Jilid 28
Ban-jian-bong yang sangat menyeramkan dan menggidikkan masih dicekam keheningan.
Secara beruntun Thay-kun menembus enam-tujuh lapis kuburan, namun tak sesosok bayangan pun yang berhasil ditemukan.
Thay-kun makin gelisah, apalagi melihat senja semakin mendekat. Bila dia berdiam terus-menerus hingga membiarkan malam menjelang tiba, berarti usahanya menemukan si tabib sakti akan semakin menemui kesulitan.
Pikir punya pikir, tanpa terasa Thay-kun mulai berteriak,
"Ci-kim-kong Hwesio, berada dimanakah kau? Nonamu hendak menantangmu bertarung tiga ratus gebrakan."
Bagaikan seorang yang sudah kalap, kembali Thay-kun berteriak, "Tabib sakti Gi-locianpwe, kau bersembunyi dimana? Gi-locianpwe, Thay-kun tahu kau bersembunyi di dalam Ban- jian-bong ini. Ayo cepat keluar!"
Suara teriakannya yang sangat keras segera menggema di seluruh hutan bambu itu.
Namun suasana dalam Ban-jian-bong tetap hening, sepi dan sama sekali tak terdengar sedikit suara pun.
Gelak tawa Thay-kun yang keras dan tajam itu akhirnya berubah seperti orang gila.
"Badannya berputar-putar dalam hutan bambu secepat sambaran kilat, pukulan demi pukulan dilancarkan berulang kali ke sana kemari membuat peti mati hancur berantakan dan tulang belulang beterbangan di angkasa.
Mendadak terdengar dua kali desingan angin tajam. Thay-kun segera mengenali suara itu, desingan senjata rahasia, maka sepasang tangannya segera digetarkan dan tubuhnya melejit ke tengah udara.
Pada saat itulah terdengar suara ledakan keras, jilatan api menyambar dari bawah kakinya.
Tubuh Thay-kun bagaikan seekor burung walet yang terbang di angkasa segera meluncur ke arah hutan bambu di hadapannya, di mana angin pukulan menyambar, seorang Hwesio berbaju kuning segera roboh terjengkang ke atas tanah.
Setelah berhasil membinasakan seorang musuh, sekali lagi Thay-kun melejit ke udara dan menerjang lagi ke dalam hutan bambu.
Baru saja kakinya melayang turun ke atas tanah, sesosok bayangan muncul dari balik pepohonan bambu yang rindang.
Thay-kun segera membentak, "Hendak kabur kemana kau!"
Telapak tangan kirinya segera melepaskan sebuah bacokan maut ke depan.
Dimana angin pukulan menyambar, bayangan orang segera rontok dari tengah udara dan tak pernah merangkak bangun kembali.
Tenaga pukulan Thay-kun benar-benar sangat dahsyat dan tajam, membuat siapa pun yang melihat akan bergidik.
Sementara suara desingan senjata rahasia kembali terdengar.
Thay-kun mulai memutar otak dan menghitung sisa Kim- kong Hwesio yang masih tersisa, Bong Thian-gak telah membunuh tiga orang, barusan ia telah membunuh tiga orang dan kini membunuh lagi dua orang, berarti masih tersisa tiga orang saja. Dengan gerakan tubuh yang enteng seperti burung walet, Thay-kun meluncur ke udara, lalu seganas harimau dia menerkam ke arah hutan bambu di hadapannya.
Jeritan ngeri yang memilukan sekali lagi berkumandang, dari balik peti mati mencelat keluar sesosok tubuh yang kemudian tergeletak di tanah sebagai mayat.
"Pelacur busuk, Hud-ya akan mengadu jiwa denganmu!" Di tengah bentakan keras, Ci-kim-kong Hwesio dan Kim-
kong Hwesio yang terakhir muncul dari balik gundukan tanah.
Sebatang anak panah kecil disertai dua desingan angin pukulan yang sangat kuat segera menyergap datang dari arah belakang.
Thay-kun tertawa terkekeh-kekeh, lalu bentaknya, "Sesungguhnya kalian mesti muncul diri sejak tadi!"
Dengan cepat Thay-kun melompat ke muka dan melayang turun
di belakang kedua Hwesio itu dengan sangat ringan. Tiba- tiba terdengar seseorang membentak.
Telapak tangan kiri Thay-kun sudah keburu diayunkan ke depan dengan kecepatan luar biasa.
Salah seorang dari Kim-kong Hwesio itu segera mendengus tertahan, lalu tubuhnya roboh terjengkang ke belakang dan binasa dalam keadaan mengenaskan.
Dengan cepat tiga sosok bayangan telah melayang datang dan turun di samping tubuh Ci-kim-kong Hwesio.
Setelah mengetahui jelas siapa ketiga orang itu, dengan perasaan girang Thay-kun segera berseru, "Ci-kim-kong adalah satu-satunya sumber berita untuk kita, harap kalian jangan melukai dirinya!" Ternyata ketiga orang yang baru saja muncul adalah Tio Tian-seng, Liu Khi serta Tan Sam-cing.
Sewaktu Ci-kim-kong Hwesio menyaksikan ketiga orang itu, dia justru menarik muka sambil membentak, "Kalian bertiga cepat turun tangan dan bekuk perempuan rendah itu!"
Thay-kun jadi tertegun, ditatapnya Tio Tian-seng bertiga dengan termangu, dia ingin tahu bagaimanakah reaksi rekan- rekannya itu?
Tampak olehnya Tio Tian-seng, Liu Khi dan Tan Sam-cing segera berkelebat ke muka dan dengan cepat membentuk posisi mengurung dari posisi tiga sudut, dengan begitu perempuan itu terkurung rapat.
Thay-kun berkerut kening, lalu serunya lantang, "Tio- pangcu, sejak kapan kalian bertiga berubah pendirian serta bersedia menuruti perintahnya?"
"Nona Thay-kun," dengan suara dalam Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng berkata, "kami telah berjumpa si tabib sakti Gi Jian- cau. Demi persatuan kami untuk bersama-sama menghadapi Hek-mo-ong, maka kami telah mengambil keputusan untuk tetap tinggal di Ban-jian-bong sambil berjaga-jaga di sini."
"Mulai sekarang setiap orang dilarang memasuki daerah Ban-jian-bong lagi. Oleh sebab itu kami berharap nona Thay- kun bersedia mengundurkan diri dari sini secepatnya."
Thay-kun berkerut kening, lalu dengan hawa napsu membunuh menyelimuti wajahnya, dia berkata, "Sebelum berhasil menjumpai Gi
Jian-cau, aku tak akan mengundurkan diri dari Ban-jian- bong."
"Nona," kata Liu Khi dengan ketus, "bilamana kau bersikeras tak mau mengundurkan diri, terpaksa kau harus terlibat dalam suatu pertarungan sengit melawan kami!" Pelan-pelan Thay-kun mengalihkan sorot matanya ke wajah Tan Sam-cing, kemudian tanyanya pula, "Apakah Tan- locianpwe juga sudah berpihak kepada mereka?"
Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing mendengus dingin, kemudian katanya, "Berbagai perubahan yang mendadak seringkali terjadi dalam Kangouw. Nona Thay-kun, kuanjurkan padamu lebih baik pergi dari Ban-jian-bong ini secepatnya, kalau tidak, kau akan tertimpa bencana kematian."
Thay-kun segera tertawa dingin.
"Bagus, bagus sekali. Cuaca gampang berubah, urusan dunia pun selalu berubah tak menentu. Jika memang demikian aku ingin terkubur dalam Ban-jian-bong ini daripada mengundurkan diri dari sini."
Tiba-tiba Ci-kim-kong Hwesio yang berada di sisinya berkata pula dengan suara berat, "Dia telah membinasakan sembilan orang Kim-kong Hwesio, apakah aku harus membiarkan dia pergi dari sini begitu saja?"
Tio Tian-seng memandang sekejap ke arah Ci-kim-kong Hwesio, kemudian katanya, "Taysu, si tabib sakti ada perintah membiarkan dia mengundurkan diri dari Ban-jian-bong. Bila dia tidak mau mundur, kita baru berusaha membunuhnya."
"Aku tidak percaya si tabib sakti benar-benar berbuat demikian," teriak Ci-kim-kong Hwesio.
Thay-kun tertawa dingin, kemudian teriaknya secara tiba- tiba, "Hwesio bajingan, biar kubunuh dirimu lebih dulu."
Thay-kun segera mengayun telapak tangan kirinya, kemudian mendesak ke depan menghampiri Ci-kim-kong Hwesio.
Siapa tahu baru saja tubuhnya bergerak, tiba-tiba dua bilah pedang dan sebilah golok panjang telah menghadang jalan pergi Thay-kun dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat. Tio Tian-seng, Tan Sam-cing serta Liu Khi adalah tiga jago persilatan berilmu silat tinggi dalam Kangouw dewasa ini.
Setelah mereka bekerja sama, siapa yang sanggup menghadapinya?
Dalam kejutnya, Thay-kun segera mundur tiga langkah, kemudian ujarnya dingin, "Benarkah kalian bertiga akan mencampuri urusanku dan menghalangi niatku ini?"
Dengan suara dalam Tio Tian-seng berkata, "Tabib sakti berpesan kepada kami bahwa Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak yang terkena jarum beracun ekor lebah dari Leng-hwe-tan tak bakal mati. Apakah nona masih ingin membuat keonaran lagi?"
"Apakah dia berkata demikian? Benarkah Jian-ciat-suseng tak akan mati?" tanya Thay-kun dengan perasaan bergetar keras.
Tio Tian-seng menghela napas panjang.
"Ai, tadi pun aku sudah terkena racun jarum ekor lebah Leng-hwe-tan, bekerjanya racun itu telah memancing bekerjanya racun dari Hek-mo-ong yang terkandung dalam badanku. Tapi kenyataan aku tak mampus."
"Tapi kau sudah memperoleh perawatan dan pengobatan tabib sakti, itulah sebabnya kau tak mampus!"
