Jilid 18
Lie Cun Ju memang tidak memusingkan apa yang dinamakan Tong tian pao Hong itu. Dia langsung menyodorkannya kepada Kwe Tok. Orang tua itu mengambilnya dari tangan Lie Cun Ju kemudian menoleh kepada perempuan setengah baya tadi. Rupanya entah sejak kapan perempuan setengah baya itu sudah tertotok oleh I Ki Hu. Dia berdiri di atas salju tanpa dapat menggerakkan tubuhnya sedikit pun. Tubuh perempuan itu sejak tadi sudah dipenuhi lapisan salju yang cukup tebal. Pada alisnya bergelantung beberapa batang es halus. Lie Cun Ju dapat melihat dengan jelas, ketika Kwe Tok meliriknya sekilas, perempuan itu menyorotkan sinar ketakutan.
Melihat keadaan itu, hati Lie Cun Ju tergerak. Diam-diam dia berpikir, kalau Kwe Tok memang benar orang dari pihak Mo kau di jaman dulu, tentu tindak tanduknya juga sangat keji dan tangannya telengas. Tampaknya hal itu memang tidak perlu diragukan lagi.
Sedangkan perempuan setengah baya itu sudah dapat menebak isi hatinya saat itu maka matanya baru menyorotkan sinar demikian ketakutan.
Berpikir sampai di situ, Lie Cun Ju merasa keadaannya sekarang juga sedang terancam bahaya. Setelah mencelakai perempuan setengah baya itu, apakah Kwe Tok juga akan membereskan Tao Ling?
Di saat pikiran Lie Cun Ju sedang melayang-layang, Kwe Tok sudah sampai di depan perempuan setengah baya itu.
"Tempat ini sudah dipenuhi salju, pasti jarang ada orang yang lewat. Kau juga bisa beristirahat dengan tenang."
Mata perempuan itu menyorotkan sinar kemarahan, tetapi dia tidak bisa bersuara sedikit pun. Siu Lo Cun Cu Kwe Tok tertawa terbahak-bahak, tiba-tiba tangannya bergerak menghantam dada perempuan setengah baya itu.
Dipukul demikian keras oleh Kwe Tok, jalan darahnya yang tertotok pun jadi bebas. Dia meraung kalap, tubuhnya terhuyung-huyung jatuh di atas salju. Tetapi dia masih sempat menggetarkan tangannya menyambitkan tujuh-delapan batang panah berapi ke arah Kwe Tok. Seketika itu tampak titik sinar berwarna hijau melesat ke depan, timbul suara mendesis-desis.
Sayangnya setelah terhantam satu kali oleh pukulan Kwe Tok, tubuh perempuan itu sudah luka parah. Tenaga dalamnya juga sudah terbatas. Panah berapinya seperti permainan untuk menggertak lawan. Buktinya dengan mudah dapat dihindari oleh Kwe Tok.
Perempuan setengah baya itu tertawa terbahak-bahak beberapa kali, kemudian menangis tersedu-sedu. Sepasang tangannya terus meremas salju di atas tanah, dapat dibayangkan kebencian dalam hatinya saat itu terhadap Kwe Tok.
Tidak lama kemudian gerakan perempuan itu berubah lamban. Perlahan-lahan tubuhnya mulai dilapisi salju. Seluruh tempat itu penuh dengan hamparan salju. Demikian tenang, demikian mencekam. Siapa yang mengira bahwa belum berapa lama tadi telah berlangsung pertarungan yang sengit. Pasti tidak ada orang yang percaya bahwa ada tiga sosok mayat yang semuanya merupakan tokoh-tokoh bu lim kelas satu telah terkubur di bawah hamparan salju itu.
Setelah seluruh tubuh perempuan itu tertutup lapisan salju dan tidak ada gerakan lagi, Kwe Tok baru berjalan perlahan-lahan menghampiri Lie Cun Ju.
"Hamparan salju terlalu dalam, kereta kuda tidak bisa lewat lagi. Kita gunakan saja kereta salju itu!" katanya.
Lie Cun Ju tertawa getir. "Kwe locianpwe, aku memang belum pernah menginjak istana rahasia itu. Sekarang seharusnya kau sudah percaya bukan?"
Tiba-tiba Kwe Tok tersenyum licik. Sepasang matanya menyorotkan sinar yang tajam dan melirik sekilas kepada Tao Ling.
Lie Cun Ju melihat sinar mata orang tua itu mengandung hawa pembunuhan yang tebal, sekonyong-konyong hatinya dilanda perasaan terkesiap.
"Kwe locianpwe, a ... pa yang akan kau lakukan?" tanyanya dengan suara parau. Mimik wajah Kwe Tok benar-benar sulit diterka.
"I Ki Hu benar-benar tua-tua keladi, semakin tua semakin tidak tahu malu. Benarkah budak perempuan ini istrinya?" tanyanya dengan nada dingin.
"Tao Kouwnio menikah dengannya karena terpaksa," jawab Lie Cun Ju menjelaskan. Kwe Tok tertawa terkekeh-kekeh.
"Dipaksa kek, rela kek, pokoknya sama saja. Anak dalam perutnya merupakan benih si jahanam itu."
Berkata sampai di situ, saking terkejutnya, selembar wajah Lie Cun Ju sudah pucat pasi. Tubuhnya bergeser dan menghadangi tubuh Tao Ling. Matanya menatap Kwe Tok lekat-lekat.
"Pada waktu itu, seluruh Mo kau hancur di tangan I Ki Hu seorang. Meskipun aku pernah mendengar berita itu, saat itu aku sedang menyelesaikan suatu urusan yang penting sekali. Karena itu belum sempat mencarinya untuk mengadakan perhitungan. Sekarang musuh tangguh sudah berhasil dienyahkan. Benar-benar merupakan kebangkitan partai Mo kau. Bocah cilik, watakmu boleh juga, bagaimana kalau kau masuk menjadi anggota Mo kau dan merebut kedudukan tinggi di dunia Bu lim?"
"Kwe locianpwe, terus terang saja, nama dan kedudukan tidak ada artinya lagi bagiku. Hatiku sudah tawar terhadap semua itu. Aku hanya ingin hidup dalam ketentraman dan kedamaian bersama Tao kouwnio. Aku tidak berminat sedikit pun untuk terjun di dunia ramai yang penuh dengan pertikaian."
Kwe Tok tersenyum mendengarkan kata-katanya. "Dulu, karena sedikit kecerobohan dari pihak Mo kau sendiri, akibatnya seluruh Mo kau habis terbasmi. Sekarang aku ingin membangkitkan partai kami kembali. Tentu aku tidak boleh membiarkan sedikit pun bibit bencana yang bisa berakibat fatal di kemudian hari."
Tentu saja Lie Cun Ju mengerti yang dimaksud sebagai bibit bencana oleh Kwe Tok adalah anak dalam kandungan Tao Ling. Hatinya semakin berdebar-debar.
"Kwe locianpwe, Tao kouwnio baru hamil empat bulan. Apabila anak itu sudah terlahir kelak, kami tidak akan memberitahukan asal usulnya. Harap kau berbelas kasih membebaskan kami!" Kwe Tok tertawa dingin.
"Kau berani menjamin apabila sudah besar nanti, seumur hidupnya dia tidak akan tahu riwayat hidupnya sendiri?"
"Kami rela meninggalkan Tiong goan dan berlayar mengarungi samudra mencari sebuah tempat yang tidak pernah terinjak oleh manusia. Lalu hidup mengasingkan diri. Dengan demikian anak itu pun tidak akan pernah tahu riwayat hidupnya sendiri."
Kwe Tok tertawa terbahak-bahak.
"Api yang liar sulit dipadamkan, bunga-bunga masih terus berkembang setiap musim semi," katanya.
Wajah Lie Cun Ju semakin berubah.
"Kwe loyacu kalau begitu, kau tetap bermaksud mencelakakan kami?"
"Aku hanya ingin melenyapkan bibit haram si jahanam I Ki Hu, rasanya tidak bisa dikatakan terlalu keji, bukan?"
Lie Cun Ju panik sekali.
"Tetapi, sekarang bayi itu masih ada dalam rahim ibunya . . . Kau. . . kau . . ."
Kwe Tok tidak memberi kesempatan kepada Lie Cun Ju untuk menyelesaikan kata- katanya.
"Satu malam menjadi seorang istri, sama saja merupakan budi seumur hidup. Tentu saja aku harus melenyapkan kedua-duanya."
"Kau tidak bisa melakukan hal itu!"
