuh orang untuk pertama kalinya, mungkin saja sehabis membunuh tanpa diperiksa lagi korbannya dia sudah lari sipat telinga."
"Waah. kelihatannya kau sudah berpengalaman sekali dalam soal bunuh membunuh".
"Jangan lupa, meski aku belum pernah membunuh, paling tidak aku sudah pernah dibunuh." Kwik Tay-lok menghela napas, kembali tanyanya:
"Sewaktu kau membunuhnya, apakah disekitar situ tak ada orang lain. ?"
Lim Tay-peng kembali menggelengkan kepalanya. Kwik Tay-lok lantas berkata:
"Kalau tak ada orang lain, lalu siapa yang memasukkan jenazahnya ke dalam peti mati? Siapa pula yang mengirim peti mati itu kemari ?"
Tiba-tiba sambil tertawa lanjutnya:
"Jika tak ada orang lain yang membantu, toh tak mungkin ia melompat masuk sendiri ke dalam peti mati dan mengirim peti mati tersebut ke tempat ini bukan".
Kwik Tay-lok mempunyai semacam penyakit, yakni berada dalam keadaan apapun dia selalu tak tahan untuk bergurau.
Padahal ia sendiripun tahu kalau gurauan semacam itu sesungguhnya kurang tepat pada tempatnya.
Paras muka Lim Tay-peng kontan saja berubah menjadi pucat kehijau-hijauan, sambil menggigit bibir sahutnya agak tergagap:
"Aku.... sebenarnya aku tidak. "
Belum habis perkataan itu diucapkan, mendadak dari dalam peti mati itu kedengaran suara benturan keras. "
"Pluuuk !" kemudian berkumandang sekali lagi. "Pluuuk !"
"Tak usah takut, selagi masih hidup saja kita tidak takut, setelah mampus apa pula yang harus kita takuti ?"
"Kalau memang tidak takut, hayolah kita buka peti mati ini agar dia bisa keluar". Yan Jit segera mengusulkan.
Kalau dilihat dari lagaknya, dia seakan-akan sudah bersiap-siap untuk membuka peti mati itu. "Nanti dulu !" tidak tahan Kwik Tay-lok berseru.
"Apakah kau juga ketakutan ?" sindir Yan Jit.
Paras muka Yan Jit dan Kwik Tay-lok turut berubah hebat.
"Jangan-jangan jenazah dalam peti mati ini telah bangkit kembali?" pekik mereka hampir berbareng.
Tapi kemudian sambil tertawa paksa, Kwik Tay-lok menepuk-nepuk bahu Lim Tay-peng seraya berkata:
"Oooh, tentu saja aku tidak takut, cuma saja.... cuma saja. . . ehm . . . . cuma. ." "Blaam.... Blaaaammm......! Blaaam. kali ini suara benturan keras yang beruntun
berkumandang kembali dari dalam peti, bahkan suaranya kali ini jauh lebih keras dari pada tadi,
seakan-akan mayat hidup itu telah bersiap-siap untuk keluar dari dalam peti mati tersebut.
Kalau di situ kebetulan ada orang yang bernyali kecil, mungkin nyalinya pada waktu itu sudah pecah, bahkan bisa jadi dia akan melarikan diri terbirit-birit.
Mendadak Lim Tay-peng berkata:
"Biar aku saja yang membuka peti mati ini, toh yang dia cari adalah aku" "Tidak, kau tak boleh pergi, biar aku saja!" seru Kwik Tay-lok cepat.
Sementara mulutnya masih berbicara, tubuhnya sudah melompat ke depan....
Sesungguhnya dia merasa ketakutan setengah mati, mungkin rasa takutnya itu melebihi orang lain, andaikata persoalan itu adalah masalah pribadinya, mungkin saja sedari tadi dia sudah melarikan diri terbirit-birit.
Tapi Lim Tay-peng adalah sahabatnya, asal perbuatan itu dilakukan demi teman, kendatipun nyawa bakal lenyap dia juga akan tetap melakukannya tanpa gentar.
Yan Jit memandang sekejap ke arahnya, tiba-tiba sinar matanya berubah menjadi lembut dan hangat, katanya mendadak:
"Kau tidak kuatir ditangkap setan?" "Siapa bilang aku tidak kuatir?"
Ketika ucapan terakhir meluncur keluar dari mulutnya, penutup peti mati itu sudah disingkap olehnya.
"Weess. !" semacam makhluk hidup tiba-tiba melompat keluar dari dalam peti mati itu.
Bagaimanapun besarnya nyali Kwik Tay1ok, tak urung ia menjerit pula saking kagetnya.
Makhluk hidup yang baru saja melompat keluar dari peti mati itupun mulai tarik suara, cuma bukan suara pembicaraan yang muncul, sebaliknya adalah serentetan suara gonggongan yang amat nyaring.
Ternyata makhluk hidup itu adalah seekor anjing, seekor anjing hitam, seekor anjing hitam yang masih hidup.
Kwik Tay-lok berdiri tertegun di situ, menyeka keringat dan ingin tertawa, tapi suara tertawanya tak mau juga keluar, sampai lama, lama sekali akhirnya dia baru menghembuskan napas panjang dan tertawa getir, katanya:
"Gurauan semacam ini sesungguhnya sangat tidak tepat, cuma orang goblok yang akan bergurau seperti ini."
"Dia pasti bukan seorang yang goblok, diapun tidak berniat untuk bergurau" "Kalau bukan bergurau lantas apa namanya"
Orang ini bukan saja tahu kalau Lim Tay peng telah membunuh Lamkiong Cho, bahkan dia juga tahu kalau Lim Tay-peng tinggal disini"
Kwik Tay-lok segera menghela napas.
"Aaaai. tampaknya persoalan yang dia ketahui tidak sedikit jumlahnya, tapi mengapa dia
harus berbuat demikian?"
Yan Jit turut menghela napas.
"Mungkin dia mempunyai maksud lain, mungkin dia berbuat demikian saking menganggurnya tak ada pekerjaan lain selain makan, pokoknya entah apa tujuannya, yang pasti dia telah melakukannya dan ini berarti dia tak akan menghentikan perbuatannya ditengah jalan"
"Kau menganggap dia pasti sudah akan melakukan perbuatan yang lain ?" Yan Jit mengangguk.
"Itulah sebabnya kita hanya bisa menahan diri, asal kita bisa menunggu dengan sabarkan diri, dia pasti akan menunjukkan batang hidungnya"
Kemudian setelah menepuk bahu Lim Tay peng, terusnya lagi sambil tertawa:
"Oleh karena itu, lebih baik kita pergi tidur saja sekarang, kalau membiarkan ranjang yang nyaman itu tetap kosong, yang tak mau tidur baru goblok namanya !"
"Tepat sekali !" suara dari Ong Tiong berkumandang dari dalam ruangan jauh di depan sana.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kwik Tay-lok sudah dibangunkan dari tidurnya oleh suara keleningan yang amat ramai.
Setelah ia mendusin, suara keleningan itu masih saja berbunyi tiada hentinya. Suara tersebut seakan-akan berasal dari dalam ruangan tengah di sebelah depan sana.
Biasanya hawa kemarahan seseorang yang baru bangun dari tidurnya jauh lebih besar dari pada di masa lain, apalagi jika dibangunkan oleh suara yang ribut.
Tak tahan lagi Kwik Tay-lok segera berteriak keras-keras:
"Hei, siapa yang lagi membunyikan keleningan itu? Tangannya lagi gatal yaa ?"
Ketika ia sedang berteriak tadi, dia pun seakan-akan mendengar Ong Tiong juga sedang berteriak.
Keleningan itu masih berbunyi terus tiada hentinya.
Kwik Tay-lok segera melompat bangun, dengan bertelanjang kaki dia menyerbu keluar, lalu gumamnya:
"Sudah pasti perbuatan dari Yan Jit si bocah muda itu, agaknya setiap saat tangannya selalu akan merasa gatal saja."
"Apa? tanganku merasa gatal, tapi gatal karena ingin memukul orang, bukan untuk membunyikan keleningan" seseorang menyahut sambil tertawa lebar.
Yan Jit juga turut keluar, bajunya ternyata masih tetap rapi dan bersih. Orang ini seakan-akan tiap hari selalu tidur dengan berpakaian lengkap.
Kwik Tay-lok mengucak matanya sambil tertawa getir, kemudian dengan kening berkerut katanya:
"Sudah pasti bukan perbuatan dari Lim Tay-peng bukan? Kecuali kalau ia benar-benar sudah kerasukan roh jahat!"
Keleningan itu masih berbunyi tiada hentinya.
Sekarang mereka dapat mendengar dengan jelas bahwa suara keleningan tersebut benar- benar berasal dari ruang depan.
Kedua orang itu saling berpandangan sekejap, kemudian bersama-sama menyerbu ke dalam.
Lim Tay-peng memang berada di situ, tapi bukan dia yang menyembunyikan keleningan tersebut.
Dia tak lebih hanya berdiri termangu di sana, yang sedang membunyikan keliningan adalah seekor kucing.
Sudah barang tentu, kucing itupun seekor kucing hitam.
Sebuah keleningan digantung pada sebuah tiang dengan seutas tali, sedangkan ujung tali yang lain diikatkan pada kaki kucing hitam tersebut.
Dengan demikian, dikala kucing hitam itu melompat tiada hentinya, bunyi keliningan pun bergema tiada hentinya pula.
Di atas meja ditengah ruangan tertera aneka macam hidangan, semuanya adalah hidangan yang lezat seperti ayam panggang, itik pangggang, bakpao, kueh, bahkan ada pula seguci arak.
Rupanya kucing hitam itu membunyikan keleningan untuk membangunkan mereka agar sarapan pagi.
Kwik Tay-lok tak tahan untuk mengucak matanya sambil berseru: "Mungkinkah mataku sudah mengidap penyakit?"
"Matamu itu baru mengidap penyakit bila melihat perempuan!" Yan Jit menyambung. Kwik Tay-lok segera tertawa getir.
"Mungkin saja kucing hitam ini adalah kucing hitam betina, maka mataku jadi penyakit" "Tidak, jelas kucing ini kucing jantan!"
"Dari mana kau tahu?"
"Sebab tampaknya dia tidak terlalu menyukai dirimu!"
"Sekalipun dia itu betina, juga tak akan menyukai aku, yang disukainya pastilah Ong lotoa" "Kenapa?" kali ini giliran Yan Jit yang tidak mengerti, maka tak tahan ia bertanya. "Biasanya kucing betina cuma suka dengan kucing malas !"
"Yaa, aku lihat kucing itu pasti kucing betina" tiba-tiba terdengar suara Ong Tiong berkumandang dari belakang.