Website Cerita Silat Indomandarin Ready For Sale

 
Bab 05: Sakit hati dan Obat hati.

Kalau dia sendiripun tidak percaya, biar diceritakan kepada orang pun ada siapa yang mau mempercayainya? Dia tertawa getir, yaa! Dia memang hanya bisa tertawa getir.

0-0-0

Bulan tiga tanggal sebelas. Fajar. Angin timur kembali berhembus kencang, guguran bebungahan rontok bagaikan hujan gerimis.

Jui Pakhay berdiri termangu ditengah guguran bunga. Dia berdiri kaku ditengah serambi panjang.

Tidak sedikit guguran bunga yang terbawa masuk ke dalam serambi oleh hembusan angin timur, namun dia tidak memungutnya, menggubris pun tidak

Dia kuatir dibalik guguran bunga itu hinggap seekor laron penghisap darah, dia takut sewaktu dia pungut bunga tersebut, sang laron akan menusuk tangannya dan menghisap darahnya.

Mengawasi guguran bunga yang berserakan ditanah, perasaan hatinya amat masgul, sedikitpun tak terlintas keriangan musim semi.

Dia tidak merasakan apa-apa, dia tidak punya perasaaan apa pun. Sorot matanya mendelong seperti orang bodoh, hatinya sudah kaku, sudah membeku, sedikitpun tak ada perasaan apapun.

Rasa takut yang mencekam, teror horor yang berulang, rasa mengantuk, kurang tidur, harus dialami belasan hari secara beruntun, dalam situasi dan kondisi seperti ini, bagaimana mungkin ia dapat mempertahankan diri? Tidak menjadi gila pun sudah sangat beruntung.

Bahkan dia sama sekali tidak merasa kalau Gi Tiok-kun telah berjalan mendekatinya.

Kelihatannya Gi Tiok-kun sendiripun tidak menyangka akan berjumpa dengan Jui Pakhay di serambi tersebut pada saat sperti ini, padahal serambi itu letaknya sangat jauh dari Perpustakaan buku.

Serambi tersebut selain penuh dengan kelokan dan tikungan, Jui Pakhay juga bukan berdiri ditengah jalan, diapun sama sekali tidak menimbulkan suara apa pun, menanti dia bertemu dengan suaminya, untuk menghindar sudah tidak sempat lagi.

Begitu melihat kehadiran suaminya, paras muka perempuan itu segera menunjukkan perasaan kaget bercampur ngeri, cepat badannya menyusut dan berusaha untuk menghindarkan diri dari pertemuan itu.

Sayang walaupun Jui Pakhay tidak melihat bayangan tubuhnya, namun suara langkah kakinya yang nyaring sudah cukup menarik perhatian suaminya.

Pelan-pelan Jui Pakhay berpaling, namun ketika sorot matanya yang kaku dan mendelong itu bertemu dengan tubuh Gi Tiok-kun, mendadak dia gemetar keras kelopak matanya seketika menyusut kencang.

"Laron "

Baru mengucapkan sepatah kata, dia segera menghentikan teriakannya di tengah jalan.

Hari ini Gi Tiok-kun mengenakan pakaian berwarna hijau pupus, hijau bagaikan warna kemala, persis seperti warna tubuh sang laron, warna sayap dari laron.

Keadaan Jui Pakhay saat itu tidak ubahnya seperti sang burung yang takut melihat busur, baru menjumpai warna semacam itu dia sudah ketakutan setengah mati, karena secara otomatis dia menghubungkan warna tersebut dengan sang laron penghisap darah.

Tanpa sadar tangannya sudah mulai menggenggam gagang pedangnya kencang-kencang, masih untung dia dapat membedakan kalau bayangan yang muncul adalah seorang manusia, bininya.

Itulah sebabnya teriakannya ditelan kembali separuh jalan, kemudian karena tidak ada lagi bahan pembicaraan maka untuk sesaat dia hanya mengawasi wajah bininya dengan pandangan tertegun.

Gi Tiok-kun sendiripun tidak bicara, perasaan ketakutan bercampur ngeri masih kental menghiasi wajahnya, dia seakan baru saja bertemu dengan seorang manusia sinting, orang gila!

Bila seseorang bertemu dengan orang gila dan sang orang gila memancarkan sinar napsu membunuh yang tebal, apalagi ditangannya menggenggam sebilah pedang tajam, tentu saja siapa pun akan berusaha untuk menghindarkan diri, dan paling baik adalah membungkam diri.

Gi Tiok-kun tidak bersuara, diapun tidak bisa bersuara karena dia tak lain adalah bininya si orang gila.

Begitulah, kedua orang itu saling berhadapan dan saling berpandangan bagaikan sepasang boneka kayu, tak ada yang bicara, pun tak ada yang melakukan suatu tindakan atau gerakan apapun

Keadaan mereka berdua sama sekali tidak mirip dengan sepasang suami istri, jangan lagi suami istri, dengan orang asingpun jauh lebih terasa asing.

Dua orang asing yang bersua dipagi hari pun kadangkala akan saling menyapa, tidak mungkin mereka akan berusaha menghindar begitu bertemu dari kejauhan.

Kembali Jui Pakhay merasa amat pedih, akhirnya dia tidak kuasa menahan diri, tegurnya lebih dulu:

"Sepagi ini, kau hendak kemana?" "Mencari angin di tepi kolam teratai" "Kenapa? Murung? Masgul?" Gi Tiok-kun tidak menjawab.

Jui Pakhay tidak mendesak lebih jauh, setelah menghela napas panjang kembali ujarnya:

"Bunga teratai memang masih mekar berkembang, mumpung belum layu, kalau ingin menikmati memang sekarang waktunya "

Walaupun bicara begitu namun kakinya sama sekali tidak bergeser setengah langkah pun, sorot matanya juga tidak pernah beralih untuk mengawasi perempuan itu, dia seakan sama sekali tidak berniat untuk menemani bininya berjalan jalan ke tepi kolam.

Gi Tiok-kun sendiripun tetap membungkam diri, dia masih berdiri mematung.

"Apa lagi yang kau tunggu?" kembali Jui Pakhay menegur sambil menghela napas.

"Kau tidak ikut?" tanya Gi Tiok-kun lirih. "Kau berharap aku turut serta?"

Kembali Gi Tiok-kun terbungkam, dia seakan tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu.

Setelah tertawa getir kembali Jui Pakhay berkata: "Sebenarnya akupun ingin menemani kau berjalan-jalan ke

sana, sayang aku masih ada urusan lain yang harus segera

diselesaikan, lebih baik kau pergilah seorang diri"

Tertawanya nampak begitu mengenaskan, sorot matanya juga mengenaskan, benarkah dia tidak sanggup untuk ikut serta bersama istrinya? Benarkah ada urusan penting yang harus segera dia selesaikan?

Gi Tiok-kun tidak bertanya, dengan kepala tertunduk dia melanjutkan kembali langkahnya meninggalkan tempat itu. Dengan termangu dan pandangan mendelong Jui Pakhay mengawasi bininya berjalan lewat dari sisi tubuhnya. Baru berjalan setengah kaki, mendadak perempuan itu mulai mempercepat langkahnya dan buru buru kabur dari situ.

"Tiok-kun!" teriak Jui Pakhay lantang. Teriakan itu sangat mendadak, nada suara yang digunakan pun aneh sekali.

Seketika itu juga Gi Tiok-kun nampak tertegun, langkah kakinya yang mulai diayunkan cepat seketika terhenti, namun dia tidak berpaling.

Begitu memanggil nama istrinya, Jui Pakhay segera bergerak cepat mengejar kearah depan. Apakah dia telah berubah pikiran dan sekarang berniat menemani Gi Tiok-kun berjalan jalan di tepi kolam bunga teratai?

Menyaksikan suaminya berjalan mendekat, wajah Gi Tiok- kun sama sekali tidak menunjukkan perasaan girang atau puas, bahkan berpaling pun tidak.