Kwe Tok mengeluarkan suara tawa yang aneh, lengannya bergerak ke depan, kelima jari tangannya membentuk cengkeraman. Tangannya menjulur untuk mencengkeram pundak Lie Cun Ju. Pemuda itu membalikkan tangannya untuk menyambut serangan itu, tetapi justru dalam waktu yang hanya sekilasan cahaya itu, seiring dengan suara tawa Kwe Tok, jari tangannya berubah menjadi totokan yang tepat mengenai pergelangan tangan Lie Cun Ju. Pemuda itu merasa sebelah lengannya menjadi kesemutan dan ngilu. Tenaganya pun lenyap. Pukulannya tidak bisa diteruskan. Kwe Tok tertawa panjang sekali lagi, pundak Lie Cun Ju sudah tercengkeram dan dilemparkannya tubuh Lie Cun Ju ke samping.
Lie Cun Ju tidak dapat mempertahankan diri, dia terlempar sejauh enam-tujuh kaki. Namun ketika terhempas di atas tanah, langsung bangkit kembali untuk menerjang ke arah Kwe Tok.
Pada saat itu, Kwe Tok sudah menenteng Tao Ling keluar dari dalam kereta. Karena kerahan tenaga dalam Kwe Tok terlalu besar, jalan darah di tubuh Tao Ling jadi bebas dari totokan. Tampak Tao Ling mengembangkan seulas senyuman kepadanya. "Wah! Putih sekali, benar-benar indah! Awan di mana-mana!" seru gadis itu. Kwe Tok tertegun, melihat Lie Cun Ju sudah sampai di sisinya.
"Kwe locianpwe, jangan turun tangan dulu. Dengarkanlah perkataan kami!" teriak Lie Cun Ju dengan suara keras.
Kwe Tok mendorong Tao Ling sehingga terjerembab di atas salju. Kakinya menyepak lalu menekan di punggung gadis itu. Tubuh Tao Ling lemas seketika, tidak bisa bergerak sedikit pun.
"Apalagi yang ingin kau katakan?" tanya Kwe Tok sambil menolehkan kepalanya.
"Kwe locianpwe, aku tahu kau takut anak itu akan tumbuh dewasa dan suatu hari akan mencari kau untuk membalaskan dendam kematian ayahnya. Aku sudah menyatakan bahwa untuk selamanya kami tidak akan memberitahukan riwayat hidup anak itu, tapi kau tetap tidak percaya. Sekarang, sebaiknya kau musnahkan saja kepandaian kami, dengan demikian kau tidak perlu mencemaskan apa-apa lagi," kata Lie Cun Ju dengan nada meratap.
Dengan tenang Kwe Tok mendengarkan Lie Cun Ju menyelesaikan kata-katanya. Kemudian tampak dia tertawa dingin.
"Lucu! Sudah terang rahasia besar Tong tian pao liong akan kudapatkan, masa aku takut akan pembalasan siapa pun."
"Kalau begitu, mengapa locianpwe tetap ingin membunuhnya?" tanya Lie Cun Ju.
"Pertanyaanmu bagus sekali. Dulu ketika I Ki Hu membasmi partai Mo kau, apakah ada seorang pun yang dibiarkannya hidup? Aku hanya meniru perbuatannya dulu untuk melampiaskan sakit hatiku selama ini."
Tadinya Lie Cun Ju sudah putus asa terhadap permintaannya sendiri. Sekarang mendengar kata-kata Kwe Tok, suatu ingatan terang langsung melintas di benaknya.
"Meskipun I Ki Hu yang berhati binatang dan bukan main kejinya tapi waktu itu dia masih melepaskan satu orang."
Kwe Tok mendongakkan kepalanya. "Siapa?"
"Cucu keponakanmu sendiri, I Giok Hong."
Kwe Tok tertegun mendengar kata-kata Lie Cun Ju. "Benar?" tanyanya. Timbul sedikit harapan dalam hati Lie Cun Ju, dia harus membujuk terus orang tua itu sampai berhasil.
"Tentu saja benar. Usia I Giok Hong sekarang kurang lebih dua puluh tahun, wajahnya persis dengan ayahnya dan sekarang dia juga sudah berangkat menuju sebelah barat Gunung Kun Lun san."
Wajah Kwe Tok langsung berseri-seri mendengar berita itu. Dia mengeluarkan suara pekikan aneh berkali-kali.
"Bagus sekali! Sekarang sudah ada dua orang dalam Mo kau. Kalau begitu, baiklah, aku akan memusnahkan ilmu kepandaian kalian berdua. Apakah kalian akan menepati kata-katamu sendiri?"
Wajah Lie Cun Ju juga berseri-seri. Hatinya memang gembira sekali. Walaupun dia harus kehilangan kepandaiannya, yang penting baginya dapat hidup bersama Tao Ling seumur hidupnya. "Kwe locianpwe tidak usah khawatir, kami bukan manusia-manusia rendah yang mudah mengingkari janji," katanya tegas.
Kwe Tok menyepakkan kakinya, tubuh Tao Ling terpental di udara. Tampak tangan orang tua itu bergerak cepat menotok dua jalan darah di dada dan kepala Tao Ling.
Terdengar Tao Ling menjerit histeris, tubuhnya terhempas di atas permukaan salju. Dari tepi bibirnya mengalir darah segar, nafasnya memburu. Hati Lie Cun Ju perih sekali melihat keadaan gadis itu. Cepat dia menghambur menghampirinya. Tampak keringat dingin membasahi seluruh tubuh Tao Ling. Salju di sekitarnya sampai mencair, tetapi sepasang matanya mulai menyorotkan sinar kehidupan.
Lie Cun Ju terkejut juga gembira. Sesaat kemudian, tampak Tao Ling rnenolehkan kepalanya, dia menatap Lie Cun Ju kemudian menarik nafas panjang. "Cun Ju, apakah kita sudah berada di alam baka?"
Mendengar Tao Ling bisa mengajukan pertanyaan seperti itu, hati Lie Cun Ju semakin senang. "Ling moay, akhirnya kau sadar juga."
Tampaknya Tao Ling tidak mengerti apa maksud kata-kata Lie Cun Ju. Untuk sesaat dia ter-mangu-mangu, kemudian mengedarkan pandang-an matanya keseliling.
"Aih! Cun ju, mengapa kita bisa berada di tempat ini?"
Lie Cun Ju menggenggam tangannya erat-erat. "Ling moay, ceritanya panjang sekali. Sebentar lagi aku akan mengatakan kepadamu."
Tao Ling menatap wajah Lie Cun Ju sekejap. "Cun Ju, mengapa wajahmu . . .?"
"Ling moay, kau jangan tanyakan urusan ini dulu! Kwe locianpwe, silakan turun tangan!" ucap Lie Cun Ju sambil mendongakkan kepalanya.
Kwe Tok menatap Lie Cun Ju sejenak. "Bocah cilik, kau benar-benar manusia yang penuh cinta kasih." Lie Csin Ju tertawa getir. "Meskipun kepandaian Tao kouwnio sudah musnah, tetapi karena hal ini pula dia menjadi sadar kembali. Aku malah berterima kasih kepadamu. Silakan locianpwe turun tangan secepatnya!"
Kwe Tok maju selangkah, lalu menjulurkan tangannya menotok dada Lie Cun Ju. Gerakan tangan Kwe Tok cepat sekali. Lagipula Lie Cun Ju memang tidak bermaksud mengadakan perlawanan, bahkan membusungkan dadanya dan berdiri tegak. Dengan demikian totokan Kwe Tok pasti mengenai sasarannya dengan tepat.
Lie Cun Ju sadar, jalan darah Hua Kai hiat di dada merupakan jalan darah pelindung kelima jenis isi perut yakni: limpa, jantung, hati, usus besar, dan usus kecil. Apabila sampai tertotok, isi perut akan terguncang dan berbalik arah. Luka itu parah sekali.
Meskipun bisa
disembuhkan namun ilmu kepandaian pasti musnah. Lie Cun Ju teringat masa lalunya, dia juga sudah pernah mengalami hal yang sama, tapi bukan karena Hua kai hiatnya tertotok, karena lukanya terlalu parah sehingga ilmu kepandaiannya menyusut. Dalam keadaan seperti itu, urat darah di ubun-ubun kepalanya pernah pula ditepuk oleh Coan lun hoat ong yang mengakibatkan seluruh kepandaiannya musnah. Untung saja dia menemukan setengah bagian kitab Leng Can Po Liok untuk dipelajari isinya sehingga ilmunya bisa pulih kembali. Hatinya memang agak sedih mengingat jerih payahnya selama bertahun ternyata akan musnah dengan sia-sia. Tetapi dia sudah berjanji, dia juga tidak akan berusaha mencoba, apakah ilmu kitab Leng Can Po Liok masih bisa mengembalikan ilmunya kembali seperti sebelumnya.
Sedangkan Lie Cun Ju juga teringat, meskipun kepandaiannya musnah, mulai sekarang dia dapat bersama-sama Tau Ling untuk selamanya, rasanya pengorbanan itu cukup memadai. Mereka akan hidup sebagai sepasang suami istri yang bahagia, dia akan bercocok tanam, Tao Ling akan menjahit atau menyulam, selamanya tidak akan lagi mencampuri pertikaian di dunia kang ouw. Bukankah hal itu merupakan suatu kehidupan yang menyenangkan?
Perasaan Lie Cun Ju menjadi terhibur. Untuk beberapa saat pemuda itu termenung dalam khayalannya yang indah. Bahkan dia sendiri tidak memperhatikan apakah Kwe Tok sudah turun tangan atau belum terhadapnya.
Sampai cukup lama, dia masih tidak merasakan apa-apa, hatinya menjadi bingung. Dia segera membuka matanya tampak jari tangan Kwe Tuk masih menempel di jalan darah Hua Kai Hiat.
Tapi, Kwe Tok tidak mengerahkan tenaga dalamnya, atau belum? Jari tangannya itu hanya menempel sedikit di kulit tubuh Lie cun Ju. Pemuda itu semakin penasaran. Dia menatap Kwe Tok dengan heran. "Kwe locianpwe, mengapa kau masih belum turun tangan juga?"
Kwe Tok menatap Lie Cun Ju beberapa saat, kemudian dia menarik nafas panjang. "Bocah cilik, seumur hidup aku tidak pernah lunak hati melakukan tindakan apa pun, tetapi sekarang aku justru tidak sampai hati turun tangan!" Lie Cun Ju tertawa datar. "Kwe locianpwe, meskipun kau tidak sampai hati, aku juga akan turun tangan sendiri kemudian mengasingkan diri dan tidak akan menginjakkan kaki lagi di dunia bu lim."
Tangan Kwe Tok menjuntai ke bawah. "Tidak perlu lagi. Sekarang Tao kouwnio sudah sadar, ada suatu hal yang ingin kuminta petunjuknya."
Karena cinta kasih yang demikian dalam antara Tao Ling dan Lie Cun Ju, perasaan Kwe Tok jadi tergugah. Bukan saja dia tidak jadi memusnahkan kepandaian Lie Cun Ju, nada bicaranya pun berubah demikian sungkan.
"Mengapa Kwe locianpwe berkata demikian? Apa pun yang kami ketahui, tentu kami akan mengatakannya."
Kwe Tok menarik nafas panjang. "Adik kecil, kau masih begitu muda, tapi kau sudah dapat melihat mara bahaya yang setiap saat melanda dunia bu lim, benar-benar bukan hal yang mudah. Sedangkan aku saja masih belum bisa membuka pikiran. Aku ingin membangkitkan kembali partai Mo kau. Dengan kekuatan aku seorang diri, tentu sulit sekali terwujud keinginan ini . . ."
"Apabila Kwe locianpwe mengharap kami masuk menjadi anggota Mo kau, harap maafkan kalau kami tidak dapat mengabulkannya," tukas Lie Cun Ju.
Kwe Tok menggelengkan kepalanya. "Bukan." Lie Cun Ju semakin bingung. "Lalu apa?"
Kwe Tok mengeluarkan kembali seekor Tong tian pao liong yang direbutnya dari tangan Lie Cun Ju.
"Tujuh buah Tong tian pao liong menyangkut sebuah rahasia besar, apakah kau mengetahui-nya?"
Lie Cun Ju menganggukkan kepalanya, kemudian dia menolehkan kepalanya. "Aku memang pernah mendengarnya, tetapi mungkin jauh sekali dibandingkan dengan Ling moay yang sudah mengalaminya sendiri."
Sembari berbicara, dia membimbing Tao Ling agar bersandar di kereta. Tubuh Tao Ling lemah sekali, nafasnya masih memburu.
"Apakah Tao kouwnio bisa menceritakan lebih mendetail apa yang pernah dialami di sebelah barat Gunung Kun Lun san?"
Tao Ling sudah melalui berbagai penderitaan. Di dalam dunia ini, kecuali cinta Lie Cun Ju yang demikian dalam, segala nama dan kedudukan di dunia bu lim tidak menarik perhatiannya lagi. Lagipula, sekarang ilmu kepandaiannya sudah musnah, keadaannya tidak berbeda dengan orang biasa. Seandainya dia menemui keajaiban dan belajar dari mula, rasanya tidak cukup waktu delapan atau sepuluh tahun untuk mencapai hasil seperti sebelumnya. Rahasia besar dunia bu lim, bahkan yang sempat menggetarkan seluruh dunia, tidak ada artinya lagi bagi perempuan itu. Mendengar pertanyaan Kwe Tok dia pun segera menganggukkan kepalanya. "Tentu saja bisa."
Wajah Kwe Tok jadi berseri-seri seketika. "Kalau begitu, harap Tao kouwnio sudi men-ceritakannya!"
Pada saat itu, hujan salju sudah agak reda, tetapi angin masih berhembus dengan kencang. Udara dingin menusuk tulang. Lie Cun Ju melepaskan pakaian luarnya dan digunakan untuk menutup tubuh Tao Ling. Perempuan itu segera menceritakan pengalamannya selama tiga tahun di dalam goa sehelah barat Gui Kun Lun san itu. Sepasang alis Kwe Tok sampai menjungkit ke atas mendengar Tao Ling mengakhiri penuturannya.
"Kalau begitu, mereka sudah berangkat sekarang?"
"Rasanya sih sudah. Tetapi sejak pulang dari tepi jurang itu, aku tidak ingat apa-apa lagi."
"Kalian berdua ingin mengasingkan diri dari pertikaian dunia persilatan, hal itu merupakan cita-cita yang terpuji. Tetapi bagaimana pun aku harus mendapatkan kedua batang pedang pusaka itu untuk membantuku membangkitkan kembali partai Mo kau. Karena itu aku berharap Tao kouwnio bisa mengantarkan aku kali ini."
Tao Ling langsung tertegun mendengar kata-kata Kwe Tok. "Tapi sekarang tubuhku sudah lemah seperti orang biasa, mana mungkin aku bisa mengantar Kwe locianpwe?"
"Jangan khawatir, apabila ada orang yang berani mengganggu seujung rambutmu saja, dia harus menghadapi aku dan aku tidak akan melepaskannya begitu saja."
Walaupun nada bicara Kwe Tok sangat sungkan, tetapi baik Lie Cun Ju inaupun Tao Ling menyadari dalam keadaan seperti itu, menolak pun tidak mungkin Iagi. Kedua orang itu saling melirik sekilas, tampaknya hati mereka diliputi kebimbangan.
"Seandainya kalian berdua menyetujui permintaanku ini, apabila aku sudah berhasil mendapatkan pedang pusaka itu, aku sendiri yang akan mengantarkan kalian ke sebuah tempat yang sunyi dan terpencil agar dapat hidup tenang selamanya, bagaimana?"
Mendengar kata-kata Kwe Tok, Lie Cun Ju berpikir dalam hati, dia ingin membawa Tao Ling pergi ke tempat yang jauh sekali. Meskipun mereka tidak ingin menimbulkan perkara bagi mereka sendiri, tetapi di dalam dunia ini banyak hal yang tidak terduga. Dengan kekuatannya seorang diri, belum tentu dia sanggup melindungi Tao Ling. Tetapi dengan kawalan seorang tokoh seperti Kwe Tok tentu mereka bisa mencapai tujuan dengan aman.
Setelah merenung sejenak, akhirnya dia menganggukkan kepalanya. "Baiklah!"
"Bagus, mari kita berangkat sekarang juga!" Lie Cun Ju segera memondong tubuh Tao Ling dan dinaikkannya ke atas kereta salju. Kwe Tok sendiri ikut mencelat ke atas kereta salju itu. Dari atas tanah dipungutnya pecut 1 Ki Hu, diayunkannya ke depan beberapa kali. Delapan ekor anjing hutan itu pun segera melesat ke depan secepat kilat dengan menarik kereta salju yang mereka tumpangi.
Hujan salju saat itu tampaknya turun cukup deras. Dalam jarak sepuluh li tampak salju meng-hampar di mana-mana. Jalanan jadi licin sehingga kereta salju yang ditumpangi mereka pun meluncur dengan lancar. Pada malam ketiga, mereka sudah sampai di goa besar untuk masuk ke dalam istana rahasia.
Tao Ling menyuruh Lie Cun Ju menggeser batu besar yang tampaknya berat sekali namun cukup ringan itu. Dia menunjuk ke dalam lubang.
"Kita harus masuk dari sini, kalau sudah melewati berbagai lorong yang penuh dengan per-mata, emas dan perak. Kita akan sampai di tempat tujuan."
Kwe Tok menyalakan tiga batang obor. Dengan berendengan mereka memasuki goa. Tao Ling sudah pernah datang di tempat itu satu kali, bahkan menghabiskan waktu selama tiga tahun di dalamnya, karena itu dia masih mengingat dengan baik. Tidak berapa lama kemudian, mereka sudah menempuh setengah perjalanan.
Sebelum sampai di tempat itu dalam perjalanan Lie Cun Ju sudah menceritakan kepada Tao Ling tentang kematian I Ki Hu. Muia-mula perempuan itu agak terperanjat juga, bagaimana pun I Ki Hu pernah menjadi suaminya selama bertahun-tahun. Tapi akhirnya dia dapat menenangkan perasaannya, sebab jauh hari sebelumnya dia memang sudah menduga bahwa kejahatan I Ki Hu akan mendapatkan pembalasan yang setimpal.
Sementara itu, tampak di depan mereka, di antara berkobarnya cahaya api obor, seseorang berkelebat keluar menghampiri mereka.
"Lo I, kaukah itu yang datang?"
Gerakan tubuh orang itu cepat sekali, seiring dengan ucapannya, orangnya pun sudah sampai di depan mata. Tao Ling dan Lie Cun Ju langsung mengenali orang itu, yakni Hek Tian Mo Cen Sim Fu.
Hek Tian Mo Cen Sim Fu yang juga sudah melihat mereka bertiga, menjadi tertegun sesaat.
"1 hu jin, apa-apaan ini?" katanya.
Mimik wajah Lie Cun Ju langsung berubah.
"Siapa yang kaupanggil I Hu jin?" bentaknya marah. Cen Sim Fu tertawa terbahak-bahak.
"Kau bocah cilik pasti sudah bosan hidup. Biar aku mewakili Lo I memberi pelajaran kepadamu." Cen Sim Fu tidak tahu I Ki Hu sudah mati. Selesai berkata, tangannya langsung menjulur ke depan untuk mencengkeram pundak Lie Cun Ju.
Lie Cun Ju berdiri tanpa bergerak sedikit pun. Tampaknya sekejap lagi jari tangan Cen Sim Fu akan berhasil mencengkeramnya. Kwe Tok yang berdiri di sampingnya tiba- tiba turun tangan.
Ser . . .!
Tangannya bergerak mengirimkan sebuah totokan kepada Cen Sim Fu.
Pada saat itu kelima jari tangan Cen Sim Fu sedang membentuk cakar, tenaga dalam yang ter-pancar dari jari tangannya juga dahsyat sekali. Sedangkan tangan Kwe Tok sekonyong-konyong menjulur ke depan seperti diasongkan kepada lawannya. Seakan orang yang sudah bosan hidup dan sengaja mempersembahkan selembar nyawanya ke tangan Cen Sim Fu.
Tetapi Cen Sim Fu memang bukan tokoh sembarangan. Melihat cara turun tangan lawannya dan tenaga dalamnya yang hebat, bahkan belum pernah ditemuinya seumur hidup, hatinya terkejut bukan main. Diam-diam dia sadar di balik jurus itu masih terkandung perubahan hebat lainnya. Karena itu dia tidak berani meneruskan serangannya. Tangannya ditariknya kembali, dan cepat-cepat mencelat mundur ke belakang. "Siapa kau?"
Kwe Tok tertawa terkekeh-kekeh. "Siau Cen sudah lama tidak kelihatan, apa sekarang sudah berubah lebih berguna?"
Mendengar kata-kata Kwe Tok, perasaan Cen Sim Fu semakin terkejut. Dia memperhatikan Kwe Tok beberapa saat. "Kau .. . kau . .. Kwe lo yacu?" katanya dengan suara parau.
"Ternyata si Cen kecil masih mengenaliku." Dulu kepandaian Cen Sim Fu masih rendah sekali. Berkat kelicikan dan akal hulusnya, dia bisa mendapatkan sedikit nama di dunia bu lim. Dia juga pernah bertemu dengan Siu Lo Cun Cu Kwe Tok beberapa kali, itulah sebabnya mereka saling mengenal.
Saat itu, Cen Sim Fu mengetahui dugaannya ternyata tidak salah, karena itu perasaan terkejut-nya semakin menjadi-jadi.
Setelah termangu-mangu beberapa saat, Cen Sim Fu mengeluarkan suara tawa yang sumbang.
"Kwe loyacu sudah datang, tentu urusannya lebih mudah diselesaikan." Kwe Tok tertawa dingin.
"Siau Cen, kau tidak perlu mengucapkan kata-kata yang mengandung kebalikannya. Biar kalian saja yang bergerak terlebih dahulu, bagaimana?" Sembari berbicara, Kwe Tok berjalan terus ke depan. Cen Sim Fu mengundurkan diri perlahan-lahan. Ternyata tidak berani berjalan memunggungi Kwe Tok.
Tidak lama kemudian dia sudah sampai di tengah-tengah goa. Kim Ting siong jin, Coan lun hoat ong dan yang lainnya ada di sana. Kwe Tok melirik sekilas kepada I Giok Hong.
"Kaukah yang bernama I Giok Hong?" tanyanya. "BetuI," sahut I Giok Hong dingin.
Mimik wajah Kwe Tok menyiratkan keharuan hatinya. "Tahukah kau siapa aku ini?"
I Giok Hong bersikap acuh tak acuh.
"Siapa pun kau, ada hubungan apa denganku?"
Kwe Tok menarik nafas panjang. "Anak bodoh . . . aku masih ada hubungan denganmu. Ibumu adalah keponakanku. Dan aku ini siok kongmu (Paman kakekmu)!"
I Giok Hong tertegun sejenak. Sepertinya kurang percaya terhadap apa yang dikatakan Kwe Tok. Orang tua itu segera melanjutkan kata-katanya.
"Dulu ayahmu mengkhianati Mo kau. Ibumu sendiri mati di tangannya. Boleh dibilang dalam partai Mo kau hanya aku dan seorang budak yang sempat meloloskan diri dari tangan jahatnya. Sekarang ayahmu sudah mati di tangan budak itu."
Sepasang alis I Giok Hong menjungkit ke atas. Mimik wajahnya tidak menyiratkan perasaan sedih ataupun gembira. Dia hanya bertanya dengan datar. "BetuI?"
Beberapa orang yang lainnya mengeluarkan seruan terkejut. "I Ki Hu sudah mati. Berarti kita kekurangan sebuah long tian pao liong, bagaimana kita bisa masuk ke dalam?"
Kwe Tok mengangkat tangannya ke atas. "Sebuah Tong tian pao liong itu ada padaku."
Kim Ting siong jin bertanya dengan nada tajam. "Siapa kau? Datang-datang ingin ikut ambil bagian"
Kwe Tok tertawa terbahak-bahak. "Apabila melihat pedang pusaka itu nanti kalian yang mempunyai kemampuan boleh merebutnya terlebih dahulu."
Orang lainnya jadi tertegun. "Pedang pusaka?"
Kwe Tok tertawa. "Apa yang tersimpan di dalam istana rahasia saja kalian tidak tahu, mengapa semuanya berebutan ingin mendapatkan, bukankah menggelikan?" Orang-orang yang ada di dalam goa menjadi merah padam wajahnya disindir oleh Kwe Tok.
"Apa lagi yang kalian tunggu? Cepat buka pintunya!" kata Kwe Tok.
Tujuh buah Tong tian pao liong dimasukkan ke dalam lubang masing-masing. Sebentar saja pintu batu itu sudah terbuka dan mereka pun memasuki lembah yang pernah ditempati I Ki Hu serta yang lainnya selama hampir tiga tahun. Cen Sim Fu memutar batu besar yang merupakan kunci untuk masuk ke dalam lubang. Beramai- ramai mereka turun ke bawah. Tidak lama kemudian mereka sampai di tonjolan batu berbentuk huruf U.
"Sekarang giliranku melaksanakan tugas!" kata Kim ting siong jin sambil tertawa dingin.
Tidak ada seorang pun yang memberikan komentar. Mereka hanya berdiri di samping memperhatikan. Mereka ingin tahu bagaimana cara Kim Ting siong jin memasukkan anglo emasnya untuk membuka pintu itu.
Tampak Kim ting siong jin memasukkan anglo emasnya ke dalam lekukan batu berbentuk huruf U. Dengan sekuat tenaga dia mendorongnya. Terdengar suara yang bergemuruh. Orang-orang yang hadir di sana merasa pandangan matanya jadi buram. Di pinggir anglo emas itu telah muncul sebuah lubang yang besar. Dalam waktu yang bersamaan, timbullah suara bergemuruh tadi. Begitu kerasnya sehingga memekakkan telinga orang yang mendengarnya.
Perasaan Lie Cun Ju dan Tao Ling bergetar. Mereka tidak mengerti dari mana sumber suara yang bergemuruh itu. Ilmu kepandaian Tao Ling sudah musnah, dia tidak dapat mengerahkan hawa murninya untuk melindungi diri seperti yang lain. Suara gemuruh itu membuat wajahnya pucat pasi. Dia bersandar pada tubuh Lie Cun Ju, tubuhnya sendiri terus gemetaran.
Orang-orang lainnya tertegun sejenak. Kim Ting siong jin, Coan lun hoat ong dan Cen Sim Fu semuanya merupakan tokoh-tokoh kelas satu di dunia bu lim. Tetapi mereka juga dibuat terkejut oleh suara bergemuruh yang muncul secara mendadak itu. Dan ternyata tidak ada seorang pun yang berani melangkah ke dalam.
Hanya Siu Lo Cun Cu Kwe Tok yang tiba-tiba mengeluarkan suara siulan yang melengking tinggi. "Kalian semua tidak memperdulikan segala jerih payah dan semua penderitaan, bahkan ada yang sampai datang kemari untuk kedua kalinya. Sekarang rahasia besar sudah di depan mata, mengapa kalian justru tidak berani melangkah ke dalam?"
Suara Kwe Tok melengking begitu tinggi. Maka walaupun suara bergemuruh itu demikian keras, kata-katanya tetap dapat terdengar dengan jelas.
Sekali lagi wajah para hadirin merah padam. Hek Tian Mo Cen Sim Fu mendengus satu kali.
"Kwe loyacu, apa sebetulnya yang ada dalam goa itu? Bolehkah kau memberitahukannya kepada kami?" "Kau masuk saja sendiri, bukankah kau bisa melihatnya langsung?" sahut Kwe Tok dingin.
Kemarahan dalam dada Cen Sim Fu benar-benar meluap. Tetapi tetap saja tidak berani menyalahi Kwe Tok.
"Baik, aku akan masuk melihatnya sendiri." Tubuh Cen Sim Fu berkelebat menghampiri mulut goa, kemudian melangkahkan kakinya ke dalam. Suara yang bergemuruh tadi semakin memekakkan telinga.
Begitu mempertajam pandangan matanya, tanpa dapat ditahan lagi hati Cen Sim Fu merasa gembira juga terkesima.
Ternyata di dalam goa itu dipenuhi hawa air yang lembab dan tampak sebuah kojapi. Dan anehnya air kolam itu bisa bermuncratan ke atas seperti air mancur. Puluhan garis air bermuncratan ke atas dengan deras sehingga menimbulkan suara bergemuruh seperti air terjun.
Air di dalam kolam itu terus bermuncratan ke atas sehingga kelihatannya air di dalam kolam itu terlalu meluap dan bahkan seluruhnya berpencaran. Tingginya mencapai tiga-empat kaki, bahkan ada yang mencapai satu depa tebih. Benar-benar suatu pemandangan yang nienakjubkan.
Dan yang membuat jantung Cen Sim Fu berdebar-debar yakni sebatang pedang berwarna hijau berkilauan yang seakan sedang menari-nari karena terpental oleh puluhan garis air mancur itu. Ketika air itu melorot turun, pedang itu pun ikui bergerak ke bawah. Dan setiap air itu memancur ke atas, pedang itu pun bergerak naik.
Sebetulnya kalau hanya sebatang pedang saja, Cen Sim Fu tidak akan begitu kesenangan. Tetapi pedang itu dapat terayun-ayun mengikuti gerakan air. Hal itu membuktikan bahwa bobot pedang itu pasti ringan sekali.
Apabila bisa mendapatkan benda yang demikian langka, bukankah dirinya akan seperti harimau tumbuh sayap dan dapat malang melintang seenaknya di dunia bu lim?
Cen Sim Fu memperhatikan pedang pusaka itu dengan seksama. Ternyata pedang pusaka itu tampak lebih panjang sedikit dari pedang umumnya. Gagangnya sudah tidak ada. Hanya batangnya saja yang terpental kesana kemari oleh gerakan air itu. Lincah seperti seekor naga hidup, ringan seperti tidak ada benda apa pun. Cahayanya berkilauan sehingga benar-benar menakjubkan.
Cen Sim Fu menatap sejenak. Ketika dia berniat mencari akal mengambil pedang itu tiba-tiba di antara suara gerakan air yang bergemuruh berkumandang suara dentingan yang nyaring.
Tang! Ting! Tang! Ting! Seperti benturan dua jenis logam. Mendengar suara itu, untuk sesaat Cen Sim Fu jadi tertegun. Belum sempat dia merenungkan apa yang harus dilakukannya, tahu-tahu terdengar suara Kim Ting siong jin berkata dengan suara lantang."Biar aku masuk duluan!"
"Kenapa?" tanya Coan lun hoat ong. Cen Sim Fu menolehkan kepalanya. Tampak kedua orang itu berdesakan di pintu goa dan berebut ingin masuk terlebih dahulu ke dalam goa tersebut. Siapa pun tidak ada yang sudi mengalah. Dapat dipastikan bahwa mereka sudah melihat pedang pusaka yang terayun-ayun air mancur itu. Cen Sim Fu melihat kedua orang itu berkutet terus dengan maksud ingin mendahului yang lainnya memasuki goa. Diam-diarn dia berpikir dalam hati, apabila mereka dibiarkan masuk, tentunya kesempatannya semakin tipis untuk mendapatkan pedang pusaka itu. Berpikir demikian, timbul kelicikan di dalam benaknya. Cepat-cepat dia melangkah dua tindak ke depan setelah membalikkan tubuh dan tertawa cekikikan terhadap kedua orang itu.
"Buat apa kalian ngotot-ngototan?" Belum selesai gema suaranya, sepasang tangannya sudah mengirimkan dua buah pukulan ke depan.
Serangannya itu boleh dibilang secepat angin. Pukulan tangan kirinya mengincar Coan lun hoat ong dan pukulan tangan kanannya diarahkan ke Kim Ting siong jin. Baik Coan lun hoat ong maupun Kim Ting siong jin sama sekali tidak menyangka Cen Sim Fu akan menyerang mereka secara mendadak.
Di antara kedua orang itu, Coan lun hoat ong memang tidak termasuk tokoh dari dunia bu lim. Meskipun tenaga dalamnya tinggi sekali, tetapi dia jarang bergebrak dengan musuh. Karena itu reaksinya juga lebih lamban. Di saat dia masih tertegun, pukulan Cen Sim Fu sudah mendarat di dadanya.
Reaksi Kim Ting siong jin lebih cepat, begitu melihat pukulan meluncur datang, ia segera ber-geser ke samping dan membalas sebuah serangan ke depan. Tidak disangka, Cen Sim Fu memang licik sekali. Dia sudah membayangkan, apabila serangannya gagal dan kedua orang itu bekerja sama menghadapinya, sudah tentu dia bukan tandingan mereka.
Itulah sebabnya, ketika dia menghantam dada Coan lun hoat ong dan sempat merasa adanya tenaga tolakan yang cukup besar, Cen Sim Fu langsung mengubah pukulannya menjadi cengkeraman. Kelima jari tangannya menekuk, Iain meluncur ke atas dan mencengkeram pundak Coan lun hoat ong. Tepat di saat Kim Ting siong jin membalas sebuah pukulan kepada Cen Sim Fu. Cen Sim Fu menarik ujung pakaian Coan Lun hoat ong itu sehingga kakinya tertarik ke depan satu tindak. Dalam waktu yang tepat sekali, dia mendorong tubuh lhama tua itu sehingga membalik dan menyambut datangnya serangan Kim Ting siong jin.
Perubahan itu berlangsung dalam sekejap mata. Tenaga dalam Coan lun hoat ong sudah mencapai taraf yang tinggi sekaii. Ketika dadanya terhantam pukulan Cen Sim Fu, dia tidak merasakan apa-apa. Namun ketika Cen Sim Fu menariknya dengan cengkeraman dan mendorong tubuhnya, dia merasa Kim Ting siong jin sedang mengerahkan tenaga dalam untuk mengirimkan serangan. Dalam keadaan gugup, lhama tua itu langsung melancarkan dua buah pukulan. Kedua pukulan itu satu dilancarkannya untuk menyambut pukulan Kim Ting siong jin sedangkan yang satu lagi diarahkan kepada Cen Sim Fu.
Tapi, setelah membalikkan tubuh Coan lun hoat ong, Cen Sim Fu cepat mencelat ke belakang. Pukulan yang diarahkan Coan lun hoat ong kepadanya memancarkan angin yang kencang, namun mengenai tempat yang kosong. Blam! Pukulan yang satunya beradu dengan pukulan Kim Ting siong jin.
Tenaga dalam Coan lun hoat ong, tidak usah diragukan lagi tingginya. Apalagi ketika dia mengerahkan pukulan. Dia sudah menderita kerugian lebih dulu, hatinya sedang marah. la malah menyerang dengan segenap kekuatannya.
Barusan ia mengadu pukulan dengan Kim Ting siong jin. Meskipun Kim Ting siong jin memiliki ilmu yang tinggi sekali, namun tenaga dalamnya masih terpaut cukup banyak dengan Coan lun hoat ong. Maka saat itu terpaksa menelan sedikit kepahitan. Terdengar Kim Ting siong jin menjerit dengan suara melengking, tubuhnya tergetar mundur tiga langkah dan tepat jatuh di dalam pelukan Kwe Tok.
Siu Lo Cun Cu Kwe Tok menjulurkan tangannya menyambut tubuh Kim Ting siong jin. Orang tua itu tertawa terbahak-bahak.
"Belum mendapat keuntungan apa-apa, sudah saling mencakar. Ha ... ha ... Benar- benar tidak seru!"
Wajah Kim Ting siong jin menyiratkan kemarahan. Dia meraung keras-keras."Apakah harus menentukan kalah menang dulu baru mengambil pedang pusaka?"
Kwe Tok tertawa dingin. "Kalian bertiga yang mengambil keputusan, aku tidak akan ikut campur."
Mendengar kata-kata Kwe Tok hati Hek Tian Mo Cen Sim Fu senang sekali. "Kwe loyacu, maksudmu kau tidak ingin mendapatkan pedang pusaka itu?"
Kwe Tok tersenyum licik. "Kapan aku pernah berkata begitu?"
Coan lun hoat ong mengatur hawa murni dalam tubuhnya. "Lalu, apa maksud kata- katamu tadi?" tanyanya.
Kwe Tok tersenyum. "Di antara kalian, asal ada yang mampu, silakan ambil pedang pusaka itu, aku tidak akan mengernyitkan kening sedikit pun."
Cen Sim Fu yang paling senang mendengar kata-katanya. "Kwe loyacu, kata-katamu itu tulus atau hanya main-main saja?"
"Siau Cen, jaga mulutmu itu! Kapan orang she Kwe ini pernah menyalahi kata- katanya sendiri?"
Cen Sim Fu segera mengeluarkan suara siulan yang panjang. "Baik! Anggap saja ucapanku tadi terlalu kasar!" Selesai berkata, Hi bull Cen Sim Fu sudah mencelat ke belakang. Sampailah dia di tepi kolam itu. Dia bersiap mengempos hawa murni dalam tubuhnya untuk mengerahkan gin kang agar dapat mencelat sampai atas air mancur itu. Dia sudah bertekad untuk menjadi orang pertama yang mengambil pedang pusaka itu.
"Siau Cen. Tunggu dulu! Masih ada perkataan lain yang ingin kuutarakan!" Terdengar Kwe Tok herkata dengan tiba-tiba.
Cen Sim Fu sama sekali tidak herani menyalahi Siu Lo Cun Cu Kwe Tok. Mendengar ucapan Kwe Tok, dia berusaha menahan hawa amarah dalam dadanya. Untuk sementara dia tidak jadi mencelat ke atas, tapi tampangnya sudah mulai tidak enak dilihat.
"Entah masih ada petunjuk apa lagi dari Kwe loyacu?" katanya.
"Kau jangan menganggap aku sengaja menghalang-halangimu. Sebetulnya apa yang ingin kukatakan demi kebaikanmu sendiri."
Mendengar ucapan Kwe Tok, tanpa dapat ditahan lagi timbul perasaan heran dalam hati Cen Sim Fu, tetapi dia tertawa terkekeh-kekeh beberapa kali.
"Terima kasih atas perhatian Kwe loyacu!"
Wajah Kwe Tok berubah serius. "Siau Cen, kau tidak percaya dengan kata-kataku? Sekarang aku ingin bertanya kepadamu, kau lihat baik-baik! Ada berapa batang pedang sebenarnya yang bergerak-gerak karena ayunan air mancur itu?"
Mendengar pertanyaan Kwe Tok, Cen Sim Fu teringat kembali ketika dia memperhatikan pedang pusaka yang berwarna kehijau-hijauan itu, tiba-tiba dia mendengar suara dentingan, seperti berbenturnya dua jenis logam, tetapi dia tidak tahu dari mana asalnya.
Pada saat itu hatinya sudah curiga, tetapi dari belakangnya sudah terdengar suara perdebatan antara Coan lun hoat ong dengan Kim Ting siong jin. Karena itu dia terpaksa menunda masalah yang mernbuat hatinya bertanya-tanya. Sekarang, setelah mendengarkan kata-kata Kwe Tok, tanpa dapat ditahan lagi dia jadi tertegun.
"Mungkinkah masih ada pedang kedua?" Kwe Tok tertawa terbahak-bahak.
"Di dalam goa ini ada dua batang pedang pusaka. Kedua pedang itu merupakan harta benda yang tidak terkirakan nilainya sejak adanya pedang. Yang satu adalah pedang berwarna kehijauan yang terlihat sekarang. Apabila orang yang menggunakannya mengenakan pakaian berwarna hijau juga, maka batang pedang itu akan menjadi transparan, sehingga orang tidak dapat melihatnya dengan jelas. Tajamnya jangan ditanyakan lagi. Sedangkan pedang yang satunya lagi . . . memang tidak bisa terlihat sama sekali. Aku sendiri tidak tahu terbuat dari bahan apa pedang itu, yang pasti pada jaman dulu ada dua julukan yang diberikan pada pedang itu. Yang satu disebut Bu heng kiam (Pedang tanpa bayangan). Hal itu tentu karena pedangnya sendiri yang tidak bisa sembarangan terlihat oleh pandangan mata. Dan sebagian orang menyebutnya Bu Ceng kiam (Pedang tanpa perasaan), nama itu diberikan mungkin karena dapat melukai atau membunuh seseorang tanpa terasa sedikit pun pada permulaannya . . ."
Apa yang dikatakan oleh Kwe Tok, boleh dibilang bahkan belum pernah didengar oleh orang-orang lainnya di dalam goa itu. Mereka jadi ter-mangu-mangu.
"Dimana pedang yang satunya lagi?" tanya Cen Sim Fu.
"Tentu saja teruntal antil di atas air mancur itu juga. Hanya saja tak tertangkap pandangan mata," sahut Kwe Tok.
Cen Sim Fu melirik ke atas air mancur. Untuk sesaat dia berdiri terpaku tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Tadinya dia bermaksud mengerahkan gin kangnya yang tinggi untuk mencelat ke atas dan meraih pedang pusaka itu. Tetapi sebenarnya hal itu cukup membahayakan karena muncratan air mancur itu sangat deras.
Siapa pun bisa melihat bahwa pedang pusaka itu tajam sekali, mungkin dapat memotong besi ataupun batu giok dengan mudah. Sedangkan tubuh yang sedang mencelat ke atas, di situ tidak bisa mengerahkan tenaga dalam. Lagipula di sekitar tempat itu terdapat air mancur yang besar-besar sehingga pandangan mata menjadi kabur. Apabila kurang hati-hati sedikit saja, tangan bisa salah raih, akibatnya pasti akan terluka.
Apalagi sekarang Kwe Tok mengatakan masih ada sebatang pedang lainnya yang tidak terlihat. Pedang itu juga bergerak-gerak karena ayunan air mancur, sama sekali tidak dapat diduga di mana adanya pedang itu. Apabila pedang itu kebetulan menyongsong datangnya tangan kita yang ingin meraih, kesenggol sedikit saja, ada kemungkinan pedang tak berwujud itu akan berbalik arah dan menembus jantung kita.
Itulah sebabnya Cen Sim Fu merenung sekian lama. Diam-diam dia berpikir da lam hati. Kwe Tok bukan tokoh yang suka bicara sembarangan, dia tidak boleh menempuh bahaya sebesar itu. Lebih baik memancing Coan lun hoat ong dengan sindiran agar lhama itu yang mencobanya terlebih dahulu. Lebih bagus lagi apabila orang tua itu sampai terluka oleh pedang tak terwujud itu.
Karena itu Cen Sim Fu segera tertawa ter-bahak-bahak.
"Coan lun hoat ong adalah seorang pendeta suci yang berpandangan tinggi, aku bersedia mengalah kepadamu agar mengambil lebih dulu pedang pusaka itu."
Cen Sim Fu benar-benar orang yang tidak tahu malu. Dalam waktu sekejap bisa mengucapkan kata-kata seperti itu, tanpa berubah sedikit pun mimik wajahnya.
Sedangkan Coan lun hoat ong dari kuil Ga tang itu, pada hakekatnya juga hukan manusia baik-baik. Kalau tidak, mana mungkin dia menipu Lie Cun Ju datang ke perbatasan Tibet kemudian memusnahkan seluruh ilmu silatnya. Tetapi Coan lun hoat ong tidak bermuka tebal seperti Cen Sim Fu. Mendengar kata- kata Cen Sim Fu untuk sesaat dia jadi tertegun. Dia sadar bahwa Cen Sim Fu justru mendengar kata-kata Kwe Tok sehingga tidak berani menempuh bahaya itu dan membiarkan dia sendiri yang mencobanya.
Seandainya dia menyetujui usul Cen Sim Fu, berarti dirinya kena diperalat oleh orang itu. Tetapi apabila dia tidak setuju, dia justru tidak begitu mempercayai keterangan Kwe Tok. Lagipula dia juga kehilangan kesempatan. Dia berpikir sejenak. "Lantas bagaimana pendapat Kim Ting siong jin?" katanya.
Perasaan Kim Ting siong jin memang sedang tidak senang. Dia tidak rela orang lain mendahuluinya, karena dia juga tidak percaya keterangan yang diberikan Kwe Tok.
Itulah sebabnya, setelah mendengar pertanyaan Coan lun hoat ong, cepat-cepat dia ingin menyatakan kesediaannya, tetapi Sang Cin dan Sang Hoat yang berdiri di belakangnya sudah keburu melangkah satu tindak ke depan.
"Suhu, setan tua she Kwe itu mempunyai kedudukan yang tinggi sekali di dunia bu lim. Tentu tidak akan mengoceh sembarangan. Lebih baik biarkan pendeta itu mencobanya terlebih dahulu!" katanya dengan suara berbisik.
Meskipun Kim Ting siong jin guru Sang Cin dan Sang Hoat, dan jelas kepandaiannya juga jauh lebih tinggi dari mereka, tetapi karena dia menetap di daerah Biao serta jarang datang ke wilayah Tiong goan, jadi dia juga kurang paham situasi di dunia bu lim. Karena itu pula, dia sering meminta petunjuk dari kedua orang muridnya itu.
Sekarang mendengar keterangan Sang Cin dan Sang Hoat, dia menarik kembali kata- kata yang akan diucapkannya tadi dan berubah haluan.
"Apa yang dikatakan Hek Tian Mo memang tidak salah,, biar Coan lun hoat ong yang turun tangan teriebih dahulu. Kami bersedia mengalah!"
Coan lun hoat ong yang didesak dengan kata-kata oleh kedua orang itu, merasa gengsi juga. Dan kenyataannya dia memang kurang percaya dengan keterangan Kwe Tok tadi. Akhirnya dia pun menganggukkan kepalanya.
"Baiklah! Apabila aku sudah mendapatkan pedang pusaka itu, harap kalian jangan timbul pikiran untuk merebutnya!"
Sebetulnya kata-kata Coan lun hoat ong itu terlalu berlebihan. Sebab beberapa orang yang berkumpul di dalam goa itu boleh dikata setali tiga uang. Taraf perbedaan ilmu setiap orang tipis sekali. Seandainya dia sudah berhasil mendapatkan pedang pusaka itu, ibarat harimau tumbuh sayap, siapa lagi yang sanggup merebut pedang itu darinya.
Orang lainnya tidak ada yang memberikan komentar. Coan lun hoat ong maju satu langkah. Sepasang lengannya bergetar, tubuhnya mencelat ke atas. Tahu-tahu dia sudah melayang di ketinggian dua depaan. Tinggi air mancur itu sendiri hanya satu depa lebih. Berarti begitu mencelat, tubuhnya sudah melayang di atas pancuran air itu. Tampak tubuhnya bergeser ke samping sedikit, kemudian meluncur tegak lurus beberapa kaki. Setelah itu baru melorot turun secara perlahan-lahan.
Beberapa perubahan yang diperlihatkannya benar-benar indah, menimbulkan rasa kagum dalam hati orang-orang yang melihatnya. Apabila hawa murni dalam tubuh seseorang tidak cukup dalam, tentu tidak bisa melakukan hal itu.
Di saat tubuhnya sedang melorot turun, kebetulan pedang berwarna kehijauan itu sedang bergerak ke atas terpental ayunan air mancur. Diam-diam hati Coan lun hoat ong merasa senang. Dia mengamati letaknya yang tepat, kedua jari tangannya segera meluncur ke depan untuk menjepit tubuh pedang.
Gerakan itu sudah diukm dengan seksama. Tampaknya dengan mudah dia akan mendapatkan pedang yang langka dan tidak ada duanya di dunia itu. Ketika perasaan Cen Sim Fu mulai menyesal membiarkan lawan mendahuluinya, Coan lun hoat ong justru merasa ada serangkum hawa dingin yang melanda ke arah siku tangannya.
Tadinya Coan lun hoat ong mengira rombongan Cen Sim Fu atau Kim tin siong jin yang membokongnya. Dalam keadaan darurat, dia masih sempat menolehkan kepalanya sekejap, tapi dia tidak meneniukan kejanggalan apa-apa. Sedangkan dia tidak bisa menoleh terlalu lama, karena perhatiannya bisa terpencar.
Tetapi barn saja dia menolehkan kepalanya kembali, terasa kedua jari tangannya sudah menyentuh tubuh pedang. Namun dalam waktu yang hampir bersamaan, lengan kanannya terasa perih, darah segar memercik ke mana-mana. Ternyata batas sikunya sudah terpotong.
Rasa terkejut Coan lun hoat ong saat itu jangan ditanyakan lagi. Hawa murni dalam tubuhnya tidak dapat dikendalikan, tubuhnya pun melorot turun seketika.
Perubahan itu datangnya demikian mendadak, tentu saja tidak menunjukkan gejala sedikit pun. Coan lun hoat ong merasa pandangan matanya menjadi kabur karena percikan darah yang merah tahu-tahu siku tangannya sudah terjatuh ke dalam kolam.
Untuk sesaat, Coan lun hoat ong sendiri tidak tahu apa sebetulnya yang telah terjadi. Secara spontan tangan kirinya bergerak, dia ingin meraih pedang yang telah niemutus siku tangannya tadi.
Tetapi, baru saja tangan kirinya bergerak ke kanan, tiba-tiba serangkum hawa dingin melintas di depan wajahnya. Ternyata jari tangan kelingking dan jari tangannya tanpa sebab musabab yang kembali terputus.
Saat itu Coan lun hoat ong henar-benar terkejut hatinya. Tubuhnya melorot turun kira- kira dua kaki. Dalam waktu yang bersamaan, air di kolam itu memancur ke atas mengenai kepalanya. Coan lun hoat ong sudah kesakitan sedemikian rupa sehingga kepalanya pusing tujuh keliling, namun guyuran air mancur itu, membuat dirinya tersadar kembali. Meskipun tenaga dalamnya yang dahsyat sekali masih dapat mempertahankan dirinya dari luka yang demikian parah, tetapi dia juga sadar, apabila tubuhnya sampai terjatuh ke tengah-tengah pancuran air, selembar nyawanya pasti sulit dipertahankan lagi.
Itulah sebabnya, dalam keadaan panik, dia menghimpun hawa murni dalam tubuhnya. Dengan cepat dia mencelat lagi ke atas kurang lebih tiga kaki, kemudian menggeser tubuhnya sedikit dan memaksakan dirinya menghentak ke samping. Akhirnya berhasil juga dia terjatuh ke samping kolam, namun saat itu juga dia tidak sadarkan diri.
Semua perubahan itu terjadi dalam sekejap mata. Begitu Can lun hoat ong terjatuh ke tepi kolam, dua lhama lainnya dari kuil Ga tang segera menghambur ke arahnya.
Dengan sibuk menotok bagian yang terluka agar pendarahannya terhenti. Sementara itu, tampak siku dan kedua jari tangan Coan lun hoat ong masih terpental kesana kemari oleh gerakan air mancur. Kemudian tanpa menimbulkan suara sedikit pun, atau mungkin suaranya ada tapi tertutup gemuruh suara air mancur itu, kedua jari tangan dan siku Coan lun hoat ong sudah tercebur ke dalam kolam.
Melihat peristiwa yang terjadi, wajah Kim Ting siong jin dan Cen Sim Fu langsung beruhah hebat.
"Kwe loyacu apakah pedang Bu heng kiam itu benar-benar tidak bisa terlihat sedikit pun?" tanya Cen Sim Fu dengan suara parau.
Kwe Tok tertawa dingin. "Kalau bisa terlihat oleh pandangan mata, mana dapat disebut benda pusaka?"
Cen Sim Fu menolehkan kepalanya sekali lagi melihat ke arah kolam. Tampak pedang yang berwarna kehijau-hijauan itu masih terkatung-katung di tengah udara karena dorongan air mancur.
Untuk sesaat dia termangu-mangu. "Kalau begitu, siapa pun yang mendapatkan pedang itu dapat melukai lawannya tanpa terlihat sedikit pun?" tanya Kim Ting siong jin.
Kwe Tok tertawa terbahak-bahak. "Sudah tentu. Makanya pedang itu juga dinamakan Pedang tanpa rasa. Maksudnya orang yang tertusuk pedang itu tidak sempat merasakan apa-apa tahu-tahu sudah mati. Sayangnya belum tentu kau bisa mendapatkannya."
Kim Ting siong jin mendengus dingin. Dia menolehkan kepalanya. "Hek Tian Mo, sekarang giliran siapa, kau atau aku?" katanya.
Cen Sim Fu menolehkan kepalanya melirik Kim Ting siong jin sekilas. Diam-diam dia berkata dalam hati, Coan lun hoat ong yang mempunyai tenaga dalam lebih tinggi daripada kami berdua saja, masih menderita luka demikian parah. Lebih baik jangan mendahului dan beri kesempatan kepada Kim Ting siong jin untuk mencobanya sekali lagi.
"Silakan Tuan turun tangan dulu!" katanya. Kim Ting siong jin tertawa pan jang.
"Baik!" Dia mengangkat anglo emasnya kemudian berjalan ke tepi kolam. Di sana dia memusatkan pandangan matanya.
Perlu diketahui bahwa hampir seumur hidupnya Kim Ting siong jin di dalam goa yang gelap di daerah Biao. Ketajaman matanya sungguh sulit dicari duanya di dunia ini.
Setelah dia memperhatikan dengan seksama, merasa di samping pedang berwarna hijau itu, terdapat hawa pedang lainnya yang sedang terayun-ayun seiring gerakan air.
Diam-diam Kim Ting siong jin berpikir dalam hati, seandainya pedang itu tidak bisa tertangkap pandangan mata, tentunya pedang itu tipis sekali. Dia menatap hawa pedang itu sekejap, tidak sepatah kata pun yang tercetus dari mulutnya, juga tidak segera mengambil tindakan. Seperti sebuah patung yang tidak bergerak sedikit pun.
Cen Sim Fu mulai tidak sabar melihat tindakannya. "Apa sih yang kau lihat? Jangan tunda terus waktu kami, cepat ambil tindakan!" teriaknya.
Kim Ting siong jin tidak menjawab, sepeminuman teh kembali berlalu, tiba-tiba dia mengeluarkan suara siulan panjang. Dari balik pakaiannya yang gemerlapan dia mengeluarkan seutas rantai.
Tampak Kim Ting siong jin mengikat bagian ujung rantai di kaki anglo emasnya. Seteiah itu dia mengangkat anglo emasnya ke atas kemudian membantingnya kembali. Setelah melakukan hal itu, kembali Kim Ting siong jin memperhatikan air mancur dengan penuh perhatian. Tidak ada yang tahu apa yang sedang diperbuatnya. Tetapi tidak ada pula yang menanyakannya.
Sikapnya yang demikian serius membuat orang lainnya menahan nafas melihatnya. Tetapi sampai sekian lama, tidak ada seorang pun di antara mereka, termasuk Siu Lo Cun Cu yang berhasil melihat pedang tanpa wujud itu.
Seandainya gagang pedang itu masih ada, meskipun batang pedang itu sendiri tidak berwujud, setidaknya gagangnya pasti kelihatan. Tetapi justru pedang tidak berwujud itu mengalami nasib yang sama dengan pedang hijau. Gagangnya telah hilang entah berapa ratus tahun yang lalu.
Dengan kekuatan pandangan mata, juga pengerahan segenap perhatian, Kim Ting siong jin baru dapat merasakan adanya hawa pedang lain yang sedang menari-nari di atas air mancur.
Untuk beberapa saat, Kim Ting siong jin berdiri termangu-mangu. Tiba-tiba terdengar suara dari arah air mancur.
Tang! Ting! Tang! Ting!
Mimik wajah Kim Ting siong jin semakin tegang, dia mempertajam pandangan matanya. Tampak di samping pedang hijau itu ada segaris bayangan pedang lainnya yang demikian samar sehingga hampir seperti ada dalam khyalannya saja. Tetapi dia berhasil melihat bayangan pedang yang samar itu justru sedang mencelat ke atas karena gerakan air mancur yang sedang memancur.
Kim Ting siong jin membentak keras-keras. Dia menghentakkan tangannya, rantai panjangnya telah menggetarkan anglo emasnya sehingga melayang ke atas. Anglo emas itu membentuk bayangan yang berkilauan meluncur terus menuju hawa pedang tadi.
Gerakannya itu terhitung bukan main cepat-nya. Tampak anglo emas itu sudah melayang ke samping air mancur. Terdengarlah suara dentangan yang nyaring. Kim Ting siong jin gembira sekali.
"Akhirnya berhasil kudapatkan juga . . ." Tetapi belum lagi kata-katanya selesai, tiba- tiba terdengar lagi suara dentingan.
Cring . . .!
Tampak sebuah lubang pada anglo emasnya. Salah satu kaki anglo itu lepas dari tubuhnya.
Kim Ting siong jin terkejut bukan main. Padahal tadi dia sudah melihat dengan tepat, jelas-jelas pedang tidak berwujud itu sudah terkait ke dalam anglo emasnya, namun tidak disangka-sangka dalam sekejap mata pedang itu bisa menembus keluar, bahkan menebas salah satu kaki anglo itu.
Dalam keadaan panik, Kim Ting siong jin bermaksud menarik kembali anglo emasnya. Dia menghentakkan tangannya, namun belum sempat menariknva, tiba-tiba dia merasa bobot rantai itu jadi ringan. Ternyata rantai yang mengikat kaki angio emas itu juga sudah tertebas putus.
Wajah Kim Ting siong jin pucat pasi, dia mengeluarkan seruan terkejut. Tampak air kolam memercik ke mana-mana, anglo emasnya terjatuh ke dalam kolam. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun tenggelam ke dalam air yang berpancuran dengan deras.
Anglo emas itu dipandang sehagai sahabatnya yang paling dekat oleh Kim Ting siong jin, bahkan lebih penting dari nyawanya sendiri. Sekarang bukan saja dia tidak berhasil mendapatkan salah satu pun dari kedua batang pedang pusaka itu, bahkan kehilangan anglo emasnya.
Kim Ting siong jin seperti kalap saking marahnya. Dia mengibaskan rantai di tangannya kesana kemari tanpa sasaran yang pasti. Terdengar suara angin menderu- deru. Orang-orang lainnya segera menghindar. Hanya Siu Lo Cun Cu Kwe Tok seorang yang tidak menghindar, bahkan melangkah ke depan satu tindak, tangannya menjilir ke depan. Secepat kilat dia menyusup ke dalam bayangan rantai. Tahu-tahu ujung rantai itu sudah tercekal oleh tangannya.
Kemarahan Kim Ting siong jin semakin meluap-Iuap. Wajahnya tampak garang. "Setan tua, apa maksudmu?" "Kau hanya kehilangan sebuah anglo emas, tetapi selemhar nyawamu masih utuh, seharusnya kau sudah merasa puas!" sahut Kwe Tok dengan nada dingin.
Kim Ting siong jin membentak dengan suara keras. "Kentut!"
Tubuhnya berkelebat, kakinya maju satu tindak, jenggot dan rambutnya berkibar- kibar, giginya gemerutuk, tinjunya meluncur ke depan mengincar Kwe Tok.
Siu Lo Cun Cu Kwe Tok hanya memandangi dengan tenang. Tinju itu sebentar lagi akan me-ngenai dadanya. Gerakan serangan itu cepat sekali. Tampaknya jaraknya sudah begitu dekat. Tiba-tiba jari tangan Kwe Tok bergerak ke depan mengirimkan totokan ke arah tangan Kim Ting siong jin.
Kim Ting siong jin sempat tertegun, tetapi serangannya tidak menjadi lambat sedikit pun. Jurus serangan yang dimainkan Kwe Tok mengandung keanehan yang tidak terkirakan. Tetapi Kim Ting siong jin mempunyai keyakinan akan tenaga dalamnya sendiri yang dahsyat sekali. Seandainya jari tangan orang tua itu nekat beradu dengan tangannya, bukankah malah jari tangan orang itu sendiri yang akan patah?
Kim Ting siong jin tidak menarik serangannya kembali. Gerakan tangannya justru semakin cepat. Tampaknya sebentar lagi tinjunya akan beradu dengan jari tangan Kwe Tok. Tetapi justru pada saat itu juga, lengan Kwe Tok bergeser sedikit, jari tangannya bergerak menurun. Tahu-tahu jalan darah di bagian pinggang Kim Ting siong jin sudah tertotok.
Begitu jalan darah di pinggangnya tertotok, lengan Kim Ting siong jin jadi lemas seketika. Padahal saat itu tinjunya hanya tinggal setengah cun saja dapat menghantam dada Kwe Tok.
Rasa terkejut Kim Ting siong jin saat itu benar-benar tidak terlukiskan. Cepat-cepat dia mencelat ke belakang. Kwe Tok juga tidak mengejarnya.
"Siau Cen, giliranmu sekarang!" kata Kwe Tok dengan nada dingin.