Tiba-tiba Tio Tian-seng bertanya, "Nona, pernahkah kau tahu tentang teori dalam ilmu pertabiban yang dinamakan "dengan racun melawan racun'?"
"Walaupun Jian-ciat-suseng sudah terkena jarum ekor lebah yang amat beracun, bukan saja dia tak akan mati, bahkan akan memusnahkan racun dari Hek-mo-ong yang ditanamkan di dalam tubuhnya, sekarang dia hanya pingsan selama beberapa jam, jiwanya tak akan terancam."
"Sungguhkah perkataanmu itu?" tanya Thay-kun dengan terkejut bercampur heran. "Aku tak perlu membohongimu." Thay-kun segera tertawa dingin.
"Apabila kalian berani membohongi aku, selama hidup aku bersumpah tak akan hidup berdampingan dengan kalian secara damai."
Selesai berkata, dia lantas membalikkan badan dan beranjak pergi dari situ.
Tiba-tiba terdengar Tio Tian-seng berkata lagi, "Harap nona mengingatnya baik-baik, sekali lagi jangan kau memasuki daerah Ban-jian-bong ini."
Thay-kun yang sudah jauh segera menyahut dengan suara merdu,
"Bila Jian-ciat-suseng selamat dari ancaman bahaya, kemungkinan besar kami akan mengundurkan diri untuk selamanya dari keramaian dunia persilatan."
Bayangan tubuh Thay-kun pun segera lenyap di balik remang-remangnya cuaca.
Matahari sudah lama tenggelam, yang tersisa tinggal secercali sinar yang sangat redup.
Di padang rumput yang hening, tiada hentinya berkumandang suara panggilan yang memilukan dan memedihkan hati, "Bong-suheng, dimana kau? Bong-suheng
Seorang perempuan yang berpakaian compang-camping dan berwajah kusut berlarian di padang rumput seperti orang kalap.
"Bong Thian-gak, dimanakah kau? Mengapa kau meninggalkan aku begitu saja?"
Tiada hentinya perempuan berbaju biru itu berteriak dan menjerit sekerasnya. Padang rumput yang tampak begitu sepi, hening dan mengerikan. Sebelum matahari terbenam tadi, di angkasa terdengar orang yang berteriak, "Engkoh Gak, engkoh Gak, dimanakah kau?" Dan sekarang ketika magrib tiba, kembali suasana hening dipecahkan oleh teriakan, "Bong-suheng, Bong-suheng, dimanakah kau?"
Sama-sama teriakan pilu seorang perempuan, sama-sama bernada cemas dan sedih, namun berasal dari dua orang perempuan yang berbeda.
Ternyata ketika Thay-kun berlari keluar dari Ban-jian-bong dan kembali ke bawah pohon yang rindang itu, bayangan tubuh Bong Thian-gak sudah lenyap. Tidak meninggalkan bekas apa-apa, tak mungkin pemuda itu diserang binatang liar atau menjumpai suatu peristiwa yang sama sekali di luar dugaan.
Tapi tubuh Bong Thian-gak lenyap begitu saja. Jelas dia sudah mendusin sendiri dari pingsannya,
kemudian pergi meninggalkan tempat itu.
Kepergian Bong Thian-gak tanpa pamit membuat Thay-kun merasa sedih. Sejak dia menelan pil penghilang sukma hingga syarafnya menderita luka, keadaan badannya menjadi sangat lemah, akibatnya pukulan batin yang amat besar ini segera membuat jalan pikirannya menjadi lamban dan tidak jelas.
Bagaikan orang gila, dia mulai berlarian sambil memanggil nama Bong Thian-gak, dia berlari menyusuri setiap sudut padang rumput yang dilewatinya.
Malam sangat kelam.
Di sudut padang rumput berdiri sebuah gedung bobrok, sepi dan menyeramkan.
Tiba-tiba muncul seorang perempuan muda berambut panjang yang mengenakan baju putih, perempuan muda itu berwajah cantik, usianya antara dua puluh tahunan, namun perutnya besar sekali, jelas dia sedang mengandung.
Di atas perutnya yang sudah besar dan kandungan berusia lima-enam bulan ini berbaring seorang lelaki dalam keadaan tak sadar, hal ini membuat perempuan muda itu nampak lebih lemah dan mengenaskan.
Seluruh wajah perempuan muda itu diliputi perasaan sedih dan pedih, ia memandang sekejap sekeliling gedung itu, lalu gumamnya, "Mungkin gedung ini tak ada penghuninya?"
Sembari bergumam dengan cepat ia membopong lelaki itu dan masuk ke dalam gedung.
Nyonya muda itu mengetik batu api, sekilas cahaya api menerangi sekeliling tempat itu, ternyata sebuah ruangan besar, perabotnya komplit dan di atas dinding tergantung beberapa lukisan pemandangan dan orang, sementara lantainya bersih tak berdebu, jelas ada penghuninya.
Dengan terkejut perempuan muda itu mengundurkan diri dari pintu ruangan, kemudian serunya lembut, "Adakah seseorang di sini?"
Pertanyaan itu diulang beberapa kali, namun tak terdengar suara apa pun.
Akhirnya nyonya muda itu bergumam, "Mungkin pemilik rumah sedang keluar, pintu luar tidak dikunci, jelas dia tak pergi jauh. Ai, luka yang diderita engkoh Gak begini parah, aku perlu mengobati luka itu secepatnya. Ya sudahlah, terpaksa aku meminjam ruangan ini "
Sekali lagi nyonya muda itu masuk ke dalam ruangan, lalu menyulut tiga batang lilin yang ada dalam ruangan itu, cahaya api segera menerangi seluruh penjuru ruangan itu.
Kali ini nyonya muda itu dapat melihat jelas ruangan itu diatur sangat rapi dan mewah, terutama lukisan di atas dinding, pada hakikatnya semua lukisan itu berasal dari pelukis kenamaan.
Tapi nyonya muda itu seperti tak ada waktu untuk menikmati lukisan-lukisan itu, dengan cepat ia membaringkan lelaki dalam bopongannya itu ke atas sebuah meja pendek di tengah ruangan.
Kemudian dia melepas pakaian bagian dadanya dan diperiksa dengan seksama semua luka yang dideritanya, kemudian dia memegang urat nadinya dan memeriksa lebih kurang sepeminuman teh lamanya.
Kemudian nyonya muda itu baru menghela napas panjang, mengambil kursi dan mengeluarkan sebuah kotak kemala persegi panjang yang segera diletakkan di atas kursi tadi.
Ketika penutup kotak itu terbuka, selapis cahaya emas dan perak segera memancar dari balik kotak itu.
Sinar emas dan perak itu sangat kuat dan menusuk pandangan mata, sehingga sinar lilin yang semula menyinari ruangan itu pun terasa menjadi redup.
Dengan cepat nyonya muda berbaju putih itu mengeluarkan isi kotak kemala itu, ternyata isinya adalah jarum emas dan perak.
Jarum-jarum itu lembut seperti bulu kerbau, setiap batang jarum memancarkan sinar yang sangat kuat.
Dengan sangat teratur, perempuan berbaju putih itu menjajarkan jarum-jarum itu di atas bangku, ternyata jarum itu terdiri dari dua belas batang jarum emas dan dua belas jarum perak.
Ketika semua persiapan telah selesai, perempuan berbaju putih baru menarik napas panjang, dengan tangan kanan memegang sebatang jarum emas, tangan kiri memegang sebatang jarum perak, serentak dia tusuk jalan darah penting di dada pemuda itu dengan cepat. Gerakan yang dilakukan nyonya muda itu sangat cepat, sepasang tangannya bekerja bersama secara bergantian. Dalam waktu singkat, dari dua puluh empat batang jarum emas dan perak itu tinggal dua batang yang belum ditancapkan.
Saat itu dia telah menggenggam kedua batang jarum emas dan perak terakhir.
Mendadak dari luar berkumandang suara panggilan yang keras dan memekakkan telinga.
"Bong-suheng, dimanakah kau berada?"
Ketika mendengar teriakan itu, nyonya muda berbaju putih itu nampak tertegun, namun dengan cepat kedua batang jarum emas dan perak itu ditancapkan ke atas dada pemuda itu.
Mendadak sesosok bayangan berkelebat masuk ke dalam ruangan gedung.
Seorang perempuan berbaju biru yang compang-camping, dengan cepat sudah berdiri di ruang tengah. Ketika menyaksikan orang yang tergeletak di atas meja rendah itu, teriaknya, "Jangan kau lukai dia!"
Dengan gerakan sangat cepat dia mendesak maju, lalu cahaya merah memancar dari tangan kirinya, tahu-tahu sebuah pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang telah dilontarkan.
Nyonya muda berbaju putih itu memandang sekejap ke arahnya, namun kedua batang jarum emas dan perak itu masih dilanjutkan menusuk ke jalan darah pemuda itu.
Berada dalam keadaan seperti ini, sudah barang tentu mustahil bagi nyonya muda berbaju putih itu untuk menangkis datangnya ancaman serangan perempuan itu, apalagi serangan itu merupakan ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang yang ganas dan mematikan. Tampaknya nyonya cantik berbaju putih itu segera akan tewas di tangan lawan.
Siapa tahu pada saat itulah dari belakang tubuh nyonya berbaju putih itu muncul sebuah tangan yang mendahului pukulan dahsyat tadi dengan mendorong tubuh perempuan berbaju putih itu hingga mundur tiga-empat langkah.
Thay-kun tak pernah menyangka ilmu pukulan Soh-li-jian- yang-sin-kang akan mengenai tempat kosong. Meskipun saat itu dia pun melihat orang yang mendorong perempuan berbaju putih itu, namun tak sempat lagi melepaskan serangannya, dengan cepat dia hendak memeluk orang yang berbaring di atas meja itu.
Melihat perbuatan itu, nyonya muda berbaju putih itu segera berteriak, "Jangan kau sentuh dia!"
Jangan dilihat badannya lemah-gemulai seperti tak bertenaga, ternyata gerakannya cepat dan sama sekali di luar dugaan. Tahu-tahu sebuah pukulan telah dilontarkan ke depan.
Telapak tangan kanan nyonya berbaju putih itu menghantam di atas bahu kanan Thay-kun.
Akibatnya Thay-kun tidak mampu menahan diri lagi, dengan sempoyongan dia terdorong mundur tiga-empat langkah, kemudian memuntahkan darah segar.
Selapis hawa membunuh yang sangat menggidikkan segera memancar dari mata Thay-kun, pelan-pelan dia mengangkat telapak tangan kirinya.
Mendadak terdengar suara seorang kakek, "Tahan!" Suara itu terlambat, pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang
Thay-kun telah dilontarkan ke depan. Nyonya berbaju putih mendengus tertahan, lalu sambil memeluk perutnya yang besar dia terjongkok dan duduk di tanah.
Saat itulah Thay-kun baru melihat lawan adalah seorang perempuan yang sedang mengandung. Dia menjadi tertegun, kemudian kakinya menjadi lemas dan akhirnya jatuh terduduk di atas tanah.
Paras muka nyonya muda berbaju putih pucat-pias seperti mayat. Mukanya mengejang keras, dengan suara penuh penderitaan dia berkata, "Empek, tolong bantu aku melindunginya, dia segera akan mendusin."
Ternyata di dalam ruangan itu telah bertambah dengan seorang kakek berbaju hijau.
Kakek itu mempunyai wajah yang keras, alis matanya berwarna putih, telinga besar, namun tampaknya seperti sedang menderita sesuatu penyakit sehingga mukanya kuning kepucat-pucatan.
Kendatipun demikian, hal itu sama sekali tidak menutupi kegagahan serta kewibawaannya.
Kakek berbaju hijau memandang sekejap ke arah nyonya muda berbaju putih, lalu tanyanya dengan ramah, "Parahkah luka yang kau derita?"
"Parah sekali, telah menggoncang rahimku!"
Dalam pada itu Thay-kun sudah mulai sadar, secara lamat- lamat tindakan yang dilakukan perempuan muda berbaju putih tadi bukan bermaksud hendak mencelakai Bong Thian-gak, melainkan sedang mengobati lukanya dengan ilmu tusuk jarum yang sangat hebat.
Thay-kun benar-benar menyesal, menyesal atas kecerobohannya. Dengan cepat ia meronta bangun dari atas tanah, lalu tanyanya agak gemetar, "Si... siapakah kau?"
Dengan wajah murung dan suara merintih, nyonya muda berbaju putih itu berbisik pelan, "Mungkin ... mungkin kau telah mencelakai jiwa anakku yang masih dalam kandungan."
"Ai, aku ... aku benar-benar telah khilaf. Aku ... aku kelewat ceroboh," keluh Thay-kun sambil menghela napas sedih.
Kakek berbaju hijau berjalan mendekat, lalu mengeluarkan sebuah botol obat menuju ke hadapan nyonya muda itu.
Dengan cepat dia mengeluarkan tiga butir pil, ujarnya dengan lembut, "Cepat kau telan pil ini. Pil itu adalah Kiu-coan-bing- wan, bisa jadi akan menekan goncangan pada rahimmu."
Dengan cepat nyonya muda berbaju putih menerima pemberian itu dan sekaligus menelan ketiga butir pil itu. Betul juga, ketika pil itu masuk ke dalam mulut, terasa harum semerbak memancar kemana-mana. Rasa sakit dalam perut juga semakin berkurang.
Tiba-tiba Thay-kun membimbing nyonya muda berbaju putih itu, kemudian bisiknya, "Cici, maafkanlah aku!"
Setelah menelan pil tadi, rasa sakit yang melilit perut nyonya muda berbaju putih itu pun semakin berkurang, dengan kening berkerut dia segera bertanya, "Siapakah kau? Mengapa kau kenal padanya?"
"Apakah Cici kenal padanya?" Thay-kun balik bertanya dengan terkesiap.
"Dia adalah suamiku," jawab si nyonya muda itu dengan suara pedih.
Thay-kun benar-benar terkejut sekali.
"Ah, kalau begitu kau adalah ... adalah Song Leng-hui!"
Agaknya nyonya muda berbaju putih itu sama sekali tak mengira Thay-kun bisa menyebut namanya dengan tepat, selapis sinar duka dan murung segera memancar dari balik matanya, pelan-pelan dia bertanya, "Siapakah namamu?"
"Aku bernama Thay-kun, aku adalah adik seperguruannya." Ternyata nyonya muda berbaju putih itu adalah Song Leng-
hui. Sejak Bong Thian-gak meninggalkannya untuk turun gunung, dia hidup seorang diri di tengah pegunungan yang terpencil sambil merindukan suaminya, rasa rindu itu kian hari kian bertambah.
Setiap pagi maupun senja, dia selalu berdiri di puncak bukit sambil menunggu suaminya pulang.
Pada bulan kedua, Song Leng-hui merasa ada perubahan pada dirinya. Perut pun makin hari makin membesar, dia tahu hubungan intim yang mereka lakukan pada malam ini telah menghasilkan benih dalam rahimnya.
Kejadian itu membuat Song Leng-hui semakin mengharapkan suaminya pulang, dia ingin turun gunung, tapi pesan orang tuanya sebelum meninggal membuatnya tak berani membangkang sumpah untuk turun gunung.
Tapi rasa rindu yang menyiksa dirinya serta perut yang semakin bertambah besar, membuat perempuan itu tak bisa berdiam diri lagi, akhirnya tanpa berpikir lebih jauh, ia segera turun gunung.
Setelah turun gunung, dia pun mulai menyusuri jejak Bong Thian-gak sepanjang jalan. Dia pergi ke Ho-pak, lalu ke Ho- lam, sebulan lebih dia menderita dan mengembara, namun jejak Bong Thian-gak belum juga ditemukan.
Dalam sedih dan tekanan batin yang sangat berat, akhirnya terjadi perubahan pada dirinya. Setiap senja mulai menjelang tiba, dia mulai menyusuri tempat terpencil dan meneriakkan nama, "Engkoh Gak ...engkoh Gak."
Akhirnya dia berhasil juga menemukan Bong Thian-gak. Ia tergeletak di bawah pohon dalam keadaan sangat kritis, maka sambil membopong tubuhnya dan menyusuri jalanan sejauh satu li lebih, akhirnya dia berhasil menemukan gedung itu.
Song Leng-hui menghela napas sedih, pelan-pelan katanya, "Thay-kun, aku pernah mendengar nama itu disebut olehnya, dia terjun kembali ke dunia persilatan tak lain karena ingin menolongmu. Ai, tapi dia ... dia telah berubah menjadi begini rupa sekarang."
Air mata bercucuran membasahi wajah Thay-kun, serunya lirih, "Enci Song, maafkanlah aku, aku memang pantas mati bila kau mengalami sesuatu. Bagaimana mungkin aku bisa mempertanggungjawabkan kepada Bong-suheng."
Thay-kun menangis, menangis dengan sedihnya.
Suara isak-tangisnya amat memilukan, membuat siapa pun yang mendengar turut berduka.
Memandang keadaan itu, Song Leng-hui menjadi terharu pula, tanpa terasa dia segera menghibur, "Enci Thay-kun, kau tidak usah bersedih, aku tak akan mati."
"Enci Song, tadi aku telah melancarkan serangan dengan ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang, aku sudah seharusnya mati."
Mendadak kakek berbaju hijau itu menghela napas panjang, lalu berkata, "Sebenarnya ilmu pukulan Soh-li-jian- yang-sin-kang adalah ilmu sakti yang sangat langka, tapi untunglah, nona Song memiliki tenaga Tay-gi-khi-kang yang melindungi badannya, sehingga luka yang dideritanya pun tidak terlampau parah."
Perkataan kakek berbaju hijau membuat kedua orang perempuan itu segera sadar bahwa di dalam ruangan itu masih hadir seorang kakek berbaju hijau.
Song Leng-hui segera berpaling ke arah kakek itu, kemudian ujarnya dengan lembut, "Terima kasih banyak atas pemberian obat Locianpwe. Maafkanlah, Siauli sedang terluka sehingga tak dapat menyampaikan rasa terima kasihku kepadamu."
"Nona Song tidak usah banyak adat."
Tiba-tiba Song Leng-hui berkata lagi, "Tampaknya Locianpwe adalah tuan rumah gedung ini. Bila Siauli telah memasuki gedung kediamanmu pada saat yang kurang cepat dan secara gegabah, harap Locianpwe sudi memaafkan."
Sebenarnya Thay-kun mengira Song Leng-hui dan kakek berbaju hijau itu berasal dari satu jalan, dia baru tertegun sesudah mendengar perkataan itu, tanpa terasa dia memperhatikan beberapa kejap.
"Tak usah sungkan-sungkan," kata kakek berbaju hijau itu sambil tersenyum. "Kita dapat bersua berarti di antara kita memang punya jodoh."
Song Leng-hui kembali tersenyum.
"Locianpwe memang betul-betul seorang tokoh yang luar biasa. Nyatanya kau sanggup menebak asal-usul ilmu silatku secara tepat, bolehkah aku tahu siapa nama Locianpwe?"
Sambil mengelus jenggotnya yang panjang dan tertawa, kakek berbaju hijau itu berkata, "Tay-gi-khi-kang merupakan ilmu silat yang luar biasa dalam persilatan, di kolong langit dewasa ini pun hanya Song-ciu suami-istri yang memiliki kepandaian itu. Bila dugaanku tidak salah, sudah pasti nona adalah keturunan Song-ciu."
Berubah paras muka Song Leng-hui, cepat dia bertanya, "Siapakah Locianpwe?"
Dalam benak Song Leng-hui dengan cepat melintas pesan terakhir ayahnya sebelum meningal, "Anak Hui, sekalipun kau berhasil melatih ilmu silat yang luar biasa, ilmu Tay-gi-khi- kang serta berbagai macam ilmu silat lainnya, namun bagaimana pun juga kau tidak boleh turun gunung, sebab orang tuamu mempunyai seorang musuh besar yang lihai sekali. Bukan saja dia telah berhasil melatih berbagai macam ilmu silat yang hebat di dunia ini, dia pun berhati kejam dan buas. Sekali kau menggunakan ilmu silatmu, maka dia akan segera mengenali asal-usulmu itu dan melakukan pembunuhan atas dirimu."
"Oleh karenanya aku meminta kau bersumpah dan selama hidup tidak turun gunung, selama hidup merahasiakan ilmu silat yang kau miliki itu ... sekalipun terhadap kekasihmu sendiri, kau juga tidak boleh memperlihatkan ilmu silatmu sendiri."
Hati Song Leng-hui benar-benar bergetar keras, ditatapnya kakek berbaju hijau itu lekat-lekat tanpa berkedip.
Menyaksikan ketegangan yang mencekam Song Leng-hui, diam-diam Thay-kun menegur kecerobohannya, maka dia pun memutuskan bila kakek itu bersiap melakukan serangan, maka dia akan turun tangan lebih dahulu.
Sementara itu kakek berbaju hijau sudah memandang sekejap ke arah kedua gadis itu, kemudian katanya, "Kalian tak usah bertanya siapa namaku, kalian pun tidak perlu curiga dan takut terhadapku."
Song Leng-hui adalah seorang yang baru terjun ke dunia Kangouw, pengetahuan serta pengalaman yang dimilikinya masih cetek. Setelah mendengar ucapan kakek itu, dia menjadi tersipu-sipu dan segera menundukkan kepala.
Sebaliknya Thay-kun segera tersenyum, seraya berkata, "Ah, kami tidak lebih hanya merasa bahwa Locianpwe adalah seorang aneh, lain daripada yang lain."
"Melihat yang aneh jangan terasa aneh, keanehan hanya akan muncul dari dasar hati," kata kakek berbaju hijau itu sambil mengelus jenggotnya dan tertawa. Kemudian dia berpaling dan memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak yang masih terbaring di atas meja sambil berkata, "Ilmu tusuk jarum Song-hujin yang mengandalkan dua puluh empat batang jarum emas dan perak merupakan tandingan dari berbagai macam racun yang ada di dunia ini, kini semua racun yang ada di dalam tubuhnya mungkin sudah punah oleh tusukan jarum emas dan perak itu. Nona Song, kau boleh mencabut semua jarum emas dan perak itu."
"Locianpwe, tampaknya kau seperti banyak tahu tentang segala sesuatu mengenai kedua orang tuaku?" tanya Song Leng-hui curiga.
Kakek berbaju hijau itu segera tertawa terbahak-bahak, "Nama besar Song-ciu suami-istri tercantum dalam deretan nama sepuluh tokoh persilatan. Nama mereka amat termasyhur, tak aneh bila diketahui setiap orang."
"Locianpwe, maaf bila aku mengajukan pertanyaan secara sembrono," tukas Thay-kun. "Aku lihat wajahmu kurang baik. Apakah kau merasa kurang sehat?"
Kembali kakek berbaju hijau itu tertawa tergelak, "Benar- benar memiliki ketajaman mata luar biasa. Betul, aku memang menderita suatu penyakit menahun."
"Bolehkah aku tahu penyakit apakah itu?" "Keracunan," jawab si kakek sambil tersenyum.
"Apakah racun yang bersarang di dalam tubuh Locianpwe sukar untuk diobati?"
"Racun yang bersarang dalam tubuhku cuma bisa disembuhkan oleh dua orang saja di kolong langit dewasa ini."
"Aku tahu siapakah kedua orang yang kau maksudkan itu." "Coba katakanlah!"
"Si tabib sakti Gi Jian-cau serta dua puluh empat batang jarum emas dan perak Song-hujin!" Sekali lagi kakek berbaju hijau itu tertawa terbahak-bahak, "Pintar sekali. Dugaanmu memang sangat tepat, tapi aku tidak habis mengerti, darimanakah kau bisa menebak isi pikiranku secara tepat."
"Sewaktu enci Song terluka tadi, aku dapat melihat bahwa kau merasa amat gelisah dan tidak tenang."
Song Leng-hui yang mendengarkan pembicaraan itu, segera mengedipkan matanya yang jeli berulang kali, kemudian ditengoknya kakek itu sekejap, katanya, "Benarkah Locianpwe menderita luka keracunan menahun?"
"Benar," kakek berbaju hijau itu mengangguk. "Racun yang bersarang di dalam tubuhku itu sudah menyiksaku selama puluhan tahun lamanya."
"Bila Locianpwe memang terluka, sudah sepantasnya bila aku membantumu dengan segenap kemampuan yang kumiliki."
"Kalau begitu aku ucapkan banyak terima kasih lebih dulu." Tiba-tiba Song Leng-hui berkata kepada Thay-kun, "Enci
Thay-kun, coba kau pergilah ke sana dan cabutlah kedua puluh empat batang jarum emas dan perak itu dari atas tubuh engkoh Gak."
Thay-kun segera berjalan ke hadapan Bong Thian-gak dan mencabut kedua puluh empat batang jarum emas dan perak yang menancap di tubuh Bong Thian-gak.
Dengan suara lembut Song leng-hui segera berkata lagi, "Setengah jam kemudian dia akan mendusin. Enci Thay-kun setelah termakan oleh pukulan Tay-gi-ciang tadi, kuduga isi perutmu sudah menderita luka ringan. Kau cepatlah duduk bersila untuk mengatur pernapasan, kalau tidak, bila darah sampai membeku di dalam badan sudah pasti akan menciptakan luka dalam yang tak terobati." Thay-kun merasa berterima kasih sekali mendengar perkataan itu, kemudian katanya, "Enci Song, aku tidak apa- apa, yang penting adalah kau sendiri."
"Ketiga butir pil mujarab yang dihadiahkan Locianpwe kepadaku sangat mujarab, mungkin keadaanku sudah tidak apa-apa lagi. Sekarang biar aku beristirahat dulu sejenak, sebelum membantu menyembuhkan luka yang diderita Locianpwe."
"Tak perlu terburu napsu," cepat kakek berbaju hijau berkata. "Tak ada salahnya bila nona Song sekalian beristirahat beberapa hari dulu di sini. Bila luka yang kau derita sudah sembuh, barulah kau coba membantuku mengobati luka yang kuderita ini."
"Enci Song," Thay-kun segera menyambung, "mari kita beristirahat dulu selama beberapa hari di sini."
Song Leng-hui menghela napas panjang.
"Ai, antara kita dan Locianpwe ini boleh dibilang sama sekali tidak kenal dan tak punya hubungan apa-apa. Aku merasa kurang enak untuk mengganggu ketenangan orang lain."
Si kakek berbaju hijau segera tertawa, "Perkataan nona Song terlalu serius. Bila kau sanggup menyembuhkan penyakitku yang telah menahun ini, maka aku akan sangat berterima kasih kepadamu, bahkan budi kebaikan ini pun tak tahu bagaimana musti kubayar. O, ya Bukankah kalian
belum bersantap malam? Sebentar biar aku masuk ke dalam dan memerintahkan orang-orangku mempersiapkan hidangan malam untuk kalian."
Selesai berkata kakek berbaju hijau segera beranjak masuk ke ruang dalam, dengan begitu dalam ruangan pun tinggal Bong Thian-gak, Song Leng-hui dan Thay-kun bertiga. Sekalipun Thay-kun dan Song Leng-hui menaruh kecurigaan terhadap asal-usul kakek itu, namun sikap bersahabat si kakek membuat mereka tak mampu menduga secara sembarangan.
Tak lama setelah kakek itu masuk, dari ruang dalam telah muncul dua orang dayang berbaju hijau, yang seorang membawa baki berisi enam buah cawan, sedang yang lain membawa sebuah poci berisi air teh.
Kedua orang dayang itu berusia antara lima-enam belas tahun, berkulit putih, bermata jeli dan senyum manis menghiasi ujung bibirnya, membuat siapa pun yang memandang merasa tertarik.
Dayang berbaju hijau yang berada di sebelah kanan segera berkata dengan suara merdu, "Bila pelayanan kami terlambat, harap sudi dimaafkan. Silakan nona berdua minum teh!"
Sembari berkata kedua dayang itu telah mempersembahkan dua cawan air teh dengan cepat.
Tanpa sungkan Thay-kun dan Song Leng-hui segera menerima cawan air teh itu.
Tiba-tiba Thay-kun merasa cawan teh itu dingin sekali, ketika diamati lebih seksama lagi, ternyata terbuat dari kemala asli.
Dengan terkejut Thay-kun berseru, "Wah, keenam cawan ini benar-benar benda antik yang tak ternilai harganya!"
"Ketajaman mata nona sungguh mengagumkan," kata dayang berbaju hijau itu sambil tersenyum. "Keenam cawan kemala putih berusia seribu tahun ini merupakan cawan yang hanya digunakan majikan terhadap tamu agung. Konon bila menggunakan cawan ini untuk menyeduh air teh, bukan saja baunya akan lebih harum dan rasanya manis, terlebih dapat menyegarkan tubuh." Sementara itu Song Leng-hui telah meneguk secawan. Dia segera berseru, "Oh, sungguh harum sekali. Belum pernah aku minum air teh semacam ini."
Thay-kun segera turut mencicipi, dengan cepat dia pun memuji tiada hentinya,
"Air teh ini benar-benar lezat dan harum. Bagaikan cairan kental yang menyegarkan badan, benar-benar luar biasa."
Sementara itu dayang berbaju hijau itu sudah berdiri di samping dan memenuhi dua cawan air teh lagi.
"Mengapa adik berdua tidak mencicipi pula secawan?" kata Song Leng-hui tiba-tiba.
Dayang berbaju hijau itu segera tersenyum.
"Air teh dalam cawan kemala putih berusia seribu tahun merupakan benda yang tak ternilai harganya. Budak tak berani meneguknya."
Thay-kun yang mendengar perkataan itu segera merasa amat terkejut, pikirnya dengan cepat, "Mengapa mereka tak berani minum air teh itu? Jangan-jangan di balik semua itu terdapat hal-hal yang tak beres."
Belum selesai ingatan itu melintas, tiba-tiba terdengar suara gelak tawa yang sangat keras, "Siu-kong, Siu-go, bukankah tamu telah menghadiahkan secawan teh kemala putih kepada kalian? Mengapa kalian tidak berterima kasih kepada tamu?"
Mendengar ucapan itu, kedua dayang berbaju hijau itu segera berkata bersama, "Terima kasih banyak budak ucapkan atas pemberian teh dari nona."
Kemudian mereka meneguk habis isi cawan itu dengan lahapnya.
setelah itu ia baru berseru, "Hm, sungguh harum, sungguh manis." Dari sikap kedua dayang itu meneguk air teh, Song Leng- hui dapat melihat bahwa mereka belum pernah mencicipi air teh yang berasal dari cawan kemala berusia seribu tahun itu, maka setelah tertegun sejenak, tanyanya, "Apakah kalian belum pernah minum air teh itu?"
Dari balik ruangan muncul kembali kakek berbaju hijau itu, sambil tersenyum ia segera berkata, "Cawan kemala putih berusia seribu tahun merupakan benda langka yang tak ternilai harganya di dunia ini, belum pernah kuserahkan cawan itu untuk dipakai para pelayan. Oleh sebab itu harap kalian berdua jangan menertawakannya."
Song Leng-hui berkerut kening mendengar perkataan itu, diam-diam pikirnya, "Pelit amat orang ini, tapi heran, mengapa ia justru bersikap royal kepada kami?"
Sebaliknya Thay-kun segera berkata pula sambil tertawa, "Silakan Locianpwe pun menikmati secawan air teh bersama kami."
Thay-kun tahu bahwa kaum persilatan penuh dengan tipu- muslihat serta ancaman mara bahaya, apalagi asal-usul kakek berbaju hijau itu tidak diketahui secara jelas, bagaimana pun juga ia merasa wajib untuk menjaga diri dan waspada terhadap serangan lawan.
Tampaknya kakek berbaju hijau itu dapat membaca suara hati Thay-kun, dia segera tertawa terbahak-bahak, "Tentu saja aku harus menemani tamu minum bersama."
Sementara itu Siu-kong telah mengangsurkan pula secawan air teh ke hadapannya, kakek berbaju hijau itu segera meneguknya sampai habis, kemudian baru berkata sambil tertawa ringan, "Siu-kiong, Siu-go, cepat masuk dan bantu Hay Cing-cu menyiapkan sayur dan arak."
Kedua dayang berbaju hijau segera menjura dan mengundurkan diri dari ruangan itu. Sementara kakek itu sudah duduk dan berkata sambil tersenyum, "Sejak setengah tahun berselang, aku pindah kemari untuk merawat lukaku. Untuk itu aku hanya membawa tiga orang pembantu saja, itulah sebabnya gedung ini kosong dan amat sepi rasanya."
Song Leng-hui serta Thay-kun memang ingin mengajukan pertanyaan itu kepada si kakek, sungguh tak disangka ternyata dia telah memperkenalkan diri terlebih dahulu.
Dalam hati Thay-kun tanpa terasa timbul perasaan curiga dan bimbang, sambil tertawa merdu dia lantas berkata, "Bolehkah aku tahu, siapakah nama Locianpwe?"
Kakek itu tertawa tergelak, "Nona Thay-kun, cepat atau lambat kalian pasti akan mengetahui siapa aku."
Baru selesai dia berkata, suara rintihan pelan bergema dari mulut Bong Thian-gak yang berbaring di meja, kemudian tampak anak muda itu bangkit dan duduk.
Begitu duduk, kebetulan sekali sorot matanya tertuju ke arah Song Leng-hui yang berada di hadapannya. Dalam tertegunnya, Bong Thian-gak segera menggosok-gosok matanya berulang kali.
Tiba-tiba terdengar Song Leng-hui berseru, "Engkoh Gak ... ini aku!"
Dengan cepat dia sudah menubruk ke muka.
"Leng-hui ... kau? Atau aku sedang bermimpi?" seru Bong Thian-gak sambil menggeleng kepala berulang kali.
Sementara itu Thay-kun segera bangkit dan menghampirinya sambil berkata, "Kau bukan lagi bermimpi, enci Song turun gunung hendak menolongmu."
Saat itu Bong Thian-gak telah melihat jelas raut muka setiap orang yang berada dalam ruangan itu, jelas semua ini bukan dalam mimpi, tapi kenyataan. Dalam ingatannya, Song Leng-hui adalah seorang gadis lemah yang sama sekali tak mengerti ilmu silat, darimana dia sanggup menyembuhkan lukanya?
Tapi benarkah dia mampu menolongnya?
Bukankah tiga tahun berselang, dia pun pernah menyelamatkan jiwanya dari ancaman maut?
Berbagai ingatan berkecamuk dalam benak Bong Thian- gak, tiba-tiba sorot matanya tertumbuk kepada perut Song Leng-hui yang membengkak besar.
Tanpa terasa ia tertegun dan bergumam lirih, "Kau ... kau telah mengandung?"
Dalam pada itu Song Leng-hui pun sudah melihat sikap Bong Thian-gak yang bingung dan tak habis mengerti, dia malah tertegun dibuatnya, tiba-tiba saja gadis itu menangis tersedu-sedu sambil menundukkan kepala.
Tangisan yang kelewat sensitif kaum wanita. Ketika ia lihat kegugupan pemuda itu, disangkanya si pemuda tidak menyukainya lagi, tidak suka kalau dia mengandung, maka hatinya menjadi amat sedih.
Tiba-tiba Thay-kun berkata dengan dingin, "Bong-suheng, enci Song telah mengandung anakmu. Kau benar-benar amat kejam, membiarkan seorang gadis yang lemah hidup seorang diri di atas gunung yang terpencil, sekarang dia telah melakukan perjalanan jauh dan bersusah-payah mencari kau, bahkan menyelamatkan pula jiwamu, mengapa kau justru bersikap begitu dingin dan hambar kepadanya?"
Ketika melihat istrinya menangis, Bong Thian-gak dibuat semakin tertegun lagi, dia baru sadar dari lamunannya, tiba- tiba ia berteriak dan menubruk ke depan, lalu sambil memegang bahunya dia berseru dengan gembira, "Leng-hui, kau ... kau benar-benar sudah mengandung anak kita berdua? Oh, aku gembira sekali. Belum pernah terbayang olehku akan mendapat anak, aku benar-benar merasa gembira."
Song Leng-hui ikut tertawa dengan tersipu-sipu malu, katanya lirih, "Benarkah kau menyukai anak? Aku malah merasa jengkel karena dia datang terlalu cepat."
"Lebih cepat malahan lebih baik," seru Bong Thian-gak sambil melompat kegirangan. "Aku malah ingin sekali dia lahir saat ini juga dan memanggil ayah padaku."
"Tempat ini bukan rumah kita, kau jangan berteriak-teriak seperti anak kecil."
Mendengar itu, Bong Thian-gak baru memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, kemudian tanyanya heran, "Berada dimanakah kita sekarang? Mengapa kau turun gunung? Bersediakah kau menceritakan segalanya kepadaku?"
Mendadak kakek berbaju hijau itu berkata, "Nona Song dan Bong-laute telah bertemu kembali setelah berpisah sekian lama, tentu banyak persoalan yang hendak kalian bicarakan, biarlah aku mohon diri lebih dulu."
Kali ini Bong Thian-gak dapat melihat paras muka kakek berbaju hijau itu dengan jelas, air mukanya segera berubah. Setelah tertegun sejenak, pikirnya, "Aku seperti pernah berjumpa orang ini? Tapi siapakah dia? Ya, siapakah dia?"
Dalam pada itu si kakek berbaju hijau sudah mengundurkan diri dari ruangan itu.
Thay-kun sendiri merasa kecut hatinya, di samping rasa cemburu yang timbul secara tiba-tiba setelah menyaksikan Song Leng-hui dan Bong Thian-gak berbicara lirih dengan sikap begitu mesra dan penuh cinta kasih, diam-diam dia segera membalikkan badan dan beranjak pergi pula dari situ.
Song Leng-hui yang menyaksikan keadaan itu segera mengejar ke depan, sambil serunya, "Enci Thay-kun, kau hendak pergi kemana?" Thay-kun menyahut sambil tersenyum, "Bong-suheng sudah sehat kembali, aku ... aku hendak pergi dari sini."
"Enci, kau tak boleh pergi. Bila kau pergi, maka aku pun akan segera pulang ke gunung."
Sambil menghela napas Bong Thian-gak berkata pula, "Thay-kun, kau jangan pergi dulu. Sekalipun hendak pergi, tak perlu tergesa-gesa. Ai, tempat apakah ini? Siapa pula kakek tadi?"
Sesungguhnya Thay-kun pun sudah melihat pula perubahan air muka Bong Thian-gak setelah melihat paras muka kakek berbaju hijau itu. Satu ingatan segera melintas dalam benaknya, segera tanyanya, "Bong-suheng, apakah kau pernah bersua dengannya? Dia adalah tuan rumah tempat ini, gedung ini terletak di luar kota Lok-yang, di sekelilingnya tidak bertetangga."
"Jadi kalian sama sekali tidak kenal padanya?" tanya Bong Thian-gak dengan kening berkerut.
"Ya, kami tak pernah kenal sebelumnya."
Secara ringkas Thay-kun segera menceritakan kembali apa yang mereka alami. Dengan kening berkerut kencang Bong Thian-gak mendengarkan kisah itu dengan penuh perhatian.
Song Leng-hui menaruh kesan baik terhadap kakek berbaju hijau itu, cepat dia berseru, "Engkoh Gak, empek tua ini sangat ramah, gagah dan menyenangkan, dia pasti orang baik-baik."
Mendadak Bong Thian-gak berseru tertahan, paras mukanya kembali berubah hebat, serunya lirih, "Dia agak mirip dengan...”
Dengan merendahkan suaranya hingga setengah berbisik, Bong Thian-gak berkata, "Raut mukanya sangat mirip Sam- cing Totiang." "Hek-mo-ong!" Thay-kun terkejut.
"Seandainya dia benar-benar adalah Sam-cing Totiang, kita tak boleh berdiam lama di sini."
"Siapa Hek-mo-ong?" tanya Song Leng-hui dengan perasaan tidak habis mengerti.
"Dia adalah seorang jago silat yang ganas dan berhati buas, sedikit pun tidak berperi-kemanusiaan."
"Engkoh Gak, kau jangan salah melihat orang."
"Benar, aku sendiri pun tidak mempunyai keyakinan untuk mengenalinya sebagai Sam-cing Totiang, namun perawakan tubuh serta bayangan punggungnya mirip Sam-cing Totiang."
Tiba-tiba Thay-kun berkata, "Seandainya dia adalah Hek- mo-ong, seharusnya dia sudah turun tangan terhadap kita sejak tadi."
Hek-mo-ong adalah seorang tokoh sakti yang dikenal namanya oleh setiap umat persilatan, namun tak seorang pun yang berhasil menjumpainya. Untuk bisa membuktikan apakah dia adalah Hek-mo-ong atau bukan, terpaksa mereka harus tetap tinggal di situ.
"Apa yang mesti kita lakukan sekarang untuk membuktikan dia benar-benar adalah Hek-mo-ong atau bukan?" tanya Bong Thian-gak kemudian.
Thay-kun memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, lalu katanya, "Sewaktu berada di Ban-jian-bong, Hek-mo-ong pernah terkena tusukan pedang Tan Sam-cing, agaknya tusukan itu telah mendatangkan luka yang cukup berat baginya."
"Jadi kita harus memeriksa tubuhnya, adakah luka bekas tusukan atau tidak?"
"Enci Leng-hui telah berjanji untuk menyembuhkan luka yang dideritanya." "Oh, benarkah itu?" tanya Bong Thian-gak cepat. "Benar," sahut Song Leng-hui. "Aku telah berjanji akan
mengobati penyakitnya, sudah barang tentu aku tak boleh
mengingkari perkataan sendiri." "Penyakit apa yang dideritanya?"
"Dia bilang keracunan hebat, penyakit itu sudah menyiksanya selama puluhan tahun."
"Racun keji? Racun apakah itu? Masakah dapat mengeram di dalam badan sampai puluhan tahun lamanya?"
"Hek-mo-ong adalah Thio Kim-ciok, sedang Thio Kim-ciok sudah dicelakai oleh sepuluh tokoh persilatan dan Ho Lan- hiang pada tiga puluh tahun berselang, mayatnya pun telah tenggelam di dasar telaga. Andaikan Thio Kim-ciok dapat lolos dari musibah itu, maka dia tentu akan menderita pula penyakit menahun."
"Sekarang kakek berbaju hijau itu mengatakan dirinya menderita penyakit menahun, kenyataan ini sesuai dengan keadaan Thio Kim-ciok, bila dia bangkit dari hidupnya. Untuk menyingkap teka-teki ini, kita memang wajib tetap tinggal di sini."
Kemudian setelah berhenti sejenak, Thay-kun menyambung lebih jauh, "Andaikata kakek berbaju hijau itu benar-benar adalah Hek-mo-ong Thio Kim-ciok, aku pikir dia pun tak akan turun tangan keji terhadap kita, kita tak punya dendam sakit hati apa pun dengannya?"
"Betul," Bong Thian-gak menghela napas panjang. "Kita memang tak punya dendam sakit hati apa pun dengannya, tapi tersangkut pula sedikit dendam dengannya. Bukankah Oh Ciong-hu adalah guruku."
Sampai di sini dia menengok sekejap ke arah Song Leng- hui, kemudian katanya sambil menghela napas, "Tak kusangka pula, Song Leng-hui adalah keturunan Song-ciu suami-istri. Oleh sebab itu bila Hek-mo-ong benar-benar adalah Thio Kim- ciok, mungkin aku dan Leng-hui tak akan dilepaskan olehnya begitu saja."
Lambat-laun Song Leng-hui sudah dapat menangkap garis besar pembicaraan itu, dengan wajah berubah ia segera berseru, "Sebelum meninggal dunia, ayah pernah berpesan kepadaku bahwa dia mempunyai seorang musuh besar yang sangat lihai. Engkoh Gak, kalian mengatakan sepuluh tokoh persilatan telah membinasakan Thio Kim-ciok, sebenarnya siapa Thio Kim-ciok itu?"
Sekali lagi Bong Thian-gak menghela napas panjang. "Hingga sekarang aku sendiri pun tidak mengetahui sumber
dendam kesumat itu. Biarlah kalau ada waktu senggang akan kuberitahukan persoalan itu kepadamu."
Baru selesai dia berkata, mendadak terdengar suara gelak tertawa yang amat keras.
Kakek berbaju hijau telah muncul kembali dari ruang belakang sambil berkata, "Aku cukup tahu sejarah hidup saudagar kaya-raya Thio Kim-ciok. Apabila kalian bertiga tidak merasa bosan, aku bersedia menceritakan kisahnya secara garis besar."
Bong Thian-gak dan Thay-kun menjadi melongo, sebaliknya Song Leng-hui berseru dengan merdu, "Cepatlah ceritakan Locianpwe, orang macam apakah Thio Kim-ciok itu?"
Sambil mengelus jenggot, kakek berbaju hijau tertawa, "Baik, aku akan bercerita, tapi panjang sekali untuk mengisahkan peristiwa itu. Bukankah kalian bertiga belum bersantap malam? Mari kita bersantap di ruang belakang lebih dulu sambil bercerita."
"Kalau begitu terpaksa kami mengganggu ketenanganmu," ucap Thay-kun sambil tertawa.
Kakek berbaju hijau balas tertawa. "Setiap orang persilatan lebih mengutamakan kebebasan dan keterbukaan, apalagi kita merasa cocok sejak bertemu. Buat apa mesti sungkan-sungkan lagi? Mari ikut aku."
Selesai berkata, kakek berbaju hijau segera membalikkan badan dan beranjak lebih dulu, dia berjalan menuju ke halaman belakang, kemudian setelah melalui sebuah beranda menuju ke kebun bunga di halaman belakang.
Di dalam kebun terdapat gunung-gunungan, gardu dan aneka bunga yang menyebarkan bau harum semerbak.
Sementara itu di sebuah gardu di hadapan mereka tampak cahaya lentera bersinar terang. Sebuah meja perjamuan yang penuh dengan berbagai macam hidangan telah disiapkan, dua orang berdiri di samping meja, mereka adalah sepasang dayang berbaju hijau yang tadi, sedangkan di sisi lain berdiri seorang aneh bermuka hijau yang bertubuh gemuk pendek dan berwajah jelek sangat menyeramkan.
Begitu mereka memasuki gardu, Sui-kiong dan Sui-go segera menyiapkan tempat duduk sambil tersenyum-simpul, sedangkan lelaki bermuka aneh itu tetap berdiri di tempat tanpa berbicara atau tertawa, wajahnya sangat kaku dan tanpa emosi.
Kakek berbaju hijau itu tertawa ringan sambil menunjuk ke arah lelaki itu, katanya, "Dia bernama Hay Cing-cu, meski mukanya jelek dan tak sedap dipandang, namun merupakan seorang koki yang sangat hebat, dia sudah puluhan tahun lamanya melayani kebutuhanku, benar-benar seorang pembantu setia yang pantas dihormati dan disegani."
Si kakek berbaju hijau segera duduk di bangku tepat di muka Hay Cing-cu.
"Silakan duduk, tidak usah sungkan," katanya lagi.
Song Leng-hui, Thay-kun dan Bong Thian-gak menganggukkan kepala lebih dulu ke arah Hay Cing-cu, siapa tahu lelaki aneh bermuka jelek itu tetap berdiri kaku tanpa emosi, sepasang matanya yang bulat sama sekali tak bergerak, dia hanya berdiri kaku saja di situ, persis seperti patung.
Kenyataan ini tentu saja membuat ketiga orang itu menjadi tertegun, diam-diam pikirnya, "Aneh benar orang ini."
Tanpa sungkan lagi, mereka segera mengambil tempat duduk.
Dalam pada itu Siu-kiong dan Siu-go telah menghampiri mereka untuk menuang arak dan menyiapkan hidangan.
"Tak perlu sungkan, setelah kita bersantap dan meneguk arak, barulah berbincang-bincang."
Tampaknya kakek berbaju hijau amat ramah, suka bersahabat dan mudah bergaul, sikapnya begitu luwes dan berpengalaman.
Hidangan yang disiapkan benar-benar mewah, hampir setiap hidangan rasanya lezat dan menggiurkan.
Bong Thian-gak bertiga memang sudah lama kelaparan, sudah tentu mereka tak sungkan lagi.
Selesai bersantap, kakek berbaju hijau berkata sambil tersenyum, "Sekarang kita boleh mulai bercerita, tapi sebelum dimulai, aku ingin bertanya dulu, seberapa banyak yang sudah kalian ketahui tentang Thio Kim-ciok?"
"Aku sama sekali tidak tahu," kata Song Leng-hui sambil menggeleng kepala.
Kakek berbaju hijau itu segera mengalihkan sorot matanya ke arah Thay-kun dan Bong Thian-gak.
Thay-kun termenung sejenak, kemudian katanya dengan suara merdu, "Kami tahu Thio Kim-ciok adalah seorang saudagar kaya-raya pada tiga puluh tahun lalu, kekayaannya melebihi kekayaan sebuah negeri." Sambil tersenyum kakek berbaju hijau manggut-manggut. "Ya betul, kekayaan yang dimiliki Thio Kim-ciok memang
sangat besar seperti apa yang tersiar selama ini dalam
masyarakat luas."
"Kami pun tahu Thio Kim-ciok telah mengumpulkan semua Enghiong Hohan yang ada di kolong langit. Tapi kemudian berhubung hendak belajar silat, dia telah mengangkat sepuluh tokoh persilatan menjadi gurunya."
Kakek berbaju hijau manggut-manggut.
"Ya, termasuk istri Thio Kim-ciok sendiri, perempuan tercantik di wilayah Kanglam Ho Lan-hiang, jumlahnya sebelas tokoh persilatan."
Lalu sesudah berhenti sejenak, dia berkata lebih jauh, "Selanjutnya bagaimana kejadian yang menimpa Thio Kim-ciok hingga dia tewas, apakah kalian tahu juga?"
"Keadaan yang sejelasnya tidak diketahui, namun kami tahu bahwa dia mati dibunuh oleh sepuluh tokoh persilatan serta Ho Lan-hiang, namun di antara kesepuluh jago itu tampaknya ada dua orang yang tidak ikut dalam peristiwa itu."
"Dua orang yang mana?"
"Menurut dugaanku, kemungkinan besar mereka adalah Liu Khi dan Tan Sam-cing."
Kembali kakek berbaju hijau tersenyum, "Jadi menurut pendapat kalian, Thio Kim-ciok belum mati?"
"Thio Kim-ciok memang tidak pernah mati," jawab Thay- kun tertawa.
Kakek berbaju hijau tertawa bergelak, "Nona memang pintar sekali. Thio Kim-ciok memang belum mati, tapi nona tak pernah dapat menduga siapakah Hek-mo-ong?" Ucapan itu kontan menggetarkan hati Thay-kun dan Bong Thian-gak, segera tanyanya, " Jadi Hek-mo-ong bukan Thio Kim-ciok?"
Kakek berbaju hijau memandang bintang yang bertaburan di angkasa, kemudian pelan-pelan ujarnya, "Yang akan kita bicarakan sekarang adalah Thio Kim-ciok bukan Hek-mo-ong. Sekarang aku hendak bertanya, apa sebabnya kesepuluh tokoh persilatan dan Ho Lan-hiang hendak membunuh Thio Kim-ciok?"
"Bila apa yang dikatakan Liu Khi kepada kami adalah sejujurnya, maka kesepuluh tokoh itu membunuh Thio Kim- ciok karena kuatir apabila ia sudah mencapai puncak keberhasilan, maka dia pasti akan merajai persilatan."
Dengan cepat kakek berbaju hijau menggeleng kepala berulang kali, katanya, "Alasan kesepuluh tokoh persilatan dan Ho Lan-hiang mencelakai Thio Kim-ciok rasanya tak berbeda dengan alasan yang dipikirkan masing-masing orang, kuatir ilmu silat yang dimiliki Thio Kim-ciok mengalami kemajuan amat pesat sehingga mencelakai umat manusia, tapi aku tahu yang benar-benar mempunyai pikiran demikian hanya Ku-lo Hwesio, Oh Ciong-hu, serta Song-ciu suami-istri. Sekilas orang memang merasa bahwa alasan keempat orang ini membunuh Thio Kim-ciok adalah benar dan tepat, karena demi menyelamatkan umat persilatan dari ancaman bahaya besar, namun yang mereka lakukan justru adalah termakan siasat busuk pihak lain."
"Mengapa dikatakan mereka termakan siasat busuk pihak lain?" tanya Thay-kun.
"Karena si perencana siasat busuk itu sesungguhnya ingin membunuh Thio Kim-ciok demi harta."
"Demi harta? Kalau begitu si perencana siasat busuk itu bukan Ho Lan-hiang?" "Bukan Ho Lan-hiang, tapi niat Ho Lan-hiang membunuh suaminya pun tak terlepas dari harta."
"Wah, semakin kudengar, aku merasa semakin bingung dan tidak mengerti. Sebetulnya siapa perencana siasat busuk itu?"
Tiba-tiba kakek berbaju hijau berkata dengan suara dalam, "Semua orang tahu Thio Kim-ciok kaya-raya dan memiliki harta yang tak terhitung banyaknya, tapi tahukah kalian darimana Thio Kim-ciok bisa kaya-raya secara mendadak?"
"Soal itu tidak kami ketahui," Thay-kun segera menggeleng. "Rasanya tak ada yang tahu darimanakah sumber harta kekayaannya itu."
"Yang menjadi alasan utama kematian Thio Kim-ciok adalah rahasia sumber kekayaannya diketahui orang lain," kata kakek berbaju hijau dengan suara dalam.
"Apa rahasia sumber kekayaan Thio Kim-ciok?"
Dengan sorot mata tajam kakek berbaju hijau memandang sekejap wajah semua orang yang hadir, kemudian lanjutnya, "Sumber kekayaan Thio Kim-ciok diperoleh dari sebuah bukit tambang emas yang dimilikinya. Oleh karena itu Thio Kim-ciok memiliki emas murni yang tak ada habisnya, yang membuat dia menjadi seorang hartawan kaya-raya yang tiada tandingannya di seluruh kolong langit."
Semua orang menghela napas panjang, baru sekarang mereka tahu apa yang menjadi penyebab Thio Kim-ciok menjadi kaya-raya.
Dengan suara lembut Song Leng-hui segera bertanya, "Dimana letak tambang emas itu? Selain Thio Kim-ciok, siapa lagi yang tahu?"
Kakek berbaju hijau menghela napas panjang, "Ai, Thio Kim-ciok adalah seorang berotak licik dan berhati ganas. Setiap orang yang dikirimnya ke tambang emas untuk mengumpulkan emas itu, semuanya tak ada yang lolos dari pembunuhan tutup mulut sekembalinya mengirim emas murni itu. Semakin bertambah kekayaan Thio Kim-ciok, semakin banyak pula orang yang menjadi korban. Selama sepuluh tahun saja, entah berapa banyak jiwa yang telah melayang di tangannya."
Mendengar sampai di sini, Bong Thian-gak sekalian diam- diam terkesiap juga oleh kekejaman dan kebuasan Thio Kim- ciok.
Setelah menghela napas panjang, kakek berbaju hijau berkata lebih jauh, "Namun Thio Kim-ciok mempunyai juga kebajikan, yaitu setiap kali dia membunuh pekerja tambangnya, maka dia akan memberikan emas murni dalam jumlah yang tak akan habis digunakan oleh keluarganya sepanjang hdup sehingga anak keturunan pekerja tambang itu tak akan mengalami kelaparan atau telantar hidupnya."
Bong Thian-gak tetawa dingin, serunya, "Thio Kim-ciok telah membunuh orang, menyiksa manusia demi kepuasan dan kekayaan sendiri. Apakah dosa sebesar ini bisa diperingan dengan kebajikannya meninggalkan emas yang cukup bagi keluarga yang ditinggalkan?"
Berubah paras kakek berbaju hijau, tapi sejenak kemudian sudah lenyap tak berbekas. Katanya lagi sambil menghela napas, "Benar, ada sementara orang yang menyukai kehangatan keluarga daripada emas yang berlimpah. Tapi bilamana nyawa seseorang bisa dikorbankan dengan timbal- balik yang sesuai, kalau dihitung-hitung kematiannya bisa dibilang cukup berharga juga."
"Bagaimana pun juga tingkah-laku serta perbuatan Thio Kim-ciok patut dikutuk setiap orang di dunia," kata Bong Thian-gak dengan suara dingin.
"Betul," kakek berbaju hijau mengangguk, "Thio Kim-ciok memang berdosa." "Locianpwe, lanjutkan kembali kisahmu itu!" pinta Thay-kun dengan suara lembut.
Kakek berbaju hijau termenung dan berpikir sejenak, kemudian katanya, "Oleh sebab itu tambang emas milik Thio Kim-ciok belum pernah diketahui orang kedua, tapi entah bagaimana jadinya, ternyata rahasia tambang emas miliknya itu diketahui juga."
"Pepatah kuno mengatakan, 'Burung mati karena makanan, manusia mati karena harta'. Kata-kata itu memang tepat, akibatnya entah berapa banyak orang mulai menyusun rencana busuk dan berupaya dengan segala cara untuk mendapatkan peta rahasia tambang emas itu."
"Keselamatan jiwa Thio Kim-ciok pun mulai tak terjamin. Suatu hari Thio Kim-ciok mendapat surat berisi peringatan kepadanya, surat itu berbunyi, 'Dalam waktu satu bulan, kau harus menyiapkan peta rahasia itu, kalau tidak, nyawamu tak akan terjamin'."
"Surat itu ditanda-tangani oleh Hek-mo-ong."
Ketika mendengar kisah itu sampai di sini, tiba-tiba Thay- kun teringat perkataan Liu Khi. Dia segera bertanya, "Kalau begitu Thio Kim-ciok segera mengutus Liu Khi untuk menyelidiki siapa gerangan orang yang menamakan diri sebagai Hek-mo-ong setelah menerima surat peringatan itu dan gara-gara hal itu pula Thio Kim-ciok menugaskan Liu Khi untuk membunuh Hek-mo-ong."
"Rupanya nona pun mengetahui juga tentang peristiwa itu," kata kakek berbaju hijau sambil tersenyum.
"Yang dicurigai Thio Kim-ciok sebagai Hek-mo-ong waktu itu tak lain adalah satu di antara kesepuluh tokoh persilatan dan Ho Lan-hiang."
"Apakah Thio Kim-ciok mau memenuhi keinginan Hek-mo- ong dengan melukiskan peta rahasia tambang emasnya?" "Benar, Thio Kim-ciok memang membuat peta tambang emasnya itu, tapi dengan suatu kepandaian yang luar biasa, peta itu dipecah menjadi sebelas bagian yang masing-masing dibagikan kepada kesebelas orang."
"Siapa saja kesebelas orang itu?"
"Kesebelas orang itu adalah istrinya Ho Lan-hiang beserta sepuluh tokoh persilatan."
"Ai, Thio Kim-ciok memang seorang pintar," kata Thay-kun sambil menghela napas panjang. "Langkah catur yang dilakukan olehnya ini betul-betul luar biasa. Secara tepat sekali dapat membuat para musuh yang mengincar harta kekayaannya saling bunuh demi memperebutkan bagian peta yang lain."
Kemudian setelah berhenti sejenak, katanya pula, "Jelas kesebelas bagian peta rahasianya itu disebarkan setelah ia terbunuh."
Dengan cepat kakek berbaju hijau tertawa bangga, dia segera bertanya, "Nona Thay-kun, darimana kau tahu Thio Kim-ciok baru menyebarkan kesebelas potongan peta rahasia sesudah dia terbunuh?"
"Thio Kim-ciok sudah tahu kalau Hek-mo-ong adalah satu di antara istrinya beserta sepuluh tokoh persilatan, namun tak dapat menentukan secara pasti siapakah orangnya, lagi pula dia pun tahu, jika batas waktu sebulan sudah lewat peta rahasia itu belum juga diserahkan, sudah pasti dia akan terbunuh di tangan Hek-mo-ong. Maka untuk membalas dendam bagi kematiannya sendiri, ia menjalankan siasat membunuh orang meminjam golok dengan menyerahkan bagian peta rahasia ke tangan orang kepercayaannya dengan pesan, bila ia mati, maka kesebelas bagian peta rahasia itu harus diserahkan pada orang-orang yang telah ditentukan."
"Ai, manusia memang mati karena harta. Ketika semua orang sudah menerima bagian peta rahasia itu, siapakah yang tidak akan saling bunuh untuk memperoleh bagian peta rahasia yang lain?"
"Kalau begitu kekacauan dunia persilatan saat ini serta kematian yang menimpa kesepuluh tokoh persilatan ini tak lain diciptakan oleh siasat Thio Kim-ciok itu?"
Tiba-tiba kakek berbaju hijau menghela napas sedih, ujarnya, "Namun kemudian Thio Kim-ciok sendiri pun tak pernah mengira kalau tindakan Hek-mo-ong masih setingkat lebih tangguh daripada jalan pikirannya. Tatkala batas waktu satu bulan sudah lewat, nyatanya Hek-mo-ong bukan datang mencelakai dirinya, melainkan mempengaruhi kesebelas jago lihai lainnya untuk bekerja sama mencelakai Thio Kim-ciok."
"Tapi Hek-mo-ong sendiri pun tak pernah menduga tentang kesebelas bagian peta rahasia tambang emasnya."
Bong Thian-gak segera menengok sekejap ke arah Thay- kun, lalu ujarnya, "Thay-kun, bukankah dugaan kita bahwa Hek-mo-ong adalah Thio Kim-ciok adalah salah besar?"
"Benar, Thio Kim-ciok memang bukan Hek-mo-ong."
Pada saat inilah Song Leng-hui bertanya, "Locianpwe, kau mengatakan Thio Kim-ciok belum mati, lantas dimanakah orangnya sekarang?"
Sebelum kakek berbaju hijau sempat menjawab, mendadak Hay Cing-cu yang berdiri di belakang kakek berbaju hijau telah berpekik aneh, menyusul tubuhnya secepat sambaran kilat meluncur keluar dari gardu itu. Dengan paras muka berubah hebat kakek berbaju hijau segera berkata, "Pembicaraan kita telah disadap orang."
Tampang Hay Cing-cu memang jelek dan tidak menarik, bulat gemuk seperti tong, namun kesempurnaan ilmu meringankan tubuhnya benar-benar mengagumkan dan mengejutkan. Dalam sekejap bayangan tubuhnya sudah lenyap. Tiba-tiba Bong Thian-gak bangkit seraya bertanya, "Locianpwe, perlukah kubantu mengejar orang yang telah menyadap pembicaraan kita tadi?"
"Tidak usah," kakek berbaju hijau menggeleng. "Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki pendatang itu sangat hebat. Andaikata Hay Cing-cu gagal mengejarnya, maka tak ada orang yang bisa menyusulnya lagi."
Perkataan itu membuat Bong Thian-gak merasa kurang enak, tapi dia pun duduk kembali.
Tampaknya kakek berbaju hiaju itu tahu dia telah salah bicara, cepat katanya lagi, "Bong-siauhiap, maafkan kelancanganku bicara yang bukan-bukan tadi."
"Ah, ilmu meringankan tubuh Hay Cing-cu memang sangat hebat."
Thay-kun tak ingin suasana serba kaku dan rikuh itu berlangsung lebih lanjut, sambil tertawa ringan dia segera berkata, "Locianpwe, maafkan aku bila ternyata kelewat berterus-terang. Benarkah Locianpwe adalah Thio Kim-ciok?"
Kakek berbaju hijau menghela napas panjang, "Rahasia tentang belum matinya Thio Kim-ciok hingga saat ini baru diketahui oleh kalian beberapa orang saja."
"Orang persilatan mengutamakan pegang janji, kami bertiga tak akan membocorkan rahasia ini kepada siapa pun," Thay-kun berjanji dengan suara dalam.
"Betul, akulah Thio Kim-ciok!"
Sekalipun secara lamat-lamat orang sudah tahu kakek berbaju hijau itu adalah orang kaya pada tiga puluh tahun berselang, Thio Kim-ciok, namun sebelum ada pengakuan tegas dari pribadinya, tak urung mereka tetap ragu-ragu dan tak yakin. Namun setelah pengakuan itu diberikan, tak urung semua orang dibuat terperanjat juga, serentak Bong Thian-gak bertiga mengawasi wajah kakek berbaju hijau tanpa berkedip.
Thio Kim-ciok memang terlalu misterius dan penuh rahasia.
Pada saat itulah terdengar Song Leng-hui bertanya dengan air mata bercucuran, "Thio-locianpwe, apakah kau yang telah mencelakai kedua orang tuaku?"
Kembali kakek berbaju hijau menghela napas sedih, katanya perlahan, "Nona Song, aku tidak pernah mencelakai orang tuamu, aku pun tidak pernah mencelakai Ku-lo Hwesio, Oh Ciong-hu serta Kui-kok Sianseng. Namun terus terang kuakui, aku pernah membenci mereka serta pernah bersumpah akan membinasakan mereka, tapi sayang aku tak punya kemampuan berbuat demikian."
"Mengapa Thio-locianpwe mengatakan kau tidak berkemampuan berbuat demikian?" tanya Thay-kun cepat.
Sekali lagi Thio Kim-ciok menghela napas sedih, katanya pula, "Tiga puluh tiga tahun berselang, sepuluh tokoh persilatan serta Ho Lan-hiang telah memberikan serangan yang telak dan mematikan kepadaku. Kendati aku beruntung bisa meloloskan diri dari musibah itu, namun saat ini diriku telah berubah menjadi manusia cacat."
"Dapatkah Locianpwe menjelaskan lebih jauh?"
"Dalam usaha pembunuhan yang mereka lakukan pada waktu itu, tubuhku telah terkena tiga pukulan yang amat dahsyat dan beracun, sebuah totokan jari Thian-kang-ci, tujuh batang panah beracun penempel tulang serta tujuh buah luka bacokan pedang, yang paling hebat lagi aku dicekoki beberapa tetes obat racun Hok-teng-ang yang dapat memutus usus."
"Dengan begitu banyak luka yang kau derita, bagaimana mungkin kau masih dapat hidup hingga sekarang?" tanya Thay-kun dengan perasaan terkejut bercampur keheranan. Mencorong sinar aneh dari balik mata Thio Kim-ciok, dengan agak emosi katanya, "Andaikata orang lain, biarpun punya cadangan nyawa sebanyak sepuluh lembar pun, tak dapat selembar pun dipertahankan, tapi aku harus dapat mempertahankan hidup lebih jauh."
"Liu Khi mengatakan pada kalian bahwa aku mati tenggelam di dasar telaga, padahal yang benar adalah sesudah aku dipaksa minum racun Hok-teng-ang, segera kukerahkan tenaga dalamku untuk melawan dan sempat bertarung mati-matian selama setengah jam dengan sepuluh tokoh persilatan beserta Ho Lan-hiang. Dengan badan terluka parah dan hawa murni tak mampu dihimpun kembali, ditambah pula racun jahat sudah menyusup ke dalam badan hingga darah bercucuran dari ketujuh lubang indra, waktu itu aku mengira diriku pasti mati, tapi aku tak rela membiarkan diriku tewas dibunuh mereka, maka aku pun jadi nekat dan terjun ke dalam telaga."
"Akhirnya Thio-locianpwe berhasil lolos dari mulut harimau serta dapat kembali ke kehidupan yang tenang?" tanya Thay- kun.
"Sesudah melompat ke dasar telaga, air telaga yang dingin membekukan badan membuat keadaanku yang mulai kehilangan kesadaran menjadi segar kembali, tentu saja aku tak ingin mati begitu saja, maka aku pun mulai berjuang melawan cengkeraman malaikat elmaut. Dengan sekuat tenaga aku berenang dan menyelam ke dalam istana bawah airku yang kubangun secara rahasia."
"Mimpi pun Ho Lan-hiang serta kesepuluh tokoh persilatan tak menyangka aku telah membangun istana bawah air yang amat rahasia di dasar telaga itu, tapi justru karena itulah aku dapat hidup terus di dunia ini."
"Selama dua puluh tahun berikutnya, aku tinggal di dalam istana air sambil berjuang melawan cengkeraman malaikat elmaut, perawatan dan pengobatan hampir dua puluh tahun lamanya membuat luka pukulan, luka pedang sembuh sama sekali... ai."
"Tapi racun jahat Hok-teng-ang yang menyerang dalam tubuhku ternyata tak pernah dapat dilenyapkan untuk selamanya. Oleh sebab itulah aku tak pernah dapat memulihkan kembali tenaga dalamku seperti sediakala, tentu saja aku pun tak dapat menggunakan jurus silat tingkat tinggi yang pernah aku pelajari."