Menanti suaminya telah menyusul tiba dan berhenti persis disisi tubuhnya, Gi Tiok-kun baru tidak bisa menahan diri, dia berpaling lalu menegur:

"Ada apa?"

Jui Pakhay tidak menjawab, hanya sepasang matanya yang terbelalak lebar mengawasi terus tangan kiri bininya tanpa berkedip.

Waktu itu sepasang tangan Gi Tiok-kun disembunyikan dibalik bajunya, sekarang yang dia tatap adalah ujung bajunya.

Ujung baju berwarna hijau bagaikan kemala itu tampak dihiasi segumpal bercak warna merah yang mencolok, begitu merahnya hingga mirip sekali dengan darah segar.

Kelihatannya Gi Tiok-kun sudah merasa apa yang sedang diperhatikan suaminya, tanpa sadar dia menarik tangan kirinya makin ke dalam, namun gerakan tubuh Jui Pakhay jauh lebih cepat, dengan suatu gerakan kilat dia sudah pegang tangan kiri itu dan menariknya kuat kuat.

Cengkeraman itu nampaknya mengenai bagian tangannya yang sakit, keningnya nampak berkerut dan wajahnya menunjukkan kesakitan yang luar biasa.

Jui Pakhay tidak memperhatikan hal itu, sinar matanya seratus persen tertuju ke ujung baju itu, mendadak ia menegur:

"Kenapa dengan tangan kirimu itu?"

Sekujur tubuh Gi Tiok-kun gemetar keras, agak tersedak sahutnya:

"Tidak apa apa, tidak apa apa "

"Kalau tidak apa apa, kenapa ada darah yang mengalir?

Kenapa sampai baju mu pun ada bercak darahnya?"

"Jangan jangan lenganmu terluka? Darah itu mengalir keluar dari mulut luka di lengan mu?"

Tanpa banyak bicara lagi dia tarik keluar lengan kiri Gi Tiok- kun dari balik bajunya, benar juga, lengan yang putih mulus bagaikan pualam itu kini sudah dibalut dengan selembar kain putih.

Kain perban putih itu sudah berubah menjadi merah, basah oleh cucuran darah segar.

"Apa yang terjadi?" kembali Jui Pakhay menegur dengan wajah berubah, "mengapa lenganmu terluka dan mengucurkan banyak darah?"

"Tadi tadi aku sedang menjahit pakaian, karena kurang

hati hati.... lenganku lenganku terkena gunting hingga

terluka " sahut Gi Tiok-kun agak tergagap. Menjahit pakaian? Kena gunting? Bagaimana cara dia memegang gunting hingga bisa melukai lengan sendiri? Mana mungkin sebuah gunting bisa melukai lengannya separah ini?

Satu ingatan melintas dalam benak Jui Pakhay, serunya kemudian:

"Coba aku periksa bagaimana keadaan lukamu itu?"

Tidak menunggu persetujuan dari bininya, ia segera membuka kain perban yang membungkus lengan perempuan itu, benar juga, luka yang dideritanya cukup parah, mulut luka sepanjang lima-enam inci dengan kedalaman dua-tiga mili, cairan darah masih bercucuran dengan derasnya dari mulut luka itu.

Ditinjau dari mulut luka yang begitu dalam, mena mungkin disebabkan terluka oleh gunting?

Dalam sekilas pandangan saja, Jui Pakhay sudah mengetahui kalau luka itu berasal dari luka pedang, air mukanya seketika berubah hebat, dia pingin menjerit, namun tidak sepatah kata pun yang meluncur keluar.

Dia percaya dan yakin, dugaan dan kesimpulan yang dibuat tidak bakal salah. Tidak seharusnya salah.

Bagaimanapun juga dia adalah seorang jagoan lihay dalam penggunaan pedang, seharusnya bukan pekerjaan yang kelewat sulit untuk membedakan mulut luka itu berasal dari luka pedang atau bukan.

......Tapi mengapa dia harus berbohong?

Tanpa sadar sorot mata Jui Pakhay pelan-pelan dialihkan ke wajah perempuan itu, tampak paras muka Gi Tiok-kun dicekam perasaan takut dan ngeri yang luar biasa, apa yang dia takuti? Apa yang membuatnya merasa ngeri? Dengan terkesima Jui Pakhay mengawasi bininya tanpa berkedip, rasa takut dan ngeri yang mencekam perasaan hatinya sedikitpun tidak dibawah rasa takut perempuan itu.

......Dia tak mengerti ilmu silat, tidak ada alasan dia menggunakan pedang, tapi mengapa dia terluka? Mengapa luka yang ada dilengannya berasal dari luka bekas tusukan pedang?

......Jangan jangan ? Mana mungkin dia?

Tapi kalau bukan dia, lantas siapa?

......Ditempat ini, dirumah kediaman mereka, siapa yang berani melukainya dengan menggunakan pedang? Tidak ada orang lain, kecuali aku!

.....Jangan-jangan laron penghisap darah yang amat besar dan muncul dalam perpustakaan semalam adalah jelmaannya? Jangan-jangan dia jelmaan dari siluman laron?

.....Itu berarti tusukan pedang yang dilancarkan semalam telah mengenai lengannya, darah yang menodai ujung pedangnya, bercak darah dilantai, semua adalah darah yang berasal dari tubuhnya?

.....Tapi mengapa bercak bercak darah itu

bisa lenyap dalam waktu singkat? Mungkinkah ketika dia menjelma jadi laron penghisap darah, cairan darah yang mengalir dalam tubuhnya ikut berubah pula jadi darah siluman?

....Kesemuanya ini merupakan kenyataan, jangan-jangan dia memang benar-benar jelmaan dari siluman laron penghisap darah? Dia adalah seekor siluman laron? Makin berpikir, Jui Pakhay merasa makin terkejut dan ngeri.

......Bukankah hal ini berarti, untuk menyelamatkan nyawa sendiri, dia harus menghabisi nyawanya? ..... Tapi, bagaimana pun juga dia adalah istriku, tegakah aku membunuhnya?

Kelopak mata Jui Pakhay mulai bergetar, kulit matanya seakan melompat-lompat, dia memandang sekejap tangan sendiri lalu memandang pula tangan Gi Tiok-kun, akhirnya dia lepaskan genggamannya dan menghela napas panjang.

"Percuma kalau kau hanya membungkus dengan kain perban, si nenek tukang masak mengerti soal luka pisau, pergi dan cari dia, mintalah obat luka luar, kalau tidak mulut luka itu akan membusuk dan semakin parah"

"Baik, aku segera pergi mencarinya" akhirnya Gi Tiok-kun mengangguk.

"Bukankah tadi kau bilang mau jalan jalan ke kolam teratai?" kembali Jui Pakhay berkata sambil tertawa hambar.

Gi Tiok-kun nampak tertegun, tapi akhirnya dia tundukkan kepalanya.

Belum sempat dia mengucapkan sesuatu, kembali Jui Pakhay melanjutkan:

"Jalan-jalan mah urusan kecil, lebih baik perhatikan kesehatan badan sendiri, aku rasa luka itu tidak terlalu serius, Liu popo tentu bisa mengobatinya"

"Ehmml"

"Kenapa tidak segera pergi?"

Gi Tiok-kun memang seorang bini yang penurut, dia segera beranjak pergi dari situ.

Memandang hingga bayangan tubuhnya menjauh, sorot mata kesedihan yang terpancar keluar dari mata Jui Pakhay nampak makin tebal dan kental.

Mengawini istri hasil jelmaan siluman laron, siluman yang berusaha menghisap darahnya, sama parahnya sama pedihnya seperti mengawini istri yang membohongi dirinya, tidak setia kepadanya, bila semua kejadian terbukti merupakan kenyataan, jelas hal ini merupakan sebuah tragedi yang amat memilukan hati.

Angin timur kembali berhembus lewat, kembab bunga berguguran, ditengah guguran bunga yang menyelimuti angkasa, kembali Jui Pakhay menghela napas panjang.

Tahun ini bunga berguguran, tahun depan bunga akan kuncup dan mekar kembali, tapi bagaimana dengan perasaan yang mulai retak, hubungan yang mulai renggang, masih adakah kesempatan untuk memperbaiki dan membinanya kembali jadi utuh dan damai?

0-0-0

Bulan tiga tanggal dua belas, ditengah hujan rintik dan angin kencang, seorang rekan lama telah datang berkunjung.

Orang yang datang sebenarnya bukan sanak, bukan pula keluarga dengan Jui Pakhay, karena orang ini tidak lain adalah kakak misan Gi Tiok-kun.

Sebutan kakak misan atau piauko sering bukan hanya melambangkan seorang piauko yang sebenarnya, terkadang melambangkan juga bekas kekasih lama.

Konon banyak perempuan yang senang menyebut kekasih hatinya sebagai piauko, sebab panggilan ini bukan saja dapat mengurai kesungkanan dalam penyebutan, pun jauh lebih leluasa dan bebas, tidak gampang memancing kasak usuk orang lain.

Tentu saja piauko dari Gi Tiok-kun ini belum tentu piauko macam begitu.

Piauko nya ini bernama Kwee Bok, sepintas lalu memandang usianya mungkin jauh lebih muda ketimbang usia Gi Tiok-kun. Selain masih muda, dia pun berwajah tampan. Bukankah pemuda tampan semacam ini merupakan pilihan setiap gadis muda di dunia ini? Tidak heran kalau Jui Pakhay merasa amat tidak senang dengan kehadiran Kwee Bok.

Setelah sibuk seharian penuh dan menyerahkan urusan lain kepada pegawainya, dia berencana kembali ke Perpustakaan untuk beristirahat, saat itulah Gi Tiok-kun muncul sambil membawa piauko nya Kwee Bok.

Ternyata mereka berdua datang bersama ke Ruang Perpustaan, paling tidak mereka datang berurutan, satu didepan dan yang lain menyusul di belakangnya.

Gi Tiok-kun berjalan dimuka, berulang kali dia berpaling menengok sekejap piaukonya, sementara Kwee Bok menyusul dibelakang, sepasang matanya seakan belum pernah berpisah dari tubuh Gi Tiok-kun yang ramping semampai.

Melihat kesemuanya itu, Jui Pakhay merasa sangat kheki, jengkel bercampur mendongkol, namun dia berusaha menahan diri, emosinya tidak sampai diutarakan keluar.

Masih dengari senyum dikulum dia segera menyapa: "Siapakah saudara cilik ini?"

"Ooh, dia piauko ku" buru buru Gi Tiok-kun memperkenalkan saudaranya.

"Ooh, rupanya piauko mu, siapa namanya?" "Kwee Bok!"

"Ehmm, aku seperti pernah mendengar nama ini"

"Padahal kau semestinya sudah pernah berjumpa dengannya"

"Apa sewaktu dirumah ibu angkatmu dulu?" Gi Tiok-kun mengangguk. "Tidak aneh kalau rasanya pernah bertemu, silahkan duduk!"

Dia mengulapkan tangannya mempersilahkan tamunya duduk, mimik muka serta penampilannya amat sopan.

Bagai terkejut dan tidak menyangka akan perlakuan orang, Kwee Bok nampak salah tingkah dan buru buru duduk disebuah bangku dengan tersipu.

Dengan pandangan dingin Jui Pakhay mengawasi orang itu hingga duduk, meski dimulut dia bicara sungkan padahal hati kecilnya dongkol bukan kepalang, kalau bisa dia pingin menendang pantat sang piauko hingga menggelinding keluar dari pintu.

Meski api cemburu sudah membara dalam hati kecilnya, namun dia berusaha untuk menahan diri, karena dia pingin tahu apa sebabnya Gi Tiok-kun mengajak piauko nya datang menghadap?

Seakan tidak ada kejadian apa pun, dia berkata kepada Kwee Bok:

"Sudah hampir tiga tahun lamanya aku tidak berkunjung ke rumahnya Gi Toama, tidak heran kalau meski sudah pernah bertemu, namun lantaran kejadian sudah kelewat tiga tahun, sekarang aku sudah tidak mengenalinya lagi"

"Tidak berani, tidak berani" buru-buru Kwee Bok merendah "Boleh aku tahu ada urusan apa kau datang berkunjung kali

ini?"

Sebelum Kwee Bok buka suara, Gi Tiok-kun sudah berebut menjawab duluan:

"Piauko ku adalah seorang tabib kenamaan, sejak kecil dia sudah belajar ilmu pengobatan, pandai periksa nadi, pandai mengobati pelbagai penyakit, dua tahun terakhir da sudah banyak mengobati penyakit orang dan selamatkan jiwa mereka"

"Ooh?"

"Aku lihat pikiran dan kesadaranmu kurang normal, sering mengucapkan kata kata yang aneh dan sama sekali tidak masuk diakal, maka aku sengaja mengundangnya datang untuk memeriksakan kondisi kesehatanmu"

Ternyata inilah alasan kedatangannya.

Bila ditinjau dari perkataan Gi Tiok-kun barusan, dia seakan sama sekali tidak tahu persoalan yang sebenarnya, dia sangka otak Jui Pakhay sudah tak waras, dia sudah dianggapnya gila, edan!

.....Mungkin dia memang bukan jelmaan dari laron penghisap darah? Dia memang bukan jelmaan dari siluman laron?

.....Benarkah selama berapa hari belakangan, dia benar- benar tidak pernah melihat kawanan laron penghisap darah itu?

.....Benarkah dia sangat memperhatikan kondisi kesehatannya?

Jui Pakhay merasakan hatinya dingin, sekulum senyuman aneh menghiasi wajahnya, seperti sedang tertawa dingin, seperti juga sedang tertawa getir.

Sambil tertawa, ujarnya: "biarpun perasaanku tidak stabil, gerak gerikku masih tetap normal dan wajar, apa yang kuucapkan juga tidak aneh, aku sama sekali tidak sakit, buat apa kau mencarikan tabib?"

"Diperiksa tabib bukanlah suatu kejadian yang buruk" bujuk Gi Tiok-kun sambil menghela napas.

"Kalau kau bersikeras mengatakan aku sedang sakit, penyakit yang kuderita hanya semacam!" "Apa penyakitmu?" "Sakit hati"

"Sakit hati?" Gi Tiok-kun nampak tertegun.

“Yaa. Sakit hati" pelan-pelan dia membalikkan badan dan berpaling ke arah Kwee Bok kemudian terusnya, "tahukah kau sakit hati mesti disembuhkan dengan apa?"

Kwee Bok tertegun.

Belum sempat dia mengucapkan sepatah katapun, Jui Pakhay telah bicara lebih jauh:

"Penyakit lain mungkin harus disembuhkan oleh seorang tabib, tapi sakit hati ? Aku rasa tidak perlu tabib untuk

menyembuhkannya"

Kwee Bok manggut-manggut, baru saja dia akan mengucapkan sesuatu, Jui Pakhay telah berkata lebih jauh:

"Padahal hanya ada satu cara untuk menyembuhkan penyakit semacam ini"

Pelan-pelan sorot matanya dialihkan ke tempat kejauhan sana, setelah menghela napas panjang, lanjutnya:

"Untuk menyembuhkan sakit hati dibutuhkan tabib penyakit hati, sang tabib penyakit hati bila ingin mengobati sakit hati, diapun harus menggunakan obat hati"

Setelah menghela napas panjang, tambahnya:

"Oleh sebab itu obat hati memang paling susah dicari dan didapatkan dibandingkan dengan obat apa pun"

Gi Tiok-kun dan Kwee Bok saling berpandangan dengan wajah termangu, walau hanya sekali saling berpandangan namun dibalik pandangan tersebut seakan mengandung banyak, banyak sekali maksud yang mungkin hanya diketahui mereka berdua. Setelah itu sorot mata mereka berdua kembali dialihkan ke wajah Jui Pakhay, hanya kali ini mimik muka yang mereka tampilkan adalah perasaan iba dan kasihan.

Pandangan ke dua orang ini seakan pandangan terhadap seseorang yang telah mengidap penyakit yang amat parah

Tentu saja Jui Pakhay dapat melihat perubahan mimik muka mereka berdua, dia segera tertawa, mendadak ujarnya lagi:

"Perkataanku mungkin tidak kalian pahami, mungkin juga dipahami, perduli mau mengerti atau tidak, aku tak ambil perduli"

Sekali lagi dia berpaling menatap wajah Kwee Bok, sambil meletakkan tangannya ke atas meja kecil, ujarnya:

"Kalau memang kau sudah banyak belajar ilmu pertabiban, pandai memeriksa nadi dan membuka resep obat, coba periksakan denyut nadiku, lihatlah apa aku benar-benar telah mengidap penyakit?"

Kwee Bok melirik Gi Tiok-kun sekejap, kemudian baru mengangguk.

"Baiklah, akan kuperiksa!"

Dia tempelkan jari tangannya ke atas pergelangan tangan Jui Pakhay, sementara paras mukanya berubah amat serius, seluruh perhatiannya dipusatkan jadi satu, lagaknya persis seperti seperti seorang tabib pengalaman.

Jui Pakhay tidak menampilkan perubahan mimik wajah apapun, sementara dihati kecilnya diam-diam dia tertawa geli, dia tidak percaya orang itu berhasil menemukan sesuatu penyakit pada dirinya, karena jauh sebelum kejadian ini, dia sudah dua kali memeriksa sendiri seluruh badannya. Dia yakin kalau badannya sehat dan tidak mengidap penyakit apapun, meski begitu, dia tetap membiarkan Gi Tiok- kun dan Kwee Bok melakukan apa mereka mereka kehendaki

Sebab dia sudah menaruh curiga, dia ingin tahu permainan busuk apa yang sebenarnya sedang dipersiapkan kedua orang itu, diapun ingin menjajal apa benar Kwee Bok adalah seorang tabib sakti seperti apa yang dia katakan.

Kalau dibilang seorang pemuda tampan macam dia adalah seorang tabib pintar yang pandai mengobati pelbagai penyakit, siapa pun rasanya tak mau percaya dengan begitu saja.

Sejak awal, Jui Pakhay nampaknya sudah mencurigai setiap tindak tanduk dan perkataan yang diucapkan Gi Tiok-kun

Sekalipun begitu, kadangkala wajah seseorang memang tak bisa mencerminkan kehebatan yang dimiliki orang itu.

Pemuda yang bernama Kwee Bok ini bukan saja pandai memeriksa denyut nadi orang, dia bahkan benar-benar memiliki kepandaian pertabiban yang mengagumkan.

Setelah memeriksa denyut nadinya, Kwee Bok memeriksa juga raut wajah Jui Pakhay dengan seksama, tiba tiba sorot matanya berubah jadi aneh sekli.

Melihat perubahan wajah orang, dengan cepat Jui Pakhay merasakannya, buru-buru dia menegur:

"Bagaimana? Apakah aku berpenyakit?"

"Denyut nadinya sangat normal sama sekali tak ada gejala sakit atau menderita suatu penyakit, aku lihat kau hanya kurang tidur saja"

Jui Pakhay agak tertegun, kemudian ia tertawa tergelak: "Hahahaha ternyata kau hebat juga, terus terang aku

sendiripun mengerti sedikit tentang ilmu pertabiban,

menderita sakit atau tidak aku mengetahui dengn jelas sekali" Kwee Bok tertawa getir.

"Kalau dibiang kau sedang sakit, rasanya penyakitmu memang semacam sakit hati yang baru bisa disembuhkan bila diobati dengan obat hati"

"Hahaha memang begitulah masalahnya"

"Kalau memang begitu, aku tidak bisa membantumu" "Untuk mengobati penyakit hati memang tidak dibutuhkan

seorang tabib, asal kita bisa menemukan sumber penyakitnya, biar seseorang yang tidak memahami ilmu pertabiban pun, rasanya tidak sulit untuk menemukan cara yag tepat untuk mengobatinya"

"Dan kau telah berhasil menemukan sumber penyakitnya?" tanya Kwee Bok ceat.

Jui Pakhay manggut manggut:

"Yaa, sejak awal sudah kutemukan"

"Lalu sudah kau temukan cara untuk mengobati penyakit itu?"

"Sudah"

"Waah, kalau begitu kedatanganku sama sekali tidak ada gunanya" kata Kwee Bok kemudia sambil menghela napas panjang.

Setelah berhenti sejenak, tiba-tiba dia tertawa tergelak, katanya lebih jauh:

"Tapi begini pun ada baiknya juga, paling tidak piaumoayku tidak usah kuatir dan risau siang malam"

Sambil tertawa dia mengerling sekejap ke arah Gi Tiok-kun.

Gi Tiok-kun ikut tertawa, hanya tertawanya kelewat dipaksakan, kalau dilihat dari tampangnya seakan dia lebih suka merasa kuatir siang dan malam daripada menjumpai Jui Pakhay tidak menderita sakit.

Seandainya suaminya benar-benar menderita sakit, belum tentu dia akan merasa kuatir siang dan malam.

Dalam hati kecilnya Jui Pakhay berpikir terus sementara penampilan wajahnya justru lain, senyuman mulai menghiasi ujung bibirnya, kepada Kwee Bok ujarnya:

"Aku lihat kedatanganmu memang tepat pada waktunya" "Oya ?" Kwee Bok agak tercengang.

"Saat ini aku memang sedang murung bercampur masgul, aku memang butuh seseorang untuk menemani aku minum barang berapa cawan"

Sekali lagi Kwee Bok tertegun.

"Kau sudah makan siang?" Gi Tiok-kun bertanya pula. "Belum!"

"Mengerti cara minum arak?" sambung Jui Pakhay. "Berapa cawan mah masih sanggup"

"Bagus sekali!" seru Jui Pakhay sambil bertepuk tangan.

Dia segera berpaling, belum sempat minta kepada istrinya untuk mempersiapkan perjamuan, Gi Tiok-kun sudah berkata duluan:

"Biar kuperintahkan orang untuk menyiapkan sayur dan arak"

Selesai berkata dia segera berlalu dengan senyuman menghiasi wajahnya.

Kalau dilihat tampang wajahnya, dia seperti amat gembira karena Kwee Bok bisa tinggal lebih lama lagi disitu.

Sedemikian gembiranya sehingga dia lupa untuk bertanya kepada Jui Pakhay, perjamuan harus disiapkan dimana. 

Salam hangat untuk para Cianpwee sekalian,

Setelah melalui berbagai pertimbangan, dengan berat hati kami memutuskan untuk menjual website ini. Website yang lahir dari kecintaan kami berdua, Ichsan dan Fauzan, terhadap cerita silat (cersil), yang telah menemani kami sejak masa SMP. Di tengah tren novel Jepang dan Korea yang begitu populer pada masa itu, kami tetap memilih larut dalam dunia cersil yang penuh kisah heroik dan nilai-nilai luhur.

Website ini kami bangun sebagai wadah untuk memperkenalkan dan menghadirkan kembali cerita silat kepada banyak orang. Namun, kini kami menghadapi kenyataan bahwa kami tidak lagi mampu mengelola website ini dengan baik. Saya pribadi semakin sibuk dengan pekerjaan, sementara Fauzan saat ini sedang berjuang melawan kanker darah. Kondisi kesehatannya membutuhkan fokus dan perawatan penuh untuk pemulihan.

Dengan hati yang berat, kami membuka kesempatan bagi siapa pun yang ingin mengambil alih dan melanjutkan perjalanan website ini. Jika Anda berminat, silakan hubungi saya melalui WhatsApp di 0821-8821-6087.

Bagi para Cianpwee yang ingin memberikan dukungan dalam bentuk donasi untuk proses pemulihan saudara fauzan, dengan rendah hati saya menyediakan nomor rekening berikut:

  • BCA: 7891767327 a.n. Nur Ichsan
  • Mandiri: 1740006632558 a.n. Nur Ichsan
  • BRI: 489801022888538 a.n. Nur Ichsan

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar