Website Cerita Silat Indomandarin Ready For Sale

 
Bab 11: Kwan-Im bertangan seribu. 

Tanpa terasa Siang Hu-hoa termenung berapa saat lamanya, untuk sesaat dia tidak tahu apa yang mesti dilakukan, begitu juga dengan Tu Siau-thian, dia hanya berdiri dengan wajah penuh tanda tanya.

"Heran" tiba tiba Nyo Sin berkomentar setelah memperhatikan wajah Siang Hu-hoa sekejap, "kenapa kau begitu menguasahi tentang alat rahasia di sini?"

"Dia adalah sahabat karibku, sudah banyak waktu kita sering jalan bersama, apa yang dia ketahui paling tidak aku ketahui juga sebagian, ini toh bukan suatu kejadian yang aneh"

"Menurut anggapanmu, kita mesti masuk melalui jalan rahasia yang mana?" Nyo Sin memperlunak nada suaranya.

"Aku belum bisa memastikan"

"Padahal gampang sekali pemecahannya" ujar Nyo Sin kemudian, "kita masuk saja melalui salah satu pintu rahasia itu, kalau salah masuk, keluar dan berganti dengan pintu yang lain, urusan kan beres"

Selesai bicara dia langsung melangkah masuk melalui pintu rahasia yang bergambar Kwan-im bertangan seribu.

"Hati-hati!" teriak Siang Hu-hoa ketika menyaksikan ulah pembesar itu.

Dengan satu gerakan cepat dia melesat maju ke depan dan menyambar bahu Nyo Sin.

Waktu itu Nyo sin baru saja melangkah masuk ke dalam pintu rahasia, begitu mendengar bentakan Siang Huhoa, dia segera berpaling dengan hati kaget, belum sempat berbuat sesuatu, seluruh badannya sudah dibetot Siang Huhoa dan menariknya ke samping pintu luar.

Hampir pada saat yang bersamaan terdengar suara desingan angin tajam membelah angkasa, dua tiga puluhan batang anak panah mendadak meluncur keluar dari dalam ruang rahasia dan meluncur keluar dengan cepatnya.

Untung mereka mundur dengan cepat meski bukan berarti sama sekali sudah lolos dari ancaman yang datang, baru saja tubuh mereka bergeser ke samping, tiga batang anak panah sudah meluncur ke arah dada Nyo sin dengan kecepatan tinggi.

Waktu itu Siang Huhoa menarik bahu Nyo Sin dengan tangan kanannya, dengan tangan kiri yang kosong dia segera menyambar ke depan menangkap dua batang anak panah diantaranya, sementara sisa satu batang yang lolos dari sambarannya langsung menyambar ke tubuh Nyo Sin dan merobek pakaian bagian iganya.

Tidak terlukiskan rasa kaget Tu Siau-thian menyaksikan kejadian itu, Siang Huhoa sendiripun diam-diam bermandikan peluh dingin.

Sementara Nyo Sin sendiri sudah dibuat ketakutan setengah mati, wajahnya berubah jadi pucat pias, sepasang kakinya jadi lemas dan gemetaran, sewaktu Siang Huhoa melepaskan cekalannya, nyaris dia jatuh berlutut ke tanah.

Buru-buru Tu Siau-thian memayangnya seraya menegur: "Bagaimana keadaanmu komandan? Apakah terluka?"

Dengan pandangan terkesima Nyo Sin mengawasi bajunya yang berlubang besar. Sampai lama kemudian dia baru bisa menjawab:

"Untung hanya pakaianku yang tersambar!" Kemudian sambil berpaling dan memperhatikan Siang

Huhoa dari atas hingga ke bawah, dia pun menegur: "Apakah saudara Siang tidak terluka?"

"Tidak!" "Untung tidak sampai terluka" Nyo Sin segera menghembuskan napas lega, "kalau tidak, kejadian ini pasti akan membuat perasaan ku tambah sungkan"

Perlahan-lahan dia bangkit berdiri sorot matanya dialihkan kembali ke permukaan lantai di depan pintu rahasia.

Tampak beberapa batang anak panah itu hampir semuanya menancap diatas ubin, bukan hanya menancap bahkan menembusnya hingga sangat dalam.

Dari kejadian ini bisa diketahui betapa tajamnya mata anak panah itu dan betapa kuatnya tenaga bidikan yang dihasilkan, bisa dibayangkan apa jadinya bila ke dua-tiga puluhan anak panah itu serentak menghujam diatas tubuh?

Diam diam Nyo Sin bergidik sambil merinding, tanpa sadar dia berpaling lagi ke arah Siang Huhoa sambil berseru:

"Saudara Siang, untung kau sempat menarikku "

Sebetulnya dia ingin sekali mengucapkan sepatah dua patah kata ucapan terima kasih, namun untuk sesaat dia pun tidak tahu bagaimana harus mengemukakan perasaan hatinya itu.

Meskipun ungkapan kata terima kasih belum terlupakan sama sekali dari otaknya, paling tidak sebagian besar perbendaan katanya nyaris sudah dia lupakan.

Agaknya Siang Huhoa sama sekali tidak ambil perduli, kembali dia mengalihkan pandangan matanya ke wajah Tu Siau-thian.

