Jilid 14
SEMENTARA itu didalam kamarnya Lie Hong Giok sedang menghadapi secangkir air teh yang baru saja diantar oleh seorang pelayan lelaki muda.
Dara jelita yang perkasa itu duduk seorang diri sambil dim inumnya air teh itu. Didalam hatinya dia sedang memikirkan lagak sipelayan muda tadi yang perlihatkan suatu senyum tidak sedap untuk dipandang; akan tetapi yang sukar diketahui maksudnya sampai tiba-tiba dara yang perkasa dan yang cantik jelita itu merasakan sangat mengantuk. Dara jelita yang perkasa itu hendak bangun dari tempat duduknya, buat dia pindah keatas tempat tidur akan tetapi rasa kantuknya menyebabkan dia tak sanggup melaksanakan niatnya sebaliknya dia pulas tertidur sambil masih duduk menghadapi sisa air teh di atas meja.
Malam kemudian bertambah larut dan kian menjadi sunyi. Hanya suara burung burung malam yang terkadang perdengarkan suara dise ling dengan bunyi suara anjing anjing geladak yang mengaum, sementara dara yang perkasa itu tetap tidak sadar waktu seseorang memasuki kamarnya, karena pintu kamar memang belum sempat dia tutup dari dalam.
Bagaikan orang yang sedang bermimpi Lie Hong Giok melihat secara samar bahwa tubuhnya dirangkul oleh pemuda Cin Bian Hui karena agaknya sang suheng bermaksud memindahkan sang sumoay keatas tempat tidur.
Sepasang tangan Cin Bian Hui memegang erat bagian dada Lie Hok Giok; membikin dara yang perkasa itu hendak menghalau sepasang tangan sang suheng akan tetapi dara yang jelita itu bagaikan tak ada kekuatannya sehingga tak kuasa melakukan niatnya sebaliknya bagaikan disengaja, sepasang tangan pemuda Cin Bian Hui semakin merajalela meraba bagian dada Lie Hong Giok. Tubuh dara jelita itu kemudian rebah terkulai diatas tempat tidur, sementara secarik demi secarik pakaiannya lepas dari tubuhnya yang ramping, sampai kemudian dara yang perkasa itu merasa bagaikan seekor kuda dipacu semakin jauh dan semakin jauh perjalanan yang harus dia tempuh membikin peluh membasahi muka dan tubuhnya; serta rasa letih yang tak tertahankan membikin dia lupa pada semuanya.
Segala yang terjadi atas dirinya, dirasakan antara sadar dan tidak sadar. Oleh karenanya alangkah herannya ketika pada keesokan harinya dia mendapatkan dirinya rebah diatas tempat tidur, sedangkan pada mulanya dia ingat bahwa dia tertidur diatas kursi menghadap meja.
(Akh...) pikir dara jelita itu didalam hati, betapa suhengnya rupanya telah memindahkan dia, sebab dia ingat bahwa pintu kamar memang belum dia palang dari bagian dalam berhubung dia tertidur disebabkan rasa kantuknya yang tidak tertahankan.
Kemudian dara jelita yang perkasa itu hendak turun dari tempat tidurnya; buat dia menemui sang suheng yang hendak dia marahi dengan lagaknya yang manja. Akan tetapi, dia menjadi sangat terkejut waktu mendapatkan dirinya telanjang yang tadi tertutup dengan sehelai selimut. Dara yang perkasa itu menjadi tambah terkejut waktu dia menemukan darah pada kain alas tempat tidur menyebabkan dia tersentak karena menduga sang suheng telah menodai dirinya.
Dara yang jelita dan perkasa itu menjadi terisak menangis, membayangkan peristiwa semalam, yang rupanya bukan hanya terjadi dalam mimpi belaka.
('suheng; kau bukan seorang manusia...!) akhirnya terpikir oleh Lie Hong Giok; selagi buru buru dia memakai pakaiannya.
Memang benar hubungan antara dara jelita yang perkasa itu sangat akrab dengan suhengnya, bahkan keduanya memang saling menyinta dan sudah berjanji akan meneruskan sampai ke jenjang pernikahan.
Poen lui ciu Lie Thian Pa membiarkan hubungan bebas yang terjadi antara anak daranya dengan murid kesayangannya, oleh karena si tangan geledek itu tahu benar, bahwa pemuda Cin Bian Hui adalah seorang pemuda yang mengenal harga diri yang tentunya tidak akan menodai nama baik mereka.
Akan tetapi, malam itu terjadi hal yang tidak pernah diduga oleh si 'tangan geledek’ Lie Thian Pa, dan Lie Hong Giok sangat menyesali perbuatan sang suheng, yang dia anggap tidak dapat bersabar padahal dia memang sudah bertekad hendak menikah dengan sang Suheng itu.
Dara jelita yang sedang marah bercampur kecewa ini kemudian keluar dari kamarnya, menuju ketempat pengurus rumah penginapan hendak mencari sang suheng.
Diruangan depan sudah banyak tamu lain, akan tetapi dara jelita yang perkasa itu tak menghiraukan, dan dia bahkan tidak menghiraukan waktu pandangan matanya bertemu dengan seorang kakek bongkok yang sedang mengawasi dia, dengan suatu senyum iblis yang sedang kegirangan !
Pengurus rumah penginapan jadi terkejut, waktu dara jelita itu menanyakan tentang suhengnya, oleh karena sejak semalam, dia tidak melihat pemuda itu yang dia anggap sedang asyik mengeram diri didalam rangkulan seorang dara jelita didalam kamar, meskipun semalam pemuda itu memang berjanji hendak menumpang tidur diruang pengurus rumah penginapan itu.
Dara jelita yang perkasa itu kelihatan gelisah, cemas dan marah. Dia kembali kedalam kamarnya, dan dia mengemasi barang barang bawaannya. ("akan kubunuh dia. kalau aku menemui dia...l') kata dara jelita itu didalam hati sebab dia menduga sang suheng telah kabur sehabis menodai dirinya.
Padahal pemuda suhengnya yang sekaligus menjadi kekasihnya itu berada tidak jauh dari kamar dara jelita kekasihnya sebab Cin Bian Hui berada didalam sebuah dasar lobang sumur, dibagian belakang rumah penginapan itu dalam keadaan sudah menjadi mayat dengan perut robek, bagaikan dibedah memakai sebatang pisau belati yang amat tajam, dan yang mengandung bisa racun yang dahsyat.
Sama halnya seperti dara yang perkasa itu, ternyata Cin Bian Hui telah keracunan yang dicampur didalam air teh karena si iblis penyebar maut berhasil menyamar menjadi seorang pelayan laki laki muda yang membawakan air teh, buat Lie Hong Giok dan buat Cin Bian Hui akan tetapi racun yang mengeram dalam tubuh Cin Bian Hui mengakibatkan pemuda ini merasa sakit perut, dan dia bergegas ke kakus yang letaknya dibagian belakang rumah penginapan lalu sebelum pemuda ini mencapai tempat tujuan; mendadak dia merasakan matanya gelap dan tubuhnya tak kuat berdiri. Bagaikan dalam mimpi pemuda Cin Bian Hui melihat datangnya sesosok tubuh yang berujut muka Gan Hong Bie yang muncul dari suatu sudut kegelapan malam; lalu sebatang pisau belati membenam diperutnya dan perut itu kemudian disobek kebagian atas sampai usus pemuda itu ikut tertarik keluar !
Mayat pemuda Cin Bian Hui kemudian dibuang kedalam sebuah sumur dan sebuah lencana Kui mo ong kemudian ditemukan orang berbareng dengan ditemukannya mayat Cin Bian Hui yang sudah berbau busuk.
Sementara itu sebuah lencana Kui mo ong yang lain; kelak ditemukan juga oleh Lie Hong Giok didalam bungkusan pakaiannya. Akan tetapi dihari peristiwa itu terjadi tidak diketahui oleh Lie Hong Giok yang membungkus pakaiannya dengan pikiran risau dan tergesa gesa.
Sudah tentu Lie Hong Giok yang sudah bukan seorang dara lagi tidak berani pulang menemui ayahnya; sebaliknya langkah kakinya mengajak dia buat terus saja mencari sang suheng yang hendak dia bunuh, kalau dapat dia temukan.
"Akan kubunuh dia ! Akan kubunuh dia. !” demikian sepanjang jalan Lie Hong Giok bicara seorang diri sampai kemudian dia menjadi seorang perempuan muda yang perkasa nan sinting !
Dilain pihak dan diluar rencana si iblis penyebar maut, ternyata dia tergila gila bermain cinta dengan Lie Hong Giok, meskipun dara yang perkasa itu melakukannya di saat dia tidak sadar sebab kena dibius, dan si iblis terus mengikuti perjalanan Lie Hong Giok dengan menyamar sebagai si kakek bongkok, dan s i iblis bahkan memberikan tambahan ilmu s ilat, antara lain ilmu 'eng jiauw kang' yang mengutamakan tenaga dalam !
Si iblis penyebar maut dalam ujut penyamaran si kakek bongkok yang aneh kelakuannya, kemudian mendapat tugas dari pihak pemerintah kerajaan Beng, sebab si iblis memang merupakan salah seorang kaki tangan pihak pemerintah, dan tugas itu adalah si iblis harus bergabung dalam suatu pasukan khusus yang disebut Tay lwee sip sam ciu 13 ma laikat maut, suatu regu dinas penyelidik dari istana kerajaan Beng, buat menyelidik dan mencari daftar nama 180 orang para pendekar yang pernah menjadi pendukung gerakan Thio Su Seng, karena dituduh atau dicurigai mempunyai niat berontak.
Si iblis penyebar maut didalam tugasnya sebagai anggota dinas penyelidik itu mendapat angka nomor 8 dan memperoleh pakaian seragam serba hijau, lengkap dengan selubung penutup kepala, dengan lambang naga yang melingkar dan nomor 8 yang tertera didalam lingkaran naga pada pakaian seragamnya yang istimewa. Konon waktu si iblis penyebar maut melakukan kegiatan persekutuan Thian tok bun, dia memang memakai pakaian seragam sama bentuknya; bahkan memakai warna yang hijau juga sehingga adanya Tay lwee sam sip ciu yang ke 8 ini; telah membikin heboh orang orang gagah yang menamakan diri para pendekar penegak keadilan; sebab mereka merasa dibikin pusing kepalanya tidak menduga bahwa si iblis sesungguhnya adalah si malaikat maut yang ke delapan, sedangkan si iblis tertawa sebab niatnya yang hendak membentuk tiga belas hantu jejadian, sudah didahulukan oleh pihak pemerintah yang membentuk tiga belas malaikat maut atau Tay lwee sip sam ciu. Pada waktu si iblis penyebar maut melihat Cie in suthay dengan rombongannya yang membawa orang sakit, maka si iblis penyebar maut buru buru menghilang; sebab dia tidak pernah melupakan si bhiksuni muda usia itu, yang dia anggap sebagai salah satu musuhnya yang berilmu tinggi.
Dua musuh yang menjadi teman seperjalanan Cie in suthay, yang si iblis tidak dapat lupakan adalah si macan terbang' Lie Hui Houw yang pernah melakukan penyamaran sebagai si kakek Lie; dan mengganyang dia selagi dia merintis kegiatan persekutuan Thian tok bun.
Akan tetapi mengenai orang sakit yang sedang digotong, si ibils penyebar maut teringat bagaikan dia merasa kenal akan tetapi saat itu si iblis merasa ragu ragu, sebab dia hanya melihat sepintas lalu dan untuk memastikan dugaannya, si iblis penyebar maut lalu mengatur siasat merobah ujut penyamarannya menjadi seorang pemuda yang putih pucat kulit mukanya, seperti hantu kurang darah!
Si iblis penyebar maut kemudian mencari seorang pelayan yang tidak susah dia bikin pingsan lalu dia buka pakaiannya pelayan ini buat dia pakai, dan dia memerlukan membikin air teh buat diantarkan kedalam kamar Cie in suthay sehingga dapat si iblis melihat yang rebah sakit benar benar adalah bekas 'bini mudanya' yang terpaksa harus dia tinggalkan.
Si iblis penyebar maut sudah kenyang dengan berbagai macam pengalaman. Dia sekarang dapat menyabarkan diri buat tidak mengambil tindakan secara tergesa gesa. Sia sia dia membikin ribut didalam kamar itu, kalau dia tidak bisa membawa lari bekas “bini mudanya” dan sekaligus dapat membinasakan biarawati muda usia serta si 'macan terbang Lie Hui Houw yang menjadi musuhnya.
Tenang langkah kaki si iblis penyebar maut, waktu ia meninggalkan kamar C ie in suthay, dan tenang juga waktu dia membikin sadar si pelayan yang lalu dia berikan sepotong uang perak buat menutup mulut pelayan itu; sehingga si pelayan tadi jadi merasa girang, karena tidak menduga bakal terima duit habis dipukul sampai dia pingsan.
Cepat cepat si penyebar maut mendatangi kantor pejabat pemerintahan setempat masih dalam ujut muka sebagai seorang pemuda pucat seperti hantu kurang darah.
Waktu itu sudah lewat waktu kerja, karena hari sudah mendekati magrib, dan si pejabat pemerintah marah marah tak mau menerima tamu yang dia tidak kenal. Akan tetapi pegawai yang membawa kabar cepat cepat balik lagi dan mengatakan bahwa tamu yang tidak dikenal itu katanya membawa pengenal berupa lencana Malaikat Maut ke 8, anggota dinas rahasia dari istana kerajaan yang amat ditakuti, yang sewaktu waktu dapat mengakibatkan pangkat pejabat pemerintah itu copot bahkan anggota dinas rahasia itu bisa membikin kepala copot kalau dia memberikan laporan jelek kepada pihak istana.
Pejabat pemerintah itu lalu tergesa gesa keluar, keruang tamu tempat anggota dinas rahasia ke 8 itu menunggu, dan dia buru buru memberi hormat sambil terbongkok bongkok atau nungging nungging kemudian berdiri patuh tidak berani duduk mendengarkan kata kata berupa perintah yang harus dia kerjakan.
"...ada seorang perempuan muda yang menyamar jadi biarawati. Dia adalah seorang pemberontak yang harus ditangkap dan dibunuh, berikut semua teman temannya...” demikian kata si iblis penyebar maut yang memberitahukan tempat rombongan Cie in suthay menginap, dan dia t idak lupa menambahkan bahwa biarawati yang muda usia itu sangat mahir ilmu silatnya.
Pejabat pemerintah itu kemudian mengerahkan 500 orang tentara negeri di bawah pimpinan seorang perwira menengah yang menjadi kepala barisan keamanan setempat dan pejabat pemerintah itu bahkan ikut di dalam rombongannya buat perlihatkan lagak pengabdiannya demi kepentingan negara.
Cie in suthay sedang makan malam di ruang tamu; bersama Lie Hui Houw dan Lauw Kiam Seng sedangkan si bocah yang botak kepalanya dim inta menemani Lie Hong Giok dikamarnya. Mereka kaget waktu rumah penginapan itu dikurung rapat oleh sepasukan tentara negeri, juga lain tamu tamu pada kaget dan ketakutan.
Di pihak Cie in suthay bertiga mereka justeru menjadi bertambah kaget, waktu mengetahui pihak tentara itu justeru datang hendak menangkap mereka.
"Kita lawan mereka...!" kata Lie Hui Houw yang lupa sudah mengganti ujut, sebab waktu dia masih menyamar sebagai si macan terbang yang bekas orang hukuman dia memang dimusuhi oleh alat negara, kapan saja dan dimana saja berada selalu dia hendak ditangkap sebab gambar mukanya sudah disebar meluas.
Dan Lie Hui Houw juga lupa keadaan dirinya segera melakukan perlawanan waktu pihak tentara negeri mendekati tempat mereka bertiga duduk, sedangkan Lauw Kiam Seng ikut mencontoh perbuatan rekannya sementara Cie in suthay yang semula hendak melarang, terpaksa harus ikut memberikan perlawanan sebab rombongan tentara itu justeru lebih mengarah dia, daripada kedua pemuda teman seperjalanannya.
'Hey ! apa apaan nih... ,!' teriak biarawati yang muda usia itu, sebab dia t idak mengerti, akan tetapi teriak suaranya tidak dihiraukan oleh pihak tentara, bahkan teriak suara itu sudah dikalahkan dengan suara gemuruh dari pasukan tentara yang amat banyak itu, yang menerobos bagaikan kelompok lebah yang sedang rnengamuk !
"Hey ! aku seorang bhiksuni ! seorang pendeta perempuan yang tidak punya salah ! mengapa kalian hendak menangkap aku... . ?” Cie in suthay yang berkata lagi, sambil mengibas memakai lengan baju yang putih lebar dan kibasan lengan baju itu berhasil membikin dua orang tentara terjerumus hampir jatuh.
Sekali lagi perkataan biarawati yang muda usia itu tidak dihiraukan meskipun pihak tentara ada yang mendengar perkataan itu. Mereka mendapat tugas menangkap, tidak perduli biarawati yang muda usia itu mengatakan bersalah atau tidak, urusan lain adalah menjadi urusan atasan.
Akhirnya Cie in suthay juga teringat dengan tugas militer yang sedang dilakukan oleh rombongan tentara itu. Jadi, dia harus menemui atasan mereka yang dapat memberikan penjelasan.
Segera Cie in suthay meneliti keadaan di sekitar ruangan tamu yang sudah kacau balau keadaannya sambil sering sering dia harus mengebut memakai lengan baju mengusir berbagai senjata tajam yang bisa bikin dia jadi semaput, sehingga lagak dan gaya gerak tubuh dari biarawati yang muda usia itu bagaikan seorang dewi yang sedang menari.
Si pejabat pemerintah sedang berdiri mengawasi, didekat meja pengurus rumah penginapan sambil dia memberikan perintahnya terhadap pasukan tentara yang sedang melaku- kan pengepungan, oleh karena itu Cie in suthay kemudian menarik sebatang tombak yang sedang menikam Ialu dengan meminjam tenaga tarikannya tadi tubuhnya melesat tinggi dan jauh, sehingga gerak yang tidak diduga duga itu membikin dia berhasil berada di dekat si pejabat pemerintah, sebelum pejabat pemerintah itu sempat lari menyingkir.
"Tay jin, apakah kau tidak sa lah menangkap orang...?" tanya biarawati yang muda usia itu, dihadapan pejabat pemerintah setempat, akan tetapi mendadak Cie in suthay merasakan adanya suara angin yang tidak wajar disebelah belakangnya, hingga cepat cepat dia meraih leher baju pejabat pemerintah itu memakai sebelah tangan kirinya, berbareng dia berputar hingga mengakibatkan si pejabat pemerintah itu bagaikan jadi perisa i buat dirinya.
"Sekali lagi kau bergerak, atasanmu ini akan binasa !" kata Cie in suthay bernada galak terhadap si perwira menengah yang tadi menyerang memakai pedang; akan tetapi harus cepat cepat dia membatalkan serangannya karena secepat kilat yang menjadi sasaran serangannya adalah atasan sendiri.
'Apa sebab tay jin hendak menangkapku ,... ?' Cie in suthay menanya lagi.
'Perintah Tay lwee sip sam c iu !" sahut pejabat pemerintah itu memaksakan diri bersikap garang menjaga wibawa; meskipun di dalam hati dia ketakutan.
“tay lwee sip sam ciu? mana dia orangnya ?" tanya Cie in suthay yang menjadi heran; sebab dia tidak melihat adanya seseorang yang berpakaian seragam yang biasa digunakan oleh set iap anggota regu dinas rahasia dari istana itu. “Dia tadi memasuki kamar kalian ,.” sahut pejabat pemerintah itu.
Cie in suthay menjadi sangat terkejut, dia teringat dengan si bocah yang botak kepalanya dan Lie Hong Giok yang berada didalam kamar dari itu cepat cepat dia lepaskan pegangannya pada leher baju si pejabat pemerintah dan seperti angin cepatnya dia lari memasuki kamarnya, dengan dikejar oleh si perwira serta sejumlah tentara negeri.
Didalam kamar hanya ada si botak yang duduk gemetaran di lantai, dan hilang lenyap Lie Hong Giok yang tadi rebah diatas ranjang.
"Mana dia... ? * tanya Cie in suthay singkat sebab keadaan yang sangat darurat.
Si bocah yang botak kepalanya diam gemetar dan ketakutan lalu Cie in suthay memukul muka s i botak memakai telapak tangannya, memaksa si botak seperti baru tersadar dan menangis.
"Mana dia ?" ulang Cie in suthay menanya. "Dibawa lari,” sahut sibotak.
"Siapa yang bawa lari ?”
"Seseorang yang memakai selubung tutup kepala."
Cepat dan singkat mereka bicara akan tetapi secepat itu juga pintu kamar mereka digedor orang orang sebab waktu masuk tadi sempat Cie in suthay menutup pintu.
Cie in suthay lalu mengambil pedang Ceng liong kiam yang untungnya disimpan oleh dia setelah itu dia meraih sebelah tangan si botak yang hendak dia bawa kabur me lalui jendela kamar yang masih terbuka; akan tetapi pintu kamar sudah kena dibobol dan si perwira menengah nongol dengan sejumlah tentara.
“Tangkap dia!” perintah si perwira yang agaknya tak mau sembarangan menyerang; sebaliknya membiarkan pihak tentara yang bergerak duluan. Cie in suthay cabut pedang ceng liong kiam sarungnya dia berikan si botak; lalu dia membabat setiap senjata yang datang mendekati membikin senjata tentara pada putus bagian ujungnya. Pihak tentara menjadi ketakutan dan menunda penyerangan berikutnya; akan tetapi kesempatan itu telah digunakan oleh Cie in suthay buat lompat lewat jendela sambil dia meraih pinggang si botak seperti diajak terbang.
Cie in suthay tidak mengajak sibotak langsung meninggalkan rumah penginapan itu akan tetapi dia jalan memutar ketempat dua pemuda temannya yang masih dikepung lalu biarawati yang muda usia ini membabat setiap senjata tentara yang mendekati membikin para tentara jadi pada ketakutan sementara Cie in suthay lalu mengajak semua temannya kabur sambil tetap dikejar oleh pihak tentara yang makin lama makin ketinggalan jauh.
Cie in suthay mengajak teman temannya mengejar Tay lwee Sip sam Ciu yang menculik Lie Hong Giok, mengambil arah seperti yang diberitahukan oleh si botak, yang waktu itu digendong oleh pemuda Lie Hui Houw.
Akan tetapi sampai jauh diperbatasan luar kota mereka tidak berhasil menemui jejak orang yang mereka kejar, sedangkan menurut keterangan si botak Tay lwee sip sam Ciu itu memakai seragam serba hijau, dengan nomor delapan yang sempat dilihat oleh si botak.
Jelas bagi Cie in suthay bahwa yang menculik Lie Hong Giok adalah si malaikat maut yang kedelapan dan mengenai Lie Hong Giok pandai ilmu 'eng jiauw kang', apakah si malaikat maut yang kedelapan itu yang mengajarkan? kalau benar begitu pasti Lie Hong Giok sudah kenal dengan si malaikat maut yang kedelapan itu, siapakah dia sebenarnya? Apakah si malaikat maut itu adalah pemuda Cin B ian Hui? Rasanya tidak mungkin kalau pemuda itu mau bekerja menjadi alat negara. Cie in suthay kemudian mengajak teman temannya beristirahat ditepi jalan yang sunyi dan gelap. Mereka saling tukar pikiran sampai si botak pulas tertidur, tidak perduli beralas rumput, sebab dia memang sudah terbiasa. Si iblis penyebar maut dalam ujut dan pakaian seragam Tay lwee sip sam ciu yang kedelapan membawa Lie Hong Giok ke kantor pejabat pemerintah setempat; dan dia menunggu sampai rombongan pejabat pemerintah itu datang tanpa berhasil menangkap seseorang sehingga si pejabat pemerintah itu kena dimaki dan jadi ketakutan, akan tetapi waktu Tay lwee sip sam ciu yang ke delapan itu mengatakan memerlukan sebuah kamar buat Lie Hong Giok yang dia bawa maka si pejabat pemerintah itu buru buru memberikan jasa baiknya, menyediakan sebuah kamar yang istimewa ditempat kediamannya.
Tiga hari lamanya si iblis penyebar maut dalam ujut Tay lwee sip sam ciu ke delapan menginap dirumah pejabat pemerintah itu, dan se lama tiga hari tiga malam itu dia 'berbulan madu' dengan Lie Hong Giok yang selalu dia bius supaya pulas tertidur; akan tetapi selama itu si iblis tidak berdaya menghadapi ilmu menotok jalan darah yang dilakukan Cie in suthay, sehingga tidak dapat si iblis menyembuhkan Lie Hong Giok dari penyakit lumpuh dan bisu; sedangkan untuk makan dan minum harus ditolong oleh para pelayan.
Kemudian si iblis penyebar maut teringat dengan kakak seperguruannya yang pandai menotok jalan darah; dan sang suheng itu adalah Touw Liong touwsu, seorang ulama suku bangsa Biauw yang giat menyebar agama Islam di negeri Cina serta memiliki budi luhur.
Dahulu si iblis penyebar maut bertemu dengan gurunya yang sakti tanpa diduga duga. Si iblis waktu itu masih merupakan bocah berumur belasan tahun, hidup menderita penuh hina sebagai seorang pengemis, kenyang ditendang dan kenyang kena pentung orang orang yang mengusir dia seperti mengusir seekor anjing anjing geladak saja, terlebih karena pengemis cilik itu berhati gede, berani berkelahi biarpun dia bakal bonyok bahkan berani mencuri makanan kalau perutnya lagi lapar. Diantara banyaknya kedukaan yang dia hadapi selagi menjadi pengemis cilik, ternyata dia mempunyai kegemaran berlagak menjadi orang sinting yang gemar mengejar kaum wanita; sebab saat saat orang orang perempuan itu lari ketakutan justeru merupakan saat saat dia gembira dan tertawa, sampai kemudian dia dikepung orang dan dipentung hampir semaput, akan tetapi tidak pernah dia mengenal tobat.
Jauh diperbatasan Inlam yang banyak terdapat suku bangsa Biauw, disuatu tempat yang belukar, si pengemis cilik ini menonton tiga orang laki laki yang sedang berkelahi. Mereka itu adalah seorang orang Cina yang kurus dan sudah tua, memiara jenggot putih yang panjang sebatas dada, berkelahi tanpa memakai senjata, melawan dua orang bermuka hitam yang kemudian hari diketahui berbangsa Iran, Persia. Mereka tinggi jangkung badan mereka, hidungnya mancung seperti hidung burung bango, umur mereka kira kira sudah 40 tahun lebih, dan mereka berdua bersenjata golok golok melengkung seperti bulan seperempat.
Orang orang itu berkelahi sangat lama, si pengemis cilik yang menonton dari balik sebuah pohon supaya tidak terlihat kehadirannya, jadi pegal kakinya dan jadi pusing pandangan matanya; sampai tiba tiba si pengemis kecil melihat si kakek bersandar pada sebuah potion dengan perut kena tikaman golok musuh sampai ujung golok itu menembus dan membenam pada pohon tempat si kakek bersandar.
Si pengemis cilik yang tiba tiba merasa iba, lari mendekati seperti orang sinting mengejar anak anak perawan. Kedua tangannya terentang tinggi tinggi bergerak gerak seperti orang yang sedang menari; sementara mulutnya berteriak teriak membilang:
“Jangan bunuh ! jangan bunuh... ,!”
Dua orang orang Iran itu tidak mengerti bahasa Cina yang dipergunakan oleh si pengemis cilik. Mereka menduga si pengemis cilik datang sambil mengajak kawan kawannya yang entah berapa banyaknya sehingga kedua orang Iran itu buru buru kabur meninggalkan sebatang golok yang masih membenam di perut si kakek.
Susah payah si pengemis cilik mencabut golok yang membenam diperutnya si kakek, sebab ujung golok membenam tembus dipohon yang ada dibagian belakang si kakek.
"Anak, kau sudah menyelamatkan nyawaku,” kata si kakek dengan suara lemah, sebab si kakek tidak mati dan si kakek tetap tidak mati mendapat rawatan si pengemis cilik sampai sembuh luka dibagian perutnya akan tetapi luka kena gempur tenaga dalamnya telah mengakibatkan si kakek seterusnya menjadi orang yang lumpuh.
Si kakek memberi pelajaran ilmu s ilat pada si pengemis cilik yang terus merawat dia, akan tetapi si kakek tidak sempat melatih sebab keadaannya yang sudah lumpuh, sampai kemudian datang muridnya s i kakek, yakni Touw liong touwsu yang waktu itu umurnya sudah tigapuluh tahun lebih; jadi belasan tahun lebih tua dari si pengemis cilik.
Dengan adanya sang suheng atau kakak seperguruan, maka si pengemis cilik itu sempat dilatih ilmu silatnya dan kalau sang suheng sudah pergi lagi, maka si pengemis cilik mendapat tambahan pelajaran ilmu silat dari si kakek, sampai kemudian si kakek wafat.
Sekarang si pengemis cilik adalah si iblis penyebar maut, dan si iblis ini teringat dengan suheng yang mengerti ilmu s ilat menotok jalan darah, sedangkan dia sendiri belum sempat belajar, sebab gurunya sudah keburu marhum.
Saat Itu Touw liong touwsu menetap jauh di lembah See bun kok atau lembah pasir hidup yang dapat menelan orang hidup hidup. Dan kepada sang suheng ini, si iblis ini sudah menitipkan tiga anaknya, dua anak laki dan seorang anak perempuan, masing masing dari ibu yang berlainan. Sifat Touw liong touwsu berbeda dengan si iblis penyebar maut. Ulama itu adalah orang yang taat dengan agamanya tak mau memupuk dosa dan sudah hidup mengasingkan diri.
Si iblis penyebar maut sangat pandai membawa diri jika dia berhadapan dengan sang suheng yang ilmunya lebih tinggi. Dan sang suheng ternyata dapat dikelabui karena sang suheng tak mengetahui bahwa si iblis penyebar maut yang terkenal ganas adalah adik seperguruannya. Hal ini adalah berkat pandainya si iblis menyamar dan merahasiakan nama serta ujut mukanya yang asli. Sekiranya Touw liong touwsu mengetahui bahwa si iblis yang laknat itu adalah adik seperguruannya maka dengan sekali menggunakan ilmu menotok jalan darah dapat hilang sepala kemampuan sang sutee !
Mungkin oleh karena si iblis penyebar maut tergila gila dengan Lie Hong Giok yang umurnya jauh berbeda sehingga dia ingin menjadikan Lie Hong Giok sebagai ganti bininya yang sudah binasa. Dia memutuskan hendak membawa Lie Hong Giok kepada suheng supaya dibebaskan dari pengaruh ilmu menotok jalan darah yang dilakukan oleh Cie in suthay.
Malam itu si iblis mengulang lagi berpesta ranjang; dengan lebih dahulu membius Lie Hong Giok memakai larutan obat "lian hoan lo hap sie (semacam ganja), yang dapat membikin orang lupa daratan akan tetapi merasa terangsang; lalu esok paginya dia meminjam kereta kuda milik si pejabat pemerintah, buat dia mengangkut Lie Hong Giok sambil dia janjikan suatu kenaikan pangkat buat si pejabat pemerintah itu yang katanya sudah dia laporkan jasanya ke istana di kota raja.
(Hmm, mudah mudahan aku tidak rugi, menyogok dia dengan sebuah kereta, serta makan dan mondok cuma cuma....') pikir pejabat pemerintah itu dalam hati selagi dia mengantar si malaikat maut yang ke 8 atau anggota regu dinas penyelidik dari istana itu. Dan selama beberapa hari itu, Cie in suthay dengan tiga temannya terus ubek-ubekan tak keruan, mencari jejak si malaikat maut yang ke delapan dan yang menculik Lie Hong Giok.
'Aku merasa ilmu 'eng jiauw kang’ yang dim iliki oleh Lie kouwnio, adalah hasil didikan si ma laikat maut yang ke delapan itu...,. " kata Lie Hui Houw selagi mereka melakukan penyelidikan tak menentu itu.
"Hal itu sudah terpikir olehku.... " sahut Cie-in suthay membanggakan diri.
'Kalau dia masih hidup, kita tentu bisa menanyakan; siapa gerangan nama si malaikat maut yang ke delapan itu... ., " kata lagi Lie Hui Houw yang hanyut pikirannya, seperti melamun.
"Dia siapa; maksud kau. ?” tanya Cie-in suthay:
'Cong pangcu, eh, jendral Cong...,.." "Ayahnya si burung hong ?"
Lie Hui Houw manggut dan menambahkan perkataannya:
'Ke 13 malaikat maut dilatih secara khusus oleh Cong goanswe, dari itu dia pasti mengetahui wajah muka dan nama ke 13 malaikat maut.”
'Apakah kau pikir hanya dia yang mengetahui... .?” kata biarawati yang muda usia itu sehingga sejenak Lie Hui Houw merasa heran sampai dia mengawasi muka cantik yang berselubung sebagai biarawati itu.
'Suthay tahu, ada orang lain yang mengetahui ?’ Lie Hui Houw balik menanya.
'Sampai sekarang aku belum mengetahui akan tetapi disatu saat pasti kita akan bertemu dengan orang itu. " Lie Hui Houw kelihatan kecewa waktu dia mendengar perkataan itu dan pemuda Lauw Kiam Seng lalu ikut bicara:
'Waktu Lie kouwnio melakukan perjalanan berdua dengan si botak, mereka selalu menghindar dari orang banyak dan selalu mondok di suatu kuil tua: apakah tidak mungkin sekarang mereka lakukan perbuatan yang sama?"
“Eh, kenapa tidak dari kemarin kau berkata begitu ,...? kita selalu mencari mereka di tempat yang ramai; kita lupa pada tempat tempat yang sunyi yang enak dipakai atau dijadikan tempat sembunyi“ Cie in suthay berkata seperti menggerutu dan sejak saat itu, dimana saja mereka berada dan selagi mereka meneruskan perjalanan mencari jejak si malaikat maut yang ke 8, mereka selalu meneliti tempat tempat yang sunyi baik berupa kuil tua maupun rumah rumah kosong yang tidak ada penghuninya, sebaliknya mulai saat itu pula s i botak tidak mau diajak bicara oleh Lauw K iam Seng.
'Eh, siao tee, kena apa kau marah kepadaku...?" tanya Lauw Kiam Seng, selagi sempat bicara berdua dengan si botak.
'Kau bicara seenaknya saja dengan nikouw sinting itu, kau sebut aku sebagai si botak." sahut si botak yang jadi merengut.
“Lha, habis aku tidak tahu siapa nama kau,”
'Kenapa bukan dari dulu kau tanyakan ?" sebut si botak masih membangkang.
“Baik sekarang aku menanya; siapa nama siao tee ?” dan Lauw K iam Seng perlihatkan sikap ingin mengajak berbaik.
“Aku tak punya nama, aku bahkan tak tahu siapa ibuku dan siapa ayahku."
"Apa dia bilang ?" tanya seorang nyonya muda pada suaminya; karena waktu itu mereka saling berpapasan sehingga perkataan sibotak tadi didengar lain orang. "Dia t idak tahu siapa ibunya dan tidak tahu siapa ayahnya,” sahut sang suami yang Ialu jadi tertawa.
*Akh ! dia orang sinting,” kata lagi nyonya muda itu; sambil mereka meneruskan langkah kaki mereka dan Lauw Kiam Seng ikut jadi tertawa juga Cie in suthay dan Lie Hui Houw sebaliknya sibotak jadi tambah mendongkol, sampai sepasang matanya melotot seperti mau keluar.
Sampai setengah bulan lamanya mereka keluar masuk kerumah rumah kosong namun mereka tetap tidak menemukan orang orang yang mereka cari. Akan tetapi, ada suatu hal yang menambah semangat mereka mencari jejak si malaikat maut yang ke delapan berikut orang yang diculiknya, sebab mereka berhasil menemukan bekas bekas jejak orang orang yang mereka kejar berupa bekas bekas sisa makanan dan sisa api unggun, yang mereka temukan dibeberapa bangunan tua yang sudah kosong, pada kota kota ataupun desa desa yang mereka lalui.
"Kita pasti akan berhasil menemukan mereka, kalau kita pergiat usaha kita... ” kata Cie in suthay kepada teman teman seperjalanannya; dan mereka benar benar lalu pergiat usaha mereka, sebab mereka yakin tidak akan sia s ia.
Malam itu bulan sedang bersinar buram, seperti sedang bersedih hati, dan air matanya yang berupa hujan, siap hendak turun membasahi bumi.
Ada sebuah kuil tua yang sedang didatangi oleh Cie In Suthay berikut ketiga temannya. Mereka berpencar memasuki ruangan demi ruangan, hanya si botak yang selalu membuntuti di belakang Lauw Kiam Seng, sebab katanya dia takut mendadak diserang oleh hantu hantu yang gentayangan.
Lie Hui Houw yang waktu itu keadaannya sangat ngantuk sebab belakangan ini dia tak bisa tidur pada tiap kesempatan beristirahat berkenaan tanpa sesuatu sebab dia menjadi sering teringat si dara manja Cin Siao Yan yang ditinggalkan dikota Hong yang.
"... lao ko, kau cepat pulang kalau kau sudah berhasil membalas dendam…” demikian dara manja Cin Siao Yan berkata waktu mereka mau berpisah.
Pada saat itu Lie Hui Houw sedang menyamar sebagai si 'macan terbang’ yang kira kira sudah berumur empat puluh tahun atau lebih sedangkan usia dara manja itu baru enam belas tahun. Akan tetapi dara manja itu merasa terpikat dengan laki laki perkasa yang pernah menyelamatkan dia, sehingga dara manja itu bagaikan kena serangan penyakit yang dapat dikatakan "cinta monyet", membiasakan diri menyebut lao ko atau kakak yang tua.
('bagaimana sikapnya sekarang, kalau dia bertemu lagi dengan aku ? ) tanya Lie Hui Houw didalam hati; dan sebagai jawaban dari pertanyaan itu tiba tiba dia mendengar ada suara tawa mengikik seperti tawa kuntilanak yang bertemu kekasih.
Suara tawa itu sebenarnya sudah pernah didengar oleh Lie Hui Houw. Akan tetapi, saat itu benar benar dia menjadi sangar terkejut sampai dia lompat mundur tiga langkah kebelakang sambil dia siaga mempersiapkan kuntao macan terbang, siap lari kalau dia diterkam oleh si kuntilanak yang sinting. Bukan sebab takut mati, akan tetapi 'ogah' terulang megang gituan !
Dengan menggunakan sepasang matanya yang sudah terlatih buat digunakan ditempat yang gelap maka meskipun secara samar samar, dapat Lie Hui Houw melihat adanya si kuntianak sinting, yang sedang rebah akan tetapi sudah bisa tertawa.
“Suthay! lekas kesini ,. ” teriak Lie Hui Houw; mengalahkan suara tawa kuntilanak sinting itu; yang tak lepas dari pengawasan Lie Hui Houw. Kemudian Lie Hui Houw mendengar suara langkah kaki yang halus disebelah belakangnya, yang pemuda ini anggap sebagai kedatangannya Cie in suthay akan tetapi tiba tiba punggungnya dihajar orang, sampai dia terjerumus hampir jatuh.
Secepat kilat Lie Hui Houw memutar tubuh; sambil dia mengerahkan tenaga dalam, dan dia menyeringai waktu dia melihat yang berdiri dihadapannya adalah seseorang yang memakai pakaian seragam warna hijau, lengkap dengan kain selubung penutup kepala.
"Tay lwee sip sam ciu,. !’ kata Lie Hui Houw cukup keras, sambil dia s iapkan ilmu "cakar elang' buat dia menyerang.
Malaikat maut ke delapan itu perdengarkan suara tawa, meskipun didalam hati dia terkejut melihat sikap pemuda Lie Hui Houw, yang dia duga memiliki ilmu cakar elang.
'Bagus ! ternyata kau juga pandai eng jiauw kang!" kata si malaikat maut ke 8; akan tetapi cepat cepat dia lompat menyisi waktu Cie in suthay ikut memasuki ruangan itu, disusul oleh Lauw Kiam Seng.
Tiga lawan yang sekaligus dihadapi oleh si ma laikat maut yang ke 8, akan tetapi yang dia anggap paling sakti adalah Cie in suthay.
Sangat cepat gerak tangan si malaikat maut yang ke 8 waktu dia melontarkan dua batang pisau terbang kearah Cie in suthay: dan di luar dugaan orang orang yang siap tempur menghadapi dia, secara mendadak si malaikat maut yang ke 8 itu lari menghilang ditempat yang gelap.
'Kejar dia !” teriak Cie in suthay yang berhasil menghindar dari kedua pisau terbang yang menyerang dia tadi, dan biarawati yang muda usia ini tidak ikut mengejar sebab dia merasa perlu untuk menemani Gie Hong Giok yang sudah dia bikin diam dan membungkam mulutnya, dengan ilmu menotok jalan darah sehingga hilang lenyap suara ngikik si kuntilanak sinting !
—oo)dwkzXhend(o©~
SEPANJANG dia lari menjauhkan diri dari kuil tua itu tak habisnya si iblis penyebar maut memikirkan tentang pemuda yang sudah kena dia pukul tadi; akan tetapi pemuda itu ternyata memiliki ilmu tenaga dalam yang sudah mencapai batas kemampuannya dan pemuda tersebut adalah Lie Hui Houw, orang yang pernah membongkar rahasia penyamarannya sebagai si kakek Ouw yang jualan nasi didekat kaki gunung Kauw it san.
Teringat dengan pengalaman yang sudah lalu itu, sepasang mata si iblis penyebar maut menjadi kian menyala menyimpan dendam.
Dahulu si iblis penyebar maut tidak sempat bertempur melawan Lie Hui Houw yang menyamar sebagai si kakek Lie, sebab selagi si kakek Lie membuka rahasia penyamaran si iblis sudah jauh meninggalkan kedainya hendak menemui Lie Kim Nio dan anak perempuannya sedangkan seorang pembantunya yang bernama A heng, menggantikan ujut penyamarannya sebagai si kakek Ouw sehingga si A heng itu yang bertempur melawan Lie Hui Houw sampai akhirnya A heng dibinasakan oleh Lie Hui Houw berdua Ong Tiong kun.
Si iblis penyebar maut yang sekarang dalam ujut penyamaran sebagai malaikat maut ke 8 pada mulanya memang merencanakan hendak menemui sang suheng dilembah See bun kok, akan tetapi ditengah perjalanan itu Lie Hong Giok dapat berteriak teriak, menandakan pengaruh ilmu menotok jalan darah yang dilakukan oleh Cie in suthay secara berangsur angsur akan sembuh tanpa perlu ditolong lain orang, sehingga si iblis membatalkan maksudnya yang hendak menemui sang suheng dan dia balik lagi hendak menuju lembah Kui ong kok. Akan tetapi di luar dugaan dia bertemu dengan si pengacau Cie in suthay serta ketiga temannya yang tidak bosan bosan mengejar.
Menyadari bahwa dia sedang berhadapan dengan lawan yang bukan sembarang lawan sebab mereka memiliki ilmu yang sakti maka si iblis penyebar maut tak mau bertempur sebab dia lebih mementingkan hendak membawa lari Lie Hong Giok.
Si iblis penyebar maut lari dengan maksud supaya dia dikejar oleh semua musuh akan tetapi yang mengejar ternyata cuma Lie Hui Houw berdua Lauw Kiam Seng; sehingga si iblis penyebar maut menjadi kecewa karena mengetahui Cie in suthay tidak kena ditipu sebab biarawati yang perkasa menemani Lie Hong Giok.
(dia pasti bakal dibikin jadi bisu lagi) si iblis ngomel didalam hati teringat bini mudanya bakal dibikin bisu oleh bhiksuni yang muda usia itu; selagi dia lari dengan dikejar oleh Lie Hui Houw berdua Lauw K iam Seng lalu secara tiba t iba dia lompat memasuki rumah seorang penduduk setempat yang dia tidak kenal. Lie Hui Houw melihat adanya si malaikat maut yang ke
8 menghilang memasuki rumah seseorang. Dia ikut lompat masuk sementara Lauw Kiam Seng agak tertinggal di sebelah belakangnya.
Untuk sesaat lamanya lie Hui Houw berdua Lauw Kiam Seng kehilangan orang yang mereka kejar, akan tetapi Lie Hui Houw merasa yakin benar bahwa s i malaikat maut ke 8 belum meninggalkan rumah itu sehingga mereka berdua terus mencari sampai disaat berikutnya Lie Hui Houw melihat orang yang berpakaian serba hijau berikut selubung penutup kepala itu, dan dengan sekali melesat Lie Hui Houw berhasil menghadang disebelah depan si malaikat maut ke 8 yang sedang berusaha hendak melarikan diri.
Segera Lie Hui Houw siapkan ilmu pukulan 'cakar elang', membikin si malaikat maut ke 8 itu menjadi ketakutan, dan buru buru memutar tubuh hendak lari kearah lain akan tetapi hanya dengan sekali terkam dan sekali cakar maka kontan si malaikat maut yang ke delapan itu rubuh tewas, dengan leher mengeluarkan darah segar, tanpa si ma laikat maut yang ke delapan itu mampu berteriak.
Lauw Kiam Seng cepat tiba dan cepat mendekati bahkan sempat menendang tubuh yang sudah rebah itu buat memastikan apakah si malaikat maut yang kedelapan itu sudah benar benar mampus.
“Buka tutup kepalanya :...!' kata Lie Hui Houw yang penasaran, ingin melihat tampang Tay lwee sip sam ciu yang ke delapan, sedangkan di dalam hati dia sedang kegirangan, sebab sudah dua orang anggota dinas rahasia yang ganas itu yang dia binasakan.
Dahulu selagi Lie Hui Houw menyamar sebagai laki laki bekas orang hukuman, dan didampingi oleh Ang ie liehiap Lee Su Nio, dia pernah bertempur dan membinasakan si Malaikat maut yang ke tujuh, akan tetapi saat itu dia tak sempat melihat muka si malaikat maut yang dia binasakan itu.
Sementara itu, dengan hati dak dik duk, maka Lauw Kiam Seng mulai membuka tutup kepala si ma laikat maut yang ke delapan, yang sudab rebah binasa.
'Cuma seorang tua belaka... ,' kata Lauw Kiam Seng sambil dia mengawasi dan meneliti muka si malaikat maut yang ke delapan itu, yang sudah semaput.
Lie Hui Houw ikut melihat. Memang cuma seorang tua kerempeng, umurnya kira kira sudah empat puluh tahun lebih. Ada sedikit kumis garang dibawah hidungnya yang pesek.
'Orang kayak gini kok punya ilmu yang sakti... !” Lie Hui Houw menggerutu, lalu dia mengajak Lauw Kiam Seng meninggalkan halaman rumah seseorang yang mereka tidak kenal itu dan ditengah perjalanan itu sempat Lie Hui Houw mengajak Lauw Kiam Seng makan mie bakso, sebab dia merasa tidak perlu tergesa gesa menemui si kuntilanak yang sudah berhasil mereka temukan kembali, dan yang saat itu sedang ditemani oleh Cie in suthay yang cantik jelita dan perkasa.
Dan biarawati yang muda usia serta cantik jelita dan gagah perkasa itu, memang sedang duduk termenung didekat Lie Hong Giok yang rebah diatas tumpukan jerami.
Banyak yang sedang dipikirkan oleh Cie in suthay yang menghadapi masalah Lie Hong Giok yang bernasib malang. Sedikit demi sedikit bhiksuni yang muda usia dan yang cerdas itu membahas lalu membuat rumusan seorang diri sedangkan sibotak sudah membikin api unggun yang lumayan menjadi alat penerang didalam tempat yang gelap dan banyak nyamuknya.
Menghadapi nasib ma lang dari sahabat itu maka Cie in suthay menjadi terkenang lagi dengan kejadian lama ketika pada saat yang pertama kali dia bertemu dan berkenalan dengan Lie Hong Giok; lalu mereka bersama sama ikut melindungi kereta harta yang sedang diangkut ke markas perjuangan Ciu Kong Bie.
Waktu itu Cie in suthay atau Liong Cie In sedang mengalami patah hati akibat dia ditinggal pergi oleh kekasihnya sipendekar tanpa bayangan Tan Sun Hian.
Melulu karena mengingat untuk kepentingan gerakan pejuang bangsa; Liong Cie in memaksa diri untuk terus ikut serta melindungi kereta harta, sementara hatinya terasa sangat pedih dan jiwanya sangat terpukul dengan sikap Tan Sun Hian yang te lah meninggalkan dia tanpa pamit dan tanpa diketahui apakah yang menjadi kesalahannya.
Sejak pertemuannya dengan Cit siu tojin dan dia dim inta oleh petapa yang sakti itu buat membantu usaha Tan Sun Hian yang sedang mendukung gerakan Ciu Kong Bie maka didalam hatinya Liong Cie In sudah membayangkan wajah muka Tan Sun Hian yang namanya memang sudah sejak lama berkesan didalam hatinya sampai kemudian dia bertemu dan bergaul dengan laki laki idaman hatinya itu akan tetapi yang berkesudahan dengan menyakitkan hatinya.
Demikian dan dengan hati yang luka Liong Cie in terus mengikuti rombongan kereta harta yang dipimpin oleh Poen lui cie Lie Thian Pa, ayahnya Lie Hong Giok dan ditengah perjalanan itu rombongan mereka kena dihadang oleh pihak tentara penjajah.
Seorang diri Liong Cie In mengamuk dalam kepungan tujuh orang Thian tok bun yang menjadi penghianat bangsa, dan dia sendiri berkelahi tanpa dia menghiraukan jiwanya, bagaikan dia sengaja hendak membunuh diri; sampai pihak musuh menjadi sangat ketakutan, akan tetapi tak sempat melarikan diri, sebab pedangnya Liong Cie In dengan ganas telah menghabiskan nyawa mereka.
Setelah berhasil mengalahkan musuh musuh yang mengepung, maka Liong Cie In mengejar rombongan tentara yaug sudah berhasil melarikan kereta harta.
Sementara itu sebagai sesama kaum wanita, Lie Hong Giok dapat memahami luka hatinya Liong Cie In dari itu Lie Hong Giok selalu memberikan perhatian yang istimewa kepada Liong Cie In sampai kemudian sempat dilihatnya seorang diri Liong Cie In sedang mengejar pihak rombongan musuh, sehingga cepat cepat Lie Hong Giok memisah diri dari pertempuran yang sedang berlangsung dan dia menyusul sahabatnya. Dengan susah payah Lie Hong Giok menerobos pihak musuh yang mengepung, lalu berusaha mengejar sambil dia berteriak teriak memanggil manggil nama Liong Cie In akan tetapi yang dikejar ternyata telah menggunakan ilmu ringan tubuh leng pou hui pu sehingga meskipun Lie Hong Giok telah berusaha sekuat tenaga, namun tak dapat dia menyusul.
Dengan ilmu ringan tubuh yang sudah mencapai batas kemampuannya, Liong Cie In berhasil mengejar rombongan tentara penjajah yang sedang membawa lari kereta harta, dan sekali lagi Liong Cie In mengamuk lupa diri; dan lupa keselamatan nyawanya.
Pemimpin rombongan tentara penjajah yang bernama In Cie Peng, melihat bahwa yang datang menyusul adalah Liong Cie In sendirian; maka dengan tetap berada diatas kudanya dia te lah mendekati dan menyapa;
'Eh; mana kau punya teman, pemuda yang ganteng itu... .
?" demikian tanya In Cie Peng dengan suara mengejek; sedang dengan Liong Cie In maupun dengan Tan Sun Hian, memang sudah dia kenal dan sudah berulang kali mereka pernah bertempur.
Liong Cie ln yang memang sedang risau karena luka hatinya dan sekarang dia diejek oleh musuh ini maka kian bertambah sakit hatinya. Lalu dengan geraknya yang ringan dia lompat menerkam In Cie Peng yang masih berada diatas kuda sementara pedangnya bergerak menabas perwira pengejek itu.
Dalam kagetnya In Cie Peng lompat dari kudanya memakai gerak tipu "burung belibis pindah tempat” dan lompatannya itu justeru untuk menghadapi Liong Cie In yang sedang menerkam sehingga mereka saling berpapasan di tengah udara; dan In Cie Peng menghajar memakai pecut dengan gerak tipu "memukul rumput mengusir ular".
Liong Cie In tidak menduga bahwa musuh dapat bergerak demikian gesitnya, sehingga dia t idak sempat berkelit ataupun menangkis dan punggungnya terasa pedih kena pecutnya In Cie Peng, akan tetapi pada saat itu dia merasakan lebih pedih hatinya yang terkena cambuk asmara ! Kuda yang bekas digunakan oleh In Ci Peng hampir putus lehernya terkena tabasan pedangnya Liong Cie In yang mengerahkan segenap tenaganya, sementara Liong Cie In yang kena dipecut, ikut rubuh terguling didekat kuda yang naas itu. Sejenak In Cie Peng menjadi terpesona melihat keadaan kudanya yang tewas terkena tebasan pedang musuh. Dia membayangkan betapa akan jadinya, sekiranya dia terlambat bergerak tadi.
Disamping itu In Cie Peng menyesal bahwa tadi dia hanya menggunakan pecut waktu dia menghajar Liong Cie In, sekiranya dia memakai pedangnya maka diapun pasti berhasil menabas tubuh musuhnya yang perkasa itu.
Kemudian waktu dilihatnya Liong Cie In rubuh terguling maka cepat cepat In Cie Peng membuang pecutnya dan mengeluarkan pedangnya, akan tetapi seorang pembantunya sudah mendahulukan dia menyerang Liong Cie ln yang dianggap sudah tak berdaya.
Pembantunya In Cie Peng itu menyerang dengan suatu bacokan memakai golok bergerak bagaikan gunung tay san menindih; akan tetapi dengan gerak menyembah dewi kwan- im secara tiba tiba tubuh Liong Cie In bergerak dan pedangnya langsung mengarah jantung.
Pedangnya Liong Cie In hampir saja berhasil memperoleh mangsa sekiranya In Cie Peng tidak lekas lekas memungut lagi pecutnya lalu dengan pecut itu dia menyerang dari jarak yang cukup jauh terpisah kena membelit lengan Liong Cie In yang lalu ditarik membikin tubuh Liong Cie In bagaikan terbang melayang mendekati ln Cie Peng dan In Cie Peng lalu menabas memakai pedang yang dia pegang ditangan kanan ! Bagaikan orang yang meremehkan maut Liong Cie In hanya menunduk sedikit sampai dara ini menjadi terkejut ketika tiba tiba dia merasakan sanggulnya putus kena tabasan pedang musuh!
Dalam marahnya Liong Cie In menendang, selagi In Cie Peng terpesona melihat hasil serangannya, sehingga tubuh In Cie Peng terpental dan libatan pecutnya lepas dari lengannya Liong Cie In. Setelah lepas dari pecut yang membelit Iengannya, maka Liong Cie In hendak menyusul In Cie Peng yang terpental kena tendangan tadi, akan tetapi dia dihadang oleh pembantunya In Cie Peng yang membacok lagi memakai goloknya.
Liong Cie In batal mendekati In Cie Peng, sebab dia dihadang dan harus berkelit dari serangan golok, dan waktu dia diserang untuk yang kedua kalinya, maka dia angkat tangan kirinya buat menangkis akan tetapi dia cepat menyadari bahwa tangan kirinya tidak bersenjata, sebab sarung pedangnya sudah lepas dari tangan kirinya, sehingga buru buru Liong Cie In batal menangkis supaya lengannya tidak putus akan tetapi lengan bajunya kena dibikin robek oleh golok musuh itu.
Kemarahan Liong Cie In jadi meluap, dan dilimpahkan kepada musuh yang bersenjata golok itu, yang dia serang bagaikan gelombang laut kena badai sampai berhasil dia membenamkan pedangnya dibagian dada musuh; dan darah musuh itu menghambur membasahi pakaian Liong Cie In !
Atas perintahnya In Cie Peng maka lebih dari dua ratus orang tentara penjajah segera meluruk mengepung Liong Cie In, yang mengamuk bagaikan seekor lembu betina yang terluka.
Rambutnya yang merupakan mahkota bagi seorang wanita, telah dibabat putus oleh In Cie Peng, sementara lengan bajunya yang sebelah kiri sudah robek kena tabasan golok.
Lagi beberapa saat tubuhnya Liong Cie In banyak terkena luka senjata penjajah yang mengepung dia, sehingga pakaiannya pun sudah tak sedap dipandang, banyak noda darah dan banyak yang robek.
Lie Hong Giok yang juga telah tiba ditempat pertempuran itu, hatinya menjadi pedih dan sangat cemas; waktu dia melihat keadaannya Liong Cie In: akan tetapi dia tak berdaya memberikan bantuan sebab diapun sedang dikepung oleh tidak kurang dari dua puluh orang tentara penjajah yang digabung dengan orang orang Thian tok bun !
Adalah pada saat yang sangat berbahaya bagi keselamatan nyawa Liong Cie In berdua Lie Hong Giok maka mendadak datang Tan Sun Hian yang telah mengamuk sambil dia berteriak :
“Moaymoay aku datang !"
Mendengar teriak suara kekas ihnya itu mendadak air matanya Liong Cie In mengalir dengan derasnya.
Dara yang sudah luka hatinya ini mengamuk dan melakukan beberapa serangan dahsyat sehingga dalam sekejap dia berhasil memecah pihak musuh yang mengepung setelah itu dengan beberapa kali lompatan dia lari tanpa dia menghiraukan banyaknya anak panah yang dilepaskan kearahnya !
Itulah saat terakhir Liong Cie In melihat muka orang yang pernah dia c intai.
Dara yang patah hati Itu batal membunuh diri karena dia bertemu dengan Tok sin nie Bok lan siancu, yang lalu membawa dia ke kuil Cui gwat am; sebaliknya dengan dara Lie Hong Giok, pernah Cie in suthay bertemu dan berkumpul lagi yakni disaat mereka mengganyang markas kegiatan si iblis penyebar maut, dan waktu itu Cie in suthay sudah memakai pakaian seorang biarawati, meskipun dia belum sampai memasuki kuil Cui-gwat am; dan pada kesempatan pertemuan itu, betapa Lie Hong Giok menangis seperti orang sinting karena melihat nasib sahabatnya yang gagal dalam bercinta, sehingga memilih kehidupan sebagai seorang biarawati !
Sekarang ganti Cie in suthay yang mengeluarkan air mata melihat nasib sahabatnya; sampai kemudian terdengar ada suara seseorang yang memasuki kuil tua itu. Bukan Lie Hui Houw dan bukan juga Lauw K iam Seng yang datang dan memasuki kuil tua itu sebab seseorang itu bersuara seperti orang yang merasa heran, karena melihat adanya sinar api unggun yang menyala ditempat yang seharusnya tidak dihuni oleh manusia.
"Ada api, tentu ada orang... ’ gerutu seseorang itu, sambil dia melangkah mendekati ruangan yang cukup terang itu.
Cie in suthay cepat berdiri dan si botak merangkak ketakutan mencari sudut yang gelap.
Orang yang mendekati itu adalah seorang tua berusia limapuluh tahun lebih, berpakaian seperti seorang petani, dan Cie in suthay cepat mengenali bahwa orang tua itu adalah Ciu Tong, seorang tokoh dari Bu tong golongan utara !
"Hey, Ciu lo heng angin apa yang membawa kau kesini "
Cie in suthay mendahului menyapa, tak lupa menyertai senyumnya, yang sudah tidak asing lagi bagi jago tua dari golongan Bu tong itu.
'Ah ! Kau...aku kira siapa...“ sahut Ciu Tong, sambil matanya melirik ketempat Lie Hong Giok yang masih rebah tidak berdaya, meskipun dengan sepasang mata melotot dan Ciu Tong menambahkan perkataannya, dengan perlihatkan muka kaget : “ ,..., hey, dia... .?” Cie in suthay manggut dan berkata: "Ya. Dia adalah anaknya si tangan geledek Lie Thian Pa; Dia sedang menderita."
Ciu Tong bergerak hendak mendekati Lie Hong Giok; untuk mencapai maksud ini, dia harus melewati Cie in suthay.
"Tunggu !” seru Cie in suthay secara tiba tiba, dan dengan nada berwibawa, bukan bersahabat, sedangkan wajah mukanya ikut berobah tidak seramah tadi.
Ciu Tong berdiri diam, batal me langkah sebaliknya Cie in suthay yang mendekati dan meneliti, setelah itu bhiksuni yang muda usia ini yang berkata lagi; “Hmm ! iblis penyebar maut, lain orang boleh kau tipu mentah mentah. ”
Ciu Tong mengawasi biarawati yang muda usia itu, dengan sepasang mata menyala merah akan tetapi dia berkata ; “Eh! suthay, kau kenapa...,?" Cie-ln suthay tidak segera menjawab. Dia me langkah kedekat tempat Lie Hong Giok rebah, dan dia membelakangi Ciu Tong, akan tetapi dia bersikap waspada memasang mata dibagian punggungnya dan waktu dia memutar tubuhnya; maka dikedua tangannya dia sudah memegang dua batang pisau belati yang tadi nyaris kena dia !
"Kau sudah berhasil menyamar sebagai si ma laikat maut yang ke delapan akan tetapi kau lupa dengan kebiasaan kau; menggunakan pisau 'coan yo shin jie’ (dan Cie in suthay mengacungkan sepasang pisau belati yang dipegangnya), dan kau lupa kalau pisau pisau ini dapat membuka rahasia penyamaran kau !”
"Akan tetapi, suthay "
“Tunggu! aku belum selesai bicara...!” bentak biarawati yang cerdas itu, yang tidak memberikan kesempatan buat Ciu Tong bicara.
”.. sekarang kau menyamar menjadi Ciu Tong, akan tetapi kau lupa melepas cincin yang tadi kau pakai se lagi kau menyamar sebagai si malaikat maut yang ke delapan,. "
'Suthay, cincin ini aku boleh nemu...“ kata Ciu Tong membela diri, sebab cincin yang dia pakai sebenarnya bukan sembarang cincin, akan tetapi merupakan cap atau lencana sebagai pengenal dalam tugasnya sebagai si malaikat maut yang ke delapan.
“Diam! aku masih mempunyai bukti lain.," kata Cie in suthay, yang lagi lagi telah melarang Ciu Tong palsu itu bicara: “Pengalamanku sudah cukup menghadapi cara penyamaran kau. Boleh saja kau berlagak ketawa; boleh saja kau berlagak menangis, akan tetapi harus kau ketahui, kulit muka yang kau pakai buat menutup ujut mukamu yang aseli tidak dapat dan tidak mau kau kendalikan, kau boleh menangis dan kau boleh tertawa; akan tetapi wajah mukamu tetap tidak berobah, bagaikan muka seorang mati...!”
"Perempuan sinting !” maki si iblis penyebar maut dalam
ujut penyamaran sebagai Ciu Tong, sedangkan didalam hati dia merasa sangat penasaran dengan kecerdasan bhiksuni yang muda usia itu yang tidak dapat dia tipu, padahal beberapa orang rekannya biarawati itu pernah dia tipu pada waktu dia menyamar sebagai Ciu Tong.
Waktu itu dan setelah ikut menyelesaikan tugas mengganyang markas kegiatan si iblis penyebar maut, maka pemuda Lee Kuo Cen bermaksud mengajak beberapa orang temannya singgah dirumahnya, di kota Lu Liang thang (peristiwa itu terjadi sebelum rumahnya Lee Kuo Cen itu dibakar oleh Tay lwee sip sam ciu).