Tampaknya Tu Siau-thian mengerti yang dimaksud, dia segera membungkukkan tubuhnya dan mencabut keluar sebatang anak panah yang tertancap dilantai itu.

Ternyata tidak mudah untuk mencabut keluar, dia harus mengerahkan tenaga penuh sebelum berhasil mencabutnya. Begitu anak panah sudah tercabut, paras muka Tu Siau- thian kontan berubah hebat

"Kau mengira ubin apa yang terpasang dilantai?" tegur Siang Hu-hoa sambil tertawa.

Tu Siau-thian menghela napas panjang.

"Justru karena aku tahu kalau ubin yang dipasang dilantai ruangan ini adalah ubin hijau yang digosok dengan air, maka aku baru merasa keheranan, kenapa panah panah tersebut dapat menembusi lantai ini se dalam itu" katanya.

Sekali lagi sinar matanya dialihkan ke atas panah yang berada dalam genggamannya.

Anak panah itu panjangnya tidak sampai satu depa, mata panah tajam dan memancarkan sinar berkilauan, seluruh tubuh panah berwarna hitam dan amat berat, jelas terbuat dari baja asli.

Setelah diperhatikan lagi berapa kejap, dia baru meletakkan kembali anak panah itu ke lantai, kemudian sambil bangkit berdiri dan sekali lagi menghela napas, ujarnya:

"Sungguh tidak kusangka dia dapat menciptakan alat jebakan sedemikian hebatnya"

"Tapi aku dapat menduganya"

"Tentu saja sebab kalian adalah sahabat lama, kau sudah tahu sejak awal kalau dia adalah murid penutup dari Hiankicu"

"Itulah sebabnya aku pun mengetahui kebiasaan dari Hiankicu"

"Kebiasaan apa?"

"Ketika merancang alat jebakan jenis apa pun, dia pasti akan sertakan alat pembunuh yang luar biasa hebatnya, bila seseorang berani memasuki suatu tempat sebelum mematikan alat jebakan itu maka sembilan puluh persen orang itu pasti akan mati"

Tu Siau-thian segera manggut-manggut, dia memang tidak perlu meragukan kebenaran dari ucapan tersebut.

Nyo Sin lebih percaya lagi, tadi, seandainya Siang Huhoa tidak menariknya tepat waktu mungkin saat ini dia sudah mati konyol, mati terhajar puluhan anak panah dari ruang rahasia.

Meski begitu dia bergumam juga dengan perasaan tidak habis mengerti:

"Aneh benar, sebuah ruang perpustakaan yang begini hebat kenapa mesti dilengkali dengan pelbagai alat jebakan yang mematikan? Kalau bukan orang ini mempunyai tujuan tertentu, pasti otaknya yang ada masalah"

"Sekalipun otaknya benar benar punya masalah, masalahnya tidak akan berbeda dengan masalah setiap orang" sambung Siang Huhoa sambil tertawa.

"Oya?"

"Bukankah siapa pun orangnya, dia pasti akan menyimpan barang barang berharganya di suatu tempat yang paling rahasia dan paling aman?"

Nyo Sin mengangguk.

"Itulah dia" ujar Siang Hu-hoa lagi, "dia hanya menciptakan sebuah tempat yang rahasia dan sangat aman di dalam ruang perpustakaannya untuk menyimpan semua barang barang berharga miliknya"

"Mestika apa sih yang dia milik sehingga diperlukan tempat seperti "

Belum selesai dia berkata tiba-tiba dia menutup mulutnya kembali. Rupanya secara tiba-tiba dia teringat kembali dengan nama gedung perpustakaan itu, Ki Po cay, perpustakaan penyimpan mestika, apalagi pekerjaan resmi Jui Pakhay adalah seorang pengusaha.

Sementara dia masih termenung, terdengar Tu Siau-thian telah bertanya kembali:

"Saudara Siang, apakah kau punya cara untuk mematikan semua alat jebakan itu?"

"Akan kucoba untuk menemukan tombol rahasia itu "

"Tidak usah dicari lagi" tukas Nyo Sin, "bukankah alat jebakan itu sudah bekerja dengan melepaskan seluruh anak panahnya? Aku rasa kita bisa masuk ke dalam sekarang dengan perasaan aman"

Komentar boleh cepat, namun sepasang kakinya sama sekali tidak bergerak, dia tetap berdiri ditempat semula.

Siang Hu-hoa mengerling sekejap ke arahnya, kemudian menegur:

"Jadi kau anggap hanya ada sebuah alat jebakan saja disitu?"

"Memangnya masih ada yang lain?” "Aku rasa masih banyak sekali"

Tanpa sadar Nyo Sin mundur setengah langkah, kemudian dengan pandangan berkilat ujarnya lagi:

"Alat jebakan itu pasti berada dibalik pintu rahasia, tapi pintu mana yang benar-benar merupakan pintu masuk yang sebenarnya? Atau mungkin pintu ke dua yang merupakan pintu masuk sebenarnya?"

"Apakah kau yakin dibalik pintu rahasia ke dua itu tidak ada alat jebakannya?" Siang Hu-hoa bertanya.

Nyo Sin tidak berani menjawab, dia segera terbungkam. Siang Hu-hoa tidak banyak bicara lagi, tiba-tiba dia maju ke depan, menyambar sebuah bangku lalu dilemparkan ke dalam pintu rahasia itu kuat kuat.

"Weeess!" bangku itu segera melayang masuk melalui pintu dan terjatuh ke balik ruang rahasia.

Ketika bangku itu menyentuh lantai, pintu itupun seketika menutup kembali, seolah ada orang yang tiba-tiba mendorong pintu itu kuat-kuat.

Dan pada itulah mereka semua melihat adanya kilatan cahaya golok.

Berpuluh puluh batang pisau terbang dengan dahsyatnya menyembur keluar dari balik dinding ruang rahasia dan menyambar ke tengah ruangan.

Dengan tertutupnya pintu rahasia itu, cahaya golok pun turut lenyap dari pandangan mata, namun secara lamat lamat semua orang dapat mendengar suara benturan logam dengan lantai yang amat ramai dibalik ruang rahasia itu.

Pucat pias selembar wajah Nyo Sin setelah menyaksikan kejadian ini.

Air muka Tu Siau-thian pun nampak sangat jelek, serunya tanpa sadar:

"Waah sungguh mengerikan, tampaknya alat rahasia ini

jauh lebih hebat dan mematikan ketimbang alat jebakan yang pertama tadi, begitu pintu tertutup sama artinya jalan mundur terpotong, bila ada orang didalam ruangan itu niscaya dia akan jadi bulan bulanan pisau terbang itu"

"Betul" Siang Huhoa mengangguk, "ruang rahasia itu paling banter empat lima depa, biar membawa senjata tajam pun rasanya tidak gampang untuk dipergunakan melindungi diri" "Sekalipun membawa senjata, rasanya tidak gampang untuk menghadapi serangan pisau terbang yang muncul dari empat arah delapan penjuru"

Siang Huhoa kembali manggut manggut, sorot matanya masih belum beralih dari pintu rahasia yang tertutup rapat itu.

Ukiran Mi lek Hud di depan pintu rahasia itu masih tetap seperti sedia kala, mengulumkan senyumannya yang khas.

Sekarang Siang Huhoa baru dapat melihat jelas mimik muka ukiran tersebut, rupanya Mi LekHud digambarkan sedang tertawa lebar, tertawanya begitu lembut, begitu gembira dan peluh welas asih.

Tampaknya Tu Siau-thian pun sedang memperhatikan ukiran itu, tiba-tiba dia menggelengkan kepala seraya berseru:

"Tampaknya alat jebakan ini dia namakan menyembunyikan golok dibalik senyuman!"

"Masih untung hanya sebuah ukiran kayu" sambung Siang Huhoa, "coba kalau dia adalah orang sungguhan, biar kita tidak masuk ke dalam pun tetap ada peluang kena dibokong dengan pisau terbang"

Bila ada manusia mirip Mi Lek Hud, selalu tersenyum kepada siapa pun, bila dia ingin menghadiahkan sebuah tusukan, hal ini memang bisa dilakukan sangat mudah.

Alat jebakan itu mati, tapi manusia hidup.

Bila kau tidak menyentuhnya, alat jebakan pun tidak akan mengejar dan berusaha membunuhmu.

Berbeda sekali dengan manusia, berada disaat apa pun, berada dimana pun, dia tetap bisa membunuhmu.

Karena alat jebakan merupakan hasil rancangan dan karya seorang manusia, maka benda inipun bisa membunuh. Tu Siau-thian sangat memahami ucapan dari Siang Hu-hoa itu, katanya sambil tertawa:

"Tepat sekali perkataanmu, manusia memang lebih sukar diwaspadai ketimbang sebuah alat jebakan"

Kini Nyo Sin tidak bisa tertawa lagi, sesudah celingukan ke sana ke mari dia baru menatap wajah Siang Hu-hoa seraya menghela napas, katanya perlahan:

"Ke dua buah pintu rahasia itu sudah dilengkapi dengan alat perangkap, lantas menurutmu pintu yang mana merupakan pintu masuk yang sebenarnya?"

"Tentu saja pintu yang ini!" sambil berkata Siang Hu-hoa menuding ke arah pintu rahasia dengan ukisan Kwan-im bertangan seribu, "sekarang Mi-Lek-hud sudah terbongkar kedoknya, pintu rahasia itupun sudah terkunci dari dalam, otomatis kita hanya punya satu pilihan saja"

Nyo Sin tertawa getir.

"Kwan-im bertangan seribu ini mesti tidak menyembunyikan pisau dibalik senyumannya, namun cukup membuat orang berubah jadi seekor landak" keluhnya.

"Asal kita tidak mengganggu dan mengusiknya hingga marah, dia pasti tidak akan merecoki kita lagi"

"Jadi kau punya akal untuk membuatnya tidak marah?" "Sekarang mah belum ketemu"

Mendadak dia berjongkok lalu memeriksa sekali lagi ukiran kayu Kwan-im bertangan seribu itu dengan lebih seksama.

Tanpa terasa Tu Siau-thian ikut mengalihkan perhatiannya ke situ, begitu juga Nyo Sin, tapi setelah diawasi berapa saat belum juga menemukan sesuatu yang aneh, tidak tahan pembesar itu berteriak:

"Hey, apa yang sedang kau lakukan?" "Mencari tombol yang mengendalikan alat perangkap ini" jawab Siang Hu-hoa tanpa berpaling.

"Mungkin tombol pengendalinya berada didalam"

"Kalau tombolnya di dalam, dengan cara apa dia masuk ke situ?"

Merah jengah selembar wajah Nyo Sin, dia tidak bersuara lagi.

Terdengar Siang Huhoa berkata lebih jauh:

"Hiankicu adalah seorang ahli tehnik yang amat hebat, sementara Jui Pakhay merupakan murid didikannya yang luar biasa, sejak berapa tahun berselang dia sudah mampu menyambung kunci sontekan didalam pintu dengan sebuah tombol yang berada diluar pintu, asal kita memukul diatas dinding yang berisi tombol rahasia itu maka getaran yang ditimbulkan akan menggerakkan kunci dibalik dinding yang akan bergerak menarik sontekan pintu ke samping, dengan begitu pintu pun akan terbuka. Tapi bila kau ingin menutup pintu itu dari luar maka kau mesti mendorong dengan menggunakan tanganmu. Maka kalau kulihat permukaan dinding yang licin, begitu juga dengan lantai yang licin, besar dugaan tombol tersebut dia sembunyikan diatas pintu rahasia itu sendiri"

Berbicara sampai disitu, tangannya mulai meraba ukiran kayu Kwan-im bertangan seribu itu dari atas hingga ke bawah.

Ketika tangannya mulai bergeser, mendadak timbul satu perasaan aneh dalam hatinya, perasaan seakan dia sedang dipelototi seseorang.

Dia tidak tahu kenapa bisa muncul perasaan seperti itu, tanpa terasa tangannya yang bergeser pun ikut berhenti.

Tapi dihadap annya tidak ada seorang manusia pun, yang ada hanya sebuah ukiran kayu. Ukiran kayu bergambar Kwan-im bertangan seribu.

Kwan-im bertangan seribu dikenal juga sebagai Kwan-im bertangan seribu bermata seribu.

Menurut kitab suci Gavatamo, Kwan-im ini memiliki dua puluh buah tangan dimasing masing tangannya, pada setiap tangan terdapat sebuah mata hingga bila dijumlah maka terdapat empat puluh tangan dengan empat puluh buah mata.

Dan sekarang, ukiran kayu bergambar Kwan-im bertangan seribu pun memiliki empat puluh buah mata dan empat puluh buah tangan, sama persis seperti apa yang tertera dalam kitab suci itu.

Bukan hanya bentuk bahkan cara duduknya pun persis sama seperti apa yang dilukiskan dalam kitab suci, tiga puluh delapan buah tangannya membentang dibelakang tubuhnya membentuk lingkaran, sementara dua tangannya yang asli menempel diatas lutut dengan membuat tekukan jari.

Sekarang sepasang tangan Siang Huhoa sedang menekan tangan Kwan-im bertangan seribu yang diletakkan diatas lutut itu.

Dengan termangu-mangu dia awasi ukiran itu tanpa berkedip, seolah ada sesuatu yang sedang dipikirkan.

Belum sempat Tu Siau-thian bertanya, sepasang tangan Siang Hu-hoa sudah mulai bergerak dan menggeser ke samping.

Dia menggeser tangannya mulai dari jari tangan Kwan-im bertangan seribu yang ditekuk diatas lutut itu menuju ke atas, sementara sepasang matanya mengawasi biji mata Kwan-im bertangan seribu itu tanpa berkedip.

Betul juga dugaannya, pupil mata Kwan-im bertangan seribu itu ternyata ikut bergerak menyusul pergeseran jari tangannya menuju ke atas, mata itu bergerak seakan sedang menegurnya kenapa berani menyentuh tubuh sucinya. Ternyata sepasang mata itu yang sedang mengawasi aku terus menerus!" serunya kemudian sambil tertawa, sementara jari tangannya mulai bergeser ke kiri kanan jari tangan Kwan- im itu.

Rupanya jari tangan yang ditekuk diatas lutut itupun bukan ukiran mati, tapi bisa digerakkan dengan leluasa.

Ketika dia menggeser ke kiri, kekanan maupun ke bawah, tiada reaksi apa pun yang timbul, tapi ketika jari tangan itu digeser keatas maka "Kraaak!" terdengar bunyi gemerutuk

yang lembut diikuti melompat keluarnya pupil mata dari ukiran Kwan-im bertangan seribu itu ke depan.

Biji mata itu tidak melejit ke udara tapi hanya melompat keluar sejauh setengah depa, ternyata di belakang ukiran biji mata itu tersambung dengan sebatang kayu sepanjang setengah depa.

Siang Huhoa segera melepaskan ukiran jari tangan dilutut itu lalu memegang sepasang biji mata yang melompat keluar

Ketika disentuh ternyata benda itu terasa dingin dan bukan terbuat dari kayu, rupanya biji mata itu dibuat khusus dengan baja.

Siang Huhoa mulai menggerakkan biji mata itu, ketika digeser dari kiri menuju ke kanan, dari balik pintu rahasia pun bergema suara yang sangat aneh.

Suara itu mirip suara sekelompok tikus yang sedang menggigit dan mencakar sesosok bangkai atau mayat.

Karena suasana waktu itu sangat hening, maka suara aneh itu kedengaran jelas sekali.

Suasana yang semula sudah terasa menyeramkan kini terasa makin mengerikan dan menggidikkan hati, jangan lagi orang lain, Siang Huhoa sendiripun tidak kuasa untuk merinding dan bersin berulang kali. Tapi tidak lama kemudian sekulum senyuman telah menghiasi ujung bibirnya, sambil bertepuk tangan dan bangkit berdiri serunya:

"Sekarang kita sudah boleh masuk!"

"Sudah kau tutup semua alat jebakan yang ada didalam ruang rahasia itu?" tanya Nyo Sin kuatir.

"Mungkin saja dia telah mempersiapkan alat jebakan lain di dalam ruangan itu, tapi untuk memasuki pintu rahasia, menurut pendapatku, semestinya memang tidak ada masalah lagi"

Biarpun sudah dikatakan kalau tidak ada masalah, Nyo Sin tetap tidak berani beranjak dari tempatnya berdiri.

Tampaknya Siang Huhoa sendiripun tidak berani seratus persen percaya dengan analisa sendiri, kembali dia mundur beberapa langkah, menyambar lagi sebuah bangku kemudian dilemparkan ke dalam pintu rahasia.

"Blaaaam!" bangku itu seketika hancur berantakan dibalik ruang rahasia itu.

Bagaikan burung yang kaget melihat busur Nyo Sin tergopoh gopoh melompat ke samping untuk menghindarkan diri.

Ternyata kali ini tiada reaksi apa pun yang muncul dari balik pintu rahasia, suasana tetap tenang.

Melihat kenyataan tersebut, dengan perasaan tenang Siang Hu-hoa baru melangkah kakinya memasuki pintu rahasia itu.

Jui Gi yang pertama kali menyusul di belakang lelaki itu.

Tu Siau-thian menyusul di belakangnya, namun baru dua langkah, Nyo Sin sudah mendahuluinya dengan langkah cepat. Meskipun berani melampui anak buahnya, ternyata pembesar ini hanya mengintil terus di belakang Siang Huhoa dan Jui Gi.

Biarpun dia suka merebut pahala orang, bagaimana pun termasuk juga seorang lelaki yang pintar.

Suasana dalam ruang rahasia itu gelap dan menyeramkan. Baru satu langkah memasuki ruang rahasia tersebut, tiba-

tiba Siang Huhoa menghentikan kembali langkahnya.

Nyo Sin yang menyaksikan kejadian itu buru-buru melompat ke samping untuk menghindar, dia mengira secara tiba tiba Siang Hu-hoa telah menemukan sesuatu ancaman mara bahaya.

Tampaknya Tu Siau-thian pun berpendapat sama, tanpa sadar dia berseru nyaring:

"Hati-hati!"

Siang Huhoa sama sekali tidak memperlihatkan rasa gugup atau panik, malah sembari berpaling ujarnya:

"Saudara Tu, tolong ambilkan lampu minyak yang berada di meja sebelah sana"

Ternyata dia berhenti karena tiba-tiba teringat untuk membawa lampu.

Tu Siau-thian segera menyahut dan membalikan badan menuju ke arah meja.

Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun, juga tidak menunjukkan sikap apapun, terhadap seluruh peristiwa yang baru terjadi dia seakan sudah melupakannya.

Siang Huhoa sendiripun berlagak seolah tidak pernah terjadi apa-apa, dia tidak menegur Nyo Sin, pun tidak berbicara apa apa, seolah dia sama sekali tidak tahu apa yang telah dilakukan orang itu di belakang tubuhnya. Tidak heran kalau Nyo Sin merasa rikuh bercampur jengah, segera dia berjalan balik ke posisinya semula, kemudian baru berkata:

"Tadi, kukira kau temukan alat jebakan lagi"

Siang Huhoa hanya tersenyum tanpa menjawab, sementara Tu Siau-thian dengan membawa lampu lentera telah berjalan mauk lagi ke dalam ruang rahasia.

Dibawah sorot cahaya lampu, kini Siang Hu-hoa dapat melihat sangat jelas suasana di sekelilingnya.

Ternyata ruang rahasia itu memiliki kedalaman empat-lima depa dengan lebar lebih kurang dua kaki.

Ketika berbelok enam depa ke kiri, maka akan terlihat sebuah dinding ruangan yang memisahkan ruang ini dengan ruang di balik pintu rahasia dengan ukiran Mi lek Hud, sebaliknya ujung dari belokan ke kanan adalah sebuah dinding pula, tapi setengah kaki sebelum dinding itu terlihat permukaan tanahnya menjorok turun ke bawah, disana terlihat anak tangga yang menghubungkan ruang atas dengan ruang bawah.

Dari balik ruang bawah lamat-lamat terlihat ada cahaya lampu yang memancar keluar.

Dinding disekeliling ruangan gelap karena dicat warna hitam, diatas dinding hitam itu muncul lubang lubang kecil yang banyak jumlahnya, dari balik lubang kecil itu terlihat ujung anak panah yang menonjol keluar siap dibidikkan, ketika tertimpa cahaya lampu, ujung senjata itu kelihatan gemerlapan membiaskan cahaya tajam.

Untung tombol rahasia sudah dimatikan sebelum mereka memasuki ruang rahasia itu, coba kalau tidak, bisa jadi hujan panah akan berhamburan keluar melalui lubang lubang kecil itu. Padahal ruangan itu begitu sempit, tentu saja sulit bagi mereka untuk menggerakkan badannya dengan leluasa, dalam keadaan begini, biarpun kau memiliki kepandaian silat yang hebat pun bukan pekerjaan yang gampang untuk menghadapi datangnya ancaman dari empat penjuru.

Kecuali lubang lubang kecil berisi anak panah, disekeliling dinding tidak tampak benda apa pun.

Ternyata ruang rahasia ini tidak lebih hanya sebuah lorong penghubung.

Begitu melangkah masuk ke dalam ruang rahasia dan menyaksikan ujung panah yang gemerlapan dibalik lubang dinding, Nyo Sin seketika merasakan sepasang kakinya mulai lemas, buru buru bertanya lagi:

"Saudara Siang, apakah semua alat perangkap sudah dimatikan?"

Waktu itu Siang Huhoa sudah berada didepan anak tangga yang menuju ke ruang bawah tanah, tanpa berpaling sahutnya:

"Bukankah sampai saat ini aku baik-baik saja?"

Begitu selesai berkata, dia melanjutkan langkahnya menuruni anak tangga.

Kini Nyo Sin baru merasa lega untuk melangkah masuk ke dalam ruangan, agaknya baru sekarang dia merasa yakin kalau semua alat jebakan benar-benar telah dimatikan.

Tu Siau-thian mengikuti di belakang Nyo Sin, perasaan tidak sabar sudah muncul diwajahnya, namun dia masih berusaha untuk menahan diri.

Memang sejak berapa tahun ini dia harus mulai belajar dan mengerti apa arti dari sebuah kesabaran. Justru karena dia memahami arti dari sebuah kesabaran, maka sekarang dia baru bisa menjadi seorang opas yang cekatan dan menonjol namanya.

Anak tangga yang menjorok ke bawah tanah itu tidak terlalu panjang, paling banter hanya ada tiga puluhan undakan.

Ujung dari anak tangga berupa sebuah pintu batu, pintu itu sudah berada dalam keadaan terbuka, dari balik ruangan itulah munculnya cahaya lentera.

Mungkinkah buka tutupnya pintu batu ini dikendalikan dari atas? Karena semua tombol alat jebakan telah dimatikan, maka secara otomatis pintu batu itu terbuka dengan sendirinya?

Siang Huhoa berhenti sebentar diluar pintu batu itu, tapi kemudian dengan mengangkat tinggi lenteranya dia melanjutkan langkahnya masuk ke dalam ruangan.

Cahaya lentera lembut bagaikan sinar rembulan.

Begitu masuk ke dalam pintu batu itu maka terlihatlah sebuah ruang batu yang luas. Ukuran ruangan batu ini sedemikian luasnya sehingga setara dengan ukuran ruang perpustakaan yang berada diatasnya.

Interior didalam ruang batu itu amat indah, ke empat dindingnya diberi kain tirai yang terbuat dari kain sutera halus, sementara permukaan lantainya dilapisi permadani tebal berwarna merah menyala, permadani dari Persia, sehingga waktu berjalan diatasnya, sama sekali tidak kedengaran suara langkah kaki kita.

Lampu penerangan diletakkan ditengah ruangan, delapan buah lampu abadi yang diatur berbentuk formasi tujuh bintang mengelilingi rembulan' berjajar rapi diatas sebuah rak tembaga berbentuk lingkaran. Rak tembaga itu digantungkan diatap ruangan dengan memakai sebuah kawat baja yang besar dan kuat, seakan tujuh buah bintang yang mengelilingi sebuah rembulan.

Sebab dari ke delapan buah lampu itu, hanya sebuah dibagian tengah yang dibiarkan menyala

Dibawah gelang lampu itu terletak meja dan bangku, sebuah meja dikelilingi tujuh buah bangku, benda benda itupun diatur dalam formasi tujuh bintang mengelilingi rembulan.

Tentu saja meja kursi yang diletakkan disitu merupakan meja kursi dengan kwalitas luar biasa sempurnanya.

Dibawah tirai sutera di ke empat dinding ruangan itu terletak pula meja meja kecil, jumlahnya mencapai dua-tiga puluhan, diatas meja meja itu lah diletakkan aneka ragam intan permata, mutu manikam yang tidak ternilai harganya, tiada satu benda pun yang sama dengan benda lainnya, tapi hampir semua yang ada disitu merupakan mestika langka yang luar biasa indah dan berharganya.

Intan permata sebesar telur ayam, mutu manikam yang menyala bagai bara api membuat seluruh ruangan

bermandikan cahaya terang.

Seandainya ke delapan buah lampu disitu dinyalakan semua, niscaya ruangan itu akan bertambah terang dan menyilaukan mata.

Sekarang pun Nyo Sin, Tu Siau-thian serta Jui Gi sudah dibuat silau dan terbelalak matanya setelah menyaksikan gemerlapannya cahaya diruangan itu.

Untuk sesaat mereka bertiga berdiri terkesima dengan mata melotot dan mulut melongo, sesaat mereka seolah hanya bisa berdiri mematung tanpa mengetahui apa yang mesti dilakukan, hanya Siang Huhoa seorang yang terkecuali. Sambil memegang lampu dia masih menelusuri seluruh ruangan, ditinjau dari mimik mukanya dia seakan sama sekali tidak memandang sebelah mata pun terhadap semua intan permata, mutu manikam dan benda berharga lainnya yang ada disana.

Selesai mengelilingi seluruh ruangan itu satu lingkaran, tiba tiba dia menarik sebuah kursi ditengah ruangan dan duduk, sementara lampunya diletakkan ditengah meja.

"Tuuukk. !" suara lampu yang membentur permukaan

meja menimbulkan gema suara yang luar biasa nyaringnya ditengah keheningan dalam ruang batu.

Seketika itu juga Nyo Sin, Tu Siau-thian dan Jui Gi tersadar kembali dari lamunannya, sinar mata mereka serentak dialihkan ke wajah Siang Huhoa dan menatapnya lekat-lekat.

Siang Huhoa tidak menanggapi pandangan semua orang, kepada Jui Gi mendadak dia bertanya:

"Apa sebelumnya, kau pernah berkunjung kemari?" Jui Gi menggeleng.

"Belum pernah" sahutnya, "baru kali ini aku tahu kalau dibawah ruang perpustakaan ternyata terdapat sebuah ruang rahasia macam ini, kalau tidak, meski aku tidak seberapa mengerti soal peralatan rahasia itu, paling tidak tidak bakal hanya berpeluk tangan belaka"

Siang Huhoa menatapnya sekejap kemudian manggut- manggut, ujarnya lagi setelah termenung sejenak:

"Kalau sampai kau juga tidak tahu, berarti mustahil dia akan bocorkan rahasia ini kepada orang lain, dengan perlengkapan alat jebakan yang begini hebat, tempat ini boleh dibilang sangat rahasia dan aman, memang paling cocok bila digunakan sebagai tempat untuk menyimpan intan permata dan benda berharga lainnya" "Seandainya dia juga bersembunnyi disini, bukankah dia menjadi aman sekali?" tiba-tiba Nyo Sin menyela.

"Semestinya memang begitu" Siang Huhoa mengangguk "Siapa tahu lenyapnya dia pada malam tersebut karena dia

sudah menyembunyikan diri di tempat ini?"

"Tapi kami tidak mendengar suara apa-apa waktu itu" Tu Siau-thian menimbrung.

"Waktu itu dia kabur kemari dengan tergopoh-gopoh, tentu saja semua gerakan dilakukan sambil menahan napas dan tidak berani menimbulkan suara apa pun"

"Tapi sewaktu aku bersama Tan Piau dan Yau Kun menyerbu masuk ke dalam ruang perpustakaan, dia semestinya tahu akan hal ini dan segera tampil keluar"

"Mungkin saja pada saat itu dia sudah berada dalam ruang batu ini dan menutup pintunya rapat rapat sehingga sama sekali tidak mendengar suara apa pun”

Tidak menunggu pendapat dari Tu Siau-thian, dia berkata lebih jauh:

"Mungkin juga pada waktu itu dia sudah pingsan" "Sekalipun sempat pingsan, toh ada saatnya tersadar

kembali"

"Tentu saja "

"Tapi sejak peristiwa itu terjadi hingga senja hari ke dua, orang orang kita selalu berjaga-jaga di dalam ruang perpustakaan ini"

"Mungkin saja dia pingsan selama tiga hari tiga malam, mungkin saja dia sudah " baru sampai ditengah jalan

mendadak pembesar itu menghentikan kata-katanya.

"Mungkin saja dia sudah mati waktu itu" Siang Hu-hoa segera menyambung ucapannya yang terpotong itu. "Benar" Nyo Sin berkata lagi, "bila seseorang sudah mati, tentu saja reaksi apa pun tidak nanti bisa dia lakukan"

"Bila seseorang sudah mati, seharusnya dia meninggalkan suatu benda" kata Siang Huhoa.

"Benda apa?" "Mayatnya!"

Dalam ruangan batu itu tidak ditemukan jenasah dari Jui Pakhay.

Seandainya Jui Pakhay mati di dalam ruangan batu itu, seharusnya jenasahnya berada pula di dalam ruangan batu ini.

Nyo Sin menyapu sekejap seluruh ruangan, tiba tiba sambil menuding ke satu arah serunya:

"Mungkin saja mayatnya tersembunyi di balik peti peti kayu itu"

Yang dituding memang merupakan sebuah sudut ruangan dimana terletak beberapa peti kayu besar.

Siang Huhoa melirik peti itu sekejap, tiba-tiba tanyanya: "Apa kau pernah melihat ada mayat yang bisa berjalan?"

Kalau mayat itu tidak bisa berjalan, darimana dia bisa menyembunyikan diri dibalik peti?

"Aku tidak pernah melihatnya" Nyo Sin menggeleng, "sewaktu berjalan masuk ke dalam peti, bisa saja saat itu dia belum mati"

"Ooh, maksudmu dia sendiri yang berjalan masuk ke dalam peti itu kemudian mati di dalam peti?”

Kali ini Nyo Sin manggut-manggut tanda membenarkan. "Bukankah ruangan ini sudah lebih dari aman?” ujar Siang

Hu-hoa. "Ketika dia kabur ke dalam ruangan ini dengan membawa luka, bisa saja ada sebagian dari kawanan laron penghisap darah itu yang turut masuk, karena kehabisan akal akhirnya dia memilih bersembunyi di dalam peti"

Tiba-tiba Siang Huhoa tertawa tergelak, serunya: "Memangnya kau anggap dia adalah siluman?" "Apa maksud perkataanmu itu?" Nyo Sin tertegun.

"Kalau bukan siluman, bagaimana caranya dia bersembunyi di dalam peti lalu mengunci peti itu dengan sebuah gembokan besar dari luar?" kata Siang Hu-hoa sambil tertawa.

"Gembokan itu bisa saja bukan dia sendiri yang melakukan" ngotot Nyo sin dengan wajah tidak berubah.

"Kalau bukan dia, lalu siapa yang melakukan?" "Bisa saja kawanan laron penghisap darah itu!"

"Memangnya kau anggap laron penghisap darah itu adalah siluman?"

"Mungkin saja"

Siang Huhoa segera tertawa.

Hingga kini dia masih belum pernah melihat apa yang dikatakan sebagai laron penghisap darah, karena itu dia pun tidak ingin berdiskusi tentang hal hal yang tidak diketahui olehnya secara pasti.

Terdengar Nyo Sin berkata lebih jauh:

"Begini saja, bagaimana kalau sekarang kita buka seluruh peti yang ada disitu?"

Dalam hal ini ternyata Siang Huhoa malah sangat setuju.

Maka satu per satu peti peti itu dibuka semua, ternyata gembokan yang berada diluar peti itu bukan dikunci beneran, tanpa menggunakan anak kunci pun mereka dapat membuka semua peti itu secara mudah.

Peti itu semuanya berjumlah tujuh buah dan ternyata terbuat dari baja asli, bukan kayu.

Empat buah peti penuh berisikan emas murni dan perak sementara tiga peti lainnya berisikan intan permata, mutiara, batu zamrud, berlian dan mutu manikam yang tidak ternilai harganya.

Sekali lagi Nyo sin dan Tu Siau-thian berdiri terkesima, untuk sesaat mereka hanya bisa berdiri melongo.

Tampaknya kekayaan yang dimiliki Jui Pakhay jauh diluar dugaan mereka semua, mereka tidak menyangka kalau ada begitu banyak barang berharga yang tersimpan disitu.

Akhirnya setelah menghela napas panjang Nyo Sin berbisik: "Kalau ditanya siapa orang paling kaya di wilayah ini,

kelihatannya dialah yang menduduki ranking nomor satu"

Jui Gi sendiripun berdiri termangu, biarpun dia adalah pengurus rumah tangga tempat itu, namun dia sendiripun tidak menyangka kalau Jui Pakhay ternyata memiliki kekayaan yang luar biasa banyaknya.

Hanya mimik muka Siang Huhoa yang sama sekali tidak berubah, tampaknya dia sudah tahu akan hal ini sehingga sama sekali tidak tertarik untuk mempersoalkan.

Isi peti peti itu hanya emas, perak dan benda berharga, sama sekali tidak ada mayat bahkan tulang belulang orang mati pun tidak dijumpai.

Dengan susah payah akhirnya Nyo Sin dapat menarik kembali sorot matanya, sambil mengelus jenggotnya dia berkata kemudian: "Mungkin saja setelah menghisap darahnya hingga kering, kawanan laron penghisap darah itu sekalian memakan daging dan tulangnya hingga habis"

"Oya?"

Karena tidak yakin dengan dugaan tersebut, setelah berpikir sejenak Nyo Sin segera mengalihkan pembicaraan ke soal lain, katanya:

"Mungkin di dalam ruangan batu ini masih terdapat jalan keluar yang lain"

Salam hangat untuk para Cianpwee sekalian,

Setelah melalui berbagai pertimbangan, dengan berat hati kami memutuskan untuk menjual website ini. Website yang lahir dari kecintaan kami berdua, Ichsan dan Fauzan, terhadap cerita silat (cersil), yang telah menemani kami sejak masa SMP. Di tengah tren novel Jepang dan Korea yang begitu populer pada masa itu, kami tetap memilih larut dalam dunia cersil yang penuh kisah heroik dan nilai-nilai luhur.

Website ini kami bangun sebagai wadah untuk memperkenalkan dan menghadirkan kembali cerita silat kepada banyak orang. Namun, kini kami menghadapi kenyataan bahwa kami tidak lagi mampu mengelola website ini dengan baik. Saya pribadi semakin sibuk dengan pekerjaan, sementara Fauzan saat ini sedang berjuang melawan kanker darah. Kondisi kesehatannya membutuhkan fokus dan perawatan penuh untuk pemulihan.

Dengan hati yang berat, kami membuka kesempatan bagi siapa pun yang ingin mengambil alih dan melanjutkan perjalanan website ini. Jika Anda berminat, silakan hubungi saya melalui WhatsApp di 0821-8821-6087.

Bagi para Cianpwee yang ingin memberikan dukungan dalam bentuk donasi untuk proses pemulihan saudara fauzan, dengan rendah hati saya menyediakan nomor rekening berikut:

  • BCA: 7891767327 a.n. Nur Ichsan
  • Mandiri: 1740006632558 a.n. Nur Ichsan
  • BRI: 489801022888538 a.n. Nur Ichsan

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar